Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health
Organitation (WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar
penduduk terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi
terkena TB aktif setiap tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90%
kasus TB dan kematian berasal dari negara berkembang salah satunya Indonesia.
(Depkes RI, 2012)
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI
8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima
negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan
Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di
Kawasan Asia Tenggara (45%)—dimana Indonesia merupakan salah satu di
dalamnya—dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia
mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk
TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48
negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah
satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya.
Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator
tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi
penyakit TBC.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3
kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di
negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar
pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum
obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi
TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas
2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan
terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah
prevalensi TBC.
Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi
semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC
menurut kuintil indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara
kelompok terbawah sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada
kelompok teratas. Hal ini berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua
tingkatan sosial ekonomi. Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR)
adalah jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000
penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila dikumpulkan serial,
akan menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah
Berdasarkan hasil penelitian oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Republik Indonesia, salah satu faktor sehingga rendahnya cakupan
angka kesembuhan yaitu ketidakpatuhan pada pengobatan penderita TB paru.
Berdasarkan hasil penelitian Tirtana pada tahun 2011, yaitu berbagai faktor
penyebab ketidakpatuhan pengobatan minum obat penderita TB Paru dapat
disimpulkan bahwa faktor manusia (baik penderita maupun PMO) sebagai
penyebab utama. Dimaksud dengan faktor manusia adalah bagaimana perilaku
individu tersebut, diantaranya karakteristik individu, pengetahuan, dan penilaian
terhadap sikap pelayanan kesehatan.
Beberapa penderita yang mengalami efek samping dari obat anti TB juga
memutuskan untuk berhenti berobat. Akhirnya menyebabkan kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance) dan akan menyebabkan
terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. 1,3 Berdasarkan uraian diatas, maka
perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi tentang hubungan tingkat
kepatuhan berobat penderita TB paru dengan perilaku kesehatan, efek samping
OAT, dan peran PMO pada pengobatan fase intensif.
Pembuatan aplikasi ini adalah salah satu gagasan untuk menekan angka
ketidakpatuhan pasien pada saat masa terapinya dalam mengkonsumsi OAT.
Berdasarkan era industri 4.0 manusia telah dibantu dengan berbagai macam
teknologi yang membuat segala aktivitas menjadi lebih praktis. Dalam dunia
kesehatan juga sudah mulai banyak pasien yang status kesehatannya harus
bergantung pada teknologi yang ditawarkan oleh pihak rumah sakit. Dan didalam
kehidupan biasa, ada beberapa juga manusia yang sangat berketergantungan
dengan berbagai gadget. Untuk memanfaatkan hal tersebut aplikasi ini hadir
sebagai teknologi superfisial dalam pelaksanaan pengobatan Tuberkulosis.
Segala kepraktisan didalam aplikasi tersebut juga mampu mengatasi
kurangnya pasien terpapar informasi mengenai penyakit yang dideritanya.
Diharapkan dengan hadirnya aplikasi ini pasien lebih mengerti tentang jadwal
pengkonsumsian, tata cara pengkonsumsian, serta lokasi terdekat yang
menyediakan OAT. Selain itu juga tersedia beberapa artikel yang mampu
menyadarkan pasien tentang akibat yang sangat merugikan dan berbahaya apabila
tidak mau mengikuti instruksi terapi obat yang sudah diberikan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa definisi dari tuberculosis?
2. Bagaimana cara mematuhi terapi yang dilaksanakan?
3. Apa saja isi yang ditawarkan dari ORA ( OAT Reminder Aplication )

1.3. Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari pembuatan aplikasi ORA ( OAT Reminder
Aplication )
1. Sebagai pengingat pasien TBC dalam mengkonsumsi Obat Anti TBC yang
harus dikonsumsi secara wajib dalam waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Untuk mengetahui lokasi pembelian OAT terdekat dan bekerja sama dengan
aplikator pendukung dalam pengirirmannya.
3. Sebagai sarana pengetahuan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan
penyakit TBC bagi pasien.

1.4. Manfaat
Berikut merupakan manfaat dari pembuatan aplikasi ORA ( OAT Reminder
Aplication )
1. Menurunkan resiko lupa atau ketidakpatuhan pasien dalam pengkonsumsian
OAT
2. Pasien lebih mudah mendapatkan obat OAT dan tidak perlu repot-repot ke
apotik, poli, puskesmas atau penyedia obat untuk mendapatkan obat tersebut.
3. Pasien lebih terpapar informasi mengenai penyakit yang dideritanya.
SUMBER
Badan Pusat Statistik, 2017. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun
2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2016. National Strategic Plan of Tuberculosis Control
2016-2020, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014,
Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Sustainability Development
Goals. WHO, 2017. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa.
www.who.int/gho/mortality_burden_disease/cause_death/top10/en/

Anda mungkin juga menyukai