Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH SENI RUPA ZAMAN

A. SEJARAH SENI RUPA PADA ZAMAN HINDU BUDHA

Seni Rupa Zaman Hindu Budha adalah masuknya budaya asing yang di bawa oleh negara lain seperti
halnya India, Cina , Tiong-hoa dan lain-lain. Pusat perkembangannya di Jawa, Bali dan Sumatra yang
kemudian bercampur (akulturasi) dengan kebudayaan asli Indonesia (kebudayaan istana dan feodal).

1. Proses Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya strategis: berada di jalur pelayaran yang
menghubungkan negara-negara Barat dan Timur. Berlabuhnya kapal-kapal dagang berbagai bangsa
membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menghindar dari pengaruh luar. Faktor lainnya adalah alam,
seperti pola angin musim yang berubah setiap enam bulan sekali, yang memudahkan kapal-kapal dagang
itu singgah di Indonesia mengenal agama Hindu-Budha.

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan
negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah.
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal  Masehi, dibawa oleh para musafir dari India
antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan
juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan
Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7
hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-
Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya
menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah
kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada,
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta
hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan
pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang
ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan
tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir
dari era ini.

Akulturasi Indonesia Kebudayaan dan Hindu-Budha

Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses pencampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan yang lain , sehingga membentuk kebudayaan baru . Kebudayaan baru yang
merupakan hasil pencampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya . Oleh
karena itu , untuk dapat berakulturasi , masing-masing kebudayaan harus seimbang
Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Budha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli . Masuknya
budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi. Akulturasi merupakan
perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling
mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan
Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan
dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur
asli. Hal ini disebabkan karena:

Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya
kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.

Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan kecakapan suatu
bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia.
Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang.
Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan
kebudayaan Indonesia. Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan
Indonesia asli.

Seni Bangunan

Bentuk-bentuk bangunan di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur
budaya Hindu-Budha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah , patung-patung
perwujudan dewa atau Budha , serta bagian-bagian candid an stupa adalah unsur-unsur dari India.
Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur
Indonesia asli . Candi Borobudur merupakan slah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut .

Candi

Candi merupakan sebuah bangunan yang berasal dari zaman kekuasaan kerajaan – kerajaan Hindu-
Budha di Indonesia . Kata candi berasal dari kata candika yaitu salah satu nama dewi Durga . Candi juga
berasal dari kata cinandi yang berarti makam . Pada umumnya candi terdiri atas tiga bagian yaitu :

Bhurloka adalah bawah candi yang melambangkan kehidupan dunia fana.


Bhurvaloka adalah bagian candi yang melambangkan tahap pembersihan dan pemurnian jiwa.

Svarloka adalah melambangkan tempat para dewa atau jiwa yang telah disucikan.

Stupa

Bangunan stupa pada masa India Kuno digunakan sebagai makam atau tempat penyimpanan abu
kalangan bangsawan/tokoh tertentu. Stupa memiliki tiga bagian dari bangunan nya :

Andah , melambangkan dunia bawah tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu.

Yanthra, merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi.

Cakra, melambangkan nirwana tempat para dewa.

Seni Rupa dan Seni Ukir

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa , seni pahat , dan seni
ukir . Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahat pada bagian dinding-dinding candi .
Misalnya , relief yang dipahat pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa
pahatan riwayat Sang Budha . Di sekitar Sang Budha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah
panggung dan burung merpati .

Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah . Hiasan relief kala makara , dasarnya adalah
motif bintang dan tumbuh-tumbuhan . Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu .
Binatang-binatang itu dipandang suci , maka sering diabadikan dengan cara di lukis .

Relief

Relief dipahatkan pada kaki candi atau tubuh candi. Relief ini merupakan hasil seni pahat sebagai pengisi
bidang pada dinding candi yang melukiskan suatu cerita atau kisah .

Relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Dasar hiasan relief kala makara yaitu motif binatang
dan tumbuh-tumbuhan . Hal tersebut sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu . Binatang-binatang
tersebut dipandang suci,sehingga sering diabadikan dengan cara ditulis .

Arca
Tujuan pembuatan arca/patung adalah untuk mengabadikan tokoh tertentu . Patung/arca merupakan
batu yang dipahat sedemikian rupa , sehingga membentuk makhluk tertentu ( biasanya berupa patung
atau binatang ).

2. Ciri-Ciri Seni Rupa Indonesia Hindu-Buddha

Bersifat feodal, yaitu kesenian berpusat di istana sebagai media pengabdi Raja (kultus raja).

Bersifat sakral, yaitu kesenian sebagai media upacara agama.

Bersifat konvensional, yaitu kesenian yang bertolak pada suatu pedoman pada sumber hukum agama
(silfasastra).

Hasil akulturasi kebudayaan India dengan Indonesia.

A.Ciri – Ciri Seni rupa Indonesia Hindu

a. Bersifat Peodal, yaitu kesenian berpusat di istana sebagai medi pengabdian Raja (kultus Raja)

b. Bersifat Sakral, yaitu kesenian sebagai media upacara agama

c. Bersifat Konvensional, yaitu kesenian yang bertolak pada suatu pedoman pada sumber hukum
agama (Silfasastra)

d. Hasil akulturasi kebudayaan India dengan indonesia

Seni rupa Buddha atau Seni Buddhis adalah seni rupa yang dipengaruhi ajaran Agama Buddha. Karya
seni ini meliputi beberapa media seperti: arca, relief, dan lukisan yang menampilkan Buddha,
bodhisatwa, dan entitas lainnya; tokoh-tokoh Buddhis yang terkenal, baik tokoh sejarah atau pun tokoh
mitologis; adegan kisah kehidupan para tokoh Buddhis; benda-benda yang dikaitkan dengan praktik
ritual Buddha seperti wajra, genta, dan stupa; mandala dan media pencitraan lainnya; arsitektur candi
dan wihara Buddha, juga termasuk seni rupa Buddha.[1]

Seni rupa Buddha berasal dari anak benua India berdasarkan sejarah kisah kehidupan dan ajaran
Siddhartha Gautama, pada abad ke-6 sampai ke-5 SM, berkembang dan berevolusi karena bersentuhan
dengan budaya lain, kemudian menyebar ke sebagian besar wilayah benua Asia dan dunia.[2]
Seni rupa Buddha tumbuh mengikuti penyebaran penganutnya sesuai dengan perkembangan ajaran
dharma. Dari India seni rupa Buddha menyebar ke utara memasuki Asia Tengah, dan kemudian
berkembang ke Asia Timur membentuk cabang utara seni rupa Buddha. Seni rupa Buddha juga
berkembang ke arah timur, dari India menuju Asia Tenggara dan kemudian membentuk cabang selatan
seni rupa Buddha.[2] Di luar India, seni rupa ini diterapkan, diadaptasi, dan berkembang sedemikian
rupa sesuai dengan gaya negara-negara yang mengembangkannya. Di India, seni rupa Buddha
berkembang dan kemudian memengaruhi perkembangan seni rupa Hindu dan Jaina, hingga
kemundurannya pada abad ke-10 akibat pesatnya perkembangan agama Hindu dan Islam di India.

Pada periode abad ke-2 hingga ke-1 SM, seni pahat Buddhis semakin jelas menggambarkan episode
kehidupan Buddha dan ajarannya. Bentuk karyanya berupa kepingan tablet nazar pemujaan atau ukiran,
biasanya terkait dengan hiasan stupa. Meskipun India memiliki tradisi seni patung yang panjang serta
keahlian dalam ikonografi yang kaya, Buddha pada periode ini tidak pernah digambarkan dalam wujud
manusia, melainkan hanya melalui simbolisme Buddha.

Simbol-simbol yang mewakili sosok Buddha antara lain singgasana kosong, Buddha-pada (telapak kaki
Buddha), chattra (payung), stupa, pohon Bodhi (melambangkan pencerahan Buddha), Dharma-chakra
(roda hukum dharma), dan Triratna (tiga permata). Motif satwa juga digunakan sebagai perlambang
episode kehidupan Buddha Gautama, seperti gajah yang melambangkan episode kelahiran Siddharta
ketika Ratu Maya bermimpi gajah putih memasuki rahimnya; kuda yang melambangkan episode
kepergian Pangeran Sidharta melarikan diri keluar dari istana demi menjadi pertapa; dan rusa yang
melambangkan episode wejangan pertama Buddha di Taman Rusa Sarnath, Benares. Periode ini dapat
disebut periode tanpa ikon dalam kesenian Buddha.[3]

Para seniman pada periode ini enggan menggambarkan Sang Buddha dalam wujud manusianya, dan
mengembangkan simbol-simbol tanpa ikon untuk menghindari menggambarkan wujud manusia
Buddha. Bahkan dalam adegan naratif yang menampilkan figur manusia tokoh lain tapi tidak
menampilkan sosok Buddha.[a] Kecenderungan ini terus berlangsung hingga abad ke-2 SM di India
Selatan, misalnya dalam aliran seni Amarawati awal.[3]
Koin emas peninggalan Kanishka, menampilkan sosok Buddha, dengan tulisan "Boddo" dalam aksara
Yunani.

Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan ketiadaan sosok Buddha dalam lima abad pertama
perkembangannya. Salah satu teori menyebutkan Buddha Gautama sendiri melarang perwujudan
dirinya, meskipun teori ini tidak didukung oleh literatur Buddhis. Kutipan dari Vinaya Sarvastivadin
menyebutkan murid Sang Buddha, Anathapindika, bertanya kepada Sang Guru Agung, "Dunia
menghormatimu, jika citra dirimu tidak boleh dibuat, bagaimanakah sebaiknya? setidaknya bolehkah
kami membuat citra Bodhisatwa[b] perwakilan dirimu?" Buddha kemudian memberikan
persetujuannya.[3] Teori yang lain menggunakan pendekatan berbeda, yaitu pendekatan filsafati
sebagai latihan mental, bahwa melalui "ketiadaan" sosok Buddha, para murid Sang Buddha justru harus
menyadari "keberadaan" Buddha.[3]

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa perwujudan Buddha sudah ada sejak masa hidup Buddha
Gautama. Akan tetapi pada masa awal ini wujud Buddha dibuat dari patung kayu, dan mungkin telah
lapuk dan musnah ditelan waktu. Menurut tradisi Tibet, China, dan Jepang, patung pertama Buddha
diukir dari kayu cendana,[3] dan tradisi pemujaan dengan memberikan sesaji persembahan sekantung
serbuk kayu cendana, hingga kini masih bertahan di Jepang. Meskipun demikian, tidak ada bukti
arkeologi yang mendukung pendapat ini, karena bukti arkeologi perwujudan sosok Buddha tertua
ditemukan pada koin emas wangsa Kushan, dari kurun 150 sampai 50 SM.[3]

Contoh paling awal dari seni rupa Buddha di India berasal dari abad ke-1 SM. Vihara Mahabodh di Bodh
Gaya, yang kemudian menjadi contoh bangunan serupa di Myanmar dan Indonesia. Fresko di Sigiriya
disebutkan berusia lebih tua daripada fresko di Gua Ajanta.[4]

Perwujudan manusia Buddha mulai muncul pada abad pertama masehi di India Utara. Dua pusat
perkembangan kesenian Buddha adalah di Gandhara, kini terletak di Provinsi perbatasan Barat Laut di
Pakistan, dan di kawasan Mathura, Uttar Pradesh, di pusat India Utara.

Seni rupa Gandhara diuntungkan karena selama berabad-abad bersentuhan dengan kebudayaan Yunani
sejak penaklukan Aleksander Agung pada tahun 332 SM. Tumbuhnya kerajaan Yunani-Baktria dan
kerajaan Indo-Yunani mendorong tumbuhnya Seni Buddha-Yunani. Arca-arca Buddha dari Gandhara
menampilkan pengaruh artistik Yunani, dan disebutkan bahwa gagasan "manusia-dewa" sesungguhnya
diilhami oleh budaya Mitologi Yunani.[5] Sebagai contoh, Herakles dengan jubah dan cawat kulit singa
(dewa pelindung Demetrius I dari Baktria) "dijadikan sebagai model penggambaran bodhisatwa
Wajrapani, pengawal Buddha."[6][c]

Secara artistik, disiplin aliran seni patung Gandhara telah menyumbangkan beberapa karakteristik pada
perwujudan Buddha, seperti rambut ikal bergelombang, pakaian berjubah, sepatu dan sandal, serta
hiasan sulur bunga pada kesenian Buddha. Selain penggambaran wujud Buddha, seni rupa Buddha juga
diperkaya penggambaran tokoh-tokoh lain, seperti Bodhisatwa, Tara, serta makhluk-makhluk mitologis
seperti yaksa, kinnara dan kinnari, gandarwa, apsara, widyadhara, asura, dwarapala, kala, makara, serta
pohon Kalpawreksa.[7]

Seni Mathura tampaknya lebih berdasarkan pada tradisi India yang kuat, dengan contoh penggambaran
dewata dan makhluk suci seperti Yaksa, meskipun secara gaya masih terlihat kaku dibandingkan
perwujudan Buddha kemudian. Seni aliran Mathura menyumbangan pengaruhnya pada seni rupa
Buddha, seperti jubah yang menutup bahu kiri dan terbuka pada bahu kanan dari bahan muslin tipis,
cakra pada telapak tangan, singgasana teratai, dan lain-lain.

Seni Mathura dan Gandhara juga saling memengaruhi. Pada masa keemasan kesenian Buddha pada
periode ini, kedua pusat seni Buddha ini disatukan dalam Kekaisaran Kushan, dan kedua kota ini menjadi
pusat kemaharajaan. Hingga kini masih diperdebatkan apakah perwujudan manusia Buddha itu lahir dari
evolusi lokal pada seni Buddha Mathura, atau merupakan hasil interaksi budaya sebagai akibat pengaruh
seni rupa Yunani di Gandhara melalui sinkretisme budaya Yunani-Buddhis.[5]

Lukisan dinding Padmapani dan Wajrapani di kedua sisi Gua 1 di Gua Ajanta Lukisan dinding
Padmapani dan Wajrapani di kedua sisi Gua 1 di Gua Ajanta

Lukisan dinding Padmapani dan Wajrapani di kedua sisi Gua 1 di Gua Ajanta

Seni ikonik ini memiliki ciri idelisme realis, menggabungkan sosok manusia yang realistik, proporsional,
sikap dan atribut, digambarkan dengan rasa ketenangan dan keteduhan yang sempurna mencapai
kualitas keilahian. Ekspresi sosok Buddha sebagai manusia dan sosok ilahiah menjadi pakem ikonografi
bagi seni rupa Buddha kemudian.

Hal yang menarik untuk dicatat, ajaran Buddha banyak memanfaatkan seni plastis seperti seni pahat,
seni patung, lukisan, dan literatur, tetapi amat jarang memanfaat seni musik dan tari.
Seni rupa Buddha terus berkembang di India hingga beberapa abad kemudian. Pada abad ke-5 M, fresko
atau seni lukis dinding Buddha mencapai puncak pencapaian estetikanya dengan contoh karya terbaik;
fresko Bodhisatwa Padmapani dengan ekspresi yang teduh nan anggun terlukis di dinding Gua Ajanta,
yang dikembangkan oleh Raja Harishena dari Wangsa Wakataka. Seni Buddha di India yang berasal dari
periode ini seolah menjadi purwarupa bagi karya seni Buddha di wilayah lain, menjadi contoh dan
diteladani. Patung batu pasir berwarna merah muda dari Mathura yang berkembang pada masa
Kekaisaran Gupta kurun abad ke-4 sampai ke-6 M telah mencapai tingkat kehalusan dan keindahan yang
sedemikian rupa dalam penyelesaian dan modelnya. Seni rupa aliran Gupta menjadi sedemikian
berpengaruhnya hingga menyebar ke wilayah Asia lainnya. Pada abad ke-10, seni Buddha mulai
memudar di India, sedangkan Hindu dan Islam terus berkembang di India.[2]

Pada akhir abad ke-12 sisa-sisa kejayaan Buddha hanya bertahan di wilayah pegunungan Himalaya di
India utara. Kawasan ini karena lokasinya lebih banyak bersentuhan dengan Tibet dan Tiongkok, sebagai
contoh seni dan tradisi Ladakh menunjukkan ciri pengaruh Tibet dan Tiongkok.

Peta penyebaran ajaran Buddha

Seiring dengan penyebaran ajaran Buddha keluar dari India pada abad pertama masehi, kemasan artistik
aslinya berpadu dengan pengaruh artistik lainnya, menghasilkan keanekaragaman progresif di antara
negara-negara yang menganut ajaran Buddha. Penyebaran ajaran sekaligus seni rupa Buddha
mengambil dua arah percabangan; jalur utara dan jalur selatan.

Jalur Utara bermula sejak abad pertama masehi, melalui jalur Asia Tengah, Nepal, Tibet, Bhutan,
Tiongkok, Korea, Jepang dan Vietnam. Aliran yang berkembang adalah aliran Buddha Mahayana.

Jalur Selatan, yang didominasi aliran Buddha Theravada, melalui Sri Lanka, Myanmar, Thailand,
Kamboja, dan Laos. Sementara di Indonesia ajaran Mahayana lebih berkembang.[2]

Anda mungkin juga menyukai