Disusun Oleh :
KHAIRUNISA
PO.62.20.1.19.097
2. PATOFISIOLOGI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi Thalassemia terjadi gangguan
produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap kromosom
(total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom
(total empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua
subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuanitas
protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein yang seimbang.
Thalassemia terjadi pada gen globin gagal dan produksi protein globin subunit tidak
seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh gen,
sedangkan abnormalitas pada gen rantai globil β dapat menyebabkan defek yang menyeluruh
atau parsial (Wiwanitkit,2017)
1) Thalassemia diklarisikasikan berdasarkan rantai globin yang mengalami defek, yaitu
Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek secara delesi dan nondelesi dapat
menyebabkan Thalassemia (Rodak,2017)
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA 1 dan HBA 2) pada kromosom 16, maka
akan terdapat total empat gen α (α α/ α α). Delesi gen sering terjadi pada Thalassemia
α maka terminology untuk Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi,
apakah pada satu gen atau dua gen. apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat
lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis) atau berbeda
(trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada dua gen dilabel αo
(Sachdeva,2016).
b. Thalassemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada kromosom 11
(Rodak, 2017). Kebanyakan dari mutasi Thalassemia β disebabkan point mutation
dibandingkan akibat delesi gen (Chen,2016). Penyakit ini diturunkan secara resesif
dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan subtropics serta di daerah dengan
prevalensi malaria hanya yang endemic (Wiwanitkit, 2017).
2) Secara umum terdapat 2 (dua) jenis thalassemia yaitu : (NUCLEUS PRECISE, 2015)
a. Thalassemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalassemia mayor merupakan
penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya,
penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih
lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek,
hingga yang bersangkutan memerlukan tranfusi tranfusi darah untuk memperpanjang
hidupnya. Penderita thalassemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia
3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul
gejala lain seperti jantung berdetak kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah
ciri khas thalassemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam tulang pipi
menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi
kekurangan hemoglobin. Penderita thalassemia mayor akan tampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya , penderita thalassemia mayor harus menjalani
tranfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup
penderita thalassemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
tranfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit.
Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani
transfuse darah.
b. Thalassemia Minor, individu handak membawa gen penyakit thalassemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalassemia tidak muncul. Walau
thalassemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalassemia minor
juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menderita thalassemia
mayor. Pada haris keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalassemia mayor
dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering
mengalami pendarahan. Thalassemia minor sudah sejak lahir dan akan tetap ada di
sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfuse darah di sepanjang
hidupnya.
3) Secara moleculer thalassemia dibedakan atas : (Behman et al, 2015)
- Thalassemia a (gangguan pembentukan rantai a)
- Thalassemia b (gangguan pembentukan rantai b)
- Thalassemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen-nya diduga
berdekatan)
- Thalassemia d (gangguan pembentukan rantai d)
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosa untuk Thalassemia dua yaitu secara screening test dan definitive test
1) Screening Test
Didaerah endemic, anemia hipokrom mikrositik diragui sebagai gangguan Thalassemiaa
(Wiwanitkit,2017).
a. Interpretasi Asupan Darah
Dengan asupan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakan
Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan asupan darah rutin
dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragility eritrosit. Secara dasarnya
resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi
yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membrane yang regang
bervariasi mengikuti order ini : Thalassemia < Kontrol < spherositosis
(Wiwanitkit,2017). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostic telah
dilakukan dan berdarakan satu penelitian di Thailand, sensitivitas adalah 91,47%,
spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%
(Wiwanitkit,2017)
c. Indeks Eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicapai tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostic. Maka
metode matematika dibanngunkan (Wiwanitkit,2017).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dan thalassemia β berdasarkan parameter jumlah
eritrosit digunakan. Beberapa rumusan telah dipropose seperti 0.01 x MCH x
(MCV)2, RDW x MCH x (MCV)2/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan
Thalassemia β (Wiwanitkit,2017).
Sekiranya indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya
>13 cenderung kea rah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait.
Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritosit meningkat dan anemia
tidak ada ataupun ringan. Pada anemia adalah gejala lanjut (Yazdani,2015)
2) Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah.
Pada dewasa konstitusi normal hemoglobil adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb
F 0.8-2% (anak dibawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonates bisa mencapai
80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5,8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H : Hb A2<2%
dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada Negara tropical membangun,
elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S, Hb, J (Wiwanitkit,2017)
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitunan actual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb
E. Metode ini digunakan untuk diagnose Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variasinya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,2017).
c. Molecular Diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga
menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit,2017)
5. PENATALAKSANA MEDIS
Penatalaksana Medis Thalassemia antara lain : (Rudolph, 2016; Hasan dan Alatas, 2016;
Herdata,2018)
1) Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) : diberikan setelah kadar ferritin
serum sudah mencapai 100 mg/1 atau saturasi transferrin lebih 50% atau sekitar 10-
20 kali tranfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berurtan
setiap selesai tranfusi darah
- Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi
- Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat
- Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dpaat memperpanjang umur sel
darah merah
2) Bedah
Splenektomi, dengan indikasi :
- Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture
- Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan tranfusi darah atau
kebutuhan suspense eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun
- Transpantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalassemia
dengan lebih dari seribu penderita thalassemia mayor berhasil tersembuhkan dengan
tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak-anak yang memiliki HILA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3) Suportif
- Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan keadaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.
1) Pengkajian Primer
a) Airway
Kaji : bersihan jalan napas, ada tidaknya sumbatan pada jalan napas, distress
pernapasan, tanda-tanda pendarahan dijalan napas, muntahan, edema laring.
b) Breathing
Kaji : frekuensi napas, usaha dan pergerakkan dinding dada, suara pernapasam
melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan napas.
c) Circulation
Kaji : denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembapan kulit, tanda-
tanda pendarahan eksternal dan internal.
d) Disability
Kaji : tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil, dan
responnya terhadap cahaya.
e) Exposure
Kaji pasien dengan melepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat
dicari semua cedera yang mungkin ada. Pengkajian ini dilakukan untuk
melihat adanya tanda-tanda trauma ataupun jejas yang ada.
2) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas/mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan,
degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan
sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna
kulit dan kesemutan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada/tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah
menderita osteoporosis sebelumnya
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan
tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular
3) Pengkajian Sekunder
Adapun pengkajian sekunder meliputi pemeriksaan pola-pola persistem
kesehatan tubuh, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan head to toe, sebagai berikut :
Pemeriksaan pola-pola persistem kesehatan tubuh, meliputi :
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image)
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien.
Pemeriksaan fisik
a) Keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
Pemeriksaan Head to Toe
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercosta, gerakan dada simetris.
10) Paru-paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB
8. ANALISIS DATA
Dalam memvalidasi dan observasi data, perawat harus memvalidasi data yang ada
secara akurat dengan bersama pasien dan keluarga. Perawat mengajukan pertanyaan
kepada pasien dan keluarga mengenai kejelasan secara jelas dan reflektif.Analisa data
dalam mengenali pola atau pemgelompokan data, data yang telah dikumpulkan dapat
dikelompokanberdasarkan gejala yang memiliki hubungan.
Namun data juga dapat dikelompokanberdasarkan kebutuhan biopsiko-social
danspiritual. Sehingga Perawat dapat menentukan informasi yang relavan dengan bantuan
pengelompokan data yang telahdilakukan, sehingga perawat dapat dengan mudah
menganisis data yang telah dikelompokkan. Dalam analisis data perawat harus membuat
keputusan terkait dengan hasil daripengkajian. (Padila, 2017)
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau respon
individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko masalah
kesehatan atau pada proses kehidupan . Diagnosa keperawatan merupakan bagian vital
dalam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu pasien mencapai
kesehatan yang optimal (PPNI, SDKI 2016). Diagnosa yang mungkin muncul menurut
SDKI, 2016 :
1) Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif (SDKI : D.0009, Hlm 37)
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme
tubuh
2) Intoleransi Aktivitas (SDKI : D.0056, Hlm 128)
Ketidakcukupan energy untuk melakukan aktivitas sehari-hari
- Agar menghindari
- Monitor perubahan kulit terjadinya perubahan suhu
melalui benda yang
digunakan
- Anjurkan penggunaan
sarung tangan termal
saat memasak
- Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah
Kaloborasi
- Kaloborasi pemberian
analgesic, jika perlu
- Kaloborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
Dx2 (SLKI : L.05047, Hlm (SIKI : I.05186, hlm 415)
149) Intervensi Utama : Terapi
Luaran Utama : Aktivitas
Toleransi Aktivitas
Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan - Identifikasi deficit - Untuk mengetahui deficit
selama 1 x 4 jam tingkat aktivitas tingkat aktivitas
diharapkan Meningkat - Identifikasi sumber daya - Untuk mengetahui sumber
Ekspektasi, dengan untuk aktivitas yang daya untuk aktivitas yang
kriteria hasil : diinginkan diinginkan
- Frekuensi nadi - Identifikasi strategi - Untuk mengetahui strategi
meningkat dengan meningkatkan meningkatkan partisipasi
skor 5 partisipasi dalam dalam aktivitas
- Saturasi oksigen aktivitas - Untuk mengetahui makna
meningkat dengan - Identifikasi makna aktivitas rutin (mis.
skor 5 aktivitas rutin (mis. Bekerja) dan waktu luang
- Kemudahan dalam Bekerja) dan waktu - Untuk mengetahui respons
melakukan aktivitas luang emosional, fisik, spiritual
sehari-hari meningkat - Monitor respons terhadap aktivitas
dengan skor 5 emosional, fisik,
- Kecepatan berjalan spiritual terhadap
meningkat dengan aktivitas
skor 5 - Agar pasien percaya diri
- Jarak berjalan Terapeutik ketika menggunakan
meningkat dengan - Fasilitasi focus pada kemampuan sendiri
skor 5 kemampuan, bukan - Agar pasien mau bersedia
- Kekuatan tubuh deficit yang dialami melakukan rentang
bagian atas meningkat - Sepakati komitmen aktivitas sesuai pilihan
dengan skor 5 untuk meningkatkan pasien
- Kekuatan tubuh frekuensi dan rentang - Agar pasien melakukannya
bagian bawah aktivitas dengan senang hati tanpa
meningkat dengan - Fasilitasi memilih terpaksa dan juga sehat
skor 5 aktivitas dan ditetapkan secara psikologi dan sosial
- Toleransi dalam tujuan aktivitas yang
menaiki tangga konsisten sesuai
meningkat dengan kemampuan fisik, - Agar tidak menghambat
skor 5 psikologi dan sosial gerakan pada pasien
- Keluhan lelah - Koordinasi pemilihan - Agar pasien mengerti
menurun dengan skor aktivitas sesuai usia aktivitas yang dilakukan
5 - Fasilitas makna aktivitas berguna bagi tubuh
- Dyspnea saat aktivitas yang dipilih - Memudahkan pasien dan
menurun dengan skor keluarga pasien untuk
5 - Fasilitas transportasi berpindah tempat tanpa
- Dyspnea setelah untuk menghindari berjalan kaki
aktivitas menurun aktivitas, jika sesuai - Memudahkan pasien dan
dengan skor 5 keluarga dalam adaptasi
- Perasaan lemah - Fasilitas pasien dan lingkungan bau
menurun dengan skor keluarga dalam
5 menyesuaikan
- Aritmia saat aktivitas lingkungan untuk
menurun dengan skor mengakomodasi - Supaya pasien menjadi
5 aktivitas yang dipilih lebih sehat
- Aritmia setelah - Fasilitas aktivitas fisik
aktivitas menurun rutin
dengan skor 5 (mis.ambulasi,moblisasi,
- Sianosis menurun dan perawatan diri), - Agar pasien dapat
dengan skor 5 sesuai kebutuhan melakukan aktivitas walau
- Warna kulit membaik - Fasilitas aktivitas sedang mengalami
dengan skor 5 pengganti saat kesibukkan
- Tekanan darah mengalami keterbatasan
membaik dengan skor waktu, energy, atau - Agar tubuh pasien tetap
5 gerak ideal
- Frekuensi napas - Fasilitas aktivitas
membaik dengan skor motoric untuk
5 memelihara berat badan, - Supaya pasien tidak
- EKG iskemia jika sesuai mengalami stress dan tetap
membaik dengan skor - Fasilitas aktivitas dekat dengan Tuhan selagi
5 dengan komponen mempunyai kesibukan
memori implisit dan
emosional (mis kegiatan
keagamaan khusus)
untuk pasien demensia, - Agar pasien dapat
jika sesuai mempunyai lawan bicara
- Libatkan dalam sehingga tidak terlalu stress
permainan kelompok dalam aktivitas berulang
yang tidak kompetitif, - Agar pasien bisa sehat
terstruktur dan aktif secara jasmani sambil
- Tingkatkan keterlibatan berolah raga dalam
dalam aktivitas rekreasi kelompok permainan
dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan
(mis. Vocal group, bola
voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas
sederhana, permainan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga, - Supaya pasien melihat
perawatan diri dan tekat- dukungan keluarga di saat
teki dan kartu) ini sangat perlu dilakukan
- Libatkan keluarga dalam - Agar pasien selalu optimis
aktivitas, jika perlu dalam segala hal terutama
dalam pengambilan
- Fasilitasi keputusan
mengembangkan - Agar keluarga dan pasien
motivasi dan pengutana juga tahu kemajuan yang
diri selama ini dilakukan
- Fasilitasi pasien dan bersama
keluarga memantau - Agar pasien dapat
kemajuannya sendiri mengatur waktu dalam
untuk mencapai tujuan rutinitas
- Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari- - Agar pasien tidak takut
hari untuk melangka kedepan
- Berikan pengutana
positif atas partisipasi
dalam aktivitas
- Agar pasien tahu manfaat
Edukasi ketika melakukan aktivitas
- Jelaskan metode tersebut
aktivitas fisik sehari- - Agar pasien dan keluarga
hari, jika perlu dapat melakukan nya
- Ajarkan cara melakukan jikaulah tidak ada perawat
aktivitas yang dipilih atau tenaga medis yang
membantu
- Agar pasien bisa
melakukan dan menjadi
- Anjurkan melakukan sehat secara jasmani, sehat
aktivitas fisik, social, juga secara psikologis
spiritual, dna kognitif
dalam menjaga fungsi - Agar pasien dapat
dan kesehatan beradaptasi dan berbaur
- Anjurkan terlibat dalam dengan teman sebaya nya
aktivitas kelompok atau - Agar pasien tetap optimis
terapi, jika sesuai ketika melakukan
- Anjurkan keluarga kegiatannya tanpa
untuk memberikan keraguan
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas
- Untuk meningkatkan
Kolaborasi kemandirian individu pada
- Kolaborasi dengan area aktivitas kehidupan
terapis okupasi dalam sehari-hari, produktivitas
merencanakan dan dan pemanfaatan
memonitor program - Agar pasien dapat
aktivitas, jika sesuai beradaptasi dengan
- Rujuk pada pusat atau aktivitas yang lebih baik
program aktivitas lagi
komunitas, jika perlu
11. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012). Intervensi keperawatan
adalah panduan untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari klien, dan atau/atau
tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi dilakukan untuk membantuk
klien mencapai hasil yang diharapkan (Deswani, 2017)
12. EVALUSI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Dalam melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan
dalam memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil (Wijayanigsih,2018).
S = Subjektif
O = Objektif
A = Analisa
P = Planning
DAFTAR PUSTAKA
Wijayaningsih, K. S. (2018). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from http://www.inna-
ppni.or.id
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta.
Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id
Sausan, Rahcmin.2020. Asuhan Keperawatan Pada Klien Anak Dengan Thalasemia Yang Di
Rawat Di Rumah Sakit. http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/1071/1/KTI%20NUR
%20RACHMI%20SAUSAN.pdf (Diakses 4 Juni 2021 Pukul 17.01 WIB)
Hoffbrand Dkk., 2015, Kapita Selekta Hematologi Ed. 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta