Anda di halaman 1dari 11

Makalah Fikih Muamalah

( Perdagangan atau jual beli )


Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah : Fikih Muamalah
Dosen Pengampu : Mushofikin Sahidin

Disusun oleh :
1. Khoirun Nisak (1902056086)
2. Zaki Nuril Muntaha (1902056096)
3. Agus Trianto (1902056085)

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2020
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang artinya ia tidak akan bisa terlepas
dari kehidupan orang lain. Manusia tidak akan bisa menyelesaikan persoalan hidupnya
sendiri.
Allah Swt. Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama
lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan
kepentingan hidup masing-masing baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, bercocok
tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun
untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur
dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian perdangan atau jual beli
2. Rukun dan syarat jual beli
3. Macam-macam jual beli
4. Khiyar dalam jual beli
5. Perselisihan dan perantara dalam jual beli
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perdangan atau jual beli
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat jual beli
3. Untuk mengetahui macam-macam jual beli
4. Untuk mengetahui Khiyar dalam jual beli
5. Untuk mengetahui perselisihan dan perantara dalam jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian perdagangan atau jual beli
Secara etimologis jual beli berarti pertukaran (mubadalah). Berasal dari bahasa arab
al-ba'i yang berarti jual dan asy syira yang berarti beli.1 Adapun secara istilah, jual beli
dalam Islam adalah transaksi tukar menukar yang memiliki dampak yaitu bertukarnya
kepemilikan (taqabbudh) yang tidak akan bisa sah bila tidak dilakukan beserta akad yang
benar baik yang dilakukan dengan cara verbal atau ucapan maupun perbuatan.2
Dalil tentang jual beli:
‫ َوأَ َح ّل هّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح ّر َم ال ّربَا‬ ‫ك بِأَنّهُ ْم قَالُ َو ْا إِنّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ّربَا‬
َ ِ‫َذل‬
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,  padahal Allah telah menghalalkan jual
beli  dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].
B. Rukun dan syarat jual beli
1. Rukun jual beli
a. Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah:
- Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila dan bodoh tidak syah jual
belinya.
- Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), yang berarti suka sama suka
- Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu di tangan
walinya.
Firman Allah Swt.:

۟ ُ‫وا ٱل ُّسفَهَٓا َء أَ ْم ٰ َولَ ُك ُم ٱلَّتِى َج َع َل ٱهَّلل ُ لَ ُك ْم قِ ٰيَ ًما َوٱرْ ُزقُوهُ ْم فِيهَا َوٱ ْكسُوهُ ْم َوقُول‬
‫وا لَهُ ْم قَوْ اًل َّم ْعرُوفًا‬ ۟ ُ‫َواَل تُ ْؤت‬

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna


akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah

1
Agustianto, "Jual Beli dan Perdagangan", diakses dari http://alhushein.blogspot.com/2011/12/jual-beli-
dan-perdagangan.html , Pada tanggal 18 maret 2020 pukul 20.41
2
Dendy Herdianto, "Jual Beli dalam Islam: Pengertian, Dalil, Syarat, dan Kontemporer". Diakses dari
https://qazwa.id/blog/jual-beli-dalam-islam/, pada tanggal 18 maret 2020 pukul 20.49
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.(Q.S. An Nisa: 5)

- Baligh (berumur 15 tahun ke atas atau dewasa). Anak kecil tidak sah jual
belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur
dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli
barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu
menjadi kesulitan dan kesukaran sedangkan agama Islam sekali-kali tidak
akan menentapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada
pemeluknya.
b. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya yaitu:
- Suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk
dibelikan. Misalnya kulit binatang dan bangkai.
- Ada manfaatnya
- Barang itu dapat diserahkan
- Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang mengusahakan.
c. Lafaz ijab dan kabul
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya "saya jual barang ini sekian."
Kabul adalah ucapan si pembeli, "saya terima (saya beli) dengan harga sekian."3
2. Syarat jual beli
- Ada dua orang yang saling bertransaksi (muta'aqidain), yang terdiri atas
penjual dan pembeli
- Adanya sighat atau lafadh yang menunjukan pernyataan jual beli, anata lain
lafadh ijab dan lafadh qabul
- Barang yang ditransaksikan (ma'qud 'alaih)4
C. Macam-macam jual beli dalam islam
Macam–macam jual beli (bisnis) dalam Islam, dapat di lihat pada dua sudut
pandang yaitu dari kaca mata hukum Islam dan dari kaca mata barang yang di perjual
belikan. Bisnis dilihat dari kaca mata hukum Islam di bagi menjadi dua macam, yaitu jual
beli (bisnis) yang sah menurut hukum Islam dan jual beli yang batal menurut hukum
Islam.
Jual beli (bisnis) yang dapat dibatalkan menurut hukum Islam, yaitu;
(a) jual beli barang yang di haramkan,
(b) Jual beli sperma (mani) hewan. Hukum Islam mebolehkan untuk menjual daging
kambing yang belum di kuliti dengan ukuran timbang ,dan sama halnya dengan di

3
Sulaiman Rasjid, "Fiqih Islam", (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hlm. 279-281
4
Muhammad Syamsudin, "Fiqih Jual Beli: Syarat Sah dan Macam-macamnya", diakses dari
https://islam.nu.or.id/post/read/94844/fiqih-jual-beli-syarat-sah-dan-macam-macamnya, pada tanggal
18 maret 2020 pada jam 22:12
bolehkan menjual ayam sembelihan dengan kotorannya masih didalam perut ayam
tersebut.
(c) Jual beli dengan perantara (al–wasilat), melalui perantara artinya memesan barang
dengan akad jual membeli yang belum sempurna membayarnya tetapi tiba tiba ia
mundur dari hak akad. Para ulama’ memperbolehkan jual beli dengan membayar
dahulu agar barang tersebut tidak di beli oleh orang lain.
(d) Jual beli anak binatang yang masih berada di perut induknya karena barangnya
belum ada jadi tidak di bolehkan.
(e) Jual beli muhaqallah / baqallah tanah, sawah dan kebun maksudnya jual beli
tanaman yang masih diladang atau sawah yang belum pasti wujudnya, hal ini masih
diragukan bisa mengakibatkan ketidak rilaan dari pembeli atau penyesalan dari
penjual, termasuk kategori jual beli gharar.
(f) Jual beli mukhadharah, yaitu menjual buah–buahan yang belum pantas untuk panen,
di dilarang karena masih samar karena dapat dimungkinkan buah itu jatuh tertiup
angin sebelum diambil oleh pembelinya atau busuk dan lain sebaginya.
(g) Jual beli muammasah, yaitu jual beli secara sentuh menyantuh kain yang sedang
dipajangkan, orang yang menyentuh kain tersebut harus membeli.
(h) Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, maksudnya
seperti pelelengan barang harga yang paling besar itu yang akan mendapatkan barang
tersebut, hal ini ditakutkan adanya penipuan.
(i) Jual beli muzaabanah, yaitu menjual barang yang basah dan yang kering, maksudnya
barang yang diperjual belikan dicampur dan mengakibatkan tidak adanya
keseimbangan barang.
Sedangkan jual beli ditinjau dari segi benda dibagi menjadi tiga macam. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
(a) Jual beli barang yang kelihatan
(b) Jual beli yang disebutkan sifat–sfat nya dalam janji dan
(c) Jual beli benda yang tidak ada.
Jual beli benda yang kelihatan maksudnya pada waktu melakukan akad jual beli
antara pembeli dan penjual ada yang di perjual belikan ada di depan mata. Hal ini
banyak masyarakat yang melakukannya, ini dibolehkan, contoh di pasar membeli
beras. Tapi, juga ada praktek di masyarakat jual beli yang hanya menyebutkan
sifatnya atau contohnya, hal ini dilakukan di masyarakat dalam jual beli pesan
barang, misalnya, pesan makanan, disebut bai’ salam dalam hukum Islam dibolehkan.
Sedangakan jual beli yang barangnya belum ada atau sifatnya belum ada seperti
membeli kacang dalam tanah, membeli ikan dalam kolam belum jelas, dalam hukum
Islam tidak diperbolehkan. Kecuali bagi orangorang tertentu yang mempunyai
keahlian dalam menaksir, maka diperbolehkan.5

D. Khiyar dalam jual beli


a. Khiyar majelis
5
Shobirin, "Jual Beli dalam Pandangan Islam", Bisnis Vol. 3 No. 2, Desember 2015, hlm. 253-255
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat
duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua
orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan
wajibnya akad. Dengan demikian majelis akad merupakan tempat berkumpul dan
terjadinya akad apapun keadan pihak yang berakad. Adapun menurut istilah khiyar
majlis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara' bagi setiap pihak yang melakukan
transaksi, selama para pihak masih berada ditempat transaksi. Khiyar majlis berlaku
dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad
pemesanan barang (salam), syirkah.6
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar
antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan
pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk
meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan
adanya dua hal:
1. Keduanya memilih akan terusnya akad
2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya
khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi
masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau
meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan
akad.
b. Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada
masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki
maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa
membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk
khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan
bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara
meneruskan jual beli atau membatalkannya.
c. Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran
barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya.
Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat
adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu
transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima
barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan
berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli

6
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, " Fiqih Imam Syafi'i",
Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
dibidangnya. Menurut ijma' Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh
dilakukan pada waktu akad berlangsung.
d. Khiyar Ru'yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya
ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu
yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
E. Perselisihan dan perantara dalam jual beli
Terdapat beberapa istilah dalam keperantaraan yang terjadi di masyarakat
Indonesia, ada yang menyebut makelar, calo, blantik, agen, broker, atau pialang. Dan
semua istilah memiliki makna yang sama yaitu sebagai perantara dalam transaksi jual beli
atau perdagangan.
Dalam konsep samsarah atau calo atau makelar dalam bisnis artinya sama yaitu
perantara yang berperan menjadi perantara antara penjual dan pembeli dalam transaksi
bisnis, baik itu bisnis jual beli dan sewa menyewa tanah, rumah, dan sarana prasarana
yang berkaitan dengan rumah.Sedangkan akad Wasathah adalah akad keperantaraan atau
makelar yang menimbulkan hak bagi Wasith (perantara) untuk memperoleh
pendapatan/imbalan baik berupa keuntungan (al-ribh) atau upah (ujrah) yang diketahui
(ma'lum) atas pekerjaan yang dilakukannya.
Makelar sendiri berarti pedagang perantara. Pada zaman belum seperti sekarang,
seorang produsen yang menciptakan suatu produk disebabkan memiliki keterbatasaan
waktu dan tenaga untuk menjual dan memasarkan produknya, kemudian menggunakan
jasa makelar dengan imbalan komisi bagi yang mampu membawa pembeli. Makelar
bertindak sebagai pedagang perantara, berfungsi mempertemukan penjual dan pembeli
sehingga mempercepat dan membantu kelancaran proses negoisiasi. Hasil akhir adalah
memperoleh komisi dari jasa layanan mereka. Makelar menjual informasi tentang apa
yang dibutuhkan pembeli, dan mencari pemasok pemasok mana yang menyediakan
barang kebutuhan tersebut.
Dalam bidang properti, seorang makelar memiliki peran untuk menegosiasikan
penjualan property antara penjual dan pembeli dengan imbalan komisi tertentu. Sebagai
makelar profesional mereka harus bertindak bagi kepentingan penjual dan pembeli dan
buka untuk dirinya sendiri, selain itu juga harus bisa menjadi problem solver, mencari
solusi bila ada ketidak sesuaian antara penjual dan pembeli dengan pendekatan win-
winsolution.

Apabila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, dan
keduanya mempunyai bukti atas pengakuan masing-masing, hendaklah mereka
bersumpah.

Demikian menurut pendapat para imam madzab.


Orang yang disumpah pertama kali adalah penjual. Demikian pendapat yang
paling shahih dalam madzab Syafi'i .
Sedangkan menurut Hanafi : hendaknya yang pertama kali disumpah adalah pembeli.
Apabila barang yang dibeli sudah rusak, lalu terjadi perselisihan soal harganya, keduanya
disumpah. Demikian menurut Syafi'i. Kemudian jual belinya dibatalkan.
Jika barang tersebut bisa dijual, hendaknya dibayar menurut harganya. Adapun
jika barang tersebut ada pada penjual, hendaknya diberi bandingannya itu oleh pembeli.
Demikian juga menurut salah satu riwayat Hanbali dan Maliki.
Sedangkan pendapat Hanafi : jika barang sudah rusak, tidak perlu disumpah, dan
perkataan atau pengakuan yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli. Demikian juga
menurut pendapat Maliki dan Hanbali dalam riwayat lainnya.
Zufar dan Abu Tsawr berpendapat: dalam keadaan demikian, yang dibenarkan adalah
pengakuan pembeli. Syafi'i dan Ibn Suraij berpendapat: yang dibenarkan adalah
pengakuan si penjual.

Perselisihan yang terjadi antara ahli waris si penjual dan ahli waris si pembeli hukumnya
disamakan dengan ini.

Hanafi berpendapat: jika barang yang dijual berada di tangan ahli waris si penjual,
keduanya bersumpah. Adapun jika sudah berada di tangan ahli waris si pembeli,
diterimalah pengakuanya dengan sumpah. Jika yang dijadikan perselisihan adalah
masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka waktunya, atau masalah syarat
khiyar atau jangka waktunya, keduanya disumpah. Demikian menurut Syafi'i dan Maliki.
Sedangkan pendapat Hanafi danHanbali : tidak ada sumpah dalam syarat-syarat ini, dan
pengakuan yang diterima adalah pengakuan yang meniadakan.
Apabila seseorang menjual suatu barang dengan harga yang berada dalam
tanggung jawab pembeli, lalu mereka berselisih, kemudian penjual berkata: “Aku tidak
akan menyerahkan barang ini sebelum aku terima bayarannya.” Pembeli mengatakan:
“Aku belum mau membayar harga sebelum menerima barang.”
Maka dalam hal ini Syafi'i memiliki beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih
adalah penjual dipaksa untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar
harganya.
Pendapat lain, bahwa yang dipaksa adalah si pembeli. Menurut pendapat lain,
tidak ada paksaan. Adapun jika salah seorang menyerahkan, yang lain harus dipaksa
untuk membayar. Dalam hal ini, menurut pendapat Syafi'i, keduanya harus dipaksa.
Sedangkan Hanafi dan Maliki berpendapat: pembeli harus dipaksa lebih dahulu untuk
membayar harganya.

Apabila barang yang dijual telah rusak sebelum diterima oleh pembeli karena terkena
bencana alam, jual beli menjadi batal. Demikian menurut Hanafi dan Syafi'i.
Menurut pendapat Maliki dan Hanbali: apabila barang yang dijual itu bukan berupa
barang yang ditakar atau ditimbang, maka dihitung menjadi tanggung jawab si pembeli.
Apabila barang tersebut dirusak oleh orang lain, dalam hal ini Syafi'i mempunyai
beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih: penjualan tidak batal, tetapi
pembeli diberi hak untuk memilih antara memaksa orang yang merusak barang tersebut
untuk membayar kepadanya atau membatalkan pembelian, lalu orang yang merusak itu
dipaksa untuk membayar harga kepada penjual. Seperti itu juga pendapat Hanafi,
Hanbali, dan pendapat yang paling kuat dari Madzab Maliki.
Apabila barang dirusak oleh penjual sendiri, jual beli menjadi batal, seperti
barang yang terkena bencana alam. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi'i.
Hanbali berpendapat: jual beli tidak batal, tetapi penjual harus mengembalikan harganya,
dan jika barang yang dirusak itu ada padanannya, hendaknya diberikan.
Apabila barang yang dijual itu berupa buah-buahan yang masih di pohonnya, lalu
rusak setelah takhliyah [mengosongkan tempat yang dijual dari barang-barang si penjual
dan menyerahkan hak penguasaan kepada pembeli dengan, misalnya, menyerahkan
kunci], barang yang rusak itu menjadi tanggung jawab pembeli. Demikian menurut
Hanafi dan Syafi'i yang paling shahih.
Menurut Maliki : jika barang yang rusak itu kurang dari sepertiga, yang
menanggung kerusakan adalah pembeli sendiri. Dan jika lebih dari itu yang menanggung
adalah penjual. Sedangkan pendapat Hanbali : jika rusaknya disebabkan oleh bencana
alam, hal itu menjadi tanggung jawab penjual. Adapun jika dirampas atau dicuri orang,
hal itu menjadi tanggung jawab pembeli.
KESIMPULAN
Jual beli merupakan akad atau transaksi dimana pemindahan kekuasaan kepemilikan
suatu barang. Selain itu terdapat sayart ataupun rukun yang harus dipenuhi untuk mengesahkan
atau diterimanya akad jual beli yang telah dilaksanakan. Selain itu, kita juga tahu makna khiyar
dan macam-macamnya.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kita sebagai kaum terpelajar ataupub mahasiswa
sudah sepatutnya kita menggali atupun mencari makna dan wawasan mengenai iilmu tentang jual
beli ataupun khiyar. Selain untuk mendapat ilmu dan wawasan hal ini juga dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk bekal dalam menjalankan kegiatan.

Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma
hukum islam, akan mendapat berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam
islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagai
pahala, (b) bisnis dalam islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya
harta yang dimakan untuk dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam islam merupakan cara untuk
memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (d) berbisnis dengan
jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan sebagaimana yang diajarkan dalam
islam akan selalu menjalin persahabatan kepada sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agustianto,2011,Jual Beli dan Perdagangan,diakses dari
http://alhushein.blogspot.com/2011/12/jual-beli-dan-perdagangan.html, pada tanggal
18 maret 2020

2. Herdianto Dendy,2019,Jual Beli dalam Islam: Pengertian, Dalil, Syarat, dan


Kontemporer,Diakses dari https://qazwa.id/blog/jual-beli-dalam-islam/, pada tanggal
18 maret 2020 pukul 20.49
3. Rasjid Sulaiman, 2018, Fiqih Islam,Bandung: Sinar Baru Algensindo, hlm. 279-281
4. Syamsudin Muhammad,2018,Fiqih Jual Beli: Syarat Sah dan Macam-macamnya,
diakses dari https://islam.nu.or.id/post/read/94844/fiqih-jual-beli-syarat-sah-dan-
macam-macamnya, pada tanggal 18 maret 2020 pada jam 22:12
5. Shobirin, 2015,Jual Beli dalam Pandangan Islam, Bisnis Vol. 3 No. 2, hlm. 253-255
6. Zuhaili Wahbah,2010 Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi,
Abdul Hafiz, " Fiqih Imam Syafi'i", Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, hlm. 676.

Anda mungkin juga menyukai