Disusun oleh :
AMIRIKANA
NPM 1802010011
KELAS D
SEMESTER 6
UNIVERSITAS GAJAH PUTIH
2021
Tinjauan tentang perkembangan konsep – konsep mutu dan
penerapannya dalam industri konstruksi
Konsep tentang kontrol kualitas pertama kali tercatat di Mesopotamia semasa pemerintahan
raja Hammurabi pada (2123-2081 BC). Catatan tentang kontrol kualitas tersebut berbentuk
hukum – hukum yang mengatur masyarakat Babylonia pada masa itu, ditemukan dalam
bentuk prasasti setinggi 2.4 meter terbuat dari pelat batu. Salah satu point hukum tersebut
menyebutkan “seseorang membangun rumah, dimana rumah tersebut rubuh dan
mengakibatkan terbunuhnya si penghuni rumah itu, maka orang tersebut harus dihukum
mati”. Tentunya konsep seperti ini tidak cocok diterapkan sekarang.
Kemudian dengan adanya revolusi di Inggris pada awal abad ke 18, maka standar kontrol
kualitas menyebar dengan cepat. Revolusi industri ditandai dengan produksi barang secara
massal dan dengan menggunakan sistem mekanisasi. Sampai tahap ini pemilik perusahaan
sangat kesulitan untuk mengontrol semuanya secara langsung, sehingga muncul kebutuhan
akan adanya manajer. Para manajer ini berusaha keras untuk meningkatkan efisiensi pada
organisasi perusahaan.
Pada awalnya perkembangan konsep mutu berasal dari Amerika. Awalnya mutu ditentukan
oleh produsen, hal ini bisa terjadi karena pada awal perkembangannya tidak banyak produsen
yang menghasilkan suatu produk, sehingga konsumen memiliki opsi yang terbatas dalam
membeli suatu produk. Namun seiring dengan timbulnya persaingan maka paradigma mutu
bergeser menjadi “consumen oriented”. Mulanya ahli –ahli yang memfokuskan bidang
keilmuannya dalam hal mutu kurang ditanggapi dan didengar oleh publik Amerika. Namun
beberapa dari mereka merupakan pelopor dalam pengenalan dan pengembangan konsep
mutu. Sejak 1980 keterlibatan mereka dalam manajemen terpadu telah dihargai di seluruh
dunia. Tokoh tokoh yang berjasa dalam mengembangkan kualitas beserta konsep yang
mereka kembangkan akan diuraikan dibawah ini.
untuk memberikan ceramah tentang mutu. Pendekatan Deming dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Mutu utamanya dihasilkan sebagi hasil tindakan managemen senior bukan tindakan oleh
para pekerja
Sistem kerja yang mengukur bagaimana unjuk kerja terbentuk dan hanya manager yang
dapat menghasilkan sistem.
Hanya Manajer yang dapat mengalokasikan sumber daya, memberikan pelatihan kepada
pekerja, memilih peralataan yang pekerja gunakan dan memberikan lingkunag kerja yang
mendukung proses mutu.
Hanya manajer senior yang dapat memperkirakan pasa dimana perusahaan akan
berpartisipasi dan produk apa yang akan diberikan ke pasar.
Hal ini berarti bahwa tanpa keterlibatan pimpinan secara aktif tidak mungkin tercapai
manajemen mutu terpadu.
Mengunjungi Jepang pada tahun 1945. Di Jepang Juran membantu pimpinan Jepang di dalam
menstrukturisasi industri sehingga mampu mengekspor produk ke pasar dunia. Ia membantu
Jepang untuk mempraktekkan konsep mutu dan alat-alat yang dirancang untuk pabrik ke
dalam suatu seri konsep yang menjadi dasar bagi suatu “management process” yang terpadu.
Juran mendemonstrasikan tiga proses manajerial untuk mengelola keuangan suatu organisasi
yang dikenal dengan trilogy Juran yaitu, Finance Planning, Financial control, financial
improvement. Adapun rincian trilogy itu sebagai berikut( Juran 1954):
Quality planning, suatu proses yang mengidentifikasi pelanggan dan proses yang akan
menyampaikan produk dan jasa dengan karakteristik yang tepat dan kemudian mentransfer
pengetahuan ini ke seluruh kaki tangan perusahaan guna memuaskan pelanggan.
Quality control, suatu proses dimana produk benar-benar diperiksa dan dievaluasi,
dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan para pelanggan. Persoalan yang
telah diketahui kemudian dipecahkan, misalnya mesin-mesin rusak segera diperbaiki.
Quality improvement, suatu proses dimana mekanisme yang sudah mapan dipertahankan
sehingga mutu dapat dicapai berkelanjutan. Hal ini meliputi alokasi sumber-sumber,
menugaskan orang-orang untuk menyelesaikan proyek mutu, melatih para karyawan yang
terlibat dalam proyek mutu dan pada umumnya menetapkan suatu struktur permanen untuk
mengejar mutu dan mempertahankan apa yang telah dicapai sebelumnya.
Uraian tokoh-tokoh mutu di atas sekedar menggambarkan secara singkat saja. Masih banyak
para sarjana di bidang mutu yang tidak sempat ditulis pada kesempatan ini. Yang jelas para
sarjana tersebut sependapat bahwa konsep : “pentingnya perbaikan mutu secara terus
menerus bagi setiap produk walaupun teknik yang diajarkan berbeda-beda”.
C. DEFINISI MUTU
Menurut America Society for Quality Control yang mengatakan : Quality is the totality of
features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisty stated of
implied needs (Kotler : 1994).
Menurut para pakar mutu di dunia, ada beberapa definisi mutu :
Mutu didefinisikan sebagai kesesuain dengan persyaratan atau keunggulan yang
dipublikasikan “quality is defined as conformance to requirements, not as goodness or
elegance” Philip B. Crosby (1992). Mutu berarti pemecahan masalah untuk mencapai
penyempurnaan terus-menerus, “create constancy of purpose for continual improvement of
products and service” W. Edwards Deming (1984). "Quality" means those features of
products which meet customer needs and thereby provide customer satisfaction. In this sense,
the meaning of quality is oriented to income. The purpose of such higher quality is to provide
greater customer satisfaction and, one hopes, to increase income. However, providing more
and/or better quality features usually requires an investment and hence usually involves
increases in costs. Higher quality in this sense usually "costs more". "Quality" means
freedom from deficiencies-freedom from errors that require doing work over again (rework)
or that results in field failures, customer dissatisfaction, customer claims and so on. In this
sense, the meaning of quality is oriented to costs, and higher quality usually "costs
less"." Joseph M. Juran (1951). “The quality of a product (article or service) is its ability to
satisfy the needs and expectations of the customers” Bergman and Klefsjo (1994)
Menurut ISO 9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat karakteristik yang melekat pada produk
yang mencukupi persyaratan atau keinginan. Karakteristik disini berarti hal-hal yang dimiliki
produk, antara lain :
1. Karakteristik fisik ( elektrikal, mekanikal, biological) seperti handphone, mobil, rumah, dll.
2. Karakteristik perilaku ( kejujuran, kesopanan ). Ini biasanya produk yang berupa jasa seperti
di rumah sakit atau asuransi perbankan.
3. Karakteristik sensori ( bau, rasa ) seperti minuman dan makanan.
D. KEUNTUNGAN MUTU
Banyak yang menganggap bahwa produk yang bermutu adalah pemborosan semata. Namun
nyatanya, dapat dibuktikan bahwa membuat produk yang bermutu itu justru mendatangkan
manfaat/keuntungan bagi perusahaan.
1. Keuntungan peningkatan pasar.
Dengan berfokus pada mutu, maka akan terjadi perbaikan dari segi performance, feature, dan
reability. Misalnya, pada perusahaan keramik akan terjadi produk keramik yang semakin kuat
dan mudah menempel sehingga akan terjadi peningkatan reputasi mutu produk. Dari sana
produk keramik tersebut akan semakin dikenal dan diakui sebagai keramik yang mudah
dipasang dan tidak mudah retak. Kemudian akan terjadi peningkatan pangsa pasar karena
produk semakin terkenal atau karena terjadi peningkatan harga produk karena permintaan
produk semakin besar ( efek brand ), peningkatan harga atau pangsa pasar tersebut
menyebabkan peningkatan keuntungan.
2. Mengurangi biaya
Sementara jika keuntungan mutu ditinjau dari segi biaya adalah dengan berfokus kepada
mutu maka perusahaan akan semakin meningkatkan kinerja produksinya. Kinerja produksi
yang tinggi membuat tingginya produktifitas, rendahnya biaya garansi atau cacat produksi.
Hal ini kemudian membuat biaya manufaktur yang rendah dan biaya servis yang kecil pula
sehingga berdampak sangat besar dalam penghematan biaya.
Contoh klasik penerapan manajemen mutu pada industri konstruksi adalah pada perusahaan
konstruksi Jepang. Sejalan dengan penerapan sistem manajemen mutu pada industri
manufaktur, industri konstruksi Jepang juga tidak mau ketinggalan untuk menerapkan prinsip
– prinsip manajemen mutu, sehingga Perusahaan konstruksi Jepang mendapatkan
kepercayaan untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur di seluruh dunia.
Hal ini dibuktikan dengan pengamatan para ahli (e.g Andrews, 1973; Paulson dan Aki, 1980;
Bennet et.al. 1987; Hasegawa, 1988, Levy, 1990, 1993, dalam Rashid (2002) bahwa
Perusahaan Kontraktor besar di Jepang merupakan pemimpin dalam penerapan Total Quality
Management secara domestik,
sehingga membuat suatu patokan untuk perusahaan – perusahaan dari negeri lain untuk
mencontohnya. Hal ini bisa terjadi karena lingkungan kerja di Jepang sangat mendukung
sehingga kualitas merupakan fokus utama dalam proses konstruksi.
Berikut akan dijelaskan tahapan – tahapan pengendalian mutu yang dilakukan oleh
perusahaan konstruksi Jepang terhadap suatu Proyek (Rashid, 2002) :
1. Proses
Sampai tahun 1973 kualitas konstruksi di Jepang sangat menimbulkan keprihatinan bagi
pengguna jasa dan juga masyarakat (Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Kemudian industri
konstruksi Jepang bereaksi positif dengan memperkenalkan jaminan kualitas secara formal
seperti Kajima’s Company Wide Quality Control (CWQC) dan Obayashi’s SK. Mencoba
membuktikan kepada pihak – pihak yang skeptis seperti Hippoh (1983) yang menyatakan
bahwa hal ini adalah sesuatu yang sementara, komitmen kontraktor Jepang terhadap kualitas
sampai hari ini tetap tidak berkurang.
Levy (1993) memperhatikan bahwa kualitas tersebut tetap dipertahankan walaupun untuk
proyek di luar negeri. Malah 75 % dari perusahaan – perusahaan konstruksi Jepang
yangberoperasi di luar negeri mempunyai manual proyek managemen untuk operasi di luar
negeri. Dalam manual tersebut memuat metode kerja konstruksi yang direkomendasikan,
pengawasan dan pihak yang bertanggungjawab terhadap pengawasan tersebut. Juga
disebutkan bahwa rapat kontrol mutu dengan subkontraktor juga harus dilakukan secara
teratur.
1. Rutin Kerja
Komitmen terhadap kualitas oleh kontraktor Jepang menghasilkan ketelitian yang tinggi pada
detil dan pendekatan secara terstruktur pada kerja (Levy, 1990). Gambar – gambar rencana
yang disiapkan oleh arsitek akan di cek ulang oleh kontraktor Jepang dan bila perlu dilakukan
koreksi (Hasegawa, 1988). Perhatian manajemen akan bergerak dari kantor pusat ke lapangan
sejalan dengan progres kerja lapangan yang meningkat (Andrews, 1973; Paulson dan Aki,
1980; Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Ketika pekerjaan dimulai, semua tugas termasuk
pembelian material, pembayaran gaji, pengambilan tenaga kerja dan pekerjaan desain
dilakukan di lapangan. Pekerjaan yang berkualitas tinggi tersebut juga dihasilkan dari
penempatan manajemen lapangan dengan kualifikasi sangat berpengalaman dalam jumlah
banyak (Andrews, 1973; Hasegawa, 1988; Levy, 1990).
Walaupun demikian biaya overhead dalam pembayaran tenaga berpengalaman tersebut dapat
tertutupi oleh pencegahan terhadap penundaan pekerjaan dan pengulangan pekerjaan akibat
kesalahan kerja. Kualitas di ukur dan dipertahankan melalui sejumlah tes yang sudah
direncanakan dengan secara detail dan hati – hati. Ide yang paling menarik untuk suatu
pemecahan masalah didiskusikan dalam suatu presentasi perusahaan, dan jika terbukti benar
justru akan menjadi pedoman kerja perusahaan yang baru.
1. Pengendalian Biaya
Di Jepang, Kontrak didasarkan atas basis Lump Sum (Hasegawa, 1988). Bennet et.al. (1987)
memberikan opini bahwa di Jepang jika kriteria waktu dan mutu terpenuhi, maka masalah
biaya akan jadi pertimbangan kedua. Dengan kata lain prioritas biaya dikalahkan oleh
prioritas lain yang lebih penting. Meskipun ketika variasi desain mengakibatkan penambahan
biaya, kontraktor masih ragu untuk melakukan klaim akibat tambahan biaya yang diakibatkan
klien (Levy, 1990). Penambahan nilai kontrak dilakukan melalui negoisasi yang bersahabat
atas pertimbangan yang masuk akal dan pada posisi sederajat. Kalau cara seperti tadi tidak
berhasil, maka kontraktor akan berusaha mencari cara lain dalam pelaksanaan lapangan untuk
menutupi tambahan biaya ini ( Levy, 1990).
Konsep tentang manajemen kualitas lahir dari tuntutan konsumen tehadap produk berkualitas.
Diawali di sektor manufaktur, ternyata kebutuhan akan manajemen kualitas juga mendesak
untuk diterapkan di industri konstruksi. Dengan sejumlah karakteristik unik yang
membedakan antara industri manufaktur dan konstruksi, sehingga diperlukan sedikit
modifikasi agar penerapan prinsip - prinsip manajemen kualitas dapat dilakukan dengan
sempurna di Industri konstruksi.
Negara yang disebut menjadi pioneer dalam hal pengembangan manajemen mutu di industri
konstruksi adalah Jepang. Prinsip – prinsip utama dalam manajemen mutu seperti TQM, Six
Sigma, Kaizen dan lainnya secara konsisten telah di terapkan oleh perusahaan Konstruksi
Jepang. Kondisi tersebut tentunya bukan didapat dalam jangka waktu semalam. Dibutuhkan
komitmen, totalitas dan kesepahaman bersama antara stake holder, penyedia jasa dan
pengguna jasa di industri konstruksi Jepang untuk mewujudkan kondisi tersebut.
Setelah memulai sejak tahun 1973, sekarang perusahaan konstruksi Jepang telah menikmati
status sebagai salah satu perusahaan terbaik di dunia dalam industri jasa konstruksi dikaitkan
dengan kualitas pekerjaan. Akibat turunan yang didapat perusahaan konstruksi Jepang dapat
merebut pangsa pasar dari industri konstruksi global.
Jika Indonesia ingin menjadi pemain global dalam industri konstruksi, beberapa hal yang
diterapkan Jepang dalam manajemen mutu seperti diuraikan diatas dapat di coba untuk
diterapkan.
Daftar Pustaka
Ahmed, S.M, and Aoieong, R (2005), ”Comparison of quality management systems in the
construction industries of Hong Kong and the USA”,(online), Vol. 22 No.2,
(http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)
Bart A.G. Bossink, “Innovative quality management practices in the Dutch construction
industry”, (online), Volume 19, No. 8, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari
2011)
Latief. Y dan Utami. R.P. (2009), “Penerapan pendekatan metode six sigma dalam penjagaan
kualitas pada proyek konstruksi”,(online), Vol. 13 No. 2, (http://www.emeraldinsight.com,
diakses 12 Februari 2011)
Low,S.P. and Omar, H.F (1997), “The effective maintenance of quality management systems
in the construction industry”,(online), Volume 14, No.8, (http://www.emeraldinsight.com,
diakses 12 Februari 2011)
Low, S.P and Hong, S.H, (2005). “Strategic quality management for the construction
industry”,(online), Vol. 17 No.1, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)
M.N. Nasution (2010) Manajemen Mutu Terpadu. Edisi kedua.Ghalia Indonesia, Bogor.
Rashid.A, (2002),“ The realities of applying total quality management in the construction
industry”, (online), Volume 20 No.2, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari
2011)
Soekiman, A, (2011), “Bahan – bahan kuliah Manajemen Mutu”