Anda di halaman 1dari 4

Kabupaten Banjarnegara memiliki banyak kegiatan adat dan tradisi yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya dan

bertujuan untuk menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung ke Banjarnegara, sehingga sektor wisata bisa lebih
maju dan berkembang. Berkut adalah beberapa berita online tentang kegiatan adat dan tradisi tersebut yang telah
diterbitkan di Koran Online.

Nyadran Gedhe di Banjarnegara, Menjaga Tradisi Menghormat Leluhur


DetikNews. Berita JATENG

Banjarnegara - Ratusan warga berduyun-duyun membawa hasil bumi ke petilasan Girilangan di Desa Gumelem Wetan,
Kecamatan Susukan, Banjarngera, Senin (14/5/2018). Tradisi Nyadran Gedhe yang dilakukan rutin tiap tahun untuk
menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

Membawa hasil bumi lengkap dengan pakaian adat jawa, warga dari berbagai desa menggelar ritual selamatan. Juru
kunci makam Girilangan, Ahmad Sujari, menceritakan bahwa tradisi Nyadran Gedhe dimaksudkan untuk mendoakan
arwah leluhur. Biasanya dilakukan hari Senin atau Kamis terakhir di Bulan Ruwah atau Sya'ban.
"Ruwah itu artinya ruh dan arwah. Makanya kami sebelum memasuki Bulan Ramadan mendoakan arwah leluhur.
Setelah itu baru menyantap hasil bumi sebagai tanda syukur terhadap sang pencipta," terangnya.

Menurutnya, tradisi nyadran yang berkembang saat ini adalah bentuk pelestarian kegiatan dari jaman kademangan.
Termasuk masyarakat yang membawa hasil buminya yang kemudian dibawa ke petilasan untuk dinikmati bersama.

"Hasil bumi ini sebagai tanda syukur masyarakat atas apa yang telah mereka terima. Isinya beragam, dari sayur-sayuran,
hingga hasil peternakan seperti ayam. Jumlahnya sekitar 400 lebih," ujarnya.
Lebih rinci, ia menyebutkan untuk persiapan lain adalah menyediakan nasi golong menir, ambeng menir, ambeng intip,
ambeng beras ketan dwiwarna, pecel ayam cemani, trancam terong aor, sayur bening daun kelor, tempe goreng adem,
golong pitu, sate kambing, peyek pethek.

Tak ketinggakan adalah pendul yang terbuat daging dicampur ampas kelapa muda dan kelapa muda diberi lubang diisi
gula kelapa.
Salah satu warga Gumelem Wetan, Sumarni (50) menuturkan dirinya membawa tumpeng dengan beraneka lauk.
Tujuannya, untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal dunia.
"Makanan ini dimakan bersama di petilasan Girilangan. Kemudian sebagian dibawa pulang sebagai berkah sebelum
menjalakan ibadah puasa di bulan Ramadan," tuturnya. (mbr/mbr)
Begini Gambaran Prosesi Potong Rambut Gimbal di Dieng Banjarnegara, Tetap Sakral Meski
Sederhana
Kamis, 17 September 2020 17:59
Berita Banjarnegara

TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA - Prosesi potong rambut gimbal menjadi sajian


penutup Dieng Culture Festival 2020 di kompleks Rumah Budaya Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Kamis (17/9/2020).
Meski hanya diikuti tiga anak berambut gimbal, ritual tersebut tetap sakral.
Protokol kesehatan diterapkan selama kegiatan berlangsung.

Mereka yang sebagian berpakaian adat Jawa mengenakan pelindung wajah, baik face shield maupun masker selama
prosesi berlangsung.
Sesepuh Adat Dieng, Mbah Sumanto mengatakan, pandemi Covid-19 membuat prosesi pemotongan rambut gimbal
dilakukan secara sederhana.
Tetapi kesederhanaan acara itu tetap tidak mengurangi makna.
Urutan prosesi dari ruwatan sampai pemotongan rambut pun dilakukan secara lengkap.
Bahkan, sebelum dilaksanakan pemotongan rambut gimbal, sesepuh adat melakukan ritual laku lampah atau napak tilas
ke tempat-tempat yang dikeramatkan.
"Prosesi dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya."
"Hanya biasanya pemotongan rambut gimbal dilaksanakan di Candi Arjuna, untuk kali ini
kompleks Rumah Budaya Dieng," katanya kepada Tribunbanyumas.com, Kamis (17/9/2020).

Tiga anak yang dipotong rambutnya dalam prosesi pemotongan rambut gimbal seperti biasa memiliki permintaan yang
harus dipenuhi.
Ada yang meminta handphone, tablet, kalung, bahkan ada yang hanya meminta makanan buntil dan bakso.
Di prosesi itu, Mbah Sumanto juga tidak lupa menyematkan doa untuk keselamatan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Dia berharap mewabahnya Covid-19 di seluruh negeri segera berakhir sehingga keadaan bisa kembali normal seperti
sediakala.

Wakil Bupati Banjarnegara, Syamsudin mengapresiasi berjalannya DCF di tahun ini di tengah pandemi.


Meski digelar secara sederhana secara terbatas dan virtual, tetapi acara bisa berjalan sukses dan lancar hingga selesai.
"Masyarakat akan mengenang semangat DCF yang digelar di tengah pandemi Covid-19 ini," ujarnya
kepada Tribunbanyumas.com, Kamis (17/9/2020).
Wabup mengatakan, secara kuantitas anak berambut gimbal yang mengikuti DCF tahun ini jumlahnya lebih sedikit dari
gelaran sebelumnya.
Akan tetapi, untuk kualitas prosesi dinilainya masih tetap sama, serta dikemas dengan baik dan khidmat.
"Pada gelaran yang lalu lebih dari 10 anak mengikuti prosesi potong rambut gimbal."

"Untuk tahun ini hanya tiga orang anak yang dipotong rambutnya," terangnya. (Khoirul Muzakki)

Artikel ini telah tayang di Tribunbanyumas.com dengan judul Begini Gambaran Prosesi Potong Rambut Gimbal di Dieng
Banjarnegara, Tetap Sakral Meski Sederhana, https://banyumas.tribunnews.com/2020/09/17/begini-gambaran-prosesi-
potong-rambut-gimbal-di-dieng-banjarnegara-tetap-sakral-meski-sederhana?page=3.
Penulis: khoirul muzaki
Editor: deni setiawan
Cowongan, Tradisi Langka Meminta Hujan di Banjarnegara
DetikNews.Berita JAWATENGAH

Uje Hartono - detikNews


Rabu, 30 Okt 2019 05:31 WIB

Banjarnegara - Sebuah tradisi unik yang dilakukan warga Dusun Semayun, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan,
Banjarnegara, saat kemarau panjang. Tradisi tersebut adalah cowongan, yang dimaksudkan untuk memanggil hujan.

Dalam tradisi ini, ada dua perempuan yang bertugas membawa gayung dari batok kelapa berkeliling desa. Batok kelapa
tersebut dibalut rapat dengan bunga kemboja.

"Keliling desa ini maksudnya untuk mencari sumber air. Karena tradisi ini memang untuk memanggil hujan," kata
sesepuh Desa Gentansari Ismoyo saat ditemui di sela-sela tradisi cowongan, Selasa (29/10/2019) malam.

Gayung dengan batok kelapa ini baru berhenti saat menemukan air yang telah disediakan sebelumnya. Uniknya, saat
ritual, warga justru lari menghindari cowongan  tersebut.

"Jadi nantinya cowongan  ini berhenti di tempat khusus yang sudah diberi air. Memang ada mitos kalau
terkena cowongan  tersebut akan kurang baik. Tapi itu hanya mitos," tuturnya

Ada dua cowongan  yang dibawa keliling desa untuk mencari sumber air. Hanya, hal ini dilakukan bergantian. Sedangkan
satu cowongan  dibawa perempuan berusia lanjut.

"Kenapa yang membawa itu perempuan berusia lanjut, karena yang dianggap sudah suci atau sudah tidak menstruasi.
Jadi yang sudah lanjut usia atau anak kecil sekalian," jelasnya.

Tradisi ini dilakukan tujuh malam berturut-turut. Biasanya dilakukan saat sudah memasuki musim tanam, namun hujan
belum juga turun. Harapannya, dengan tradisi ini, bisa segera turun hujan.

"Tradisi ini tidak dilakukan setiap tahun, hanya kalau terjadi kemarau panjang hingga musim tanam. Terakhir dilakukan
pada 2014. Dan dilakukan tujuh malam berturut-turut. Sekarang malam pertama," terangnya.

Salah satu warga Desa Gentansari, Tukijah, mengatakan tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun. Ia pun percaya tradisi
ini salah satu upaya untuk memanggil hujan.

"Ini tradisi untuk memanggil hujan sejak dulu. Di sini sudah sekitar 6 bulan belum hujan," ujarnya.
Tradisi Ujungan, Adu Pukul Rotan dan Janji Manusia kepada Tuhan
Liputan6.Com
Muhamad Ridlo
29 Sep 2018, 17:00 WIB

Dua pria bertarung adu pukul rotan dalam tradisi Ujungan, ritual minta hujan masyarakat Banjarnegara.
(Liputan6.com/Yusmanto/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Dua pria dewasa berhadap-hadapan dengan sikap siaga di tengah kepungan lautan
manusia. Keduanya tak mempedulikan terik matahari di tengah tradisi ujungan, ritual minta hujan itu.
Masing-masing memegang bilah rotan di tangan kanan. Terikat kain pengaman di tangan kiri yang berfungsi sebagai
perisai.
Di antara kedua, berdiri seorang wlandang atau wasit. Wasit inilah yang mengatur jalannya pertarungan dalam tradisi
ujungan di Kemranggon, Susukan, Banjarnegara, Jumat, 28 September 2018.
Lantas, keduanya saling adu pukul. Perih dan ngilu dirasakan kedua petarung yang berasal dari desa berbeda ini, tetapi
keduanya tak mengeluh.
Tak ada yang kalah menang dalam peratarungan adu pukul rotan ini. Semuanya adalah bagian prosesi ritual ujungan
yang merupakan ritual minta hujan.

"Ujungan bukan pertandingan, jadi tidak ada yang kalah menang. Setelah pertandingan peserta juga saling memaafkan
dan tidak ada dendam," ucap Ketua Dewan Kesenian Susukan, Yusmanto, kepada Liputan6.com, Jumat, 28 September
2018.
Yusmanto mengatakan ritual ujungan diikuti oleh wakil desa-desa yang berada di Kecamatan Susukan. Mereka bertarung
di gelanggang terbuka di tengah tanah lapang.
Lantaran dimulai ketika matahari sudah tergelincir ke barat, pada tradisi ujungan kali ini, hanya ada 10 peserta yang
bertarung alias lima pasang. Sebanyak 10 peserta itu berasal dari 10 desa yang ada di Kecamatan Susukan.
"Dibatasi sampai jam 5 sore. Jadi hanya ada lima pasang. Sebetulnya masih banyak yang akan ikut ujungan," dia
menjelaskan ritual minta hujan tradisi masyarakat Susukan, Banjarnegara ini.

Pesan Mulia di Balik Tradisi Ujungan

Dua pihak akan berdamai seusai pertarungan, meski kadang ada yang menderita cedera. Cedera dalam prosesi ujungan
dimaknai sebagai doa dan harapan.
Yusmanto menjelaskan, ujungan adalah sebentuk ritual perlambang ungkapan keluh kesah kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Rasa perih dan sakit akibat sabetan rotan adalah jerit tangis manusia setelah lama didera kemarau panjang.
Manusia memanjatkan doa agar Tuhan segera menurunkan hujan. Ritual ini adalah janji manusia kepada Tuhan, demi
menghindari penderitaan, mereka akan melestarikan Bumi.
"Manusia ingin kehidupan yang lebih baik, lebih baik lagi dan berjanji hidup lestari dengan bersahabat dengan alam
semesta," dia mengungkapkan.
Di wilayah Kabupaten Banjarnegara, tradisi ujungan berkembang di wilayah Kademangan, dimana kehidupan
masyarakat banyak bergantung pada aliran sungai Gumelem dan mata air gunung berbatu.
Tradisi ini diduga merupakan warisan kebudayaan ketika Kerajaan Majapahit berjaya, alias berasal dari ratusan tahun
silam. Ritual ujungan digelar tiap tahun pada puncak kemarau, agar hujan segera tiba.
Festival Ujungan dimulai sejak Rabu (26/9/2018) lalu dengan berbagai rangkaian tradisi. Festival Ujungan dilanjutkan
malam harinya dengan pentas seni, mulai seni modern hingga tradisional pada Jumat malam.
Dihadwalkan tampil, ensambel musik Mexico dari Grup Nayeche pimpinan Leon Gilberto Medelin Lopez, penari lengger
dari Jepang Jurry Suzuki, dan Sendratari Ujungan dan Barongsay pada malam harinya.
Pada Sabtu (29/9/2018) pukul 10.00 WIB, digelar ruwat bumi yang dipercaya sebagai media untuk menetralisir energi
negatif dari alam. Acara itu berlanjut dengan pentas wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Pepeng dengan cerita
lahirnya Gatotkaca.
Pengunjung juga bisa menyaksikan agenda hiburan lainnya, atau bahkan turut serta dalam kegiatan menarik lain,
Misalnya, atraksi Gropyok Iwak, sepeda santai dan lomba mancing. Rangkaian Festival Ujungan ditutup dengan pesta
kembang api pada Minggu malam (30/9/2018).

Anda mungkin juga menyukai