Anda di halaman 1dari 6

HARMONISASI AIR TRAFFIC FLOW MANAGEMENT DAN

AIRPORT COLLABORATIVE DECISION MAKING

DISUSUN OLEH:

Nama : Ni Made Dewivia Brahmantika


NIT : 31418016
Mata Kuliah : Collaborative Decision Making
Dosen : Ari Satria Saputra, S.E., M.M.

PROGRAM STUDI D.IV PEMANDUAN LALU LINTAS UDARA


ANGKATAN 25 ALPHA
JURUSAN KESELAMATAN PENERBANGAN
POLITENIK PENERBANGAN INDONESIA
CURUG - TANGERANG
2021
Air Traffic Flow Management (ATFM) adalah suatu pelayanan lalu lintas
udara yang aman, teratur dan efisien dalam rangka menjaga jumlah traffic agar
tidak melebihi kapasitas yang telah ditentukan sehingga penundaan yang terjadi
di udara (air delay) maupun penundaan didarat (ground delay) tidak melebihi dari
toleransi delay yang diterima dimana ATFM memastikan kapasitas pengaturan
lalu lintas udara dan kapasitas bandar udara semaksimal mungkin . Tujuan ATFM
dalam Human Factor in Air Traffic Control Digest No 8 “is not to control
airborne aircraft but to minimize delays by allocating departure slots and routes
still on the ground”. ATFM lebih diaplikasikan dalam menangani traffic flow
yang terdapat di darat daripada di udara. ATFM tidak dapat berdiri sendiri
sehingga diperlukan adanya kerjasama antar stakeholder yaitu Air Traffic Sevice
Unit, Regulator, Militer, Meteorological Unit, Airport, Ground Handling maupun
Airlines.

Prinsip yang digunakan oleh ATFM dalam melalukan pelayanan, antara lain :

1. Optimalisasi kapasitas Airport dan Airspace


2. Keuntungan operasional dan efisiensi global
3. Koordinasi tepat waktu dan efektif antar stakeholder
4. Kolaborasi internasional untuk seamless Air Traffic Management (ATM)
5. Keadilan dan transparansi
6. Sistem prediksi dan memaksimalkan kegiatan ekonomi
7. Teknologi dan prosedur untuk peningkatan kapasitas dan efisiensi
8. Berkembang secara konstan

Manfaat yang didapatkan ketika menerapkan ATFM dalam memberikan


pelayanan lalu lintas dari sisi sosial yaitu meningkatkan kualitas perjalanan udara,
meningkatkan pembangunan ekonomi melalui efisiensi dan efektivitas biaya, dan
mengurangi emisi gas CO2, selain itu dari sisi operasional yaitu meningkatkan
keselamatan, meningkatkan efisiensi, mengelola kapasitas (capacity) dan
permintaan (demand) yang efektif, meningkatkan situational awareness antar
pemangku kepentingan (stakeholder), serta mengurangi pemakaian bahan bakar
dan biaya operasional airlines. Namun, untuk mengoptimalkan manfaat dari
ATFM yang disertai dengan kapasitas ruang udara dan bandar udara guna
pengoperasian penerbangan yang lebih efektif dan efisien di Indonesia, ATFM
memerlukan konsep dan kerjasama antar stakeholder di bandara untuk saling
berbagi informasi kepada pihak dan waktu yang tepat sehingga diwujudkan
melalui kolaborasi dengan Airport - Collaborative Decision Making (A-CDM).

Objectives dari ACDM :

1. Improved Predictability
2. Improved On Time Performance
3. Reduce Ground Movement Costs
4. Optimize / enhance use of ground handling resources
5. Optimize / enhance use of stand, gate and terminal
6. Optimize the use of airport infrastructure and reduce congestion
7. Reduce ATFM Slot Wastage
8. Flexible predeparture planning
9. Reduce apron and taxi way congestion

Sebelum diberlakukannya kolaborasi antara A-TFM dengan A-CDM terdapat


ketidakefisiensian dalam kegiatan pelayanan lalu lintas udara sehingga
penggunaan airport infrastructure menjadi tidak optimal, selain itu data yang
tersedia seringkali tidak digunakan, dan lebih mengarah pada sikap reactive
dibandikan dengan proactive. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya gambaran
terkait suatu kondisi terhadap apa yang dilakukan dengan hanya menunggu
informasi, tidak adanya planning, kurangnya prosedur yang dipahami, dan
terdapat pemahaman yang berbeda. Seringkali kasus yang terjadi di lapangan
yaitu :

1. Airport dan ATC tidak mengetahui kapan pesawat terbang siap untuk
berangkat tetapi Ground Handling mengetahui
2. Airlines tidak mengetahui kapan pesawat dapat melakukakn start up
engine hingga mendapatkan ATC Clearance karena ATC membutuhkan
planning terlebih dahulu
3. Airport dan Ground Handling hanya mengetahui estimate time arrival
ketika pesawat tersebut telah memasuki FIR boundary tetapi pesawat telah
mengetahui lebih awal
Terdapat perbedaan definisi diantara stakeholder dimana pengertian dari
Estimated Time Arrival (ETA) oleh ATC yaitu waktu diperkirakan pesawat akan
mendarat tetapi untuk Ground Handling, Aiport dan Airlines adalah waktu
pesawat telah sampai pada parking stand , sedangkan Estimated Timed Departure
(ETD) oleh ATC yaitu waktu yang diperlukan untuk take – off tetapi untuk
Ground Handling, Airport dan Airlines merupakan waktu pushbck dari parking
stand.

Dari beberapa kasus tersebut, dapat diatasi dengan adanya kolaborasi


antara A-TFM dengan A-CDM sehingga dapat memaksimalkan pelayanan lalu
lintas udara yaitu meningkatkan predictability, meningkatkan on – time
performance, mengurangi ground movement costs, meningkatkan ground handlig
resources, mamaksimalkan penggunaan parking stand, gate, dan terminal,
mengoptimalkan penggunakan airport infrastructure sehingga mengurangi
kemacetan, mengurangi pemborosan terhadap slot ATFM, predeparture planning
yang fleksibel, dan mengurangi kemacetan di area apron dan taxiway. Terdapat 3
strategi utama dalam pembentukan A-CDM yaitu mengembangkan kompetensi
dari sumber daya manusia yang tergabung dalam stakeholder di lingkungan
bandara, mengintegerasikan Air Traffic Management dan ground processes
sehingga dapat memaksimalkan pengoperasian pelayanan bandar udara, serta
mengembangkan teknologi yang dapat mendukung penyebaran data sehingga
dapat tersampaikan tepat waktu.

Stakeholder dapat mengakses data dengan tepat waktu dengan pertukaran


data melalui common interfaces dimana data tersebut dapat mendukung pencapain
A-CDM sehingga dapat membantu meningkatkan situational awareness.
Penggunaan Aviation Information Data Exchange (AIDX) juga dapat
dimanfaatkan ketika melakukan pertukaran data diantara stakeholder yang
menggunakan comercial flight identification.

Proses A-CDM diawali dengan penyebaran informasi antara stakeholder


terkait. Informasi tersebut meliputi proses kegiatan jelang saat mendarat, saat
mendarat, proses turn around sampai dengan take off. Proses turn around meliputi
16 milestone antara lain ATC flight plan activation (EOBT – 3 hours), EOBT – 2
hours, Local radar update, Final approach, Landing, In-block / Actual ground
handling starts, TOBT update prior to TSAT, TSAT issue, boarding starts, ARDT,
Start up request, Start up approved, Off – Block (AOBT), Take – off (ATOT).
Untuk dapat menghitung proses turn around di ground memerlukan data terkait
taxi in dan taxi out.

Kunci dari proses A-CDM agar dapat berjalan dengan baik adalah dapat
memprovide waktu berupa Target of Block Time oleh Airlines / Ground Handling
dan Target of Start Up Approval Time oleh ATC untuk dapat merencanakan pre-
departure sequence. Selain itu, A-CDM dapat membantu dalam situasi cuaca yang
buruk dalam rangka memprediksi dan merencanakan operasional penerbangan.
Sehingga proses A-CDM menjadi paripurna dengan ber-intergerasi dengan proses
A-TFM.
KESIMPULAN :

1. ATFM dan ACDM sangat penting untuk mengoptimalkan kapasitas ruang


udara dan bandar udara guna pengoperasian penerbangan yang efektif,
efisien disamping tetap mempertimbangkan masalah keselamatan dan
keamanan penerbangan.
2. Dalam pengharmonisan ATFM diperlukan suatu system yang terintegrasi
dan keterlibatan secara optimal dari setiap pemangku kepentingan dari unit
unit (Stakeholder) dibandara.
3. Manfaat harmonisasi dari ACDM dan ATFM akan dapat meningkatkan
prediksi dan ketepatan waktu operasional, optimasi kapasitas ruang udara,
runway, terminal, gates, optimasi waktu turn around dan
mengoptimalisasi pengelolaan sumber daya serta meningkatkan kualitas
informasi pada data public

SARAN :

1. Dalam penerapan ATFM dan ACDM perlu dibuat framework kegiatan


yang disepakati oleh pemangku kepentingan.
2. Sebelum penerapan ATFM dan ACDM perlu dilakukan uji coba dan
hasil uji coba di evaluasi sebagai dasar pengambilan keputusan kapan
rencana implemenatsi dilakukan.
3. Pelaksanaan ATFM – ACDM secara terus menerus di evaluasi dalam
rangka penyempurnaan system secara optimal.
4. Keterlibatan para Stakeholder perlu komitmen secara berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai