Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Otonomi Daerah


Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti
berdiri sendiri, dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu secara harfiah
otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari
pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses mensejahterakan rakyat”,
Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama komponen
wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang
mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi.
2.2. Latar Belakang Timbulnya Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi
yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde
baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta.
Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat
bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam

4
mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat
semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta
sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang
ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta
dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan
kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk
aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari
APBN.
Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan
sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan
kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada
sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan
pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya
kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD
menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat,
asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan
kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU
No.5/1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut
merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-
undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara
pusat dan daerah,Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

5
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan
membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan.
Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk
mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu
sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk
mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat darinya.
2.3. Permasalahan Yang Muncul dari Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak
persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang
muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang
harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.
Beberapa persoalan itu adalah:
1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang
tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara
aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan
juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu
ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang
mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya
manusia kualitatif. Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek
finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu
sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat.

6
Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang
disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan
masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam
penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan
elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan
rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang
diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat
pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami
kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan
kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan
”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan
profesionalitas jabatan.
4. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang
mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya
menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang
bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit
daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah
diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah
sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara
memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra
daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya
aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh
kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap
peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek
terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga

7
adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di
daerah.
7. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan
grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan
utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa
pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan
inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan
problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak
mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan
banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang
diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung
menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi
kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan.
Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas
di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung
juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
2.4. Kasus Penyalahgunaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan
suatu tujuan yang sangat baik bagi kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali
terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah
pusat melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan
program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada
kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia.
Berbagai cara dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa
ini yang pada kenyataannya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan
nihil. Lalu, apakah ada yang salah dalam konteks otonomi daerah ini?
Pelaksanaan otonomi daerah yang tidak pada mestinya mengakibatkan
kekecewaan masyarakat daerah setempat karena adanya penyalahgunaan

8
wewenang yang dilakukan oleh para Pejabat daerah, sehingga asas Otonomi
daerah dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala
sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi
daerah tidak berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat.
Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari
banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran
daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses
mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan
oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus
yang dapat memperlihatkan hal ini.
Berbagai kasus korupsi dilakukan pejabat daerah memperlihatkan kepada kita
bahwa korupsi benar-benar berada pada kawasan elit pemerintah. Jika fenomena
tersebut dapat dibongkar secara lebih besar, tentu kita akan melihat kenyataan
yang sangat mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch,
bahwa hingga akhir 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala
daerah, serta kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun kasus
yang diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan sisanya belum diizinkan
presiden.Sepertinya otonomi daerah dan tuntutan pemekaran daerah, hanya
dijadikan kedok untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.Tampak disini, perluasan
kekuasaan dan kewenangan yang besar bukan dianggap amanah sesuai dengan
cita-cita awal tetapi sebagai ajang untuk mencari kekayaan berlebih.
2.5 Antisipasi Problem Yang Terjadi Akibat Otonomi Daerah
Yang sebaiknya dilakukan agar otonomi daerah dapat berhasil mencapai
tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Memperkuat fungsi kontrol terhadap pemda yang dilakukan oleh masyarakat
dan lembaga legislatif daerah.
2. Pemberdayaan politik warga masyarakat.
3. Pemahaman terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi:
1. Asas persamaan
2. Asas Kepercayaan
3. Asas Kepastian Hukum

9
4. Asas Kecermatan
5. Asas Pemberian Alasan
6. Asas Larangan bertindak kesewenang-wenangan
7. Dan lain-lain.
4. Dan yang terakhir adalah meningkatkan mutu pendidikan sehingga
memunculkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen
bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, segera merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama
masalah pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126
yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar
hukum tersebut memberi ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan
tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap
menempati jabatannya.Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan
aparat penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-
undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden.
Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit.
Dengan merevisi undang-undang tersebut, diharapkan gubernur, bupati/walikota
yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka.
Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya
dihentikan.
Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam upaya memerangi korupsi di daerah yang semakin
menggurita. Argumentasi ini didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK
untuk untuk masuk ke semua lembaga negara dan melakukan evaluasi untuk
pencegahan korupsi. Sebelum itu ditempuh, tentu langkah yang harus diambil
adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di
daerah.
Ketiga, penting untuk menerapkan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian
terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk
membuktikan kekayaan yang dimilikinya, sebelum menjabat dibandingkan setelah

10
menjabat. Serta darimana sumber kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak
drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang ilegal, tentu
merupakan tindak pidana korupsi. Korupsi memang merupakan kejahatan luar
biasa (extraordinary crime), maka harus ditangani secara luar biasa pula dan tentu
dengan melibatkan semua pihak. Karena, langkah-langkah strategis tersebut tidak
akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum
untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar otonomi daerah
benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di daerah. 

11

Anda mungkin juga menyukai