Anda di halaman 1dari 75

PENGARUH PEMBERIAN KOMPLEKS SCAVENGER AOC

(Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) TERHADAP PERBAIKAN


MUKOSA LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GASTRITIS

SKRIPSI

oleh
VIVI RISMAWATI
145090101111006

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
PENGARUH PEMBERIAN KOMPLEKS SCAVENGER AOC
(Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) TERHADAP PERBAIKAN
MUKOSA LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GASTRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Sains dalam Bidang Biologi

oleh
VIVI RISMAWATI
145090101111006

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN KOMPLEKS SCAVENGER AOC


(Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) TERHADAP PERBAIKAN
MUKOSA LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GASTRITIS

VIVI RISMAWATI
145090101111006

Telah dipertahankan di depan Majelis Penguji


pada tanggal 11 Juli 2018
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains dalam Bidang Biologi

Menyetujui
Pembimbing

Dr. Sri Widyarti., M.Si


NIP 19670525 199103 2 001

Mengetahui
Ketua Program Studi S-1 Biologi
Fakultas MIPA Universitas Brawijaya

Rodiyati Azrianingsih, S.Si., M.Sc., Ph.D.


NIP 19700128 199412 2 001

iii
HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Vivi Rismawati


NIM 145090101111006
Jurusan : Biologi
Penulis Skripsi berjudul : Pengaruh Pemberian Kompleks
Scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-
Caffeine) terhadap Perbaikan Mukosa
Lambung Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Gastritis

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya sendiri dan bukan


hasil plagiat dari karya orang lain. Karya-karya yang tercantum
dalam Daftar Pustaka Skripsi ini semata-mata digunakan
sebagai acuan/referensi
2. Apabila kemudian hari diketahui bahwa isi Skripsi saya
merupakan hasil plagiat, maka saya bersedia menanggung
akibat hukum dari keadaan tersebut

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran

Malang, 11 Juli 2018


Yang menyatakan

Vivi Rismawati
145090101111006

iv
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi ini tidak dipublikasikan namun terbuka untuk umum dengan


ketentuan bahwa hak cipta ada pada penulis. Daftar Pustaka
diperkenankan untuk dicatat, tetapi pengutipan hanya dapat
dilakukan seizin penulis dan harus disertai kebiasaan ilmiah untuk
menyebutkannya.

v
Pengaruh Pemberian Kompleks Scavenger AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine) terhadap Perbaikan Mukosa Lambung Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Gastritis

Vivi Rismawati, Sri Widyarti

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,


Universitas Brawijaya
2018

ABSTRAK
Gastritis merupakan inflamasi pada mukosa lambung. Penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh kompleks scavenger AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine) terhadap perbaikan struktur mukosa lambung tikus
putih (Rattus norvegicus) gastritis. Penelitian dilakukan pada tikus putih
betina galur wistar dengan delapan kelompok perlakuan, tiga ulangan.
Kelompok kontrol negatif (umur tikus 1,5 bulan) K 0 disonde 2 mL air
mineral dan K1 disonde 2 mL larutan AOC selama 30 hari. Kontrol
positif K2 umur 1,5 bulan dan K3 umur 6 bulan disonde larutan aspirin
dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus untuk stimulasi gastritis akut. K 2-
AOC tikus gastritis akut umur 1,5 bulan tanpa AOC tujuh hari. K 2+AOC
tikus gastritis akut umur 1,5 bulan di-treatment 2 mL AOC tujuh hari.
K3-AOC tikus gastritis akut umur 6 bulan tanpa AOC. K 3+AOC tikus
gastritis akut umur 6 bulan di-treatment 2 mL AOC tujuh hari.
Pengamatan morfologi lambung meliputi bleeding spot (ada atau tidak,
jumlah, lokasi, ciri-ciri). Pengamatan preparat histologi lambung
meliputi perubahan surface epithelium, nekrosis sel parietal di gastric
glands, ekstravasasi eritrosit, hemorrhage, infiltrasi sel radang
polimorfonuklear (PMN) pada gastric glands dan muscularis mucosae
di mukosa lambung yang diamati menggunakan mikroskop cahaya
Olympus DP73 dengan bantuan software cellsens standard pada
perbesaran 400x dan 1000x. Data dianalisis secara deskriptif. Erosi
mukosa lambung terjadi pada kelompok kontrol positif gastritis umur
1,5 bulan yakni ada 22 bleeding spots focal dan pada kelompok
kelompok kontrol positif gastritis umur 6 bulan yakni erosi dengan dasar
bersih. Kelompok gastritis mengalami kerusakan epitel, ekstravasasi
eritrosit, infiltrasi PMN, hematoma, dan nekrosis. Bleeding hanya terjadi
pada kelompok gastritis umur 1,5 bulan. Kelompok gastritis yang di-
treatment AOC terjadi indikasi re-epitelisasi dan inflamasi berkurang.
Hal tersebut tidak terjadi pada kelompok gastritis tanpa treatment AOC.

Kata kunci: AOC, aspirin, gastritis, histologi, Rattus norvegicus


vi
Effects Administration of AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine)
Scavenger Complex to Repair Gastric Mucosal on Rat (Rattus
norvegicus) Gastritis

Vivi Rismawati, Sri Widyarti

Biology Department, Mathematics and Natural Sciences Faculty,


Brawijaya University
2018

ABSTRACT
Gastritis is an inflammation on gastric mucosal. Research aims to know
effect of AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) scavenger complex to
repair structure of gastric mucosal rat (Rattus norvegicus) gastritis.
Research was performed on female wistar strain rats using eight groups,
three replications. Negative control groups (rat aged 1.5 months) K0
were feeding with 2 mL mineral water and K1 were feeding with 2 mL
AOC solution for 30 days. Positive control groups K 2 (aged 1.5 months)
and K3 (aged 6 months) were feeding with single dose of aspirin
solution 300 mg/kg W rat to stimulate acute gastritis. K 2-AOC as acute
gastritis rat (aged 1.5 months) were not treated with AOC for seven days.
K2+AOC as acute gastritis rat (aged 1.5 months) were treated with 2 mL
AOC seven days. K3-AOC as acute gastritis rat (aged 6 months) were
not treated with AOC. K3+AOC as acute gastritis rat (aged 6 months)
were treated with 2 mL AOC seven days. Gastric morphology
observation include bleeding spots (existence, number, location,
characteristic). Gastric histology observation include changes on surface
epithelium, necrotic cell, erythrocytes extravasation, hemorrhage,
polymorphonuclear (PMN) inflammatory cells infiltration on gastric
glands and muscularis mucosae in gastric mucosal layer. It was
observed by using Olympus DP73 light microscope with cellsens
standard software at 400x and 1000x magnification. Data were analyzed
descriptively. Gastric morphology erosion occurs on gastritis positive
control group (aged 1,5 months) ie erosion with 22 bleeding spots focal
and occurs on gastritis control group (aged 6 months) ie erosion with
clean base. Gastritis groups have epithelial damage, erythrocytes
extravasation, PMN infiltration, hematoma, and necrosis. Bleeding only
occurs on gastritis group (aged 1,5 months). Gastritis groups that were
treated with AOC there were indication of re-epithelization, reduction of
inflammatory area. It does not happen on gastritis groups without AOC.

Key words: AOC, aspirin, gastritis, histology, Rattus norvegicus


vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


segala kesempatan, nikmat, rahmat, dan hidayat kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian
Kompleks Scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) terhadap
Perbaikan Mukosa Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Gastritis”. Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Sains di Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya.
Penulisan skripsi ini selesai dengan dukungan dari berbagai
pihak, sehingga penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ibu Dr. Sri Widyarti., M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi
dan penanggung jawab proyek penelitian yang telah
mendampingi, membimbing, memberi ilmu, dedikasi, saran, dan
motivasi selama menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Aris Soewondo., M.Si selaku Dosen Penguji I Skripsi
dan Bapak Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., DS.c
selaku Dosen Penguji II Skripsi atas nasihat, kritik, dan motivasi.
3. Ibu Zulfaidah Penata Gama., S.Si., M.Si., PhD selaku Dosen
Penasihat Akademik selama tiga tahun atas bimbingan, nasihat,
dan motivasi selama penulis menghadapi masa perkuliahan.
4. Bapak Mahfud dan Ibu Aris Muntafiin, S.Pd selaku orangtua
penulis atas kasih sayang, doa, dukungan secara moral maupun
material yang tak pernah henti serta adik penulis (Mochammad
Farizal Mahfud) atas motivasinya.
5. Bapak Harmaji, Bambang P., M.Si., Susiati, M.Biomed., dan
Mulya Dwi P., S.Si., selaku laboran yang telah membantu
menyediakan alat dan bahan selama pengerjaan skripsi.
6. Anggota working group Sain Kompleksitas, teman-teman jurusan
Biologi angkatan 2014 (AMINO), Muhammad Dito, S.T., dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Akhirulkalam, penulis menyadari bahwa masih banyak yang
harus diperbaiki dari tulisan dalam skripsi ini. Penulis dengan senang
hati menerima saran-saran yang membangun.

Malang, 11 Juli 2018

Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman

ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xiv
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN xv

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3


2.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Laboratorium 3
2.2 Struktur Anatomi Lambung Tikus dan
Mamalia Lainnya 4
2.3 Struktur Histologi Normal Lambung Tikus
dan Mamalia Lainnya 6
2.4 Mekanisme Homeostatik Lambung: Faktor
Agresif dan Defensif pada Lambung 9
2.5 Aspirin 10
2.6 Kompleks Scavenger AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine) 12
2.7 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif 13
2.8 Gastritis Akibat Stres Oksidatif 14
2.9 Kerangka Konsep Mekanisme Gastritis
dengan Stimulasi Aspirin Memengaruhi
Inflamasi dan Stres Oksidatif 15

BAB III METODE PENELITIAN 19


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 19
3.2 Rancangan Penelitian 19
3.3 Variabel Penelitian 20

ix
3.4 Komposisi dan Kandungan Pakan Tikus 20
3.5 Pembuatan Larutan Aspirin 20
3.6 Pembuatan Larutan Kompleks Scavenger
AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) 20
3.7 Persiapan Hewan Coba 21
3.8 Perlakuan Hewan Coba Kelompok Kontrol
Negatif 21
3.9 Model Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Gastritis Akut dengan Stimulasi Aspirin 22
3.10 Isolasi Lambung (Gaster) Tikus Putih
(Rattus norvegicus) 22
3.11 Pengamatan Kualitatif Morfologi Lambung 23
3.12 Pembuatan Preparat Histologi 23
3.13 Pengamatan Kualitatif Preparat Histologi 25
3.14 Analisis Data Kualitatif 25

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 26


4.1 Deskripsi Kualitas Morfologi Lambung Hasil
Penelitian 26
4.2 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan
Mukosa Lambung pada Kelompok Kontrol
Negatif 29
4.3 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan
Mukosa Lambung pada Kelompok Gastritis
Akut Umur Tikus 1,5 Bulan 32
4.4 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan
Mukosa Lambung pada Kelompok Gastritis
Akut Umur Tikus 6 Bulan 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52


5.1 Kesimpulan 52
5.2 Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 59

x
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1 Kelompok perlakuan tikus putih (Rattus
norvegicus) betina galur wistar 19
2 Erosi pada morfologi lambung hasil penelitian 27

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1 Morfologi tikus putih (Rattus norvegicus)
laboratorium galur wistar 4
2 Struktur anatomi lambung tikus dan mamalia 5
3 Struktur histologi lambung tikus dan mamalia 6
4 Struktur histologi lapisan mukosa lambung tikus
dan mamalia dengan pewarnaan hematoxylin-
eosin (HE) 7
5 Kerangka konsep mekanisme gastritis
dengan stimulasi aspirin memengaruhi
inflamasi dan stres oksidatif yang di-
treatment dengan
kompleks scavenger AOC 18
6 Morfologi lambung dari luminal surface 26
7 Struktur lapisan mukosa lambung kelompok
kontrol negatif air mineral 29
8 Struktur lapisan mukosa lambung kelompok
kontrol negatif larutan AOC 30
9 Struktur lapisan mukosa lambung kontrol positif
tikus gastritis akut umur 1,5 bulan 32
10 Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis
akut umur 1,5 bulan tanpa di-treatment AOC 33
11 Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis
akut umur 1,5 bulan dengan di-treatment AOC 34
12 Infiltrasi sel radang pada kelompok tikus
gastritis akut umur 1,5 bulan 35
13 Mekanisme sekresi HCl melalui jalur neurogen
yang distimulasi oleh aktifnya ACh, GRP, dan
reseptor H-2 38
14 Mekanisme pembentukan HCl oleh sel parietal 40
15 Efek sistemik dan topikal dari aspirin di
lambung 41
16 Struktur lapisan mukosa lambung kontrol positif
tikus gastritis akut umur 6 bulan 45
17 Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis
akut umur 6 bulan tanpa di-treatment AOC 46
18 Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis
akut umur 6 bulan dengan di-treatment AOC 47

xii
19 Infiltrasi sel radang di bagian basal lapisan
mukosa pada kelompok tikus gastritis akut umur
6 bulan 48
20 Sertifikat keterangan kelaikan etik penelitian 59
21 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok kontrol negatif air mineral 63
22 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok kontrol negatif larutan AOC 63
23 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan 63
24 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok tikus gastritis akut umur 1,5
bulan tanpa di-treatment AOC 64
25 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok tikus gastritis akut umur 1,5
bulan dengan di-treatment AOC 64
26 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 6 bulan 64
27 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan
tanpa di-treatment AOC 65
28 Morfologi lambung dari arah luminal surface
pada kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan
dengan di-treatment AOC 65
29 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok kontrol negatif air mineral 66
30 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok kontrol negatif larutan
AOC 67
31 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok kontrol positif tikus
gastritis akut umur 1,5 bulan 68
32 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok tikus gastritis akut umur
1,5 bulan tanpa di-treatment AOC 69
33 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok tikus gastritis akut umur
1,5 bulan dengan di-treatment AOC 70
xiii
34 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok kontrol positif tikus
gastritis akut umur 6 bulan 71
35 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok tikus gastritis akut
umur 6 bulan tanpa di-treatment AOC 72
36 Struktur area surface epithelium hingga gastric
glands pada kelompok tikus gastritis akut
umur 6 bulan dengan di-treatment AOC 73
37 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok kontrol negatif air mineral 74
38 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok kontrol negatif larutan AOC 75
39 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan 76
40 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok tikus gastritis akut umur 1,5 bulan
tanpa di-treatment AOC 77
41 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok tikus gastritis akut umur 1,5 bulan
dengan di-treatment AOC 78
42 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 6 bulan 79
43 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan tanpa
di-treatment AOC 80
44 Struktur gastric glands dan lamina propria
bagian basal hingga muscularis mucosae pada
kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan
dengan di-treatment AOC 81

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Sertifikat keterangan laik etik penelitian 59
2 Perhitungan dosis larutan aspirin 60
3 Perhitungan stok larutan aspirin 61
4 Perhitungan volume larutan aspirin yang
diberikan secara oral 62
5 Morfologi lambung tikus hasil penelitian 63
6 Histologi struktur lapisan mukosa lambung tikus
hasil penelitian 66

xv
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Simbol Keterangan
% persen
m mikrometer
< kurang dari
> lebih dari
o
C derajat celcius

Singkatan Keterangan
1
O2 singlet oxygen
AA asam arakidonat
Ach acetylcholine
AOC aspirin-ovalbumin-caffeine
AP-1 activator protein 1
ASA aspirin, acetylsalicylic acid
ATP adenosine triphosphate
CA carbonic anhydrase
cAMP cyclic adenosine monophosphate
CCKB cholecystokinin B
cGMP cyclic guanosine monophosphate
Cl- ion klorida
cm centimeter
COOH gugus karboksil
COX cyclooxigenase
COX-1 cyclooxygenase-1
COX-2 cyclooxygenase-2
DNA deoxyribonucleic acid
ECL enterochromaffin-like
EGF epidermal growth factor
GI track gastrointestinal track
g/kg BB gram/kilogram berat badan
GRP gastrin releasing peptide
GTP guanosine-5'-triphosphate
H+ ion hidrogen
H+/K+ ATPase hidrogen/potassium-ATPase
H-1 R reseptor histamin-1
H-2 R reseptor histamin-2
H2O dihidrogen monoksida
xvi
H2O2 hydrogen peroxide
HCl asam hidroklorida
HCO3- ion bikarbonat
HE hematoxylin-eosin
HOCl hypochlorous acid
HPETE hidroperoksieikosatetraenoat
K+ ion kalium atau ion potassium
kg kilogram
LOX lipooksigenase
LPPRB lembaga penelitian peluruhan radikal bebas
LPPT UGM laboratorium penelitian dan pengujian
terpadu universitas gajah mada
mg/kg BB miligram/kilogram berat badan
mL mililiter
MTP mitochondrial transmembrane potential
NADPH nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate
NF-kappaB nuclear factor-kappaB
NH2 gugus amina
NO nitric oxide
NO2 nitrogen dioxide
NO3- peroxynitrite
NSAIDs non-steroidal anti inflammatory drugs
O2– anion superoxide
O3 ozone
OAINS obat antiinflamasi non steroid
OH hydroxyl
PBS phosphate buffered saline
PFA paraformaldehyde
PG prostaglandin
PGE2 prostaglandin E2
pH potential of hydrogen
PMN polimorfonuklear
RNA ribonucleic acid
RNS reactive nitrogen species
RO alkoxyl
RO2 peroxyl
ROS reactive oxygen species
SOD superoksida dismutase
WHO world health organization
xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gastritis adalah salah satu jenis penyakit pada gastrointestinal
track (GI track) berupa inflamasi di epigastrium atau lapisan mukosa
lambung. Kasus gastritis setiap tahun di dunia menurut World Health
Organization (WHO) mencapai 40,8 % dengan persentase kematian
17-21 %. Profil kesehatan di Indonesia tahun 2011 mencatat bahwa
gastritis mencapai 4,9 % atau 30.154 kasus dan tergolong ke dalam
10 jenis penyakit terbanyak di rumah sakit. Prevalensi kasus gastritis
di Indonesia cukup tinggi sebesar 274.396 kasus dari 238.452.952
penduduk Indonesia (Departemen Kesehatan RI, 2012). Persentase
kematian dari data WHO yang lebih rendah dibandingkan persentase
kasus, memberi peluang bahwa gastritis masih dapat disembuhkan.
Gastritis dapat terjadi di semua tingkatan usia, terutama usia
produktif. Selama usia produktif, individu cenderung memiliki
tingkat kesibukan tinggi disertai dengan gaya hidup yang kurang
sehat. Faktor utama penyebab gastritis selain waktu pola makan tidak
teratur yaitu infeksi bakteri Helicobacter pylori, penggunaan non-
steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) atau obat antiinflamasi
non-steroids (OAINS) seperti aspirin dalam jangka waktu lama
maupun dosis tinggi, dan stres oksidatif (Dohil & Hassall, 2011).
Aspirin mampu menghambat kinerja cyclooxygenase-1 (COX-1),
sehingga terjadi defisiensi prostaglandin (PG) sitoprotektif sebagai
housekeeping mukosa lambung (Warner & Mitchell, 2004). Aspirin
juga menghambat dan menghilangkan mitochondrial transmembrane
potential (MTP), sehingga terjadi pelepasan radikal bebas ROS
seperti O2– dan H2O2 secara berlebih (Manan, 2012). ROS adalah
jenis radikal bebas endogen yang dihasilkan melalui mekanisme
respirasi seluler di mitokondria. Dampak kelebihan radikal bebas
yakni mampu bereaksi dengan lipida sel, protein, dan asam nukleat
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan hingga disfungsi lambung.
Kadar enzim antioksidan superoksida dismutase (SOD) yang rendah
berkontribusi terhadap akumulasi ROS berlebih di lambung dan
menstimulasi fagosit polimorfonuklear oleh gen ROS-inducible.
Konsumsi tablet vitamin A, C, dan E sebagai antioksidan eksogen,
secara kimiawi tidak sepenuhnya menurunkan kadar radikal bebas
berlebih. Radikal bebas berbentuk gas mampu melarutkan vitamin
1
ketika pemberian elektron, sehingga vitamin cenderung kehilangan
elektron dan berpotensi menjadi radikal bebas baru. Kompleks
antioksidan dengan aktivitas sebagai scavenger yakni menampung
elektron tidak berpasangan diperlukan untuk mereduksi radikal bebas
berlebih di lambung tanpa menghasilkan radikal bebas sekunder,
disebut kompleks scavenger.
Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB) di Jalan
Surakarta 5 Kota Malang, menggunakan terapi Kopi 1 sebagai
scavenger yang menghambat aktivitas dan produksi radikal bebas
guna penyembuhan penyakit. Kopi 1 terdiri dari aspirin dan kopi
mengandung caffeine kemudian ditambah telur ayam mengandung
ovalbumin membentuk kompleks scavenger AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine). Studi in silico AOC dengan visualisasi movie
mengungkapkan bahwa AOC stabil pada kondisi pH lambung 2
(Wibowo, 2017). Konsumsi AOC mampu menurunkan suhu tubuh
penderita inflamasi, meningkatkan trombosit serta kualitas hidup
(Saraswati & Jayanti, 2014). Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan
bahwa kinerja AOC menjadi lebih baik daripada senyawa tunggal
dari ketiganya. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan
pengaruh AOC guna penyembuhan gastritis berupa indikasi
perbaikan di lapisan mukosa lambung secara eksperimental in vivo.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
kompleks scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) terhadap
perbaikan struktur mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus)
gastritis?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kompleks
scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) terhadap perbaikan
struktur mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) gastritis.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memperkuat evidence base
secara eksperimental mengenai pengaruh kompleks scavenger AOC
(Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) terhadap perbaikan jaringan mukosa
lambung pada penderita penyakit gastritis, sehingga diharapkan
pengobatan gastritis dengan AOC dapat semakin dikenal dan
digunakan oleh masyarakat luas.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Laboratorium


Tikus putih (Rattus norvegicus) laboratorium diklasifikasikan
dengan urutan taksonomi sebagai berikut (Myers dkk., 2017):

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih laboratorium adalah spesies hewan coba yang


dikomersialkan oleh beberapa pusat penelitian dan pengembangan
serta digunakan untuk kepentingan penelitian. Alasan penggunaan
tikus putih laboratorium sebagai hewan coba penelitian ilmiah antara
lain tikus putih laboratorium mudah didapatkan dalam jumlah yang
banyak dengan harga relatif terjangkau (Sihombing, 2010). Tikus
putih laboratorium mampu beradaptasi secara baik sehingga cocok
digunakan sebagai model hewan coba penelitian patologi dan nutrisi
serta memiliki respon yang cepat ketika diberi perlakuan, sehingga
mampu memberikan gambaran ilmiah terhadap sesuatu hal yang
sedang diteliti (Stevens & Hume, 1996). Tikus putih laboratorium
dikelompokkan berdasarkan kesamaan genetik yang diperoleh
dengan cara perkawinan sedarah, disebut galur atau strain. Satu
kelompok galur memiliki semua anggota yang identik secara genetik.
Galur tikus putih laboratorium yang digunakan pada penelitian ini
adalah galur wistar. Berikut merupakan morfologi tikus putih (Rattus
norvegicus) laboratorium galur wistar (Gambar 1).

3
(Charles River Laboratories International Inc, 2017)
Gambar 1. Morfologi tikus putih (Rattus norvegicus) laboratorium
galur wistar

Galur wistar secara morfologi (Gambar 1) memiliki ciri-ciri


antara lain kepala lebar, telinga panjang, dan panjang ekor tidak
melebihi panjang tubuhnya. Tikus putih galur wistar memiliki
tingkah laku yang lebih aktif dibandingkan dengan galur yang lain
seperti sprague dawley (Burhoe, 1947). Tikus putih galur wistar
pada mulanya dikembangkan oleh Henry Donaldson, J. Milton, dan
peneliti genetik Helen Dean King di Institut Wistar pada tahun 1906.
Tikus putih galur wistar digunakan untuk penelitian dibidang biologi
dan medis (Malole & Pramono, 1989).
2.2 Struktur Anatomi Lambung Tikus dan Mamalia Lainnya
Lambung atau gaster merupakan kelenjar dengan rongga yang
membentang dari ujung bawah kerongkongan atau disebut cardiac
hingga persimpangan antara ujung bawah perut dengan duodenum
yang disebut pylorus. Lambung pada mamalia memiliki bentuk
menyerupai huruf J sebagai area pembesaran dari GI track. Bagian
superior lambung sebagai kelanjutan dari esophagus, sedangkan
bagian inferior lambung berdekatan dengan duodenum (Stevens &
Hume, 1996). Struktur anatomi lambung dibagi menjadi empat
bagian antara lain cardiac, fundus, corpus, dan pylorus (Gambar 2)
(Telford & Charles, 1995).

4
(Tortora & Grabowski, 1996)
Gambar 2. Struktur anatomi lambung tikus dan mamalia

Bagian cardiac merupakan bagian dengan luas yang kecil serta


merupakan zona pembatas dekat gastrophageal junction atau sebagai
sambungan oesofagogastrik dan tidak memiliki sphincter (katup-
katup otot). Bagian fundus berada di atas garis horizontal yang
ditarik melintasi oesofagogastrik dan merupakan bagian yang banyak
terdapat sel-sel kelenjar. Bagian badan atau corpus merupakan
bagian tengah lambung yang membentang dari fundus inferior
hingga menuju ke pylorus. Bagian pylorus merupakan bagian yang
paling akhir dari lambung sebagai persimpangan antara ujung distal
perut dengan duodenum. Bagian pylorus memiliki bentuk seperti
corong dengan perluasan kerucut. Bagian pylorus yang
bersambungan dengan corpus disebut pyloric antrum, sedangkan
bagian pylorus yang berupa batang corong disebut pyloric canal.
Pylorus pada bagian akhir yang berhubungan langsung dengan
duodenum memiliki sphincter (Telford & Charles, 1995).

5
2.3 Struktur Histologi Normal Lambung Tikus dan Mamalia
Lainnya
Lambung memiliki dinding yang disusun oleh empat lapisan
dasar dari dalam ke luar atau dari arah luminal surface antara lain
lapisan mukosa, lapisan submukosa, lapisan muskularis eksterna, dan
lapisan serosa (Gambar 3). Lapisan dasar pada lambung memiliki
kesamaan dengan lapisan dinding pada saluran pencernaan lainnya
(Telford & Charles, 1995). Berikut merupakan struktur histologi
normal lambung (Gambar 3).

(Mohan, 2010)
Gambar 3. Struktur histologi lambung tikus dan mamalia

Lapisan mukosa lambung (Gambar 3) memiliki bentuk berupa


lipatan-lipatan yang disebut ruage guna memungkinkan lambung
berdistensi ketika diisi makanan. Jumlah ruage sesuai dengan tinggi
rendahnya rentangan organ (Bevelander & Ramaley, 1998). Lapisan
mukosa lambung berfungsi menghasilkan HCl dan enzim-enzim
pencernaan, serta mengabsorbsi air (Wilson & Lesser, 1994).
Lapisan mukosa lambung secara histologi tergolong tebal serta
terdapat kelenjar disebut gastric glands dan sumur lambung yang
disebut foveolae atau gastric pits. Lapisan mukosa lambung juga
terdapat lamina propria dan terdapat muscularis mucosae berupa
6
lapisan otot polos sebagai pemisah antara lapisan mukosa dengan
lapisan submukosa. Lamina propria disusun oleh jaringan ikat, otot
polos, dan sel-sel limfoid (meliputi limfosit, eosinofil, mastosit yang
banyak mengandung histamin, serta plasma). Permukaan mukosa
lambung dan bagian gastric pits disusun oleh selapis epitel silinder
yang disebut sel mukus permukaan atau surface mucous cell. Sel
tersebut menghasilkan mukus yang kemudian membentuk lapisan
tebal sebagai perlindungan terhadap pengaruh HCl yang dihasilkan
oleh sel parietal di lambung (Swan, 2003).

(Shu-Xin, 1999)
Gambar 4. Struktur histologi lapisan mukosa lambung tikus dan
mamalia dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE)
7
Kelenjar kardiak (cardiac glands) pada lapisan mukosa lambung
bagian cardiac dilapisi oleh jaringan epitel kubus selapis serta
memiliki lumen yang lebar untuk mensekresi mukosa (Bevelander &
Ramaley, 1998). Kelenjar fundus (fundic glands) pada lapisan
mukosa lambung bagian fundus memiliki bentuk tubuli yang terdiri
dari sel-sel antara lain:
a. Sel zimogen atau chief cell merupakan sel yang terletak di bagian
basal gastric glands dan berperan melapisi bagian bawah kelenjar
lambung (Gambar 4). Chief cell bersifat basofilik karena banyak
memiliki sitoplasmik ribonucleicacid (RNA). Chief cell memiliki
nukleus euchromatic, granula zimogen sekretoris yang berfungsi
menghasilkan enzim pencernaan antara lain pepsin, renin, dan
lipase. Chief cell pada mulanya memproduksi pepsinogen.
Pepsinogen dengan pengaruh HCl lambung dan pH rendah akan
diubah menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim proteolitik dan
apabila terbentuk pepsin dalam jumlah yang banyak, maka akan
meningkatkan faktor agresor terhadap mukosa lambung. Jumlah
chief cell yang lebih dominan pada gastric glands sebagai tanda
terjadinya infiltrasi sel inflamatori di lapisan mukosa lambung
serta terjadi penurunan pH HCl lambung (Bevelander & Ramaley,
1998).
b. Sel oksintik atau parietal cell merupakan sel yang terletak di
bagian apikal gastric glands dan berkerumun dengan chief cell,
namun keduanya tetap tampak terpisah (Gambar 4). Parietal cell
berjumlah banyak dan memiliki ukuran yang relatif besar,
berbentuk oval, serta bersifat asidofil. Parietal cell berfungsi
memproduksi HCl lambung (Dunlop & Charles, 2004).
c. Sel mukosa leher atau mucous neck cell merupakan sel yang
memiliki bentuk menyempit di bagian puncak sedangkan bagian
dasarnya lebar (Gambar 4). Mucous neck cell berjumlah relatif
sedikit dan bersifat basofilik (Bevelander & Ramaley, 1998).
Mucous neck cell berfungsi menghasilkan mukus dan enzim
peptidase (Swan, 2003).
d. Endokrin, enteroendokrin, argentaffin, enterokromaffin, atau sel
Kultschitsky merupakan sel yang berfungsi menghasilkan hormon
gastrin, histamin, endorphins, serotonin, dan somatostatin dalam
jumlah sedikit (Gambar 4). Hormon gastrin diproduksi oleh sel
gastrin yang terletak di kelenjar pylorus lambung. Hormon gastrin
mampu merangsang sel parietal untuk mensekresi HCl lambung
(Swan, 2003).
8
Kelenjar pylorus (pyloric glands) pada lapisan mukosa lambung
bagian pylorus merupakan kelenjar yang terdiri dari beberapa sel
parietal dan sel gastrin yang mensekresi hormon gastrin di antara sel-
sel mukus (Telford & Charles, 1995). Sel mukus merupakan sel yang
menghasilkan mukus alkalin. Mukus alkalin berfungsi melindungi
keasaman permukaan lambung hingga mencapai pH normal lambung
yaitu 1,5 hingga 3,5 (Swan, 2003).
Lapisan submukosa lambung terdiri dari jaringan fibroskopi
longgar, mengandung cabang pembuluh darah berupa arteri kecil dan
vena, pembuluh limfatik dan pleksus saraf Meissner, sel ganglion.
Lapisan submukosa lambung bermuara ke dalam esophagus. Lapisan
muskularis eksterna lambung terdiri dari tiga jenis lapisan otot polos
antara lain lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkuler di
bagian tengah, dan lapisan obligat atau menyerong di bagian dalam.
Susunan lapisan otot polos tersebut memberi peluang terjadinya
kombinasi kontraksi guna memecah makanan menjadi partikel-
partikel kecil, serta mengaduk dan mencampur makanan dengan HCl
lambung ke arah duodenum. Lapisan serosa lambung sebagai lapisan
terluar dinding lambung yang berasal dari peritoneum. Lapisan
serosa lambung terdiri dari sel-sel yang mengeluarkan cairan untuk
mengurangi gaya gesek antara lambung dengan organ lain yang ada
di sekitar lambung (Wilson & Lesser, 1994).
2.4 Mekanisme Homeostatik Lambung: Faktor Agresif dan
Defensif pada Lambung
Lambung memiliki fungsi utama yaitu menyiapkan dan
mengubah bentuk makanan menjadi bubur makanan atau chyme
supaya nutrisi di dalam makanan dapat dicerna dan diserap oleh usus
halus. Lambung memproduksi asam lambung atau HCl lambung
untuk proses pencernaan makanan. Produksi HCl lambung diatur
oleh sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis mampu
meningkatkan sekresi HCl ketika diaktifkan oleh adanya rangsangan
dari indra penglihatan, indra penciuman, dan keberadaan makanan di
saluran pencernaan. Makanan yang masuk ke lambung menyebabkan
perubahan pH lambung menjadi lebih dari empat yang pada akhirnya
perubahan tersebut dapat merangsang sekresi hormon gastrin.
Hormon gastrin disekresikan oleh sel gastrin yang terletak di kelenjar
pylorus pada lapisan mukosa lambung bagian pylorus. Hormon
gastrin mampu merangsang produksi HCl lambung oleh sel parietal

9
sebagai mekanisme umpan balik di lambung supaya pH lambung
menjadi normal kembali yakni pH 1,5-3,5 (Philip & Aaron, 2011).
Asam lambung (HCl lambung) diproduksi oleh sel parietal yang
terletak di kelenjar fundus pada lapisan mukosa lambung bagian
fundus. Sel parietal mengandung H+/K+-ATPase atau pompa proton.
Pompa proton mentransport H+ keluar dari sel menuju ke lumen
lambung dan mentransport K+ dari lumen lambung menuju ke dalam
sel. Energi dengan jumlah yang besar dibutuhkan untuk menjalankan
pompa proton, sehingga sel parietal memiliki kapasitas mitokondria
terbesar dari setiap sel di dalam tubuh manusia. Ketika sel parietal
sedang dalam keadaan beristirahat atau resting cell, maka pompa
proton terletak di dalam vesikel intraseluler (Philip & Aaron, 2011).
Terdapat beberapa mekanisme defensif sebagai sistem pertahanan
dan perlindungan lapisan mukosa lambung dari faktor agresif yang
bersifat merusak. Faktor agresif tersebut dapat berupa sekresi HCl
lambung yang bersifat asam kuat maupun adanya zat iritan seperti
aspirin. Mekanisme pertahanan mukosa lambung berupa dibentuknya
perlindungan secara pra-epitel yakni mucus-bicarbonate barrier
sebagai penghalang oleh sel-sel di lapisan mukosa lambung. Hal
tersebut menyebabkan pertahanan gradien pH permukaan sel epitel
menjadi netral. Sekresi bikarbonat merupakan proses aktif dan hal
tersebut diaktivasi oleh stimulasi vagal dan distensi fundus.
Kehadiran surfaktan pada membran sel apikal mampu mencegah
agen yang larut dalam air pada lumen lambung untuk berikatan dan
merusak epitel. Perlindungan sub-epitel yaitu aliran darah di mukosa
lambung sangat penting untuk memasok nutrisi dan oksigen serta
melakukan pembebasan ion hidrogen (H+) dan zat berbahaya yang
mampu menembus lapisan mukosa lambung. PG memiliki tindakan
sitoprotektif secara langsung yang dapat menjaga aliran darah dan
mencegah cedera endotel vaskular (Forssel, 1988).
2.5 Aspirin
Aspirin (acetylsalicylic acid, ASA) merupakan turunan salisilat
yang bersifat antiinflamasi non-steroids (OAINS) antara lain
analgesik untuk mengurangi rasa sakit, antipiretik untuk menurunkan
demam ringan, dan antiinflamasi guna pengobatan penyakit
inflamasi kronis. OAINS kali pertama ditemukan berasal dari
tanaman Willow bark oleh seorang ilmuwan Jerman pada tahun 1829
yang hingga saat ini dikenal dengan aspirin (Wallace, 2008). Aspirin
meskipun berperan sebagai obat antiinflamasi, namun konsumsi
10
aspirin memiliki efek samping yaitu terjadinya gangguan fisiologis
pada lambung. Gangguan tersebut menyebabkan terjadinya erosi
pada lambung (Matsui dkk., 2011).
Aspirin mampu bekerja secara perifer dan memiliki aktivitas
untuk menghambat inflamasi dengan cara menghambat proses
biosintesis prostaglandin E2 (PGE2) melalui penghambatan aktivitas
enzim cyclooxigenase-2 (COX-2). Jalur COX meliputi prostaglandin
E2 (PGE2), prostasiklin dan tromboksan, jalur lipooksigenase (LOX)
yang menghasilkan asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETE).
PGE2 yang diproduksi di hipotalamus memiliki peran untuk aktivasi
cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang penting dalam
timbulnya rasa nyeri, demam, dan reaksi inflamasi. Berdasarkan hal
tersebut, maka aspirin dengan cara menghambat aktivitas enzim
COX-2 mampu menekan gejala akibat biosintesis PGE2 meliputi
rasa nyeri, demam ringan, dan inflamasi. Akan tetapi, penghambatan
terhadap enzim COX berakibat pada terjadinya gangguan fungsi PG
sitoprotektif untuk melindungi dinding lambung menjadi menurun
(Kartasasmita, 2002).
Aspirin sekitar 70 % dalam bentuk utuh mampu diabsorbsi dan
dihidrolisis secara cepat oleh enzim esterase di perut, darah, hati, dan
sebagian besar di usus halus bagian atas, kemudian diubah menjadi
asam salisilat (Wimana, 1995). Aspirin dan asam salisilat secara
farmakologi keduanya cepat diserap ke dalam aliran darah dari
lambung dan dinding duodenum saat kali pertama melewati hati
secara difusi pasif dengan waktu paruh 15-30 menit (UNIL, 2016).
Kadar aspirin dalam darah dapat dicapai sekitar dua jam setelah
pemberian aspirin secara oral (Krause dkk., 1992).
Aspirin yang dikonsumsi dalam bentuk larutan lebih cepat
diabsorbsi oleh saluran pencernaan dibandingkan dengan bentuk
tablet, hal ini berkaitan dengan proses hidrolisis dalam tubuh menjadi
asam salisilat. Kecepatan absorbsi aspirin di lambung bergantung
dari pH permukaan mukosa lambung dan waktu pengosongan
lambung. Aspirin setelah diabsorbsi oleh tubuh akan didistribusikan
di seluruh tubuh dan cairan transseluler seperti cairan sinovial, cairan
spinal, dan air liur (Wimana, 1995).

11
2.6 Kompleks Scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine)
Scavenger activity merupakan kemampuan antioksidan dengan
aktivitas sebagai scavenger yang mampu mengikat dan menampung
elektron tidak berpasangan pada radikal bebas, serta tidak berpotensi
menjadi radikal bebas sekunder. Scavenger penting dibutuhkan untuk
mengurangi kadar radikal bebas dengan cara menghambat aktivitas
radikal bebas dari yang sangat reaktif menjadi lebih tenang atau
stabil (Wang & Hongjun, 2000). Fungsi dan efektivitas kinerja
senyawa dapat diketahui secara baik apabila beberapa senyawa
saling dikompositkan membentuk suatu kompleks. AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine) sebagai terapi pengobatan penyakit di Klinik
Rumah Sehat Jalan Surakarta 5 Kota Malang (LPPRB) merupakan
kompleks scavenger yang terdiri dari molekul aspirin, ovalbumin,
dan caffeine dengan sifat yang baru. Sifat yang baru memiliki arti
bahwa sifat AOC berbeda dari sifat tunggal ketiganya ketika tidak
saling dikomplekskan.
Ovalbumin dapat berinteraksi dengan aspirin dan caffeine.
Interaksi antara ovalbumin dengan ligan aspirin yang diamati
menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV) menunjukkan
bahwa hasil interaksi ovalbumin dengan aspirin (OVA-ASA) mampu
merubah panjang gelombang maksimal dan absorbansi dibandingkan
ketika OVA dan ASA tidak saling dikomplekskan (Widyarti dkk.,
2015). Konsumsi kompleks scavenger AOC mampu menurunkan
suhu tubuh penderita inflamasi, meningkatkan trombosit serta
kualitas hidup (Saraswati & Jayanti, 2014). Ovalbumin tidak dicerna
secara baik dan diserap di dalam saluran pencernaan, sehingga
kompleks scavenger AOC berpotensi untuk digunakan sebagai
transporter.
Kompleks scavenger AOC telah diteliti secara in silico melalui
proses docking molekul menggunakan program PyRx. Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa makromolekul ovalbumin
membentuk kompleks scavenger bersama dengan ligan aspirin dan
ligan caffeine yang kedua ligan tersebut tidak terletak pada residu
yang sama. Posisi tersebut menandakan bahwa ligan aspirin dan
ligan caffeine melekat dan berfungsi pada situs ikatan makromolekul
ovalbumin (Jayanti dkk., 2018).
Analisis nilai energi potensial pada kompleks scavenger AOC
bersifat stabil pada kondisi pH lambung yang berkisar dari 1,5; 2;
dan 2,5. Kondisi kestabilan kompleks scavenger AOC yang

12
divisualisasikan secara movie menunjukkan bahwa AOC bersifat
stabil pada kondisi pH lambung 2 dibandingkan dengan variasi pH
lambung yang lain. Kestabilan tersebut ditandai dengan tidak
berubahnya struktur protein ovalbumin secara signifikan dan ligan
aspirin maupun ligan caffeine masih terikat pada ovalbumin
(Wibowo, 2017). Kondisi pH 2 merupakan kondisi fisiologis
lambung manusia sehat, yang secara umum kisaran tersebut berada
di antara 1 hingga 2,5 (Evans dkk., 1988).
2.7 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi ketika reactive oxygen
species (ROS) yang bersifat racun berjumlah lebih banyak daripada
pertahanan antioksidan endogen dari tubuh host (Bulger & Helton,
1998). Kondisi tersebut menghasilkan kelebihan radikal bebas yang
dapat bereaksi dengan asam nukleat, protein, dan lipida seluler yang
kemudian menyebabkan cedera pada sel, kerusakan jaringan, dan
disfungsi organ. Hal tersebut dapat terjadi karena reaksi antara
radikal bebas berlebih menyebabkan mutasi pada asam nukleat
deoxyribonucleic acid (DNA), denaturasi protein, dan pengikatan
pada membran lipida tidak jenuh yang menyebabkan fluiditas dan
permeabilitas membran lipida menjadi terganggu (Sofna, 2014).
Kelebihan radikal bebas juga menstimulasi sitokrom C dan faktor
trigger apoptosis dari mitokondria untuk menghasilkan mekanisme
apoptosis (Orrenius dkk., 2007). Berdasarkan hal tersebut, radikal
bebas berlebih sebagai mediator penting yang merusak struktur sel
dan berakibat pada penuaan hingga berbagai penyakit seperti gastritis
(Jomova & Valko, 2011).
Radikal bebas merupakan senyawa yang salah satu atau kedua
atomnya (Dovhanj & Dražen, 2011) maupun atom atau kelompok
atom yang memiliki elektron tidak berpasangan (Murray dkk., 2006).
Elektron tidak berpasangan memiliki kecenderungan reaktif guna
mengambil elektron dari atom lain kemudian mengubah atom lain
menjadi radikal bebas sekunder. Berdasarkan hal tersebut, reaksi
berantai dari radikal bebas mampu menyebabkan kerusakan biologis
yang cukup besar. Radikal bebas dapat berupa reactive oxygen
species (ROS) maupun reactive nitrogen species (RNS) seperti nitric
oxide (NO) (Earl, 2004). ROS merupakan molekul kecil turunan
oksigen yang bersifat radikal meliputi anion superoxide (O 2 –),
hydroxyl (OH), peroxyl (RO2), dan alkoxyl (RO), serta beberapa non-
radikal tertentu yang merupakan zat pengoksidasi yang mudah untuk
13
diubah menjadi radikal seperti shypochlorous acid (HOCl), ozone
(O3), singlet oxygen (1O–2), dan hydrogen peroxide (H2O2) (Freitas
dkk., 2010). Molekul O dan H O sering dihasilkan oleh sel sebagai
2 2 2
hasil respirasi seluler mitokondria (Earl, 2004).
Radikal bebas secara fisiologi dapat terjadi sebagai hasil
sampingan dari reaksi respirasi seluler biologis di mitokondria,
peroksisom, dan sitokrom P-450. Ketika sel dalam keadaan istirahat
(resting cell), maka O 2 – diproduksi sebanyak 1-2 % dari total
konsumsi oksigen harian selama transfer elektron dan fosforilasi
oksidatif oleh mitokondria dalam menghasilkan energi berupa
adenosine triphosphate (ATP) (Balaban dkk., 2005).
2.8 Gastritis Akibat Stres Oksidatif
Gastritis sebagai respon secara biokimia yang sangat kompleks
akibat adanya inflamasi pada sel-sel gaster. Gastritis ketika diamati
secara histopatologi akan terlihat adanya edema mukosa dan infiltrat
sel radang (Kumar dkk., 2007). Gastritis akut secara histopatologi
ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang, vasodilatasi, dan edema
(Hartono, 2007). ROS hasil metabolisme memediasi inflamasi di
lambung dengan cara mengaktifkan faktor transkripsi yang sensitif
terhadap nuclear factor-kappaB (NF-kappaB) dan activator protein-
1 (AP-1) yang keduanya mengatur jumlah gen proinflamatori
kemudian menghasilkan produk sitokin proinflamasi, molekul adhesi,
reseptor (Gloire dkk., 2006). Inflamasi yang dihasilkan pada lapisan
mukosa lambung mampu mengaktifkan berbagai enzim penghasil
oksidan seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase
(NADPH oxidase) dan inducible nitric oxide synthase. Metabolisme
oksigen yang reaktif dan metabolit nitrogen hasil dari kedua enzim
tersebut akan bereaksi satu sama lain untuk menghasilkan ROS baru
(Valko dkk., 2007).
Selain ROS, nitric oxide (NO) juga berkontribusi terhadap
pembentukan lesi oksidatif dan perubahan struktur mukosa lambung.
Urin 8-nitroguanin merupakan produk akibat dari kerusakan asam
nukleat nitrat yang disebabkan oleh RNS seperti peroxynitrite (NO3-)
dan nitrogen dioxide (NO2). Imunoreaktivitas 8-nitroguanin telah
ditemukan di sitoplasma, di dalam nukleus sel dan di sel epitel pada
jaringan yang mengalami inflamasi, namun tidak pada jaringan
normal. 8-nitroguanin pada DNA berpotensi sebagai mutagenik yang
menghasilkan transversi membentuk apurinik atau miscoding dengan
adenin. 8-nitroguanin pada RNA dapat mengganggu fungsi RNA dan
14
metabolisme. Nukleosida guanin nitrat dapat menyebabkan stres
oksidatif melalui produksi enzim superoksida yang dimediasi oleh
berbagai reduktase dan dapat mengganggu berbagai enzim penting
seperti protein pengikat guanosine-5'-triphosphate (GTP) dan enzim
yang bergantung pada cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
secara langsung (Ohshima dkk., 2006).
Tingkat inflamasi mukosa lambung berkorelasi dengan tingginya
konsentrasi radikal bebas. Peningkatan stres oksidatif pada lapisan
mukosa lambung menyebabkan perubahan inflamasi di dalam
mukosa lambung dan menjadi faktor penting untuk memperkirakan
tingkat inflamasi tersebut (Finkel & Holbrook, 2000). Selama
inflamasi, sel-sel inflamasi bermigrasi ke tempat yang cedera diikuti
produk respirasi sel yang menghasilkan O2– dan ROS lainnya.
Seiring dengan meningkatnya ROS, hormon gastrin merangsang
sekresi HCl oleh sel parietal (Elseweidy, 2011). HCl yang meningkat
secara fisiologis terjadi melalui dua jenis jalur yaitu jalur neurogen
dan jalur neurohormonal (Price & Wilson, 2005). Peningkatan HCl
melalui jalur neurogen terjadi ketika adanya rangsangan saraf vagus
untuk melepaskan asetilkolin dan gastrin releasing peptide (GRP).
Asetilkolin berperan guna merangsang sel-sel parietal secara
langsung, sedangkan GRP berperan guna merangsang pelepasan
hormon gastrin oleh sel gastrin. Hormon gastrin merangsang sel-sel
parietal secara langsung dan juga merangsang pelepasan histamin
oleh sel enterochromaffin-like (ECL) yang pada akhirnya mampu
meningkatkan produksi HCl lambung. Peningkatan HCl melalui jalur
neurohormonal terjadi ketika hormon adrenal juga berperan dalam
merangsang sekresi HCl (McCance dkk., 2010).
2.9 Kerangka Konsep Mekanisme Gastritis dengan Stimulasi
Aspirin Memengaruhi Inflamasi dan Stres Oksidatif
Aspirin merupakan asam lemah sebagai obat yang sering
diresepkan untuk mengobati inflamasi. Efek samping dari konsumsi
aspirin adalah terjadinya erosi karena aspirin juga bersifat iritan.
Integritas mukosa lambung dipertahankan oleh proses dinamis yaitu
ketika faktor defensif berupa sistem pertahanan mukosa lambung
melawan efek dari faktor agresif yakni HCl lambung. Apabila tidak
terbentuk kondisi homeostatik yang dinamis, maka terjadi kerusakan
mukosa lambung. Aspirin dosis tunggal gastrotoxicity 300 mg/kg BB
tikus mampu memberikan potensi short effect terhadap mekanisme
homeostatik pada proses yang dinamis tersebut (Clara dkk., 2012).
15
Aspirin pada dosis gastrotoxicity mampu mengganggu sistem
homeostatik pada lambung yang berujung pada terjadinya kerusakan.
Kerusakan terjadi karena adanya gangguan terhadap mekanisme
proteksi di lambung. Aspirin secara fisiologis mampu menghambat
produksi isoenzim COX antara lain COX-1 dan COX-2 secara
sistemik. Isoenzim COX-1 terletak di semua jaringan terutama pada
GI track dan berperan menjaga integritas lapisan mukosa lambung,
sedangkan COX-2 berperan dalam proses inflamasi (Takeuchi, 2012).
Penghambatan COX-1 dan COX-2 menyebabkan penghambatan
produksi PG, sehingga terjadi defisiensi PG. PG merupakan mediator
inflamasi yang menimbulkan rasa nyeri, terjadinya edema dan
vasodilatasi (Kotani dkk., 2006).
PG sitoprotektif sebagai komponen utama faktor defensif untuk
melindungi mukosa lambung dengan cara stimulasi pembentukan
mucus-bicarbonate barrier sebagai perlindungan secara pra-epitel
(Carol & Marnett, 2009). Apabila mucus-bicarbonate barrier tidak
terbentuk secara cepat, maka HCl lambung yang bersifat asam kuat
akan lebih mudah untuk mengikis dan mengiritasi surface epithelium
pada lapisan mukosa lambung. Lapisan mukosa lambung akan
mengalami kerusakan sebagai efek dari HCl lambung. Ketika
mukosa lambung rusak, maka lokasi isoenzim COX-1 hanya berada
pada jaringan yang normal sedangkan lokasi isoenzim COX-2 berada
pada jaringan yang rusak dan jumlahnya meningkat secara nyata
pada proses inflamasi (Carol & Marnett, 2009). Berdasarkan hal
tersebut, maka distribusi dan ekspresi isoenzim COX-1 dan COX-2
dapat digunakan untuk menentukan efek samping aspirin. Lapisan
mukosa lambung yang mengalami inflamasi memiliki konsentrasi
COX-2 yang meningkat.
Mekanisme patofisiologi (Gambar 5) berawal dari aspirin setelah
dikonsumsi akan menyebar di membran sel pada lapisan mukosa
lambung. Hal ini menyebabkan terganggunya permeabilitas atau
kemampuan membran sel untuk meloloskan sejumlah partikel yang
melaluinya seperti senyawa yang bersifat lipofilik, elektrolit lemah,
partikel dengan ukuran molekul kecil. Aspirin termasuk elektrolit
asam lemah yang akan mudah melalui membran sel pada suasana
asam di lambung. Aspirin dalam suasana asam relatif tidak
terionisasi atau memiliki bentuk ion yang sedikit, sehingga aspirin
lebih mudah larut dalam lemak dan lebih mudah melalui membran
sel yang sebagian penyusunnya adalah lemak. Aspirin ketika masuk
ke sitoplasma sel yang memiliki pH netral, akan diubah menjadi
16
bentuk yang terionisasi dan bersifat relatif lipophobic. Perubahan
bentuk aspirin menyebabkan aspirin terperangkap dan terakumulasi
di dalam sel, disebut trapping theory. Kondisi ini menyebabkan sel
membengkak diiringi terjadinya inflamasi (Matsui dkk., 2011).
Selain terjadinya trapping theory, kejadian kimiawi berupa stres
oksidatif dapat terjadi melalui dedahan aspirin. Organel mitokondria
dianggap sebagai organ intraselular target aspirin yang diabsorbsi.
Aspirin akan menghambat dan menghilangkan mitochondrial
transmembrane potential (MTP) (Manan, 2012). Kondisi tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan radikal bebas ROS seperti O 2 –
dan H2O2 serta pembebasan sitokrom C dari ruang intermembran
mitokondria ke dalam sitoplasma, sehingga menyebabkan aktivasi
caspase 9, caspase 3, dan peroksidasi lipid seluler yang ketiganya
menghasilkan mekanisme apoptosis seluler.
Mekanisme kompleks terjadinya trapping theory, mekanisme
kompleks yang menyangkut peristiwa dinamik berupa inflamasi
secara fisiologis dan stres oksidatif secara kimiawi menyebabkan
kerusakan lapisan mukosa lambung. Peristiwa kompleks inflamasi
dan stres oksidatif keduanya sama-sama melibatkan atom yang
memiliki elektron tidak berpasangan, sehingga elektron tersebut
dapat berpindah-pindah menjadi reaktif disebut peristiwa listrik.
Oleh karena lambung terus-menerus melakukan gerak peristaltik,
maka sistem recovery pada lambung menjadi terganggu. Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan suatu sistem yang dapat menjadi aseptor
elektron dan donor elektron dalam ilmu kelistrikan dalam rangka
supaya elektron menjadi lebih terkendali yakni elektron tidak
berpasangan mengalir secara fisiologis dari potensial yang tinggi ke
potensial yang rendah supaya elektron dapat dikeluarkan dari dalam
tubuh atau menjadi lebih tenang dan tidak reaktif.
Kompleks scavenger AOC sebagai hasil berfikir sistem biologi
menggunakan konsep fisika. Elektron tidak berpasangan dalam
mekanisme stres oksidatif dan inflamasi memang reaktif pada GI
track. Akan tetapi, diharapkan dengan adanya treatment gastritis
menggunakan kompleks scavenger AOC maka elektron yang tidak
berpasangan akan diikat oleh AOC, berada di tempat proporsional
sehingga tidak reaktif. AOC bersifat meluruhkan radikal bebas
berlebih di dalam tubuh serta membantu kemampuan sistem tubuh
untuk menyembuhkan diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka
terjadi keteraturan sistem secara kontinu untuk melakukan self
repairing, self regeneration guna meningkatkan kualitas hidup.
17
Aspirin

Aspirin menyebar di mukosa lambung Aspirin menghambat MTP di mitokond

Aspirin masuk ke sitoplasma sel (kondisi pH netral)


Pelepasan ROS
(O2- dan H2 O2 )
AOC
Stres oksidatif secara kimiawi
Aspirin terionisasi, relatif lipophobic

Aspirin terakumulasi di dalam sel

Sel mukosa lambung rusak


(necrotic cell atau
necroinflammation)

↑ Sel radang polimorfonuklear


↑ Produksi radikal bebas
Inflamasi

AOC
Gastritis

Gambar 5. Kerangka konsep mekanisme gastritis dengan stimulasi


aspirin memengaruhi inflamasi dan stres oksidatif
yang di-treatment dengan kompleks scavenger AOC

18
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Kompleks
Scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) terhadap Perbaikan
Mukosa Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus) Gastritis”
dilaksanakan pada Agustus 2017-Maret 2018 di Laboratorium
Biologi Molekuler dan Seluler, Laboratorium Fisiologi dan Struktur
Perkembangan Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental secara in vivo. Penelitian ini
menggunakan delapan kelompok perlakuan serta masing-masing
kelompok perlakuan terdapat tiga kali ulangan. Perlakuan pada
penelitian ini dilakukan pada hewan coba laboratorium tikus putih
(Rattus norvegicus) betina galur wistar umur 1,5 bulan dan 6 bulan.
Delapan kelompok perlakuan yang digunakan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelompok perlakuan tikus putih (Rattus norvegicus) betina


galur wistar
Air Aspirin dosis
Kelompok Umur AOC
No. mineral tunggal
perlakuan (bulan) 2 mL
2 mL 300 mg/kg BB
1. K0 1,5 + 1) - -
2. K1 1,5 - - + 1)
3. K2 1,5 - + -
4. K2-AOC 1,5 - + 2) -
5. K2+AOC 1,5 - + + 3)
6. K3 6 - + -
7. K3-AOC 6 - + 2) -
8. K3+AOC 6 - + + 3)
Keterangan : durasi perlakuan 1) 30 hari, 2) tujuh hari tanpa di-
treatment AOC, 3) tujuh hari di-treatment AOC

19
3.3 Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : Larutan AOC 2 mL, larutan aspirin dosis
tunggal 300 mg/kg BB tikus.
2. Variabel kontrol : Minum air mineral, pakan pelet, jadwal
pergantian sekam dan pembersihan bak
tempat tikus.
3. Variabel terikat : Terjadinya erosi pada morfologi lambung,
perubahan surface epithelium, hemorrhage
(hematoma atau bleeding), nekrosis sel
parietal, ekstravasasi eritrosit, dan infiltrasi
sel radang PMN pada gastric glands
maupun muscularis mucosae.
3.4 Komposisi dan Kandungan Pakan Tikus
Tikus putih (Rattus norvegicus) diberi makan berupa pakan pelet
yaitu Susu PAP 1 (SP 1) yang diproduksi oleh PT. Japfa Comfeed
Indonesia Tbk. Pakan SP 1 yang digunakan tersebut memiliki
komposisi yang terdiri dari jagung kuning, tetes, SBM, asam amino
esensial, mineral esensial, vitamin, premix, wheat bran, dan palm
olien. Sedangkan kandungan dari pakan SP 1 tersebut antara lain
antibiotik, 16 % protein kasar, 12 % air, 10 % abu, 8 % serat kasar,
3-7 % lemak kasar, 0,8-1 % kalsium, dan 0,6-0,8 % coccidiostat.
3.5 Pembuatan Larutan Aspirin
Serbuk aspirin diproduksi dan diperoleh dari SIGMA-ALDRICH
Co., 3050 Spruce Street, St. Louis, USA. Kandungan serbuk aspirin
tersebut terdiri dari campuran 2-acetoxybenzoic acid, O-
acetylsalicylic acid, ASA acetylsalicylic acid, dan aspirin. Larutan
aspirin pada dosis 300 mg/kg BB tikus putih (Rattus norvegicus)
dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 15 mg atau 0,015 gram
serbuk aspirin dalam 1 mL akuades dengan dipanaskan pada hot
plate suhu 60 oC dan di-stirer. Stok larutan aspirin disimpan di dalam
lemari pendingin suhu 4 oC.
3.6 Pembuatan Larutan Kompleks Scavenger AOC (Aspirin-
Ovalbumin-Caffeine)
Kopi 1 diperoleh dari Klinik Rumah Sehat, Lembaga Penelitian
Peluruhan Radikal Bebas (LPPRB) di Jalan Surakarta 5 Kota Malang.
Telur ayam usia sekitar tiga hari yang mengandung ovalbumin
20
diperoleh dari Toko Abah di Kelurahan Ketawanggede, Kota Malang.
Larutan kompleks scavenger AOC dibuat dengan cara satu butir telur
ayam dikeluarkan dari cangkangnya kemudian dimasukkan ke dalam
gelas kimia dan diaduk menggunakan pengaduk dengan arah putaran
ke arah kiri hingga menjadi encer menyerupai air. Selanjutnya
sebanyak tiga tutup botol Kopi 1 dengan volume total sekitar 20-25
mL ditambahkan ke dalam gelas kimia tersebut kemudian
dihomogenasi dengan cara diaduk menggunakan pengaduk dengan
arah putaran ke arah kiri. Larutan kompleks scavenger AOC dibuat
sesaat sebelum digunakan dengan durasi waktu pembuatan tidak
lebih dari dua menit untuk mengurangi adanya kontaminasi bakteri
dari lingkungan luar.
3.7 Persiapan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) betina galur wistar umur 1,5 bulan dan
umur 6 bulan dengan berat badan > 100 gram. Tikus diperoleh dari
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah
Mada (LPPT UGM). Pemeliharaan tikus dilakukan di dalam Animal
Room di Laboratorium Fisiologi dan Struktur Perkembangan Hewan
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Brawijaya. Pemeliharaan tikus dilakukan dengan cara
tikus dipelihara dan diletakkan ke dalam bak plastik dengan alas
sekam kayu kemudian ditutup dengan menggunakan penutup kawat
sebagai kandang. Satu bak plastik berisi tiga ekor tikus sesuai
kelompok perlakuan. Aklimatisasi tikus dilakukan selama dua
minggu. Aklimatisasi bertujuan sebagai proses adaptasi hewan coba
dengan lingkungan baru dari lingkungan lama. Selama aklimatisasi
dan proses pemeliharaan, berat badan tikus ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital kemudian tikus diberi makan pakan
pelet SP 1 serta minum air mineral. Hal tersebut dilakukan rutin
setiap pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB. Bak tikus atau kandang
tikus dibersihkan secara rutin setiap dua hari sekali sekaligus
dilakukan pergantian alas sekam kayu dari yang lama ke yang baru.
3.8 Perlakuan Hewan Coba Kelompok Kontrol Negatif
Tikus kelompok K0 sebagai kontrol negatif disonde dengan 2 mL
air mineral dan tikus kelompok K1 sebagai kontrol negatif disonde
dengan 2 mL larutan kompleks scavenger AOC. Larutan perlakuan
diberikan secara oral yakni dengan cara disonde menggunakan alat
21
sonde tikus melalui kerongkongan, sehingga larutan perlakuan akan
langsung masuk menuju ke lambung tikus. Perlakuan tersebut
dilakukan selama 30 hari dengan memberi jeda waktu penyondean
satu hari setiap satu minggu.
3.9 Model Tikus Putih (Rattus norvegicus) Gastritis Akut
dengan Stimulasi Aspirin
Tikus putih (Rattus norvegicus) model gastritis akut dengan
menggunakan stimulasi aspirin dibuat berdasarkan metode menurut
Clara dkk. (2012). Setiap tikus dipuasakan dari makanan selama dua
hari. Setiap tikus selanjutnya disonde dengan larutan aspirin dosis
tunggal 300 mg/kg BB tikus untuk menstimulasi terjadinya gastritis
akut. Setelah 24 jam pemberian larutan aspirin, model tikus gastritis
akut dibagi menjadi empat kelompok perlakuan. Empat kelompok
perlakuan meliputi K2-AOC sebagai kelompok tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan tanpa di-treatment larutan AOC. Kelompok
perlakuan K2+AOC sebagai kelompok tikus gastritis akut umur 1,5
bulan dengan di-treatment 2 mL larutan AOC selama tujuh hari.
Kelompok perlakuan K3-AOC sebagai kelompok tikus gastritis akut
umur 6 bulan tanpa di-treatment larutan AOC. Kelompok perlakuan
K3+AOC sebagai kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan dengan
di-treatment 2 mL larutan AOC selama tujuh hari.
3.10 Isolasi Lambung (Gaster) Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Isolasi organ lambung (gaster) tikus putih betina dilakukan
setelah 30 hari perlakuan. Isolasi lambung tikus putih betina pada
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan dan
umur 6 bulan dilakukan setelah lima jam disonde larutan aspirin
dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus. Isolasi lambung untuk kelompok
perlakuan tikus gastritis akut umur 1,5 bulan dan umur 6 bulan baik
yang tanpa di-treatment AOC maupun dengan di-treatment AOC
dilakukan setelah 24 jam selesai perlakuan. Tikus putih betina
didislokasi pada bagian leher kemudian dilakukan pembedahan
dengan cara bagian abdominal disayat menggunakan gunting steril
supaya diperoleh organ lambung. Organ lambung yang diperoleh di-
washing dengan phosphate buffered saline (PBS) 1x volume.
Morfologi lambung didokumentasikan menggunakan kamera digital
SONY DSC-W810 20,1 mega pixels perbesaran 1,0x dengan jarak
antara lambung dan lensa kamera sekitar 8 cm serta angel camera
relatif sama. Lambung kemudian dipotong ukuran 0,5 hingga 0,8 cm
22
secara vertikal dan horizontal serta dimasukkan ke dalam botol
flakon yang sudah berisi larutan fiksatif paraformaldehyde (PFA)
4 %. Lambung direndam ke dalam larutan fiksatif selama 24 jam.
3.11 Pengamatan Kualitatif Morfologi Lambung
Dokumentasi morfologi lambung hasil isolasi diamati berupa ada
atau tidaknya bleeding spot dan ciri-ciri dari bleeding spot tersebut.
Jumlah bleeding spot pada setiap lambung dihitung. Lokasi bleeding
spot di setiap area diamati dan dikategorikan termasuk focal bleeding
spot yang pendarahannya terpusat di satu tempat atau termasuk
regional bleeding spot yang pendarahannya merata di suatu area.
3.12 Pembuatan Preparat Histologi
Preparat histologi dibuat dengan metode parafin berdasarkan pada
Kiernan (1990). Tahapan tersebut meliputi dehidrasi, clearing,
infiltrasi, embedding, sectioning, affixing, deparafinasi dan staining,
serta mounting dan pengamatan mikroskop. Tahap dehidrasi
dilakukan untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan yang telah
difiksasi, sehingga kadar air di dalam jaringan menjadi berkurang
dan untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba. Dehidrasi
dilakukan dengan cara mengganti larutan fiksatif PFA 4 % di dalam
botol flakon dengan etanol bertingkat dari konsentrasi rendah ke
konsentrasi yang lebih tinggi yaitu etanol 30 %, 50 %, 70 % 80 %,
90 %, 95 %, dan etanol absolut secara bergantian setiap konsentrasi
selama 30 menit.
Tahap clearing atau penjernihan dilakukan untuk menggantikan
tempat etanol sementara dalam jaringan yang telah didehidrasi
sebelum dilakukan langkah penanaman parafin ke dalam jaringan.
Clearing dilakukan dengan cara lambung direndam ke dalam larutan
campuran etanol absolut:xilol (1:1), xilol I, dan xilol II secara
bergantian masing-masing selama 30 menit.
Tahap infiltrasi dilakukan untuk menyusupkan embedding media
ke dalam jaringan. Infiltrasi dilakukan di dalam inkubator suhu 68 oC
supaya parafin tidak mudah membeku. Infiltrasi dilakukan dengan
cara lambung direndam ke dalam larutan xilol:parafin (1:1), parafin I,
parafin II, dan parafin III secara bergantian masing-masing 30 menit.
Tahap embedding dilakukan untuk membuat balok parafin berisi
organ yang jaringannya akan dibuat sebagai preparat permanen.
Embedding dilakukan pada suhu ruang 37 oC dengan cara lambung
yang telah diinfiltrasi diletakkan di dalam box kertas kalender ukuran
23
2x2x2 cm kemudian dituang parafin cair. Posisi lambung diatur
terletak di tengah balok parafin yang akan dibekukan beberapa menit.
Tahap sectioning dilakukan untuk membuat sayatan jaringan
setipis mungkin yang dapat diamati secara jelas di mikroskop.
Sectioning dilakukan secara seri dengan cara blok parafin direkatkan
pada balok kayu secara kuat. Selanjutnya dimasukkan pada holder
mikrotom putar dan dipotong menggunakan mikrotom putar dengan
ketebalan irisan 5 m untuk dijadikan pita parafin.
Tahap affixing dilakukan untuk menempelkan pita parafin yang
berisi irisan jaringan di atas slide glass. Affixing dilakukan dengan
cara pita parafin diletakkan di atas slide glass yang telah di-coating
dengan gelatin selama semalam. Pita parafin yang menempel di slide
glass tersebut dikering-anginkan pada suhu ruang 37 oC semalam.
Tahap deparafinasi dilakukan untuk menghilangkan parafin yang
ada di dalam jaringan. Deparafinasi dilakukan dengan cara pita
parafin pada slide glass direndam ke dalam xilol I, xilol II masing-
masing selama lima menit.
Tahap staining dilakukan untuk memperjelas berbagai elemen
jaringan terutama pada bagian sel-sel penyusun jaringan tersebut.
Staining dilakukan dengan cara slide glass direndam ke dalam
larutan xilol:etanol absolut (1:1) selama lima menit dan sisa larutan
dihisap menggunakan tisu supaya tidak terjadi pengembunan pada
slide glass. Preparat direndam ke dalam etanol bertingkat dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah yaitu etanol absolut, 95 %,
80 %, 70 %, dan 30 % secara bergantian masing-masing konsentrasi
selama lima menit untuk rehidrasi kemudian direndam ke dalam air
kran selama dua menit. Preparat direndam ke dalam larutan pewarna
Hematoxylin selama dua menit untuk pewarnaan inti sel kemudian
direndam ke dalam air kran selama lima menit untuk memperkuat
intensitas zat warna. Preparat direndam ke dalam etanol bertingkat
dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi yaitu 30 %, 50 %, dan
70 % (sebagai konsentrasi etanol yang dapat bercampur dengan
larutan pewarna Eosin) secara bergantian masing-masing konsentrasi
selama lima menit. Preparat direndam ke dalam larutan pewarna
Eosin selama tiga menit untuk pewarnaan sitoplasma. Air di dalam
jaringan dikeluarkan dengan cara preparat direndam ke dalam etanol
bertingkat dari konsentrasi rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi
yaitu 70 %, 80 %, 95 %, dan etanol absolut secara bergantian setiap
konsentrasi selama satu menit. Preparat dijernihkan dengan cara
direndam ke dalam xilol selama satu menit.
24
Tahap mounting sebagai tahap akhir dilakukan dengan cara
preparat ditetesi entellan pada bagian jaringan. Preparat kemudian
ditutup menggunakan cover glass dengan menghindari terbentuknya
gelembung udara.
Irisan jaringan diamati menggunakan mikroskop cahaya Olympus
DP73 dengan bantuan software cellsens standard pada perbesaran
400x dan 1000x menggunakan tiga bidang pandang pengamatan
untuk mengamati hasil preparat secara kualitatif.
3.13 Pengamatan Kualitatif Preparat Histologi
Pengamatan kualitatif hasil preparat histologi berdasarkan metode
menurut Appelman (1994) dilakukan dengan cara mengamati
perubahan surface epithelium lapisan mukosa lambung. Gastritis
akut ditandai dengan terjadinya erosi superfisial. Erosi berupa
terjadinya kerusakan hingga lepasnya sel epitel pada surface
epithelium lapisan mukosa lambung. Sel-sel yang terletak pada
gastric glands mengalami nekrosis yang ditandai dengan kerusakan
membran sel dan sel mengalami lisis. Terdapat ekstravasasi eritrosit
hingga hemorrhage serta infiltrasi sel-sel radang PMN pada surface
epithelium, gastric glands maupun pada muscularis mucosae.
3.14 Analisis Data Kualitatif
Data yang diperoleh berupa foto bergambar kemudian dianalisis
secara deskriptif. Kualitas erosi morfologi lambung deskripsikan
sesuai dengan subbab 3.11. Kualitas lambung secara histologi
dideskripsikan meliputi adanya perubahan berupa rusaknya surface
epithelium sekaligus menipisnya mucus-bicarbonate barrier,
terjadinya dilatasi pembuluh darah hingga menyebabkan terjadinya
ekstravasasi eritrosit, terjadinya hemorrhage internal ditandai dengan
pecahnya pembuluh darah dan keberadaan eritrosit masih di dalam
jaringan disebut hematoma maupun terjadinya hemorrhage eksternal
ditandai dengan pecahnya pembuluh darah dan keberadaan eritrosit
di luar jaringan disebut bleeding, terjadinya nekrosis sel parietal di
gastric glands baik berupa necrotic cell yakni nekrosis melibatkan
satu sel parietal maupun berupa necroinflammation yakni nekrosis
melibatkan sekumpulan sel parietal di suatu area, dan terjadinya
infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada gastric glands
dan muscularis mucosae di lapisan mukosa lambung. Data kualitatif
histologi struktur mukosa lambung dibandingkan antar kelompok
dan kelompok kontrol negatif sebagai quality control preparat.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kualitas Morfologi Lambung Hasil Penelitian


Hasil dokumentasi kondisi morfologi lambung disajikan pada
Gambar 6, selanjutnya dibuat tabel dengan cara melihat dan
mengamati keberadaan bleeding spot yang disajikan pada Tabel 2.

Gambar 6. Morfologi lambung dari luminal surface. Keterangan :


(K0) K- air mineral, (K1) K- AOC, (K2) K+ tikus 1,5
bulan gastritis akut, (K2-AOC) K2 tanpa AOC,
(K2+AOC) K2 di-treatment AOC, (K3) K+ tikus 6 bulan
gastritis akut, (K3-AOC) K3 tanpa AOC, (K3+AOC) K3
di-treatment AOC
26
Tabel 2. Erosi pada morfologi lambung hasil penelitian
Keberadaan
No. Kelompok bleeding Jumlah Lokasi Ciri-ciri
spot bleeding bleeding erosi
1. K0 Tidak ada - - -
2. K1 Tidak ada - - -
Ada Gumpalan
3. K2
(tidak aktif) 22 spots Focal bekuan
darah
4. K2-AOC Tidak ada - - -
5. K2+AOC Tidak ada - - -
Ada Dasar
4. K3 2 Focal
(tidak aktif) bersih
7. K3-AOC Tidak ada - - -
8. K3+AOC Tidak ada - - -
Keterangan : (K0) K- air mineral, (K1) K- AOC, (K2) K+ tikus 1,5
bulan gastritis akut, (K2-AOC) K2 tanpa AOC,
(K2+AOC) K2 di-treatment AOC, (K3) K+ tikus 6
bulan gastritis akut, (K3-AOC) K3 tanpa AOC,
(K3+AOC) K3 di-treatment AOC

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lambung tikus kelompok


kontrol negatif air mineral (K0) (Gambar 6 K0, Tabel 2) sebagai
quality control dan kelompok kontrol negatif yang disonde larutan
AOC (K1) (Gambar 6 K1, Tabel 2) keduanya sama-sama tidak
mengalami erosi lambung secara morfologi. Kondisi morfologi
lambung keduanya tampak tidak terdapat erosi datar serta permukaan
lambung bersih. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi morfologi
lambung kedua kelompok kontrol negatif adalah normal.
Penelitian ini menggunakan aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB
tikus yang bersifat gastrotoxicity untuk menyebabkan lambung tikus
mengalami gastritis akut (Clara dkk., 2012). Hasil penelitian (Tabel
2) menunjukkan bahwa erosi lambung secara morfologi terjadi pada
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan (K 2) dan
pada kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan (K 3).
Erosi yang terjadi pada kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan (Gambar 6 K2, Tabel 2) ditandai dengan adanya
27
pendarahan eksternal dengan jumlah bleeding spot sebanyak 22 spots.
Lokasi bleeding spot termasuk tipe focal, yakni terjadi pendarahan
secara terpusat di beberapa area pada luminal surface dinding
lambung. Ciri-ciri erosi yaitu bleeding spot tidak aktif, yakni berupa
gumpalan bekuan darah yang berekor dan amorf serta tidak lepas
ketika dialiri air secara kontinu. Hal tersebut berbeda dengan
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan. Lambung
tikus pada kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan
(Gambar 6 K3, Tabel 2) mengalami bleeding spot tidak aktif dengan
dasar erosi bersih sebanyak dua spots. Lokasi erosi tipe focal. Hal
tersebut secara morfologi menandakan bahwa lambung tikus pada
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan memiliki
tingkat resistensi yang lebih kuat terhadap efek aspirin daripada
lambung tikus kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5
bulan. Hasil penelitian pada kelompok perlakuan (Gambar 6 K2-
AOC; K2+AOC; K3-AOC; K3+AOC, Tabel 2) secara keseluruhan
tidak mengalami erosi dan kondisi morfologi lambung normal.
Erosi lambung yang distimulasi oleh konsumsi aspirin dapat
diamati secara morfologi dan histologi. Erosi lambung secara
morfologi menandakan terjadinya erosi struktur lapisan lambung
secara histologi. Akan tetapi, tidak adanya erosi secara morfologi
belum tentu secara histologi tidak terjadi kerusakan struktural. Efek
konsumsi aspirin dosis tunggal yang bersifat toksik menyebabkan
terjadinya gastritis akut. Gastritis akut merupakan inflamasi pada
lapisan mukosa lambung yang terjadi secara cepat atau tiba-tiba, dan
bersifat sementara. Dedahan aspirin sebagai zat yang bersifat iritan
menyebabkan terjadinya erosi akibat dari HCl lambung yang
merusak lapisan mukosa lambung, sehingga menyebabkan terjadinya
ekstravasasi eritrosit hingga hemorrhage. Ekstravasasi eritrosit
terjadi ketika pembuluh darah kapiler pada lapisan mukosa lambung
mengalami pelebaran atau dilatasi. Hal tersebut juga diiringi dengan
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler untuk
meloloskan sejumlah partikel yang melaluinya, sehingga eritrosit
dapat keluar dari pembuluh darah kapiler. Fenomena ekstravasasi
eritrosit mampu menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler hingga
terjadi hemorrhage pada lapisan mukosa lambung (Malik, 1992).
Hemorrhage yang terjadi dapat menembus lapisan surface
epithelium mukosa lambung, sehingga terjadi bleeding yang secara
morfologi ditandai dengan adanya bleeding spot pada luminal
surface atau sisi dinding lambung yang dekat dengan lumen lambung.
28
4.2 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan Mukosa
Lambung pada Kelompok Kontrol Negatif
Kondisi histologi struktur lapisan mukosa lambung kelompok
kontrol negatif air mineral (K0) disajikan pada Gambar 7, sedangkan
kondisi struktur lapisan mukosa lambung pada kelompok kontrol
negatif larutan AOC (K1) disajikan pada Gambar 8.

Gambar 7. Struktur lapisan mukosa lambung kelompok kontrol


negatif air mineral. Bagian (A) surface epithelium
hingga gastric glands, (B) muscularis mucosae
perbesaran 400x. Keterangan : (E) lapisan sel epitel,
(arrow) necrotic cell, (MM) muscularis mucosae
29
Gambar 8. Struktur lapisan mukosa lambung kelompok kontrol
negatif larutan AOC. Bagian (A) surface epithelium
hingga gastric glands, (B) muscularis mucosae
perbesaran 400x. Keterangan : (E) lapisan sel epitel,
(MM) muscularis mucosae
30
Penelitian ini menggunakan dua kelompok kontrol negatif dengan
umur tikus 1,5 bulan. Kelompok K0 disonde dengan air mineral,
sedangkan kelompok K1 disonde larutan kompleks scavenger AOC
masing-masing selama 30 hari. Histologi struktur lapisan mukosa
lambung dari arah luminal surface terdiri dari surface epithelium,
lamina propria, gastric glands, dan muscularis mucosae. Hasil
penelitian pada kelompok kontrol negatif air mineral (Gambar 7 A)
dan pada kelompok kontrol negatif larutan AOC (Gambar 8 A)
menunjukkan bahwa struktur lapisan surface epithelium keduanya
tampak normal. Hal tersebut ditandai dengan tidak terjadinya
kerusakan lapisan epitelium, tidak terdapat infiltrasi sel radang, dan
tidak terjadi ekstravasasi eritrosit pada superfisial mukosa lambung.
Lapisan surface epithelium terdiri dari selapis sel-sel epitel tipe
kolumner yang saling berjajar dengan susunan rapat, dan terdapat
mucus-bicarbonate barrier di permukaannya. Bagian bawah lapisan
surface epithelium terdapat sel-sel parietal di bagian gastric glands.
Sel parietal secara normal memiliki bentuk bulat piramida dengan
sitoplasma berwarna merah-muda dan di bagian tengah sitoplasma
terdapat nukleus berwarna biru. Sel parietal pada kedua kelompok
kontrol negatif secara keseluruhan tampak normal dan tersusun rapi
beserta sel-sel lain yang ada pada gastric glands, meskipun pada
kelompok kontrol negatif air mineral terdapat necrotic cell yakni
beberapa sel parietal mengalami nekrosis. Necrotic cell tidak terjadi
pada kelompok kontrol negatif larutan AOC. Muscularis mucosae
dan lamina propria bagian basal pada kedua kelompok (Gambar 7 B,
Gambar 8 B) tampak normal ditandai dengan tidak terjadinya
infiltrasi sel radang PMN, dan tidak terjadi ekstravasasi eritrosit.
Larutan kompleks AOC memiliki scavenger activity yang penting
untuk menampung elektron tidak berpasangan, sehingga dapat
mengurangi kadar radikal bebas dengan cara menghambat produksi
radikal bebas (Wang & Hongjun, 2000). Radikal bebas pada lapisan
mukosa lambung berupa ROS yang merupakan hasil sampingan
metabolisme mitokondria di dalam sel. Molekul O – dan H O
2 2 2
merupakan jenis ROS yang sering dihasilkan oleh sel sebagai hasil
respirasi seluler mitokondria (Earl, 2004). Kedua molekul tersebut
dapat berikatan pada asam nukleat, protein, dan lipida seluler.
Molekul O – dan H O yang berikatan pada membran lipida tidak
2 2 2
jenuh mampu menyebabkan fluiditas dan permeabilitas membran
lipida menjadi terganggu (Sofna, 2014), sehingga sel mengalami
cedera yang berakhir pada nekrosis.
31
4.3 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan Mukosa
Lambung pada Kelompok Gastritis Akut Umur Tikus 1,5
Bulan
Kondisi histologi struktur lapisan mukosa lambung kelompok
kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan (K 2) disajikan pada
Gambar 9, kelompok K2 tanpa di-treatment AOC (K2-AOC)
disajikan pada Gambar 10, sedangkan kelompok K3 dengan di-
treatment AOC (K2+AOC) disajikan pada Gambar 11.

Gambar 9. Struktur lapisan mukosa lambung kontrol positif tikus


gastritis akut umur 1,5 bulan. Bagian (A) surface
epithelium hingga gastric glands, (B) muscularis
mucosae perbesaran 400x. Keterangan : (E) lapisan sel
epitel, (B) bleeding, (H) hematoma, (PMN) sel
polimorfonuklear, (circle) necroinflammation, (EV)
ekstravasasi eritrosit, (MM) muscularis mucosae
32
Gambar 10. Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan tanpa di-treatment AOC. Bagian (A)
surface epithelium hingga gastric glands, (B)
muscularis mucosae perbesaran 400x. Keterangan :
(PMN) sel polimorfonuklear, (arrow) necrotic cell,
(MM) muscularis mucosae
33
Gambar 11. Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan dengan di-treatment AOC. Bagian (A)
surface epithelium hingga gastric glands, (B)
muscularis mucosae perbesaran 400x. Keterangan :
(E) lapisan sel epitel mengalami re-epitelisasi, (arrow)
necrotic cell, (MM) muscularis mucosae
34
Berikut histologi infiltrasi sel radang kelompok kontrol positif
tikus gastritis akut umur 1,5 bulan (K 2) di lapisan mukosa bagian
basal disajikan pada Gambar 12 A, kelompok K 2 tanpa AOC (K2-
AOC) di lapisan submucosa disajikan pada Gambar 12 B, sedangkan
kelompok K2 dengan di-treatment AOC (K2+AOC) di lapisan
mukosa bagian basal disajikan pada Gambar 12 C.

Gambar 12. Infiltrasi sel radang pada kelompok tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan. Bagian (A) kontrol gastritis akut, (B)
tanpa di-treatment AOC, (C) dengan di-treatment AOC
perbesaran 1000x. Keterangan : (arrow) sel eosinofil
polimorfonuklear, (circle M) monosit, (circle L)
limfosit
35
Kelompok K2 merupakan kelompok kontrol positif umur tikus 1,5
bulan yang disonde aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus supaya
terjadi gastritis akut. Lambung tikus pada kelompok tersebut dibedah
setelah lima jam disonde aspirin. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara histologi (Gambar 9 A) terjadi kerusakan struktur
lapisan surface epithelium. Mucus-bicarbonate barrier menipis dan
hilang, sehingga sel-sel epitel kolumner selapis hilang atau
mengalami kerusakan epithelium serta terjadi hemorrhage eksternal
yakni bleeding di sepanjang lapisan surface epithelium kemudian
timbunan eritrosit menembus keluar dari lapisan epitelium. Ketika
usia muda, sel-sel epitel pada lapisan surface epithelium masih aktif
berproliferasi, sehingga sel-sel yang baru bersifat rentan terhadap
efek HCl lambung dan dedahan bahan kimia yang bersifat toksik.
Terjadi hemorrhage internal pada gastric glands disebut hematoma
yang ditandai dengan adanya timbunan eritrosit yang masih berada di
dalam mukosa lambung. Bleeding dan hematoma merupakan jenis
hemorrhage sebagai fenomena ekstravasasi eritrosit disertai dengan
pecahnya pembuluh darah kapiler yang ada di lapisan mukosa
lambung. Gastric glands mengalami penebalan serta sel parietal
banyak yang mengalami nekrosis membentuk necroinflammation.
Nekrosis yang terjadi meliputi tahap piknosis, tahap karyoreksis, dan
tahap karyolisis. Tahap piknosis ditandai dengan morfologi nukleus
sel parietal mengalami perubahan ukuran menjadi kecil dan berwarna
gelap. Tahap karyoreksis ditandai dengan nukleus yang telah
mengalami piknosis akan terpecah dan tersebar. Selanjutnya tahap
karyolisis yakni nukleus sel parietal menghilang.
Bagian basal dari gastric glands dan lamina propria di lapisan
mukosa lambung (Gambar 9 B, Gambar 12 A) terdapat area yang
mengalami infiltrasi sel radang eosinofil polimorfonuklear dan
infiltrasi limfosit secara terpusat sebagai tanda terjadinya inflamasi
akut. Lapisan muscularis mucosae lambung tampak mengalami
ekstravasasi eritrosit dan di lapisan mukosa bagian basal terdapat
infiltrasi sel radang eosinofil polimorfonuklear (Gambar 12 A).
Ekstravasasi eritrosit merupakan migrasi sel-sel eritrosit secara pasif
keluar dari kapiler akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah kapiler dan terjadinya vasodilatasi kapiler, namun tidak terjadi
pecahnya dinding pembuluh darah kapiler tersebut.
Kelompok perlakuan yang menggunakan umur tikus 1,5 bulan
adalah kelompok K2-AOC dan kelompok K2+AOC. Kelompok K2-
AOC merupakan kelompok perlakuan tanpa di-treatment, atau tidak
36
disonde dengan larutan AOC selama tujuh hari setelah disonde
dengan larutan aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus. Sedangkan
kelompok K2+AOC merupakan kelompok perlakuan dengan di-
treatment, atau disonde dengan larutan AOC sebagai kompleks
scavenger selama tujuh hari setelah disonde larutan aspirin dosis
tunggal 300 mg/kg BB tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada kelompok tikus gastritis akut umur 1,5 bulan tanpa di-treatment
AOC (Gambar 10 A) belum terjadi indikasi re-epitelisasi di lapisan
surface epithelium serta masih terdapat infiltrasi sel-sel radang
eosinofil polimorfonuklear di area gastric glands yang sel-sel
parietalnya mengalami nekrosis. Gastric glands relatif tidak
mengalami penebalan serta sel-sel parietal dengan kondisi normal
lebih banyak ditemukan pada kelompok tikus gastritis akut umur 1,5
bulan tanpa di-treatment AOC, dibandingkan dengan kondisi
histologi lapisan mukosa lambung kelompok kontrol positif tikus
gastritis akut umur 1,5 bulan. Muscularis mucosae (Gambar 10 B)
tampak terputus dan mengalami infiltrasi eosinofil polimorfonuklear;
infiltrasi monosit dan limfosit di lapisan submucosa (Gambar 10 B,
Gambar 12 B), namun tidak terjadi ekstravasasi eritrosit dan eritrosit
masih berada di dalam pembuluh darah yang terletak di submucosa.
Berbeda dengan kelompok tikus gastritis akut umur 1,5 bulan
tanpa di-treatment AOC, pada kelompok tikus gastritis akut umur 1,5
bulan dengan di-treatment AOC (Gambar 11 A) terjadi indikasi re-
epitelisasi di lapisan surface epithelium sekaligus terbentuk mucus-
bicarbonate barrier, keberadaan sel radang polimorfonuklear di area
gastric glands berkurang, serta kondisi sel parietal dominan normal.
Muscularis mucosae dan di bagian basal lapisan mukosa (Gambar 11
B, 12 C) terdapat sedikit inflamasi sel eosinofil polimorfonuklear dan
tidak terjadi ekstravasasi eritrosit. Sel-sel yang terdapat pada lapisan
mukosa lambung mengalami pergantian sel untuk memperbaiki
kondisi jaringan setelah jaringan mengalami kerusakan. Kondisi
lapisan mukosa lambung pasca gastritis akut pada kelompok
K2+AOC lebih cepat mengalami perbaikan daripada kelompok K 2-
AOC. Hal tersebut menunjukkan terdapat pengaruh positif ketika
dilakukan treatment menggunakan kompleks scavenger AOC pada
hewan coba gastritis akut akibat aspirin. Pengaruh positif berupa
terjadinya proses re-epitelisasi secara cepat selama tujuh hari.
Kerusakan lapisan mukosa lambung dapat terjadi ketika faktor
agresif dan faktor defensif di lambung tidak terjadi kondisi yang
homeostatik. Faktor agresif di lambung dibagi menjadi dua jenis
37
yaitu faktor agresif endogen dan faktor agresif eksogen. Faktor
agresif endogen berupa over-sekresi HCl lambung dan over-sekresi
pepsinogen oleh sel chief yang menyebabkan autodigestion yakni
pepsin merusak lapisan mukosa lambung yang juga mengandung
protein. Faktor agresif eksogen berupa dedahan zat kimia seperti
aspirin dengan sifat iritan yang mampu membebaskan radikal bebas
endogen. Sekresi HCl lambung secara berlebihan bersifat destruktif
terhadap keutuhan lapisan mukosa lambung akibat dari sifat asam
kuatnya. Sekresi HCl lambung distimulasi melalui aktivasi kinerja
saraf parasimpatis kemudian rangsangan dihantarkan melalui saraf
eferen vagus untuk mengatur sekresi HCl pada lambung. Berikut
merupakan mekanisme sekresi HCl melalui jalur neurogen yang
distimulasi oleh aktifnya ACh, GRP dan reseptor H-2 di lambung
(Gambar 13).

Rangsangan dari indra penciuman dan indra penglihatan,


perubahan pH lambung, meningkatnya kadar ROS

Sekresi hormon gastrin melalui jalur neurogen

Acetylcholine (ACh) Gastrin Releasing Peptide (GRP)

Aktifasi sel parietal melalui M3 cholinoceptors secara langsung


Sel G melepaskan Hormon gastrin
hormon gastrin ke merangsang sel
sirkulasi sistemik ECL melepaskan
histamin (H-2 R)
Hormon gastrin menuju ke CCKB sel parietal

Sel parietal mensekresi HCl

Gambar 13. Mekanisme sekresi HCl melalui jalur neurogen yang


distimulasi oleh aktifnya ACh, GRP, dan reseptor H-2

38
Rangsangan dari indra penciuman dan indra penglihatan, adanya
perubahan pH lambung, dan seiring meningkatnya kadar radikal
bebas ROS mengakibatkan terjadinya sekresi hormon gastrin melalui
jalur neurogen, yakni lepasnya acetylcholine (ACh) dan gastrin
releasing peptide (GRP) (Gambar 13). ACh berperan merangsang
dan mengaktifkan sel-sel parietal yang terletak di fundus melalui M3
cholinoceptors secara langsung (Shresyha, 2011). Sedangkan GRP
dilepaskan oleh neuron berperan merangsang pelepasan hormon
gastrin oleh sel gastrin menuju sirkulasi sistemik kemudian menuju
ke sel parietal untuk merangsang sel-sel parietal melalui reseptor
cholecystokinin B (CCKB) (McCance dkk., 2010). Hormon gastrin
juga merangsang pelepasan histamin oleh sel enterochromaffin-like
(ECL) di kelenjar fundus yang diaktifkan oleh reseptor CCKB dan
ACh (Shresyha, 2011) yang pada akhirnya meningkatkan produksi
HCl lambung (McCance dkk., 2010). Histamin yang disekresikan
memiliki reseptor yaitu reseptor histamin-1 (H-1 R) dan reseptor
histamin-2 (H-2 R). Reseptor H-1 terletak di pembuluh darah dan
otot polos untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
dilatasi pembuluh darah. Reseptor H-2 terletak di lambung untuk
merangsang sekresi HCl oleh sel parietal (Shresyha, 2011).
Sel parietal terdapat di sebagian besar kelenjar gaster untuk
mensekresikan HCl lambung (Gambar 14). Sitoplasma sel parietal
mengandung molekul H2O yang akan terurai menjadi ion hidrogen
(H+) dan ion hidroksida (OH-) melalui proses hidrolisis. Ion OH -
berikatan dengan karbon dioksida (CO2) membentuk ion bikarbonat
(HCO -). Ion HCO - dengan bantuan enzim carbonic anhydrase (CA)
3 3
dikeluarkan dari sitoplasma sel parietal menuju ke cairan interstisial
bertukar dengan masuknya ion klorida (Cl-) ke dalam sitoplasma sel
parietal melalui anion antiport HCO 3 -/Cl-protein channel. Ion Cl-
melakukan transport keluar dari sitoplasma sel parietal melalui Cl -
protein channel menuju ke lumen lambung. Membran sel parietal
terdapat H+/K+-ATPase atau pompa proton yang mentransport ion H +
hasil hidrolisis keluar dari sitoplasma sel parietal menuju ke lumen
lambung bertukar dengan K+ dari lumen lambung menuju ke dalam
sel parietal melewati membran kanalikuli (Philip & Aaron, 2011).
Hasil transport molekul pada lumen lambung berupa bergabungnya
ion H+ dan ion Cl- menjadi HCl. Transport molekul berikutnya
berfungsi membantu pompa proton dengan cara mentransport K + dari
sitoplasma sel parietal menuju ke lumen lambung melewati membran
kanalikuli melalui K+ protein channel (Boron dkk., 1994).
39
(Shresyha, 2011)
Gambar 14. Mekanisme pembentukan HCl oleh sel parietal

Lambung memiliki faktor defensif sebagai mekanisme pertahanan


pada lapisan mukosa lambung dari keberadaan faktor agresif, supaya
tercipta kondisi homeostatik. Mekanisme pertahanan tersebut adalah
dibentuknya mucus-bicarbonate barrier secara pra-epitel oleh
prostaglandin (PG) yang penting dalam mempertahankan gradien pH
di permukaan sel epitel menjadi netral, mempertahankan aliran darah
yang cukup pada lapisan mukosa lambung, serta berperan dalam
regenerasi sel-sel mukosa lambung (Forssel, 1988). PG terdapat di
lapisan mukosa lambung dan disintesis oleh enzim cyclooxigenase
(COX). Enzim COX memiliki dua jenis isoform yaitu COX-1 dan
COX-2 yang keduanya sama-sama mengkatalisir asam arakidonat
(AA) menjadi PG. COX-1 berada di lambung sebagai housekeeping
mukosa lambung dengan cara menghasilkan PG sitoprotektif yang
berperan memelihara fungsi lambung, melindungi integritas lapisan
mukosa lambung, dan menghasilkan tromboksan yang berperan
dalam vasokontriksi. Sedangkan COX-2 akan terekspresi melalui
induksi oleh adanya rangsangan inflamasi, terekspresi pada leukosit
40
maupun makrofag. COX-2 berperan dalam menghasilkan PGE2 yang
memediasi rasa nyeri maupun inflamasi akut, sehingga keberadaan
COX-2 berperan penting dalam menentukan adanya inflamasi
(Warner & Mitchell, 2004).
Aspirin memiliki aktivitas menghambat inflamasi dengan cara
memblokir aktivitas enzim COX. Efek sampingnya mampu
menghambat biosintesis PG sitoprotektif dalam sekresi mukus dan
bikarbonat dan mengubah struktur mikrovaskuler, menyebabkan
terjadinya infiltrasi atau akumulasi sel radang serta meningkatkan
sekresi HCl dan pepsinogen yang secara keseluruhan mengakibatkan
kerusakan lapisan mukosa lambung. Aspirin memiliki mekanisme
yang menyebabkan kerusakan mukosa lambung melalui aksi lokal
atau topikal atau secara sistemik (Wallace, 2008).

Efek aspirin

Sistemik Topikal

Aktivitas COX-1 Trapping Theory


Menghambat
terhambat aktivitas COX-2, Sel di lapisan mukosa lambung
sintesis PGE2,
Sintesis PG prostasiklin,
sitoprotektif tromboksan
terhambat, fungsi
housekeeping Menekan gejala
menurun akibat sintesis MTP
PGE2 : nyeri, mitokondria
Erosi mukosa lambung dihambat
demam, radang
Pelepasan ROS
(O2- dan H2 O2 )

Gambar 15. Efek sistemik dan topikal dari aspirin di lambung

41
Efek lokal aspirin menyebabkan terjadinya nekrosis (Gambar 15).
Efek sistemik aspirin pada satu sisi bermanfaat dalam menghambat
aktivitas COX‐2 (Halter dkk., 2001), menghambat biosintesis PGE2,
prostasiklin, dan tromboksan. Biosintesis PGE2 yang diproduksi di
hipotalamus memiliki peran untuk aktivasi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) yang penting dalam timbulnya rasa nyeri,
demam, dan reaksi inflamasi. Berdasarkan hal tersebut, maka aspirin
mampu menekan gejala-gejala akibat biosintesis PGE2 meliputi
adanya rasa nyeri, demam ringan, dan peradangan. Akan tetapi,
aspirin juga menyebabkan fungsi COX-1 sebagai housekeeping pada
mukosa lambung menurun (Halter dkk., 2001). Fungsi PG
sitoprotektif hasil biosintesis enzim COX-1 akan terhambat dan
terjadi penurunan pembentukan mucus-bicarbonate barrier, sehingga
menyebabkan HCl lambung mengikis dan mengiritasi lapisan
surface epithelium pada mukosa lambung yang berujung pada
terjadinya erosi hingga hemorrhage di lapisan mukosa lambung
(Indraswari dkk., 2004).
Kerusakan pada susunan sel epitel di lambung mengakibatkan
terjadinya suasana asam, sehingga terjadi sekresi pepsinogen oleh
chief cell serta pelepasan histamin oleh sel ECL. Pelepasan histamin
mampu menyebabkan peningkatan produksi HCl, sehingga sistem
enzim pada sel epitel menjadi terganggu dan regenerasi sel epitel
menjadi terhambat. Pelepasan histamin juga akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler dan terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah kapiler. Vasodilatasi pembuluh darah
kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran pembuluh darah hingga
terjadi hemorrhage di lapisan mukosa lambung (Malik, 1992).
Ekstravasasi eritrosit sebagai mekanisme ketika eritrosit keluar
dari dalam pembuluh darah kapiler yang mengalami vasodilatasi dan
permeabilitas dari membran pembuluh darah kapiler meningkat.
Permeabilitas pembuluh darah kapiler yang meningkat menyebabkan
molekul dengan ukuran besar mampu melewati dinding pembuluh
darah kapiler, sehingga selanjutnya eritrosit secara pasif akan dapat
berpindah menuju ke jaringan interstitial di lapisan mukosa lambung
(Karnadiharja, 1997). Ekstravasasi eritrosit dapat terjadi sebagai efek
dari adanya dedahan bahan kimia yang bersifat toksik maupun
infeksi oleh bakteri, sehingga jaringan mengalami kerusakan.
Fenomena ekstravasasi eritrosit yang berlanjut dengan pecahnya
pembuluh darah akibat tekanan darah di dinding pembuluh darah
menyebabkan terjadinya hemorrhage. Hemorrhage dibagi menjadi
42
dua jenis yaitu hemorrhage internal ditandai dengan keberadaan
eritrosit masih di dalam jaringan disebut hematoma serta hemorrhage
eksternal ditandai dengan keberadaan eritrosit di luar jaringan
disebut bleeding. Fenomena ekstravasasi eritrosit menjadi indikasi
ketika jaringan mengalami inflamasi. Inflamasi ketika terjadi erosi
lambung juga menyebabkan terjadinya infiltrasi sel-sel radang
menuju ke bagian lamina propria pada lapisan mukosa lambung.
Infiltrasi sel radang eosinofil polymorphonuclear (PMN) pada
lapisan mukosa lambung merupakan tanda ketika terjadi gastritis
akut yang berpeluang untuk dapat disembuhkan (Kumar, 2007).
Eosinofil pada kondisi normal berada di bagian tengah pembuluh
darah. Ketika terjadi inflamasi, maka pembuluh darah di area
inflamasi akan mengalami dilatasi diiringi dengan meningkatnya
aliran darah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya margination,
yaitu PMN menuju ke tepi pembuluh darah akibat adanya tekanan ke
semua arah. Selanjutnya terjadi emigration, yaitu PMN yang telah
mengalami margination keluar dari pembuluh darah menuju ke area
inflamasi. Emigration PMN terjadi akibat permeabilitas pembuluh
darah meningkat serta pengaruh kemotaksis oleh PG hasil biosintesis
COX-2. PMN selanjutnya mengalami agregation, yaitu terkumpul
dan mengelilingi area inflamasi untuk melokalisir area inflamasi,
sehingga dapat dilakukan fungsi fagositosis (Yulida dkk., 2013).
Lapisan mukosa lambung memiliki mekanisme perbaikan atau
regenerasi berupa re-epitelisasi untuk memelihara keutuhan lapisan
sel epitel setelah mengalami kerusakan superfisial. Epidermal growth
factor (EGF) sebagai faktor pertumbuhan yang menstimulasi dan
memodulasi proses re-epitelisasi (Fujiwara dkk., 1995). Mekanisme
re-epitelisasi disebut sebagai restitusi mukosa lambung berlangsung
dalam jangka waktu dua hingga lima hari setelah terjadinya erosi.
Restitusi mukosa lambung terjadi ketika sel-sel epitel pada mukosa
lambung diganti dengan sel epitel yang baru secara cepat. Sel epitel
yang baru pada mulanya mengalami migrasi yakni bergeser dari
dalam foveola ke arah atas untuk mengganti sel-sel epitel yang lama
atau yang lepas ke arah lumen lambung guna memulihkan
kontinuitas lapisan sel epitel pada lambung. Kontinuitas sel epitel
penting untuk melindungi gastric glands dari efek dedahan kimia
atau infeksi. Mekanisme re-epitelisasi menghasilkan keadaan
homeostatik antara faktor agresif dengan faktor defensif lambung.
Re-epitelisasi menyebabkan terbentuknya kembali pertahanan dan
perlindungan secara pra-epitel yakni mucus-bicarbonate barrier.
43
Mukus disekresi oleh mucous neck cells dan surface epithelial
cells sebagai produk dari sistem regulasi di permukaan sel epitel
(Morris dkk., 1984). Mukus berupa gel yang mengandung 95 % air
serta campuran lipid dan glikoprotein. Sekresi mukus sebagai
pelumas untuk mengurangi kerusakan fisik pada lapisan epitelium
lambung akibat dedahan kimiawi maupun bakteri (Belley dkk., 1999).
Fungsi struktural mukus sebagai non-stirred water layer atau lapisan
penahan air yang bersifat hidrofobik untuk mendukung terciptanya
kondisi pH netral di permukaan epitelium serta menahan terjadinya
difusi kembali ion H+ dan pepsin (Allen & Flemström, 2005).
Bikarbonat disekresi oleh sel-sel epitelium di mukosa lambung
dan dapat terkonsentrasi di permukaan mukus. Sekresi bikarbonat
distimulasi oleh ion Ca2+, PGE2, dan tingkat keasaman lambung
melalui saraf kolinergik. Sekresi bikarbonat dari permukaan sel
epitel menuju ke gel mukus berfungsi untuk menciptakan
microenvironment dengan pH yang relatif netral yakni pH 6-7 pada
lapisan permukaan sel epitelium lambung (Garner dkk., 1984) serta
berfungsi mempertahankan lapisan sel epitel dari perbedaan pH
dengan pH lumen lambung.
Treatment dengan larutan AOC pada gastritis akut membantu
memaksimalkan proses re-epitelisasi sekaligus pembentukan mucus-
bicarbonate barrier, dan mengurangi inflamasi. Kondisi gastritis
akut tidak terlepas dari adanya radikal bebas berlebih yang reaktif
dan inflamasi di GI track. Kompleks AOC mampu mengikat dan
menampung elektron tidak berpasangan, sehingga treatment dengan
AOC pada kasus gastritis mampu mengendalikan elektron tidak
berpasangan untuk dapat mengalir secara fisiologis yang pada
akhirnya dapat mereduksi kadar radikal bebas berlebih di GI track.
Ovalbumin pada kompleks AOC sebagai makromolekul yang diikat
oleh ligan aspirin dan ligan caffeine memiliki pH yang stabil karena
memiliki gugus karboksil (-COOH) serta gugus amina (-NH2).
Gugus karboksil bersifat asam, mampu melepaskan H +. Gugus amina
bersifat basa, mampu menerima H+. Hal tersebut menyebabkan
ovalbumin bersifat amfoter dan dapat bereaksi dengan asam maupun
basa tanpa merubah pH ovalbumin. Berdasarkan hal tersebut, maka
AOC sebagai transporter juga mampu mencegah kelebihan H+
penyebab suasana pada lumen lambung. Tubuh memiliki sistem
recovery sendiri, namun AOC membantu keteraturan sistem tubuh
secara kontinu untuk menyembuhkan diri sendiri secara maksimal.

44
4.4 Deskripsi Kualitas Histologi Struktur Lapisan Mukosa
Lambung pada Kelompok Gastritis Akut Umur Tikus 6
Bulan
Kondisi histologi struktur lapisan mukosa lambung kelompok
kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan (K 3) disajikan pada
Gambar 16, kelompok K3 tanpa di-treatment AOC (K3-AOC)
disajikan pada Gambar 17, sedangkan kelompok K3 dengan di-
treatment AOC (K3+AOC) disajikan pada Gambar 18.

Gambar 16. Struktur lapisan mukosa lambung kontrol positif tikus


gastritis akut umur 6 bulan. Bagian (A) surface
epithelium hingga gastric glands, (B) muscularis
mucosae perbesaran 400x. Keterangan : (E) lapisan sel
epitel, (H) hematoma, (PMN) sel polimorfonuklear,
(circle) necroinflammation, (MM) muscularis mucosae
45
Gambar 17. Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis akut
umur 6 bulan tanpa di-treatment AOC. Bagian (A)
surface epithelium hingga gastric glands, (B)
muscularis mucosae perbesaran 400x. Keterangan :
(E) lapisan sel epitel, (arrow) necrotic cell, (H)
hematoma, (PMN) sel polimorfonuklear, (MM)
muscularis mucosae
46
Gambar 18. Struktur lapisan mukosa lambung tikus gastritis akut
umur 6 bulan dengan di-treatment AOC. Bagian (A)
surface epithelium hingga gastric glands, (B)
muscularis mucosae perbesaran 400x. Keterangan :
(E) lapisan sel epitel mengalami re-epitelisasi, (arrow)
necrotic cell, (MM) muscularis mucosae
47
Berikut histologi infiltrasi sel radang di lapisan mukosa bagian
basal kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan (K 3)
disajikan pada Gambar 19 A, kelompok K 3 tanpa AOC (K3-AOC)
disajikan pada Gambar 19 B, sedangkan kelompok K 3 dengan di-
treatment AOC (K3+AOC) disajikan pada Gambar 19 C.

Gambar 19. Infiltrasi sel radang di bagian basal lapisan mukosa pada
kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan. Bagian (A)
kontrol gastritis akut, (B) tanpa di-treatment AOC, (C)
dengan di-treatment AOC perbesaran 1000x.
Keterangan : (arrow) sel eosinofil polimorfonuklear,
(circle) limfosit
48
Secara histologis, kelompok kontrol positif tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan dan umur 6 bulan sama-sama menunjukkan
kerusakan struktur lapisan surface epithelium. Perbedaan antara
kedua kelompok kontrol gastritis akut ini yakni kelompok kontrol
positif tikus gastritis akut umur 6 bulan (Gambar 16 A) tidak terjadi
bleeding di sepanjang permukaan lapisan surface epithelium, namun
terjadi hematoma di beberapa area surface epithelium meskipun tidak
menyebabkan susunan sel epitel menjadi hilang. Gatric glands juga
mengalami penebalan meskipun tidak setebal kelompok kontrol
positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan. Sel parietal pada gatric
glands ada yang masih normal dan ada yang mengalami nekrosis
pada tahap piknosis, karyoreksis, maupun karyolisis membentuk
necroinflammation. Bagian basal dari gastric glands (Gambar 16 B,
Gambar 19 A) terjadi hematoma dan di bagian basal lamina propria
juga mengalami infiltrasi sel-sel radang eosinofil polimorfonuklear
dan limfosit. Muscularis mucosae (Gambar 16 B) tampak normal.
Gastritis dalam penelitian ini termasuk ke dalam jenis gastritis
reaktif. Gastritis reaktif merupakan gastritis yang faktor penyebabnya
berupa agen kimiawi seperti obat golongan OAINS dan alkohol yang
menyebabkan penurunan sintesis PG sitoprotektif. Gastritis reaktif
juga disebabkan karena paparan radiasi, dan terjadinya stres oksidatif.
Gastritis reaktif memiliki beberapa fase patologis yang dimulai dari
terjadinya gastritis akut hingga gastritis kronis. Gastritis reaktif pada
fase akut diklasifikasikan menjadi dua jenis antara lain gastritis
erosif akut superfisial dan gastritis erosif akut hemoragik. Gastritis
erosif akut superfisial terjadi karena penurunan produksi mukus dan
bikarbonat, sehingga perlindungan secara pra-epitel tidak terbentuk
dan menyebabkan kerusakan pada susunan lapisan epitel. Gastritis
erosif akut hemoragik ditandai dengan terjadinya hemorrhage baik
bleeding maupun hematoma pada lapisan mukosa lambung. Gastritis
kronis adalah lanjutan setelah gastritis akut yang berlangsung secara
lama (Amieva & Peek, 2016). Berdasarkan hal tersebut, maka
kelompok kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan dan
umur 6 bulan mengalami gastritis reaktif fase erosif akut hemoragik.
Kelompok K3-AOC dan K3+AOC merupakan kelompok
perlakuan yang menggunakan umur tikus 6 bulan. Kelompok K 3-
AOC sebagai kelompok perlakuan tanpa di-treatment, yakni tidak
disonde larutan AOC selama tujuh hari setelah disonde dengan
larutan aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus. Sedangkan
kelompok K3+AOC sebagai kelompok perlakuan dengan di-
49
treatment, yakni disonde dengan larutan AOC sebagai kompleks
scavenger selama tujuh hari setelah disonde dengan larutan aspirin
dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lapisan surface epithelium pada kelompok tikus gastritis akut
umur 6 bulan tanpa di-treatment AOC (Gambar 17 A) mengalami
kerusakan, belum terjadi indikasi re-epitelisasi di lapisan surface
epithelium, masih terjadi penipisan mucus-bicarbonate barrier di
permukaan surface epithelium serta terdapat infiltrasi sel-sel radang
eosinofil polimorfonuklear. Gastric glands relatif tidak mengalami
penebalan dan terdapat pula infiltrasi eosinofil polimorfonuklear
secara terpusat di gastric glands. Sel parietal pada area gastric
glands ada yang berada pada kondisi normal, namun beberapa ada
pula yang mengalami nekrosis disebut necrotic cell. Sel parietal yang
mengalami nekrosis terjadi pada tahapan piknosis, tahap karyoreksis,
maupun tahap karyolisis. Muscularis mucosae dan bagian basal
lapisan mukosa lambung pada kelompok tikus gastritis akut umur 6
bulan tanpa di-treatment AOC (Gambar 17 B, Gambar 19 B) tampak
normal, namun di bagian basal dari lamina propria mengalami
infiltrasi eosinofil polimorfonuklear, infiltrasi limfosit, dan tidak
mengalami ekstravasasi eritrosit. Eritrosit masih berada di dalam
pembuluh darah. Keberadaan sel radang eosinofil polimorfonuklear
ditandai dengan ciri-ciri memiliki sitoplasma berwarna merah dan
nukleusnya berlobus dua serta berfungsi untuk fagositosis.
Sedangkan keberadaan limfosit memiliki ciri-ciri sel berbentuk bulat
atau oval dengan satu nukleus berwarna biru.
Sedangkan, pada kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan
dengan di-treatment AOC (Gambar 18 A) mulai terjadi indikasi re-
epitelisasi di lapisan surface epithelium dan terbentuk mucus-
bicarbonate barrier di permukaan surface epithelium. Gastric glands
relatif tidak mengalami penebalan dan infiltrasi sel-sel radang
polimorfonuklear di area gastric glands menjadi berkurang. Kondisi
sel parietal dominan normal, meskipun masih ada beberapa sel
parietal yang mengalami nekrosis. Nekrosis yang terjadi meliputi
tahapan piknosis, tahap karyoreksis, maupun tahap karyolisis.
Muscularis mucosae dan bagian basal lapisan mukosa lambung pada
kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan dengan di-treatment
AOC (Gambar 18 B, 19 C) tampak masih mengalami infiltrasi
eosinofil polimorfonuklear dan infiltrasi limfosit meski sudah
berkurang, dan tidak terjadi infiltrasi eosinofil polimorfonuklear
maupun ekstravasasi eritrosit. Apabila kelompok tikus gastritis akut
50
umur 6 bulan dengan di-treatment AOC dibandingkan dengan
kelompok tikus gastritis akut umur 1,5 bulan dengan di-treatment
AOC, terjadinya re-epitelisasi pada kelompok tikus gastritis akut
umur 1,5 bulan dengan di-treatment AOC lebih cepat daripada
kelompok tikus gastritis akut umur 6 bulan dengan di-treatment
AOC. Hal tersebut mengindikasikan bahwa umur tikus memengaruhi
kecepatan mekanisme perbaikan lapisan mukosa lambung tikus yang
mengalami gastritis akut.
Tikus laboratorium umur 1,5 bulan merupakan umur tikus pada
masa remaja, sedangkan pada umur 6 bulan merupakan umur dewasa
(Ratbehavior, 2003). Terdapat relasi antara peningkatan umur tikus
terkait dengan sekresi faktor defensif pada lambung, namun tidak ada
relasi antara peningkatan umur tikus dengan sekresi HCl maupun
sekresi pepsin sebagai faktor agresif. Semakin bertambahnya umur
tikus, maka terjadi penurunan terhadap sekresi bikarbonat (Makau,
1996), ion natrium (Feldman & Cryer, 1998), dan sekresi mukus
pada lapisan mukosa lambung (Makau & Feldman, 1993). Penuaan
pada tikus dapat mengganggu sintesis PG mukosa lambung dan
mekanisme perlindungan lainnya terhadap berbagai zat berbahaya
seperti aspirin (Makau & Feldman, 1994).
Kemampuan proliferasi sel di sekitar kelenjar lambung berkurang
seiring dengan meningkatnya umur tikus (Hinsull, 1991). Tikus
dengan umur yang lebih tua mengalami penurunan jumlah sel epitel
pada lapisan mukosa lambung dibandingkan dengan tikus yang
berumur lebih muda. Aging juga berhubungan dengan berkurangnya
kapasitas regeneratif mukosa lambung yang telah rusak (Fligiel dkk.,
1994) dan terdapat relasi antara bertambahnya umur tikus dengan
defisiensi dalam perbaikan mukosa (Relan dkk., 1995). Tikus dengan
umur yang masih muda memiliki kadar hormon yang bekerja secara
optimal, sehingga mekanisme fisiologis berjalan baik.

51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB menyebabkan gastritis fase
erosif akut hemoragik pada tikus umur 1,5 bulan dan 6 bulan.
Kualitas morfologi lambung kontrol positif tikus gastritis akut umur
1,5 bulan mengalami erosi dengan 22 bleeding spots focal, lambung
kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan mengalami erosi
dengan 2 spots focal berdasar bersih. Kualitas histologi struktur
mukosa lambung kontrol positif tikus gastritis akut umur 1,5 bulan
mengalami kerusakan epitel, bleeding dan hematoma, ekstravasasi
eritrosit, infiltrasi PMN, dan necroinflammation. Struktur mukosa
lambung kontrol positif tikus gastritis akut umur 6 bulan lebih
resisten tanpa mengalami bleeding. Treatment dengan kompleks
scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) pada gastritis akut
menyebabkan aliran elektron dapat lebih terkendali, sehingga sistem
recovery pada mukosa lambung dapat berlangsung dengan baik.
Pengaruh perbaikan berupa berkurangnya area inflamasi dan terjadi
indikasi re-epitelisasi secara cepat selama tujuh hari. Hal tersebut
tidak terjadi pada kelompok tikus gastritis akut tanpa AOC. Re-
epitelisasi tikus gastritis akut umur 1,5 bulan lebih cepat daripada
tikus gastritis akut umur 6 bulan berkaitan dengan menurunnya
kemampuan proliferasi sel seiring dengan bertambahnya umur.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yakni dilakukan studi in vivo
mengenai penurunan distribusi dan ekspresi isoenzim COX-2 yang
berperan dalam proses inflamasi sebagai data pendukung pengaruh
kompleks scavenger AOC untuk memperbaiki mukosa lambung
pada gastritis akut akibat aspirin dosis tunggal 300 mg/kg BB tikus.

52
DAFTAR PUSTAKA

Allen, A. & G. Flemström. 2005. Gastroduodenal mucus bicarbonate


barrier: protection against acid and pepsin. J. Physiol. Cell
Physiol. 288(1):1-19.
Amieva, M. & R.M. Peek. 2016. Pathobiology of Helicobacter
pylori induced gastric cancer. J. Gastroenterol. 150(1):64-78.
Appelman, H.D. 1994. Gastritis: terminology, etiology, and
clinocopathological correlations: another based view. J.
Human Pathology. 25(10):1006-1019.
Balaban, R.S., S. Nemoto & T. Finkel. 2005. Mitochondria, oxidants,
and aging.J. Cell. 25(4):483-950.
Belley, A., K. Keller, M. Gottke & K. Chadee. 1999. Intestinal
mucins in colonization and host defense against pathogens. J.
Trop. Med. Hyg. 60(4):10-15.
Bevelander, G. & J.A. Ramaley. 1998. Essentials histology. Edisi
ke-8. Iowa State University Press. United States of America.
Boron, W.F., J.W. Staven, M.D. Irfin & P.G John. 1994. Unique
permeability barrier of the apical surface of parietal and chief
cells in isolated perfused gastric glands. J. Biol. 196:347-360.
Bulger, E.M. & M.D. Helton. 1998. Nutrient antioxidants in
gastrointestinal diseases. J. Gastroenterol. Clin. North. Am.
27(2):403-419.
Burhoe, S.O. 1947. Blood groups of the rat (Rattus norvegicus) and
their inheritance. J. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 33:102-109.
Carol, A.R. & L.J. Marnett. 2009. Cyclooxygenases: structural and
functional insights. J. Lipid Res. 50:29-34.
Charles River Laboratories International, Inc. 2017. Charles River
CD IGS Rat. http://www.criver.com/products-services/basic-
research/find-a-model/cd-igs-rat?loc=ID. Diakses tanggal 15
Oktober 2017.
Clara, M.V., C.M.N. Puig, S.M. Castaño, A.O. Yera, C.V.M. Cuevas,
N.M. Hernández & C.R.M. Ferreiro. 2012. Effects of D-002
on aspirin-induced ulcers and neutrophil infiltration on the
gastric mucosa. J. Revista Cubana de Farmacia. 46(2):249-
258.
Departemen Kesehatan RI. 2012. Profil kesehatan Indonesia 2012.
Kemenkes RI. Jakarta.
Dohil, R. & E. Hassall. 2011. Gastritis, gastropathy and ulcer disease.
J. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. 277-292.
53
Dovhanj, J. & Š. Dražen. 2011. Oxidative stress pathway driven by
inflammation in gastric mucosa: in tech open access.
https://www.intechopen.com/books/gastritis-and-gastric-
cancer-new-insights-in-gastroprotection-diagnosis-and-
treatments/oxidative-stress-pathway-driven-by-inflammation-
in-gastric-mucosa. Diakses tanggal 15 September 2017.
Dunlop, R.H. & Charles. 2004. Veterinery pathophysiology. Edisi
ke-4. Blackwell Publishing. United States of America. 112-
139.
Earl, R.S. 2004. Role of oxidant species in aging. J. Current Medical
Chemistry. 11:1105-1112.
Elseweidy, M.M. 2011. Role of natural antioxidants in gastritis.
Blackwell Publishing. United States of America.
Evans, D.F., G. Pye, R. Bramley, A.G. Clark, T.J Dyson & J.D.
Hardcastle. 1988. Measurement of gastrointestinal pH profiles
in normal ambulant human subjects. J. Gut. 29(8):1035-1041.
Feldman, M. & B. Cryer. 1998. Effects of age on gastric alkaline and
nonparietal fluid secretion in humans. J. Gerontology. 44:222-
227.
Finkel, T. & N.J. Holbrook. 2000. Oxidants, oxidative stress and the
biology of aging. J. Nature. 408: 239-247.
Fligiel, S.E.G., N.K. Relan, S. Dutta, J. Tureaud, J. Hatfield & A.P.N.
Majumdar. 1994. Aging diminishes gastric mucosal
regeneration: relationship to tyrosine kineses. J. Lab. Invest.
70:764-774.
Forssel, H. 1988. Gastric mucosal defence mechanisms: a brief
review. J. Scand. Gastroenterol. Suppl.155:23-8.
Freitas, M., G. Porto, J.L.F.C. Lima & E. Fernandes. 2010. Zinc
activates neutrophils’ oxidative burst. J. Biometals. 23(1):31-
41.
Fujiwara, Y., A. Schmassmann, T. Arakawa, F. Halter & A.
Tarnawski. 1995. Indomethacin interferes with epidermal
growth factor binding and proliferative response of gastric
KATO III cells. J. Digestion. 56:364-369.
Garner, A., F. Gunnar, A. Adrian, J.R. Heylings & S. McQueen.
1984. Gastric mucosal protective mechanisms: roles of
epithelial bicarbonate and mucus secretions. J. Scand.
Gastroenterol. 101:79 -86.

54
Gloire, S., P. Legrand & J. Piette. 2006. NF-kappaB activation by
reactive oxygen species: fifteen years later. J. Biochem.
Pharmacol.72(11):1493-1505.
Halter, F., A.S. Tarnawski, A. Schmassmann & B.M. Peskar. 2001.
Cyclooxygenase 2‐implications on maintenance of gastric
mucosal integrity and ulcer healing: controversial issues and
perspectives. J. Gut.49(3):443-53.
Hartono, M. 2007. Pengaruh perbedaan intensitas kebisingan
terhadap gambaran struktur histologi lambung pada tikus putih
(Rattus norvegicus). J. Kedokteran Yarsi. 15(2):133-138.
Hinsull, S.M. 1991. Effect of colloidal bismuth subcitrate on age
related gastric lesions in the rat. J. Gut. 32(4):355-60.
Indraswari, C.I., U. Kalsum & Sudjari. 2004. Pengaruh pemberian
temulawak pada lambung tikus yang mengalami ulkus
peptikum akibat induksi indometasin. J. Kedokteran
Brawijaya. 20(2):96-99.
Jayanti, G.E., S. Widyarti, A. Sabarudin & S.B. Sumitro. 2018. Egg
white albumin form complex with aspirin and caffeine and its
role as free radical scavenger. Asian J. Pharm. Clin.
Res.11(7):340-344.
Jomova, K.M. & Valko. 2011. Advances in metal-induced oxidative
stress and human disease. J. Toxicology. 28(1):1-8.
Karnadiharja, W. 1997. Infeksi dan inflamasi dalam buku ajar
ilmu bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Kartasasmita, R.E. 2002. Perkembangan obat anti radang bukan
steroid. J. Acta Pharmaceutica Indonesia. 27(4):75-91.
Kiernan, J.A. 1990. Histological and histochemical method:
theory ankd practice. Edisi ke-2. Pergamon Press. New York.
Kotani, T., A. Kobata & E. Nakamura. 2006. Roles of
cyclooxygenase-2 and prostacyclin/ip receptors in mucosal
defense against ischemia/reperfusion injury in mouse stomach.
J. JPET. 316:547-555.
Krause, D.S., A.W Bryan & M.S. Leslie. 1992. Acute aspirin
overdose: mechanisms of toxicity. J. Therapeutic Drug
Monitoring.14(1):441-451.
Kumar, V., S.C. Ramzi & L.R. Stanley. 2007. Buku ajar patologi.
Edisi ke-7. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. 624-625.
Makau, L. & M. Feldman. 1993. Age-related changes in gastric
mucosal glycoprotein synthesis in rats basally and in response
to acute aspirin exposure. J. Gastroenterology. 104:131.
55
Makau, L. 1996. Age-related changes in gastric mucosal bicarbonate
secretion in rats. J. Age. 19(2):55-58.
Makau, L. & M. Feldman. 1994. Age-related reductions in gastric
mucosal prostaglandin levels increase susceptibility to aspirin-
induced injury in rats. J. Gastroenterology. 107:1746-1750.
Malik, A. 1992. Mekanisme proteksi mukosa saluran cerna. J.
Cermin Dunia Kedokteran. 79:5-8.
Malole, M.B.M. & Pramono. 1989. Penggunaan hewan-hewan
percobaan di laboratorium. Pusat Antar Universitas, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Manan, C. 2012. Respons faktor defensif dan agresif lambung
tikus putih terhadap aspirin sebagai model penggunaan
obat anti inflamasi non steroid pada manusia. Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi.
Matsui, H., O. Shimokawa, T. Kaneko, Y. Nagano, K. Rai & I.
Hyodo. 2011. The pathophysiology of non-steroidal anti-
inflammatory drug (NSAID)-induced mucosal injuries in
stomach and small intestine. J. Clin. Biochem. Nutr.
48(2):107-111.
McCance, K.L., S.E. Huether, V.L. Brashers & N.S. Rote. 2010.
Pathophysiology the biologic basis for disease in adults and
children. Edisi ke-6. Missouri: Mosby Elsevier. 1423-1428.
Mohan, H. 2010. Textbook of pathology. Edisi ke-6. Jaypee-
Highlights Medical Publishers Inc. United States of America.
Morris, G.P., R.K. Harding & J.L. Wallace. 1984. A functional
model for extracellular gastric mucus in the rat. J. Virchows.
Arch. B. Cell Pathol. 46:239-251.
Murray, R.K., D.K. Granner & V.W. Rodwell. 2006. Harper’s
illustrated biochemistry. Edisi ke-27. Mc Graw Hills
Company. New York.
Myers, P., R. Espinosa, C.S. Parr, T. Jones, G.S. Hammond & T.A.
Dewey. 2017. The animal diversity web (online).
http://animaldiversity.org. Diakses tanggal 15 Oktober 2017.
Ohshima, H., T. Sawa & T. Akaike. 2006. Antioxidants & redox
signaling: nitroguanine, a product of nitrative DNA damage
caused by reactive nitrogen species: formation, occurrence,
and implications in inflammation and carcinogenesis. J.
Antioxid. Redox Signal. 8(5-6):1033-1045.

56
Orrenius, S., V. Gogvadze & B. Zhivotovsky. 2007. Mitochondrial
oxidative stress: implications for cell death. J. Ann. Rev.
Pharmacol. Toxicol. 47:143-183.
Philip, T.R. & C.M.D Aaron. 2011. Gastric acid and digestive
physiology. J. Surg. Clin. North Am. 91(5):977-82.
Price, S.A. & L.M. Wilson. 2005. Patofisologi konsep klinis
proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 417-423.
Ratbehavior. 2003. How old is a rat in human years?.
http://www.ratbehavior.org/RatYears.html. Diakses tanggal 26
April 2018.
Relan, N.K., S.E.G. Fligiel, S. Dutta, J. Tureaud, D.P. Chanhan &
A.P.N. Majumdar. 1995. Induction of EGF-receptor tyrosine
kinase during early reparative phase of gastric mucosa and
effects of aging. J. Lab. Invest. 73:717-726.
Saraswati & G.E Jayanti. 2014. Daya antibakteri dan uji toksisitas
kopi balur. J. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas.
3:285-289.
Shresyha, S. 2011. Gastric Acid Secretion Physiology. http://tube.
medchrome.com/2011/07/gastric-acid-secretion-physiology.
html. Diakses tanggal 17 April 2018.
Shu-Xin, Z. 1999. An atlas of histology. Springer Science+Business
Media. New York.
Sihombing, M. 2010. Status gizi dan fungsi hati mencit (galur CBS-
swiss) dan tikus putih (galur wistar) di laboratorium hewan
percobaan puslitbang biomedis dan farmasi. J. Media Litbang.
Kesehatan. 20(1):33-40.
Sofna, D.S. 2014. Antioxidant properties of flavonoids. J. Med.
Indones. 23(4):239-244.
Stevens, C.E. & I.D. Hume. 1996. Comparative physiology of the
vertebrate digestive system. Edisi ke-2. Cambridge
University Press. 16-18, 67-70, 246-248.
Swan, J. 2003. Digestive system: online phisiology and anatomy
resources at the university of new mexico.
http://webanatomy.net. Diakses tanggal 1 Oktober 2017.
Takeuchi, K. 2012. Pathogenesis of NSAID-induced gastric damage:
importance of cyclooxygenase inhibition and gastric
hypermotility. J. World Gastroentero. 18(18):2147-2160.
Telford, I.R. & F.B Charles. 1995. Introduction to functional
histology. Edisi ke-2. Harper Collins College. 309-316.
57
Tortora & Grabowski. 1996. Stomach. https://www.interspeciesinfo.
com/organs-and-species/organ-information/stomach. Diakses
tanggal 15 Oktober 2017.
UNIL. 2016. Aspirin pharmacokinetics. http://epia.unil.ch/pharma-
cology/index.php?id=83. Diakses tanggal 10 Oktober 2017.
Valko, M., D. Leibfritz, J. Moncol, M.T.D. Cronin, M. Mazur & J.
Telser. 2007. Free radicals and antioxidants in normal
physiological functions and human disease. Int. J. Biochem.
Cell Biol. 39(1):44-84.
Wallace, J.L. 2008. Prostaglandins, NSAIDs, and gastric mucosal
protection: why doesn’t the stomach digest itself?. J. Physiol.
Rev. 88:1547-1565.
Wang, S.Y. & J. Hongjun. 2000. Scavenging capacity of berry crops
on superoxide radicals, hydrogen peroxide, hydroxyl radicals,
and singlet oxygen. J. Agric. Food Chem. 48:4677-5684.
Warner, T.D. & J.A. Mitchell. 2004. Cyclooxygenases: new forms,
new inhibitors, and lessons from the clinic. J. FASEB. 18:790-
804.
Wibowo, S. 2017. Analisis dinamika molekuler kompleks
scavenger AOC (Aspirin-Ovalbumin-Caffeine) pada
variasi pH asam. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Malang.
Skripsi.
Widyarti, S., S.B. Sumitro & S. Permana. 2015. Studi interaksi
ovalbumin-ligan dan albumin-ligan menggunakan
spektrum UV. Laporan Penelitian DPP/SPP 2015. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Brawijaya. Malang.
Wilson, L.M. & L.B Lesser. 1994. Pathophysiology: clinical
concepts of disease processe. Edisi ke-4. Price SA dan LM
Wilson. New York.
Wimana, F.F. 1995. Analgesik-antipiretik analgesik anti-
inflammasi non steroid dan obat pirai, farmakologi dan
terapi. Edisi ke-4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 207-222.
Yulida, E., I.K. Oktaviyanti & L. Rosida. 2013. Gambaran derajat
infiltrasi sel radang dan infeksi Helicobacter pylori pada
biopsi lambung pasien gastritis. J. Berkala Kedokteran.
9(1):51-65.

58

Anda mungkin juga menyukai