Anda di halaman 1dari 89

PROPOSAL SKRIPSI

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA ALFAMANGOSTIN TERHADAP


HISTOPATOLOGI JANTUNG TIKUS Strain Wistar YANG DIINDUKSI
FRUKTOSA

DEWI RACHMATIKA ARYANI


NIM. 2240017050

DOSEN PEMBIMBING
ARY ANDINI, S.T., M.Si

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

i
SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA ALFAMANGOSTIN TERHADAP


HISTOPATOLOGI JANTUNG TIKUS Strain Wistar YANG DIINDUKSI
FRUKTOSA

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan Kesehatan (S.ST)


Dalam Program Studi D-IV Analis Kesehatan

DEWI RACHMATIKA ARYANI


NIM. 2240017050

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

ii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karha sendiri,


Dan semua sumber baik dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar

Nama : Dewi Rachmatika Aryani


NIM : 2240017050
Tandan Tangan :

Tanggal : 26 Juli 2021

iii
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Judul : Pengaruh Pemberian Senyawa Alfamangostin


Terhadap Histopatologi Jantung Tikus Strain
Wistar yang Diinduksi Fruktosa
Penyusun : Dewi Rachmatika Aryani
NIM : 2240017050
Pembimbing : Ary Andini, S.T., M.Si
Tanggal Ujian : 26 Januari 2021

Disetujui Oleh :

Pembimbing

Ary Andini, S.T., M.Si : ........................................


NPP. 1305875

Mengetahui,
Ketua Program Studi D-IV Analis Kesehatan

Andreas Putro Ragil Santoso, S.S.T., M.Si


NPP. 1306892

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

iv
PENGARUH PEMBERIAN SENYAWA ALFAMANGOSTIN TERHADAP
HISTOPATOLOGI JANTUNG TIKUS Strain Wistar YANG DIINDUKSI
FRUKTOSA

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 26 Juli 2021

Oleh :

Pembimbing

Ary Andini, S.T., M.Si


NPP. 1305875

Mengetahui
Ka. Prodi D-IV Analis Kesehatan

Andreas Putro Ragil Santoso, S.S.T., M.Si


NPP. 16111099

v
ABSTRAK

Diabetes merupakan kondisi dimana terjadinya peningkatan kadar glukosa


darah secara berlebih. Peningkatan kadar glukosa darah secara terus menurus
dalam jangka waktu yang cukup lama akan meyebabkan kondisi stres oksidatif
ditandai dengan peningkatan radikal bebas yang tidak diimbangi dengan
ketersediaan antioksidan. Stres oksidatif yang terus meingkat akan memicu
terjadinya kerusakan jaringan melalui proses nekrosis pada kardiomiosit dan
berakhir pada disfungsi jantung. Alfamangostin merupakan senyawa bioaktivitas
antidiabetes yang memiliki khasiat sebagai penurun kadar glukosa darah. Selain
itu alfamangostin juga berpreran sebagai antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis alfamangostin 10 mg/kg BB,
30 mg/kg BB, 50 mg/kg BB sebagai bioaktivitas antidiabetes terhadap
histopatologi jantung tikus Rattus norvegicus strain wistar. Pengondisian diabetes
pada penelitian ini menggunakan konsumsi fruktosa dosis 15 %. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimental secara in vivo dengan hewan coba tikus
jantan strain wistar. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Farmakologi
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Dilaksanakan pada bulan Juli 2021.
Penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan yakni K1 kontrol positif, K2
kontrol negatif, K3 kontrol standart obat glibenklamid dosis 10 mg/kg, kelompok
alfamangostin dosis 10 mg/kg BB, 30 mg/kg BB, 50 mg/kg BB. Pengamatan
histopatologi menggunakan pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin). Hasil penelitian
menunjukkan tidak ditemukan adanya sel nekrosis pada otot jantung dan tidak ada
pengaruh pemberian alfamangostin terhadap histopatologi jantung tikus kondisi
diabetes melitus.

Kata kunci : Diabetes, Alfamangostin, Antidiabetes, Nekrosis

vi
ABSTRACT

Diabetes is a condition in which there is an excessive increase in blood


glucose levels. An increase in blood glucose levels continuously over a long
period of time will cause oxidative stress conditions characterized by an increase
in free radicals that are not matched by the availability of antioxidants. Oxidative
stress that continues to increase will trigger tissue damage through the process of
necrosis in cardiomyocytes and end in cardiac dysfunction. Alfamangostin is an
antidiabetic bioactivity compound that has properties as a lowering blood glucose
level. In addition, alphamangostin also acts as an antioxidant. The purpose of this
study was to determine the effect of varying doses of alfamangostin 10 mg/kg BW,
30 mg/kg BW, 50 mg/kg BW as antidiabetic bioactivity on the heart
histopathology of Rattus norvegicus strain wistar rats. Conditioning diabetes in
this study using fructose consumption at a dose of 15%. This study is an
experimental in vivo study with male rats of the Wistar strain as experimental
animals. This research was conducted in the Pharmacology laboratory of the
Faculty of Pharmacy, University of Surabaya. Conducted in July 2021. This study
used 6 treatment groups, namely K1 positive control, K2 negative control, K3
standard control of glibenclamide at a dose of 10 mg/kg, alfamangostin group at
10 mg/kg BW, 30 mg/kg BW, 50 mg/kg. kg body weight. Histopathological
observations using HE (Hematoxylin Eosin) staining. The results showed no
necrotic cells were found in the heart muscle and there was no effect of
alfamangostin administration on the heart histopathology of rats with diabetes
mellitus.
Keywords: Diabetes, Alfamangostin, Antidiabetic, Necrosis

vii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur senantiasa penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga proses penulisan Proposal
skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Senyawa Alfamangostin Terhadap
Histopatologi Jantung Tikus Strain Wistar yang Diinduksi Fruktosa.”, sebagai
persyaratan akademik dalam menyelesaikan proposal ini. Penulisan proposal
skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik
materi, moral maupun spiritual. Oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng., selaku Rektor Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya.
2. Prof. Dr. Kacung Marijan, MA., Ph.d, selaku Wakil Rektor I Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya.
3. Prof. S. P. Edijanto, dr Sp.PK (K), selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Univesitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
4. Ibu Devyana Dyah Wulandari, S.Si., M.Si. selaku Ketua Program Studi D-IV
Analis Kesehatan Univesitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
5. Ibu Ary Andini, S.T., M.Si selaku pembimbing, yang penuh dengan perhatian
dan kesabaran dalam mendampingi dan mengarahkan penulis dalam
menyusun proposal skripsi ini.
6. Orang tua beserta kakak Aris tercinta yang selalu mendukung saya, baik
secara moral, spiritual yang teramat saya cintai.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal dan perbuatan
yang telah diberikan dan penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih
belum sempurna dan memerlukan masukan, oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga proposal
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak yang membutuhkan.

Surabaya, 26 Juli 2021


Penulis,

(Dewi Rachmatika Aryani)

viii
DAFTAR ISI

Sampul depan.....................................................................................................i
Sampul dalam.....................................................................................................ii
Kata Pengantar....................................................................................................iii
Daftar isi.............................................................................................................iv
Daftar Gambar....................................................................................................vi
Daftar Tabel........................................................................................................vii
Daftar Istilah & Singkatan..................................................................................viii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Pembatasan Masalah..........................................................................3
C. Rumusan Masalah..............................................................................4
D. Tujuan Penelitian...............................................................................4
1. Tujuan Umum................................................................................4
2. Tujuan Khusus...............................................................................4
E. Manfaat Penelitian..............................................................................5
1. Manfaat Teoritis.............................................................................5
2. Manfaat Praktis..............................................................................5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


A. Diabetes Melitus................................................................................6
1. Klasifikasi Diabetes Melitus..........................................................7
2. Obat-Obat Diabetes Melitus...........................................................9
3. Komplikasi Diabetes Melitus.........................................................10
B. Induksi Diabetes Melitus....................................................................16
1. Fruktosa..........................................................................................16
2. Mekanisme Resistensi Insulin........................................................16
C. Tikus Rattus Norvegicus Strain Wistar..............................................18
1. Karakteristik dan Nilai Fisiologi Normal Tikus.............................19
2. Cara Pemeliharaan Tikus...............................................................20
3. Cara Pemberian Obat dan Spesimen Uji........................................20
4. Kadar Glukosa Darah Tikus...........................................................23
D. Diabetes dan Stres Oksidatif..............................................................24
1. Radikal Bebas.................................................................................24
2. Hubungan Diabetes Melitus dan Stres Oksidatif...........................26
3. Dampak Diabetes Melitus dan Stres Oksidatif .............................27
E. Manggis (Garcinia mangostana L)....................................................30
1. Toksonomi Buah Manggis (Garcinia mangostana L)...................30
2. Morfologi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L)..............30
3. Kandungan Kulit buah Manggis (Garcinia mangostana L)..........31

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN


A. Kerangka Konseptual Penelitian........................................................34
B. Deskripsi Kerangka Konseptual.........................................................35
C. Hipotesis Penelitian............................................................................36

ix
BAB 4 METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancang Bangun................................................................37
B. Populasi Penelitian.............................................................................38
C. Sampel, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel......................38
D. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................40
E. Kerangka Kerja Penelitian..................................................................41
F. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.....................................41
1. Variabel Penelitian.........................................................................41
2. Definisi Operasional.......................................................................42
G. Instrumen Penelitian dan Cara pengumpulan Data............................42
1. Instrumen Penelitian.......................................................................42
2. Cara Pengumpulan Data.................................................................43
H. Pengolahan dan Analisis Data............................................................46
1. Pengolahan Data.............................................................................46
2. Analisis Data..................................................................................47
I. Etika Penelitian....................................................................................47

BAB 5 HASIL PENELITIAN


A. Gambaran Lokasi Penelitian .............................................................49
B. Hasil Penelitian..................................................................................50

BAB 6 PEMBAHASAN
A. Pembahasan........................................................................................58
B. Keterbatasan Penelitian......................................................................62

BAB 7 KESIMPULAN
A. Kesimpulan .......................................................................................63
B. Saran...................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Interior dan Histologi Otot Jantung Kondisi Normal.............................13


Gambar 2.2 Histologi Lapisan Otot Jantung Kondisi Normal
................................................................................................................
14
Gambar 2.3 Arah Aliran Darah Menuju Jantung
....................................................................................................................................
15
Gambar 2.4 Struktur Rantai Fruktosa
....................................................................................................................................
16
Gambar 2.5 Mekanisme Fruktosa Menginduksi Resistensi Insulin
....................................................................................................................................
17
Gambar 2.6 Tikus Rattus Norvegicus
....................................................................................................................................
18
Gambar 2.7 Cara Memegang Tikus
....................................................................................................................................
21
Gambar 2.8 Jalur Pemberian Obat dan Spesimen Uji
....................................................................................................................................
23
Gambar 2.9 Histologi Degenerasi Otot Jantung
....................................................................................................................................
28
Gambar 2.10 Tahap Kematian Sel
....................................................................................................................................
29
Gambar 2.11 Histologi Nekrosis Otot Jantung
....................................................................................................................................
29
Gambar 2.12 Manggis (Garcinia mangostana L)......................................................30
Gambar 2.13 Struktur Xanton dan Alfamangostin....................................................32
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian............................................................35
Gambar 4.1 Rancangan Bangun Penelitian
....................................................................................................................................
37
Gambar 4.2 Tahap Pelaksanaan
....................................................................................................................................
41
Gambar 5.1 Lokasi Laboratorium Farmakologi Universitas Surabaya
....................................................................................................................................
49

xi
Gambar 5.2 Instalansi Patologi Anatomi RSAD V Kodam Brawijaya
....................................................................................................................................
50
Gambar 5.3 Histologi Jantung Kontrol Positif
....................................................................................................................................
54
Gambar 5.4 Histologi Jantung Kontrol Negatif
....................................................................................................................................
54
Gambar 5.5 Histologi Jantung Kontrol Glibenklamid
....................................................................................................................................
55
Gambar 5.6 Histologi Jantung Kelompok Alfamangostin Dosis 10 mg/kg BB
....................................................................................................................................
55
Gambar 5.7 Histologi Jantung Kelompok Alfamangostin Dosis 30 mg/kg BB
....................................................................................................................................
56
Gambar 5.8 Histologi Jantung Kelompok Alfamangostin Dosis 50 mg/kg BB
....................................................................................................................................
56

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Fisiologis Normal Tikus ...................................................................19


Tabel 4.1 Waktu penelitian........................................................................................40
Tabel 4.2 Definisi Operasional..................................................................................42

xii
Tabel 4.3 Pengolahan Data........................................................................................46
Tabel 5.1 Hasil Kadar Glukosa Darah Kontrol Negatif.............................................51
Tabel 5.2 Hasil Kadar Glukosa Darah Kontrol Positif..............................................51
Tabel 5.3 Hasil Kadar Glukosa Darah Kontrol Glibenklamid...................................52
Tabel 5.4 Kadar Glukosa Darah Perlakuan Alfamangostin Dosis 10 mg/kg BB......52
Tabel 5.5 Kadar Glukosa Darah Perlakuan Alfamangostin Dosis 30 mg/kg BB......52
Tabel 5.6 Kadar Glukosa Darah Perlakuan Alfamangostin Dosis 50 mg/kg BB......53
Tabel 5.7 Tabel Hasil Lamanya Perlakuan Variasi Dosis Alfamangostin.................53
Tabel 5.8 Tabel Hasil Pengamatan Nekrosis Sel pada Histopatologi Jantung...........56

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

DM : Diabetes Melitus
ROS : Reactive Oxygen Species
RNS : Reactive Nitrogen Species

xiii
GDPT : Test Glukosa Darah Puasa
TTGO : Test Toleransi Glukosa Oral
GDP : Gula Darah Puasa
ADA : American Diabetes Association
IMT : Indeks Massa Tubuh
ATP : Adenosina Trifosfat
DNL : De Novo Lipogenesis
KHK : Ketoheksokinase
DAG : Diasilgliserol
HbA1C : Hemoglobin A1c
VLDL : Very Low Density Lipoproteins
HE : Hematoxylin Eosin
PMN : Polymorphonuclear
TNFR1 : Tumor Necrosis Factor Alpha Receptor
UV : Ultra Violet
WHO : World Health Organization
IDF : Internasional Diabetic Federation
NO : Nitrit Oxide
TNF- α : Tumor necrosis factor alpha
RNS : reactive nitrogen species
ONOO- : Peroksinitrit
PKC : Protein Kinase C
AGEs : Advanced Glycation Endproducts
NF-kB : Nuclear factor-kappa B
NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide
DNA : Deoxyribo nucleic Acid
GDA : Glukosa Darah Acak

xiv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya

kenaikan kadar gula darah (Hiperglikemik) akibat kelainan sekresi insulin

maupun kerja insulin. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes akibat

berkurangnya sensitivitas jaringan sasaran terhadap insulin (Eryuda &

Umiana, 2016). Resistensi insulin terhadap tubuh terjadi karena berkurangnya

aktivitas fisik, penimbunan jaringan lemak, serta kelebihan konsumsi

karbohidrat sehingga menimbulkan penurunan reseptor insulin yang siap

mengikat insulin (Eryuda & Umiana, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO) telah memprediksi bahwa

jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia terus mengalami kenaikan dari

8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Internasional Diabetic Federation (IDF) juga memprediksi bahwa jumlah

penderita diabetes melitus di Indonesia akan mengalami kenaikan mulai dari

9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (Decroli, 2019).

Kasus yang terbanyak dari populasi diabetes melitus di Indonesia adalah

diabetes melitus tipe 2 yang mencapai 90% (Kemenkes RI dalam Dahlan, et

al., 2018).

Hiperglikemia yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya

komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler (Yuhelma, et al., 2015).

Komplikasi DM terjadi melalui 2 mekanisme utama yaitu glikosilasi dan stres

1
2

oksidatif (Decroli, 2019). Stres oksidatif merupakan kondisi dimana ditandai

adanya peningkatan radikal bebas yang tidak diimbangi dengan ketersediaan

antioksidan akan berdampak pada kerusakan oksidatif jaringan (Sakinah, et

al., 2020). Metabolisme hiperglikemia berperan dalam menghasilkan Reactive

Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dan

memicu peningkatan produksi sitokin proinflamasi, sehingga terjadi proses

nekrosis pada sel otot jantung (kardiomiosit) dan berakhir pada disfungsi

organ jantung (Sakinah, et al., 2020).

Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel beta pulau Langerhan

kelenjar pankreas, insulin berperan dalam mengatur kadar glukosa dalam

darah. Insulin dapat digunakan pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dalam

mengatasi resistensi sel terhadap insulin serta mencegah komplikasi lebih

lanjut dari diabetes (Rismayanti, 2010). Pada diabetes melitus tipe 2 dengan

kondisi yang memburuk penggunaan insulin sebagai pilihan untuk pengobatan

(Fatimah, 2015).

Dalam mengatasi hiperglikemia pada kondisi diabetes melitus perlu

dilakukan pengobatan tradisional dengan ekstrak tanaman. Kulit buah manggis

(Garcinia mangostana L.) memiliki beberapa kandungan senyawa aktif salah

satunya xanthone. Alfamangostin merupakan turunan xanthone yang banyak

terkandung didalam kulit manggis yang berperan sebagai antioksidan,

sehingga dapat melindungi dampak dari radikal bebas serta mampu

menurunkan kadar gula darah atau dikenal sebagai antiglikemik (Magallanes,

et al dalam Maligan, et al., 2018). Salah satu upaya untuk mengurangi dampak

dari peningkatan kadar glukosa darah, maka perlu dilakukan konsumsi nutrisi
3

yang mengandung peranan sebagai antidiabetes. Ekstrak kulit manggis dengan

dosis 250 mg/kg BB yang diberikan kepada tikus Rattus norvegicus strain

wistar dapat menurunkan kadar gula darah sebesar 47,63 % dengan selang

waktu 28 hari (Dyahnugra dalam Maligan, et al., 2018). Sementara pemberian

selama 10 hari dapat menurunkan kadar gula darah dari 205,0 sampai 119,86

mg/dl (Wulandari dalam Maligan, et al., 2018).

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai

pengaruh pemberian senyawa alfamangostin terhadap histopatologi jantung

kondisi hiperglikemia. Alfamangostin merupakan senyawa turunan xanthone

yang memiliki peranan sebagai antidiabetik dan antioksidan (Fathoni &

Santosa, 2018). Pada penelitian ini hewan coba yang dipilih adalah tikus

Rattus norvegicus strain wistar, hal ini dikarenakan tikus strain wistar sering

digunakan dalam kebutuhan uji coba penelitian di laboratorium, memiliki ciri–

ciri genetik serta organ yang sama dengan manusia (Rochmawati, 2018).

Dalam penelitian ini akan dilakukan pengamatan terhadap histopatologi

jantung pada hewan coba tikus putih Rattus norvegicus strain wistar kondisi

diabetes melitus.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dilakukan analisa pengaruh pemberian senyawa

bioaktivitas antidiabetes alfamangostin terhadap profil histopatologi jantung

tikus Rattus norvegicus strain wistar kondisi diabetes melitus. Penelitian ini

dilakukan pengamatan terhadap histopatologi jantung sebagai parameter uji.

Penelitian ini sampel diuji menggunakan metode eksperimental secara in vivo


4

dengan menggunakan tikus strain wistar yang diberi berbagai variansi dosis

alfamangostin dosis 10 mg/kg BB (T1), 30 mg/kg BB (T2), 50 mg/kg BB

(T3), K1 sebagai kontrol positif, K2 sebagai kontrol negatif dan K3 sebagai

kontrol standart obat glibenklamid. Sedangkan pada kelompok kontrol

menggunakan tikus strain wistar. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.

C. Rumusan Masalah

“Apakah ada pengaruh pemberian senyawa bioaktifitas antidiabetes

alfamangostin terhadap profil histopatologi jantung tikus Rattus norvegicus

strain wistar kondisi diabetes melitus ?”.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Membuktikan pengaruh pemberian senyawa bioaktivitas antidiabetes

alfamangostin terhadap profil histopatologi jantung Rattus norvegicus

strain wistar kondisi diabetes melitus.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi histopatologi sel nekrosis otot jantung pada tikus

Rattus norvegicus strain wistar kondisi diabetes.

b. Menganalisis histopatologi sel otot jantung tikus Rattus norvegicus

strain wistar setelah pemberian alfamangostin.


5

c. Mengetahui efektivitas pemberian senyawa bioaktivitas antidiabetes

alfamagostin terhadap histopatologi sel otot jantung tikus Rattus

norvegicus strain wistar.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan

pengalaman peneliti dibidang kesehatan mengenai pengaruh pemberian

senyawa alfamangostin sebagai bioaktivitas antidiabetes yang berperan

dalam perbaikan sel otot jantung tikus Rattus norvegicus strain wistar

dalam kondisi diabetes melitus.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi mengenai

manfaat senyawa alfamangostin sebagai bioaktivitas antidiabetes yang

dapat digunakan sebagai pencegahan komplikasi jantung di kalangan

masyarakat, serta menjadi masukan bagi ATLM untuk melakukan

pemeriksaan sitohistologi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolisme yang

disebabkan oleh berkurangnya hormon insulin didalam tubuh sehingga kadar

glukosa darah meningkat. Diabetes melitus merupakan penyakit akibat

gagalnya kemampuan dalam mengurai zat gula. Selanjutnya gula akan dipecah

menjadi glukosa dan glikogen oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh sel

beta pankreas (Hartini dalam Rochmawati, 2018).

Diagnosa kondisi Diabetes Melitus dapat dilihat berdasarkan hasil

pemeriksaan GDPT dan TTGO. Pemeriksaan GDPT (Test glukosa darah

puasa) dilakukan sebagai pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darah

setelah puasa minimal 8 jam. Hasil diagnosis dapat dinyatakan DM jika

menunjukkan glukosa darah puasa (GDP) > 126 mg/dl, glukosa darah sewaktu

(GDS) > 200 mg/dl, glukosa darah (GD) 2 jam setelah test toleransi glukosa

oral (TTGO) > 200 mg/dl, 2 kali pemeriksaan GDP > 126 mg/dl , 2 kali

pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl, 2 kali pemeriksaan glukosa

darah 2 jam setelah TTGO > 200 mg/dl, dan HbA1C > 6,5% (Decroli, 2019).

Pemeriksaan test toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan pemeriksaan

untuk mengetahui kondisi pradiabetes, pemeriksaan ini biasanya dilakukan

pada pasien GDP yang mendapatkan hasil secara abnormal atau mendekati

200 mg/dl. sehingga hasil tersebut perlu dilakukan konfirmasi dengan

pemeriksaan TTGO. Pemeriksaan TTGO tidak dilakukan pada hasil

6
7

pemeriksaan GDP yang tinggi atau dikatakan sebagai kondisi normal karena

dalam dan hal ini dapat dinyatakan secara langsung sebagai indikasi diabetes

melitus (Nugraha & Anggaini, 2019).

1. Klasifiksi Diabetes Melitus

Berikut klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes

Association (ADA dalam Rochmawati, 2018).

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit diabetes yang terjadi

akibat adanya gangguan katabolisme yang disebabkan karena

menurunnya kadar hormon insulin dalam sirkulasi darah. Katabolisme

merupakan suatu proses pemecahan molekul – molekul kompleks

menjadi molekul lebih sederhana serta melepaskan energi dalam

bentuk ATP. Ketika hormon insulin dalam darah mengalami

penurunan maka hormon glukagon akan mengalami peningkatan hal

inilah yang menyebabkan sel beta pankreas tidak dapat merespon

stimulasi insulinogenik (Rochmawati, 2018). Diabetes melitus tipe 1

merupakan diabetes yang disebabkan karena kerusakan sel beta

pankreas akibat autoimun sehingga tidak dapat memproduksi hormon

insulin dan mengalami penurunan hormon dalam sirkulasi darah.

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit diabetes yang

disebabkan karena adanya resistensi terhadap insulin. Resistensi

insulin merupakan gangguan penurunan respon jaringan terhadap

insulin dalam kondisi normal. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena


8

penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja hormon insulin atau

sering disebut dengan gangguan pada reseptor terhadap insulin

(Kelana, et al., 2015). Pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dapat

dikaitan dengan faktor resiko yang tidak dapat dirubah diantaranya

faktor usia diatas 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi diatas 400

gram, pernah memiliki berat badan dibawah 2,5 kg serta riwayat

diabetes gestasional, faktor risiko yang dapat dirubah diantaranya

berat badan lebih dari sama dengan 25 kg/m2 berdasarkan IMT atau

lingkar perut pada wanita lebih dari 80 cm dan pada pria lebih dari 90

cm, displidemia, pola hidup tidak sehat yang disertai kurangnya

aktivitas fisik. (Fatimah, 2015). Gejala klinis yang dialami pada

penyandang diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi secara akut dan

kronik, gejala klinis secara akut dapat meliputi nafsu makan dan

minum bertambah, sering mengeluarkan urin dimalam hari, mudah

lelah, dan berat badan cepat turun, sedangkan gejala klinis secara

kronis yaitu kulit terasa panas, sering kesemutan, kram, rasa kebas

dikulit, terjadinya impoten pada pria, kemampuan penglihatan

terganggu, mudah lelah danmengantuk (Fatimah, 2015).

c. Diabetes Gestasional

Diabetes melitus gestational merupakan kondisi gangguan

tolerasi karbohidrat yang terjadi pada kehamilan dan berlangsung

hingga kelahiran. Diabetes tipe ini dapat sembuh dengan sendirinya

seiring dengan selesainya masa kehamilan, dampak yang ditimbulkan

oleh ibu akibat diabetes gestasional yaitu terjadinya penambahan berat


9

badan, persalinan secara sesar, terjadi preklamsia, komplikasi

kardiovaskuler hingga dapt menyebabkan kematikan pada ibu. Ibu

yang mengalami diabetes gestasional setelah persalinan, kemungkinan

memiliki dampak pada kelanjutan diabetes melitus tipe 2 dan terjadi

diabetes gestasional berulang pada kehamilan berikutnya, sedangkan

pada bayi kemungkinan akan mengalami resiko terhadap makrosomia

(berat badan melebihi 4000 gram) (Rahayu & Rodiani, 2016).

2. Obat-Obatan Diabetes Melitus

a. Antidiabetik Oral

Penggunaan obat orang pada penyandang DM bertujuan untuk

menormalkan kondisi kadar glukosa darah, mencegah terjadinya

komplikasi lebih lanjut serta mengurangi gejala yang terjadi (Fatimah,

2015). Pada penderita diabetes melitus tipe 1 penggunaan insulin

menjadi pilihan pengobatan utama, sedangkan pada diabetes melitus

tipe 2 yang tidak dapat dikontrol dengan diet pengaturan asupan energi

dan aktivitas fisik, maka obat golongan ini dapat menjadi pilihan dalam

pengobatan. Pengobatan obat oral dapat dilakukan jika telah berupaya

dalam melakukan pengaturan diet dan aktivitas fisik selama 4-8

minggu, kadar glukos tetap diatas 200 mg%, serta kadar pemeriksaan

HbA1C diatas nilai 8% (Fatimah, 2015). Jenis obat yang termasuk

kategorik oabat oral hipoglikemik adalah golongan biguanid,

sulfonilurea, inhibitor alfa glukosidase, dll (Fatimah, 2015).


10

b. Insulin

Insulin merupakan hormon yang dapat mempengaruhi

metabolisme karbohidrat, proein, dan lemak yang memiliki peranan

dalam penurunan kadar glukosa dalam darah, peningkatan dalam

penguraian glukosa secara oksidatif, peningkatan pembentukan

glikogen dalam hati dan otot, memicu dalam pembentukan protein dan

lemk dari glukosa dll. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol

dengan diet dan penggunaan obat oral hipoglikemik, serta kondisi

diabetes melitus tipe 2 yang memburuk pemilihan insulin total dapat

dijadikan pilihan efektif dalam pengobatan (Fatimah, 2015).

3. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes melitus dapat memicu terjadinya komplikasi

makrovaskuler dan mikrovaskuler (Decroli, 2019). Makrovaskuler

merupakan gangguan pembuluh darah besar akibat dari penyumbatan,

yang terjadi pada jantung dan otak (Yuhelma, et al., 2015). Mikrovaskuler

merupakan gangguan penyumbatan pembuluh darah kecil akibat

hiperglikemia dan pembentukan protein glikasi seperti retinopati,

nefropati diabetic dll (Yuhelma, et al., 2015). Kondisi hiperglikemia

dengan selang waktu yang cukup lama akan berdampak pada kerusakan

sistem tubuh terutama sistem saraf dan pembuluh darah. Diabetes melitus

merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit jantung, stroke,

neuropati, retinopati, dan gagal ginjal. Pada penderita diabetes akan

memiliki peluang kematian dua kali cepat dibandingkan dengan kondisi


11

normal (Kemenkes RI dalam Irfan & Israfil, 2020). Berikut komplikasi

yang terjadi akibat kondisi diabetes melitus :

a. Sroke iskemik

Stroke iskemik yang disebabkan oleh kondisi diabetes melitus,

terjadi karena adanya suatau proses aterosklerosis. Store iskemik

merupakan kondisi dimana pasokan darah ke otak terganggu akibat

penyumbatan pembuluh darah. Kondisi hiperglikemi menyebabkan

terjadinya kerusakan pada pembuluh darah disertai dengan adanya

agregrasi platelet dan berakibat pada aterosklerosis, selain itu

hiperglikemia juga dapat meningkatakan kekentalan darah dan

berakibat pada stroke iskemik (Ramadany, et al., 2013).

b. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik merupakan gangguan saraf akibat kerusakan

pembuluh darah kapiler yang membawa nutrisi ke saraf. Kondisi ini

ditandai dengan adanya gejala rasa kesemutan hebat, lemah dan rasa

tebal, neuropati diabetik merupakan komplikasi yang sering terjadi

pada kondisi diabetes melitus (Perkeni dalam Prasetyani, 2019).

c. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik diawali dengan adanya kerusakan sel endotel,

penebalan membran basal dari pembuluh darah sehinga menyebabkan

terjadinya oklusi kapiler dan iskemik pembuluh darah, kondisi inilah

yang menyebabkan dekompensasi sel endotel, sehingag terjadi sawar

darah retina dan berakibat pada edema retina (Yusran, 2017).


12

d. Gagal Ginjal

Gagal ginjal merupakan gangguan kemampuan tubuh ginjal

dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Diabetes

merupakan penyebab utama terjadinya komplikasi gagal ginjal ditandai

adanya mikroalbuminuria (30 mg/hari), peningkatan tekanan darah,

penurunan filtrasi glomelurus dan berakibat pada gagal ginjal (Rivandi

& Yonata, 2015).

e. Komplikasi Pada Jantung

Hiperglikemia yang tidak ditangani dengan baik dapat memicu

terjadinya gangguan vaskuler yang diawali melalui proses glikosilasi

dan stres oksidatif (Decroli, 2019). Salah satu komplikasi dari diabetes

melitus yang sering terjadi pada jantung adalah kardiomiopati diabetik.

Keadaan tersebut diawali dengan adanya kondisi stres oksidatif.

Hiperglikemia yang tidak terkontrol berperan dalam peningkatan

produksi Reactive Oxygen Species (ROS) melalui jalur polyol pathway,

advanced glycation end products (AGEs), serta teraktifnya jalur

isoform protein kinase c dan jalur hexosamine pathway (Sakinah, et al.,

2020). Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan keberadaan

antioksidan dapat menimbulkan kondisi stres oksidatif yang

berdampak pada kerusakan oksidatif jaringan dan memicu terjadinya

nekrosis pada sel (Sharma dalam Kusuma 2019).

Jantung merupakan organ muskular berbentuk kerucut yang

berongga. Jantung memiliki panjang sekitar 10 cm dan berukuran satu

kepalan tangan pemiliknya. Jantung berperan dalam memompa darah


13

yang mengandung oksigen dan menyalurkan nutrien ke seluruh tubuh.

Berat jantung sekitar 225 gram pada wanita dan 310 gram pada pria.

Letak jantung lebih condong di sebelah kiri daripada bagian kanan

tubuh (Nurachmah, 2017).

Gambar 2.1. Interior Jantung (A) (Nurachmah, 2017), Histologi Otot


Jantung Kondisi Normal Pewarnaan HE perbesaran 400x
(Zhang dan Wei dalam Kusuma, 2019).

Perikardium merupakan selaput yang melapisi bagian luar

jantung. Lapisan perikardium memiliki dua katong atau pembungkus

yang terdiri atas lapisan jaringan fibrosa dan membran serosa ganda,

membran serosa ganda dilapisi sel epitel gepeng. Sel inilah yang

berperan dalam menskresikan cairan serosa dalam ruang antar lapisan

periental dan viseral (Nurachmah, 2017). Cairan serosa yang

dihasilkan perikardium berfungsi untuk melumasi jantung dan

mencegah gesekan antara jantung ketika berkontraksi, selain itu

perikardium juga berperan dalam mempertahankan posisi jantung dan

menyediakan rongga saat berkontraksi. Perikardium tersusun atas 2

lapisan yakni lapisan fibrosa luar yang terdiri lapisan kolagen dan

jaringan ikat, dan lapisan serosa dalam yang tersusun lapisan viseral

yang menutupi permukaan jantung dan lapisan pariental yang melapisi


14

permukaan bagian dalam fibrosa perikardium (Sloane, 2004).

Dinding jantung terdiri atas tiga lapisan diantaranya, lapisan

epikardium, miokardium, dan endokardium. Lapisan epikardium

merupakan lapisan terluar tersusun atas lapisan sel mesotelia yang

disokong jaringan ikat. Lapisan miokardium terdiri atas otot jantung

yang bergerak secara involuntir atau pergerakan secara spontan tanpa

disadari, miokardium merupakan lapisan paling tebal pada bagian

ventrikel kiri hal ini dikarenakan beban kerja yang cukup besar.

Lapisan endokardium merupakan lapisan terdalam yang melapisi

bagian bilik katup jantung, endokardium tersusun atas sel epitelium

gepeng. Lapisan ini nampak halus dan tipis yang berperan

memberikan kemudahan darah untuk mengalir ke dalam jantung

(Nurachmah, 2017).

Gambar 2.2. Histologi Jantung normal Lapisan Epikardium (A),


Lapisan Miokardium (B), Lapisan Endokardium (C).
Pewarnaan HE perbesaran 400x (Mescher dalam
Kusuma, 2019).

Aliran darah ke jantung diperankan oleh dua vena besar tubuh,

vena kava superior dan inferior memompa ke atrium, selanjutnya


15

darah melalui katup trikuspid dan masuk ke ventrikel kanan dari

sinilah darah akan dipompa menuju arteri pulmonaris (arteri

pembawa darah yang mengandung sedikit oksigen). Didalam arteri

pulmonaris terdapat katup yang berfungsi sebagai penahan aliran

darah tidak mengalir kembali. Setelah meninggalkan jantung darah

akan dibawa menuju vena ke dalam paru – paru sehingga terjadi

pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida, oksigen diabsorbsi

dan karbondioksida diekskresikan (Nurachmah, 2017). Vena

pulmonalis dari paru akan membawa darah yang mengandung oksigen

menuju ke atrium kiri selanjutnya darah melewati katup mitral ke

ventrikel kiri, kemudian darah akan dipompa ke aorta, dimana aorta

terdapat katup aortik yang terbentuk oleh katup trikuspid semilunar.

Pada lapisan dinding otot atrium memiliki ketebalan yang berbeda

dengan ventrikel, dimana lapisan otot atrium lebih tipis jika

dibandingkan dengan ventrikel hal ini sesuai dengan bebas kerja yang

dilakukan. Aliran darah pada strum dibantu oleh gravitasi yang

menyebabkan darag mengalir hanya melalui katup atrioventrikular ke

ventrikel, ventrikel aktif mempompa darah ke paru menuju seluruh

tuhuh (Nurachmah, 2017).

Gambar 2.3. Arah aliran darah melalui jantung (Nurachmah, 2017).


16

B. Induksi Diabetes Melitus

1. Fruktosa

Fruktosa merupakan jenis gula sederhana yang memberikan rasa

manis terhadap olahan makanan maupun pada sayur dan buah. Fruktosa

berasal dari sukrosa yang merupakan turunan gula tebu dan gula bit.

Fruktosa merupakan gula golongan monosakarida yang terdiri atas 6 atom

karbon heksosa yang merupakan isomer glukosa (C 6H12O6) serta

mengandung gugus karbonil sebagai keton (Prahastuti, 2011).

Metabolisme fruktosa tidak memerlukan insulin untuk masuk ke dalam sel

dan hanya sebagian kecil fruktosa yang ikut dalam metabolisme glukosa.

Dampak dari penderita diabetes yang tidak terkontrol akan terjadi

peningkatan pembentukan glukosa dari fruktosa melalui proses

glukoneogenesis (Prahastuti, 2011).

Gambar 2.4. Struktur Rantai Fruktosa (Subandiyono & Hastuti, 2016).

2. Mekanisme Resistensi Insulin

Mekanisme fruktosa penyebab resisten insulin, tingginya kadar

fruktosa dalam tubuh dapat menyebabkan kegagalan tolerasi glukosa,

resistensi insulin serta hiperinsulinemi, hal ini terjadi melalui 2 mekanisme


17

yaitu melalui pembentukan asam urat dan DNL. Fruktosa akan

terfosforilasi oleh enzim KHK (Ketoheksokinase) merupakan enzim yang

berperan dalam mengkatalis fosforilasi fruktosa untuk menghasilkan

fruktosa-1-fosfat, terjadi penurunan ATP dan terbentuklah asam urat.

Adanya asam urat inilah yang menimbulkan efek terhadap penurunan

Nitrik Oksida (NO), terjadi vasokonstriksi serta penurunan serapan

glukosa oleh otot skeletal. Selain itu dari peningkatan asam urat juga

memberikan dampak pada sel adiposit melalui stres oksidatif, terjadi

penurunan adinopektin, penurunan oksidasi lipid hepatik, serta memicu

timbulnya resisten insulin (Prahastuti, 2011).

Gambar 2.5. Mekanisme Fruktosa Menginduksi Resistensi Insulin


(Prahastuti, 2011).
Sementara pada DNL terjadi ketika adanya ketersediaan atom

karbon (gliserol-3fosfat dan Asil-KoA) yang akan diubah menjadi

monoasetilgliserol serta diasilgliserol (DAG), yang nantinya DAT menjadi

bahan dalam pembentukan trigliserida dan VLDL yang berakibat pada

resistensi insulin yang berarti tubuh tidak dapat mengunakan insulin


18

dengan baik sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah atau

sering disebut dengan diabetes melitus tipe 2 (Prahastuti, 2011).

C. Tikus Rattus Norvegicus strain Wistar

Tikus putih merupakan hewan yang sering digunakan dalam kebutuhan

uji coba penelitian di laboratorium, hal ini dikarenakan tikus putih memiliki

ciri – ciri genetik dan organ yang sama dengan manusia. Tikus putih yang

sering digunakan sebagai hewan coba yakni jenis wistar dengan ciri khas

telinga panjang, kepala kecil, albino, ekor lebih panjang dibandingkan ukuran

badan. Berikut Taksonomi Tikus Putih (Moore dalam Rochmawati, 2018).

Kingdom : Animalia

Divisi : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Familie : Muridae

Gannus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus L

Gambar 2.6. Tikus Wistar (Moore dalam Rochmawati, 2018).


Tikus jantan lebih sering digunakan dibandingkan dengan tikus betina,

hal ini dikarenakan pada tikus jantan tidak dipengaruhi oleh hormon serta

menunjukkan waktu pertumbuhan lebih lama jika dibandingkan dengan tikus


19

betina sehingga tikus jantan lebih mudah dan efektif jika dilakukan perlakuan

pada pengujian (Rochmawati, 2018).

1. Karakteristik dan Nilai Fisiologi Normal Tikus Rattus Norvegicus

Menurut (Arrington dalam Rejeki, et al., 2018). Karakterisktik tikus

putih Rattus norvegicus memiliki masa hidup selama 2-3 tahun dengan

masa produksi selama 1 tahun , lamanya mengandung selama 20-22 hari,

usia dewasa 40-60 hari dengan masa kawin 2 minggu, dan berat dewasa

mencapai 300-400 gram. Tikus putih memiliki kepekaan terhadap

lingkungan disekitar diantaranya kepekaan terhadap pendengaran,

sentuhan, serta penciuman. Namun tidak memiliki kemampuan dalam

penglihatan dengan baik. Dibelakang mata tikus terdapat kelenjar hardarin

dan menempati sebagian dari orbita. Kelenjar ini berperan dalam

mensekresikan lipid dan pigmen porfirin yang berflouresensi terhadap

sinar UV (Rejeki, et al., 2018).

Tabel 2.1 Nilai-Nilai Fisiologi Normal Tikus Rattus Norvegicus


Nilai Fisiologi Normal
Suhu tubuh : 99,9̊F (37,3 ̊C)
Denyut jantung : 300-500 bpm
Respirasi : 70-150 kali per menit
Berat lahir : 5-6 gram
Berat dewasa : 267-500 gram (jantan), 225-325 gram (betina)
Maha hidup : 2-3 tahun (betina dapat hidup lebih lama)
Maturasi seksual : 37-75 hari
Target lingkungan seksual : 50-68 ̊F (18-26 ̊C)
Target kelembapan lingkungan : 40-70%
Gestasi : 20-22 hari
Penyapihan : 21 hari
Minum : 22-33ml/hari
Sumber : Rejeki, et al., 2018.
20

2. Cara Pemeliharaan Tikus

Teknik handling yang baik sangat dibutuhkan dalam penanganan

hewan coba, hal ini bertujuan untuk meminimalisir trauma pada hewan

coba selama perlakuan dalam penelitian. Perlakuan karangtina dilakukan

untuk keperluan dalam memonitoring kesehatan, adaptasi pada lingkungan

baru, memudahkan dalam pemberikan prosedur dan perlakuaan pada

hewan coba untuk mendapatkan hasil yang maksimal sebagai model

penelitian (Rejeki, et al., 2018). Untuk mengurangi kondisi stressor tikus

perlu dilakukan adaptasi dengan lingkungan baru selama 3-5 hari, selain

adaptasi terhadap lingkungan sekitar, tikus sebagai model penelitian perlu

dilakukan interaksi kontak dengan operator. Selain mengurangi kondisi

stres perlakuan ini bertujuan untuk mempermudah tikus dalam menerima

stimulasi perlakuan selama penelitian berlangsung (Rejeki, et al., 2018).

Adapun faktor yang mempengaruhi pemeliharaan tikus diantaranya

gedung harus memliki bangunan permanen, mudah dibersihkan, dan dapat

memberikan kehangatan bagi tikus, kandang harus disesuaikan dengan

kondisi tikus, terdapat tempat untuk berlindung terbuat dari besi atau kayu

dengan hygiene tetap terjaga, kondisi lingkungan dengan suhu 18-26̊C,

memiliki ventilasi udara baik dan pencahayaan sinar matahari yang baik,

terdapat alas tidur dengan bahan yang mudah diserap, kering seperti jerami

(Arrington dalam Rejeki, et al., 2018).

3. Cara Pemberian Obat dan Spesimen Uji

Pemberian obat dan pengambilan spesimen pada hewan coba perlu

dilakukan dengan teknik khusus dengan berbagai jalur, hal ini diharapkan
21

agar hewan coba tetap dalam keadaan nyaman, terlindungi dan tidak

merasakan sakit selama penelitian berlangsung. Pada kegiatan ini dituntut

untuk memiliki kemampuan dalam memegang dan mengendalikan hewan

coba dengan tujuan meminimalisir terjadinya cedera dan rasa sakit

(Stevani, 2016). Tikus memiliki respon cukup baik, tikus hanya akan

menyerang jika hewan tersebut merasa kurang nyaman dengan

lingkungan sekitar. Sebelum melakukan interaksi dengan tikus terlebih

dahulu gunakan sarung tangan untuk menghindari terjadinya alergi,

kemudian awali dengan mengangkat tubuh tikus dengan lembut,

tempatkan ibu jari pada area bawah rahang tikus tanpa adanya penekanan,

kemudian tahan pada bagian belakang hewan dan berikan sentuhan lembut

pada perut tikus agar hewan tersebut merasakan kenyamanan dan terhindar

dari kondisi cemas dan stres (Stevani, 2106).

Gambar 2.7. (A) cara memegang tikus, (B) cara memberikan sentuhan
lembut pada tikus (The norwegian reference centre for
laboratory animal science & alternative dalam Stevani,
2016).

Pemberian perlakuan khusus terhadap hewan coba bertujuan untuk

memberikan kemudahan selama proses penelitian berlangsung. Adapun

beberapa jenis jalur yang digunakan dalam penelitian diantaranya jalur

sonde oral, intra vena, sub kutan, intramuskular, intra peritonial. Perlakuan
22

sonde oral merupakan teknik jalur pemberian obat yang sangat umum

digunakan karena relatif mudah, prosedur jalur ini dimulai dengan

memposisikan mulut tikus dalam keadaan terbuka keadaan tegak lurus,

kemudian memasukkan obat atau sediaan melalui mulut tikus

menggunakan spuit atau alat bantu lain dengan cara menempelkan pada

bagian langit-langit rahang atas sehingga obat dengan mudah untuk masuk

kedalam esofagus (Stevani, 2016). Pemberian obat atau seediaan melalui

jalur sub kutan diawali dengan mengangkat atau mencubit kulit tengkuk

(leher bagian atas) tikus, selanjutnya arahkan spuit dengan sudut 45 derajat

dan suntikan obat atau sediaan pada bagian bawah kulit dengan jarum

berukuran 27 G/0,4 mm, jalur ini dapat dilakukan pada kulit tengkuk dan

sub kutan pada area abdomen (Stevani, 2016). Jalur inta vena dilakukan

dengan bantuan kandang restriksi atau alat bantu untuk memegang tikus

yang terdapat lubang penempatan ekor untuk menjulur keluar, pada jalur

ini diawali dengan pemberian air hangat pada ekor dengan tujuan agar

pembuluh vena pada ekor mengalami dilatasi atau mengembang, sehingga

memberikan kemudahan dalam memasukkan obat atau sediaan melalui

pembulih vena (Stevani, 2016). Pemberian obat atau sediaan dengan jalur

intra muskular dilakukan melalui jaringan otot dengan cara memasukan

obat atau sediaan dengan bantuan spuit berukuran jarum nomor 24 pada

area paha posterior (Stevani, 2016). Pemberian obat atau sediaan melalui

jalur intraperitonial lebih sering dilakukan pada hewan coba mencit, jalur

ini diawali dengan mengkondisikan hewan dengan kepala lebih rendah

dari abdomen. Jarum disuntikkan pada abdomen dengan sudut 100 derajat
23

sedikit menepi dari garis tengah (Stevani, 2016). Selain perlakuan jalur

pemberian obat atau spesimen uji, proses pengorbanan hewan coba juga

perlu diperhatikan untuk memastikan tikus tetap merasa nyaman dan

meminimalisir rasa sakit pada hewan coba tersebut. Adapun perlakuan

anastesi yang dilakukan diawal sebelum tindakan pembedahan. Anastesi

merupakan suatu tindakan yang diberikan pada hewan yang bertujuan

untuk mengkondisian ketidaksadaran pada hewan coba, hal ini dikaitkan

dengan mengurangi beban sakit atau nyeri yang diberikan selama tindakan.

Adapun tiga tahapan anastesi yaitu analgesia (penghilang rasa nyeri),

amnesia (hilangnya memori), dan imobilisasi (Stevia, 2016).

Gambar 2.8. Sonde oral (A), Sub kutan abdomen (B), Sub kutan tengkuk
(C), Intravena (D), Intramuskular (E), Intraperitonial (F)
(The Laboratory Mouse and The norwegian reference
centre for laboratory animal science & alternative dalam
Stevani, 2016).

4. Kadar Glukosa Darah Tikus

Kadar glukosa darah didalam tubuh akan dipertahankan dan diatur

secara alami disebut sebagai homeostatis. Homeostatis glukosa darah

dikendalikan melalui 2 mekanisme yakni sintesis glikogen (glikogenesis)

dan katabolisme glikolisis (glikogenolisis) dengan melibatkan enzim yang

dihasilkan oleh pancreas yakni oleh hormon insulin dan hormon glukagon
24

(Banjarnahor & Wangko, 2012). Dalam kondisi tubuh normal jika terjadi

peningkatan kadar glukosa darah, glukosa akan disimpan dalam bentuk

glikogen dan akan dipecah kembali jika tubuh membutuhkan. Glikogen

disimpan didalam tubuh berperan dalam menyediakan glukosa sebagai

bahan bakar atau penghasil fosfat berenergi tinggi, proses katabolisme dan

anabolisme glikogen didalam hati dan otot melibatkan ketersediaan

glukosa sebagai sumber energi (Suarsana, et al., 2010). Pada penderita

diabetes melitus tipe 2 tubuh tetap memproduksi insulin dengan jumlah

yang normal namun kinerja insulin tidak dapat bekerja dengan baik atau

keadaaan dimana sel mengalami penurunana sesnsitivitas terhadap insulin

(resisitensi insulin) (Stumvoll, et al dalam Suarsana, et al., 2010). Jika

tubuh mengalami resistensi insulin akibatnya sel membutuhkan glukosa,

terjadi mobilisasi cadangan glikogen dihati dan otot untuk dipecah

menghasilkan glukosa dan dilepaskan pada aliran darah sehingga terjadi

kondisi hiperglikemia (Suarsana, et al., 2010). Salah satu yang dapat

menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah yaitu senyawa

fruktosa, jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan waktu yang cukup lama

akan berdampak pada diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus merupakan

penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang

melebihi batas normal pada tikus yakni berkisar 70-120 mg/dl (Meles, et

al., dalam Putri, et al., 2014). Tikus dinyatakan diabetes apabila glukosa

darah acak memiliki kadar berkisar 130-150 mg/dl (Wulansari &

Wulandari, 2018). Sementara nilai kadar glukosa darah puasa pada tikus

berkisar > 126 mg/dl (Firdaus, et al., 2016).


25

D. Diabetes dan Stres Oksidatif

1. Radikal Bebas

Radikal merupakan molekul yang memiliki elektron tidak

berpasangan (Clarkson dan Thomson dalam Sinaga, 2018). Radikal bebas

bersifat reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan silang pada DNA,

protein, lipid, dan terjadi kerusakan oksidatif (Silalahi dalam Sinaga,

2018). Radikal bebas memiliki elektron ganjil, tidak stabil dan bersifat

reaktif sehingga mudah untuk bereaksi dengan molekul lain. Untuk

menjaga kestabilan radikal bebas akan mengambil elektron dari molekul

disekitar, sementara dampak dari molekul yang diserang akan menjadi

radikal bebas akibat kehilangan elekron, proses tersebut akan terus terjadi

hingga munculnya reaksi berantai dan menyebabkan kerusakan pada sel

(Suryadinata, 2018). Radikal bebas terdiri menjadi dua kelompok yaitu

Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS)

(Marciniak et al., dalam Sinaga, 2018). Reactive Oxygen Species (ROS)

merupakan senyawa turunan oksigen bersifat reaktif dimana terdiri dari

kelompok radikal dan kelompok non radikal. Kelompok radikal terdiri dari

hydroxyl radicals (OH-), Superoxide anion (02-), peroxyl radicals (RO2).

Sedangkan kelompok non radikal teridiri dari hydrogen peroxide (H2O2)

dan organic peroxides (ROOH) (Halliwel and Whiteman dalam Sinaga,

2018). Spesies non radikal bukan termasuk radikal bebas tetapi mudah

untuk menyebabkan reaksi radikal bebas pada organisme hidup

(Suryadinata, 2018). Sementara Reactive Nitrogen Species (RNS)

merupakan senyawa turunan nitogen, senyawa yang termasuk RNS adalah


26

Oksidan peroksinitrit (ONOO) (Nurtamin, 2014). RNS dapat

menyebabkan pada stres nitrooksidatif dan berdampak pada kondisi yang

lebih berbahaya jika dibandingkan dengan stres oksidatif, dalam kondisi

normal RNS berperan penting dalam kehidupan sel, namun jika RNS

diproduksi dalam jumlah berlebih akan berdampak pada kerusakan

protein, lipid maupun karbohidrat yang berakibat pada gangguan

hemostatis intasel maupun antar sel yang nantinya berdampak pada

kematian sel dan regenerasi sel yang mengarah pada peradangan (Rahmah,

et al., 2020).

2. Hubungan Diabetes dengan Stres Oksidatif

Kondisi hiperglikemia berperan dalam peningkatan produksi

reactive oxygen species (ROS) atau sering dikenal sebagai radikal bebas

(Hendrawati, 2017). Radikal bebas didalam tubuh dengan jumlah yang

cukup banyak dapat memicu terjadinya kerusakan sel seperti sel otot

jantung (Nurfadilah, et al., 2013). Peningkatan ROS terjadi melalui jalur

polyol pathway, advanced glycation end products (AGEs), serta

teraktifnya isoform protein kinase c dan hexosamine pathway. Peningkatan

produksi radikal bebas secara terus menerus yang tidak diimbangi dengan

ketersediaan antioksidan sebagai penangkal, akan memicu timbulnya

kondisi stres oksidatif dan kerusakan jaringan atau dikenal sebagai

kerusakan oksidatif jaringan (Sakinah, et al., 2020). Keberadaan kondisi

tersebut dapat memicu timbulnya reaksi inflamasi melalui stimulasi

Nuclear Factor Kappa Beta (NF-kB). Dengan teraktifnya NF-kB akan

menyebabkan peningkatan produksi TNF-α (Sakinah, et al., 2020). TNF-α


27

merupakan sitokin dalam proses inflamasi akut dan memiliki beberapa

fungsi dalam proses inflamasi diantaranya peningkatan peran pro

trombotik, merangsang molekul adhesi, mengatur aktivasi makrofag dan

menstimulasi sistem imun dalam jaringan (Supit, et al., 2015). Selain itu

TNF-α merupakan salah satu sitokin yang berpotensi dalam aktivasi sel

polymorphonuclear (PMN), remodeling vaskular, serta dapat menurunkan

produksi nitrit oxide (NO) (Sakinah, et al., 2020). Selanjutnya TNF-α akan

berikatan dengan TNFR1 yang berperan sebagai reseptor dari TNF-α, dari

ikatan tersebut akan memicu terjadi reaksi nekrosis pada kardiomiosit (Sel

otot jantung) dan berakhir pada disfungsi organ jantung (Sakinah, et al.,

2020).

3. Dampak Diabetes dan Stres Oksidatif

Metabolisme hiperglikemia berperan dalam menghasilkan radikal

bebas reactive oxygen species (ROS) (Hendrawati, 2017). Keberadaan

radikal tersebut dapat memicu terjadinya kondisi stres oksidatif dan

menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan serta berakhir pada proses

pembentukan nekrosis sel yang terjadi pada kardiomiosit (sel otot

jantung), kondisi inilah yang akan berdampak pada disfungsi organ

jantung (Sakinah, et al., 2020). Dalam proses pembentukan nekrosis

diawali dari kondisi sel yang mengalami perubahan morfologi serta fungsi

yang bersifat reversibel atau dikenal sebagai kondisi dimana sel

mengalami sakit (Berata, et al., 2015). Degenerasi parenkimatosa yang

ditandai adanya pembengkakan sel yang disebabkan oleh faktor mekanik,

toksik, peroksida lipid, virus, bakteri dll, degenerasi ini sering dijumpai
28

pada sel pakenkim pada organ ginjal dan hati. Degenerasi melemak

merupakan degenerasi yang disebabkan karena penimbunan lemak dalam

sitoplasma sel, degenerasi ini dapat terjadi pada sel hepar, tubulus ginjal,

myocard dll. Degenerasi hidrofik merupakan degenerasi yang disebabkan

karena adanya penimbunan molekul air dalam sitoplasma sel. Degenerasi

hyalin merupakan degenerasi yang disebabkan akibat penimbunan protein

dalam sel dan dikhususkan terjadi pada ginjal. Degenerasi fibrinoid yang

terjadi akibat penimbunan protein berbentuk benang-benang fibrin tidak

beraturan. Degenerasi amiloid terjadi akibat penimbunan glikoprotein dan

sering dijumpai pada glomerulus ginjal, hati, limpa (Berata, et al., 2015).

Gambar 2.9. Histologi otot jantung yang mengalami degenerasi hidrofik


(panah biru), inti sel nampak pipih dan memadat (panah
hitam) (Ubruangge, et al., 2016).

Nekrosis merupakan kematian sel atau jaringan diakibatkan dengan

adanya proses degenerasi yang ditandai adanya pembengkakan dan ruptul

organel (Cut Sriyanti, 2016). secara mikroskopis sel atau jaringan yang

mengalami nekrosis ditandai dengan adanya demarkasi atau pembatasan

terhadap jaringan normal, serta nampak warna kepucatan pada sel atau

jaringan (Berata, et al., 2015). Nekrosis merupakan kematian oleh faktor

luar sel ditandai adanya pembengkakan, terjadi proses lisis, reaksi jaringan

yang terjadi yaitu inflamasi, serta pemecahan DNA terjadi secara acak
29

menyebar (Cut Sriyanti, 2016). Adapun ciri utama pada sel atau jaringan

yang mengalami nekrosis diantaranya piknosis yang ditandai dengan inti

gelap atau hiperkromatik serta menyusut, karioreksis ditandai dengan inti

mengalami pemadatan, terdapat batasan berwarna gelap dan tidak teratur,

kemudian inti sel akan mengalami proses penghancuran serta

meninggalkan pecahanan kromatin dan menyebar keseluruh bagian dalam

didalam sel. Tahapan selanjutnya inti selakan hilang atau disebut sebagai

kariolisis (Cut Sriyanti, 2016).

Gambar 2.10. Tahap Kematian Sel (Cut Sriyanti, 2016).

Nekrosis sel dapat menimbulkan efek klinis, dimana sel yang mengalami

nekrosis akan menyebabkan abnormalitas pada fungsi sel. Jika nekrosis

terjadi pada sebagaian otot jantung, maka jantung akan tetap memberikan

efek klinis disfungsi pada hemodinamika jantung (Cut Sriyanti, 2016).

Berikut gambaran histologi otot jantung yang mengalami nekrosis :

Gambar 2.11. Histologi otot jantung mengalami nekrosis. Tanda kerusakan


sel berupa piknosis (panah hitam), karioreksis (panah
kuning), dan sel normal ditunjukkan pada panah hijau.
Pengecatan HE perbesaran 400x (Kusuma, 2019).
30

E. Manggis (Garcinia mangostana L)

1. Taksonomi Manggis (Garcinia mangostana L).

Tanaman buah manggis berasal dari hutan tropis dikawasan Asia

Tenggara dan buah ini sering di jumpai di Indonesia. Berikut klasifikasi

dari tanaman buah manggis.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospremae

Sub-kelas : Dicotyledonaae

Ordo : Thalamiflora

Famili : Guttiferales

Genus : Guttiferae

Spesies : Garcina mangostana

Buah manggis memiliki kaya akan manfaat dan dikenal sebagai quen Fruit

di Indonesia. Ekstrak kulit manggis memiliki bahan bioaktifitas yang

berpotensi sebagai terapiuetik (Hermawan, 2016).

Gambar 2.12. Manggis (Susanti, 2018).

2. Morfologi Tanaman Buah Manggis (Garcinia mangostana L).

Buah manggis memiliki bentuk bulat dengan diameter sekitar 3

sampai 8 cm, jika buah masak maka manggis akan memiliki warna ungu

merah kecoklatan yang didalamnya terdapat beberapa daging buah


31

berwarna putih sementara manggis yang belum mengalami proses

pematang akan berwarna hijau dan keras (Srihari dan Lingganingrum,

2015). Manggis memiliki bunga tunggal, kelamin dua berada di ketiak

daun dengan panjang sekitar 1-2 cm, manggis memiliki batang dan biji

berbentuk bulat. Diameter biji buah manggis 2-3 cm dan berwarna kuning,

selain itu manggis juga memiliki akar tunggal warna putih kecoklatan

(Hutapea dalam Narulita, 2014).

3. Kandungan Kulit dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L).

Pada kulit manggis memiliki banyak kandungan yang cukup baik

bagi kesehatan diantaranya terdapat kandungan senyawa xanton,

flavonoid, tannin, alfamangostin, antosianin, saponin, dan senyawa

lainnya. Senyawa Xanton memiliki kemampuan sebagai antioksidan,

antiinflamasi, antikanker, antifungi, serta antidiabetes (Susanti, 2018).

Namun pada senyawa alfamangostin, betamangostin, gamamangostin,

gartanin, serta 8-Deoxygartanin merupakan senyawa terbanyak yang

terkandung pada kulit manggis serta memiliki khasiat biologis yang cukup

baik (Magallanes, et al. dalam Maligan, et al., 2018). Tannin terdiri atas

asam fenolat serta memiliki beberapa aktivitas antibakteri dengan cara

mengkoagulasi protoplasma bakteri, antioksidan, anticancer, antidiare,

hemostatik, antihemoroid, serta mampu mengeliminasi toksin (Yunitasari

dalam Susanti 2018). Flavonoid termasuk senyawa fenol, berperan sebagai

antioksidan, antosianin merupakan senyawa yang memiliki peranan sangat

baik bagi kesehatan tubuh diantaranya dalam pencegahan beberapa

penyakit diabetes, kardiovaskuler, serta neuronal (Susanti, 2018). Saponin


32

merupakan senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri dengan

meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel

apabila berinteraksi dengan mikroorganisme, maka mikroorganisme

tersebut mengalami kerusakan atau lisis (Utami dalam Susanti, 2018).

Xanthone mengandung beberapa turunan senyawa yang meliputi

mangostin, mangostenol, mangostinon A, mangostenon B,

trapezifolixhanthone, tovophyllin B, alfamangostin, betamangostin,

garcinon B, flavonoid epicatechien, dan gartanin. Alfamangostin

merupakan turunan xanthon yang banyak terkandung didalam kulit

manggis yang berperan sebagai antioksidan, sehingga dapat melindungi

dampak dari radikal bebas serta mampu menurunkan kadar gula darah atau

dikenal sebagai antiglikemik (Magallanes, et al dalam Maligan, et al.,

2018).

Gambar 2.13. Struktur xanton (A) (Magallanes dalam Maligan dkk, 2018)
dan Struktur Alfamangostin (B) (Chaverr dalam Maligan, et
al., 2018).

Xanton yang terkandung pada kulit manggis merupakan senyawa

bioativitas yang memiliki peranan dalam penurunan kadar glukosa darah

yang bekerja dengan cara menghambat enzim α-glukosidase sehingga

dapat menurunkan kadar glukosa darah pada kondisi diabetes (Kurniawati,

et al., 2014). Obat antidiabetes pada umumnya bekerja dengan cara


33

menghambat enzim α-glukosidase. Enzim α-glukosidase memiliki peranan

penting dalam proses metabolisme karbohidrat dalam pembentukan

glikoprotein dan glikolipid, ikatan α (1-6) pada rantai glikogen akan

dihidrolisis membentuk D-glukosa dan berakhir pada pembentukan residu

glukosa dengan ikatan α (1-4) proses ini diperankan oleh enzim α-

glukosidase yang terletak pada tepi permukaan usus halus. Xanton

dipercaya memiliki manfaat sebagai antidiabetes yang bekerja dengan

menghambat α-glukosidase (Kurniawati, et al., 2014).


BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual Penelitian

Ekstrak Kulit Manggis


Fruktosa ↑

Xanthone
Tikus DM tipe 2

Alfamangostin

Polyol aktif Hexosamine aktif AGEs aktif Protein Kinase C aktif

Antioksidan ROS ↑↓

Stres Oksidatif ↑↓
Antidiabetes
Kerusakan Oksidatif Jaringan ↑↓
Enzim α-glukosidase ↓
Over Stimulasi NF-kB ↑↓
Glukosa Darah ↓
Produksi TNF-α ↑↓ & berikatan dengan TNFR1

Nekrosis Kardiomiosit ↑↓

Disfungsi Organ Jantung

Keseimbangan Metabolik

Penurunan Disfungsi Organ Jantung


35

Keterangan :

: Tidak diteliti

: Diteliti

: Efek setelah pemberian Alfamangostin

: Kondisi terjadi peningkatan

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian

B. Deskripsi Kerangka Konseptual Penelitian

Peningkatan kadar glukosa darah akibat induksi fruktosa secara berlebih

dapat memicu produksi radikal bebas Reactive Oxygen Spesies (ROS) melalui

jalur polyol, hexosamine, serta teraktifnya AGEs dan isoform protein kinase c.

Peningkatan produksi radikal bebas dan tidak diimbangi dengan ketersediaan

antioksidan dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif, perihal kondisi

tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan dan memicu reaksi

inflamasi melalui stimulasi Nuclear Factor Kappa Beta (NF-kB) sehingga

berdampak pada peningkatan produksi sitokin proinflamasi yaitu TNF-α.

Selanjutnya TNF-α akan berikatan dengan reseptor TNFR1 dan dapat

menyebabkan terjadinya proses nekrosis di kardiomiosit, kondisi inilah yang

akan berakhir pada disfungsi organ jantung. Alfamangostin merupakan

senyawa bioaktivitas antidiabetes bekerja dengan cara menghambat enzim α-

glukosidase sehingga mampu menurunkan kadar glukosa darah dan

mengembalikan kondisi keseimbangan metabolik yang nantinya akan

berdampak pada penurunan disfungsi organ jantung. Penelitian ini berupaya

untuk mengetahui kemampuan varian dosis pemberian alfamangostin 10


36

mg/kg BB, 30 mg/kg BB, dan 50 mg/kg BB pada tikus Rattus norvegicus

strain wistar yang diinduksi diabetes melitus dengan indikasi adanya nekrosis

organ jantung. Selanjutnya data yang diperoleh akan diuji dengan

menggunakan spss sehingga didapatkan kesimpulan.

C. Hipotesis Penelitian

1. H0 : Tidak terdapat perbedaan pengaruh pemberian senyawa

alfamangostin terhadap profil histopatologi jantung Rattus

norvegicus strain wistar diindikasi diabetes melitus.

2. H1 : Terdapat perbedaan pengaruh pemberian senyawa alfamangostin

terhadap profil histopatologi jantung Rattus norvegicus strain

wistar diindikasi diabetes melitus.


BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancang Bangun

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental secara in vivo.

Rancangan bangun yang digunakan adalah. Posttest-only control group

design. Sehingga pengukuran variable dilakukan pada akhir penelitian. Skema

rancang bangun penelitian sebagai berikut.

K1 X1

K2 X2
10 mg/kg
P S K3 X3
10 mg/kg BB
T1 X4
30 mg/kg BB
T2 X5
50 mg/kg BB
T3 X6
Gambar 4.1 Rancangan Bangun Penelitian

Keterangan :

P : Populasi hewan coba tikus Rattus norvegicus strain wistar


S : Sampel tikus Rattus norvegicus strain wistar
T1 : Perlakuan 1 kondisi DM dengan alfamangostin 10 mg/kg BB
T2 : Perlakuan 2 kondisi DM dengan alfamangostin 30 mg/kg BB
T3 : Perlakuan 3 kondisi DM dengan alfamangostin 50 mg/kg BB
K1 : Kontrol positif kondisi DM tanpa perlakuan alfamangostin
K2 : Kontrol negatif tanpa perlakuan fruktosa dan alfamangostin
K3 : Kontrol obat standart Glibenklamid dosis 10 mg/kg
X1 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 1
X2 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 2
X3 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 3
X4 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 4
X5 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 5
X6 : Pengamatan histopatologi jantung kelompok tikus 6

37
38

B. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan Rattus

norvegicus strain wistar dalam kondisi sehat, tidak cacat, dan tidak mengalami

stres. Tikus wistar yang digunakan berusia sekitar 3 bulan dengan berat badan

200-250 gram di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas

Surabaya.

C. Sampel, Besaran Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel

1. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus

norvegicus strain wistar).

Sampel Inklusi : Tikus jantan, berat 200-250 gram, usia 3 bulan,

sehat, diadaptasi hingga kondisi diabetes melitus

tipe 2.

Sampel Eksklusi : Tikus dalam kondisi kurang sehat, lemas, mati

sebelum perlakuan, sakit sebelum perlakuan, tikus

tidak mengalami diabetes melitus, tidak sesuai

dengan kriteria sampel

2. Besaran Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih

Rattus norvegicus strain wistar yang diperlakukan dalam kondisi diabetes

melitus tipe 2. Besaran sampel pada penelitian ini dilakukan dengan

perhitungan rumus Federer (1963). Rumus yang digunakan (r-1)(t-1) >15,

Pada masing – masing kelompok dibagi menjadi 5 perlakuan. Kelompok 1


39

sebagai kontrol positif, kelompok ke 2 sebagai kontrol negatif, kelompok 3

sebagai kelompok perlakuan fruktosa dan alfamangostin dosis 10 kg/BB,

kelompok 4 sebagai perlakuan fruktosa dan alfamangostin dosis 30 kg/BB,

kelompok 5 sebagai perlakuan fruktosa dan alfamangostin dosis 50 kg/BB.

(n-1)(k-1) >15

Dimana n = banyak ulangan


k = banyak perlakuan
(n-1)(k-1) >15
(n-1)(6-1) >15
(n-1)5 >15
(5n-5) > 15
n > 4 ekor
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besar sampel hewan coba

pada setiap kelompok sebanyak 4 ekor tikus jantan Wistar. Untuk

mengantisipasi terjadinya drop out pada sampel, maka dalam penelitian ini

jumlah sampel ditambah 10 %. Sehingga menjadi 30 ekor tikus, dengan

jumlah masing-masing tikus pada setiap kelompok sebesar 5 ekor tikus.

3. Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling

hingga memenuhi jumlah setiap kelompok. Populasi hewan coba yang

digunakan adalah tikus putih jantan Rattus norvegicus strain wistar berusia

sekitar 3 bulan dalam kondisi sehat dan memiliki berat badan sekitar 200-

250 gram. Dari jumlah sampel yang memenuhi syarat akan dibagi menjadi

5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan fruktosa dan

alfamangostin sehingga dalam kondisi sehat , kelompok kontrol positif

dengan perlakuan fruktosa dengan dosis 15 % hingga kondisi DM namun


40

tidak diberi perlakuan dengan antidiabetes senyawa alfamangostin,

kelompok kontrol obat standart glibenklamid dosis 10 mg/kg di beri

perlakuan diabetes menggunakan fruktosa 15 % dan pengobatan

glibenklamid dosis 10 mg/kg, kelompok perlakuan 1 dengan pemberian

fruktosa 15 % hingga kondisi DM dan perawatan alfamangostin dengan

dosis 10 mg/kg BB, kelompok perlakuan 2 dengan pemberian fruktosa 15

% hingga kondisi DM dan perawatan alfamangostin dengan dosis 30

mg/kg BB, kelompok perlakuan 3 dengan pemberian fruktosa 15 % hingga

kondisi DM dan perawatan alfamangostin dengan dosis 50 mg/kg BB.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas

Farmasi Universitas Surabaya. Waktu penelitian dilaksanakan dibulan Maret-

Mei 2021.

Pelaksanaan Penelitian
No Jenis Kegiatan 2020 2021
Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1. Pembuatan proposal
2. Seminar proposal
3. Pengumpulan data
4. Pengolahan data
5. Analisa data
6. Hasil Penelitian
7. Kesimpulan
8. Seminar skripsi
9. Publikasi
Tabel 4.1 Waktu Penelitian
41

E. Kerangka Kerja Penelitian


Hewan coba tikus putih Rattus norvegicus strain wistar.

Adaptasi 7 hari

Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tanpa sonde fruktosa 15 % Sonde fruktosa 15 %

Pemeriksaan kadar glukosa darah

Kontrol negatif Kontrol positif Sampel T1 Sampel T2 Sampel T3 Kontrol obat


kondisi sehat kondisi DM kondisi DM kondisi DM kondisi DM standart

Glibenklamid
Tanpa perlakuan antidiabetes Perlakuan antidiabetes 10 mg/kg
Alfamangostin. Alfamangostin 10, 30, 50 kg/BB

Pemeriksaan kadar glukosa darah

Pemeriksaan histologi aorta


jantung

Analisis Data
Gambar 4.2 Tahap Pelaksanaan

F. Variable Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah senyawa alfamangostin

dosis 10 mg/kg BB, 30 mg/kg BB, 50 mg/kg BB


42

b. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah histopatologi organ

jantung tikus Rattus norvegicus strain Wistar.

2. Definisi Operasional
Tabel 4.2 Tabel Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Skala Data
1. Dependen Hiperglikemia dapat memicu terjadinya nekrosis Rasio
(Terikat). jantung dan berakhir pada disfungsi organ jantung
melalui peningkatan ROS. Metabolisme
Histopatologi hiperglikemia berperan dalam menghasilkan radikal
sel otot jantung bebas. Histopatologi inilah yang akan menjadi
parameter pemeriksaan. Pembuatan preparat
menggunakan pewarnaan Hematoksilin & Eosin
(HE). Pengamatan dilakukan menggunakan
Mikroskop Binokuler Olympus CX-21 dan
Mikroskop Trinokuler Olympus CX-31.

2. Independen Senyawa alfamangostin merupakan senyawa Interval


(Bebas). turunan xanton berasal dari ektrak kulit manggis
yang berperan sebagai antidiabetes, senyawa ini
Alfamangostin diberikan kepada hewan coba dalam kondisi
diabetes melitus tipe 2. senyawa alfamangostin
diberikan pada hewan coba dengan dosis 10 mg/kg
BB (T1), 30 mg/kg BB (T2), 50 mg/kg BB (T3)
Perlakuan alfamangostin dilakukan dengan jalur
sonde oral. Pada kontrol negatif dan positif tanpa
pengobatan alfamangostin.

G. Instrumen Penelitian dan Cara pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarum suntik

26 G, syringe 1 ml dan 3 ml, on call plus blood glukose monitoring

system, kandang tikus, pisau chrurgis, pisau scalpel, gunting bedah, botol

vial, tempat pewarnaan preparat, kertas hisap, mikrotom, objek glass,


43

cover glass, mikroskop binokuler olympus CX-21, mikroskop trinokuler

olympus CX-31, graticule lens.

2. Cara Pengumpulan Data

a. Persiapan Hewan Coba

Total sampel dalam penelitian ini sebesar 18 ekor tikus dimana

dari seluruh ekor tikus tersebut akan diadaptasi dilaboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya selama 7 hari.

Setelah tahap adaptasi tikus yang dalam keadaan sehat selanjutnya

akan dilakukan pembagian menjadi 6 kelompok berdasarkan

perlakuan yang akan diberikan, dari masing-masing kelompok

mendapatkan 3 ekor tikus.

b. Perlakuan Kondisi DM

Semua kelompok tikus dilakukan pemeriksaan kadar glukosa

darah dengan menggunakan On Call Plus Blood Glucose Monitoring

System sebelum perlakuan DM, untuk memastikan keadaan tikus.

Selanjutnya kelompok kontrol positif (K1), kelompok kontrol obat

standart dan kelompok uji (T1, T2, dan T3) akan diberikan perlakuan

dengan memberikan minum fruktosa dosis 15 % setiap sehari dengan

selama 3 minggu. Untuk mengetahui kondisi hewan coba, selanjutnya

dari setiap tikus akan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

dengan menggunakan On Call Plus Blood Glucose Monitoring

System, disetiap 2 hari dan darah diambil melalui ekor tikus. Jika dari

hasil pemeriksaan kadar glukosa darah belum mengindikasikan


44

keadaaan diabetes maka estimasi waktu perlakuan fruktosa akan

ditambah hingga kondisi tikus mencerminkan diabetes.

c. Perlakuan Kelompok Obat Standart

Tikus yang telah mengalami kondisi diabetes dengan kadar

glukosa diatas 130 mg/dL maka tikus siap untuk diberi pengobatan

glibenklamid dengan perlakuan sonde sebanyak 1cc dengan dosis 10

mg/kg. Perlakuan tersebut dilakukan setiap 2 hari sekali diiringi

dengan pemeriksaan GDA atau glukosa darah acak jika kadar glukosa

tetap > 130 mg/dL maka perlakuan glibenklamid tetap diberikan

sampai kondisi kadar glukosa darah menurun.

d. Perlakuan Alfamangostin pada Hewan Coba

Tikus yang terindikasi diabetes pada kelompok uji akan

diberikan perawatan alfamangostin dengan dosis yang berbeda yaitu

10 kg/BB pada kelompok uji 1 (T1), 30 kg/BB pada kelompok uji 2

(T2), dan 50 kg/BB pada kelompok uji 3 (T3). Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan On Call Plus Blood

Glucose Monitoring System per 1 minggu sekali, pemeriksaan ini

bertujuan untuk mengetahui kondisi tikus setelah perlakuan fruktosa.

Pemberian senyawa alfamagostin dilakukan secara berulang hingga

kondisi hewan coba mencapai kadar glukosa normal dengan estimasi

waktu yang diberikan selama 2 minggu pada kelompok perlakuan T1,

T2, dan T3. Untuk kontrol negatif (K2) tidak diberi perlakuan

alfamangostin sebab pada kelompok ini dikondisikan dalam keadaan

sehat sementara pada kontrol positif (K1) tidak diberi perawatan


45

alfamangostin sehingga pada kelompok ini diasumsikan sebagai

kelompok sakit tanpa pengobatan.

e. Preparasi Histologi Otot Jantung

Kloroform digunakan sebagai anastesi pada hewan coba,

lakukan pembedahan dan ambil target organ yang dibutuhkan dengan

menggunakan pisah bedah. Selanjutnya awetkan organ jantung

kedalam formalin 10%, setelah dilakukan tahap pengawetan tahapan

selanjutnya yaitu proses grosing atau pemotongan menggunakan

mikrotom dan atur ketebalan sesuai yang dibutuhkan proses

pemotongan dapat dilakukan secara vertikal maupun horizontal.

Tahap dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang

terdapat pada jaringan yang nantinya dapat diisi dengan parafin saat

pembuatan blok preparat, prosedur ini menggunakan alkohol dengan

konsentrasi bertingkat 70% 2x selama 30 menit, alkohol 80% 2x

selama 30 menit, alkohol 96% selama 30 menit, dan alkohol 100% 2x

selama 30 menit. Tahapan clearing yang bertujuan untuk

mengeluarkan alkohol dari jaringan dan menggantinya dengan larutan

yang dapat berikatan dengan parafin, tahapan ini menggunakan

larutan xylol dengan perbandingan 20:1 selama 10 menit proses ini

dilakukan 2x. Selanjutnya embedding, tahapan ini bertujuan untuk

mengeluarkan cairan pembenin atau cleaningdari jaringan dan diganti

parafin, diaman jaringan dimasukkan kedalam wadah dengan

penambahan parafin cair dan dipanaskan kedalam inkubator bersuhu

56℃ selama 1 jam, kemudian keluarkan dan biarkan memadat.


46

Tahapan berikutnya blocking (pembuatan blok preparat), section

(pemotongan blok preparat menggunakan mikrotom), mounting

(perekatan) dan labeling (pemberian label). Tahap pewarnaan

menggunakan HE diaali dengan proses staining atau deparafinisasi

dengan larutan xylol 3x masing-masing dengan waktu 5 menit,

kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol 100%, 96%, 80%, dan

70% masing-masing waktu 2 menit, cuci dengan air mengalir, rendam

pada haematoksilin haris/muller selama 3 menit, selanjutnya cuci

dengan air mengalir, rendam pada eosin selama 3 menit, dehidrasi

dengan larutan alkohol 70%, 80%, 96%, 100% selama 5 menit,

perendaman pada xylol 3 menit, lakukan mounting dengan entella,

labelling, dan laukukan histopatologi jantung menggunakan

Mikroskop Binokuler Olympus CX-21 dan Mikroskop Trinokuler

Olympus CX-31.

H. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Jantung Tikus Rattus


Norvegicus Strain Wistar.

Kelompok Pengamatan Histopatologi Organ Jantung


perlakuan 0% 25 % 25-50 % 50-75 % . 75 %
K-
K+
KS
T1
T2
T3
47

2. Analisa Data

Data yang telah diperoleh dalam penelitian, terlebih dahulu

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai persyaratan

parametrik dengan mengambil taraf signifikansi 5%. Jika data terdistribusi

normal dan homogen maka dilanjutkan dengan uji parametrik

menggunakan Anova One Way. Jika data tidak terdistribusi normal dan

heterogen maka dapat melanjutkan uji nonparametrik menggunakan

Kruskall-wallis dengan SPSS, untuk mengetahui perbedaan signifikan dari

setiap kelompok perlakuan. Terdapat perbedaan yang bermakna apabila

nilai p < 0,05.

I. Etika Penelitian

1. Kejujuran

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan jujur, mulai dari pengumpulan

bahan pustaka, pengumpulan data, pelaksanaan metode penelitian,

prosedur penelitian, publikasi hasil penelitian, serta kekurangan atau

kegagalan selama penelitian berlangsung.

2. Objektivitas

Berusaha bersikap objektif dalam suatu percobaan, analisis dan intepretasi

hasil data yang diperoleh.

3. Ketelitian

Melaksanakan rancangan percobaan dengan teliti, serta memastikan setiap

tahapan prosedur penelitian dilakukan dengan tepat.


48

4. Integritas

Bersikap teguh dan berprinsip, serta menjaga komitmen dalam

menjalankan serangkaian penelitian.

5. Keterbukaan

Bersikap terbuka serta mau menerima kritik dan saran dalam penelitian.
BAB 5

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya yang beralamatkan di Jl.

Tenggilis Mejoyo Blok AM No. 12, Kali Rungkut, Kecamatan Rungkut, Kota

Surabaya, Jawa Timur 60293. Laboratorium Farmakologi merupakan

laboratorium yang dikhususkan untuk keperluan praktikum farmakologi serta

penelitian yang berkaitan dengan suatu bahan atau obat uji yang diterapkan

terhadap hewan coba yaitu mencit, tikus putih, kelinci dan hewan coba lainnya

yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 5.1 Google Maps Lokasi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya


(Sumber : Google maps 2021).

Penelitian ini dilanjutkan dengan pembuatan preparat jaringan dan

pembacaan hasil secara histologi di RSAD V Kodam Brawijaya Surabaya.

Pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium Patologi Anatomik yang

beralamatkan di Jl Kesatriyan No. 17, Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo

49
50

Kota Surabaya, Jawa Timur 60242. Laboratorium Patologi Anatomik

merupakan laboratorium dikhususkan untuk pelayanan diagnostik sampel

jaringan atau cairan tubuh untuk membantu dalam menegakkan diagnosa suatu

penyakit melalui pengamatan sel dan jaringan.

Gambar 5.2 Instalansi Patologi Anatomi tampak depan RSAD V Kodam


Brawijaya (A) Instalansi Patologi Anatomi tampak dalam
RSAD V Kodam Brawijaya (B).

B. Hasil Penelitian

Hasil Penelitian pengaruh pemberian senyawa antidiabetes

alfamangostin terhadap gambaran histopatologi jantung tikus Rattus

Norvegicus strain wistar yang diberi Fruktosa 15 % diawali dengan tahapan

adaptasi selama 1 minggu dengan perlakuan hewan coba tikus jantan diberi

pakan normal jenis 511 sehari 2 kali dipagi dan disore hari kurang lebih 35

gr/hari. Pada hari berikutnya dilakukan pemeriksaan GDA untuk memastikan

tikus tidak mengalami hiperglikemia sebelum perlakuan. Dihari selanjutnya

selama 2-3 minggu sebanyak 18 ekor tikus diberi perlakuan minum fruktosa

hingga kadar glukosa darah meningkat pemeriksaan kadar glukosa acak

menggunakan acuan 130-150 mg/dL dengan menggunakan On Call Plus


51

Blood Glucose Monitoring System, pemeriksaan dilakukan setiap 2 hari. Kadar

glukosa darah acak yang telah masuk kriteria hiperglikemia dilanjutkan

dengan tindakan sesuai perlakuan kelompok.

Penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan diantaranya

kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, kelompok standart obat

glibenklamid dosis 10 mg/kg, kelompok glibenklamid digunakan sebagai

standart pengobatan antihiperglikemik yang bertujuan untuk membandingkan

hasil yang didapat dengan antidiabetes herbal yaitu alfamangostin selanjutnya

terdapat 3 kelompok perlakuan diantaranya kelompok perlakuan

alfamangostin dosis 10 mg/BB, kelompok perlakuan alfamangostin dosis 30

mg/BB, dan kelompok perlakuan 50 mg/BB. Sebelum dilakukan pembedahan

tikus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan GDA untuk memastikan kadar

glukosa darah disetiap kelompok perlakuan. Berikut tabel hasil kadar glukosa

darah pada kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan diabetes dan

antidiabetes serta kelompok kontrol positif dengan perlakuan diabetes tanpa

antidiabetes :

Tabel 5.1 Hasil kadar glukosa darah pada kelompok kontrol negatif
No Tanpa Perlakuan Diabetes Kadar Glukosa Darah Satuan
. Kelompok Kode
1. Kontrol Negatif 1 104 mg/dL
2. Kontrol Negatif 2 99 mg/dL
3. Kontrol Negatif 3 110 mg/dL
Sumber : Data Primer 2021

Tabel 5.2 Hasil kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif
No Perlakuan Diabetes Kadar Glukosa Satuan
. Kelompok Kode Darah
1. Kontrol Positif 1 182 mg/dL
2. Kontrol Positif 2 199 mg/dL
3. Kontrol Positif 3 175 mg/dL
Sumber : Data Primer 2021
52

Berikut tabel hasil kadar glukosa darah pada kelompok kontrol

glibenklamid dengan perlakuan diabetes menggunakan fruktosa 15% dan

antidiabetes glibenklamid dosis 10 mg/kg.

Tabel 5.3 Hasil kadar glukosa darah kelompok glibenklamid


No. Kelompok Glibenklamid Kadar Glukosa Darah Satuan
Dosis Kode
1. 10 mg/kg 1 105 mg/dL
2. 10 mg/kg 2 120 mg/dL
3. 10 mg/kg 3 111 mg/dL
Sumber : Data Primer 2021

Berikut tabel hasil kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan

alfamangostin pada tikus model diabetes dengan pemberian beban fruktosa

15% dan senyawa bioaktivitas antidiabetes alfamangostin antidiabetes dosis

10 mg/kg BB.

Tabel 5.4 Kadar glukosa darah kelompok alfamangostin dosis 10 mg/kg BB


No. Kelompok Alfamangostin Kadar Glukosa Darah Satuan
Dosis Kode
1. 10 mg/kg BB 1 110 mg/dL
2. 10 mg/kg BB 2 109 mg/dL
3. 10 mg/kg BB 3 103 mg/dL
Sumber : Data Primer 2021

Berikut tabel hasil kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan

alfamangostin pada tikus model diabetes dengan pemberian beban fruktosa

15% dan senyawa bioaktivitas antidiabetes alfamangostin dosis 30 mg/kg BB.

Tabel 5.5 Kadar glukosa darah kelompok alfamangostin dosis 30 mg/kg BB


No. Kelompok Alfamangostin Kadar Glukosa Darah Satuan
Dosis Kode
1. 30 mg/kg BB 1 110 mg/dL
2. 30 mg/kg BB 2 49 mg/dL
3. 30 mg/kg BB 3 105 mg/dL
Sumber : Data Primer 2021
53

Berikut tabel hasil kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan

alfamangostin pada tikus model diabetes dengan pemberian beban fruktosa

15% dan senyawa bioaktivitas antidiabetes alfamangostin antidiabetes dosis

50 mg/kg BB.

Tabel 5.6 Kadar glukosa darah kelompok alfamangostin dosis 50 mg/kg BB


No. Kelompok Alfamangostin Kadar Glukosa Darah Satuan
Dosis Kode
1. 50 mg/kg BB 1 114 mg/dl
2. 50 mg/kg BB 2 96 mg/dl
3. 50 mg/kg BB 3 111 mg/dl
Sumber : Data Primer 2021

Berikut tabel hasil lamanya perlakuan dari variasi dosis Alfamangostin

terhadap tikus model diabetes melitus :

Tabel 5.7 Tabel hasil lamanya perlakuan variasi dosis alfamangostin


No Perlakuan Dosis Jumlah Rata-rata
. Kelompok Kode Alfamangostin Sonde
1. Perlakuan 1 1 10 mg/L 1cc 2 2 x Sonde
2 10 mg/L 1cc 2
3 10 mg/L 1cc 2
2. Perlakuan 2 1 30 mg/L 1cc 3 3 x Sonde
2 30 mg/L 1cc 3
3 30 mg/L 1cc 3
3. Perlakuan 3 1 50 mg/L 1cc 2 2 x Sonde
2 50 mg/L 1cc 2
3 50 mg/L 1cc 2
Sumber : Data Primer 2021

Berdasarkan hasil tabel 5.1 menunjukkan adanya dosis baik yang

digunakan dalam menurunkan kadar glukosa darah yakni pada dosis 10 mg/dl

dan 50 mg/dl hal ini dapat dilihat berdasarkan rata-rata perlakuan.

Tahap pembedahan diawali dengan pembiusan menggunakan eter

bertujuan untuk mengurangi rasa sakit pada hewan coba, Setelah didapatkan

organ yang dibutuhkan segera dimasukkan kedalam pot sampel yang telah
54

berisi formalin 10 %. Hindari menundaan formalin pada organ hal ini untuk

meminimalisir terjadinya autolisis atau kematian jaringan akibat

keterlambatan dalam proses pengawetan. Organ setelah melalui tahapan

formalin kemudian akan dibuat sediaan preparate jaringan dengan pewarnaan

HE (Hematoxylin Eosin). Hasil pengamatan histopatologi jantung tikus Rattus

norvegicus strain wistar disajian pada gambar sebagai berikut :

Gambar 5.3 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok kontrol negatif (tidak ditemukan sel nekrosis).

Gambar 5.4 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok kontrol positif (tidak ditemukan sel nekrosis).
55

Gambar 5.5 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok kontrol glibenklamid (tidak ditemukan sel nekrosis).

Gambar 5.6 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok Alfamangostin dosis 10 mg/kg BB (tidak ditemukan
sel nekrosis).
56

Gambar 5.7 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok Alfamangostin dosis 30 mg/kg BB (tidak ditemukan
sel nekrosis)

Gambar 5.8 Histologi Otot Jantung dengan mikroskop perbesaran 40x pada
kelompok Alfamangostin dosis 50 mg/kg BB (tidak ditemukan
sel nekrosis).
57

Hasil persentase pengamatan sel nekrosis pada histopatologi jantung

pada keseluruhan lapang pandang berdasarkan masing-masing kelompok

perlakuan yakni sebagai berikut :

Tabel 5.8 Hasil Pengamatan Persentase Nekrosis Sel pada Histopatologi Jantung
Perlakuan % Scoring Keterangan
Kelompok Kode Nekrosis Sel
Kontrol + 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Kontrol - 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Kontrol Glibenklamid 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Alfamangostin 10 mg/BB 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Alfamangostin 30 mg/BB 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Alfamangostin 50 mg/BB 1 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
2 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
3 0% 1 Tidak ditemukan nekrosis
Sumber : Data Primer 2021
Keterangan Score :

1 = 0% Tidak ditemukan nekrosis


2 = 25 % Nekrosis sel pada seluruh lapang pandang
3 = 25-50 % Nekrosis sel pada seluruh lapang pandang
4 = 50-75 % Nekrosis sel pada seluruh lapang pandang
5 = > 75 % Nekrosis sel pada seluruh lapang pandang
(Wibowo, 2012).
BAB 6

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

Diabetes melitus merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan

kadar glukosa dalam darah dan berlangsung dalam rentang waktu cukup lama

yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam menghasilkan hormon

insulin yang berfungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah dengan

mengubah glukosa menjadi glikogen atau terjadi akibat resistensi insulin

(Putri & Larasati, 2013). Pada penelitian ini penggunaan tikus model diabetes

melitus dilakukan dengan pemberian fruktosa konsentrasi 15 %, hal ini

bertujuan untuk mempercepat terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam

darah (hiperglikemia). Pada tabel 5.1 kelompok kontrol positif diberikan

perlakuan diabetes tanpa pemberian obat antidiabetes. Kelompok ini

menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) setelah

dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah acak yang melebihi dari nilai

normal pada tikus yakni 70-120 mg/dL (Meles, et al., dalam Putri, et al.,

2014). Pada tabel 5.2 kelompok kontrol negatif dikondisikan dalam keadaan

sehat dengan tidak diberikan perlakuan diabetes maupun antidiabetes, hal ini

dapat dilihat kadar glukosa darah masuk dalam rentang batas normal

berdasarkan nilai GDA 130-150 mg/dL (Wulansari & Wulandari, 2018).

Penggunaan produk obat glibenklamid digunakan sebagai standart antidiabetes

dengan perbandingan kelompok uji senyawa herbal bioaktivitas

alfamangostin yang berasal dari ekstrak kulit manggis yang memiliki potensi

58
59

sebagai antidiabetes. Glibenklamid bekerja dengan cara merangsang sel beta

pankreas untuk mngeluarkan hormon insulin melalui ikatan reseptor sel beta

pankreas dengan sulfonil urea dan menghambat ATP-sensitive pottassium

channel. Sehingga berakhir pada depolarisasi membran sel, kalsium chanel

terbuka yang menyebabkan kalsium masuk kedalam sel dan terjadi

peningkatan kalsium sitosol serta merangsang produksi insulin (Theresia

dalam Sulistiani, et al., 2016). Tabel 5.3 kelompok kontrol obat standart

glibenklamid menunjukkan potensi sebagai antidiabetes yang terbukti kadar

glukosa darah yang didapatkan setelah perlakuan masuk dalam batas normal

yakni < 130 mg/dL, berdasarkan nilai GDA 130-150 mg/dl (Wulansari &

Wulandari, 2018). Senyawa alfamangostin memiliki potensi sebagai

bioaktivitas antidiabetes yang mampu menurunkan kadar glukosa darah yang

bekerja dengan cara menghambat enzim α-glukosidase (Kurniawati, et al.,

2014). Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil kadar glukosa darah pada tabel

5.4 dengan penggunaan alfamangostin dosis 10 mg/kg BB, tabel 5.5 dengan

penggunaan alfamangostin dosis 30 mg/kg BB dan tabel 5.6 dengan

penggunaan alfamangostin dosis 50 mg/kg BB nilai GDA masuk dalam batas

normal yakni < 130 mg/dL berdasarkan nilai GDA 130-150 mg/dL.

Hasil penelitian pembacaan preparate dapat dilihat pada tabel 5.8 pada

kontrol positif dengan score 1 menunjukkan persentase sel nekrosis 0 % tidak

ditemukan adanya nekrosis pada sel otot jantung, pada kontrol negatif dengan

score 1 menunjukkan persentase sel nekrosis 0 % tidak ditemukan adanya

nekrosis pada sel otot jantung, pada kelompok kontrol obat standart dengan

score 1 menunjukkan persentase sel nekrosis 0 % tidak ditemukan adanya


60

nekrosis pada sel otot jantung, pada kelompok perlakuan pengobatan

alfamangostin dosis 10 mg/BB dengan score 1 menunjukkan persentase sel

nekrosis 0 % tidak ditemukan adanya nekrosis pada sel otot jantung,

kelompok perlakuan pengobatan alfamangostin dosis 30 mg/BB dengan score

1 menunjukkan persentase sel nekrosis 0 % tidak ditemukan adanya nekrosis

pada sel otot jantung, kelompok perlakuan pengobatan alfamangostin dosis 50

mg/BB dengan score 1 menunjukkan persentase sel nekrosis 0 % tidak

ditemukan adanya nekrosis pada sel otot jantung. Hal ini menandakan bahwa

kondisi diabetes pada tikus hewan coba belum menunjukkan adanya

komplikasi pada organ jantung sehingga pada pengamatan histopatologi

belum ditemukan adanya nekrosis pada kardiomiosit, kemungkinan hal ini

dapat terjadi dikarenakan faktor penggunaan dosis fruktosa sebagai

pengondisian diabetes mellitus serta lamanya waktu perlakuan diabetes.

Tikus model diabetes melitus pada penelitian ini dilakukan dengan

pemberian fruktosa dosis 15 % selama 2-3 minggu. Kondisi hiperglikemia

dengan dosis dan lamanya waktu tersebut belum menunjukkan dampak

terhadap komplikasi jantung, hal ini dapat terjadi dikarenakan kondisi

hiperglikemia pada perlakuan tersebut dalam memproduksi Reactive Oxygen

Species (ROS) masih dapat dinetralkan didalam tubuh, sehingga sangat sedikit

kemungkinan terjadinya kondisi stress oksidatif dan kecil kemungkinan

terjadinya peningkatan Tumor Necrosis Factor- α (TNF- α). TNF- α

merupakan sitokin proinflamasi jika terproduksi dalam jumlah cukup banyak

dan berikatan dengan reseptornya yakni TNFR1 akan memicu proses nekrosis

pada jantung. Menurut (Fitriyah, et al., 2020). Pemberian fruktosa dosis 20 %


61

dan STZ dosis 25 mg/kgBB selama 4 minggu dapat menyebabkan terjadinya

resistensi insulin melalui mekanisme yakni, fruktosa akan diubah menjadi

fruktosa 1-fosfat oleh bantuan fruktokinase C dan melalui jalur GLU-2

menuju hepatosit. Fruktokinase 1-fosfat akan diubah kembali menjadi D-

gliseraldehid dan dihydroxyacetone sedangkan pemberian STZ dapat

menyebabkan resisitensi melalui destruksi sel beta pancreas. Resistensi ini

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Hiperglikemia)

dan memicu terjadinya stres oksidatif, kerusakan oksidatif, dan dapat

terjadinya peningkatan pelepasan TNF- α yang merupakan sitokin

proinflamasi. Kondisi stress oksidatif dapat memicu terjadinya penyakit

kardiovaskuler melalui pembentukan nekrosis jantung (Santoso &

Baharuddin, 2020). Menurut (Wulansari & Wulandari, 2018). Penggunaan

dosis fruktosa 20-25% selama 3 bulan pada tikus dapat mengindikasikan

terjadinya resistensi insulin. Sementara berdasarkan peneliti terdahulu

menujukkan bahwa peralihan dari kondisi normal hingga resistensi insulin

diberikan pembebanan fruktosa dosis 25 % dari kebutuhan energi per hari

akan memicu terjadinya obesitas dan berakhir pada resistensi insulin

(Prahastuti, 2011). Pembebanan fruktosa dengan dosis 15% dengan lamanya

waktu yang diberikan pada penelitian ini belum memberikan dampak yang

berarti pada komplikasi organ jantung hal ini ditunjukkan pada hasil

pembacaan preparate histologi yang tidak ditemukan adanya sel nekrosis pada

otot jantung atau kardiomiosit.

Berdasarkan penelitian sebelumnya menurut (Sakinah, et al., 2020).

Kondisi hiperglikemia meyebabkan resiko komplikasi kardiomiopati diabetik,


62

dimana kondisi hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah secara

berlebih dapat mnyebabkan stress oksidatif dan berdampak pada kerusakan

oksidatif. Stres oksidatif merupakan keadaan terjadinya peningkatan radikal

bebas yang tidak diimbangi dengan ketersediaan penangkal radikal bebas yaitu

antioksidan. Keadaan stress oksidatif dapat terjadi melalui aktifnya jalur

polyol pathway, AGEs, teraktifnya protein kinase C dan heksosamine

pathway. Dari kerusakan jaringan akibat stress oksidatif akan menstimulasi

reaksi inflamasi melalui mekanisme Nuclear Factor Kappa Beta (NF-kB)

sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi

yakni TNF-α. TNF- α apabila berikatan dengan reseptornya yakni TNFR1

akan berdampak pada reaksi pembentukan nekrosis pada kardiomiosit.

Perlakuan tikus model diabetes pada peneliti sebelumnya dilakukan dengan

pemberian induksi diet tinggi lemak fruktosa (kuning telur 4 %, minyak babi

6,5 %, minyak kambing 6,5 %, asam kolat 0,2 %, pakan ayam 82,8 %, air

sesuai dengan kebutuhan), serta fruktosa dengan dosis 20 % selama 6

minggu dan induksi streptozotocin (STZ) dosis 25 mg/kg BB dimasukkan

pada minggu ke 4. Sementara pada penelitian ini pelakuan kondisi diabetes

dilakukan selama 2-3 minggu hal ini memungkinkan paparan yang diberikan

terhadap hewan coba belum menunjukkan adanya komplikasi diabetes yang

mengarah pada kerusakan otot jantung. Berdasarkan penelitian sebelumnya

indikasi nekrosis pada otot jantung dapat terjadi akibat kondisi diabetes yang

diberi perlakuan intensif selama 6 minggu dengan penggunaan fruktosa dosis

tinggi yakni 20% (Sakinah, et al., 2020). Penelitian ini belum menunjukkan

keberhasilan sepenuhnya berdasarkan penelitian sebelumnya, banyak hal yang


63

perlu dipertimbangkan mengenai estimasi waktu perlakuan, pengondisian

hewan coba, dosis pembebanan fruktosa hingga diabetes melitus.

B. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini terjadi pada pengondisian hewan coba

dalam menyamakann kadar glukosa darah sebelum perlakuan, variasi kadar

glukosa darah rentan terhadap perbedaan hasil yang didapat.


BAB 7

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Tidak ditemukannya nekrosis pada sel otot jantung (kardiomiosit).

2. Tidak ada pengaruh pemberian alfamangostin berdasarkan pengamatan

histopatologi jantung tikus strain wistar.

3. Dari ketiga dosis alfamangostin tidak terlalu memberikan perbedaan

secara signifikan berdasarkan data lamanya perlakuan pemberian variasi

dosis alfamangostin. Pada dosis 10 mg/kg BB menunjukkan rata-rata

sonde sebanyak 2x, Pada dosis 30 mg/kg BB menunjukkan rata-rata sonde

sebanyak 3x, Pada dosis 50 mg/kg BB menunjukkan rata-rata sonde

sebanyak 2x.

B. Saran

Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan

waktu penelitian, penambahan dosis perlakuan diabetes, serta pemeriksaan

penunjang diagnosis diabetes melitus untuk mengetahui kondisi diabetes yang

mampu mempengaruhi komplikasi pada jantung dan berakibat pada disfungsi

jantung.

64
65

DAFTAR PUSTAKA

Berata, I. K., Winaya, I., Adi, A., & Adnyana, I. (2015). Patologi Veteriner
Umum. Denpasar: Swasta Nulus.
Banjarnahor, E., & Wangko, S. (2012). Sel Beta Pankreas Sintesis Dan Sekresi
Insulin. Jurnal Biomedik, Volume 4 Nomor 3, 156-162.
Cut Sriyanti, S. M. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Patologi.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Decroli, E. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dahlan, N., Bustan, M., & Kurnaesih, E. (2018). Pengaruh Prolanis Terhadap
Pengendalian Gula Darah Terkontrol Pada Penderita DM Di Puskesmas
Sudiang Kota Makassar. Sinergitas Multidisiplin Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Volume 1, 39-49.
Eryuda, F., & Umiana Soleha, T. (2016). Ekstrak Daun Kluwih (Artocarpus
camansi) Dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes
Melitus. MAJORITY, Volume 5 Nomor 4, 71-75.
Fatimah, R. N. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. J MAJORITTY, Volume 4 Nomor
5, 93-101.
Fathoni, M. R., & Santosa, Y. (2018). Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia
Mangostana L.) Terhadap Jumlah Kelainan Histopatologi Stria Vaskularis
Koklea Pada Ototoksisitas (Studi Eksperimental Pada Tikus Wistar Yang
Diinduksi Gentamisin). JKD, Volume 7 Nomor 2, 1030-1040.
Firdaus, Rimbawan, Marliyati, S., & Roosita, K. (2016). Model Tikus Diabetes
Yang Diinduksi Streptozotocin-Sukrosa Untuk Pendekatan Penelitian
Diabetes Melitus Gestasional. JURNAL MKMI, Volume 12 Nomor 1, 29-34.
Hermawan, I. P. (2016). Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia
mangostana Linn) Terhadap Nekrosis Glomerulus Dan Tubulus Ginjal
Mencit Jantan (Mus musculus). Skripsi. Surabaya : Universitas Airlangga
Hendrawati, A. (2017). Efek perlindungan kombinasi kuersetin dan omega-3
terhadap sel beta pankreas tikus diabetes melitus tipe 2. Pharmaciana,
Volume 7 Nomor 1, 1-18.
Irfan, & Israfil. (2020). Faktor Risiko Kejadian Komplikasi Kardiovaskuller Pada
Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe 2. JPPNI, Volume 4 Nomor 3.
Kelana, E., Nasrul, E., Yaswir, R., & Desyawar. (2015). Korelasi Indeks 20/(C-
Peptide PuasaxGlukosa Darah Puasa) Dengan Homa-IR Untuk Menilai
Resistensi Insulin Diabetes Melitus tipe 2. MKA, Volume 38 Nomor 3, 155-
164.
Kurniawati, M., Mahdi, C., & Aulanni'am. (2014). Kadar Xanthon dalam Jus
Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) dan Efek Inhibisi Jus Kulit
Buah Manggis Terhadap Aktifitas Enzim Alfa-glukosidase. NATURAL B,
Volume 2 Nomor 4, 319-321.
Kusuma, T. R. H. (2019). Pengaruh Ekstrak daun Kenikir (Cosmos Caudatus
kunth.) Terhadap histopatologi Otot Jantung Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Model Diabetes Melitus Tipe II. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas
Maret.
66

Maligan, J. M., Chairunnisa, F., & Wulan, S. (2018). Peran Xanthon Kulit Buah
Manggis (Garcinia mangostana L.) Sebagai Agen Antihiperglikemik. Jurnal
Ilmu Pangan dan Hasil Pertanian, Volume 2 Nomor 2, 99-106.
Nugraha, G., & Anggraini, R. (2019). Kimia Klinik 1. Surabaya: UNUSA press.
Nurtamin, T. (2014). Potensi Curcumin untuk Mencegah Aterosklerosis. CDK-
219, Volume 41 Nomor 8, 633-635.
Nurfadilah, L. D., Nurainiwati, S., & Agustini, S. (2013). Pengaruh Pemberian
Minyak Deep Frying Terhadap Perubahan Histopatologi Jantung Tikus Putih
(Rattus norvegicus strain wistar). Volume 9 Nomor 1, 54-58.
Nurachmah, E. (2017). Dasar-dasar Anatomi dan fisiologi. Elsevier Ltd.
Narulita, H. (2014). Studi Praformulasi Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostana L.). Skripsi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Putri, A. E., & Larasati, T. (2013). HUbungan Obesitas dengan Kadar HbA1C
pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di LAboratorium Patologi Klinik Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Medical Journal of
Lampung University, Volume 2 Nomor 4, 9-18.
Putri, D. K., Hermanto, B., & Wardani, T. (2014). Pengaruh Pemberian Infusum
Daun Salam (Eugenia Polyantha) terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus
(rattus norvegicus) yang Diinduksi Alloksan. Veterinaria Medika, Volume 7
Nomor 1, 7-16.
Prahastuti, S. (2011). Konsumsi fruktosa Berlebihan Dapat Berdampak Buruk
Bagi Kesehatan Manusia. JKM, Volume 10 Nomor 2, 173-189.
Prasetyani, D. (2019). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Neuropati
Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. viva Medika, Volume 12
Nomor 1.
Rismayanthi, C. (2010). Terapi Insulin Sebagai Alternatif Pengobatan Bagi
Penderita Diabetes. Medikora, Volume 6 Nomor 2, 29-36.
Rochmawati, A. (2018). Ekstrak Bonggol Nanas (Ananas comusus L.) Sebagai
Antidiabetes Pada Tikus Yang Diinduksi Aloksan. Skripsi. Sidoarjo :
Universitas Muhammadiyah
Rahmah, H. A., Ramadhania, Z., Mutakin, & Levita, J. (2020). Senyawa Nitrogen
Reaktif dan Perannya dalam Kanker Pankreas. Farmaka, Volume 17 Nomor
3, 166-172.
Ramadany, A. F., Pujarini, L., & Candrasari, A. (2013). Hubungan Diabetes
Melitus Dengan Kejadian Stroke Iskemik di RSUD DR. Moewardi Surakarta
Tahun 2010. Biomedika, Volume 5 Nomor 2.
Rivandi, J., & Yonata, A. (2015). Hubungan Diabetes Melitus dengan Kejadian
Gagal Ginjal Kronik. Majority, Volume 4 Nomor 9, 27-34.
Rahayu, A., & Rodiani. (2016). Efek Diabetes Melitus Gestasional terhadap
kelahiran Bayi Makrosomia. MAJORITY, Volume 5 Nomor 4, 17-22.
Rejeki, P. S., Putri, E., & Prasetya, R. (2018). Ovariektomi Pada Tikus dan
Mencit. Surabaya: AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS.
Sakinah, A., Purwanti, S., & Purnomo, Y. (2020). Efek Ekstrak Etanol Daun Gedi
Merah (Abelmoschus manihot (L) Medik) Terhadap Kadar TNF-Alfa Jantung
Dan Nekrosis Kardiomiosit Tikus Model Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Bio
Komplementer Medicine, Volume 7 Nomer 2, 1-8.
Supit, I. A., Pangemanan, D., & Marunduh, S. (2015). Profil Tumor Necrosis
Factor (TNF-Alfa) Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) Pada Mahasiswa
67

Fakultas Kedokteran UNSRAT Angkatan2014. Jurnal e-Biomedik (eBm),


Volume 3 nomer 2, 640-643.
Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk pemula (Vols. 21 x 29,7). (S.
Palupi Widyastuti, Ed.) Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
Suarsana, I. N., Priosoeryanto, B., Wresditanti, T., & Bintang, M. (2010). Sintesis
Glikogen Hati dan Otot pada Tikus Diabetes yang diberi Ekstrak Tempe
(Vol. Volume 11 Nomor 3). Bogor.
Sinaga, F. A. (2016). Strss Oksidatif Status Antioksidan Pada Aktivitas Fisik
Maksimal. Jurnal Generasi Kampus, Volume 9 Nomor 2.
Suryadinata, R. V. (2018). Pengaruh Radikal Bebas Terhadap Proses Inflamasi
Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Amerta Nutr, 317-324.
Stevani, H. (2016). Pratikum Farmakologi. Kebayoran: Kemenkes Kesehatan
Republik Indonesia.
Susanti, M. E. (2018). Gambaran Kadar Vitamin C Pada Kulit Manggis dan Buah
Manggis (Garcinia mangostana L). Skripsi. Jombang : Stikes Insan Cendekia
Medika
Srihari, E., & Lingganingrum, F. (2015). Ekstrak Kulit Manggis Bubuk. Jurnal
Teknik Kimia, Volume 10 Nomor 1, 1-7.
Subandiyono, & Hastuti, S. (2016). Nutrisi Ikan. Semarang: catur Karya mandiri.
Santosa, W. N., & Baharuddin. (2020). Penyakit Jantung Koroner dan
Antioksidan (Vol. Volume 1 Nomor 2). Surabaya.
Sahid, A. P., & Murbawani, E. (2016). Pengaruh Bubuk DAun Kenikir (Cosmos
Caudatus) Terhadap kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes Diinduksi
Streptozotocin. Journal of Nutrition College, Volume 5 Nomor 2, 51-57.
Sulistiani, K. P., Sujono, T., & Wahyuni, A. (2016). Pengaruh Bekatul Beras
Hitam (Black Rice Bran) Terhadap Profil Farmakokinetika Glibenklamid
Pada Tikus Galur Sprague Dawley (SD). University Research Colloquium,
625-632.
Ubruangge, T., Wangko, S., & Kalangi, S. (2016). Gambaran Histologik Otot
Jantung Pada Hewan Coba Postmortem. Journal e-Biomedik (eBm), Volume 4
Nomor 2
Wibowo, M. (2012). Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat Selama 12
Minggu Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar. Skripsi.
Diponegoro : Universitas Diponegoro.
Yusran, M. (2017). Retinopati Diabetik : Tinjauan Kasus Diagnosisdan
Tatalaksana. JK Unila, Volume 1 Nomor 3, 578-582.
Yuhelma, Hasneli I, Y., & Nauli, F. (2015). Identifikasi dan Analisis Komplikasi
Makrovaskuler dan Mikrovaskuler Pada Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal
Online Mahasiswa, Volume 2 Nomor 1, 569-579.
68

LAMPIRAN 1
Lampiran Kendali Skripsi
69

LAMPIRAN 2

Gambar Perlakuan Penelitian


No Perlakuan Keterangan
.
1. Proses Pemeriksaan GDA, darah diambil
pada bagian ekor.

2. Tahapan pemberian identitas warna pada


anggota tubuh tikus dan disesuaikan dengan
kelompok perlakuan.

3. Tahapan perlakuan sonde Alfamangostin

4. Tahapan perlakuan sonde Glibenklamid


70

5. Tahap pembedahan untuk pengambilan


organ

6. Tahapan pengawetan jaringan dengan


formalin 10 %

7. Tahapan fiksasi yakni dengan merendam


organ menggunakan netral buffer formalin
selama 1 jam

8. Pemindahan kaset pada chamber setelah


tahapan fiksasi kemudian masuk ke dalam
tahapan pencucian dengan air mengalir
71

9. Memasukkan kaset ke dalam alat otomatis


Tissue Processing Automatic meliputi
tahapan dehidrasi dengan reagen Alkohol
dari 70 %, 80 %, 96 %, 99 % masing-
masing waktu 30 menit. Tahapan clearing
dengan xylol 3 kali dengan ,asing-masing
waktu 10 menit dan tahapan terakhir
impregnasi dengan parafin cair
10. Tahapan Blocking atau blok parafin untuk
memepermudah pada saat memotong
lapisan tipis.

11. Tahapan Pemotongan blok jaringan


menggunakan mikrotom dengan ketebatan 1
mikron

12. Tahapan Mounting atau perlekatan jaringan


pada objek glas dengan menggunakan
pemanas air dan dilanjutkan dengan
pemanasan diatas hotplate hal ini bertujuan
untuk menghilangkan sisa-sisa parafin
72

13. Hasil Preparat jaringan

14. Tahapan Pewarnaan HE (Hematoxylin


Eosin). Diawali dengan Xylol 5 kali
masing-masing 3 menit, rehidrasi dengan
alkohol 99 %, 96 %, 80 %, dan 70 %
masing-masing waktu 3 menit, bilas dengan
aiar mengalir 10 menit, lanjut pewarnaan
Mayer 5 menit, bilas dengan air mengalir,
dilanjutkan dengan Eosin 15 dip, kemudian
dilanjutkan tahapan dehidrasi dengan
alkohol 80 %, 90 %, 96 %, 96 % masing
masing waktu selama 2 menit. Tahapan
terakhir direndam kembali dengan xylol 3x
dengan waktu 5 menit, perlekatan cover glas
dengan entela dan terakhir labeling.

LAMPIRAN 3
73

Hasil Pewarnaan HE
No Kelompok Perlakuan Dokumentasi Hasil Pewarnaan HE
.
1. Kontrol Positif

2. Kontrol Negatif

3. Kontrol obat standart


glibenklamid

4. Alfamangostin dosis
10 mg/kg BB
74

5. Alfamangostin dosis
30 mg/kg BB

5. Alfamangostin dosis
50 mg/kg BB

LAMPIRAN 4
75

Komite Etik Penelitian

Anda mungkin juga menyukai