Disusun Oleh :
Elfira Sutanto
31.191.021
Pembimbing:
dr. Eka Purwanto, Sp.An
Disusun oleh:
Elfira Sutanto
031.191.021
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Eka Purwanto Sp,An selaku
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi RSAL.
Dr.Mintohardjo
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Manajemen Gangguan Hemodinamik pada Pasien dengan Syok Sepsis” ini
dengan sebaik-baiknya. Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Stase Ilmu Anestesi di RSAL Dr.Mintohardjo 28 Juni 2021 – 17 Juli
2021. Dalam menyelesaikan laporan kasus, penulis mendapatkan bantuan dan
bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Eka Purwanto, Sp.An selaku pembimbing Referat dan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Anestesi di RSAL Dr.Mintohardjo .
2. Staf dan paramedis yang bertugas di RSAL Dr.Mintohardjo
3. Serta rekan-rekan Kepaniteraan Klinik selama di RSAL Dr.Mintohardjo
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Semoga pembuatan
referat ini dapat memberikan manfaat, yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi
seluruh pembaca, khususnya untuk rekan-rekan kedokteran maupun paramedis
lainnya, dan masyarakat umum.
Penulis
ii
Daftar Isi
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3
2.1 Epidemiologi.................................................................. 3
2.1.1 Prevalensi dan insidensi....................................... 3
2.1.2 Mortalitas............................................................. 3
2.2 Etiologi........................................................................... 4
2.2.1 Agen Kausatif....................................................... 4
2.2.2 Faktor Predisposisi............................................... 4
2.3 Patofisiologi dan patogenesis......................................... 5
2.3.1 Produksi sitokin proinflamasi............................... 6
2.3.2 Aktivasi komplemen............................................ 6
2.3.3 Disfungsi endotel dan vasodilatasi....................... 7
2.3.4 Gangguan koagulasi............................................. 7
2.4 Manifesrasi klinis........................................................... 9
2.4.1 Neurologi.............................................................. 9
2.4.2 Pulmonary............................................................ 9
2.4.3 Kardiovaskular..................................................... 9
2.4.4 Renal..................................................................... 10
2.4.5 Hematologi........................................................... 10
2.4.6 Hepatik................................................................. 10
2.5 Pemeriksaan fisik........................................................... 10
2.6 Pemeriksaan penunjang.................................................. 13
2.7 Diagnosis........................................................................ 17
2.8 Tatalaksana..................................................................... 19
2.9 Prognosis........................................................................ 21
BAB III KESIMPULAN.................................................................... 23
iii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
sistem koagulasi, jaringan parenkim, perubahan pada kerja sistem imun, serta sel
microglial dan neuron. (4,5)
Dalam 10 tahun terakhir, jumlah mortalitas di rumah sakit yang
disebabkan oleh sepsis sudah jauh menurun yang menandakan bahwa tatalaksana
sepsis sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, sehingga pemahaman
mengenai sepsis lebih jauh dibutuhkan pada metode diagnosis dini.(6) Untuk
mencapai metode deteksi dini yang akurat maka perlu untuk memahami sepsis
dan syok sepsis lebih dalam dengan mengetahui gambaran epidemiologi,
patofisiologi, dan berbagai macam potensi metode deteksi yang dapat digunakan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
2.1.1 Prevalensi dan Insidensi
Data jumlah insidensi dan prevalensi sepsis masih sulit untuk
diprediksi secara tepat. Untuk sementara, jumlah kasus sepsis yang dapat
diprediksi adalah 31,5 juta kasus, 19,4 juta kasus diantaranya merupakan
sepsis berat dengan kemungkinan 5,3 juta kasus sepsis berujung dengan
kematian setiap tahunnya.(7) Angka-angka tersebut hanyalah perkiraan
karena data sepsis di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah
masih sulit untuk didapat karena kurangnya surveilans data dan sulitnya
mengukur tingkat populasi di wilayah tersebut.
Terdapat beberapa penyakit infeksi yang memiliki tingkat resiko
sepsis yang tinggi seperti Human Immunodeficiency Virus, nontyphoid
(8)
salmonella dan Streptococcus pneumoniae. Pada tahun 2013, infeksi
saluran pernapasan bawah menempati urutan kedua di antara penyebab
utama kecacatan seumur hidup dan menyumbang lebih dari 2,5 juta
kematian secara global, di mana sebagian besar dari infeksi ini berujung
pada sepsis.(9) Demikian pula, infeksi malaria dan virus seperti demam
berdarah juga merupakan sumber utama infeksi sistemik di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, yang sebagian besar angka
kematiannya disebabkan oleh sepsis.(10)
2.1.2 Mortalitas
Sejak tahun 1999 angka mortalitas yang disebabkan oleh sepsis
dan syok sepsis cenderung menurun. Data dari Australia dan New Zealand
senduru menunjukkan bahwa secara keseluruhan kematian yang
disebabkan oleh sepsis dan syok sepsis telah menurun. Akan tetapi,
(11)
menurut Martin et al dan Gaieski et al(12) di beberapa tahun yang akan
datang data kematian akan cenderung meningkat dikarenakan jumlah
kasus sepsis dan syok sepsis yang meningkat.
3
2.2 Etiologi
Ada dua faktor yang menjadi etiologi dari terjadinya sepsis dan syok
sepsis yaitu mikroorganisme yang menginfeksi dan faktor predisposisi dari
pasiennya sendiri misalnya diabetes, imun inkompeten, keganasan, chronic kidney
disese, dan chronic liver disease, trauma, luka bakar, dan penggunaan antibiotik
yang tidak terkontrol.
2.2.1 Agen Kausatif(13)
Sepsis dan syok sepsis dapat disebabkan oleh berbagai jenis
patogen baik bakteri, virus, dan jamur. Akan tetapi, patogen yang paling
sering menyebabkan sepsis adalah bakteri.
Sebelum diperkenalkannya antibiotik, bakteri gram-positif
merupakan jenis bakteri yang paling sering menyebabkan sepsis. Namun
sejak ditemukannya antibiotik, bakteri gram negatif menjadi lebih sering
menjadi patogen penyebab sepsis dan syok sepsis. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa bakteri gram positif dan negatif sama-sama memiliki
potensi menyebabkan sepsis. Adapun beberapa bakteri yang paling sering
menjadi kausa dari sepsi yaitu: 1. Streptococcus penumoniae 30-50%
(pada infeksi saluran pernafasan bawah; 2. Klebsiella pneumoniae 30-50%
(infeksi saluran pernafasan bawah); 3. Escherichia coli 20-40% (infeksi
pada GI tract dan urinary tract);
4
sitokin ini merusak sel-sel tubuh. Pada penderita keganasan dan penyakit
metabolik sitokin ini tetap akan diproduksi walaupun tidak terjadi infeksi
patogen sama sekali. Oleh sebab itu apabila seseorang menderita penyakit
metabolik dan keganasan terinfeksi oleh patogen, tubuh akan
memproduksi lebih banyak lagi sitokin inflamasi yang kemudian akan
terakumulasi menjadi cytokine storm. Dengan terakumulasinya jumlah
sitokin yang tidak terkontrol maka sistem dalam tubuh akan terganggu
mulai dari sistem kardiovaskular, sistem imun, sistem respirasi hal inilah
yang menjadi penyebab terjadinya syok.
Pada keadaan immunosupresi tubuh sulit untuk menyerang
patogen, sehingga pertumbuhan patogen menjadi tidak terkontrol sehingga
kemungkinan pasien untuk jatuh ke dalam kondisi sepsis maupun syok
jauh lebih besar.
Trauma dan luka bakar bisa menjadi salah satu faktor predisposisi
pada sepsis dan syok sepsis dikarenakan pertahanan tubuh pertama dari
manusia yaitu kulit rusak. Dengan rusaknya pertahanan pertama tubuh ini
maka patogen semakin bebas untuk masuk ke dalam tubuh manusia.
Penggunaan antibiotik tidak terkontrol mampu menjadi faktor
predisposisi karena saat seorang mengkonsumsi antibiotik secara
berlebihan ada kemingkinan terjadi resistensi, sehingga pada saat
diberikan antibiotik untuk membunuh kuman patogen antibiotic tersebut
tidak mampu membunuh patogen.
5
2.3.1 Produksi sitokin pro-Inflamasi
Sebelum sitokin proinflamasi diproduksi oleh tubuh, sel imun akan
mengenali molekul terkait dengan patogen. Ada dua macam molekul yang
dapat dikenali oleh sel-sel imun alamiah tersebut yaitu Pathogen-
Associated Molecular Patterns (PAMPs- molekul dari patogen) dan
Damage-Associated Molecular Patterns (DAMPs- molekul dari sel yang
rusak akibat patogen), dua molekul ini akan berikatan dengan komplemen,
Toll-like receptor dan reseptor lainnya pada sel-sel imun alamiah. Proses
pengikatan molekul tersebut akan mengaktifkan sinyal-sinyal yang akan
mengaktifkan faktor transkripsi proinflamasi, immunitas adaptif dan
metabolism seluler.(17)
Salah satu faktor transkripsi yang diaktifkan adalah Translocation
Nuclear Factor (NF-kb). Faktor ini kemudian akan mengaktifkan ekspresi
dari gen-gen sitokin proinflamasi seperti Tumor Necrosis Factor (TNF),
interleukin 1,12,8, interferon, dan lain sebagainya. Proses pengaktifan
ekspresi gen ini berlangsung beberapa menit setelah pelekatan PAMPs dan
DAMPs pada reseptor.(18) Jika jumlah sitokin-sitokin proinflamasi ini tidak
terkontrol maka akan menyebabkan hyperpyrexia, gangguan koagulasi,
gangguan pada fungsi semipermeable pembuluh darah, yang turut
memberi peran pada proses patogenesis sepsis.(19)
6
vasodilatasi, kerusakan jaringan, dan gagal organ. C5a juga diduga
berperan pada disfungsi neutrophil, apoptosis sel limfoid, ekaserbasi dari
inflamasi sistemik, kardiomiopati, dan gangguan koagulasi intravascular
yang berujung pada gagal organ.(21)
Sepsis dan syok memberikan berbagai efek pada sistem organ pada
tubuh manusia mulai dari sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem
saraf, dan sistem lainnya.
7
1. Disfungsi endotel dalam pembentukan antikoagulan, 2. Sitokin
inflamasi menginduksi agregasi platelet, dan 3. Rusaknya endothel
mengaktifkan faktor von Willebrand sehingga memicu agregasi platelet
yang lebih. Bentuk hiperkoagulasi yang dapat ditemukan dalam keadaan
sepsis adalah microvascular thrombus, pengendapan fibrin, dan neutrophil
extracellular trap formation.(24) Hiperkoagulasi yang terjadi kemudian
akan berujung pada Disseminated Coagulation Intravascular (DIC) yang
dimana kondisi ini tubuh sudah kehabisan bahan untuk koagulasi darah
dan mungkin bisa terjadi perdarahan yang tidak terkontrol. Transisi dari
hiperkoagulasi menjadi DIC ditandai dengan trombositopenia dan
menurunnya faktor-faktor pembekuan darah. Saat pasien sepsis jatuh
dalam kondisi DIC maka kemungkinan besar pasien tersebut akan
mengalami syok sepsis dengan prognosis yang sangat buruk.(25)
8
Gambar 2.3.1 Ilustrasi patofisologi
2.4.1 Neurologi(1)
Saat sistem neurologi pasien sudah mulai terganggu pasien akan
mengalami perubahan status mental yang ditandai dengan letargi dan
delirium.
2.4.2 Pulmonary(1)
Salah satu bentuk manifestasi yang paling sering terjadi adalah
peningkatan jumlah frekuensi pernafasan. Hal utama yang menyebabkan
gangguan pada sistem pernafasan pasien adalah mediator inflamasi
merusak kapiler alveolus pada paru. Sitokin ini juga menginduksi
terjadinya non-cardiogenic edema pulmo sehingga mengurangi
kemampuan paru untuk menarik oksigen dan membuang karbon dioksida.
Saat kemampuan paru berkurang, reseptor juxtacapillary akan teraktivasi
9
untuk menaikkan ventilasi, oleh karena itu pasien dengan sepsis memiliki
frekuensi nafas yang tinggi.
2.4.3 Kardiovaskular(1)
Gejala kardiovaskular yang paling sering timbul pada pasien sepsis
adalah hipotensi. Hopotensi disebabkan oleh depresi dari sel otot jantung
yang durusak oleh sitokin. Ada beberapa jenis sitokin yang dapat merusak
sel otot jantung secara langsung. Kerusakan pada sel otot jantung dapat
terjadi pada ventrikel kanan maupun kiri sehingga mengurangi volume
curah jantung.
2.4.4 Renal(1)
Disfungsi renal yang terjadi pada sepsis akan berujung pada gagal
ginjal. Mekanisme disfungsi renal masih bekum diketahui secara pasti.
Tanda-tanda terjadinya disfungsi renal adalah naiknta serum creatinine
disertai penurunan glomerulus filtration rate.
2.4.5 Hematologi(1)
Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada darah adalah
DIC. Terdapat dua bentuk manifestasi dari DIC yaitu; 1. Perdarahan pada
banyak tempat dan 2. Terbentuknya thrombus pada pembuluh darah yang
berukuran kecil atau sedang dimana akan terdapat tanda-tanda sianotik.
2.4.6 Hepatik(1)
Disfungsi liver sering terjadi pada sepsis namun untuk kejadian
gagal liver akut sangat jarang terjadi. Disfungsi liver dapat ditandai dengan
naiknya serum alanine transaminase dan level bilirubin. Disfungsi liver
yang terjadi pada pasien sepsis terjadi karena gagalnya sistem
kardiovaslular dalam menyuplai darah sehingga sel hepar nekrosis.
10
2.5 Pemeriksaan fisik
Tanda penting dari terjadinya sepsis dan syok sepsis adalah disfungsi yang
terjadi pada level mikrovaskular dan seluler akibat dari terktivasinya sistem
inflamasi dan gangguan sistem koagulasi, vasoliatasi dan maldistribusi vascular,
bocornya endotel, dan disfungsi perfusi oksigen dan nutrisi pada level seluler.
Kondisi syok sepsis merupakan kondisi gawat darurat yang perlu
ditatalaksana segera. Oleh karena itu hal pertama yang harus diperiksa oleh klinisi
adalah survey primer atau airway, breathing, dan circulation (ABC) dengan
melakukan look, listen, dan feel. Pada pemeriksaan Airway yang harus dilakukan
adalah melihat patensi jalan nafas, apakah terdapat hambatan jalan nafas pada
pasien, hal ini dapat dinilai dengan melihat dinding dada pasien, otot-otot
pernafasan pasien, dan tanda-tanda retraksi dada. Selain melihat dinding dada dan
otot pernafsan, penting juga untuk mendengarkan suara tambahan nafas dari
pasien untuk mengetahui patensi jalan nafas. Apabila terdengan suara tambahan
seperti stridor, gargling, dan wheezing maka kemungkinan besar terdapat
hambatan jalan nafas pada pasien. Untuk pemeriksaan Breathing dapat di nilai
apakah pasien dalam keadaan hipoventilasi atau tidak, dinilai juga frekuensi nafas
pada pasien apakah ada tachypnoea atau ada bradypnoe serta dapat dirasakan juga
apakah ada udara yang keluar masuk dari rongga hidung maupun mulut pasien.
Untuk penilaian Circulation dapat dinilai dari ada atau tidaknya nadi, frekuensi
nadi, amplitudo denyut nadi, serta tekanan darah. Pada pasien syok sepsis
biasanya ditemukan gangguan pada airway, breathing seperti tachypnoe, dan
sirkulasi seperti tachycardia serta hipotensi, keadaan ini akan sangat
membahayakan pasien oleh sebab itu harus distabilisasi dengan segera.
11
Gambar 2.5.1 Metode pengecekan ABC
12
2.5.2 Pemeriksaan thorax :
Dapat dilakukan dengan inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi.
Hal yang perlu diinspeksi pada pemeriksaan thorax adalah gerakan dinding
dada dan tanda penggunaan dari otot bantu nafas. Perkusi kemudian
dilakukan untuk mendengar apakah ada perubahan suara pada hasil
perkusi daerah thorax misalnya perubahan suara yang normalnya adalah
timpani berubah menjadi redup. Palpasi dilakukan untuk mendeteksi
adanya nyeri tekan atau tidak. Setelah inspeksi, palpasi, dan perkusi
pemeriksaan kemudian dilanjutkan ke auskultasi, pada pemeriksaan ini
digunakan stetoskop untuk mendengan suara nafas tambahan dan bunti
jantung tambahan. Pada pasien dengan sepsis maupun syok sepsis biasa
ditemukan suara tambahan nafas seperti ronki yang menandakan adanya
edema paru, selain itu apabila terdapat gangguan jantunf maka akan
didapatkan bunyi suara tambahan pada jantung sepserti murmur.
13
Apabila fokus infeksi ada pada tulang dan jaringan lunak maka
biasnaya ditemukan eritema dan edema local, jaringan nekrosis, nyeri pada
saat digerakkan, dan efusi pada sendi.
2.5.6 Kulit
Apabila fokus infeksi pada kulit maka dapat ditemukan ptechiae,
purpura, eritema, ulserasi, dan bullae.
14
2.6.2 Pemeriksaan koagulasi darah
Pemeriksaan koagulasi darah adalah pemeriksaan dengan
menghitung prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin
time (aPTT). Pasien sepsis maupun syok sepsis dapat melakukan
pemeriksaan ini jika terdapat kecurigaan pasien tersebut jatuh dalam
kondisi DIC. Pasien yang jatuh ke dalam kondisi DIC memiliki nilai PT
dan aPTT yang lebih tinggi dari normal.
15
Pemeriksaan serum laktat mungkin dapat menjadi marker paling
baik dalam mendiagnosa gangguan perfusi pada syok sepsis. Pada saat
tubuh mengalami gangguan perfusi maka sel pada jaringan akan
mengalami kekurangan oksigen sehingga tubuh akan mengkompensasi
dengan melakukan metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat. Nilai
serum laktat lebih dari 2,5mmol/L akan menaikkan resiko mortalitas.
Semakin tinggi nilai serum laktat maka semakin tinggi resiko mortalitas
dari pasien tersebut. Pemeriksaan laktat juga dapat dilakukan sebagai
monitoring keberhasilan tatalaksana dari syok sepsis.
16
4. Bila terjadi gangguan pada sisyem respirasi maka analisa yang dapat
dilakukan adalah analisa gas darah serta pemeriksaan saturasi oksigen.
Selain pemeriksaan laboratorium dilakukan juga pemeriksaan rontgen
untuk melihat bentuk manifestasi klinis pada paru pasien. Gambaran
rontgen yang paling sering ditemui adalah edema paru dan gambaran
ARDS.
17
2.6.5 Pemeriksaan kultur bakteri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui jenis patogen
penyebab sepsis dan syok sepsis guna diketahui tatalaksana yang efektif
untuk mengeliminasi patogen tersebut. Sampel kultur biasanya diambil
dari darah pasien yang dicurigai mengalami sepsis. Setelah mengkultur
jenis bakteri dilakukan juga uju resistensi antibiotik.
2.7 Diagnosis
Tidak terdapat pemeriksaan pasti yang langsung mendiagnosa
sepsis maupun syok sepsis. Sepsis dan syok sepsis merupakan sekumpulan
gejala yang didefinisikan sebagai gabungan dari tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium yang abnormal, serta perubahan karakteristik dari tubuh
manusia. Oleh karena itu klinisi membuat suatu kriteria diagnosis yang
paling menggambarkan sepsis. Kriteria ini awalnya dibuat pada tahun
1991 yang isinya sebagai berikut:
18
Kriteria diagnosis yang dibuat pada tahun 1991 ini bersifat terlalu
sensitive, sehingga pasien dengan penyakit infeksi yang tidak memiliki
resiko sepsis juga dapat didiagnosis sebagai sepsis. Oleh karena itu kriteria
ini kemudian diperbaiki pada tahun 2015 dengan kriteria sebagai berikut:
19
2.8 Tatalaksana(26,27)
Pasien sepsis dan syok sepsis butuh perawatan medis di rumah sakit.
Pasien sepsis dan syok sepsis perlu dilakukan resusitasi awal dengan segera.
Pasien yang memiliki respon baik terhadap resusitasi awal dengan segera dan
tidak menunjukkan tanda-tanda gagal organ boleh dirawat di unit perawatan
umum sedangkan pasien yang tidak merespon baik pada resusitasi awal perlu
dirawat di ruang ICU karena perlu monitoring yang lebih sering.
2.8.1 Resusitasi awal di instalasi gawat darurat
1. Airway, Breathing, dan Sirkulasi
Jalan nafas dipatenkan dan pasien diberikan oksigenasi yang cukup
untuk mencegah terjadinya hipoventilasi. Diperiksa seluruh komponen
ABC tersebut lalu distabilkan. Dilakukan juga pemasangan monitor.
2. Pemasangan IV line
Pada kasus syok sepsis perlu dipasangkan dua jalur IV line dengan
nomor 16-18 karena pada pasien ini perlu diberikan cairan secara massif
dan pemberian antibiotik broad-spectrum.
20
3. Terapi Cairan
Terapi cairan pada pasien dengan syok sepsis sangat perlu
dilakukan untuk menaikkan tekanan darah pasien dengan mengganti cairan
intravaskuler dan juga untuk meminimalisir disfungsi organ oleh karena
hipoperfusi.
Terapi cairan yang diberikan adalah seperti berikut:
1. Memberikan cairan kristaloid (Ringer laktat) 30mL/kgBB dalam
30 menit.
2. Jika masih tidak terkompensasi maka pasien akan dibreikan koloid
(Albumin) untuk meminimalisir edema pemberian kristaloid yang
banyak.
3. Target akhir dari terapi cairan tersebut adalah : MAP pencapai
65mmHg
4. Pemberian Vasopressin:
Pemberian Vasopressin diberikan untuk menaikkan tekanan darah
dengan vasokonstriksi. Pada pasien dengan syok sepsis, pasien cenderung
mengalami vasodilatasi sehingga terjadi gangguan hemodinamik.
Pemberian vasopressor diberikan jika resusitasi cairan yang diberikan
sudah melebihi 4L cairan kristaloid atau sudah ada tanda-tanda volume
overload. Vasopressin yang diberikan adalah norepinephrine dengan dosis
0,1ug/kgBB/min atau dopamine dengan dosis 5ug/kgBB/min.
21
Pemberian Dopamine : (BB:50 kg)
o Bekerja pada reseptor dopaminergic dan adrenergic
o Dosis yang dibutuhkan : 5 mcg/kgBB/min 250 mcg/min
o Sediaan : 200mg/5ml
o Pemberian:
Diluted dalam 500 ml Dx 5%
200 mg Dopamine 500ml Dx 5% = 400 mcg/cc
Jumlah drip/min = 250/400 X 20 = 12 drip
22
2.9 Prognosis
Prognosis pada pasien syok sepsis biasanya buruk. Hal ini dikarenakan
pada saat keadaan syok pasien sudah mengalami gagal organ dalam jumlah
banyak, sehingga sulit untuk mengembalikan fungsi organ tersebut secara
optimal. Prognosis pasien juga akan semakin buruk jika ditambah dengan faktor-
faktor co-morbid pasien seperti diabetes, keganasan, immunosupresi, dan lain-
lain, faktor komorbid pasien dapat memperburuk prognosis karena jumlah sitokin
inflamasi dalam tubuh pasien dalam keadaan komorbid dapat lebih tinggi
sehingga organ dan sel yang rusak menjadi lebih banyak.
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Hotchkiss RS, Moldawer LL, Opal SM, Reinhart K, Turnbull IR, Vincent JL.
Sepsis and septic shock. Nat Rev Dis Primers. 2016;2:16045. Published 2016 Jun
30. doi:10.1038/nrdp.2016.45
2. Singer, M. et al. The third international consensus conference on sepsis and septic
shock (Sepsis‐3). JAMA 315, 801–810 (2016).
The third consensus update of the definitions
and clinical criteria for sepsis and septic shock. Although there has been an
important effort to improve the understanding of sepsis, controversy remains as to
whether these new criteria will be useful or practical as early warning signs,
especially in low-income and middle-income countries where it is often difficult
to obtain the required measures of organ injury.
3. Majno, G. The ancient riddle of σηψιζ (sepsis). J. Infect. Dis. 163, 937–945
(1991).
4. Matzinger, P. Tolerance, danger, and the extended family. Annu. Rev. Immunol.
12, 991–1045 (1994).
6. Kaukonen, K. M., Bailey, M., Suzuki, S., Pilcher, D.& Bellomo, R. Mortality
related to severe sepsis and septic shock among critically ill patients in Australia
and New Zealand, 2000-2012. JAMA 311, 1308-1316 (2014). This is a
retrospective analysis of an administrative database from >100,000 patients with
recorded sepsis or septic shock. Mortality significantly improved in patients with
both severe sepsis and septic shock, but did so at rates that were comparable to
other diagnoses.
25
10. van den Boogaard, W., Manzi, M., Harries, A. D. & Reid, A. J. Causes of
pediatric mortality and case‐fatality rates in eight Medecins San Frontieres‐
supported hospitals in Africa. Public Health Action 2, 117–121 (2012).
11. Martin, G. S., Mannino, D. M., Eaton, S. & Moss, M. The epidemiology of sepsis
in the United States from 1979 through 2000. N. Engl. J. Med. 348, 1546–1554
(2003)
13. Levy MM, Artigas A, Phillips GS, Rhodes A, Beale R, Osborn T, et al. Outcomes
of the Surviving Sepsis Campaign in intensive care units in the USA and Europe:
a prospective cohort study. Lancet Infect Dis. 2012 Dec. 12(12):919-24.
15. Nooh MM, Nookala S, Kansal R, Kotb M. Individual genetic variations directly
effect polarization of cytokine responses to superantigens associated with
streptococcal sepsis: implications for customized patient care. J Immunol. 2011
Mar 1. 186(5):3156-63.
16. Takeuchi, O. & Akira, S. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell
140, 805–820 (2010).
20. Guo, R. F. & Ward, P. A. Role of C5a in inflammatory responses. Annu. Rev.
Immunol. 23, 821–852 (2005).
21. Ward, P. A. The harmful role of C5a on innate immunity in sepsis. J. Innate
Immun. 2, 439–445 (2010).
26
22. Deutschman, C. S. & Tracey, K. J. Sepsis: current dogma and new perspectives.
Immunity 40, 463–475 (2014).
23. Opal, S. M. & van der Poll, T. Endothelial barrier dysfunction in septic shock. J.
Intern. Med. 277, 277–293 (2015).
24. Karpman, D. et al. Complement interactions with blood cells, endothelial cells
and microvesicles in thrombotic and inflammatory conditions. Adv. Exp. Med.
Biol. 865, 19–42 (2015).
25. Levi, M., Schultz, M. & van der Poll, T. Sepsis and thrombosis. Semin. Thromb.
Hemost. 39, 559–566 (2013).
26. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe
sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013 Feb. 41(2):580-637.
27. [Guideline] Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis
Campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2008. Crit Care Med. 2008 Jan. 36(1):296-327.
27