Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

MANAJEMEN GANGGUAN HEMODINAMIK


PADA PASIEN DENGAN
SYOK SEPSIS

Disusun Oleh :
Elfira Sutanto
31.191.021

Pembimbing:
dr. Eka Purwanto, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR.MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
28 JUNI 2021-17 JULI 2021
REFERAT
MANAJEMEN GANAGGUAN HEMODINAMIK
PADA PASIEN DENGAN
SYOK SEPSIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut
Dr.Mintohaardjo periode 28 Juni – 17 Juli 2021

Disusun oleh:
Elfira Sutanto
031.191.021

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Eka Purwanto Sp,An selaku
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi RSAL.
Dr.Mintohardjo

Jakarta, Juli 2021

dr. Eka Purwanto , Sp.An

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Manajemen Gangguan Hemodinamik pada Pasien dengan Syok Sepsis” ini
dengan sebaik-baiknya. Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Stase Ilmu Anestesi di RSAL Dr.Mintohardjo 28 Juni 2021 – 17 Juli
2021. Dalam menyelesaikan laporan kasus, penulis mendapatkan bantuan dan
bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Eka Purwanto, Sp.An selaku pembimbing Referat dan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Anestesi di RSAL Dr.Mintohardjo .
2. Staf dan paramedis yang bertugas di RSAL Dr.Mintohardjo
3. Serta rekan-rekan Kepaniteraan Klinik selama di RSAL Dr.Mintohardjo
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Semoga pembuatan
referat ini dapat memberikan manfaat, yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi
seluruh pembaca, khususnya untuk rekan-rekan kedokteran maupun paramedis
lainnya, dan masyarakat umum.

Jakarta, Juli 2021

Penulis

ii
Daftar Isi
Halaman

LEMBAR PENGESAHAN................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3
2.1 Epidemiologi.................................................................. 3
2.1.1 Prevalensi dan insidensi....................................... 3
2.1.2 Mortalitas............................................................. 3
2.2 Etiologi........................................................................... 4
2.2.1 Agen Kausatif....................................................... 4
2.2.2 Faktor Predisposisi............................................... 4
2.3 Patofisiologi dan patogenesis......................................... 5
2.3.1 Produksi sitokin proinflamasi............................... 6
2.3.2 Aktivasi komplemen............................................ 6
2.3.3 Disfungsi endotel dan vasodilatasi....................... 7
2.3.4 Gangguan koagulasi............................................. 7
2.4 Manifesrasi klinis........................................................... 9
2.4.1 Neurologi.............................................................. 9
2.4.2 Pulmonary............................................................ 9
2.4.3 Kardiovaskular..................................................... 9
2.4.4 Renal..................................................................... 10
2.4.5 Hematologi........................................................... 10
2.4.6 Hepatik................................................................. 10
2.5 Pemeriksaan fisik........................................................... 10
2.6 Pemeriksaan penunjang.................................................. 13
2.7 Diagnosis........................................................................ 17
2.8 Tatalaksana..................................................................... 19
2.9 Prognosis........................................................................ 21
BAB III KESIMPULAN.................................................................... 23

iii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi dimana terjadi disregulasi inflamasi dan respon


imun secara sistemik sebagai respon dari adanya fokus infeksi mikroba. (1) Sepsis
sendiri telah dikenal sejak 1000 tahun sebelum masehi sebagai pembusukan darah
dan jaringan akibat demam dan setelah itu banyak studi yang dilakukan untuk
mencari patofisiologi dan tatalaksana dari sepsis sendiri.(2) Pada tahun 1991,
sepsis kemudian didefinisikan sebagai Systemic Inflammatory Response (SIRS)
terhadap infeksi mikroba, dimana SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih dari
gejala berikut: tachypnoea, takikardia, pireksia, lekositosis, leukopaenia atau
neutrophilia.(2,3) Akan tetapi kriteria SIRS yang ditetapkan pada tahun 1991 tidak
cukup spesifik untuk mendiagnosis SIRS karena seluruh infeksi pasti memiliki
gejala yang sama dengan SIRS, oleh sebab itu pada tahun 2015 disfungsi organ
ditambahkan sebagai salah satu kriteria SIRS. Saat disfungsi organ yang
disebabkan oleh sepsis tidak ditatalaksana dengan baik maka akan terjadi
gangguan perfusi dan hemodinamik yang dinamakan sebagai syok sepsis dan
keadaan ini memiliki resiko mortalitas yang sangat tinggi.
Studi mengenai sepsis dan syok sepsis telah banyak dilakukan untuk
memahami patofisiologi interaksi antara sel imun dan mikoorganisme yang
menginfeksi guna menemukan tatalaksana yang tepat. Sebuah studi memaparkan
“danger hypothesis” dimana hipotesis ini memyebutkan bahwa saat pertahanan
tubuh awal mengenali suatu bentuk mikroorganisme, tubuh akan memproduksi
sebuah produk yang disebut sebagai “danger signals” untuk memberitahu bahwa
didalam tubuh ada infeksi mikroorganisme. Sinyal-sinyal tersebut dapat berupa
sitokin proinflamasi, molekul pemberi sinyal, dan lain sebagainya. Sitokin
proinflamasi yang dikeluarkan ini tidak hanya membunuh mikroba saja tapi juga
dapat merusak sel-sel tubuh yang sehat, oleh sebab itu sepsis bukan semata-mata
hanya proses inflamasi saja; sepsis juga memberikan efek pada sel endothelial,

1
sistem koagulasi, jaringan parenkim, perubahan pada kerja sistem imun, serta sel
microglial dan neuron. (4,5)
Dalam 10 tahun terakhir, jumlah mortalitas di rumah sakit yang
disebabkan oleh sepsis sudah jauh menurun yang menandakan bahwa tatalaksana
sepsis sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, sehingga pemahaman
mengenai sepsis lebih jauh dibutuhkan pada metode diagnosis dini.(6) Untuk
mencapai metode deteksi dini yang akurat maka perlu untuk memahami sepsis
dan syok sepsis lebih dalam dengan mengetahui gambaran epidemiologi,
patofisiologi, dan berbagai macam potensi metode deteksi yang dapat digunakan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
2.1.1 Prevalensi dan Insidensi
Data jumlah insidensi dan prevalensi sepsis masih sulit untuk
diprediksi secara tepat. Untuk sementara, jumlah kasus sepsis yang dapat
diprediksi adalah 31,5 juta kasus, 19,4 juta kasus diantaranya merupakan
sepsis berat dengan kemungkinan 5,3 juta kasus sepsis berujung dengan
kematian setiap tahunnya.(7) Angka-angka tersebut hanyalah perkiraan
karena data sepsis di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah
masih sulit untuk didapat karena kurangnya surveilans data dan sulitnya
mengukur tingkat populasi di wilayah tersebut.
Terdapat beberapa penyakit infeksi yang memiliki tingkat resiko
sepsis yang tinggi seperti Human Immunodeficiency Virus, nontyphoid
(8)
salmonella dan Streptococcus pneumoniae. Pada tahun 2013, infeksi
saluran pernapasan bawah menempati urutan kedua di antara penyebab
utama kecacatan seumur hidup dan menyumbang lebih dari 2,5 juta
kematian secara global, di mana sebagian besar dari infeksi ini berujung
pada sepsis.(9) Demikian pula, infeksi malaria dan virus seperti demam
berdarah juga merupakan sumber utama infeksi sistemik di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, yang sebagian besar angka
kematiannya disebabkan oleh sepsis.(10)

2.1.2 Mortalitas
Sejak tahun 1999 angka mortalitas yang disebabkan oleh sepsis
dan syok sepsis cenderung menurun. Data dari Australia dan New Zealand
senduru menunjukkan bahwa secara keseluruhan kematian yang
disebabkan oleh sepsis dan syok sepsis telah menurun. Akan tetapi,
(11)
menurut Martin et al dan Gaieski et al(12) di beberapa tahun yang akan
datang data kematian akan cenderung meningkat dikarenakan jumlah
kasus sepsis dan syok sepsis yang meningkat.

3
2.2 Etiologi
Ada dua faktor yang menjadi etiologi dari terjadinya sepsis dan syok
sepsis yaitu mikroorganisme yang menginfeksi dan faktor predisposisi dari
pasiennya sendiri misalnya diabetes, imun inkompeten, keganasan, chronic kidney
disese, dan chronic liver disease, trauma, luka bakar, dan penggunaan antibiotik
yang tidak terkontrol.
2.2.1 Agen Kausatif(13)
Sepsis dan syok sepsis dapat disebabkan oleh berbagai jenis
patogen baik bakteri, virus, dan jamur. Akan tetapi, patogen yang paling
sering menyebabkan sepsis adalah bakteri.
Sebelum diperkenalkannya antibiotik, bakteri gram-positif
merupakan jenis bakteri yang paling sering menyebabkan sepsis. Namun
sejak ditemukannya antibiotik, bakteri gram negatif menjadi lebih sering
menjadi patogen penyebab sepsis dan syok sepsis. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa bakteri gram positif dan negatif sama-sama memiliki
potensi menyebabkan sepsis. Adapun beberapa bakteri yang paling sering
menjadi kausa dari sepsi yaitu: 1. Streptococcus penumoniae 30-50%
(pada infeksi saluran pernafasan bawah; 2. Klebsiella pneumoniae 30-50%
(infeksi saluran pernafasan bawah); 3. Escherichia coli 20-40% (infeksi
pada GI tract dan urinary tract);

2.2.2 Faktor predisposisi(14,15)


Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen bukan
menjadi satu-satunya kausa dari terjadinya sepsis. Bila dilihat secara
keseluruhan kondisi tubuh host atau pasien bisa menjadi salah satu
penyebab dari terjadinya sepsis. Kondisi tersebut dapat berupa inflamasi
kronik, immunosupresi, trauma, luka bakar, dan penggunaan antibiotik
yang tidak terkontrol.
Inflamasi kronik adalah kondisi dimana tubuh memproduksi
sitokin inflamasi secara terus menerus. Kondisi ini biasanya ada pada
pasien penderita penyakit metabolik dan keganasan. Seperti yang kita
ketahui sitokin inflamasi merupakan sitokin yang sifatnya destruktif,

4
sitokin ini merusak sel-sel tubuh. Pada penderita keganasan dan penyakit
metabolik sitokin ini tetap akan diproduksi walaupun tidak terjadi infeksi
patogen sama sekali. Oleh sebab itu apabila seseorang menderita penyakit
metabolik dan keganasan terinfeksi oleh patogen, tubuh akan
memproduksi lebih banyak lagi sitokin inflamasi yang kemudian akan
terakumulasi menjadi cytokine storm. Dengan terakumulasinya jumlah
sitokin yang tidak terkontrol maka sistem dalam tubuh akan terganggu
mulai dari sistem kardiovaskular, sistem imun, sistem respirasi hal inilah
yang menjadi penyebab terjadinya syok.
Pada keadaan immunosupresi tubuh sulit untuk menyerang
patogen, sehingga pertumbuhan patogen menjadi tidak terkontrol sehingga
kemungkinan pasien untuk jatuh ke dalam kondisi sepsis maupun syok
jauh lebih besar.
Trauma dan luka bakar bisa menjadi salah satu faktor predisposisi
pada sepsis dan syok sepsis dikarenakan pertahanan tubuh pertama dari
manusia yaitu kulit rusak. Dengan rusaknya pertahanan pertama tubuh ini
maka patogen semakin bebas untuk masuk ke dalam tubuh manusia.
Penggunaan antibiotik tidak terkontrol mampu menjadi faktor
predisposisi karena saat seorang mengkonsumsi antibiotik secara
berlebihan ada kemingkinan terjadi resistensi, sehingga pada saat
diberikan antibiotik untuk membunuh kuman patogen antibiotic tersebut
tidak mampu membunuh patogen.

2.3 Patofisiologi dan patogenesis


Dasar dari patofisiologi sepsis maupun syok sepsis merupakan proses
inflamasi. Proses inflamasi yang terjadi diawali dengan deteksi patogen dan
seluruh produk patogen oleh sel-sel pertahanan alamiah atau innate immune
system. Pengenalan molekul patogen tersebut akan mengaktifkan berbagai jalur
pro-inflamasi seperti produksi sitokin dan pengaktifan komplemen. Kedua jalur
tersebut akan memproduksi molekul-molekul yang berguna untuk membunuh
patogen, akan tetapi molekul-molekul tersebut juga memiliki sifat destruktif pada
sel tubuh host sendiri.(16)

5
2.3.1 Produksi sitokin pro-Inflamasi
Sebelum sitokin proinflamasi diproduksi oleh tubuh, sel imun akan
mengenali molekul terkait dengan patogen. Ada dua macam molekul yang
dapat dikenali oleh sel-sel imun alamiah tersebut yaitu Pathogen-
Associated Molecular Patterns (PAMPs- molekul dari patogen) dan
Damage-Associated Molecular Patterns (DAMPs- molekul dari sel yang
rusak akibat patogen), dua molekul ini akan berikatan dengan komplemen,
Toll-like receptor dan reseptor lainnya pada sel-sel imun alamiah. Proses
pengikatan molekul tersebut akan mengaktifkan sinyal-sinyal yang akan
mengaktifkan faktor transkripsi proinflamasi, immunitas adaptif dan
metabolism seluler.(17)
Salah satu faktor transkripsi yang diaktifkan adalah Translocation
Nuclear Factor (NF-kb). Faktor ini kemudian akan mengaktifkan ekspresi
dari gen-gen sitokin proinflamasi seperti Tumor Necrosis Factor (TNF),
interleukin 1,12,8, interferon, dan lain sebagainya. Proses pengaktifan
ekspresi gen ini berlangsung beberapa menit setelah pelekatan PAMPs dan
DAMPs pada reseptor.(18) Jika jumlah sitokin-sitokin proinflamasi ini tidak
terkontrol maka akan menyebabkan hyperpyrexia, gangguan koagulasi,
gangguan pada fungsi semipermeable pembuluh darah, yang turut
memberi peran pada proses patogenesis sepsis.(19)

2.3.2 Aktivasi komplemen


Selain produksi sitokin, proses pengenalan molekul terkait patogen
juga mengaktifkan satu sistem pertahanan yaitu sistem komplemen.
Aktivasi sistem komplemen akan mengaktivasi protein C3a dam C5a. C5a
merupakan salah satu protein proinflamasi yang paling berperan dalam
patogenesis sepsis.(20) C5a memiliki sifat chemoattractants yang besar
terhadap neutrophil, monosit, dan makrofag. C5a akan menginduksi
pengeluaran enzim granular yang diduga menyebabkan kerusakan
jaringan. Selain itu C5a juga menginduksi pembentukan sitokin untuk
meningkatkan proses inflamasi. Dengan semakin banyaknya produksi
sitokin maka diduga mekanisme-mekanisme tersebut akan menyebabkan

6
vasodilatasi, kerusakan jaringan, dan gagal organ. C5a juga diduga
berperan pada disfungsi neutrophil, apoptosis sel limfoid, ekaserbasi dari
inflamasi sistemik, kardiomiopati, dan gangguan koagulasi intravascular
yang berujung pada gagal organ.(21)
Sepsis dan syok memberikan berbagai efek pada sistem organ pada
tubuh manusia mulai dari sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem
saraf, dan sistem lainnya.

2.3.3 Disfungsi endotel dan vasodilatasi pembuluh darah


Produksi sitokin berlebihan melalui NF-kb dan aktivasi
komplemen memberikan efek pada endotel. Endotel merupakan sel yang
menyusun pembuluh darah, endotel ini berfungsi untuk memisah cairan
intravascular dari pembuluh darah dan jaringan. Dalam keadaan normal,
endotel dapat memproduksi antikoagulan pada lapisan terluarnya yang
mengatur aliran air, gas, hormone, dan makromolekul seperti protein.
Dalam keadaan sepsis komunikasi antar sel pada endotel akan terganggu,
mulai dari produksi antikoagulan hingga hilangnya kemampuan endotel
untuk memisahkan air dan jaringan. Hilangnya kemampuan endotel untuk
memisahkan cairan intravascular dan jaringan akan menyebabkan
bocornya cairan dari intravascular ke ruangan interstisial yang
menyebabkan edema.(22,23)
Selain rusaknya fungsi endotel sebagai barrier, sitokin-sitokin juga
memberikan efek vasodilatasi pada kapiler-kapiler sehingga mengganggu
aliran darah yang berujung pada penurunan fungsi perfusi jaringan yang
dapat didefinisikan sebagai syok yang dikategorikan sebagai syok
distributif.

2.3.4 Gangguan koagulasi


Gangguan koagulasi yang sering terjadi pada kondisi sepsis adalah
hiperkoagulasi. Hiperkoagulasi sering terjadi pada pasien dalam kondisi
sepsis dikarenakan kerusakan endotel dan peran dari sitokin. Kerusakan
endotel yang terjadi dapat menginduksi terjadinya hiperkoagulasi karena:

7
1. Disfungsi endotel dalam pembentukan antikoagulan, 2. Sitokin
inflamasi menginduksi agregasi platelet, dan 3. Rusaknya endothel
mengaktifkan faktor von Willebrand sehingga memicu agregasi platelet
yang lebih. Bentuk hiperkoagulasi yang dapat ditemukan dalam keadaan
sepsis adalah microvascular thrombus, pengendapan fibrin, dan neutrophil
extracellular trap formation.(24) Hiperkoagulasi yang terjadi kemudian
akan berujung pada Disseminated Coagulation Intravascular (DIC) yang
dimana kondisi ini tubuh sudah kehabisan bahan untuk koagulasi darah
dan mungkin bisa terjadi perdarahan yang tidak terkontrol. Transisi dari
hiperkoagulasi menjadi DIC ditandai dengan trombositopenia dan
menurunnya faktor-faktor pembekuan darah. Saat pasien sepsis jatuh
dalam kondisi DIC maka kemungkinan besar pasien tersebut akan
mengalami syok sepsis dengan prognosis yang sangat buruk.(25)

8
Gambar 2.3.1 Ilustrasi patofisologi

2.4 Manifestasi Klinis


Terdapat berbagai macam bentuk manifestasi klinis dari sepsis.
Bentuk gejala umum dari sepsis dapat berupa :1. Hyperpyrexia; 2.
Malaise; 3. Sulit untuk bernafas; 4. Mual dan muntah.
Adapun dua bentuk syok sepsis yang diketahui yaitu: 1. Warm
shock dan 2. Cold shock. Warm shock dimana kondisi tubuh pasien masih
teraba hangat dengan perfusi baik, hal ini dikarenakan vasodilatasi.
Gambaran warm shock dapat dilihat pada fase-fase awal shock sepsis
namun setelah beberapa lama gambaran cold shock mulai terlihat yaitu
terlihat gangguan perfusi.
Sepsis merupakan gangguan fungsi yang terjadi secara sistemik
yang dapat berefek kepada seluruh organ di dalam tubuh hal ini
disebabkan karena sitokin yang diproduksi oleh tubuh beredar dalam
sirkulasi darah. Bentuk presentasi gejala sepsis dapat sesuai dengan sistem
organ yang telah mengalami disfungsi. Adapun enam tipe organ yang
paling sering mengalami disfungsi saat sepsis yaitu:

2.4.1 Neurologi(1)
Saat sistem neurologi pasien sudah mulai terganggu pasien akan
mengalami perubahan status mental yang ditandai dengan letargi dan
delirium.

2.4.2 Pulmonary(1)
Salah satu bentuk manifestasi yang paling sering terjadi adalah
peningkatan jumlah frekuensi pernafasan. Hal utama yang menyebabkan
gangguan pada sistem pernafasan pasien adalah mediator inflamasi
merusak kapiler alveolus pada paru. Sitokin ini juga menginduksi
terjadinya non-cardiogenic edema pulmo sehingga mengurangi
kemampuan paru untuk menarik oksigen dan membuang karbon dioksida.
Saat kemampuan paru berkurang, reseptor juxtacapillary akan teraktivasi

9
untuk menaikkan ventilasi, oleh karena itu pasien dengan sepsis memiliki
frekuensi nafas yang tinggi.

2.4.3 Kardiovaskular(1)
Gejala kardiovaskular yang paling sering timbul pada pasien sepsis
adalah hipotensi. Hopotensi disebabkan oleh depresi dari sel otot jantung
yang durusak oleh sitokin. Ada beberapa jenis sitokin yang dapat merusak
sel otot jantung secara langsung. Kerusakan pada sel otot jantung dapat
terjadi pada ventrikel kanan maupun kiri sehingga mengurangi volume
curah jantung.

2.4.4 Renal(1)
Disfungsi renal yang terjadi pada sepsis akan berujung pada gagal
ginjal. Mekanisme disfungsi renal masih bekum diketahui secara pasti.
Tanda-tanda terjadinya disfungsi renal adalah naiknta serum creatinine
disertai penurunan glomerulus filtration rate.

2.4.5 Hematologi(1)
Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada darah adalah
DIC. Terdapat dua bentuk manifestasi dari DIC yaitu; 1. Perdarahan pada
banyak tempat dan 2. Terbentuknya thrombus pada pembuluh darah yang
berukuran kecil atau sedang dimana akan terdapat tanda-tanda sianotik.

2.4.6 Hepatik(1)
Disfungsi liver sering terjadi pada sepsis namun untuk kejadian
gagal liver akut sangat jarang terjadi. Disfungsi liver dapat ditandai dengan
naiknya serum alanine transaminase dan level bilirubin. Disfungsi liver
yang terjadi pada pasien sepsis terjadi karena gagalnya sistem
kardiovaslular dalam menyuplai darah sehingga sel hepar nekrosis.

10
2.5 Pemeriksaan fisik
Tanda penting dari terjadinya sepsis dan syok sepsis adalah disfungsi yang
terjadi pada level mikrovaskular dan seluler akibat dari terktivasinya sistem
inflamasi dan gangguan sistem koagulasi, vasoliatasi dan maldistribusi vascular,
bocornya endotel, dan disfungsi perfusi oksigen dan nutrisi pada level seluler.
Kondisi syok sepsis merupakan kondisi gawat darurat yang perlu
ditatalaksana segera. Oleh karena itu hal pertama yang harus diperiksa oleh klinisi
adalah survey primer atau airway, breathing, dan circulation (ABC) dengan
melakukan look, listen, dan feel. Pada pemeriksaan Airway yang harus dilakukan
adalah melihat patensi jalan nafas, apakah terdapat hambatan jalan nafas pada
pasien, hal ini dapat dinilai dengan melihat dinding dada pasien, otot-otot
pernafasan pasien, dan tanda-tanda retraksi dada. Selain melihat dinding dada dan
otot pernafsan, penting juga untuk mendengarkan suara tambahan nafas dari
pasien untuk mengetahui patensi jalan nafas. Apabila terdengan suara tambahan
seperti stridor, gargling, dan wheezing maka kemungkinan besar terdapat
hambatan jalan nafas pada pasien. Untuk pemeriksaan Breathing dapat di nilai
apakah pasien dalam keadaan hipoventilasi atau tidak, dinilai juga frekuensi nafas
pada pasien apakah ada tachypnoea atau ada bradypnoe serta dapat dirasakan juga
apakah ada udara yang keluar masuk dari rongga hidung maupun mulut pasien.
Untuk penilaian Circulation dapat dinilai dari ada atau tidaknya nadi, frekuensi
nadi, amplitudo denyut nadi, serta tekanan darah. Pada pasien syok sepsis
biasanya ditemukan gangguan pada airway, breathing seperti tachypnoe, dan
sirkulasi seperti tachycardia serta hipotensi, keadaan ini akan sangat
membahayakan pasien oleh sebab itu harus distabilisasi dengan segera.

11
Gambar 2.5.1 Metode pengecekan ABC

Setelah melakukan pengecekan dan stabilisasi airway, pemeriksaan fisik


kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda vital lainnya seperti suhu yang
dapat dilakukan pada tiga bagian yaitu rectum, oral, dan telinga dan pemeriksaan
kesadaran ataupun status mental pasien karena pada pasien dengan sepsis ada
kemungkinan terjadi penurunan kesadaran dan perubahan status mental. Setelah
itu baru dilanjutkan dengan pemeriksaan status generalis yang dilakukan dari
kepala hingga kaki secara berurutan. Pada kasus syok sepsis pastikan mencari
tanda-tanda fokus infeksi, selalu lihat apakah ada tanda-tanda gangguan perfusi
seperti perubahan warna kulit, perubahan suhu akral, dan perubahan pada
capillary refill time. Seperti yang kita ketahui pada sepsis dan syok sepsis terjadi
vasodilatasi yang berlebihan sehingga akan memberikan efek hangat pada akral
tapi lama kelamaan dengan turunnya perfusi maka suhu akral tersebut akan
berubah menjadi dingin.
Pada keadaan syok sepsis sangat penting untuk mengidentifikasi fokus
infeksi agar fokus infeksi itu dapat ditatalaksana segera. Hal ini dapat
diidentifikasi dari pemeriksaan status generalis dan pemeriksaan lokalis :

2.5.1 Pemeriksaan kepala dan leher


Pemeriksaan fokus infeksi pada kepala dan leher dapat dimulai dari
pemeriksaan tanda meningen, pembengkakan pada kelenjar limfoid,
pemeriksaan sinus, pemeriksaan hidung dan mulut.

12
2.5.2 Pemeriksaan thorax :
Dapat dilakukan dengan inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi.
Hal yang perlu diinspeksi pada pemeriksaan thorax adalah gerakan dinding
dada dan tanda penggunaan dari otot bantu nafas. Perkusi kemudian
dilakukan untuk mendengar apakah ada perubahan suara pada hasil
perkusi daerah thorax misalnya perubahan suara yang normalnya adalah
timpani berubah menjadi redup. Palpasi dilakukan untuk mendeteksi
adanya nyeri tekan atau tidak. Setelah inspeksi, palpasi, dan perkusi
pemeriksaan kemudian dilanjutkan ke auskultasi, pada pemeriksaan ini
digunakan stetoskop untuk mendengan suara nafas tambahan dan bunti
jantung tambahan. Pada pasien dengan sepsis maupun syok sepsis biasa
ditemukan suara tambahan nafas seperti ronki yang menandakan adanya
edema paru, selain itu apabila terdapat gangguan jantunf maka akan
didapatkan bunyi suara tambahan pada jantung sepserti murmur.

2.5.3 Pemeriksaan abdominal


Sama halnya dengan pemeriksaan thorax, abdominal juga diperiksa
dengan inspeksi, palpasi perkusi, dan auskultasi, akan tetapi yang berbeda
auskultasi dilakukan duluan sebelum palpasi dan perkusi. Bila fokus
infeksi ada pada bagian abdomen maka biasanya terjadi distensi abdomen,
nyeri tekan, dan ada perubahan tekstur pada saat dilakukan palpasi.

2.5.4 Pemeriksaan pelvic dan sistem urinaria


Apabila fokus infeksi ada pada rongga pelvis dan sistem urinaria
maka biasanya aka nada nyeri costovertebral, nyeri rongga pelvis, dan
pada wanita kemungkinan adanya massa pada adnexa, dan mungkin juga
ditemukan secret pada serviks.

2.5.5 Tulang dan jaringan lunak sekitarnya

13
Apabila fokus infeksi ada pada tulang dan jaringan lunak maka
biasnaya ditemukan eritema dan edema local, jaringan nekrosis, nyeri pada
saat digerakkan, dan efusi pada sendi.

2.5.6 Kulit
Apabila fokus infeksi pada kulit maka dapat ditemukan ptechiae,
purpura, eritema, ulserasi, dan bullae.

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan syok sepsis dilakukan dengan
tujuan untuk mencari fokus infeksi, disfungsi organ apa saja yang telah terjadi,
serta mencari jenis agen patogen yang menginfeksi serta pengobatan yang efektif
untuk mengeliminasi patogen tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah :
2.6.1. Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis
Perhitungan jumlah sel darah putih dan hitung jenis merupakan
salah satu pemeriksaan laboratorium sederhana yang mampu mendeteksi
adanya infeksi, walaupun naiknya level sel darah putih tidak selalu
menggambarkan adanya infeksi. Apabila hasil perhitungan sel darah putih
menunjukkan lebih dari 15.000/ul atau jumlah neutrophil lebih tinggi dari
1500ul maka 50% kemungkinan pasien tersebut mengalami infeksi. Saat
jumlah sel darah putih lebih dari 50.000/ul atau kurang dari 300/ul maka
akan berdampak kepada prognosis dari pasien tersebut. Selain perhitungan
jumlah sel darah putih, pada pemeriksaan darah lengkap juga terdapat
pemeriksaan trombosit, dari hasil perhitungan jumlah trombosit klinisi
dapat melihat apakah pasien dengan syok sepsis memiliki resiko DIC atau
sudah jatu ke dalam kondisi tersebut.

14
2.6.2 Pemeriksaan koagulasi darah
Pemeriksaan koagulasi darah adalah pemeriksaan dengan
menghitung prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin
time (aPTT). Pasien sepsis maupun syok sepsis dapat melakukan
pemeriksaan ini jika terdapat kecurigaan pasien tersebut jatuh dalam
kondisi DIC. Pasien yang jatuh ke dalam kondisi DIC memiliki nilai PT
dan aPTT yang lebih tinggi dari normal.

2.6.3 Analisa kimia darah


Fungsi dari analisa kimia darah adalah untuk mengetahui kondisi
metabolik dari tubuh manusia. Pemeriksaan kimia darah yang biasanya
dilakukan adalah pemeriksaan kadar elektrolit (magnesium, calcium,
fosfat, natrium, kalium, chloride, dan bicarbonate), pemeriksaan gula
darah, serum laktat. Pada pemeriksaan kadar elektrolit pada kondisi syok
biasanya ditemukan penurunan natrium dan klorida karena kondisi
dehidrasi serta ditemukan juga menurunnya kadar bikarbonat yang
menandakan keadaan asidosis.
Pemeriksaan glukosa juga perlu dilakukan untuk menilai prognosis
pasien. Pasien dengan hyperglycemia memiliki prognosis yang lebih
buruk.

15
Pemeriksaan serum laktat mungkin dapat menjadi marker paling
baik dalam mendiagnosa gangguan perfusi pada syok sepsis. Pada saat
tubuh mengalami gangguan perfusi maka sel pada jaringan akan
mengalami kekurangan oksigen sehingga tubuh akan mengkompensasi
dengan melakukan metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat. Nilai
serum laktat lebih dari 2,5mmol/L akan menaikkan resiko mortalitas.
Semakin tinggi nilai serum laktat maka semakin tinggi resiko mortalitas
dari pasien tersebut. Pemeriksaan laktat juga dapat dilakukan sebagai
monitoring keberhasilan tatalaksana dari syok sepsis.

2.6.4 Pemeriksaan penunjang sesuai sitem yang terganggu


Bentuk pemeriksaan penunjang lain untuk mendeteksi disfungsi sistem
organ apa saja yang telah terjadi sesuai dengan manifestasi klinis daris
istem organ tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bila terjadi gangguan pada fungsi ginjal pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah ureum dan creatinine serum dan glomerulus filtration
rate serta mengecek jumlah albumin.
2. Bila terjadi gangguan pada hepar dapat dilakukan pemeriksaan serum
ALT dan AST.
3. Bila terjadi gangguan pada jantung dapat memeriksa protein jantung
CK-MB dan troponin. Selain pemeriksaan troponin dan CK-MB dapat
diperiksa juga dengan menggunakan rontgen untuk melihat apakah ada
tanda-tanda disfungsi pada kardiovaskular (edema cardiogenic).

16
4. Bila terjadi gangguan pada sisyem respirasi maka analisa yang dapat
dilakukan adalah analisa gas darah serta pemeriksaan saturasi oksigen.
Selain pemeriksaan laboratorium dilakukan juga pemeriksaan rontgen
untuk melihat bentuk manifestasi klinis pada paru pasien. Gambaran
rontgen yang paling sering ditemui adalah edema paru dan gambaran
ARDS.

17
2.6.5 Pemeriksaan kultur bakteri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui jenis patogen
penyebab sepsis dan syok sepsis guna diketahui tatalaksana yang efektif
untuk mengeliminasi patogen tersebut. Sampel kultur biasanya diambil
dari darah pasien yang dicurigai mengalami sepsis. Setelah mengkultur
jenis bakteri dilakukan juga uju resistensi antibiotik.

Gambar 2.6.1 Media kultur

2.7 Diagnosis
Tidak terdapat pemeriksaan pasti yang langsung mendiagnosa
sepsis maupun syok sepsis. Sepsis dan syok sepsis merupakan sekumpulan
gejala yang didefinisikan sebagai gabungan dari tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium yang abnormal, serta perubahan karakteristik dari tubuh
manusia. Oleh karena itu klinisi membuat suatu kriteria diagnosis yang
paling menggambarkan sepsis. Kriteria ini awalnya dibuat pada tahun
1991 yang isinya sebagai berikut:

18
Kriteria diagnosis yang dibuat pada tahun 1991 ini bersifat terlalu
sensitive, sehingga pasien dengan penyakit infeksi yang tidak memiliki
resiko sepsis juga dapat didiagnosis sebagai sepsis. Oleh karena itu kriteria
ini kemudian diperbaiki pada tahun 2015 dengan kriteria sebagai berikut:

Untuk menilai derajat keparahan dan prognosis pasien dilakukan penilaian


menggunakan Sequential Organ Failure Assesment (SOFA). Disfungsi organ
didiagnosis apabila skor SOFA lebih atau sama dengan dua. Berikut tabel skor
SOFA

19
2.8 Tatalaksana(26,27)
Pasien sepsis dan syok sepsis butuh perawatan medis di rumah sakit.
Pasien sepsis dan syok sepsis perlu dilakukan resusitasi awal dengan segera.
Pasien yang memiliki respon baik terhadap resusitasi awal dengan segera dan
tidak menunjukkan tanda-tanda gagal organ boleh dirawat di unit perawatan
umum sedangkan pasien yang tidak merespon baik pada resusitasi awal perlu
dirawat di ruang ICU karena perlu monitoring yang lebih sering.
2.8.1 Resusitasi awal di instalasi gawat darurat
1. Airway, Breathing, dan Sirkulasi
Jalan nafas dipatenkan dan pasien diberikan oksigenasi yang cukup
untuk mencegah terjadinya hipoventilasi. Diperiksa seluruh komponen
ABC tersebut lalu distabilkan. Dilakukan juga pemasangan monitor.

2. Pemasangan IV line
Pada kasus syok sepsis perlu dipasangkan dua jalur IV line dengan
nomor 16-18 karena pada pasien ini perlu diberikan cairan secara massif
dan pemberian antibiotik broad-spectrum.

20
3. Terapi Cairan
Terapi cairan pada pasien dengan syok sepsis sangat perlu
dilakukan untuk menaikkan tekanan darah pasien dengan mengganti cairan
intravaskuler dan juga untuk meminimalisir disfungsi organ oleh karena
hipoperfusi.
Terapi cairan yang diberikan adalah seperti berikut:
1. Memberikan cairan kristaloid (Ringer laktat) 30mL/kgBB dalam
30 menit.
2. Jika masih tidak terkompensasi maka pasien akan dibreikan koloid
(Albumin) untuk meminimalisir edema pemberian kristaloid yang
banyak.
3. Target akhir dari terapi cairan tersebut adalah : MAP pencapai
65mmHg

4. Pemberian Vasopressin:
Pemberian Vasopressin diberikan untuk menaikkan tekanan darah
dengan vasokonstriksi. Pada pasien dengan syok sepsis, pasien cenderung
mengalami vasodilatasi sehingga terjadi gangguan hemodinamik.
Pemberian vasopressor diberikan jika resusitasi cairan yang diberikan
sudah melebihi 4L cairan kristaloid atau sudah ada tanda-tanda volume
overload. Vasopressin yang diberikan adalah norepinephrine dengan dosis
0,1ug/kgBB/min atau dopamine dengan dosis 5ug/kgBB/min.

 Pemberian Norepinephrine : (BB: 50 kg)


o Bekerja dominan pada reseptor beta-1 adrenergik dan
alpha-1 adrenegik
o Dosis yang dibutuhkan : 0,1 mcg/kgBB/min 5mcg/min
o Sediaan : 4mg/4ml
o Pemberian:
 Diluted dalam 500 ml dextrose 5%
 4mg NE 500 ml Dextrose = 8 mcg/cc
 Jumlah drip/min = 5/8 X 20 drip = 12 drip

21
 Pemberian Dopamine : (BB:50 kg)
o Bekerja pada reseptor dopaminergic dan adrenergic
o Dosis yang dibutuhkan : 5 mcg/kgBB/min  250 mcg/min
o Sediaan : 200mg/5ml
o Pemberian:
 Diluted dalam 500 ml Dx 5%
 200 mg Dopamine  500ml Dx 5% = 400 mcg/cc
 Jumlah drip/min = 250/400 X 20 = 12 drip

Target atau evaluasi yang perlu dipehatikan setelah penanganan


pembeerian vasopressor dan cairran adalah MAP mencapai 65 mmHg dan
urine output 0,5-1 cc/kgBB serta serum lactate menurun.

6. Intubasi dan ventilasi mekanik


Intubasi perlu dilakukan pada pasien sepsis dengan gangguan
respirasi.

5. Pemasangan kateter urin


Pemasangan kateter urin dilakukan untuk melihat urine output
pasien guna menilai resusitasi cairan yang diberikan sudah cukup atau
belum.

2.8.2 Pemberian antimikroba


Pemberian antimikroba sangat penting bagi pasien yang
mengalami sepsis dan syok sepsis. Surviving Sepsis Campaign
merekomendasikan untuk menggunakan lebih dari satu jenis antimikroba.
Biasanya pemberian antimikroba dilakukan 7-10 hari tetapi apabila jenis
kuman dari hasil kultur merupakan spesies multi-drug resistant
(Acinetobacter dan pseudomonas) maka diperlukan waktu yang lebih.
Pemilihan antibiotic yang diberikan harus sesuai dengan hasil kultur darah
pasien, oleh sebab itu sebelum hasil kultur darah keluar pasien diberikan
antimikroba broad spectrum terlebih dahulu.

22
2.9 Prognosis
Prognosis pada pasien syok sepsis biasanya buruk. Hal ini dikarenakan
pada saat keadaan syok pasien sudah mengalami gagal organ dalam jumlah
banyak, sehingga sulit untuk mengembalikan fungsi organ tersebut secara
optimal. Prognosis pasien juga akan semakin buruk jika ditambah dengan faktor-
faktor co-morbid pasien seperti diabetes, keganasan, immunosupresi, dan lain-
lain, faktor komorbid pasien dapat memperburuk prognosis karena jumlah sitokin
inflamasi dalam tubuh pasien dalam keadaan komorbid dapat lebih tinggi
sehingga organ dan sel yang rusak menjadi lebih banyak.

23
BAB III
KESIMPULAN

Sepsis merupakan kondisi dimana terjadi disfungsi dari sistem inflamasi


dan sistem imun dalam melawan infeksi patogen. Sepsis dapat menyebabkan
teerjadinya gangguan hemodinamik yang signifikan diakibatkan oleh karena
sitokin proinflamasi yang diproduksi secara berlebihan. Kondisi sepsis dengan
gangguan heemodinamik disebut sebagai syok sepsis. Syok sepsis merupakan
syok yang masuk ke dalam kategori syok distributif dikarenakan gangguan
hemodinamik pada pasien sebagian besar terjadi akibat gangguan vaskuler yaitu
vasodilatasi. Syok sepsis merupakan kondisi emergensi yang harus segera
ditangani karena memiliki resiko mortalitas yang tinggi.
Diagnosis syok sepsis dapat ditegakkan dengan memenuhi kriteria sepsis
yang ditambah dengan manifestasi gangguan hemodinamik. Kriteria sepsis sendiri
adalah adanya fokus infeksi yang ditambah dengan dua kriteria dari berikut: 1.
Leukositosis (>12,000 /mm3) atau leukopenia (<4,000/mm3); 2. Suhu tubuh
>38oC atau <36oC; 3. HR > 90x/min; dan 4. RR > 20x/min. Bentuk manifestasi
dari syok sepsis sendiri ada dua yaitu warm shock dan cold shock.
Terapi awal atau eemergensi yang paling penting untuk dilakukan adalah
dengan meengevaluasi ABC serta meemberikan terapi cairan dalam jumlah
massif. Jika masih tidak teerkompensasi maka perlu diberikan vasopressor untuk
menyempitkan pembuluh darah. Pasien juga kemudian akan diberikan terapi
empiris berupa pemberian antibiotic spektrum luas.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Hotchkiss RS, Moldawer LL, Opal SM, Reinhart K, Turnbull IR, Vincent JL.
Sepsis and septic shock. Nat Rev Dis Primers. 2016;2:16045. Published 2016 Jun
30. doi:10.1038/nrdp.2016.45

2. Singer, M. et al. The third international consensus conference on sepsis and septic
shock (Sepsis‐3). JAMA 315, 801–810 (2016).
The third consensus update of the definitions
and clinical criteria for sepsis and septic shock. Although there has been an
important effort to improve the understanding of sepsis, controversy remains as to
whether these new criteria will be useful or practical as early warning signs,
especially in low-income and middle-income countries where it is often difficult
to obtain the required measures of organ injury.

3. Majno, G. The ancient riddle of σηψιζ (sepsis). J. Infect. Dis. 163, 937–945
(1991).

4. Matzinger, P. Tolerance, danger, and the extended family. Annu. Rev. Immunol.
12, 991–1045 (1994).

5. Deutschman, C. S. & Tracey, K. J. Sepsis: current dogma and new perspectives.


Immunity 40, 463–475 (2014).

6. Kaukonen, K. M., Bailey, M., Suzuki, S., Pilcher, D.& Bellomo, R. Mortality
related to severe sepsis and septic shock among critically ill patients in Australia
and New Zealand, 2000-2012. JAMA 311, 1308-1316 (2014). This is a
retrospective analysis of an administrative database from >100,000 patients with
recorded sepsis or septic shock. Mortality significantly improved in patients with
both severe sepsis and septic shock, but did so at rates that were comparable to
other diagnoses.

7. Fleischmann, C. et al. Assessment of global incidence and mortality of hospital‐


treated sepsis — current estimates and limitations. Am. J. Respir. Crit. Care Med.
193, 259–272 (2016). This population-level epidemiological data from 15
international databases over the past 36 years demonstrate a high level of sepsis
incidence in developed countries. By contrast, the study emphasizes the paucity of
sepsis data from the developing world.

8. Gordon, M. A. et al. Bacteraemia and mortality among adult medical admissions


in Malawi predominance of non‐typhi salmonellae and Streptococcus
pneumoniae. J. Infect. 42, 44–49 (2001).

9. Global Burden of Disease Study 2013 Collaborators. Global, regional, and


national incidence, prevalence, and years lived with disability for 301 acute and
chronic diseases and injuries in 188 countries, 1990– 2013: a systematic analysis
for the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet 386, 743–800 (2015).

25
10. van den Boogaard, W., Manzi, M., Harries, A. D. & Reid, A. J. Causes of
pediatric mortality and case‐fatality rates in eight Medecins San Frontieres‐
supported hospitals in Africa. Public Health Action 2, 117–121 (2012).

11. Martin, G. S., Mannino, D. M., Eaton, S. & Moss, M. The epidemiology of sepsis
in the United States from 1979 through 2000. N. Engl. J. Med. 348, 1546–1554
(2003)

12. Gaieski, D. F., Edwards, J. M., Kallan, M. J.


& Carr, B. G. Benchmarking the incidence and mortality of severe sepsis in the
United States. Crit. Care Med. 41, 1167–1174 (2013). The incidence and outcome
of sepsis were estimated using four different published methods; depending on the
methods of data abstraction, the incidence of sepsis in the United States could
vary as much as 3.5-fold.

13. Levy MM, Artigas A, Phillips GS, Rhodes A, Beale R, Osborn T, et al. Outcomes
of the Surviving Sepsis Campaign in intensive care units in the USA and Europe:
a prospective cohort study. Lancet Infect Dis. 2012 Dec. 12(12):919-24.

14. Kotb M, Norrby-Teglund A, McGeer A, El-Sherbini H, Dorak MT, Khurshid A,


et al. An immunogenetic and molecular basis for differences in outcomes of
invasive group A streptococcal infections. Nat Med. 2002 Dec. 8(12):1398-404.

15. Nooh MM, Nookala S, Kansal R, Kotb M. Individual genetic variations directly
effect polarization of cytokine responses to superantigens associated with
streptococcal sepsis: implications for customized patient care. J Immunol. 2011
Mar 1. 186(5):3156-63. 

16. Takeuchi, O. & Akira, S. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell
140, 805–820 (2010).

17. Tang,D.,Kang,R.,Coyne,C.B.,Zeh,H.J.&Lotze, M. T. PAMPs and DAMPs: signal


0s that spur autophagy and immunity. Immunol. Rev. 249, 158–175 (2012).

18. Bierhaus, A. & Nawroth, P. P. Modulation of the vascular endothelium during


infection — the role of NF‐kappa B activation. Contrib. Microbiol. 10, 86–105
(2003).

19. Parikh, S. M. Dysregulation of the angiopoietin–Tie‐2 axis in sepsis and ARDS.


Virulence 4, 517–524 (2013).

20. Guo, R. F. & Ward, P. A. Role of C5a in inflammatory responses. Annu. Rev.
Immunol. 23, 821–852 (2005).

21. Ward, P. A. The harmful role of C5a on innate immunity in sepsis. J. Innate
Immun. 2, 439–445 (2010).

26
22. Deutschman, C. S. & Tracey, K. J. Sepsis: current dogma and new perspectives.
Immunity 40, 463–475 (2014).

23. Opal, S. M. & van der Poll, T. Endothelial barrier dysfunction in septic shock. J.
Intern. Med. 277, 277–293 (2015).

24. Karpman, D. et al. Complement interactions with blood cells, endothelial cells
and microvesicles in thrombotic and inflammatory conditions. Adv. Exp. Med.
Biol. 865, 19–42 (2015).

25. Levi, M., Schultz, M. & van der Poll, T. Sepsis and thrombosis. Semin. Thromb.
Hemost. 39, 559–566 (2013).

26. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe
sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013 Feb. 41(2):580-637.

27. [Guideline] Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis
Campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2008. Crit Care Med. 2008 Jan. 36(1):296-327.

27

Anda mungkin juga menyukai