Dalam kehidupan kaum muslimin, al – Qur’an dan tafsirnya menempati kedudukan yang sangat penting. Pentingnya al – Qur’an berkaitan dengan keberadaan dan fungsinya sebagai sumber utama ajaran islam dan kitab petunjuk yang paling otoritatif. Adapun pentingnya tafsir al – Qur’an berkaitan dengan tujuan dan manfaatnya sebagai semacam guidebook yang bersifat operasional – aplikatif bagi pesan – pesan suci wahyu Tuhan itu, sekaligus menjadi “jalan” yang dapat mengantarkan kaum muslimin menuju kebahagiaan hidup sejati. Dalam kaitan ini kemudian dapat dipahami bahwa al – Qur’an dan tafsirnya merupakan dua entitas yang berbeda, karena eksistensi yang pertama tidak dapat digantikan oleh kedua, begitu pula sebaliknya. Meskipun eksistensi al – Qur’an berbeda dengan tafsirnya, tetapi hubungan antara keduanya sangat lekat, lebih karena eksistensi yang kedua bergantung pada eksistensi yang pertama, dan tidak sebaliknya. Hal inilah yang seringkali menyebabkan kaum muslimin kehilangan kesadaran untuk membedakan antara keduanya, dan sebaliknya mereka cenderung memandang keduanya sebagai sesuatu yang sama begitu saja. Kecenderungan umum seperti itu biasanya muncul pada tataran praksis, yakni ketika al – Qur’an dijadikan dasar aktivitas. Disini sering terjadi campur aduk dan tumpang tindih antara yang sakral dan mutlak sehingga tidak jarang apa yang dinyatakan dalam praksis sebagai al – Qur’an. Salah satu sebab munculnya fenomena tumpang tindih antara yang sakral dan yang profan tersebut, menurut Amin Abdullah adalah “tidak adanya metodologi studi keislaman yang mampu memberikan klarifikasi akademis secukupnya terhadap kenyataan campur aduknya wilayah normativitas – sakralitas dengan historisitas – profanitas dalam keagamaan kontemporer. Dapat dipahami mengapa al – Qur’an yang sama tetapi dalam praksis pengalamannya berbeda – beda. Hal ini dimungkinkan karena tafsir al – Qur’an merupakan hasil dari proses dialog antara manusia dengan realitas disatu pihak, dan dialognya dengan al – Qur’an di pihak lain. Proses dialog merupakan konsekuensi logis dari eksistensi al – Qur’an sebagai kalam Allah yang telah membumikan dan menjelma ke dalam bentuk teks sehingga untuk memahami maksud dan tujuan pesan – pesan sucinya menurut dilakukan dialog dengan teks al – Qur’an itu. Dalam proses dialog, interprestasi (yang dalam ilmu keislaman disamakan dengan istilah tafsir) merupakan salah satu mekanisme kebudayaan yang sangat penting dalam memproduksi pengetahuan, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui upaya – upaya penafsiran yang dilakukan oleh orang – orang yang memenuhi syarat – syarat tertentu, pesan – pesan wahyu Tuhan yang termuat dalam al – Qur’an dalam ditransformasikan kepada masyarakat dari generasi pada tataran praksis, baik yang bersifat konseptual – teroris maupun operasional – aplikatif. Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ulama, keberadaan tafsir al – Qur’an tidak bisa lepas dari peran akal, potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Jika segala sesuatu yang dihasilkan atau diperbuat oleh manusia disebut kebudayaan, maka tafsir al – Qur’an sebagai hasil kerja akal manusia pada dasarnya merupakan fenomena kebudayaan. Pemahaman tersebut didasarkan pada kebudayaan sebagai pencipta, rasa dan karsa manusia, yang aktualisasinya hadir dalam tiga wujud. Pertama, kompleks ide – ide, gagasan, nilai, norma, dan aturan – aturan. Kedua, kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Ketiga, benda – benda hasil karya manusia. Wujud pertama disebut “kebudayaan ideal” , wujud kedua disebut “sistem sosial” , dan wujud ketiga disebut “kebudayaan fisik”. Dalam konteks inilah hasil penafsiran al – Qur’an yang telah didokumentasikan dalam berbagai karya tafsir merupakan sumber data yang dapat dianalisis dalam persepektif ilmu pengetahuan budaya. Pada saat manusia melakukan penafsiran terhadap agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya – primordinal yang telah melekat di dalam dirinya. Dengan demikian terjadi pertautan antara agama dan realitas budaya, dan ini dimungkinkan karena, agama tidak berada dalam realitas budaya berarti mengingkari realitas agama itu sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia dan yang pasti dilingkari oleh kebudayaan.
B. Unsur Kebudayaan dalam Tafsir al – Qur’an
Konsekuensi logis dari keberadaan tafsir al – Qur’an sebagai fenomena kebudayaan adalah munculnya keragaman dalam tafsir al – Qur’an, Baik bentuk maupun corak. Munculnya keragaman itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, lebih karena peran manusia sebagai pelaku utama dalam proses penafsiran al – Qur’an tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan keragaman bentuk dan corak karya tafsir al – Qur’an itu. Faktor tersebut tidak berdiri sendiri, dalam arti satu faktor paling dominan, tetapi bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses penafsiran. Salah satu faktor yang pengaruhnya sangat besar terhadap proses penafsiran al – Qur’an adalah latar belakang sosio – budaya mufassir. Hal ini dapat dipahami mengingat tafsir al – Qur’an merupakan hasil konstruksi intelektual seorang musafir dalam menjelaskan pesan – pesan wahyu Tuhan yang terkandung dalam lingkungan sosial dan budaya dengan kompleksitas nilai – nilai yang melengkapinya. Inilah salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa interprestasi atau penafsiran terhadap al – Qur’an yang sama tetapi hasilnya dapat berbeda – beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konsep kebudayaan itu sendiri mencakup aspek yang amat luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Untuk kepentingan analisis konsep kebudayaan tersebut dapat dibatasi cakupannya pada unsur – unsur universal yang ada dalam setiap kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, unsur – unsur universal setiap kebudayaan didunia meliputi tujuh macam, yaitu 1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan Urut – urutan ketujuh unsur universal kebudayaan itu sekaligus menggambarkan tingkat kesukarannya dalam menerima perubahan atau pengaruh yang disebabkan oleh kontak dengan kebudayaan lain. Keberadaan bahasa yang bahasa menempati posisi penting dalam konteks kebudayaan, menjadikan tafsir al – Qur’an dalam perwujudannya sebagai wacana bahasa (teks tertulis) tidak dapat dilepaskan dari nilai – nilai budaya yang terkandung dalam bahasa yang dipergunakannya. Hal ini merupakan sesuatu yang logis, karena bahasa bukanlah medium netral yang dapat digunakan dalam pembentukan dan transfer nilai, makna, dan pengetahuan – pengetahuan yang berada diluar bahasa itu sendiri. Penggunaan suatu bahasa mesti berorientasi pada fungsinya sebagai penentu makna – makna yang bisa atau tidak bisa dipakai dalam situasi dan kondisi tertentu oleh masyarakat penggunaan bahasa tersebut. Hal ini karena budaya berkaitan dengan pertanyaan – pertanyaan tentang makna – makna social, yaitu beragam cara yang digunakan untuk memahami dunia, dan muncul lewat tanda – tanda, terutama tanda – tanda bahasa. Jika bahasa merupakan medium bahasa yang digunakan dalam pembentukan dan penyampaian makna – makna cultural, maka bahasa memiliki kedudukan penting untuk memahami kebudayaan dan konstruksi pengetahuan manusia. Bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena bahasa dapat membentuk realitas, atau dapat pula sebaliknya, bahasa merupakan refleksi dari realitas. Berbicara tentang bahasa tidak mungkin terlepas dari budaya dan realitas masyarakat pengguna bahasa tersebut. Hal ini menurut Nasr Hamid Abu Zaid bahkan berlaku pada teks al-Qur’an ketika ia diposisikan sebagai wacana kebahasaan. Salah satu system bahasa yang tidak bisa dipisahkan dari budaya dan realitas masyarakat penggunanya adalah bahasa jawa.