Anda di halaman 1dari 5

NAMA : SHOLIQUL AMRI / 145131184 / PBS 2E

Judul buku: Al – Qur’an dan Budaya Jawa

Penulis : Dr.imam muhsin M.Ag

Penerbit : elsaq press

Tahun terbit : 2013

Tempat terbit : depok, seleman, yogyakarta

A. Tafsir al – Qur’an sebagai Fenomena Kebudayaan


Dalam kehidupan kaum muslimin, al – Qur’an dan tafsirnya menempati kedudukan
yang sangat penting. Pentingnya al – Qur’an berkaitan dengan keberadaan dan fungsinya
sebagai sumber utama ajaran islam dan kitab petunjuk yang paling otoritatif. Adapun
pentingnya tafsir al – Qur’an berkaitan dengan tujuan dan manfaatnya sebagai semacam
guidebook yang bersifat operasional – aplikatif bagi pesan – pesan suci wahyu Tuhan itu,
sekaligus menjadi “jalan” yang dapat mengantarkan kaum muslimin menuju kebahagiaan
hidup sejati. Dalam kaitan ini kemudian dapat dipahami bahwa al – Qur’an dan tafsirnya
merupakan dua entitas yang berbeda, karena eksistensi yang pertama tidak dapat
digantikan oleh kedua, begitu pula sebaliknya. Meskipun eksistensi al – Qur’an berbeda
dengan tafsirnya, tetapi hubungan antara keduanya sangat lekat, lebih karena eksistensi
yang kedua bergantung pada eksistensi yang pertama, dan tidak sebaliknya. Hal inilah
yang seringkali menyebabkan kaum muslimin kehilangan kesadaran untuk membedakan
antara keduanya, dan sebaliknya mereka cenderung memandang keduanya sebagai
sesuatu yang sama begitu saja. Kecenderungan umum seperti itu biasanya muncul pada
tataran praksis, yakni ketika al – Qur’an dijadikan dasar aktivitas. Disini sering terjadi
campur aduk dan tumpang tindih antara yang sakral dan mutlak sehingga tidak jarang apa
yang dinyatakan dalam praksis sebagai al – Qur’an. Salah satu sebab munculnya
fenomena tumpang tindih antara yang sakral dan yang profan tersebut, menurut Amin
Abdullah adalah “tidak adanya metodologi studi keislaman yang mampu memberikan
klarifikasi akademis secukupnya terhadap kenyataan campur aduknya wilayah
normativitas – sakralitas dengan historisitas – profanitas dalam keagamaan kontemporer.
Dapat dipahami mengapa al – Qur’an yang sama tetapi dalam praksis
pengalamannya berbeda – beda. Hal ini dimungkinkan karena tafsir al – Qur’an
merupakan hasil dari proses dialog antara manusia dengan realitas disatu pihak, dan
dialognya dengan al – Qur’an di pihak lain. Proses dialog merupakan konsekuensi logis
dari eksistensi al – Qur’an sebagai kalam Allah yang telah membumikan dan menjelma
ke dalam bentuk teks sehingga untuk memahami maksud dan tujuan pesan – pesan
sucinya menurut dilakukan dialog dengan teks al – Qur’an itu.
Dalam proses dialog, interprestasi (yang dalam ilmu keislaman disamakan dengan
istilah tafsir) merupakan salah satu mekanisme kebudayaan yang sangat penting dalam
memproduksi pengetahuan, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui upaya –
upaya penafsiran yang dilakukan oleh orang – orang yang memenuhi syarat – syarat
tertentu, pesan – pesan wahyu Tuhan yang termuat dalam al – Qur’an dalam
ditransformasikan kepada masyarakat dari generasi pada tataran praksis, baik yang
bersifat konseptual – teroris maupun operasional – aplikatif. Berdasarkan definisi yang
dikemukakan para ulama, keberadaan tafsir al – Qur’an tidak bisa lepas dari peran akal,
potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Jika
segala sesuatu yang dihasilkan atau diperbuat oleh manusia disebut kebudayaan, maka
tafsir al – Qur’an sebagai hasil kerja akal manusia pada dasarnya merupakan fenomena
kebudayaan.
Pemahaman tersebut didasarkan pada kebudayaan sebagai pencipta, rasa dan karsa
manusia, yang aktualisasinya hadir dalam tiga wujud. Pertama, kompleks ide – ide,
gagasan, nilai, norma, dan aturan – aturan. Kedua, kompleks aktivitas kelakuan berpola
manusia dalam masyarakat. Ketiga, benda – benda hasil karya manusia. Wujud pertama
disebut “kebudayaan ideal” , wujud kedua disebut “sistem sosial” , dan wujud ketiga
disebut “kebudayaan fisik”. Dalam konteks inilah hasil penafsiran al – Qur’an yang telah
didokumentasikan dalam berbagai karya tafsir merupakan sumber data yang dapat
dianalisis dalam persepektif ilmu pengetahuan budaya.
Pada saat manusia melakukan penafsiran terhadap agama, maka mereka dipengaruhi
oleh lingkungan budaya – primordinal yang telah melekat di dalam dirinya. Dengan
demikian terjadi pertautan antara agama dan realitas budaya, dan ini dimungkinkan
karena, agama tidak berada dalam realitas budaya berarti mengingkari realitas agama itu
sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia dan yang pasti dilingkari oleh
kebudayaan.

B. Unsur Kebudayaan dalam Tafsir al – Qur’an


Konsekuensi logis dari keberadaan tafsir al – Qur’an sebagai fenomena kebudayaan
adalah munculnya keragaman dalam tafsir al – Qur’an, Baik bentuk maupun corak.
Munculnya keragaman itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, lebih karena
peran manusia sebagai pelaku utama dalam proses penafsiran al – Qur’an tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan keragaman bentuk dan corak karya tafsir al – Qur’an
itu. Faktor tersebut tidak berdiri sendiri, dalam arti satu faktor paling dominan, tetapi
bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses penafsiran.
Salah satu faktor yang pengaruhnya sangat besar terhadap proses penafsiran al –
Qur’an adalah latar belakang sosio – budaya mufassir. Hal ini dapat dipahami mengingat
tafsir al – Qur’an merupakan hasil konstruksi intelektual seorang musafir dalam
menjelaskan pesan – pesan wahyu Tuhan yang terkandung dalam lingkungan sosial dan
budaya dengan kompleksitas nilai – nilai yang melengkapinya. Inilah salah satu hal yang
dapat menjelaskan mengapa interprestasi atau penafsiran terhadap al – Qur’an yang sama
tetapi hasilnya dapat berbeda – beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Konsep kebudayaan itu sendiri mencakup aspek yang amat luas karena meliputi
hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Untuk kepentingan analisis
konsep kebudayaan tersebut dapat dibatasi cakupannya pada unsur – unsur universal
yang ada dalam setiap kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, unsur – unsur universal
setiap kebudayaan didunia meliputi tujuh macam, yaitu
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Urut – urutan ketujuh unsur universal kebudayaan itu sekaligus menggambarkan tingkat
kesukarannya dalam menerima perubahan atau pengaruh yang disebabkan oleh kontak
dengan kebudayaan lain.
Keberadaan bahasa yang bahasa menempati posisi penting dalam konteks
kebudayaan, menjadikan tafsir al – Qur’an dalam perwujudannya sebagai wacana bahasa
(teks tertulis) tidak dapat dilepaskan dari nilai – nilai budaya yang terkandung dalam
bahasa yang dipergunakannya. Hal ini merupakan sesuatu yang logis, karena bahasa
bukanlah medium netral yang dapat digunakan dalam pembentukan dan transfer nilai,
makna, dan pengetahuan – pengetahuan yang berada diluar bahasa itu sendiri.
Penggunaan suatu bahasa mesti berorientasi pada fungsinya sebagai penentu makna –
makna yang bisa atau tidak bisa dipakai dalam situasi dan kondisi tertentu oleh
masyarakat penggunaan bahasa tersebut. Hal ini karena budaya berkaitan dengan
pertanyaan – pertanyaan tentang makna – makna social, yaitu beragam cara yang
digunakan untuk memahami dunia, dan muncul lewat tanda – tanda, terutama tanda –
tanda bahasa.
Jika bahasa merupakan medium bahasa yang digunakan dalam pembentukan dan
penyampaian makna – makna cultural, maka bahasa memiliki kedudukan penting untuk
memahami kebudayaan dan konstruksi pengetahuan manusia. Bahasa dan masyarakat
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena bahasa dapat membentuk realitas,
atau dapat pula sebaliknya, bahasa merupakan refleksi dari realitas. Berbicara tentang
bahasa tidak mungkin terlepas dari budaya dan realitas masyarakat pengguna bahasa
tersebut. Hal ini menurut Nasr Hamid Abu Zaid bahkan berlaku pada teks al-Qur’an
ketika ia diposisikan sebagai wacana kebahasaan.
Salah satu system bahasa yang tidak bisa dipisahkan dari budaya dan realitas
masyarakat penggunanya adalah bahasa jawa.

Anda mungkin juga menyukai