Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA Tn. MYTAR DENGAN


LAPARATOMY
TEKNIK ANESTESI UMUM DI RUMAH SAKIT ISLAM BANJARNEGARA

Disusun Oleh:
Nama : Dzawi Nurjanah
NIM :190106162

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(...........................................…) (...........................................…)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


ANESTESIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2021
KONSEP TEORI PENYAKIT

A. PENGERTIAN TUMOR KOLON


Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada
tubuh, dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas (FKUI,
2008). Tumor (berasal dari bahasa latin, yang berarti "bengkak"), merupakan
salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun, istilah ini sekarang digunakan
untuk menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang tidak normal.
Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignant) atau jinak (benign)
(Brooker, 2001). Jadi, Tumor kolon (usus) adalah pertumbuhan biologikal
jaringan yang tidak normal yang berada di dalam kolon.

B. ETIOLOGI TUMOR KOLON


1. Kelainan kongenital : Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa
sejak lahir.
2. Genetik
3. Usia
4. Rangsangan fisik berulang
Gesekan atau benturan pada salah satu bagian tubuh yang berulang
dalam waktu yang lama merupakan rangsangan yang dapat mengakibatkan
terjadinya kanker pada bagian tubuh tersebut, karena luka atau cedera pada
tempat tersebut tidak sempat sembuh dengan sempurna.
6. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang fungsinya
adalah mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu. Pada
beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara
berlebihan dapat menyebabkan peningkatan terjadinya beberapa jenis
kanker seperti payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin
pria).
7. Infeksi
8. Gaya hidup
9. Karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi)
C. MANIFESTASI KLINIS ( TANDA DAN GEJALA) TUMOR KOLON
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit dan fungsi
segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah perubahan
kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua.
Gejala dapat juga mencakup anemia yang tidak diketahui penyebabnya,
anoreksia, penurunan berat badan dan keletihan. Gejala yang sering dihubungkan
dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri dangkal abdomen dan melena (feses hitam
seperti ter). Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kiri adalah yang
berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan kram, penipisan feses,
konstipasi dan distensi) serta adanya darah merah segar dalam feses. Gejala yang
dihubungkan dengan lesi rektal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap setelah
defekasi, konstipasi dan diare bergantian serta feses berdarah. Ada tujuh gejala
yang perlu diperhatikan dan diperiksakan lebih lanjut ke dokter untuk
memastikan ada atau tidaknya kanker, yaitu :
1. Waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau
gangguan.
2. Alat pencernaan terganggu dan susah menelan.
3. Suara serak atau batuk yang tak sembuh-sembuh.
4. Payudara atau di tempat lain ada benjolan (tumor).
5. Darah atau lendir yang abnormal keluar dari tubuh.
6. Adanya koreng atau borok yang tak mau sembuh-sembuh

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC TUMOR KOLON


Bersamaan dengan pemeriksaan abdomen dan rektal, prosedur diagnostik
paling penting untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi, dan kolonoskopi. Sebanyak 60% dari kasus kanker
kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoidoskopi dengan biopsi atau apusan
sitologi

E. PENATALAKSANAAN TUMOR KOLON


1. Penatalaksanaan Medis (Terapi)
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan
nasogastrik. Apabila terdapat perdarahan yang cukup bermakna, terpai komponen
darah dapat diberikan.Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi
yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti
berhasil dalam pentahapan kanker kolorektal pada periode praoperatif. Metode
pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke:
a. Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa
b. Kelas B – penetrasi melalui dinding usus
c. Kelas C – Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional
d. Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas
Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam bentuk
pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan biasanya diberikan selain pengobatan
bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.Terapi
ajufan standar yang diberikan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C adalah
program 5-FU/ Levamesole. Pasien dengan kanker rektal Kelas B dan C
diberikan 5-FU dan metil CCNU dan dosis tinggi radiasi pelvis.Terapi radiasi
sekarang digunakan pada periode praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif
untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan, dan
untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor yang tidak dioperasi atau
tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk menghilangkan gejala secara
bermakna.Alat radiasi intrakavitas yang dapat diimplantasikan dapat
digunakan.Data paling baru menunjukkan adanya pelambatan periode
kekambuhan tumor dan peningkatan waktu bertahan hidup untuk pasien yang
mendapat beberapa bentuk terapi ajufan.
2. Penatalaksanaan Bedah
Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebnayakan kanker kolon dan
rektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada
satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan
polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk meminimalkan
luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai
pedoman dalam menbuat keputusan di kolon; massa tumor kemudian di eksisi.
Laser Nd: YAG telah terbukti efektif pada beberapa lesi. Reseksi usus
diindikasikan ntuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B serta lesi C.
Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker koon kelas D. Tujuan
pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila tumor telah menyebar dan
mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan
tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan pilihan adalah
sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993) :
a. Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisis pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
b. Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter
anal)
c. Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis
serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi
usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
d. Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi
obstruksi yang tidak dapat direseksi)

F. ANATOMI FISIOLOGI KOLON


Merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus.
Memiliki panjang 1,5 meter, dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar
dibagi menjadi 3 daerah, yaitu : Kolon asenden, Kolon Transversum, dan Kolon
desenden. Fungsi kolon adalah :
a. Menyerap air selama proses pencernaan.
b. Tempat dihasilkannya vitamin K, dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil
simbiosis dengan bakteri usus, misalnya E.coli.
c. Membentuk massa feses
d. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari tubuh.
Pengeluaran feses dari tubuh defekasi.
Sigmoid Adalah bagian kolon yang berhubungan dengan rektum disebut kolon
sigmoid
Rektum dan Anus
Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang
lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses
sudah siap dibuang maka otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan
penutupan anus. Otot spinkter yang menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan
otot lurik. Rektum adalah suatu ruang delapan inch yang menghubungkan usus
besar ke dubur (anus). Rektum:
• Menerima feces dari usus besar
• Membiarkan seseorang mengetahui ada feces yang harus
dikeluarkan
• Menahan feces sampai pengeluaran terjadi

G. KOMPLIKASI TUMOR KOLON


Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau
lengkap.Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar
kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan mengakibatkan
pembentukan abses. Peritonitis dan atau sepsis dapat menimbulkan syok.

PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi, secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr
pada tahun 1846.Anestesi, secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang
bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi, anestesi umum menyebabkan
hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien
sadar pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan yang dilakukan (Pramono,
2014). Metode atau teknik anestesi umum dibagi menjadi 3 yaitu teknik anestesi
umum inhalasi, anestesi umum intravena dan anestesi umum imbang (Mangku
dan Senapathi, 2010).
Pemberian anestesi umum dengan teknik inhalasi, intravena maupun imbang
mempunyai risiko komplikasi pada pasien. Kematian merupakan risiko
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca pemberian anestesi. Kematian
yang disebabkan anestesi umum terjadi < 1:100.000 kasus, selain kematian ada
komplikasi lain yaitu serangan jantung, infeksi paru, stroke, trauma pada gigi atau
lidah (Pramono, 2014).
3. Teknik Anestesi Umum

Teknik anestesi umum menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat


dilakukan dengan 3 teknik, yaitu
1) Anestesi umum inhalasi
Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Obat-obat
anestesi umum di antaranya nitrous oksida (N2O), halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, dan desfluran. Berdasarkan khasiatnya, obat-obat tersebut
dikombinasikan saat digunakan. Kombinasi obat tersebut diatur sebagai berikut
• N2O + halotan atau,
• N2O + isofluran atau,
• N2O + desfluran atau,
• N2O + enfluran atau,
• N2O + sevofluran.
Pemakaian N2O harus dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan 70 :
30 atau 60 : 40 atau 50 : 50. Menurut Goodman & Gilman (2012), cara pemberian
anestesi dengan obat-obatan inhalasi dibagi menjadi empat sebagai berikut
a) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk zat anestetik yang menguap, peralatan
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
ditempelkan di depan hidung sehingga kadar zat anestetik dihirup tidak
diketahui karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b) Semi open drop method
Cara ini hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan pasien sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia,
untuk menghindari hal tersebut, pada masker dialirkan oksigen melalui pipa
yang ditempatkan di bawah masker.
c) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat
ditentukan kadarnya, kemudian dilewatkan pada penguap (vaporizer)
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Sesudah dihisap pasien,
karbondioksida akan dibuang ke udara luar. Keuntungan cara ini, kedalaman
anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu zat anestetik
sehingga hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.

d) Closed method
Cara ini hampir sama dengan semi closed, hanya udara ekspansi
dialirkan melalui absorben (soda lime) yang dapat mengikat karbondioksida,
sehingga udara yang mengandung zat anestetik dapat digunakan lagi.
2) Anestesi umum intravena
Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Obat-obat anestesia intravena di antaranya ketamin HCl, tiopenton,
propofol, diazepam, deidrobenzperidol, midazolam, petidin, morfin, fentanil/
sufentanil.
3) Anestesi imbang
Teknik anestesi dengan menggunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi
secara optimal dan berimbang.
4. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi :
- Menggunakan oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa
pelumpuh otot atau rumatan dengan obat intravena kontinyu, menggunakan
dosis sesuai umur dan berat badan.
- Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama
prosedur tindakan.
- Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi.
- Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan.
- Dapat dikombinasi dengan anestesi regional sesuai kebutuhan, setelah
dilakukan anestesi umum.
- Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan
posisi endotrakheal tube selama operasi berlangsung secara berkala.
- Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan
cairan pada saat prosedur tindakan.
- Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi.
- Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur
tindakan.

5. Resiko Penggunaan Anestesi Umum


Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan tanpa keluhan.
Sebagian besar pasien mengalami pemulihan dari anestesi tanpa kejadian-
kejadian khusus tetapi sejumlah kecil pasien dengan jumlah yang tidak dapat
diperkirakan mengalami komplikasi (Gwinnutt, 2011). Komplikasi pascaanestesi
umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2010)
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas) paling sering dialami pada pasien pascaanestesi umum
yang belum sadar karena lidah jatuh menutup faring atau edema laring.
Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang
sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau sekret.
Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea, hiperkarbia)
atau saturasi O2 yang menurun (hipoksemia) yang disebabkan
pernapasan pasien yang lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan
lambat dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dan dangkal
karena pelumpuh otot yang masih bekerja. Hipoventilasi yang berlanjut
akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang berakhir dengan
depresi sirkulasi dan henti jantung.
2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien
dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat
disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan
infus berlebihan, atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia,
hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran
isian balik vena (venous return) menurun yang disebabkan perdarahan,
terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi miokardium
kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus
segera ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut
dengan hipoksemia dan kerusakan jaringan.
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien yang
menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih memilih
untuk merasakan nyeri dibandingkan mual dan muntah pasca bedah
(Gwinnutt, 2011). Mual dan muntah pasca bedah merupakan efek
samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum.
Insidensinya paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan dengan
agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee, 2015). Setiap tiga sampai
empat pasien mengalami mual dan muntah pasca bedah setelah anestesi
umum (Apfel, Stoecklein, dan Lipfert, 2005). Risiko mual muntah pasca
bedah 9 kali lebih kecil pada pasien dengan anestesi regional daripada
pasien dengan anestesi umum (Shaikh, Nagarekha, Hegade, dan
Marutheesh, 2016).
4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi
umum pada sistem termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat hipotermia
atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat terjadi akibat suhu ruang operasi
yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin, bedah
abdomen luas dan lama.
6. Teknik Anestesi Umum dengan ETT (Endotrakheal Tube)
a) Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea
melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi
trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
b) Indikasi Intubasi Trakhea
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007):
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).

c) . Kotraindikasi ETT
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek,
gigi moncong

d) Pemasangan Intubasi Endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut
(Latief, 2007):
a. Persiapan Alat (STATICS):
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope11
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang
siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency).
b. Pelaksanaan
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai12
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.
6. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan nafas,
salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa terjadi
adalah:
a. Saat Intubasi
1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
4) Kebocoran balon.
b. Saat ETT di tempatkan
1) Malposisi (kesalahan letak)
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c. Setelah ekstubasi
1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2) Laringospasme.

D. Web of caution (WOC)


E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Riwayat kesehatan diambil untuk mendapatkan informasi tentang perasaan
lelah; adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakternya (lokasi, frekuensi,
durasi, berhubungan dengang makan atau defekasi); pola eliminasi terdahulu dan
saat ini, deskripsi tentang warna, bau dan konsistensi feses, mencakup adanya
darah atau mukus. Informasi tambahan mencakup riwayat masa lalu tentang
penyakit usus inflamasi kronis atau polip kolorektal; dan terapi obat saat ini.
Kebiasaan diet diidentifikasi mencakup masukan lemak dan/ atau serat serta
jumlah konsumsi alkohol. Riwayat penurunan berat badan adalah penting.

a. Data Subjektif
Data subjektif didapatkan dengan cara menanyakan langsung kepada
pasien yang terindikasi tumor kolon. Dan dapat juga di tanyakan kepada
keluarga (orang terdekat) dari pasien
b. Data objektif
Pengkajian objektif adalah mencakup auskultasi abdomen terhadap
bisisng usus dan palpasi abdomen untuk area nyeri tekan, distensi, dan massa
padat. Spesimen feses diinspeksi terhadap karakter dan adanya darah.
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan imobilitas, sekunder akibat
efek sedatif medikasi dalam anestesi umum
b) Penurunan curah jantung berhubungan dengan obat anestesi
c) Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
akibat pembedahan
d) Mual berhubugan dengan efek anestesia
e) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/muntah
f) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks
akibat usus
g) Resiko komplikasi perdarahan akibat efek samping terapi pembedahan
h) Cemas sehubungan dengan tindakan pembedahan
3. Rencana Intervensi

a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan imobilitas, sekunder akibat


efek sedatif medikasi dalam anestesi umum
1) Tujuan
Individu akan memperlihatkan frekuensi pernafasan yang efektif dan
mengalami perbaikan pertukaran gas dan paru.
2) Kriteria Hasil
a) Pasien dapat bernafas spontan
b) Tidak terjadi gangguan terkait pernafasan
c) Kebutuhan o2 tercukupi
3) Rencana Intervensi
a) Pemasangan alat bantu pernapasan (ETT)
b) Pantau status pernapasan
c) Relaksasi otot progresif
d) Pemantauan TTV

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan obat anestesi


1. Tujuan
Perawat akan memantau dan menangani episode penurunan curah jantung
2. Kriteria Hasil
a) Peningkatan tekanan darah
b) Peningkatan nadi atau denyut jantung
c) Saturasi oksigen baik
d) Irama sinus normal
3. Rencana Intervensi
a) Pantau tanda dan gejala penurunan curah jantung
b) Kolaborasikan dengan obat

c. Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder


akibat pembedahan
1. Tujuan
Individu akan melaporkan faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan
tindak kewaspadaan yang diperlukan
2. Kriteria Hasil
a) Pengontrolan infeksi
b) Perawatan luka
c) Perawatan area insisi

4. Rencana Intervensi
a) Kaji adanya faktor yang meningkatkan resiko infeksi (infeksi
perioperatif, anestesia, intrumentasi/ pemasangan alat alat
kesehatan)
b) Kurangi organisme yang masuk ke dalam tubuh individu dengan
cara melakukan perawatan luka dengan baik
c) Kurangi kerentanan individu terhadap infeksi (berikan terapi
antimikroba/kolaborasi dengan obat)
d. Mual berhubugan dengan efek anestesia
1. Tujuan
Individu akan melaporkan berkurangnya mual
2. Kriteria Hasil
a) Peningkatan nafsu makan
b) Individu dapat menjelaskan faktor yang meningkatkan rasa mual
3. Rencana Intervensi
a) Penatalaksanaan medikasi\
b) Penatalaksanaan mual
c) Penatalaksanaan status nutrisi
d) Ajarkan teknik untuk mengurangi mual

e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/muntah


1. Tujuan
Akan terpantau tercukupinya kebutuhan cairan dalam tubuh
2. Kriteria Hasil
a) Meningkatnya cairan dalam tubuh individu
3. Rencana Intervensi
a) Kaji penyebab terjadinya kekurangan cairan
b) Penatalaksanaan cairan/elektrolit
c) Pemantauan cairan

f. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme otot refleks akibat
usus
1. Tujuan
Individu akanmenyatakan redanya/ berkurangnya nyeri setelah tindakan
pereda nyeri yang memuaskan.
2. Kriteria Hasil
a) Nyeri hilang atau mereda
4. Rencana Intervensi
a) Kaji penyebab terjadinya nyeri
b) Relaksasi nafas dalam
c) Penatalaksanaan nyeri medikasi (kolaborasi obat)
g. Resiko komplikasi perdarahan akibat efek samping resiko pembedahan
1. Tujuan
Perawat akan menangani dan meminimalkan episode perdarahan
2. Kriteria Hasil
a) Perdarahan dapat diminimalkan
b) Perdarahan dapat diketahui penyebabnya
3. Rencana Intervensi
a) Pantau status cairan
b) Pantau area pembedahan untuk mengetahui perdarahan
c) Ajarkan klien untuk membebat luka bedah dengan bantal saat batuk,
bersin, dan atau muntah.
h. Cemas sehubungan dengan tindakan pembedahan
1. Tujuan
Individu akan menyatakan peningkatan kenyamanan psikologis dan
fisiologis.
2. Kriteria hasil
a) Pasien tidak merasa cemas setelah melakukan tindakan
keperawatan.
b) Penurunan respons viseral (nadi, pernapasan)
3. Rencana intervensi
a) Kaji tingkat kecemasan pasien.
b) Singkirkan stimulasi berlebihan (bawa klien ke ruangan yang lebih
tenang).
c) Ajarkan tehnik relaksasi

4. Evaluasi
Berhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. Evaluasi
dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam
perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan. Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh
keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif.
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai


dengan kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat
keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 13. Jakarta:


EGC
Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan.

https://www.google.com/search?
q=evaluasi+soap&oq=evaluasi+soap&aqs=chrome..69i57j0l9.2551j0j7&sourceid=chr
ome&ie=UTF-8#
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-
MENKES-251-2015_
https://id.scribd.com/document/361454209/Pathway-Tumor-Kolon
https://id.scribd.com/document/293247763/Laporan-Pendahuluan-Tumor-Kolon

Anda mungkin juga menyukai