Anda di halaman 1dari 15

PEMFORMATAN DATA DAN MODULASI BASEBAND (BAGIAN 2)

A. Sumber Gangguan Pada Sinyal Hasil Sampling


Pada materi sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk merubah suatu sinyal analog menjadi
sinyal digital, maka terlebih dahulu dilakukan sampling, yaitu mengambil beberapa nilai sinyal
analog saja. Hasil sampling ini disebut juga dengan PAM (Pulse Amplitude Modulation).
Contoh sinyal analog dan hasil samplingnya atau sinyal PAM dengan metode natural sampling
diilustrasikan pada Gambar1 berikut:

Gambar 1
Setelah sinyal analog disampling, langkah berikutnya adalah melakukan kuantisasi, yaitu
melakukan pembulatan nilai amplitude pada sinyal hasil sampling (PAM) ke dalam beberapa
kelompok nilai amplitudo. Hal ini dilakukan karena sinyal PAM masih memiliki amplitudo
dengan kemungkinan nilai yang tak terhingga, sehingga perlu dibulatkan terlebih dahulu dengan
persamaan:

M =2k
M = Jumlah kemungkinan symbol
k = jumlah bit per symbol
Jadi jika tiap amplitudo sampel nantinya ingin dikonversi menjadi bilangan biner 3 bit, maka
kuantisasi harus dilakukan ke dalam 8 kelompok pembulatan.
Proses sampling dan kuantisasi ini pada dasarnya menimbulkan kerusakan terhadap sinyak
analog asli. Beberapa bentuk gangguannya adalah:
1. Quantizaion Noise (Noise kuantisasi)
Pada proses kuantisasi kita melakukan pembulatan terhadap amplitudo sinyal PAM hasil
sampling. Ketika sinyal ini diterima oleh receiver, tentu harus dikembalikan menjadi bentuk
analog yang asli. Dengan kata lain, hasil pembulatan dari proses kuantisasi harus dikembalikan
kepada nilainya yang asli. Tentu hal ini sulit untuk dilakukan, karena bentuk sinyal analog yang
asli memiliki kemungkinan nilai amplitudo yang tak terhingga. Kesulitan ini disebut dngan noise
kuantisasi. Semakin tinggi tingkat kuantisasi, semakin kecil noise kuantisasi. Misalnya jika
kuantisasi dilakukan ke dalam 8 kelompok pembulatan, akan memiliki noise kuantisasi yang
lebih besar dari pada jika dibulatkan ke dalam 16 kelompok pembulatan. Hal ini masuk akal,
karena semakin banyak kelompok pembulatannya, semakin kecil pembulatan yang harus
dilakukan. (akan dibahas dengan lebih detail pada sub bab berikutnya).

2. Saturasi Kuantizer
Kuantizer merupakan alat yang digunakan untuk melakukan kuantisasi pada sistem ADC
(Analog to Digital Converter). Kuantizer bertugas untuk melakukan pembulatan terhadap
amplitudo sinyal PAM ke dalam L level kelompok pembulatan. Setiap kuantizer memiliki
operation range yaitu batas jangkauan kekuatan sinyal yang mampu dikuantisasi. Jika sinyal
yang akan dikuantisasi melebihi operation range ini, maka converter akan berada dalam kondisi
saturasi (jenuh), sehingga amplitudo sinyal yang ingin dikuantisasi akan terpotong.

3. Timing Jitter
Terjadi jika terjadi jitter antara satu hasil sampling dengan hasil sampling lainnya, sehingga jarak
antar hasil sampling tidak sama. Sehingga akan mempersulit proses rekontruksi sinyal di
receiver.

B. Efek Kanal
1. Noise kanal
Noise kanal dapat muncul dalam bentuk thermal noise, interferensi dari user lain, dan
interferensi pada perangkat switching dapat mengganggu proses deteksi sinyal baseband pada
receiver. Pada sistem transmisi sinyal digital, jika noise kanal memiliki kekuatan di bawah
threshold, maka sinyal tidak akan rusak. Namun jika sudah melewati threshold maka akan
merusak sinyal digital (ingat kembali pembahasan mengenai keunggulan sinyal digital dibandng
analog). Jika noise kanal di bawah threshold, maka satu-satunya noise yang muncul hanya noise
yang berasal dari proses kuantisasi.
2. Intersymbol interference
Setiap kanal yang digunakan pada sistem telekomunikasi memiliki bandwidth yang terbatas.
Agar suatu sinyal digital dalam bentuk pulsa dapat dikirim dengan baik, maka kanal yang
digunakan harus memiliki bandwidth yang jauh lebih besar dari pada bandwidth pulsa. Jika
persyaratan ini tidak terpenuhi, maka sebagian komponen frekuensi pulsa akan terbuang (dalam
domain frekuensi). Dalam domain waktu, akibatnya adalah pulsa yang dikirim akan semakin
melebar, sehingga akan saling tumpang tindih dengan pulsa berikutnya. Dengan kata lain, pulsa
yang diterima saat ini akan mengganggu pulsa yang akan datang berikutnya. Hal ini disebut
dengan intersymbol interference.
C. Signal to Noise Ratio (SNR) Pada Hasil Kuantisasi
SNR adalah perbandingan antara daya sinyal dengan daya noise. Salah satu parameter sistem
komunikasi yang baik adalah jika memiliki SNR yang tinggi.
Perhatikan gambar 2 berikut:

Gambar 1
Gambar 1 menunjukkan suatu sistem kuantisasi yang membulatkan hsil sampel ke dalam L
kelompok pembulatan, dimana tiap kelompok pembulatan memiliki selisih sebesar q volt.
Kuantizer tersebut memiliki range atau tegangan peak to peak V pp=V p −(−V p ) =2V p . Selisih
antar titik pembulatan disebut dengan quantile interval (pada gambar 1 bernilai q). Jika jarak
antar titik pembulatan sama, disebut dengan uniform atau linear quantizer. Tiap amplitudo
hasil sampel dibulatkan ke titik pembulatan terdekat. Berdasarkan Gambar 1, penyimpangan
(selisih) antara amplitudo sampel asli dengan hasil pembulatan maksimal berilai q/2.
Salah satu parameter penting pada sistem uniform quantizer varians quantizer. Jika sinyal
analog yang dikuantisasi memiliki variasi nilai amplitudo dengan probabilitas kemunculan yang
sama, varians quantizer dapat dihitung menggunakan persamaan 1 berikut:

2 q2
σ =
12
Dimana σ 2 adalah varians kuantisasi dan q merupakan quantile interval
Daya maksimum dari sinyal analog yang dikuantisasi dapat dihitung menggunakan persamaan 2
berikut:
Dimana L adalah jumlah tingkat pembulatan.
Jika tidak terdapat noise kanal, SNR kuantisasi dapat dihitung menggunakan persamaan 3
berikut:

D. PULSE CODE MODULATION


Setelah dilakukan kuantisasi, setiap amplitudo hasil kuantisasi dikonversi ke dalam bentuk
bilangan biner (deretan bit). Deretan bilangan biner ini disebut dengan PCM (Pulse Code
Modulation). Hal ini diilustrasikan dalam gambar 2 berikut ini:

Gambar 2
Gambar 2 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Misalkan sinyal analog yang diperlihatkan pada gambar 2 di atas ingin dikonversi menjadi
deretan bit digital PCM. Langkah pertama adalah melakukan sampling. Sampling yang
dilakukan diperlihatkan oleh garis vertical. Terlihat dari gambar 2 bahwa terdapat 7 hasil
sampling. Tiap sampel memiliki nilai amplitudo. Misalnya: hasil sampel pertama memiliki
amplitudo 1,3, hasil sampel ke dua memiliki amplitudo 3,6 dst…
Setelah itu, tiap amplitudo sampel dikuantisasi ke kelompok pembulatan terdekat. Pada gambar 2
di atas, kuantisasi dilakukan ke dalam 8 kelompok pembulatan, yaitu pembulatan ke 0 sampai ke
7. Pembulatan ke 0 dilakukan dengan membulatkan ke tegangan -3,5 volt, pembulatan ke 1 ke
tegangan -2,5 volt, dst…
Sebagai contoh, dari gambar di atas hasil sampel pertama memiliki amplitudo 1,3 volt, maka
dibulatkan ke kelompok pembulatan ke 5 yaitu dengan tegangan 1,5 Volt.
Selanjutnya tiap hasil kuantisasi diidentifikasi berdasarkan kepada tingkat pembulatannya,
kemudian dikonversi menjadi bilangan biner. Karena kuantisasi dilakukan dalam 8 level
pembulatan, maka tiap hasil kuantisasi dikonversi menjadi 3 bilangan biner ( 23=8). Sebagai
contoh, sampel pertama dikuantisasi ke 1,5 volt yang merupakan level kuantisasi ke 5. Maka
sampel yang pertama ini dikonversi ke bilangan biner 101. Deretan tiga bit inilah yang disebut
dengan PCM.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa semakin banyak level kuantisasi, semakin kecil
noise kuantisasinya ,dan semakin besar SNR kuantisasinya, artinya kualtitas sinyal digital yang
dihasilkan semakin baik. Namun, hal ini berimbas kepada ukuran data digital yang dihasilkan,
sebab tiap hasil sampel akan dikonversi menjadi deretan bilangan biner yang lebih banyak.
Sebagai contoh, jika menggunakan 8 level kuantisasi, setiap sampel dijadikan 3 bit. Jika terdapat
7 sampel, berarti total terdapat 21 bit. Namun jika menggunakan 16 level kuantisasi, maka tiap
sampel dijadikan 4 bit (24 =16). Jika terdapat 7 sampel, maka dihasilkan 28 bit. Disini terlihat
bahwa semakin besar level kuantisasi, semakin banyak jumlah bit yang dihasilkan. Tentu saja
untuk proses transmisinya juga membutuhkan kapasitas kanal dan bandwidth yang lebih besar.
Selain itu jika data digital ini ingin di simpan di computer, tentu membutuhkan media
penyimpanan yang lebih besar.

E. KUANTISASI UNIFORM DAN NON UNIFORM


Pada pembahasan sebelumnya, kita telah membahas mengenai kuantisasi. Kuantisasi yang telah
dicontohkan adalah kuantisasi uniform, dimana tiap level pembulatan (quantile interval)
memiliki jarak yang sama. Akan tetapi pada aplikasi tertentu dibutuhkan sistem kuantisasi yang
non uniform, dalam artian jarak antar level pembulatan tidak sama.
Kuantisasi non uniform digunakan jika sinyal analog memiliki sebaran amplitudo yang tidak
merata. Contohnya jika sinyal analog yang ingin dikonversi ke digital memiliki amplitudo yang
terlalu tinggi dan terlalu rendah, dimana sebagian besar sinyal didominasi oleh amplitudo yang
rendah.
Salah satu contoh sinyal yang seperti ini terdapat pada sinyal suara. Biasanya jika kita berbicara,
sebagian besar pembicaraan dilakukan dengan nada bicara yang rendah, dan sesekali kita
berbicara dengan menaikkan nada bicara (misalnya jika tiba-tiba kita mengeluarkan ekspresi
terkejut). Sehingga bentuk sinyal suara yang dihasilkan sebagian besar memiliki amplitudo yang
rendah dan sesekali memiliki amplitudo yang tinggi. Sinyal suara yang seperti ini tidak cocok
jika menggunakan kuantisasi uniform.
Jika sinyal suara ini dikuantisasi menggunakan kuantisasi uniform, maka akan banyak level
pembulatan atau level kuantisasi yang tidak terpakai. Dalam hal ini level pembualtan yang tinggi
akan jarang digunakan. Selain itu jika menggunakan kuantisasi uniform, sinyal dengan
amplitudo yang rendah tidak akan bisa dikuantisasi dengan baik sehingga akan menghasilkan
noise yang sangat besar. Hal ini diilustrasikan pada gambar 3 berikut:

Gambar 3
Pada gambar 3, sisi kiri menunjukkan kuantisasi uniform dan sisi kanan non uniform. Pada sisi
uniform terlihat bahwa hasil kuantisasi tidak dapat menangkap bentuk detail dari amplitudo
sinyal yang rendah. Akibatnya, di sisi receiver nantinya akan sulit untuk mengembalikan bentuk
asli sinyal analog nya. Sedangkan pada sisi non uniform, terdapat lebih banyal level kuantisasi di
bagian amplitudo yang rendah dari pada amplitudo yang tinggi, sehingga dapat menangkap detail
bentuk dari sinyal dengan amplitudo yang rendah.
Untuk melakukan kuantisasi non uniform dapat dilakukan dengan 2 cara:
 Mengatur quantile interval yang non uniform . Biasanya logaritmik (memiliki jarak yang
kecil di level bawah, dan makin lama levelnya makin jauh). Karakteristik kuantizer non
uniform ini diperlihatkan oleh gambar 4 berikut:
Gambar 4

Pada gambar 4, gambar sebelah kiri adalah karakteristik kuantisasi non uniform. Terlihat
bahwa tiap tangganya makin lama semakin tinggi. Sedangkan sebelah kanan merupakan
kuantisasi uniform, dimana tiap tangganya memiliki tinggi yang sama (uniform)
 Mengubah amplitudo sinyal terlebih dahulu dengan kompresi logaritmik, kemudian
dikuantisasi dengan kuantizer uniform. Karakteristik kompresi ini dapat dilihat pada gambar
5:

Gambar 5
Pada gambar 5 garis putus-putus merupakan karakteristik kompresi linear, dengan kata lain
sinyal input memiliki amplitudo yang sama dengan amplitudo output. Sedangkan
karakteristik logaritmik ditunjukkan oleh garis melengkung, sehingga amplitudo output tidak
sama dengan amplitudo input. Dalam hal ini, kompresi logaritmik akan mengangkat
amplitudo input yang rendah lebih tinggi dari pada amplitudo input yang bernilai tinggi.
Setelah tiba direceiver, amplituo sinyal yang sudah berubah ini harus dikembalikan ke nilai
aslinya (disebut dengan expansion). Jadi di transmitter dilakukan kompresi, di receiver
dilakukan ekspansi. Kedua proses ini disebut dengan companding
Terdapat beberapa Teknik kompresi yang dapat digunakan. Misalnya di Amerika
menggunakan μ−law, yang dinyatakan dengan persamaan:

Dimana y = amplitudo sinyal output setelah dikompresi, y max = amplitudo output maksimum yang
diinginkan, x= amplitudo sinyal output dan x max= amplitudo input maksimum. Sedangkan nilai μ
merupakan suatu konstanta. Di Amerika, nilai μyang digunakan adalah 255. Karakteristik
kompresi ini untuk berbagai nilai μ dapat dilihat pada gambar 6:
Gambar 6
Terlihat bahwa jika μ= 0 , akan menghasilkan kompresi yang linear, artinya amplitudo output
yang dihasilkan sama dengan amplitudo input.
Sedangkan di Eropa menggunakan A-Law yang dinyatakan dengan persamaan:

Dimana A adalah konstanta positif, Karakteristik kompresi A-law untuk berbagai nilai A dapat
dilihat pada gambar 7:

Gambar 7
F. TRANSMISI BASEBAND
Setelah sampel yang dikuantisasi dirubah menjadi deretan bit, langkah selanjutnya adalah
merepresntasikan bit-bit tersebut kedalam bentuk gelombang (dalam hal ini bentuk
gelombangnya adalah persegi/pulsa). Pembentukan gelombang ini dilakukan melalui proses
Modulasi Pulsa. Gelombang yang dihasilkan disebut dengan gelombang PCM.
Contoh sederhana gelombang PCM dapat dilihat pada gambar 8 berikut:

Gambar 8
Pada gambar 8 terlihat bahwa bit 1 memiliki bentuk gelombang persegi dengan amplitudo +V
dan bit 0 memiliki amplitudo -V.
Selain dari contoh sederhana di atas, terdapat beberapa Teknik yang dapat digunakan pada
modulasi pulsa yang secara garis besar ada 4 jenis:
 Non return to zero (NRZ). Dapat dibagi lagi menjadi 3 jenis: NRZ-L (Level), NRZ-M
(Mark) dan NRZ-S (Space)
 Return to Zero (RZ). Dapat dibagi menjadi 3 jenis: Unipolar RZ, Bipolar RZ dan RZ-
AMI
 Phase encoded. Dapat dibagi menjadi 4 jenis: bi-ϕ -L (bi-phase-level) atau Manchester
coding, bi-ϕ-M (bi-phase-mark), bi-ϕ-S (bi-phase-space) dan delay modulation atau
miller coding
 Multilevel binary  menggunakan lebih dari dua level pulsa. Terdiri dari Bipolar RZ ,
RZ-AMI , Dicode NRZ dan Dicode RZ

Bentuk gelombang dari masing-masing Teknik di atas dapat dilihat pada gambar 9 berikut:
Gambar 9
Penjelasan gambar 9:
NRZ-L  bit 1 memiliki amplitudo +V dan bit 0 memiliki amplitudo -V
NRZ-M  Dilihat berdasarkan nilai bit berikutnya. Jika bit berikutnya 0, maka amplitudo pulsa
tidak berubah. Jika bit berikutnya 1, amplitudo pulsa berubah
NRZ-S  kebalikan dari NRZ-M
Unipolar-RZ  Bit 1 dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dan amplitudo +V, sedangkan bit 0
tanpa pulsa
Bipolar-RZ  Bit 1 dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dan amplitudo +V, sedangkan bit 0
dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dan amplitudo -V
RZ-AMI  Bit 1 dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dan amplitudo +V, namun amplitudo
+V berada ditengah durasi (perhatikan gambar). sedangkan bit 0 tanpa pulsa
bi-ϕ-L  Bit 1 dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dengan amplitudo +V, dimana amplitudo
+V berada di setengah durasi pertama dan amplitudo -V berada di setengah durasi kedua.
Sedangkan pada bit 0 amplitudo +V berada di setengah durasi kedua dan -V di setengah durasi
pertama.
bi-ϕ-M  Bit 1 dinyatakan oleh pulsa setengah durasi dengan amplitudo +V, dimana amplitudo
-V berada di setengah durasi pertama dan amplitudo +V berada di setengah durasi kedua dan bit
0 memiliki pulsa dengan amplitudo -V
bi-ϕ-S  bit 1 memiliki amplitudo -V. Bit 0 berupa pulsa setengah durasi dengan amplitudo +V,
dimana amplitudo +V berada di setengah durasi pertama dan amplitudo -V berada di setengah
durasi kedua.
Delay modulation bit 1 direpresentasikan oleh transisi di tengah interval pulsa, bit 0 tanpa
transisi kecuali jika bit berikutnya juga 0, dimana transisi beradai di akhir interval bit 0
sebelumnya.
Dicode-NRZ  Perubahan bit dinyatakan dengan dinyatakan dengan perubahan polaritas pulsa.
Jika bit tidak berubah, dinyatakan dengan tanpa pulsa
Dicode-RZ  perubahan bit menghasilkan peubahan polarisasi pulsa setengah durasi.
1. PCM Word Size
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa ukuran bit atau jumlah bit PCM per sampel
tergantung kepada jumlah level kuantisasi yang digunakan. Secara matematis dinyatakan
dengan:

L=2l
Dimana L adalah jumlah level kuantisasi dan l adalah jumlah bit per sampel (PCM). Jadi jika kita
menggunakan 8 level kuantisasi, maka tiap hasil sampel akan memiliki 3 bit (23=8¿ .
Sekarang yang jadi pertanyaan adalah, ketika ingin merubah suatu sinyal analog menjadi sinyal
digital, berapakah level kuantisasi yang harus digunakan?. Karena walaupun penggunaan level
kuantisasi yang banyak akan menghasilkan kualitas yang bagus, namun akan membutuhkan
media penyimpanan serta bandwidth transmisi serta bit rate yang tinggi.
Maka untuk memilihnya, kita harus mempertimbangkan seberapa besar distorsi/noise kuantisasi
yang masih bisa ditoleransi dalam sistem yang ingin kita gunakan. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu persamaan yang menggambarkan hubungan antara jumlah bit per sampel yang dibutuhkan
(ukuran PCM) dengan distorsi/noise kuantisasi yang diizinkan.
Misalkan magnitude error distorsi kuantisasi (atau selisih antara nilai hasil pembulatan dengan
nilai aslinya) disimbolkan dengan |e| dan dinyatakan sebagai pecahan p dari tegangan peak to
peak (V pp) . Variabel p dapat juga dikatakan sebagai tingkat distorsi masksimum yang diizinkan.
Contohnya jika p = 1/10 , artinya tingakt distorsi maksimum yang diinginkan adalah 1/10 dari
tegangan peak ti peak. Jadi secara matematis dapat dinyatakan dengan:

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa selisih antara hasil pembulatan (kuantisasi) dengan
nilai aslinya maksimal sebesar setengan quantile interval. Sehingga secara matematis dapat
dinyatakan dengan:

Dimana |e|max merupakan distorsi kuantisasi maksimum dan L adalah jumlah level kuantisasi
yang digunakan. Dua persamaan di atas dapat disubstitusikan:
Persamaan di atas dapat digunakan untuk menentukan berapa jumlah bit per sampel yang harus
digunakan berdasarkan tingkat distorsi maksimum yang diizinkan.

2. Modulasi Pulsa M-Ary


Modulasi pulsa yang telah dibahas sejauh ini digunakan untuk sistem biner, dalam artian jika kita
menggunakan symbol dengan ukuran 1 bit per symbol. Kita juga bisa melakukan modulasi pulsa
dengan berbagai macam ukuran symbol. Hal ini disebut dengan modulasi M-ary. Misalkan 4-ary,
8-ary, dll.
Dalam hal ini terdapat beberapa Teknik modulasi yang bisa digunakan yaitu:
 PAM (Pulse Amplitude Modulation)  setiap symbol yang berbeda direpresentasikan
oleh pulsa dengan amplitudo yang berbeda. Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas
mengenai binary PAM (2-Ary PAM). Pada gambar berikut ini dicontohkan
perbandinagan antara 2-Ary dan 8-Ary PAM. Gambar yang di atas adalah 8-Ary dan di
bawah adalah 2-Ary:
 PPM (Pulse Position Modulation)  Tiap symbol yang berbeda direpresentasikan oleh
nilai delay yang berbeda. Semua symbol memiliki amplitudo yang sama
 PDM (Pulse Duration Modulation) atau disebut juga PWM (Pulse Width Modulation) 
tiap symbol yang berbeda direpresentasikan oleh pulsa dengan lebar yang berbeda.
Semua symbol memiliki amplitudo yang sama

Pelajarilah contoh berikut ini:

Anda mungkin juga menyukai