Anda di halaman 1dari 28

II.

2 DASAR TEORI
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dasar teori analisis stratigrafi meliputi konsep
dasar delta, analisis lithofasies, analisis lingkungan pengendapan, stratigrafi sikuen, system tract
dan elektrofasies; analisis petrofisika meliputi rumus penghitungan volume serpih, porositas
efektif, dan saturasi air; pemodelan reservoir statis; dan estimasi cadangan hidrokarbon.

II.2.1 Konsep Dasar Delta


Delta didefinisikan sebagai tonjolan ditepi pantai yang terbentuk dimana sungai-sungai
memasuki lingkungan laut, laut semi tertutup, danau, atau lagoon dan suplai sedimen lebih
banyak dan cepat daripada proses-proses cekungan yang ada seperti pasang surut dan ombak.
Berdasarkan definisi tersebut, semua delta yang ada pasti terpengaruh oleh sungai. Delta-delta
secara fundamental bersifat regresif di alam (Dalrymple, 1999). Kebanyakan dari sedimen yang
terendapkan di delta ditransportasikan langsung melalui sungai, hal ini cukup kontras dengan
sistem estuari dimana dominasi sedimennya berasal dari dominasi laut. Estuari juga
didefinisikan sebagai penciri dari sistem pengendapan bersifat transgresif sedangkan delta
merupakan penciri sistem pengendapan bersifat regresif (Dalrymple, 1999).
Delta terdiri dari 3 lingkungan pengendapan geomorfik utama yaitu delta plain (dimana
proses pengendapan oleh sungai mendominasi), delta front (area yang memiliki ukuran butir
yang semakin kasar keatas menurut suksesi vertikal) dan prodelta (dominasi lempung).
1. Delta Plain
Lingkungan pengendapan delta plain bisa diketahui dengan kehadiran dari distributary
channel. Hal ini sudah termasuk dalam segala variasi sub lingkungan darat sampai payau, dari
kering menjadi basah seperti swamp, marsh, tidal flat, lagoon, dan interdistributary bay yang
telah ditemukan dalam lingkungan pengendapan delta plain yang modern. (Bhattacharya, 2006).
Tentunya bagian-bagian tersebut tidak harus ada atau ditemukan dalam lingkungan
pengendapan delta plain kuno. Delta plain dibagi dalam dua bagian yaitu upper delta plain dan
lower delta plain. Upper delta plain terletak diatas area pasang surut dan endapannya secara
umum terdiri dari endapan sungai (distributary channel), endapan limpah banjir
(interdistributary channel flood plain), dan endapan gambut (marsh delta plain).
2. Delta Front

1
Merupakan lingkungan yang bisa diidentifikasi sebagai lingkungan yang didominasi
oleh sedimen pasir atau bongkah (Bhattacharya, 2006). Daerah ini diendapkan pada area
sublittoral yang membatasi antara sub-lingkungan delta plain dengan daerah slope. Lebar
geometri delta front bervariasi antara 5-10 km dengan batas terluarnya ditandai dengan slope
pada kedalaman kolom air 5-7 m (Posamentier dan Allen, 1999). Akumulasi sedimen pada delta
front dikontrol oleh arus fluvial dan tidal membentuk suatu endapan bar dengan geometri lobate
hingga triangular diujung muara dari sungai yang disebut dengan mouth bar. Menurut
Posamentier dan Allen (1999), endapan mouth bar ditandai dengan suksesi ukuran butir
mengasar ke atas (ukuran pasir halus hingga medium/kasar) dan memiliki kontak gradasional
pada bagian dasar. Struktur sedimen yang umum dijumpai merupakan hasil sedimentasi pada
energi rendah, diantaranya adalah bioturbasi, laminasi ripple, dan flaser batulempung atau
batulanau.
3. Prodelta
Berdasarkan sejarah penelitian, lingkungan prodelta diinterpretasikan sebagai area
dimana lempung dan lanau terendapkan secara suspensi. Deposit di prodelta dapat memiliki
banyak atau sedikit struktur sedimen tergantung dari laju sedimentasinya. (Bhattacharya, 2006).
Daerah ini merupakan bagian distal dari delta yang didominasi oleh akumulasi endapan suspensi
halus lempung dan lanau. Batas terluar dari prodelta sekitar 40-50 km dari garis pantai pada
area distributary. Memiliki akumulasi ketebalan sekitar 60 m dan menempati batimetri di
kedalaman 10 meter-70 meter.

2
Gambar II.6 Ilustrasi representatif dari delta dengan dominasi sungai, dominasi
ombak, dan yang terpengaruh oleh pasang surut. (Bhattacharya, 2006).

II.2.2 Analisis Stratigrafi

II.2.2.1 Analisis Lithofasies


Fasies merupakan tubuh batuan dicirikan oleh kombinasi tertentu dari litologi, sifat fisik,
dan biologis yang memberikan aspek berbeda terhadap tubuh batuan di atas, di bawah, maupun
secara lateral yang berdekatan (Walker dan James, 1992). Lithofasies dibagi berdasarkan
litologi utama dan fitur sedimen yang terlihat pada observasi dan deskripsi batuan inti.
Pembagian dilakukan berdasarkan modifikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Miall
(1982) sedangkan untuk kandungan ichnofosilnya diklasifikasikan berdasarkan penelitian oleh
Pimberton dkk. (1992) (Gambar II.7).

Gambar II.7 Klasifikasi ichnofosil oleh Pimberton dkk. (1992).


3
II.2.2.2 Elektrofasies
Elektrofasies bertujuan untuk melakukan interpretasi fasies pada sumur tanpa data
batuan inti dengan mengamati karakter log tali kawat pada data sumur. Kesepadanan antara
elektrofasies dengan asosiasi fasies pada batuan inti dilakukan untuk memperoleh karakter log
tali kawat yang secara faktual mencirikan asosiasi fasies tertentu. Interpretasi elektrofasies
didasarkan pada model respon pola log sinar gamma (GR) terhadap variasi suksesi ukuran butir
yang mencirikan suatu asosiasi fasies pada lingkungan pengendapan tertentu (Kendal dkk.,
2003) (Gambar II.8). Selain menggunakan log sinar gamma, penentuan asosiasi fasies dapat
dilakukan menggunakan log SP (Coleman dan Prior, 1962) (Gambar II.9) dengan melakukan
sinkronisasi dengan log sinar gamma yang tersedia pada sumur terdekat.

Gambar II.8 Pola log sinar gamma yang mencirikan lingkungan pengendapan tertentu
dan asosiasi endapan dari sub-lingkungan tertentu (Kendal dkk., 2003).
Gambar 2.8 Pola log sinar gamma yang mencirikan lingkungan pengendapan tertentu
dan asosiasi endapan dari sub-lingkungan tertentu (Kendal, 2003).

4
Gambar II.9 Klasifikasi bentuk- bentuk log SP (Coleman dan Prior, 1962).

II.2.2.3 Stratigrafi Sikuen


Stratigrafi sikuen adalah metode yang menyediakan kerangka untuk elemen-elemen dari
sistem pengendapan, yang kemudian digunakan untuk rekonstruksi paleogeografi dan prediksi
fasies serta litologi. Kerangka ini menganalisis perubahan pola penumpukan lapisan
berdasarkan respon dari perubahan akomodasi dan suplai sedimen terhadap waktu (Catuneanu,
2006). Konsep ini digunakan secara luas untuk mengkorelasikan lapisan-lapisan sedimen secara
regional. Konsep yang digunakan dalam stratigrafi sikuen adalah korelasi berdasarkan
kesamaan waktu dan bukan kesamaan litologi. Hubungan serta penyebaran reservoir dalam satu
waktu pembentukan yang relatif bersamaan dapat diketahui berdasarkan komponen-komponen
stratigrafi sikuen.
Studi stratigrafi sikuen mempelajari hubungan antar batuan dengan kerangka stratigrafi
yang berulang, memiliki hubungan dengan lapisan yang dibatasi erosi atau tidak adanya
pengendapan, dan/atau correlative conformity (keselarasan yang korelatif dengan
ketidakselarasan) dan dijadikan sebagai batas pembagian orde stratigrafi (Mitchum, 1977).
Secara regional sikuen dibatasi oleh ketidakselarasan atau permukaan keselarasan. Interpretasi
stratigrafi sikuen dan kompoen sikuen serta horizon seperti batas sikuen (sequence boundary)
dan bidang maximum flooding surface memerlukan pemahaman mengenai hubungan stratigrafi,
eustasi, umur, batimetri, dan fasies. Oleh karena itu, terdapat beberapa aspek yang melibatkan
biostratigrafi dalam evaluasi stratigrafi sikuen.
Suplai sedimen dan perubahan muka air laut merupakan faktor utama yang paling
mempengaruhi pola pengendapan. Hubungan suplai sedimen dan kecepatan perubahan muka
air laut ini akan menghasilkan pola-pola penumpukan pengendapan (stacking pattern) berupa
progradasi, retrogradasi, dan agradasi.
5
Gambar II.10 Pola penumpukan progradasional, retrogradasional, dan agradasional (Van
Wagoner dkk., 1990).

 Pola Penumpukan Progradasi


Pola ini terbentuk akibat kenaikan muka air laut relatif lebih lambat
dibandingkan dengan suplai sedimen yang ada. Pola ini membentuk endapan yang terus
menerus maju kearah laut dan mengasar serta menebal ke atas.
 Pola Penumpukan Retrogradasi
Pola ini terbentuk apabila kenaikan muka air laut relatif lebih cepat dibandingkan
dengan suplai sedimennya. Pola penumpukan ini menyebabkan endapan yang terbentuk
akan semakin mundur kearah darat dan menipis ke atas.

6
 Pola Penumpukan Agradasi
Pola ini terbentuk jika kecepatan kenaikan muka air laut relatif sebanding dengan
jumlah suplai sedimen. Pola penumpukan ini tidak menunjukkan pola menipis atau
menebal melainkan menunjukkan pola yang relatif sama.

Selain pola penumpukan, terdapat terminologi lain yaitu unit sikuen yang terbagi diantaranya:
 Sikuen
Sikuen adalah suatu stratum dasar dalam sikuen stratigrafi. Sikuen adalah unit
stratigrafi yang terdiri atas kumpulan strata (parasikuen) yang berhubungan secara
genetis dan relatif selaras, serta dibatasi oleh ketidakselarasan (unconformity) atau
keselarasan padanannya (correlative conformity). Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa suatu analisis stratigrafi sikuen adalah upaya untuk menghubungkan sikuen yang
korelatif (seumur) dan selaras (tidak terdapat ketidakselarasan di antaranya), namun
dapat saling berbeda keadaan litologi atau fasies penyusunnya.
 Parasikuen dan Set Parasikuen
Set parasikeun merupakan kumpulan dari parasikuen, dimana parasikuen
merupakan stratum atau unit stratigrafi yang saling terkait secara genetik atau
merupakan suatu satuan genesa dari suatu lingkungan pengendapan tertentu yang
memiliki hubungan selaras (tidak terdapat ketidakselarasan di dalamnya), serta dibatasi
oleh marine flooding surface (FS) dan/atau permukaan korelasinya.

a. Komponen Stratigrafi Sikuen


Stratigrafi sikuen memiliki komponen-komponen yang penting. Komponen-komponen
tersebut adalah sequance boundary (SB), maximum flooding surface (MFS), flooding surface
(FS), dan transgressive surface (TS) Komponen tersebut dibagi berdasarkan hubungan
stratigrafi, umur, bathimetri, dan fasies. Berikut komponen-komponen dalam sikuen stratigrafi:
 Batas Sikuen (Sequence Boundary/SB)
Batas sikuen adalah suatu bidang ketidakselarasan regional atau keselarasan
padanannya yang terbentuk karena terjadinya penurunan muka air laut relatif
(Posamentier dan Allen, 1999). Bidang stratigrafi ini memiliki bidang tunggal dengan
penyebaran yang luas, memisahkan batuan di atas dan di bawah dalam unit stratigrafi
yang berbeda.
7
Menurut Van Wagoner dkk., (1990), batas sikuen dapat dibedakan menjadi dua
tipe. Tipe I ditandai dengan penurunan ruang akomodasi atau turunnya muka air laut di
bawah garis pantai. Penurunan ini akan memicu lingkungan pengendapan bergeser
secara tiba-tiba ke daerah fluvial sehingga sedimen selanjutnya yang terendapkan akan
membentuk bidang ketidakselarasan berupa bidang erosional truncation. Bidang
ketidakselarasan ini umumnya berwujud sebagai incised valley atau onlap dari endapan
pantai pada batas sikuen. Fasies yang terekam berubah mendangkal secara tiba-tiba,
terlihat bidang erosi, dan munculnya paleosol, serta terpotongnya endapan marine shale
dengan fasies channel dari lingkungan darat. Kenampakan karakter log (sinar gamma)
blocky dan channel-like yang menerus secara regional dapat digunakan untuk
menentukan posisi SB. Batas sikuen tipe II terjadi ketika muka air laut tidak turun di
bawah garis pantai. Hal ini ditandai oleh perpindahan garis onlap dari pantai ke posisi
lebih rendah, sedikit erosi permukaan dan tereksposnya zona paparan (tanpa incised
valley) serta perubahan pola parasikuen dari progradasi menjadi retrogradasi (terkadang
agradasi) di atas batas sikuen
 Maximum Flooding Surface (MFS)
MFS merupakan komponen sikuen stratigrafi yang terbentuk ketika terjadi
transgresi maksimum. Muka air laut relatif akan terus naik sehingga ruang akomodasi
menjadi lebih besar daripada laju pengendapan sedimen. Kenaikan muka air laut ini
akan mencapai titik maksimum hingga akhirnya bergerak turun ke level yang lebih
rendah. Titik maksimal dari kenaikan muka air laut tersebut kemudian disebut sebagai
maximum flooding surface yang membatasi transgressive system tract (TST) dengan
highstand system tract (HST) yang berada di atasnya (Posamentier dan Allen, 1999).
Bila ditinjau berdasarkan skala stratigrafinya, MFS memiliki rentang yang lebih luas
dibandingkan dengan FS. Hal ini karena MFS bersifat lebih global sehingga lebih
sering dipakai sebagai bidang kesamaan waktu. Identifikasi MFS dapat ditandai
dengan nilai defleksi log sinar gamma dengan perubahan pola log dari bell-shaped
menjadi funnel-shaped.

8
 Flooding Surface (FS) dan Transgressive Surface (TS)
FS / marine flooding surface merupakan bidang transgresi sebagai batas antara
lowstand system tract (LST) atau antara highstand system tract (HST) dengan
transgressive system tract (TST) yang berada diatasnya, dimana flooding surface yang
pertama kali terbentuk setelah batas sikuen disebut sebagai transgressive surface
(Posamentier dan Allen, 1999). Namun dikarenakan dalam satu sikuen terkadang
memiliki system tract yang tidak lengkap, FS seringkali diidentifikasi merupakan batas
antara HST dengan TST. FS dicirikan dengan adanya perubahan fasies menjadi lebih
dalam dengan litologi berupa shale dan kandungan bioturbasi yang meningkat.

b. System Tract
System tract dapat ditandai dengan suatu pola penumpukan dari parasikuen atau set
parasikuen. Urutan dari parasikuen yang berhubungan secara genetis dan membentuk suatu pola
penumpukan tertentu yang dibatasi oleh marine flooding surface utama dan permukaan yang
sebanding disebut sebagai set parasikuen (Wagoner dkk., 1990). Berdasarkan pola penumpukan
dari set parasikuen, system tract terbagi menjadi tiga, yaitu:
 Lowstand System Tract (LST)
Lowstand system tract (LST) merupakan unit stratigrafi yang diendapkan
selama periode penurunan muka air laut relatif yang diikuti oleh kondisi standstill dan
kenaikan muka air laut relatif yang lambat (Posamentier dan Allen, 1999). LST
dibatasi oleh batas sikuen (SB) pada bagian bawah dan transgressive surface (TS) pada
bagian atas, serta membentuk pola penumpukan agradasional. LST tidak selalu
ditemukan dalam satu set sikuen.
 Transgressive System Tract (TST)
Transgressive system tract (TST) merupakan unit stratigrafi yang diendapkan
selama fase transgresif, yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kenaikan muka
air laut relatif dan penambahan akomodasi yang melebihi tingkat suplai sedimen
(Posamentier dan Allen, 1999). TST dibatasi oleh transgressive surface (TS) pada
bagian bawah dan maximum flooding surface (MFS) pada bagian atas, serta
membentuk pola penumpukan retrogradasional.

9
 Highstand System Tract (HST)
Highstand system tract (HST) adalah unit stratigrafi yang diendapan selama
fase regresif, yang terbentuk pada saat tingkat kenaikan muka air laut relatif lebih
rendah dibandingkan dengan laju pengendapan sedimen (Posamentier dan Allen,
1999). HST dibatasi oleh maximum flooding surface (MFS) pada bagian bawah dan
batas sikuen (SB) pada bagian atas, serta membentuk pola penumpukan
progradasional.

Gambar II.11 Skema komponen sikuen stratigrafi, parasikuen, dan system tract
(Van Wagoner dkk., 1990).

II.2.2.4 Analisis Lingkungan Pengendapan


Dalam penafsiran lingkungan pengendapan dari daerah penelitian, langkah pertama
yang dilakukan adalah menentukan karakter litologi dari data batuan inti. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui tekstur, komponen mineral yang menyusun batuan, dan diagenesis yang
berkembang. Selain itu, karakteristik litologi pada tiap interval juga membantu dalam
menentukan fasies pengendapan. Deskripsi batuan inti kemudian dikelompokkan menjadi
lithofasies yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi asosiasi fasies yang akan menunjukkan
karakteristik dari suatu lingkungan pengendapan. Untuk detailnya, digunakan analisis milik

10
Selley (1985) dengan pendekatan observasi litologi, fosil, dan geometri daerah penelitian dalam
penentuan lingkungan pengendapan ini.

Gambar II.12 Analisis lingkungan pengendapan (Selley, 1985).

II.2.3 Analisis Petrofisika

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai konsep penghitungan beberapa parameter
petrofisika yaitu volume serpih, porositas efektif, dan saturasi air.

II.2.3.1 Penghitungan Volume Serpih


Volume serpih merupakan banyaknya kandungan lempung pada suatu interval yang
dinyatakan dalam presentase volume serpih terhadap volume keseluruhan batuan. Berikut akan
diperlihatkan persamaan penghitungan volume serpih menggunakan log sinar gamma menurut
Asquith dan Krygowski (2004).

Persamaan II.1 Rumus penghitungan volume serpih menggunakan log sinar gamma.

11
Keterangan:
Vsh : Volume serpih [%]
GRlog : Nilai bacaan sinar gamma pada log [GAPI]
GRmax : Nilai sinar gamma maksimum [GAPI]
GRmin : Nilai sinar gamma minimum (clean sand atau karbonat) [GAPI]

Log SP juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi nilai dari volume serpih dengan
rumusan ditampilkan pada persamaan II.2.

Vsh = (SSP – PSP) / SSP


= 1 – (PSP/SSP)
Persamaan II.2 Rumus penghitungan volume serpih menggunakan log SP.

Keterangan:
Vsh : Volume serpih [%]
PSP : Pseudo Static Spontaneous Potential, defleksi dari shale/baseline ke kurva yang dibaca
SSP : Static Spontaneous Potential, defleksi dari shale/baseline ke clean line

II.2.3.2 Penghitungan Porositas Efektif (PHIE)


Porositas didefinisikan sebagai volume pori-pori batuan per volume batuan total yang
ditunjukkan dalam fraksi desimal atau persentase. Penentuan porositas dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga jenis log tali kawat, yaitu log densitas,log neutron, dan log sonik.
Penghitungan porositas menghasilkan dua macam variabel yaitu porositas total dan porositas
efektif. Porositas total merupakan rasio perbandingan antara volume total pori-pori dan volume
batuan, sedangkan porositas efektif merupakan porositas total yang dikurangi oleh clay bound
water (CBW). Hubungan antara porositas total dan porositas efektif ditunjukkan pada pesamaan
II.3.

Persamaan II.3 Rumus penghitungan porositas total.

12
Keterangan: Øtot : porositas total
Øeff : porositas efektif
Vsh : Volume serpih
Øtotsh : Porositas total serpih

Rumus penghitungan dari volume serpih (Vsh) telah ditentukan pada pembahasan
sebelumnya. Nilai dari CBW jika mengacu pada persamaan di atas adalah nilai perkalian antara
Vsh dan Øtotsh. Terdapat juga parameter lain yang perlu dicari melalui rumus penghitungan yaitu
porositas total (Øtot) dan porositas total serpih (Øtotsh).
Penentuan nilai dari porositas total serpih (Øtotsh) dapat dilakukan menggunakan
persamaan Crain (1976) sebagai berikut:

Persamaan II.4 Rumus penghitungan porositas total serpih (Ø totsh).

Keterangan: Øtotsh : Porositas total serpih


: Densitas serpih kering (dry shale)
: Densitas fluida (air)
: Densitas serpih basah
Sedangkan untuk nilai porositas total (Øtot) dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan pada persamaan II.5.

tot

Persamaan II.5 Rumus penghitungan porositas total (Ø tot).

Keterangan: Øtot : Porositas total


: Densitas matriks
: Densitas fluida
: Densitas bacaan pada log

13
II.2.3.3 Penghitungan Saturasi Air (Sw)
Reservoir pada interval penelitian termasuk dalam kategori shaly sand dan mempunyai
kandungan NaCl yang tinggi (Pertamina, 2014). Menurut Crain (1976), litologi batupasir
digolongkan sebagai shaly sand apabila memiliki kandungan Vsh > 0,1.
Persamaan modified Simandoux yang digunakan dalam perhitungan saturasi air (Bardon
dan Pied, 1969):

Persamaan II.6 Rumus penghitungan Saturasi Air (Sw).

Keterangan: Sw : Saturasi air


a : Faktor turtoisitas
Rw : Resistivitas air formasi
Ø : Porositas
m : Faktor sementasi
Vsh : Volume serpih
Rsh : Resistivitas serpih
Rt : True resistivity

II.2.4 Pemodelan Reservoir Statis


Pemodelan pada bagian ini bertujuan untuk membentuk model fasies, struktur, dan
petrofisika yang nantinya akan memberikan visualisasi kerangka struktur serta mendistribusikan
data log properti fasies, porositas, volume serpih, dan saturasi air dalam grid 3D. Sebelum
memasuki bagian pemodelan tersebut, terdapat beberapa konsep yang perlu diperhatikan.

II.2.4.1 Konversi Sesar ke 3D


Horizon dan sesar yang merupakan hasil pick masih menggunakan domain waktu
sehingga harus diubah dalam domain kedalaman dengan menggunakan velocity model yang
kemudian akan dibuat model geometri meliputi model struktur dan pembuatan peta struktur
kedalaman yang telah dipengaruhi atau dirobek oleh sesar hasil interpetasi sebelumnya.

14
II.2.4.2 Pillar Gridding, Horizon, Zona, dan Layer
a. Pillar Gridding
Merupakan proses pembuatan grid (kotak) secara spasial pada model yang dibuat. Setiap
grid diasumsikan sebagai suatu sel yang mewakili setiap posisi pada model yang akan diisi suatu
nilai. kemudian pillar gridding mempunyai fungsi lain yaitu untuk mengonversi sesar-sesar
yang telah dimodelkan ke dalam 3D grid dan membatasi daerah penelitian dengan membuat
batas / boundary yang disesuaikan dengan persebaran dari sumur penelitian.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah penentuan nilai I increment dan J
increment pada grid yang akan dibuat nantiya. “J” merupakan orientasi dominan dari sesar yang
telah dikonversi dan dimodelkan sebelumnya, sedangkan “I” merupakan orientasi tegak lurus
dari “J”. Menurut Rukmana (2011) nilai I x J increment yang optimal adalah antara (25 x 25)
meter sampai (50 x 50) meter dengan jarak minimum antar sumur penelitian sebesar 4 kotak
grid.
Hasil dari tahapan ini berupa skeleton framework yang merupakan batas dari zona yang
dipengaruhi oleh sesar-sasar. Skeleton framework sendiri terbagi dalam 3 bagian yaitu top, mid,
dan bottom. Hal ini akan memberikan gambaran bahwa, apabila zona reservoir yang telah
ditentukan sebelumnya berada pada area skeleton framework, maka dapat dipastikan bahwa
zona reservoir terpengaruh oleh sesar.

Gambar II.13 Hasil pillar gridding berupa skeleton framework.

Perlu dilakukan juga proses kontrol kualitas dari grid yang telah dibuat. Grid yang baik
biasanya tidak memiliki garis-garis yang saling tumpang tindih atau memotong satu sama lain.
Grid yang buruk juga dapat disebabkan oleh pillar yang memiliki perubahan arah yang tiba-tiba
dengan pillar yang saling berdekatan.

15
\

Gambar II.14 Contoh grid yang buruk.

b. Horizon, Zona, dan Layer


Membuat horizon:
Horizon lapisan reservoir utama dapat dibuat dengan
menggunakan data masukan peta struktur kedalaman hasil
korelasi stratigrafi yang di perdetail dengan data hasil
picking horizon dan sesar pada data seismik.

Membuat zona:
Pada pembuatan zona diperlukan data isochore lapisan
yang ada dibawah horizon reservoir utama bila ada.

Membuat layer:
Dibuat berdasarkan tebalnya cell atau berdasarkan
aturan dari Rukmana (2011) yaitu minimum setiap 0,5
ft merupakan satu layer pada suatu zona.

Gambar II.15 Urutan pengerjaan horizon, zona, dan layer.

Sebagai tambahan, dalam pembuatan horizon, perlu diperhatikan apakah tipe dari
horizon lapisan reservoir utama tersebut. Terdapat 4 tipe horizon yang dapat dipilih dan
disesuaikan dengan kondisi yang ada yaitu erosional, base, discontinous dan conformable.
(Gambar II.16)
 Erosional digunakan jika horizon yang di masukkan memotong lapisan di
bawahnya.
16
 Base berguna jika horizon yang dimasukkan memotong lapisan di atasnya.
 Discontinous berguna jika lapisan di bawah dan di atas dari horizon masukan
terpotong,
 Conformable dapat digunakan jika horizon masukan akan terpotong oleh
erosional, base, atau discontinous. Biasanya dapat dibuktikan dengan melihat
hasil picking horizon pada data seismik.
Dalam pembuatan zona juga perlu diperhatikan bagaimana penambahan isochore
dibawah horizon lapisan reservoir akan bekerja. Secara umum dibagi menjadi 3 cara yaitu top
horizon, base horizon, dan both base and top horizon (Gambar II.17).
 Top Horizon, isochore dari suatu zona akan ditambahkan dari bagian atas suatu
interval stratigrafi atau dengan kata lain isochore akan selaras dan paralel dengan
bagian atas interval stratigrafi.
 Base Horizon, isochore dari suatu zona akan ditambahkan dari bagian bawah
suatu interval stratigrafi atau dengan kata lain isochore akan selaras dan paralel
dengan bagian bawah interval stratigrafi.
 Both Base and Top Horizon, campuran dari top horizon dan bottom horizon.
Kemudian layering digunakan untuk menentukan jumlah sel secara vertikal yang
nantinya akan diisi oleh nilai dari suatu reservoir. Penentuan layer yang tepat akan
mempengaruhi proses upscaling log. Pembuatan layer memiliki beberapa pilihan disesuaikan
dengan kondisi daerah penelitian. Opsi yang dapat dipilih adalah proportional, follow top,
follow base, follow surface, dan fractions (Gambar II.18).
 Proportional, pengguna dapat mengatur berapa jumlah layer yang diinginkan
diantara interval top dan bottom dari suatu zona dan akan secara otomatis
membaginya dengan seimbang.
 Follow Base, pengguna mengatur lebar dari setiap layer diatas bottom horizon
dari zona dan layer akan dibuat sampai ke bagian top zona. Layer yang ada di
top zona akan memiliki tebal yang kurang atau sama dari data masukan awal.
 Follow Top, mirip dengan follow base, namun pengguna mengatur ketebalan
layer dari top suatu zona.

17
 Fraction, mirip dengan opsi propotional, namun pengguna dapat mengatur
ketebalan dari setiap layernya.

Gambar II.16 Tipe-tipe horizon. Gambar II.17 (kiri) Top, Base, Both
dalam pembuatan zona.

Gambar II.18 Opsi pilihan dalam pembuatan layer.

II.2.4.3 Upscaling Log dan Data Analysis


Upscaling log merupakan tahap memasukkan data pada layer yang telah dibuat
sebelumnya. Data-data tersebut akan disebar secara statistik ke dalam grid-grid. Dalam
upscaling log diperlukan kontrol kualitas dengan melihat apakah data telah terepresentasikan
dengan baik atau tidak, hal ini dapat dilihat dari histogram antara data log dengan hasil upscale
nya. Apabila nilai error yang diperlihatkan kurang dari 5 % dapat dikatakan bahwa hasil
upscaling berjalan dengan baik (Rukmana, 2011).
Metode yang digunakan dalam tahap ini adalah average method atau menggunakan rata-
rata pada interval tertentu dan memasukannya ke dalam satu nilai layer. Dalam average method
terdapat beberapa sub metode diantaranya arithmetic mean, geometric mean, dan most of.
 Arithmetic mean, biasanya digunakan untuk properti seperti porositas, saturasi,
dan net/gross.

18
 Geometric mean, secara normal merupakan sub metode estimasi yang baik untuk
permeabilitas jika log tersebut tidak mempunyai korelasi spasial dan log
terdistribusi normal. Sub metode ini sangat sensitif untuk nilai yang rendah.
 Most of, biasanya digunakan untuk data log diskrit seperti fasies dikarenakan nilai
hasil upscaling akan berkorespondensi dengan nilai yang paling representatif di
log untuk suatu sel tertentu.

Gambar II.19 Contoh hasil Gambar II.20 Contoh histogram ideal


upscaling log. dengan error kurang dari 5%.

Data analysis merupakan tahap untuk melakukan kontrol terhadap kualitas data dan
memahami sifat data secara statistik. Tahap ini berguna juga untuk meghasilkan data masukan
yang digunakan oleh model properti diskrit dan kontinyu dalam tahap pembuatan model fasies
dan model petrofisika.
 Discrete Data Analysis, untuk menganalisis proporsi dari fasies, tebal fasies,
kalibrasi antara properti kontinyu dengan fasies di masing-masing zona, dan juga
analisis variogram.
 Continuous Data Analysis, untuk memperlihatkan transformasi data dan untuk
membuat variogram. Transmorfasi data berguna untuk menjadikan data bersifat
stasioner dan terdistribusi secara normal, yang mana merupakan standar dari
banyak algoritma geostatistik.

19
Metode yang digunakan biasanya adalah analisis menggunakan variogram dari kedua
jenis data analysis diatas. Variogram merupakan analisis untuk mengetahui keterkaitan antara
suatu data dengan data lainnya terhadap kondisi jarak tertentu baik secara vertikal maupun
horizontal. Hanya satu model variogram yang dapat digunakan pada semua algoritma model
properti.
a. Parameter-parameter Variogram

Gambar II.21 Parameter Variogram (Bohling, 2005).

 Sill, nilai semi variansi maksimum saat masih ada hubungan spasial.
 Range, merupakan jarak lag dimana semi-variogram mencapai nilai sill. Yang
dapat diasumsikan bahwa data-data yang ada di area tersebut tidak memiliki
korelasi lagi.
 Nugget, mengacu pada teori, nilai semivariogram pada jarak awal (lag = 0)
seharunya adalah nol. Nilai pada nugget akan berubah secara signifikan apabila
nilai data yang ada dekat dengan nilai nol lag bukan nol. Nilai nugget juga dapat
dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan dan penghitungan data.

20
b. Model-Model variogram

Gambar II.22 Model Variogram (Bohling, 2005).

 Model Gaussian, menunjukkan gradien terendah mendekati nilai asal dan


memberikan nilai variansi yang paling rendah diantara sampel halus. Model ini
cocok untuk memodelkan data yang kontinyu seperti topografi dan ketebalan.
 Model Exponential, memiliki gradien tinggi dan menghasilkan model yang lebih
kasar jika dibandingkan dengan model gaussian. Data yang dihasilkan dengan
menangkap perubahan heterogenitas tinggi seperti data petrofisika. Model
spherical adalah model yang sifatnya berada di antara model gaussian dan
exponential dengan acuan garis gradien didekat nilai awal.
 Model Spherical cocok untuk memodelkan fasies dan merupakan model
variogram yang paling sering digunakan karena banyak parameter geologi yang
cocok saat dimodelkan dengan model ini (Shepherd, 2009).

Penggunaan ketiga model tersebut bergantung dengan jenis data dan output yang ingin
dihasilkan.

21
c. Arah Variogram
Penghitungan variogram akan dilakukan pada beberapa arah yang disesuaikan dengan
data geologi yang biasanya bersifat anisotropik. Terdapat 3 arah utama dalam penghitungan
yaitu mayor, minor dan vertikal.
 Arah Mayor, mengimplikasikan arah dimana data mempunyai korelasi yang kuat.
Biasanya disesuaikan dengan arah pengendapan daerah penelitian dan jenis
lingkungan pengendapan yang muncul dari analisis stratigrafi.
 Arah Minor, tegak lurus dengan arah mayor.
 Arah Vertikal, mewakili persebaran data secara vertikal yang merepresentasikan
tebal dari suatu fasies dan berguna dalam penentuan nugget.

II.2.4.4 Pemodelan Properti Reservoir


Proses pembuatan model properti digunakan untuk mengisi sel-sel dari grid dengan data
diskrit (fasies) dan kontinyu (petrofisik). Pemodelan fasies merupakan proses pendistribusian
data diskrit (fasies) kedalam model 3D. Algoritma stokastik dan algoritma deterministik dapat
digunakan dalam pemodelan fasies ini. Data masukan yang diperlukan dalam pembuatan model
fasies ini adalah log fasies yang telah di upscale, parameter model (horizon, zona, layer), dan
kemungkinan trend yang terdapat dalam lapisan reservoir (data analysis). Pemodelan
petrofisika adalah interpolasi atau simulasi dari data yang kontinyu (contoh: porositas efektif,
volume serpih, dan saturasi air) kedalam model grid 3D. Metoda algoritma stokastik dan
algoritma deterministik dapat digunakan untuk melakukan pemodelan petrofisika ini.
 Algoritma Deterministik
Algoritma ini selalu memberikan hasil yang sama dengan data masukan,
mempunyai waktu proses yang lebih singkat. Algoritma ini juga sangat
transparan, dengan artian bahwa pengguna dapat melihat mengapa sel dalam grid
diberikan suatu nilai tertentu. Kelemahan dari model ini adalah apabila masukan
data yang diberikan sedikit, hasil dari algoritma ini secara otomatis akan halus
(rendah) walaupun terdapat bukti-bukti dan hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan hal yang berbeda.

22
 Algoritma Stokastik
Algoritma ini menggunakan masukan data yang acak. Oleh karena itu,
ketika menjalankan proses dengan berurutan akan menghasilkan hasil yang mirip
dengan data masukan, namun detail dari hasilnya akan berbeda. Algoritma
stokastik seperti sequential gaussian simulation (SGS) merupakan hal yang
kompleks dan memakan waktu proses lebih lama dibandingkan dengan algoritma
deterministik. Algoritma Stokastik juga memperbolehkan penggunaan lebih
banyak aspek data masukan, spesifiknya berupa tingkat variasi dari data masukan
itu sendiri yang dapat diproses melalui data analysis. Model properti yang
dihasilkan oleh algoritma ini khususnya dengan SGS terlihat lebih rasional dari
pada penggunaan algoritma deterministik average method. Kelemahan dari
algoritma ini adalah beberapa aspek-aspek penting dari model dapat bersifat acak.

(a) (b)
Gambar II.23 Model yang dibuat berdasarkan algoritma deterministik
Kriging (a) dan algoritma Stokastik SGS (b).

Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian dalam pemilihan algoritma dalam melakukan
proses pemodelan.

23
a. Pemodelan Fasies
Berikut akan ditampilkan beberapa algoritma yang dapat digunakan dalam pemodelan
fasies dan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai sequential indicator simulation (SIS)

Tabel II.1 Algoritma Pemodelan Fasies.

Metode SIS adalah salah satu metode yang berbasis grid, dimana simulasi dilakukan
pada tiap-tiap grid yang ada hingga semua grid terisi oleh nilai. Metode SIS digunakan untuk
memodelkan data yang bersifat diskrit seperti fasies yang dikontrol oleh diagenesis. Cara kerja
metode SIS adalah sebagai berikut (Pyrcz dan Deutsch, 2014):
1. “Berkunjung” (visiting) ke setiap grid secara acak, grid awal yang dikunjungi
ditentukan secara acak (seed number).
2. Pada setiap grid akan dilakukan langkah sebagai berikut:
 Mencari data terdekat dan grid sebelumnya yang telah dilakukan simulasi.
 Menyusun kondisi distribusi dengan menghitung probabiltas setiap fasies yang
hadir pada grid tersebut.
 Menggambarkan fasies yang telah disimulasi dari kumpulan probabilitas.
3. Langkah di atas diulang (iterasi) dengan seed number berbeda hingga semua grid
memiliki nilai.

(a) (b)
Gambar II.24 Contoh model fasies yang dibuat berdasarkan SIS (a) dan
truncated gaussian simulation (b) dengan data masukan sama.

24
b. Pemodelan Petrofisika
Berikut akan ditampilkan beberapa algoritma yang dapat digunakan dalam pemodelan
petrofisika dan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai sequential gaussian simulation (SGS)
Tabel II.2 Algoritma Pemodelan Petrofisika

Dalam pemodelan properti petrofisika batuan, metode yang digunakan adalah sequential
gaussian simulation (SGS), yaitu metode simulasi yang cocok untuk diterapkan pada variabel
kontinyu seperti properti petrofisika. Metode ini memiliki cara kerja yang sama dengan metode
SIS dimana menggunakan model variogram sebagai dasar untuk mempopulasikan nilai, hanya
saja simulasi dilakukan dalam kondisi gaussian/distribusi normal. Hal inilah yang menyebabkan
data pada data analysis harus ditransformasi terlebih dahulu agar memiliki persebaran yang
normal sebelum dimodelkan.

Gambar II.25 Transformasi normal score pada data log kontinyu.

25
II.2.5 Estimasi Cadangan Hidrokarbon
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai penentuan kontak fluida dan penghitungan
STOIIP.

II.2.5.1 Penentuan Kontak Fluida


Penentuan kontak fluida didasarkan pada literatur oleh Consentino (2001). Jenis kontak
fluida dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. LTO (Lowest Tested Oil) atau LTG (Lowest Tested Gas) merupakan batas terbawah
keberadaan minyak atau gas berdasarkan hasil tes laboratorium.
b. LKO (Lowest Known Oil) atau LKG (Lowest Known Gas) merupakan batas
terbawah keberadaan minyak atau gas berdasarkan data petrofisik yang berupa data
saturasi air.
c. ODT (Oil Down To) atau GDT (Gas Down To) merupakan batas keberadaan minyak
atau gas ketika air tidak ditemukan pada sumur. Ini ditandai dengan reservoir pada
interval tersebut terisi penuh oleh minyak atau gas pada kedalaman tertentu dan di
bawah kedalaman tersebut sudah bukan batuan reservoir lagi. Ini berarti kontak air
dengan minyak atau gas tidak dapat ditemukan yang disebabkan oleh lokasi sumur
yang berada pada titik dimana interval reservoir berada diatas OWC atau GWC.
d. WUT (Water Up To) merupakan batas keberadaan minyak atau gas ketika pada
sumur hanya ditemukan air. Ini ditandai dengan reservoir pada interval tersebut terisi
sepenuhnya oleh air pada kedalaman tertentu. Ini berarti kontak air dengan gas atau
air dengan minyak tidak ditemukan dan kemungkinan berada di atas batas WUT
yang disebabkan oleh lokasi sumur yang berada pada titik dimana interval reservoir
berada di bawah OWC atau GWC.
e. OWC (Oil Water Contact) atau GWC (Gas Water Contact) merupakan batas
kontak antara minyak atau gas dengan air pada suatu interval reservoir.

26
Gambar II.26 Ilustrasi Lowest Known Oil (LKO) (Petroskill, 2019)

II.2.5.2 Penghitungan STOIIP


Estimasi cadangan yang dilakukan adalah estimasi awal hidrokarbon atau stock tank
oil initial in place (STOIIP). Dalam penghitungan ini digunakan persamaan sebagai berikut:

7758 x ∅ x (1 − Sw) x A x h
STOIIP =
Bo

Persamaan II.7 Rumus Penghitungan STOIIP

Keterangan: 7758 : Faktor konversi reservoir (bbls per acre. ft)


∅ : Porositas efektif, fraksi
Sw : Saturasi air, fraksi
A : Luas area yang dibatasi oleh kontak fluida (acre)
H : ketebalan net reservoir (ft)
Bo : oil formation volume factor (acre.ft/bbl)

27
Pada perangkat lunak yang digunakan, perhitungan tersebut dijalankan
dengan langkah - langkah berikut:

STOIIP = HCPV/Boi x 7758


BV =A x h
NRV = BV x NTG
PV = NRV x 𝜙
HCPV = PV x (1-Sw)
Keterangan:
BV : Bulk Volume (acre.feet)
NRV : Net Reservoir Volume (acre.feet)
NTG : Net to Gross
PV : Pore Volume (acre.feet)
HCPV : Hydrocarbon Pore Volume (acre.feet)
STOIIP : Stock Tank Oil Initial In Place

Persamaan II.8 Rumus penghitungan STOIIP dalam perangkat lunak.

28

Anda mungkin juga menyukai