2 DASAR TEORI
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dasar teori analisis stratigrafi meliputi konsep
dasar delta, analisis lithofasies, analisis lingkungan pengendapan, stratigrafi sikuen, system tract
dan elektrofasies; analisis petrofisika meliputi rumus penghitungan volume serpih, porositas
efektif, dan saturasi air; pemodelan reservoir statis; dan estimasi cadangan hidrokarbon.
1
Merupakan lingkungan yang bisa diidentifikasi sebagai lingkungan yang didominasi
oleh sedimen pasir atau bongkah (Bhattacharya, 2006). Daerah ini diendapkan pada area
sublittoral yang membatasi antara sub-lingkungan delta plain dengan daerah slope. Lebar
geometri delta front bervariasi antara 5-10 km dengan batas terluarnya ditandai dengan slope
pada kedalaman kolom air 5-7 m (Posamentier dan Allen, 1999). Akumulasi sedimen pada delta
front dikontrol oleh arus fluvial dan tidal membentuk suatu endapan bar dengan geometri lobate
hingga triangular diujung muara dari sungai yang disebut dengan mouth bar. Menurut
Posamentier dan Allen (1999), endapan mouth bar ditandai dengan suksesi ukuran butir
mengasar ke atas (ukuran pasir halus hingga medium/kasar) dan memiliki kontak gradasional
pada bagian dasar. Struktur sedimen yang umum dijumpai merupakan hasil sedimentasi pada
energi rendah, diantaranya adalah bioturbasi, laminasi ripple, dan flaser batulempung atau
batulanau.
3. Prodelta
Berdasarkan sejarah penelitian, lingkungan prodelta diinterpretasikan sebagai area
dimana lempung dan lanau terendapkan secara suspensi. Deposit di prodelta dapat memiliki
banyak atau sedikit struktur sedimen tergantung dari laju sedimentasinya. (Bhattacharya, 2006).
Daerah ini merupakan bagian distal dari delta yang didominasi oleh akumulasi endapan suspensi
halus lempung dan lanau. Batas terluar dari prodelta sekitar 40-50 km dari garis pantai pada
area distributary. Memiliki akumulasi ketebalan sekitar 60 m dan menempati batimetri di
kedalaman 10 meter-70 meter.
2
Gambar II.6 Ilustrasi representatif dari delta dengan dominasi sungai, dominasi
ombak, dan yang terpengaruh oleh pasang surut. (Bhattacharya, 2006).
Gambar II.8 Pola log sinar gamma yang mencirikan lingkungan pengendapan tertentu
dan asosiasi endapan dari sub-lingkungan tertentu (Kendal dkk., 2003).
Gambar 2.8 Pola log sinar gamma yang mencirikan lingkungan pengendapan tertentu
dan asosiasi endapan dari sub-lingkungan tertentu (Kendal, 2003).
4
Gambar II.9 Klasifikasi bentuk- bentuk log SP (Coleman dan Prior, 1962).
6
Pola Penumpukan Agradasi
Pola ini terbentuk jika kecepatan kenaikan muka air laut relatif sebanding dengan
jumlah suplai sedimen. Pola penumpukan ini tidak menunjukkan pola menipis atau
menebal melainkan menunjukkan pola yang relatif sama.
Selain pola penumpukan, terdapat terminologi lain yaitu unit sikuen yang terbagi diantaranya:
Sikuen
Sikuen adalah suatu stratum dasar dalam sikuen stratigrafi. Sikuen adalah unit
stratigrafi yang terdiri atas kumpulan strata (parasikuen) yang berhubungan secara
genetis dan relatif selaras, serta dibatasi oleh ketidakselarasan (unconformity) atau
keselarasan padanannya (correlative conformity). Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa suatu analisis stratigrafi sikuen adalah upaya untuk menghubungkan sikuen yang
korelatif (seumur) dan selaras (tidak terdapat ketidakselarasan di antaranya), namun
dapat saling berbeda keadaan litologi atau fasies penyusunnya.
Parasikuen dan Set Parasikuen
Set parasikeun merupakan kumpulan dari parasikuen, dimana parasikuen
merupakan stratum atau unit stratigrafi yang saling terkait secara genetik atau
merupakan suatu satuan genesa dari suatu lingkungan pengendapan tertentu yang
memiliki hubungan selaras (tidak terdapat ketidakselarasan di dalamnya), serta dibatasi
oleh marine flooding surface (FS) dan/atau permukaan korelasinya.
8
Flooding Surface (FS) dan Transgressive Surface (TS)
FS / marine flooding surface merupakan bidang transgresi sebagai batas antara
lowstand system tract (LST) atau antara highstand system tract (HST) dengan
transgressive system tract (TST) yang berada diatasnya, dimana flooding surface yang
pertama kali terbentuk setelah batas sikuen disebut sebagai transgressive surface
(Posamentier dan Allen, 1999). Namun dikarenakan dalam satu sikuen terkadang
memiliki system tract yang tidak lengkap, FS seringkali diidentifikasi merupakan batas
antara HST dengan TST. FS dicirikan dengan adanya perubahan fasies menjadi lebih
dalam dengan litologi berupa shale dan kandungan bioturbasi yang meningkat.
b. System Tract
System tract dapat ditandai dengan suatu pola penumpukan dari parasikuen atau set
parasikuen. Urutan dari parasikuen yang berhubungan secara genetis dan membentuk suatu pola
penumpukan tertentu yang dibatasi oleh marine flooding surface utama dan permukaan yang
sebanding disebut sebagai set parasikuen (Wagoner dkk., 1990). Berdasarkan pola penumpukan
dari set parasikuen, system tract terbagi menjadi tiga, yaitu:
Lowstand System Tract (LST)
Lowstand system tract (LST) merupakan unit stratigrafi yang diendapkan
selama periode penurunan muka air laut relatif yang diikuti oleh kondisi standstill dan
kenaikan muka air laut relatif yang lambat (Posamentier dan Allen, 1999). LST
dibatasi oleh batas sikuen (SB) pada bagian bawah dan transgressive surface (TS) pada
bagian atas, serta membentuk pola penumpukan agradasional. LST tidak selalu
ditemukan dalam satu set sikuen.
Transgressive System Tract (TST)
Transgressive system tract (TST) merupakan unit stratigrafi yang diendapkan
selama fase transgresif, yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kenaikan muka
air laut relatif dan penambahan akomodasi yang melebihi tingkat suplai sedimen
(Posamentier dan Allen, 1999). TST dibatasi oleh transgressive surface (TS) pada
bagian bawah dan maximum flooding surface (MFS) pada bagian atas, serta
membentuk pola penumpukan retrogradasional.
9
Highstand System Tract (HST)
Highstand system tract (HST) adalah unit stratigrafi yang diendapan selama
fase regresif, yang terbentuk pada saat tingkat kenaikan muka air laut relatif lebih
rendah dibandingkan dengan laju pengendapan sedimen (Posamentier dan Allen,
1999). HST dibatasi oleh maximum flooding surface (MFS) pada bagian bawah dan
batas sikuen (SB) pada bagian atas, serta membentuk pola penumpukan
progradasional.
Gambar II.11 Skema komponen sikuen stratigrafi, parasikuen, dan system tract
(Van Wagoner dkk., 1990).
10
Selley (1985) dengan pendekatan observasi litologi, fosil, dan geometri daerah penelitian dalam
penentuan lingkungan pengendapan ini.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai konsep penghitungan beberapa parameter
petrofisika yaitu volume serpih, porositas efektif, dan saturasi air.
Persamaan II.1 Rumus penghitungan volume serpih menggunakan log sinar gamma.
11
Keterangan:
Vsh : Volume serpih [%]
GRlog : Nilai bacaan sinar gamma pada log [GAPI]
GRmax : Nilai sinar gamma maksimum [GAPI]
GRmin : Nilai sinar gamma minimum (clean sand atau karbonat) [GAPI]
Log SP juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi nilai dari volume serpih dengan
rumusan ditampilkan pada persamaan II.2.
Keterangan:
Vsh : Volume serpih [%]
PSP : Pseudo Static Spontaneous Potential, defleksi dari shale/baseline ke kurva yang dibaca
SSP : Static Spontaneous Potential, defleksi dari shale/baseline ke clean line
12
Keterangan: Øtot : porositas total
Øeff : porositas efektif
Vsh : Volume serpih
Øtotsh : Porositas total serpih
Rumus penghitungan dari volume serpih (Vsh) telah ditentukan pada pembahasan
sebelumnya. Nilai dari CBW jika mengacu pada persamaan di atas adalah nilai perkalian antara
Vsh dan Øtotsh. Terdapat juga parameter lain yang perlu dicari melalui rumus penghitungan yaitu
porositas total (Øtot) dan porositas total serpih (Øtotsh).
Penentuan nilai dari porositas total serpih (Øtotsh) dapat dilakukan menggunakan
persamaan Crain (1976) sebagai berikut:
tot
13
II.2.3.3 Penghitungan Saturasi Air (Sw)
Reservoir pada interval penelitian termasuk dalam kategori shaly sand dan mempunyai
kandungan NaCl yang tinggi (Pertamina, 2014). Menurut Crain (1976), litologi batupasir
digolongkan sebagai shaly sand apabila memiliki kandungan Vsh > 0,1.
Persamaan modified Simandoux yang digunakan dalam perhitungan saturasi air (Bardon
dan Pied, 1969):
14
II.2.4.2 Pillar Gridding, Horizon, Zona, dan Layer
a. Pillar Gridding
Merupakan proses pembuatan grid (kotak) secara spasial pada model yang dibuat. Setiap
grid diasumsikan sebagai suatu sel yang mewakili setiap posisi pada model yang akan diisi suatu
nilai. kemudian pillar gridding mempunyai fungsi lain yaitu untuk mengonversi sesar-sesar
yang telah dimodelkan ke dalam 3D grid dan membatasi daerah penelitian dengan membuat
batas / boundary yang disesuaikan dengan persebaran dari sumur penelitian.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah penentuan nilai I increment dan J
increment pada grid yang akan dibuat nantiya. “J” merupakan orientasi dominan dari sesar yang
telah dikonversi dan dimodelkan sebelumnya, sedangkan “I” merupakan orientasi tegak lurus
dari “J”. Menurut Rukmana (2011) nilai I x J increment yang optimal adalah antara (25 x 25)
meter sampai (50 x 50) meter dengan jarak minimum antar sumur penelitian sebesar 4 kotak
grid.
Hasil dari tahapan ini berupa skeleton framework yang merupakan batas dari zona yang
dipengaruhi oleh sesar-sasar. Skeleton framework sendiri terbagi dalam 3 bagian yaitu top, mid,
dan bottom. Hal ini akan memberikan gambaran bahwa, apabila zona reservoir yang telah
ditentukan sebelumnya berada pada area skeleton framework, maka dapat dipastikan bahwa
zona reservoir terpengaruh oleh sesar.
Perlu dilakukan juga proses kontrol kualitas dari grid yang telah dibuat. Grid yang baik
biasanya tidak memiliki garis-garis yang saling tumpang tindih atau memotong satu sama lain.
Grid yang buruk juga dapat disebabkan oleh pillar yang memiliki perubahan arah yang tiba-tiba
dengan pillar yang saling berdekatan.
15
\
Membuat zona:
Pada pembuatan zona diperlukan data isochore lapisan
yang ada dibawah horizon reservoir utama bila ada.
Membuat layer:
Dibuat berdasarkan tebalnya cell atau berdasarkan
aturan dari Rukmana (2011) yaitu minimum setiap 0,5
ft merupakan satu layer pada suatu zona.
Sebagai tambahan, dalam pembuatan horizon, perlu diperhatikan apakah tipe dari
horizon lapisan reservoir utama tersebut. Terdapat 4 tipe horizon yang dapat dipilih dan
disesuaikan dengan kondisi yang ada yaitu erosional, base, discontinous dan conformable.
(Gambar II.16)
Erosional digunakan jika horizon yang di masukkan memotong lapisan di
bawahnya.
16
Base berguna jika horizon yang dimasukkan memotong lapisan di atasnya.
Discontinous berguna jika lapisan di bawah dan di atas dari horizon masukan
terpotong,
Conformable dapat digunakan jika horizon masukan akan terpotong oleh
erosional, base, atau discontinous. Biasanya dapat dibuktikan dengan melihat
hasil picking horizon pada data seismik.
Dalam pembuatan zona juga perlu diperhatikan bagaimana penambahan isochore
dibawah horizon lapisan reservoir akan bekerja. Secara umum dibagi menjadi 3 cara yaitu top
horizon, base horizon, dan both base and top horizon (Gambar II.17).
Top Horizon, isochore dari suatu zona akan ditambahkan dari bagian atas suatu
interval stratigrafi atau dengan kata lain isochore akan selaras dan paralel dengan
bagian atas interval stratigrafi.
Base Horizon, isochore dari suatu zona akan ditambahkan dari bagian bawah
suatu interval stratigrafi atau dengan kata lain isochore akan selaras dan paralel
dengan bagian bawah interval stratigrafi.
Both Base and Top Horizon, campuran dari top horizon dan bottom horizon.
Kemudian layering digunakan untuk menentukan jumlah sel secara vertikal yang
nantinya akan diisi oleh nilai dari suatu reservoir. Penentuan layer yang tepat akan
mempengaruhi proses upscaling log. Pembuatan layer memiliki beberapa pilihan disesuaikan
dengan kondisi daerah penelitian. Opsi yang dapat dipilih adalah proportional, follow top,
follow base, follow surface, dan fractions (Gambar II.18).
Proportional, pengguna dapat mengatur berapa jumlah layer yang diinginkan
diantara interval top dan bottom dari suatu zona dan akan secara otomatis
membaginya dengan seimbang.
Follow Base, pengguna mengatur lebar dari setiap layer diatas bottom horizon
dari zona dan layer akan dibuat sampai ke bagian top zona. Layer yang ada di
top zona akan memiliki tebal yang kurang atau sama dari data masukan awal.
Follow Top, mirip dengan follow base, namun pengguna mengatur ketebalan
layer dari top suatu zona.
17
Fraction, mirip dengan opsi propotional, namun pengguna dapat mengatur
ketebalan dari setiap layernya.
Gambar II.16 Tipe-tipe horizon. Gambar II.17 (kiri) Top, Base, Both
dalam pembuatan zona.
18
Geometric mean, secara normal merupakan sub metode estimasi yang baik untuk
permeabilitas jika log tersebut tidak mempunyai korelasi spasial dan log
terdistribusi normal. Sub metode ini sangat sensitif untuk nilai yang rendah.
Most of, biasanya digunakan untuk data log diskrit seperti fasies dikarenakan nilai
hasil upscaling akan berkorespondensi dengan nilai yang paling representatif di
log untuk suatu sel tertentu.
Data analysis merupakan tahap untuk melakukan kontrol terhadap kualitas data dan
memahami sifat data secara statistik. Tahap ini berguna juga untuk meghasilkan data masukan
yang digunakan oleh model properti diskrit dan kontinyu dalam tahap pembuatan model fasies
dan model petrofisika.
Discrete Data Analysis, untuk menganalisis proporsi dari fasies, tebal fasies,
kalibrasi antara properti kontinyu dengan fasies di masing-masing zona, dan juga
analisis variogram.
Continuous Data Analysis, untuk memperlihatkan transformasi data dan untuk
membuat variogram. Transmorfasi data berguna untuk menjadikan data bersifat
stasioner dan terdistribusi secara normal, yang mana merupakan standar dari
banyak algoritma geostatistik.
19
Metode yang digunakan biasanya adalah analisis menggunakan variogram dari kedua
jenis data analysis diatas. Variogram merupakan analisis untuk mengetahui keterkaitan antara
suatu data dengan data lainnya terhadap kondisi jarak tertentu baik secara vertikal maupun
horizontal. Hanya satu model variogram yang dapat digunakan pada semua algoritma model
properti.
a. Parameter-parameter Variogram
Sill, nilai semi variansi maksimum saat masih ada hubungan spasial.
Range, merupakan jarak lag dimana semi-variogram mencapai nilai sill. Yang
dapat diasumsikan bahwa data-data yang ada di area tersebut tidak memiliki
korelasi lagi.
Nugget, mengacu pada teori, nilai semivariogram pada jarak awal (lag = 0)
seharunya adalah nol. Nilai pada nugget akan berubah secara signifikan apabila
nilai data yang ada dekat dengan nilai nol lag bukan nol. Nilai nugget juga dapat
dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan dan penghitungan data.
20
b. Model-Model variogram
Penggunaan ketiga model tersebut bergantung dengan jenis data dan output yang ingin
dihasilkan.
21
c. Arah Variogram
Penghitungan variogram akan dilakukan pada beberapa arah yang disesuaikan dengan
data geologi yang biasanya bersifat anisotropik. Terdapat 3 arah utama dalam penghitungan
yaitu mayor, minor dan vertikal.
Arah Mayor, mengimplikasikan arah dimana data mempunyai korelasi yang kuat.
Biasanya disesuaikan dengan arah pengendapan daerah penelitian dan jenis
lingkungan pengendapan yang muncul dari analisis stratigrafi.
Arah Minor, tegak lurus dengan arah mayor.
Arah Vertikal, mewakili persebaran data secara vertikal yang merepresentasikan
tebal dari suatu fasies dan berguna dalam penentuan nugget.
22
Algoritma Stokastik
Algoritma ini menggunakan masukan data yang acak. Oleh karena itu,
ketika menjalankan proses dengan berurutan akan menghasilkan hasil yang mirip
dengan data masukan, namun detail dari hasilnya akan berbeda. Algoritma
stokastik seperti sequential gaussian simulation (SGS) merupakan hal yang
kompleks dan memakan waktu proses lebih lama dibandingkan dengan algoritma
deterministik. Algoritma Stokastik juga memperbolehkan penggunaan lebih
banyak aspek data masukan, spesifiknya berupa tingkat variasi dari data masukan
itu sendiri yang dapat diproses melalui data analysis. Model properti yang
dihasilkan oleh algoritma ini khususnya dengan SGS terlihat lebih rasional dari
pada penggunaan algoritma deterministik average method. Kelemahan dari
algoritma ini adalah beberapa aspek-aspek penting dari model dapat bersifat acak.
(a) (b)
Gambar II.23 Model yang dibuat berdasarkan algoritma deterministik
Kriging (a) dan algoritma Stokastik SGS (b).
Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian dalam pemilihan algoritma dalam melakukan
proses pemodelan.
23
a. Pemodelan Fasies
Berikut akan ditampilkan beberapa algoritma yang dapat digunakan dalam pemodelan
fasies dan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai sequential indicator simulation (SIS)
Metode SIS adalah salah satu metode yang berbasis grid, dimana simulasi dilakukan
pada tiap-tiap grid yang ada hingga semua grid terisi oleh nilai. Metode SIS digunakan untuk
memodelkan data yang bersifat diskrit seperti fasies yang dikontrol oleh diagenesis. Cara kerja
metode SIS adalah sebagai berikut (Pyrcz dan Deutsch, 2014):
1. “Berkunjung” (visiting) ke setiap grid secara acak, grid awal yang dikunjungi
ditentukan secara acak (seed number).
2. Pada setiap grid akan dilakukan langkah sebagai berikut:
Mencari data terdekat dan grid sebelumnya yang telah dilakukan simulasi.
Menyusun kondisi distribusi dengan menghitung probabiltas setiap fasies yang
hadir pada grid tersebut.
Menggambarkan fasies yang telah disimulasi dari kumpulan probabilitas.
3. Langkah di atas diulang (iterasi) dengan seed number berbeda hingga semua grid
memiliki nilai.
(a) (b)
Gambar II.24 Contoh model fasies yang dibuat berdasarkan SIS (a) dan
truncated gaussian simulation (b) dengan data masukan sama.
24
b. Pemodelan Petrofisika
Berikut akan ditampilkan beberapa algoritma yang dapat digunakan dalam pemodelan
petrofisika dan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai sequential gaussian simulation (SGS)
Tabel II.2 Algoritma Pemodelan Petrofisika
Dalam pemodelan properti petrofisika batuan, metode yang digunakan adalah sequential
gaussian simulation (SGS), yaitu metode simulasi yang cocok untuk diterapkan pada variabel
kontinyu seperti properti petrofisika. Metode ini memiliki cara kerja yang sama dengan metode
SIS dimana menggunakan model variogram sebagai dasar untuk mempopulasikan nilai, hanya
saja simulasi dilakukan dalam kondisi gaussian/distribusi normal. Hal inilah yang menyebabkan
data pada data analysis harus ditransformasi terlebih dahulu agar memiliki persebaran yang
normal sebelum dimodelkan.
25
II.2.5 Estimasi Cadangan Hidrokarbon
Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai penentuan kontak fluida dan penghitungan
STOIIP.
26
Gambar II.26 Ilustrasi Lowest Known Oil (LKO) (Petroskill, 2019)
7758 x ∅ x (1 − Sw) x A x h
STOIIP =
Bo
27
Pada perangkat lunak yang digunakan, perhitungan tersebut dijalankan
dengan langkah - langkah berikut:
28