Anda di halaman 1dari 8

Putri Hujan

Oleh : Croquise_blue

Gumpalan awan saling melekat membentuk sebuah ikatan kuat agar tidak runtuh saat dipijak.
Di beberapa sisi, awan itu putih bersih, sedangkan di sudut lainnya berwarna abu kemerahan.
Mungkin di bagian itu, di bawah sana hujan berderai turun, sebab kilat dan petir juga
bersahutan di ujung sana. Pun dengan embusan angin yang mengajak beberapa helai daun
menari-nari.

Kaki telanjangku terasa semakin dingin seiring awan yang berdesakan memenuhi kolam.
Sore itu, aku tengah menyesap teh hijau hangat di pendopo istana yang langsung tersaji
sebuah kolam dari awan berwarna biru cerah di bagian depannya. Kemudian telingaku
menangkap suara kecil yang kian jelas seiring jarak yang terkikis antara aku dan Si Sumber
Suara.

“Ibu ....” Seorang Pangeran Kecil berlari ke arahku dan kemudian membenamkan wajahnya
di dekapanku.

“Ada apa ini? Anakku sampai lari-lari seperti ini?” tanyaku sambil merapikan rambut biru
keabu-abuannya.

“Aku rindu Ibu,” jawab anakku dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya. Aku mengangguk
atas tingkahnya ini. Menepuk pelan ruang kosong di sampingku agar Pandhu—putraku bisa
duduk. Tanpa pikir panjang, Pandhu langsung melakukannya dan kembali mendekapku dari
samping. Aku mengusap pucuk kepalanya perlahan dan bertanya, “Kamu mau mendengar
cerita Ibu, tidak?”

Pandhu membulatkan matanya hingga berbinar-binar, menunjukkan bahwa dia antusias


dengan cerita yang aku tawarkan.

“Kisah ini tentang seorang gadis kecil dan rasa keingintahuannya yang akhirnya
membawanya bertemu dengan seorang pria kecil seusianya.”

“Apa kemudian mereka berteman, Bu?”


“Inginnya begitu, tetapi pria kecil ini berbeda. Dia berasal dari bumi bukan dari langit ....”

“Tempat tinggal kita,” ucap Pandhu menebak lanjutan kalimatku. Kemudian aku tersenyum
dan mulai bercerita.

***

Telah lahir seorang putri dari permaisuri Raja Rama de Rayne yaitu Anna de Rayne
bertepatan dengan malam bulan purnama dan juga hujan gerimis. Sudah menjadi tradisi
ketika seorang Ratu melahirkan anak, sesepuh negeri Renyai akan datang untuk melihat garis
hidup sang keturunan.

“Seorang putri yang dinanti telah hadir di tengah-tengah kita,” ucap sesepuh yang memiliki
rambut panjang sewarna gading. Dia mengamatinya dengan seksama, “Gadis ayu dengan
kasih sayang yang melimpah.”

Bayi yang ada di dekapan sang Ibu nampak membulatkan mata berbinarnya yang berwarna
abu-abu. Sebuah tawa menggemaskan menghiasi wajah mungilnya. Jemari kecil yang sedikit
bantat itu meraba-raba tangan sesepuh yang berselimut kerut. Raut wajah sesepuh Renyai
berubah seiring angin dingin berembus, menyibak tirai jendela. Mata sesepuh dengan iris
berwarna hijau serupa lumut itu kehilangan cahayanya.

“A-ada apakah gerangan?” tanya Raja Rama. Rasa khawatir kentara di wajah tegasnya.

“Dia akan jadi Putri Hujan, semua makhluk mencurahkan kasih sayangnya tanpa terkecuali
....” Sesepuh itu bergeming sejenak, “Namun, hatinya akan kesepian,” lanjut sesepuh dengan
suara parau penuh iba.

Hari terus berlalu pun dengan purnama yang berganti sabit. Dedaunan yang jingga kini
kembali menghijau. Saat ini seluruh alam bekerja sebagaimana mestinya. Pun dengan Putri
Hujan yang kini menginjak usia tujuh tahun. Dia tumbuh menjadi seorang yang penuh
kelemah-lembutan. Menjadi gadis ceria yang selalu membuat Kerajaan Negeri Renyai
bahagia.
“Aku akan pergi dengan siapa, Ibu?”

“Bersama Ayah,” jawab Ratu Anna seraya mengusap lembut rambut putri semata wayangnya.
Gaun sederhana bercorak biru serupa langit itu membalut tubuh mungil Putri Anindita. Ini
adalah saat yang dia tunggu-tunggu karena hari ini dia akan menjalankan tugas pertamanya
sebagai anggota Negeri Renyai.

“Baiklah, Anindita sudah siap,” ucap gadis kecil itu kemudian turun dari ranjang ibunya
menuju pintu keluar.

Sang Ayah—Raja Rama de Rayne ternyata sudah menunggu Anindita di depan pintu. Dia
tersenyum mendekap putrinya kemudian mengangkatnya agar dia bisa menggendong
Anindita, “Tugas pertama tidaklah sulit, Anindita. Kamu hanya perlu menggiring awan lalu
mengikatnya jadi satu.”

Anindita bergeming sembari memilin ujung gaun yang dia kenakan. Raja Rama tahu betul
apa yang tengah dirasakan putri kecilnya. Sekali lagi dia mendekap tubuh Anindita.

“Kamu bisa, Anin.”

Anindita berusaha mempercayai dirinya dan ayahnya bahwa dia bisa melakukan tugas ini.
Tarikan napas panjang dia tahan sebentar sebelum akhirnya diembuskan. Anindita mencoba
fokus, memusatkan pikirannya pada awan-awan yang terurai. Kilatan terlihat di iris mata
abu-abunya yang semakin gelap seiring gerakan awan-awan itu yang mulai menyatu. Namun,
tiba-tiba angin kencang dengan hawa dingin menerpa. Langit berubah warna menjadi hitam
pekat. Alhasil konsentrasi Anindita terurai.

Gumpalan awan yang berjalan pelan hendak menyatu itu berubah kecepatannya. Mereka
saling bertabrakan dan menyatu membentuk gumpalan awan hitam. Kemudian menimbulkan
kilatan petir disertai gemuruh yang memekakkan telinga. Anindita jatuh terduduk, lantas
mengangkat kedua tangan untuk menutupi indra pendengarannya. Raja Rama membuat
gerakan seperti mengusap sesuatu dan keadaan kembali seperti sedia kala. Dia lantas
menghampiri putrinya, memeluk tubuh Anindita yang gemetar, terdengar sebuah isakkan
darinya.

Setibanya di istana, Raja langsung membawa Anindita menemui ibunya, berharap


permaisurinya mampu menenangkan Anindita yang masih ketakutan.

“Tidak apa-apa, Anin.” Kini Anindita tengah berada di pelukan ibunya. Kehangatan
menyelimuti tubuh Anindita, meskipun sedu-sedan masih terdengar dari mulut kecilnya.
Setelah benar-benar tenang, Anindita menatap lekat mata ibunya dan bertanya, “T-tapi
bagaimana jika ada makhluk bumi yang terkena petir tadi, Ibu?” Ratu Anna tersenyum tipis
mendengar pertanyaan putrinya.

“Ayah akan memeriksanya, Sayang.”

Terdengar suara ketukan tiga kali di pintu yang sedari tadi terbuka, mengalihkan perhatian
Anindita. Ternyata itu adalah Raja Rama, dia langsung mendapat dekapan hangat dari
Anindita yang berlari ke arahnya.

“Aku ingin ikut, " ucap Anindita yang kini telah berada di gendongan sang Ayah, “izinkan
aku, Yah,” pinta gadis itu. Raja Rama tampak berpikir sejenak sebelum berkata, “Baiklah,
karena anak Ayah cantik, kamu boleh ikut." Setelah itu, Raja Rama menatap wajah istrinya
dan memberikan senyum tipis, sedangkan Ratu Anna hanya mengangguk pelan.

Raja Rama dan Anindita berjalan keluar dari istana. Mereka duduk di salah satu gumpalan
awan yang memang sudah disiapkan sebagai kendaraan menuju bumi. Dengan satu jentikan
jari, awan tersebut bergerak mengikuti arahan Raja Rama. Turun ke bumi tidak terlalu sulit
ataupun memakan waktu lama dan sepertinya Anindita menikmati perjalanannya itu.

Selang beberapa saat mereka pun sampai di bumi. Sejauh mata memandang, yang terlihat
hanyalah rerumputan hijau yang terhampar luas. Di atasnya terdapat beberapa bunga kecil
warna-warni. Pun beberapa pohon besar rindang yang menjaga jarak satu sama lain. Anindita
berjalan mengikuti ayahnya. Kemudian ada seorang anak kecil yang tiba-tiba jatuh dari atas
pohon, membuat Raja Rama dan Anindita terkesiap dan mengambil langkah mundur, dengan
segera Anindita bersembunyi di balik tubuh sang Ayah.
"Maaf telah membuat Anda terkejut, Yang Mulia.” Anak lelaki itu sedikit membungkuk
memberi hormat. Dia seorang anak manusia biasa jika dilihat dari gaya berpakaiannya.

“Tidak apa-apa,” jawab Raja Rama.

“Ada apakah gerangan hingga Yang Mulia turun menapak bumi?” Raja Rama menaruh
tangan kirinya di balik punggung, Anak ini pandai sekali bertutur, batin sang Raja.

“Kemarin putriku baru saja berlatih mengendalikan hujan. Namun, dia malah memanggil
petir. Dia khawatir bila ada makhluk bumi yang terluka.” Anak kecil itu mendengarkan
penjelasan Raja Rama mengenai kronologi kejadian kemarin. Lantas terdiam sejenak
sebelum dia menolehkan kepalanya ke arah pohon yang ia duduki tadi, “Ah, itulah mengapa
pohon ini gosong kemarin,” ucap anak kecil itu dengan kekehan setelah menyadari
situasinya, “tidak ada yang terluka, Yang Mulia, Tuan Putri,” lanjutnya sedikit mengintip
gadis kecil di balik tubuh Raja.

Setelah itu Raja Rama berpamitan karena ada banyak hal yang harus diurus di Negeri Renyai.
Anindita sedikit membungkukkan badan ke anak kecil yang sebaya dengannya itu. Kedua
sudut bibirnya terangkat, membuat anak lelaki itu ikut tersenyum. Kini Raja Rama dan
Anindita sudah kembali ke istana.

Waktu berlalu dengan cepat, sore itu, Anindita yang telah berusia dua puluh tahun bertugas
untuk menurunkan hujan di padang rumput. Ketika sedang melakukan tugas, Anindita
teringat memori masa kecilnya. Dia berharap ada seseorang yang dapat dilihatnya di padang
rumput itu. Seseorang yang mampu membuat hatinya seakan ingin melompat keluar.
Seseorang yang membuatnya jatuh cintah belasan tahun silam.

Lamat-lamat terdengar suara dengan nada berat khas pria. Anindita bersembunyi di balik
salah satu awan kelabu yang tengah mencurahkan airnya. Suara itu semakin jelas seiring
munculnya sosok pria bertubuh tinggi dan kekar. Dia menggunakan pakaian sederhana yang
sudah basah terkena hujan, kulitnya sawo matang, iris matanya berwarna hijau kebiruan dan
rambutnya yang basah ia sibak ke belakang.
Anindita langsung mengenali siapa pria tampan itu. Perasaannya membuncah dipenuhi
bunga-bunga yang bermekaran. Dia adalah Eden, pria yang telah mencuri hatinya. Selama
ini Anindita memang tidak pernah muncul di hadapan pria itu dan hanya memperhatikan
Eden dari kejauhan. Namun, sepertinya kali ini Anindita tidak bisa menahan diri lagi. Dia
ingin menemui Eden dan berbincang dengannya, tetapi hatinya tetap saja tidak bisa berhenti
berdegup kencang. Anindita menimbang-nimbang haruskah dia turun dan menyapanya?

Kesempatan tidak datang dua kali, ayo Anindita!

Suara hati Anindita berusaha untuk meyakinkannya. Tepat ketika dia memutuskan untuk
meninggalkan persembunyiannya, saat itu juga dia melihat seorang gadis bergaun biru selutut
tengah berdiri di samping Eden. Gadis itu tampak anggun meskipun rambutnya basah terkena
hujan. Tangan mereka saling menggenggam. Raut bahagia terpancar di wajah keduanya.

Kemudian Eden berlutut menghadap ke arah gadis itu. Eden merogoh saku celananya dan
mengambil sebuah kotak kecil dari kayu yang dihiasi ukiran bunga. Perlahan Eden membuka
kotak kayu yang ternyata berisi cincin seraya berkata, "Airin, aku mencintaimu dan aku yakin
kau pun tahu itu. Maka dari itu, sudikah dirimu menjadi pendamping hidupku?”

Tanpa pikir panjang gadis bernama Airin itu mengangguk, “Iya, aku bersedia, Eden,”
jawabnya dan langsung mendekap Eden dengan erat setelah cincin itu tersemat di jari
manisnya. Bersamaan dengan itu hujan turun semakin deras. Suara gemuruh ikut hadir
menemani suasana haru di bawah sana.

Namun, tidak demikian dengan hati Anindita yang menyaksikan semuanya. Kaki Anindita
terasa lemas hingga akhirnya dia tersimpuh di atas awan yang kini berubah menjadi paling
kelabu. Tangis yang berusaha dia tahan semakin menambah rasa sesak di dadanya. Dia tidak
pernah tahu jika patah karena cinta akan sesakit ini. Tangisannya semakin pilu seiring hujan
deras dan petir yang bersahutan. Kisah cintanya selama belasan tahun ini kandas tepat disaat
Anindita ingin memulainya.

Anindita kembali ke kerajaan tanpa memberi tahu siapapun mengenai apa yang baru saja
terjadi atau apa yang hatinya rasakan. Dia melalui hari-hari dengan bahagia bersama ayah dan
ibu serta penghuni istana lainnya. Namun, di malam paling gulita, Anindita hanya akan
menangisi takdirnya, hanya dia dengan rasa sakitnya lantaran pupus sudah harapan untuk
hidup bahagia bersama cinta pertamanya. Siklus hidupnya terus seperti itu. Anindita merasa
dia tidak bisa keluar dari lingkaran kesedihannya, sampai suatu hari, Rakish—sahabatnya
telah kembali dari negeri seberang.

"Kau tidak keberatan dengan perjodohan ini?" tanya Rakish yang sedang memainkan
gumpalan awan dengan tangannya. Anindita menoleh ke arah pria berkulit putih itu,
bergeming sejenak kemudian balik bertanya, "Kenapa harus keberatan?"

"Karena kau tidak pernah melihatku sebagaimana wanita melihat pria," ujar Rakish dengan
nada sendu. Tanpa Rakish duga, wajah Anindita semakin mendekat ke arahnya. Anindita
mengangkat kedua tangannya. Kemudian secara tiba-tiba dia langsung menarik kedua pipi
Rakish, membuat Rakish merintih kesakitan.

"Kau itu sahabatku. Coba bayangkan betapa serunya menikah dengan orang yang sangat
dekat dengan kita, pasti menyenangkan!" Saat itu, Rakish memang tersenyum mendengar
ucapan Anindita. Namun, jauh di lubuk hatinya, Rakish tahu bahwa, dia hanyalah sahabat
Anindita dan tidak akan pernah menjadi kekasihnya. Rakish memberikan gumpalan awan
yang sedari tadi dia mainkan kepada Anindita. Ternyata dia membentuk sebuah hati, Anindita
menerimanya dengan senang hati.

Aku memang belum mencintaimu, Rakish. Namun, aku akan berusaha membalas rasa itu,
karena aku tahu betapa sakitnya cinta tak berbalas, ucap Anindita di dalam hati.

***

"Ibu, kenapa nama gadis itu sama denganmu?” tanya Pandhu dengan matanya yang
mengerjap beberapa kali.

“Mungkin karena kakekmu sangat menyukai nama itu.”

“Ah iya, nama nenek juga Anindita!” seru Pandhu seraya berdiri tegap.
“Sudah, lebih baik kamu temui ayahmu. Dia pasti sudah pusing karena tidak menemukan
putranya di manapun. Ini juga hari pertamamu mengendalikan hujan, kan?” Anakku
tersenyum memperlihatkan gigi putihnya.

“Iya, doakan aku tidak seperti nenek saat pertama kali mencobanya,” ucapnya dengan
kekehan kecil. Dia mengecup pipiku tiba-tiba dan kemudian berlari menjauh untuk menemui
ayahnya sambil berteriak, “Aku sayang Ibu ....”

Selalu saja ada hal kecil yang dia lakukan yang bisa membuatku bahagia dan bersyukur telah
dikaruniai anak tampan dan baik hati sepertinya. Aku kembali menyesap teh yang mulai
dingin. Mataku menerawang jauh entah kemana.

“Cucumu mirip denganmu, Bu.”

Bionarasi:
Gadis yang lahir pada hari pertama di bulan Juli yang memiliki motivasi 'Selama kamu bisa,
kenapa harus saya?' ini mulai mengubah mindset-nya melalui tulisan. Penulis amatir dengan
nama pena Croquis ini berharap suatu saat nanti dia bisa menulis sebuah karya yang akan
dikenang oleh pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai