Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

BAHASA INDONESIA

MENCARI CERPEN DAN MENENTUKAN UNSUR INTRINSIK

GURU BAHASA INDONESIA

Dra.Suyadmi

DISUSUN OLEH

Lady Bilqiis Az Zahra

Kelas/Absen : IXG/14

RAKSASA EGOIS
Karya OSCAR WILDE

Setiap petang, saat pulang dari sekolah, sekelompok kanak-kanak pergi


ke kebun Raksasa untuk bermain-main.

Kebun itu sangat luas dan cantik, dengan bentangan rumput hijau yang
empuk. Dari ujung ke ujung, bunga-bunga betebaran di antara
rerumputan bagaikan bintang-gemintang. Ada dua belas pohon persik
yang di Musim Semi mengubah dirinya menjadi kelopak-kelopak
berwarna merah jambu dengan semburat kilau mutiara, sementara di
Musim Gugur, pohon itu mempersembahkan buahnya yang lezat.
Burung senang hinggap di batang pohon dan bersiul sangat merdu,
sampai-sampai kanak kanak itu berhenti bermain untuk menikmati
suara indah sang burung. ‘Betapa riangnya kami di kebun ini!’ mereka
saling berseru-seru satu sama lain.

Suatu hari, Raksasa kembali pulang. Dia memang sempat pergi selama
tujuh tahun untuk mengunjungi sahabatnya, Raksasa dari Cornish.
Selepas tujuh tahun, setelah dia menyampaikan kepada sahabatnya
semua yang ingin dia katakan, karena kemampuan bercakapnya sangat
terbatas, Raksasa memutuskan untuk balik ke istananya sendiri. Namun
setibanya di sana, dia melihat sekelompok kanak-kanak sedang
bermain-main di kebunnya.

‘Apa yang kalian lakukan di sini?’ teriaknya dengan suara yang serak,
membuat kanak-kanak itu langsung berlarian.

‘Kebunku adalah milikku,’ kata Raksasa; ‘Semua orang harus tahu,


bahwa kecuali diriku, tak ada yang boleh bermain di kebun ini!’ Lalu dia
membangun tembok tinggi di sekeliling kebun tersebut, dan memasang
papan pengumuman:

PELANGGAR
AKAN
Sungguh, dia seorang raksasa yang egois.
DIHUKUM BERAT
Kanak-kanak malang, mereka tidak memiliki tempat lain untuk bermain.
Mereka pindah bermain di jalanan, tapi jalanan sangat berdebu dan
berbatu-batu; membuat mereka tidak suka dengan tempatnya. Mereka
senang berjalan-jalan di sepanjang tembok tinggi itu, sambil
mengenang keindahan kebun di baliknya.

‘Betapa riangnya kami di kebun itu!’ mereka masih sering berseru-seru


satu sama lain.

Musim Semi pun tiba. Seluruh negeri dipenuhi dengan kelopak-kelopak


mungil dan burung-burung kecil. Tapi Musim Dingin tak berpindah dari
kebun Raksasa. Para burung tak ingin bernyanyi tanpa kehadiran kanak-
kanak dan pepohonan seakan lupa merekah. Sekuncup bunga mekar
dari antara rerumputan, namun ketika sang bunga membaca papan
pengumuman itu, dia mengasihani kanak-kanak tersebut sampai-
sampai kelopaknya kembali terkulai, lalu lenyap di bawah tanah. Satu-
satunya makhluk yang senang dengan situasi tersebut adalah Dewi
Salju dan Pangeran Embun Beku. ‘Musim Semi mengabaikan kebun ini!’
teriak mereka; ‘Sekarang kita dapat tinggal di sini selama-lamanya!’
Dewi Salju menutupi rerumputan dengan gaun lebarnya yang putih,
dan Pangeran Embun Beku mengecat seluruh batang-batang pohon
dengan warna perak. Mereka mengundang Angin Utara untuk tinggal
bersama mereka. Angin Utara tiba dengan selubung mantel bulunya,
dan dia mengaum sepanjang hari di kebun itu; mengembus-embus
lewat cerobong asap. “Ini tempat yang sangat mengasyikan!” serunya.
“Kita harus mengundang Hujan Es!” Hujan Es pun datang. Setiap hari
selama tiga jam, Hujan Es mengobrak-abrik atap istana sampai
menghancurkan genteng-gentengnya, dan dia mengitari seluruh kebun
dengan desing kecepatan yang luar biasa. Hujan Es berpenampilan
kelabu dan nafasnya dingin seperti air beku.

‘Aku tak habis pikir, mengapa Musim Semi terlambat datang,’ kata
Raksasa yang Egois. Dia memandang keluar jendela dan menatap
kebunnya yang dingin dan diselimuti dengan warna putih. ‘Aku harap,
musim segera berganti.’

Namun, Musim Semi tak pernah datang, demikian juga dengan Musim
Panas. Musim Gugur memberikan aneka buah-buahan berwarna kuning
keemasan bagi seluruh kebun; yang jelas bukan untuk kebun Raksasa.
‘Dia sangat egois,’ begitu kata Musim Gugur. Sebab itu, hanya Musim
Dingin yang tinggal di sana, begitu juga dengan Angin Utara, Hujan Es,
Pangeran Embun Beku, dan Dewi Salju. Mereka menari-nari di antara
pepohonan.

Suatu pagi, ketika Raksasa sedang berbaring di ranjangnya, dia


mendengar musik yang sangat merdu. Suara itu mengalun manis di
telinganya, sampai-sampai dia berpikir, pastilah para pemusik kerajaan
sedang lewat di depan istananya. Padahal suara itu hanyala suara
burung kecil yang bernyanyi di luar jendela, tapi sudah lama sekali dia
tak mendengar suara burung bersiul di kebun. Baginya, nyanyian itu
bagaikan lagu terindah di dunia. Hujan Es berhenti menari-nari di atas
kepalanya, dan Angin Utara berhenti mengaum, dan wangi parfum
mengalir kepadanya lewat jendela terbuka. ‘Kurasa Musim Semi telah
tiba akhirnya,’ seru Raksasa; dan dia melompat dari ranjang untuk
melihat keluar.

Apa yang dilihatnya?

Dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Lewat retakan


kecil di tembok, kanak-kanak menyusup masuk dan mereka sedang
duduk di batang-batang pohon. Di seluruh pohon-pohon yang tumbuh
di kebun, Raksasa hanya melihat kanak-kanak. Pohon-pohon tak
keberatan kanak-kanak berdatangan lagi, sehingga mereka mulai
merekahkan kelopak-kelopaknya, dan mengayun-ayunkan lengan
mereka di atas kepala kanak-kanak tersebut. Burung-burung
beterbangan di atas dan bersiul-siul riang gembira, dan bunga-bunga
mekar di antara rerumputan hijau, tertawa-tawa. Sungguh
pemandangan yang sangat cantik, sayangnya di pojok kebun, masih
tampak Musim Dingin. Di sudut yang lebih jauh lagi, tampak seorang
anak lelaki kecil. Tubuhnya sangat mungil sehingga dia tak sanggup
menggapai batang pohon terdekat, dan dia hanya berputar-putar di
sekitarnya sambil menangis sedih. Pohon itu masih ditutupi dengan
embun beku dan salju, dan Angin Utara masih bertiup dan mendegam-
degam di atasnya. ‘Naiklah, Nak!’ seru Pohon, dan dia mengulurkan
cabangnya serendah-rendahnya, tapi bocah itu terlalu kecil untuk
meraihnya.

Dan hati Raksasa meleleh ketika dia melihat peristiwa itu. ‘Oh, betapa
egoisnya aku!’ katanya. ‘Sekarang aku tahu mengapa Musim Semi tak
pernah datang ke sini. Aku akan mengangkat bocah kecil itu ke atas
pohon, dan aku akan menghancurkan tembok, sehingga kebunku bisa
menjadi taman bermain untuk anak-anak selama-lamanya.’ Dia sangat
menyesali perbuatannya.

Lalu dia mengendap-endap turun dan membuka pintu depan dengan


sangat hati-hati, dan keluar menuju kebun. Begitu kanak-kanak melihat
Raksasa, mereka sangat ketakutan sehingga mulai berlarian ke segala
arah, dan kebun pun berubah menjadi Musim Dingin lagi. Hanya anak
lelaki itu yang tak berlari, sebab matanya penuh dengan air mata, dia
tak melihat Raksasa datang kepadanya. Dan Raksasa menyelinap ke
belakangnya dan mengangkat bocah itu dengan lemah lembut, dan
meletakkannya di atas pohon. Langsung saja pohon itu mekar dengan
bunga-bunga, dan burung-burung berdatangan dan bernyanyi di sana.
Si anak kecil menjulurkan kedua lengannya, memeluk leher Raksasa,
dan menciumnya. Kanak-kanak lain melihat Raksasa tak seperti dulu,
berhamburan ke kebun, dan bersama mereka, Musim Semi hadir
kembali. ‘Inilah kebunmu sekarang, anak-anak,’ kata Raksasa, dan dia
mengambil kapak besar dan mulai menghancurkan tembok yang
mengelilingi kebun tersebut. Ketika warga desa pergi ke pasar pada jam
dua belas, mereka melihat Raksasa sedang bermain-main di kebun yang
sangat indah, yang terindah dari yang pernah mereka lihat.

Seharian mereka bermain, dan ketika senja tiba, kanak-kanak


mengucapkan selamat tinggal kepada Raksasa.

‘Ke mana teman kalian?’ tanyanya; ‘bocah yang aku taruh di batang
pohon itu.’ Raksasa sangat suka dengan anak lelaki itu, karena dialah
satu-satunya yang pernah menciumnya.

‘Kami tidak tahu,’ jawab mereka; ‘dia sudah pergi.’

‘Kalian harus katakan kepadanya bahwa dia harus datang besok,’ kata
Raksasa. Kanak-kanak itu mengatakan mereka tak tahu di mana anak
lelaki itu tinggal, bahkan tidak pernah melihatnya sebelumnya; dan
Raksasa merasa sangat sedih.

Setiap petang, saat sekolah telah berakhir, kanak-kanak kembali lagi


dan bermain bersama Raksasa. Namun bocah cilik yang sangat dicintai
oleh Raksasa tak pernah kelihatan lagi. Raksasa sangat baik kepada
seluruh kanak-kanak, tapi dia sangat rindu dengan sahabat cilik
pertamanya, dan karena itu, Raksasa sering berbicara tentang si bocah.
‘Betapa inginnya aku berjumpa lagi dengannya!’ dia sering berkata
seperti itu.
Tahun demi tahun berlalu, dan Raksasa menua dan menjadi lemah. Dia
tak bisa lagi bermain-main seperti sediakala, sehingga dia duduk di kursi
besar, dan menonton kanak-kanak bermain di depannya, sambil
mengagumi kebunnya. ‘Aku memiliki banyak bunga-bunga yang indah,’
katanya; ‘tapi kanak-kanak adalah bunga yang terindah dari segalanya.’

Suatu pagi di Musim Dingin, dia memandang keluar jendela ketika dia
sedang berganti baju. Dia tak lagi membenci Musim Dingin, sebab dia
tahu Musim Semi sedang tertidur saat itu, dan bunga-bunga sedang
beristirahat.

Tiba-tiba, dia mengusap-usap matanya dengan heran, dan kembali


memandang, dan memandang. Sungguh, sebuah panorama yang
sangat indah. Di sudut terjauh dari kebun, tampaklah sebatang pohon
yang dipenuhi dengan kuntum-kuntum berwarna putih yang jelita.
Batangnya berkilau keemasan, dan buah keperakan bergelantungan di
sana, dan di bawahnya, duduklah anak lelaki yang sangat dicintainya.

Raksasa langsung berlari turun dengan rasa suka cita yang meluap-luap,
dan langsung menuju ke kebun. Dia mempercepat langkahnya melewati
rerumputan dan mendekat ke arah anak lelaki itu. Saat dia tiba,
wajahnya memerah penuh amarah, dan dia berkata, ‘Siapa yang berani
melukaimu?’ Di telapak tangan anak lelaki itu tampak bekas tusukan
paku, dan juga di kaki kecilnya.

‘Siapa yang berani melukaimu?’ teriak Raksasa; ‘Katakan segera, aku


akan mengambil pedangku dan menghabisinya.’

‘Tak usah!’ jawab anak lelaki itu; ‘Inilah luka-luka atas nama Cinta.’
‘Siapakah kau?’ tanya Raksasa, dan tiba-tiba rasa takut bercampur
kagum memenuhinya, dan dia menjatuhkan dirinya di hadapan anak
itu.

Anak lelaki itu tersenyum kepada Raksasa, dan berkata, ‘Suatu waktu,
kau pernah mengizinkanku bermain di kebunmu, sekarang kau
kuizinkan memasuki kebunku, yaitu Surga.’

Ketika kanak-kanak datang di petang itu, mereka menemukan tubuh


Raksasa terbaring wafat di bawah sebatang pohon, seluruh tubuhnya
dipenuhi dengan kelopak-kelopak bunga berwarna putih.

_______________

#CATATAN:
> Kisah ini bertajuk The Selfish Giant karya OSCAR WILDE dari kumpulan
cerpen beliau yang berjudul The Happy Prince and Other Tales (terbit
tahun 1888).
>> OSCAR WILDE adalah seorang penyair dan penulis asal Irlandia yang
dikenal dengan karya-karyanya yang berjudul Salome, The Importance
of Being Ernest, The Picture of Dorian Gray, dan lainnya—serta gaya
hidupnya yang flamboyan di akhir abad ke-19.

>>> Cerita pendek ini diterjemahkan oleh CLARA NG, seorang penulis
novel, cerpen dan kisah anak-anak asal Indonesia yang telah melahirkan
karya-karya populer seperti The Indiana Chronicle, Ramuan Drama
Cinta, Gerhana Kembar, Dim Sum Terakhir, Sejuta Warna Pelangi, Bagai
Bumi Berhenti Berputar dan banyak lainnya. Ia juga dianugerahi
Penghargaan Adhikarya dari IKAPI dalam tiga tahun berturut-turut dari
2006-2008.

Anda mungkin juga menyukai