Anda di halaman 1dari 4

Rania dan Kesendiriannya

Rania jadi tidak sempat menikmati liburan, sebab lebih banyak mendengar ocehan ibunya. Hal
itulah yang ia hindari, dan satu-satunya cara menghindari ialah dengan tidak mengajak serta orang yang
telah melahirkannya itu.

Rania berkejar-kejaran dengan ombak di bibir pantai. Bila ombak menuju daratan, ia seolah dikejar. Bila
ombak kembali ke lautan, ia seolah mengejar. Setelah capek dan bosan, ia beralih ke permainan lain. Ia
menapak di pasir basah, dan saat ombak mulai menghilangkan tapak itu, ia senang memperhatikannya.

Rania sudah lama merencanakan liburan seperti ini. Tidak perlu bersama keluarga atau pacar atau
teman-teman kantor. Justru kepergiannya kali ini untuk menghindari semua itu. Beristirahat dari
segalanya, dari hidupnya yang terasa biasa-biasa saja.

Sebetulnya ia ingin mengajak ibunya. Sejak masih muda, ibunya jarang pergi ke mana-mana. Namun, ia
sadar, kebiasaan ibunya yang selalu tak puas dengan segala hal, serta penuh protes walau segalanya
berjalan baik-baik saja, membuatnya membatalkan niat itu. Ada saja makanan di hotel yang tidak enak
atau harga hotel yang bagi ibunya terlampau mahal. Rania jadi tidak sempat menikmati liburan, sebab
lebih banyak mendengar ocehan ibunya. Hal itulah yang ia hindari, dan satu-satunya cara untuk
menghindari hal itu ialah dengan tidak mengajak serta orang yang telah melahirkannya itu.

Ya, liburan bukan hanya tentang pergi ke mana, tapi juga dengan siapa.

Rok putihnya yang lembut, terbuat dari sutra sintetis, telah basah hampir setengah. Bagian paling bawah
yang diombang-ambingkan air laut, sekarang menyerupai ubur-ubur, menari-nari dengan riang
digerakkan ombak. Dari kejauhan, Rania melihat seorang pelayan mengantar club sandwich ke atas
mejanya, di samping sunbed yang telah ia lapisi kain pantai berwarna biru. Tadi sebelum turun ke bibir
pantai, ia sempat menyesap banana lassie yang dihidangkan oleh pelayan yang sama. Namun, karena ia
belum begitu lapar, ia tidak menunggu makanan yang belum tersaji.

Pelayan itu tersenyum ke arahnya, ia tersenyum ke arah makanannya. Aha, mungkin ia sudah mulai
lapar. Berkejar-kejaran di alam yang luas, yang tidak lapar-lapar dan tidak pernah capek rupanya
menguras banyak tenaga.

Kaki Rania yang coklat menapak di pasir yang serupa bulat-bulat merica, berjalan ke arah restoran hotel
tempat ia menginap. Caranya berjalan hampir-hampir seperti kapas yang diterbangkan angin. Ia senang
sebab mengambil keputusan yang tepat. Sebelumnya, Rania beberapa kali berlibur bersama teman
sekantornya. Tetapi bukannya rileks dan menikmati pemandangan, teman-temannya malah terlalu
sering mengajak foto bersama yang membuat Rania terganggu. Setiap beberapa menit cekrek, setiap
beberapa detik cekrak. Seakan mereka rugi bila tak melakukannya.

Kini, dari sunbed-nya, Rania melihat langit seperti memeluk erat gunung yang ada di depannya. Walau
gunung itu sangat jauh darinya, tapi karena ukurannya yang besar, gunung itu serasa di depan mata.
Belum lagi perahu-perahu yang berlayar atau terparkir, warna-warna yang dipilih sebagai cat terlihat
harmonis dengan alam sekitarnya. Rata-rata berwarna biru, hijau, dan coklat, atau gabungan dari
ketiganya.

”Permisi, Ibu. Anda tamu hotel ini?” tiba-tiba Rania mendengar suara petugas satpam. Rania menoleh, ia
lihat satpam bertanya kepada seseorang.

”Tidak. Saya hanya bermain di sini bersama anak saya.”

”Maaf, bermainnya di sebelah sana saja. Tempat ini khusus untuk pengunjung hotel dan restoran.”

Wanita itu sebenarnya ingin membuka mulut untuk melawan satpam, tapi ia urung dan langsung
mengajak anaknya yang balita pergi dari sana.

Rania membayangkan berada di posisi si anak dan wanita itu adalah ibunya. Mungkin mereka adalah
warga sekitar dan sejak dahulu si ibu memang sering berjalan-jalan di pantai ini. Namun, seiring
berjalannya waktu, banyak bangunan yang kemudian berdiri dan ia tak bisa dengan mudah mengakses
kembali pantai, pikir Rania. Ingin ia membela si ibu di depan satpam itu, tapi cepat-cepat ditepisnya
keinginan itu. Ia capek protes dan capek diprotes dalam hidupnya sehari-hari. Kali ini ia hanya ingin
beristrirahat dari segalanya. Ia pejamkan mata dan menikmati hangatnya matahari pagi. Ia merasa
seperti kerupuk, yang mengembang ketika terkena panas. Otot-ototnya yang kaku dan jarang terkena
matahari seketika terasa sehat.

Rania sengaja meninggalkan handphone di kamar. Ia tak ingin terganggu oleh hal-hal yang, untuk
sementara, bukan urusannya. Pasti ada beberapa panggilan masuk, pikirnya. Mungkin dari ibunya yang
suka bertanya ”Apa kabar?” atau ”Sudah makan atau belum?”. Pertanyaan-pertanyaan yang bagi Rania
bukan hanya membosankan, melainkan juga mengesalkan. Sejak lama, Rania tidak mau menjadikan
ibunya sebagai contoh; seorang wanita yang baginya tidak punya kehidupan pribadi dan cuma punya
kehidupan rumah tangga. Betapa menjijikkan setiap kali ia membayangkan dirinya sebagai ibunya.
Berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berkembang, menghabiskan waktu dalam tumbuh
kembang anak-anak dan ekonomi keluarga.

Telepon lainnya mungkin dari kantor, menanyakan ini-itu yang sebenarnya sudah mereka ketahui bila
saja mereka mau membuka file di komputer dan melihat dengan baik memo yang Rania tinggalkan.
Namun, orang-orang di kantor lebih senang mencari gampangnya dengan bertanya langsung kepadanya.
Misalnya Lintang. Lintang akan bertanya sedikit tentang pekerjaan, selanjutnya apa yang Lintang
obrolkan adalah apa saja yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bila Rania yang bicara,
Lintang tidak pernah menanggapi dan selalu memotong pembicaraan. Lintang tidak sadar ekspresi orang
yang berubah dan sudah tak ingin mengobrol dengannya. Sekarang, Rania benar-benar sedang tidak
ingin terhubung dengannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang bagi Rania bukan hanya


membosankan, melainkan juga mengesalkan. Sejak lama,
Rania tidak mau menjadikan ibunya sebagai contoh; seorang
wanita yang baginya tidak punya kehidupan pribadi dan
cuma punya kehidupan rumah tangga. Betapa menjijikkan
setiap kali ia membayangkan dirinya sebagai ibunya.
”Permisi, maaf. Gelasnya boleh saya ambil?” tanya pelayan.

”Sure,” jawab Rania.

”Mungkin Anda mau tambah minum? Oh ya, kami ada special dessert juga untuk hari ini. Carrot cake
dan red velvet. Mungkin Anda mau coba?”

”Saya tambah air mineral saja,” jawabnya ringan, seperti seorang putri mahkota. ”Oh, tapi red velvet
sepertinya boleh juga,” Rania berubah pikiran.

”Dengan senang hati saya ambilkan, Nona.” Sesaat seakan ada mahkota turun langsung dari langit dan
menghujam ubun-ubun Rania.

Suapan pertama cake berwarna merah itu rupanya menjadi titik bagi Rania untuk mengubah keputusan
yang dibuatnya pada hari Senin yang lalu, saat pacarnya tiba-tiba melamarnya dengan satu krans bunga
dan selingkar cincin. Sungguh sekarang, saat Rania berpikir ulang, ia tidak suka kejutan. Rasa bahagianya
tertelan oleh rasa kagetnya. Juga, sejujurnya, ia tak benar-benar bahagia. Ia menikmati hubungannya
dengan Fahmi dan itu sudah cukup. Namun, rupanya Fahmi menangkap lain, dan yang mengherankan
bagi Rania, kenapa Fahmi tidak bertanya soal lamaran itu saat mereka berdua saja. Itu terlalu
mengagetkan, suatu aksi yang tidak memiliki tangga-tangga. Waktu itu Fahmi melamarnya di rumah,
dengan hal-hal yang membuatnya kikuk dan harus menjawab ”iya”.

Ya, tentu saja iya. Tidak ada orang yang siap ditolak di depan calon mertua, teman-teman kedua belah
pihak, dan persiapan matang serta romantis semacam itu. Namun, sekarang, saat hidupnya berjalan
dengan tempo lambat, ditambah sepotong kue yang cantik, ternyata ia berubah pikiran. Dengan
semacam eureka! Dan perasaan yang membuncah, Rania mengambil snorkel di atas meja, lalu
memasangnya. Ditanggalkannya roknya, dan ia segera melangkah ke pantai. Perasaan seperti terbang
itu membuat tubuhnya begitu ringan di dalam air. Ikan-ikan terlihat seperti gemintang dan ia telah siap
untuk apa pun yang akan terjadi Senin besok. Ia akan menyelesaikan perkara hingga tuntas. Ia akan
menyelamatkan yang tersisa dari hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai