Anda di halaman 1dari 7

Partitur Tujuh Irama

“Amboi, Ra! Berangkatlah kau ke TPA sekarang juga!”


Umi mengangkat sendok nasi kayunya di depan Ra, melotot tak bersahabat pada anak
gadis pertamanya. Si Ra yang memang bengal setiap disuruh mengaji.
“Ayo, Ra!” Umi dengan seribu kekesalannya memaksa memakaikan jilbab mungil
motif stroberi serta mendorong sebuah Al-Qur’an ke dekapan Ra.
“Umi, Ra uyuh, handak begana di rumah ja.” Makin lebarlah mata Umi. Menyalang
karena ungkapan malas Ra.
“Ke TPA atau kau tak boleh sama sekali masuk ke rumah!”
Dan Umi mengusir Ra begitu mudahnya. Si sulung itu terseok dengan sendal yang
putus sebelah. Meringis karena cengkeraman Umi di tangannya. Najwa yang memang sudah
menunggu di halaman menghampiri Ra dengan wajah “tuh, kan dimarahin” yang sangat
membuat Ra emosi.
“Kenapa sih disuruh ke TPA saja susah?” sindir Najwa.
“Aduh, Naj. Bawel deh kam tuh.”
Sungut Ra. Memang benar dia anak yang nakal dan sering menentang perintah Umi.
Kalau disuruh pergi mengaji dia malah lari. Bermain dengan anak-anak tetangga yang bahkan
jauh lebih muda darinya.
Apa ada alasan yang membuat Ra malas ke TPA?
Kasualnya tak ada.
TPA itu adalah tempat yang menyenangkan dibanding dengan tempat mengaji
sebelumnya, eh, terlebih di sana bukan Umi yang mengajari. Ra paling takut mengaji di depan
Umi. Baru baca basmalah sudah melotot mata ibunya itu, membuat Ra pangling setengah mati.
Mungkin ini salah lapau itu.
Warung milik orang Padang yang dibuka tepat dihadapan TPA. Oke. Ra memang sudah
beberapa kali mampir alias bolos di sana. Lima kali? Sepuluh kali? Ah, dia lupa. Sepertinya
bilangannya lebih dari itu.
Soal lapau akan Ra bahas nanti. Pertama biar dia memperkenalkan diri.
Namanya Zahra. Mulai dari keluarga sendiri, tetangga di sebelah kiri, ibu guru mengaji,
dan sampai bujang lapuk yang masih sendiri mengenalnya cukup dengan dua huruf, Ra. Anak
si Yanti, cucu dari Haji Supiani yang merupakan juragan daging desa ini.
***
TPA itu masih belum utuh atau sempurna. Maksudnya dia belum menjadi bangunan
mengaji sepenuhnya. Kenapa? Karena TPA ini masih menyambung ruang dengan rumah
pemilik TPA. Bangunan aslinya masih sibuk di timbun-susun dengan semen, demi membentuk
ruang sejatinya.
Sebenarnya masjid tempat Ra dan Najwa mengaji dulu jauh lebih dekat daripada TPA
ini. Namun ada alasan yang membuatnya dipindah oleh Umi.
“Kalau mengaji di masjid kau suka beralasan takut bertemu Amuy. Minta bolos dari
hari ke hari. Jadi mengaji saja di sini, nanti ada pula nenek kau mampir menemani.”
Ra menelan ludah. Astaga.
Dulu di masjid sana ada salah seorang jamaah yang membuat takut semua anak
pengajian karena tindaknya yang menakutkan. Dan di sini pulalah tragedi ini bermula.
Bayangkan saja.
Pernah sekali saat para ustadz dan ustadzah tak hadir. Ra dan sebagian temannya duduk
santai di tangga masjid, tak menyangka ada Amuy di dekat area itu. Menggigit bibir mereka
ketika melihat si Amuy melintas. Perawakan kakek tua dengan tongkat kayu mengiringi
jalannya.
“Dasar anak nakal! Apa yang sedang kalian lihat?”
Amuy menyetak kayu ke lantai saat Ra tak sengaja tertangkap basah memandanginya.
Pias. Rombongan anak kecil itu kebas oleh rasa takut.
Rupanya Amuy tak sekedar membentak. Ternyata ancaman itu serius. Berselang detik
terburu Amuy menyeret kaki pincangnya ke arah tangga, hendak menghampiri Ra. Di waktu
yang sama, tanpa pikir panjang Ra melompat lari ke lantai dua. Tempat seharusnya dia mengaji
saat ini, bukan berkejar ria dengan kakek setengah waras itu.
Intinya.
Sejak hari itu Ra kapok mengaji di masjid. Bersumpah tak mau ke sana. Umi pangling
menghadapi gadis itu, bingung cara menenangkan anaknya yang sudah mulai menyumpah.
“Jangan bicara seperti itu, Ra! Nanti jadi haram masjid bagi kau.”
Maka berakhirlah kisah mengaji di masjid. Daripada membiarkan anaknya benci ke
tempat ibadah itu hanya karena Amuy semata, lebih baik Umi memindahkan Ra ke tempat
mengaji lain. Biar tak ada lagi alasan anak itu berkelit.
Kembali soal TPA.
Biasanya Ra dan Najwa berangkat sore hari selepas salat Asar. Bermodal Al-Qur’an
serta uang lima ribuan di tangan mengantar mereka sampai ke TPA. Awalnya Ra nurut saja.
Namun semakin lama dia letih berjalan ke TPA yang terbilang jauh. Apalagi dia merasa sedikit
asing dengan anak-anak yang mengaji di sana. Ra merasa tak punya teman.
Ra memang bukan anak yang penurut.
Dia suka sekali bertandang ke lapau dibanding datang ke TPA. Sungguh keputusan
yang berani. Memilih duduk di warung itu, bukan dengan teman TPA-nya bukan pula teman
seusianya. Lapau didominasi oleh orang dewasa, kalau bukan amang-amang pastilah acil-acil
yang memenuhi kursi panjang itu.
Sungguh!
Seharusnya Ra duduk manis dan membuka Al-Qur’an-nya di depan ustadzah
pembimbing. Membaca ayat suci itu meski dengan terbata-bata hingga menjadi lancar. Kalau
sesuai rencana Umi, memang itulah hal yang sepatutnya terjadi.
Namun berkebalikan dari semua itu.
Ra justru asyik melihat Amang Dul bermain dum dengan temannya di lapau. Sekali-
kali bertanya detail mainnya. Namun justru pusing otak gadis itu melihat putaran permainan
kartu. Akhirnya tak fokus lagi menonton permainan judi itu, perlahan perhatiaan Ra teralih
pada Acil Usu yang tengah bercerita sambil meraup gorengan di tangannya. Topiknya pun
panas. Tentang kembang desa yang ditinggal suaminya. Gosip yang kata Acil Usu mahabesar.
Sebenarnya Ra tak paham.
Namun tak ada pula yang mau menjelaskan, ditambah dia digantung dengan cara
didiamkan. Acil dan Amang tidak ada yang mau mengajaknya bicara. Paling jauh juga hanya
menertawakan dan berceletuk “lihat ini cucu si Supiani. Bukannya pergi mengaji dia malah
mampir kemari”.
Gara-gara itu Bundo pemilik lapau turun tangan menasihati Ra.
“Kau anak pengajian seberang kan, Ra? Kenapa pula malah mampir ke lapauku? Ke
sanalah, Ra. Nanti jadi bahan ejekan kawan kau.”
“Kenapa duduk di lapau bisa membuatku diejek, Cil? Aku kan tidak mengganggu
mereka.”
“Sudahlah, jangan banyak tanya. Kembali saja ke TPA, di sini bukan tempat yang baik.
Lapauku ini hanya tempat bertandah orang dewasa. Kalau bukan berjudi, maka larinya pasti
membicarakan orang karena iri hati. Mau jadi apa kau nanti bila kerjaan sejak kecil saja seperti
itu?”
Itulah teguran yang sering diangkat Bundo setiap bersitatap dengan Ra. Tak tahan oleh
komentar pedas maka Ra memutuskan absen dari lapau Bundo. Akhirnya sekarang gadis itu
lebih sering berdiam di samping jalan ketimbang masuk ke TPA atau berkunjung ke lapau.
“Ra? Sedang di sini?”
Seorang ustadzah berkerudung lebar merah muda muncul dari belakangnya. Ustadzah
Selvi yang memiliki senyuman lembut pada setiap anak. Membuat semacam kendali dengan
senyuman itu. Namun Ra kebal. Dia tidak selembek itu untuk takluk.
“Ra?” Ustadzah memanggilnya lagi. Ra sibuk bungkam, merapatkan bibirnya lebih
keras.
Ustadzah menghela napas kecil, Ra melihat itu, menangkap apakah Ustazah mulai
jengkel padanya. Namun salah. Ternyata Ustadzah masih terus tersenyum padanya. Menunggu
jawaban.
“Apa Ra mau ke sana?”
Ustadzah Selvi mengerling ke arah Ra, menunjuk lapau secara tersirat. Ra terkesiap
kaget. Ada keraguan memenuhi isi matanya. Kenapa? Harusnya Ustadzah sudah mulai kesal
pada tingkah polahnya. Bukan buka gigi menebar senyuman dan menawarkan hal seperti itu.
“Bila kau mau. Ustadzah tidak keberatan untuk mampir sebentar ke lapau. Biar
ustadzah temani Ra.”
Sekali lagi Ra terheran. Sampai suaranya tertelan begitu saja.
“Tunggu di sini ya, Ra. Biar Ustadzah ajak teman-temanmu juga.”
Ra mengangkat alis. Apa lagi ini?
Kemudian Ustadzah masuk sejenak, tak lama beliau kembali dengan senyuman yang
sama. Tak lupa serentetan anak mengekor di belakangnya. Oh, ada Najwa juga. Ra jadi menilik
bingung. Apa rencana Ustadzah?
“Ayo, anak-anak. Kita ke seberang.”
“Aduh, Ustadzah Kenapa tidak mengaji di dalam saja? Ulun uyuh bejalan.”
Ustadzah tertawa kecil menghadapi keluhan salah satu anak. “Ayolah, masa
menyeberang membuat kakimu sampai penat? Lagipula hari ini kita tidak akan latihan mengaji
kok.”
Tidak mengaji?
Ra mengendorkan ekspresi kesalnya.
“Beneran, Ustadzah?” anak-anak bersorak dan tertawa girang. Lupa kekesalan
sebelumnya.
Ustazah memberikan senyum teduhnnya lagi. Mengangguk meyakinkan anak-anak.
“Ya, sudah kita ke sana. Ayo, anak-anak.” Ustadzah membimbing langkah.
“Ayo, Ra ke sini juga.”
Baiklah. Ra mengalah. Tidak ada salahnya sekali-kali dia patuh pada orang selain Umi.
Hanya sekali, nanti-nanti tak lagi.
***
“Di sini ada banyak makanan. Ada jajanan pasar, ada gorengan, bahkan ada juga nasi
kucing. Kalian yang lapar ambil saja makanannya. Hari ini Ustadzah yang traktir.”
“Yeee!!!”
Anak-anak kembali bersorak. Tak menunggu lama. Tangan-tangan mungil itu sudah
meraih banyak benda di meja. Tertawa-tawa karena peruntungan hari ini. Mereka hanya
berpikir Ustadzah tengah dapat rezeki, atau entah apa, yang jelas ini jackpot yang
menyenangkan.
Ra tak paham.
Bukan ini rencananya.
Harusnya dia dikritik dan dimarahi. Harusnya Ustadzah mengadukannya pada Umi.
Membuatnya diceramahi hingga pagi. Bukankah harusnya seperti itu?
Namun apa?
Lihatlah. Ustadzah malah membawa temannya yang sering mengejek kebiasaan Ra ke
lapau. Membuat mereka berada di tempat yang mereka hina. Ra jadi limbung akan alasannya.
Bukan ini mau Ra.
“Ra, kenapa? Kamu tidak mau beli sesuatu?”
Suara Ustadzah memecah lamunan gadis itu. Ra menoleh.
“Kenapa kita ke sini, Ustadzah?” Ra memutuskan bertanya.
Dia tidak mau hanya menerka, sekedar mengira-ngira. Dia harus tahu apa mau guru
ngajinya ini.
Apa respon Ustadzah?
Dia tersenyum.
“Ra, bukannya ini tempat yang sering menculikmu sampai kau tidak berhadir di TPA.”
Ra berjengit tersindir. Tidak. Ra tahu bukan itu maksud Ustadzah.
“Ustadzah hanya ingin membuat teman-temanmu tahu betapa enaknya gorengan di sini,
Ra. Bukankah gorengan itu alasan kau sering kemari?” Ustadzah melanjutkan kalimatnya demi
menghapus wajah ragu Ra.
Benarkah?
Ustadzah tertawa ringan. Ra canggung dengan senyum tipisnya. Ikut mengangguk.
“Iya, gorengannya enak.”
***
Esok harinya berjalan lain bagi Ra. Ada hal asing yang perlahan mendekatinya.
Perasaan canggung pun masih terus mengikuti Ra.
“Ayo, anak-anak kita berdoa dulu.”
Instruksi itu cukup untuk membimbing pembukaan doa. Dengan tangan menadah dan
kepala tertunduk masing-masing anak sibuk berkomat-kamit membaca doa. Dari perhitungan
Ra, harusnya daur hari ini dia akan dibimbing Ustadzah Selvi.
“Hai, Ra. Hari ini jadwal kamu mengaji sama Ustadzah lagi ya?”
Ra mengangguk.
“Surah apa yang ingin kamu baca?”
“Ustazah tidak menanyakan saya juz berapa?” alis Ra ternaik.
Iya. Harusnya Ustadzah menanyakan juz berapa sudah dia dan melanjutkan halaman
mengajinya. Bukan bertanya tentang surah apa yang mau Ra baca.
“Tidak. Ustadzah hanya ingin dengar kamu membaca surah kesukaanmu.” Senyum
Ustadzah tak berubah.
Sekilas ada perasaan lega menyergap Ra. Asal tahu dia saat ini masih mengaji di juz
dua. Tertinggal jauh dari anak lain yang sudah sampai juz tujuh atau sekian. Mungkin Ra akan
malu jika ditanyakan perihal itu.
“Surah At-Takwir ya Ustadzah?” tanya Ra ragu. Ustadzah mengangguk tanpa
meninggalkan lesung pipit di pipinya.
“Bismillahirrahmanirrahim...” mata Ra memejam begitu saja. “Idza syamsu
quwwirat... wa idzan nujumun qadarat...”
Ra mengambil napas dan menghela pelan. “Wa idzal jibalu suyyirat... wa idzal biharu
sujjirat...”
Itu nada yang indah. Sesuatu yang baru untuk suara yang tidak pernah mau membuka.
Ra yang tidak pernah suka mengaji dan justru terikat pada hal itu.
Dan apa adegan ini harus dilanjutkan sampai akhir? Tidak apa kan kita tidak melihat
keseluruhan surah? Intinya semua tahu. Ra memiliki bakat dengan suaranya itu.
Saat itu Ustadzah tampak berbinar mendengar suara Ra. Ada kebanggan tersirat dari
mata teduh itu. Memanglah benar. Suara Ra sangat indah dan enak didengar, terlepas soal
kebengalannya yang tak terkira.
“Ra, suaramu bagus betul. Kenapa tak sering saja mengaji?”
Ra tertunduk. Ada rona merah menyapu di wajahnya.
“Tidak Ustadzah, suara ulun biasa saja.” Jawabnya merendah.
Ustadzah tertawa, tahu kalau Ra sedang menyimpan kegirangannya sekarang.
“Kalau begitu suara yang indah macam apa, Ra? Mendengar suaramu saja Ustadzah
sudah merasa terbius.” Canda beliau. Ra masih mempertahankan rona merah di wajahnya.
Dan ini adalah hari pertama sebelum berubahnya Ra.
Jadi sejak hari-hari itu, mengaji tidak lagi menjadi suatu yang Ra hindari. Ada semacam
motivasi yang membuatnya ingin terus berhadir. Sampai Umi terheran dengan semangat Ra.
Gadis itu mencoba menelaah apa yang sebenarnya dia cari. Sebuah arti yang harusnya sejati.
Hal yang pasti.
***
Usiaku 20 tahun.
Di tengah panasnya Mesir, aku terus melangkah. Bahkan meski itu harus bertamparan
dengan debu dan angin yang panas. Bagiku ini adalah sebuah janji dan perjalanan menemukan
jati diri.
Namaku Zahra. Biasa dipanggil Ra. Aku dari desa kecil yang mengajarkanku tentang
betapa berartinya diriku. Pesan seseorang yang mengantarku hingga ke negeri nan jauh.
Katanya “Ra, kamu akan menjadi seorang yang hebat nanti” decaknya yakin setiap kali
melihatku.
Dulu aku nakal. Mungkin karena aku menginginkan perhatian Umi yang selalu saja
sibuk sendiri, atau mungkin pula hal lain. Namun satu yang pasti. Perhatian itu hadir dari
seseorang yang menyelamatkanku dari perasaan sepi. Membuatku sadar bahwa masih ada
orang yang peduli padaku.
Namaku Zahra.
Kini tengah belajar di Mesir. Berguru pada seorang pengaji tersohor yang menjadi
imam di masjid-masjid. Belajar qiraat sab’ah dengan sungguh-sungguh. Kumpulan nada yang
menjadi partitur tujuh irama bagi Ra.
Coba pikir. Siapa yang akan menyangka Ra yang sangat bandel ketika disuruh
berangkat ke TPA malah justru terjun di jalan itu? Tak ada. Semua ini juga bukan mimpi yang
Ra kira.
Menjadi guru ngaji sungguh bukan mimpi yang pernah Ra rangkumkan dalam jurnal
masa kecilnya. Tak pernah terpikirkan untuk menuliskan kisahnya dengan guru mengaji itu.
Ustadzah dengan lesung pipit di kedua pipinya.
Ustadzah yang berhasil membuatnya betah di TPA.
Ustadzah yang membuat Ra memiliki teman setelah kepindahannya.
Dia yang menuntun Ra pada cita-citanya.
Maka inilah kisah kecil dari seorang gadis yang tak pernah mau berhadir mengaji.
Dirangkum dengan hati yang mengalaminya sendiri. Dalam tulisan ini aku tak akan lupa untuk
terus berterima kasih pada Umi, pada Ustadzah, dan pada TPA itu.
Terima kasih karena sudah membuatku menjadi orang yang bermanfaat. Namaku
Zahra, aku sekarang terus belajar sekaligus mengajarkan Al-Qur’an. Aku adalah qariah
sekarang, nanti, dan seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai