Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT

OLEH
NI KADEK DEVANIE PRATANA RIANDIKA
NIM. 189012116

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2019
A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi
Brain Injury Association of America mendefinisikan cedera kepala sebagai suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Penangan khususnya pada klien dengan Cidera Kepala Berat (CKB) yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian epidural (EDH) maupun
subdural (SDH) dilakukan tindakan trepanasi/kraniotomi.
Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan
lapisan duramater, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena
emmisaria, Sinus venosus duralis.
Subdural hematoma (SDH)  merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Intracranial hematoma (ICH) sendiri merupakan perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Menurut Dorland (1998), kraniotomi/trepanasi adalah setiap operasi terhadap
cranium. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat
tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan
(Hinchliff, Sue. 1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002).
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.

2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden
cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).

3. Etiologi

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007).

Smeltzer (2001) mengemukakan penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian

4. Mekanisme Trauma Kepala


Menurut Tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat sadar
dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat dibagi
menjadi :
a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau terlempar
batu.
b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda
yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.

5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
(Gennarelli, 1996 ; Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).

6. Klasifikasi
Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001)

Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi menjadi :


a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan
nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral

Klasifikasi kraniotomi/trepanasi
Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:
a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial.
b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).
c. Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat
akses ke kelenjar hipofisis.

7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga

Gejala Klinis untuk trauma kepala ringan, sebagai berikut:


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan kepribadian diri
f. Letargik

Gejala Klinis untuk trauma kepala berat, sebagai berikut:


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan perubahan di otak, menurun
atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas

Manifestasi kilnis Subdural hematoma (SDH) antara lain:


a. Nyeri kepala 
b. Bingung 
c. Mengantuk 
d. Menarik diri 
e. Berfikir lambat 
f. Kejang 
g. Udem pupil
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe Brain Injuy Commition) pada perdarahan
subdural adalah jika perdarahan tebalnya lebih dari 1cm, jika terdapat pergeseran garis
tengah lebih dari 5mm.

Manifestasi klinis Epidural hematoma (EDH) antara lain:


a. Penurunan kesadaran
b. Adanya lateralisasi
Adanya ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh,
dapat berupa Hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH
sedangkan hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH.
c. Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian analgesia
d. Bingung
e. Susah Bicara
f. Pengelihatan kabur
g. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
h. Pusing
i. Mual
j. Wajah tampak pucat
k. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonvek diantara 2 sutura.
Indikasi dilakukan operasi pada EDH jika hasil CT Scan menunjukkan terjadinya
perdarahan volumenya lebih dari 20cc atau tebal lebih dari 1cm atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5mm, tanda-tanda lokal dan
peningkatan TIK > 25 mmHg, keadaan pasien memburuk.

Gejala Klinis ICH


Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang
disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens
yang indikasi dilakukan operasi jika Single diameter lebih dari 3cm, Perifer, adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
n. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.

8. Diagnosis
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT)
untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan
informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan
lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah
tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler
transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.
9. Terapi
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intrakranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematoma di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan
mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Intervensi Keperawatan
a. Kraniotomi supratentorial
 Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran
netral.
 Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada
sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)
b. Kraniotomi Intratentorial
 Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.
 Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.
 Posisikan pasien miring. (Periksa protokol untuk peddoman posisi pasien)
c. Transfenoidal
 Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.
 Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.
 Berikan perawatan oral sering.
 Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan
drainase dari sisi pembedahan.

10. Komplikasi
Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit
neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan
dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi
dan penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik,
dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak
sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Breathing
Pengkajian fisik di ICU sangat penting dilakukan sekurang-kurangnya sekali sekali
setiap hari pada pasien high dependency care dan setiap kali shif pada pasien kritis.
Sedangkan pengkajian rutin dapat berupa data objektif dan data subjektif.
Pada saat pengkajian fisik lakukan mulai dari kepala ke bawah dan lakukan secara
cepat pengkajian ABC (airway, breathing, sirculation).
 A : Airway
Apakah pernafasan pasien adekuat?
Pola nafas?
Apakah pergerakan kedua dinding dada sama?
 B : Breathing
Bagaimana saturasi oksigen pasien?
Bagaimana cara pemberian terapi oksigen?
Apakah adekuat?
 C : Circulation
Bagaimana heart rate pasien ? irama?
Bagaimana tekanan darahnya?
Bagaimana warna tangan dan kaki?

Pada pemerikasaan Pernafasan.


- Lihat pergerakan dada, samakah?
- Auskultasi sura nafas.
- Cek mode pemberian oksigen.
- Cek saturasi oksigen dan analisa gas darah.

2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det).
3) Brain
Klien biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek
pupil terhadap cahaya
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan pada
genetalia dan pola eliminasi urine.
Pada pemerikasaan Ginjal
- Cek urine output
- Cek setatus cairan dan balance kumulatif
- Cek kadar ureum dan kreatinin darah
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi
alvi, adakah kelainan pada anus.
Pada pemerikasaan Pencernaan
- Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada
- Cek jenis makanan, kecepatan dan toleransi
- Auskultasi peristaltik
- Kapan terakhir BAB dan BAK.
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, bagaimana ATR (activity tonus
respon).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d trauma kepala
b. Ketidakefektifan pola napas b.d cedera kepala ditandai dengan dispnea
c. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan ventilasi ditandai dengan hipoksemia
d. Nyeri akut b.d cedera kepala ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan
menelan ditandai dengan mual
f. Resiko ketidakseimbangan volume cairan b.d cedera kepala
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, Joanne McCloskey et al.2004. Nursing Interventions Classification (NIC).


Missouri :Mosby

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby

Potter&Perry.1999. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan bersihan Setelah diberikan asuhan NIC Label : Airway management NIC Label : Airway
jalan napas b.d adanya keperawatan selama ... X 24 jam 1. Kaji TTV klien, catat jika ada perubahan. management
2. Posisikan klien pada posisi yang 1. Tanda-tanda vital dalam
materi asing dalam jalan jalan napas klien paten dengan
memaksimalkan potensi pertukaran udara rentang normal.
napas yang d.d suara napas kriteria hasil: (posisi semi fowler) 2. Posisi semi fowler
tambahan dan dispnea NOC Label : Respiratory status : 3. Lakukan terapi fisik dada sesuai memberikan ekspansi paru
Ventilation kebutuhan. yang optimal sehingga pasien
1. Laju pernapasan klien dalam 4. Bersihkan sekresi dengan dorongan batuk dapat memaksimalkan
rentang normal atau suctioning potensial ventilasi
2. Irama pernapasan dalam rentang 5. Ajarkan klien bagaimana cara batuk 3. Untuk membantu
normal efektif pengeluaran secret
3. Kedalaman inspirasi dalam 6. Monitor status respirasi dan oxigenasi 4. Untuk melancarkan jalan
rentang normal klien nafas dari secret
4. Klien tidak menggunnakan otot 7. Auskultasi suara napas, catat adanya suara 5. Untuk mampu mengeluarkan
bantu pernapasan tambahan secret yang menghambat
8. jalan nafas
NOC Label : respiratory status : NIC Label : Airway suction 6. Mengetahui perkembangan
airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal status respirasi dan oksigenasi
1. Klien mampu mengeluarkan suctioning 7. Derajat spasme bronkus
secret 2. Auskultasi suara napas sebelum dan dengan obstruksi jalan nafas
sesudah suctioning dapat / tidak dimanifestasikan
3. Informasikan pada klien dan keluarga adanya buinyi nafas
tentang suctioning adventisius misalnya tidak
4. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan adanya bunyi nafas oleh
tindakan mengi
5. Monitor status oksigen klien

NIC Label : Airway suction


1. Mencegah terjadinya
komplikasi
2. Pengkajian ini membantu
mengevaluasi keberhasilan
tindakan
3. Agar klien mengetahui
tindakan yang akan
dilakukan.
4. Mencegah terjadinya infeksi
5. Mengetahui perkembangan
status respirasi dan oksigenasi
2 Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan NIC label: Cardiac Care NIC label: Cardiac Care
b.d perubahan preload d.d keperawatan selama …x24 jam 1. Catat dan perhatikan tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui apakah
penurunan tekanan vena diharapkan diharapkan status dari penurunan cardiac output. terjadi penurunan cardiac
sentral (CVP) sirkulasi pasien normal dengan 2. Catat dan monitor adanya disritmia output pada pasien atau
kriteria hasil : jantung. tidak sehingga dapat
NOC Label : Cardiopulmonary 3. Monitor status kardiovaskuler. ditentukan rencana
Status 4. Monitor adanya dyspnea, kelelahan, keperawatan yang sesuai
1. Tekanan sistolik pasien tachypnea, dan orthopnea. dengan gejala yang terjadi
dalam rentang normal 5. Monitor tekanan darah perifer pasien pada pasien.
2. Tekanan diastolik pasien 6. Cek dan monitor vital sign secara berkala 2. Memantau keadaan umum
dalam rentang normal 7. Sadari jika ada perubahan tekanan pasien diharapkan dapat
3. RR pasien dalam rentang darah meminimalkan kejadian
normal 8. Cek CRT pasien. yang tidak diharapkan.
4. Tidak adanya sianosis pada 9. Monitor adanya sianosis pada pasien 3. Untuk mengetahui status
pasien NIC Label : Medication management kardiovaskuler pasien
5. Peripheral pulses pasien 1. Tentukan dan berikan obat yang sehingga dapat ditentukan
dalam rentang normal diperlukan sesuai resep. terapi yang diperlukan.
NOC Label: Circulation Status 2. Ajarkan pasien mengenai cara dan jumlah 4. Dyspnea, kelelahan,
6. MAP dalam rentang normal pengonsumsian obat dan efek samping tachypnea, dan orthopnea
7. Capillary refill dalam pengobatan. merupakan salah satu tanda
rentang normal 3. Monitor respon pasiens etelah pemberian dari penurunan cardiac
NOC Label : Vital Sign obat. output sehingga perlu
8. TTV pasien dalam rentang 4. Pantau keefektifan medikasi dipantau.
normal 5. Untuk mengetahui status
sirkulasi pasien.
6. Memantau keadaan umum
pasien.
7. Untuk menentukan
tindakan yang tepat.
8. Mengetahui keadaan
sirkulasi pasien.
9. Memantau sirkulasi pasein.
NIC Label : Medication
management
1. Pemberian terapi
farmakologis dapat
menurunkan kerja jantung
yang berlebihan
2. Memberikan informasi ke
pada pasien dan kelaurga
sehingga nantinya mampu
untuk mengkonsumsi
obatnya secara mandiri
3. Mengetahui respon pasien
terhadap efek samping obat
4. Mengetahui apakah terapi
farmakologis yang diberikan
efektif atau tidak

3 Risiko infeksi b.d Setelah diberikan asuhan NIC Label : Wound Care NIC Label : Wound Care
pertahanan tubuh primer keperawatan selama …. X 24 jam 1. Ganti dressing dan pita perekat (plester) 1. Dressing diganti secara rutin
tidak adekuat diharapakan klien tidak mengalami secara rutin untuk menjaga kebersihan
infeksi dengan criteria hasil : 2. Pantau karakteristik dari luka termasuk luka sehingga meminimalkan
NOC : Wound Healing : Primary ukuran, drainase, warna dan bau terjadinya infeksi
Intention 3. Bersihkan luka dengan pembersih 2. Pemantauan luka yang tepat
1. Tidak terjadi peningkatan normal saline. akan membantu dalam
temperatur kulit 4. Pilihlah dreesing sesuai untuk jenis luka mengetahuai perkembangan
2. Tidak terdapat edema di sekitar 5. Pertahankan teknik steril ketika luka dan tindakan perawatan
luka melakukan perawatan luka. selanjutnya.
3. Tidak ada kemerahan di sekitar 6. Bandingkan dan catat secara teratur setiap 3. Normal saline menciptakan
luka perubahan luka. keadaan yang lembab pada
4. Tidak terdapat cairan purulen di luka.
sekitar luka 4. Penggunaan dreesing yang
5. Tidak terdapat bau yang tepat sangat berpengaruh
menyengat dari luka pada kesembuhan luka
karena pemakaian dresing
berbeda-beda disesuai
dengan keadaa luka.
5. Teknik sterille saat
perawatan luka berguna
untuk mencegah terjadi
infeksi.
6. Agar mengetahui
perkembngan lukanya.
4 Risiko kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label :Skin Surveillance NIC Label :Skin Surveillance
kulit b.d imobilisasi fisik keperawatan selama …. X 24 jam 1. Observasi dari ekstremitas seperti warna, 1. adanya perubahan pada kulit
diharapakan integritas kulit klien hangat, bengkak, nadi, tekstur, edema, ditandai dengan reaksi
membaik dengan criteria hasil : atau lesi. inflmasi.
NOC Label :Tissue Integrity : 2. Monitor area kulit dari kemerahan dan 2. kulit yang kemerahan
Skin and Mucous membranes gangguan. menandakan ada inflamasi.
1. Integritas kulit klien normal 3. Menginstruksikan keluarga untuk 3. Keluarga diusahakan ikut
2. Temperature kulit klien normal melaporkan pada petugas medis jika ada berperan dalam
3. Tidak adanya lesi pada kulit tanda dari gangguan kulit yang sesuai. perkembangan kesembuhan
4. Tugor kulit normal 4. Catat bila kulit atau membrane mukosa pasien.
5. Kulit dalam keadaan lembab terjadi perubahan. 4. Pencatatan dilakukan untuk
6. Kulit intak 5. Monitor tugor kulit mengetahui perkembangan
kondisi luka
5. Mengetahui kealstisitasan
kulit
5 Risiko konstipasi b.d Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bowel Management NIC Label: Bowel
penurunan motilitas traktus keperawatan selama ... X 24 jam 1. Monitor suara peristaltik usus klien Management
gastrointestinal dan efek tidak terjadi konstipasi dengan 2. Laporkan adanya penurunan peristaltik 1. Peristaltik usus merupakan
sedatif kriteria hasil: usus tanda fungsi alat
NOC Label: 3. Monitor tanda dan gejala konstipasi pencernaan
Bowel elimination NIC Label : Fluid Management 2. Adanya penurunan
1. Pola eleminasi klien teratur 1. Pantau input dan output yang sesuai peristaltik usus merupakan
2. Pertaltik usus dalam rentang 2. Pantau status hidrasi klien tanda dari konstipasi
normal 3. Pantau hasil laboratorium retensi cairan 3. Mengantisipasi terjadinya
3. Tidak terjadi konstipasi yang relevan konstipasi
4. Pantau tanda-tanda vital NIC Label : Fluid
5. Pantau indikasi cairan overload / retensi Management
yang sesuai 1. Untuk mengetahui status
6. Pantau makanan / cairan yang masuk keseimbangan cairan klien.
dan menghitung asupan kalori harian 2. Untuk memantau tanda-
yang sesuai tanda dehidrasi pada klien.
7. Berikan terapi IV yang ditentukan 3. Untuk mengetahui hasil
8. Berikan asupan cairan selama 24 jam laboratorium untuk
sesuai ketentuan memudahkan intervensi.
9. Pantau respon klien terhadap terapi 4. Untuk mengecek perubahan
elektrolit yang telah ditentukan kondisi tubuh klien.
10. Konsultasikan dengan dokter jika tanda- 5. Untuk mencegah overload
tanda dan gejala kelebihan volume cairan klien.
cairan menetap atau memburuk. 6. Agar intake cairan dan
kalori klien terkontrol.
7. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan klien.
8. Agar kekurangan cairan
klien teratasi.
9. Untuk mengetahui efek
samping terapi yang
diberikan kepada klien
10. Agar dapat segera
dilakukan tindakan yang
tepat apabila terjadi
kelebihan volume cairan
pada klien
Trauma atau Ruda Paksa Kepala

Stres Fisiologis
Pembuluh darah serebral robek

Sekresi ADH meningkat Penurunan Urin Output


v
Retensi Natrium & Air
Penekanan pd komponen serebri lain

Penurunan Urin Output Proses desak ruang


Peningkatan TIK
Resiko ketidakseimbangan Merangsang pusat mual
volume cairan Merangsang sistem muntah di medulla oblongata Penekanan pd pembuluh darah serebri
saraf simpatis
Penurunan transportasi O2
Mual Muntah
Peningkatan tahanan vaskuler sistemik Hipoksia Jaringan Otak

Ketidakseimbangan
Tekanan pulmonal menurun Metabolisme anaerob
nutrisi : kurang dari
Dipsnea kebutuhan tubuh
Kebocoran cairan kapiler
Hipoksemia Penumpukan asam laktat

Edema paru
Iritasi ujung saraf Resiko
Ketidakefektifan pola Peningkatan hambatan difusi O2-CO2
napas
ketidakefektifan
Gangguan Pertukaran Gas Nyeri akut perfusi jaringan
otak

Anda mungkin juga menyukai