OLEH
NI KADEK DEVANIE PRATANA RIANDIKA
NIM. 189012116
1. Definisi
Brain Injury Association of America mendefinisikan cedera kepala sebagai suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Penangan khususnya pada klien dengan Cidera Kepala Berat (CKB) yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian epidural (EDH) maupun
subdural (SDH) dilakukan tindakan trepanasi/kraniotomi.
Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan
lapisan duramater, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena
emmisaria, Sinus venosus duralis.
Subdural hematoma (SDH) merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Intracranial hematoma (ICH) sendiri merupakan perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Menurut Dorland (1998), kraniotomi/trepanasi adalah setiap operasi terhadap
cranium. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat
tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan
(Hinchliff, Sue. 1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002).
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.
2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden
cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).
3. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007).
Smeltzer (2001) mengemukakan penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian
5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
(Gennarelli, 1996 ; Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).
6. Klasifikasi
Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001)
Klasifikasi kraniotomi/trepanasi
Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:
a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial.
b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).
c. Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat
akses ke kelenjar hipofisis.
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
n. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.
8. Diagnosis
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT)
untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan
informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan
lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah
tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler
transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.
9. Terapi
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intrakranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematoma di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan
mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Intervensi Keperawatan
a. Kraniotomi supratentorial
Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran
netral.
Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada
sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)
b. Kraniotomi Intratentorial
Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.
Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.
Posisikan pasien miring. (Periksa protokol untuk peddoman posisi pasien)
c. Transfenoidal
Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.
Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.
Berikan perawatan oral sering.
Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan
drainase dari sisi pembedahan.
10. Komplikasi
Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit
neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan
dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi
dan penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik,
dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak
sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Breathing
Pengkajian fisik di ICU sangat penting dilakukan sekurang-kurangnya sekali sekali
setiap hari pada pasien high dependency care dan setiap kali shif pada pasien kritis.
Sedangkan pengkajian rutin dapat berupa data objektif dan data subjektif.
Pada saat pengkajian fisik lakukan mulai dari kepala ke bawah dan lakukan secara
cepat pengkajian ABC (airway, breathing, sirculation).
A : Airway
Apakah pernafasan pasien adekuat?
Pola nafas?
Apakah pergerakan kedua dinding dada sama?
B : Breathing
Bagaimana saturasi oksigen pasien?
Bagaimana cara pemberian terapi oksigen?
Apakah adekuat?
C : Circulation
Bagaimana heart rate pasien ? irama?
Bagaimana tekanan darahnya?
Bagaimana warna tangan dan kaki?
2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det).
3) Brain
Klien biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek
pupil terhadap cahaya
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan pada
genetalia dan pola eliminasi urine.
Pada pemerikasaan Ginjal
- Cek urine output
- Cek setatus cairan dan balance kumulatif
- Cek kadar ureum dan kreatinin darah
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi
alvi, adakah kelainan pada anus.
Pada pemerikasaan Pencernaan
- Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada
- Cek jenis makanan, kecepatan dan toleransi
- Auskultasi peristaltik
- Kapan terakhir BAB dan BAK.
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, bagaimana ATR (activity tonus
respon).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d trauma kepala
b. Ketidakefektifan pola napas b.d cedera kepala ditandai dengan dispnea
c. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan ventilasi ditandai dengan hipoksemia
d. Nyeri akut b.d cedera kepala ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan
menelan ditandai dengan mual
f. Resiko ketidakseimbangan volume cairan b.d cedera kepala
DAFTAR PUSTAKA
Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan bersihan Setelah diberikan asuhan NIC Label : Airway management NIC Label : Airway
jalan napas b.d adanya keperawatan selama ... X 24 jam 1. Kaji TTV klien, catat jika ada perubahan. management
2. Posisikan klien pada posisi yang 1. Tanda-tanda vital dalam
materi asing dalam jalan jalan napas klien paten dengan
memaksimalkan potensi pertukaran udara rentang normal.
napas yang d.d suara napas kriteria hasil: (posisi semi fowler) 2. Posisi semi fowler
tambahan dan dispnea NOC Label : Respiratory status : 3. Lakukan terapi fisik dada sesuai memberikan ekspansi paru
Ventilation kebutuhan. yang optimal sehingga pasien
1. Laju pernapasan klien dalam 4. Bersihkan sekresi dengan dorongan batuk dapat memaksimalkan
rentang normal atau suctioning potensial ventilasi
2. Irama pernapasan dalam rentang 5. Ajarkan klien bagaimana cara batuk 3. Untuk membantu
normal efektif pengeluaran secret
3. Kedalaman inspirasi dalam 6. Monitor status respirasi dan oxigenasi 4. Untuk melancarkan jalan
rentang normal klien nafas dari secret
4. Klien tidak menggunnakan otot 7. Auskultasi suara napas, catat adanya suara 5. Untuk mampu mengeluarkan
bantu pernapasan tambahan secret yang menghambat
8. jalan nafas
NOC Label : respiratory status : NIC Label : Airway suction 6. Mengetahui perkembangan
airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal status respirasi dan oksigenasi
1. Klien mampu mengeluarkan suctioning 7. Derajat spasme bronkus
secret 2. Auskultasi suara napas sebelum dan dengan obstruksi jalan nafas
sesudah suctioning dapat / tidak dimanifestasikan
3. Informasikan pada klien dan keluarga adanya buinyi nafas
tentang suctioning adventisius misalnya tidak
4. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan adanya bunyi nafas oleh
tindakan mengi
5. Monitor status oksigen klien
3 Risiko infeksi b.d Setelah diberikan asuhan NIC Label : Wound Care NIC Label : Wound Care
pertahanan tubuh primer keperawatan selama …. X 24 jam 1. Ganti dressing dan pita perekat (plester) 1. Dressing diganti secara rutin
tidak adekuat diharapakan klien tidak mengalami secara rutin untuk menjaga kebersihan
infeksi dengan criteria hasil : 2. Pantau karakteristik dari luka termasuk luka sehingga meminimalkan
NOC : Wound Healing : Primary ukuran, drainase, warna dan bau terjadinya infeksi
Intention 3. Bersihkan luka dengan pembersih 2. Pemantauan luka yang tepat
1. Tidak terjadi peningkatan normal saline. akan membantu dalam
temperatur kulit 4. Pilihlah dreesing sesuai untuk jenis luka mengetahuai perkembangan
2. Tidak terdapat edema di sekitar 5. Pertahankan teknik steril ketika luka dan tindakan perawatan
luka melakukan perawatan luka. selanjutnya.
3. Tidak ada kemerahan di sekitar 6. Bandingkan dan catat secara teratur setiap 3. Normal saline menciptakan
luka perubahan luka. keadaan yang lembab pada
4. Tidak terdapat cairan purulen di luka.
sekitar luka 4. Penggunaan dreesing yang
5. Tidak terdapat bau yang tepat sangat berpengaruh
menyengat dari luka pada kesembuhan luka
karena pemakaian dresing
berbeda-beda disesuai
dengan keadaa luka.
5. Teknik sterille saat
perawatan luka berguna
untuk mencegah terjadi
infeksi.
6. Agar mengetahui
perkembngan lukanya.
4 Risiko kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label :Skin Surveillance NIC Label :Skin Surveillance
kulit b.d imobilisasi fisik keperawatan selama …. X 24 jam 1. Observasi dari ekstremitas seperti warna, 1. adanya perubahan pada kulit
diharapakan integritas kulit klien hangat, bengkak, nadi, tekstur, edema, ditandai dengan reaksi
membaik dengan criteria hasil : atau lesi. inflmasi.
NOC Label :Tissue Integrity : 2. Monitor area kulit dari kemerahan dan 2. kulit yang kemerahan
Skin and Mucous membranes gangguan. menandakan ada inflamasi.
1. Integritas kulit klien normal 3. Menginstruksikan keluarga untuk 3. Keluarga diusahakan ikut
2. Temperature kulit klien normal melaporkan pada petugas medis jika ada berperan dalam
3. Tidak adanya lesi pada kulit tanda dari gangguan kulit yang sesuai. perkembangan kesembuhan
4. Tugor kulit normal 4. Catat bila kulit atau membrane mukosa pasien.
5. Kulit dalam keadaan lembab terjadi perubahan. 4. Pencatatan dilakukan untuk
6. Kulit intak 5. Monitor tugor kulit mengetahui perkembangan
kondisi luka
5. Mengetahui kealstisitasan
kulit
5 Risiko konstipasi b.d Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bowel Management NIC Label: Bowel
penurunan motilitas traktus keperawatan selama ... X 24 jam 1. Monitor suara peristaltik usus klien Management
gastrointestinal dan efek tidak terjadi konstipasi dengan 2. Laporkan adanya penurunan peristaltik 1. Peristaltik usus merupakan
sedatif kriteria hasil: usus tanda fungsi alat
NOC Label: 3. Monitor tanda dan gejala konstipasi pencernaan
Bowel elimination NIC Label : Fluid Management 2. Adanya penurunan
1. Pola eleminasi klien teratur 1. Pantau input dan output yang sesuai peristaltik usus merupakan
2. Pertaltik usus dalam rentang 2. Pantau status hidrasi klien tanda dari konstipasi
normal 3. Pantau hasil laboratorium retensi cairan 3. Mengantisipasi terjadinya
3. Tidak terjadi konstipasi yang relevan konstipasi
4. Pantau tanda-tanda vital NIC Label : Fluid
5. Pantau indikasi cairan overload / retensi Management
yang sesuai 1. Untuk mengetahui status
6. Pantau makanan / cairan yang masuk keseimbangan cairan klien.
dan menghitung asupan kalori harian 2. Untuk memantau tanda-
yang sesuai tanda dehidrasi pada klien.
7. Berikan terapi IV yang ditentukan 3. Untuk mengetahui hasil
8. Berikan asupan cairan selama 24 jam laboratorium untuk
sesuai ketentuan memudahkan intervensi.
9. Pantau respon klien terhadap terapi 4. Untuk mengecek perubahan
elektrolit yang telah ditentukan kondisi tubuh klien.
10. Konsultasikan dengan dokter jika tanda- 5. Untuk mencegah overload
tanda dan gejala kelebihan volume cairan klien.
cairan menetap atau memburuk. 6. Agar intake cairan dan
kalori klien terkontrol.
7. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan klien.
8. Agar kekurangan cairan
klien teratasi.
9. Untuk mengetahui efek
samping terapi yang
diberikan kepada klien
10. Agar dapat segera
dilakukan tindakan yang
tepat apabila terjadi
kelebihan volume cairan
pada klien
Trauma atau Ruda Paksa Kepala
Stres Fisiologis
Pembuluh darah serebral robek
Ketidakseimbangan
Tekanan pulmonal menurun Metabolisme anaerob
nutrisi : kurang dari
Dipsnea kebutuhan tubuh
Kebocoran cairan kapiler
Hipoksemia Penumpukan asam laktat
Edema paru
Iritasi ujung saraf Resiko
Ketidakefektifan pola Peningkatan hambatan difusi O2-CO2
napas
ketidakefektifan
Gangguan Pertukaran Gas Nyeri akut perfusi jaringan
otak