Anda di halaman 1dari 169

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

RESPON GURU SEJARAH

SEKOLAH MENENGAH ATAS YOGYAKARTA

TERHADAP WACANA ALTERNATIF TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965

Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

Oleh
Kartika Pratiwi
NIM : 086322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013

 
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Melakukan penelitian dengan topik yang sangat sensitif di Indonesia


memang tidak mudah. Data yang terbatas, sulitnya birokrasi, pengalaman
traumatis dari pihak-pihak yang akan diwawancarai menjadi satu dari sekian
alasan kenapa penulis menempuh waktu yang tidak sebentar saat menyelesaikan
tesis yang berjudul Respon Guru Sejarah Sekolah Menengah Atas Yogyakarta
Terhadap Wacana Alternatif Tragedi Kemanusiaan 1965. Oleh karena itu, puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga
penulis bisa menyelesaikan tesis ini dalam waktu setengah dekade.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis dibimbing oleh Prof. Dr. Supratiknya
dan Romo Budi Subanar, SJ. yang tidak pernah bosan merelakan waktunya dan
menjadi pengingat supaya tesis ini harus selesai bagaimanapun keadaannya.
Kepada Romo Baskara T. Wardaya, yang telah luar biasa membantu dalam hal
pengetahuan dan bentuk non-materiil lainnya, juga demi penulis bisa yakin bahwa
tesis ini memang harus sampai pada titik kesimpulan. Kepada seluruh dosen Ilmu
Religi dan Budaya yang sudah membagikan ilmu kepada penulis dari tahun 2008.
Tidak ada rasa penyesalan sedikitpun saat penulis akhirnya memutuskan untuk
menempuh pendidikan di sini meskipun pada awalnya hampir memilih jurusan
tetangga sebelah.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya,
kepada Goya Tamara Kolondam dan keluarga besar atas dukungan dalam hal
materiil dan non-materiil saat menempuh program magister ini. Terima kasih
bahwa mereka sangat mengerti bahwa proses panjang ini bukan semata-mata
karena kuantitas, tetapi harus diselesaikan dengan pertimbangan kualitas. Sangat
disadari bahwa perjalanan ini belum selesai, oleh karena itu penulis berharap bisa
selalu menjadi kebanggaan mereka sampai kapanpun.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
observasi dan wawancara dengan guru-guru sejarah di Yogyakarta. Maka, penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak guru dan sekolah yang bersedia
diwawancarai dan meluangkan waktunya meskipun terkadang menyita jadwal
mengajarnya. Juga kepada Diyah Larasati, terima kasih atas pencerahan di sela-

  vi 
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

sela waktu minum teh sore hari dan kepada Roxana Waterson dan Kay Mohlman
di National University of Singapore yang telah membantu mengolah data tersebut
setelah bertahun-tahun dibiarkan.
Sangat beruntung sekali penulis mempunyai banyak teman yang sangat
membantu dalam proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Airani
Sasanti, Diah Ari Tapaningtyas, Doni Maulistya, Vella Siahaya, Resa Pattiwael,
Ari Nugroho, Heidy Patricia, Gery Pandeiroot, Bang Ucok, Octo Cornelius, Eli
Firziana. Mereka dengan ikhlas membantu mengetik, membuat transkrip,
mengedit data, diskusi, memberi saran dan kritik, semangat dan hiburan di sela-
sela keputus-asaan juga beberapa hal lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu karena terlalu banyak. Penulis beruntung mempunyai teman-teman yang
sangat baik seperti mereka meskipun hanya bisa “dibayar” dengan makanan
seadanya.
Tesis ini penulis persembahkan untuk kotakhitam forum, sebuah lembaga
independen sejarah politik. Dari merekalah, penulis belajar jangan pernah takut
untuk mengungkapkan kebenaran meskipun tidak ada dukungan materiil
sedikitpun, Terima kasih A. Dananjaya, Viodeogo, Kiky Salata, Aquido dan
Dimas. “Perjalanan kita tidak boleh berhenti.”
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih sekali lagi kepada
pihak-pihak yang membantu secara langsung dan tidak langsung selama
melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dari tesis ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.

Yogyakarta, September 2013

Penulis

  vii 
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK

Sebelum Reformasi 1998, wacana tentang Tragedi Kemanusiaan 1965 yang diterima oleh
masyarakat mengikuti versi yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Dimana pada waktu itu,
guru sejarah di Indonesia harus memakai sudut pandang yang ada di dalam buku sejarah
yang di-kontrol oleh rezim tersebut. Sebagai tambahan, setiap tahun para murid diwajibkan
untuk melihat pemutaran film Pengkhinatan G30S/PKI. Sebuah film tentang Tragedi
Kemanusiaan 1965 yang disusun atau dibuat oleh rezim Orde Baru untuk menunjukkan
betapa jahatnya paham komunisme. Jatuhnya rezim Orde Baru menyulut sebagian dari
masyarakat untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kebenaran cerita dari sisi lain peristiwa
Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa dari mereka membuat film dokumenter dan buku
yang menyediakan sisi lain dari wacana sejarah yang telah ada. Media dan bahan diskusi
baru yang bermunculan ini ‘menantang’ untuk sekolah dan guru sejarah agar lebih terbuka
akan penerjemahan sejarah dari sisi lain. Namun, wacana tentang sejarah alternatif tidak
selamanya mempunyai dampak, beberapa dari guru sejarah masih memakai buku sejarah
yang sama ketika di jaman rezim Orde Baru, karena tampaknya mereka masih ‘dihantui’
oleh rasa ketakutan pada rezim sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
tanggapan dari guru sejarah terhadap wacana sejarah alternatif dengan topik Tragedi
Kemanusiaan 1965, dengan memakai metode pemutaran film dokumenter sejarah yang
mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan versi dari rezim Orde Baru. Studi ini juga
untuk melihat sampai sejauh mana guru sejarah mau untuk mempertimbangkan memakai
narasi sejarah alternatif dalam metode pengajaran mereka. Penelitian ini juga membantu
perkembangan dari kurikulum sejarah menuju pendidikan yang manusiawi dan demokratis.
Membantu untuk mengembangkan bentuk metode pendidikan yang baru dengan
menggunakan audio visual sebagai media dalam pembelajaran sejarah. Harapan dari
penelitian ini juga membantu membuka perspektif baru untuk guru dan sekolah dalam
memahami wacana Tragedi Kemanusiaan 1965, dan selanjutnya akan memberi harapan
bagi para murid untuk lebih kritis dalam memahami sejarah dari Indonesia.

Kata kunci: komunis, pendidikan, Orde Baru, sejarah alternatif

viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT

Before the 1998 reformation, people accepted the 1965 Tragedy discourse according to the
New Order regime’s version. Accordingly, history teachers in Indonesia had to use the
conventional perspective in history books that were controlled by the regime. In addition,
students had to watch Pengkhianatan G30S/PKI (The Betrayal of The 30th September
Movement/Indonesian Communist Party), a historical movie of the 1965 Tragedy
constructed by the regime which simply emphasizes the representation that communism is
evil every year.The fall of the regime in 1998 triggered people’s motivation to explore
further for the truth beyond the 1965 Tragedy, aside from the conventional version. Many
critical groups create documentary movies and books in order to provide an alternative
discourse in history. Those new resources challenge schools and history teachers to become
more open to any interpretations. However, the public discourse on alternative history has
not always had an impact. Many teachers still use the same books as they used in New
Order regime instead of giving the alternative version to their students, because they seems
to be haunted by the trauma. By screening the documentary movie to history teachers, this
research aims to analyze their responses about the documentary movie of 1965 Tragedy, the
movie that is seen from the opposite perspective of the New Order regime version.
Moreover, this study looks at to what extent high school history teachers are willing to
consider of using alternative historical narratives in their way of teaching. This research
also benefits in assisting the development of history curriculum into a more
humane and democratic one. It contributes to develop a new form of teaching by using
audio visual media in learning history. It in turn opens new perspectives to teachers and
schools in understanding the discourse of 1965 Tragedy and later encourages students to be
more critical to comprehend Indonesian history.

Keywords: communism, education, New Order, alternative history

ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................. ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH......................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
ABSTRAK....................................................................................................................... vii
ABSTRACT...................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1. Latar Belakang...................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah................................................................................................. 17
3. Tujuan Penelitian.................................................................................................. 18
4. Manfaat Penelitian................................................................................................ 18
5. Tinjauan Pustaka................................................................................................... 19
6. Landasan Teori ..................................................................................................... 21
6.1 Pendidikan Kritis ............................................................................................ 22
6.2 Kekuasaan dalam Pendidikan......................................................................... 25
6.3 Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas ................................... 32
7. Metode Penelitian ................................................................................................. 37
8. Sumber Data ......................................................................................................... 38
9. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................... 39
10. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 40

BAB II(RE)PRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI


PAHLAWAN ATAU KORBAN ................................................................................... 42

2.1 Pendidikan Sejarah dari Masa ke Masa............................................................... 42


2.1.1 Paradigmatik Pelajaran Sejarah.............................................................. 46
2.1.2 Sejarah Versi (Orde) Baru...................................................................... 48
2.2 Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan....................................................... 53
2.2.1 Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah .................................. 55
2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan ..................................................................... 59

BAB III PENDIDIKAN KRITIS (A)HISTORIS......................................................... 67

3.1 Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru............... 70
3.2 Perubahan Teks Tragedi Kemanusiaan 1965 setelah Orde Baru ......................... 81

x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

3.3 Ketika Guru Membuat Versi Sejarahnya Sendiri ................................................. 92


3.4 Respon Guru terhadap Inkonsistensi Kurikulum.................................................. 95
3.4.1 Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”........................................ 98

BAB IV REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH......... 103

4.1 Tumbangnya Orde Baru ....................................................................................... 103


4.2 Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu .......................................................... 107
4.3 Menjadi Guru yang (Mem)Bebas(kan)................................................................. 112
4.3.1 Mengajar yang Alternatif.......................................................................... 113
4.3.2 Film Dokumenter sebagai Media Populer Pengajaran Sejarah ................ 117
4.4 Usaha Penyadaran Kritis Publik melalui Sejarah Alternatif ............................... 120

BAB V NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH .................................... 122

5.1 Resistensi untuk Keluar “Batas” ......................................................................... 122


5.2 Negosiasi dengan Institusi................................................................................... 129

BAB VI KESIMPULAN ................................................................................................ 132

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 135

LAMPIRAN

xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pendidikan sejarah pada hakekatnya memberikan pemahaman secara

mendalam mengenai peristiwa masa lalu dan relevansinya dengan masa kini.

Namun, wacana mengenai sejarah bangsa Indonesia di sekolah tampaknya tak

banyak diminati oleh para murid masa kini karena mereka dituntut oleh guru dan

nilai untuk hanya menghafalkan nama peristiwa, tanggal, dan nama-nama

pahlawan tanpa dibimbing untuk bersikap kritis terhadap peristiwa-peristiwa

bersejarah itu. Murid juga hanya diberi sumber tertulis yang berpatokan dari satu

sumber dan tidak diarahkan untuk membaca sumber alternatif lainnya. Salah satu

kritik mengenai cara pengajaran sejarah diungkapkan oleh Niels Mulder yang

mengatakan bahwa materi kelas sejarah hanya menjelaskan kronologi persitiwa

dan diceritakan tanpa teori atau koherensi yang berasal dari proses perhubungan

masing-masing periode sejarah.1 Hal ini bisa dikatakan sebagai pengkerdilan

1
Mulder, Niels. 2000. Individu, Masyarakat, dan Sejarah:Kajian Kritis Buku-Buku Sekolah di
Indonesia (Bagian 2). Yogyakarta: Kanisius, hal. 59.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  2

materi sejarah, yang kemudian diperkeruh oleh pemeliharaan dominasi Orde Baru

yang memegang kendali cerita sejarah dan membungkam versi kebenaran

lainnya.2 Dengan menggunakan penjelasan di atas, penulis mengacu pada istilah

yang ditawarkan Antonio Gramsci, yaitu“hegemoni” yang disejajarkan dengan

istilah “kekuatan” suatu rezim tertentu.3

Posisi hegemoni di negara ini tidak saja ditunjukkan lewat kemampuan

Orde Baru dalam mengontrol setiap ruang publik, tetapi juga lewat perekayasaan

praktik politik dan budaya, termasuk dalam pendidikan. Perekayasaan dalam

pendidikan tidak hanya melalui buku teks, tetapi dominasi juga berlangsung

melalui mediumlain seperti audio visual. Sebagai contoh, di sekolah para siswa

diharuskan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun. Narasi film ini

secara sederhana menekankan representasi bahwa PKI dan hal-hal yang

berhubungan dengan komunisme adalah hal yang jahat. Dengan pemutaran film

yang berlangsung terus-menerus dalam pendidikan formal ini tentunya generasi

2
Widja, I. G. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka
Utama, hal. vi.
3
Secara etimologis, kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani :egemonia/egemon, yang berarti
pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang lazimnya berhubungan dengan konteks
kenegaraan. Antonio Gramsci menjadi pelopor penggunaan istilah hegemoni hingga
melahirkan kajian yang beragam. Di tangan Gramsci, kata hegemoni tidak hanya berarti satu
dominasi politik dalam relasi antar negara, tetapi juga merupakan dominasi politik dari suatu
kelas yang berkuasa terhadap kelas yang lemah dalam relasi sosial. Terlebih, hegemoni juga
bisa berarti dominasi yang lebih umum sdi bidang-bidang lainnya, seperti kebudayaan,
ideologi, pendidikan, gender dan sebagainya (Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. 1996.
Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan Pustaka, hal. 28)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  3

yang terlahir pada masa itu mendapatkan sosok komunis secara jelas hanya

melalui film garapan Arifin. C. Noer. Film Pengkhianatan G30S/PKI

menceritakan penyiksaan tujuh Jenderal yang ditayangkan setiap tanggal 30

September pada masa Orde Baru. Para pengamat film mengkategorikan film

tersebut sebagai “doku-drama”4. Narasi film menekankan bahwa komunis,

Gerwani, dan komunitas-komunitas di bawah naungan PKI itu jahat, termasuk di

naskah maupun gambar visualnya. Gambaran penyiksaan di film tersebut juga

diulang dalam buku pelajaran. Misalnya dalam buku Pelajaran Sejarah Perjuangan

Bangsa (PSPB) untuk Sekolah Dasar yang memasukan teks peristiwa di Lubang

Buaya untuk drama di kelas.

Ada pengkondisian yang membuat orisinalitas dari fakta sejarah menjadi

disamarkan dalam pendidikan. Dari persinggungan diatas membuktikan bahwa

pendidikan di satu sisi memiliki kekuasaan atas pembentukan identitas

masyarakat dan negara. Namun, disisi lain pendidikan menjadi instrumen

kekuasaan dari masyarakat dan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Budi

4
Film doku-drama adalah perpaduan film dokumenter dengan film drama. Film doku-drama
merupakan film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai
macam tujuan, yaitu untuk propaganda, untuk pendidikan, atau komersil.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  4

Irawanto dalam artikelnya yang berjudul Rezim Visual Nan Militeristik5, kekuatan

pada yang visual rupanya dipercaya oleh kalangan militer sebagai sumber untuk

menyampaikan sejarah. Sejarawan-cum-militer Nugroho Notosusanto dalam buku

hasil Seminar ABRI 1997, dengan jelas menyatakan:“Di dalam masyarakat yang

sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih

sedang berkembang, kiranya historio-visualisasi masih agak efektif bagi

pengungkapan identitas ABRI.” Kendati terasa ada nada yang meremehkan

kecerdasan rakyat kebanyakan, agaknya Nugroho mempercayai kemampuan yang

visual sebagai sumber untuk menyusun sejarah. Artinya, peserta didik menjadi

subjek eksploitasi suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan mereka

sebagai objek-objek dan alat dari suatu rejim yang mempunyai kekuasaan saat itu.

Tidak mengherankan bila pemerintah dan khususnya wacana sejarah 65

mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan melalui pendidikan

inilah terjadi indoktrinasi.

Pierre Bourdieu mengatakan dalam masyarakat terdapat apa yang disebut

5
Budi Irawanto mengulas buku Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam:
Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
(www.budiirawanto.multiply.com), 5 Oktober 2008.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  5

doxa yang mengatur tingkah laku anggotanya6. Dalam hal ini pendidikan

berfungsi sebagai doxa yang mengatur para anggotanya (baik guru maupun

murid) terhadap patuhnya wacana 65 yang satu versi, yaitu versi Orde Baru.

Albert Satria Purnama, mahasiswa Institut Teknologi Bandung dalam esainya

berjudul “Mengapa Saya Benci Kata PKI” mengatakan dirinya adalah korban

kekejaman Orde Baru melalui pendidikan. Albert membenci PKI karena sewaktu

pelajaran sejarah dulu diceritakan bahwa PKI adalah musuh yang berusaha

menjatuhkan ideologi Pancasila, ditambah dengan terbunuhnya jenderal-jenderal

militer yang semua itu diprakarsai oleh PKI. Namun, seiring dengan

pertumbuhannya, Albert menemukan sendiri secara subjektif bagaimana

pandangannya terhadap PKI mulai berubah dengan hadirnya wacana-wacana

alternatif diluar sekolah7.

Sekalipun peserta didik adalah sekelompok individu yang seharusnya

mempunyai ruang gerak bebas di dalam sejarah dan mereka harusnya mampu

menentukan posisi dimana harus berada, disini sosok mereka menjadi bias karena

penguasaan sejarah yang sepihak. Tidak semua sekolah bisa bersikap demokratis

6
Pierre Bourdieu. 1990. Habitus and Pratices. California: Standford University Press, hal. 54.
7
Albert Satria Purnama. “Mengapa Saya benci Kata PKI?” (dalam buku Demi Masa Depan,
Kumpulan Esai Anak Muda Indonesia tentang Tragedi Kemanusiaan 1965-1969. 2011).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  6

untuk membahas kembali wacana 65 karena mereka hanya mengacu pada satu

buku tertentu yang tidak berbeda dengan buku terbitan masa Orde Baru. Disini

guru sejarah memegang peranan penting dalam konteks melawan pemalsuan

sejarah dengan topik wacana 65. Guru menjadi pemantik bagi siswa agar siswa

bersikap kritis terhadap topik-topik yang sensitif, bukannya malah membatasi.

Guru juga semestinya mendampingi siswa untuk lebih melihat sejarah melalui

kacamata humanis dan memberi ruang seluas mungkin terhadap wacana alternatif,

sehingga tampak hal tersebut merupakan perbedaan antara pendidikan yang

membebaskan dengan pendidikan konvensional.8 Guru sejarah pun mengalami

hambatan, yaitu tuntutan pendidikan yang mengarah pada ujian akhir sehingga

semua daya diarahkan ke topik yang dicakup dalam ujian akhir. Pola ini tidak

memungkinkan pengajaran sejarah menjadikan anak menemukan jati dirinya

sebagai siswa yang aktif mencari informasi, bukannya menerima informasi saja.9

Guru sebagai subjek kepercayaan masyarakat (dan negara), mempunyai peran

yang sulit saat mereka mengajar hal-hal yang bukan diyakininya karena mereka

tunduk pada mekanisme pengawasan dari institusi. Dalam situasi ini batas-batas

8
Paulo Freire dalam dialog dengan Ira Shor, Menjadi Guru yang Merdeka. 2001. Yogyakarta:
LKIS, hal. 50).
9
Basuki Sulistyo. “Bibliografi Pengajaran Sejarah”. Tulisan ini dimuat di buku Kumpulan
Makalah Simposium Pengajaran Sejarah. 1995. Jakarta: CV Dwi Karya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  7

antara “kepastian-sejarah” dengan “kewajaran sejarah” atau “apa-yang-terjadi”

dengan “apa-yang-semestinya-terjadi” menjadi kabur.

Wacana publik tentang penulisan ulang sejarah dimulai pada tahun 1998,

sudah lebih dari tiga belas tahun yang lalu. Bagaimana dampaknya sekarang?

Apakah sejarah resmi Indonesia di sekolah bebas dari penyimpangan Orde Baru?

Sejak tahun 1998 pula Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar

film Pengkhianatan G30S/PKI di semua saluran televisi. Namun, kebijakan

tersebut tidak menyelesaikan persoalan terutama dari segi penulisan dan

pengajaran sejarah di Indonesia.10 Oleh karena itu, penelitian ini didasari oleh

pertanyaan besar mengenai dinamika kurikulum sejarah mengenai Tragedi

Kemanusiaan 1965 dari masa Orde Baru sampai pasca Orde Baru. Penulis

menemukan ada versi yang berbeda dari beberapa buku sejarah yang digunakan

oleh guru sejarah dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Contohnya dalam

penulisan kata ‘PKI’ di belakang G30S. Perdebatan ini mencuat saat beberapa

kelompok masyarakat mencoba menghapus kata PKI. Namun, pada tahun 2009

Kejaksaan Agung mengembalikan peraturan tersebut ke UU No. 16 Tahun 2004

melarang buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI. Pada tahun

10
Asvi Warman Adam. 1999. Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru dalam Buku Panggung
Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 573.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  8

2010 ELSAM, organisasi advokasi perlindungan hak asasi manusia,

memenangkan persidangan mengenai perdebatan pelarangan buku tersebut. Tetapi

tampaknya kemenangan itu tidak benar-benar diterapkan oleh sekolah. Masih

banyak sekolah menengah atas yang menggunakan buku sejarah yang

menggunakan kata PKI di belakang G30S.

Buku sejarah yang digunakan cenderung memberi sensor dan mengangkat

kisah-kisah besar secara sekilas saja, khususnya kisah yang berhubungan dengan

pelanggengan kekuasaan. Contohnya dalam buku diktat sejarah dari SMA Stella

Duce 2, pembahasan mengenai wacana 65 hanya satu lembar dan tidak ada

deskripsi mendalam mengenai konteks peristiwa tersebut. Menurut Michael van

Langenberg (1996)11 dalam buku Bahasa dan Kekuasaan, Orde Baru bertujuan

menyikut Orde Lama sebagai periode penuh chaos, kekacauan dan kekerasan

massal, seperti dalam kutipan berikut ini.

Jelaslah, ini berarti, Orde Baru telah mengangkangi kenangan sejarah penuh
pembunuhan itu sebagai alat untuk memapankan legitimasinya. Pembunuhan itu
sendiri tak dipertimbangkan dalam sejarah resmi versi Orde Baru. Pembenaran atas
hal ini memang tak semata-mata sebagai tindakan balasan Orde Baru terhadap
Orde Lama. Ketika “tindakan balasan” ini didengungkan, maknanya diarahkan
sebagai aksi spontan rakyat terhadap gerakan komunis.

11
Tulisan ini dimuat dalam kumpulan esai berjudul Bahasa dan Kekuasaan (Politik Wacana di
Panggung Orde Baru). 1996. Bandung: Mizan Pustaka.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  9

Pasca reformasi 98 kebebasan berbicara mengenai ideologi kritis menjadi

agak longgar dan mendorong kelompok-kelompok masyarakat untuk bergerak

menelusuri serta memeriksa kembali beragam ingatan yang menyusun sejarah

nasional secara kolektif. Sebaliknya, tumbangnya Orde Baru dan munculnya

zaman reformasi membuat banyak pihak diluar institusi formal semakin penasaran

untuk meneliti lebih lanjut ada apa dibalik peristiwa 65 dengan dalih ingin

memberikan alternatif wacana sejarah yang berbeda dengan versi mainstream. Hal

ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang mulai ragu

dengan wacana politik produksi Orde Baru.

Banyak versi sejarah alternatif muncul di kalangan masyarakat.

Harapannya adalah penyajian kurikulum sejarah akan dijadikan bebas, dalam arti

sejarah tidak menjadi kepentingan sepihak lagi. Namun, wacana publik tentang

sejarah alternatif tidak selamanya berdampak positif. Sekolah Menengah Atas

tampaknya masih trauma dan dibayang-bayangi ideologi Orde Baru terhadap

wacana 65 yang tidak sesuai dengan versi Orde Baru. Penghapusan wacana 65

masih terjadi di beberapa sekolah di Yogyakarta yang nyatanya tidak

memasukkan topik tersebut kedalam kurikulum pembelajaran sejarah. Salah

satunya penyebabnya adalah adanya kebijakan dari pendidikan nasional yang


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  10

menghapus wacana tersebut karena dirasa terlalu sensitif. Seperti yang dikatakan

oleh Angus Gratoon dalam penelitiannya mengenai pendidikan sejarah awal

reformasi (2004):

Sebelum gerakan Reformasi genap berumur 10 tahun, tepatnya pada awal tahun
2007, tindakan model Orde Baru dalam hal pelarangan buku itu telah
menyeruak kembali ke tengah masyarakat. Pada tanggal 5 Maret tahun itu salah
satu instansi pemerintah pusat mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor
19/A/JA/03/2007 berisi larangan terhadap 13 judul buku pelajaran sejarah,
termasuk buku pelajaran untuk Kelas 1 dan Kelas 3 tingkat SLTP.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan inilah klaim sejarah alternatif perlu

mengambil posisi. Klaim sejarah tidak akan berjalan secara regenerasi saat tidak

ada yang memediasi. Disinilah peran guru menjadi penting saat mengambil sikap

dalam kegiatan mengajar. Dalam acara sarasehan Musyawarah Guru Mata

Pelajaran Sejarah (MGMP) yang diadakan di Sanata Dharma pada November

2011, banyak guru sekolah menengah yang mengaku mengalami hambatan dalam

mendapatkan versi-versi sejarah alternatif karena keterbatasan dana, kemampuan

untuk mengakses dari luar sekolah, dan hal tersebut mengakibatkan tidak adanya

variasi versi sejarah dan medium mengajar. Siswa tidak mempunyai minat dalam

belajar sejarah karena cenderung bosan untuk menghafal. Di sini guru sejarah

seakan sudah ‘nrimo’ dengan kebijakan kurikulum tanpa beranggapan bahwa

pengajaran sejarah harus mengajarkan siswa-siswi untuk berpikir lebih kritis.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  11

Penulis mencoba melakukan pendekatan partisipatif terhadap guru-guru sejarah di

Yogyakarta dengan menawarkan medium yang berbeda dalam memberikan

pendapat tentang banyaknya versi alternatif dari wacana Tragedi Kemanusiaan

1965, yaitu medium audio visual non-fiksi.

Film dokumenter12merupakan narasi yang berasal dari masyarakat,

korban, maupun pelaku, dan belakangan ini semakin banyak digunakan untuk

advokasi sejarah. Film dokumenter dengan tema Tragedi Kemanusiaan 1965

mulai banyak diproduksi seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Narasi sejarah

melalui film dokumenter bersifat multi dimensional dan multi naratif. Penulisan

sejarah bukan hanya membutuhkan sumber-sumber tertulis, melainkan juga

sumber-sumber lisan. Film dokumenter selalu berisi kesaksian langsung para

korban dan sering disebut narasi sejarah lisan. Oleh karena itu, apa yang disebut

sebagai sejarah lisan adalah narasi pengalaman mereka yang dulu menjadi korban,

pelaku, saksi mata atau orang yang dekat dengan suatu peristiwa agar mau

menuturkan kisah mereka dalam bentuk dokumentasi. Dalam penelitian inipenulis

12
Film dokumenter biasa disebut film non-fiksi karena tidak direkayasa, perekayasaan dalam hal
ini adalah film tersebut dibuat sesuai dengan kejadian nyata dan ceritanya terjadi dalam
kehidupan sebenarnya. (Kolker, 2002. Hal. 162) Narasi besar film dokumenter adalah
kebenaran, dan dibuat melalui observasi. Dalam kasus Tragedi Kemanusiaan ’65 film
dokumenter banyak dibuat melalui metode talking heads, atau wawancara dengan korban
hidup atau saksi hidup karena kejadiannya bukan berlangsung sekarang. Film dokumenter
tentang Tragedi Kemanusiaan ’65 kebanyakan diproduksi oleh organisasi-organisasi non-
pemerintahan dengan tujuan memberi alternatif lain terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  12

menggunakan film dokumenter berjudul 40 Years of Silence yang disutradarai

oleh Robert Lemelson dan bercerita mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 di Jawa

dan Bali. Film ini berisi kesaksian para keluarga korban, baik yang menyaksikan

langsung ataupun yang mengalami trauma dan dampak sosial dari peristiwa itu.

Tujuan dasar dari pembuatan film dokumenter ini adalah keadilan yang berasal

dari pengakuan para korban mono-kekuasaan tragedi kemanusiaan 65. Untuk

itulah filsuf Hannah Arendt mensyaratkan pengakuan bebas dari semua yang

terlibat di dalam tatanan tempat kekuasaan itu berlaku.13

Dalam film 40 Years of Silence narasi yang dipaparkan para saksi sejarah

terdiri dari serangkaian kata berdasarkan pengalaman mereka. Penulis memilih

film 40 Years of Silence sebagai instrumen penelitian dalam pengambilan data

karena film ini mampu menghadirkan testimonial dari berbagai korban peristiwa

tahun 1965, atau dengan kata lain memberi sudut pandang yang berbeda dengan

film yang diproduksi oleh Arifin C. Noer, Pengkhiatan G30S/PKI. Film

dokumenter alternatif seperti 40 Years of Silence menggunakan elemen terkecil

dalam sebuah retorika (baca: kata) yang mampu mengubah sejarah, bahkan

mampu mengubah kehidupan seseorang. Versi-versi sejarah yang dipaparkan

13
Hannah Arendt. 1959. The Human Condition. New York.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  13

akan mampu membangkitkan ingatan. Ingatan yang bersifat individu dalam

bagian hidup kita menjadi penting saat orang lain berusaha merekonstruksikan

ingatan tersebut dengan peristiwa yang sama tapi berbeda versi. Bisa saja ada

versi teks atau media rekam serupa. Namun, versi sejarah yang dilihat dari sisi

berlawanan sangat jarang dilakukan oleh sejarawan. Padahal jika kita berbicara

sejarah secara tak langsung kita juga berbicara tentang ingatan. Ingatan yang

sengaja digeser dari sejarah karena kepentingan kekuasaan merupakan conspiracy

of silence14 yang menyebabkan tidak berimbangnya sejarah sebuah negara.

Sebaliknya, ingatan individu menjadi ingatan sosial saat dituturkan ke wilayah

publik. Dalam konteks tragedi kemanusiaan 65, rezim Orde Baru berusaha

menekan peristiwa tersebut dengan menghadirkan cerita satu versi, yaitu semua

yang dituturkan di masyarakat, media, sekolah adalah versi pemerintah.

Pengalaman personal dari saksi hidup dan korban seakan dibungkam. Disinilah

titik penting dari esensi dokumentasi supaya cerita itu akan terus ada dan tidak

terulang.

Film dokumenter juga merupakan metode baru dalam penyajian sejarah

yang bercerita tentang wawancara dengan sumber informasi. Film dokumenter

14
Conspirasy of Silence berarti budaya diam, dimana kebenaran hanya milik penguasa dan
masyarakat harus mengakui kebenaran dalam satu versi tersebut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  14

menggunakan metode sejarah lisan yang umumnya lebih berpihak kepada para

korban atau pihak-pihak yang selama ini dibungkam suaranya. Metode sejarah

lisan dalam film dokumenter digunakan untuk mentransfer informasi dan

membangun ingatan yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk audio visual.

Di dalam bentuk komunikasi itu para saksi sejarah membagi informasi seputar

kejadian nyata, menunjukkan emosi mereka dan saling bertanya. Manusia

mempunyai kecenderungan untuk membagi pengalaman masa lalu mereka dalam

bentuk dokumentasi visual maupun narasi retorik dengan tujuan untuk

meregenerasi kejadian yang tidak dialami generasi berikutnya.

Pertanyaannya adalah mengapa metode sejarah lisan dalam dokumentasi

itu perlu untuk dilakukan? Menurut Baskara T. Wardaya ada tiga tujuan penting

dari sejarah lisan15. Pertama, narasi sejarah Indonesia cenderung didominasi oleh

narasi kekuasaan, sejarah lebih banyak ditulis atau dituturkan dengan maksud

dasar untuk melayani mereka yang berkuasa. Dari situ terjadilah mono-naratif

yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Maka tidak (boleh) ada narasi

tandingan, sehingga kekuasaan itu bisa berlangsung lama. Kedua, mengingat

15
Baskara. T Wardaya. 2010. Tentang Perlunya Penulisan Sejarah Alternatif. Yogyakarta.
Disampaikan dalam acara Kursus Sejarah Kritis, diselenggarakan oleh Citralekha bekerjasama
dengan Multiculture Campus Realino, Yogyakarta, 29 Oktober 2010.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  15

setiap penulisan sejarah adalah bersifat multi-dimensional, penulisan kembali atas

peristiwa-peristiwa sejarah haruslah bersifat tidak mono-naratif. Untuk

menanggapi situasi ini narasi yang berasal dari masyarakat perlu diberi tempat,

didengarkan, bahkan didukung. Ketiga, dalam rangka mendukung narasi

masyarakat yang multi-naratif itu kita perlu mendengarkan tuturan para warga

masyarakat yang merupakan pelaku dan saksi sejarah. Kini diakui penulisan

sejarah mengenai Tragedi Kemanusiaan 65 bukan hanya membutuhkan sumber

tertulis, melainkan juga sumber-sumber lisan. Oleh karena itu, kita perlu

membuka ruang bagi mereka yang dulu menjadi pelaku, saksi mata, atau orang

yang dekat dengan suatu peristiwa sejarah agar menuturkan pengalaman mereka.

Sejarah lisan bukan hanya sebagai pelengkap dokumentasi-dokumentasi

sejarah tertulis yang sudah ada, namun dengan menampilkan bukti-bukti baru

secara personal beserta sejumlah asumsi dan pengalaman yang sebelumnya tidak

diketahui publik, sejarah lisan menjadi titik tolak supaya penulisan dan penelitian

sejarah menjadi lebih demokratis. Sejarah selalu difokuskan pada peristiwa masa

lampau dimana sulit bagi generasi muda untuk membuktikan sendiri

kebenarannya. Kehadiran film dokumenter dimaksudkan untuk menghubungkan

saksi-saksi sejarah pada peristiwa yang bersangkutan dengan generasi yang lebih
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  16

jauh dibawahnya. Film dokumenter akan lebih mudah dicerna dan dipahami

dibandingkan wacana teks karena media film dokumenter membuat indera

pendengar dan penglihat bekerja untuk memahami apa yang sesungguhnya

dialami di masa lalu. Film dokumenter menjadi wacana tandingan terhadap

sejarah versi resmi yang ada pada masa Orde Baru. Menempatkan film

dokumenter sejarah alternatif 65 dalam melihat pergeseran kekuasaan antara

institusi pendidikan dengan guru sejarah digunakan penulis sebagai stimulan

untuk memulai wawancara dengan para guru sejarah. Film dokumenter digunakan

sebagai jalan masuk untuk pendekatan dan mengetahui pengalaman mengajar

wacana 65 oleh guru sejarah, sehingga mereka bisa membandingkan versi resmi

Orde Baru dengan versi alternatif. Salah satu titik persinggungan antara film

dokumenter dengan guru sejarah adalah mengenai bagaimana para guru

menempatkan dirinya setelah menonton film dimana mereka berdiri di bawah

naungan institusi. Namun, disisi lain harus bersikap demokratis terhadap bentuk

pengajaran. Bentuk-bentuk ambivalensi dan resistensi sikap guru sejarah terhadap

wacana resmi akan menjadi hipotesa dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini

penulis memberi perhatian kepada wacana alternatif dalam pelajaran sejarah di

Sekolah Menengah Atas, dan bukan menginvestigasi mengenai peristiwa Tragedi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  17

Kemanusiaan 1965 itu sendiri. Dari pergesekan dinamika kekuasaan inilah

penulis berusaha mencari jawaban atas peran guru terhadap berbagai versi sejarah

mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berusaha untuk

menjawab bagaimana guru merespon sejarah wacana sejarah alternatif 65 yang

disajikan dalam film dokumenter. Pertanyaan-pertanyaaan yang dianalisa adalah:

1. Bagaimana perkembangan materi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 sebelum

dan sesudah Reformasi 1998 di sekolah menengah atas di Yogyakarta dalam

buku teks yang digunakan untuk bahan mengajar?

2. Bagaimana respon guru sejarah terhadap perkembangan materi wacana Tragedi

Kemanusiaan 65?

3. Bagaimana respon para guru sejarah SMA di Yogyakarta terhadap reproduksi

sejarah alternatif mengenai Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam bentuk film

dokumenter?

4. Bagaimana para guru sejarah SMA di Yogyakarta dalam menegosiasikan versi

sejarah alternatif Tragedi Kemanusiaan 65 dengan institusi?


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  18

3. Tujuan Penelitian

1. Memahami perkembangan pelajaran sejarah terkait wacana Tragedi

Kemanusiaan 65 dari masa Orde Baru sampai paska Orde Baru di sekolah-

sekolah menengah atas di Yogyakarta?

2. Menganalisa dampak dan akibat dari wacana Tragedi Kemanusiaan 1965

terhadap pelajaran sejarah Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta

3. Mengetahui respon para guru sejarah dan opininya terhadap bentuk reproduksi

wacana alternatif dalam pendidikan.

4. Manfaat Penelitian

1. Membantu perkembangan pengajaran sejarah ke bentuk yang lebih humanis

dan demokratis.

2. Memberi sumbangan metode pengajaran yaitu menggunakan media audio

visual dalam belajar sejarah.

3. Membuka cara pandang baru bagi para guru sejarah untuk membuka wacana

Tragedi Kemanusiaan 1965 kepada siswa secara lebih kritis.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  19

5. Tinjauan Pustaka

Hingga saat penelitian ini ditulis, penulis belum secara pasti menemukan

gambaran praktis mengenai penelitian sejarah alternatif 65 yang diaplikasikan

dalam pendidikan formal. Namun, penulis telah menemukan sebuah kajian

menarik untuk dijadikan model utama penulisan, yaitu hasil laporan studi

lapangan berjudul “Pelurusan Wacana: Perkembangan dalam Pendidikan Sejarah

di Malang sejak awal Zaman Reformasi” karangan Angus Gratton.

Laporan studi lapangan yang dilakukan Angus Gratton bertujuan untuk

mengetahui dampak diskusi pelurusan sejarah dalam wacana umum terhadap

sejarah yang ada dalam wacana resmi. Studi ini membahas perubahan yang terjadi

dalam pendidikan sejarah sejak awal reformasi. Hasil temuannya adalah banyak

sekali perbedaan di antara buku pelajaran pada masa Orde Baru dan pasca Orde

Baru. Gratton tidak banyak membahas wacana 65 secara mendalam, tetapi

memaparkan bahwa Departemen Pendidikan nasional sudah membuat beberapa

perubahan untuk melaksanakan pelurusan sejarah G30S di kurikulum. Contohnya,

istilah G30S/PKI sudah berubah menjadi G30S saja dan “Penumpasan G30S”

sudah diganti dengan “Dampak Sosial-Politik-Ekonomi dari Peristiwa 65”.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  20

Dalam pembacaan penulis, Gratton tidak mendeskripsikan secara praktis

bagaimana peran guru sebagai agency dan bagaimana sikap sekolah sebagai

institusi menanggapi demokrasi pendidikan dalam hal pelurusan sejarah wacana

65. Penulis juga menemukan penelitian ini hanya sebatas memaparkan laporan

data empiris yang ditemukan di lapangan tanpa menganalisa secara dalam dengan

menggunakan teori yang memadai.

Tinjauan Pustaka yang kedua adalah buku karya Budi Irawanto yang

berjudul Film, Ideologi, dan Militer. Dalam penelitian yang akhirnya diterbitkan

dalam bentuk buku ini, Budi Irawanto menggarisbawahi tema besar kekuasaan

yaitu bagaimana militer di Indonesia menggunakan banyak medium untuk

menanamkan ideologi militerismenya, termasuk melalui film. Era Orde Baru

kekuasaan militer begitu besar dan peran mereka dibentuk oleh audio visual

sebagai sosok yang heroik dan membela Negara. Melalui pengamatan tiga film

yaitu Enam Jam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar, Budi Irawanto

mencoba melihat relasi antara sipil dan militer selama perang berlangsung. Ketiga

film itu mempunyai kesamaan, yaitu berlatar belakang Serangan Umum Satu

Maret 1949.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  21

Melalui penelitiannya, Budi Irawanto mencoba menelusuri beragam teks

yang terimplikasi dibalik bahasa visual yang ada di dalam film dan di dalam

bahasa visual itu terkandung kekuasaan yang mencoba untuk mengheroikkan

sosok militer. Hal ini membuktikan bahwa film sebagai bahasa komunikasi tidak

begitu saja bebas dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Film-film yang

dianalisa Budi Irawanto menurutnya merupakan alat propaganda yang mencoba

mengukuhkan ideologi militer, mengingatkan dan menanam ide kepada

masyarakat bahwa militer mempunyai peran yang cukup besar bagi negara dan

masyarakat. Namun, dalam penelitiannya Budi Irawanto tidak menjelaskan

dampak yang nyata dari menonton film itu terhadap masyarakat, khususnya di

sekolah seperti penelitian ini. Perbedaannya adalah, Budi Irawanto hanya

menganalisa sebatas teks yang ada di balik narasi audio visual dengan tidak

menggunakan data empiris hasil wawancara dengan penonton.

6. Landasan Teori

Dalam menganalisa data penulis menggunakan satu teori utama yaitu

teori pendidikan kritis. Teori pendidikan kritis dipakai untuk melihat bentuk-

bentuk perubahan dalam penyusunan kurikulum sejarah yang mengikuti


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  22

perubahan rejim dan diikuti munculnya wacana alternatif sebagai bentuk

hegemoni tandingan dari dominasi rejim. Teori utama ini dilengkapi dengan dua

teori lain, yaitu hegemoni oleh Gramsci untuk melihat bagaimana kekuasaan

negara dan institusi dilanggengkan dalam pendidikan melalui buku teks sejarah.

Teori kekuasaan oleh Michel Foucault juga melengkapi teori utama untuk melihat

bagaimana mekanisme hubungan subjek (guru) dengan pengetahuan melahirkan

kekuasaan.

6.1. Pendidikan Kritis

Dalam perspektif kritis tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis

terhadap ideologi dominan ke arah transformasi sosial. Namun, acuan pengajaran

sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku sepertinya tidak mendukung untuk

melakukan transformasi sosial yang kritis terhadap peserta didik. Permasalahan

ini dimulai dari tidak efektifnya waktu belajar dan metode pengajaran yang

cenderung non-partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di

dalam mengelaborasikan peristiwa demi persitiwa dalam belajar sejarah semenjak

wacana sejarah menjadi kepentingan satu pihak tertentu.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  23

Peranan sekolah sebagai agent of knowledge memiliki andil yang cukup

besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang

terjadi antara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap

pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsa. Tidak hanya itu, proses

ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan

kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Namun, kenyataannya yang

terjadi adalah masih banyak persoalan yang muncul dikarenakan figur sekolah

saat ini lebih bersifat metode pengajaran satu arah, baik terhadap guru yang

kemudian menerapkan metode pengajaran satu arah tersebut kepada murid.

Seperti yang diungkapkan dalam Discipline and Punish, model Foucault tentang

pengetahuan dan kekuasaan memaparkan dengan jelas bahwa pengetahuan

dimanfaatkkan oleh agen-agen yang memiliki struktur kuat. “Kebenaran”

ditentukan oleh sekelompok minoritas yang berkuasa ini dan mengatur struktur-

struktur dibawahnya agar menyesuaikan diri dengan tujuannya. Kekuasaan

mengkronstruksi kebenaran yang akhirnya melahirkan wacana yang menciptakan

keyakinan, sehingga kebenaran satu arah tersebut menjadi normatif.16 Guru

sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pengajar agar

16
Michel Foucault. 1977. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. London: Penguin
Books.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  24

secara normatif tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan kurikulum

yang berlaku. Padahal tanpa dia sadari banyak sekali materi yang diikuti hanya

menjadi kepentingan dan komoditi satu pihak tertentu, maka secara tak langsung

ia menjadi agen dalam melanggengkan kekuasaan tersebut.

Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang akan diajarkan, cara

pengajaran dalam kelas, semuanya mempunyai tujuan awal memberi kebebasan

bagi peserta didik untuk belajar dan menentukan pilihan. Dalam hal ini guru atau

pengajar harus konsisten bahwa jika dia mengajarkan tentang demokrasi dan

keadilan maka pada saat yang sama pun dia tidak boleh melakukan hubungan

yang otoriter di kelas. Namun, hubungan otoriter ternyata tidak berhenti hanya

dalam relasi antara guru dan murid dalam ruang kelas, guru pun merasa

terotorisasi oleh institusi tempat mereka bekerja, dan institusi terotorisasi oleh

kebijakan negara. Dari ketiga subjek tersebut terdapat hubungan kekuasaan antara

agency (guru) dan struktur (institusi/sekolah), hubungan kekuasaan inilah yang

jarang dibahas dalam penelitian pendidikan –hubungan antara yang

menghegemoni dan terhegemoni. Maka, pendidikan kritis menjadi teori utama

dalam penelitian ini. Pertanyaan yang cukup kompleks untuk didiskusikan adalah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  25

mengenai sumber timbulnya dominasi dan hegemoni dalam institusi pendidikan,

terutama antara guru sejarah dan sekolah.

6.2. Kekuasaan dalam Pendidikan

Berbicara mengenai kekuasaan dalam pendidikan, tidak pernah terlepas

dari konsep hegemoni ala Gramsci. Gramsci menganggap bahwa ketidaksadaran

atas dominasi yang dilakukan oleh suprastruktur disebut hegemoni. Hubungan

antara guru sejarah dengan negara dan institusi yang berkaitan dengan wacana 65

menunjukkan bagaimana negara mengatur sedemikian rupa nilai-nilai sejarah

pada generasi berikutnya. Wacana sejarah dibuat dalam satu versi, yaitu versi

Orde Baru yang mengakar melalui pendidikan, dan guru sebagai penghubung

antara institusi dan murid menjadi figur penting dalam menentukan sikap.

Sesungguhnya ada rantai besar yang membelit dalam wacana 65, yaitu

kepentingan kekuasaan telah mendominasi pendidikan dan mengendalikan publik

lewat media massa dan teks. Institusi yang berdiri dibawah negara kemudian

menetapkan kurikulum yang telah diatur oleh negara. Akhirnya, rantai yang tidak

dialogis juga membuat guru tertekan dan mau tidak mau harus melaksanakan

aturan ajaran berdasarkan kurikulum yang ditentukan. Sebaliknya, ada beberapa


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  26

guru sejarah yang bersifat terbuka terhadap wacana-wacana sejarah 65 dan

membimbing para siswa untuk bersikap kritis terhadap bentuk-bentuk wacana

yang bersumber dari buku teks. Jika menengok dari gagasan Gramsci yang

berpendapat bahwa memperjuangkan kelas tertindas adalah tugas dari pemikir-

pemikir yang bisa mempengaruhi perjuangan mereka dengan tidak menghasilkan

kepentingan sepihak karena memperjuangkan kelas diperlukan war of position,

yaitu memperebutkan kekuasaan atas suprastruktur negara dengan menciptakan

hegemoni tandingan.17

Meninjau kembali teori hegemoni Gramsci bahwa hegemoni selalu

melibatkan pendidikan. Bagi Gramsci kajian budaya mengadopsi makna-makna

yang menyokong kelompok sosial tertentu makna konsep-konsep hegemoni pun

menjadi relevan bagi gerakan sosial kebudayaan dalam pendidikan.18 Pemikiran

Gramsci menempatkan analisa kebudayaan dan perjuangan ideologis yang

akhirnya menjadikan kajian budaya yang relevan bagi mereka yang ingin

membuat perubahan sosial. Pemikirannya memberikan tempat khusus bagi kaum

intelektual yang menghubungkan mereka dengan peserta perjuangan idelogis

17
Hegemoni tandingan (counter hegemony) adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan
kelompok elit atau negara. Hegemoni tandingan ada karena kesadaran individu untuk
menciptakan kebebasan dalam berideologi, berpikir dan bertindak.
18
Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  27

lainnya. Disini pembedaan Gramsci antara “intelektual tradisional” dan

“intelektual organik”.19 Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya

Gramscian memimpikan sang “intelektual organik” yang memegang peran kunci

dalam penyiapan kaum intelektual dan gerakan yang kontrahegemonik.

Bagaimana hegemoni berlangsung dalam dunia pendidikan yang bernama

sekolah? Hegemoni dalam pengertian Gramsci yang dikutip oleh Livingstone

(1976:235) adalah:

A social condition in which all ascpects of social reality are dominated by or


supportive of a single class.

Konsep hegemoni dipakai sebagai alat analisis untuk memahami mengapa

kelompok-kelompok dibawah suprastruktur mau berasimilasi ke dalam pandangan

rejim yang dominan, yang membuat pelanggengan kekuasaan terus terjadi. Dalam

pendidikan sejarah di sekolah, hegemoni Gramscian mempersoalkan kaitan

kebenaran dan sistem kekuasaan yang menentukan sejarah itu sendiri. Hegemoni

menyebabkan kalangan dalam ranah basis menerima penindasan sebagai sesuatu

yang wajar dan tak dapat diubah.

19
Intelektual tradisional adalah mereka yang menempati berbagai posisi ilmiah dalam
masyarakat. Sebaliknya, intelektual organik yang disebut oleh Gramsci adalah bagian dari
perjuangan kelas yang terlibat dalam pemikiran pengorganisasian berbagai elemen kelas
kontrahegemoni. Pozzoloni, 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  28

Sepintas mungkin terlihat tidak ada hubungannya antara pendidikan dan

kekuasaan. Bahkan sejak masa Perang Dunia II, ketika muncul negara-negara

baru akibat hilangnya kolonialisme, orang mulai melihat betapa besar kekuasaan

pendidikan untuk mengubah kebudayaan suatu bangsa. Pada saat rejim Orde Baru

hegemoni menyusupi kegiatan-kegiatan pendidikan dalam berbagai bentuk.

Hegemoni tersebut masuk melalui media populer dan sekolah yang secara tidak

disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang disebut dengan

hidden curriculum.

Menurut H.A.R. Tilaar, hubungan hegemoni dan kekuasaan dalam

pendidikan mempunyai empat poin, yakni: 1) Domestifikasi dan stupidifikasi

pendidikan; 2) Indoktrinasi; 3) Demokrasi dalam pendidikan; 4) Integrasi sosial.

Proses domestifikasi adalah proses penjinakan dengan membunuh kreativitas dan

menjadikan manusia sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilai-

nilai kebudayaan yang ada. Proses domestifikasi menhasilkan stupidifikasi yaitu

pembodohan karena tidak mengajak manusia berpikir analitis dan mempelajari

wacana alternatif karena harus mengikuti satu kebenaran yang mutlak.20

20
Tilaar, H. A. R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dan Perspektif Studi
Kultural. Magelang: Indonesia Tera, hal. 92.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  29

Proses indoktrinasi dalam pendidikan masuk melalui kurikulum. Semua

aspek-aspek kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan proses

domestifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka apa yang terjadi dalam

proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransmisikan ilmu

pengetahuan secara paksa.21 Tidak mengherankan apabila banyak menyimpulkan

bahwa pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk menguasai

pendidikan dan kurikulum sejarah, karena rejim tersebut mempunyai kepentingan-

kepentingan politik yang melatarbelakangi. Melalui kurikulum inilah terjadi

proses indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada.

Bertolak dari permasalahan hegemoni dalam pendidikan, poin ketiga

adalah solusi untuk mengatasi indoktrinasi dalam kekuasaan metode pengajaran

tersebut, yakni proses pendidikan demokrasi, yaitu suatu prinsip yang

membebaskan manusia dari berbagai ikatan. Masuknya demokrasi ke dalam dunia

pendidikan memberi banyak pengakuan kepada sumber-sumber kekuasaan yang

baru, yaitu kekuasaan yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak.22 Dalam

konteks Tragedi Kemanusiaan 1965, wacana demokrasi muncul melalui versi-

versi alternatif di luar versi resmi Orde Baru. Tidak hanya berhenti disitu saja,

21
22
Ibid. hlm: 93
Ibid. hlm: 96.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  30

versi sejarah alternatif juga bisa diakses oleh semua pihak terutama pelaku dan

subjek pendidikan.

Solusi kedua untuk menghapus indoktrinasi pendidikan adalah integrasi

sosial. Solusi ini sangat dibutuhkan dalam pendidikan demokrasi. Integrasi sosial

hanya dapat ditumbuhkan dari bawah dan mengesampingkan kekuasaan dari

atas.23 Integrasi sosial juga mengacu pada masalah-masalah setempat dimana para

peserta didik merasa dekat dengan peristiwa yang dipelajarinya. Wacana Tragedi

Kemanusiaan 1965 menjadi sangat disintegrasi jika yang dipelajari hanya sekadar

membaca dari buku teks pelajaran sekolah. Sebaliknya, wacana sejarah yang

cukup sensitif tersebut harus dipelajari dengan menggunakan media yang cukup

dekat dengan generasi muda, atau bisa juga dengan bertemu langsung dengan

pelaku dan korban sejarah sehingga apa yang mereka pelajari merupakan kapital

lokal yang mudah dipahami.

Hubungan kekuasaan kedua adalah hubungan kekuasaan subjek antara

guru dengan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah bentuk

wacana sejarah yang telah dilanggengkan oleh rejim Orde Baru. Dalam buku

Surveiller et Punir, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui sifat

23
Ibid. hlm: 99
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  31

normalisasi, tidak hanya terjadi di penjara namun juga bekerja melalui

mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,

pengetahuan dan kesejahteraan.24 Kekuasaan yang dimaksud Foucault bukan

hubungan kausalitas melainkan lebih ke kerangka tujuan dan sasaran. Wacana

sejarah menjadi pengetahuan yang melahirkan kekuasaan terhadap mekanisme

pengajaran yang dilakukan oleh guru dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu

melahirkan kekuasaan oleh rejim Orde Baru. Hubungan kekuasaan disini bukan

hanya satu arah atau pendominasian satu pihak, melainkan menunjukkan posisi

subjek guru sebagai mereka yang didominasi.

Bentuk kekuasaan sejarah di kurikulum sekolah juga merupakan bentuk

disiplin dan panoptisme. Artinya, ada bentuk pengawasan terhadap guru untuk

memperoleh ketaatan dan keteraturan. Guru sejarah pada masa Orde Baru sangat

taat kepada institusi dan pengetahuan sejarah, mereka tidak mengajar versi sejarah

di luar versi resmi karena ada pengawasan dari institusi dan negara untuk yang

sifatnya “mendukung” jalannya rejim. Kekuasaan antara guru dan sejarah pada

masa itu terlihat langgeng karena subjek memperlihatkan kepatuhan terhadap

dominasi negara.

24
Haryatmoko. Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan. Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun ke
51, Januari-Februari 2002.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  32

6.3. Pengajaran Sejarah Kritis di Sekolah Menengah Atas

Acuan pengajaran sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku, sepertinya

masih menyimpan persoalan terhadap pengajaran sejarah yang berbasis pada

anak. Mulai dari singkatnya waktu ajar sampai metode pengajaran yang

cenderung non partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis anak di

dalam mengelaborasikan peristiwa sejarah di masa lalu dengan kejadian di masa

kini. Peranan sekolah sebagai agent of knowledge memiliki andil yang cukup

besar di dalam perkembangan pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang

terjadi diantara guru dan murid akan memberikan pengaruh yang besar terhadap

pengetahuan murid mengenai peristiwa panjang bangsanya. Tidak hanya itu,

proses ajar tersebut mestinya juga menjadi medium dialog untuk mengembangkan

kesadaran anak sebagai bagian dari entitas bangsa ini. Namun, kenyataan yang

terjadi adalah masih banyaknya persoalan yang muncul dikarenakan figur sekolah

saat ini lebih bersifat industri yang notabene menyerap sebanyak-banyaknya

jumlah murid secara kuantitas, bukan membantu serta mengarahkan murid

menjadi pribadi yang kritis terhadap sejarah bangsanya.

Guru sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya sebagai seorang

pengajar agar tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan kurikulum yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  33

berlaku. Ia dipacu dengan segala tekanan agar tidak keluar dari koridor yang telah

disepakati, baik dari Dinas Pendidikan serta pihak penyelenggara sekolah. Maka

tak jarang, beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa guru menjadi “tak

berdaya” ketika durasi yang diberikan sangat singkat untuk mengajarkan bab

mengenai Sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia serta terbatasnya media

pengajaran yang efektif.

Metode belajar sejarah yang pasif, menyebabkan seorang anak hanya

menghafal nama, tempat dan tahun dari sebuah peristiwa tanpa tahu semangat

serta nilai apa yang sebenarnya terkandung dalam peristiwa tersebut. Anak masih

diposisikan sebagai murid (objek) dari pengajaran sejarah yang baku. Memang

diperlukan usaha yang kreatif untuk meretas problematika pengajaran sejarah ini.

Hal ini memerlukan pembelajaran yang serius untuk memberikan solusi

bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang tidak lagi memposisikan

anak sebagai objek, melainkan subjek.

“Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang

menguasai isi ingatan, yang merusmuskan konsep, dan menafsirkan masa lalu”25 .

Hal yang dikatakan Sturmer ini terjadi dalam proses pengajaran sejarah. Dalam

25
Michael Sturmer. Dikutip oleh Y.R. Subakti. 2001. Problematika Pengajaran Sejarah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  34

berbagai kasus dijumpai kenyataan bagaimana “ingatan kolektif” anak-anak

bangsa diseragamkan dan sarat akan legitimasi kekuasaan. Untuk menghindari

hal-hal yang hanya digunakan untuk kepentingan penguasa, maka dibutuhkan

metode-metode pengemasan bahan ajar sejarah kritis. Keberadaan pelajaran

sejarah di sekolah bukan hanya sekadar bahan cerita yang didialogkan antara guru

dan murid, tetapi bertujuan untuk membimbing murid agar memahami dan

mengerti situasi masa lampau yang digunakan sebagai pembelajaran masa depan.

Proses belajar mengajar sejarah pada dasarnya dipengaruhi oleh tujuan,

materi pelajaran, metode, media, dan instrumen yang mendukung. Namun, pada

kenyataannya, pelajaran sejarah hanya berorientasi pada banyaknya hafalan yang

harus dilakukan oleh murid dan target guru adalah agar materi cepat selesai tepat

waktu. Pelajaran sejarah tidak lagi menekankan aspek afektif dan konatif,

sehingga peserta didik menjadi bosan tak menjadi kritis terhadap materi yang

dipelajari. Pengajaran sejarah tidak bisa berada dalam posisi stagnan. Pengajaran

tersebut harus mengikuti perkembangan dinamika dan teknologi supaya bisa

menerangkan sebuah peristiwa secara komprehensif. Pengajaran sejarah yang

diarahkan kepada komunikasi antara pelaku sejarah dan peserta didik diharapkan

akan membantu peserta didik lebih memahami yang terjadi di masa lalu daripada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  35

sekadar membaca. Komunikasi yang dimaksud adalah menggunakan metode

sejarah lisan dan dipertontonkan kepada siswa. Sejarah lisan bisa menjadi

alternatif dalam sebuah dekonstruksi dan rekonstruksi wacana untuk membuat

sejarah yang lebih berimbang dan menghindari ketimpangan cerita sejarah di

tengah masyarakat.

Dalam penelitian ini bisa dilihat bagaimana alur wacana sejarah berjalan

melalui hegemoni negara secara mono-naratif, dan di satu sisi ada perlawanan

dengan munculnya versi multi-naratif. Seperti yang terlihat di bawah ini:

Gambar 1: Bagan yang menjelaskan alur praktek kekuasaan dalam pendidikan untuk wacana
Tragedi Kemanusiaan 1965.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  36

Bagan diatas mengkaji praktek kekuasaan yang berhubungan dengan

praktik-praktik budaya dan sejarah dalam institusi sekolah. Meminjam bahasa

Paulo Freire, mengindikasikan keyakinan akan kekuatan potensi pendidikan untuk

melakukan perubahan sosial lewat agen manusia, dan pendidikan menghubungkan

kekuasaan dan politik, ketiganya terkait satu sama lain. Pada dasarnya, semua

aktifitas pendidikan memang bersifat politis dan mempunyai konsekuensi dan

kualitas politis.

Wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 mempunyai dua versi, yaitu versi

resmi dari pemerintahan (Orde Baru) dan versi alternatif dari berkembangnya

hasil penelitian pasca Orde Baru. Versi resmi dari pemerintah mempunyai sifat

yang mono-naratif karena apa yang mereka katakan mengenai peristiwa tersebut

tidak bisa dibantah kebenarannya dan semua lapisan masyarakat didoktrin oleh

wacana tersebut. Sedangkan versi alternatif sifatnya sangat multi-naratif yang

merupakan penelitian bertahun-tahun beberapa institusi dan individu, juga tidak

menutup kemungkinan untuk mendiskusikan lebih lanjut secara terbuka mengenai

fakta dan kebenarannya. Hegemoni tandingan yang diciptakan oleh wacana

alternatif ini merupakan reaksi atas ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan

negara dalam menciptakan narasi sejarah. Sebelum tumbangnya Orde Baru,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  37

pendidikan (baca:sekolah) hanya boleh mengajar sejarah topik Tragedi 65 dengan

satu versi saja. Tetapi pasca Orde Baru, guru (seharusnya) mempunyai kebebasan

untuk memberi banyak versi-versi narasi kepada muridnya.

7. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat

interpretatif dan action research dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama,

analisa tekstual terhadap materi pendidikan sejarah sekolah menengah atas yang

membahas wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Materi ini dianalisa untuk

menentukan perkembangan materi ajar yang digunakan untuk proses belajar

mengajar di kelas sejak masa Orde Baru sampai dengan pasca Orde Baru. Kedua,

metode wawancara guru mengenai perubahan dan dinamika materi wacana

Tragedi Kemanusiaan 1965. Penelitian ini menempatkan film dokumenter sebagai

wacana budaya yang tertekstualisasikan sehingga harus dipahami sebagai teks

budaya. Subjek penelitian ini terdiri guru-guru sejarah dari beberapa sekolah

menengah atas, yaitu SMA Negeri, SMA swasta berbasis agama dan SMA

nasional tidak berbasis agama. Alasan penulis untuk mengambil data dari sekolah-

sekolah tersebut adalah ingin memberi banyak alternatif pengumpulan data,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  38

bahwa yang diteliti tidak hanya sekolah swasta atau negeri saja, tetapi keduanya.

Ada empat cara pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini. Pertama,

penulis meneliti buku-buku yang digunakan oleh sekolah-sekolah tersebut dan

menganalisa apakah ada perubahan mengenai pembahasan teks terkait dengan

tema Tragedi Kemanusiaan 1965. Kedua, mewawancarai guru sejarah untuk

mengetahui bagaimana respon mereka dinamika perubahan buku teks sejarah

selama Orde Baru dan pasca Orde Baru. Ketiga, penyajian film dokumenter 40

Years of Silence yang kemudian ditonton oleh guru sejarah dari sekolah-sekolah

yang telah ditunjuk sebagai data dan mewawancarai guru sejarah setelah

menonton film tersebut untuk mengetahui repon mereka terhadap penyajian

wacana sejarah alternatif. Keempat, masih sejajar dengan metode ketiga yaitu

mewawancarai guru mengenai bagaimana mereka menegosiasikan versi sejarah

alternatif tersebut dengan institusi sebagai bentuk pengajaran baru.

8. Sumber Data

Ada dua macam sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini,

sumber data primer adalah analisa buku teks untuk mengetahui perkembangan

buku sejarah terkait wacana Tragedi Kemanusiaan 65 sebelum dan sesudah


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  39

Reformasi 98. kemudian data sekundernya adalah hasil wawancara dengan guru-

guru sejarah tersebut untuk mengetahui respon mereka terhadap perubahan teks-

teks sejarah sejak Orde Baru sampai Paska Orde Baru di buku pelajaran sejarah.

Sumber data sekundernya adalah hasil wawancara dengan para guru sejarah untuk

mengetahui respon mereka terkait dengan sumber data primer berikut respon

mereka terhadap munculnya bentuk-bentuk alternatif pengajaran sejarah setelah

Reformasi 98. Data sekunder digunakan untuk mengetahui bagaimana guru-guru

sejarah menegosiasikan bentuk pengajaran baru yang alternatif terhadap institusi.

9. Teknik Pengumpulan Data

Untuk teknik pengumpulan data dari para guru sejarah, dipakai dua jenis

metode: analisa buku teks sejarah dari sebelum Reformasi 98 dan sesudahnya.

Buku-buku yang didapat antara lain adalah buku yang telah disusun oleh

Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah Yogyakarta pada tahun 1996, buku

Sejarah untuk SMA Kelas XII penerbit Erlangga tahun 2006, buku Sejarah untuk

SMA Kelas XII penerbit Yudhistira, dan Diktat Jurnal Pelajaran Sejarah Kelas

XII yang disusun oleh salah satu guru dari sekolah Katolik. Beberapa wawancara

dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah menonton film untuk memperoleh
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  40

segi pandang mereka tentang perbedaan wacana Tragedi Kemanusiaan versi

umum dan versi alternatif dan bagaimana respon mereka terhadap polemik

perubahan wacana setelah Reformasi 98. Wawancara sebelum nonton film

dilakukan untuk mengetahui respon mereka terhadap dinamika perubahan materi

pengajaran sejarah. Wawancara kedua dilakukan setelah mereka menonton film

40 Years of Silence yang kemudian akan mengetahui bagaimana apakah versi

alternatif yang beredar akan mempengaruhi cara mengajar mereka pada peserta

didik dan bagaimana mereka menegosisasikan bentuk pengajaran sejarah

alternatif kepada institusi.

10. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan hasil penelitian ini terdiri atas enam bab. Bab pertama

berupa deskripsi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian

dan sistematika penulisan. Pada bab kedua dibahas mengenai wacana kekuasaan

dalam historiografis Indonesia tentang Tragedi Kemanusiaan 65 dan perubahan

penulisan atau penyajian sejarah dari masa Orde Baru sampai pasca Orde Baru.

Bab tiga menganalisa buku-buku teks pelajaran sejarah resmi yang digunakan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  41

para guru Sekolah Menengah Atas sebagai medium pengajaran dan mengetahui

ada atau tidaknya perubahan setelah Reformasi 98. Bab empat menganalisa hasil

wawancara dengan beberapa guru sejarah untuk mengetahui respon mereka

terhadap polemik perubahan kurikulum yang mengacu pada pembahasan Tragedi

Kemanusiaan 1965 dan posisi sejarah alternatif di tengah pengajaran sejarah

resmi. Bab lima membahas bagaimana negosiasi guru sejarah dengan institusi

pendidikan terhadap bentuk-bentuk pengajaran Tragedi Kemanusiaan 1965

dengan berbagai versi. Bab enam merupakan kesimpulan tentang bagaimana

posisi sejarah resmi dan sejarah alternatif di dunia pendidikan.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  42

BAB II

(RE)PRODUKSI PENENTUAN POSISI SUBJEK SEBAGAI PAHLAWAN

ATAU KORBAN

2.1 Pendidikan Sejarah dari Masa ke Masa

Proses ajar sejarah merupakan bagian pokok penting untuk mendapat

perhatian dari semua elemen bangsa dewasa ini. Catatan sejarah menunjukkan

peristiwa yang menjelaskan bagaimana perjalanan bangsa ini dalam mencapai

kedaulatannya di masa kini. Sayangnya, permasalahan yang kerapkali muncul

adalah ketidakseriusan stakeholder pemerintahan serta masyarakat sipil yang

dibatasi aksesnya untuk mengeksplor lebih dalam lagi mengenai cerita dibalik

peristiwa sejarah di Tanah Air. Persoalan sejarah adalah bagian yang tidak

terpisahkan antar masa, yakni masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Namun, dengan tidak adanya usaha yang serius untuk belajar dari peristiwa

sejarah di masa lalu, mengakibatkan berulangnya sejarah kelam yang terjadi

sebelumnya. Menurut Dr. Aman, M.Pd. sejarah mempunyai fungsi untuk

membangkitkan kesadaran historis.26 Tetapi jika pendidikan sejarah hanya

26
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal. 12.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  43

didominasi satu pihak tertentu dan tidak membiarkan peserta didik untuk berpikir

kritis, maka tidak akan ada proses kesadaran historis. Ada banyak faktor yang

menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya adalah pihak pemerintah yang masih saja

tidak adil di dalam membuka wacana sejarah kelam masa lalu terkait kepentingan

kekuasaan serta dibatasinya akses-akses sumber sejarah dalam kerangka

kurikulum bahan ajar pendidikan publik.

Penulisan sejarah yang tidak berimbang menyebabkan terjadinya

ketimpangan cerita sejarah di tengah masyakart. Masyarakat dibutakan mengenai

peristiwa yang terjadi di masa lalu. Lagi-lagi, inilah usaha pemerintah untuk

menumpulkan daya kritis publik, agar menjadi tidak serius menangani apa yang

terjadi di masa silam. Lebih dalam lagi, persoalan anak sebagai pewaris sekaligus

pencipta sejarah menjadi penting untuk dipelajari. Memandang anak sebagai

pelaku sejarah pada masanya, menjadi bagian yang mestinya tidak terpisahkan

dari usaha untuk menciptakan figur yang dapat melepaskan diri dari pewarisan

sejarah yang tidak berimbang.

Pendidikan yang diberikan pada anak, baik melalui institusi pendidikan

formal, serta informal seperti keluarga, merupakan pokok bahasan yang penting

untuk menimbang seberapa besar sumbangsih kedua agen tersebut terhadap


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  44

perkembangan cakrawala anak terhadap peristiwa sejarah. Persoalan yang

kemudian muncul adalah bagaimana kedua agen ini memberikan akses yang

berimbang pada anak untuk belajar mengenai sejarah serta bagaimana nilai yang

diwariskan pada si anak sebagai upaya memposisikan anak sebagai subjek dan

bukan lagi penonton dari putaran roda sejarah yang berulang.

Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada peran guru

terhadap aktifitasnya sebagai bagian integral sistem mengajar. Mengajar

merupakan suatu aktifitas profesional yang memerlukan ketrampilan tingkat

tinggi dan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan-

keputusan.27 Keberhasilan dalam belajar sejarah sangat ditentukan oleh peran

pengajar/guru. Keputusan yang dimaksud adalah pengajar perlu merancang

metode yang dipakai, alat dan media, buku yang harus dibaca, dalam kegiatan di

sekolah. Saat kegiatan belajar mengajar akan dilakukan dalam ruang kelas, guru

sejarah harus mempunyai rancangan apakah dia akan menggunakan buku atau

medium lain, lalu buku dan medium seperti apa yang akan digunakan. Guru

sejarah harus membuat bentuk pengajaran yang menarik supaya kegiatan belajar

itu berhasil. Berhasil dalam konteks ini tidak diartikan murid akan mendapat nilai

27
Ibid. hlm: 5
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  45

yang bagus, tetapi lebih ke pengukuran kualitas yaitu dengan melihat bagaimana

pemahaman mereka terhadap suatu peristiwa sejarah dan mereka mampu berpikir

kritis untuk menganalisa konteks internal dan eksternal yang ada hubungannya

dengan peristiwa tersebut.

Salah satu guru sekolah swasta di Yogyakarta dalam wawancara

mengungkapkan pelajaran sejarah kurang diminati oleh murid-murid dan

dianggap sebagai pelajaran yang hanya menghafal. Bahkan tidak sedikit murid

yang menganggap tidak penting karena adanya anggapan pelajaran sejarah hanya

bercerita tentang masa lalu. Apalagi dari kebijakan institusi memutuskan untuk

memberi jam pelajaran ini hanya dua kali mata pelajaran (2 x 45 menit) karena

pelajaran ini tidak masuk dalam Ujian Negara (UN). Tidak mengherankan jika

prestasi belajar sejarah murid kurang memuaskan.

Maka disinilah peran guru sebagai pengembang pelajaran sejarah menuju

yang lebih bermakna sangat penting. Sebelum mengevaluasi bagaimana para guru

SMA di Yogyakarta menjawab tantangan membuat program pembelajaran sejarah

yang efektif. Dalam bab ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai refleksi dari

kurikulum sejarah dan perkembangannya.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  46

2.1.1. Paradigmatik Pelajaran Sejarah

Sejarah di sekolah mengandung tugas menanamkan semangat character

building bagi peserta didiknya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dijelaskan

bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam konsep akademik, tujuan-tujuan itu lebih terwujud secara spesifik

seperti kesadaran empati, nasionalisme, patriotisme, kesadaran humaniora, yang

sampai sekarang belum secara intensif mencapai sasarannya. Pendidikan sejarah

berisi cerita sejarah pengetahuan sejarah, gambaran sejarah yang kesemuanya itu

adalah bersifat koheren antara fakta-fakta yang ada dan bukti-bukti yang tersedia.

Penulisan pelajaran sejarah diharapkan dapat menempatkan diri ke dalam pelaku-

pelaku sejarah yang bersangkutan. Hal ini merupakan unsur pokok dalam cara

berpikir historis dan menjadi dasar dari cara menerangkan sejarah atau biasa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  47

disebut historical thinking towards historical explanation.Selain itu, sejarah

dianggap sebagai suatu lingkaran waktu yang bergerak yaitu masa lampau, masa

kini dan masa mendatang. Generasi yang hidup sekarang mempunyai kedudukan

strategis karena membangun kelangsungan masa lampau sampai masa kini.

Sehingga murid-murid yang belajar sejarah pada masa kini mempunyai banyak

kesempatan untuk melihat bagaimana peristiwa sejarah di masa lalu beserta

perubahannya sampai pada masa kini.

Berkaitan dengan penglihatan tiga dimensi waktu dalam sejarah tersebut,

fakta sebagai produksi masa lampau pada dasarnya juga tergantung pada masa

kini, artinya sejarah tidak menghadapi realitas itu sendiri, tetapi hanya bekas

dalam fakta berupa pernyataan simbol dari realitas. Sejarawan harus menjelaskan

peristiwa, di mana eksplanasinya dipengaruhi kebudayaan zamannya, sehingga

waktu lampau tidak dapat ditangkap secara keseluruhan karena dipengaruhi masa

kini. Dalam konsep ini Reiner menerangkan pengalaman masa lalu manusia

merupakan bagian penting dalam proses berpikir karena tanpa pengalaman masa

lampau tidak akan dapat disusun ide tentang akibat dari tindakannya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  48

2.1.2. Sejarah Versi (Orde) Baru

Sebelum Orde Baru, pendidikan sejarah menjadi kurikulum berbasis ilmu

pengetahuan namun tidak bertahan lama sampai pada tahun 1964, dimana

kurikulum sejarah sangat bernuansa politis yaitu harus berlandaskan Pancasila dan

Manipol (Manifestasi Politik UUD 1945 yang terdiri dari Sosialisme ala

Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian

Indonesia). Sebenarnya ide ini dapat diterima dengan akal sehat jika pada

kenyataannya terdapat kecocokan antara teori dan praktik.

Sampai setelah Soekarno runtuh, masuklah kurikulum Orde Baru yang

secara resmi diterapkan pada tahun 1968 yang juga bernuansa politis dengan

diajarkannya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Tujuan diadakan

PSPB adalah agar murid meyakini: 1) Penjajahan Belanda menyebabkan

kemiskinan dan penderitaan di kalangan rakyat Indonesia; 2) Kebenaran rakyat

Indonesia dalam mengusir penjajah; 3) Partai Komunis Indonesia secara sepihak

menghancurkan NKRI; 4) Aksi melawan Partai Komunis Indonesia adalah

didorong dengan prinsip membela kebenaran dan keadilan; 5) Orde Baru

mengutamakan kepentingan negara dan Masyarakat.28 Dari kelima poin tersebut

28
Ibid. hlm:48.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  49

sudah sangat jelas terbaca akan nuansa politis yang ditanamkan pada peserta didik

yang ada di zaman bangkitnya Orde Baru.

Pada masa Orde Baru berjaya sejarah dibelokkan demi kepentingan politik

dan sangat elitis terutama mengenai Tragedi Kemanusiaan 65. Jatuhnya Orde

Baru, persis seperti ketika berdirinya rezim tiga puluh dua tahun sebelumnya,

diselimuti oleh kerahasiaan dan penuh kekerasan. Pada tahun 1965 dilancarkan

aksi militer terhadap pihak yang dituduh akan melakukan kudeta, yang berujung

pada penghancuran terhadap mereka yang tidak mendukung Soeharto.

Pusat Sejarah ABRI sudah beroperasi ketika usaha kudeta terjadi. Di bawah

arahan Nugroho Notosusanto, Pusat Sejarah ABRI langsung bekerja dengan

tujuan untuk segera menerbitkan narasi kudeta versi Angkatan Darat. Hasilnya

ialah 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November, yang sebagian besar

merupakan versi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan membuktikan bahwa

kudeta adalah hasil persengkokolan komunis. Buku itu adalah buku yang pertama

kali ditulis mengenai kudeta Tragedi 1965 yang dikeluarkan Indonesia dan

merupakan narasi berulang kali yang dikonsolidasi sepanjang periode rejim Orde

Baru. Pusat Sejarah ABRI menegaskan bahwa buku tersebut berhasil meyakinkan

masyarakat bahwa PKI adalah dalang dari kudeta.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  50

Pada masa Orde Baru, ABRI dan militer mendirikan Museum

Pengkhianatan PKI pada tahun 1983 yang berlokasi di Lubang Buaya29. Koleksi

yang dimiliki museum itu adalah replika benda-benda bersejarah dan beberapa

diorama dan Nugroho Notosusanto memegang peranan penting dalam menyetujui

pembuatan diorama untuk museum itu. Diorama memang memberi kesan lebih

meyakinkan daripada benda bersejarah lain karena tampak secara audio-visual.

Michael Van Langenberg berpendapat bahwa ditemukannya jenazah

perwira angkatan darat merupakan bagian penting dari propaganda awal mengenai

kudeta.30 Awalnya, Mayjen Soeharto juga menginginkan pengangkatan jenazah

diliput oleh media, seperti yang diberitakan Pangkostrad di RRI dan TVRI, Senin

5 Oktober 1965 pukul 15.00 31:

“Jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualang-petualang


G30S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jenderal dan seorang perwira
pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan.
Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita.”

Hasil otopsi yang dilakukan tim forensik bentukan Soeharto yang terdiri

dari dua orang dokter tentara, masing-masing Brigjen dr. Roebiono Kertopati dan

29
Lubang Buaya adalah tempat dimana para jenazah Angkatan Darat dan perwira tinggi dibunuh
dan ditemukan ke dalam sebuah sumur. Tempat itu kemudian oleh pemerintah Orde Baru
dibangun menjadi sebuah museum, lengkap dengan diorama penyiksaan oleh anggota Partai
Komunis Indonesia.
30
Langeberg. Michael Van. Gestapu and State Power in Indonesia, dalam Robert Cribb, The
Indonesian Killings of 1965-66: Studies from Java and Bali.Clayton: Centre of Southeast
Asian Studies, Monash University, 1990), hal. 48.
31
A. Pambudi. 2011. Antara Fakta dan Rekayasa. Jakarta: PT. Buku Seru, hal. 19.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  51

Kolonel dr. Frans Patiasina, dan tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran

UI, Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joey Thay

dengan Surat Perintah nomor PRIN-03/10-1965 ternyata berbeda jauh dari yang

diberitakan di media. Dokter Lim Joey Thay, tidak menemukan satupun tanda-

tanda penyiksaan seperti yang diberitakan. Surat forensik ini mulai pelan-pelan

muncul ke publik pasca Reformasi 98 dan jatuhnya Soeharto, apalagi setelah film

Pengkhianatan G30S/PKI dihentikan penayangannya. Hal ini membuat banyak

orang kembali bertanya mengenai kesahihan kronologis peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965.

Dalam buku pelajaran sejarah banyak menyebutkan bahwa jenderal-

jenderal itu dinarasikan sebagai simbol pembela Pancasila. Dari situ, Orde Baru

berhasil membuat konstruksi dan rekonstruksi sejarah yang hegemonik dan

manipulatif untuk membuat fakta-fakta sejarah yang menjadi momok

masyarakat32.

Jika benar tidak ada penyiksaan, dengan demikian muncul persepsi bahwa

ada peran besar media massa terhadap keberhasilan Soeharto menumpas PKI dan

32
Dedy Kristanto, dalam tesis berjudul (Politik) Ingatan Pekerja Kemanusiaan: Trauma dan
Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program
Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor Leste, dalam pemenuhan untuk
Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  52

lawan-lawan politiknya. Peran media massa disini termasuk media cetak, radio,

audio-visual, dan dampak nyatanya adalah pembentukan opini publik dari

propaganda media massa itu. Menyinggung tentang film Pengkhianatan

G30S/PKI, yang menurut beberapa sejarahwan isinya mengelu-elukan Soeharto

sebagai penyelamat bangsa ini. Karena film tersebut sering ditayangkan, hampir

semua yang menontonnya hafal betul dengan adegan-adegan serta dialog kunci

yang muncul dalam film tersebut. Seperti ucapan “Darah itu merah, Jendral!”

menjadi ucapan populer yang mengindikasikan kekejaman PKI pada peristiwa

tersebut. Tujuan dari produksi film ini tidak lain ialah untuk mengingatkan

kembali rakyat Indonesia akan ‘bahaya laten komunisme’. Eros Jarot berkata

bahwa sang sutradara, Arifin. C. Noer sangat kecewa terhadap hasil film yang

dibuatnya sendiri itu. Berdasarkan pengakuannya, ia telah dipaksa tunduk kepada

pimpinan negara. Begitulah, kata Eros Djarot merupakan usaha untuk terus

menghidup-hidupkan bahaya laten PKI yang menurutnya, tanpa argumentasi.

Pernyataan dan sejarah yang dibuat oleh Orde Baru kini perlu dinilai

apakah betul-betul fakta atau fiksi. Pihak militer pula yang berperan penting

dalam pembuatan diorama di Museum Lubang Buaya. Apakah gambaran itu

betul-betul akurat sesuai dengan kenyataan atau lebih banyak mengandung fitnah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  53

Fakta-fakta sejarah diatas dapat ditemukan di buku-buku sejarah terutama terbitan

masa Orde Baru. Pada bab pendahuluan telah diungkapkan pendidikan sejarah

mengalami beberapa kali perubahan, tentunya, dengan tujuan yang ingin dicapai

oleh para penguasa dan kondisi zaman.

2.2. Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan

Salah satu keberhasilan Soeharto adalah kemampuannya membuktikan

tesis bahwa antara pendidikan dengan politik kekuasaan merupakan dua hal yang

tidak terpisah. Seperti dikutip oleh Ibe Karyanto dalam tulisan M. Surozi bahwa

lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk

perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Pendidikan menjadi alat politik

Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut Michael Sturner, masa

depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan

konsep dan menafsirkan masa lalu.33 Dalam hal ini pemegang kekuasaan tentu

akan melakukan “penguasaan ingatan kolektif.” Dan penguasaan sejarah dipakai

untuk pembenaran sistem yang dipakai untuk masa depan.

33
Dikutip oleh Taufik Abdullah, 1996. Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi,
Makalah Kongres Nasional Sejarah, hal. 2.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  54

Upaya mencekoki masyarakat termasuk murid sekolah dengan versi resmi

Orde Baru telah berjalan puluhan tahun. Jelas butuh waktu untuk “membenahi”

sesuatu yang telah diporak-porandakan sekian lama. Historiografi sejarah

Indonesia memiliki dua kekuatan narasi yaitu narasi formal dan narasi yang

bersifat pinggiran (Henk Schulte Nordholt, 2008 : 24-31). Narasi formal adalah

historiografi resmi yang ditulis oleh negara yang biasanya ditampilkan dalam

buku Sejarah Nasional. Sejarah Nasional merupakan historiografi yang dibuat

oleh negara dan harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama dalam

pendidikan sejarah yang diajarkan sekolah. Dengan demikian historiografi yang

ada dalam buku teks pelajaran sejarah menjadi suatu narasi besar atau arus utama

tentang interpretasi sejarah Indonesia. Sedangkan historiografi pinggiran biasanya

lahir dari hasil penelitian di perguruan tinggi seperti dalam bentuk skripsi, tesis,

dan disertasi atau hasil-hasil penelitian karya akademisi lainnya. Interpretasi

sejarah pada historiografi formal dan pinggiran memungkinkan terjadinya

perbedaan. Hal ini lah yang kemudian menjadi isu penting dalam historiografi

sejarah Indonesia pada awal reformasi.

Sejak awal reformasi terjadi gugatan-gugatan yang begitu besar terhadap

penulisan sejarah Indonesia. Gugatan-gugatan sejarah terjadi disebabkan oleh


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  55

adanya ketidakpuasan beberapa kalangan terhadap penulisan sejarah pada zaman

Orde Baru. Salah satu ciri utama dalam penulisan sejarah Orde Baru yaitu bersifat

sentralistis. Sentralistis yang dimaksud di sini adalah adanya dominasi interpretasi

yang bersifat tunggal dari negara. Historiografi Indonesia yang ditulis oleh Orde

Baru telah menempatkan bahwa Orde Baru sebagai upaya penyelamatan negara

dari berbagai ancaman dan gangguan yang telah merongrong negara.

2.2.1. Hegemoni dan Alienasi dalam Pendidikan Sejarah

Dalam menjelaskan keterkaitan antara pelajaran sejarah, guru, murid dan

institusi dengan produk aktifitasnya, Marx menyebut keterasingan (alienasi)

sebagai proses historis di mana manusia semakin terasing dari satu sama lain.

Meskipun konsep ini dititikberatkan pada pembahasan mengenai efek negatif

yang menimpa buruh dalam industri kapitalis, tapi konsep Marx ini juga mengacu

pada perasaan terasing dari masyarakat, kelompok, kultur atau diri manusia

sendiri yang lazim dirasakan oleh orang dalam budaya industrial yang kompleks.

Demikian pula halnya terjadi dalam dunia pendidikan terutama pendidikan

sejarah yang telah ’terasingkan’ dari proses pembentukan individu, budaya,

pencerdasan anak, dan pemberdayaan. Pendidikan sejarah lebih menjadi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  56

komoditas politik, ekonomi dan kekuasaan. Telah terjadi alienasi pendidikan

sejarah dan kita menyadari bahwa wacana histori terjebak sebagai praktik ideologi

dominan. Dengan pelanggengan kekuasaan kegiatan belajar-mengajar tidak

bertujuan membantu manusia muda menemukan identitas, kepribadian, nilai-nilai

dan perjuangan hidup.

Secara pragmatis, pendidikan sejarah juga digunakan sebagai instrumen

kekuasaan yang bersifat melegitimasi dalil-dalil kebenaran dan dogma penguasa.

Pendidikan adalah entitas aktif yang bebas dari konstruksi sosial bahkan bersifat

mengobjektivasikan masyarakat. Sekolah menjadi subjek yang mengobjek, yang

tak lepas dari kekuasaan dari berbagai pihak.

Bagi penulis pendidikan sejarah kini ditempatkan pada proses alienasi

yang membuat anak didiknya menjadi objek yang pasif. Pendidikan tereleminasi

pencapaian target kurikulum dengan fokus penghafalan konsep demi angka-angka

ujian dengan terpaksa dan dalam alienasi tersebut tentunya kita bisa melihat

adanya kekuasaan ideologi dominan yang mengendalikan dan membuat anak

merasa terancam jika tidak melakukan apa yang diperintahkan. Bahruddin

mengidentifikasi proses belajar mengajar didominasi oleh guru, dan kepentingan-

kepentingan pihak tertentu yaitu institusi sekolah itu sendiri dan negara. Masalah-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  57

masalah pendidikan seperti di atas menjadi meluas dan rumit seiring dengan

perkembangan zaman.

Jadi, akar dari permasalahan pendidikan dasar dan menengah Indonesia

adalah pemeliharaan dominasi yang tampak pada pemerataan pendidikan, mutu

pendidikan dan manajamen pendidikan dan pasifnya peran murid itu sendiri

dalam pendidikan.Dominasi dalam pemerataan pendidikan sangat berkaitan erat

dengan kapitalisme karena pengaruhnya sangat besar pada masyarakat modern.

Dari kedua pandangan diatas, alienasi dalam pendidikan dan adanya

hegemoni dalam pendidikan tampak berbeda namun sebenarnya bersifat identik.

Keduanya meletakkan pendidikan sebagai subjek maupun objek dalam fungsinya

masing-masing. Pendidikan di satu sisi memiliki kekuasaan atas pembentukan

identitas masyarakat-negara, namun di sisi lain menjadi instrumen kekuasaan dari

masyarakat-negara.

Dalam studi kasus ini penulis menempatkan pendidikan sejarah di

beberapa sekolah menengah atas sebagai data empiris. Sekolah-sekolah tersebut

dipakai untuk melihat kebelakang bagaimana proses pendidikan konvensional

telah mengalienasi siswanya dan bagaimana ideologi dominan wacana sejarah

yang secara berperiode bermain dalam pembentukan siswa sebagai objek.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  58

Marx lebih menekankan alienasi dalam pekerjaan. Karena dalam sistem

kapitalisme orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan karena

terpaksa atau syarat untuk hidup. Ada dua macam alienasi. Pertama, keterasingan

dari dirinya sendiri. Bentuk alienasi ini mempunyai tiga segi yaitu teralienasi dari

produknya yang artinya produknya adalah milik pabrik, apalagi apabila ia hanya

mengerjakan bagian kecil dari produk yang sudah jadi. Karena hasil pekerjaan

terasing dari padanya, tindakan pekerjaan itu sendiri pun kehilangan arti bagi si

pekerja. Itulah bentuk kedua dari keterasingan. Pekerjaan yang dilakukan buruh

adalah pekerjaan paksaan, si pekerja akan merasa menjadi dirinya sendiri saat dia

sudah tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena ia tak bekerja menurut hasrat dan

dorongan batin. Jadi bukan pekerjaan itu kebutuhan si pekerja melainkan ia

bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar pekerjaan. Ia harus menjadikan

kegiatan hidupnya menjadi sarana untuk mempertahankan kebutuhan fisik.

Kedua, keterasingan dari orang lain. Konsukuensi langsung dari keterasingan

manusia dari produk pekerjaannya adalah keterasingan manusia dari manusia.

Secara empiris keterasingan sesama menyatakan diri dalam kepentingan yang


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  59

bertentangan karena kepentingan hak pribadi ada ditangan penguasa dan

kepentingan sesama pekerja.34

Pedagogi juga selalu menempatkan disiplin ilmiah berdasarkan

pengalaman empiris. Dalam kaitan ini pendidikan sejarah selalu bersifat

kontekstual. Artinya, seluruh isi pembelajaran selalu berkait dengan situasi dan

kondisi baik IPTEK, ekonomi, politik, sosial, budaya, sejarah, hukum,

kebegaramaan, dan ketatanegaraan. Setiap pembelajaran harus terkait dengan

problematika kehidupan masa lalu, masa kini dan masa sekarang, juga secara

lokal, regional, nasional, dan internasional.

2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan

Jika dalam satu sisi pendidikan membicarakan tentang alienasi, tentunya

kita juga harus mencermati siapa yang bermain dalam proses penciptaan alienasi

tersebut. Alienasi sangat dipengaruhi oleh satu pihak yang berkuasa, dalam

pendidikan alienasi bisa dilihat oleh bagaimana murid tidak pernah berperan

menjadi subjek dalam menentukan apa yang menjadi aktualisasi dirinya.35 Dari

34
Franz Magniz-Suseno. 1993. Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad Ke-Sembilan Belas. Jakarta:
Sekolah Tinggi Driyarkara.
35
H.A.R Tilaar. 2005. Kekuasaan dan Pendidikan, hal. 115.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  60

konsep Gramsci tentang ideologi dan hegemoni tersebut memperlihatkan kepada

kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu persekolahan bahkan dapat

dikatakan adanya pemeliharaan dominasi. Gramsci adalah salah satu tokoh neo-

marxis yang selama hidupnya membangun aliansi buruh dan petani dengan

membangun poros utara yaitu kelas proletarian di kawasan industri maju dan

poros selatan yaitu tuan-tuan rumah yang mendominasi tanah.

Menurut Gramsci memperjuangkan kelas tertindas adalah tugas dari

pemikir-pemikir yang bisa mempengaruhi perjuangan mereka dengan tidak

menghasilkan kepentingan sepihak karena untuk memperjuangkan kelas

diperlukan war of position, yakni memperebutkan kekuasaan atas suprastruktur

negara dengan menciptakan hegemoni tandingan melalui budaya alternatif.

Berbicara dominasi, pedagogi kritik36 mengkaitkan konsep hegemoni dengan

pendidikan. Bagi Gramsci, kajian budaya mengadopsi makna-makna yang

menyokong kelompok sosial tertentu. Maka konsep-konsep hegemoni pun

menjadi relevan bagi gerakan sosial kebudayaan dalam pendidikan.37 Pemikiran

36
Paradigma pendidikan kritis ini selain menghapus kekuasaan dalam kapitalisme juga
berimplikasi kepada metode dan pendekatan pengajaran. Pendidikan kritis juga tidak hanya
diterapkan sebagai hubungan subjek-objek, namun juga dalam bentuk kurikulum ataupun
metode belajar. Dengan demikian, yang harus dipertajam dari pendidikan kritis ini adalah
bagaimana suatu institusi pendidikan dapat berfungsi sebagai agen utnuk memperoduksi sistem
sosial yang baru (Stanley, 2000)
37
Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang, hal. 147.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  61

Gramsci menempatkan analisa kebudayaan dan perjuangan ideologis yang

akhirnya menjadikan kajian budaya menjadi sangat relevan bagi mereka yang

peduli terhadap pendidikan sejarah. Pemikirannya memberikan tempat khusus

bagi kaum intelektual yang menghubungkan mereka dengan peserta perjuangan

sosial lainnya. Di sini Gramsci membedakan antara “intelektual organik” dengan

“intelektual tradisional”.

Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya Gramscian memimpikan

sang “intelektual organik” yang memegang peran kunci dalam penyiapan kaum

intelektual dan gerakan yang kontrahegemonik tentang digunakannya konsep-

konsep Gramsci dalam kajian budaya adalah karena penekanannya pada nilai-nilai

penting dalam pertarungan ideologis. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai

“sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan

suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas

sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya.38 Dominasi wacana sejarah

dalam konteks pendidikan Indonesia selalu berhubungan dengan wacana-wacana

yang kontroversi, contohnya Tragedi Kemanusiaan 1965, di mana sampai kini

masih diperdebatkan cara mengajar topik tersebut di sekolah secara netral.

38
Ibid .
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  62

Tragedi kemanusiaan 1965 merupakan sejarah yang bersifat kontroversial

pada pelajaran sejarah dalam beberapa tahun terakhir karena terdapat beberapa

versi dan masing-masing mempunyai landasan yang kuat. Menurut Abu Su’ud,

pengembangan isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan mencapai: (1)

peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan

kepekaan sosisal, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5)

peningkatan keberanianpengungkapan pendapat secara demokratis, dan (6)

peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab39.

Pelajaran sejarah yang kontroversial baru dianggap sebagai sesuatu yang

kontroversial setelah Reformasi 98, dimana mulai banyak tulisan dan buku yang

isinya memberi alternatif wacana bagi buku pelajaran sejarah di sekolah. Namun

seperti disebutkan di Bab I, bahwa pelajaran di sekolah hanya mendorong

siswanya untuk menghafal tanggal, nama dan tokoh sejarah persis seperti di buku

pelajaran daripada mengajak siswa untuk memahami berbagai versi wacana

sejarah. Menurut Asvi Warman Adam, dalam www.sejarahkritis.wordpress.com,

kecenderungan ini juga disebabkan oleh kurangnya inisiatif dari guru sejarah

39
Pernyataan Abu Su’ud ini dikutip di blog sejarahkritis.wordpress.com oleh tsabitazinarahmad
berjudul Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, yang diunggah tanggal 2 April, 2012 jam
12: 49.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  63

untuk mengadakan evaluasi pedagogi sejarah kritis. Hal ini tampak dari adanya

intervensi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung

Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku

pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan Partai Komunis Indonesia

tahun 1948 dan 1965.

Dengan melihat kenyataan bahwa pelajaran sejarah selalu mutlak

menggunakan buku yang ditentukan oleh institusi, maka pelajaran sejarah

dianggap sebagai alat indoktrinasi sebuah rejim dan menghasilkan hegemoni

wacana yang mutlak antar-generasi. Mengingat bahwa murid-murid tidak dapat

menentukan sendiri bahan-bahan yang harus dipelajari, maka peran guru disini

sebagai agen pengetahuan perlu mendapat perhatian khusus. Guru mempunyai

peran untuk mendampingi murid belajar secara mandiri dan sebaliknya mereka

juga berperan memediasi murid untuk berintegrasi dengan materi-materi lain di

luar yang ditentukan institusi.

Membahas tentang politik kurikulum resmi dari institusi berarti bicara

tentang kekuasaan. Kekuasaan disini adalah relasi antara pemerintah dengan

institusi, institusi dengan guru dan guru dengan murid. Murid sudah terbiasa

dengan pengetahuan gaya konvensional yang mengharuskan mereka untuk


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  64

menyerah kepada kekuasaan demi mendapatkan nilai diatas rata-rata. Sebaliknya,

ada beberapa murid yang menunjukkan penolakan dengan membisu, meskipun

ada beberapa yang menunjukkannya dengan pertentangan yang aktif karena

sejarah juga tidak bisa secara instan menuntut muridnya untuk berpikir kritis,

seolah seperti orang yang akan menulis ulang teks yang dibacanya. Ketika penulis

melakukan penelitian di beberapa sekolah dan melakukan beberapa wawancara

dengan murid mengenai pelajaran sejarah, bisa diduga bahwa sebagian besar

murid-murid SMA di Yogyakarta masih dididik oleh model pengajaran

konvensional. Hal inilah yang menjadi perbandingan model transisi pedagogi

pelajaran sejarah di sekolah lain untuk dianalisa.

Dalam kasus lain murid menjadikan guru sebagai role model persis tanpa

menelaah lebih dalam apa yang diajarkannya. Kekuasaan semacam ini tidak

mampu memberikan stimulasi terhadap murid bagaimana cara berpikir kritis.

Contohnya, mereka menulis apa yang guru bicarakan di depan kelas karena murid

merasa asing dengan apa yang diajarkan guru sejarah. Hal ini berkaitan dengan

peristiwa sejarah yang tidak dijelaskan secara konseptual oleh guru sejarah.

Akibatnya saat belajar di rumah murid merasa teralienasi dari wacana sejarah

yang diajarkan, sehingga memilih untuk menghafal yang sudah dicatatnya.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  65

Dua macam cara mengajar sejarah diatas hanyalah menitikberatkan pada

teknik dan bukan melakukan kontak dengan realitas secara kritis. Inilah yang

menghalangi analisis atas kekuasaan politik pembuatan kurikulum dalam

pendidikan menjadi sesuatu yang dianggap berkuasa sehingga sudah selayaknya

dipatuhi oleh murid dan bahkan guru sejarahnya. Para guru sejarah dibiasakan dan

terbiasa untuk tidak mengajukan pertanyaan kritis tentang keputusan atasan jika

tidak ingin berdampak terhadap pekerjaan yang dilakukannya.

Pada metode pendidikan kritis dalam pembelajaran sejarah, pengajaran

yang bersifat dialogis mendorong guru dan murid melakukan pengupasan

pemikiran dari bahan kajian sejarah, dan bukan semata-mata pengalihan

pengetahuan dan teknik menguasai alfabet. Ira Shor mengatakan gagasan tersebut

adalah pedagogi yang mencerahkan realitas, artinya pendidikan yang

membebaskan bukan panduan atau teknik cerdas, melainkan suatu perspektif

cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk transformasi sosial.40

Pendidikan sejarah merupakan tindakan yang politis. Oleh sebab itu,

sampai saat ini tidak ada pedagogi yang netral dalam belajar sejarah karena

adanya dominasi dari wacana sejarah yang masih bermuatan politik dan memiliki

40
Ira Shor & Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKIS.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  66

hubungan sosial dengan masyarakat. Menurut Paulo Freire, dalam suatu proses

pedagogi dapat ditemukan bagaimana kita didominasi ideologi dominan. Kita

dapat menarik jarak atas momen eksistensi kita. Oleh sebab itu, kita dapat belajar

tentang bagaimana menjadi bebas melalui perjuangan politik dalam masyarakat.41

Pendidikan sejarah yang bersifat statis ini menimbulkan kebingungan bagi

guru sejarah dan murid. Pada saat Orde Baru, mereka terbiasa membaca sejarah

yang cenderung mendiskreditkan satu pihak tertentu. Selepas Reformasi 98,

“pahlawan” yang dulu dipuja-puja seketika harus berubah karena perkembangan

historiografi. Banyak buku yang akhirnya cenderung menulis peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965 dengan menyertakan lebih dari satu pendapat. Guru sejarah

harus berupaya menyesuaikan materi dengan mengikuti perubahan-perubahan

wacana tersebut dan mengajak murid-murid untuk berpikir kritis dengan melihat

perubahan yang terus terjadi. Kontroversi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965

tidak sebatas pada pencatuman tiga huruf di belakangnya saja, namun juga karena

ada berbagai versi terhadap tafsiran peristiwa tersebut.

41
Paulo Freire. 2011. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Yogyakarta: Logung Pustaka, hal. 22.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  67

BAB III

PENDIDIKAN KRITIS (A)HISTORIS

Setelah Reformasi 98, era baru penulisan sejarah Indonesia yang ditulis

oleh orang Indonesia dengan menggunakan metodologi kritis historiografi sejarah

pun dimulai. Saat ini, kritik ditujukan terhadap para akademisi sejarah yang hanya

berkutat pada data di ruang arsip, tidak mencoba keluar untuk memahami benar

pada masalah yang ada dalam penelitian mereka, dan menyebabkan kajian sejarah

hanya akan berada di menara gading. Indah bagi mereka yang menekuni

bidangnya, namun tidak berarti apa-apa untuk masyarakatnya.

Pada bab II telah diuraikan tentang bagaimana pendidikan sejarah telah

mengalienasi subjek dan objek yang diajarkannya, sehingga seperti yang

sebelumnya dikatakan, wacana sejarah tidak berarti apa-apa bagi yang

mempelajarinya. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendiri Yayasan Dinamika

Edukasi Dasar (DED), kondisi pendidikan di Indonesia didominasi oleh

pemerintah melalui kebijakan kurikulum nasional. Menurut Mangunwijaya

pendidikan di Indonesia hanyalah tempat penataran bagi siswa-siswi menghafal

materi-materi pelajaran berkuantitas banyak yang tidak relevan untuk menghadapi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  68

kehidupan nyata nantinya. Dunia pendidikan adalah penyeragaman yang

menghasilkan siswa-siswi menjadi manusia yang dehumanis.42

Penyeragaman dalam penelitian ini diartikan sebagai penyeragaman

wacana sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965 oleh Orde Baru. Meminjam konsep

habitus Pierre Bourdieu, habitus adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) yang

menghasilkan struktur kepatuhan dan kesiapsediaan seseorang untuk melakukan

tindakannya.43 Hasil-hasil buku sejarah terbitan Orde Baru adalah sebuah

habitus44 dalam pendidikan sejarah yang menghegemoni kurikulum nasional.

Namun, orang Indonesia yang tinggal di luar negeri mendapat pengalaman yang

berbeda dan membuat mereka berpikir ulang tentang Orde Baru.

Sektor pendidikan adalah sektor yang berhubungan dengan sektor-sektor

lain, sehingga saat ada perubahan dalam sektor lain, terjadi juga dalam proses

pendidikan. Ariel Heryanto mengatakan kalau mau bermain dalam sektor

pendidikan maka harus paham politik juga dan kalau dikutak-katik lagi semua

42
Y.B Mangunwijaya yang dikutip oleh Antonius Ferry Timur Indratno dalam tesisnya yang
berjudul Konsep Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Tinjauan Kritis atas
Kurikulum Nasional dan Dominasi Pemerintah (Studi Kasus SD Eksperimental Mangunan),
hal. 84.
43
Michael Grenfell dan David James. 1998. Bourdieu and Education: Acts of Practical Theory.
London: Farmer Press, hal. 162-170.
44
Habitus adalah sistim atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui
latihan berulang kali (inculcation). Habitus lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu
menjadi terstruktur dari kondisi sosial yang sudah diproduksi. Bourdieu. Pierre. 1984.
Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.Terjemahan oleh Richard Nice.
Harvard Universtity Press, hal. 170.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  69

berhubungan dengan apa yang terjadi pada tahun 1965 dan menimbulkan

pendisiplinan.45

Dalam bab tiga ini penulis menganalisa bagaimana perubahan wacana

Tragedi Kemanusiaan 1965 di buku teks46 pelajaran sekolah dari masa ke masa.

Disini penulis mengambil data dari buku teks pelajaran sejarah sebelum

Reformasi 98 sampai yang terbitan terbaru beserta analisa terhadap polemik atas

respon beberapa lembaga mengenai pencantuman beberapa topik tertentu di buku

teks sejarah. Dalam bab ini penulis menunjukkan bahwa pendidikan sejarah di

Indonesia tidak mengalami perubahan yang cukup drastis dari pemerintahan Orde

Baru dan masih ada wacana hegemoni dalam tema Tragedi Kemanusiaan.

Kenyataan tersebut diperlihatkan oleh subjektifitas penyusunan buku pelajaran

sejarah di tingkat Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta.

45
Ariel Heryanto. 2001. Teror Negara: Tentang Politik dan Batuk-Batuk Lagi dalam buku
Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Ed: Baskara. T. Wardaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 303)
46
Menurut Prof. Dr. Bintang Petrus Sitepu, M. A., buku teks dalam pelajaran sekolah adalah
semua buku yang dipakai dalam proses belajar mengajar, sebagaimana dikutip oleh Sitepu, B.
P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sedangkan buku
teks sejarah adalah sebuah teks historiografi yang disusun oleh guru, sejarawan dan pakar-
pakar pendidikan sejarah yang memadukan kaidah-kaidah keilmuan sejarah dan unsur
pendidikan yang mengacu pada kurikulum yang berlaku.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  70

3.1. Tragedi Kemanusiaan 1965 dalam Buku Pelajaran Sejarah Orde Baru

Di dalam bukunya, Soeharto: Sisi Gelap Indonesia, Asvi Warman Adam

menyimpulkan bahwa pelurusan sejarah akan menjadi beragam pada zaman

setelah Orde Baru. Namun, bagaimana dengan pelajaran sejarah nasional? Itu soal

lain, katanya.47 Asvi menjelaskan bahwa peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965

memerlukan tindakan korektif oleh negara tidak hanya dalam aspek yuridis

namun juga dalam aspek ingatan masyarakat. Oleh sebab itu untuk mengelola

ingatan masyarakat perlu diperbaiki pendidikan sejarah48 dan metode sejarah lisan

oleh para korban.

Dewasa ini, kedudukan buku teks menjadi semakin sentral dalam proses

mengajar di ruang kelas karena guru merasamsulit dan berat untuk

mengembangkan sendiri materi pelajaran yang diajarkan karena faktor internal

dan tuntutan institusi. Terlebih lagi, pada tahun 2005 Departemen Pendidikan

Nasional mengeluarkan peraturan No.11 Tahun 2005 tentang Buku Teks

Pelajaran. Pada Pasal 3 ayat 1 tertulis bahwa buku teks pelajaran untuk setiap

mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah

dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh menteri

47
Asvi Warman. 2004. Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Ygyakarta: Ombak, hal. 28.
48
Ibid.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  71

berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional

Pendidikan (BSNP) tahun 2005.

BSNP menetapkan empat kriteria utama yaitu materi, penyajian, bahasa,

keterbacaan dan grafika. Ketentuan BNSP ini berlaku untuk teks semua mata

pelajaran, dan khusus untuk buku teks sejarah BNSP tidak mampu mencermati isi

di dalamnya. Model penulisan sejarah harusnya mencakup dua ideologis, yaitu

pewarisan dan akademik. Buku teks di satu sisi harus mampu menjadi media

pewaris, tetapi di sisi lain harus dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik.

Penulisan sejarah nasional juga harus tidak lepas dari keseimbangan wacana,

seperti yang dikatakan Sartono Kartodirdjo tentang penulisan sejarah nasional,

yaitu sejarah harus mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dimana bangsa

Indonesia sendiri memegang peranan pokok. Kedua, menguraikan faktor atau

kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, maupun politik ataupun

kultural. Ketiga, mengungkapkan aktivitas pelbagai golongan masyarakat, tidak

hanya bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta

golongan-golongan lainnya. Keempat, sejarah harus disusun sebagai suatu sintese,

dimana digambarkan proses yang menunjukkan perkembangan ke arah kesatuan

geopolitik seperti yang kita hadapi saat ini. Menggarisbawahi poin ke tiga, artinya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  72

adalah wacana sejarah dalam pendidikan nasional harus memperhatikan

keberimbangan yaitu, mewadahi fenomena historis dari berbagai golongan.

Penelitian menempatkan data tekstual tentang Tragedi Kemanusiaan 1965

dari jaman Orde Baru sampai paska Orde Baru. Data tekstual yang digunakan

adalah buku yang digunakan dalam pelajaran sejarah di tingkat Sekolah

Menengah Atas (SMA) di kota Yogyakarta. Di SMA, materi Tragedi

Kemanusiaan 1965 diajarkan pada kelas XI program IPA semester II dan kelas

XII program IPS semester I. Penulis hanya mengambil data dari program IPS saja

dengan alasan pembahasan di buku pelajaran lebih mendalam dan terperinci

daripada program IPA. Selama Orde Baru telah terjadi tiga kali pergantian

kurikulum, yaitu tahun 1975, tahun 1984 dan tahun 1994. Karena kesulitan data

untuk mendapat sumber lebih dari buku teks, maka penulis hanya menggunakan

satu buku yang diterbitkan sebelum tahun 1998, yang akan kemudian ditunjang

oleh analisa dari data wawancara dengan guru yang bersangkutan.

Bab ini akan menggunakan metode analisa isi untuk meneliti lebih dalam

mengenai kajian buku teks sejarah di berbagai Sekolah Menengah Atas di

Yogyakarta. Buku yang digunakan berjudul Sejarah Nasional Indonesia & Dunia

Jilid III, penulisnya terdiri dari Dra. Siti Waridah Q dan Drs. J. Sukardi. Pada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  73

tahun 1996 buku ini digunakan untuk kelas tiga Sekolah Menengah Atas dan

disusun oleh Tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 2. Sampul Luar buku Pelajaran Sejarah berjudul Sejarah Nasional Indonesia & Dunia Jilid
III, Disusun oleh Tim MGMP Sejarah SMU Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1996.

Tragedi Kemanusiaan 1965 diulas di catur wulan pertama atau terdiri dari

dua puluh empat jam pelajaran. Pada pengantar disebutkan program

pengajarannya antara lain menelaah terjadinya pengkhianatan Gerakan 30

September/PKI dan penumpasannya. Indikator pada bahasan tentang kontroversi

wacana ini adalah menganalisa proses peralihan kekuasaan politik setelah


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  74

Gerakan 30 September 1965. Pada masa Orde Baru, indikator pencapaian pada

materi Tragedi Kemanusiaan 1965 adalah:49 (1) Mengidentifikasi strategi politik

PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin, (2) Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak

PKI sebelum G30S/PKI 1965, (3) Menunjukkan kaitan antara gerakan 30

September dengan dewan revolusi, (4) Menjelaskan bahwa Gerakan 30 September

adalah aksi perebutan kekuasaan yang sah, (5) Mengidentifasi nama-nama dalang

di balik G30S/PKI, (6) Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist50,

(7) Menerangkan prosesi pengangkutan jenazah korban kebiadaban PKI di

Lubang Buaya, (8) Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G30S/PKI 1965, (9)

Menjelaskan akibat sosial politik G30S/PKI 1965, (10) Mengidentifikasi adanya

bahaya laten komunis.

49
Indikator ini ditulis di blog www.sejarahkritis.wordpress.com yang berjudul Tipe
Pembelajaran Sejarah Kontroversial, oleh tsabitazinarahmad. Tanggal unggah 2 April 2012.
Penulis blog melakukan penelitian mengenai kontrovesial wacana G30S dan Supersemar di
sekolah. Sedangkan 10 indikator yang tertulis berdasar oleh penelitiannya di kota Semarang
yang didapat dari Lembar Ujian Kompetensi Siswa, disusun oleh MGMP (Musyawarah Guru
Mata Pelajaran) Sejarah.
50
Dokumen Gilchrist (bahasa Inggris:Gilchrist Document) adalah sebuah dokumen yang dahulu
banyak dikutip surat khabar pada era tahun 1965 yang sering digunakan untuk mendukung
argumen untuk keterlibatan blok Barat dalam penggulingan Soekarno di Indonesia. Namun
dokumen tersebut kemungkinan besar palsu atau sebenarnya tidak ada. Dokumen ini konon
sebenarnya berasal dari sebuah telegram dari Duta Besar Inggris di Jakarta yang bernama
Andrew Gilchrist yang ditujukan kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. Pada Mei
1965 sejumlah anggota Pemuda Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film
Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA. Saat itu para pemuda
juga menemukan dokumen yang memuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada
atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris
dengan Angkatan Darat Indonesia (Our local Army friends) serta rencana gabungan Inggris-AS
untuk mengintervensi Indonesia. Sumber: http://historia.co.id/?d=703 . 17 Maret 2011.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  75

Di dalam buku sejarah terbitan Orde Baru ini sangat bernuansa sistem

politik. Pengaruh tersebut terlihat jelas dalam isi dan materi yang mengagung-

agungkan rejim tersebut sebagai pengamal ideologi Pancasila. Namun terlihat

jelas bahwa cara Orde Baru kental dengan sikap diskriminatif terhadap rejim

sebelumnya yang dianggap banyak melakukan penyimpangan dan historiografi

resmi sejarah nasional harus seijin dari militer, apabila tidak ada seijin dari yang

bersangkutan maka akan dianggap sebagai historiografi yang tidak resmi. Seperti

yang tercantum dalam buku pelajaran sejarah terbitan 1996 ini dari judul sub-bab

untuk topik Tragedi Kemanusiaan 1965 diberi judul Pengkhianatan G30S/PKI,

masuk dalam bab pertama untuk pembahasan.

Sub bab ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, pengkhianatan G30S/PKI

yang membahas kronologi antara lain kronologis peristiwa tanggal 1 Oktober

1965 yaitu dari awal RRI mengenai gerakan militer yang dipimpin oleh Letnan

Kolonel Untung Sutopo yang ditujukan kepada para Jenderal. Kedua,

pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Ketiga, menyiarkan pidato Mayor

Jendral Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komando Cadangan Strategi

Angkatan Darat, berisi tentang pemberitahuan bahwa Gerakan 30 September

adalah Gerakan Kontra Revolusioner yang telah menculik perwira tinggi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  76

Angkatan Darat dan telah mengambil alih kekuasaan negara (coup), seperti yang

tertulis di bawah ini:

“G. Pengkhianatan G 30 S / PKI dan Penumpasannya

…Kesatuan-katuan Aksi, ABRI, semua organisasi politik dan organisasi

masa yang setia pada Pancasila dan UUD 1945 berjuang membela

kepentingan rakyat. Mereka berusaha menyampaikan Tiga Tuntutan

Rakyat (Tri Tura) yaitu:

a. Bubarkan PKI

b. Bersihkan Kabinet dari unsur PKI

c. Turunkan harga

Perjuangan mereka lewat konstitusi gagal sehingga mereka

menempuh cara lain, yaitu ke jalan. Tindakan ini beberapa kali

dilakukan sehingga mengganggu ketertiban umum. Namun akhirnya

yang salah tetap salah, dan yang benar akan tampak benar. Pada tanggal

12 Maret 1966 PKI sebagai dalang pemberontakan G 30 S / PKI berhasil

dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

Pembubaran PKI tersebut dilakukan oleh Jendral Suharto Selaku

pemegang Supersemar 1966. Untuk memperkuat tindakan pengemban


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  77

Supersemar maka MPRS dalam Sidang Umum IV 1966 menetapkan

pembubaran PKI dengan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

PKI telah bubar namun idiologi Komunis masih ada. Oleh sebab itu kita

harus waspada terhadap bahaya laten Komunis. Satu-satunua penangkal

idiologi komunis adalah Pancasila. Karena itu setiap warga negara

Indonesia harus mau dan mampu menghayati dan memengamalkan

Pancasila sampai titik darah penghabisan”51

Kronologis peristiwa diatas adalah satu-satunya wacana yang berlaku pada

saat itu. Kurang lebih semua buku pelajaran sejarah di sekolah Yogyakarta

menggunakan versi yang sama dan telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan

Nasional. Dengan mengikuti kurikulum 1994, bukan berarti permasalahan

politisasi kurikulum selesai, melainkan justru permasalahan menjadi semakin

kompleks.52 Dari buku sejarah terbitan tahun 1996 diatas, mengacu pada

kurikulum yang sarat dengan berbagai pengetahuan yang makro dan sepihak,

sehingga untuk situasi mikro bagi Indonesia dianggap kurang relevan. Menurut

51
Siti Waridah Q dan J. Sukardi. 1996. Penunjang: Sejarah Nasional Indonesia & Dunia.
Yogyakarta, hal. 58.
52
Aman. 2012. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hal. 49.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  78

Katherine McGregor, rejim Orde Baru juga digambarkan sebagai rejim yang

otoriter karena pengendaliannya yang ketat terhadap pendidikan dan media.53

Kekuasaan dalam pendidikan sejarah yang diimplementasikan dalam buku

mata pelajaran sejarah terbitan 1994, berorientasi pada legitimatif. Sebagaimana

yang dikatakan oleh Apple dalam bukunya IdeologyandCurriculum maka

kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu

sistem kekuasaan.54

“Namun akhirnya yang salah tetap salah, dan yang benar akan tampak benar.
Pada tanggal 12 Maret 1966 PKI sebagai dalang pemberontakan G 30 S / PKI
berhasil dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
Pembubaran PKI tersebut dilakukan oleh Jendral Suharto selaku pemegang
Supersemar 1966.

Menurut Apple, pengetahuan adalah suatu kapital dan kapital merupakan

sumber dari suatu kekuasaan. Tidak mengherankan bila pemerintah mempunyai

kepentingan untuk menguasai pendidikan dan khususnya kurikulum pada jaman

Orde Baru. Melalui kurikulum inilah terjadi proses indoktrinasi, yaitu proses

untuk melanggengkan struktur kekuasaan Orde Baru melalui pendidikan. Seperti

53
Katherine McGregor. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam
Menyusun Sejarah Indonesia. Syarikat. Yogyakarta, hal. 66.
54
Michel W. Apple. 1979. Ideology and Curriculum, Chapter 2: Ideology and Cultural and
Economic Reproduction. New York: Routledge, hal. 148.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  79

dijelaskan pada bab 1, kurikulum berfungsi sebagai doxa55 yang mengatur dan

mengarahkan tingkah laku para murid dan bahkan gurunya.

Apabila kurikulum berisi indoktrinasi maka cara mengajar juga akan

mengikuti pola indoktrinasi. Apa yang dalam buku sejarah adalah mutlak pada

saat itu dan harus dipercaya kebenarannya, dan pada saat itu yang tertulis dalam

buku sejarah adalah pendiskreditan satu pihak tertentu. Manajemen pendidikan

yang cocok dengan proses indoktrinasi tentunya haruslah terpusat dan terkontrol.

Yang diterapkan dalam sistem yang demikian adalah manajemen berdasarkan

kontrol (Management by Control) dan bukan manajemen yang berdasarkan tujuan

(Management by Objective).

Buku pelajaran yang digunakan pada tahun 1994 sangat kental dengan

faktor subjektifitas. Hasil interpretasi yang sangat subjektif ini timbul karena

adanya permintaan dari penguasa Orde Baru, sebaliknya menurut Haryono dalam

bukunya yang berjudul Mempelajari Sejarah Secara Objektif, penulisan sejarah

haruslah se-objektif mungkin yaitu memaparkan berbagai fakta, terlepas dari apa

yang penulis sukai atau tidak.56 Peranan ABRI dan militer juga sangat besar

55
Pierre Bourdieu. 1977. Outline Theory of Practice. London: Cambridge University Press.
56
Haryono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. (Andre Bagus Irshanto, di paper
kontroversi sejarah)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  80

dalam buku pelajaran ini, karena banyak insan militer memegang jabatan kunci

dalam birokrasi dan seolah-olah ABRI dan militer adalah penyelamat bangsa

karena telah berhasil membantu menumpas komunis pada saat itu.

“Akhirnya rakyat dan ABRI yang setia pada Pancasila mengadakan rapat raksasa
dan mengutuk G 30 S / PKI serta mengumandangkan slogan bubarkan PKI,
gantung Aidit, dan lain-lain.”

Sepanjang pemerintahan Orde Baru, militer memang memegang peranan

penting dalam birokrasi dan alat politik pemerintahan karena menjadi semacam

pemerintah bayangan dalam setiap regional. Seperti yang diungkapkan Drs.

Ponirin di Jurnal Jasmerah57:

“Dari buku-buku sejarah Orde Baru tampak jelas bagaimana narasi sejarah
tunggal atau seragam telah dibangun canon yang berguna untuk kepentingan
Orde Baru dan militer, yakni 1) Sebagai legitimasi naiknya Orde Baru ke
panggung politik guna memimpin Indonesia dengan cara memproduksi versi
peristiwa Gerakan 30 September yang tabu untuk diperdebatkan selama Suharto
memimpin. 2) Sebagai pengokohan kekuatan militer di Indonesia dengan
menempatkan militer sebagai penyelamat bangsa dan penjaga stabilitas politik
dan ekonomi republik ini. Orde Baru dan militer dalam narasi sejarah Indonesia
versi Orde Baru diinterpretasikan dalam seragam yang sama. Dengan kata lain,
sejarah yang dibangun adalah untuk melegitimasi rezim, baik itu Orde Baru
maupun kolektivitas militer. Keduanya dapat diberi garis pembeda, tetapi tidak
dapat dipisahkan. Bilamana berbicara tentang Orde Baru, maka ada militer di
dalamnya, dan militer merupakan bagian dari kekuatan Orde Baru.”

57
Ponirin. 2012. Nasionalisme dan Patriotisme. Medan: Jurnal Jasmerah UNIMED, yang dikutip
oleh Andre Bagus Irshanto, untuk tugas mata kuliah Kajian Buku Teks berjudul
Mendekonstruksi Historiografi Buku Teks SMP dan SMA Pada Masa Orde Baru.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  81

Pelajaran ini juga berusaha mengkaitkan. Pancasila dengan Orde Baru,

indoktrinasi yang digunakan adalah menciptakan ikatan antara rezim dengan

Pancasila dan selanjutnya ikatan rakyat dengan rezim.58 Rezim Orde Baru sangat

kental dengan nilai-nilai patriotik bahwa militer adalah pembela negara terhadap

ancaman-ancaman internal dan ideologis dalam negeri. Di dalam buku ini juga

terdapat banyak sekali unsur-unsur ideologisme kepentingan Orde Baru yang

tujuannya menerapkan Pancasila dan UUD 1945 secara utuh dalam segala aspek

dan menilai bahwa Orde sebelumnya cenderung tidak mensejaterahkan

masyarakat Indonesia. Gaya penulisan buku teks sejarah pada masa Orde Baru

juga terlihat sangat subjektif, karena pada masa itu yang dianggap sejarah resmi

nasional adalah wacana sejarah yang disetujui oleh pemerintah dan anggota

militer.

3.2. Perubahan Teks Tragedi Kemanusiaan 1965 setelah Orde Baru

Seperti diutarakan pada bab-bab sebelumnya, bahwa peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965 masih menjadi kontroversi di dunia pendidikan, terutama

tentang historiografi penulisan yang sangat subjektif sifatnya. Menjadi pertanyaan

58
Katherine McGregor. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam
Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, hal. 70.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  82

penting apakah Indonesia di masa setelah Suharto akan menghasilkan kurikulum

sejarah yang lebih objektif sifatnya ataukah masih ada sisa-sisa dominasi Orde

Baru dalam pelajaran sejarah di sekolah. Penulis berhasil mendapatkan tiga buku

pelajaran yang resmi digunakan beberapa sekolah di Yogyakarta untuk mengajar

sejarah dengan topik Tragedi Kemanusiaan 1965. Ketiga buku ini diterbitkan

paska Reformasi 98, dua diantaranya dicetak oleh penerbit resmi negara disertai

dengan hak cipta, sedangkan satu buku yang berbentuk jurnal digunakan untuk

mengajar pelajaran sejarah di sekolah menengah atas Katolik disusun sendiri oleh

guru sejarahnya sendiri.

Dari dua buku terbitan resmi Erlangga dan Yudhistira, terbitan tahun

2006 dan 2002. Agak berbeda dari buku pelajaran terbitan Orde Baru, kedua

buku ini mempunyai keterangan standar isi yang dalam bahasa pendidikan disebut

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sejarah SMA Kelas

XII. Isinya adalah:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Menganalisis 1.1. Menganalisis peristiwa sekitar Proklamasi 17

perjuangan bangsa Agustus 1945 dan pembentukan pemerintahan

Indonesia sejak proklamasi Indonesia

hingga lahirnya Orde Baru 1.2. Menganalisis perkembangan ekonomi-keuangan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  83

dan politik pada masa awal kemerdekaan sampai

tahun 1950

1.3. Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia

daam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman

disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk

pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI

Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI,

Permesta, G-30-S/PKI)

1.4. Menganalisis perkembangan politik dan

ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia

dalam upaya mengisi kemerdekaan

2. Menganalisis proses 2.1. Menganalisis perkembangan pemerintahan Orde

berakhirnya pemerintah Baru

Orde Baru dan terjadinya 2.2. Menganalisis proses berakhirnya pemerintah

Reformasi Orde Baru dan terjadinya Reformasi

2.3. Menganalisis perkembangan politik dan

ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia

pada masa Reformasi

Standar kompetensi diatas sebagai pemenuhan fungsi pengajaran sejarah

yang menurut Prof. Sartono Kartodirdjo ada tiga fungsi utama pembelajaran

sejarah, yaitu fungsi pragmatis, genetis dan didaktis. Fungsi sejarah yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  84

pragmatis amat nampak bila sejarah sebagai legitimasi serta yustifikasi eksistensi

suatu bangsa dan negara. Fungsi genetis adalah sejarah sebagai sarana

pengungkapan tentang bagaimana peristiwa itu terjadi, asal mula peristiwa itulah

yang ditekankan. Fungsi didaktis adalah peristiwa masa lalu harus diambil hikmah

dan pelajaran sehingga menjadi nilai-nilai bagi generasi setelahnya.59

Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan

untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator

pencapaian kompetensi untuk penilaian. Sehingga dalam setiap kegiatan belajar-

mengajar diperlukan evaluasi bertahap untuk mengukur hasil pembelajaran secara

komprehensif apakah sudah mencukupi untuk pemenuhan fungsi-fungsi

pengajaran sejarah tersebut. Di dalam tabel kompetensi dasar di atas, Tragedi

Kemanusiaan 1965 masuk dalam pembelajaran sejarah semester satu dan masuk

dalam sub-bab topik pergolakan dan pemerintahan. Di sini bisa terlihat bahwa

peristiwa tersebut diasosiasikan dalam gerakan yang merupakan ancaman bagi

stabilitas nasional. Hal tersebut diperkuat peta konsep pada bab tiga di buku

59
Sartono Kartodirjo. Kompas, 26 September 1998 yang dikutip di buku Strategi Pembelajaran
Sejarah. 2001. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, hal. 83.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  85

pembelajaran topik tersebut, di buku terbitan Yudhistira60, karangan Prof. Dr. M.

Habib Mustopo dkk, berjudul Pemberontakan G-30-S/PKI, isinya:

Gambar 3. Peta Konsep untuk pembelajaran Bab 3, Perjuangan Terhadap Ancaman Disintegrasi
Bangsa di buku teks sejarah dari Penerbit Yudhistira. 2010. Halaman 78.

Peta konsep diatas memadukan ilmu sejarah yang diakronis, yaitu

mengkaji secara vertikal suatu peristiwa atau fenomena yang sama dengan

memperhatikan kronologis dan bersifat sinkronis yaitu mengkaji suatu peristiwa

atau fenomena secara horisontal pada waktu dan tempat yang berbeda dalam

setiap penjelasan periodenya. Namun jika melihat dari bagan sebab akibat dan

60
M. Habib Mustopo dkk. 2002. Sejarah SMA Kelas XII Program IPS Kelas 3. Yudhistira, hal.
100.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  86

peristiwanya, peta konsep diatas tidak mengikutsertakan akibat dan dampak

lahirnya Orde Baru dan pelarangan terhadap Partai Komunis Indonesia.

Masuk di bagian pembahasan tentang PKI, buku terbitan Yudhistira ini

mengawali dengan Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan

dijabarkan betapa dekat hubungan PKI dengan Sukarno pada saat itu. Cara

penyampaian buku ini ternyata juga masih dipenuhi dengan sikap subjektif

dengan menjelaskan bahwa PKI identik dengan aksi-aksi brutal dan vigilantis,

contohnya seperti yang dijabarkan pada halaman 100-107:

”…PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenai keadaan yang


konkrit dan perimbangan kekuatan.” Berdasarkan pernyataan ini PKI mulai
mengambil langkah-langkah persiapan untuk mengimbangi cara parlementer
dengan cara lain, yaitu cara-cara kekerasan.”

Dari situ kemudian dijelaskan bentuk-bentuk kekerasan apa saja yang

telah dilakukan PKI sebelum peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, seperti

sabotase, aksi masa dan aksi sepihak, teror, perusakan, agitasi dan propaganda.

Buku ini adalah buku pengganti setelah cetakan sebelumnya telah ditarik oleh

Kejaksaan Agung terkait dengan pelarangan peredaraan buku-buku sejarah

dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19/A/JA/2007 tanggal 5 Maret

2007 yang isinya melarang peredaran dan penggunaan sejumlah buku pelajaran

sejarah. Pelarangan tersebut dilakukan karena buku-buku itu tidak mencantumkan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  87

sejumlah fakta pemberontakan PKI di Madiun dan tidak menyertakan kata PKI di

belakang G-30-S. Di beberapa daerah, bahkan terjadi aksi pembakaran buku-buku

teks sejarah. Buku-buku yang dimusnahkan antara lain Kronik Sejarah Kelas 1

SMP dengan penerbit Yudhistira, Manusia Dalam Perkembangan Zaman penerbit

Ganeca Exact, Sejarah 2 untuk SMP penerbit Erlangga, Sejarah 3 untuk SMP

penerbit Erlangga, Sejarah Nasional 1 SMA penerbit Bumi Aksara, Sejarah

Nasional dan Umum 1 SMA penerbit Balai Pustaka serta beberapa buku yang

mengacu pada kurikulum 2004. Mereka menuntut untuk semua buku teks resmi

terbitan paska Orde Baru menggunakan kata PKI, hal ini telah menimbulkan

perdebatan di antara banyak pihak. Pada saat itu Menteri Pendidikan Nasional

beserta dengan beberapa saksi dan ahli sejarah dipanggil untuk menyelesaikan

masalah ini seperti Taufik Ismail, mantan sastrawan dan K.H. Yusuf Hasyim,

selaku Pelaku dan Saksi Sejarah yang menginginkan supaya versi yang ditulis di

buku teks sejarah adalah G30S/PKI bukan hanya G30S saja karena mereka

berpendapat bahwa PKI adalah pihak yang bersalah dan pelaku dari penculikan

para jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya, disertai dengan kekacauan

stabilitas nasional yang terjadi setelah peristiwa tersebut. Sedangkan Asvi

Warman Adam, sejarawan dan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  88

menginginkan ingin meluruskan sejarah yang ditulis oleh Orde Baru dengan

kurikulum 2004 yang mengedepankan alternatif analisa dari peristiwa G 30 S

dengan melihat peristiwa tersebut secara multi-dimensional61.

Menurut beberapa sejarawan, peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 yang

bersifat kompleks itu tidak bisa disederhanakan karena banyak pihak yang

bermain dalam peristiwa kelabu tersebut. Saat ini terdapat beberapa versi tentang

dalang di balik peristiwa itu. Buku pelajaran Sejarah yang disusun berdasarkan

acuan standar kompetensi kurikulum 2004 oleh sebuah tim ahli yang

beranggotakan para sejarawan kapabel dengan menggunakan perangkat

metodologi sejarah. Masruhan Samsurie, anggota DPR komisi E DPRD Jawa

Tengah, menyebut buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI di

belakang G30S tersebut tidak ilmiah dan lebih menggunakan pendekatan politis.

Lebih lanjut, dia juga menyayangkan imbauan Masruhan menarik buku tersebut

dari peredaran. Sedangkan, Prof. Dr. Abu Suud tak mempersoalkan ada atau

tidaknya kata PKI di belakang G30S. Yang terpenting, kata dia, buku tersebut

tidak menghilangkan data dan fakta yang terjadi di seputar peristiwa 1965.

61
Achdian, Andi. Menuju Masyarakat Sadar Sejarah. Buku Teks Sejarah: Kontroversi
Penarikannya oleh Kejaksaan Agung yang ditulis di blog pribadi onghokham-
institute.blogspot.com/2007/10/buku-teks-sejarah-kontroversi.html. Akses terakhir: Oktober
2007. (lihat lampiran)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  89

Keragaman tafsir di dalamnya harus tetap disampaikan. Di situ guru punya

peranan besar untuk menjelaskan data-data sejarah yang ada. Namun sayangnya,

guru-guru sejarah masih banyak yang berpatron pada tafsir tunggal penguasa.62

Dengan terjadinya polemik mengenai ketidakstabilan kurikulum untuk

pelajaran sejarah, buku-buku teks terbaru yang digunakan oleh beberapa sekolah

menengah atas di Yogyakarta kini seolah kembali ke versi Orde Baru, disertai

beberapa perubahan yang tidak cukup signifikan. Di buku ini dicantumkan

kronologi pemberontakan PKI yang secara horisontal menjabarkan dari awal

persiapan pemberontakan sampai pada penumpasannya. Kedua buku terbiatan

Yudhistira dn Erlangga ini berpendapat bahwa Gerakan 30 September adalah

murni didalangi oleh PKI, dan antek-antek PKI-lah yang membunuh para Jenderal

Angkatan Darat dan membuangnya ke sumur Lubang Buaya. Seperti ditulis pada

halaman 106-107 buku terbitan Yudhistira sub-bab 2)Aksi:

“Setelah langkah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak sesuai tanggal
yang diputuskan. Pada dinihari 1 Oktober 1965, PKI melakukan aksi penculikan,
penyiksaan, dan pembunuhan terhadap “Dewan Jenderal”. Dalam penculikan itu,
A. H. Nasution selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya yang
bernama Pierre Tendean menjadi korban. Para korban penculikan yang masih
hidup maupun yang telah meninggal dibawa ke Lubang Buaya. Korban yang masih
hidup adalah Pierre Tendean (ajudan A. H. Nasution), Suprapto, S. Parman, dan

62
Diambil dari forum diskusi di website resmi PPI India (Perhimpunan Pelajar Indonesia di
India) http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.indonesia.ppi-india/12775. Akses
terakhir: 4 Juli 2005.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  90

Sutojo S. Sedangkan korban yang sudah dalam keadaan meninggal adalah A. Yani,
D. I. Pandjaitan, dan Haryono M. T. Keempat korban hidup mendapat siksaan
akhirnya meninggal. Selanjutnya, pada sukwan PKI melemparkan seluruh korban
ke dalam sumur.”

Sedangkan di buku terbitan Erlangga diperkuat dengan beberapa gambar

seperti pada halaman 78 mengenai pembunuhan para jenderal Angkatan Darat

tersebut dan perkembangan situasi pemberontakan:

Gambar 4. Enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira tinggi yang di buku teks Sejarah
terbitan Erlangga, diinformasikan bahwa mereka adalah korban keganasan Partai Komunis
Indonesia karena dibunuh dan dimasukkan ke sumur Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  91

Gambar 5. Peta peristiwa Gerakan 30 September di Jawa Tengah pada tanggal 1 samai 4 Oktober
1965 yang dimuat di buku teks Sejarah kelas XII. Penerbit oleh Erlangga, 2006.

Sedikit berbeda dengan penerbit Yudhistira, penerbit Erlangga memberi

wacana alternatif di akhir bab pembahasan tentang Tragedi Kemanusiaan 1965.

Menurutnya, peristiwa Gerakan 30 September mempunyai beberapa versi tentang

siapa dalangnya. Meskipun dari awal buku ini mencantumkan kata PKI di

belakang G30S, tetapi penulisan yang multi-naratif di penutupan bab setidaknya

memberi gambaran kepada para guru sejarah dan murid-muridnya tentang versi

alternatif di luar versi resmi sejarah nasional.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  92

3.3. Ketika Guru Membuat Versi Sejarahnya Sendiri

Menarik ketika penulis menemukan salah satu sekolah yang dijadikan

sebagai data menggunakan diktat yang disusun sendiri oleh guru sejarahnya

sendiri. Meskipun diawali dengan pencantuman judul Peristiwa G 30 S

(Pemberontakan PKI), yang dimana bisa diartika pemberontakan tersebut

didalangi oleh PKI, namun isi keseluruhan pembahasan bersifat netral dan

memberi banyak versi mengenai Tragedi Kemanusiaan tersebut. Dalam diktat ini

dibahas mengenai berbagai istilah perubahan G30S/PKI menjadi G30S sampai

pada istilah GESTAPU (Gerakah September Tiga Puluh) dan GESTOK dan

menjelaskan beerbagai versi alternatif yang menjadi dalang dari peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965 seperti pada halaman 15:

“Teori tentang dalang peristiwa G 30:


Teori tentang mengapa dan siapa dalang dari peristiwa G 30 S yang berkembang
saat ini ada 6 teori:
a. PKI
b. Sukarno
c. Suharto
d. Konflik intern AD
e. USA
f. Inggris”

Di diktat ini juga memberi pilihan bacaan mengenai buku versi alternatif

dari Robert Cribb: The Indonesian Killings, dan membahas dampak sosial dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  93

psikologis persitiwa tersebut yang memakan korban lebih dari satu juta jiwa.

Kalau melihat dari penyusunan buku teks sejarah seperti ini, harusnya tidaklah

susah bagi guru sejarah untuk melepaskan diri dari gaya penulisan buku teks

sejarah yang konvensional. Penyusunan diktat ini adalah tahun 2009, tentunya

sudah mengalami perubahan dengan memperhatikan polemik-polemik yang

terjadi atas pelarangan buku-buku sejarah resmi.

Penggunaan diktat adalah cara agar pembelajaran sejarah di ruangan

kelas tidak dibatasi oleh wacana-wacana resmi dari institusi. Buku diktat ini tidak

menjelaskan secara rinci mengenai peristiwa dan kronologisnya, namun memberi

kata kunci dan keterangan sumber sehingga murid bisa mencari sendiri apa yang

dimaksud oleh tulisan itu. Sehingga murid (dan guru) tidak hanya melakukan

praktek pembelajaran hanya semata hafalan belaka dan tidak teralienasi oleh apa

yang dipelajarinya.

Dengan kondisi pendiskreditan Partai Komunis Indonesia melalui

wacana pendidikan, maka trauma masyarakat terhadap wacana komunis akan

semakin mendalam. Apalagi dalam buku teks resmi Indonesia, peristiwa politik

Tragedi Kemanusiaan 1965 sendiri selalu diasosiasikan dengan gerakan PKI yang

melakukan kudeta dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Maka


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  94

penulisan G30S dianggap sebagai penulisan yang wajar dan tak bermasalah dalam

penulisan sejarah. Di ujian-ujian sekolah, jawaban dari para murid akan

disalahkan jika hanya menulis G30S tanpa PKI.63 Sehingga apa yang ditulis di

diktat pelajaran sejarah guru ini adalah bentuk tuntutan pelurusan sejarah melalui

pendidikan dari faktor internal. Sejarah adalah pengetahuan, dimana pengetahuan

adalah kuasa. Apa yang dipelajari di buku sejarah, adalah apa yang menempel di

benak para murid jika mempelajarinya.

Menyikapi beberapa polemik perubahan dalam kurikulum pelajaran

sejarah, guru sejarah tidak perlu terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang

bersifat politik dan paradigmatik, melainkan justru semakin bebas dan merdeka

untuk menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Namun tidak bisa berhenti sampai

disitu saja, guru menempati posisi yang serba salah karena kedudukannya lemah

di dalam institusi. Lembaga sekolah menuntut guru sampai pada tahapan-tahapan

dan target tertentu dalam setiap pembelajaran, jadi terkadang guru akan fokus

pada target-target tersebut dibanding memperhatikan kualitas pembelajaran para

murid-murid itu sendiri.

63
Achidsti, Sayfa Auliya. Kekerasan Pasca 1965 dan Proyek Pengaburan Sejarah “Formal”.
Dari situs www.indoprogress.com/kekerasan-pasca-1965-dan-proyek-pengkaburan-sejarah-
formal/. Akses terakhir 20 Agustus 2013.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  95

Dari keempat analisa buku-buku teks sejarah diatas dapat disimpulkan

bahwa pelajaran sejarah sebagian besar masih berbicara mengenai kekuasaan dan

menggambarkan pemerintah dengan birokrasinya. Problematika yang timbul

dalam pengajaran sejarah yang menggunakan versi alternatif yang tidak mengikuti

birokrasi institusi memang sangat beresiko dan akan dianggap tidak sesuai dengan

fakta. Sebelum penerbit Yudhistira dan Erlangga, dua buku yang dianalisa diatas

mengganti versi penggunaan kata PKI di belakang G30S, banyak pihak yang

menentang peredarannya. Salah satunya adalah Amien Rais, di artikel Rakyat

Merdeka,64 mengatakan bahwa sungguh bodoh negara ini jika kembali pada

penyebarluasan ajaran komunisme, marxisme dan leninisme, tambahnya:

“Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali. Kalau
kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut
ya kita lebih bodoh dari kambing.”

3.4. Respon Guru terhadap Inkonsistensi Kurikulum

Di bab ini, penulis akan mendiskusikan respon guru-guru sejarah di

beberapa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta tentang kurikulum sejarah

khususnya topik Tragedi Kemanusiaan 1965 yang kerap kali berganti-ganti

kurikulumnya dan kontennya di buku-buku teks sejarah dari penerbit resmi. Dari
64
Ibid.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  96

semua wawancara, penulis akan menunjukkan ada respon yang berbeda terhadap

perubahan buku teks sejarah. Permasalahan yang muncul adalah apakah pemikiran

baru dan historiografi yang kerap berubah juga mempengaruhi cara mengajar guru

sejarah di dalam kelas ataukah mereka tetap mengikuti historiografi model Orde

Baru yang sarat akan kekuasaan politis.

Menjadi guru sejarah adalah suatu tantangan tersendiri, semakin lama

mengajar akan semakin banyak pula yang diajarkan karena mengikuti peristiwa-

peristiwa bersejarah yang harus dimasukkan ke dalam pelajaran. Ternyata tidak

hanya kuantitas yang berubah, namun secara konten wacana sejarah juga bisa

berubah karena historiografi sejarah Indonesia akan berubah seiring dengan

temuan-temuan baru. Tragedi Kemanusiaan 1965 disebut-sebut sebagai wacana

yang tidak pernah selesai karena pengkaburan fakta. Maka verifikasi pada

penelitian sejarah identik dengan kritik sumber tertulis dan non-tertulis atau

lisan.65

Paska Reformasi 98, seperti disebutkan pada bab sebelumnya, terdapat

beberapa perubahan terhadap wacana sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965.

Beberapa lembaga di luar pemerintahan menuntut penggantian kurikulum di buku

65
Sugeng Riyadi. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak, hal. 62.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  97

sejarah dan berusaha menghapus kata PKI di belakang G30S. Mereka beranggapan

bahwa peristiwa tersebut tidak bisa mendiskreditkan hanya satu pihak tertentu,

yaitu PKI, melainkan ada beberapa aktor yang tidak pernah disebutkan oleh buku-

buku teks resmi sejarah di sekolah-sekolah.

Usaha itu juga nampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena sejak PSPB

yang mengundang reaksi, ternyata kekuasaan Orde Baru masih dilestarikan secara

implisit hingga sekarang dan menyusup melalui pendidikan formal. Sehingga

buku-buku alternatif sering menimbulkan kontroversi bahkan sikap-sikap

anarkisme seperti pembakaran buku, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran

Orde Baru. Asvi Warman Adam mengatakan bahwa kontroversi sejarah

mengandung makna perdebatan, persengketaan dan pertentangan.66

Selama ini guru hanya melaksanakan apa yang digariskan dalam uraian

kurikulum. Dari hasil wawancara di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di

Yogyakarta, saat ditanya buku mana yang digunakan untuk mengajar, dia

berpendapat bahwa buku-buku sejarah di sekolahnya masih menggunakan versi

Orde Baru:

66
Asvi Warman Adam. Kontroversi: Proses dan Implikasi Bagi Pengajaran Sejarah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional, 28 Mei 2009 di UNS yang dikutip oleh Ketut Sedana
Arta, Kurikulum dan Kontroversi Buku Teks Sejarah dalam KTSP, hal. 159.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  98

“Saya dipanggil ke Bogor dengan guru-guru dari luar Jogja untuk memilih buku
teks yang ada di situ, ternyata saat kami harus memilih buku-buku itu,
sesungguhnya fakta-fakta yang tersajikan logis, tapi saya ndak tau pasti kerena
BSNP itu sendiri juga menghadirkan dosen-dosen perguruan tinggi, yang saya
tahu dulu pak Joko Suryo dari Sejarah UGM, nampaknya dari pemerintah
belum mengijinkan kalau ada buku sejarah yang mencamtumkan G30S tanpa
PKI.”

Hal yang diungkapkan diatas tidak berbeda jauh dengan beberapa sekolah

lain saat ditanya mengenai bahan acuan yang digunakan untuk mengajar, seperti

jawaban dari salah satu guru Sekolah Menengah Atas nasional di bawah ini:

“ya memang kalau buku, bagaimanapun juga kita harus mengikuti apa yang
ditetapkan dan disuplai oleh penerbit. Karena mereka langsung datang ke
sekolah toh…Tapi beberapa waktu lalu kan sempat ada perdebatan tentang
pencantuman kata PKI ya, bagi saya itu tidak masalah selama guru sejarah bisa
menggunakan metode yang lain”

Dari contoh jawaban diatas, bisa disimpulkan bahwa guru mempunyai

sifat bebas dalam mengajar di dalam kelas, namun dia tetap harus ikut dalam

birokrasi sekolah untuk tetap menggunakan buku teks resmi sejarah. Pada

pelaksanaannya, upaya untuk mengajarkan sejarah yang alternatif masih

merupakan hal yang baru dan jarang dilakukan.

3.4.1. Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”

Pada saat terjadi ketegangan penarikan buku-buku teks sejarah kurikulum

2004, Departemen Pendidikan Nasional mengambil sikap sebagai badan yang


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  99

bertanggung jawab penuh. Bambang Sudibjo, menteri Pendidikan Nasional yang

menjabat pada saat itu, mengambil keputusan untuk kembali ke kurikulum 1994.

Bagi sekolah yang menggunakan kurikulum 2004 dalam pendidikan sejarahnya,

harus kembali ke kurikulum 1994. Tentunya kebijakan ini dilakukannya dengan

alasan tidak sesuai lagi dengan semangat Reformasi 98.

Posisi guru menjadi semakin tidak jelas karena diombang-ambing oleh

kurikulum yang harus berubah-ubah, jadi tidak heran saat mereka merasa jenuh

pula untuk mengganti-ganti bahan ajar yang sudah ada. Tugas guru sejarah juga

akan semakin berat karena mereka hanya diberi satu sampai dua jam mata

pelajaran selama seminggu. Pada saat Orde Baru yang mengikuti kurikulum 1994,

mata pelajaran sejarah tetap bisa diperjuangkan dua jam pelajaran dalam

seminggu, namun sekarang beberapa sekolah dari hasil data, hanya mendapat satu

jam pelajaran saja. Padahal untuk memproduksi sebuah pengetahuan, guru

membutuhkan waktu lebih supaya bisa memberi persepsi tentang peristiwa

sejarah yang tidak hanya menghafal. Hal ini juga dikeluhkan oleh salah satu guru

dari hasil wawancara:

“…kelas 2 – kls 3, kelas IPA itu hanya 1 jam, Bahasa 2 jam, IPS 3 jam. Nah,
yang bisa leluasa, idealnya klo sejarah paling tidak 2 jam untuk semua kelas, tapi
kalau kelas 10 itu cuma 1 jam itu ya dapat dibayang kan ketika mungkin lokal
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  100

ruanganya jauh-jauh jalan menuju kelasnya, paling pol efektif pelajaran itu paling
bagus ya mungkin cuma setengah jam, jadi kalo setengah jam itu buat apa kan
agak repot”

Idealnya, di waktu yang tidak banyak itu guru sejarah juga mereproduksi

pengetahuan dari ilmu yang sudah ada dan memberi persepsi yang sama persis

tertuliskan di buku. Sebagai akibatnya, guru hanya mereduksi makna pengetahuan

menjadi sekedar “memindahkan” yang sudah ada. Beberapa guru yang

diwawancarai mengetahui wacana-wacana lain yang sudah ada. Seperti contohnya

dari pendapat guru di Sekolah Menengah Atas Negeri Yogyakarta:

“Jadi tidak ada pergeseran substansi pada masa orde baru maupun masa
reformasi gampangnya begitu, tidak ada perubahan subsansial. Jadi tetap di buku
itu harus ditulis G30S / (garis miring) PKI misalnya seperti itu. Padahal kan ada
wacana lain, Gestok dan seterusnya, Gestapu dan seterusnya. Tidak ada wacana
lain, tidak ada wacana substansial perubahan , misalnya ya dibuku-buku itu
disebutkan dijelaskan bahwa Tragedi 65 itu memang coup nya PKI. Tidak ada
wacana lain. Padahal kalau dari buku-buku sejarah lain misalnya dari desertasinya
Hermawan Sulistyo yang kemudian diterbitkan itu, kan di situ banyak sekali
wacana, ee.. bukan banyak sekali,, paling tidak ada 6, sory paling tidak ada 5
wacana tentang tahun 65 itu. Sebenarnya pemicu tahun 65 itu siapa?, ada versinya
Benedict Anderson, versinya… macem-macem lah.. versi – versi Indonesianis
gitu… memang tidak semua versi misalnya Sukarno Sebagai dalang, PKI sebagai
dalang, Suharto sebagai dalang, CIA sebagai dalang, kemudian agen rahasia
Inggris dan sebagaianya, memang tidak ada yang exact yang pasti siapa yang
sebenarnya menjadi penyebap keributan itu. Tetapi kalau di tarik dari semua versi-
versi itu, saya kok percaya bahwa, saya makin mendapat pemahaman , peristiwa itu
yang saya menganggap justru Partai Komunis Indonesia itu sebagai korban, Partai
Komunis Indonesia itu sebagai pelaku sekaligus korban. Nah sekarang wacana
Orde Baru sampai sekarang, komunisme , PKI itu kan pelaku jadi pantas untuk di
persalahkan, pantas untuk di pesalahkan. Dan di buku-buku pelajaran itu tidak ada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  101

discourse, tidak ada wacana lain kecuali ini adalah percobaan kudeta mau
menggulingkan pemerintah Indonesia, dan tidak ada konstelasi misalnya pristiwa
itu terjadi dalam ketegangan perang dingin.”

Dari pendapat guru diatas, bisa dilihat dia mengetahui secara kritis

mengenai polemik wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Kekritisan memang akan

menciptakan disiplin intelektual yang dibutuhkan, mampu mengajukan

pertanyaan atas bacaan, penulisan, buku dan teks. Namun saat ditanya mengenai

bagaimana mereka menuturkan versi-versi alternatif kepada para murid,

jawabnya;

“ya saya sih mendukung adanya penulisan-penulisan alternatif ya mbak, tapi


memang kurikulum yang saya coba lakukan adalah, kurikulum pemerintah versi
materi-materi yang di tetapkan pemerintah dalam kurikulum ya saya berikan.
Cuma menurut saya itu terlalu kurus, terlalu apa ya? Ibarat kita ini peternak
kambing, peternak lembu setiap hari kita ini hanya kasih mereka itu rumput kering
dan jerami. Jadi bisa anda bayangkan betapa kurang berkaidahnya asupan seperti
ini, kalau kambing dan lembu yang kita pelihara hanya kita beri rumput kering dan
jerami, bisa kita bayangkan kualitas produk kita. Nah, ini kan pendidikan ini kan
bukan hanya pengajaran, kalau para siswa itu hanya diberi materi yang.. apa
namanya… materi materi itu ada bahaya maksud saya hanya sekedar pelatihan
menjadi bodoh, stupidifikasi. Kalau tidak hati-hati seperti itu.”

Dalam wawancara diatas, guru sejarah terlihat mengetahui banyak versi

alternatif dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, namun saat dihadapkan

dengan transisi pengetahuan kepada para murid, dia tidak berani mengambil

resiko untuk memberikan versi tersebut dalam proses pengajaran. Pendidikan

disini sangat jelas dilihat sebagai tindakan politis. Oleh sebab itu sangat sulit
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  102

melakukan bentuk pedagogi yang netral, guru sejarah seolah-olah dihadapkan

pilihan untuk mengambil posisi kanan atau kiri, hitam atau putih. Yagn terjadi

dalam pengambilan data tulisan ini adalah, hal ini terjadi hanya di Sekolah

Menengah Umum Negeri. Agaknya mereka memiliki bentuk dan isi yang

berhubungan erat dengan kekuasaan di masyarakat, yang membentuk sistem di

dalam institusi dan menegaskan dominasi kekuasaan tersebut.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  103

BAB IV

REAKSI TERHADAP MULTI-NARASI PELAJARAN SEJARAH

4.1. Tumbangnya Orde Baru

Kisah tentang pelarangan buku pada jaman Reformasi memang berbeda

bila dibandingkan dengan rezim sebelum dan setelahnya. Pembedanya adalah soal

reaksi-reaksi perlawanan yang meresponnya. Pada jaman reformasi, ada istilah

“teror sejarah” yang maksudnya adalah sejarah telah terwujud menjadi dominan

sebuah teror dan mempunyai sifat meneror. Sejarah menjadi teror ketika pelaku-

pelakunya sengaja memperlakukan sejarah itu sendiri secara langsung.67 Dalam

teror sejarah, ada tokoh yang memegang tunggal kebenaran, dan cirinya mutlak

tak bisa terganggu gugat. Hal ini berlangsung sekian puluh tahun karena banyak

yang “terteror” oleh wacana kebenaran tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh

Lukman Hakim Husnan, Mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang Sumatera

Selatan dalam ingatannya mengenai ajaran tentang Tragedi Kemanusiaan 1965:

“PKI adalah dosa, walau banyak dari kami tidak mengalami luka sejarah yang
barangkali memang pernah mereka torehkan. Selama lebih dari 32 tahun dan
sepanjang yang terbaca di literatur-literatur sejarah lazim (resmi), PKI selalu

67
Slamet Soetrisno. 2003. Kontruksi dan Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Media Pressindo,
hal. 64.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  104

dilukiskan dengan citra negatif. Umumnya, citra negatif tersebut berhubungan


dengan cita radikalitas dan separatisme; pemberontakan tahun 1926,
pemberontakan tahun 1948, dan terakhir pemberontakan plus pembantaian
pada tahun 1965. Dan sejak TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, perbincangan
tentang PKI harus dikemukakan dengan berbisik.”68

Sekarang sejarah menjadi ajang pertarungan antara negara dan

masyarakat. Dewasa ini, pertarungan tersebut makin meluas. Di satu sisi, ada

pihak tertentu yang ingin memberikan legitimasi atas kekuasaan dengan

melakukan rekayasa sejarah. Di sisi lain, demokratisasi pengajaran dan

penyebaran pengetahuan sejarah melalui media massa, seperti film dan televisi

memberikan kontribusi bagi warga negara untuk menemukan identitas dan

menyadarkan mereka tentang politisasi sejarah . Di Indonesia paska cengkraman

tirani yang diduga keras melakukan pendistorsian sejarah, diperlukan pemaknaan

ulang terhadap penuturan peristiwa masa lalu yang amat penting di Indonesia.

Misalnya Gerakan 30 September (G30S) Tahun 1965. Ketika pemerintahan Orde

Baru tumbang, maka perubahan di tingkat politik memberikan pengaruh terhadap

bergulirnya polemik di sekitar materi pembelajaran sejarah, khususnya yang

berhubungan dengan peristiwa Gestapu dan rejim pemerintahan Orde Baru.

68
Tercantum dalam buku Demi Masa Depan: Kumpulan Esai Anak Muda Indonesia tentang
Tragedi Kemanusiaan 1965-1969. Ed: Hendri F. Isnaeni. Friederich Ebert Stiftung dengan
Majalah Historia.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  105

Berbagai kajian terhadap peristiwa itu semakin banyak setelah

tumbangnya reformasi, dan tidak ada lagi kendala perijinan dan teror bagi siapa

saja yang melakukan penelitiannya. Nyatanya karya-karya tersebut memunculkan

fakta-fakta baru yang mengejutkan yang sebelumnya belum pernah didengar.

Perubahan-perubahan semacam itu sebenarnya telah didahului oleh kepentingan

dan penentangan terhadap praktek developmentalisme69. Artinya, secara prinsip

sejarah dirumuskan bukan untuk suatu legimitasi atau pendiskreditan suatu

kelompok tertentu, melainkan pengungkapan kebenaran dan kenyataan masa lalu

tanpa harus ditutup-tutupi.

Pengungkapan kebenaran sejarah atau biasa disebut rekonstruksi sejarah

muncul karena keinginan untuk menghadirkan wacana sejarah yang tidak pernah

mereka dapat saat masa Orde Baru. Kejatuhan sebuah rezim dan munculnya

berbagai nilai baru yang menyertainya segera diikuti oleh kebutuhan memiliki

sebuah konstruksi masa lalu versi alternatif. Persoalan perbedaan wacana baru dan

lama terletak pada interpretasi karena tidak sedikit pula wacana alternatif yang

menghadirkan fakta-fakta sejarah yang juga menutup-nutupi wacana sebelumnya.

69
Developmentalism atau developmentalisme menurut Sail M. Katz diartikan sebagai
perkembangan atau pergeseran ekonomi suatu negara dunia ketiga menuju kesejaterahan.
Dalam konteks Indonesia, developmentalisme terjadi pada masa Orde Lama yang condong ke
arah politik menuju ke rejim Orde Baru yang lebih menekankan pada kesejaterahan ekonomi.
www.pergerakan07.blogspot.com, akses terakhir: Mei 2012).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  106

Maka saat semua alternatif sejarah muncul di sekolah, guru sejarah harus mampu

menghadirkan semua wacana dan mengajak siswanya untuk berpikir secara kritis

untuk melihat keberbedaan tersebut.

Ada banyak fakta-fakta baru yang bisa dijadikan bahan untuk tambahan

kurikulum sejarah. Baik melalui media baca ataupun media alternatif lainnya,

namun pada kenyataannya para guru sejarah tidak cukup kreatif untuk menyajikan

bahan-bahan baru itu kepada para peserta didik karena banyak faktor yang

melatarbelakangi. Pertama, adanya birokratisasi dalam suatu institusi resmi. Para

pendidik sejarah merasa tidak berperan untuk memberi bahan-bahan tambahan

karena mereka menganggap akan tidak patuh pada birokrasi sekolah dan

Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan di satu sisi mereka harus

mempertimbangkan ranah kognitif dimana ada target secara kuantitas yang harus

dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu. Alhasil, dengan menambahkan bahan-

bahan yang ada diluar kurikulum yang telah diberikan akan memakan waktu dan

takut tidak berhasil menyelesaikan target. Kedua, guru sejarah merasa dalam

posisi powerless (tidak berdaya), untuk melakukan perubahan pragmatis.

Ketakutan-ketakutan untuk memberikan bahan-bahan diluar “tuntutan” institusi

membuat para guru sejarah merasa sangat berdosa karena berada diluar jalur yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  107

seharusnya. Mereka tidak mempunyai cukup keberaniaan untuk mengambil resiko

jika didapati oleh institusi memberi bahan-bahan tambahan kepada siswa-siswi.

Sebenarnya ketakutan-ketakutan imajiner semacam ini hanya semacam utopia,

dan sering terjadi pada guru sejarah yang sudah mengajar di jaman Orde Baru.

Penjelasan mengenai poin ini akan dibahas lebih lanjut dengan memberikan bukti

otentik wawancara dengan para guru sejarah di sub-bab selanjutnya.

4.2. Sejarah Lisan dan Subjektifitas Masa Lalu

Metode penggunaan sejarah lisan dapat mengatasi keterbatasan dokumen

yang dirasa tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Henk

Schulte Nordholt, sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia, bukan

saja karena birokrasi pemerintah pada era- Soeharto yang tidak banyak

meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum, tetapi juga sejarah lisan membuka

peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari versi sejarah dan

menyoroti pengalaman-pengalaman yang berada di luar arsip negara. Bahan-

bahan sejarah lisan menjadi satu sumber utama dalam penulisan sejarah alternatif.

Seperti yang dituliskan dibawah ini:


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  108

“Salah satu alasan mengapa prosedur penilaian sumber lisan dan tulisan itu sama
adalah karena sumber tulisan sendiri sering didasarkan pada informasi yang
dikumpulkan secara lisan. Dokumen dasar yang digunakan sejarawan – surat kabar,
laporan intelijen atau polisi, dan sebagainya – ditulis oleh orang-orang yang
melakukan wawancara lisan. Dalam hal ini sumber lisan mempunyai kelebihan
dibandingkan dokumen tertulis: peneliti bisa kembali kepada orang yang
diwawancarai berulang-ulang untuk meminta penjelasan dan gambaran lebih rinci
mengenai sesuatu. Kita dapat terus mengajukan pertanyaan kepada
70
narasumbernya.”

Menurut Bambang Purwanto, sikap masyarakat terhadap sejarah bersifat

mendua. Kepercayaan mereka terhadap validitas tulisan sejarah sampai pada titik

terendah karena mereka menganggap masih sangat subjektif dan penuh rekayasa

sehingga tidak memenuhi kebutuhan akan wacana yang diinginkan masyarakat.71

Di satu sisi, munculnya tradisi seperti itu sangat membentuk historiografi

Indonesia, yaitu sangat memuji sumber tertulis, dalam arti dokumen pemerintah.

Perdebatan tentang sumber tertulis dalam historiografi Indonesia memunculkan

perkembangan penelitian baru yaitu metode penelitian alternatif untuk

mereorientasi historiografi Indonesia yang lebih objektif.

Sejarah lisan72 adalah metode menulis sejarah yang bercerita tentang

wawancara dengan sumber informasi. Inilah yang menjadi metode alternatif yang

70
John Rossa, Ayu Ratih, Hilmar Farid. 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami
Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Lisan, Jakarta: ELSAM, hal. 2.
71
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesianis. Yogyakarta: Ombak, hal. 51.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  109

dianggap lebih objektif daripada sejarah lisan dan sejarah lisan umumnya lebih

berpihak kepada para korban atau pihak-pihak yang selama ini dibungkam

suaranya73. Sejarah lisan dalam sastra Indonesia pertama ditulis oleh Pramoedya

Ananta Toer yang berjudul Perawan Remaja di Cengkraman Militer. Yaitu

mengenai jugun ianfu Jepang, Pram bertemu dan sekelompok tapol saat ditahan di

Pulau Buru bertemu dengan sejumlah perempuan Jawa yang menuturkan kisah

hidup mereka.

Metode sejarah lisan dalam arti komunikasi memegang peranan penting

dalam kehidupan manusia untuk mentransfer informasi dan membangun ingatan.

Di dalam bentuk komunikasi itu, korban membagi informasi seputar kejadian

nyata, menunjukkan emosi mereka dan saling bertanya. Manusia mempunyai

kecenderungan untuk membagi pengalaman masa lalu mereka dalam bentuk

dokumentasi visual maupun narasi retorik, hal ini bertujuan untuk meregenerasi

72
Di bab pendahuluan ”Menyimak Suara Terbungkam” dari buku Suara di Balik Prahara hlm
20-23, Baskara. T. Wardaya, SJ. mengungkapkan pentingnya teknik sejarah lisan bagi
sejarahwan.
73
Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34
tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho
Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah
Revolusi Indonesia 1945-1950.Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para
perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana
terlihat dalam karyanya, “40 Hari Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto
memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau
tentang sejarah militer Indonesia.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  110

kejadian yang tidak dialami generasi berikutnya. Dalam menarasikan pengalaman,

harus ada kesinambungan antara topik dan retorika pencerita. Jadi tidak semua

pengalaman pribadi bisa disebut sebagai sejarah lisan, dalam hal ini sejarah lisan

terkait dengan ingatan kolektif dimana masyarakat Indonesia harus mengetahui

cerita tersebut.

Saat ini sejarah lisan banyak digunakan sebagai metode alternatif untuk

melakukan advokasi terhadap para korban kekerasan masa lalu. Kekerasan dan

korban memang seperti menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari.

Selama ada hubungan kekuasaan yang dilandasi ketidakadilan, selama itu korban

ada. Tatanan sosial selalu ada dalam hubungan antar manusia, seperti kata Hannah

Arendt yang mengatakan pengakuan bebas dari semua yang terlibat di dalam

tatanan tempat kekuasaan itu berlaku. Dasar untuk pengakuan bebas adalah

keadilan.74 Ketika pihak yang berkuasa menolak tuntutan keadilan, pengakuan

berlangsung atas dasar paksaan atau kekerasan yang melahirkan penindasan dan

korban-korbannya, baik korban kekerasan fisik maupun struktural. Sejarah lisan

yang berasal dari cerita korban adalah cerita terdomestifikasi dan terpinggirkan.

Di dalam peperangan paling besar sekalipun, nama korban sengaja digeser dari

74
Hannah Arendt. 1959. The Human Condition, New York: Doubleday.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  111

sejarah dalam sebuah conspiracy of silence75 yang dibangun demi kepentingan

kekuasaan.

“Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggunakan sistem peradilan


pengadilan perdata sebagai bentuk advokasi dengan menggugat lima orang
presiden melalui sebuah class-action pada tahun 2005. Gugatan ini menuntut
kompensasi dan rehabilitasi korban pembantaian massal tahun 1965, dimana
diperkirakan 500.000 sampai sejuta warga sipil Indonesia dibunuh. Gugatan ini
juga menuntut sebuah permintaan maaf tertulis, dibangunnya sebuah monumen
untuk korban 1965, penulisan sejarah yang benar dalam kurikulum nasional, dan
pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif.” (ICTJ dan Kontras, 2011)

Itulah pentingnya sejarah lisan, dimana menjembatani para korban dengan

generasi setelahnya. Saat, sejarawan konvensional lebih menekankan pentingya

dokumen tertulis, namun sejarawan yang sering terlibat dalam metode sejarah

lisan berpendapat bahwa dokumentasi tertulis dapat mengandung bias dan

distorsi.76 Dalam konteks ini, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan

komparatif, kuantitatif dan kualitatif sebagai penambahan data tertulis yang sudah

ada. Sebagai cabang ilmu sejarah yang sangat tergantung pada ingatan dan teks,

sejarah lisan dianggap sebagai kesatuan dokumen pantas diarsipkan karena

mampu membangkitkan relevansi pengalaman kelompok minoritas untuk

merekonstruksi masa lalu dan munculnya perspektif penulisan sejarah dari bawah,

75
Conspiracy of silence, atau culture of silence, atau budaya diam adalah kondisi dimana sesuatu
terjadi, namun secara sosial tidak dibicarakan atau dibahas oleh subjek pelaku dan yang
mengetahui.
76
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesianis. Yogyakarta: Ombak, hal. 17.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  112

sejarah lisan, dalam hal ini mengkaitkan ingatan sebagai sumber sejarah.

Penelitian ini menggunakan ingatan dalam bentuk sejarah lisan yang diarsipkan

dalam media audio-visual yang digunakan sebagai bentuk stimulasi pengambilan

data wawancara dengan guru-guru pelajaran sejarah beberapa Sekolah Menengah

Atas di Yogyakarta.

4.3. Menjadi Guru yang (Mem)Bebas(kan)

Guru sejarah mempunyai peluang yang sangat sedikit untuk menjadi

pengajar yang membebaskan. Pelajaran sejarah, faktanya, adalah pelajaran yang

kurang diminati oleh banyak murid karena dianggap sebagai pelajaran yang

membosankan dan tidak berguna di masa mendatang. Maka menjadi suatu

tantangan besar bagi seorang guru sejarah untuk membuat pelajaran sejarah

disukai dan diminati oleh peserta didiknya. Menghadapi pertanyaan muridnya,

G30S/PKI atau G30S mana yang benar? Guru sejarah harus mampu memberi

jawaban yang mengajak muridnya untuk berpikir kritis dan mengetahui wacana

sejarah dari banyak versi, tidak hanya satu versi saja.

Pelajaran sejarah yang memebebaskan diimplementasikan di kelas karena

berawal dari keprihatinan kondisi bangsa Indonesia (baca: generasi muda) yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  113

pesimis terhadap wacana sejarah karena dirasa tidak lagi berguna dalam

pendidikan.Dalam hal ini, peserta didik tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena

suatu tantangan yang disadari dalam hakekat materi pendidikan sejarah dalam

pendidikan dasar adalah materi tersebut sangat abstrak. Tingkat abstraksi materi

pendidikan sejarah disebabkan karena peristiwa sejarah terjadi dalam kurun waktu

yang sangat jauh dari kehidupan anak-anak yang bersangkutan. Secara dialektis,

pendidikan kritis bisa melemahkan dam melawan reporduksi ideologi dominan.

Dan guru sejarah-lah yang melakukan tugas itu, tentunya dengan impian

politiknya yaitu, pembebasan.

4.3.1. Mengajar yang Alternatif

Pendidikan sejarah adalah rekonstruksi sosial, dalam hal ini kurikulum

sejarah harusnya disesuaikan dengan kehidupan masa kini yang akrab dengan

kehidupan generasi yang mempelajarinya. Salah satu peran pendidikan adalah

menciptakan ruang kritis terhadap sistem ketidakadilan, serta melakukan

dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Terjadinya

penurunan kualitas pendidikan disebabkan oleh acuh tak acuhnya para pelaku

pendidikan terhadap wacana sejarah,dimana materi pendidikan sejarah diharapkan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  114

dapat memberi kemampuan kepada anak-anak, untuk merefleksikan tentang yang

terjadi pada kurun waktu tertentu. Sejarah hendaknya tidak dilihat dalam hal fakta

yang selalu terkait masalah keakuratan dan kejadian, namun melalui pendidikan

sejarah diharapkan dapat menciptakan peran kritis para peserta didik. Adanya

penyeragaman versi serta penghilangan fakta mengenai tragedi kekerasan yang

terjadi selama ini, menyebabkan terhambatnya sebuah proses ajar sejarah yang

humanis.

“Kalau sudut pandang film G30S/PKI kan film indoktrinasi, artinya itulah
pembenaran bahwa pelakunya adalah PKI, tapi paska itu kan kemudian yang tidak
pernah terungkap adalah proses pembantaian itu… Salah satu kelemahan utama ya
memang daya juang. Artinya kan anak anak itu kan daya juang membacanya kalau
nggak benar-benar minat kan nggak akan membaca, tapi kan ketika nonton film
bisa, imejnya nonton film kan bukan imej menekan artinya imej refreshing melihat
sesuatu, kalau buku cenderung akademis otak, tapi kalau melihat itu kan bisa
sambil duduk segala macem.”

Melihat kondisi tersebut, pengajaran konvensional semacam itu

diupayakan dihentikan dengan upaya perlawanan yang melibatkan generasi muda

dan lebih tepat jika pendekatannya bersifat teknologis, artinya mengoptimalkan

teknologi yang sudah familiar atau diminati di kalangan generasi muda. Maka,

salah satu strateginya adalah belajar sejarah melalui media komunitas (video

dokumenter, sastra, seni pertunjukan, dan lain-lain). Cara pandang beragam

(alternatif) diperlukan untuk memahami wacana penulisan sejarah kekerasan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  115

HAM di Indonesia. Di samping itu, upaya penyajian sejarah alternatif harus

melibatkan murid secara aktif dengan tujuan pemerataan edukasi. Artinya,

program-program alternatif harus melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam

proses kreatif seperti dialog, pertunjukan seni, workshop sebagai medium

pendidikan sejarah kritis.

Kemunculan berbagai media sejarah alternatif tentang bangsa paska Orde

Baru ini, sungguh merupakan sebuah proses dalam meneruskan dan

mempertahankan spirit dari kelompok-kelompok non-pemerintah pada era

Reformasi. Walau fakta menunjukkan bahwa diseminasi akan karya-karya

tersebut berjalan dengan cukup lamban, akan tetapi mampu memompa saraf untuk

selalu bekerja dan memahami dunia ke-Indonesiaan kita secara kritis dan

humanis. Sejarah alternatif merupakan sebuah pilihan dan kewajiban yang mesti

dibangun agar kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu tidak

terulang lagi.

Acuan pengajaran sejarah berdasarkan kurikulum yang berlaku, sepertinya

masih menyimpan persoalan terhadap pengajaran sejarah yang berbasis pada anak

didik itu sendiri. Mulai dari singkatnya waktu ajar sampai metode pengajaran

yang cenderung non partisipatif. Hal ini menyebabkan ketumpulan nalar kritis
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  116

anak di dalam mengelaborasikan peristiwa sejarah di masa lalu dengan kejadian di

masa kini.

Peranan sekolah adalah sebagai medium pengantara untuk memperolah

pengetahuan dan memiliki andil yang cukup besar di dalam perkembangan

pengajaran sejarah pada anak. Proses ajar yang terjadi diantara guru dan murid

akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pengetahuan murid mengenai

peristiwa panjang bangsanya. Tidak hanya itu, proses ajar tersebut mestinya juga

menjadi medium dialog untuk mengembangkan kesadaran anak sebagai bagian

dari entitas bangsa ini. Guru sejarah memang dituntut menyelesaikan tugasnya

sebagai seorang pengajar agar tepat waktu untuk mentransfer ilmu sesuai dengan

kurikulum yang berlaku. Ia dipacu dengan segala tekanan agar tidak keluar dari

koridor yang telah disepakati, baik dari Dinas Pendidikan serta Pihak

Penyelenggara Sekolah. Maka tak jarang, beberapa kasus di lapangan menunjukan

bahwa guru menjadi “tak berdaya” ketika durasi yang diberikan sangat singkat

untuk mengajarkan bab mengenai Sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia serta

terbatasnya media pengajaran yang efektif.

Metode belajar sejarah yang pasif, menyebabkan seorang anak hanya

menghafal nama, tempat dan tahun dari sebuah peristiwa tanpa tahu semangat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  117

serta nilai apa yang sebenarnya terkandung dalam peristiwa tersebut. Anak masih

diposisikan sebagai murid (obyek) dari pengajaran sejarah yang baku. Memang

diperlukan usaha yang kreatif untuk meretas problematika pengajaran sejarah ini.

Hal ini memerlukan pembelajaran yang serius untuk memberikan solusi

bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang tidak lagi memposisikan

anak sebagai obyek, melainkan subyek.

4.3.2. Film Dokumenter sebagai Media Populer Pengajaran Sejarah

Metode pengajaran sejarah yang populer pada murid merupakan bagian

yang penting terhadap proses belajar. Pengajaran sejarah mesti diupayakan agar

tidak hanya memposisikan anak untuk sekedar menghafal nama, tempat, dan

tanggal peristiwa, namun lebih mengarahkan anak secara kritis melihat nilai

dibalik peristiwa sejarah. Film dokumenter merupakan salah satu media yang

memiliki keterkaitan terhadap penulisan narasi sejarah perjuangan bangsa.

Melalui visual-teks nya, Film dianggap mampu memberikan daya tarik tersendiri

bagi anak, guna menyerap cerita di masa lalu.

Gaya bertutur yang imajinatif, akan memberikan ‘sensasi’ tersendiri dalam

proses belajar sejarah. Cara penyampaian dengan gambaran adegan-adegan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  118

heroik, serta perjuangan untuk mencapai cita-cita, dapat mengembangkan daya

imajinatif, sehingga menarik dan diminati oleh murid-murid. Secara ideologis,

penciptaan sebuah film dokumenter memerlukan perjalan panjang si pembuat film

di dalam menganalisa kejadian-kejadian di masa lalu. Semacam representasi dari

kronologi peristiwa, cerita dalam film dokumenter menjelaskan bagaimana situasi

dan kondisi pada masanya.

Salah satu judul film yang menarik untuk diperhatikan adalah 40 Years of

Silence.Sebuah film dokumenter yang dibuat Robert Lemelson, seorang

Indonesianis asal Amerika. Film ini merekam wawancara langsung dari para

korban Tragedi Kemanusiaan 1965, secara langsung film dokumenter ini

melakukan praktik sejarah lisan. Belajar sejarah melalui pendekatan yang

berbeda, akan menciptakan ketertarikan tersendiri bagi murid untuk melihat isi

dibalik peristiwa masa lalu. Sejarah lisan sangat kuat dengan unsur naratif di

dalamnya, demikian pula penyajian film dokementer yang tidak hanya

mengandalkan dokumentasi tertulis namun bertujuan untuk merekonstruksi

sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965.

Versi sejarah alternatif dalam penyajian film dokumenter mampu

mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari wacana sejarah yang tidak ada


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  119

pada sumber lainnya, seperti yang dikatakan oleh guru dari sekolah Katolik di

Yogyakarta bahwa penyajian sejarah alternatif melalui film adalah salah satu cara

yang memudahkan metode pengajaran masa sekarang dengan meninggalkan gaya

pengajaran konvensional. Para siswa-siswi cenderung bosan untuk hanya

membaca banyak buku yang sangat tebal. Maka penyajian flm dokumenter, yang

mencakup indera penglihatan dan pendengaran adalah suatu metode populer yang

untuk melihat lebih daripada yang dipelajari selama ini. Dengan film dokumenter,

tambahnya, akan membuka peluang sejarah menjadi sebuah narasi alternatif yang

mudah dipahami dan menyenangkan untuk dipelajari

Guru sejarah mempunyai potensi untuk melihat bahwa film dokumenter

sejarah alternatif sangat penting untuk diberi tempat dalam proses pembelajaran di

kelas. Kata seorang guru dari hasil wawancara setelah menonton film 40 Years of

Silence, dia bertutur bahwa film ini memang berbeda kontennya dari film

Pengkhianatan G30S/PKI, karena film ini adalah film dokumenter yang merekam

kesaksian nyata dari para korban. Film semacam ini memang bisa menjadi bahan

menarik untuk melakukan praktik pengajaran sejarah yang lebih kritis dengan

melihat versi-versi alternatifnya pula.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  120

4.4 Usaha Penyadaran Kritis Publik melalui Sejarah Alternatif

Tak banyak media, khususnya mainstream, menyiarkan kejadian serta

fakta berimbang mengenai kondisi yang terjadi pada sebagian besar sejarah

Tragedi Kemanusiaan di Indonesia. Padahal, apabila kita memiliki keberanian

serta konsistensi untuk mendalami peristiwa masa lalu yang menyangkut

pernyataan sebelumnya, wacana atas sejarah kemanusiaan bangsa ini begitu

menggugah rasa kebangsaan kita. Namun yang tak kalah penting, melihat bagian

lain dari perjuangan menuju Indonesia Merdeka melalui angle dari golongan yang

selama ini menjadi side-minority.

Pokok gagasan di awal merupakan narasi besar yang melatarbelakangi

film dokumenter ini. Harapannya dapat memberikan gambaran (visual) bagi

publik sebagai referensi lain dari nilai kehidupan di tengah aspek sejarah

alternatif. Selain itu juga memberikan perspektif lain pada wacana sejarah

kemanusiaan yang selama ini tidak diangkat kepermukaan oleh media. Tentu saja

hal tersebut terjadi karena kekuasaan politis yang bertujuan melemahkan rasa

kebersamaan dalam keberbedaan.

Film 40 Years of Silence ini akan menggugah rasa kemanusiaan publik

yang selama ini masih memandang bahwa etnis Tionghoa bukanlah bagian dari
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  121

kolektif bangsa. Di samping itu, hadirnya film ini ditengah masyarakat luas adalah

bagian dari usaha untuk mengurai kembali problematika yang melatarbelakangi

konflik rasial di Indonesia. Khususnya bagi para pelajar, film ini akan

memberikan pandangan baru di dalam pengajaran sejarah nasional.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  122

BAB V

NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH

5.1. Resistensi untuk Keluar “Batas”

Sebagai guru sejarah, mereka bisa menemukan bagaimana proses

didominasi oleh ideologi dominan dan menarik jarak dengan kekuasaan tersebut.

Oleh sebab itu, mereka dapat belajar tentang bagaimana menjadi bebas melalui

perjuangan mengajar dalam dunia pendidikan. Muncul kecenderungan baru dalam

lembaga pendidikan formal bahwa guru-guru mengajar hal-hal yang bukan

menjadi bagian dari apa yang diyakininya karena mereka tunduk kepada

pengawasan institusi tempatnya mengajar.

Menurut Alisjahbana, desentralisasi pendidikan di Indonesia dilaksanakan

pada tiga tingkatan, yaitu level distrik atau kebijakan tempat dimana mereka

mengajar. Kedua adalah desentralisasi pada level sekolah, yaitu memberi

kewenangan kepada para sekolah untuk mengatur dan menyelenggarakan proses

pendidikan di sekolah, dan terakhir adalah desentralisasi pendidikan pada level

guru. Furu di sekolah diberikan otonomi yang lebih besar, sehingga mereka dapat

mengajar, melakukan inovasi pembelajaran, dan melaksanakan penilaian.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  123

Demikian halnya dengan guru sejarah, mereka seyogyanya mempunya wewenang

untuk melakukan metode pengajaran yang menarik dalam proses belajar-

mengajar.77

Sebagaimana diketahui sistem pendidikan di Indonesia saling berinteraksi

dengan peristiwa-peristiwa sosial lainnya, terutama untuk pelajaran sejarah sangat

dipengaruhi oleh sistem politik. Hal ini mempengaruhi posisi peranan pendidikan

di masyarakat karena masih menggunakan sistem sentralistik, diaman pedidikan

dapat dijadikan sebagai alat politik pemerintah atau disebut dengan politisasi

pendidikan, dimana penguasa menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan.

Dalam pelajaran sejarah, guru memegang peranan penting untuk diberi

kewenangan di tengah-tengah politisasi pendidikan tersebut. Guru-guru pada

masa Orde Baru dituntut untuk menanamkan dalam diri para murid keyakinan dan

“kebohongan” yang dipandang berguna oleh mereka yang mengawasi dan

memerintahkannya. Adanya versi-versi sejarah yang berubah, terkadang membuat

guru sejarah merasa malas untuk mengajak murid-muridnya berpikir kritis dengan

menganalisa semua versi sejarah tersebut.

77
Armina S. Alisjabahna. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung.
Dalam H.M. Zainuddin. Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis
Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 51.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  124

Di tahun 2013 sudah banyak sekali akses-akses untuk mendapatkan bahan-

bahan pengajaran alternatif yang dapat dipakai untuk mengajar, namun guru

sejarah yang tidak progresif cenderung enggan untuk memberi bahan-bahan

alternatif tersebut dengan berbagai alasan, contohnya seperti yang dikatakan oleh

salah satu guru dari SMA Negeri Yogyakarta:

“lha saya itu tidak punya waktu untuk cari-cari film yang lain mbak, ya kalau
mbak punya bisa saya pinjam. Kalau cari sendiri ya saya juga nggak tahu
dimana carinya, terus saya nggak ngerti cara nyetel alatnya gimana. Belum lagi
cuma 45 menit ngajar untuk nonton film yang 2 jam, tahu sendiri kan mbak
anak-anak itu kalau keluar kelas disuruh pindah ruangan audio-visual gimana,
masih guyonan dulu, jadi efektif waktu cuma setengah jam”

Dari pernyataan salah satu guru diatas bisa dilihat bagaimana guru

bersikap skeptis terhadap perkembangan pelajaran sejarah. Pendidikan sejarah-

pun selamanya akan bersifat konvensional jika guru sejarahnya malas untuk

menemukan cara-cara baru dalam mengajar. Kekuasaan Orde Baru telah

membentuk pandangan ini, mereka terbiasa dengan sikap menerima apa yang

harus diajarkan oleh pemerintah, dan tidak boleh memberi alternatif lain diluar

pengajaran yang ditetapkan tersebut. Paket-paket pengajaran menjadi alat-alat

propaganda dari birokrasi besar dengan misi dan kepentingannya.78

78
Mangunwijaya. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Rakyat. Yogyakarta: CV. Diandra
Primamitra Media, hal. 91.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  125

“Jangankan siswa, lha wong gurunya saja masih memperdebatkan berbagai versi.
Malah ketika forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah
mempertanyakan, apakah ketika banyak terbit buku putih ini dan itu malah
berdampak pada kebingungan siswa ? Saya tegas mengatakan, sejarah kan sesuatu
yang tidak final, ada hukumnya ketika ditemukan fakta dan bukti baru, yang lama
harus gugur ya kan.. Guru-guru harus memahami hal seperti itu. Karena para guru
telah terjebak status-quo tadi, pokoknya enggan berpikir lain. Saya memaklumi itu,
toh mereka adalah pekerja-pekerja teknis saja. Guru itu kan pekerja teknis ya,
jarang ada yang berupaya untuk mengadakan pembaharuan pada bidangnya. Jadi
ketika harus didistorsi seperti sekarang pun harus terima-terima sajalah. Bayangkan
saja, kita selama 32 tahun diindoktrinasi seperti itu, sehingga sudah menjadi dogma
ya.. Sejarah lalu didogmakan seperti itu. Sebagaimanapun itu, harus ada perubahan
narasi. Karena kehidupan berbangsa dan bernegara ini kedepan ini akan sangat
berbahaya, ketika dibalik itu tidak ada kejujuran. Pembantaian yang memakan
nyawa sekian ratus ribu dianggap biasa saja, ini sesuatu yang berbahaya menurut
saya. Ndak usah diutik-utik.. ndak usah dimunculkan lagi.. dengan pendekatan
HAM misalnya. Ini kan bahayanya ke depan, sesuatu yang kita lakukan kekerasan
apapun akan dianggap hal yang biasa,ketika peristiwa yang sebesar itu terjadi lagi,
toh juga nantinya dianggap biasa saja.”

Menanggapi guru yang yang memiliki resistensi cukup besar terhadap

institusi tempatnya mengajar seperti diatas, tentunya akan menarik saat bertanya

bagaimana posisinya dalam lembaga formal. Katanya, ternyata tidak semua guru

di Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta berani mengambil resiko untuk

memberi wacana alternatif tentang Tragedi Kemanusiaan 1965. Memang semua

dari mereka mengetahu adanya versi-versi lain di luar buku-buku teks resmi dari

Menteri Pendidikan Nasional. Namun hanya beberapa dari mereka yang mau

mengimplementasikannya dalam proses belajar di kelas.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  126

Saat mengadakan workshop tentang proses pembelajaran alternatif yang

diadakan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, salah satu guru dari Sekolah

Menengah Atas beragama di Yogyakarta mengatakan bahwa dia tidak mau

mengambil resiko karena mengambil jalan di luar yang ditentukan. Hal ini bisa

dilihat bahwa pelajaran sejarah masih sangat dikuasai oleh lembaga resmi

pemerintahan sehingga masih ada tingkat kekuasaan dan ketakutan bagi guru

sejarah. Namun, tambah guru di lain sekolah, pembatasan pelarangan buku tidak

bisa dilakukan lagi, karena kontroversi selalu bisa diakses oleh murid melalui

media sosial dan teknologi.

  Berbicara secara sempit, sekolah adalah lembaga total (total institution)

yang mengawasi kehidupan para ‘penghuninya’. Termasuk menurut Saya Sasaki

Shiraishi79 adalah pemisahan anak-anak ke dalam celah sosial dalam masyarakat.

Sebagai lembaga formal, sekolah jaman Orde Baru memberi pengajaran secara

indoktrinasi, doktrin-doktrin yang tertanam melingkupi nilai-nilai benar-salah,

hitam putih, bahkan penguasa-tertindas. Dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia,

Saya Sasakhi Shiraishi menempatkan sistem persekolahan sebagai kontinuitas

79
Saya Sasaki Shiraishi. 2009. Pahlawan-pahlawan Belia. Jakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  127

seluk beluk kekuasaan Orde Baru dan konsep bapak-anak pun dianalogikan di

Bab VI dalam buku itu sebagai guru yang harus dihormati muridnya.

Seperti dijelaskan di beberapa bab sebelumnya sebelumnya, Soeharto,

seperti yang terekam dalam otobiografinya, justru menganggap menteri-

menterinya sebagai anak-anaknya sendiri. Ia juga menggeser arti tut wuri

handayani Tjipto Mangunkusumo yang pada masanya adalah bentuk alternatif

dari pendidikan Belanda yang terlalu mengatur anak. Tut wuri handayani yang

semula adalah ‘membebaskan anak untuk berinisiatif’, oleh Suharto diartikan

“pengawasan anak-anak dari belakang”, yang menyiratkan adanya hukuman jika

berbuat kesalahan.

“Pengawasan dari belakang” ini, secara rumit dan unik, menciptakan

kesewenang-wenangan kekuasaan dengan “toleransi” dalam sebuah hubungan

keluarga negara untuk mempertebal kekuasaan. Shiraisi memang tak mengatakan

adanya kemungkinan rencana besar itu, namun ia menelusuri bahwa konsepsi

yang diturunkan oleh bapak kepada anak-anaknya, bisa sangat menyeluruh

menjadi sebuah wacana, yang kemudian bahkan diturunkan melalui pendidikan

resmi. Buku teks sekolah yang kemudian membentuk perkembangan anak-anak

Orde Baru dan apapun yang ada di dalamnya akan terekam dalam benak anak-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  128

anak selamanya. Kita bisa melihat bagaimana pelan-pelan tanpa disadari,

hegemoni Orde Baru telah membentuk konsep pemahaman terhadap sesuatu yang

mutlak jauh sejak masa awal sekolah. Mutlak dalam pendidikan selalu saja yang

namanya pendidikan terkait dengan politik karena semua apa yang dijalankan

tetap kebijakan politik, contohnya pencamtuman kata PKI dalam wacana

peristiwa G30S di buku ajar sejarah.

Sekolah selama ini telah menjadi agen dari kelas pengatur yang

menyebarkan pengetahuan dari kelas pengatur untuk memelihara dominasi yang

telah berlangsung dan tentu saja demi kepentingan kelas pengatur.80 Para

sejarawan mengatakan bahwa alur pendidikan sejarah di Indonesia adalah alur

yang satu arah, guru bicara dan murid mendengarkan. Jika guru mengijinkan,

murid baru boleh bicara. Murid biasanya jarang bertanya, apalagi bersikap kritis

karena ia akan dianggap mengacaukan situasi di kelas dan wajib dihukum. Pola

pendidikan seperti ini adalah sebuah simulasi politik di era Orde Baru yang sejak

kecil masyarakat Indonesia telah ditanamkan sebuah pola hidup yang

“membebek” mengikuti gurunya.

80
Tim Kerja Budaya. 2001. Majalah Kerja Kebudayaan. Jakarta, hal. 17.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  129

Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap sebagai bagian penting dari

perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah adanya

kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya keserakahan dan

kejahatan penindas tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat

untuk melawan. Para pendiri republik sejak menjadi aktivitas baik di atas maupun

bawah tanah menyadari sistem pendidikan kolonial sebenarnya bagian dari

penindasan. Karena itu pembebasan perlu juga dikembangkan dalam pendidikan

dasar. Pendidikan harusnya terbentuk bukanlah melalui transfer pengetahuan

apalagi pemaksaan doktrin.

5.2. Negosiasi dengan Institusi

Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada permasalahan ideologi. Ideologi

dalam pendidikan sejarah jama Orde Baru mempunyai konotasi paksaan. Jika

menggunakan teori Foucault, kekuasaan dalam pendidikan sejarah di Indonesia

dihadapkan pada proses stabilitas nasional dimana ada subordinasi antara

pemerintah yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dalam tulisan ini, lebih

menggaris-bawahi guru sejarah adalah subjek yang dikuasai secara sadar.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  130

Guru dihadapkan pada suatu pilihan tentang materi apa saja yang akan

diajarkan. Situasi tersebut tidak lepas oleh bentuk perijinan penggunaan materi-

materi alternatif oleh pihak lembaga persekolahan. Pada sub-bab sebelumnya

ditulis bahwa guru mempunyai otonomi besar dalam menentukan materi

pengajaran. Namun saat dihadapkan oleh situasi tersebut, apa benar guru sejarah

mempunyai cukup keberanian untuk melakukan perubahan-perubahan ideologi

yang sebelumnya selama berpuluh-puluh tahun ditetapkan oleh negara.

Praksis pendidikan Orde Baru telah membatasi guru sejarah untuk

membawa angin demokrasi dalam pembelajaran Tragedi Kemanusiaan 1965.

Setelah Reformasi 98, ideologi yang terindoktrinasi dalam wacana sejarah

tersebut masih mengambang – apakah jika guru ingin menggunakan versi-versi

alternatif mereka harus meminta ijin kepada pihak sekolah? Atau, apakah benar,

guru sepenuhnya diberi kebebasan dalam menentukan materi pembelajaran? Salah

satu guru sejarah dari SMA nasional berkata:

“versi Orde Baru pada saat itu masih kita ajarkan 100%, sesuai buku putih itu.
Kalaupun kita punya versi lain, resikonya memang cukup besar, waktu Orde Baru
kita semua nggak berani, karena bisa-bisa ada teguran dari pihak sekolah itu juga.”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  131

Artinya pada saat itu tidak ada negosiasi untuk menggunakan wacana lain

dalam Orde mengajar pelajaran sejarah karena ada bentuk pengawasan dari phak

sekolah. Berbeda dengan apa yang terjadi setelah jatuhnya Soeharto, dari semua

guru yang diwawancara mengatakan mereka tidak perlu bernegosiasi dengan

pihak sekolah jika ingin menggunakan wacana alternatif. Namun seperti yang

disebutkan diatas, ada atau tidaknya negosiasi, sebagian guru sejarah terlalu malas

untuk memberi wacana alternatif pada para peserta didiknya. Tidak sepenuhnya

salah saat mereka masih menggunakan versi sejarah Orde Baru dalam buku teks,

tapi hendaknya diberi alternatif lain sebagai pendukung bahan ajar. Ada bahaya di

balik penggunaan buku teks tunggal karena akan menciptakan batasan. Apa yang

tertulis dalam buku teks tersebut adalah apa yang tertanam pada ide mereka.

Negosiasi dalam pengajaran wacana kontroversial seperti Tragedi

Kemanusiaan memang tidak sepenuhnya tampak secara konkret dan eksplisit.

Guru, sehebat apapun dia akan tetap pada batasan-batasan yang menunjukkan

ketidakmampuannya dalam mengajar sejarah secara berimbang.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  132

BAB VI

KESIMPULAN

Dalam perjalanannya wacana Tragedi Kemanusiaan 1965 banyak

mengalami perubahan. Mulai dari saat rejim Orde Baru sampai setelah Reformasi

98. Indoktrinasi secaa implisit dan eksplisit masih tetap berjalan dalam setiap

aspek, terutama pendidikan. Sejarah di sekolah hanya sebatas penghafalan nama

pahlawan, tanggal peristiwa dan tempatnya tanpa mengetahui makna dan aspek-

aspek di balik kejadian itu. Diperkeruh pula oleh pembungkaman versi alternatif

pemerintah secara sepihak, termasuk penarikan buku-buku teks sejarah

Kurikulum 2004. Ada apa dengan bentuk pengajaran sejarah di sekolah tentang

wacana kontroversial tersebut pada masa Orde Baru? Yang ada dalam benak kita

saat menjawab pertanyaan itu adalah pelarangan buku-buku teks sejarah yang

tidak mencantumkan kata PKI di belakang G30S. Pemerintah yang otoriter pada

saat itu melarang beredarnya buku yang dianggap tidak resmi dan mengganggu

stabilitas nasional. Buku teks yang digunakan saat Orde Baru sangat sarat politik

dengan mendiskreditkan Partai Komunis Indonesia. Selepas Reformasi 98


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  133

meskipun ada perubahan pada buku-buku teks, ternyata masih juga tidak bisa

meninggalkan versi lama buku resmi yang ditetapkan pemerintah Orde Baru.

Terjadi kebingungan dalam proses belajar mengajar di sekolah karena bahan ajar

tidak stabil. Disini guru sejarah memegang peranan penting dalam penentuan

penggunaan bahan ajar di sekolah. Sebagian besar hasil wawancara menunjukkan

bahwa mereka masih menggunakan buku teks resmi dan hanya dua guru sejarah

dari enam yang menggunakan buku alternatif.

Jatuhnya rezim Orde Baru menyulut sebagian dari masyarakat untuk

menyelidiki lebih lanjut tentang kebenaran cerita dari sisi lain peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965. Banyak lembaga dan institusi yang mulai mengeluarkan

versi-versi alternatif dari Tragedi Kemanusiaan 1965. Beberapa dari mereka

membuat film dokumenter dan buku yang menyediakan sisi lain dari wacana

sejarah yang telah ada. Media dan bahan diskusi baru yang bermunculan ini

‘menantang’ untuk sekolah dan guru sejarah agar lebih terbuka akan interpretasi

sejarah dari sisi lain. Dengan memakai metode pemutaran film dokumenter

sejarah, berjudul 40 Years of Silence, dan mempunyai sudut pandang yang

berbeda dengan versi dari rezim Orde Baru, penulis menemukan bahwa sejarah

alternatif juga tidak sepenuhnya mendapat tempat dalam pengajaran sejarah di


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  134

sekolah. Memang sebagian dari mereka melihat bahwa media populer adalah

metode yang interaktif dan komunikatif untuk pengajaran sejarah. Tetapi beberapa

guru melihat kendala teknis menjadi permasalahan utama, sehingga mereka

enggan untuk menyajikannya.

Guru sejarah harus berani untuk menyajikan bahan-bahan kontroversi dan

mengajak siswa-siswinya berpikir secara kritis dalam melihat berbagai versi

sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965. Penelitian ini melihat sampai sejauh mana

guru sejarah mau untuk mempertimbangkan memakai narasi sejarah alternatif

dalam metode pengajaran mereka. Harapan dari penelitian ini juga membantu

membuka perspektif baru untuk guru dan sekolah dalam memahami wacana

Tragedi Kemanusiaan 1965, dan selanjutnya akan memberi harapan bagi para

murid untuk lebih kritis dalam memahami sejarah dari Indonesia.

Penulis berharap penelitian ini mempunyai kontribusi yang besar bagi

penelitian sejarah di masa mendatang, terutama pada pendidikan sejarah.

Penggunaan media alternatif dalam proses belajar-mengajar adalah tujuan utama

penelitian. Penulis berharap adanya bentuk penyajian buku teks sejarah yang kritis

dan adanya perubahan kurikulum sejarah dalam penelitian selanjutnya. Penyajian


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  135

sejarah alternatif dalam pengajaran sejarah oleh guru hendaknya melibatkan para

peserta didik secara aktif, sehingga proses ajar di ruang kelas bersifat dialogis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi,

Makalah Kongres Nasional Sejarah.

Achdian, Andi. Menuju Masyarakat Sadar Sejarah. Buku Teks Sejarah:

Kontroversi Penarikannya oleh Kejaksaan Agung di onghokham-

institute.blogspot.com/2007/10/buku-teks-sejarahkontroversi.html. Akses

terakhir: Oktober 2007.

Achidsti, Sayfa Auliya. Kekerasan Pasca 1965 dan Proyek Pengaburan Sejarah

“Formal”. Dari situs www.indoprogress.com/kekerasan-pasca-1965-dan-

proyek-pengkaburan-sejarah-formal/. Akses terakhir 20 Agustus 2013.

Adam, Asvi Warman. 1997. Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru dalam Buku

Panggung Sejarah.

Adam, Asvi Warman. 2004. Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  136

Alisjabahna, Armina S. 2008. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan.

Bandung. 2000. Dalam Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan

Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit

Ombak.

Apple, Michel W. 1979. Ideology and Curriculum, Chapter 2: Ideology and

Cultural and Economic Reproduction. New York: Routledge & Kegan

Paul.

Arendt, Hannah. 1959. The Human Condition. New York.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.

Bourdieu, Pierre. 1977. Outline Theory of Practice. London: Cambridge

University Press.

Bourdieu, Pierre. 1990. Habitus and Pratices. California: Standford University

Press.

Bourdieu. Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of

Taste.Terjemahan oleh Richard Nice. Harvard Universtity Press.

Cribb, Robert. 1990. The Indonesian Killings of 1965-66: Studies from Java and

Bali. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  137

Foucault, Michel. 1977. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. London:

Penguin Books.

Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Yogyakarta: Logung

Pustaka.

Grenfell, Michael dan David James.1998. Bourdieu and Education: Acts of

Practical Theory. London: Farmer Press.

Haryatmoko. Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan. Majalah Basis Nomor 01-

02, Tahun ke 51, Januari-Februari. 2002.

Haryono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif.

Heryanto, Ariel. 2001. Teror Negara: Tentang Politik dan Batuk-Batuk Lagi

dalam buku Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif

Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://historia.co.id/?d=703. 17 Maret 2011.

http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.indonesia.ppi-india/12775.

Akses terakhir: 4 Juli 2005.

Irawanto, Budi. (www.budiirawanto.multiply.com), 5 Oktober 2008.

Kartodirjo, Sartono. Kompas, 26 September 1998, yang dikutip di buku Strategi

Pembelajaran Sejarah. 2001. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  138

Kristanto, Dedy. (Politik) Ingatan Pekerja Kemanusiaan: Trauma dan Identitas

Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam

Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor

Leste. Tesis. 2012. Magister Ilmu Religi dan Budaya. Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma.

Langeberg. Michael Van. Gestapu and State Power in Indonesia.

Magniz-Suseno, Franz. 1993. Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad Ke-Sembilan

Belas. Jakarta: Sekolah Tinggi Driyarkara.

Mangunwijaya. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Rakyat. Yogyakarta: CV.

Diandra Primamitra Media.

McGregor, Katherine. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi

Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.

Mulder, Niels. 2000. Individu, Masyarakat, dan Sejarah:Kajian Kritis Buku-Buku

Sekolah di Indonesia (Bagian 2), Yogyakarta: Kanisius.

Mustopo, Habib, dkk. 2002. Sejarah SMA Kelas XII Program IPS Kelas 3.

Yudhistira.

Pambudi, A. 2011. Antara Fakta dan Rekayasa. Jakarta: PT. Buku Seru.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  139

Andre Irshanto, Bagus. Kajian Buku Teks berjudul Mendekonstruksi Historiografi

Buku Teks SMP dan SMA Pada Masa Orde Baru. Yogyakarta.

Pozzoloni. 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book.

Purnama, Albert Satria. 2011. Mengapa Saya benci Kata PKI? Dalam Demi Masa

Depan, Kumpulan Esai Anak Muda Indonesia tentang Tragedi

Kemanusiaan 1965-1969.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesianis. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Riyadi, Sugeng. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Roosa, John, Ayu Ratih, Hilmar Farid. 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir,

Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Lisan. Jakarta: ELSAM.

Shiraishi, Saya Sasaki. 2009. Pahlawan-pahlawan Belia. Jakarta.

Shor, Ira & Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKIS.

Sitepu, Bintang Petrus. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Soetrisno, Slamet. 2003. Kontruksi dan Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Media

Pressindo.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  140

Sturmer, Michael. 2001. Problematika Pengajaran Sejarah.

Sulistyo, Basuki. 1995. Bibliografi Pengajaran Sejarah. Jakarta: CV Dwi Karya.

Tilaar, H. A. R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dan Perspektif

Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera. Magelang.

Tilaar, H.A.R. 2005. Kekuasaan dan Pendidikan.

Tim Kerja Budaya. 2001. Majalah Kerja Kebudayaan. Jakarta.

Tsabitazinarahmad. Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, yang diunggah

tanggal 2 April, 2012 jam 12:49.

Wardaya, Baskara. T. 2010. Tentang Perlunya Penulisan Sejarah Alternatif.

Yogyakarta.

Waridah Q, Siti dan J. Sukardi. 1996. Penunjang: Sejarah Nasional Indonesia &

Dunia. Yogyakarta.

Widja, I. G. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera

Pustaka Utama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
  141

LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI

Anda mungkin juga menyukai