Terdapat dua operasi utama yang berlaku pada himpunan bilangan bulat yakni
operasi penjumlahan (+) dan operasi perkalian (⋅) dimana kedua operasi tersebut
bersifat tertutup pada himpunan bilangan bulat yakni untuk setiap , ∈ ℤ berlaku
+ ∈ ℤ dan ⋅ ∈ ℤ. Bila tidak ada kerancuan, kita menggunakan penulisan
untuk menyatakan ⋅ . Berikut adalah sifat operasi penjumlahan dan perkalian
pada himpunan bilangan bulat yang sudah kita kenal. Untuk setiap , , " ∈ ℤ,
berlaku
a. + = + dan = (sifat komutatif);
b. ( + ) + " = + ( + ") dan ( )" = ( ") (sifat asosiatif);
c. ( + ") = + " dan ( + )" = " + " (sifat distributif);
d. + 0 = = 0 + dan 1 = = 1 (unsur identitas)
dimana 0 dinamakan unsur identitas terhadap penjumlahan (unsur nol) dan 1
dinamakan unsur identitas terhadap perkalian (unsur kesatuan);
e. untuk setiap ∈ ℤ, terdapat − ∈ ℤ sedemikian sehingga
+ (− ) = 0 = (− ) + (balikan/invers terhapat penjumlahan)
untuk menghindari anggapan adanya operasi ganda, kita menggunakan penulisan
− untuk menyatakan + (− ).
Adapun sifat lain pada bilangan bulat antara lain dipaparkan sebagai berikut.
Untuk setiap , ∈ ℤ, berlaku
a. = 0 jika dan hanya jika = 0 atau = 0;
b. −(− ) = , (− ) = − = (− ) , dan (− )(− ) = ;
c. < jika dan hanya jika + " < + " untuk setiap " ∈ ℤ;
d. < ⟹ 2 < 2 untuk setiap 2 ∈ ℕ.
2
Penulisan relasi < diartikan sebagai lebih kecil dari pada dan dapat juga
dituliskan sebagai > yang berarti lebih besar dari . Kita menuliskan ≤
untuk menyatakan < atau = . Nilai mutlak | | dari ∈ ℤ didefinisikan
sebagai jika ≥ 0 dan − jika < 0. Berikut adalah aksioma dasar yang berlaku
pada himpunan bagian dari ℕ.
Aksioma 1.1 : Prinsip Terurut Rapi (Well Ordering Principle). Setiap himpunan
bagian tak kosong 6 dari ℕ senantiasa memiliki unsur terkecil, yakni terdapat
suatu unsur ∈ 6 sehingga ≤ " untuk setiap " ∈ 6.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pembagian bukanlah operasi pada ℤ. Ketika
menyatakan pembagian pada himpunan bilangan bulat, kita akan menggunakan
operasi perkalian dan penjumlahan. Contoh, 40 = 13 ⋅ 3 + 1 dapat diartikan
sebagai 40 dibagi 3 mempunyai hasil 13 dan sisa 1. Secara umum, kita memiliki
teorema berikut.
3
Pembuktian untuk kasus kedua untuk < 0 mengikuti bukti kasus pertama
dengan penggantian oleh − > 0 untuk memperoleh pasangan tunggal bilangan
bulat 9 ∗ dan : sehingga = 9 ∗ (− ) + : dengan 0 ≤ : < − . Pengambilan 9 = −9 ∗
akan mendapatkan hasil = 9 + : dengan 0 ≤ : < − dan ketunggalan pasangan
(9, :) mengikuti ketunggalan pasangan bulat (9 ∗ , :). ∎
Definisi 1.3. Diberikan bilangan bulat E dan > dengan E ≠ 0. Kita katakan E
membagi > atau E faktor dari >, ditulis E|> jika terdapat F ∈ ℤ sehingga > = FE.
Dalam hal E tidak membagi >, kita tuliskan sebagai E ∤ >.
Definisi 1.5. Bilangan bulat taknol " dikatakan pembagi sekutu bagi dan jika 2|
dan 2| . Dalam hal dan tidak keduanya nol maka bilangan terbesar 2 diantara
semua pembagi sekutu bagi dan dinamakan pembagi sekutu terbesar dan
dituliskan sebagai 2 = ( , ).
Berikut disajikan algoritma euclid untuk menghitung pembagi sekutu terbesar dari
suatu bilangan bulat.
4
= 9A : + :A , 0 ≤ :A < : ,
: = 9K :A + :K , 0 ≤ :K < :A ,
⋮
:MNA = 9MOA :M + :MOA , 0 ≤ :K < :A ,
dimana proses berhenti hingga :MOA = 0. Bilangan sisa taknol terakhir merupakan
pembagi sekutu terbesar dari dan , yakni :M = ( , ).
Sebagai contoh, untuk menghitung pembagi sekutu terbesar dari 518 dan −364
kita dapat menerapkan algoritma euclide sebagai berikut.
518 = (−1)(−364) + 154,
−364 = (−3)(154) + 98,
154 = (1)(98) + 56,
98 = (1)(56) + 42,
56 = (1)(42) + 14,
42 = (3)(14) + 0.
Dengan penerapan algoritma euclid, kita mendapatkan hasil (518, −364) = 14.
Konsekuensi dari Teorema 1.6 dapat dituangkan secara umum dalam teorema
berikut.
Definisi 1.9. Dua bilangan bulat dan dikatakan relatif prima jika ( , ) = 1.
Teorema 1.10. Jika | " dan relatif prima terhadap maka |".
Definisi 1.11. Bilangan bulat " dikatakan kelipatan sekutu bagi dan jika |" dan
|". Bilangan bulat positif terkecil F diantara semua kelipatan sekutu bagi dan
dinamakan kelipatan sekutu terkecil dan dituliskan sebagai F = S , T.
Definisi 1.13. Bilangan bulat U dikatakan prima jika U tepat memiliki empat
pembagi yakni ±1 dan ±U.
5
bilangan prima jika dan hanya jika −U prima. Jika U dan 9 keduanya prima dan
U|9 maka U = ±9. Lebih jauh, jika U prima dan ∈ ℤ maka (U, ) = U atau (U, ) =
1. Sebagai contoh, −3,3,5 − 17 adalah prima. Bilangan 6 bukan prima karena
pembaginya adalah ±1, ±2, ±3 dan ±6. Bilangan 1 juga bukan prima karena
pembaginya hanyalah ±1.
Teorema 1.14. Bilangan bulat U ≠ 0, ±1 merupakan bilangan prima jika dan hanya
jika berlaku kondisi : U| mengakibatkan U| atau U| untuk suatu bilngan bulat
taknol ≠ .
Teorema 1.15 : Teorema Dasar Aritmatika. Setiap bilangan bulat yang lebih besar
1 dapat dituliskan sebagai hasil perkalian bilangan-bilangan prima positif
(diperbolehkan hanya satu faktor). Lebih jauh, jika penulisan tersebut dilakukan
dengan dua cara maka perbedaan diantara kedua cara tersebut hanya terletak pada
urutan faktor-faktor prima.
Definisi 1.16. Diberikan bilangan bulat , , > dengan > > 1. Bilangan dikatakan
kongruen dengan modulo >, ditulis ≡ (mod >), jika dan memiliki sisa
yang sama ketika dibagi >.
Teorema 1.18. Misalkan > suatu bilangan bulat positif. Untuk setiap , , ", 2 ∈ ℤ
berlaku
a. ≡ (mod >);
b. jika ≡ (mod >) maka ≡ (mod >);
c. jika ≡ (mod >) dan ≡ " (mod >) maka ≡ " (mod >);
d. ≡ (mod >) jika dan hanya jika + " ≡ + " (mod >);
e. ≡ (mod >) jika dan hanya jika − " ≡ − " (mod >);
f. jika ≡ (mod >) maka " ≡ " (mod >).
g. jika ≡ (mod >) dan " ≡ 2 (mod >) maka + " ≡ + 2 (mod >),
− " ≡ − 2 (mod >) dan " ≡ 2 (mod >).
Sifat a,b dan c pada Teorema 1.18 mengatakan bahwa kongruensi modulo berturut-
turut bersifat refleksif, simetris dan transitif. Ini berarti kongruensi modulo >
6
merupakan suatu relasi ekivalen sehingga dapat mempartisi himpunan ℤ menjadi
> kelas ekivalen. Sebagai contoh kongruensi modulo 3 akan mempartisi ℤ menjadi
3 kelas ekivalen yakni
S0T = ∈ ℤ | ≡ 0 (mod 3) = 3F | F ∈ ℤ ,
S1T = ∈ ℤ | ≡ 1 (mod 3) = 3F + 1 | F ∈ ℤ ,
S2T = ∈ ℤ | ≡ 2 (mod 3) = 3F + 2 | F ∈ ℤ .
Terlihat bahwa kelas ekivalen S0T, S1T dan S2T masing-masing beranggotakan semua
bilangan bulat yang bersisa 0, 1 dan 2 ketika dibagi 3. Himpunan bilangan bulat
kongruensi modulo 3, kita notasikan dengan ℤH dimana ℤH = 0,1,2 . Unsur 0, 1,
dan 2 di ℤH berturut-turut merupakan representasi kelas ekivalen S0T, S1T dan S2T.
Kardinalitas dari himpunan ℤH adalah 3 namun representasi dari setiap unsurnya
tak berhingga banyaknya. Sebagai contoh unsur 2, −1, −7, −100,5,20 ∈ ℤH dapat
direpresentasikan oleh setiap bilangan bulat yang bersisa 2 ketika dibagi 3
sehingga pada himpunan ℤH berlaku kesamaan
−100 = −7 = −1 = 2 = 5 = 20.
Perlu diperhatikan perbedaan antara himpunan ℤH dan 3ℤ. Himpunan ℤH = 0,1,2
sedangkan 3ℤ = 3F | F ∈ ℤ . Kardinalitas dari ℤH adalah 3 sedangkan kardinalitas
dari 3ℤ adalah tak berhingga. Secara umum, kita tuliskan himpunan
ℤ\ = 0,1,2, … , > − 1
dan
>ℤ = >F | F ∈ ℤ .
Misalkan 6 adalah suatu himpunan tak kosong dan ] suatu subhimpunan tak
kosong dari hasil kali cartesius 6 × 6. Secara umum, kita katakan bahwa ] adalah
relasi pada 6.
6 = 6A ∪ 6K ∪ ⋯ ∪ 6\ dan 6b ∩ 6c = ∅, untuk e ≠ f.
7
2. Teorema Lagrange
Pada bagian ini, kita akan bekerja dengan 6 yang tidak hanya berupa himpunan,
tetapi juga mempunyai struktur grup.
Misalkan i suatu grup. Misalkan pula j adalah subgrup dari i dan k adalah unsur
identitas di i.
NA
Karena j subgrup dari i maka k ∈ j. Lebih lanjut, = k ∈ j. Akibatnya,
(2, 2) ∈ ], yakni ] bersifat refleksif.
8
Soal 3: Untuk suatu unsur m ∈ i, dan j ≤ i didefinisikan
j = n |n ∈j .
Buktikan bahwa S T = j .
Jawab.
Perhatikan bahwa S T ≔ ∈ i | ( , ) ∈ ] = ∈ i | NA ∈ j .
Ambil sembarang o ∈ S T. Ini berarti, o NA ∈ j sehingga ada unsur n ∈ j,
o NA = n ⟺ o = n ∈ j .
Karena o sembarang yang diambil maka S T ⊆ j .
NA
Karena adalah unsur pada suatu grup i maka memiliki invers yakni .
Ambil sembarang 2, f ∈ j sehingga 2 = f. Diperoleh,
r(2) = 2 = f = r(f).
Terbukti bahwa r well define.
9
Terbukti bahwa r surjektif.
Kesimpulan r merupakan pemetaan bijektif (korespondensi satu-satu) sehingga
terbukti bahwa |j| = |j |
Dengan yang sama, kita juga mendefinisikan koset kiri j. Hasil serupa juga
diperoleh untuk koset kiri yakni | j| = |j| = |j |
10
9 = ℎK = ℎK (F NA ℎ ) = (ℎA F NA ℎ) ∈ j , yakni j ⊂j . Dengan
demikian, j = j .
c. Misalkan , ∈ i sehingga j = j . Karena = k maka ∈ j = j . Ini
berarti, ada ℎ ∈ j sehingga = ℎ . Diperoleh NA = ℎ ∈ j.
Teorema Lagrange : Jika i adalah grup berhingga dan j adalah subgrup dari i
maka ∘ (j) membagi ∘ (i).
Bukti :
Perhatikan bahwa himpunan semua koset kanan dari j dalam i membentuk
partisi. Dari soal 4, setiap koset kanan memiliki anggota sama banyak yakni
sebanyak |j|. Dari soal 5, setiap koset kanan senantiasa lepas atau sama, padahal
banyaknya koset kanan j dalam i adalah |i ∶ j|. Ini berarti, |i| = |i ∶ j||j| yang
membuktikan bahwa ∘ (j) membagi ∘ (i).
Sebagai penerapan dari Teorema Lagrange, suatu grup berorde 6 hanya sapat
mempunyai subgrup berorde 1, 2, 3, atau 6. Contoh pada grup (ℤ| , +). Terlihat
bahwa ∘ (ℤ| ) = 6. Grup ℤ| mempunyai 4 subgrup antara lain jA = 0 , jK =
0,2,4 , jH = 0,3 dan j} = 0,1,2,3,4,5 = ℤ| terlihat keempat orde dari subgrup
masing-masing membagi orde grup ℤ| .
11