Anda di halaman 1dari 10

1.

Struktur Bilangan Bulat

Bagian ini memperkenalkan sifat-sifat bilangan bulat yang nantinya diperumum


atau diabstrasikan sebagai suatu struktur aljabar. Pembuktian sebagian besar
pernyataan terkait sifat tersebut tidak disajikan dalam modul ini dan pembaca
dapat mempelajarinya pada mata kuliah Teori Bilangan. Sebelumnya kita perke-
nalkan beberapa simbol himpunan bilangan antara lain : himpunan bilangan asli
ℕ = 1,2,3, … , himpunan bilangan cacah ℕ = 0,1,2, … , himpunan bilangan bulat
ℤ = 0, ±1, ±2, ±3, … , himpunan bilangan rasional ℚ = | ∈ ℤ dan ∈ ℕ dan
himpunan bilangan real ℝ. Lebih lanjut, hubungan kelima himpunan tersebut
adalah ℕ ⊂ ℕ ⊂ ℤ ⊂ ℚ ⊂ ℝ.

1.1. Operasi dan Relasi pada Himpunan Bilangan Bulat

Terdapat dua operasi utama yang berlaku pada himpunan bilangan bulat yakni
operasi penjumlahan (+) dan operasi perkalian (⋅) dimana kedua operasi tersebut
bersifat tertutup pada himpunan bilangan bulat yakni untuk setiap , ∈ ℤ berlaku
+ ∈ ℤ dan ⋅ ∈ ℤ. Bila tidak ada kerancuan, kita menggunakan penulisan
untuk menyatakan ⋅ . Berikut adalah sifat operasi penjumlahan dan perkalian
pada himpunan bilangan bulat yang sudah kita kenal. Untuk setiap , , " ∈ ℤ,
berlaku
a. + = + dan = (sifat komutatif);
b. ( + ) + " = + ( + ") dan ( )" = ( ") (sifat asosiatif);
c. ( + ") = + " dan ( + )" = " + " (sifat distributif);
d. + 0 = = 0 + dan 1 = = 1 (unsur identitas)
dimana 0 dinamakan unsur identitas terhadap penjumlahan (unsur nol) dan 1
dinamakan unsur identitas terhadap perkalian (unsur kesatuan);
e. untuk setiap ∈ ℤ, terdapat − ∈ ℤ sedemikian sehingga
+ (− ) = 0 = (− ) + (balikan/invers terhapat penjumlahan)
untuk menghindari anggapan adanya operasi ganda, kita menggunakan penulisan
− untuk menyatakan + (− ).

Adapun sifat lain pada bilangan bulat antara lain dipaparkan sebagai berikut.
Untuk setiap , ∈ ℤ, berlaku
a. = 0 jika dan hanya jika = 0 atau = 0;
b. −(− ) = , (− ) = − = (− ) , dan (− )(− ) = ;
c. < jika dan hanya jika + " < + " untuk setiap " ∈ ℤ;
d. < ⟹ 2 < 2 untuk setiap 2 ∈ ℕ.

2
Penulisan relasi < diartikan sebagai lebih kecil dari pada dan dapat juga
dituliskan sebagai > yang berarti lebih besar dari . Kita menuliskan ≤
untuk menyatakan < atau = . Nilai mutlak | | dari ∈ ℤ didefinisikan
sebagai jika ≥ 0 dan − jika < 0. Berikut adalah aksioma dasar yang berlaku
pada himpunan bagian dari ℕ.

Aksioma 1.1 : Prinsip Terurut Rapi (Well Ordering Principle). Setiap himpunan
bagian tak kosong 6 dari ℕ senantiasa memiliki unsur terkecil, yakni terdapat
suatu unsur ∈ 6 sehingga ≤ " untuk setiap " ∈ 6.

1.2. Keterbagian bilangan bulat

Hal yang perlu diperhatikan adalah pembagian bukanlah operasi pada ℤ. Ketika
menyatakan pembagian pada himpunan bilangan bulat, kita akan menggunakan
operasi perkalian dan penjumlahan. Contoh, 40 = 13 ⋅ 3 + 1 dapat diartikan
sebagai 40 dibagi 3 mempunyai hasil 13 dan sisa 1. Secara umum, kita memiliki
teorema berikut.

Teorema 1.2 : Algoritma Pembagian. Jika , ∈ ℤ dengan ≠ 0 maka ter-dapat


dengan tunggal pasangan bilangan bulat (9, :) sedemikian sehingga
= 9 + : dengan 0 ≤ : < | |.
Contoh, 100 = (14)7 + (2)
100 = (−14)(−7) + (2).
−100 = (−15)(7) + (5).

Bukti. Kasus pertama untuk > 0. Pandang himpunan


6 = − > | > ∈ ℤ = , ± , ± 2 , ± 3 ,… .
Pemilihan > = −| | menghasilkan − > = − (−| |) = ( + | |) ≥ 0. Ini
berarti, himpunan 6 memuat unsur tak negatif sehingga himpunan ? = 6 ∩ ℕ
merupakan himpunan bagian tak kosong dari ℕ . Menurut Aksioma 1.1,
himpunan ? memiliki unsur terkecil : yang berbentuk : = − 9 ≥ 0 untuk suatu
9 ∈ ℤ sehingga diperoleh = 9 + : dengan : ≥ 0. Andaikan : ≥ . Diperoleh, 0 ≤
: − = ( − 9) − = − (9 + 1) yakni : − ∈ ?. Tetapi, : − < : yang
bertentangan dengan fakta bahwa : adalah unsur terkecil di ?. Jadi, terbukti
bahwa 0 ≤ : < . Terakhir, kita tunjukkan ketunggalan pasa-ngan (9, :) yang
memenuhi = 9 + : dengan 0 ≤ : < . Misalkan = 9 + : = 9A + :A dengan
0 ≤ : < dan 0 ≤ :A < . Diperoleh 0 ≤ |: − :A | < dan
: − :A = ( − 9) − ( − 9A ) = (9A − 9) .
Andaikan 9A ≠ 9. Ini berarti, |9A − 9| ≥ 1 sehingga
|: − :A | = |9A − 9| ≥ 1 =
yang bertentangan dengan fakta bahwa |: − :A | < . Jadi haruslah 9A = 9 yang
mengakibatkan : − :A = 0 ⇔ :A = :.

3
Pembuktian untuk kasus kedua untuk < 0 mengikuti bukti kasus pertama
dengan penggantian oleh − > 0 untuk memperoleh pasangan tunggal bilangan
bulat 9 ∗ dan : sehingga = 9 ∗ (− ) + : dengan 0 ≤ : < − . Pengambilan 9 = −9 ∗
akan mendapatkan hasil = 9 + : dengan 0 ≤ : < − dan ketunggalan pasangan
(9, :) mengikuti ketunggalan pasangan bulat (9 ∗ , :). ∎

Definisi 1.3. Diberikan bilangan bulat E dan > dengan E ≠ 0. Kita katakan E
membagi > atau E faktor dari >, ditulis E|> jika terdapat F ∈ ℤ sehingga > = FE.
Dalam hal E tidak membagi >, kita tuliskan sebagai E ∤ >.

Contoh : 3|(−42) karena ada −14 ∈ ℤ sehingga −42 = (−14) ⋅ 3 dan 3 ∤ 10


A
karena persamaan 10 = F ⋅ 3 hanya dipenuhi oleh bilangan F = H
∉ ℤ.

Teorema 1.4. Misalkan , , " ∈ ℤ.


a. Jika | dan |" maka |".
b. Jika | dan |" maka |F + J" untuk setiap F, J ∈ ℤ.
c. Jika | dan | maka = ± .
d. Jika | dan ≠ 0 maka | | ≤ | |

Definisi 1.5. Bilangan bulat taknol " dikatakan pembagi sekutu bagi dan jika 2|
dan 2| . Dalam hal dan tidak keduanya nol maka bilangan terbesar 2 diantara
semua pembagi sekutu bagi dan dinamakan pembagi sekutu terbesar dan
dituliskan sebagai 2 = ( , ).

Berdasarkan definisi tersebut, cukup jelas bahwasanya ( , ) ≥ 1 dan


( , ) = ( , ) = (− , ) = ( , − ) = (− , − ).
Selain itu, jika 2 = ( , ) maka 2 dapat dibagi oleh semua pembagi sekutu bagi
dan . Pembagi sekutu terbesar dari dua bilangan bulat dapat dituliskan sebagai
kombinasi linier dari kedua bilangan tersebut seperti dalam teorema berikut.

Teorema 1.6. Jika 2 = ( , ) maka terdapat bilangan bilangan bulat F dan J


sehingga 2 = F + J . Lebih lanjut, 2 merupakan unsur positif terkecil dari
himpunan F + J | F, J ∈ ℤ .

Berikut disajikan algoritma euclid untuk menghitung pembagi sekutu terbesar dari
suatu bilangan bulat.

Teorema 1.7 : Algoritma Euclid. Diberikan bilangan bulat dan dengan ≠ 0.


Jika | maka ( , ) = | |. Jika ∤ , penerapan algoritma pembagian secara ber-
ulang sebagai berikut
=9 +: , 0<: < ,

4
= 9A : + :A , 0 ≤ :A < : ,
: = 9K :A + :K , 0 ≤ :K < :A ,

:MNA = 9MOA :M + :MOA , 0 ≤ :K < :A ,
dimana proses berhenti hingga :MOA = 0. Bilangan sisa taknol terakhir merupakan
pembagi sekutu terbesar dari dan , yakni :M = ( , ).

Sebagai contoh, untuk menghitung pembagi sekutu terbesar dari 518 dan −364
kita dapat menerapkan algoritma euclide sebagai berikut.
518 = (−1)(−364) + 154,
−364 = (−3)(154) + 98,
154 = (1)(98) + 56,
98 = (1)(56) + 42,
56 = (1)(42) + 14,
42 = (3)(14) + 0.
Dengan penerapan algoritma euclid, kita mendapatkan hasil (518, −364) = 14.

Konsekuensi dari Teorema 1.6 dapat dituangkan secara umum dalam teorema
berikut.

Teorema 1.8. Diberikan bilangan bulat dan dengan ≠ 0. Jika = 9 + : maka


( , ) = ( , :).

Definisi 1.9. Dua bilangan bulat dan dikatakan relatif prima jika ( , ) = 1.

Teorema 1.10. Jika | " dan relatif prima terhadap maka |".

Definisi 1.11. Bilangan bulat " dikatakan kelipatan sekutu bagi dan jika |" dan
|". Bilangan bulat positif terkecil F diantara semua kelipatan sekutu bagi dan
dinamakan kelipatan sekutu terkecil dan dituliskan sebagai F = S , T.

Teorema 1.12. Diberikan dua bilngan bukat taknol dan .


a. Jika E > 0 maka SE , E T = ES , T.
b. S , T ⋅ ( , ) = | |.

1.3. Bilangan Prima

Definisi 1.13. Bilangan bulat U dikatakan prima jika U tepat memiliki empat
pembagi yakni ±1 dan ±U.

Tidak begitu sulit untuk menunjukkan bahwa terdapat takberhingga banyak


bilangan prima berbeda. Berdasarkan definisi 1.13, terlihat bahwa U adalah

5
bilangan prima jika dan hanya jika −U prima. Jika U dan 9 keduanya prima dan
U|9 maka U = ±9. Lebih jauh, jika U prima dan ∈ ℤ maka (U, ) = U atau (U, ) =
1. Sebagai contoh, −3,3,5 − 17 adalah prima. Bilangan 6 bukan prima karena
pembaginya adalah ±1, ±2, ±3 dan ±6. Bilangan 1 juga bukan prima karena
pembaginya hanyalah ±1.

Teorema 1.14. Bilangan bulat U ≠ 0, ±1 merupakan bilangan prima jika dan hanya
jika berlaku kondisi : U| mengakibatkan U| atau U| untuk suatu bilngan bulat
taknol ≠ .

Teorema 1.15 : Teorema Dasar Aritmatika. Setiap bilangan bulat yang lebih besar
1 dapat dituliskan sebagai hasil perkalian bilangan-bilangan prima positif
(diperbolehkan hanya satu faktor). Lebih jauh, jika penulisan tersebut dilakukan
dengan dua cara maka perbedaan diantara kedua cara tersebut hanya terletak pada
urutan faktor-faktor prima.

1.4. Aritmatika Modular

Definisi 1.16. Diberikan bilangan bulat , , > dengan > > 1. Bilangan dikatakan
kongruen dengan modulo >, ditulis ≡ (mod >), jika dan memiliki sisa
yang sama ketika dibagi >.

Sebagai contoh : −17 ≡ 32 (mod 7) karena


−17 = (−3)(7) + W dan 32 = (4)(7) + W.
−17 =X 32.

Teorema 1.17. Jika , , > ∈ ℤ dengan > > 0 maka


≡ (mod >) jika dan hanya jika >|( − ).

Teorema 1.18. Misalkan > suatu bilangan bulat positif. Untuk setiap , , ", 2 ∈ ℤ
berlaku
a. ≡ (mod >);
b. jika ≡ (mod >) maka ≡ (mod >);
c. jika ≡ (mod >) dan ≡ " (mod >) maka ≡ " (mod >);
d. ≡ (mod >) jika dan hanya jika + " ≡ + " (mod >);
e. ≡ (mod >) jika dan hanya jika − " ≡ − " (mod >);
f. jika ≡ (mod >) maka " ≡ " (mod >).
g. jika ≡ (mod >) dan " ≡ 2 (mod >) maka + " ≡ + 2 (mod >),
− " ≡ − 2 (mod >) dan " ≡ 2 (mod >).

Sifat a,b dan c pada Teorema 1.18 mengatakan bahwa kongruensi modulo berturut-
turut bersifat refleksif, simetris dan transitif. Ini berarti kongruensi modulo >

6
merupakan suatu relasi ekivalen sehingga dapat mempartisi himpunan ℤ menjadi
> kelas ekivalen. Sebagai contoh kongruensi modulo 3 akan mempartisi ℤ menjadi
3 kelas ekivalen yakni
S0T = ∈ ℤ | ≡ 0 (mod 3) = 3F | F ∈ ℤ ,
S1T = ∈ ℤ | ≡ 1 (mod 3) = 3F + 1 | F ∈ ℤ ,
S2T = ∈ ℤ | ≡ 2 (mod 3) = 3F + 2 | F ∈ ℤ .
Terlihat bahwa kelas ekivalen S0T, S1T dan S2T masing-masing beranggotakan semua
bilangan bulat yang bersisa 0, 1 dan 2 ketika dibagi 3. Himpunan bilangan bulat
kongruensi modulo 3, kita notasikan dengan ℤH dimana ℤH = 0,1,2 . Unsur 0, 1,
dan 2 di ℤH berturut-turut merupakan representasi kelas ekivalen S0T, S1T dan S2T.
Kardinalitas dari himpunan ℤH adalah 3 namun representasi dari setiap unsurnya
tak berhingga banyaknya. Sebagai contoh unsur 2, −1, −7, −100,5,20 ∈ ℤH dapat
direpresentasikan oleh setiap bilangan bulat yang bersisa 2 ketika dibagi 3
sehingga pada himpunan ℤH berlaku kesamaan
−100 = −7 = −1 = 2 = 5 = 20.
Perlu diperhatikan perbedaan antara himpunan ℤH dan 3ℤ. Himpunan ℤH = 0,1,2
sedangkan 3ℤ = 3F | F ∈ ℤ . Kardinalitas dari ℤH adalah 3 sedangkan kardinalitas
dari 3ℤ adalah tak berhingga. Secara umum, kita tuliskan himpunan
ℤ\ = 0,1,2, … , > − 1
dan
>ℤ = >F | F ∈ ℤ .

1.5. Relasi Ekivalen

Misalkan 6 adalah suatu himpunan tak kosong dan ] suatu subhimpunan tak
kosong dari hasil kali cartesius 6 × 6. Secara umum, kita katakan bahwa ] adalah
relasi pada 6.

Relasi ] dinamakan relasi ekivalen pada 6 jika memenuhi tiga sifat

1. Refleksif : ] atau ( , ) ∈ ] untuk setiap ∈ 6.


2. Simetris : jika ( , ) ∈ ] maka ( , ) ∈ ] untuk setiap , ∈ 6.
3. Transitif : jika ( , ), ( , ") ∈ ] maka ( , ") ∈ ] untuk setiap , , " ∈ 6.

Suatu koleksi _ = 6A , 6K , … , 6\ dimana 6A , 6K , … , 6\ ⊂ 6 dinamakan partisi dari 6


jika

6 = 6A ∪ 6K ∪ ⋯ ∪ 6\ dan 6b ∩ 6c = ∅, untuk e ≠ f.

Teorema. Misalkan ] adalah relasi ekivalen pada 6. Untuk setiap g ∈ 6,


definisikan SfT ≔ 2 ∈ 6 | (2, f) ∈ ] . Koleksi _ = SfT | 2 ∈ 6 adal;ah suatu
partisi di 6.

7
2. Teorema Lagrange

Pada bagian ini, kita akan bekerja dengan 6 yang tidak hanya berupa himpunan,
tetapi juga mempunyai struktur grup.

Misalkan i suatu grup. Misalkan pula j adalah subgrup dari i dan k adalah unsur
identitas di i.

Catatan : secara default, operasi pada i bersifat multiplikatif (perkalian)


sedangakan untuk aditif nantinya menyesuaikan
gl (multiplikatif)  g + l (aditif)
l NA (multiplikatif)  −l (aditif)
gl NA (multiplikatif)  g + (−l) (aditif)
g \ (multiplikatif)  >g (aditif)

Akan dibentuk suatu relasi ] pada grup i.


Definisikan relasi ] pada i dengan aturan
(2, f) ∈ ] jika 2f NA ∈ j.
Akan dibuktikan bahwa ] adalah relasi ekivalen.
Ambil sembarang 2, E, f ∈ i.

NA
Karena j subgrup dari i maka k ∈ j. Lebih lanjut, = k ∈ j. Akibatnya,
(2, 2) ∈ ], yakni ] bersifat refleksif.

Misalkan (2, f) ∈ ]. Ini berarti, 2f NA ∈ j. Karena j subgrup dari i maka


(2f NA )NA ∈ j. Tetapi, f2NA = (f NA )NA 2NA = (2f NA )NA ∈ j yakni (f, 2) ∈ j. Jadi, ]
bersifat simetris.

Misalkan (2, E), (E, f) ∈ ]. Ini berarti, 2ENA , Ef NA ∈ j. Diperoleh,


2f NA = 2kf NA = 2(ENA E)f NA = (2ENA )(Ef NA ).
Karena 2ENA , Ef NA ∈ j dan j adalah subgrup dari i maka
2f NA = (2ENA )(Ef NA ) ∈ j, yakni j bersifat transitif.

Kesimpulan ] merupakan relasi ekivalen.∎

Karena ] suatu relasi ekivalen di i maka koleksi _ = S2T | 2 ∈ i merupakan


partisi dari grup i.

8
Soal 3: Untuk suatu unsur m ∈ i, dan j ≤ i didefinisikan
j = n |n ∈j .
Buktikan bahwa S T = j .

Jawab.
Perhatikan bahwa S T ≔ ∈ i | ( , ) ∈ ] = ∈ i | NA ∈ j .
Ambil sembarang o ∈ S T. Ini berarti, o NA ∈ j sehingga ada unsur n ∈ j,
o NA = n ⟺ o = n ∈ j .
Karena o sembarang yang diambil maka S T ⊆ j .

Ambil sembarang 9 ∈ j . Ini berarti, ada unsur : ∈ j sehingga 9 = : . Kalikan


kedua ruas dengan NA untuk mendapatkan
: = 9 NA ∈ S T.
Karena 9 sembarang yang diambil maka j ⊆ S T.
Terbukti bahwa S T = j .

Kita telah memperlihatkan bahwa kelas-kelas ekivalen untuk relasi ] berbentuk


j . Kelas ekivalen j dinamakan koset kanan dari j dalam i.

6 suatu himpunan, |6| = >(6).

Soal 4: Misalkan j ≤ i. Buktikan bahwa |j | = |j|.


Jawab.
Definisikan pemetaan r ∶ j → j dimana r(n) = n , ∀n ∈ j
Dibuktikan bahwa r well defined (terdefinisi dengan baik).

NA
Karena adalah unsur pada suatu grup i maka memiliki invers yakni .
Ambil sembarang 2, f ∈ j sehingga 2 = f. Diperoleh,
r(2) = 2 = f = r(f).
Terbukti bahwa r well define.

Dibuktikan bahwa r satu-satu (injektif).


Ambil sembarang U, 9 ∈ j sehingga r(U) = r(9).
Diperoleh, r(U) = r(9) ⟺ U = 9
Diperoleh,
U = U( NA ) = (U ) NA = (9 ) NA = 9( NA )
= 9.
Terbukti bahwa r injektif.

Dibuktikan bahwa r surjektif.


Ambil sembarang l ∈ j . Ini berarti, ada unsur g ∈ j sehingga l = g . Lebih
lanjut, g = l NA . Diperoleh hasil
r(g) = g = l.

9
Terbukti bahwa r surjektif.
Kesimpulan r merupakan pemetaan bijektif (korespondensi satu-satu) sehingga
terbukti bahwa |j| = |j |

Dengan yang sama, kita juga mendefinisikan koset kiri j. Hasil serupa juga
diperoleh untuk koset kiri yakni | j| = |j| = |j |

Definisi : Misalkan j adalah subgrup dari i. Indeks j di i, ditulis Si ∶ jT


didefinisikan sebagai banyaknya koset kanan (koset kiri) dari j dalam i.

Contoh : Pandang grup (ℤ, +). Ambil j = 2ℤ = 2F | F ∈ ℤ . Koset kanan dari j


dalam ℤ hanyalah j dan j + 1. Dalam bahasa lain, 2ℤ dan 2ℤ + 1
Ini berarti indeks 2ℤ dalam ℤ adalah Sℤ ∶ 2ℤT = 2.

Soal 5 : Misalkan j subgrup dari i.


a. i adalah gabungan dari semua koset kanan j dalam i, yakni
i = v jm.
w∈x
b. Dua koset kanan j dalam i senantiasa sama atau saling lepas,
j ∩j ≠∅⟺j =j .
c. Untuk setiap , ∈ i, j = j ⟺ NA ∈ j.
Jawab.
a. Karena j subgrup dari i maka k ∈ j. Ambil sembarang o ∈ ⋃w∈x jm. Ini
berarti, ada unsur ∈ i sehingga o ∈ j . Lebih lanjut, ada ℎ ∈ j sehingga
o = ℎ . Karena ℎ, ∈ i maka o = ℎ ∈ i. Terbukti bahwa
v jm ⊂ i.
w∈x
Sebaliknya, ambil sembarang n ∈ i. Karena k ∈ j maka n = kn ∈ jn ⊂
⋃w∈x jm. Terbukti bahwa
i ⊂ v jm.
w∈x
Dengan demikian, disimpulkan bahwa
i = v jm.
w∈x
b. Ambil sembarang , ∈ i. Jika j ∩ j = ∅ (keduanya saling lepas) maka
bukti selesai. Asumsikan bahwa j ∩ j ≠ ∅. Ini berarti, ada n ∈ j dan
n ∈ j . Akibatnya, ada ℎ, F ∈ j sehingga
ℎ = n = F ⟺ = ℎNA F ⟺ = F NA ℎ .
Ambil sembrang U ∈ j . Ini berarti, terdapat ℎA ∈ j sehingga
U = ℎA = ℎA (ℎNA F ) = (ℎA ℎNA F) ∈ j , yakni j ⊂ j .
Ambil sembrang 9 ∈ j . Ini berarti, terdapat ℎK ∈ j sehingga

10
9 = ℎK = ℎK (F NA ℎ ) = (ℎA F NA ℎ) ∈ j , yakni j ⊂j . Dengan
demikian, j = j .
c. Misalkan , ∈ i sehingga j = j . Karena = k maka ∈ j = j . Ini
berarti, ada ℎ ∈ j sehingga = ℎ . Diperoleh NA = ℎ ∈ j.

∘ (i) : orde dari i (banyaknya anggota dari grup i)

Teorema Lagrange : Jika i adalah grup berhingga dan j adalah subgrup dari i
maka ∘ (j) membagi ∘ (i).
Bukti :
Perhatikan bahwa himpunan semua koset kanan dari j dalam i membentuk
partisi. Dari soal 4, setiap koset kanan memiliki anggota sama banyak yakni
sebanyak |j|. Dari soal 5, setiap koset kanan senantiasa lepas atau sama, padahal
banyaknya koset kanan j dalam i adalah |i ∶ j|. Ini berarti, |i| = |i ∶ j||j| yang
membuktikan bahwa ∘ (j) membagi ∘ (i).

Sebagai penerapan dari Teorema Lagrange, suatu grup berorde 6 hanya sapat
mempunyai subgrup berorde 1, 2, 3, atau 6. Contoh pada grup (ℤ| , +). Terlihat
bahwa ∘ (ℤ| ) = 6. Grup ℤ| mempunyai 4 subgrup antara lain jA = 0 , jK =
0,2,4 , jH = 0,3 dan j} = 0,1,2,3,4,5 = ℤ| terlihat keempat orde dari subgrup
masing-masing membagi orde grup ℤ| .

11

Anda mungkin juga menyukai