Anda di halaman 1dari 8

Nama : Lindawati

NIM : 1906104040030
Ruang : 06

Teuku Umar

Nama Lengkap :Teuku Umar


Agama :Islam
Tempat Lahir :Meulaboh
Anak :Cut Gambang
Istri :Nyak Malighai, Nyak Sofiah, Tjoet Njak Dhien

Salah satu dan sekian banyak pahlawan nasional yang patut diteladani di antaranya
yaitu Teuku Umar, seorang pahlawan pejuang melawan kolonialisme Belanda di Aceh yang
berlangsung sejak 1873 hingga menjelang masuknya Jepang di Indonesia tahun 1942.
Sedangkan perjuangan Teuku Umar berlangsung dari tahun 1875 - 1899.
Asal Usul Teuku Umar
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama
Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar
berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Makudum Sati. Salah seorang keturunan
Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh
seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan
Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu
kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang
kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas
Safwan: 1981 : 34). Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak
Dhin.
Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu
ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-
lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhin merupakan saudara
sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang
merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955
: 48). Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu, mereka
hanya mengenal nama masing-masing.
Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas.
Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam
perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan
di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di
kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh
kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan
orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain
sambil mencari pengalaman hidup dan berguru.
Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar
bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat. Jiwa
kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap
sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar baru
berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan
jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah
Daya Meulaboh.
Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang
Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang
menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya,
Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya
dari kekuasaan Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpin-
pemimpin lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan
mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang
diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang
yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang
cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya.
Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing
(Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan
kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orang- orang
yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun
1878, istrinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien menjanda, selalu
mendapat perhatian khusus dari Teuku Umar. Yang menarik baginya bukanlah kecantikannya
tetapi sifat keprajuritan yang ada dalam diri Cut Nyak Dhien. Ia mempunyai sifat keprajuritan,
disiplin, dan keras hati, serta mencintai kemerdekaan Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien
sangat tepat menjadi istri seorang pejuang. Dari sifat-sifat yang menarik hatinya itulah, diam-
diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak Dhien. Seperti kata pepatah, "gayung bersambut"
akhirnya cinta Umar dibalas dengan perasaan yang sama oleh Cut Nyak Dhien.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia membantu
perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan suaminya. Itulah yang
menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan senang hati, Umar melamar Cut
Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya melangsungkan upacara perkawinan di
Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 : 4). Dengan demikian, Umar telah menikah untuk
yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama
keturunan Uleebalang.
Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang
diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia harus
lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin pertempuran
melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya bahwa pada suatu saat
nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke rumahnya di Montasik, karena hak
milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali.
Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau
kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan tersenyum
dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada istrinya, bahwa engkau akan
menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim apabila Panglima Sagi yang sekarang
meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Peranan Teuku Umar Pada Permulaan Perang
Pada tahun 1871 Inggris dan Belanda bertemu dalam Traktat Sumatera. Dalam Traktat
tersebut disebutkan bahwa Belanda bebas bergerak dan mengadakan perluasan wilayah di
Aceh. Rakyat Aceh marah mengetahui perjanjian tersebut. Kemarahan itu sebenarnya sudah
lama terasa setelah melihat gelagat dan gerak-gerik Belanda di Sumatera yang merugikan
Aceh telah terbaca sejak tahun 1857. Pada tahun itu Belanda menduduki Siak yang merupakan
daerah taklukan Aceh. Setelah lahir Traktat Sumatra tahun 1871, rakyat Aceh semakin
meluap-luap marahnya.
Pada tanggal 5 April 1873, Belanda dengan kekuatan 3000 orang tentara menyerang
Kerajaan Aceh Darussalam dan berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Namun dapat
direbut kembali oleh pejuang Aceh setelah Panglima tentara Belanda Mayor Jenderal JHR.
Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh pada tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya JHR.
Kohler, penyerbuan tidak diteruskan. Seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh akhirnya
ditarik kembali. (Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 246).
Pada bulan Nopember tahun 1873 dikirimlah ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Van
Swieten dengan tentara sebanyak 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki Mesjid
Raya Baiturrahman. Sebelum Istana Raja oleh pasukan diserbu Belanda, Sultan dan seluruh
penghuninya telah diungsikan. Dalam pengungsiannya, Sultan terserang penyakit kolera dan
akhirnya meninggal. Para pengikutnya memindahkan tempat pengungsiannya sampai jauh ke
pedalaman Aceh Besar.
Dalam perangnya melawan gerilyawan Aceh, Belanda menggunakan strategi
menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Hal ini terjadi juga dengan adanya raja- raja
daerah pantai yang menyatakan tunduk pada Pemerintah Kolonial Belanda. (Sartono
Kartodirdjo, 1993 : 387).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah diadakan ofensif
dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri ke
daerah lain. Melihat tentara Aceh terus terdesak oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar
mulai bekerja keras. la menghubungi para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang
melawan Belanda. Umar juga menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan
tanah air dan tanah tumpah darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh
terhadap Tuhannya. Artinya, barang siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah,
maka orang itu akan mendapat hukuman dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu sebagai
karunia Tuhan kepada manusia yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya dan dilarang
orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh adalah untuk rakyat Aceh. Demikian
cara Teuku Umar menggugah semangat perjuangan para pemuda Aceh untuk
mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara demikian Teuku Umar berhasil merekrut
sejumlah besar tentara pejuang yang berani mati.
Nama Teuku Umar mulai menjadi buah bibir dan terkenal di seluruh lapisan
masyarakat. Di samping itu juga memberikan latihan-latihan perang gerilya kepada calon-
calon prajurit. la juga sibuk menghubungi para pemimpin rakyat lainnya untuk diajak
berunding mengatur siasat perjuangan. Ia menentukan satu orang saja yang akan
dijadikan pemimpin mereka dan kemudian menentukan pula waktu peperangan akan
dilancarkan.
Perundingan antara semua pemimpin perjuangan kemerdekaan itu sepakat untuk
mengangkat Nanta Setia sebagai pemimpin tertinggi perjuangan kemerdekaan. (Achmad
Effendi, 1975 : 28). Perang akan dikobarkan di daerah 6 Mukim dalam tahun 1873. Teuku
Umar yang waktu itu baru berumur 19 tahun, sebelum berangkat ke medan perang terlebih
dahulu berpamitan pada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya meneteskan air mata haru
bercampur bangga bahwa Teuku Umar telah berikrar bersama rakyat mengusir penjajah
Belanda di Aceh dan berjuang sampai titik darah penghabisan. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Pada waktu perang berkobar, prajurit-prajurit Aceh sangat bersemangat, walaupun
persenjataanya sangat sederhana dibandingkan dengan prajurit Belanda, namun mereka dapat
mendatangkan korban yang besar di pihak lawan. Kesemua itu dapat terjadi karena antara lain
disebabkan tentara Aceh mahir bertempur secara gerilya dan hidup di hutan belantara yang
sudah mereka kuasai medannya.
Berdasarkan pengalaman selama pertempuran itu Belanda kemudian menyadari bahwa
untuk dapat mengalahkan tentara Aceh, maka harus memiliki kemahiran bertempur dihutan
belantara dan mendatangkan bala bantuan dari Batavia lengkap dengan persenjataan serta
perlengkapan perang lainnya. (Mawarti Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
1992 : 427).
Setelah pasukannya diperkuat dan bala bantuan dari Batavia didatangkan, Belanda
dapat menimbulkan korban yang lebih besar di pihak Aceh. (Achmad Effendi, 1975 : 34).
Mulai saat itulah Aceh mengalami kekalahan besar, terlebih ketika Teuku Ibrahim Lamnga
gugur terbunuh oleh tentara Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di daerah Gunung Param.
(Ahmad Effendi, 1975 : 35). Jenasahnya dimakamkan di Montasik Aceh Besar. Seluruh
tentara Aceh berkabung akibat kematian Teuku Ibrahim Lamnga itu. Tetapi yang paling sedih
adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien.
Kekalahan tentara Aceh pada waktu itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir
keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu bagi perjuangan tentara Aceh
selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama kekalahan adalah di
bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena Belanda memiliki
senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang dimiliki
tentara Aceh.
Sehubungan dengan itu Teuku Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan
mempertahakan kemerdekaan, maka rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan
perbekalan yang banyak dan tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi
bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan peikiran Teuku Umar
setiap hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya,
Teuku Umar mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara itu kemudian
mendapat persetujuan dari para pemimpin yang hadir la telah menentukan suatu siasat, tetapi
siasat itu sifatnya sangat rahasia dan hanya pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang
boleh tahu.

Teuku Umar Memimpin Perlawanan Dengan Berbagai Siasat


Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu
berita mengenai Teuku Umar menyerahan diri dan memihak kepada Belanda. (Rusdi Sufi,
1994: 88). Rakyat Aceh marah dan banyak yang mengutuk sebagai pengkhianat diantara
mereka ada pula yang menghendaki agar Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri.
Sementara itu, Belanda sangat gembira menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan
menyerahnya Teuku Umar, Belanda berharap dapat dengan mudah menaklukkan seluruh
rakyat Aceh.
Setelah menyerahkan diri, maka Umar mendapat kepercayaan dari Belanda. la
diserahi tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan Belanda menumpas
perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku Umar adalah
melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan teknik perang gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam hatinya ia
memegang teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan para pemimpin pejuang
Aceh beberapa waktu sebelumnya.
Selesai melatih perang gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan memimpin
penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban jatuh
di kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya banyak yang
berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja mampu melawan serangan
tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan benteng pertahanannya. Apalagi
tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang melawan tentara Umar. Demikian juga
sebaliknya Umar juga berpura-pura menyerang Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda
gembira menyaksikan mundurnya tentara Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan
Umar, mereka dapat mematahkan seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat
hadiah besar berupa uang dan materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang
tentara Aceh yang dikirim secara rahasia.
Belanda mulai memikirkan cara baru untuk menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan
perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan dianggap tidak efisien. Jalan yang ditempuhnya itu
sering kali berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan Batavia. Pada umumnya ada
kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah makan banyak biaya.
Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh. Berdasarkan studi itu,
Snouck Hoergronje memberikan saran-saran kepada Pemerintah Belanda agar menggempur
semua pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga
keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 :
389). Strategi ini didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam
secara murni dan dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang
sabil melawan kaum kafir itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini berhasil menekan
perjuangan rakyat setelah strategi itu benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda. Bahkan pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam
pertempuran. Namun perlawanan tak Pernah berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi
pusing. Biaya perang membengkak menjadi $ 135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah
di Istana Buitenzorg mengangkat Deykerhooff menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk
mengamankan daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah menjadi Gubernur di Aceh
Deykerhooff berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang karena mereka
dipandang sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil mendorong
Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah adanya
maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah besar kepada
Teuku Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda. Di lain pihak Teuku Umar
sendiri merasa bahwa pertempuran ini dianggap sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena
itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita
agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi mengerjakan
sawah ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan diri
kepada Belanda.
Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur
Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya, setelah
mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh tersebut. Setelah
bersumpah setia Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar
Nederland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat tinggal seorang Panglima Besar serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil
di halaman depan rumah. Sejak saat itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang
Jenderal dengan beberapa buah bintang emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97). Tugas-tugas yang
harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh daerah Aceh.

Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi Teuku Umar. Tentara baru segera
didatangkan dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal perang yang kemudian dihimpun di
Uleulheu. Menurut Jenderal Vetter, Teuku Umar harus diberi hukuman yang berat karena
sangat merugikan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T.
Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak tinggal diam. la
menyusun kembali tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh komando dari perang Aceh mulai
tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien
dan Panglima Pang Laot. Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk
memerangi Belanda. Barulah pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang
oleh satu komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar.
Teuku Umar mengerti bahwa ia harus berjuang mati-matian melawan Van Heutsz,
musuh lamanya. Dalam maklumatnya Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya
memerangi Teuku Umar dan bukan rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang
didirikan dulu untuk Gubernemen, seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot
Rang dan Krueng Gelumpang diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar. Ultimatumnya
meminta segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi
tuntutan itu, maka pada tangga 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai
Panglima Perang Besar dan Gubernemen Hindia Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong.
Ultimatum Jenderal Vetter dan ancaman Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan
serbuan gencar sehingga perang berkobar lagi. Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan
lebih lengkap persenjataannya, maka barisan Aceh semakin menipis karena banyak yang
gugur dalam pertempuran. Dalam pada itu, Belanda terus menciptakan perangkap untuk
menangkap Teuku Umar. Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal karena Teuku Umar
juga ahli dalam siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar, maka Gubernur
Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut :
Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan,
Belanda belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar.
Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang sengit dan Leupong, dan usaha untuk
menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal sama sekali. Laporan Van Vliet ini memang
sesuai dengan kenyataan karena biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
tidak sesuai dengan hasil yang dicapai.
Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen pada awal tahun 1897, Belanda mengetahui
keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di Loong. Dan segera dikirim pasukan Belanda ke
sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat yang dituju, pasukan Umar telah
menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki pasukan Belanda dari tempat itu. Tentara
Belanda berusaha untuk merebut lereng bukit itu, tetapi tidak berhasil. Sewaktu akan mundur,
tentara Belanda kembali dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa tempat dipasangi ranjau
sehingga banyak meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap sehingga tentara
Belanda banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas. Walaupun akhirnya Loong
ditinggalkan juga oleh pasukan Teuku Umar, tetapi korban di pihak Belanda cukup besar.
Pada tahun 1898 Teuku Umar sebagai pimpinan perang Aceh membuat rencana peperangan di
Pedir. Secara garis besar rencana itu sebagai berikut :
1. Perang besar sedapat mungkin dihindarkan dengan tentara Belanda.
2. Laskar akan bergerak di seluruh barat dan barat daya Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki dan dikuasai untuk mengganggu
dan melawan Belanda.
4. Perlawanan dilakukan secara gerilya dan memukul musuh dalam keadaan mereka
lengah.
Gerakan Teuku Umar dalam memimpin pasukan sangat cepat dan ia tak dapat ditakuti
meriam-meriam Belanda yang dibawanya karena Umar dengan mudah dapat mundur ke
daerah pegunungan yang berhutan lebat. Dengan demikian, Teuku Umar dengan pasukan
Belanda main sembunyi-sembunyian dalam permainan dengan maut.
Pada saat yang genting Umar selalu mendapatkan bantuan dari istrinya Cut Nyak Dhien dan
pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka merintis jalan di hutan yang jarang dilalui manusia.
Demi keselamatan prajuritnya, Teuku Umar melarang anak buahnya mempergunakan api dan
senapan agar tidak kelihatan oleh musuh. (Hazil, 1955: 135).
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa
pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari
mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda
tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang
bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah
diketahui oleh Belanda
Setelah mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di
Meulaboh, Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat
diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11
Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh.
Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi
pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku
Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. (Muhammad Ibrahim et.al., 1991
: 121. Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat Teuku
Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku Umar agar
tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo
di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien sangat
bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan gugurnya suaminya
tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan
Belanda. Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang
oleh suaminya.

DAFTAR PUSTAKA
Dumandi,Sagimun Mulus.1983.Teuku Umar. Jakarta: PT Bhrata Karya Aksara.
Haldha,Ulfah.2010.Teuku Umar Seri Pahlwan Nasional.Jakarta : Bee Media Indonesia
Safwan,Mardanas.2007.Teuku Umar. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah
Nasio.

Anda mungkin juga menyukai