BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara
garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit
membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis.
Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya
seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat, 2006). Colitis ulseratif merupakan
salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak
seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal,
colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy
(Basson, 2011).
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-
12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus
per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut
adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap
decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada
Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang
African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki (Basson, 2011).
C. Etiopatogenesis
Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan,
disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat
badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif memiliki risiko
lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).
Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang
sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini
tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan
peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan,
meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial dapat
berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga meningkatkan permeabilitasnya
(Basson, 2011).
Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari
penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor
familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
1. Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam
dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap
perkembangan penyakit ini.
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus
untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha menemukan agen
bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian diisolasi. Laporan awal isolate
varian dinding sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan yang menghasilkan efek
sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa
manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis,
perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut,
seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui
mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat
dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2,
dimana pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim
bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya
stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah
dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang
membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat
merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara signifikan
pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis
ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta
menunjukkan risiko penyakit colitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan
dengan yang bukan perokok.
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,
makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri
telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi
spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen
atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal.
Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi
sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen
yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun
inisial melawan antigen luminal, yang tetap dan diperkuat karna kesamaan antara antigen
luminal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel
epithelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated
secara langsung.
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam pathogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM
yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif dihubungkan dengan meningktanya
produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan
antigen T-cell dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-
6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi makrofag di lamina
propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi
sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan
luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD
termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi
netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,
komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema (Ariestine, 2008).
1. Gejala Klinis
Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali
dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa
terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan
tanpa manifestasi sistemik.
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi
dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat
dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah
berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan
panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara
primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi,
hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa
sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia
relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari
penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya
dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya
keterlibatan kolon dan intensitas radang (Ariestine, 2008).
Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat distensi
abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik
umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan
dengan penyakit yang lebih berat (Ariestine, 2008).
Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :
2. Gambaran Laboratorium
3. Gambaran Radiologi
4. Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa
kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar /progresif ke
proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi colitis
ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side
colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan nanah.
Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa
yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah mukosa normal yang
menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau
konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif. Pemeriksaan
kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang
sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih
kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip
(Ariestine, 2008).
Berikut ini adalah perbedaan gambaran lesi endoskopik IBD pada colitis ulseratif
dengan Crohn’s Disease (Djojoningrat, 2006) :
5. Gambaran Histopatologi
Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari
colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran mikroskopiknya
berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang penderita dapat ditemukan gambaran
ketiga stadium dalam satu sediaan (Ariestine, 2008).
E. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih
ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya
faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok
rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik,
lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola
dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi
pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil
salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila
gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif
(seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab).
Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena
stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgikal (Djojodiningrat, 2006).
Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai efek
antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk menginduksi remisi
pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja
secara lokal pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik
menghambat sintesis prostaglandin.
Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis luas
pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada
pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson, 2011).
Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena histamin
terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural pada traktus
gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan dan mucus,
mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi,
stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta meningkatkan pembentukan kolagen.
Semua efek ini dimediasi melalui reseptor H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada
mukosa dan submukosa merupakan karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi colitis
ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan meningkatkan pengeluaran mediator sel mast
intestinal (Fogel, 2005).
Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan merupakan
faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik, dapat
mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses inflamasi
(WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada colitis ulseratif, serat yang insoluble (tinggi
serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah
seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa
dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi
kolon dan memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan
dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang bagus,
tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang
soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih
(Collitis UK, 2011).
F. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat,
terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis
ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya kanker
pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan Patogenesa.
Universitas Sumatera Utara - Fakultas Kedokteran Medan.
www.scribd.com/affannurrochman/d/40473357-Kolitis. Diakses tanggal 17 April 2012.
Jam 22.00 WIB.
Basson, Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 17 April 2012.
Jam 22.00 WIB.
Fauci, Anthony S., et all. 2009. Inflammatory Bowel Disease. Harrison’s Manual of Medicine 17th
Edition. Hal. 836-840. United States of America : Mc.Graw Hill.
Fogel, W.A., et all. 2005. The Role of Histamine in Experimental Ulcerative Colitis in Rats.
Inflammation Research Volume 54.
http://www.springerlink.com/content/h2341286554185w7/. Diakses tanggal 17 April
2012. Jam 22.00 WIB.