Anda di halaman 1dari 37

SOP

(Standar Operasional Prosedur)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Dinas Online

Mata Kuliah Keperawatan Maternitas

Dosen Pembimbing : Ns. Hanik Rohmah Irawati M. Kep,SP.Mat


Disusun Oleh :

Nama : Novelia Rahmawati


NIM : 11191068
Kelas : 12 B S1 Keperawatan

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PERTAMEDIKA
2021
SOP MENYIAPKAN IBU YANG AKAN DI LAKUKAN SC

A. Pengertian

Mobilisasi dini post sectio caesarea adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya

kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan

sectio caesarea.

A. Tujuan

1. Mempercepat penyembuhan luka

2. Mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene ibu dan bayi

3. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli

4. Mengurangi lama rawat di Rumah sakit

B. Indikasi

Pasien dengan post sectio caesarea

C. Persiapan Alat

Tidak ada

D. Persiapan Pasien

1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya

2. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien/ keluarga

3. Jelaskan tujuan tindakan kepada pasien / keluarga

4. Minta persetujuan pasien

5. Jaga privacy klien


E. Prosedur
1. Tahap pra interaksi

a. Menyiapkan SOP mobilisasi yang akan digunakan

b. Melihat data atau riwayat SC pasien

c. Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh perawat

d. Mengkaji kesiapan ibu untuk melakukan mobilisasi dini

e. Mencuci tangan

2. Tahap orientasi

a. Memberikan salam dan memperkenalkan diri

b. Menanyakan identitas pasien dan menyampaikan kontrak waktu

c. Menjelaskan tujuan dan prosedur

d. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien

3. Tahap kerja

Pada 6 jam pertama post SC

a. Menjaga privasi pasien

b. Mengatur posisi senyaman mungkin dan berikan lingkungan yang

tenang

c. Anjurkan pasien distraksi relaksasi nafas dalam dengan tarik nafas

perlahan-lahan lewat hidung dan keluarkan lewat mulut sambil

mengencangkan dinding perut sebanyak 3 kali kurang lebih selama 1

menit

d. Latihan gerak tangan, lakukan gerakan abduksi dan adduksi pada jari

tangan, lengan dan siku selama setengah menit


e. Tetap dalam posisi berbaring, kedua lengan diluruskan diatas kepala

dengan telapak tangan menghadap ke atas

f. Lakukan gerakan menarik keatas secara bergantian sebanyak 5-10 kali

g. Latihan gerak kaki yaitu dengan menggerakan abduksi dan adduksi,

rotasi pada seluruh bagian kaki

Pada 6-10 jam berikutnya

a. Latihan miring kanan dan kiri

a. Latihan dilakukan dengan miring kesalah satu bagian terlebih dahulu,

bagian lutut fleksi keduanya selama setengah menit, turunkan salah

satu kaki, anjurkan ibu berpegangan pada pelindung tempat tidur

dengan menarik badan kearah berlawanan kaki yang ditekuk. Tahan

selama 1 menit dan lakukan hal yang sama ke sisi yang lain

Pada 24 jam post SC

a. Posisikan semi fowler 30-400 secara perlahan selama 1-2 jam sambil

mengobservasi nadi, jika mengeluh pusing turunkan tempat tidur

secara perlahan

b. Bila tidak ada keluhan selama waktu yang ditentukan ubah posisi

pasien sampai posisi duduk

Pada hari ke 2 post SC

a. Lakukan latihan duduk secara mandiri jika tidak pusing, perlahan kaki

diturunkan Pada hari ke 3 post SC 1. Pasien duduk dan menurunkan

kaki kearah lantai


b. Jika pasien merasa kuat dibolehkan berdiri secara mandiri, atau

dengan posisi dipapah dengan kedua tangan pegangan pada perawat

atau keluarga, jika pasien tidak pusing dianjurkan untuk latihan

berjalan disekitar tempat tidur

F. Evaluasi dan Tindak Lanjut


1. Melakukan evaluasi tindakan

2. Menganjurkan klien untuk melakukan kembali setiap latihan dengan

pengawasan keluarga

3. Salam terapeutik dengan klien

4. Mencuci tangan

G. Dokumentasi
1. Dokumentasikan : nama klien, tanggal dan jam perekaman, dan respon

pasien

2. Paraf dan nama jelas dicantumkan pada catatan pasien

Sumber : Rismawati, 2015, Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Dini Untuk
Meningkatkan Kemandirian Pasien Post Sc Di Ruang Bougenvile Rsud Kebumen,
Diakses pada tanggal 12 JUNI 2021 dari :
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/486/1/DWI%20TINA%20RISMAWATI%20NIM.
%20A 01401881.pdf
Gerakan 6 jam pertama post sectio caesarea

Menggerakan pergelangan kaki ke depan kebelakang dan gerakan memutar


setelah itu memindahkan/ menggeser kaki dari posisi yang semula.

Gerakan 6 -10 jam pertama post sectiocaesarea

Ibu berlatih miring


kanan dan miring kiri
yang kemudian
dilanjutkan ibu berlatih
menyusui bayi dengan
posisi miring sama
seperti dengan gambar
disamping
Gerakan pada 24 jam pertama post sectio caesarea

Menganjurkan ibu
untuk duduk semi
fowler dan menyusui
bayi dengan posisi semi
fowler

Gerakan pada 2-5 hari post sectio caesarea

Mengajarkan ibu untuk latihan berjalan dan mengajarkan menyusui dengan


posisi duduk tegak.
SOP PERAWATAN LUKA

PENDAHULUAN
Kulit merupakan bagian tubuh paling luar yang berguna melindungi diri dari trauma luar
serta masuknya benda asing. Apabila kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka,
yaitu suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh, yang dapat menyebabkan
terganggunya fungsi tubuh sehingga dapat mengganggu aktifitas sehari-hari.

Melakukan perawatan luka post operasi dengan benar


Menyiapkan alat untuk melakukan perawatan luka dengan tepat
Memahami resiko dan konsekuensi dari prosedur  perawatan luka  tersebut

KONSEP DASAR
Buku ini berfokus pada peran perawat dalam pengkajian dan penatalaksanaan terhadap
luka bedah umum. Adanya infeksi pada luka setelah pembedahan merupakan masalah
yang serius bagi pasien. Masala serius ini terutama adanya komplikasi pada luka tersebut
baik komplikasi local maupun sistemik. Komplikasi loal diantaranya meliputi kerusakan
jaringan, septic trobopebitis, nyeri yang tidak sembuh-sembuh dan skar. Komplikasi
sistemik meliputi bakteremia, infeksi metastatic, syok, dan bahkan kematian. Berat
ringannya dari luka yang terinfeksi, tergantung dari lokasi dan kondisi infeksi yang
dialami. Apabia pencegahan infeksi ini tidak diperhatikan, tentu akan berdampak kerugian
yang akan dialami pasien.

KLASIFIKASI LUKA BEDAH


1.      Luka bersih
Luka operasi yang tidak terinfeksi, dimana tidak ditemukan adanya inflamasi dan tidak
ada infeksi saluran pernafasan, pencernaan, dan urogenital. Kondisi luka tertutup dan tidak
ada drainase.
2.      Luka bersih terkontaminasi
Luka operasi dimana berhubungan dengan saluran pernafasan, pencernaan, genital atau
bagian yang mengenai saluran kemih
3.      Luka terkontaminasi
Dalam luka pembedahan ditemukan peradangan non purulen
4.      Luka kotor atau terinfeksi
Luka yang terdapat pus, pervorasi visera, luka yang mengalami traumatic dan sudah lama
atau terinfeksi dari sumber lain

PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan semua cedera
jaringan lunak, baik luka ulseratif kronik, luka taumatis atau luka akibat tindakan bedah.
Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi dalam 4 fase :
1.      Inflamasi
2.      Fase distruktif
3.      Fase fase proliferasi
4.      Fase maturasi

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA


Factor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka dibagi menjadi dua factor, yaitu
sistemik dan factor local :
Faktor sistemik : usia, nutrisi, insufisiensi vascular, obat-obatan
Factor local : suplai darah, infeksi, nekrosis, adanya benda asing pada luka

PERAWATAN LUKA
Merupakan penanganan luka yang terdiri atas membersihkan luka, menutup, dan
membalut luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka.
Perawatan luka terdiri atas :
 Mengganti balutan kering
 Mengganti balutan basah dengan balutan kering
 Irigasi luka
 Perawatan dekubitus
 Tujuan perawatan luka :
 Menjaga luka dari trauma
 Imobilisasi luka
 Mencegah perdarahan
 Mencegah kontaminasi oleh kuman
 Mengabsorbsi drainase
 Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologi
 Indikasi perawatan luka :
 Balutan kotor dan basah akibat factor eksternal
 Ada rembesan eksudat
 Mengkaji keadaan luka
 Dengan frekuensi tertentu untuk mempercepat debridement jaringan nekrotik

1.      PEMBERSIHAN LUKA


Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang epat untuk membersihkan luka
dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa
menimbulkan cedera pada jaringan luka.
Membersihkan luka dengan lembut tetapi mantap akan membuang kontaminan yang
mungkin menjadi sumber infeksi. Namun, jika dilakukan dengan menggunakan kekuatan
yang berlebihan, dapat menimbulkan perdarahan atau cedera yang lebih lanjut.

Tujuan pembersihan luka adalah untuk mengeluarkan debris organic maupun anorganik
sebelum menggunakan balutan untuk mempertahankan lingkungan yang optimum pada
tempat luka untuk proses penyembuhan
Pendekatan yang berbeda diperlukan saat membersihkan luka bedah tertutup, yang pada
mulanya masih dalam keadaan “bersih”. Dalam hal ini, tindakan asepsis yang ketat
diperlukan sejak awal untuk mencegah infeksi luka secara endogenus maupun eksogenus.
Meskipun demikian, kalau ada infeksi luka, maka penyebabnya hamper selalu dapat
ditelusuri kembali pada sat pembedahan dilakukan.

Perawat membersihkan luka operasi atau traumatic dengan menggunakan cairan sitotoksik
yang diberikan melaului kassa steril atau melalui irigasi.
Prinsip penting yang harus diperhatikan perawat saat membersihkan luka insisi atau area
disekitar drain :
1. Bersihkan dari  arah area yang sedikit terkontaminasi, seperti dari luka atau
insisi ke kulit disekitarnya atau dari tempat drain ke kulit di sekitarnya
2. Gunakan friksi lembut saat menuangkan larutan ke kulit
3. Saat melakukan irigasi, biarkan larutan mengalir dari area yang kurang
terkontaminasi ke area yang paling terkontaminasi
4. Perawat tidak boleh menggunakan kassa yang sama, saat membersihkan insisi
atau luka untuk yang kedua kalinya
5. Untuk membersihkan area drain, perawat mengusap sekeliling drain dengan
gerakan memutar dari tempat yang terdekat dengan drain kearah luar

2.      BALUTAN
Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang penyembuhan luka.
Apabila balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka, maka balutan tersebut dapat
mengganggu penyembuhan luka. Pilihan jenis balutan dan metode pembalutan luka akan
mempengaruhi kemajuan penyembuhan luka.

Karakteristik balutan luka yang ideal :


1. Dapat menyerap drainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat
2. Tidak melekat
3. Impermeable terhadap bakteri
4. Mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada luka
5. Penyekat suhu
6. Non toksik dan non alergenik
7. Nyaman dan mudah disesuaikan
8. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut
9. Biaya ringan
 Awet
Pada luka operasi dengan penyembuhan primer, umumnya balutan dibuka segera setelah
drainase berhenti. Sebaliknya pada penyembuhan skunder, balutan dapat menjadi sarana
untuk memindahkan eksudat dan jaringan nekrotik secara mekanik.
Tujuan pembalutan :
1. Melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme
2. Membantu hemostasis
3. Mempercepat penyembuhan dengan cara menyerap drainase dan untuk
melakukan debridement luka
4. Menyangga atau mengencangkan tepi luka
5. Melindungi klien agar tidak melihat keadaan luka
6. Meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka
7. Mempertahankan kelembapan yang tinggi diantara luka dengan balutan
8. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat selama melakukan
prosedur penggantian balutan :
9. Perawat harus mencuci tangan sebelum dan sesudah perawatan luka
10. Perawat tidak boleh menyentuh luka terbuka atau luka baru secara langsung
tanpa menggunakan sarung tangan steril
11. Apabila luka ditutup, alutan dapat diganti tanpa menggunakan sarung tangan
12. Balutan pada luka tertutup harus diangkat atau diganti jika sudah terlihat
basah atau jika menunjukkan tanda dan gejala infeksi
Tipe balutan
……….
3.      MEMFIKSASI BALUTAN
Perawat dapat menggunakan plester, tali atau perban, atau balutan skunder dan pengikat
kain untuk memfiksasi balutan pada luka. Pilihannya tergantung dari ukuran luka,  lokasi,
ada tidaknya drainase, frekuensi penggantian balutan, dan tingkat aktifitas pasien.
Perawat paling sering menggunakan plester untukmemfiksasi balutan jika klien tidak
alergi terhadap plester.
Kulit yang sensitive terhadapplester perekat dapat mengalami inflamasi dan ekskoriasi
yang sangat berat dan bahkan dapat terlepas dari kulit ketika plester diangkat.

4.      CAIRAN YANG DIPERLUKAN


……………………………….

SOP

Kompetensi                 : Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan 


                                          pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman
Sub kompetensi           : perawatan Luka
Pengertian                    : membersihkan luka, mengobati luka, dan menutup kembali luka
dengan  
                                          tehnik steril
Tujuan                         : Untuk membersihkan luka
                                          Mencegah masuknya kuman dan kotoran kedalam luka
                                          Memberikan pengobatan pada luka
                                          Memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien
                                          Mengevaluasi tingkat kesembuhan luka
Indikasi                        : luka baru maupun luka lama, luka post operasi, luka bersih, luka
kotor

PROSEDUR
A.     MENGGANTI BALUTAN KERING
1.      Tahap pre interaksi
         Membaca catatan perawat untuk rencana perawatan luka
         Mencuci tangan
 Menyiapkan alat :
1.   Seperangkat set perawatan luka steril
2. Sarung tangan steril
3. Pinset 3 ( 2 anatomis, 1 sirurgis )
4. Gunting ( menyesuaikan kondisi luka )
5. Balutan kassa dan kassa steril
6. Kom untuk larutan antiseptic/larutan pembersih
7. Salp antiseptic  ( bila diperlukan )
8. Depress
9. Lidi kapas
10.   Larutan pembersih yang diresepkan ( garam fisiologis, betadin, …)
11.   Gunting perban / plester
12.   Sarung tangan sekali pakai
13.   Plester, pengikat, atau balutan sesuai kebutuhan
14.   Bengkok
15.   Perlak pengalas
16.   Kantong untuk sampah
17.   Korentang steril
18.   Alcohol 70%
19.   Troli / meja dorong

2.      Tahap orientasi


1. Memberikan salam, memanggil klien dengan namanya
2. Menjelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada klien / keluarga

3.      Tahap kerja


1. Memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya  sebelum kegiatan
dimulai
2. Susun semua peralatan yang diperlukan di troly dekat  pasien ( jangan
membuka peralatan steril dulu )
3. Letakkan bengkok di dekat pasien
4. Jaga privacy pasien, dengan menutup tirai yang ada di sekkitar pasien,  serta
pintu dan jendela
5. Mengatur posisi klien, instruksikan pada klien untuk tidak menyentuh area
luka atau peralatan steril
6. Mencuci tangan secara seksama
7. Pasang perlak pengalas
8. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau
balutan dengan pinset
9. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan
perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan. Jika masih terdapat
plester pada kulit, bersihkan dengan kapas alcohol
10. Dengan sarung tangan atau pinset, angkat balutan, pertahankan permukaan
kotor  jauh dari penglihatan klien
11. Jika balutan lengket  pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan steril /
NaCl
12. Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan
13. Buang balutan kotor pada bengkok
14. Lepas sarung tangan dan buang pada bengkok
15. Buka bak instrument  steril
16. Siapkan larutan yang akan digunakan
17. Kenakan sarung tangan steril
18. Inspeksi luka
19. Bersihkan luka dengan larutan antiseptic yang diresepkan atau larutan garam
fisiologis
20. Pegang kassa yang dibasahi larutan tersebut dengan pinset steril
21. Gunakan satu kassa untuk satu kali usapan
22. Bersihkan dari area kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
23. Gerakan dengan tekanan progresif menjauh dari insisi atau tepi luka
24. Gunakan kassa baru untuk mengeringkan luka atau insisi. Usap dengan cara
seperti di atas
25. Berikan salp antiseptic bila dipesankan / diresepkan, gunakan tehnik seperti
langkah pembersihan
26. Pasang kassa steril kering pada insisi atau luka
27. Gunakan plester di atas balutan,fiksasi dengan ikatan atau balutan
28. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempatnya
29. Bantu klien pada posisi yang nyaman

4.      Tahap terminasi


1. Mengevaluasi perasaan klien
2. Menyimpulkan hasil kegiatan
3. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan
5. Mencuci dan membereskan alat
6. Mencuci tangan

5.      Dokumentasi
1. Mencatat tanggal dan jam perawatan luka
2. Mencatat Kondisi luka
Pemasangan CTG : cardiotocography

(Kesejahteraan Janin)

1. Definisi CTG
CTG atau juga disebut Fetal Monitor merupakan salah satu alat elektronik
yang digunakan untuk melakukan pemantauan kesejahteraan dan kondisi
kesehatan janin.

1. Tujuan
1. Mendeteksi stress pada janin
2. Mendeteksi kegawatan pada janin (Golebiewski K, 2004).

3. Syarat Pemeriksaan CTG


a. Usia kehamilan mulai 28 minggu
b. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan)
c. Punktum maksimun denyut jantung janin (DJJ) diketahui
d. Prsedur pemasangan alat sesuai dengan petunjuk penggunaan

4. Indikasi
a. Ibu
1. Pre-eklampsia-eklampsia
2. Ketuban pecah
3. Diabetes melitus
4. Kehamilan 40 minggu
5. Vitium cordis
6. Asthma bronkhiale
7. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
8. Infeksi TORCH
9. Bekas SC
10. Induksi atau akselerasi persalinan
11. Persalinan preterm
12. Hipotensi
13. Perdarahan antepartum
14. Ibu perokok
15. Berusia lanjut (>35 tahun)
16. Untuk kehamilan beresiko rendah untuk memonitoring kesejahteraan
janin.
Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal,
penyakit paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid.

b. Janin
1. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
2. Gerakan janin berkurang
3. Suspek lilitan tali pusat
4. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin
5. Hidrops fetalis
6. Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
7. Mekoneum dalam cairan ketuban
8. Riwayat lahir mati
9. Kehamilan ganda

5. Pemeriksaan CTG penting dilakukan pada setiap ibu hamil pada usia
kehamilan 28 minggu untuk pemantauan kondisi janin terutama
dalam keadaan:
a. Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid,
penyakit infeksi kronis, dll)
b. Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth
Retriction)
c. Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
d. Polihidramnion (air ketuban berlebih)
5. Pemeriksaan CTG meliputi:
a. Hitungan Gerakan Janin
b. Penilaian Biofisikal
c. Gerakan pernafasan janin (fetal breathing movement – FBM)
d. Gerakan tubuh kasar
e. Tonus janin
f. Volume cairan amnion
6. Persiapan Pemeriksaan CTG
a. Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
b. Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
c. Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu
maupun bayi.
d. Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera
diberikan pertolongan yang sesuai.
e. Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

7. Persiapan Sebelum Tindakan


1. Persiapan alat dan Bahan
No Gambar Alat Nama Alat Fungsi
1. Untuk
menentukan
letak punkum
maksimum DJJ
(puncak jantung
Stetoskop Laennec /
janin)
Doppler
2. Untuk
mengetahui
Kertas CTG dan Mesin
CTG hasil

rekaman
pemeriksaan
CTG

3. Untuk mengikat
Cardiometer
Belt
dan Tokometer
4. Transduser Untuk
a. Cardiometer (harus mengetahui
diberi
jelly) Denyut Jantung
Janin

5. b. Tokometer (tidak Untuk


boleh diberi mendeteksi
jelly)
adanya refleks
gerak janin
6. Untuk
melindungi diri

Handscoon

7. Untuk
melumasi

Jelly Cardiometer
8. Untuk
membersihkan
Tissue/Kain lap
jelly

9. Untuk
Formulir CTG dekomuntasi
hasil CTG

2. Persiapan Pasien
a. Pasien berkemih terlebih dahulu
b. Tidur setengah duduk/duduk/tidur miring ke kiri

c. Perhatikan keamanan dan kenyamanan klien, bila haus atau lapar


harus minum atau makan terlebih dahulu; dan bila masih kecapaian,
istirahat beberapa waktu (sekitar 10 menit tirah baring)
3. Persiapan Perawat
a. Mencuci tangan sebelum dan setelah tindakan
b. Memakai handscoon

8. Prosedur
1. Persetujuan tindak medik (Informed Consent) :
a. Menjelaskan indikasi
b. Cara pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat.
c. Persetujuan tindak medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab
pasien (cukup persetujuan lisan).
2. Kosongkan kandung kencing.
3. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat janin, ibu
tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.

1. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan


punktum maksimum DJJ
2. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera
setelah kontraksi berakhir.
3. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus
uteri dan DJJ di daerah punktum maksimum.
4. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila
janin terasa bergerak, pencet bel yang telah
disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama
perekaman CTG.
5. Hidupkan komputer dan Cardiotocography.
6. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil
yang ingin dicapai).
7. Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
8. Matikan komputer dan mesin Cardiotocography. Bersihkan dan rapikan
kembali
9. Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
10. Berikan hasil rekaman CTG kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik membantu membacakan hasil interpretasi komputer secara
lengkap kepada dokter.
LAPORAN
CARDIOTOCOGRAPHY (CTG)

Data Pasien

Nama Pasien .........................................................................................


No. RM ..................................................................................................
Tanggal ..................................................................................................
Jam .........................................................................................................
Posisi pasien ..........................................................................................
Usia gestasi ............................................................................................
TD awal .................................................................................................
TD menit ke 15 ......................................................................................
Cara pantau ............................................................................................
Kecepatan kertas : 1 / 2 / 3 cm/menit
Periksa dalam : tidak dilakukan/dilakukan, dengan hasil
Diagnosis ibu : ................................................................................................
Diagnosis janin : ............................................................................................
Obat-obatan : .........................................................................................

Denyut Jantung Janin


a. Frekuensi dasar...................dpm,
b. Variabilitas : tidak ada / minimal (1-5 dpm) / moderat (5-25 dpm) /
meningkat (>25 dpm) akselerasi : ada / tidak ada,
c. Deselerasi : tidak ada / ada, jenisnya : dini / lambat / variabel /
prolonged, beratnya : ringan / sedang / berat.

d. Pola disfungsi SSP : tidak ada / ada,


yaitu : flat FHR / blunted patterns / unstable baseline / overshoot /
sinusoidal patterns / checkmark patterns

Kontraksi Uterus / His : Tidak ada / ada / ada his ;


Frekuensi : ……/ 10 menit

Kekuatan................mmhg
Lamanya................menit
Relaksasi : ………………
Konfigurasi : ……………
Tonus dasar....................mmhg
Gerak Janin : ……….. kali dalam menit

Diagnosis CTG : Katagori I / II / III +


……………………………………

SARAN :

CATATAN :

Laporan ini harus segera dibuat setelah pemeriksaan selesai dan disimpan dalam
status pasien. PPDS dan Bidan jaga harus MENANDATANGANI dan
mendiskusikan. Hasil pemeriksaan CTG tersebut dengan Dokter Penanggung Jawab
Pasien (DPJP).
PETUNJUK PENGISIAN
LAPORAN CTG

Nama pasien :

berisi nama pasien dan nomor rekam medik (minimal dua identitas).

Nomor RM :
nomor rekam medis sesuai dengan institusi pelayanan kesehatan
atau praktik pribadi dimana pemeriksaan CTG tersebut dilakukan.

Tanggal :
waktu saat dilakukan pemeriksaan CTG, ditulis secara berurutan
tanggal, bulan, dan tahun.
Jam :
waktu dimulainya pemeriksaan CTG, ditulis dalam
jam dan menit, misal jam 07.30.
Posisi pasien
posisi saat pemeriksaan CTG dilakukan, tidak boleh dalam
posisi terlentang, boleh setengah duduk, duduk, atau miring ke
kiri.

Usia gestasi
usia kehamilan berdasarkan CRL. Bila tidak ada CRL, maka
penentuan usia gestasi dapat berdasarkan diameter interserebellar,
DBP atau lingkar kepala.

TD awal
tekanan darah awal sebelum pemeriksaan CTG dimulai.

TD menit ke 15
tekanan darah pada menit ke 15 setelah pemeriksaan CTG berlangsung.

Cara pantau
cara pantau yang umum di lakukan di Indonesia adalah cara eksternal.

Kecepatan kertas
1/2/3 cm per menit : kecepatan kertas yang dipilih saat pemeriksaan,
di Indonesia memakai standar 1 cm/menit.

Periksa dalam
tidak dilakukan/dilakukan, dengan hasil : dilakukan atas indikasi obstetri
dan sebelum pemeriksaan CTG dimulai. Tuliskan secara lengkap hasil
periksa dalam tersebut. Jangan menekan kepala janin terlalu kuat atau
lama karena dapat menimbulkan deselerasi DJJ akibat kompresi kepala
yang berlebihan saat periksa dalam.

Diagnosis ibu
ditulis GPAH sesuai dengan riwayat obstetri dan berapa usia gestasi serta
apakah ada penyulit pada ibu. Contoh : G1P0A0 hamil 34 minggu dengan
preeklampsia berat.
Diagnosis janin
diagnosis janin berdasarkan jumlah, letak, presentasi dan penyulit yang
ada. Contoh : janin tunggal, hidup, presentasi bokong dengan
pertumbuhan janin terhambat.

Obat-obatan
dicatat semua obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan ini atau
sudah dimulai sejak sebelum kehamilan ini. Misalnya roboransia atau
anti agregasi trombosit.

Denyut jantung janin (DJJ)


denyut jantung janin yang dicatat selama satu menit penuh, nilai
normal 110 – 160 dpm (Freeman dkk, 2012).

Frekuensi dasar DJJ


frekuensi dasar DJJ yang dihitung pada daerah tanpa kontraksi uterus
dan tanpa gerak janin, minimal pada kurun waktu dua menit (lihat buku
acuan).

Variabilitas DJJ
perubahan DJJ dari frekuensi dasar pada daerah tanpa kontraksi
uterus dan tanpa gerak janin, minimal pada kurun waktu dua menit
(lihat buku acuan).
Akselerasi DJJ
kenaikan DJJ > 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ akibat
pengaruh kontraksi uterus atau gerak janin atau rangsang bel
vibroakustik.

Deselerasi DJJ
penurunan DJJ > 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ akibat pengaruh
kontraksi uterus atau gerak janin atau rangsang bel vibroakustik.

Pola disfungsi susunan saraf pusat (SSP)


kelainan SSP yang tampak pada pemeriksaan CTG dengan gambaran
rekaman CTG berbentuk flat (tidak ada variabilitas), tumpul, tidak
stabil, overshoot, sinusoidal, dan atau check mark.

Kontraksi uterus
kontraksi uterus yang timbul spontan atau akibat gerak janin atau akibat
stimulasi uterotonika atau stimulasi puting susu, yang dapat timbul hanya
sekali atau berulang kali. Penilaian kontraksi uterus dilakukan setiap 10
menit. Komponen yang dinilai adalah tonus dasar, amplitudo (kekuatan),
bentuk (konfigurasi), lama, jumlah/10 menit (frekuensi), dan relaksasi.

His
kontraksi uterus berulang dan teratur yang terjadi pada pasien inpartu.

Frekuensi
jumlah kontraksi uterus atau his dalam waktu setiap 10
menit pemeriksaan.

Kekuatan
kekuatan kontraksi uterus/his dalam mmHg

Lamanya
lama berlangsungnya kontraksi uterus/his dalam satuan waktu menit.
Relaksasi
bentuk hilangnya kontraksi uterus secara berangsur-angsur (normal)
atau patologi (lihat buku acuan).

Konfigurasi
bentuk atau konfigurasi kontraksi uterus/his, normalnya berbentuk
seperti bel yang simetris (bell shaped).
Tonus dasar
tekanan intra uterin pada saat tidak ada kontraksi uterus (normalnya 10 ±
2 mmHg) atau saat tidak ada his.

Gerak janin
jumlah gerak janin yang dihitung selama pemeriksaan CTG, baik secara
elektronik oleh mesin CTG atau secara manual oleh pasien dengan cara menekan
bel bila terasa gerakan janin.

Diagnosis CTG
diagnosis berdasarkan kriteria CTG (Katagori 1, 2, atau 3 : lihat pada
tulisan berikut di bawah ini atau buku acuan) beserta patologi yang
menyertainya. Misal : Katagori 3 dengan prolonged decelerations
berulang suspek ec insufisiensi uteroplasenta.

Saran : saran yang diberikan berdasarkan diagnosis CTG.

KATAGORI I : Pola DJJ Normal


1. Frekuensi dasar normal : 110 – 160 dpm
2. Variabilitas DJJ normal : moderat (5 – 25 dpm)
3. Tidak ada deselerasi lambat dan variabel
4. Tidak ada atau ada deselerasi dini
5. Ada atau tidak ada akselerasi

KATAGORI II : Pola DJJ


Ekuivokal Frekuensi
Dasar dan Variabilitas
1. Frekuensi dasar : Bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai hilangnya
variabilitas (absent variability)
2. Takhikardia (>160 dpm)
3. Variabilitas minimal (1 - 5 dpm)
4. Tidak ada variabilitas tanpa disertai deselerasi berulang
5. Variabilitas > 25 dpm (marked variability)
Perubahan Periodik
1. Tidak ada akselerasi DJJ setelah janin distimulasi
2. Deselerasi variabel berulang yang disertai variabilitas DJJ minimal atau
moderat
3. Deselerasi lama (prolonged deceleration) > 2 menit tetapi < 10 menit
4. Deselerasi lambat berulang disertai variabilitas DJJ moderat (moderate
baseline variability)
5. Deselerasi variabel disertai gambaran lainnya, misal kembalinya DJJ ke
frekuensi dasar lambat atau overshoot

KATAGORI III : Pola DJJ abnormal


Tidak ada variabilitas DJJ (absent FHR variability) disertai oleh :

1. Deselerasi lambat berulang


2. Deselerasi variabel berulang
3. Bradikardia
4. Pola sinusoid (sinusoidal pattern)
PENUNTUN BELAJAR FORMULIR
PEMERIKSAAN
CARDIOTOCOGRAPHY

A PERSETUJUAN TINDAK MEDIK (Konseling Pra Tindakan)

1 Sambut dan sapa klien (ucapkan salam), serta perkenalkan diri Anda.
2 Jelaskan apa yang akan dilakukan, apa yang akan dirasakan oleh klien, dan
kemungkinan hasil yang akan diperoleh, berkaitan dengan keadaan ibu dan
janin.

B PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN


1. Persiapan alat dan Bahan
Stetoskop Laennec / Doppler, handscoon, peralatan CTG, kertas CTG, belt, transduser
(cardiometer, tokometer), formulir CTG, jelly, tissue / kain lap.

2. Persiapan Pasien
Berkemih, tidur setengah duduk/duduk/tidur miring ke kiri, perhatikan keamanan dan
kenyamanan klien, bila haus atau lapar harus minum atau makan terlebih dahulu; dan
bila masih kecapaian, istirahat beberapa waktu (sekitar 10 menit tirah baring)

3. Persiapan Petugas
Mengetahui tatacara penyimpanan dan pemasangan peralatan CTG, mampu melakukan
interpretasi CTG serta kemungkinan penyulit yang dapat terjadi dan kompeten
berkomunikasi dalam bidang CTG

C PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN


Prosedur pencegahan infeksi universal :
Cuci tangan sebelum dan setelah memeriksa pasien, lakukan
pengelolaan limbah medis dengan benar
D PEMERIKSAAN PASIEN
1. Anamnesis
riwayat penyakit dan kehamilan yang lalu (bila ada), usia gestasi,
keadaan kehamilan saat ini, dan faktor risiko, terutama risiko hipoksia, kompresi tali
pusat, insufisiensi uteroplasenter dan anomalI kongenital (lihat USG klien)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Status generalis dan Obstetri.
b. Tentukan punktum maksimum DJJ dan tinggi fundus uteri.
c. Deteksi kecurigaan PJT atau makrosomia.
d. Pasien tidur dengan posisi setengah duduk, atau miring ke kiri, atau
duduk.
e. Pemasangan peralatan Kardiotokografi : tokometer di pasang di fundus
(TIDAK BOLEH DIBERI JELI) dan kardiometer (harus diberi jeli)
dipasang di tempat punktum maksimum jantung janin.
f. Ukur tekanan darah pada awal pemeriksaan dan 15 menit kemudian
g. Perekaman CTG dimulai, petugas harus meyakini bahwa rekaman
berjalan baik.
h. Pengawasan berkala kondisi ibu dan janin oleh petugas kesehatan,
temani pasien selama pemeriksaan CTG
i. Lama perekaman MINIMAL 20 MENIT. Bila variabilitas minimal (1-
5 DPM) atau tidak ada (absent), lakukan perangsangan bayi dengan bel
VIBROAKUSTIK (beri tahu ibu sebelum tindakan tersebut dilakukan).
Bila tidak memiliki bel vibroakustik, dilakukan perangsangan dengan cara
menggerakkan tubuh atau kepala janin.

E MELAKUKAN INTERPRETASI HASIL


Kategori I : Pola DJJ Normal

1. Frekuensi dasar normal : 110 – 160 dpm


2. Variabilitas DJJ normal : moderat (5 – 25 dpm)
3. Tidak ada deselerasi lambat dan variabel
4. Tidak ada atau ada deselerasi dini
5. Ada atau tidak ada akselerasi
Kategori II : Pola DJJ
Ekuivokal Frekuensi
Dasar dan Variabilitas
1. Frekuensi dasar : Bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai hilangnya
variabilitas (absent variability)
2. Takhikardia (>160 dpm)
3. Variabilitas minimal (1 - 5 dpm)
4. Tidak ada variabilitas tanpa disertai deselerasi berulang
5. Variabilitas > 25 DPM (marked variability)

Perubahan Periodik
1. Tidak ada akselerasi DJJ setelah janin distimulasi
2. Deselerasi variabel berulang yang disertai variabilitas DJJ minimal atau
moderat
3. Deselerasi lama (prolonged deceleration) > 2 menit tetapi < 10 menit
4. Deselerasi lambat berulang disertai variabilitas DJJ moderat (moderate
baseline variability)
5. Deselerasi variabel disertai gambaran lainnya, misal kembalinya DJJ ke
frekuensi dasar lambat atau overshoot

Kategori III : Pola DJJ Abnormal


Tidak ada variabilitas DJJ (absent FHR variability) disertai oleh :

1. Deselerasi lambat berulang


2. Deselerasi variabel berulang
3. Bradikardia
4. Pola sinusoid (sinusoidal pattern)

F PEMANTAUAN PASCA TINDAKAN


1. Tanyakan apakah ada keluhan pada ibu (terutama yang berkaitan dengan
gerak janin dan kontraksi rahim), bila tidak ada keluhan, pemeriksaan sudah
selesai.
2. Bila ada keluhan pada ibu, lapor pada DPJP dan lakukan penanganan yang
sesuai dengan etiologi (misalnya resusitasi intra uterin, periksa USG, dll).
G PERAWATAN ALAT PASCA TINDAKAN
1. Bersihkan semua peralatan dengan seksama. Lakukan dekontaminasi, terutama
limbah infeksious. Kabel-kabel pada peralatan CTG jangan dilepas.
2. Simpan kembali semua peralatan pada tempatnya dengan rapih.

H KONSELING / NASEHAT PASCA TINDAKAN


1. Penjelasan oleh Bidan dan atau DPJP kepada Klien dan Keluarganya tentang
hasil CTG tersebut.

Penanganan klien selanjutnya dikembalikan kepada DPJP.

Anda mungkin juga menyukai