Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

SKENARIO 1 BLOK 4.3

“SEPERTI RIBUAN BINTANG YANG MENGHUJAM JANTUNGKU”

Disusun oleh:

1. Gabriel Meinrad Abhisa Devinto (19.P1.0003)


2. Rafida Rahmasari (19.P1.0005)
3. Altamirano Reza Pahlevi Handoko (19.P1.0019)
4. Fransiska Ingka Pratiwi (19.P1.0025)
5. Daniel Aryo Wibowo (19.P1.0029)
6. Maria Goreti Sara Triwidianingsi (19.P1.0030)
7. Ezra Clement Lie (19.P1.0031)
8. Catharine Fabiola Samirahayu Banoristo (19.P1.0038)
9. La Venice Tarakanita Tuerah (19.P1.0044)

Dosen Pembimbing: dr. Alberta WidyaKristanti, SpTHT-KL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2021
Tn BTS, 50 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat  di Puskesmas  dengan
keluhan nyeri dada sejak 2 jam yang lalu. Nyeri dirasa seperti ditindih benda berat
pada tengah dada hingga tembus ke belakang dan menjalar ke rahang pasien, serta
disertai dengan keringat dingin dan mual muntah. Pasien memiliki riwayat merokok
sejak 35 tahun yang lalu, lebih dari 10 batang per hari. Riwayat penyakit Diabetes
Melitus diketahui sejak 5 tahun terakhir namun hanya minum obat herbal ramuan
istri. Riwayat hipertensi dan dislipidemia tidak diketahui. Pasien 1 tahun yang lalu
merasakan nyeri dada yang sama namun pasien berobat ke mantri dan diberi obat
herbal. Pasien tidak mengetahui secara jelas riwayat penyakit orang tuanya. Ibu
pasien ditemukan meninggal di tempat tidur pada usia 55 tahun.

I. Terminologi
1. Obat herbal
2. Dislipemia
3. IGD
4. Hipertensi
5. Diabetes militus

Definisi
1. Obat herbal adalah sebagai bahan baku atau sediaan yang berasal
dari tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain yang
bermanfaat bagi kesehatan manusia; komposisinya dapat berupa
bahan mentah atau bahan yang telah mengalami proses lebih lanjut
yang berasal dari satu jenis tumbuhan atau lebih.1
2. Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan kolesterol total, trigliserida, Low Density Lipoprotein (LDL)
serta penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL), yang
menyebabkan terjadi penurunan enzim antioksidan dan peningkatan
peroksidasi lipid, yang berperan pada proses terjadinya aterosklerosis. 2
3. IGD adalah salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit yang menyediakan
penanganan awal (bagi pasien yang datang langsung ke rumah
sakit)/lanjutan (bagi pasien rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan
lain), menderita sakit ataupun cedera yang dapat mengancam
kelangsungan hidupnya.3
4. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah
di 130/80 mmHg atau lebih.4
5. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis.
DM adalah penyakit gangguan metabolik yang terjad’i secara kronis atau
menahun karena tubuh tidak mempunyai hormon insulin yang cukup
akibat gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin yang tidak bekerja
sebagaimana mestinya atau keduanya.5

II. Rumusan masalah


1. Mengapa nyeri dada dapat menyebabkan keringat dingin dan mual
muntah?
2. Apa saja klasifikasi nyeri dada berdasarkan sifat dan waktu lamanya
serangan?
3. Bagaimna proses diagnosis penyakit jantung pada skenario diatas?
4. Apa hubungan Riwayat merokok, penyakit DM , hipertensi, dan
dislipidemia dapat mempengaruhi gejala pada scenario diatas?(factor
resiko)
5. Pemeriksaan apa saja yang tepat untuk menangani keluhan pada pasien?
(pemeriksaan fisik dan penunjang)
6. Bagaimana Batasan dan indikasi penanganan penilaian klinis pada gejala
tersebut?
7. Kenapa nyerinya menjalar dari dadi sampai ke rahang atas?

III. Hipotesis
1. Rasa nyeri pada dada satu dari penyebab dari keringat dingin atau muntah
tetapi lebih kepada deretan gejala pada penyakit serangan jantung.6

2. Nyeri dada berdasarkan waktu durasi nyeri


a. Nyeri akut : nyeri yang berlangsung kurang dari 3 bulan, mendadak akibat
trauma atau inflamasi, tanda respon simpatis.
b. Nyeri kronik : nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan, hilang timbul
atau terus menerus, tanda respon parasimpatis.

Macam-macam nyeri dada :

1. Nyeri dada pleuritik biasa lokasinya posterior atau lateral. Sifatnya


tajam dan seperti ditusuk. Bertambah nyeri bila batuk atau bernafas
dalam dan berkurang bila menahan nafas atau sisi dada yang sakit
digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada, otot, iga, pleura parietalis,
saluran nafas besar, diafragma, mediastinum dan saraf interkostalis.
Nyeri dada pleuritik dapat disebakan oleh difusi pelura akibat infeksi
paru, emboli paru,keganasan atau radang subdiafragmatik ;
pneumotoraks dan pneumomediastinum.
2. Nyeri dada non-pleuritik biasanya lokasinya sentral, menetap atau
dapat menyebar ke tempat lain. Paling sering disebabkan oleh kelainan
di luar paru.
a. Kardinal
Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri
substernal yang menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke bagian
dalam lengan terutama lebih sering ke lengan kiri. Rasa nyeri juga
dapat menjalar ke epigastrium, leher, rahang, lidah, gigi, mastoid
dengan atau tanpa nyeri dada substernal.
b. Pericardial
Saraf sensoris untuk nyeri terdapat pada perikardium parietalis
diatas diafragma. Nyeri perikardial lokasinya di daerah sternal dan
area preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium, leher,
bahu dan punggung. Nyeri bisanya seperti ditusuk dan timbul pada
waktu menarik nafas dalam, menelan, miring atau bergerak. Nyeri
hilang bila penderita duduk dan bersandar ke depan. Gerakan
tertentu dapat menambah rasa nyeri yang membedakannya dengan
rasa nyeri angina.
c. Aortal
Penderita hipertensi, koartasio aorta, trauma dinding dada
merupakan resiko tinggi untuk pendesakan aorta. Diagnosa
dicurigai bila rasa nyeri dada depan yang hebat timbul tiba-tiba
atau nyeri interskapuler. Nyeri dada dapat menyerupai infark
miokard akan tetapi lebih tajam dan lebih sering menjalar ke
daerah interskapuler serta turun ke bawah tergantung lokasi dan
luasnya pendesakan.
d. Gastrointestinal
Refluks geofagitis, keganasan atau infeksi esofagus dapat
menyebabkan nyeri esofageal. Nyeri esofageal lokasinya ditengah,
dapat menjalar ke punggung, bahu dan kadang - kadang ke bawah
ke bagian dalam lengan sehingga sangat menyerupai nyeri angina.
Perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut distensi gaster kadang -
kadang dapat menyebabkan nyeri substernal sehingga
mengacaukan nyeri iskemik kardinal.
e. Musculoskeletal
Trauma lokal atau radang dari rongga dada otot, tulang kartilago
sering menyebabkan nyeri dada setempat. Nyeri biasanya timbul
setelah aktivitas fisik, berbeda halnya nyeri angina yang terjadi
waktu exercise. Seperti halnya nyeri pleuritik. Nyeri dada dapat
bertambah waktu bernafas dalam. Nyeri otot juga timbul pada
gerakan yang berputar sedangkan nyeri pleuritik biasanya tidak
demikian.
f. Fungsional
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernal atau prekordinal,
rasa tidak enak di dada, palpilasi, dan dispnea. Gangguan emosi
tanpa adanya kelainan objektif dari organ jantung dapat
membedakan nyeri fungsional dengan nyeri iskemik miokard.
g. Pulmonal
Obstruksi saluran nafas atas seperti pada penderita infeksi laring
kronis dapat menyebakan nyeri dada, terutama terjadi pada waktu
menelan. Pada emboli paru akut nyeri dada menyerupai infark
miokard akut dan substernal. Bila disertai dengan infark paru sering
timbul nyeri pleuritic.
3. Berdasarkan skenario tersebut untuk menegakkan diagnosis terhadap
penyakit pasien yang mengarah ke Penyakit Jantung dapat dilakukan
beberapa deteksi dini, antara lain:

A. Anamnesis dan Gejala Klinis yang dialami Pasien

 Pria berusia >40 tahun, wanita berusia >50 tahun.


 Status merokok.
 Memiliki tekanan darah yang tinggi.
 Merupakan penderita dyslipidemia.
 Penderita Diabetes Melitus (DM).
 Obesitas.
 Kurangnya aktivitas fisik.
 Merasakan nyeri di area dada (tersering di dada kiri) saat
beraktivitas.
 Sifat nyeri dada yang dirasakan pasien seperti merasa tertindih
beban berat, tertusuk.
 Terdapat sesak napas.
 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga.7,8

Pada skenario didapatkan bahwa pasien merasakan nyeri dada (angina)


sejak 2 jam yang lalu saat dibawa ke layanan kesehatan, dengan pola nyeri
yang dirasakan pasien adalah seperti tertindih benda berat dan terasa
menembus sampai ke area belakang dada. Hal ini dapat terjadi yang
disebabkan oleh menurunnya aliran darah koroner menuju otot jantung.
Pada skenario juga diketahui bahwa pada pasien memiliki riwayat
merokok, menderita diabetes mellitus sejak 5 tahun terakhir, memiliki
riwayat keluhan yang sama 1 tahun sebelumnya dan ibu pasien ditemukan
meninggal dunia di tempat tidur saat usia 55 tahun. Hal-hal tersebut
merupakan beberapa faktor resiko yang mendukung seseorang dikatakan
menderita penyakit jantung. Terdapat juga beberapa pemeriksaan fisik
serta penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa
penyakit jantung, yaitu:
B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

1. Leher: Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP, Jugular Venous


Pressure).
2. Jantung membesar (kardiomegali), suara jantung ke 3 (gallop).
3. Bising Jantung ( murmur).
4. Paru: suara nafas tambahan (ronkhi ).
5. Abdomen: ascites, hepar membesar dan hepatojugular reflux.
6. Tungkai edema jika kaki tergantung (dependent edema)/ edema
menetap.
7. Kulit: sianosis, pucat.
8. Elektrokardiografi.
9. Uji latih jantung dengan beban (Treadmill Test).
10.Coronary MSCT (Multi Slice Cumputed Tomography).
11.Angiografi koroner (Penyadapan Arteri Koroner).9,10

4. Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah
ke otot jantung dan merupakan kelainan mikroardium yang disebabkan oleh
insufisiensi aliran darah koroner. Jadi penyebab utamanya karena kesalahan
pada pembuluh darah terutama arteri yang mengirim pasokan oksigen ke
otot jantung yang dinamakan arterokelrosis. Pengerasan dinding pembuluh
darah atau arteroklerosis dapat terjadi ketika adanya penumpukan lemak
yang terdiri dari lipoprotein atau zat yang didapatkan dari protein dan
lemak, kolesterol, dan sisa sel limbah lainnya di dalam dinding arteri bagian
dalam. Dislipidemia merupakan suatu kondisi dimana kolestrol dalam darah
meningkat dan dapat menyebabkan arteroklerosis. Tekanan darah tinggi
atau hipertensi jangka panjang juga dapat menyebabkan timbulnya keraj
atau plak pada arteri.6
Zat kimia beracun, misalnya nikotin dan karbon monoksida yang
dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
arterosklerosis dan tekanan darah tinggi. Bahan kimia dalam rokok juga
mengandung reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan terjadinya
nekrosis pada sel endotel pembuluh darah.

5. Gejala dan tanda-tanda yang dibutuhkan untuk penilaian langsung dan EKG
dalam presentasi 10 menit Ketidaknyamanan dada atau epigastrium, non
traumatis asal dengan komponen khusus untuk iskemia atau IM.12
1. Kompresi substernal pusat atau menghancurkan nyeri; sensasi tekanan,
sesak berat, kram, terbakar, sakit, gangguan pencernaan yang tidak
dapat dijelaskan, bersendawa, nyeri epigastrium, radiasi nyeri pada
leher, rahang, bahu, punggung atau satu atau kedua lengan.
2. Dispnea terkait, mual atau muntah, diaforesis.
3. Palpilasi, denyut nadi tidak teratur, atau dicurigai aritmia .12

Untuk semua pasien dengan jenis-iskemik nyeri dada

1. Menyediakan oksigen tambahan (hingga stabil, untuk saturasi atau


gangguan pernapasan, akses IV dan pemantauan EKG terus menerus.
2. Interpretasi yang cepat dari 12-rekaman EKG oleh dokter yang
bertanggung jawab untuk SKA triase.12

Untuk semua pasien dengan STEMI

1. Memulai protokol untuk terapi reperfusi (fibrinolisis atau IKP).


2. Mengesampingkan kontraindikasi dan menilai manfaat-risiko rasio.
3. Mempertimbangkan IKP primer jika tersedia atau jika pasien tidak
memenuhi syarat untuk fibrinolitik.
4. IKP (atau CABG jika ada indikasi) adalah pengobatan reperfusi pilihan
untuk pasien dengan syok kardiogenik.12

Untuk semua pasien dengan risiko sedang hingga tinggi NSTEMI dan
STEMI

1. Cepat diberikan aspirin (160 sampai 325 mg) kecuali kalau diberikan
dalam 24 jam yang lalu.12
2. Klopidogrel (300 mg muatan dosis)
3. Beta-bloker oral untuk semua pasien tanpa kontraindikasi, saat stabil;
Betabloker IV untuk pasien dengan hipertensi atau takiaritmia tanpa
kontraindikasi; sebaliknya Beta-bloker tidak disarankan rutin
diberikan.12

Nitrogliserin IV untuk awal 24 sampai 48 jam hanya pada pasien dengan


AMI dan CHF, infraksi anterior besar, iskemia tetap atau berulang, atau
hipertensi.12

6. Tes Kolesterol
a. Kolesterol Total.
Hasil yang tinggi akan meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner. Idealnya, kolesterol total harus di bawah 200 mg/dL atau
5,2 mmol/L.13
1. LDL : Terlalu banyak kolesterol LDL dalam darah akan
menyebabkan penumpukan plak di arteri yang mengurangi aliran
darah. Kadar kolesterol LDL harus kurang dari 130 mg/dL (3,4
mmol/L). Kadar yang ideal adalah di bawah 100 mg/dL (2,6
mmol/L), terutama jika terdapat diabetes atau riwayat serangan
jantung, pemasangan stent jantung, operasi bypass jantung,
atau kondisi jantung atau pembuluh darah lainnya. Pada orang
dengan risiko serangan jantung tertinggi, kadar LDL yang
direkomendasikan adalah di bawah 70 mg/dL (1,8 mmol/L). 13
2. HDL : Pada pria kadar kolesterol HDL harus di atas 40 mg/dL
(1,0 mmol/L) sedangkan wanita harus menargetkan HDL lebih
dari 50 mg/dL (1,3 mmol/L).13
3. Trigliserida : Kadar trigliserida yang tinggi artinya kalori
dikonsumsi lebih banyak daripada kalori yang dibakar. Hasil yang
tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Kadar
trigliserida harus kurang dari 150 mg/dL (1,7 mmol/L).13

b. Tes hs-CRP (High-sensitivity C-reactive protein).


Peradangan menjadi pemeran utama dalam proses aterosklerosis.
Tes CRP (hs-CRP) sensitivitas tinggi membantu menentukan risiko
penyakit jantung sebelum adanya gejala. Tingkat hs-CRP yang lebih
tinggi dikaitkan dengan risiko serangan jantung, stroke, dan penyakit
kardiovaskular yang lebih tinggi. Karena kadar CRP dapat meningkat
sementara dalam banyak situasi seperti pilek atau bepergian untuk
jangka panjang, tes harus dilakukan dua kali secara dua minggu
terpisah. Tingkat hs-CRP di atas 2,0 mg/L menunjukkan risiko
penyakit jantung yang lebih tinggi.13

c. Lipoprotein (a).
Tingkat Lp(a) yang tinggi mungkin merupakan tanda peningkatan
risiko penyakit jantung, meskipun tidak jelas seberapa besar
risikonya. Dokter mungkin akan menyarankan untuk melakukan tes
Lp(a) jika terdapat aterosklerosis atau penyakit jantung yang
memiliki kadar kolesterol normal, atau jika memiliki riwayat
keluarga dengan penyakit jantung dini, kematian mendadak atau
stroke.13

d. Plasma Ceramide.
Tes ini mengukur kadar ceramide dalam darah. Ceramide diproduksi
oleh semua sel dan memainkan peran penting dalam pertumbuhan,
fungsi dan akhirnya kematian banyak jenis jaringan. Ceramide
diangkut melalui darah oleh lipoprotein dan biasanya hal ini
berhubungan dengan aterosklerosis. Tiga ceramide spesifik telah
dikaitkan dengan penumpukan plak di arteri dan resistensi insulin,
yang dapat menyebabkan diabetes tipe 2. Tingginya kadar ceramide
ini dalam darah adalah tanda risiko penyakit kardiovaskular yang
lebih tinggi dalam satu hingga lima tahun.13

e. Brain Natriuretic Peptide.


Ketika jantung rusak, tubuh menghasilkan BNP yang tinggi ke dalam
aliran darah untuk mencoba meredakan ketegangan pada jantung.
Salah satu kegunaan paling penting dari BNP adalah untuk mencoba
menentukan apakah sesak napas disebabkan oleh gagal jantung.
Tingkat BNP normal bervariasi menurut usia dan jenis kelamin dan
apakah orang tersebut kelebihan berat badan. Untuk orang yang
mengalami gagal jantung, menetapkan BNP dasar dapat membantu
dan tes di masa depan dapat digunakan untuk membantu mengukur
seberapa baik pengobatan bekerja.13

f. Troponin T.
Troponin T adalah protein yang ditemukan di otot jantung. Mengukur
troponin T menggunakan tes troponin T sensitivitas tinggi membantu
mendiagnosis serangan jantung dan menentukan risiko penyakit
jantung. Peningkatan kadar troponin T telah dikaitkan dengan risiko
penyakit jantung yang lebih tinggi pada orang yang tidak memiliki
gejala.13

7. Nyeri menjalar dari dada sampai ke rahang atas atau subternal radiating
to neck and jaw merupakan gejala kelainan yang permanen pada
miokardium atau sering disebut Angina pectoris. Rasa nyeri yang
menjalar ini sering disebabkan oleh menurunnya aliran darah koroner
menuju otot jantung sehingga keseimbangan antara ketersediaan oksigen
dan kebutuhan oksigen terganggu. Angina pectoris juga bisa disebabkan
karena stress dan udara dingin.14

IV. Skema

Nyeri Dada

Cardiac Non Cardiac


Tanda dan Faktor Penatalaksanaa
Gejala Resiko n (Terapi)

Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
Fisik Penunjang

V. Sasaran Belajar

1. Mengetahui Definisi dan Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA) serta


Perbedaan Sindrom Koroner Akut (SKA) dan Penyakit Jantung Koroner (PJK).
2. Mengetahui Tanda dan Gejala dari Sindrom Koroner Akut (SKA).
3. Mengetahui Faktor Resiko dari Sindrom Koroner Akut (SKA).
4. Mengetahui Diagnosis dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang meliputi
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang.
5. Mengetahui Patofisiologi dari Sindrom Koroner Akut (SKA).
6. Mengetahui Penatalaksanaan (Terapi) dari Sindrom Koroner Akut (SKA).
7. Mengetahui Diagnosis Banding dari Sindrom Koroner Akut (SKA).

VI. Belajar Mandiri


1. Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Sindrom koroner akut merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke
miokard berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi
(EKG) 12 lead, dan peningkatan kadar biomarker kardiak. SKA terdiri dari
tiga kelompok yaitu Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST
segment elevation myocardial infarction), Infark miokard dengan non
elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial
infarction) dan Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina
pectoris).15

Sindrom Koroner Akut diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:

a) Pasien dikatakan mengalami angina pektoris tidak stabil/ APTS


(unstable angina/UA) apabila tidak ditemukan peningkatan biomarker
kardiak didarah beberapa jam setelah onset awal nyeri dada iskemia.
Presentasi klinis UA dapat berupa angina saat istirahat (biasanya
berlangsung > 20 menit), onset baru suatu angina yang berat, dan
pola angina crescendo (mengalami peningkatan dalam hal intensitas,
durasi, atau kombinasinya).15
b) non-ST-segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI).
Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat menyebabkan
kerusakan miokard sehingga terjadi pelepasan penanda nekrosis
miokard (Troponin T/I spesifik kardiak, atau fraksi creatinin kinase
myocardial band (CKMB)) namun belum memberikan gambaran
15
perubahan EKG berupa elevasi segmen ST.
c) ST- segmen elevation myocardial infarction (STEMI).
Pada STEMI terjadi infark pada daerah miokard yang luas sehingga
memberikan gambaran elevasi segmen ST pada EKG disertai suatu
pelepasan penanda nekrosis miokard.15
Perbedaan Antara Penyakit Jantung Koroner (PJK) dengan Sindrom
Koroner Akut (SKA) adalah:
a. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung
akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyumbatan
atau penyempitan pada pembuluh darah koroner akibat kerusakan
lapisan.16
b. Dinding Pembuluh Darah(Aterosklerosis).
Sindroma koroner akut adalah serangan jantung, berupa kumpulan
gejala yang berhubungan dengan cedera otot jantung akibat
penyumbatan pembuluh darah yang mengalir di jantung.16

2. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,


diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA.18
Selain dari pada hal diatas kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan
tanda :
a) Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
b) EKG normal atau non diagnostik.
c) Marka jantung normal.18

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda

a) Angina tipikal.
b) EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST
atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau
LBBB baru/persangkaan baru.
c) Peningkatan Marka jantung.18
3. Faktor Risiko SKA
a) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko SKA dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi
umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga menderita PJK. Umur
merupakan prediktor independen untuk terjadinya SKA yang paling
kuat. Pada laki-laki, risiko meningkat setiap 10 tahun 10 peningkatan
umur. Pada wanita pre-menopause risiko SKA sebanding dengan risiko
laki-laki yang umurnya 10 tahun lebih muda. Akan tetapi risiko pada
wanita akan meningkat hingga menyamai risiko pada laki-laki setelah
menopause .
Berbagai studi menunjukkan bahwa riwayat keluarga mengalami PJK
pada usia lebih muda (prematur) merupakan faktor risiko independen
terjadinya PJK. Risiko relatif seseorang dengan riwayat keluarga
positif untuk mengalami PJK adalah berkisar antara 2x hingga 12x
lipat dibandingkan dengan populasi umum.5,17

b) Diabetes mellitus.
Diabetes melitus (DM) merupakan faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular. Hal ini didukung oleh banyak data epidemiologi yang
menunjukkan DM, baik tipe I maupun tipe II, sebagai faktor risiko
independen terjadinya PJK. Pasien dengan DM memiliki risiko 4x lipat
lebih tinggi untuk menderita PJK dibandingkan dengan populasi umum
. DM sering juga dikenal sebagai ekuivalen PJK oleh karena risiko
terjadinya infark miokard pada pasien DM sama dengan risiko
terjadinya infark berulang pada penderita PJK non DM . Peningkatan
risiko PJK disebabkan terutama oleh kondisi hiperglikemia pada
pasien DM. Faktor lain yang turut berperan adalah adanya
dislipidemia, kondisi protrombotik, serta hipertensi yang sering
menyertai penderita DM.5,17

c) Hipertensi.
Berbagai studi observasional telah menunjukkan bahwa tekanan darah
yang tinggi memiliki hubungan yang kuat terhadap risiko PJK.
Hubungan ini dijumpai baik pada usia tua maupun usia yang lebih
muda serta jenis kelamin laki-laki maupun wanita. Bahkan individu
yang memiliki sedikit peningkatan tekanan darah di bawah kriteria
hipertensi (tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan/atau diastolik
85-89 mmHg) diketahui memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya
PJK. Pada penderita hipertensi terjadi peningkatan kadar angiotensin
II yang merupakan vasokonstriktor kuat yang berpengaruh terhadap
proses aterogenesis dengan menstimulasi pertumbuhan dari otot
polos. Hipertensi juga mempunyai aktivitas pro inflamasi,
meningkatkan pembentukan hidrogen peroksida, radikal bebas anion
superoxide dan radikal hidroksil pada plasma. Substansi tersebut akan
menekan pembentukan nitric oxide pada endotel sehingga terjadi
peningkatan adesi leukosit, serta meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer.5,17

d) Hiperlipidemia.
Studi pada binatang maupun manusia menunjukkan bahwa kondisi
hiperlipidemia/ hiperkolesterolemia dibutuhkan untuk terjadinya
proses aterogenesis. Studi epidemiologi mendapatkan kadar kolesterol
LDL (low density lipoprotein) yang tinggi memegang peranan penting
sebagai komponen 12 aterogenik yang utama. Infiltrasi dan retensi
kolesterol LDL memicu respon inflamasi pada dinding vaskular. Proses
oksidasi dan enzimatik memodifikasi kolesterol LDL menjadi LDL yang
teroksidasi (ox-LDL) di tunika intima dan menyebabkan pelepasan
fosfolipid. Fosfolipid mengaktivasi sel endotel terutama di tempat
terjadinya shear stress. Kondisi ini akan menginduksi sel endotel
untuk mengekspresikan molekul adesi leukosit dan gen inflamasi.
Molekul adesi leukosit mempengaruhi monosit dalam sirkulasi
terutama di bagian endotel teraktivasi untuk menempel dan
selanjutnya bermigrasi melewati inter-endothelial junctions menuju
subendotelial. Monosit/makrofag menangkap ox-LDL melalui reseptor
scavenger dan membentuk foam cell. Akumulasi lipid dan shear stress
inilah yang memicu proses inflamasi pada dinding arteri.5,17

e) Merokok.
Merokok telah sejak lama diketahui sebagai salah satu kontributor
terkuat terhadap risiko penyakit kardiovaskular khususnya PJK.
Hubungan antara merokok dengan risiko PJK adalah berbanding lurus
dengan banyaknya paparan (dose dependent). Merokok memicu
terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan stres oksidatif yang
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel.5,17

f) Faktor risiko lain.


Faktor risio lain yang diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya PJK
meliputi obesitas, kurang olah raga, serta diet yang aterogenik.
Obesitas 13 abdominal adalah akumulasi lemak abdominal,
diidentifikasi dengan lingkar perut, yang merupakan parameter body
fat/ visceral fat. Obesitas abdominal dan innate immunity memegang
peranan penting pada proses inflamasi, resistensi insulin dan sindroma
metabolik.5,17
4. Diagnosis SKA
a. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Kelhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa
menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis (keringan dingin),
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.18
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daeerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti),
sesak napas yang tudak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak
yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih seirng dijumpai pada
pasein usia muda (25-40 tahun) atua usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun atau demensia. Walaupun
keluahan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jjika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien yang riwayat jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelha terapi nitra sublingual tidak
prediktif terhadap diagnosis SKA.18

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga
(S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-
tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi
basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA.18

Pemeriksaan Penunjang SKA


a) Pemeriksaan Elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali.19
b) Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan marka jantung dengan Creatinin Kinase MB (CKMB)
atau troponin I/ T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan
menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/ T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan marka jantung
hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/ nonkoroner). Troponin I/ T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/ T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan
disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.19

c. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan foto polos dada. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit
penyerta.19

5. Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).18
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi
dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.18

6. Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang
gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.20
 Tirah baring (Kelas I-C).20
 Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C).20
 Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jampertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-
C).20
 Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C).20
 Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate).20
A. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B).20
B. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).20
 Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-
C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti. 20
 Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B).20

7. Berbagai diagnosis banding dari sindrom koroner akut:


a. Mengancam jiwa dan perlu penanganan segera : diseksi aorta,
perforasi ulkus peptikum atau saluran cerna, emboli paru, tension
pneumothorax.21
b. Non-iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomiopati hipertrofik,
sindrom Brugada, sindrom Wolf-Parkinson-White, angina vasospastik. 21
c. Non kardiak: nyeri bilier, ulkus peptikum, ulkus duodenum, pleuritis,
refluks gastroesofaeal (GERD), nyeri otot dinding dada, serangan
panik, dan gangguan psikogenik.21

VII. Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke miokard
berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi (EKG) 12 lead,
dan peningkatan kadar biomarker kardiak dengan tanda & gejala seperti
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau
edema paru . Faktor risiko SKA dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan yang mengarah pada SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
dan tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
Daftar Pustaka

1. WHO. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal


Medicines. Report of a WHO global survey : Geneva. 2005.
2. Kaviarasan K, A MM, and Pugalendi KV. Lipid Profile, Oxidant-antioxidant
Status and Glycoprotein Components in Hyperlipidemic Patients With or
Without Diabetes. Clinica Chimica Acta. PUBMED. 2015.
3. KEMENKES RI. tentang Pelayanan Instalasi Gawat Darurat. 2018.
4. Mayo Clinic. Diseases & Conditions. High Blood Pressure (Hypertension). 2018.
5. Kemenkes RI. 2014.
6. Juzar D, Irmalita. Sindrom Koroner Akut. In: Rahajoe AU, Santoso KK, editors.
Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p. 138-160.
7. Alwi I. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. 5th ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta. Interna Publising. 2009.
8. American Heart Association (AHA). Coronary Artery Disease-Coronary Heart
Disease. 2013.
9. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. 2013.
10. World Health Organization (WHO), Cardiovascular Diseases (CVDs), 2015.
11. Denny T, Janry P, Venny M. Hubungan antara Perilaku Merokok dan Kejadian
Angina Pektoris Tidak Stabil. Universitas Sam Ratulangi, Manado 2012.
12. Rampengan, Starry Homenta. 2015. Kegawat Daruratan Jantung. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia.
13. Khambhati J, et al. The art of cardiovascular risk assessment. Clinical
Cardiology. 2018.
14. L. Saparina, Titi. Analisis Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner Di RSUP Dr.
Wahiddin Sudirohusodo Makassar. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar. 2010.
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi ke-3. Tahun 2015.
16. Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume Jakarta:
2009.
17. NCEP. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP)
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) Final Report.Circulation.
2002.
18. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi IV. Jakarta : PERKI. 2018
19. Naik H, Sabatine MS, Lilly LS. Acute coronary syndrome. Pathophysiology of
heart disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
20. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Centra Communications :
Jakarta. 2015.
21. Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, Fillipatos G, et al. The
Task Force on the Management of Stsegment elevation acute myocardial
infarction of the European Society of Cardiology. ESC guideline for
Management of Acute myocardial infarction in patients presenting persistent
ST-segmen elevation. Eur Heart J. 2008; 29: 2909-45.

Anda mungkin juga menyukai