Anda di halaman 1dari 7

SONSHIP (1)

Sonship merupakan istilah yang muncul


dalam relasi antara orangtua dengan anak. Secara
pengertian, sonship juga dapat dipahami sebagai
keberadaan seseorang sebagai anak. Sebuah
keluarga dikatakan harmonis ketika memiliki jalinan
kasih yang mesra, komunikasi yang baik, dan sikap
saling menghormati sesuai dengan standar Firman
Tuhan. Hubungan antara suami dan istri begitu
baik, dimana suami mengasihi istri dan istri
menghormati suami; orangtua menyayangi anak
dan anak menghormati orangtuanya, sesuai
dengan standar Firman Tuhan yaitu “...perbuatlah
dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan...”
(Kolose 3:23).
Tetapi ketika salah satu anggota keluarga
tidak menjalankan bagiannya dengan baik, maka
tidak heranlah jika keluarga tersebut menjadi
berantakan dan tidak harmonis. Suami berbuat
kasar terhadap istri, sang istri memaki-maki suami,
orang tua mengecewakan anak-anaknya,
anak-anak tidak menghormati orang tuanya, dan
sebagainya. Hal ini akan merusak ikatan keluarga
tersebut sehingga akhirnya menjadi keluarga
broken home. Dan ini adalah suatu fenomena di
negeri ini, dimana Indonesia merupakan negara
fatherless ketiga di dunia. Dan juga tidak dipungkiri,

1
hal ini dekat dengan kita, bahkan mungkin kita
sendiri mungkin pernah atau sedang
mengalaminya.
Oleh karena itu, sonship sebenarnya tidak
hanya berlaku bagi seorang anak atau remaja yang
masih dibawah kontrol dan arahan orang tua.
Tetapi sonship perlu dimiliki oleh setiap orang
yang mengaku percaya kepada Dia, baik itu
anak-anak, remaja, pemuda, maupun orang tua.
Karena pada dasarnya, kita ini semua berstatus
anak dan mempunyai satu Bapa yang menciptakan
dunia ini yaitu Allah (Matius 5:45). Dan hanya
kepada Bapa di Sorga itulah kita seharusnya
tunduk dan hormat seperti yang telah diteladankan
oleh Yesus. Bisa dibayangkan bagaimana Yesus
ketika berdoa di Getsemani menjelang
kematian-Nya. Dalam kesedihannya Ia berkata “Ya
Bapa-Ku, jikalau sekiranya cawan ini lalu dari
pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang
Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau
kehendaki.” (Matius 26:39). Kedua Yesus berdoa,
“Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu,
kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah
kehendak-Mu!” (Matius 26:42). Dan Yesus berdoa
untuk ketiga kalinya, dan mengucapkan doa yang
sama. Disitulah letak Sonship yang sejati, yang
telah diteladankan oleh Tuhan Yesus kepada setiap
orang percaya.

2
Banyak orang Kristen ingin mengalami
breakthrough atau terobosan dalam hidupnya, baik
terobosan dalam perjuangan hidup, masa depan,
pekerjaan, studi, karir, keluarga, bahkan karakter,
dan sebagainya tetapi tidak mau memiliki hati
seorang anak atau sonship. Mereka hanya mau
mendengarkan suara pikirannya sendiri
berdasarkan pemahaman dan pengalamannya
sendiri. Padahal, apa yang ia pahami belum tentu
lebih dari apa yang orang lain nasehatkan. Sebuah
nasehat yang baik dari orang tua kepada
seorang anak, maka anak tersebut dapat
merasakan akibatnya ketika ia mau
mendengarkan apa yang dinasehatkan oleh
orang tuanya. Mendengarkan tentu berbeda
dengan mendengar. Kalau mendengar itu hanya
menangkap suara nasehat tersebut, masuk ke
dalam telinga kanan dan keluar telinga kiri, alias
dianggap “angin lalu”. Tetapi berbeda dengan
mendengarkan. Mendengarkan berarti benar-benar
memperhatikan dan menerima nasehat yang
diberikan, dan dibarengi dengan komitmen untuk
melakukannya. Oleh karena itu, langkah awal
memiliki hati sonship adalah belajar mau
dengar-dengaran atau mendengarkan setiap
arahan yang diberikan oleh orang yang
membimbing kita. Dalam hal ini bisa orang tua,
pendeta, dosen, mentor, dan sebagainya. Memang

3
tidak semua arahan yang manusia berikan itu
selalu benar. Terkadang bisa salah dan hanya
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan-tujuan
terselubung orang tersebut. Tetapi kalau orang
yang membina kita adalah orang yang memang
mengasihi Tuhan dengan sungguh-sungguh,
arahan atau nasehatnya tidak mungkin salah.
Mengapa? Karena ia dipimpin oleh Roh Kudus.
Orang yang tidak mau memiliki hati sonship
dalam dirinya, maka sampai kapanpun tidak akan
mengalami perubahan. Dia mau mendengarkan
khotbah dari pendeta siapapun, mau didoakan oleh
Hamba Tuhan manapun, bahkan Tuhan sendiri
yang berbicara kepada dia, kalau orang tersebut
tidak mau memiliki hati seorang anak, tetap tidak
akan mengalami perubahan. Mengapa demikian?
Karena sonship ini adalah permasalahan internal
manusia. Tuhan bukan tidak sanggup mengubah
atau membuat perubahan dalam diri kita, tetapi
memang ini bagian kita yang harus kita lakukan.
Contoh dalam Kolose 3:5, “Karena itu matikanlah
dalam dirimu…”; ayat 8, “Tetapi sekarang, buanglah
semuanya ini…”; 2 Timotius 2:22, “Sebab itu
jauhilah nafsu orang muda…”; 2 Korintus
6:17,”Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara
mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka…”
Bukankah ini semua adalah bagian kita yang
secara aktif melakukannya? Karena itu, jikalau kita

4
tidak mengalami perubahan hidup, jangan
buru-buru salahkan Tuhan. Pertimbangkan, kita
sudah berbuat apa untuk perubahan itu? Apakah
yang kita lakukan itu sudah cukup untuk membawa
kita dalam perubahan hidup? Karena sebenarnya
Tuhan sudah berbicara melalui
Hamba-Hamba-Nya, tetapi kita yang memilih untuk
keras kepala dan tidak mau mendengarkan.
Yesus pernah mengatakan dalam
tegurannya terhadap para murid-murid-Nya yang
mempermasalahkan bahkan mempertengkarkan
siapa yang terbesar diantara mereka (Matius
18:1-5; Markus 9:33-37; Lukas 9:46-48). Untuk
menjawab permasalahan tersebut, Yesus
menggunakan media yaitu seorang anak kecil dan
berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak
kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri
dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang
terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam
nama-Ku, ia menyambut Aku” (Matius 18:3-5).
Dalam jawaban Yesus ini, terhadap anak kecil
Yesus mengatakan 3 hal, yaitu bertobat,
merendahkan diri, dan menyambut.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa tiga hal

5
tersebut harus disandingkan dengan seorang anak
kecil?
Anak kecil dalam ayat ini menggunakan kata
Paidia yang berarti seorang bayi atau anak kecil
yang belum dewasa. Yesus menggunakan Paidia
untuk memberikan gambaran kepada para
murid-Nya, bahwa karakteristik unggul anak-anak
yang direkomendasikan adalah kerendahan hati,
tidak keduniawian, kesederhanaan, kemampuan
untuk diajar; dimana karakteristik tersebut
merupakan kebalikan langsung dari mementingkan
diri sendiri, keduniawian, ketidakpercayaan, dan
kesombongan. Anak-anak, sebagian besar, tidak
memiliki ambisi, kebanggaan, dan keangkuhan.
Mereka memiliki karakter secara khas yaitu
rendah hati dan untuk mudah diajar. Dengan
meminta murid-murid-Nya untuk menjadi seperti
mereka (Paidia), Yesus tidak bermaksud untuk
mengungkapkan pendapat apa pun tentang
karakter moral asli anak-anak; tetapi dalam hal ini,
para murid harus menjadi seperti mereka. Para
murid harus mengesampingkan pandangan
ambisius dan harga diri mereka, dan bersedia
untuk menempati posisi yang tepat - yang sangat
rendah. Oleh karena itu, kedua, untuk memiliki
sonship, seseorang harus memiliki kerendahan
hati. Hanya orang-orang yang memiliki

6
kerendahan hati-lah yang bisa bertobat dan
menerima (menyambut) Yesus di dalam dirinya.

Kesimpulan:
Untuk memiliki sifat Sonship, maka
seseorang harus belajar mendengarkan dan
kerendahan hati meskipun apa yang Bapa (Tuhan)
ajarkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Dengan demikian, orang tersebut akan dengan rela
dan taat untuk diproses oleh Tuhan, untuk menjadi
pribadi yang dewasa dan berkenan kepada Dia.

Refleksi:
1. Hal-hal apa yang membuat sulit untuk memiliki
hati sonship di dalam diri kita masing-masing?
2. Apa yang menjadi komitmen kita
masing-masing setelah belajar sonship ini?
3. Area mana dalam hidup kamu, yang harus
dibereskan supaya memiliki shonship
dihadapan Tuhan?

Anda mungkin juga menyukai