Abdul Wahid
wahid@gmail.com
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Parepare
Abstract: Dichotomy is division of two groups which contradict each other. In implication, it is mentioned as
general and Islamic science, general and Islamic education, the teacher of general and Islamic education, general
and religion school. Thus, science dichotomy is meant here is division of two groups of science, physically look
contradict, which is claimed that religion science derived from Islamic, while general science is claimed from
West. The effect of the emergence science dichotomy is stagnation which engulf Moslem scholarly occur since
XVI century until XVII century BC. Thus condition generally is an impact from the lethargy of politic field
and the culture of Islamic society. The weakening of social orientation of Muslims is unconsciously sorted out
the definition of overall Islam into the partial definition in the essence of society life. Islamic is viewed from only
ritual meaning. While another affair is most dominated and controlled by west concepts. Consequently,
Moslems more familiar with west culture than their own culture/islamic.
Keywords : Dichotomy, mentioned as general, general and Islamic education
Dikotomi ilmu adalah adanya pemisahan antara disiplin ilmu agama dan disiplin ilmu umum,
sehingga pada gilirannya melahirkan istilah baru yang disebut dualisme pendidikan, yakni
pendidikan agama dan pendidikan umum. Pandangan dikotomis yang memisahkan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang
memiliki ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan
urusan akhirat.Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam ilmu-ilmu umum seharusnya
difahami sebgai bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama. Oleh karenanya, bila paham
dikotomi dan ambivalen dipertahankan, output pendidikannya itu tentu jauh dari cita-cita
pendidikan Islam itu sendiri. Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu disebut ilmu
umum yang kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu agama yang
kemudian melahirkan bidang-bidang studi agama pemisahana di antara keduanya.
278
Volume I Nomor 2 Maret 2014 ISTIQRA’
Abdul Wahid, Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Paradigma Pendidikan Islam, dalam Muslih Musa, Pendidikan 15A. Saifuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung:
Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Mizan, 1991, h. 97.
Wacana, 1991, h. 52. 16Ibid., h. 103.
280
Volume I Nomor 2 Maret 2014 ISTIQRA’
Abdul Wahid, Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Hal itu tentu menunjukkan bahwa dualistik, yaitu (1) Arti agama telah
pendidikan Islam tidak lagi berorientasi dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan
sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. dengan aspek teologi Islam seperti yang
Namun ironisnya, juga tidak mampu diajarkan di sekolah-sekolah agama selama
mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada ini; (2) Sekolah-sekolah agama dan
akhirnya, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi agama Islam rata-rata ber
perguruan tinggi (terutama umum) diketahui I.Q rendah dan dari kelompok residual.
sebagai materi pelengkap yang menempel Pengaruh-pengaruh negatif yang
sebagai pencapaian orientasi pendidikan diakibatkan oleh sistem dualisme pendidikan
sekuler. tersebut sangat merugikan dunia pendidikan
Kesenjangan antara Sistem Pendidikan Islam. Kecenderungan untuk terpukau pada
Islam dan Ajaran Islam sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur
Pandangan dikotomis yang kemajuan pendidikan nasional, diakui tidak
memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan mempengaruhi sistem pendidikan Islam,
ilmu-ilmu umum bertentangan dengan sehingga sistem pendidikan Islam menjadi
konsep ajaran Islam yang memiliki ajaran terpecah dalam tiga bentuk, yakni sistem
integralistik. Islam mengajarkan bahwa pesantren, madrasah, dan sistem perguruan
urusan dunia tidak terpisah dengan urusan tinggi Islam.19 Masing-masing dari ketiga
akhirat. system tersebut memiliki orientasi yang tidak
Implikasinya, bila merujuk pada terpadu. Sistem pesantren berorientasi pada
ajaran Islam ilmu-ilmu umum seharusnya tujuan institusionalnya, antara lain
difahami sebagai bagian tak terpisahkan dari terciptanya ahli ilmu agama. Sistem
ilmu-ilmu agama. Oleh karenanya, bila madrasah bergeser orientasi ke penguasaan
paham dikotomi dan ambivalen ilmu umum sebagai tujuan sekunder.
dipertahankan, output pendidikannya itu Akhirnya berkembang menjadi sekolah Islam
tentu jauh dari cita-cita pendidikan Islam itu atau sekolah tinggi Islam, yang tujuan
sendiri. institusional primernya adalah penguasaan
Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam ilmu-ilmu umum, sedangkan ilmu-ilmu
Hingga saat ini, boleh dikatakan, agama menjadi tujuan sekunder.
bahwa dalam sistem pendidikan kurang Disadari atau tidak, persoalan
terjadinya perpaduan (usaha integralisasi). dualisme sistem pendidikan Islam masih
Kenyataan ini diperburuk oleh aktual dibicarakan. Hal itu dapat dilihat,
ketidakpastian hubungan antara pendidikan pada kalangan pakar pendidikan Islam.
umum dan pendidikan agama. Bahkan hal itu Persoalan tersebut sering menjadi bahan
ditunjang juga oleh kesenjangan antara diskusi cukup serius. Mengapa, karena
wawasan guru agama dan kebutuhan anak dualisme sistem pendidikan yang seharusnya
didik, terutama di sekolah umum.17 Dualisme tidak boleh ada, malah seolah telah menjadi
dan dikotomi pendidikan dari sistem trend pendidikan bagi masyarakat.
pendidikan warisan zaman kolonial yang Ditolaknya sistem pendidikan
membedakan antara pendidikan umum di dualisme, tidak lain karena sejarah telah
satu pihak dan pendidikan agama di pihak membuktikan sistem pendidikan Barat
lain, adalah penyebab utama dari kerancuan seringkali merusak Islam. Setidaknya sistem
dan kesenjangan pendidikan khususnya di pendidikan Barat menjadi penghalang dalam
Indonesia dengan segala akibat yang melandingkan Islam secara kaffah dalam
ditimbulkannya. kehidupan umat Islam.20
Senada dengan pernyataan di atas, Para sarjana Muslim harus bersatu
menurut Marwan Saridjo bahwa,18 akibat dan menciptakan ajaran-ajaran mereka sendiri
dampak negatif dari sistem pendidikan guna mengembangkan ilmu pengetahuan
17AM. Saefuddin, op. cit., h. 105. 19Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme
18Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Buaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press, 1994, h. 167.
Agama Islam, (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), h. 21. 20Ibid.
alam, sosial dan ilmu kemanusiaan lainnya. kebutuhan masyarakat Muslim secara
Selain itu, para pemikir Muslim harus berani multidemensional masa depan. Hal penting
menantang ilmuan Barat karena pikiran- lainnya adalah pemaknaan pendidikan,
pikiran mereka dipenuhi hipotesis mencari ilmu sebagai pengalaman belajar
materialistik, yang menolak berlakunya sepanjang hidup.
kehendak Allah di alam ini.21 Harapan Menurut Syed Ali Asyraf,23 terdapat
terhadap umat Islam agar dapat kembali dua sistem pendidikan yang ada di negara-
menemukan sistem pendidikan Islam dalam negara Muslim itu dapat dilebur dalam satu
bentuk utuhnya. sistem. Namun ada syarat utama yakni
Sementara itu, Zianuddin Sardar 22 fondasi filosofis harus Islam. Bersamaan
memberikan solusi untuk menghilangkan dengan itu, kandungan materi (subyek
dikotomi itu dengan cara meletakkan kurikulum) religius harus tetap ada untuk
epistemologinya dan teori sistem pendidikan spesialisasi. Setiap pelajar harus mempunyai
yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk semua pengetahuan dasar yang diperlukan
menghilangkan sistem pendidikan dikotomi sebagai seorang Muslim, dan agar memenuhi
di dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha tuntunan sebagai sistem pendidikan modern,
sebagai berikut : semua pengetahuan yang termuat di
1. Dari segi epistemologi, umat Islam harus dalamnya harus diatur dan disusun atas
berani mengembangkan kerangka prinsip kesinambungan, berurut dan
pengetahuan masa kini yang teraktualisasi integrasi.
sepenuhnya. Ini berarti kerangka Walaupun gagasan para ahli
pengetahuan yang dirancang harus aplikatif. pendidikan Muslim telah banyak dilontarkan,
Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya tetapi disadari benar bahwa masalah
dapat menggambarkan metode-metode dan dualisme sistem pendidikan tidak mudah
pendekatan yang tepat dan nantinya dapat diselesaikan. Oleh karenanya, sikap
membantu para pakar Muslim dalam optimisme dan berani menjadi modal
mengatasi masalah-masalah moral dan etika penting. Modal tersebut lambat laun
yang sangat dominan di masa sekarang. membuat usaha-usaha para pakar dan
2. Perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan sambutan positif masyarakat Islam akan
teknologi yang menggambarkan beberapa menjadi kenyataan.
gaya dan metode aktivitas ilmiah serta PENUTUP
teknologi yang sesuai tinjauan dunia yang Dikotomi ilmu adalah adanya
mencerminkan nilai dan norma budaya pemisahan antara disiplin ilmu agama dan
Muslim. disiplin ilmu umum, sehingga pada
3. Perlu diciptakan teori-teori pendidikan gilirannya melahirkan istilah baru yang
yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem disebut dualisme pendidikan, yakni
tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.
pendidikan integralistik itu secara sentral Dualisme sistem pendidikan muncul
harus mengacu pada konsep ajaran Islam, disebabkan stagnasi pemikiran umat Islam
seperti tazkiah al-nafsu, tauhid dan pada abad XVI hingga abad XVII M. Selain
sebagainya. Selain itu sistem tersebut juga itu, penjajahan Barat atas dunia Islam dan
harus mampu memenuhi kebutuhan- masuknya modernisasi di dunia Islam tanpa
reserve, terutama dari kalangan modernis yang
21Ada perbedaan pokok antara pakar Muslilm cenderung mengembangkan ide-ide Barat di
dan pakar Barat dalam memandang hukum alam. Menurut dunia Islam.
Barat, hukum alam adalah hukum sebab akibat yang pasti Dampak negatif dari dualisme sistem
terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Sementara menurut pendidikan Islam adalah terjadinya
Islam, hukum alam itu ada karena kehendak Tuhan. Jadi ambivalensi orientasi pendidikan Islam,
sekalipun hukum alam itu berisi sebab akibat, namun
hukum sebab akibat itu tidak berlaku bila Tuhan tidak
kesenjangan antara sistem pendidikan Islam
menghendakinya. Ismail SM. dkk., Paradigma Pendidikan dan ajaran Islam, serta sekolah-sekolah
Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), h. 91.
22Zianuddin Sardar, op. cit., h. 280-281. 23Ali Asyraf, op. cit., h. 43.
282
Volume I Nomor 2 Maret 2014 ISTIQRA’
Abdul Wahid, Dikotomi Ilmu Pengetahuan