0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan2 halaman
Pertapa Putih melatih muridnya, Jaka, sejak kecil. Latihan yang keras membuat Jaka menjadi pemuda kuat yang mampu membawa batu besar naik turun gunung. Pertapa Putih memberitahu Jaka bahwa saatnya Jaka meninggalkan pertapaan untuk mengenal dunia. Ia memberikan Pedang Petir, pusaka langit yang menemani kelahiran Jaka, beserta hadiah untuk perjalanannya.
Pertapa Putih melatih muridnya, Jaka, sejak kecil. Latihan yang keras membuat Jaka menjadi pemuda kuat yang mampu membawa batu besar naik turun gunung. Pertapa Putih memberitahu Jaka bahwa saatnya Jaka meninggalkan pertapaan untuk mengenal dunia. Ia memberikan Pedang Petir, pusaka langit yang menemani kelahiran Jaka, beserta hadiah untuk perjalanannya.
Pertapa Putih melatih muridnya, Jaka, sejak kecil. Latihan yang keras membuat Jaka menjadi pemuda kuat yang mampu membawa batu besar naik turun gunung. Pertapa Putih memberitahu Jaka bahwa saatnya Jaka meninggalkan pertapaan untuk mengenal dunia. Ia memberikan Pedang Petir, pusaka langit yang menemani kelahiran Jaka, beserta hadiah untuk perjalanannya.
Seorang pemuda yang perawakannya gagah,tampan,dan rupawan sedang menuruni
gunung singkup sambil membawa sebuah batu yang bukan main besarnya. Diatas batu itu, terdapat kakek tua yang berambut putih dan pakaian yang serba putih. Kakek tersebut tidak lain adalah gurunya yang sering disebut pertapa putih karena berpenampilan serba putih. “Guru,sampai kapan aku membawa batu ini? Saya sudah 3 kali menaiki dan menuruni gunung sambil membawa batu ini”, tanya pemuda itu. “Kau harus membawa aku naik keatas lagi, baru kita beristirahat”,jawab pertapa putih. Bicara memang mudah, apalagi sambil duduk di atas….aku yang dibawah membawa batu ini berat…,pemuda itu membatin. Tak! Kepala pemuda itu mengangguk tiba-tiba, bagai dipukul seseorang yang tak terlihat dari belakang. Uhh.. kenapa sih aku mempunyai seorang guru yang bisa membaca isi hatiku,pemuda itu menggerutu. “Memang takdir yang kuasa bahwa kau harus menjadi muridku,”kata sang guru datar. Pemuda itu telah naik – turun gunung membawa batu besar, sebesar pelukan 3 orang dewasa yang disatukan, dari sebelum matahari terbenam hingga matahari mulai condong kebarat. Pemandangan tidak lazim ini sering terlihat di sekitar pertapaan milik Pertapa Putih. Pertapa putih memiliki seorang murid yang dilatihnya sejak kecil. Dengan didikan keras sang Pertapa Putih, muridnya yang pertama kali datang hanya seorang anak ingusan, berubah menjadi pemuda dengan wajah tampan, berbadan kekar dan memiliki kesaktian di atas rata-rata. Jarang ada orang yang mampu naik-turun gunung sambil membawa batu sebesar gajah ditambah orang yang duduk di atasnya. “Guru…. Hah hah…aku,aku…..sudah kelelahan…hah hah…aku..sudah tidak….tidak kuat lagi….kita selesai disini saja ya….,”pemuda itu bicara dengan nafas tersenggal-senggal. “Pertapaan sudah dekat, dari sini kau harus berlari. Kalau tidak,kau tidak dapat makan malam,”kata sang guru. Mendengar perkataan sang guru, pemuda itu berlari sekuat tenaga. Batu sebesar gajah yang dipeluknya, bagaikan sekantung kapas,dibawanya lari begitu saja. Anehnya, kakek tua yang duduk diatas batu, tidak sedikit pun terguncang akibat laju lari pemuda itu. Pemuda itu berhenti tepat di luar halaman pertapaan. Pertapa Putih meloncat dari batu tempat duduknya. “Hari ini cukup sampai disini,”kata sang guru. “Terima kasih guru.”pemuda itu menjawab dan meletakkan batu itu di depan pertapaan. Mereka berjalan bersama memasuki pertapaan yang terdiri dari tiga buah bangunan pondok beratap jerami. Pondok yang tengah adalah tempat Pertapa Putih bersemedi dan beristirahat, yang sebelah kiri adalah tempat muridnya tinggal. Guru dan murid ini duduk beristirahat di halaman pondok pertapaan. Muridnya mengipas-ngipas tubuhnya yang penuh keringat dengan bajunya. “Jaka…besok, sudah saatnya kau meninggalkan pertapaan, sudah saatnya kau mengenal dunia ini…aku pun akan pergi ke puncak gunung untuk melanjutkan pertapaanku,”kata pertapa putih “Tapi guru…aku harus kemana? Aku tidak kenal siapa-siapa. Rumah orang tuaku pun aku tak tahu jalannya,”jawab Jaka bimbang. “Kau sudah kuajarkan hampir semua ilmuku…ilmu yang kau miliki hanya setingkat di bawahku…walaupun aku bukan yang terhebat tapi aku yakin tidak ada orang yang bisa mengalahkan mu dengan mudah….ikutilah kemana kemana langkah kakimu berjalan.”Pertapa Putih meyakinkan muridnya. “Baik guru.”Jaka tak berani membantah walaupun kerisauan dan kebingungan melanda hatinya. “Sudah saatnya aku menyerahkan apa yang seharusnya jadi milikmu,”kata Pertapa Putih saat mengeluarkan sebuah gagang tanpa pedang berwarna perak dari balik kain di pinggangnya. Jaka mengingat kembali saat kejadian 10 tahun yang lalu. Dia mengingat ayah dan ibunya, serta pedang yang bersinar putih kebiruan saat dipegangnya. “Pedang Petir ini adalah pusaka langit yang jatuh kebumi menemani kelahiranmu… pusaka ini sangatlah hebat. Hanya 3 pusaka lain yang dapat mendandinginya, yaitu Pedang Api, Pedang Es, dan … Pedang Kematian. Maka berhati-hatilah saat menggunakannya”, sang guru menjelaskan. Jaka hanya manggut-manggut menggaruk dagunya yang tak berjenggot. “Aku juga akan memeberikanmu sesuatu untuk perjalananmu.”, sang guru kembali mengeluarkan bungkusan dari kain pinggangnya,” bukalah…”