Anda di halaman 1dari 2

PENDEKAR NAGA PETIR

Seorang pemuda yang perawakannya gagah,tampan,dan rupawan sedang menuruni


gunung singkup sambil membawa sebuah batu yang bukan main besarnya. Diatas batu itu,
terdapat kakek tua yang berambut putih dan pakaian yang serba putih. Kakek tersebut tidak lain
adalah gurunya yang sering disebut pertapa putih karena berpenampilan serba putih.
“Guru,sampai kapan aku membawa batu ini? Saya sudah 3 kali menaiki dan menuruni
gunung sambil membawa batu ini”, tanya pemuda itu.
“Kau harus membawa aku naik keatas lagi, baru kita beristirahat”,jawab pertapa putih.
Bicara memang mudah, apalagi sambil duduk di atas….aku yang dibawah membawa batu ini
berat…,pemuda itu membatin.
Tak! Kepala pemuda itu mengangguk tiba-tiba, bagai dipukul seseorang yang tak terlihat dari
belakang.
Uhh.. kenapa sih aku mempunyai seorang guru yang bisa membaca isi hatiku,pemuda itu
menggerutu.
“Memang takdir yang kuasa bahwa kau harus menjadi muridku,”kata sang guru datar.
Pemuda itu telah naik – turun gunung membawa batu besar, sebesar pelukan 3 orang dewasa
yang disatukan, dari sebelum matahari terbenam hingga matahari mulai condong kebarat.
Pemandangan tidak lazim ini sering terlihat di sekitar pertapaan milik Pertapa Putih.
Pertapa putih memiliki seorang murid yang dilatihnya sejak kecil. Dengan didikan keras sang
Pertapa Putih, muridnya yang pertama kali datang hanya seorang anak ingusan, berubah menjadi
pemuda dengan wajah tampan, berbadan kekar dan memiliki kesaktian di atas rata-rata. Jarang
ada orang yang mampu naik-turun gunung sambil membawa batu sebesar gajah ditambah orang
yang duduk di atasnya.
“Guru…. Hah hah…aku,aku…..sudah kelelahan…hah hah…aku..sudah tidak….tidak
kuat lagi….kita selesai disini saja ya….,”pemuda itu bicara dengan nafas tersenggal-senggal.
“Pertapaan sudah dekat, dari sini kau harus berlari. Kalau tidak,kau tidak dapat makan
malam,”kata sang guru.
Mendengar perkataan sang guru, pemuda itu berlari sekuat tenaga. Batu sebesar gajah yang
dipeluknya, bagaikan sekantung kapas,dibawanya lari begitu saja. Anehnya, kakek tua yang
duduk diatas batu, tidak sedikit pun terguncang akibat laju lari pemuda itu.
Pemuda itu berhenti tepat di luar halaman pertapaan. Pertapa Putih meloncat dari batu tempat
duduknya.
“Hari ini cukup sampai disini,”kata sang guru.
“Terima kasih guru.”pemuda itu menjawab dan meletakkan batu itu di depan pertapaan.
Mereka berjalan bersama memasuki pertapaan yang terdiri dari tiga buah bangunan pondok
beratap jerami. Pondok yang tengah adalah tempat Pertapa Putih bersemedi dan beristirahat,
yang sebelah kiri adalah tempat muridnya tinggal.
Guru dan murid ini duduk beristirahat di halaman pondok pertapaan. Muridnya mengipas-ngipas
tubuhnya yang penuh keringat dengan bajunya.
“Jaka…besok, sudah saatnya kau meninggalkan pertapaan, sudah saatnya kau mengenal
dunia ini…aku pun akan pergi ke puncak gunung untuk melanjutkan pertapaanku,”kata
pertapa putih
“Tapi guru…aku harus kemana? Aku tidak kenal siapa-siapa. Rumah orang tuaku pun
aku tak tahu jalannya,”jawab Jaka bimbang.
“Kau sudah kuajarkan hampir semua ilmuku…ilmu yang kau miliki hanya setingkat di
bawahku…walaupun aku bukan yang terhebat tapi aku yakin tidak ada orang yang bisa
mengalahkan mu dengan mudah….ikutilah kemana kemana langkah kakimu
berjalan.”Pertapa Putih meyakinkan muridnya.
“Baik guru.”Jaka tak berani membantah walaupun kerisauan dan kebingungan melanda
hatinya.
“Sudah saatnya aku menyerahkan apa yang seharusnya jadi milikmu,”kata Pertapa Putih
saat mengeluarkan sebuah gagang tanpa pedang berwarna perak dari balik kain di
pinggangnya.
Jaka mengingat kembali saat kejadian 10 tahun yang lalu. Dia mengingat ayah dan ibunya, serta
pedang yang bersinar putih kebiruan saat dipegangnya.
“Pedang Petir ini adalah pusaka langit yang jatuh kebumi menemani kelahiranmu…
pusaka ini sangatlah hebat. Hanya 3 pusaka lain yang dapat mendandinginya, yaitu
Pedang Api, Pedang Es, dan … Pedang Kematian. Maka berhati-hatilah saat
menggunakannya”, sang guru menjelaskan.
Jaka hanya manggut-manggut menggaruk dagunya yang tak berjenggot.
“Aku juga akan memeberikanmu sesuatu untuk perjalananmu.”, sang guru kembali
mengeluarkan bungkusan dari kain pinggangnya,” bukalah…”

Anda mungkin juga menyukai