Anda di halaman 1dari 13

PROGRAM DIAGNOSIS DAN TERAPI DEMAM TIFOID, DALAM KAJIAN

ILMU KEDOKTERAN ISLAM

Oleh :

Balqis Sakina Azzahra 20167300

Mirsalina Sukma Prabowo 2016730131

Pembimbing :

dr. H. Sukiman Rusli, Sp.PD


DAFTAR ISI
Pendahuluan

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi,


biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Penyakit akut
ditandai dengan demam berkepanjangan, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu
makan, dan sembelit atau kadang diare. Gejala seringkali tidak spesifik dan secara
klinis tidak dapat dibedakan dari penyakit demam lainnya. Namun, tingkat
keparahan klinis bervariasi dan kasus yang parah dapat menyebabkan komplikasi
serius atau bahkan kematian. Ini terjadi terutama karena sanitasi yang buruk dan
kurangnya air minum bersih.1

Menurut perkiraan terbaru, antara 11 dan 21 juta kasus dan 128.000 hingga
161.000 kematian terkait tifus terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Penyakit yang
serupa tetapi seringkali tidak terlalu parah, demam paratifoid, disebabkan
oleh Salmonella Paratyphi A dan B (atau Paratyphi C yang tidak umum).1

Penyakit ini mencapai tingkat prevalensi 358 - 810/100.000 penduduk di


Indonesia. Kasus demam tifoid ditemukan di Jakarta sekitar 182,5 kasus setiap
hari. Diantaranya, sebanyak 64% infeksi demam tifoid terjadi pada penderita
berusia 3 - 19 tahun. Namun, rawat inap lebih sering terjadi pada orang dewasa
(32% dibanding anak 10%) dan lebih parah. Kematian akibat infeksi demam tifoid
di antara pasien rawat inap bervariasi antara 3,1 - 10,4% (sekitar 5 - 19 kematian
sehari) 2

Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit demam akut dan seringkali mengancam jiwa yang
ditularkan melalui jalur fekal-oral oleh bakteri Salmonella
enterica serotype Typhi. Individu terinfeksi melalui konsumsi air atau makanan
yang terkontaminasi tetapi juga setelah kontak dengan pasien atau mantan
pasien. Pasien dapat menjadi pembawa seumur hidup dan individu ini
mengeluarkan patogen dengan tinja mereka membentuk faktor yang signifikan
dalam pemeliharaan patogen dalam suatu populasi. Patogen tidak menginfeksi
hewan, dan oleh karena itu, penularannya hanya dari manusia ke manusia. 2
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 3

Karakteristik Demam Tifoid

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali ( sehingga
tidak terdiagnosis ), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid) sampai
dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga
bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis
di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan gambaran klinis
tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama.
Gejala klinis pada anak cenderung tidak khas. Makin kecil anak, gambaran klinis
makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu
pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. 4

Kumpulan beberapa gejala tifoid adalah sebagai berikut :

 Demam
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
 Hepatosplenomegali
 Bradikardi relative dan gejala lain seperti rose spot.

Masalah dalam Pengelolaan

Penyakit tifoid harus mendapatkan perhatian yang serius karena masalahnya


semakin kompleks sehingga menyulitkan pengobatan dan upaya pencegahan. 4

Permasalahan tersebut adalah : 4

 Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan berbagai
komplikasi yang berbahaya
 Memiliki komorbid atau ko infeksi dengan penyakit lain
 Resistensi yang meningkat terhadap obat-obatan yang dipakai.
 Meningkatnya kasus karier atau relaps. Hal ini menunjukkan bahwa
pengobatan belum efektif
 Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif terutama untuk
masyarakat yang tinggal di daerah endemis.

Tabel. Kegitan dan Permasalahan dalam Pengendalian Tifoid di


Indonesia 3

NO. Kegiatan Permasalahan


Pengendalian
1. Review dan  Tidak ada keseragaman struktur
memperkuat aspek organisasi yang menaungi
legal tifoid pengelolaan program pengendalian
tifoid
 Adanya kebijakan otonomi daerah,
sehingga petugas yang sudah dilatih
sering pindah ke bagian/unit lain atau
berganti-ganti
 Keterbatasan jumlah Norma,
Standar, Posedur dan Kriteria
(NSPK) dan distribusinya tidak
memada
2. Advokasi dan  Kurangnya upaya advokasi dan
sosialisasi sosialisasi dalam pengendalian tifoid
di semua level, sehingga dukungan
pemangku kepentingan masih rendah
3. Komunikasi,  Belum efektifnya kegiatan KIE
Informasi dan dalam pencegahan tifoid, karena
Edukasi (KIE) keterbatasan media KIE dan biaya
operasional
4. Penemuan kasus dan  Penemuan kasus belum optimal,
tata laksana kasus karena keterbatasan penunjang
diagnosis di puskesmas, sehingga
penderita perlu dirujuk. Namun
setelah dirujuk, sebagian penderita
tidak mau memeriksakan diri, atau
tidak ada umpan balik dari tempat
rujukan ke puskesmas
 Sensitivitas tes widal dan kultur
relatif rendah
 Gejala klinis bervariasi dari yang
ringan (tidak khas) sampai yang
khas, dan sarana pemeriksaan
penunjang yang sesuai dengan
standar (gold standard) belum
tersedia di lini terdepan Interpretasi
hasil pemeriksaan penunjang tifoid
relatif tidak mudah
 Biaya pengadaan penunjang medik
masih sangat minim
5. Pencegahan karier,  Pemakaian antibiotika yang bebas
relaps, dan resistensi oleh masyarakat (tanpa resep)
 Pemakaian antibiotika oleh dokter
yang tanpa pedoman dan tanpa
control
 Pilihan antibiotika lini pertama yang
kurang tepat
 Dosis tidak tepat
 Lama pemberian kurang tepat
 Ada penyakit lain (komorbid) yang
menurunkan imunitas, serta
kelainankelainan yang merupakan
predisposisi untuk karier tifoid
6. Perlindungan khusus  Penggunaan vaksin tifoid masih
terbatas pada sejumlah praktek
dokter pribadi dan rumah sakit
swasta
7. Surveilans  Belum ada sistem surveilans nasional
atau standar pencatatan dan
pelaporan, sehingga kegiatan
pencatatan dan pelaporan tifoid di
setiap jenjang administratif masih
jauh dari yang diharapkan
 Belum bisa menyediakan data untuk
mengetahui situasi masalah yang
sebenarnya untuk mendukung
perencanaan yang matang, dan
belum bisa dijadikan sebagai bahan
evaluasi yang akurat
8. Sumber Daya  Belum semua tenaga kesehatan
Manusia mendapat pelatihan tata laksana
kasus dan pengendalian
9. Penyediaan logistik  Keterbatasan logistik, reagen, bahan,
dan alat untuk pemeriksaan
laboratorium tifoid di puskesmas
10. Supervisi dan  Belum optimal
bimbingan teknis
11. Monitoring dan  Belum optimal
evaluasi
12. Pembiayaan  Jumlah anggaran pusat (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) di
Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan terbatas
 Belum semua kabupaten/ kota di
Indonesia menyediakan anggaran
khusus (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) untuk program
pengendalian tifoid.

Program Terapi

Terapi Simptomatik 5
1. Antipiretik, misalnya Parasetamol 3-4x500 mg (dewasa), 10 mg/kgBB/x
(maksimal hingga 6x/hari)

2. Mengurangi simtomatis gastrointestinal, misalnya antiemetik


(Domperidon 3x10 mg atau Ondansetron 2x4 mg atau Metoclopramide
3x5 mg)

Terapi Suprotif

Tindakan suportif penting dalam pengelolaan demam tifoid, seperti oral atau
hidrasi intravena, penggunaan antipiretik, dan nutrisi serta darah yang tepat
transfusi jika diindikasikan. Lebih dari 90% pasien dapat ditangani di rumah
dengan oral antibiotik, perawatan yang andal, dan tindak lanjut medis yang ketat
untuk komplikasi atau kegagalan menanggapi terapi. Namun, penderita muntah
terus menerus, diare berat dan distensi abdomen mungkin memerlukan rawat inap
dan terapi antibiotik parenteral. 6

Terapi Nutrisi

Diet merupakan hal yang cukup penting untuk proses penyembuhan penyakit
demam tifoid. Karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. 5

Di masa lampau, penderita demam tifoid akan diberikan diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasae dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring ditunjukkan untuk menghindari komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat peneliti
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara dini yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid. 5

Terapi Antimikroba

Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid


adalah sebagai berikut 5
 Kloramfenikol.

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk


mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari
dapat diberikan secara intravena maupun per oral. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester tidak dapat diramaikan dan tempat suntikan
terasa nyeri.

 Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastic lebiih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis nya adalah 4x500 mg, demam rata-rata menurun
pada hari ke-5 dan ke-6.

 Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan kloramfenikol. Dosis


untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet. (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetroprim). Diberikan selama 2
minggu.

 Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah


dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang digunakan antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

 Sefalosporin Generasi Ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah
antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam perinfus
sekali sehari. Diberikan selama 3-5 hari.

 Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya :

- Norfloksasin dosis 2x400 mg/ hari selama 14 hari

- Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari.

- Levofloksasin 1x500 mg/ hari selama 5 hari.

 Azithromisin dosis 2x500 mg

Kombinasi Obat Antibiotika

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja,
antara lain toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, serta syok septik, yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam mikroorganisme dalam kultur darah selain kuman
Salmonella. 5

Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam


tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis 3x5 mg. 5

Terapi Edukasi 7

Pasien tifoid harus diedukasi mengenai perjalanan penyakit, penularan, dan


kemungkinan komplikasi yang akan timbul.

Pengobatan antibiotika harus ditekankan kepada pasien, agar pasien


menyelesaikan terapi antibiotika untuk menghindari terjadinya resistensi. Selain
itu, pasien diminta untuk istirahat yang cukup dan mengonsumsi makanan yang
lunak dan mudah dicerna. Pasien juga diminta untuk minum air yang cukup untuk
menjaga hidrasi dan keseimbangan elektrolit.

Pasien diminta untuk berhati-hati saat buang air dan mempersiapkan makanan
untuk orang lain, karena penyakit ini menular melalui rute fekal-oral. Cara paling
mudah melakukan hal ini adalah dengan mencuci tangan menggunakan sabun.

Terapi Komplikasi 4
Prinsipnya adalah :
 Komplikasi demam tifoid harus terdeteksi secara dini
 Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun laboratoris harus terlaksana
secara adekuat
 Bila komplikasi ada, terapi yang tepat segera di berikan.
 Bila komplikasi berbahaya, harus di laksanakan perawatan intensif serta di
rawat secara bersama dari bermacam-macam disiplin spesialis yang terkait
 Pengobatan dan perawatan standar tifoid harus tetap terlaksana

Tifoid Toksik

Antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat ganda


(spektrum luas) seperti kombinasi Ampisilin dengan kloramfenikol.
Pemberian Kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4x10 mg
intravena. Dosis untuk anak : 1-3 mg/kg BB/hr selama 3 - 5 hari. Penderita
dirawat secara intensif

Syok Septik

Penderita dirawat secara intensif Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi


secara optimal Antimikroba dipilih pemberian parenteral dan dapat ganda
(spektrum luas) seperti pada tifoid toksik Obat-obatan vasoaktif (seperti
Dopamin) di pertimbangkan bila syok mengarah irreversible.

Perdarahan dan Perforasi

 Penderita dirawat secara intensif


 Dipertimbangkan transfusi darah bila telah indikasi.
 Segera transfusi bila telah terjadi perdarahan akut, dimana perdarahan
terjadi sebanyak 5 ml/Kg BB/ jam dan pemeriksaan hemostatis normal
Bila perforasi :
 Rawat bersama dengan dokter bedah Operasi " Cito" bila telah indikasi
 Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi tifoid dan infeksi
kontaminasi usus.
 Dipilih antibiotika dengan pemberian parenteral, seperti Ampisilin +
Kloramfenikol + Metronidazol.
 Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasang tube hidung
lambung, diet parenteral serta monitor keseimbangan cairan (bila perlu
dipasang kateter urin).

Komplikasi Lain Komplikasi lain diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-
obatan dan prosedur perawatan definitif untuk tifoid, tetap diberikan

Daftar Pustaka

1. World Health Organization, "Immunization, Vaccines and Biologicals,"


Thypoid, 2019.
2. Alba S, Bakker MI, Hatta M, et al. Risk Factors of Typhoid Infection in
the Indonesian Archipelago. PLoS One. 2016;11(6):e0155286. Published
2016 Jun 9. doi:10.1371/journal.pone.0155286
3. Purba, I. E. et al., 2017. Typhoid Fever Control Program in Indonesia:
Challenges and Opportunities. Media Litbangkes, Volume 26, pp. 99-108.
4. Depkes, (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
5. Widodo J. Demam Tifoid. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna Publishing : 2014
6. World Health Organization (WHO). Background Document: The
diagnosis, treatment, and prevention of Thypoid Fever. Communicable
Disease Surveillance and Response Vaccines and Biologicals. Geneva:
WHO;2009.
7. Syavira, Q. F., 2019. Upaya Edukatif Dokter Keluarga Terhadap
Perkembangan Pasien Demam Typhoid Rawat Inap di Klinik dr. Widodo,
Gemolong, Sragen.

Anda mungkin juga menyukai