Bab5 - Daftar Pustaka - 2011089sc-p
Bab5 - Daftar Pustaka - 2011089sc-p
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan Bab IV maka terdapat beberapa
kesimpulan yang pada dasarnya memberikan jawaban terhadap rumusan masalah
yang dimuat dalam bab I. Kesimpulan yang pertama adalah:
78
(ius soli). Pengecualian tersebut dilakukan untuk menghindari status
apatride atau stateless.
- Setelah UU Kewarganegaraan 2006 diundangkan, status kewarganegaraan
anak dari perkawinan campuran yang belum berusia 18 tahun dan belum
menikah diperoleh bedasarkan ius sangunis bukan ius sanguinis patriarki.
- Akibat dari ius sanguinis yang ditarik dari garis keturunan kedua orang tua
anak dari perkawinan campuran, maka anak tersebut dimungkinkan untuk
memiliki status kewarganegaraan ganda. Namun UU Kewarganegaraan
2006 melarang seseorang untuk memiliki kewarganegaraan lebih dari satu,
maka anak dari perkawinan campuran diberikan keistimewaan oleh negara
untuk memegang status kewarganegaraan ganda terbatas sebagaimana yang
disimpulkan dari penjelasan umum UU Kewarganegaraan 2006. Maksud
dari status kewarganegaraan ganda terbatas ini adalah jika anak sudah 18
tahun atau sudah kawin, maka anak tersebut harus sudah memilih salah satu
status kewarganegaraan yang diperolehnya dari kedua orang tuanya sesuai
dengan asas yang dianut dalam UU Kewarganegaraan 2006 adalah status
kewarganegaraan tunggal.
79
negara asing mendapat kesulitan ketika melihat kehidupan kesehariannya
anak tersebut lebih cenderung memiliki kedekatan dengan ibunya yang
berkewarganegaraan Indonesia. Dalam hal ini anak tersebut tidak memiliki
kesempatan untuk berkewarganegaraan Indonesia sebelu ia berusia 18 tahun
atau belum kawin. Lain halnya dengan pengaturan dalam undang-undang
kewarganegaraan yang baru, negara telah memberikan keistimewaan
kepada anak dari perkawinan campuran yang belum berusia 18 tahun atau
belum kawin, untuk memiliki status kewarganegaraan ganda.
- Upaya perlindungan tersebut selain untuk melindungi hak anak yang
tercermin dalam UUD 1945, KHA, UU HAM, UU Perlindungan Anak, dan
lain sebagainya juga dilakukan oleh negara untuk menghindari anak dari
stateless (tanpa kewarganegaraan). Mengingat status kewarganegaraan
merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
- Sebagaimana kesimpulan yang pertama di atas, UU Kewarganegaraan 2006
memberikan kesempatan kepada anak dari perkawinan campuran sebelum
berusia 18 tahun atau belum kawin memiliki status kewarganegaraan ganda.
Kesempatan yang diberikan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk
memberi kesempatan kepada seorang anak yang dimaksud untuk menjalani
kehidupannya bedasarkan kewarganegaraan kedua orang tuanya yang
berbeda sebagaimana Pasal 41 UU Kewarganegaraan 2006.
- Namun Pasal 41 UU Kewarganegaraan 2006 tersebut, jika ditelaah lebih
lanjut khususnya terkait dengan pendaftaran dan jangka waktu pendaftaran
(4 tahun) menimbulkan persoalan. Oleh karena secara tidak langsung
menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda antara anak dari perkawinan
campuran yang lahir sebelum 2006 dan yang lahir setelah 2006. Perbedaan
perlakuan terhadap anak yang lahir sebelum 2006 dan setelah 2006 terkait
dengan kewajiban untuk melakukan pendaftaran. Bagi anak yang lahir
sebelum 2006, ia tidak langsung memperoleh kesempatan
berkewarganegaraan ganda jika tidak melakukan pendaftaran. Sedangkan
untuk anak yang lahir setelah 2006 dengan tidak melakukan pendaftaran ia
80
akan memperoleh status kewarganegaraan ganda secara otomatis. Perlakuan
yang demikian dapat dikategorikan sebagai diskriminasi. Perlakuan
diskriminasi tersebut tidak sesuai dengan pengaturan hak anak dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
- Pada dasarnya UU Kewarganegaraan 2006 diundangkan untuk
menghilangkan diskriminasi yang termuat secara tidak langsung dalam UU
Kewarganegaraan 1958. Namun tindakan diskriminasi muncul akibat
negara mengatur kondisi peralihan sebagaiman Pasal 41 UU
Kewarganegaraan 2006. Tindakan diskriminasi tersebut menimbulkan
ketidakadilan seperti fakta bahwa dua orang anak dari orang tua berbeda
kewarganegaraan yang menikah, salah satu dari anak tersebut memiliki
kewarganegaraan yang berbeda dengan saudara kandungnya. Fakta tersebut
pada dasarnya diakibatkan dari tidak dilakukannya pendaftaran oleh orang
tua anak tersebut pada masa 4 tahun yang disebutkan dalam Pasal 41 UU
Kewarganegaraan 2006 sebagai kaidah peralihan. Tindakan tidak
dilakukannya pendaftaran dari orang tua tersebut berdasarkan fakta yang
disampaikan dalam persidangan permohonan pengujian UU
Kewarganegaraan 2006 di Mahkamah Konstitusi, tindakan orang tua
tersebut (yang dianggap pemerintah sebagai kelalaian orang tua), terjadi
akibat kurang adanya sosialisasi UU Kewarganegaraan 2006 khususnya
Pasal 41.
- Pada dasarnya negara sudah berupaya untuk memberikan perlindungan
terhadap status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran. Namun
substansi dalam Pasal 41 UU Kewarganegaraan 2006 justru melahirkan
salah satu bentuk diskriminasi tidak langsung. Dengan demikian substanti
dalam Pasl 41 UU Kewarganegaraan 2006 tidak selaras dengan salah satu
prinsip dasar HAM yaitu prinsip non-diskriminasi khususnya sebuah
tindakan ketika terjadi dampak dari hukum yang berbentuk diskriminasi,
meskipun diskriminasi bukan dari tujuan pembentukan perundang-
undangan.
81
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa saran yang dapat
dikemukakan, yaitu:
- Untuk memberikan hak yang sama terhadap anak dari perkawinan
campuran yang lahir sebelum tahun 2006 dan belum melakukan pendaftaran
dalam rangka memperoleh kewarganegaraan ganda khususnya untuk
memperoleh kewarganegaraan Indonesia selain kewarganegaraan yang
telah dimiliki, maka negara dalam hal ini pemerintah harus memberi
kesempatan kepada mereka. Hal ini perlu dilakukan mengingat, banyak
orang tua atau pihak yang seharusnya mengurus pendaftaran dimaksud,
tidak memperoleh informasi dengan benar dan lengkap. Pemberian
kesempatan tersebut harus diatur dalam sebuah peraturan perundang-
undangan yang diterbitkan oleh negara. Bentuk peraturannya dapat
disesuaikan dengan kebijakan dari negara. Akan tetapi yang perlu diingat
bahwa pada dasarnya, pasal 41 UU Kewarganegaraan 2006 memuat kaidah
transisi dan masa transisi telah berakhir pada tahun 2010. Oleh karena itu,
peraturan yang akan memberikan hak status kewarganegaraan terhadap
anak dari perkawinan campuran yang lahir sebelum 2006 sebaiknya berupa
perubahan UU Kewarganegaran 2006.
- Substansi dari peraturan yang menggantikan muatan pasal 41 UU
Kewarganegaraan, harus memperhatikan peraturan-peraturan tentang
perlindungan hak anak khususnya hak mendapatkan status kearganegaraan
yang berlaku. Agar tidak ada diskriminasi yang dialami oleh sebagian anak
dari perkawinan campuran.
- Mengingat beberapa peristiwa yang dicantumkan pada bab sebelumnya
bahwa kelalaian orang tua atau pihak yang seharusnya melakukan
pendaftaran terjadi karena ketidaktahuan orang tua (warga negara Indonesia
pelaku perkawinan campur) atau kurangnya sosialisasi mengenai
pemberlakuan Pasal 41 UU Kewarganegaraan 2006, maka perlu
82
diperhatikan kembali tahapan sosialisasi suatu peraturan. Khususnya
peraturan yang memuat kaidah peralihan dengan materi muatan tentang
tenggang atau batas waktu tertentu diharuskannya masyarakat melakukan
tindakan atau perbuatan yang diharuskan dalam peraturan dimaksud.
83
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Apong Herlina, et al. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UNICEF, Jakarta:
Harapan Prima. 2003
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu negara & Teori
Negara, Bandung: Refika Aditama. 2009
84
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas
Diponogoro. Semarang. 2012
B. JURNAL
Amalia Damantina, Membangun Sistem Hukum Kewarganegaraan
Republik Indonesia Yang berperspektif Perlindungan Anak, Mimbar
Hukum, Jilid 42 no. 3 (Juli 2013). Hal 329-335
Eko Triadi da Praku Purba. Perlindungan Hak Perempuan dan Ana katas
Status Warga Negara dalam Perkawinan antara Warga Negara Indonesua
dan Warga Negara Asing Di Singkawang. Diponogoro Law Journal Volume
5, Nomor 4, 2016 https://media.neliti.com/media/publications/69707-ID-
perlindungan-hak-perempuan-dan-anak-atas.pdf
Ifdal Kasim. Kovenan Hak Sipil dan Politik, ELSAM, Jakarta, hlm 2
(http://lama.elsam.or.id/downloads/1365566878_Kovenan_SIPOL_Materi
KursusHAM-ELSAM.pdf
85
Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999
(http://journal.unair.ac.id/filerPDF/01-Soetandyo.pdf
D. PERATURAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 113; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1647)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms of
86
Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3277)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
87
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Sexual Komersial Anak.
E. PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XIV/2016
88