Anda di halaman 1dari 19

HUKUM ADAT SUKU MADURA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia

Dosen pengampu: Agus Iryana, M.Pd.

Oleh

Mutiara Larasati

1111200129

Semester I-E

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah
tentang Hukum Adat Madura ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas
mata kuliah Bahasa Indonesia, saya selaku penulis dapat memaparkan mengenai
beberapa topik hukum adat yang berlaku di Suku Madura yang ternyata sebagian
besar masyarakat Suku Madura masih mempertahankan tradisi-tradisi leluhurnya
sampai saat ini.

Saya menyadari bahwa makalah yang saya selesaikan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari semua
kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah saya
selanjutnya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu saya dalam proses penyusunan makalah ini, khususnya kepada Allah
Swt. berkat kesehatan yang diberikan kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini. Orang tua saya, yang memberikan saya motivasi, dan kepada teman-
teman saya yang memberikan semangat. Demikian makalah ini saya buat, semoga
bermanfaat.

Serang, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 3
2.1. Hukum.................................................................................... 3

2.2. Hukum Adat ............................................................................ 3


2.3. Masyarakat atau Suku Adat..................................................... 3
2.4. Hukum Pidana Adat ................................................................ 4
BAB III PEMBAHASAN........................................................................... 5
3.1. Hukum Adat Madura .............................................................. 5
3.2. Asal-usul Madura ................................................................... 5

3.3. Adat Istiadat Madura dan Strata Sosial Suku Madura ............. 6
3.4. Hukum Kekerabatan dan Kekeluargaan Suku Madura............. 8
3.5. Hukum Perkawinan Suku Madura ........................................... 9
3.6. Sistem Pewarisan Suku Madura .............................................. 9
3.7. Hukum Tanah Adat Suku Madura ........................................... 9
3.8. Sistem Ekonomi Suku Madura ................................................ 10

3.9. Hukum Pidana Adat Madura ................................................... 13


BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 14
4.1. Simpulan ................................................................................ 14
4.2. Saran ...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Menurut Mawardah Rohmah dalam mawardahrohmah25.wordpress.com
pada 2015 menyatakan, Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah
timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 kilometer
persegi, lebih kecil dari Pulau Bali dengan penduduk hampir 4 juta jiwa.
Dengan demikian musim kemarau di daerah ini relatif panjang. Pulau Madura
bentuknya seakan mirip badan sapi, terdiri dari empat kabupaten, yaitu
Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Pulau Madura ditinggali oleh Suku Madura yang merupakan salah satu
etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 7.179.356 juta
jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti
Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak yang
tinggal di bagian timur Jawa Timur, biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo
dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak
dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta
bagian Malang. Bagi kehidupan masyarakat Madura, harga diri adalah simbol
yang paling penting yang harus dijaga. Hal itu diperkuat dengan falsafah
Madura yang berbunyi “lebbi bagus potetolling, atembong pote mata”
artinya, “lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata).”
Pepatah yang dipegang teguh masyarakat Madura itu membuktikan bahwa
Suku Madura unik dan adat istiadatnya masih terjaga hingga saat ini. Atas
dasar tersebutlah makalah bertema Hukum Adat Suku Madura ini disusun.

1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat di Indonesia?

1
2

2. Bagaimanakah sejarah dan adat istiadat Suku Madura itu, serta adat
istiadat apa saja yang masih terpelihara dan berlaku hingga saat ini?

1.3.Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
2. Memahami definisi hukum adat di Indonesia secara umum.
3. Mengetahui dan memahami sejarah adat istiadat Suku Madura.
4. Mengetahui dan memahami hukum adat Suku Madura yang masih tetap
terpelihara serta menguraikan contoh-contohnya.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Hukum
Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat
sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran
itu. (Duguit dalam Kansil, 2018: 36)

2.2. Hukum Adat


Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia
dalam berhubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan
kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat
adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun
yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat, mereka yang
mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat
adat itu yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat, dan
hakim. (Muhammad dalam Wulansari, 2010: 5).

2.3. Masyarakat atau Suku Adat


Masyarakat adat merupakan kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur
dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman suatu
daerah tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun
dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur
(territorial), tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan
pertalian darah dan atau kekerabatan yang sama dari satu leluhur, baik secara
tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat (genealogis).
(Hadikusumo, 2003: 108-109).

3
4

2.4. Hukum Pidana Adat


Menurut Ardiansyah Candra pada 10 September 2014 dalam
customslawyer.wordpress.com menyatakan, hukum pidana adalah hukum
yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Hukum pidana bukanlah suatu
hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur
tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap norma-norma hukum yang
mengenai kepentingan hukum. Sedangkan Hukum Pidana Adat adalah hukum
yang mengatur masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kosmos yang
seimbang, yang mengatur tentang pelanggaran atau tindak pidana yang terjadi
di masyarakat adat itu sendiri.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Hukum Adat Madura


Dalam terminologi hukum di Indonesia, hukum adat mengacu pada
peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-
peraturan ini tidak tertulis dan bertumbuh kembang maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula
masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Indonesia mengakui
hukum adat dalam berbagai ketentuan perundang-undangan, diantaranya yang
secara tegas disebut dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Bagi Suku Madura, beberapa hukum adat yang dikenal masih berlaku
hingga sekarang adalah carok (tindakan pembunuhan yang dilakukan
masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri dari pelecehan orang
lain) dan pernikahan dini. (Wiyata, 2006: 70)

3.2. Asal Usul Madura


Suku Madura merupakan etnis terbesar di Indonesia, jumlahnya sekitar
7.179.356 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau
sekitarnya. Sejarah Madura dimulai dari perjalanan Arya Wiraraja sebagai
Adipati pertama di Madura pada abad 13. Dalam Kitab Negarakertagama
terutama pada tembang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura semula bersatu

5
6

dengan tanah Jawa, itu menunjukan bahwa sekitar tahun 1365 orang Madura
dan orang Jawa merupakan bagian dari komunitas budaya yang sama.
Sekitar 900-1500 pulau ini berada dibawah pengaruh kekuasaan kerajaan
Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di antara tahun
1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada
kerajaan Islam di pantai utara seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada
tahun 1624, Madura ditaklukan oleh Mataram. Sesudah itu pada paruh
pertama abad ke-18 Madura berada dibawah kekuasaan kolonial Belanda
(mulai 1882) mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-
Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi
bagian dari Jawa Timur. Sejarah mencatat Arya Wiraraja adalah Adipati
pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singasari, tanggal 31
Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih, Sumenep, yang
merupakan keraton pertama di Madura. Di Batuputih yang kini menjadi
sebuah kecamatan yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari Kota
Sumenep, terdapat peninggalan-peninggalan Keraton Batuputih, antara lain
berupa tarian rakyat, yaitu tari Gambuh dan tari Satria. (Bakry, 2015)

3.3. Adat Istiadat Madura dan Stratifikasi Sosial Suku Madura


Menurut Dimitriev Indraena pada 2015 dalam
bangkalanmemory.blogspot.com menyatakan, Suku Madura terkenal karena
gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah
tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja
untuk naik haji, karena orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang
kuat bahkan Pulau Madura dijuluki sebagai Benteng Islam Indonesia sebab
kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun
kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tase (sama dengan Larung
Sesaji). Suku Madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir
dan bertindak. Ketiga nilai tersebut dituangkan kedalam unsur-unsur perilaku
kehidupan sehari-hari yaitu kesopanan, kehormatan, dan agama.
7

Sedangkan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial masyarakat Madura yaitu:


a. Orang Kene’ atau Dume’, yaitu masyarakat yang biasanya bekerja
sebagai petani, nelayan, pengrajin, dan orang yang tidak punya mata
pencaharian tetap.
b. Ponggaba, yaitu orang yang bekerja di instansi normal, terutama di kantor
Pemerintah.
c. Parjaji, yaitu lapisan masyarakat yang berada paling atas.
Parjaji ada dua macam pengertiannya:
1) Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu.
Biasanya tingkatan gelar kebangsawanannya seperti RA, RP, RB, R
(untuk laki-laki), R.Ayu, R.Ajeng, R.Roro (untuk perempuan).
2) Orang-orang yang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada
saat Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (Camat), Wedana
Patih, dan Kanjeng (Bupati).

Sedangkan stratifikasi di lingkungan masyarakat agama atau pesantren di


Suku Madura, yaitu:

a. Keyae
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka agama (ulama) karena
menguasai banyak ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina
umat juga sebagai penerus atau pengajar ajaran para Nabi dan santri-
santrinya.
b. Bindarah
Adalah orang-orang yang telah mendapatkan atau mentamatkan
pendidikannya di pondok pesantren, dan mereka telah memiliki
pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan
pengetahuan Keyae.
c. Santre
Adalah orang-orang yang masih sedang menuntut ilmu keagamaan di
pondok pesantren.
8

d. Banne Santre
Seseorang yang tidak pernah mondok atau tidak menuntut ilmu
keagamaan.

3.4. Hukum Kekerabatan dan Kekeluargaan Suku Madura


Menurut Yeny Purnamasari pada 10 Maret 2017 dalam
repository.unej.ac.id menyatakan, sistem kekerabatan bagi masyarakat
Madura merupakan tatanan budaya yang sangat mengikat dengan batas
wilayah yang jelas, yaitu antara orang tua dan anak serta pihak lain yang
menyangkut keturunan. Hal ini dapat diperhatikan dalam peristiwa
perkawinan orang Madura, yang merupakan peristiwa budaya yang sangat
sakral dan besar dalam tatanan sistem kekerabatan, sebab dengan adanya
peristiwa ini dapat mempererat tali silaturahmi kekeluargaan yang mana
semua pihak terlibat di dalamnya.
Sedangkan sistem kekerabatan berdasarkan keturunan atau descent yang
dianut oleh masyarakat Madura adalah sistem kekerabatan bilateral, yaitu
sistem kekerabatan yang mengambil garis keturunan baik dari pihak Ayah
maupun pihak Ibu dengan pola kekuasaan patriarkat yang berarti bahwa
ikatan kekerabatan antar sesama keluarga lebih erat dari garis keturunan laki-
laki atau Ayah sehingga cenderung mendominasi.
Dalam sistem kekerabatan Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau
kerabat (kinsmen), yaitu:
1. Taretan Dalem (kerabat inti)
2. Taretan Semma’ (kerabat dekat), dan
3. Taretan Jau (kerabat jauh)

Di luar tiga kategori ini disebut oreng lowar (orang luar) atau bukan saudara.
Dalam kenyataannya, meskipun seseorang telah dianggap sebagai oreng
lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab dari pada
kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan.
9

3.5. Hukum Perkawinan Suku Madura


Hal yang unik dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, yakni budaya
nikah muda. Karena tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura dapat
menentukan kearah pernikahan. Oleh karena itu, kontruksi yang terjadi dalam
perjodohan adalah kontruksi sejarah, kontruksi sosial budaya, dan kontruksi
ekonomi. (Hakim, 2016)

3.6. Sistem Pewarisan Suku Madura


Salah satu hukum adat yang berlaku pada masyarakat Madura, yakni
menganut pola pewarisan secara bilateral atau parental, yaitu adanya
persamaan hak mewaris antara laki-laki dengan perempuan.
Dalam pewarisan dilakukan secara kekeluargaan, dimana ahli waris
perempuan mendapat bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki.
(Dwi, 2016)

3.7. Hukum Tanah Adat Suku Madura


Bagi masyarakat Madura, tanah adalah kekayaan yang sebenarnya.
Sebagai sebuah kekayaan, tanah bukan hanya benda mati yang diolah. Tanah
adalah sebuah peristiwa hidup yang menyambungkan masyarakat Madura
dengan asalnya. Merawat tanah tidak hanya bermakna ekologis, namun lebih
dari itu tanah memiliki makna sebagai ruang (sphere) yang saling
mempertautkan kehidupan saat ini dengan para leluhurnya yang telah wafat.
Masyarakat Madura lazim menyebut tanah itu sebagai “tanah sangkolan” atau
tanah warisan. Dalam keyakinan masyarakat Madura, ada semacam hukum
tidak tertulis yang menyebutkan bahwa tidak ada alasan untuk menjual tanah
pada orang luar, karena hal itu adalah aib. Menjual tanah sangkolan sama
dengan menjual rumah. Oleh karenanya, ketika tanah sangkolan dipakai
untuk fungsi yang berbeda bahkan dijual tanpa adanya alasan yang jelas, akan
mengakibatkan “laknat” dari sudut nilai-nilai kearifan kebudayaan Madura.
Jika terpaksa dijual, maka itu harus dijual kepada sanak saudaranya sendiri.
Suatu saat jika mampu, tanah itu akan dibeli kembali oleh pemiliknya.
10

Pentingnya tanah dalam masyarakat adat yaitu tanah merupakan kekayaan


yang bersifat tetap tempat berdirinya persekutuan hukum adat, dan sarana
memenuhi kebutuhan hidup. (Kusnadi, 2001: 151-152).

3.8. Sistem Ekonomi Suku Madura


Mata pencaharian penduduk disuatu wilayah sangat dipengaruhi oleh
kondisi geografis wilayah tersebut. Masyarakat Madura adalah masyarakat
pekerja keras dan pantang menyerah, sesuai dengan kondisi alam mereka.
Falsafah orang Madura dalam bekerja, sama dengan suku-suku di Indonesia
pada umumnya. Mengambil sesuatu dari alam untuk diolah, sekedar untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan bertahan hidup. Bagi masyarakat Madura,
umumnya mata pencahariannya yaitu:
1. Petani Madura
Mata pencaharian utama sebagian besar suku Madura sejak dahulu
adalah bertani. Selain bertani juga memelihara sapi, mesti tidak dalam
jumlah banyak. Selain sebagai alat pembajak sawah, sapi juga digunakan
sebagai tabungan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Hal ini membuat
keberadaan sapi bagi masyarakat Madura menjadi sangat berharga.
2. Peternakan
Peternakan yang utama di Madura adalah peternakan sapi. Sapi
Madura adalah sapi lokal asli Indonesia yang terbentuk dari persilangan
antara banteng atau sapi Bali, sapi Zebu, sapi Brahman, dan sapi Jawa.
Sapi ini secara genetik memiliki sifat toleran terhadap lingkungan panas
dan lingkungan marginal. Karakteristik sapi Madura sangat seragam,
yaitu bentuk tubuhnya kecil, berkaki pendek dan kuat, bulu berwarna
merah bata agak kekuningan, tetapi bagian perut dan paha bagian dalam
berwarna putih, bertanduk khas dan jantannya bergumba.
Oleh karena itu, sejak dahulu sapi Madura dijaga keasliannya, dengan
melarang sapi-sapi jenis lain masuk ke Madura. Perkembangbiakan sapi
ini umumnya di Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep.
11

3. Nelayan madura
Suku Madura terkenal dengan peribahasa “Abhantal omba’asapo
angen.” Artinya Suku Madura mampu menjalani kehidupan yang keras,
seperti kehidupan nelayan. Nelayan Madura merupakan nelayan etnik
yang paling dominan memanfaatkan potensi sumber daya ikan di Selat
Madura. Karena memang Selat Madura berada di antara Pulau Madura
dan daerah Tapal Kuda seperti Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo.
Dalam sistem pembagian kerja seksual pada masyarakat nelayan, kaum
perempuan pesisir (istri) nelayan mengambil peranan besar dalam
kegiatan sosial-ekonomi di darat. Sementara laki-laki berperan di laut
untuk mencari nafkah dengan menangkap ikan. Dengan kata lain, darat
adalah tanah perempuan, sedangkan laut adalah ranah laki-laki
Ikan hasil tangkapan nelayan Madura adalah ikan laying, kakap
merah, teri, kembung, cakalang, serta tenggiri. Semuanya dijual dalam
kondisi segar maupun dijadikan pindang atau dikeringkan. Pada saat hasil
tangkapan sangat minim didapat, para nelayan beralih usaha menjadi
pembuat kerupuk ikan , kerupuk ikan ini diberi nama terung-terung.
Adapun penggolongan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat
dilihat dari tiga segi. Pertama, dari penguasaan alat-alat produksi atau
peralatan tangkap, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam golongan
nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh
tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatannya, nelayan buruh
hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat
terbatas. Jumlah nelayan buruh di kampung nelayan adalah yang terbesar.
Kedua adalah dari segi tingkat modal usaha, struktur masyarakat nelayan
terbagi menjadi golongan nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar
menanamkan modal usahanya dalam jumlah besar, sedangkan nelayan
kecil sebaliknya. Dan yang ketiga dari teknologi peralatan tangkapnya,
masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan
tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi peralatan tangkap
yang canggih sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraan sosial-
12

ekonominya jauh lebih tinggi. Nelayan modern jumlahnya relatif kecil


dibandingkan nelayan tradisional.
Dan terlihatlah masih adanya kesenjangan dikalangan nelayan masyarakat
Madura. Kemiskinan seolah-olah suatu persoalan yang tak dapat
diselesaikan. Karena berbagai macam kebijakan pemerintah nyatanya
belum bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.
4. Suku Madura di Perantauan
Suku Madura di perantauan profesinya sangat beragam. Mereka
berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja,
Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak tinggal di
bagian timur Jawa Timur yang biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari
Pasuruan sampai Banyuwangi.
Berdagang merupakan mata pencaharian terpenting bagi etnis
Madura di perantauan. Sebagai pedagang mereka terkenal ulet. Mereka
mau berdagang apa saja, mulai dari besi tua sampai sate. Di kota-kota
besar seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta, sering kita jumpai
pedagang sate Madura ataupun soto Madura. Bahkan di kota kecil seperti
Jepara.
Selain sektor perdagangan, mereka juga banyak yang bekerja menjadi
buruh di perusahaan-perusahaan, tetapi banyak juga yang menjadi
profesional seperti dosen di perguruan tinggi dan peneliti.
(Restibudiyanti, 2016).
13

3.9. Hukum Pidana Adat Madura


Delik adat yang berlaku dikalangan masyarakat Madura:
1. Incest atau hubungan kelamin sesama jenis ataupun hubungan kelamin
dengan orang-orang yang dilarang menurut adat, misalnya melakukan
hubungan intim dengan anak kandung atau saudara kandung maka
hukuman adatnya biasanya dikucilkan dari desa atau wilayah setempat
untuk pindah ke tempat lain dan tidak diperbolehkan untuk mendatangi
desa atau daerah tersebut. Tujuannya supaya dijadikan pelajaran bagi
setiap keluarga dan juga untuk masyarakat setempat untuk tidak meniru
atau mengulangi perbuatan tersebut. Dalam hal ini kalangan yang masih
menerapkan di daerah Pamekasan bagian utara.
2. Zina, dikalangan Madura pengertian zina tidak seperti dalam KUHP yang
berlaku dalam hukum positif. Zina diartikan sesuai dengan hukum Agama
Islam. Dimana zina tidak hanya diberlakukan bagi yang salah satunya
sudah terikat dalam suatu perkawinan. Maka hukum atau sanksi yang
diberlakukan dalam perzinahan yaitu mengganti kerugian dalam berbagai
rupa. Seperti paksaan menikahi atau mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dari sanksi tersebut bertujuan untuk:
a. Untuk menghindari dari cemoohan atau segala kotoran aib
b. Penutup malu dan permintaan maaf
3. Pencurian, menurut hukum adat tradisional pada umumnya pelaku
pencurian di hukum dengan membayar kembali barang yang dicuri serta
membayarkan denda kepada orang yang kecurian. Tapi lain halnya
dengan di Madura. Sanksi yang diberlakukan di Madura apabila
melakukan pencurian yaitu dibakar hidup-hidup oleh masyarakat
setempat. Sanksi ini masih kental di daerah Sumenep. Dan biasanya
penerapan sanksi ini tidak hanya diberlakukan bagi kalangan masyarakat
adatnya, tetapi juga masyarakat luar yang masuk dan melakukan
pencurian di daerah tersebut maka sanski tersebut juga diberlakukan
kepadanya. (Hadi, 2015).
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan
Hukum adat merupakan suatu proses dalam diri manusia yang didasari
oleh adanya pikiran, kehendak, dan cara berperilaku. Hal ini bermula dari
kebiasaan individu-individu yang kemudian apabila kebiasaan ini diikuti oleh
individu lain di dalam suatu kelompok masyarakat, maka kebiasaan individu
tersebut akan berubah menajdi suatu adat. Yang nantinya adat itu dijadikan
oleh sekelompok masyarakat sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi
seluruh kelompok masyarakat, sehingga dinamakan hukum adat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sejarah adat istiadat Suku Madura, termasuk istilah nama Madura
terdapat beberapa versi, tidak ada kepastian tentang makna dan sejarah
awal mula suku Madura.
2. Di antara adat istiadat yang menjadi hukum bagi orang Madura yang
masih berlaku hingga saat ini adalah carok dan nikah muda.

4.2. Saran
Adat istiadat yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia harus menjadi
pertimbangan khusus bagi pemuka adat untuk dihapuskan. Atau konsep
utama di dalam adat istiadat tersebut disosialisasikan dan dibudayakan
sehingga definisinya tidak membias dan disalahgunakan. Juga pemerintah
khususnya dalam praktek di lapangan, harus lebih memperhatikan
masyarakat-masyarakat adat yang mengalami kesenjangan sosial, sehingga
tidak ada lagi golongan-golongan dalam masyarakat tersebut yang disebabkan
karena kesenjangan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Candra. 2014. “Pengertian Hukum Pidana”.


https://customslawyer-wordpress-com.cdn.ampproject.org/2014/09/10/pe
ngertian-hukum-pidana.html [17 November 2020]

Dwi, Ellyne. 2016. Perkembangan Hukum Waris Adat di Indonesia.


Surabaya: Zifatama.

Hadikusumo, Hilman. 2003. Asas-asas Hukum Adat.


Bandung: Alumni.

Hadi, Ilman. 2015. “Kekuatan Hukum Putusan Adat”


http://www.hukumonline.com/2015/hukum-putusan-adat.html
[30 November 2020]

Hakim, Lutfi. 2016. “Perkawinan Menurut Hukum Adat”


http://lutfihakim.com/perkawinan-menurut-hukum-adat/02/2016.html
[30 November 2020]

Indraena, Dimitriev. 2015. “ Adat Istiadat dan Stratifikasi Sosial Suku Madura”.
http://bangkalan.memory.blogspot.com/2015/01/adat-istiadat-dan-
stratifikasi-sosial-suku-madura.html [30 November 2020]

Kansil. C.S.T. 2018. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Memoforus. 2010. “Madura dalam Perkawinan dan Sistem Kekerabatan”.


http://memoforus.blogspot.com/2010/01/madura-dalam-sistem-
perkawinan-dan-sistem-kekerabatan.html. [13 November 2020]

15
16

Punamasari, Yeny. 2017. “Kekerabatan dan Kekeluargaan Masyarakat Madura”.


http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/79619.html
[28 November 2020]

Restibudiyanti, Dwi. 2016. “Hukum Adat dan Mata Pencaharian Suku Madura”.
http://dwirestipujiyanti.blogspot.com/2015/11/hukum-adat-dan-mata-
pencaharian-suku-madura.html [11 November 2020]

Rohmah, Mawardah. 2015. “Madura”.


https://mawardahrohmah25.wordpress.com/madura/ [2 Desember 2020]

Sabri, Nizar. 2015. “Masyarakat Adat Merupakan Masyarakat yang Teratur”.


https://www.neliti.com/id/publications/35325/masyarakat-adat-
merupakan-masyarakat-yang-teratur. [17 November 2020]

Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat Indonesia-Suatu Pengantar.


Bandung: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai