Anda di halaman 1dari 68

MAKALAH

FITOTERAPI

“SISTEM IMUN”

DOSEN PENGAMPU:

Dr.apt. Eka Fitrianda, M.farm

DISUSUN OLEH :

Anggota :

1. Ulfadhila Yulfi (2030122070)

2. Wahyu Suci Wulandari (2030122072)

3. Wely Dafriani (2030122073)

4. Widya yolanda Herdissa (2030122074)

5. Windi Wildaningsih (2030122075)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

kami tentang Sistem Imun.Shalawat serta salam kita haturkan kepada

junjungan nabi Muhammad SAW yangatas perjuangan beliau sehingga kita

dapat tetap hidup dibawah naungan cahaya rahmat dandapat terus menuntut

ilmu guna mendapat derajat kemuliaan di sisi-Nya serta dapat

lebihmengenal hakikat-Nya.Makalah ilmiah ini telah kami susun dan kami

rangkai dengan baik dan benar gunamelengkapi tugas presentasi kami pada

mata kuliah Fitoterapi. Kami harap makalah ini dapatberguna bagi para pembaca

guna menambah pengetahuan.Terima kasih kami haturkan kepada pihak-pihak

yang telah berperan membantu kamidalam menyelesaikan makalah ini,

serta permohonan maaf atas makalah yang memiliki banyak kekurangan

dan kesalahan ini.Semoga makalah ini dapat dipahami dengan baik bagi

para pembacanya dan dapatbermanfaat, baik untuk kami dari tim

penyusun maupun bagi para pembaca. Sebelumnyakami memohon maaf

apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Maka dari itu,

kamimohon kritik dan sarannya untuk perbaikan kami kedepannya.demi

perbaikan di masa depan.


Padang, 15 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG............................................................................. 1

1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................... 2

1.3 TUJUAN................................................................................................ 2

1.4 MANFAAT............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 4

2.1 DEFINISI SISTEM IMUN................................................................... 4

2.2MACAM-MACAM SISTEM IMUN...................................................... 5

2.3 KOMPONEN SITEM IMUN.................................................................. 8

2.4 GANGGUAN SISTEM IMUN............................................................... 9

BAB III PENUTUP...................................................................................... 29

3.1 Kesimpulan........................................................................................... 29

3.2 Saran........................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. iii


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan

kondisi tubuh karena tubuh manusia secara terus – menerus terpapar oleh agen

penginfeksi yang dapat menyebabkan penyakit. Kebanyakan penyakit ataupun

ancaman dari luar lainnya dicegah masuk ke dalam tubuh oleh sistem pertahanan

tubuh manusia yang dikenal dengan sistem imun (Baratawidjaja, 2009).

Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk

mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang

dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Jika sistem kekebalan

bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri

dan virus, serta mengahancurkan sel kanker dan zat asing dalam tubuh. Jika

sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang,

sehingga menyebabkan patogen dapat berkembang dalam tubuh (Yanti, 2010).

Patogen juga dapat mengganggu kerja sistem imun tubuh. Sistem imun

tubuh yang terganggu dapat menyebabkan terganggunya mekanisme respon imun

baik selular maupun humoral. Sistem imun tubuh manusia terdiri dari imunitas

alami atau sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik (Baratawidjaja,

2009).

Sistem ini membentuk antibodi yang bersirkulasi yaitu molekul globulin

yang mampu menyerang agen penginfeksi dalam darah. Antibodi adalah molekul
protein yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B sebagai

respon terhadap stimulasi antigen yang bersifat antigenik. Antibodi bersifat sangat

spesifik dalam mengenali determinan antigenik dari suatu antigen sehingga

apabila suatu organisme mempunyai beberapa determinan antigenik, maka tubuh

akan memproduksi beberapa antibodi sesuai dengan jenis epitop yang dimiliki

oleh setiap mikroorganisme (Elfidasari, dkk., 2014).

Imunomodulator menjadi bagian terpenting dalam dunia

pengobatan.Imunomodulator merupakan zat ataupun obat yang dapat

mengembalikan ketidakseimbangan sistem kekebalan yang terganggu

(Baratawidjaja, 2002).Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan

fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam

pertahanan tubuh di mana kebanyakan orang mudah mengalami gangguan sistem

imun.Secara umum ada dua kategori imunomodulator berdasarkan efeknya yaitu

imunosuppressan (menekan) dan imunostimulator (meningkatkan) (Djauzi, 2003).

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian

ini adalah:

1. Apa itu sistem imun ?

2. Sebutkan macam-macam sistem imun ?

3. Apa saja gangguan pada sistem imun?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari sistem imun

2. Untuk mengetahui macam-macam dari sistem imun

3. Mengetahui gangguan pada sistem imun


1.4 Manfaat

Agar pembaca dapat memahami dan mengetahui mengenai sistem imun serta

gangguannya.
BAB II

ISI

2.1 Definisi Sistem imun

Sistem imun adalah bagian terpenting dari sistem pertahanan tubuh

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2004).Sistem imun melindungi tubuh dari

masuknya berbagai mikroorganisme seperti bakteri dan virus yang banyak

terdapat di lingkungan hidup. Dengan adanya sistem imun, tubuh mampu

mempertahankan diri dari infeksi yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme,

dimana mikroorganisme akan selalu mencari inang untuk diinfeksi. Penurunan

sistem imun akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

Kata imun berasal dari bahasa Latin immunis yang berarti bebas dari

beban (Benjamini et al., 2000).Imunitas diartikan sebagai daya tahan relatif

hospes terhadap mikroba tertentu (Bellanti, 1993).Sistem imun merupakan semua

mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya sebagai

perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam

lingkungan hidup yang dianggap asing bagi tubuh (Baratawidjaja dan Rengganis,

2000; Benjamini et al., 2000).

Mekanisme tersebut melibatkan gabungan sel, molekul dan jaringan yang

berperan dalam resistensi terhadap infeksi yang disebabkan oleh berbagai unsur

patogen yang terdapat di lingkungan sekitar kita seperti virus, 6 bakteri, fungus,

protozoa dan parasit (Kresno, 1996; Baratawidjaja dan Rengganis,

2009).Sedangkan reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel, molekul-molekul dan


bahan lainnya terhadap mikroba disebut dengan respon imun (Baratawidjaja dan

Rengganis, 2009).

Sistem imun memiliki tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan (melawan

patogen), fungsi homeostasis (mempertahankan keseimbangan kondisi tubuh

dengan cara memusnahkan sel-sel yang sudah tidak berguna) dan pengawasan

(surveillance). Pada fungsi pengawasan dini (surveillance) sistem imun akan

mengenali sel-sel abnormal yang timbul di dalam tubuh dikarenakan virus

maupun zat kimia. Sistem imun akan mengenali sel abnormal tersebut dan

memusnahkannya. Fungsi fisiologis sistem imun yang terpenting adalah

mencegah infeksi dan melakukan eradikasi terhadap infeksi yang sudah ada

(Abbas et al., 2014)

2.2 Macam-macam sistem imun

a. Sistem Imun Non Spesifik Respon imun non spesifik merupakan

imunitas bawaan (innate imunity) dimana respon imun terhadap zat asing dapat

terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut

(Kresno, 1996). Imunitas non spesifik berperan paling awal dalam pertahanan

tubuh melawan mikroba patogen yaitu dengan menghalangi masuknya mikroba

dan dengan segera mengeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan tubuh (Abbas

etal., 2014). Respon imun jenis ini akan selalu memberikan respon yang sama

terhadap semua jenis agen infektif dan tidak memiliki kemampuan untuk

mengenali agen infektif meskipun 7 sudah pernah terpapar sebelumnya. Yang

termasuk dalam respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik, biokimia,

humoral dan seluler (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).


b. Sistem Imun Spesifik Respon imun spesifik merupakan respon yang

didapat dari stimulasi oleh agen infektif (antigen/imunogen) dan dapat meningkat

pada paparan berikutnya. Target dari respon imun spesifik adalah antigen, yaitu

suatu substansi yang asing (bagi hospes) yang dapat menginduksi respon imun

spesifik (Benjamini et al., 2000).Antigen bereaksi dengan T-cell Receptor (TCR)

dan antibodi.Antigen dapat berupa molekul yang berada di permukaan unsur

patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang bersangkutan.Ada tiga

tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik yaitu sel T, sel B dan APC

(makrofag dan sel dendritik) (Benjamini et al., 2000).

Respon imun spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator

dan sel B untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen

(Kresno, 1996).Pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara

berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama.Respon imun

spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated immunity) dan respon

imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut terletak pada molekul yang

berperan dalam melawan agen infektif, namun tujuan utamanya sama yaitu untuk

menghilangkan antigen (Benjamini et al., 2000).

Respon imun seluler diperlukan untuk melawan mikroba yang berada di

dalam sel (intraseluler) seperti virus dan bakteri.Respon ini dimediasi oleh

limfosit T (sel T) dan berperan mendukung penghancuran mikroba yang berada di

dalam fagosit dan membunuh sel yang terinfeksi.Beberapa sel T juga

berkontribusi dalam eradikasi mikroba ekstraseluler dengan merekrut leukosit

yang menghancurkan patogen dan membantu sel B membuat antibodi yang efektif

(Abbas et al., 2015).Agen infektif yang berada di luar sel dapat dilawan dengan
respon imun humoral.Respon ini dimediasi oleh serum antibodi, suatu protein

yang disekresikan oleh sel B (Benjamini et al., 2000). Sel B berdiferensiasi

menjadi satu klon sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik

ke dalam darah serta membentuk klon sel B memori (Kresno,1996). Sel B

menghasilkan antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu.Antibodi ini berikatan

dengan antigen membentuk suatu kompleks antigen-antibodi yang dapat

mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut

(Kresno, 1996).

Respon imun humoral ada dalam darah dan cairan sekresi seperti mukosa,

saliva, air mata dan ASI. Elemen lain yang berperan penting dalam respon imun

humoral adalah sistem komplemen. Sistem komplemen diaktivasi oleh reaksi

antara antigen dan antibodi. Ketika aktif sistem komplemen akan melisiskan sel

target atau meningkatkan kemampuan fagositosis sel fagosit (Benjamini et al., 9

2000). Interaksi respon imun seluler dengan humoral disebut antibody dependent

cell mediated cytotoxicity (ADCC) karena sitolisis baru terjadi bila dibantu

antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran sehingga sel

NK dapat melekat pada sel atau antigen sasaran dan menghancurkannya (Kresno,

1996).

Antibodi merupakan faktor yang dapat memberikan kekebalan.Antibodi

terdapat dalam semua cairan tubuh, tetapi konsentrasi tertinggi dan termudah

diperoleh dalam jumlah banyak untuk analisis dari serum darah.Sistem antibodi

memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen

sebelumnya. Jika seekor hewan terpapar suatu antigen yang sama dengan antigen

yang pernah menginfeksi sebelumnya, maka sistem kekebalan akan merespon


antigen ini dengan cepat dan antibodi mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi.

Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat

interaksi limfosit B peka-antigen dan antigen khusus. Antibodi ini akan berikatan

dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan penyingkirannya. Karena

molekul antibodi adalah globulin maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin

(Ig).Istilah imunoglobulin digunakan untuk menggambarkan semua protein yang

mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa protein yang mempunyai struktur

imunoglobulin yang khas tetapi tidak memiliki aktivitas antibodi (Tizard, 1987).

2.3 Komponen Sistem Imun

Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan respons

imun non spesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk memberikan

respons imun spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang

tergolong kedalam system limforetikuler (Oppenheim dkk.,1987; Abbas

dkk.,1991; Roit dkk.,1993).

Sistem ini terdiri atas sejumlah organ limfoid yaitu :

1. kelenjar timus

2. kelenjar limfe

3. limfa

4. tonsil

5. berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :

a. peyer patches yang terdapat pada dinding usus

b. jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran urogenital

c. jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah


Sistem limforetikuler inilah yang merupakan system kendali dari semua

mekanisme respons imun.Disamping system limforetikuler diatas, masih ada

unsur-unsur lain yang berperan dalam mekanisme respons imun, dan factor faktor

humoral lain diluar antibody yang berfungsi menunjang mekanisme tersebut.

2.4 Gangguan Sistem Imun

2.4.1 Alergi

A. Definisi

Alergi adalah gangguan yang disebabkan oleh penglepasan IgE

dari sel mast dan basofil yang terpapar antigen (alergen).Gangguan ini

meliputi anafilaksis, alergi rhinitis, urtikaria, asma dan dermatitis

eksimatous (atopik).Alergi atopik menunjukkan adanya hubungan baik

dalam gangguan tunggal maupun kombinasi.

B. Patofisiologi

IgE berikatan dengan permukaan sel mast dan basofil melalui

reseptor yang herafinitas tinggi.Ikatan tersebut mengaktifkan sel

kemudian dan membentuk mediator-mediator baru termasuk histamin,

prostaglandin, leukotrien (termasuk C4, D4, dan E4, yang secara

keseluruhan dikenal sebagaislow-reacting substance of anaphylaxis-SRS-

A), acid hydrolases, neutral proteases, roteoglycans and

cytokines.Mediator-mediator tersebut menimbulkan kondisi patofisiologi

yang terkait dengan hipersensitivitas seperti vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, kontraksi otot polos, kemotaksis yang

maharik neutrofil dan sel-sel penyebab inflamasi lainnya.


C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik setiap reaksi terutama tergantung pada anatomi

tempat dan waktu terlepasnya dari berbagai mediator.

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Urtikaria terjadi pada superfisial dermis dan terlihat sebagai bentol bulat

dengan tepi yang lebih tebal dan memucat ditengahnya.Bentol tadi dapat

menyatu.Angioedema yang berkaitan dengan lapisan kulit sebelah dalam

dan dapat menjangkau subkutan jaringan.Urtikaria dan angioedema dapat

terjadi secara bersamaan. Gangguan ini dapat diklasifikasisebagai :

 Alergi yang tergantung IgE (IgE-dependent) termasuk atopik,

sekunder terhadap alergen yang spesifik, terutama flu.

 Alergi yang dimediasi bradikinin (yang dimediasi bradikinin)

termasukAngioedema bawaan (angioedema herediter) dan

penghambat enzim pengubah angiotensi)

 Alergi yang diperantarai komplemen (komplemen-mediated)

termasuk vaskulitis nekrotik (necrotizing vasculitis), serum

sickness, dan reaksi terhadap produk darah.

 Alergi nonímmunologi karena pelepasan langsung sel mast atau

obat yang mempengaruhi pelepasan mediator.

 Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).

A. Patofisiologi
Kondisi ini ditandai dengan pembentukan edema massif dermis dan

di jaringan subkutan pada angioedema. Edema diduga sebagai

peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena pelepasan mediator

oleh sel mast atau sel lainnya.

B. Diagnosis

Riwayat dengan perhatian khusus terhadap kemungkinan

pemaparan atan penggunaan dan durasi lesi. Urtikaria vaskulitik

khasbertahan selama 72 jam sedangkan urtikaria biasa berlangsung

selama 48 jam.

 Test kalit (skin testing) terhadap makanan dan antigen yang

terhirup

 Provokasi fisik, misalnya pemaparan berulang dengan vibrator

atau rangsang dingin

 Pemeriksaan laboratorium: komplemen; ESR (pada urtikaria

atau angio- hipokomplentemia); C1-esterase inhibitor bila

riwayat mengaran pada edema yang dimediasi oleh IgE ESR

tidak meningkat dan tidak terjadi dingin. angioedema

herediter; krioglobulin, antigen hepatitis B, dan autoantibodi.

 biopsi kulit diperlukan.

Diagnosis pembanding

Atopik dermatitis, sensitif terhada sentuhan sesuatu, kutaneous

mastositosis (urticaria pigmentosa), sistemik mastositosis.


C. Pencegahan

Identifikasi dan penghindaran dari zat penyebab sedapat mungkin

dilakukan

D. Terapi

 Antihistaimin H1 dan H2 dapat mengatasi: misalnya,

- ranitidin 150 mg sehari 2 kali.

- difenhidramin 25-50 mg sehari 4 kali;

- hidroksizin 25-50 mg sehari 4 kali

- siproheptadin 4 mg sehari 3 kali.

 Obat simpatomimetik kadang bermanfaat.

 Glukokortikoid tidak bermanfaat untuk lelucon urtikaria dan di

angioedema. Glukokortikoid sistemik tidak boleh digunakan

untuk alergi idiopatik (diketahui penyebabnya) atau urtikaria fisik

karena toksisitas jangka panjang.

ALERGI RINITIS

 Alergi rinitis didifinisikan sebagai inflamasi pada hidung yang oleh

bersin rinorea, dan obstruksi (sumbatan) pengeluaran cairan hidung;

Dapat terkait dengan gatal konjungtiva dan faring, lakrimasi, serta

sinusitis.

 Älergi rinitis tergantung pada umumnya disebabkan oleh pemaparan

polen (serbuk sari bunga), terutama dari rumput, pohon, kapang.

Alergi rinitis perenial sering disebabkan olèh kontak dengan debu

rumah yang mengandung antigen kutu debu) dan bulu / kutu hewan.
A Patofisiologi

Pemaparan polen dan alergen lain pada mukosa hidung orang yang

tersensitisasi menyebabkan pelepasan IgE yang merangsang sel tiang,

yang berikutnya melepaskan mediator-mediator yang menyebabkan

hiperemia mukosa, bengkak dan mengeluarkan cairan. Inflamasi

permukaan mukosa hidung mempermudan penetrasi alergen ke

jaringan lebih dalam yang merupakan tempat kontak dengan sel mas

perivenular. Sumbatan ostia sinus dapat mengakibatkan sinusitis

sekunder dengan atau tanpa infeksi bakteri.

B. Diagnosis

Riwayat akurat gejala yang terkait dengan pemaparan polen dari

tanaman pada tempat tertentu, perhatian khusus harus dilakukan pada

penyebab potensilainnya yang mensensitisasi antigen seperti hewan

peliharaan.

 Pemeriksaan fisik: mukosa nasal mungkin berair atau merah

(eritema); ada polip; konjungtiva mungkin inflamasi atau edema;

manifestasi kondisi alergi lain (seperti asma, eksim) dapat terjadi.

 (Skin test) terhadap Ag yang terhisap atau termakan.

 Tes nasal (nasal smear) dapat merangsang pelepasan sejumlah

besar eosinofil; terdapatnya neutrofil dapat menguatkan

keterkaitan dengan. spesifik serum IgE akan meningkat.

Diagnosis Pembanding
Rinitis vasomotor, infeksi saluran nafas atas, pemaparan iritan,

kehamilan dengan edema mukosa, rinitis medicamentosa, rinitis

nonalergi, rinitis dengan eosinofilia, itis karena penggunaan obat

adrenergik.

C. Pencegahan

Identifikasi dan penghindaran terpapar antigen.

D. Terapi

a. Antihistamin

 Atihistamin generasi lama (klorfeniramin, difenhadramin), tetapi

menyebabkan mengantuk dan gangguan psikomotor termasuk

penurunan koordinasi tangan- mata dan penurunan ketrampilam

menyetir mobil.

 Antihistamin yang lebih baru (feksofenadin, loratadin, desloradin,

cetirizin, dan azelastin) memiliki kemampuan yang sebanding

dengan generasi lama tetapi efek mengantuk lebih ringan dan

lebih spesifik terhadap reseptor H1.

 Simpatomimetik oral seperti pseudoefedrin 30-60 mg PO sehari

empat kali memperparah hipertensi. Preparat kombinasi

antihistamin-dekongestan dapat mengimbangi efek samping dan

meningkatkan kenyamanan pasien.

 Vakonstriktor topikal harus diberikan secara hati-hati untuk

mengatasi kongesti dan rinitis kronik karena dapat kembali terjadi

kongesti dan rinitis kronik pada penggunaan jangka panjang.


 Glukokortikoid nasal topikal, misalnya beklometason,

disemprotkan pada tiap lubang hidung sehari dua kali atau

flutikason, dua semprotan pada setiap lubang hidung sehari sekali.

 Kromoglikat natrium nasal topikal, 1-2 semprotan pada setiap

lubang hidung sehari 4 kali.

 Terapi hiposensitisasi bila terapi yang lebih konservatif tidak

berhasil.

b. Kromolin / Kromoglikat

Mekanisme kerja: menstabilkan sel mast yang melepaskan

histamin dan mediator alergi lainnya.

Indikasi: inhalasi untuk pencegahan asma bronkila berat,

mencegah asma yang diinduksi kerja,

pencegahan bronkospasma yang diinduksi oleh

polutan lingkungan dan antigen yang tidak

diketahui. Larutan nasal: mencegah alergi

rinitis.

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap kromoglikat:

Efek Samping :SSP, pusing, sakit kepala; kulit: ruam, urtikaria,

angioedema; THT: lakrimasi, iritasi, rasa panas

pada hidung, bersin, sumbatan pada hidung,

pengecapan tidak enak, tenggorokan kering;

saluran cerna: mual, rasa panas uluhati, diare

(bentuk oral). Ginjal: disuria, sering urinasi;


mata: berair, panas, perih, gatal, bengkak,

saluran pernafasan: batuk, bersin,

bronkospasme.dll sendi nyeri dan bengkak,

RESP : batuk, bersin,bronkospame. Ibu hamil:

dapat diberikan dengan hati.

Peringatan :penggunaan pada ibu menyusui belum diketahui.

Anak; keamanan penggunaan inhalasi dan

larutan nasal belum diketahui pada anak <6

tahun. Penggunaan eorosol pada pasien aritmia

dan penyakit arteri koroner harus berhati-hati

karena adanya propelan pada sediaan ini.Batuk

dan bronkospasme dapat terjadi setela

penggunaan inhalasi. Dapat terjadi shok

anafilaksis, "gangguan fungsi jantung dan ginjal

Dosis :dewasa dan anak: 10 mg (2 jika hirupan) 4 kali sehari

pada awal pemberian, dosis dapat ditambah

penyakit bertambah berat sampai 6- 8 kali

sehari. Dosis tambahan dapat diberikan sebelum

olahraga; dosis penunjang 5 mg. Larutan nasal:

semprot pada setiap lubang hidung 1 semprotan

(5,2 mg) 3-6 kali sehari dengan interval fungsi

jantung dan ginjal. Dosis yang sama.

Anjuran :Penggunaanperlu dilakukan secara teratur


c. Pseudoefedrin

Mekanisme kerja:vasokonstriksi dan penciutan membran mukosa

hidung.

Indikasi :Mengurangi kongesti hidung dan tuba

eustakhius.:

Kontraindikasi :Hipersensitivitas terhadap amin

simpatomimetik, hipertensi bor jantung

koroner; terapi MAO inhibitor; ibu menyusui.

Dosis : Pseudoephedrine Hcl: Dewasa: PO 60 mg

setiap 4-6 jam, tiodal> 240 mg / hari Anak 6-

12 tahun: PO 30 mg setiap 4 - 6 jam, tidak

melebihi tidak melebihi 60 mg / hari Anak 1-2

tahun: PO 7 tetes (0.2 mike Indikasi

Kontraindikasi Dosis 120 mg / hari. Anak 2-5

tahun: PO 15 mg setiap 4 - 6 jam 4 -6 jam.

Tidak melebihi 4 dosis / hari. Anak 3-12

bulan: PO setiap 3 tetes / kg setiap 4 - 6 jam,

tidak lebih dari 4 dosis / hari.

Interaksi : dengan furazolidin, guanetidin, metildopa;

peningkatan tekanan darah. Dengan

penghambat MAO: sakit kepala berat,

hipertensi, hiperpireksia; dapat menimbulkan

hipertensi krisis; DenganNH4 Cl dan


pengasam urin; meningkatkan eliminasi

pseudoefedrin; pengalkalis urin (NaHCO®):

menurunkan eliminasi pseudoefedrin.

Efek Samping : KV: aritmia; kolaps KV dengan hipotensi;

takikardia; bradikardia; hipertensi sementara.

SSP: cemas; mudah emosi; pusing, pusing,

susah tidur, gelisah; depresi. Kulit: pucat.

Cerna saluran; anoreksia, mual, muntah,

mulut kering. Saluran urín: sulit urinasi.

Peringatan : Kehamilan: kategori C. Jangan diberikan pada

ibu menyusul. Penggunaan pada anak <3

tahun harus di bawah pengawasan dokter.Pada

orang tua yakinkan bahwa penggunaan produs

berefek pendek ditoleransi sebelum

penggunaan produk Interaksi Efek Samping

Peringatan lama (pelepasan

berkelanjutan).Penggunaan hati-hati pada

pasien denga hipertiroid, diabetes, peningkatan

tekanan intraokuler atau hipertropi prostat.

2.4.2 Lupus EritematosusSistemik(LES)

A. Definisi dan patogenesis

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit kerusakan sel

dan jaringan Luat deposisi kompleks imun dan autoantibodi.Faktor


genetik, lingkungan dan seks tampaknya bermain pada patogenesis

LES.Pada penyakit ini terjadi Lineraktivitas sel T dan B, produksi

autoantibodi dengan spesifisitas determinan inti antigenik.

B. Manifestasi Klinis

Sebagian besar penderita adalah perempuan (90%), biasanya pada

usia melahirkan, dan lebih sering pada ras kulit hitam di banding ras kulit

putih. Perjalanan penyakit selatif lambat dan sering pada suatu periode

betambah parah.Dapat melibatkan sistem dan organ tubuh serta kisarahan

keparahan yang lebar. Gambaran umum:

 Konstitusional; lelah, demam, malaise, berat badan turun.

 Kulit: ruam teurutama ruam seperti kupu-kupu di muka, fotosensitif,

vaskulitis, alopesia, ulkus mulut.

 Artritis; inflamasi, simetris nonerosif.

 Hematologi-anemia (mungkin hemolitik), neutropenia,

trombositopenia, limfadenopati, splenomegali, trombosis vena atau

arteri

 Kardiopulmonari-pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis

 Nefritis

 saluran cerna-peritonitis, vaskulitis

 Neurologi-otak organik (sindrom otak organik), kejang, psikosis,

serebritis
C. Terapi

Obat vang menginduksi Lupus

Suatu gambaran kilinik dan imunologi yang mirip dengan LES spontan

dapat diinduksi oleh obat misalnya prokainamid, hidralasin, isoniazid,

klorpromazine, metildopa. Gambaran klinis terutama pada sendi, dan

pleuroperikardial; SSP dan gangguan ginjal jarang. Pada semua pasien

ditemui antinuclear antibodies (ANA); antibodi antihiston mungkin ada

tetapi antibodi terhadap dsDNA dan hipokomplementemia tidak umum

didapati. Hampir semua pasien akan membaik bila obat dihentikan.

Pilihan terapi bergantung pada tipe dan keparahan manifestasi

klinik.Sasaran mengendalikan inflamasi akut dan berat dan strategi untuk

mengendalikan gejala pada tahapan vang dapat diterima pasien.

Terapi konservatif pada LES yang tidak mengancam jiwa

 AINS (ibuprofen 400-800 mg 4-4 kali sehari)

 Antimalaria (hidroksiklorokuin 400 mg / hari) -dapat memperbaiki

manifestasi kulit dan konstituoanal. Evaluasi mata yang diperlukan

sebelum dan selama pengobatan untuk menghindari toksisitas pada

mata.

Terapi untuk LES yang mengancam iiwa

 Glukokortikoid sistemik.

 Obat sitotoksik yang bermanfaat pada glomerulonefrítis aktif;

mungkin dibutuhkan pada yang tidak sukses dengan terapi steroid:


 Siklofosfamid. IV 7-25 mg / kg setiap 4 minggu. Dosis oral

harian 5 mg / kg per hari juga dapat digunakan risiko tetapi

toksisitas pada ginjal lebih besar.

 Mikofenolat mofetil- studi jangka pendek menunjukan efikasi ada

pasien LES

 Azathioprine - diindikasikan untuk pasien yang tidak dapat

menggunakan pada yang tidak berhasil dengan terapi steroid:

siklofosfamid.

 Antikoagulan- diindikasi kan untuk pasien dengan komplikasi

trombotik

2.4.3 Ganda Sklerosis Deskripsi Penyakit

A. Definisi

Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit yang timbul akibat

inflamasi kompleks di Alinisnya bervariasi, Kerusakan yang terjadi

dibanyak area di otak dan medula spinalis yang menimbulkan banyak

susunan saraf pusat (SPP); Demyelinasi dan kerusakan akson yang

gejala dan gambaran gejala neurologi dan gejala oleh area sklerosis

(plak) yang menjadi ciri utama dari penyakit ini,

B. Etiologi

Penyebab penyakit ini belum diketahui penyebabnya walau telah

diketahui sejak Penye 140 tahun lalu. Penyakit pada umumnya

terdiagnosa pada umur antara 15-45 Matahari dan puncak terjadi pada
umur dekade keerapat kehidupan dan lebih terjadi pada perempuan

dibanding laki-laki (2: 1) Pada laki-laki MS yang terdeteksi Sebap awal

pada usia lebih lanjut dibánding pada perempuan dan juga lebih

senderung berkembang ke tahap progresif.

C. Patofisiologi

Masih belum jelas. Lesi MS akut dapat dibagi dalam 4 tipe

imunopatologi berdasarka variasi tingkat ketajaman tepi plak, hilangnya

protein myelin yang spesifik, dan jumlah sel imun ig yang terdapat pada

plak. Patogenesis kejadian plak pada MS belum diketahui pasti.

Perkembangan klinis MS dapat dibedakan dalam 4 pola

1. Relapsing Remitting MS (RRMS)

Terjadi pada sekitar 8% pasien. Pasien mendapat serangan gejala

baru) yang berlangsung tidak 24 jam dan terpisah dengan gejala baru

lainnya yang tidak 30 hari kemudian dan diikuti dengan perbaikan

secara lengkap atau tidak lengkap.

2. Progressive Sekunder MR (SPMS)

Sebagian besar pasien RRMS masuk ke fase progresif yaitu fase

serangan dan nerbaikan umumnya sulit untuk

diidentifikasi.Ketidakmampuan cenderung menumpuk dan nyata

selama fase ini.Lesi dan atropi otak baru ditemui dari gambaran

pemeriksaan MRI.Gejala paraparesis spastik terutama muncul pada

fase ini.Lima belaspersen pasien yang mendapat PPMS tidak pernah


mendapat serangan RRMS.Pasien PPMS cenderung mengalami

prognosis yang lebih buruk di banding yang mulai dengan RRMS. .

3. Primary Progressive(PPMS)

Pasien dengan gejala paraparesis spastik progresif primer.Lima belas

persen pasien yang mendapat PPMS tidak pernah mendapat serangan

RRMS.sien PPMS cenderung mengalami prognosis yang lebih buruk

dibanding yang dimulai dengan RRMS.

4. Progressive Relapsing (PRMS)

Pola campuran antara kedua pola perkembangan dan relaps,

persentasi pasien yang mengalami tipe ini sedikit.

D. Terapi

Sasaran terapi MS secara aman adalah mencegah kerusakan saraf yang

menetap.Terapi MS dibagi dalam 3 kategori.

1. Terapi simtomatik melayani untuk mempertahankan kualitas hidup

pasien.

2. Terapi serangan akut untuk memperpendek durasi dan yang

menurunkan keparahan serangan.

3. Terapi modifikasi penyakit yang ditujukan untuk mengubah

perjalanan penyakit dan yang terpenting adalah menurunkan

kekambuhan, mencegah kerusakan saraf, dan mencegah kecacatan.

Terapi Kekambuhan Akut

Kekambuhan akut ringan vang tidak menurunkan fungsi tidak

memerlukan terapi.Bila gangguan fungsi terapi yang diajarkan


bervariasi.Standar intervensi adalah Kortikosteroid dosis tinggi secara

parenteral.dan berdasarkan studi yang terbaik adalah metilprednisolon

IV. Mekanisme kerja kortikosteroid pada MS belum diketahui, tetapi

remberian metilprednisolon IV menurunkan durasi kekambuhan dan

diduga steroid memperbaiki fungsi dengancara memperkecil edema di

daerah demyelinasi erangan berulang sampai 2 tahun setelah neuritis

optikus walau belum pasti mempengaruhi perkembangan penyakit.

Akhir-akhir ini digunakan metilprednisolondosis tinggi secara oral.

Dosis metilprednisoloa berkisar antara 500-1000 mg / hari secara iv .

Durasi terapi bervariasi 3 hari – 10 hari tergantung dari resoin klinik.

Perbaikan biasanya terjadi sesudah 3-5 hari penggunaan.Penggunaan

jangka pendek sering menimbulkan gengguan tidur, pengecapan metalik,

dan gangguan saluran cerna (jarang).pasien yang menderita diabetes

mungkin mengalami gangguan peningkatan glukosa yang

nyata.Penggunaan metilprednisolon jangka panjang dapat menimbulkan

jerawat dan infeksi jamur, perubahan mood dan gangguan saluran cerna

(jarang).

Sebagian kecil pasien mengalamiserangan akut yang sangat parah dengan

manifestasi hemiplegia, paraplegia, atau quadriplegia. Bila pasien

tersebut gagal membaik setelah terapi kortikosteroid maka pertukaran

plasma setiap selang sehari untuk 7 terapi dapat membantu di sekitar

40% pasien.

Terapi Pengubahan Penyakit


1. Interferon

Berdasarkan bukti interferon menurunkan kecepatan serangan pada

pasien MS atau yang pasti menderita MS atau RRMS / SPMS dan

yang masih baru mengalami relaps, pada profil efek samping.

Kecepatan penetralan antibodi interferon beta-1a kurang berisiko

MS. Bukti lain juga menunjukkan bahwa bermanfaat pada pasien

Walaupun efektifitas interferon pada pasien SPMS tanpa kambuh

belum memberikan interferon mungkin tidak berpengaruh pada

efikasinya tapi berpengaruh pada interferon beta-1b.

2. Glatiramer asetat

Obat ini efek penurunan kecepatan serangan pada pasien dene

RRMS dan dapat mendukung perkembangan ketidakmampuan

larangan pada paslen RRMS.

3. Mitoksantron

Mitoksantron dapat menurunkan kecepatan serangan pada Dasien

kekambuhan tipe RRMS dan efeknya bermanfaat pada

perkembangan penyakit pasien tipe MS.

Obat

1. Interferon beta

Interferon beta digunakan untuk pengobatan multiple sklerosis

kambuhan (RRMS) yang mampu berjalan tanpa bantuan.Tidak


semua pasien memberikan respon positif.Interferon beta1B juga

diindikasikan untuk pasien multiple sklerosis secondary progressive

(SPMS), tapi masih belum dapat dipastikan hasilnya.Interferon beta

tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki riwayat penyakit

depresi berat, epilepsi yang tidak terkontrol, atau yang mengalami

gangguan fungsi hati terdekompensasi, dan pada pasien gangguan

jantung serta myelosupresi.Efek samping yang paling sering

dilaporkan adalah iritasi pada tempat injeksI, (termasuk inflamasi,

nekrosis, hipersensitivitas) dan gejala seperti flu (demam, menggigil,

mialgia, atau lemas), tetapi gejala tersebut lama-lama

mereda.Kadang terjadi mual dan muntah.

Indikasi: multiple sklerosis kambuhan (kambuh-remisi multipel).

Mengurang frekuensi dan keparahan

kekambuhan selama 4 tahun dan

memperlambat munculnya ketidakmampuan

Kontraindikasi :hipersensitif terhadap interferon natural atau

rekombinan, albuminatau komponen

formula. Kehamilan

Peringatan :interferon yang terkait dengan gangguan psikiatri

berat pada pasien dangan atau tanpa gejala psikiatri.

Gangguan otoimun dan alergi termasuk syok ata laksis

laporan terjadi. Hati-hati penggunaan pada gangguan

hati
2. Glatiramer asetat

Indikasi : multiple sklerosis tipe kambuhan (RRMS)

Kontraindikasi: hípersensitif terhadap glatiramer asetat, manitol,

atau komponen formula

Peringatan: Tidak untuk intra vena, hanya untuk pemerian secara

subkutan, Obat ini bersifat antigenik ,

sehingga dapat menyebabkan respon yang

tidak diinginkan. Keamanan dan efik belum

ditetapkan pada pasien dengan gagal ginjal,

orang tua dan pasien <18 tahun.

Penggunaan pada ibu hamil hanya bila benar-benar

dibutuhkan,termasukcolongan B. Ekskresi di ASI belum

diketahui

ROTD: 10%; KV: vasodilatasi (27%), nyeri dada (21%),

palpitasi (17%). SSP: nyeri (28%), cemas (23%),

Kulit: pruritus (18%), ruam (18%) .. Saluran cerna:

mual (22%), diare (129%). Lokal: tempat injeksi: nyeri

(73%), eritema (66%), radanag (49%), pruritus (40%),

masa (27%), indurasi (13%), bengkak (11%). Otot-

saraf: lemah (41%), artralgia (24%), hipertoni (22%),

sakit punggung (backpain) (16%). Pernafasan: sesak

nafas (19%), rinitis (14%). Lain-lain: infeksi (50%),


gejala seperti flu (19%), diaphoresis (15%),

limfadenopatie (12%)

3. Mitoksantron

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Resume Jurnal 1

REVIEW : MANFAAT TANAMAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata

Ness)
TERHADAP SISTEM IMUN TUBUH

I. PENDAHULUAN

Sistem pertahanan tubuh atau disebut juga dengan sistem imun.Sistem ini

bertanggung jawab melindungi tubuh dari benda-benda asing yang masuk

sehingga fungsi tubuh tidak terganggu (Roitt, 2017).Imunitas merupakan suatu

reaksi dalam tubuh terhadap bahan asing yang masuk ke dalam tubuh secara

molekuler atau selular.Sel yang terlibat dalam sistem imun dalam tubuh adalah sel

T yangdihasilkan oleh timus dan sel B yang dihasilkan sumsum tulang belakang.

Perkembangan dan aktivitas dari sel T dapat distimulasi dengan cara penambahan

suatu immunomodulator (Sukmayadi et al., 2014).

Imunomodulator merupakan senyawa yang mengubah aktivitas sistem imun

tubuh dengan dinamisasi regulasi sel-sel imun seperti sitokin (Spelman et al.,

2006).Cara kerja imunomodulator adalah mengembalikan fungsi imun yang

terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi)

dan menekan respons imun (imunosupresi).

Tanaman yang berkhasiat sebagai imunomodulator dapat diawali dari

penggunaan tanaman tersebut secara empiris.Senyawa-senyawa yang mempunyai

prospek cukup baik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun biasanya dari

golongan flavonoid, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E (tokoferol) dan

katekin (Sylviatullatviya, 2015).

Salah satu tanaman obat yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator

adalah sambiloto (Andrographis paniculata Ness).Sambiloto memiliki senyawa

aktif bernama andrografolid, senyawa ini dapat berperan sebagai


immunomodulator khususnya imunostimulan yang mampu meningkatkan kerja

sistem imun (Sumaryono, 2002).

II. METODE

Pengumpulan artikel ilmiah penelitian sebelumnya untuk mendapatkan

informasi dan membuat ringkasan berupa review artikel ilmiah.

III. HASIL dan PEMBAHASAN

Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam suatu mahluk hidup

yang melindunginya terhadap infeksi dengan mengidentifikasi dan membunuh

substansi patogen.Sistem ini dapat mendeteksi bahan patogen, mulai dari virus

sampai parasit dan cacing serta membedakannya dari sel dan jaringan normal.

Sistem imun bila terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis

respon imun yang mungkin terjadi, yaitu: respon imun non spesifik dan respon

imun spesifik. Respon imun non spesifik umumnya merupakan imunitas bawaan

(innate immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi

walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar Sekitar 25 orang (62,5%)

berjenis kelamin perempuan. sedangkan respon imun spesifik umumnya

merupakan respon imun didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu

(Kresno, 2001).

Pada penelitian yang dilakukan Muhlisah (2006) menyatakan bahwa

sambiloto mengandung eoxyandrographolide, andrographolide, 14-deoxy-11,

neoandrographolide, 12- didehydroandrographolide, homoandrographolide, di

terpenoid dan flavonoid.

Sambiloto memiliki senyawa aktif bernama andrographolide.Andrographolide

merupakan senyawa yang masuk dalam grup trihidroksilakton.Senyawa ini


merupakan komponen utama tanaman sambiloto yang dapat dengan mudah larut

dalam methanol, ethanol, pyridine, asam asetat, dan aceton, tetapi sedikit larut

dalam ether dan air. Sifat fisika dari andrographolide adalah sebagai berikut: titik

leleh 228-230oC, seltrumultraviolet dalam ethanol λ maksimal 223 nm (Kumoro,

2007).

Andrographolide berperan sebagai immunomodulator khususnya imunostimulan

yang mampu meningkatkan kerja sistem imun (Muhlisah, 2006). Zat ini diketahui

meningkatkan produksi sel-sel mononuklear darah tepi,tumor necrosis factor

(TNF)-α, interferon (IFN)-α, dan (IFN)-γ, serta meningkatkan aktivitas fagositosis

makrofag. Hasil tersebut menunjukkan bahwa andrographolide dapat bertindak

sebagai imunostimulan yang mampu menstimulan baik fungsi kekebalan spesifik

maupun tidak spesifik melalui sel NK, makrofag, dan induksi sitokin (Alkandahri,

2018).

Kandungan andrographolide yang terdapat pada tanaman sambiloto mampu

meningkatkan fungsi sistem pertahanan tubuh seperti sel darah putih untuk

menyerang bakteri dan antigen lainnya (immunomodulator), flavonoid sebagai

antiinflamasi, dan tanin sebagai antidiare (Sumaryono, 2002).

Tanaman sambiloto juga bisa menjadi imunosupresor yang dapat menurunkan

respon kekebalan tubuh saat sistem kekebalan tubuh meningkat melebihi kondisi

tubuh normal (Wurlina, 2017).Mekanisme kerja dari sambiloto sebagai

imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal. Hal ini

dikarenakan sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik

(ACTH) dari kelenjar pituitari anterior yang berbeda di dalam otak yang

selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal bagian kortek untuk memproduksi


kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini selanjutnya akan bertindak sebagai

imunosupresan (Boden, 2006).

Dalimunthe (2006) menyatakan secara umum sambiloto tidak menimbulkan

efek samping yang serius, sampai saat ini jarang ditemui efek samping yang tidak

diinginkan saat sambiloto digunakan. Uji toksisitas pada mencityang dilakukan

oleh Katrin et al (2014) menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain

yang terdapat pada sambiloto berdasarkan klasifikasi toksisitas relatif, nilai

toksisitas tersebut termasuk ke dalam kelompok praktis tidak toksik pada

pemberian oral dosis tunggal. Pada uji toksisitas, dosis uji tertinggi yang diuji

adalah 5000mg/kg BB mencit maka ekstrak etanol daun sambiloto baik yang tidak

diradiasi maupun yang diradiasi 7,5 kGy dapat dinyatakan aman.

IV. KESIMPULAN

Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Ness) merupakan salah satu

tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional.Tanaman ini memiliki potensi

untuk dikembangkan sebagai terapi alternative dalam meningkatkan sistem imun

tubuh.Hal ini dikarenakan tanaman sambiloto memiliki kandungan

deoxyandrographolide, andrographolide, 14-deoxy-11, neoandrographolide, 12-

didehydroandrographolide, homoandrographolide, diterpenoid dan flavonoid yang

dapat bertindak sebagai imunomodulator.Kandungan andrographolidedalam

tanaman sambiloto dapat berperan sebagai imunostimulan yang mampu

meningkatkan kerja sistem imun saat sistem kekebalan tubuh menurun.Sambiloto

dapat merangsang system imun tubuh baik berupa respon antigen spesifik maupun

respon imun non spesifik dan menghasilkan sel fagositosis.Tanaman sambiloto

juga bisa menjadi imunosupresor yang dapat menurunkan respon kekebalan tubuh
saat sistem kekebalan tubuh meningkat melebihi kondisi tubuh normal.Namun

secara umum sambiloto tidak menimbulkan efek samping yang serius, sampai saat

ini jarang ditemui efek samping yang tidak diinginkan saat sambiloto digunakan.

Resume Jurnal 2
PENGARUH PEMBERIAN DOSIS EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri

L) TERHADAP TITER ANTIBODI NEWCASTLE DISEASE DAN AVIAN

INFLUENZA PADA BROILER JANTAN

I. PENDAHULUAN

Broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber

pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat

pertumbuhannya, karena merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi

sehingga memiliki sifat ekonomi yang menguntungkan, diantaranya dapat dipanen

umur 4 minggu.

Timbulnya kasus penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dicegah dengan

cara meningkatkan titer antibodi pada broiler. Antibodi adalah protein

yangterbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke dalamtubuh dan

bereaksi secara spesifik dengan antigen tersebut. Titer antibodi dapat ditingkatkan

dengan cara memberikan bahan tambahan sebagai perangsang sistem imun atau

dikenal sebagai imunomodulator.

Penggunaan produk herbal kini mulai digunakan oleh peternak, salah satunya

adalah penggunaan imunomodulator yang dapat ditambahkan ke dalam pakan

pada broiler maupun air minum pada broiler.Salah satu tanaman herbal yang

diketahui mengandung senyawa imunomodulan dan dapat dijadikan sebagai

imunomodulator adalah meniran (Phyllanthus niruri L).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (2006) melaporkan meniran merupakan

salah satu obat imunomodulator, yaitu obat yang dapat memperbaiki atau

meningkatkan sistem kekebalan tubuh.Senyawa yang berperan dalam hal ini


adalah golongan flavonoid yang merupakan komponen utama dalam meniran.

Flavonoid bekerja pada sel-sel tubuh dengan cara mengirimkan sinyal intraseluler

pada reseptor sel, sehingga sel bekerja secara optimal. Senyawa yang terkandung

dalam meniran, antara lain phyllanthin dan hyphophyllanthin merupakan dua

senyawa yang memiliki aktivitas anti-inflamasi sehingga dapat menguatkan

imunitas.

II. METODE

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada April — Mei 2019 di unit kandang Laboratorium

Lapang Terpadu Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.Analisis darah

dilakukan di Balai Veteriner Provinsi Lampung.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu DOC broiler jantan jenis

CP 707 strain Cobb sebanyak 60 ekor yang akan dipelihara selama 28 hari;

ransum dengan kode HI-PRO 611 yang diberikan secara ad libitum; sediaan

Phyllanthus niruri L. dalam bentuk kapsul; air minum sesuai perlakuan yang

diberi esktrak meniran (phyllanthus niruri L) dan air minum yang diberi secara ad

libitum setelah perlakuan; bahan untuk pengujian titer antibodi dengan metode

Haemoglutination Inhibition (HI) meliputi isotonis PBS (phosphat buffer saline)

pH 7,4, cairan chorion allantois, antigen ND dan AI, serta RBC (red blood cell)

1%;

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang broiler; bambu

untuk membuat 20 petak kandang; sekam dan koran bekas sebagai litter; plastik

terpal untuk tirai; lampu pijar sebagai sumber pemanas; chik feeder tray sebanyak
20 buah; tempat minum manual sebanyak 20 buah; ember sebanyak 1 buah;

nampan air dipping sebanyak 1 buah; hand sprayer sebanyak 1 buah; timbangan

kapasitas 10 kg yang digunakan untuk menimbang ransum sebanyak 1 buah;

timbangan digital untuk menimbang ayam sebanyak 1 buah; termohigrometer

untuk mengukur suhu dan kelembaban dalam kandang; karung dan plastik;

soccorex untuk pemberian vaksin AI pada subkutan leher sebanyak 1 buah;

dispossable syringe 5 ml untuk mengambil sampel darah ayam sebanyak 20 buah;

tabung eppendorf untuk wadah serum darah sebanyak 20 buah; peralatan

pengujian titer antibodi ND dan AI dengan metode Haemaglutination Inhibition

(HI), meliputi micromixer,microplate tipe V, micropiper multichannel, dan

micropipet single alat tulis, kertas.

Metode

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat

perlakuan dan lima ulangan sehingga ada 20 unit percobaan.

Perlakuan yang diberikan, yaitu air minum tanpa ekstrak meniran /kontrol PO),

air minum dengan 1,5 mg/kg BB/hari ekstrak meniran(P1), air minum dengan 3

mg/kg BB/hari ekstrak meniran (P2), dan air minum dengan 4,5 mg/kg BB/hari

ekstrak meniran(P3).

Pelaksanaan percobaan meliputi kegiatan: persiapan kandang dilakukan

minimal satu minggu sebelum DOC datang (chick in), melakukan pemeliharaan

selama 28 hari dengan memisahkan broiler ke dalam petak-petak kandang sejak

umur 1 hari dan setiap petak kandang terdiri dari 3 ekor ayam, melakukan

program vaksinasi agar ayam tidak terserang penyakit. Vaksin yang diberikan

terdiridari vaksin ND-AI (killed), ND (live) dan Gumboro. Vaksin ND-AI (killed)
diberikan saat ayam berumur 7 hari melalui injeksi subkutan bersamaan dengan

vaksin ND (live) diberikan melalui tetes mata. Vaksinansi Gumboro dilakukan

pada saat ayam berumur 13 hari melalui tetes mulut.

Pengambilan sampel darah dilakukan ketika broiler berumur 28 hari yaitu saat

akhir pemeliharaan.Sampel darah diambil sebanyak 1 ekor dari setiap petak

percobaan (20 sampel). Sampel darah diambil menggunakan disposable syringe 5

ml melalui vena brachialis sebanyak 1– 1,5 ml. Sampel darah yang telah diambil

didiamkan tetap berada di dalam dispossable syringe dan didiamkan sampai

terjadi pemisahan antara darah dengan serum darah yang berwarna kuning. Serum

darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan diberi label sesuai

dengan perlakuan. Serum dikirim ke Laboratorium Virologi Balai Veteriner

Lampung untuk analisis titer antibodi ND dan AI.

Data titer antibodi dari masing-masing perlakuan dan kontrol disusun dalam

bentuk tabulasi sederhana untuk diolah dengan menggunakan analisis of varian

(ANOVA) pada taraf nyata 5%.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perlakuan terhadap Titer Antibodi Avian Influenza (AI) pada Broiler

Jantan

Hasil pemeriksaan titer antibodi Avian Influenza (AI) pada broiler jantan dapat

dilihat pada Tabel 1.


Berdasarkan hasil analisis ragam (P≥0,05) menunjukkan bahwa pemberian

ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) pada air minum broiler jantan tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap titer antibodi Avian Influenza (AI).

Berdasarkan rata-rata, perlakuan tanpa pemberian dosis ekstrak meniran (P0)

menghasilkan titer antibodi yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P2

yaitu 6,8. Namun, titer antibodi AI yang dihasilkan pada P0 masih belum berada

pada level protektif .

Pemberian meniran pada P1 hingga P3 menunjukkan adanya

kecenderungan kenaikan titer antibodi AI pada broiler jantan.Hal ini diduga

ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) dapat bertindak sebagai imunostimulan

sehingga pada dosis yang sesuai, titer antibodi AI pada broiler dapat

meningkat.Tanaman meniran memiliki kandungan flavonoid yang memiliki

manfaat sebagai imunomodulator.Meniran sebagai imunomodulator dapat

meningkatkan fungsi kekebalan tubuh alamiah, sehingga besar kemungkinan

unggas dapat terhindar dari beberapa penyakit seperti avian influenza atau flu

burung, dan mareks.


Pemberian ekstrak meniran pada broiler jantan belum mampu mencapai

level protektif. Rataan titer antibodi AI tertinggi pada broiler jantan terdapat pada

P3 dengan dosis 4,5 mg/kg BB/hari. Titer antibodi AI yang terbentuk belum

mencapai level protektif pada semua perlakuan, kemungkinan dapat disebabkan

kurangnya dosis dalam pemberian ekstrak meniran pada air minum broiler jantan.

Apabila dosis yang diberikan semakin tinggi maka semakin banyak pula senyawa-

senyawa yang ada di ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) yang terserap oleh

tubuh broiler jantan.Subowo (1993) menyatakan bahwa apabila dosis minimal

suatu antigen telah dilampaui, maka semakin tinggi dosisnya, semakin meningkat

pula respon imunnya secara sebanding.

Pembentukan titer antibodi AI pada broiler jantan yang kurang optimal

diduga karena perkembangan bursa fabricius terhambat oleh hormon sehingga

pemberian ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap peningkatan titer antibodi.Rohyati (2002) menyatakan bahwa

perkembangan bursa fabricius broiler jantan sangat terhambat oleh hormon

testosteron sehingga maternal antibodi pada jantan lebih cepat habis dibandingkan

betina karena hormon estrogen pada ayam betina tidak menghambat

perkembangan bursa fabricius.Bursa fabricius merupakan organ limfoid yang

hanya dimiliki oleh unggas dan berfungsi sebagai penghasil dan tempat

pendewasaan limfosit serta berisi makrofag dan sel plasma.Adanya titer antibodi

AI dikarenakan vaksinasi AI yang dilakukan pada pemeliharaan hari ke-7 melalui

subkutan pada leher.

Pengaruh perlakuan terhadap Titer Antibodi Newcatle Disease (ND) pada Broiler

Jantan Rataan titer antibodi ND pada seluruh kelompok perlakuan dengan


pemberian ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) pada broiler jantan dapat dilihat

pada Tabel 2.

Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa ekstrak meniran yang

digunakan dalam penelitian ini tidak efektif untuk meningkatkan titer antibodi ND

pada broiler jantan. Block dan Mead (2003) menyatakan bahwa sifat

imunomodulator dibagi menjadi tiga, yaitu imunostimulan (meningkatkan sistem

imun), imunorestorasi (memperbaiki sistem imun), dan imunosupresan

(menurunkan sistem imun). Titer antibodi ND yang dihasilkan pada broiler jantan,

ekstrak meniran diduga berperan sebagai imunosupresan (menurunkan sistem

imun).

Hasil titer antibodi ND yang mengalami penurunan juga dapat disebabkan

oleh suhu lingkungan. Rata-rata suhu lingkungan di dalam kandang pada saat

penelitian yaitu 29,40C dengan kelembapan 69,1%. Helmi (2008) menyatakan

suhu lingkungan yang optimum untuk broiler umur 22-35 hari sekitar 26 0C

dengan kelembapan 60%. Tingginya suhu dan kelembapan yang terdapat di

lingkungan kandang menyebabkan broiler mengalami cekaman panas/heat stress


sehingga mempengaruhi kondisi fisiologis dan kesehatan pada broiler. Kasus heat

stress lebih banyak terjadi pada ayam dewasa karena sudah memiliki bulu yang

lengkap atau sempurna sehingga sulit untuk melepaskan panas dari tubuhnya,

selain itu ukuran tubuh broiler yang besar juga memproduksi lebih banyak panas.

Adanya berbagai kandungan di dalam phyllanthus niruri L.seperti flavonoid

memungkinkan ekstrak meniran (phyllanthus niruri L) dapat bekerja sebagai

imunostimulan atau imunosupresan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari

(2014) yang menyatakan bahwa tanaman meniran memiliki aktivitas peningkatan

sistem imun yang baik Sebagai immunomodulator, meniran tidak semata-mata

berefek meningkatkan sistem imun, tetapi juga menekan sistem imun apabila

aktivitasnya berlebihan. Jika aktivitas sistem imun berkurang, maka kandungan

flavonoid dalam meniran akan mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel

untuk meningkatkan aktivitasnya. Sebaliknya, jika sistem imun kerjanya

berlebihan, maka meniran berkhasiat dalam mengurangi kerja sistem imun

tersebut.Jadi, meniran berfungsi sebagai penyeimbang sistem imun.

Faktor hormon diduga memberikan pengaruh terhadap pembentukan titer

antibodi ND yang tidak protektif pada kelompok perlakuan.Hormon seks

mengatur fungsi kekebalan tubuh bawaan dari monosit, sel dendritik, makrofag,

sekresi interferon, dan produksi sitokin.Broiler jantan memiliki hormon

testosteron, sedangkan broiler betina memiliki hormon estrogen.Kehadiran

estrogen dan testosteron juga dapat berdampak secara tidak langsung pada sel-sel

kekebalan (Klein et al., 2014).

IV. KESIMPULAN
Simpulan Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat diambil

kesimpulan bahwa pemberian ekstrak meniran (Phyllanthus niruri linn) tidak

berpengaruh nyata terhadap titer antibodi Newcastle Disease dan Avian Influenza

pada broiler jantan, namun pemberian ekstrak meniran (Phyllanthus niruri linn)

dengan dosis 4,5 mg/kg BB/hari menghasilkan rataan tertinggi titer antibodi

Avian Influenza pada broiler jantan.


Resume Jurnal 3

PENGARUH PEMBERIAN PEGAGAN (Centela asiatica) TERHADAP TITER

ANTIBODI DAN BERAT BADAN AYAM BROILER

I. PENDAHULUAN

Ayam broiler merupakan salah satu sumber protein harus diusahakan agar

tidak mengandung penyakit, namun juga tidak boleh ditemukan residu bahan

kimia di dalam dagingnya. Obat dan bahan lain yang digunakan sebagai bahan

pencegahan dan pengobatan ditujukan untuk menjaga kesehatan dan produktivitas

ayam.Apabila pemberian bahan tersebut tidak mengikuti aturan penggunaan obat

dapat berdampak lain bagi konsumen dan menimbulkan penolakan pada

pemasaran.

Salah satu bahan alami yang disebutkan sebagai imunostimulansi adalah

tumbuhan pegagan (Centella asiatica) (Sembiring, 2011).

Suryani dan Ayu (2014), menyebutkan bahwa Centella asiatica pada mencit

mampu meningkatkan total sel darah putih secara signifikan dan meningkatkan

kemampuan fagositosis makrofag terhadap pembersihan karbon. Hal tersebut

menunjukkan bahwa bahan yang terdapat pada tumbuhan tersebut merangsang

proses pembentukan pertahanan tubuh. Pertahanan tubuh yang baik akan memberi

harapan pada peningkatan produktivitas usaha ayam broiler dimana diberikan

jaminan keamanan pangan asal hewan. Melalui pemberian tepung pegagan ke

dalam ransum basal pada pemeliharaan ayam broiler, dilakukan penelitian


mengenai Pengaruh Pemberian Pegagan (Centela asiatica) terhadap Titer

Antibodi dan Berat Badan Ayam Broiler.

II. METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan bertempat di Laboratorium Produksi Ternak Politeknik

Pertanian Negeri Payakumbuh.Berlangsungdari bulan Juli sampai September

2018.

Materi Penelitian

Ayam yang dipakai adalah ayam sebanyak 100 ekor.Ayam dibagi menjadi empat

kelompok perlakuan (A, B, C dan D).Tiap kelompok diulang 5 kali. Kelompok A;

ransum basal dengan 0% tepung pegagan, kelompok B; ransum basal dengan

1,5% pegagan, kelompok C; ransum basal dengan 3% pegagan dan kelompok D;

ransum basal dengan 4,5% pegagan.

Metode Pelaksanaan

Ayam dipelihara sejak umur satu hari.Sampai umur 7 hari diberikan ransum

starter komersial.Pada hari ke 4 dilakukan vaksinasi ND Lasota.Dalam masa 10

hari setelah vaksinasi diambil serum dari vena ulnaris pada sayap.Kemudian

dilakukan uji HI (hemolisis inhibition) titer Antibodi (Ab) ND.Sementara untuk

mengetahui pertambahan berat badandilakukan penimbangan terhadap ayam

setiap minggu.Pertambahan berat badan diakumulasi pada minggu ke 4, saat ayam

dipanen.Penelitian dirancang dalam rancanganacak lengkap, hasil dianalisa

menggunakan SPSS analisis.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Titer Antibodi

Dari pengamatan yang dilakukan (Tabel1),diperoleh titer Antibodi ND pada

semua kelompok (A,C, B dan D). Secara tidak nyata (P<0,05) pegagan tidak

mempengaruhi titer antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa titer antibodi

ditentukan oleh vaksinasi. Namun bila dicermati dari kelompok A (pemberian

pegagan 0%) titer antibodinya adalah 6,2 log2 berada di atas standar,

namun persentase kekebalan berada pada 60%, dimana batasnya ≥ 80%.

Sedangkan pada kelompok B dan D berturut-turut titernya adalah 8,2 dan 7,8

log2. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pegagan (1,5 dan 4,5) %

menaikkan titer Antibodi ND melampaui standar dimana tingkat kekebalan

mencapai 100%. Kandungan triterpenoid dari pegagan diperkirakan memberi

peranan pada kejadian ini.


Pegagan memperlihatkan pengaturan sistem imun. Pemberian pada kadar 3%

(kelompok C) terlihat bahwa titer antibodi menurun menjadi 5,8 (Gambar 1).

Bahan yang terkandung di dalamnya melakukan modulasi.Imunomodulator dapat

membantu untuk regulasi atau menormalkan kembali sistem imun.

Mustikasari (2015), membuktikan pada penelitiannya bahwa pemberian

kombinasi ekstrak pegagan dan bluntas yang diberikan kepada tikus dengan dosis

rendah menurunkan kadar enzim Glutamat Piruvat transaminase (GPT), enzim

yang dikeluarkan ketika terjadi nekrosis (kematian sel) atau pada peningkatan

permiabilitas sel. Herlina (2010), memperlihatkan pada penelitiannya bahwa

asitikosida pegagan 160mg/kg berat badan mengakibatkan peningkatan

penumpukan lemak hepar namun tidak mengakibatkan kebocoran sel hepar, dan

diperkirakan oleh adanya kandungan flavonoid pada pegagan yang bertindak

sebagai antioksidan.

Berat Badan Ayam

Pemberian pegagan pada ransum ayam broiler memperlihatkan peningkatan

berat badan pada konsentrasi 1,5% (kelompok B) dan 4,5% (kelompok D) dan

tidak berbeda terhadap kontrol (kelompok A, 0%) dan; Sejalan dengan pengaruh

titer antibodi, pada konsentrasi pegagan 3% (kelompok C), pertambahan berat

badan paling rendah dari semua perlakuan (Tabel 2).


Perbedaan pertambahan berat badan ayambroiler dari level pemberian pegagan

menandakan kandungan pegagan mempengaruhi energi pakan. Sutardi (2016),

menyatakanbahwa pegagan mengandung bahan aktif alkaloid, saponin, tanin,

flavonoid, steroid, dan triterpenoid.Diperkirakan bahan tersebut meningkat

vasodilatasi sehingga meningkatkan metabolisme.

Selanjutnya pada kelompok D (pemberian pegagan 4,5%) menunjukkan

pertambahan berat badan paling tinggi(Gambar 2). Hal ini menguatkan bahwa

kandungan pegagan yang tinggi meningkatkan berat badan, selain itu kandungan

protein pada daun pegagan juga mempengaruhi pertambahan berat badan

ayam.Kadar kandungan aktifpegagan triterpenoid berpengaruh kepada aktivitas

bahan tersebut (Mora dan Fernando, 2012).

IV. KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemberian pegagan

berpengaruh terhadap berat badan secara signifikan (P<0.05).Namun tidak

berbeda nyata terhadap titer antibodi. Berat badan tertinggi diperoleh pada

kelompok D (level pemberian 4,5%). Titer antibodi tertinggi diperoleh pada

kelompok B dengan level pemberian 1,5%.


Resume Jurnal 4.

Potensi Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dan Widuri

(Calotropis gigantea (L.)) sebagai Imunomodulator

I. PENDAHULUAN

Sistem imun merupakan kemampuan tubuh untuk mengidentifikasi dan

melawan mikroorganisme atau antigen berbahaya, dan menghambat kerusakan

organ dan jaringan.Sistem imun tidak terbatas pada satu bagian tubuh saja. Sel

induk (stem cells) dari sstem imun terbentuk di sumsum tulang sampai terjadi

proses maturasi, atau dapat juga bermigrasi ke bagian organ tubuh yang berbeda

untuk maturasi. Sebagian besar sel imun bersirkulasi ke seluruh tubuh,

memberikan efek spesifik.Sistem imun memiliki dua mekanisme yang berbeda

tetapi saling tumpang tindih, yaitu sistem pertahanan yang dimediasi antibodi

(humoral immunity) dan sistem pertahanan yang dimediasi sel (cellular

immunity).

Imunomodulator bekerja pada berbagai tingkat sistem imun tubuh.Oleh karena

itu, berbagai jenis obat telah dikembangkan yang secara selektif menghambat atau

mengintensifkan populasi dan subpopulasi sel imun.Imunomodulator

menyebabkan perubahan yang dapat diukur dalam fungsi kekebalan tubuh.

Obat-obatan alami merupakan pengobatan yang memiliki efek samping

minimal.Ada ribuan senyawa alami yang diketahui mempengaruhi sistem

kekebalan tubuh, baik mempengaruhi fungsi sel imun, maupun mempengaruhi


sekresi antibodi untuk mengendalikan antigen dan memelihara homeostasis sistem

kekebalan [10].Modulasi sekresi sitokin menawarkan pendekatan baru dalam

pengobatan berbagai penyakit.Strategi modulasi ekspresi sitokin dimungkinkan

melalui penggunaan obat-obatan herbal.Obat herbal yang dikenal sebagai

imunomodulator, dapat mengubah aktivitas fungsi imun melalui regulasi dinamis

dari sitokin. Sehingga hal ini dapat menjelasan efek herbal pada sistem imun dan

jaringan lain. Penggunaan obat tradisional/herbal baik di negara berkembang

maupun negara maju semakin meningkat. Obat herbal Indonesia yang disebut

“Jamu” telah banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk kesehatan dan

menyembuhkan penyakit sejak berabad-abad yang lalu

Berbagai tanaman obat asli Indonesia telah dieksplorasi manfaatnya bagi

kesehatan melalui penelitian baik secara invitro maupun invivo. Didalam artikel

review ini, kami menjelaskan potensi tanaman obat yang telah diteliti, diantaranya

Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dan Widuri (Calotropis gigantea (L.)),

sebagai imunomodulator berdasarkan penggaruh senyawa metabolit sekunder

yang dimiliki oleh masing-masing tanaman tersebut terhadap sitokin melalui studi

literatur.

II. METODE

Metode penulisan artikel review ini adalah dengan studi literasi dari berbagai

artikel jurnal yang di eksplorasi dari ncbi, PubMeb, dan sumber jurnal lainnya di

internet yang membahas tentang imunomodulator dari tanaman Centella asiatica

(L.) Urban dan Calotropis gigantea (L.).Kata kunci pencari yang digunakan

adalah immunomodulator,cytokine, innate immunity, adaptive immunity, Centella


asiatica (L.) Urban, Calotropis gigantea (L.), dan herbs as immunomodulator,

cytokine release from innate immune cells, cytokine release from adaptive

immune cells, Centella asiatica (L.) Urban upregulated/downregulated cytokine,

Calotropis gigantea (L.) upregulated/downregulated cytokine. Pencarian jurnal

ilmiah mengenai penelitian tanaman obat yang dibahas dalam artikel review ini

mencakup penelitian seluruh bagian tanaman.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sitokin yang Berperan dalam Imun Bawaan

Sitokin yang dilepaskan dari sel imun bawaan memainkan peran kunci dalam

regulasi respon imun. Sitokin dalam proses ini merupakan sumber pengaturan

sinyal yang akan menginisiasi dan membatasi respons inflamasi terhadap patogen

dan cedera [15]. Produksi dan pelepasan sitokin dari sel imun bawaan merupakan

respons penting terhadap peradangan dan infeksi di dalam tubuh. Sel imun

bawaan terdiri dari populasi sel leukosit seperti sel dendritik, neutrofil, sel Natural

Killer, monosit, eosinofil, basofil, sel mast dan makrofag.

Meskipun banyak penelitian menjelaskan jalur pensinyalan terperinci yang

diinduksi oleh sitokin dan reseptor spesifiknya, hanya ada sedikit informasi

tentang mekanisme yang mengontrol pelepasan sitokin dari jenis sel yang

berbeda.Agar sistem kekebalan berfungsi dengan tepat, sintesis dan pelepasan

sitokin harus diatur secara berurutan.Kaskade sitokin dilepaskan oleh sel imun

pada awalnya meningkatkan respons inflamasi atau alergi. Sitokin proinflamasi

juga berfungsi untuk merekrut dan mengaktifkan limfosit T dan sel lain untuk

meningkatkan respons imun adaptif.

Tanaman Obat Sebagai Imunomodulator


a. Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)

Pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) merupakan anggota dari famili

tumbuhan Apiaceae (dahulu Umbelliferae), dan subfamili

Mackinlayoideae.Ada tujuh kelompok utama senyawa terkandung didalam

Pegagan : saponin, triterpenoid pentasiklik, sterol, siskuiterpen, turunan

eugenol, caffeoylquinic acid dan flavonoid. Triterpenoid pentasiklik

merupakan kandungan yang tertinggi, yang disebut juga sebagai centelloids,

dimana kandungan terbanyak berupa saponin, asiatikosida and madekasosida,

and aglikon, asam asiatik dan asam madekasik.

Penelitian yang dilakukan oleh Hashimet et. al., menunjukkan bahwa

ekstrak etanol Centella asiatica (L.)Urban meningkatkan sintesis kolagen tiga

kali lipat dari sel fibroblas manusia dibandingkan dengan kontrol.Centella

asiatica (L.)Urban memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi

(84%).Pemberian oral ekstrak etanol Centella asiatica (L.) Urban dosis 50mg

dan 100mg/KgBB dapat meningkatkan sistem imun yang ditunjukkan dengan

peningkatan kadar IgG dalam serum darah mencit yang diinduksi oleh vaksin

BCG. Pemberian ekstak Centella asiatica (L.)Urban secara oral kepada tikus

yang diinfeksi Staphylococcus epidermidis dapat meningkatkan aktivitas

makrofag.

b. Widuri (Calotropis gigantea (L.))

Widuri (Calotropis gigantea (L.)) termasuk dalam keluarga

Apocynaceae/Asclepias, merupakan tanaman yang berdistribusi di daerah

tropis dan beriklim hangat.Skrining fitokimia menunjukkan adanya alkaloid,


karbohidrat, protein, senyawa fenolik, glikosida, dan flavonoid pada ekstrak

etanol Calotropis gigantea (L.).

Ekstrak alkohol dari akar Calotropis gigantea (L.) yang diberikan secara

oral dengan dosis 250 dan 500mg/kg berat badan pada tikus albino yang

diinduksi asam asetat dan metode pelat panas Eddy menunjukkan efek

analgesik. Pada tikus model kejang dengan induksi pentylenetetrazole,

Calotropis gigantea (L.) dapat menunda onset kejang (antikonvulsan,

ansiolitik dan sedatif). Ekstrak etanol Calotropis gigantea (L.) mampu

menurunkan edema pada telapak kaki tikus model Artritis Adjuvan Freund.

Ekstrak etanol akar dan daun dari tanaman Calotropis gigantea aktif

menghambat pertumbuhan sel kanker kolon WiDr Secara invitro.Ekstrak air

dari daun Calotropis gigantea (L.) mampu menginhibisi pertumbuhan

Candida sp. Bunga Calotropis gigantea (L.) telah diketahui memiliki aktivitas

hepatoprotektif pada tikus dengan kerusakan hati yang diinduksi dengan

karbon-tetraklorid.Ekstrak etil asetat bunga Calotropis gigantea (L.) memiliki

aktivitas antibakteri dan antijamur dengan konsentrasi hambat minimum

kisaran 16 ~ 128 µg/ml (76). Ekstrak getah Calotropis gigantea (L.) telah

terbukti dapat menurunkan jumlah sel limfosit pada tikus model inflamasi

dengan perlukaan pada gusi. Getah Calotropis gigantea (L.) menyembuhkan

luka eksisi dan insisi pada tikus model luka.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan studi referensi, Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dan

Widuri (Calotropis gigantea (L.)) memiliki efek sebagai imunomodulator dengan

banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa paparan tanaman Pegagan dan


Widuri pada kultur sel, serta pemberian kepada hewan coba baik secara invivo

maupun exvivo, mempengaruhi produksi berbagai macam sitokin yang terlibat

dalam sistem imun. Perbedaan larutan ekstraksi dan obyek penelitian yang

digunakan menyebabkan perbedaan pengaruh pada sitokin yang sama. Hasil

penelitian yang telah ada dapat dikembangkan menjadi sebuah dasar untuk

menggunakan Pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) dan Widuri (Calotropis

gigantea (L.)) sebagai obat imunosupresan maupun imunostimulan.


Resume Jurnal 5

AKTIVITAS IMUNOSTIMULAN EKSTRAK BAWANG PUTIH TUNGGAL

PADA MENCIT YANG DIINDUKSI Escherichia coli

I. PENDAHULUAN

Sistem kekebalan tubuh (imunitas) dapat didefinisikan sebagai kemampuan

tubuh untuk mengidentifikasi dan menahan maupun menghilangkan sejumlah

besar mikroorganisme menular dan berbahaya, memungkinkan tubuh untuk

mencegah atau melawan penyakit dan menghambat kerusakan jaringan. Imunitas

dibagi ke dalam dua bagian (imunitas bawaan dan adaptif) yang saling bekerja

sama. Sistem kekebalan tubuh bawaan paling aktif di awal respon imun

sedangkan kekebalan adaptif menjadi semakin dominan seiring berjalannya

waktu.

Salah satu tanaman yang memiliki spesifikasi sebagai tanaman obat, telah

diteliti dengan serius selama beberapa tahun, dan digunakan selama berabad-abad

untuk memerangi penyakit adalah bawang putih. Bawang putih (Allium sativum

L) adalah anggota tanaman dari keluarga Liliaceae (IT IS Report, 2016), telah

diakui secara luas sebagai tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi dan obat

untuk berbagai penyakit serta gangguan fisiologis.

Bawang putih memiliki banyak peran bagi kesehatan diantaranya dapat

menghambat dan membunuh bakteri, jamur, menurunkan (tekanan darah,


kolesterol darah, dan gula darah), mencegah penggumpalan darah, dan

mengandung sifat anti-tumor.Bawang putih juga dapat meningkatkan sistem

kekebalan tubuh untuk melawan penyakit potensial dan menjaga kesehatan

melalui peningkatan monosit dan aktivitas fagositosis dan meningkatkan level

antibody.

Bawang putih sebagai antibakteri alami adalah salah satu imunostimulan alami

yang efekt, bekerja dengan cara memfasilitasi fungsi sel-sel fagositik dan

meningkatkan kegiatan bakterisidan. Sifat antibakteri dari bawang putih dapat

dikaitkan dengan allicin yaitu komponen imunologi aktif bawang putih, telah

ditemukan untuk mempengaruhi stres oksidatif dan respon imun dalam beberapa

sistem eksperimental.

II. METODE

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan post test

only control group design. Adapun metode penelitiannya sebagai berikut (No

ethical clearance 1056/UN10.14/AK/2016).

Alat dan Bahan

Hewan oba menggunakan mencit jantan Galur Balb-C umur 12 minggu dan berat

badan 20± 5g sebanyak 25 ekor yang diperoleh dari Malang Murine Farm,

Singosari-Malang. Tumbuhan yang diuji adalah umbi bawang putih tunggal lokal

Tengger diperoleh dari daerah Ngadas Poncokusumo yang diperjual belikan di

Pasar Tumpang-Malang dan diekstraksi di Balai Materia Medika, Batu-Malang.

Bakteri uji yang digunakan adalah Escherichia coli (1,5 x 105 cfu/mL) yang

diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, FMIPA Universitas Negeri Malang.


Pembuatan ekstrak bawang putih tunggal.

Ekstrak bawang putih tunggal diperoleh dengan cara ekstraksi soxhlet dengan

pelarut heksan. Satu kali running proses soxhletasi diperlukan sebanyak 200 g

serbuk bawang putih tunggal dengan heksan sebanyak 2,4 mL. Hasil ekstraksi

diuapkan menggunakan rotary evaporator dan ekstrak yang diperoleh berbentuk

cair ditempatkan dalam tabung.

Perlakuan ekstrak bawang putih tunggal

Mencit diaklimasi selama 7 hari diberi pakan berupa pellet Hi-Gro (10 gram/ekor)

serta diberi minum secara ad libitum. Dua puluh lima hewan coba (mencit) dibagi

dalam 5 kelompok, diberikan ekstrak bawang putih tunggal dengan konsentrasi N

(0% + Hi-Gro); P1 (0,25% + Hi-Gro); P2 (0,5%+ Hi-Gro); P3 (1%+ Hi-Gro); P4

(2%+ Hi-Gro). Ekstrak diberikan secara oral (gavage) sebanyak 0,3 ml/ekor/hari

selama 28 hari. Ekstrak bawang putih tunggal diencerkan dengan menggunakan

minyak jagung.Pada hari ke 29 setiap mencit diinfeksi dengan 1 mL suspense

bakteri E.coli dan dibiarkan selama 3 hari. Mencit dieutanasi dan disuntikkan 5

mL NaCl 0,9% pada bagian peritoniumnya, dibiarkan selama 20 menit. Cairan

peritoneum diambil, dipulas pada gelas objek, difiksasi dengan methanol selama 3

menit, diwarnai dengan pewarna Giemsa, didiamkan 3 menit, dibilas dengan air

mengalir. Setelah sediaan kering dihitung aktivitas dan kapasitas fagositosis

makrofag dengan bantuan mikroskop. Aktivitas fagositosis makrofag ditetapkan

berdasarkan jumlah sel fagosit yang aktif melakukan fagositosis dalam 100 sel

fagosit, sedangkan kapasitas fagositosis makrofag ditetapkan berdasarkan jumlah

bakteri E.coli yang difagositosis oleh 50 sel fagosit aktif. Berat limpa juga diamati
dengan menimbang limpa mencit (berat limpa relatif = (berat limpa: berat badan)

x 100%).

Analisis Data

Analisis data menggunakan software SPSS 17 untuk pengujian normalitas,

homogenitas, dan analisis variansi satu arah (ANOVA).Analisis variansi

digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih tunggal dengan

berbagai serial konsentrasi dosis. Apabila nilai Fhitung lebih besar dari nilai

Ftabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan’s

Multiple Range Test (DMRT) untuk membandingkan hasil dan melihat perbedaan

pada tiap perlakuan (tingkat konsentrasi dosis).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas imunostimulan ektrak bawang putih tunggal pada mencit jantan

yang diinduksi dengan bakteri E.coli dilihat dari aktivitas dan kapasitas

fagositosis makrofag serta berat limpa relatif. Pemberian ekstrak bawang putih

tunggal menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas fagositosis

makrofag (p=0,000;α=0,05). Terjadi peningkatan aktivitas fagositosis makrofag

dari kelompok yang tidak diberi ekstral bawang putih tunggal hingga kelompok

yang diberi dosis tertinggi ekstrak bawang putih tunggal. Berturut-turut

peningkatannya mulai dari 42 ± 1% makrofag aktif (N), 42,67 ± 0,58% makrofag

aktif (P1), 63 ± 3% makrofag aktif (P2), 76 ± 1% makrofag aktif (P3), dan 88 ±

1% makrofag aktif (P4) (Gambar 1). Pemberian dosis ekstrak bawang putih

tunggal yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula pada aktivitas
fagositosis makrofag, di mana semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin

tinggi pula aktivitas fagosistosis makrofagnya.

Berat limpa juga dihitung untuk melihat aktivitas imunostimulan ekstrak

bawang putih tunggal.Berat limpa yang dihitung adalah berat limpa relatif.

Pemberian ekstrak bawang putih tunggal menunjukkan pengaruh yang signifikan

terhadap berat limpa (p=0,000;α=0,05). Rata-rata berat limpa relatif mencit yang

diinfeksi bakteri E.coli bertutut-turut 0,072 ± 0,002% (N), 0,049 ± 0,002% (P1),

0,066 ± 0,003% (P2), 0,071 ± 0,002% (P3), dan 0,044 ± 0,003% (P4) (Gambar 3).

Pemberian dosis ekstrak bawang putih tunggal yang berbeda juga memberikan

pengaruh berbeda pada berat limpa, di mana berat limpa relatif P4 ≤ P1 < P2 < P3

≤ Kelompok N.
Aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag paling rendah dijumpai pada

kelompok yang diberi dosis 0% kemudian meningkat seiring dengan peningkatan

dosis ekstrak bawang putih tunggal yang diberikan.Aktivitas dan kapasitas

fagositosis tertinggi dicapai oleh kelompok dosis tertinggi P4 dengan 2% ekstrak

bawang putih tunggal.Peningkatan aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag

seiring dengan tingginya dosis menunjukkan bahwa terdapat bahan aktif yang

terkandung dalam ekstrak bawang putih tunggal yang berpotensi untuk

meningkatkan aktivitas dan kapasitas makrofag.Hal ini didukung dengan data

berat limpa relatif, di mana pemberian ekstrak bawang putih tunggal

mengaktifkan respon imun bawaan (non-spesifik) ditandai dengan berat limpa

kelompok yang diberi ekstrak bawang putih tunggal lebih ringan dibandingkan

dengan kelompok yang tidak diberi ekstrak bawang putih tunggal.

Berdasarkan uji stastistik dari masing-masing perlakuan memperlihatkan

adanya perbedaan yang signifikan baik aktivitas dan kapasitas fagositosis

makrofag maupun berat limpa relatif dari variasi dosis yang diberikan, dengan

kata lain terdapat perbedaan yang bermakna dari aktivitas dan kapasitas

fagositosis makrofag maupun berat limpa relatif dari variasi dosis yang diberikan.

Aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag akan meningkat seiring dengan

peningkatan dosis ekstrak yang diberikan (berbanding lurus) artinya semakin

besar dosis ekstrak yang diberikan semakin besar aktivitas dan kapasitas

fagositosisnya.

IV. KESIMPULAN

Ada pengaruh pemberian ekstrak bawang putih tunggal sebagai

imunostimulan melalui pengujian aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag


serta berat limpa mencit (Mus musculus) yang diinduksi dengan bakteri

Escherichia coli.Terjadi peningkatan aktivitas dan kapasitas makrofag didukung

berat limpa seiring peningkatan dosis ekstrak yang diberikan dengan pengaruh

terbesar ditunjukkan oleh dosis tertinggi (P4 2% ekstrak bawang putih tunggal).
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., & Pillai, S., 2014, Basic Immunology,

Fourth Edition, Elsevier, Saunders, Philadelphia.

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., & Pillai, S., 2015, Cellular and Molecular

Immunology, Eighth Edition, Elsevier, Saunders, Philadelphia.

Baratawidjaja, K.G. dan Rengganis, I., 1996, Imunologi Dasar, Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Baratawidjaja, K.G. dan Rengganis, I., 2000, Imunologi Dasar, edisi ke-4,

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Baratawidjaja, K.G., 2004, Imunologi Dasar, Edisi 6, Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yogyakarta.

Baratawidjaja, K. G., 2009, Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Baratawidjaja, K.G. dan Rengganis, I., 2012, Imunologi Dasar, edisi ke-

10, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Baratawidjaja K, Rengganis I. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta:

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2009.

Bellanti, J.A., 1993, Imunologi, diterjemahkan oleh Wahab, A.S., Edisi III,

Gadjah Mada University Press, Jogjakarta

Benjamini, E., Coico, R., Sunshine, G., 2000, Immunology: A Short

Course, Edisi Keempat, 20-21, Willey-Liss, Inc., Canada.

Djauzi, S., 2003. Perkembangan Imu-nomodulator. Simposium Peranan

Echinacea sebagai imunomodulator dalam Infeksi Virus dan Bakteri


Kresno, B.S. (2010). Imunologi: Diagnosis dan Proses Laboratorium.

Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Halaman 179.

Kresno, Boedina Siti, 1996, Imunologi: Diagnosis dan Prosedur

LaboratoriumEdisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Sukandar E Yulinah, Retnosari Andrajati, Joseph I Sigit, Ketut Adnyana,

Adji Prayitno Setiadi, Kusnandar.(2011). Iso Farmakoterapi Buku 2. Jakarta

:Ikatan Apoteker Indonesia

Tizard I. 1987, Pengantar Imunologi Veteriner, Hardjosworo, Soehardjo,

penerjemah. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. Terjemahan dari:

Veterinary Immunology An Introduction

Yanti. (2010). Buku Ajar Imunologi. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Anda mungkin juga menyukai