Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Halaman Judul...................................................................................
Daftar Isi............................................................................................ 2
Kasus Pemicu ………………………………………………………3
BAB 1. Pendahuluan......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang................................................................ 4
1.2 Tujuan............................................................................. 5
BAB 2. Tinjauan Pustaka.................................................................. 6
2.1 Definisi Atrial Fibrilasi................................................... 6
2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi............................................... 7
2.3 Manajemen Atrial Fibrilasi............................................. 8
BAB 3. Pembahasan......................................................................... 11
BAB 4. Penutup............................................................................... 21
4.1 Simpulan........................................................................ 21
4.2 Saran.............................................................................. 21
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung
yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan
implus ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat
akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun (Berry and Padgett, 2012).
Literatur lain menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi aritmia yang
paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barrett, Martin, Storrow, 2011). Kejadian atrial
fibrilasi meningkat dengan bertambahnya usia (Patrick, 2002). Pada abad ke-21 ini semakin
meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial fibrilasi (Alfred, Jennife, Steven, Devender,
2012). Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan
4, 5 juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus meningkat 0,1%
setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan 2% pada lansia
dengan umur lebih dari 80 tahun (Camm, Kirchhof, Lip, Schotten, Irene, Ernst, Gelder et al
2010). Angka kejadian atrial fibrilasi di dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan
pada tahun 2050 diperkirakan sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua decade ini angka kematian
akibat atrial fibrilasi meningkat (Department Health and Human Services USA, 2010).
Di Amerika, lebih dari 850,000 orang dirawat di rumah sakit karena aritmia setiap tahunnya.
Atrial fibrilasi mengenai kurang lebih 2,3 juta orang di amerika utara dan 4,5 juta orang di eropa,
terutama yang berusia lanjut. Di Amerika, kira-kira 75 % orang yang terkena atrial fibrilasin
berusia 65 tahun atau bahkan lebih tua. Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering
terjadi dengan prevalensi 0,4 % pada golongan usia <65 tahun dan meningkat 10 % pada
kelompok usia > 75 tahun. Di Amerika Utara, prevalensi atrial fibrilasi diperkirakan meningkat
dua sampai tiga kali lipat pada tahun 2050 (Department Health and Human Services USA, 2010).
Kejadian Atrial fibrilasi dapat terjadi pada jantung normal, namun umumnya lebih sering
terjadi pada penyakit jantung (Shay, 2010). Penyebab atrial fibrilasi yang paling sering terjadi
adalah akibat; penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensi, kelainan katup mitral,
perikarditis, kardiomiopati, emboli paru, pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, kor
pulmonal. Pada beberapa kasus tidak ditemukan penyebabnya (Patrick, 2002).
Namun dapat dipastikan bahwa atrial fibrilasi sebagai salah satu penyumbang kematian dan
kesakitan dewasa ini. Atrial fibrilasi juga memberikan dampak terjadinya stroke, demensia, gagal
jantung dan kematian (Benjamin, Chen, Bild, 2009). Akibat yang ditimbulkan oleh atrial fibrilasi
akan meningkatkan risiko terjadinya stroke pada pasien pasca mengalami atrial fibrilasi dan juga
meningkatkan risiko kematian. Selain itu pasien pasca atrial fibrilasi akan mengalami penurunan
kualitas hidup (Craig, Coleman, Michael, William, 2009).
Sehingga perlu perhatian dan penangan khusus oleh tenaga medis di emergency department
salah satunya perawat guna meminimalkan angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkan oleh
atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak
terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada
gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P,
juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan
yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke
nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga
sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002).
Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007). Pasien umumnya memiliki
keluhan palpitasi, perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada), dispnea, pusing, atau sinkop
(pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya
pengisian sistolik ventrikel. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Trombus dapat terbentuk dalam
rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan
stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak
dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke
(Philip and Jeremy, 2007).
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama umumnya tidak teratur dengan
frekuensi laju jantung bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali
permenit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), jika laju jantung 60-100 kali
permenit disebut atrial fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika laju jantung
lebih dari 100 kali permenit disebut atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR). Kecepatan
QRS biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan
depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan (Chuchum, 2010).
Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya kejadian atrial fibrilasi terutama
dengan semakin meningkatnya usia semakin meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Faktor risiko lainnya dapat
dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non jantung. Selain faktor usia, faktor risiko
yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan
emboli pulmonal. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial septal
defect, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemik,
dll (Berry and Padgett, 2012).

ETIOLOGI
AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit
jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien AF juga menderita penyakit jantung koroner.
Walaupun hanya ±10% dari seluruh kejadian infark miokard akut yang mengalami AF, tetapi
kejadian tersebut akan meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani
operasi pintas koroner, sepertiganya mengalami episode AF terutama pada tiga hari pasca
operasi. Walaupun sering menghilang secara spontan, AF pasca operatif tersebut akan
memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. 1,4
Sedangkan hubungan AF dengan penyakit kelainan katup sudah lama diketahui. Penyakit katup
reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya AF dan mempunyai resiko empat kali lipat
untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian
AF ditemukan pada satu diantara lima pasien. AF juga dapat merupakan tampilan awal dari
perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain
seperti sindroma Wolff Parkinson White dapat berhubungan dengan AF. Hal yang
menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang
menjadi penyebab pada sindroma ini, akan mengeliminasi AF pada 90% kasus. Aritmia lain
yang berhubungan dengan AF misalnya takikardia atrial, AVNRT ( Atrio Ventricular Nodal
Reentrant Tachycardia ) dan bradiaritmia seperti sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus
node lainnya.1,4
AF juga dapat timbut sehubungan dengan penyakit sistemik nonkardiak. Misalnya pada
hipertensi sistemik nonkardiak pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus
10% dari pasien AF. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit paru obstruksif
kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3% pasien AF tidak dapat ditemukan
penyebabnya, atau disebut dengan lone AF. Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan
resiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok
usia lanjut resiko ini tetap akan meningkat. 1,4
Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan kejadian AF tersebut harus
dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan diluar jantung.
Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian AF dibagi bersadarkan :
Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF :
- Penyakit Jantung Koroner
- Kardiomiopati Dilatasi
- Kardiomiopati Hipertrofik
- Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
- Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome
- Perikarditis

2. Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF :


- Hipertensi sistemik
- Diabetes melitus
- Hipertiroidisme
- Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut
- Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien yang sensitive melalui
peniggian tonus vagal atau adrenergik.

C.PATOFISIOLOGI
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya gelombang
yang menetap dariMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh
depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari focus yang tercetus secara cepat.
Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila
prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang
sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang
mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan
ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang
berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang
demikian juga konduksi lambat, yang
keduanya merupakan factor predisposisi bagi fibrilasi atrium.2
Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium Atrium tidak akan memompa
darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi
ventrikel. Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam
ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena
itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama
beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan
efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. 2
Patofisiologi Pembentukan Trombus pada AF Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri
tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri
dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih
banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke
emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena
stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan
thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai
kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan
faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya
melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya AF.1
D. GEJALA DAN TANDA
Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita mengalami palpitasi
(rasa berdebar-debar), rasa tidak nyaman di dada, atau dapat disertai gejala-gejala gagal jantung
(seperti rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama jika denyut ventrikel yang
sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit). Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke
akut atau kerusakan organ tubuh lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic.5
E. KLASIFIKASI
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya
berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit
lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi
dikelompokkan menjadi; AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF
paroksismal, AF persisten, dan AF permanen (Levy, Camm, Saksena, 2003). AF initial event
terjadi pertama kali dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF
proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh hari dan
kurang dari 48 jam, tanpa diberikan intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti
kardioversi. AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika diberikan
obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari tujuh hari. AF permanen terjadi jika
AF tidak hilang dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF
primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau
penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit
sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan
bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk
gelombang P nya kasar dan masih bisa dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P
halus hampir seperti garis lurus (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).

F. DIAGNOSIS
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat bervariasi
tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF, penyakti yang mendasarinya.
Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak npas, cepat lelah,
sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar
penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurangpada AF akan
menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri. 1, 4 , 7, 8

Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :


1. Anamnesis
- Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lamanyatimbulnya ( episode pertama, paroksismal,
persisten, permanen )
- Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah, sesak nafas terutama saat
beraktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif
- Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya hipertiroid.

2. Pemeriksaan Fisik
- Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah
- Tekanan vena jugularis
- Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
- Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung
- Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
- Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif

3. Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung bila dicurigai
terdapat iskemia jantung.
4. Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi ventrikel kiri.
Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya iskemia.
5. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.

6. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel,
hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago
Echocardiography ) untuk melihat thrombus di atrium kiri.
7. Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel
sulit dikontrol.
8. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung.
9. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi elektrofisiolagi.

G. PENATALAKSANAAN
Atrial fibrilasi harus benar-benar dipertimbangkan jika pasien telah mengalami dua kali atau
lebih episode atrial fibrilasi. Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus
normal, dapat digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat lain yang dapat diberikan
adalah agen lain yang digunakan untuk mensupresi konduksi AV (Philip and Jeremy, 2007).
Tujuan penanganan AF menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA)/European Society of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan
lagi irama sinus dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik (Shay,
2010). Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi profilaksis untuk
mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan
memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut menjadi tujuan penting
dalam mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III (Ed: Irmalita et al, 2009) yaitu:

1. Medikamentosa
a. Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus sehingga
memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat
diberikan anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan propafenon.
Untuk golongan III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan
kardioversi dengan DC shock (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et
al, 2009). Pengembalian irama sinus dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau
sotalol) bisa mengubah AF menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih
lanjut. Antikoagulasi untuk mencegah tromboembolik sistemik (Patrick, 2002).
b. Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat
yang bekerja pada AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta
(β bloker). Amiodaron dapat juga digunakan untuk rate control. Namun pemberian
obat-obat tersebut harus hati-hati pada pasien dengan AF disertai hipertrovi ventrikel.
Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu sebelum pemberian obat-obat tersebut
(Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Pemberian obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan
menurunkan kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV
menggunakan digoksin, B bloker, atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun
kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga pasien membutuhkan digoksin untuk
memperlambat repon ventrikel terhadap AF saat istirahat dan β bloker untuk
memperlambat denyut ventrikel selama olahraga (Patrick, 2002).
2. Non-farmakologi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009)
a. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF.
Jika pasien mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih
dahulu. Jika AF lebih dari 48 jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4
minggu dan 3 minggu pasca kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat
emboli. Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat direkomendasikan sebelum melakukan
kardioversi dengan DC shock jika pemberian antikoagulan belum dapat diberikan
untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b. Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian
menunjukkan pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode
AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini
pemasangan lead atrium pada lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian
bawah dapat mencegah terjadinya AF (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto,
Hananto et al, 2009).
c. Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary
dapat dilakukan.
d. Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini
digunakan terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan
obat antikoagulan.
e. Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan
sekaligus pada pasien dengan kelainan katub mitral (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto et al, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil analisa kasus pasien laki-laki berumur 50
tahun, yang dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum karena sejak tadi pagi merasakan denyut
jantungnya berdetak dengan kencang. Hal itu dirasakan sampai sekarang. Pasien mengeluh
dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti
“nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat,
dengan denyut sekitar 140x/menit.
Dalam mengidentifikasi masalah pasien tersebut, ada beberapa hal yang diperhatikan.
Pengkajian tanda gejala yang menjadi keluhan pasien, hasil analisa EKG, hasil Echokardiografi
dan terakhir hasil pemeriksaan lab. Keempat hal tersebut menjadi dasar dalam menentukan
diagnose dan manajemen pasien pada kasus di atas.
Pengkajian menjadi faktor utama dalam menentukan diagnose pasien dan manajemen
penanganan pasien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada pasien saat datang ke
emergency depertment untuk memperjelas proses diagnosis, yaitu: Seberapa sering anda
merasakan palpitasi? Kapan anda merasakannya? Apakah bersamaan dengan perasaan sesak dan
kurang nyaman di dada ataukah kelemahan yang sangat dan perasaan ingin pingsan? Apakah
anda pengguna alkohol? Apakah anda punya riwayat penyakit sebelumnya? (Camm, Kirchhof,
Lip, 2010). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menuntun dalam memastikan diagnosa pasien.
Hasil pengkajian yang didapat pada pasien adalah usia pasien 50 tahun. Usia pasien ini
dapat menjadi salah satu faktor risiko pasien mengalami atrial fibrilasi. Karena usia merupakan
salah satu faktor terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi. Sebuah studi di Framingham
menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di
atas 50 tahun, pasien dengan diabetes, hipertensi dan juga pasien dengan kelainan katub jantung
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Selain usia, pengkajian lain yang dapat dilakukan di emergency department pada pasien
atrial fibrilasi adalah riwayat kesehatan pasien sebelumnya, penyakit yang pernah di derita, dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat kesehatan pasien dapat dikaji mengenai tanda dan gejala yang
umumnya tampak pada pasien atrial fibrilasi seperti palpitasi, dyspnea, kelemahan, poliuri,
menurunnya status kognitif. Pengakjian berikutnya adalah penyakit yang pernah diderita seperti
penyakit jantung, hepar dan tiroid (Wakai and O’Neill, 2003). Pada pemeriksaan fisik perlu
dilakukan pengukuran tanda vital, tekanan vena jugularis, ronki paru dan bunyi jantung S3 untuk
melihat apakah ada gagal jantung, dan murmur untuk mengetahui adanya kelainan katup (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Penetuan gejala dan tanda palpitasi pada pasien dapat menjadi awal pengkajian untuk
menegakkan diagnosa. Pasien mengeluhkan adanya gejala denyut jantungnya berdetak dengan
kencang dan dirasakan hingga sekarang. Palpitasi merupakan salah satu gejala yang muncul pada
pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi ini
dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi ini belum menjadi
gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan
adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak,
syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh pasien
dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat digunakan
berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Dokter memberikan
catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai
dengan pingsan (syncope) ataupun dengan pusing “nggliyeng”. Kondisi ini akibat menurunnya
suplai darah ke sitemik dank ke otak.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien antaralain pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), rontgen thorax (Wakai and O’Neill, 2003). Analisa hasil EKG 12
lead juga menjadi penentu dalam mendiagnosa atrial fibrilasi. Terdeteksinya irama ireguler
dalam EKG menjadi hal yang penting sebagai salah satu dasar diagnosa. Namun ini bukan satu-
satunya dasar, karena atrial takikardi juga memiliki irama ireguler. EKG lanjutan dan monitoring
dapat menjadi pilhan dalam manajemen atrial fibrilasi.
Pada pasien tersebut telah dilakukan perekaman EKG. Gambaran analisa hasil EKG
pasien dapat dijabarkan pada kolom di bawah ini berdasarkan Cara Praktis Membaca
Elektrokardiogram EKG oleh Chuchum (2010) dan Introduction to ECG Interpretation oleh
Frank (2012).

Kolom 3.1 Hasil analisa EKG pasien


Irama : tidak teratur Gel T : T inverted di Lead I dan aVL,
HR : 16 x 10 = 160 x/mnt V5, V6
Gel P (Leada II): Segmen ST: depresi segmen ST di Lead II,
t: 0,1 mv III, aVF
l: 0,08 s M shape : Lead I, aVL, V5 dan V6
pada lead V1-V6 tidak dapat terbaca. Axis : LAD (Left Axis Deviation)
Interval PR: 0,24 s (tidak normal di Lead X= lead I (2-1 = 1)
II dimana ada interval PR berbeda dalam lead Y= aVF (1-3 = -2 )
II), sedangkan di lead lainnya tidak
terdefinisikan.
Kompleka QRS (Lead II): Kesan: atrial fibrilasi RVR (Rapid Ventrikular
t; 0,15 mv Respon) dengan disertai LBBB (Left Bundle Branch
l: 0,08 s Block) dan LAD
di Lead 1, V1 dan V6 ada pelebaran
Gel Q :
t: 0,05 mv
l: 0,02 s (normal)
Q patologis: tidak ada
Sumber :Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Surya Gemilang.
Jakarta
Frank GY. (2012). Introduction to ECG Interpretation, V8.0 (July 2012). Intermountain
Healthcare.

Dapat dilihat pada kolom di atas, irama yang dihasilkan ireguler dengan kecepatan denyut
jantung yang terbaca pada Lead II adalah 160 kali permenit. Gambaran gelombang P pada Lead
II masih dapat terbaca dengan lebar dan tinggi yang normal, namun pada lead yang lain
gelombang P tidak dapat didefinisikan terutama pada V1-V6. Interval PR juga tidak normal pada
Lead II karena terdapat interval PR yang berbeda dalam satu lead, sedangkan di lead lainnya
interval PR tidak terdefinisikan. Kompleks QRS normal pada Lead II (0,08 detik) dan terdapat
pelebaran kompleks QRS lebih dari 0,12 detik di Lead I, V1 dan V6. Berdasarkan hal tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon (AFRVR).
Atrial fibrilasi rapid ventricular respon adalah atrial fibrilasi dengan heart rate diatas 100 kali
permenit.
Namun, dari hasil analisa juga terdapat beberapa kelainan pada hasil EKG. Adanya
gelombang T inverted atau terbalik pada Lead I, aVL, V5, V6. Dan depresi segmen ST di
Lead II, III, aVF. Selain iu terdapat M shape di Lead I, aVL, V5 dan V6. Terdapat gelombang Q
yang lebar dan dalam di V1-V4. Hal ini menunjukkan pasien selain mengalami atrial fibrilasi
juga disertai dengan LBBB (Left Bundle Branch Block). Kompleks QRS yang lebar pada Lead I,
V1 dan V6 menjadi penentu juga pasien mengalami LBBB komplit. Sedangkan hasil analisa
aksis jantung pasien berada pada -60 sehingga aksis jantung pasien bergeser kesebelah kiri
dengan Left Axiz Deviation (LAD) karena lebih negative dari -30. Kesimpulan terakhir hasil
analisa EKG pasien adalah atrial fibrilasi dengan rapid ventricular respon disertai bifasikuler
blok (LBBB dan LAD).
Secara jelas, gambaran LBBB dengan atrial fibrilasi rapid ventricular response dilihat dari
hasil EKG dimana pada lead I terdapat QRS kompleks dengan cirri-ciri LBBB (terdapat M
sahape dan T inverted). Selain itu terdapat irama yang tidak teratur dan gelombang P yang tidak
dapat didefinisikan sehingga memunculkan hasil analisa yang jelas sekali bukan ventricular
takikardi sebagai diagnosa banding. Hal ini karena ventrikel takikardi memiliki irama teratur.
Hal ini diperjelas dengan adanya kompleks QRS yang lebar lebih dari 0,12 detik di Lead I dan
V6. LBBB masuk ke dalam aritmia gangguan sistem konduksi atau penghantaran arus litrik pada
serabut his. Sedangkan atrial fibrilasi masuk ke dalam aritmia gangguan implus (Tintanali.,
Cameron., Holloman, 2010).
Pemeriksaan laboraturium juga menjadi penunjang dalam penentuan diagnosis.
Pemeriksaan darah lengkap seperti elektrolit dan ureum, gas darah arteri, enzim jantung, fungsi
hati, glukosa darah, dan fungsi tiroid (Wakai and O’Neill, 2003). Pemeriksaan fungsi tiroid
bermanfaat karena sebagai salah satu faktor risiko terjadinya atrial fibrilasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Canadian Registry of Atrial fibrillation Investigators menunjukkan bahwa pada
5,4% kasus pasien dengan TSH (Tiroid Stimulating Hormone) menunjukkan adanya gambaran
atrial fibrilasi akut (Guy, Karine and Jean, 2002).
Pengkajian pelengkap lain yang dapat membantu menentukan manajemen kasus di atas
adalah dengan prosedur invasive transesofagus echocardiografi (TOE). Tranesofagus
echocardiografi ini berfungsi memberikan gambaran ukuran atrium kiri dan menentukan fungsi
sistolik ventrikel kiri, selain itu sekaligus dapat memperlihatkan kemungkinan adanya penyakit
katub jantung (Berry and Padgett, 2012). Transesofagus echocardiografi ini dapat dilakukan
sebelum pemberian kardioversi dan juga setelah dilakukan kardioversi. Karena prosedur ini
sangat spesifik untuk menentukan risiko stroke dan tromboemboli pada pasien atrial fibrilasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Hasil pengkajian pada kasus dapat dirujuk kepada atrial fibrilasi akut baru dengan onset
yang baru saja terjadi kurang dari 48 jam. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan dokter yang
merujuk bahwa pasien datang dengan keluhan sejak tadi pagi merasakan denyut jantungnya
berdetak dengan kencang sampai sekarang dan mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak
sesak. Saat pasien berjalan merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Sehingga
dapat disimpulkan pasien baru mengalami beberapa jam lalu mengalami gejala yang
dirasakannya. Ketika pasien datang pertama kali ke rumah sakit dan hasil analisa EKG
menunjukkan atrial fibrilasi, pasien dapat dirujuk kepada kemungkinan atrial fibrilasi proksismal
atau persisten (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Hal ini akan menentukan tindakan apa yang
akan diberikan kepada pasien.
Mengacu pada hasil pengkajian yang ada dimana pasien mengeluh adanya palpitasi, agak
sesak, perasaan tidak nyaman di dada dan “nggliyeng”, maka masalah keperawatan yang muncul
pada pasien tersebut adalah penurunan curah jantung. Hal ini dikarenakan atrial fibrilasi
menyebabkan respon ventrikel yang tidak beraturan sehingga memunculkan ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah secara lengkap ke atrium dan ventrikel. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya gumpalan (emboli) yang dapat berkembang menjadi
tromboembolisme (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Tanda dan
gejala yang muncul adalah adanya perubahan hemodinamik dan trombogenesis dengan gejala
palpitasi, perasaan tidak enak di dada (nyeri dada), kelemahan hingga tidak sadarkan diri akibat
kurangnya suplai darah ke otak.
Manajemen penanganan pasien tersebut bertujuan mengurangi gejala dan mencegah
komplikasi pada pasien. Gambaran atrial fibrilasi rapid ventricular respon disebabkan oleh
adanya depolarisasi atrium secara spontan dengan cepat dan tidak beraturan sehingga
menghantarkan implus listrik terus menerus ke nodus AV. Hal ini dapat mengakibatkan ventrikel
berespon sangat irregular. Kondisi ini yang menjadi dasar dalam penanganan pasien dengan
atrial fibrilasi dimana harus segera mengembalikan irama ireguler kembali ke irama sinus dan
mengontrol heart rate yang cepat menjadi normal kembali. Kondisi ini juga dapat
mengembalikan curah jantung menjadi normal sehingga keluhan-keluhan palpitasi, nyeri dada,
kelemahan, serta sinkop akan berkurang.
Usaha di atas dapat dilakukan dengan obat antiaritmia, kardioversi dan ablasi (Camm,
Kirchhof, Lip, 2010). Berdasarkan algoritma pasien dengan atrial fibrilasi menurut American
Heart Association (AHA), atrial fibrilasi baru seperti kasus di atas dapat dicurigai mengalami AF
paroksismal atau persisten. Pasien tersebut dapat ditangani dulu dengan pemberian antikoagulan,
namun jika dalam waktu 48 jam tidak mengalami perubahan, dapat diberikan antikoagulan lagi
untuk rate control dan antiaritmia untuk rhythm control dan terakhir dapat dilakukan kardioversi
(ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011).
Merujuk panduan tersebut, tindakan awal yang harus segera dilakukan kepada pasien
yang datang ke emergensi department adalah secepatnya memberikan oksigen, memasang
intravenous line dan monitoring EKG untuk membantu mengurangi gejala yang muncul dengan
pemberian obat serta monitor kondisi jantung. Setelah itu, untuk memperlambat denyut jantung,
dapat ditangani penyebabnya atrial fibrilasi rapid vantrikular respon ini dengan memperlambat
konduksi yang arus listrik ke nodus AV (Patrick, 2006).
Prinsip penanganan pasien atrial fibrilasi di ruang emergensi terdiri atas tiga hal yang
mendasar yaitu mempertahankan sinus rhythm (control rythm), control ventricular rate (control
rate) dan terapi antitrombotik (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Langkah yang dapat
diambil selama di ruang emergensi untuk mengatasi penyebabnya adalah; Pertama dengan
maneuver vagatonik, yaitu meningkatkan tonus fagus contohnya dengan valsava maneuver,
menelan air dingin atau menekan sinus karotis. Namun sebelum melakukan tindakan ini pasien
wajib diberikan informasi agar tidak terkejut. Kedua Pemberian obat yang dapat memblok
konduksi ke dalam nodus AV sementara misal dengan adenosine intravena, efeknya ≤ 4 detik,
hal ini dapat mengembalikan ke irama sinus. Ketiga dengan pemberian beta bloker (β bloker)
seperti verapamil atau flekainid (Patrick, 2006).
Namun, pasien pada kasus tersebut juga mengalami LBBB sehingga tidak
direkomendasikan untuk menggunakan verapamil. Meskipun sebuah literature menyebutkan
bahwa LBBB tidak membutuhkan terapi, tetapi perlu juga diperhatikan obat-obat yang sekiranya
kontaindikasi dengan kondisi tersebut. Sebuah studi mengungkapkan bahwa verapamil tidak
tepat digunakan pada pasien AF dengan LBBB. Sehingga pengobatan dengan beta bloker dapat
direkomendasikan salah satunya adalah dengan Metroprolol (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Rate control bertujuan untuk mengembalikan denyut jantung kembali kepada kisaran
normal 60-80 kali permenit. Untuk itu pasien tersebut dapat diberikan obat-obatan kelas I yaitu
dengan digoxin oral. Atau dapat diberikan obat-obatan kelas IIa yaitu dengan kombinasi antara
digoksin dengan beta bloker, diltiazem atau verapamil untuk mengontrol denyut jantung pasien
selama istirahat ataupun latihan. Namun jika pasien tidak dapat bertahan menggunakan obat-obat
tersebut, amiodaron oral dapat direkomendasikan untuk pasien (ACCF/AHA Pocket Guidelne,
2011).
Tindakan berikutnya yaitu pencegahan tromboembolisme pada pasien dengan control
rythm. Control rhythm bertujuan mengembalikan irama ireguler menjadi irama regular sinus.
Sehingga meminimalkan risiko terjadinya emboli atrium. Antitrombotik dapat direkomendasikan
pada seluruh pasien dengan atrial fibrilasi. Antitrombotik yang dipilih harus memiliki manfaat
untuk menurunkan risiko stroke dan tidak adanya risiko perdarahan (Camm, Kirchhof, Lip,
2010). Terapi yang diberikan pada intinya adalah memberikan obat-obat yang bekerja pada AV
node sehingga respon ventrikel yang semula ireguler dapat menjadi regular ketika konduksi ke
ventrikel tidak lagi dibatasi oleh refrakter AV node (Patrick, 2006).
Sebuah studi pada pasien dengan atrial fibrilasi dengan onset kurang dari 24 jam,
amiodarone dapan mengembalikan ke irama sinus dengan 61,4% pada jam pertama. Dan
menghasilkan pengembalian denyut jantung dalam rentang normal dengan jumlah 93% dari
jumlah sampel setelah 24 jam. Studi ini menggunakan dosis tinggi 300mg amiodarone, dengan
20 mg/kg BB dalam 24 jam. Observasi efeksampingnya adalah hipertensi dengan 11% dan
phlebitis pada luka tusukan infuse 16% (Weizberg, 2007). Amiodaron dapat menjadi alternatif
dalam mengembalikan ke irama sinus dan menormalkan denyut jantung.
Dalam memilih obat-obatan tersebut diperlukan kehati-hatian sebab efek sampingnya
adalah proaritmia (kemungkinan jenis lain). Perlu evaluasi yang sangat ketat pada pemakaian
obat-obatan ini. Obat yang dinilai efektif sebagai kardioversi farmakologis pada AF adalah
amiodaron, dofetilide, flekainid, ibutilide, propafenon, dan kuinidin (Shay, 2010).
Jika pengobatan yang diberikan tidak berhassil atau pada kondisi kegawatdaruratan
misalnya hemodinamik tidak stabil disertai tanda iskemia, dan sinkop perlu dilakukan
kardioversi elektrik yang dimulai dengan 200 Joule, bila tidak berhasil boleh dinaikkan menjadi
300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi singkat (Shay, 2010).
Panduan lain dalam algoritma penanganan perawatan pasien atrial fibrilasi dengan
menggunakan kardioversi, disebutkan bahwa ketika pasien datang dengan onset atrial fibrilasi
kurang dari 48 jam, maka dapat diberikan heparin dan diteruskan dengan pemberian terapi
kardioversi. Kardioversi yang diberikan dapat berupa electrical maupun pharmacological.
Setelah itu dipantau kejadian atrial fibliasi selama onset 48 jam tersebut dan dilanjutkan dengan
pemberian obat antikoagulan (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Kesimpulan akhir penanganan pasien di ruang emergensi dapat diberikan obat-obatan anti
aritmia dan antikoagulan serta diberikan kardioversi elektrik.
Sedangkan untuk penanganan lanjutan pasien dengan kardioversi, ada pertimbangan yang
harus diberikan ketika memilih kardioversi elektrikal ataupun kardioversi pharmacological.
Akibat mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon, pasien tidak akan memberikan respon
yang tepat kepada pemberian pharmacological kardioversi. Sehingga dengan segera kardioversi
elektrik dapat direkomendasikan kepada pasien tersebut (Camm, Kirchhof, Lip et al, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diberikan kardioversi elektrikal dalam
penanganannya dapat bertahan secara signifikan tanpa adanya komplikasi seperti stroke,
kejadian tromboemboli baru, ataupun kematian dalam waktu 30 hari pearawatan. Hal ini kontras
dengan hasil penelitian sebelumnya dimana pasien dengan atrial fibrilasi yang tidak diberikan
kardioversi elektrikal dan hanya diberi kardioversi pharmacheoumical mengalami banyak
kompilkasi ikutan akibat atrial fibrilasi (Frank, Eric, Rob, Grant, Iraj and Maziar, 2010).
Sehingga kardioversi elektrik dapat menjadi pilihan dalam penanganan pasien selama di ruang
emergensi.
Namun beberapa studi menyebutkan bahwa pemberian obat anti aritmi disertai dengan
pemberian kardioversi dapat memberikan hasil yang baik pada pasien. Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bellone A, Etteri M, Vettorello M, dan kawan-kawan (2011)
dimana disebutkan bahwa pada pasien dengan onset kejadian atrial fibrilasi yang baru muncul
kurang dari 48 jam dapat diberikan penanganan pertama dengan obat dan dikombinasi dengan
pemberian kardioversi elektrik. Obat bertindak sebagai rate control dan juga rhythm control
dengan mempertahankan irama sinus, sedangkan kardioversi dapat bertindak sebagai rhythm
control (Berry and Padget, 2012).
Jika dengan obat-obatan dan kardioversi tidak berhasil, maka dapat diberikan tindakan
ablasi pada pasien tersebut. Ablasi AV node dan permanen pacing bukanlah bentuk perawatan
dengan obat. Ablasi dan pacemaker dapat membantu mengontrol irama dan denyut jantung
pasien dengan atau tanpa penggunaan obat. Ini dapat digunakan pada pasien yang tetap
merasakan palpitasi setelah pengobatan dan yang tidak toleran terhadap obat-obat pengontrol
irama dan denyut jantung (Berry and Padget, 2012).
Peran perawat emergensi antaralain adalah memantau setiap saat irama jantung dan laju
denyut jantung pasien dan memberikan obat-obatan dan tindakan yang dibutuhkan pasien
sebagai penanganan pertama (Greener, 2010). Selain itu, peran perawat adalah memberikan
konseling kepada pasien setelah kondisi pasien mulai stabil (Greener, 2010).
Pasien umumnya telah memiliki pandangan negatif terhadap kondisi dirinya jika telah
berhubungan dengan penyakit jantung. Selain itu pasien akan meragukan keberhasilan
penanganan yang diberikan. Sehingga sangat dibutuhkan peran perawat dalam memberikan
motivasi dan penjelasan akan setiap keuntungan tindakan yang diberikan kepada pasien untuk
menurunkan kecemasan. Paisen juga diinformasikan terkait dengan komplikasi yang akan
muncul. Hal ini berguna agar pasien lebih siap ketika dikemudian hari ada beberapa penyakit
yang menyertai post atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010).
Sebuah survey menunjukkan bahwa 29% mengalami kecemasan akan penyakitnya dan
membutuhkan pengetahauan mengenai atrial fibrilasi 5%. Dan sisanya mengalami depresi dan
kecemasan tinggi setelah didiagnosa atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010). Peran
perawat disini dapat memberikan informasi terkait perawatan yang akan diberikan dengan
bahasa yang mudah diterima oleh pasien (Greener, 2010).

BAB IV
KESIMPULAN
4.1.1 Paisen atrial fibrilasi umumnya memiliki keluhan palpitasi, rasa tidak nyaman
di dada (nyeri dada), terasa sesak, kelemahan hingga pingsan. Untuk menentukan
diagnose atrial fibrilasi diperkuat dengan hasil analisa EKG yang direkam.
4.1.2 Pengkajian lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa atrial fibrilasi
adalah pengkajian tanda dan gejala lain yang mungkin dirasakan pasien, pemeriksaan
hasil laboratorium darah lengkap dan pemeriksaan transesofagus echocardiografi.
4.1.3. Masalah keperawatan yang biasanya muncul adalah penurunan curah jantung
diakibatkan ketidakmampuan jantung memompakan darah ke atrium dan ventrikel
akibat atrial vibrilasi yang menyebabkan respon ventrikel tidak beraturan.
4.1.4 Penanganan pasien atrial fibrilasi saat di ruang emergensi adalah dengan memberikan
obat-obat anti aritmia, antikoagulan dan juga dengan kardioversi, atau jika tidak
berhasil dapat dilakukan ablasi.
4.1.5 Dalam penanganan pasien atrial fibrilasi di ruang emergensi, perawat tidak hanya
mengelola kondisi fisik pasien agar irama dan denyut jantung pasien stabil serta
mencegah komplikasi, tetapi juga memperhatikan kondisi kecemasan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Pocket Guidelne. (2011). Management of Patients With Atrial Fibrillation.


American: American College of Cardiology Foundation and American Heart Association.
www.heart.org
Alfred, S, Jennife, W, Steven, L, Devender, A. (2012). Impact of emergency department
management of atrial fibrilation on hospital charges. Western Journal of Emergency
Medicine. www.escholarship.org
Aliot, E, Breithardt, G, Brugada, J. (2010). An international survey of physician and patient
understanding, perception, and attitudes to atrial fibrillation and its contribution to
cardiovascular disease morbidity and mortality. Europen. 12 (5), 626-633
Barrett, T. W., Martin, A. R., Storrow, A. B., et al. (2011). A clinical prediction model to
estimate risk for 30-day adverse events in emergency department patients with
symptomatic atrial fibrillation. Ann Emerg Med. 57, 1-12.
Bellone, A., Etteri, M., Vettorello, M., et all. (2011). Cardioversion of acute atrial fibrilation in
the emergency department: A Prospective Randomized Trial. Emergency Medicine
Journal.
Benjamin, E. J., Chen, P. S., Bild, D. E. (2009). Prevention of atrial fibrillation: Report From A
National Heart, Lung, and Blood Institute Workshop. Circulation. 119 (4), 606–618
Berry. A and Padgett, H. (2012). Management of patients with atrial fibrillation: Diagnosis and
Treatment. Nursing Standard/RCN Publishing. 26 (22), 47.
Camm, A. J., Kirchhof, P., Lip, G. Y., Schotten, U., Irene, S., Ernst, S., Gelder, I. C. V., et al.
(2010). Guidelines for the management of atrial fibrillation: The Task Force For The
Management of Atrial Fibrillation of The European Society of Cardiology. Europen Heart
Journal. 31, 2369-2429
Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Jakarta: Surya Gemilang.
Craig, I., Coleman, White, M., Baker, W. L. (2009). An antiarrhythmic agent forthe management
of atrial fibrillation and atrial flutter. Formulary. 44. www.formularyjoumal.com
Department Health and Human Services USA. (2010). Atrial Fibrillation Fact Sheet. CDC.
www.stoptheclot.org
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A.
J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Jakarta
Frank, G. Y,. (2012). Introduction to ECG Interpretation. Intermountain Healthcare.
Frank, X. S., Eric, R., Rob, S., Grant, I., Iraj, P., Maziar, S. (2010). Thirty-day outcomes of
emergency department patients undergoing electrical cardioversion for atrial fibrillation or
flutter. Society fo Academic Emergency Medicine. 17, 408-415.
Greener, M. (2010). The nurse’s role in the management of atrial fibrillation. Nurse Prescribing.
8 (11),532-537.
Guy, C., Karine, G., and Jean, P. (2002). Atrial fibrillation in the elderly facts and management.
Drugs Aging. 19 (11), 819-846
Levy, S., Camm, A. J., Saksena, S. (2003). International consensus on nomenclature and
classification of atrial fibrillation. Europace. 5, 119–221.
National Collaborating Center for Chronic Condition. (2006). Atrial fibrillation. London.
National Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal College
of Physicians. www.escardio.org
Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Philip, I. A., and Jeremy, P. T. W,. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Shay, E. P. (2010). Guideiin-Specific Management of Atrial Fibrilation. Foimulary. 45.
www.foimularyjournal.com
Tintinalli J., Cameron P., Holliman J., C. (2010). EMS: a Practical Global Guidebook. USA:
People’s Medical Publishing. www.ebookee.org
Wakai, A., and O’Neill, O. (2003). Emergency management of atrial fibrillation. Postgrad Med
J. 79,313-319. www.posgradmedj.com
Weizberg, M. (2007). Foccus on atrial fibrillation-rhythm control option in the emergency
department. ACEP News

Anda mungkin juga menyukai