Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FITOTERAPI ANTI HIPERURISEMIA

KELOMPOK : 4

DISUSUN OLEH:
KELAS B
RIMA AN NISA 2030122057
RORI DWI AGUSTI 2030122058
ROSMELIA 2030122059
RUT TRINITHATIS GEA 2030122060
SEPTA GUNA EFI 2030122061
SHERLY ASHWITA A. F 2030122062

DOSEN PENGAMPU:
Dr. apt. Eka Fitrianda, M.Farm

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVIII
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA INDONESIA
PADANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperurisemia adalah gangguan metabolisme yang ditandai oleh kelebihan

asam urat dalam darah. Asam urat adalah produk akhir dari metabolisme purin

pada manusia, konsentrasi serum asam urat yang tidak lebih dari 7 mg/dL pada

laki-laki dan 6 mg/dL pada perempuan (Kim et al, 2010; Peixoto et al, 2001; Putra,

2006; Lamb et al, 2006).

Penelitian di Chitwan Nepal, melaporkan bahwa prevalensi hiperurisemia

pada ras Mongolia sebesar 24,50%, sedangkan pada non Mongolia sebesar

21,06%, lebih umum pada laki-laki daripada perempuan (Kumar et al, 2010;

Nakanishi et al, 2000). Poletto (2011) dalam penelitiannya melaporkan, tingginya

prevalensi hiperurisemia Jepang-Brazil sebesar 35,3%.

Besarnya angka kejadian hiperusemia pada masyarakat Indonesia belum ada

data yang pasti. Mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku sangat mungkin

memiliki angka kejadian yang lebih bervariasi. Pada penelitian hiperurisemia di

rumah sakit ditemukan angka prevalensi yang lebih tinggi, yaitu antara 17-28%

akibat pengaruh penyakit dan obat-obatan yang diminum penderita. Prevalensi

hiperurisemia di Ubud (12%), di Pulau Ceningan (17%), di Kota Denpasar

(18,2%) sedangkan prevalensi hiperurisemia pada penduduk di Jawa Tengah

adalah sebesar 24,3% pada laki-laki dan 11,7% pada perempuan (Hensen, 2007).
Asam urat sebagai hasil sintesis purin pada kondisi hiperurisemia,

merupakan faktor resiko stroke selain hipertensi, diabetes melitus (DM), penyakit

jantung, merokok, kenaikan kadar lipid, hipertiroidi, hematokrit, fibinogen,

kegemukan, kurang aktivitas, alkohol, usia, dan genetik (Gilroy, 2000). Selain itu

faktor status sosial ekonomi, urbanisasi dan lingkungan juga berperan terhadap

kejadian stroke (Gillium,1999).

Hiperurisemia menjadi permasalahan seluruh lapisan masyarakat baik di

Indonesia maupun di seluruh dunia. Di lihat dari frekuensi tertinggi gout di dunia

dilaporkan dari populasi penduduk Kepulauan Pasifik modern. Maori di Selandia

Baru memiliki prevalensi gout yang sangat tinggi yaitu pada pria adalah sebesar

10.4–13.9 % (Paul & James, 2017). Di Bali khususnya belum banyak publikasi

epidemiologi tentang hiperurisemia, berdasarkan laporan dinas kesehatan

kabupaten buleleng tahun 2016 sebanyak 10.528 kasus atritis gout lainya (Profil

Kesehatan Kabupaten Buleleng , 2016). Masyarakat pedesaan cenderung memiliki

kadar asam urat lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan akibat jenis

konsumsi yang kurang beragam seperti halnya tahu, ikan teri, dan daun bayam

yang merupakan bahan makanan sumber purin tinggi serta faktor ekonomi yang

kurang mendukung. . Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan

kadar asam urat, seperti Status Gizi (kegemukan), konsumsi tinggi purin, dan

pengobatan (Yunita, Fitriana, & Gunawan, 2018). Menurut Untari dan Wijayanti

(2017) kadar purin yang tinggi disebabkan oleh pola konsumsi yang salah, akibat

banyaknya konsumsi protein.


Bila produksi asam urat menjadi sangat berlebihan atau pembuangannya

berkurang, kadar asam urat di dalam darah menjadi tinggi, keadaan ini disebut

Hiperurisemia sehingga pada pembahasan kali ini membahas tentang

Hiperurisemia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi hiperurisemia ?

2. Bagaimana etiologi hiperurisemia ?

3. Bagaimana patofisiologi hiperurisemia ?

4. Bagaimana farmakologi hiperurisemia ?

5. Bagaiman fitoterapi hiperurisemia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui definisi hiperurisemia.

2. Mengetahui etiologi hiperurisemia.

3. Mengetahui patifisiologi hiperurisemia.

4. Mengetahui farmakologi hiperurisemia.

5. Mengetahui fitoterapi hiperurisemia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hiperurisemia

Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam

darah. Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama tergantung dari

golongan umur. Seorang pria dewasa dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar

asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dl. Sedangkan hiperurisemia pada wanita

dewasa terjadi bila kadar asam urat serum di atas 6,0 mg/dl (Berry et al., 2004).

Ginjal merupakan organ yang berperan megendalikan kadar asam urat di dalam

darah agar selalu dalam batas normal. Organ ginjal mengatur pembuangan asam

urat melalui urin. Namun bila produksi asam urat menjadi sangat berlebihan atau

pembuangannya berkurang, kadar asam urat di dalam darah menjadi tinggi,

keadaan ini disebut Hiperurisemia (Misnadiarly, 2007).

B. Etiologi Hiperurisemia

Menurut Misnadiarly (2007) ada beberapa penyebab meningkatnya kadar

asam urat di dalam tubuh antara lain :

1) Nutrisi Asupan

Nutrisi merupakan salah satu fakor terbesar tercetusnya penyakit.

Beberapa penyakit seperti asam urat merupakan salah satu penyakit dimana

nutrisi/makanan merupakan faktor utama. Hampir semua makanan yang kita

konsumsi memiliki kadar purin hanya saja kadarnya berbeda. Purin yang

berasal dari makanan memiliki peranan 70-80% dalam pembentukan asam urat
di dalam tubuh. Sisanya sekitar 20-30% merupakan sintesis tubuh yang

dihasilkan dari bahan seperti glitamin, glisin, dan asam aspartat (Misnadiarly,

2007).

2) Obat- Obatan

Obat-obatan diuretika (furosemid dan hidroklorotiazida), obat kanker,

vitamin B12 dapat meningkatkan absorbsi asam urat di ginjal sebaliknya

dapat menurunkan ekskresi asam urat urin, sehingga tak jarang dapat

mengakibatkan kadar asam urat di dalam darah meningkat (Misnadiarly,

2007).

3) Obesitas

Berat badan merupakan salah satu penyebab meningkatnya kadar asam

urat di dalam tubuh. Dimana seseorang dengan kriteria obesitas mempunya

faktor resiko tinggi (Waspadji, 2010). Menurut Moore, 2002, ada beberapa

metode untuk menentukan obesitas, yaitu:

1. Perbandingan berat dengan tabel berat badan yang diinginkan menurut

tinggi

2. Indeks masa tubuh (IMT) lebih besar dari 27,8 untuk pria, atau 27,3 untuk

wanita.

3. Pengukuran lemak subkutan; lipatan kulit triseps 18,6 mm untuk pria atau

25,1 mm untuk wanita.

Menurut Supariasa (2009), batasan indeks masa tubuh berbeda-beda di

setiap negara karena dipengaruhi berbagai faktor. Di Indonesia, rentang indeks

masa tubuh untuk pria adalah 20,1-25.


4) Riwayat Keluarga

Seseorang dengan riwayat genetik/keturunan yang mempunyai

hiperurisemia mempunyai risiko 1-2 kali lipat di banding pada penderita yang

tidak memiliki riwayat genetik/ keturunan (Widodo, 2007). Kadar asam urat

dikontrol oleh beberapa gen (Purwaningsih, 2010). Analisis The National

Heart, Lung, and Blood Institute Family studies menunjukkan hubungan antara

faktor keturunan dengan asam urat sebanyak kira-kira 40%. Kelainan genetik

FJHN (Familial Juvenile Hiperuricarmic Nephropathy) merupakan kelainan

yang diturunkan secara autosomal dominant, dan secara klinis sering terjadi

pada usia 14 muda. Pada kelainan ini, terjadi penurunan Fractional Uric Acid

Clearance (FUAC) yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara cepat.

5) Usia & Jenis Kelamin

Kadar rata-rata asam urat di dalam darah dan serum tergantung usia

dan jenis kelamin. Asam urat tergolong normal apabila pria dibawah 7mg/dl

dan wanita dibawah 6mg/dl. Sebelum pubertas sekitar 3,5 mg/dl. Setelah

pubertas pada pria kadarnya meningkat secara bertahan dan dapat mencapai 5,

mg/dl. Pada perempuan, kadar asam urat biasanya tetap rendah , baru pada usia

pra menopause kadarnya meningkat mendekati kadar pada laki-laki, bisa

mencapai 4,7 mg/dl. Jadi faktor resiko hiperurisemia meningkat pada laki-laki

ketika usia pubertas sampai diatas usia 40tahun. Sedangkan pada perempuan

meningkat ketika usia pra menopause hal tersebut diakibatkan karena hormon

esterogen. Perempuan yang telah menopause dan memasuki masa usia lanjut

mengalami penurunan hormon estrogen sehingga terjadi ketidakseimbangan


aktivitas osteoblas dan osteoklas yang mengakibatkan penurunan massa tulang

sehingga menyebabkan tulang menjadi tipis, berongga, kekakuan sendi,

pengelupasan tulang rawan sendi sehingga terjadi nyeri sendi. Menurut

Musumeci et al (2015) perbedaan juga tergantung pada perbedaan struktur

tulang dan ligamen, seperti kekuatan dan keselarasan, kelemahan ligamen atau

penurunan volume tulang rawan pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki.

C. Patofisiologi

Berdasarkan buku Isoterapi 1 ppatofisiologi dari hiperurisemia :

 Pada manusia, asam úrat merupakan produk akhir degradasi purin. Tidak

diketahui tujuan fisiologisnya sehingga dianggap sebagai produk buangan.

Akumulasi yang berlebih ini dapat disebabkan overproduksi dan penurunan

ekskresi.

 Purin yang menghasilkan asam urat dapat berasal dari tiga sumber, yaitu purin

dari makanan, konversi asam nukleat jaringan menjadi nukleotida purin, dan

siņtesis de novo basa purin.

 Ketidak normalan dalam sistem enzim yang mengatur metabolisme purin

dapat menyebabkan overproduksi asam urat. Peningkatan aktivitas

fosforibosil pirofosfat (PRPP) sintetase menyebabkan peningkatan konsentrasi

PRPP, sebuah kunci penentu sintesis purin dan menyebabkan produksi asam

urat. Defisiensi hipoxantin-guanin fosforibosil transferase (HGPRT) dapat

pula menyebabkan overproduksi asam urat.HGPRT bertanggung jawab


terhadap perubahan guanin menjadi asam guanilat dan hipoxantin menjadi

asam inosinat. Dua perubahan ini memerlukan PRPP sebagai ko-substrat dan

merupakan reaksi pemanfaatan penting yang terlibat dalam sintesis asam

nukleat. Defisiensi enzim HGPRT menyebabkan peningkatan metabolisme

guanin dan hipoxantin menjadi asam urat dan lebih banyak PRPP yang

berinteraksi dengan glutamin pada tahap awal jalur purin. Ketidak hadiran

HGPRT menyebabkan sindrom Lesch-Nyhan pada anak-anak, yang

dikarakterisasi dengan koreoatetosis, spastisitas, penurunan mental, dan

produksi asam urat yang berlebihan.

 Asam urat dapat pula dihasilkan berlebih sebagai konsekuensi peningkatan

pemecahan asam nukleat jaringan, seperti yang .terjadi pada penyakit

mieloproliferatif dan limfoproliferatif.

 Purin yang berasal dari mäkanan memiliki peran tidak penting dalam

pembentukan keadaan hiperurisemia dalam ketiadaan beberapa kekacauan

dalam metabolime atau eliminasi purin.

 Sekitar dua pertiga asam urat yang dihasilkan setiap hari diekskresikan

melalui urin. Sisanya dieliminasi melalui saluran gastrointestinal setelah

degradasi enzimatik oleh bakteri usus. Penurunan ekskresi asam urat melalui

urin menjadi di bawah kecepatan produksinya menyebabkan hiperurisemia

dan peningkatan sodium urat urat.


Menurut Suiraoka (2012), berdasarkan patofisiologinya hiperurisemia atau

peningkatan asam urat terjadi akibat produksi asam urat yang berlebih,

pembuangan asam urat yang kurang atau kombinasinya.

a. Produksi asam urat berlebih

Peningkatan produksi asam urat terjadi akibat peningkatan kecepatan

biosintesa purin dari asam amino untuk membentuk inti sel DNA dan RNA. Hal

ini disebabkan kelainan produksi enzim yaitu Hipoxantin guanine fosforibosil

transferase (HGPRT) dan kelebihan aktivitas enzim Fosforibosil piro fosfatase

(PRPP) sehingga terjadi kelainan metabolisme purin (inborn errors of purin

metabolism). Produksi asam urat dibantu oleh enzim Xantin Oksidase dengan

efek samping menghasilkan radikal bebas superoksida. Kekurangan enzim

HGPRT dapat menyebabkan akumulasi PRPP dan penggunaan enzim PRPP

untuk inhibisi umpan balik menurun sehingga semua hipoxantin akan

digunakan untuk memproduksi asam urat. Selain itu aktivitas berlebih enzim

PRPP akan menyebabkan pembentukan nukleotida asam guanilat (GMP) dan

Adenilat deaminase (AMP) menurun sehingga menstimulasi proses inhibisi

umpan balik yang akibatnya meningkatkan proses pembentukan asam urat.

Keadaan ini ditemukan pada mereka yang memiliki kelainan herediter

(genetik).

b. Pembuangan asam urat berkurang

Asam urat akan meningkat dalam darah jika ekskresi atau

pembuangannya terganggu. Sekitar 90% penderita hiperurisemia mengalami


gangguan ginjal dalam pembuangan asam urat ini. Biasanya penderita gout

mengeluarkan asam urat 40% lebih sedikit dari orang normal.

Dalam kondisi normal, tubuh mampu mengeluarkan 2/3 asam urat

melalui urin (sekitar 300 sampai dengan 600mg perhari). Sedangkan sisanya

diekresikan melalui saluran gastrointestinal. Asam urat larut dalam plasma 16

darah sebagai monosodium urat yang pada suhu 370C kelarutannya dalam

plasma sebanyak 7 mg/dl.

Secara normal, pengeluaran asam urat seecara otomatis akan lebih banyak

jika kadarnya meningkat dalam darah akibat asupan purin dari luar atau

pembentukan purin. Tapi pada penderita gout kadar asam urat tetap lebih tinggi

1-2 mg/dl dibandingkan orang normal.

Di dalam tubuh, terdapat enzim urikinase untuk mengoksidasi asam urat

menjadi alotinin yang mudah dibuang. Apabila terjadi gangguan pada enzim

urikinas akibat proses penuaan atau stress maka terjadi hambatan pembuangan

asam urat sehingga kadar asam urat akan naik dalam darah. Hambatan

pembuangan asam urat juga terjadi akibat gangguan fungsi ginjal.

Pembuangan asam urat terganggu akibat penurunan proses filtrasi ginjal

di glomerulus ginjal, penurunan ekskresi dalam tubulus ginjal dan peningkatan

absorpsi kembali. Penurunan filtrasi tidak langsung menyebabkan

hiperurisemia, namun berperan dalam meningkatkan kadar asam urat pada

penderita gangguan ginjal. Penurunan ekskresi pada tubulus ginjal disebabkan

karena akumulasi asam-asam organik lain yang berkompetisi dengan asam urat

untuk diekskresikan. Hal ini terjadi pada keadaan starvasi, asidosis, keracunan
dan pada penderita diabetes. Hiperurisemia yang terjadi karena peningkatan

reabsopsi asam urat banyak dialami oleh penderita diabetes dan terapi

kerusakan ginjal biasanya hal ini berkaitan dengan herediter.

c. Kombinasi asam urat berlebih dan pembuangan yang berkurang

Mekanisme kombinasi keduanya terjadi pada kelainan intoleransi

fruktosa, defisiensi enzim tertentu yaitu Glukosa 6-fosfat. Pada kelainan 17

tersebut akan diproduksi asam laktat berlebihan, pembuangan asam urat

menjadi menurun karena berkompetisi dengan asam laktat dan hiperurisemia

menjadi lebih parah. Kekurangan enzim glukose 6-fosfat biasanya

menyebabkan hiperurisemia sejak bayi dan menderita gout usia muda.

D. Farmakologi

1. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)

Mekanisme Kerja

Obat Dalam dosis tunggal antiinflamasi nonsteroid (AINS) mempunyai aktivitas

analgesik yang setara dengan parasetamol, tetapi parasetamol lebih disukai terutama

untuk pasien usia lanjut. Dalam dosis penuh yang lazim AINS sekaligus

memperlihatkan efek analgesik yang bertahan lama yang membuatnya sangat berguna

pada pengobatan nyeri berlanjut atau nyeri berulang akibat radang. Oleh karena itu,

walau parasetamol sering mengatasi nyeri dengan baik pada osteoartritis, AINS lebih

tepat daripada parasetamol atau analgesik opioid dalam artritis meradang (yaitu

artritis rematoid) dan pada beberapa kasus osteoartritis lanjut.

Hanya sedikit perbedaan dalam aktivitas antiinflamasi antara berbagai AINS,

namun ada variasi yang cukup besar dalam respon pasien secara individual. Sekitar
60% pasien akan beraksi terhadap semua AINS. Sementara yang lainnya ada yang

tidak bereaksi terhadap salah satunya, dan bereaksi baik terhadap yang lain. Efek

analgesik normalnya harus diperoleh dalam selang seminggu, sementara efek

antiinflamasi mungkin belum tercapai. Jika respon memadai belum diperoleh dalam

selang waktu itu, harus dicoba AINS lain.


Indikasi

 Rematoid arthritis (kecuali ketorolak, asam mefenamat, dan meloksikam) dan

osteoarthritis (kecuali ketorolak dan asam mefenamat): meredakan gejala

 Nyeri ringan hingga sedang (diklofenak kalium, etodolak, fenoprofen,

ibuprofen, ketoprofen, ketorolak, meklofenamat, asam naproksen, naproksen

natrium, rofecoxib)
 Dismenorea primer mefenamat.

2. Kortikosteroid

Mekanisme Kerja

Kortikosteroid memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga

memperlihatkan efek yang sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolism

karbohidrat, protein, dan lipid; efek terhadap kesetimbangan air dan elektrolit; dan

efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat

rumit dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun, secara umum

efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolism karbohidrat

(glukoneo- genesis), dan efek antiinflamasi.

Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengen protein reseptor yang spesifik

di organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya akan

menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein yang terakhir inilah yang

akan mengubah fungsi seluler organ target sehingga diperoleh, misalnya, efek

glukoneogenesis, meningkatknya asam lemak, meningkatnya reabsorpsi Na,

meningkatnya reaktivitas pembuluh. terhadap zat vasoaktif, dan efek antiinflamasi.


Indikasi

Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid digunakan dalam dosis yang beragam untuk

berbagai penyakit dan beragam untuk individu yang berbeda, agar dapat dijamin rasio

manfaat/resiko setinggi-tingginya.

Sediaan Beredar

 Deksametason

Dexametason (Generik) Cairan Inj. 5 mg/mL (K)


Camideson (Lucas Djaya) Cairan Inj. 5 mg/mL (K)

 Hidrokortison

Silecort (Prafa) Serbuk Inj. 100 mg/2 mL (K)

Solu-cortef (Upjohn SA-Belgium) Serbuk Inj. 100 mg/mL, 250 mg/mL, 50

mg/mL (K).

 Kortison

Cortison asetat (Generik) Cairan Inj. 25 mg/mL (K)

 Triamsinolon

Kenacort-A IM/ID (Squibb-Australia) Cairan Inj. (K) 40 mg/ml. (K) Kenacort-

A IM/ID (Squibb-Australia) Cairan Inj.(K)

3. Obat-Obat Untuk Mengatasi Gout

Obat yang digunakan untuk mengatasi gout dibedakan menjadi obat unhk

penanganan serangan akut gout dan obat yang digunakan untuk jangka panjang

penyakit ini. Obat jangka panjang akan menimbulkan kambuhan dan memperpanjang

manifestasi akut bila dimulai saat serangan. penanganan

Serangan gout akut biasanya diobati dengan AINS dosis tinggi. Kolkisin bisa

dijadikan alternative. Kolkisin mungkin sama efektifnya dengan AINS. Untuk

pengendalian gout dalam jangka panjang (interval), pembentukan asam urat dan purin

bisa dikurangi dengan penghambat xantin-oksidase alopurinol, atau urikosurik seperti

probenesid atau sułfinpirazon bisa digunakan untuk meningkatkan ekskresi asam urat

dalam urin.

a) KOLKISIN
Mekanisme kerja obat

Mekanisme pasti kerja kolkisin masih belum diketahui. Kolkisin

menunjukkan efeknya dengan mengurangi respon inflamasi terhadap kristal yang

terdeposit dan juga dengan mengurangi fagositosis. Kolkisin mengurangi produksi

asam laktat oleh leukosit secara langsung dan dengan mengurangi fagositosis

sehingga mengganggu siklus deposisi kristal urat dan respon inflamasi.

b) ALOPURINOL

Mekanisme Kerja Obat

Allopurinol dan metabolit utamanya, oksipurinol, merupakan inhibitor xantin

oksidase dan mempengaruhi perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi

asam urat. Allopurinol juga menurunkan konsentrasi intraselular PRPP. Oleh karena

waktu paruh metabolitnya yang panjang, allopurinol dapat diberikan sehari sekali.

Dosis oral harian sebesar 300 mg biasanya mencukupi. Adakalanya diperlukan dosis

sebesar 600-800 mg/hari.

c) PROBENESID

Mekanisme Kerja

Obat Probenesid merupakan agen pemblok tubulus ginjal. Obat ini secara

kompetitif menghambat reabsorpsi asam urat pada tubulus proksimal sehingga

meningkatkan ekskresi asam urat dan mengurangi konsentrasi urat serum.

d) SULFINPIRAZON

Indikasi : Profilaksis gout, hiperurisemia Peringatan;


Kontraindikasi : Lihat Probenesid; dianjurkan secara rutin hitung darah;

hindari pada melakukan hipersensitivitas terhadap AINS; penyakit jantung

(bisa menyebabkan retensi garam dan air)

E. Fitoterapi

1. DAUN HIJAU TANAMAN PUCUK MERAH (SYZYGIUM

MYRTIFOLIUM WALP.)

Tanaman pucuk merah ini juga memiliki kandungan senyawa kimia

yang bermanfaat. Hal ini dapat dibuktikan dengan penelitian bahwa isolasi

antosianin dari buah pucuk merah (Syzygium campanulatum Korth.)

memiliki aktivitas antioksidan alami. Daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) mengandung senyawa flavonoid, fenolik dan terpenoid

yang memiliki aktivitas antitumor dan anti-angiogenesis. Hasil penelitian lain

menyatakan bahwa daun pucuk merah (Syzygium myrtifolium Walp.) pada

fraksi etanol-air memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa senyawa flavonoid dapat digunakan sebagai obat untuk

penyakit gout dengan cara menurunkan konsentrasi asam urat dan

penangkapan aktivitas superoksida dalam jaringan manusia. Flavon dan

flavonol memiliki daya inhibisi lebih tinggi daripada golongan flavonoid

lainnya karena posisi gugus hidroksilnya lebih mudah menangkap elektron

dari sisi aktif enzim xantin oksidase. Senyawa metabolit sekunder yang

terkandung pada ekstrak etanol daun hijau tanaman pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) adalah senyawa alkaloid, saponin,, triterpenoid, steroid,


flavonoid dan fenolik dan terdapat aktivitas antihiperurisemia dari ekstrak

etanol daun hijau tanaman pucuk merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

dengan persentase penurunan tertinggi 55,04% pada dosis 7,40 mg/kg BB.

2. DAUN SIRSAK (Anona muricata L.)

Analisis fitokimia menunjukkan ekstrak daun sirsak mengandung

alkaloid, flavonoid, terpenoid, kumarin, lakton, antrakuinon, tanin, kardiak

glikosida, fenol, fitosterol, dan saponin. Senyawa-senyawa fitokimia tersebut

dapat ditemukan baik pada ekstraksi etanol maupun air. Uji aktivitas

antihiperurisemia ekstrak etanol daun sirsak menunjukkan bahwa ekstrak

daun sirsak memiliki efek sebagai antihiperurisemia, mekanisme kerja

flavonoid pada daun sirsak dengan menghambat enzim xanthin oxidase yang

dapat merubah hipoxanthin menjadi asam urat.

3. DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.)

Salah satu tanaman yang diduga memiliki aktivitas antihiperurisemia

adalah daun tempuyung (Sonchus arvensis L.). Daun tumbuhan ini memiliki

banyak khasiat diantaranya untuk mengatasi kelebihan asam urat, diuretik,

batu ginjal, kencing batu, batu empedu, bengkak, penenang batuk, asma,

penurun kadar kolestrol dan bronkitis. Tempuyung mengandung ion-ion

mineral antara lain silika, kalium, magnesium, natrium dan beberapa

flavonoid (kaempferol, luteolin-7-Oglukosida, dan apigenin-7-O-glukosida),

kumarin (skepoletin), taraksterol, inositol, serta asam fenolat (sinamat,

kumarat, dan vanilat).


Berdasarkan hasil skrining fitokimia terdapat beberapa senyawa yang

terkandung dalam ekstrak etil asetat adalah senyawa saponin dan terpenoid.

Dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat mengandung senyawa

yang berpotensi sebagai antihiperurisemia. Namun aktivitas dari ekstrak

etanol dan etil asetat tidak lebih besar apabila dibanding dengan alopurinol.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena konsentrasi senyawa yang

berpotensi sebagai antihiperurisemia sedikit atau kemungkinan disebabkan

karena senyawa flavonoid yang terkandung dalam tempuyung dalam wujud

flavonoid glikosida, yang mana aktivitas penghambatannya lebih kecil

dibanding senyawa induknya yaitu apigenin dan luteolin [14]. Senyawa yang

terkandung dalam daun tempuyung yang diduga memiliki aktivitas

antihiperurisemia adalah golongan senyawa flavonoid. Mekanisme aktivitas

antihiperurisemia in vivo flavonoid daun tempuyung masih belum diketahui

dengan pasti.

4. DAUN KLUWIH (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg)

Golongan senyawa aktif dari flavonoid dan alkaloid dapat

menghambat aktivitas xantin oksidase dan superoksidase sehingga dapat

mengurangi pembentukan asam urat di dalam darah yang memicu terjadinya

hiperurisemia. Ekstrak etanol dari daun kluwih (Artocarpus altilis

(Parkinson) Fosberg) mengandung senyawa flavonoid yang diketahui

memiliki aktivitas antioksidan yang mampu mengatasi penyakit degeneratif

yang terjadi di dalam tubuh. Ekstrak etanol dari daun kluwih (Artocarpus

altilis (Parkinson) Fosberg) mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,


glikosida, glikosida antrakuinon dan steroid/triterpenoid. Kolkisin merupakan

kandungan dari alkaloid yang dapat menghambat aktivitas xantin oksidase

dalam mendegradasikan xantin dan hipoxantin menjadi asam urat.

5. DAUN DURIAN (Durio zibethinus (Linn.))

Daun durian mempunyai senyawa metabolit sekunder antara lain

alkaloid, flavonoid, saponin, glikosida, tanin, dan steroid/triterpenoid.

Senyawa yang dapat berpotensi sebagai antihiperurisemia adalah flavonoid

dan fenolik. Flavonoid memiliki aktivitas antiradikal bebas melalui

penekanan radikal bebas Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu dengan cara

penghambatan kerja enzim/kerusakan sel atau pengkhelatan ion logam yang

terdapat dalam produksi radikal bebas. Flavonoid mampu menurunkan kadar

asam urat dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas. Senyawa

fenolik juga diduga memiliki aktivitas sebagai antihiperurisemia karena

mampu menghambat kerja dari enzim xantin oksidase.

Senyawa metabolit sekunder yang sangat berperan dalam menurunkan

kadar asam urat adalah senyawa flavonoid. Golongan senyawa aktif dari

flavonoid dapat menghambat aktivitas dari xantin oksidase dan superoksidase

sehingga dapat mengurangi pembentukan asam urat di dalam darah yang

akan memicu terjadinya antihiperurisemia. Hiperurisemia terjadi karena

akumulasi asam urat dalam tubuh yang akan menyebabkan kadar purin dalam

tubuh menjadi asam urat endogen oleh xantin oksidase. Selain itu, senyawa

fenolik juga berpotensi dalam menurunkan resiko gout yang terjadi akibat

timbunan kristal monosodium urat (MSU) yang meningkat. Timbunan kristal


tersebut akan menyebabkan peradangan atau inflamasi jaringan yang memicu

timbulnya reumatik. Keadaan ini terjadi karena adanya peningkatan kadar

asam urat di atas nilai normal (hiperurisemia). Jika tidak diobati akan

menyebabkan kerusakan hebat pada sendi dan jaringan lunak.


DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta

Dwi R, F. Rakhmadhan N. 2018. Analisis Kandungan Flavonoid Dan Aktivitas


Antihiperurisemia Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Anona Muricata L.) Pada
Mencit Jantan Secara In Vivo. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 3(2), 304-311

Farid W, Rudi K, Chairul S. 2018. Uji Aktivitas Antihiperurisemia Dari Ekstrak


Etanol Daun Kluwih (Artocarpus Altilis (Parkinson) Fosberg) Terhadap
Mencit Jantan (Mus Musculus). Jurnal Atomik. 03 (2) hal 111-115

Ferani C, Siti M, Evi U, U. 2014. Uji Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak n-Heksana,


Etil Asetat, dan Etanol 70% Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) pada
Mencit Jantan Hiperurisemia. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2

Gillium, R.F. 1999. Risk factors for stroke in blacks: A critical review. Am J
Epidemiol, 150 pp. 1266-74.

Gilroy, J. 2000. Basic Neurology. Th Ed; McGraw-Hill Book: New York.

Hensen, T.R.P. 2007. Hubungan konsumsi purin dengan hiperurisemia pada Suku
Bali di daerah pariwisata pedesaan. Jurnal Penyakit Dalam, Vol. 8 No.1.

Kim, S.Y., Guevara, J.P., Kim, K.M., Choi, H.K., Heitjan, D.F., & Albert, D.A..2010.
Hyperuricemia and Risk of Stroke: A Systematic Review and Metaanalysis.
NIH Public Access, pp: 885 – 892.

Kumar, S., Singh, A.R., Takhelmayum, R., Shrestha, P., Sinha, J.N. 2010. Prevalence
of hyperuricemia in Chitwan District of Nepal. Journal of college of Medical
Sciences-Nepal, Vol.6, No-2, 18-23.

Nakanishi, N., Nakamura, K., Suzuki, K., & Tatara, K.. 2000. The Incidence of
Hyperuricemia and Correlated Factors in Middle-Aged Japanese Men. J
Occup Health; 42: 1-7.

Poletto, J., Helena, A.H., Sandra, R.G.F., & Suely, G.A.G.. 2011. Hyperuricemia and
associated factors: a crosssectional study of Japanese-Brazilians. Cad. Saude
Publica, Rio de Janeiro, 27(2) : 369-78
Retno J, Chairul S, Saibun S. 2017. Uji Aktivitas Antihiperurisemia Dari Daun Hijau
Tanaman Pucuk Merah (Syzygium Myrtifolium Walp.) Terhadap Mencit
Jantan (Mus Musculus). Jurnal Atomik. 02 (1) hal 162-168

Rela S , Yusnelti , Fitrianingsih. 2020. Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Durian


(Durio zibethinus (Linn.)) sebagai Antihiperurisemia. Jurnal Kefarmasian
Indonesia. Vol.10 hal 130-139.

Anda mungkin juga menyukai