Anda di halaman 1dari 78

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER BANGSAL JANTUNG


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PADANG PANJANG

“INTERAKSI OBAT PADA PASIEN SYOK KARDIOGENIK


DENGAN STEMI INFERIOR + RV INFARK + TOTAL
ATRIOVENTRIKULAR BLOCK (TAVB)”

Preseptor:

dr. Susiyanti, Sp.JP


apt. Mutia Permata Sari, S.Farm

OLEH:
KELOMPOK IV
RIMA AN NISA (2030122057)
SEPTA GUNA EFI (2030122061)
SHERLY ASHWITA ALIEF F (2030122062)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVIII
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan

syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan

rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case

study report ini dalam rangka Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di

RSUD Padang Panjang. Shalawat beserta salam semoga senantiasa

terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Case study report ini

ditujukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi

Apoteker (PKPA) pada Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi

Universitas Perintis Indonesia, Padang. Selesainya penulisan case study

report ini tidak terlepas dari dukungan, doa, dan semangat dari berbagai

pihak. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orangtua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan, do’a,

dan motivasi.

2. Ibuk Dr. apt. Eka Fitrianda, M.Farm dan Ibuk apt. Ria Afrianti,

M.Farm sebagai Pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker di

Rumah Sakit yang telah membimbing dan memberikan arahan

kepada penulis selama kegiatan PKPA Rumah Sakit.

3. Ibu apt. Rahmi Syafyanti, S.Farm selaku Pembing yang telah

membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam

melaksankan PKPA di Rumah Sakit.

2
4. Ibu dr. Susiyanti, Sp.PJ selaku Preseptor 1 yang telah

membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam

melaksankan PKPA di Rumah Sakit.

5. Ibu apt. Mutia Permata Sari, S.Farm selaku Preseptor 2 yang telah

membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam

melaksankan PKPA di Rumah Sakit.

6. Ibu Dr. Apt. Eka Fitrianda, M.Farm selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Perintis Indonesia.

7. Ibu apt. Okta Fera, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi

Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Perintis Indonesia.

8. Seluruh Tenaga Teknis Kefarmasian dan Karyawan/ti di RSUD

Padang Panjang atas segala bantuan, ilmu, dan bimbingannya

selama kegiatan PKPA Rumah Sakit.

9. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker

Angkatan XXVIII Tahun 2021 Fakultas Farmasi Universitas

Perintis Indonesia dan semua pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepada

penulis, semoga Allah SWT selalu membalas segala kebaikan dan

melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada semua pihak yang telah

membantu penulis, Aamiin.

3
Dalam penulisan tugas khusus ini, penulis menyadari masih banyak

terdapat kekurangan dan kelemahan. Maka dengan segala kerendahan hati,

penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar tugas khusus ini

menjadi lebih baik lagi. Semoga tugas khusus ini dapat bermanfaat.

Padang Panjang, 01 November 2021

Penulis

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular yang

menyebabkan lebih dari 17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari

semua kematian), 80% dari yang terjadi pada negara-negara dengan

pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan

meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030 (Wong,2014) .

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari

seluruh penyakit tidak menular dan bertanggung jawab atas 17,5 juta

kematian atau 46% dari seluruh kematian penyakit tidak menular. Dari

data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian adalah serangan jantung

akibat penyakit jantung koroner (PJK) dan 6,7 juta adalah stroke (Mendis,

2014)

Salah satu manifestasi dari PJK adalah sindrom koroner akut

(SKA).Di Indonesia SKA masih dianggap sebagai penyumbang angka

kematian tertinggi dengan angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007

(Isman,2012). Survei yang dilakukan Departemen Kesehatan RI

menyatakan prevalensi SKA di Indonesia dari tahun ke tahun terus

meningkat.4 SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil (APTS), infark

miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan infark miokard

akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Bassand dkk,2007).

5
Menurut American Heart Association tahun 2019, ST Elevation

Myocardial Infarction (STEMI) atau lebih dikenal sebagai “heart attack”

disebabkan oleh suplai darah yang terhambat secara terus menerus yang

dapat mempengaruhi area jantung yang luas (infark). Infark yang

mendasari terjadinya SKA adalah berkurangnya suplai oksigen miokard

(disebabkan oleh atherosclerosis dan spasme arteri koroner) atau

peningkatan kebutuhan oksigen miokard (seperti pada kejadian takikardi

dan anemia berat) atau keduanya (Fauci et al, 2008). Infark miokard

dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi

total pembuluh darah arteri koroner (Perki, 2015). Dalam gambaran

elektrokardiogram (EKG), terjadi elevasi segmen ST, Q patologis, elevasi

segmen PR, T inversi, left bundle branch block (LBBB) atau right bundle

branch block (RBBB), yang disertai takiaritmia, dan AV blok (Ramrakha

& Hill, 2012).

AV block merupakan salah satu kondisi gangguan konduksi jantung

yang terjadi jika jalur SA node ke AV node terhambat (Ganong, 2003).

AV Node dapat menjadi iskemik jika pasokan darahnya terganggu, yang

terjadi karena infark miokard terutama di Right Coronary Artery (RCA)

(Jennings., 1998). Secara khusus, oklusi RCA proksimal memiliki insiden

tinggi AV block (24%) karena ada keterlibatan bukan hanya dari arteri

nodus AV, tetapi juga suplai arteri superior menurun, yang berasal dari

bagian proksimal RCA. Waktu yang dibutuhkan impuls listrik untuk

menjalar dari atrium sampai ventrikel akan terekam di EKG sebagai

6
interval PR (Sudoyo, 2010). Jika aliran ini terhambat, maka interval PR

menjadi lebih panjang. Terdapat tiga tingkat AV Block, yaitu AV Block

derajat I, AV Block derajat II (terdiri dari Mobitz I dan II), dan AV Block

derajat III atau Total AV Block. Total AV Blok merupakan komplikasi

yang umum terjadi pada kasus STEMI, terjadi pada 2,7% - 14% pasien

(Sudoyo,2010)

Berdasarkan paparan diatas laporan ini akan membahas tentang

interaksi obat pada pasien STEMI Inferior dan Total Atrioventrikuler

Block (TAVB). Sebagai tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker ini

untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai interaksi obat

pada pasien STEMI Inferior dan Total Atrioventrikuler Block (TAVB)

pada pasien yang dirawat di HCU Jantung di Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Kota Padang Panjang.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui Interaksi Obat Pasien STEMI Inferior dengan
Total Atrioventrikuler Block (TAVB) serta bagaimana cara
penanganannya.
2. Untuk mengetahui tanda-tanda gejala dan penyebab terjadinya
STEMI Inferior dan Total AV Block
1.3 Manfaat
1. Sebagai media meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
penyusun sendiri.
2. Sebagai bahan bacaan dan penambah wawasan bagi masyarakat,
khususnya bagi sesama tenaga kesehatan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok Kardiogenik

2.1.1 Definisi

Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan

cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, akibat

dari gangguan fungsi pompa jantung (Aspiani, 2015). Syok bukanlah

merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang

kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manisfestasi

hemodinamika yang bervariasi ; tetapi petunjuk yang umum adalah tidak

memadainya perfusi jaringan ketika kemampuan jantung untuk memompa

darah mengalami kerusakan(Muttaqin, 2009).

2.1.2 Etiologi

Penyebab syok kardiogenik terjadi akibat beberapa jenis

kerusakan, gangguan atau cedera pada jantung yang menghambat

kemampuan jantungg untuk berkontraksi secara efektif dan memompa

darah. Pada syok kardiogenik, jantung mengalami kerusakan berat

sehingga tidak bisa secara efektif memperfusi dirinya sendiri atau organ

vital lainnya. Ketika keadaan tersebut terjadi, jantung tidak dapat

memompa darah karena otot jantung yang mengalami iskemia tidak dapat

memompa secara efektif. Pada kondisi iskemia berkelanjutan, denyut

jantung tidak berarturan dan curah jantung menurun secara drastic (Yudha,

2011).

8
Beberapa faktor penyebab terjadinya syok kardiogenik adalah :

1. Infark Miokardium : jantung yang rusak tidak dapat memompa

darah dan curah jantung tiba-tiba menurun. Tekanan sistolik

menurun akibat kegagalan mekanisme kompensasi. Jantung akan

melakukan yang terbaik pada setiap kondisi, sampai akhirnya

pompa jantung tidak dapat memperfusi dirinya sendiri

2. Aritmia Ventrikel yang Mematikan : pasien dengan takikardia

terus menerus akan dengan cepat menjadi tidak stabil. Tekanan

darah sistolik dan curah jantung menurun karena denyut jantung

yang terlalu cepat menurunkan waktu pengisian ventrikel.

Takikardia ventrikel dan fibrasi ventrikel dapat terjadi karena

iskemia miokardium setelah infark miokardium akut.

3. Gagal Jantung Stadium Akhir : jaringan parut di miokardium

akibat serangan jantung sebelumnyaa, dilatasi ventrikel, dan

iskemia miokardium kronis merusak otot jantung, dan gerak

dinding menjadi tidak terkoordinasi (ruang ventrikel tidak padat

memompa secara bersamaan.

2.1.3 Patofisiologi

Syok kardiogenik di tandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang

mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran

oksigen ke jaringan. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari

ketidakseimbangan yang terus menerus antara kebutuhan suplai oksigen

miokardium. Pembuluh coroner yang terserang juga tidak mampu

9
meningkatkan aliran darah secara memadai sebagai respons terhadap

peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas

respons kompensatorik seperti perangsang simpatik. Kontraktilitas

ventrikel dan kinerjanya menjadi sangat terganggu akibat dari proses

infark. Pertahanan perfusi jaringan menjadi tidak memadai, karena

ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan

curah jantung dengan baik. Maka dimulailah siklus yang terus berulang.

Siklus dimulai saat terjadinya infark yang berkelanjut dengan gangguan

fungsi miokardium (Muttaqin, 2009). Kerusakan miokardium baik iskemia

dan infark pada miokardium mengakibatkan perubahan metabolism dan

terjadi asidosis metabolic pada miokardium yang berlanjut pada gangguan

kontraktilitas miokardium yang berakibat pada penurunan volume

sekuncup yang di keluarkan oleh ventrikel. Penurunan curah jantung dan

hipotensi arteria disebabkan karena adanya gangguan fungsi miokardium

yang berat. Akibat menurunnya perfusi coroner yang lebih lanjut akan

mengakibatkan hipoksia miokardium yang bersiklus ulang pada iskemia

dan kerusakan miokardium ulang. Dari siklus ini dapat di telusuri bahwa

siklus syok kardiogenik ini harus di putus sedini mungkin untuk

menyelamatkan miokardium ventrikel kiri dan mencegah 8 perkembangan

menuju tahap irreversible dimana perkembangan kondisi bertahap akan

menuju pada aritmia dan kematian (Muttaqin, 2009).

2.1.4 Manisfestasi Klinis

10
Menurut buku Aspiani 2015 timbulnya syok kardiogenik dengan

infark miokard akut dapat dikategorikan dalam beberapa tanda dan gejala

berikut:

1. Timbulnya tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setlah infark akibat

gangguan miokard miokard atau rupture dinding bebas ventrikel

kiri

2. Timbulnya secara perlahan dalam beberapa hari sebagai akibat

infark berulang

3. Timbulnya tiba-tiba 2 hingga 10 hari setelah infark miokard

disertai timbulnya bising mitral sistolik, ruptur septum atau

disosiasi elektro mekanik. Episode ini disertai atau tanpa nyeri

dada, tetapi sering disertai dengan sesak napas akut

Keluhan dada pada infark miokard akut biasanya didaerah

substernal, rasa seperti ditekan, diperas, diikat, rasa dicekik, dan disertai

rasa takut. Rasa nyeri menjalar ke leher, rahang, lengan dan punggung.

Nyeri biasanya hebat dann berlangsung lebih dari ½ jam, tidak

menghilang dengan obat-obatan nitrat. Syok kardiogeenik yang berasal

dari penyakit jantung lainnya, keluhan sesuai dengan penyakit dasarnya.

Tanda penting yang muncul pada syok kardiogenik adalah sebagai

berikut (Yudha, 2011) :

a. Takikardia : Jantung berdenyut lebih cepat karena stimulasi

simpatis yang berusaha untuk meningkatkan curah jantung.

Namun, hal ini akan menambah beban kerja jantung dan

11
meningkatkan konsumsi oksigen yang menyebabkan hipoksia

miokardium

b. Kulit pucat dan dingin : vasokontriksi sekunder akibat stimulasi

simpatis membawa aliran darah yang lebih sedikit (warna dan

kehangatan) ke kulit

c. Berkeringat : stimulasi simpatis mengakibatkan kelenjar keringat

d. Sianosis pada bibir dan bantalan kuku : stagnasi darah di kapiler

setelah oksigen yang tersedia di keluarkan

e. Peningkatan CVP (tekanan vena sentral) dan PWCP ( tekanan baji

kapiler pulmonal ) : pompa yang mengalami kegagalan tidak

mampu memompa darah, tetapi darah tetap masuk ke jantung,

menambah jumlah darah di dalam jantung, sehingga meningkatkan

preload

2.1.5 Klasifikasi

Menurut Muttaqin 2009 Syok dapat dibagi menjadi tiga tahap yang

semakin lama semakin berat :

1. Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif) ditandai dengan

respons kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah

kemunduran lebih lanjut

2. Tahap II, tahap progresif, ditandai dengan manisfestasi sistemis

dari hipoperfusi dan keemunduran fungsi organ

12
3. Tahap III, refrakter (irreversible), ditandai dengan kerusakan sel

yang hebat tidak pdapat lagi dihindari, yang pad akhirnya menuju

ke kematian

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mendukung

penegakan diagnosis syok kardiogenik adalah sebagai berikut (Asikin,

2016):

1. EKG : untuk mengetahui adanya infark miokard dan/atau iskemia

miokard

2. Rongent Dada : menyingkirkan penyebab syok atau nyeri dada

lainnya. Klien dengan syok kardiogenik sebagian besar

menunjukkan adanya gagal ventrikel kiri.

3. Kateterisasi Jantung : Menentukan penyebab dan jenis syok

dengan melihat tekanan kapiler paru dan indeks jantung

4. Enzim Jantung : mengetahui syok kardiogenik disebabkan oleh

infark miokard akut. Enzim jantung dapat berupa kreatinin kinase,

troponin, myoglobin dan LDH

5. Hitung Darah Lengkap : melihat adanya anemia, infeksi atau

koagulopati akibat sepsis yang mendasari terjadinya syok

kardiogenik

6. Ekokardiografi : menentukan penyebab syok kardiogenik dengan

melihat fungsi sistolik dan diastolik jantung

13
Terdapat beberapa tambahan pemeriksaan penunjang pada syok

kardiogenik menurut pendapat Yudha 2011 :

1. Pemindaian Jantung : tindakan penyuntikan fraksi dan

memperkirakan gerakan jantung

2. Elektrolit : mungkin berubah karena perrpindahan cairan atau

penurunan fungsi ginjal, terapi deuretik

3. Oksimetri nadi : saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika

gagal jantung kongestif memperburuk penyakit paru obstruktif

menahun (POM)

4. AGD : gagal ventrikel kiri diatandai alkalosis respiratorik ringan

atau hipoksiemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida

2.1.8 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Penanganan Syok kardiogenik yaitu kegawadaruratan yang

memerlukan terapi resusitasi segera sebelum syok merusak organ secara

irreversible (Asikin et all, 2016).

1. Penanganan awal : resusitasi cairan, oksigenasi dan proteksi jalan

nafas, koreksi hipovolemia dan hipotensi

2. Intervensi farmakologi :

 sesuai penyebabnya, misalnya infark miokard atau sindrom

coroner akut diberikan aspirin dan heparin

14
 obat vasokontriksi, misalnya dopamine, epinefrin, dan

norepinefrin

 mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk

mempertahankan perfusi jaringan dan volume intravaskuler

3. Farmakologi Syok kardiogenik, setelah tercapainya preload yang

optimal, sering kali dibutuhkan inotropic untuk memperbaiki

kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan afeterload.

Katekolamin Hormone yang termasuk dalam kelompok ini yaitu

adrenalin (epinefrin), noradrenalin (norepinephrine), isoproterenol,

dopamine dan dobutamine. Golongan obat ini akan menaikkan

tekanan arteri, perfusi coroner, kontraktilitas dan kenaikkan denyut

jantung, serta vasontriksi perifer. Kenaikan tekanan arteri akan

meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan

berpotensi mengakibatkan aritmia.

a. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol Hormone ini

memiliki aktivitas stimulasi alfa yang kuat. Ketiga obat

tersevut memiliki aktivitas kronotropik. Stimulasi alfa yang

kuat menyebabkan vasokontriksi yang kuat, sehingga

meningkatkan tekanan dinding miokard yang dapat

mengganggu aktivitas inotropic. Isoproterenol merupakan

vasodilator kuat, serta cenderung menurunkan aliran darah

dan tekanan perfusi coroner. Isoproterenolakan

15
meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen

miokard yang sangat berbahaya pada syok kardiogenik

b. Dopamine Dopamine mempengaruhi stimulasi reseptor

beta 1 pada dosis 5- 10µg/kgBB/menit, sehingga terdapat

peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung, sedangkan

pada dosis > 10µg/kgBB/menit, reseptor alfa 1 yang

menyebabkan peningkatkan tekanan arteri sistemik dan

tekanan darah akan distimulasi oleh dopamine. Dopamine

adalah prekusor endogen noradrenalin, yang menstimulasi

reseptor beta, alfa, dan dopaminergic. Dopamine

menyebabkan vasodilatasi ginjal, menseterika dan coroner

pada dosis < 5 µg/kg/menit. Takikardia merupakan efek

samping dari dopamine.

c. Dobutamine Dobutamine merupakan katekolamin inotropic

standart yang digunakan sebagai pembanding. Efek

dobutamine terbatas pada tekanan darah. Dobutamine juga

meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna

pada tekanan darah. Oleh karena itu, tahanan vaskulat

sistemik, tekanan vena dan denyut jantung menurun,

sehingga umumnya menandakan adanya hipovolemia.

Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta dengan

rentan dosis 2-40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut,

16
dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas dengan sedikit

efek kronotropik tanpa vasokontriksi.

4. Mechanical Circulatory Support

Digunakan pada pengidap yang tidak responsive dengan

pengobatan yang telah diberikan.

a. Intra-aortic Ballon Pump (IABP) IABP dapat mengurangi

afterload ventrikel kiri sistolik dan mengurangi tekanan

perfusi coroner diastolic, sehingga meningkatkan output

jantung dan aliran darah arteri coroner. IABP dimasukkan

melalui arteri besar dengan bantuan fluoroskopi yang

disinkronisasikan dengan EKG. Saat diastolic balon akan di

kembangkan yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan

diastolic, sehingga akan memperkuat aliran darah koroner

dan perfusi koroner menjadi baik. Saat sebelum sistolik

ventrikel balon dikempiskan yang akan menurunkan

tekanan aorta dan ventrikel afterload.

b. Ventricular Assist Device (VAD) VAd dapat mendukung

hemodinamika jangka pendek untuk reperfusi. VAD

digunakan setelah oklusi coroner akut sehingga terjadi

reduksi preload ventrikel kiri, meingkatkan aliran darah

miokard dan memperbaiki fungsi jantung secara umum

17
2.2 AV Block

2.2.1 Definisi

Blok atrioventrikular (Atrioventricular Block/AV Block) adalah

salah satu jenis gangguan irama jantung, yaitu ketika aliran listrik dari

atrium ke ventrikel jantung terhambat akibat adanya gangguan anatomi

atau fungsi pada sistem konduksi jantung sehingga jantung berdetak lebih

lambat.

2.2.2 Etiologi

Beberapa hal atau keadaan yg bisa menyebabkan AV block, yaitu:

a. Obat-obatan

 Anti aritmia kelas IA, seperti quinidine, procainamide,

disopyramide.

 Anti aritmia kelas I B, seperti, flecainide, encainide,

propafenone.

 Anti aritmia kelas II, seperti beta blocker

 Anti aritmia kelas III, seperti amiodarone, sotalol,

dofetilide, ibutilide

 Anti aritmia kelas IV, seperti calcium channel blockers

 Digoxin atau glikosida jantung. Pasien yang

menggunakan terapi digoksin harus diberikan edukasi

atas efek samping yang akan timbul dari digoksin.

18
b. Penyakit degeneratif, contohnya Lenegre disease yaitu suatu

penyakit sklerodegeneratif yang terjadi di sistem konduksi.

Penyakit degeneratif lainnya adalah miopati miokondrium,

sindroma nail-patella, dan Lev disease yaitu klasifikasi pada

katup dan sistem konduksi jantung (Finsterer J ,2008).

c. Demam reumatik, miokarditis, Chagas disease, Aspergillus

myocarditis, varicella-zoster.

d. Penyakit reumatik, seperti Ankylosing spondylitis, Reiter

syndrome, relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis,

scleroderma.

e. Proses infiltratif, seperti Amyloidosis, sarcoidosis, tumors,

Hodgkin disease, multiple myeloma.

f. Kelainan neurologi, seperti Becker muscular dystrophy,

myotonic muscular dystrophy.

g. Kelainan iskemik atau infark, seperti infark miokard inferior

dengan AV block atau infark miokard anterior dengan HIS-

Purkinje block.

2.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi AV Block ditentukan berdasarkan pemeriksaan

elektrokardiografi (EKG) (Dharma S, 2009)

1. AV block derajat I

Biasanya block AV derajat 1 disebabkan karena adanya gangguan

konduksi di proksimal bundle HIS yang disebabkan oleh intoksikasi

19
digitalis, peradangan, atau penyakit degenerative sehingga terjadi

keterlambatan impuls dari nodus SA ke ventrikel. Pada AV block derajat 1

ini biasanya tidak membutuhkan terapi apapun dan prognosisnya baik

(Sudoyo, 2010)

Gambar 1. AV Block derajat I

Karakteristik Blok AV derajat 1 adalah: (Dharma S, 2009)

- Laju : Sesuai irama sinus atau kecepatan atrium

- Irama : Biasanya teratur

- Gelombang P : normal

- Durasi QRS : biasanya normal

- Interval PR : konstan dan lebih dari 0,20 detik

2. AV block derajat II

Pada blok AV derajat 2, satu atau beberapa impuls dari atrium

tidak dihantarkan ke ventrikel. Disebut blok AV derajat 2 tipe 1 (Mobitz

1) jika bloknya terjadi pada nodus AV, dan disebut blok AV derajat 2 tipe

2 (Mobitz 2) jika bloknya terjadi di bawah atau setelah nodus AV (berkas

His atau berkas cabang).

Pada Mobitz tipe 1, terjadi perlambatan impuls sinus yang

dihantarkan melalui nodus AV. Interval PR semakin lama semakin

panjang sampai suatu saat gelombang P gagal dihantarkan dan tidak

20
diikuti kompleks QRS. Biasanya kelainan ini tidak menimbulkan gejala.

Jika rasio konduksi sangat rendah, dapat menyebabkan bradikardia dan

penurunan curah jantung. Penyebab terseringnya adalah PJK, infark

miokard inferior, penyakit katup aorta, serta efek obat yang

memperlambat konduksi AV.

Karakteristik dari Mobitz 1 adalah:

- Laju : Laju atrium lebih besar dari laju ventrikel

- Irama : Irama ventrikel irregular

-Gelombang P : Bentuk normal, beberapa gelombang P tidak

diikuti kompleks QRS

- Durasi QRS : biasanya normal

- Interval PR : tidak konstan, semakin lama semakin memanjang.

Gambar 2. AV Block Derajat II tipe 1

Mobitz tipe 2 terjadi jika impuls atrium gagal dihantarkan ke

ventrikel tanpa ada penundaan hantaran yang progresif. Lokasi blok

hantaran seringnya terletak pada distal berkas His di berkas cabang.

Interval PR tetap sama, namun denyut ventrikel yang berkurang.

Kekurangan ini dapat teratur atau tidak. Penyebabnya ialah infark miokard

akut, miokarditis, proses degeneratif. Kelainan dapat timbul secara

21
sementara dan bisa kembali normal, menetap atau berkembang jadi total

block.

Karakteristik Mobitz 2 adalah:

- Laju : Laju ventrikel lebih lambat

- Irama : Irama ventrikel irregular

-Gelombang P : Bentuk normal, beberapa gelombang P tidak

diikuti kompleks QRS

- Durasi QRS : biasanya melebar karena blok pada cabang berkas

- Interval PR : konstan

Gambar 3. AV Block Derajat II tipe 2

3. AV blok derajat III/ Total AV blok (TAVB)

Pada blok AV derajat 3, impuls dari atrium tidak sampai ke

ventrikel sehingga atrium dan ventrikel mengalami depolarisasi secara

terpisah. Penyebab total AV block ini adalah proses degeneratif,

peradangan, intoksikasi digitalis, infark miokard akut. Total AV block

pada infark miokard akut dapat menetap dan dapat juga kembali normal

setelah infark teratasi (hanya sementara). Total AV block ini biasanya

akan menimbulkan gangguan hemodinamik dan menimbulkan keluhan

lelah, sinkop, sesak dan angina pada usia lanjut.

22
Karakteristik AV block derajat 3 adalah:

- Laju : Laju atrium lebih besar dari laju ventrikel

-Irama : Teratur, tidak ada hubungan antara irama atrium dan

ventrikel

-Gelombang P : Bentuk normal

-Durasi QRS : Normal jika irama dari junctional dan melebar jika

fokus ventrikular

- Interval PR : tidak ada

Gambar 4. AV Block Derajat III

2.2.4 Patofisiologi

Jantung manusia terdiri dari 2 ruang belakang (atrium) dan 2 ruang

depan (ventrikel). Aliran listrik normal jantung dimulai dari nodus

sinoatrium (SA) di atrium, kemudian dihantarkan ke nodus

atrioventrikular (AV) yang terletak di tengah atrium dan ventrikel. Dari

nodus AV, aliran listrik ini kemudian diteruskan ke ventrikel melalui

sistem konduksi jantung ventrikel. Aliran inilah yang akan memicu otot

ventrikel untuk berkontraksi sehingga ventrikel dapat memompa darah ke

seluruh tubuh. Apabila jalur aliran listrik ini terhambat sehingga listrik

tidak dapat mencapai ventrikel dengan sempurna atau bahkan tidak

mencapai ventrikel sama sekali, maka akan terjadi blok jantung.

23
Gambar 5. Gambar Jantung Kondisi Normal dan AV Block

2.2.5 Gejala

Gejala yang dialami pasien dengan blok atrioventrikular

bermacam-macam, tergantung dari derajat penyakitnya. Ketika terjadi

blok AV, pompa jantung akan terhambat sehingga jantung tidak mampu

memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Pasien dengan blok AV

derajat 1 biasanya tidak merasakan gejala apapun karena meskipun pompa

jantung sedikit lambat, organ-organ tubuh masih mendapat asupan aliran

darah yang cukup. Namun jika terjadi berkepanjangan atau sering, akan

menimbulkan gejala.

Pada blok AV derajat 2 dan 3, aliran listrik terkadang tidak dapat

mencapai ventrikel sehingga ventrikel jantung gagal memompa darah

dengan baik. Akibatnya organ-organ tubuh kekurangan aliran darah

sehingga dapat muncul beberapa gejala seperti lemas atau mudah lelah,

sesak, sensasi melayang atau pusing, nyeri dada, hingga pingsan.

24
2.2.6 Diagnosa

1. Anamnesis

Pasien total AV block biasanya memiliki manifestasi klinis yang

beragam. Pasien bisa dengan tanpa gejala atau dengan tanda dan gejala

yang minimal yang berkaitan dengan hipoperfusi. Gejala yang bisa timbul

di antaranya adalah kelelahan/lemas, pusing, tidak bisa beraktivitas, dan

nyeri dada. Pasien dengan adanya gejala, khususnya pasien yang memiliki

kompleks QRS lebar yang mengindikasikan pacemaker nya berada di

bawah bundle of His, dapat memiliki gejala seperti pingsan, bingung,

sesak, nyeri dada hebat, dan sewaktu-waktu bisa meninggal mendadak.

2. Pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan fisik kita menilai keadaan pasien mulai dari

ujung kepala sampai ujung kaki. Pada pemeriksaan tanda vital terutama

nadi biasanya akan didapatkan bradikardia. Tekanan vena jugularis juga

dapat meningkat. Pasien dengan tanda hipoperfusi dapat menunjukkan

gejala penurunan status mental, hipotensi dan letargi.

3. Pemeriksaan penunjang.

Pada pemeriksaan penunjang seperti EKG akan ditemukan adanya

AV block sesuai dengan derajat-derajat seperti yg sudah dijelaskan

sebelumnya.

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal untuk pasien total AV block adalah

mengganti obat-obat yang dapat memicu terjadinya total AV block ini

25
seperti beta bloker, calcium channel blocker, dan digoksin. Pemberian

sympathomimetic atau vagolytic agents, catecholamines, and antidotes

dapat membantu. Contoh golongan obat sympathomimetic atau vagolytic

agents yang dapat diberikan adalah sulfas atropin, contoh dari golongan

catecholamines dapat diberikan dopamin atau norepinefrin.

Sebaiknya dilakukan tes laboratorium untuk mengetahui efek dari

kerja obat yang telah diberikan, untuk menilai apakah ada perbaikan

kondisi pasien setelah obat diberikan. Untuk tatalaksana selanjutnya, bisa

dilakukan penanaman pacemaker.

a. AV block derajat I

- Tidak ada tindakan yang diindikasikan.

- Interval PR harus dimonitor ketat terhadap kemungkinan

blok lebih lanjut.

- Kemungkinan dari efek obat juga harus diketahui

b. AV block derajat II Mobitz I

- Tidak ada tindakan yang diindikasikan. Kecuali

menghentikan obat jika ini merupakan agen pengganggu.

- Memonitor pasien terhadap berlanjutnya blok.

- Tipe ini biasanya tidak diterapi kecuali sering kompleks

QRS menghilang dengan akibat gejala klinis hipotensi dan

penurunan perfusi serebrum. Bila ada gejala ini maka pada

penderita bisa diberikan 0,5 sampai 1,0 mg atropine IV

sampai total 2,0 mg.

26
c. AV block derajat II Mobitz II

- Observasi ketat terhadap perkembangan menjadi blok

jantung derajat III.

- Obat seperti atropine atau isopreterenol, atau pacu jantung

diperlukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala atau jika

blok terjadi dalam situasi IMA akut pada dinding anterior.

d. AV block derajat III

Atropin (0,5 sampai 1 mg) bisa diberikan secara bolus

intravena. Jika tidak ada kenaikan denyut nadi dalam respon

terhadap atropine maka bisa dimulai dengan tetesan isoproterenol 1

mg dalam 500 ml D5W dengan tetesan kecil untuk meningkatkan

kecepatan denyut ventrikel. Pasien dengan AV block derajat III,

memerlukan pemasangan alat pacu jantung untuk menjamin curah

jantung yang mencukupi. Pacu jantung diperlukan permanen atau

sementara.

- Implantasi pacu jantung (pace maker)

Merupakan terapi terpilih untuk bradiatritmia simtomatik.

Pacu jantung permanen adalah suatu alat elektronik kecil yang

menghasilkan impuls regular untuk mendepolarisasi jantung

melalui electrode yang dimasukkan ke sisi kanan jantung melalui

system vena.

Kegawatan pada pasien ini adalah total av block dengan

bradikardia, pasien blok AV derajat tinggi yang tidak mendapat

27
terapi dapat mengalami gagal jantung akibat curah jantung yang

berkurang dan kematian mendadak akibat asistol atau takiaritmia

yang dicetuskan oleh bradikardia. Pada pasien ini direncanakan

dilakukan pemasangan permanent pace maker (PPM), indikasi dari

pemasangan PPM yaitu:

- AV blok Derajat II dan III yang diiringi dengan bradikardi

atau aritmia

- AV blok yang berkaitan dengan Infark Miokardium Akut

- Disfungsi SA Node

- Sindrom Hipersensitive Sinus Carotid

- Hipertropik dan Dilated Kardiomiopati

Pemasangan PPM berfungsi menggantikan fungsi SA

Node sebagai pemacu (pacing) dan pengindera (sensing) jika

terjadi gangguan konduksi. Pemasangan PPM merupakan terapi

terpilih untuk bradiatritmia simptomatik. Pacu jantung permanen

adalah suatu alat elektronik kecil yang menghasilkan impuls

regular untuk mendepolarisasi jantung melalui electrode yang

dimasukkan ke sisi kanan jantung melalui system vena.

2.3 STEMI Inferior dengan RV Infark

2.3.1 Definisi

STEMI yang merupakan singkatan dari ST Elevated myocardial

infarction merupakan sebuah tipe serangan jantung. Infark myocard

(serangan jantung) terjadi ketika sebuah arteri koroner terblok parsial oleh

28
bekuan darah, yang menyebabkan beberapa otot jantung yang disuplai

oleh arteri tersebut mengalami infark (mati). STEMI merupakan bagian

dari kelompok kelainan pada jantung yang disebut sebagai acute coronary

syndromes yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi

segmen ST, dan IMA dengan elevasi ST (Libby P, 2008)

RV (Right Ventricle) Infark merupakan salah satu sindrom

koroner akut yang menyebabkan kerusakan ventrikel kanan dengan angka

kejadian cukup tinggi.

2.3.2 Etiologi

Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit

arteri koroner yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko

modifiable dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan

pribadi, sedangkan faktor risiko yang nonmodifiable merupakan

konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol (smeltzer, 2002).

Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat

diubah (modifiable) yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia,

kolesterol darah tinggi, dan pola tingkah laku.

2.3.3 Klasifikasi

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat

pada lokasi cedera vaskular, STEMI dibedakan berdasarkan lokasi

Penyumbatan, yaitu :

1. Pembuluh darah kiri

29
Arteri koroner kiri kemudian bercabang menjadi

a. Arteri desendens anterior kiri atau Left Anterior

Descendent Artery (LAD) : Arteri desendens anterior kiri

(LAD) berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke

apeks jantung.

b. Arteri sirkumfleks kiri atau Left Circumflex Artery (LCx) :

Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-

ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung.

2. Pembuluh darah kanan atau Right Coronary Artery (RCA) : Arteri

koroner kanan berjalan di sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah.

(Oemar, 1996)

2.3.4 Patofisiologi

Mekanisme utama terjadinya acute coronary syndrome adalah

proses thrombosis akut akibat rupturnya plak aterosklerosis yang

menyebabkan sumbatan mendadak aliran darah koroner. Penyebab non-

aterosklerotik lainnya seperti arteritis, trauma, diseksi, thromboemboli,

kelainan kongenital, kokain, serta komplikasi tindakan kateterisasi jantung

(Antman EM, 2008).

Kejadian infark myocard diawali dengan terbentuknya

aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.

Penyakit aterosklerosis ditandai dengan pembentukan bertahap fatty

plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke

dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen

30
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi

(Antman EM, 2008).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus

tipe II, hipertensi, reactive oxygen species, dan inflamasi menyebabkan

disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas

menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel

tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric

oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-thrombotik dan anti-

proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi

vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam

migrasi dan pertumbuhan sel (Antman EM, 2008).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi thrombus di

arteri koroner, maka terjadi infark myocard tipe elevasi segmen ST

(STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak

menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat

terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya

terjadi jika arteri koroner tersumbat dengan cepat (Reeves D dkk, 2001).

2.3.5 Tanda dan Gejala

Seseorang dikatakan mengalami serangan IMA, jika didapati 2 dari

3 kriteria berikut :

1. Nyeri dada khas infark. Nyeri dada akibat IMA biasanya

berlangsung lebih dari 20 menit, retrosternal, bisa di tengah atau di

dada kiri, menjalar ke rahang, punggung atau lengan kiri. Rasa

31
nyeri ini dapat digambarkan oleh pasen sebagai rasa tertekan benda

berat, diremas-remas, rasa terbakar atau ditusuk-tusuk. Kadangkala

rasa nyeri ini terasa di daerah epigastrium, sehingga sering disalah

interpretasikan sebagai dispepsia. Keluhan nyeri dada seringkali

diikuti keringat dingin, rasa mual dan muntah, rasa lemas, pusing,

rasa melayang, bahkan pingsan karena rangsang parasimpatis. Jika

gejala-gejala ini timbul tiba-tiba dengan intensitas yang tinggi,

kecurigaan terhadap IMA harus pikirkan. Pada pasen yang sudah

diketahui menderita penyakit jantung koroner, peningkatan

kualitas nyeri dada merupakan indikasi adanya plak ateroma yang

tidak stabil yang dapat memburuk menjadi IMA. Pada pasen DM,

usia lanjut, dan perempuan, keluhan mungkin tidak khas, seperti

sesak napas, nyeri ulu hati, mual, muntah dan nyeri dada atipikal.

2. Perubahan EKG. Perubahan EKG yang terjadi berupa perubahan

segmen ST (baik elevasi ataupun depresi) dengan cut off point >

0,2 mV pada infark dinding anterior, septal dan lateral, atau > 0,1

mV pada infark dinding inferior, posterior dan RV; minimal pada 2

lead yang berkaitan).

3. Kenaikan ensim jantung. Kenaikan enzim jantung lebih dari nilai

normal (CKMB > 2 kali nilai normal; Troponin T > 0,1).

Seseorang dikatakan mengalami STEMI inferior jika pada

elektrokardiografi didapat elevasi segmen ST > 0,1mV minimal

pada dua lead dari lead II, III dan aVF. Sedangkan infark RV

32
ditunjukkan oleh adanya elevasi segmen ST pada V3R dan/atau

V4R > 1 mm disamping adanya pola QS atau QR > 0,04 detik

pada lead V3R dan/atau V4R. ( Kalim H dan Irmalita, 2004)

2.3.6 Diagnosa

Diagnosis infark miocard bergantung kepada hasil anamnesis dan

pemeriksaan fisis, pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung

(khususnya Troponin), dan hasil pemeriksaan EKG.

Dari anamnesis, diagnosis infark myocard biasanya didasarkan

pada riwayat nyeri dada selama 20 menit atau lebih di daerah substernal,

tidak hilang dengan istirahat dan tidak berespon terhadap nitrogliserin.

Ciri khas lain adalah nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah, atau

tangan kiri. Nyerinya tidak berat. Beberapa pasien datang dengan gejala

yang lebih ringan, seperti mual/muntah, sesak nafas, kelelahan, palpitasi,

atau pingsan (Antman EM dkk, 2008). Pasien juga sering mengalami

keringat malam. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak

menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien

dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut

(Libby P dkk, 2008).

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan pasien tampak cemas dan tidak

bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat

dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat

merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Libby P dkk, 2008).

33
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam

tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi

terapi reperfusi. Pemeriksaan penanda kerusakan jantung yang dianjurkan

adalah creatinin kinase (CK)MB dan Troponin T atau I yang merupakan

biomarker pilihan karena sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk

nekrosis myocard. Peningkatan kadar Troponin I atau Troponin T pada

pasien dengan riwayat kemungkinan infark myocard berarti bahwa telah

terjadi infark ( Sudoyo AW dkk, 2010)

2.3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark) terdiri dari

terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi ada tiga kelas

obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan suplai oksigen:

vasodilator, antikoagulan, dan trombolitik. Analgetik dapat diberikan

untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dada, nyeri dikaitkan dengan

aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan

beban jantung. Antikoagulan (heparin) digunakan untuk membantu

mempertahankan integritas jantung. Heparin memperpanjang waktu

pembekuan darah, sehingga dapat menurunkan kemungkinan

pembentukan trombus.

Trombolitik adalah untuk melarutkan setiap trombus yang telah

terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya

infark. Tiga macam obat trombolitik : streptokinase, aktifator plasminogen

34
jaringan (t-PA = tissue plasminogen activator), dan anistreplase.

Pemberian oksigen dimulai saat awitan nyeri, oksigen yang dihirup akan

langsung meningkatkan saturasi darah. Analgetik (morfin sulfat),

pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati

dengan nitrat dan antikoagulan, respon kardiovaskuler terhadap morfin

dipantau dengan cermat khususnya tekanan darah yang sewaktuwaktu

dapat turun (Smeltzer, 2001; Sudoyo, 2006).

Terapi non farmakologi yang biasanya digunakan adalah dengan

prosedur PTCA (angiplasti koroner transluminal perkutan) dan CABG

(coronary artery bypass graft). PTCA 20 merupakan usaha untuk

memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan memecah plak atau

ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran darah ke jantung.

Kateter dengan ujung berbentuk balon dimasukkan ke areteri koroner yang

mengalami gangguan dan diletakkan diantara daerah aterosklerosis. Balon

kemudian dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk memecah

plak (Mutaqin, 2009).

Teknik terbaru tandur pintas arteri koroner (CABG = coronary

artery bypass graft) telah dilakukan sekitar 25 tahun. Untuk dilakukan

pintasan, arteri koroner harus sudah mengalami sumbatan paling tidak

70% untuk pertimbangan dilakukan CABG. Jika sumbatan pada arteri

kurang dari 70%, maka aliran darah melalui arteri tersebut masih cukup

banyak, sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada pintasan.

35
Akibatnya akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga hasil operasi

menjadi sia-sia (Mutaqin, 2009).

2.3.8 Tatalaksana Infark Ventrikel Kanan

American College of Cardiology/American Heart Association dan

European Society of Cardiology pada tahun 2004 mengeluarkan pedoman

tatalaksana infark akut dengan elevasi ST. Khusus untuk infark inferior

dengan infark RV, anjurannya sebagai berikut:

1. Reperfusi

Untuk infark inferior yang disertai infark RV, terapi

reperfusi dini baik berupa pemberian Trombolitik/ Fibrinolitik dan

Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) primer,

terbukti dapat mengurangi luasnya infark, memperbaiki fraksi

ejeksi ventrikel kanan, dan mengurangi kejadian blok AV komplit,

sehingga dapat memperbaiki angka harapan hidup serta kualitas

hidup. Sehingga pada infark inferior dan RV yang terjadi kurang

dari 12 jam, dianjurkan untuk dilakukan trombolitik, alternatif

pilihan yang paling baik adalah Percutaneous Coronary

Intervention (PCI) yang dapat menghasilkan perbaikan

hemodinamik lebih cepat. Coronary artery bypass graft (CABG)

perlu dipertimbangkan terutama pada pasen dengan multivesel

disease dan/ atau left main stenosis.

36
2. Sinkronisasi kontraksi atrium dan ventrikel dan mengatasi bradikardi

dengan menggunakan alat pacu jantung

3. Pertahankan beban awal (preload) ventrikel kanan Pada infark

inferior akut disertai infark RV dibutuhkan 1-2 liter normal saline

dalam 1 jam pertama, dan kemudian 200 ml tiap jam berikutnya.

Sesuai hukum Starling, curah jantung berbanding lurus dengan

RVEDP. Pemantauan hemodinamik secara seksama sangat

diperlukan pada saat pemberian cairan intravena ini. Pemantauan

pemberian cairan ini sebaiknya dilakukan dengan kateter arteri

pulmonalis. Tujuannya adalah meningkatkan tekanan atrium kanan

(RAP) dan tekanan pulmonary wedge (PCWP), sehingga

diharapkan dapat memperbaiki curah jantung. Pemakaian obat-

obat opiad (morfin), nitrat, diuretik dan ACE inhibitor harus

dihindari, karena dapat menurunkan preload.

4. Kurangi beban akhir (afterload) ventrikel kanan yang disertai

disfungsi ventrikel kiri. Pada infark RV yang disertai disfungsi

ventrikel kiri, keadaan akan semakin memburuk karena terjadi

peningkatan afterload dan penurunan isi sekuncup RV. Pada

keadaan demikian, pemasangan Intra-aortic balloon counter

pulsation (IABP) dan obat-obatan vasodilator arterial (Natrium

Nitroprusid, Hydralazin) sering dibutuhkan untuk “unload”

ventrikel kiri dan kemudian ventrikel kanan.

37
5. Pemberian inotropik

Meskipun pemberian cairan merupakan langkah pertama

dalam tatalaksana hipotensi pada infark RV, inotropik khususnya

dobutamin harus segera diberikan jika curah jantung sama sekali

tidak mengalami perbaikan setelah pemberian cairan 0,5 sampai 1

liter. Dobutamin dapat meningkatkan curah jantung, indeks isi

sekuncup dan fraksi ejeksi RV.

2.4 Terapi Pada Pasien

1. Inj. Lovenox

Mekanisme Kerja : Enoxaparin adalah obat untuk mencegah atau

mengatasi deep vein thrombosis. Selain itu, obat ini juga bisa digunakan

untuk mencegah komplikasi akibat angina tidak stabil. Obat ini hanya

tersedia dalam bentuk suntik dan hanya dapat diberikan oleh dokter atau

petugas medis di bawah pengawasan dokter.

Indikasi dan dosis

Enoxaparin bekerja dengan cara mengurangi aktivitas protein yang

bertugas membekukan darah, sehingga mencegah terbentuknya gumpalan

darah. Gumpalan darah berisiko terjadi pada seseorang yang menjalani

operasi perut, operasi lutut, operasi panggul, atau tirah baring dalam

jangka waktu yang lama. Untuk mencegah komplikasi dari angina tidak

stabil atau sebagai pengobatan dari penyakit jantung koroner sebelum

dilakukan PCI (percutaneous coronary intervention), enoxaparin umumnya

38
akan digunakan bersama aspirin.

Tujuan: Mencegah deep vein thrombosis

 Pasien dewasa yang menjalani operasi daerah perut: Dosisnya 40

mg, 2 jam sebelum operasi.

 Pasien dewasa yang menjalani operasi penggantian lutut atau

panggul: Dosisnya 30 mg tiap 12 jam, dimulai 12–24 jam setelah

operasi. Durasi pengobatan 10–35 hari.

 Anak-anak usia <2 bulan: 0,75 mg/kgBB, tiap 12 jam.

 Anak-anak usia ≥2 bulan: 0,5 mg/kgBB, tiap 12 jam.

Tujuan: Mengobati deep vein thrombosis

 Dewasa: 1 mg/kgBB, tiap 12 jam, atau 1,5 mg/kgBB, 1 kali sehari

per hari.

 Anak usia <2 bulan: 1,5 mg/kgBB, tiap 12 jam.

 Anak usia ≥2 bulan: 1 mg/kgBB, tiap 12 jam.

Tujuan: Mencegah terjadinya komplikasi dari angina tidak stabil

 Dewasa: 1 mg/kgBB, tiap 12 jam

Efek samping

Efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan enoxaparin adalah:

a. Nyeri, bengkak, memar, atau kemerahan pada area suntikan

b. Demam

c. Sakit perut

d. Enoxaparin dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan.

39
Interaksi Enoxaparin dengan Obat Lain

Risiko terjadinya perdarahan bisa meningkat jika enoxaparin digunakan

bersamaan dengan obat atau suplemen herbal di bawah ini:

- Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti aspirin, ibuprofen,

atau naproxen

- Antikoagulan, seperti warfarin atau heparin

- Antiplatelet, seperti abciximab, clopidogrel, prasugrel,

dipyridamole, atau ticagrelor

- Trombolitik, seperti alteplase

- Suplemen herbal tertentu, seperti ginkgo biloba, garlic (bawang

putih), ginseng, jahe

Selain itu, risiko terjadinya hiperkalemia juga bisa meningkat bila

enoxaparin digunakan dengan:

ACE Inhibitor, seperti benazepril, captopril, enalapril, atau ramipril

Angiotensin IIreceptor blockers (ARB), seperi candesartan atau losartan

Diuretik hemat kalium, seperti amiloride atau spironolactone

Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)

Ciclosporin, tacrolimus, atau trimethoprim

2. Aspirin

Aspirin merupakan pengobatan lini pertama antiplatelet pada

pasien stroke iskemik (Kelas I, Evidence A), serta merupakan

rekomendasi pengobatan yang bermanfaat dan efektif, yang telah

dibuktikan dengan beberapa uji ataupun meta analisis (AHA, 2013).

40
Mekanisme kerja Aspirin merupakan NSAID non selektif

(BPOM,2006). Aspirin mengasetilasi secara irreversible gugus hidroksil

dari serin 530 yang mengakibatkan blokade sterik, sehingga pembentukan

COX-1 terhambat karena asam arakidonat tidak dapat masuk.

Penghambatan COX-1 menyebabkan platelet tidak mampu mensintesis

prostaglandin, hasil penghambatan prostaglandin menyebabkan

tromboksan A2 tidak terbentuk (Campbell et al., 2007).

Tromboksan A2 adalah agonis platelet yang berfungsi untuk

megaktifkan reseptor platelet dan menyebabkan agregasi platelet (Stalker

et al., 2012).

Aspirin dosis kecil dapat menekan pembentukan tromboksan A2,

sehingga terjadi penggurangan agregasi trombosit (Khalilullah, 2011).

Indikasi dan dosis Pengobatan peroral dengan menggunakan

aspirin direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan stroke iskemik

dengan menggunakan antiplatelet (AHA, 2013). Dosis aspirin yang

direkomendasikan sebagai terapi pencegahan sekunder dan untuk

meminimalkan efek samping yaitu 75-150 mg/hari. Dosis diatas

150mg/hari tidak meningkatkan efek terapi dan dapat menyebabkan reaksi

obat yang tidak diinginkan sedangkan dosis dibawah 75mg/hari tidak

cukup efektif (Karuniawati et al., 2016).

Kontraindikasi dan interaksi obat Aspirin dikontraindikasikan

untuk anak di bawah enam belas tahun dan ibu menyusui, tukak emoph

yang aktif, emophilia, serta gangguan perdarahan lain (PIONAS, 2015).

41
Aspirin dapat berinteraksi dengan beberapa obat lain, beberapa obat yang

dapat menyebabkan interaksi mayor dengan aspirin yaitu : ibuprofen,

warfarin, rivaroxaban, apixaban.

3. Clopidogrel

Clopidogrel merupakan obat antiplatelet yang termasuk dalam

kelas IIb evidence C. Kegunaan clopidogrel untuk pengobatan pasien

stroke iskemik akut belum diketahui dengan baik, hanya beragam

pendapat para ahli, studi kasus, atau standar perawatan. Diperlukan

penelitian lebih lanjut dari pedoman sebelumnya untuk menguji kegunaan

clopidogrel pada pasien stroke iskemik (AHA, 2013).

Mekanisme Kerja Clopidogrel memiliki efek anti agregatori

platelet, dalam hal ini menghambat jalur dari adenosin difosfat (ADP).

Efek ini meyebabkan perubahan membran platelet dan gangguan dengan

membran interaksi fibrinigenik yang mengarah pada pemblokiran

trombosit glikoprotein reseptor IIb/IIIa (Gund M.D et al., 2013).

Clopidogrel merupakan prodrug yang diaktivasi oleh enzim CYP2C19

yang mengubah menjadi bentuk aktifnya. Gen CYP2C19 merupakan

keluarga gen Sitokrom P450. Clopidogrel bekerja dengan cara terlebih

dahulu diubah menjadi metabolit aktifnya oleh metabolisme hati dengan

bantuan enzim, di dalam hati clopidogrel dimetabolisme menjadi 2-oxo

clopidogrel (metabolit aktif). Metabolit aktif tersebut akan mengalami

hidrolisis menjadi asam karboksilat yang merupakan metabolit tidak aktif.

42
Metabolit aktif akan secara selektif menghambat pengikatan ADP ke

reseptor P2Y12 plateletsehingga menghambat aktivasi kompleks GP

IIb/IIIa yang dimediasi oleh ADP sehingga menyebabkan penghambatan

terhadap agregasi platelet (Zaman, dan Ajeng., 2018).

Indikasi dan Dosis Clopidogrel menghambat terjadinya

pembekuan darah sehingga menjadi salah satu terapi untuk pengobatan

stroke iskemik yang diakibatkan adanya penyumbatan pembuluh darah.

Pemberian clopidogrel ini bertujuan agar tidak terjadi aktivasi platelet dan

pembekuan darah (Michael, dan Zelika., 2017). Dosis clopidogrel

berdasarkan PIONAS (2015) yaitu pemberian oral 75mg sekali sehari

dengan atau tanpa makan.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat Penggunaan clopidogrel

dikontraindikasikan bagi pasien yang mengalami hipersensitivitas,

perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau perdarahan intrakranial, ibu

menyusui. Clopidogrel dapat mengalami interaksi dengan beberapa obat

contohnya adalah omeprazol, warfarin, esomeprazol (BPOM, 2015).

4. Injeksi Ranitidine

Mekanisme Kerja

Ranitidine adalah antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2).

Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung. Dalam

menghambat reseptor H2, ranitidine bekerja cepat, spesifik dan reversibel

melalui pengurangan volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung.

Ranitidine juga meningkatkan penghambatan sekresi asam lambung akibat

43
perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Ranitidin akan menghambat

sekresi asam lambung berlebih. Beberapa kondisi yang dapat ditangani

dengan ranitidin adalah tukak lambung, sakit maag, penyakit refluks asam

lambung (GERD), dan sindrom Zollinger-Ellison.

Indikasi : Infeksi saluran pernafasan, saluran kemih; penyakit. penyakit

saluran cerna, traktus biliaris, meningitis, sepsis, peritonitis, gonorea, otitis

media, sinusitis.

Dosis

Dewasa : Injeksi i.m. atau i.v. intermiten: 50 mg setiap 6-8 jam. Jika

diperlukan, obat dapat diberikan lebih sering, dosis tidak boleh melebihi

400 mg sehari.

Efek Samping

Efek samping : Sakit kepala, insomnia, mual muntah dan sakit perut

5. Inj. Metilprednisolon

Mekanisme kerja

Methylprednisolone menghambat kaskade respon imun awal dalam respon

inflamasi serta menginisiasi resolusi dari proses inflamasi tersebut. Dalam

fase akut, methylprednisolone menginhibisi vasodilatasi dan permeabilitas

vaskular sehingga menurunkan emigrasi leukosit ke jaringan.

Farmakokinetik methylprednisolone bergantung pada jenis sediaan dan

cara pemberian. Methylprednisolone oral diabsorpsi dengan cepat, dalam

onset 1-2 jam sudah mencapai puncak, dan bertahan selama 30-36 jam.

44
Pemberian secara intramuskular mencapai puncak dalam 4-8 hari dan

bertahan selama 1-4 minggu.

Indikasi dan dosis :

Dewasa

Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg (base), diulangi sesuai

keperluan.

Untuk dosis tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg (base) per kg berat

badan diberikan sekurang-kurangnya 30 menit. Dosis dapat diulangi setiap

4-6 jam sesuai kebutuhan.

Untuk eksaserbasi akut pada sklerosis ganda: intramuskular atau

intravena, 160 mg (base) perhari selama satu minggu, diikuti dengan 64

mg setiap hari selama satu bulan.

Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg (base) per

kg berat badan diberikan selama 15 menit, diikuti dengan 45 menit infus,

5,4 mg per kg berat badan per jam, selama 23 jam.

Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan

pneumosistis carinii: intravena, 30 mg (base) dua kali sehari pada hari

pertama sampai kelima, 30 mg sekali sehari pada hari keenam sampai

kesepuluh, 15 mg sekali sehari pada hari ke sebelas sampai dua puluh satu.

Efek samping

45
Insufisiensi adrenokortikal:

Dosis tinggi untuk periode lama dapat terjadi penurunan sekresi

endogeneous kortikosteroid dengan menekan pelepasan kortikotropin

pituitary insufisiensi adrenokortikal sekunder.

Efek muskuloskeletal:

Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka yang tertunda, dan atropi

matriks protein tulang yang menyebabkan osteoporosis, retak tulang

belakang karena tekanan, nekrosis aseptik pangkal humerat atau femorat,

atau retak patologi tulang panjang.

Gangguan cairan dan elektrolit:

Retensi sodium yang menimbulkan edema, kekurangan kalium,

hipokalemik alkalosis, hipertensi, serangan jantung kongestif.

Efek pada mata:

Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan intra okular,

glaukoma, eksoftalmus.

Efek endokrin:

Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya keadaan cushingoid, hambatan

pertumbuhan pada anak, toleransi glukosa menurun, hiperglikemia,

bahaya diabetes mellitus.

Efek pada saluran cerna:

Mual, muntah, anoreksia yang berakibat turunnya berat badan,

peningkatan selera makan yang berakibat naiknya berat badan, diare atau

46
konstipasi, distensi abdominal, pankreatitis, iritasi lambung,ulceratif

esofagitis.

Juga menimbulkan reaktivasi, perforasi, perdarahan dan penyembuhan

peptik ulcer yang tertunda.

Efek sistem syaraf:

Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan aktivitas motor, iskemik

neuropati, abnormalitas EEG, konvulsi.

Efek dermatologi:

Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat, hirsutisme, eritema fasial,

striae, alergi dermatitis, urtikaria, angiodema.

Efek samping lain:

Penghentian pemakaian glukokortikoid secara tiba-tiba akan menimbulkan

efek mual, muntah, kehilangan nafsu makan, letargi, sakit kepala, demam,

nyeri sendi, deskuamasi, mialgia, kehilangan berat badan, dan atau

hipotensi.

Peringatan dan perhatian:

Wanita hamil dan ibu menyusui.

Dapat menyebabkan kerusakan fetus bila diberikan pada wanita hamil.

Kortikosteroid dapat berdifusi ke air susu dan dapat menekan

pertumbuhan atau efek samping lainnya pada bayi yang disusui.

Interaksi obat:

Enzim penginduksi mikrosom hepatik.

47
Obat seperti barbiturat, fenitoin dan rifampin yang menginduksi enzim

hepatik dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid, sehingga

mungkin diperlukan dosis tambahan atau obat tersebut tidak diberikan

bersamaan.

Anti inflamasi nonsteroidal.

Pemberian bersamaan dengan obat ulcerogenik seperti indometasin dapat

meningkatkan resiko ulcerasi saluran pencernaan. Aspirin harus diberikan

secara hati-hati pada pasien hipotrombinernia. Meskipun pemberian

bersamaan dengan salisilat tidak tampak meningkatkan terjadinya ulcerasi

saluran pencernaan, kemungkinan efek ini harus dipertimbangkan.

Obat yang mengurangi kalium.

Diuretik yang mengurangi kadar kalium (contoh: thiazida, furosemida,

asam etakrinat) dan obat lainnya yang mengurangi kalium oleh

glukokortikoid. Serum kalium harus dimonitor secara seksama bila pasien

diberikan obat bersamaan dengan obat yang mengurangi kalium.

Bahan antikolinesterase.

Interaksi antara glukokortikoid dan antikolinesterase seperti ambenonium,

neostigmin, atau pyridostigmin dapat menimbulkan kelemahan pada

pasien dengan myasthenia gravis. Jika mungkin, pengobatan

antikolinesterase harus dihentikan 24 jam sebelum pemberian awal terapi

glukokortikoid.

48
Vaksin dan toksoid.

Karena kortikosteroid menghambat respon antibodi, obat dapat

menyebabkan pengurangan respon toksoid dan vaksin inaktivasi atau

hidup.

6. Drip vascon

Mekanisme kerja

Vascon merupakan obat yang mengandung Norepinephrine Bitartrate

Monohydrate. Vascon berfungsi untuk meningkatkan tekanan darah yang

diindikasikan pada pasien yang menderita tekanan darah rendah akut

(hipotensi akut). Vascon bekerja dengan cara menyempitkan pembuluh

darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan kadar gula didalam

darah.

Farmakokinetik

norepinephrine berupa aspek absorpsi, metabolisme, dan eliminasinya.

Norepinephrine hanya dapat diberikan secara intravena karena absorpsi

secara oral dan subkutan tidak baik. Pada pemberian oral, norepinephrine

akan mengalami kerusakan dalam saluran cerna

Indikasi dan dosis

Vascon berfungsi untuk meningkatkan tekanan darah pada penderita

tekanan darah akut (hipotensi akut).

49
Dosis awalnya: 0,4-0,8 mg / jam diberikan melalui infus. Kemudian titrasi

dosis dalam langkah 0,05-0,1 mcg / kg berat badan/ menit untuk

mempertahankan normotensi atau mencapai tekanan darah arteri rata-rata

yang memadai tergantung pada kondisi pasien.

Efek samping

Lambatnya denyut jantung (bradikardia)

Kesulitan dalam berafas

Sakit kepala

Kekurangan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh (iskemia perifer)

Tekanan darah tinggi (Hipertensi)

Kecemasan

Sesak nafas (dyspnoea)

Gangguan detak jantung (aritmia)

Kontraindikasi

Hindari penggunaan Vascon pada penderita:

Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap norephineprin

Pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, dan trombosis vaskular

Interaksi Obat

Guanethidine, methyldopa, reserpin, Asam trikloroasetat (TCA) dapat

meningkatkan respons pressor terhadap norepinefrin.

Efek hipertensi meningkat jika di berikan bersamaan dengan β-blocker

nonselektif

7. Drip Dopamine

50
Mekanisme kerja

Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 1. Meningkatkan kontraktilitas

miokard dan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang

diharapkan setelah pemberian dopamin adalah peningkatkan cardiac

output dan tekanan darah. Memiliki efek renal, pemberian dopamin dalam

dosis rendah memiliki efek proteksi terhadap renal.

Farmakokinetik

Farmakokinetik dopamin memiliki onset dan durasi aksi yang cepat,

didistribusikan secara luas di tubuh, dimetabolisme di ginjal, plasma, hati

oleh perantara monoamine oksidase inhibitor dan diekskresikan di urine

sebagai metabolit inaktif.

Indikasi dan dosis

Indikasi :Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau kecenderungan

syok setelah mendapat terapi cairan

Dosis: Diberikan secara drip 2-20 mikrogram/kgBB/menit.

Kontraindikasi: Hipertiroidisme, feokromositoma, takiaritmia, fibrilasi

ventrikel, glaukoma sudut sempit, adenoma prostat

Efek Samping: Hipertensi, aritmia, pelebaran komplek QRS, azotemia

dan iskemia miokard

8. Inj. Ceftriaxone

Mekanisme kerja

51
Farmakologi ceftriaxone adalah sebagai antibiotik dengan mekanisme aksi

menghambat dinding sel bakteri. Ceftriaxone berperan dalam melawan

berbagai mikroorganisme, terutama bakteri gram negatif. Ceftriaxone

didistribusikan dengan baik ke dalam cairan dan jaringan tubuh, dan

sebagian besar diekskresikan melalui urin.Sebagai agen bakterisidal,

ceftriaxone secara selektif dan ireversibel menghambat pembentukkan

dinding sel bakteri dengan mengikat penicillin binding protein (PBP) yang

berperan sebagai katalis ikatan silang polimer peptidoglikan pembentuk

dinding sel bakteri. Aksi penghambatan PBP akan merusak integritas

dinding sel yang diikuti dengan lisis sel sehingga dapat membunuh bakteri

dan mengatasi infeksi.

Farmakokinetik:

Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan.

Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral

karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat

diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara

intravena karena menimbulkan iritasi pada pemberian intramuskular.

Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim,

seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar yang tinggi dalam cairan

serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis

purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai

kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada

pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata

52
relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya

tinggi, terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam

bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi

melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya sebaiknya disesuaikan pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Indikasi dan dosis

Dosis:

pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus intravena atau infus.

1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal.

Dosis lebih dari 1 g diberikan pada dua tempat atau lebih. ANAK di atas 6

minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg bb/hari.

Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50 mg/kg bb, hanya

diberikan secara infus intravena. Gonore tanpa komplikasi: 250 mg dosis

tunggal. Profilaksis bedah: 1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal:

2g.

Efek samping: Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering

terjadi. Reaksi anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat

terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin

berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang,

kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik,

walaupun jauh kurang toksik dibandingkan dengan aminoglikosida dan

polimiksin. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida memper-

53
mudah terjadinya nefrotoksisitas. Depresi sumsum tulang terutama

granulositopenia jarang terjadi.

9. Injeksi Dobutamine

Mekanisme Kerja: Dobutamin bekerja dengan cara merangsang reseptor

beta-1 jantung sehingga meningkatkan kontraksi jantung dan kemampuan

pompa jantung. Cara kerja ini akan meningkatkan tekanan darah, denyut

jantung dan jumlah darah yang akan dipompa oleh jantung.

Farmakologi: Dobutamine merupakan amina simpatomimetik yang

mempunyai efek stimulasi yang kuat pada reseptor-β1 dan efek yang

lemah pada reseptor-β2 dan reseptor α1 di jantung. Dobutamine secara

langsung menstimulasi reseptor β1 di jantung untuk meningkatkan

kontraktilitas miokard dan isi sekuncup, yang akan menyebabkan

peningkatan curah jantung. Aliran darah koroner dan konsumsi oksigen

miokard biasanya meningkat karena terjadi peningkatan kontraktilitas

miokard. Tidak seperti dopamine, dobutamine tidak menyebabkan

pelepasan norepinefrin endogen. Dobutamine mengurangi peningkatan

tekanan pengisian ventrikel (pengurangan preload) dan memfasilitasi

konduksi nodus atrioventrikel (AV).

Farmakokinetik:

Absorpsi: Setelah pemberian secara intravena, mula kerja dobutamine

timbul dalam waktu 2 menit. Konsentrasi plasma puncak dan efek obat

terjadi dalam waktu 10 menit setelah pemberian awal infus hintravena.

54
Distribusi:Tidak diketahui apakah dobutamine dapat melewati plasenta

atau terdistribusi ke dalam air susu.

Eliminasi:Waktu paruh plasma dobutamine kurang lebih 2 menit.

Dobutamine dimetabolisme di dalam hati dan jaringan lain oleh catechol-

Omethyltransferase menjadi senyawa inaktif, yaitu 3-O-

methyldobutamine, dan terkonjugasi dengan asam glukuronat. Konjugat-

konjugat dobutamine dan 3-O-methyldobutamine diekskresi terutama di

dalam urin, dan dalam jumlah yang lebih kecil diekskresi di dalam feses.

Indikasi: Membantu inotropik miokardium pada terapi gagal jantung

kongestif akut atau syok kardiogenik.

Kontraindikasi: Dobutamine dikontraindikasikan pada pasien dengan

stenosis subaorta hipertrofik idiopatik atau pada pasien yang diketahui

hipersensitif terhadap obat atau bahan-bahan yang terdapat di dalam

formula.

Dosis dan cara pemberian: Pemberian dobutamine secara infus

intravena, dosis yang diberikan sebanyak 2,5-40 μg/kg/menit. Dosis

lazimnya adalah 2,5-10 μg/kg/menit. Dosis harus disesuaikan secara

individual berdasarkan pada denyut jantung dan irama jantung, tekanan

darah dan diuresis. Toleransi parsial mungkin terjadi jika waktu pemberian

infus melebihi 72 jam, dan pada kasus seperti itu dapat dilakukan

peningkatan dosis

Efek samping: Efek samping yang timbul pada dasarnya adalah

tergantung pada dosis dan oleh karena itu dapat dikontrol dengan

55
mengurangi kecepatan infus. Karena dobutamine hampir sempurna

dieliminasi dalam waktu 10 menit, efek samping yang timbul akan segera

hilang dengan cara pengurangan dosis atau penghentian infus. Mual, sakit

kepala, palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada pernah dilaporkan sebagai

efek samping yang paling umum terjadi.

Interaksi obat: Pemberian bersamaan dobutamine dan nitroprusside akan

meningkatkan curah jantung dan biasanya lebih mengurangi tekanan baji

kapiler pulmonalis (pulmonary capillary wedge pressure) dibandingkan

jika hanya diberikan salah satu dari kedua obat ini. Dobutamine dapat

menjadi tidak efektif pada pasien yang baru diterapi dengan obat

penghambat β adrenoreseptor. Pada kasus ini, tahanan vaskular perifer

dapat meningkat.

56
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Data Umum
Nama Pasien Ny. R
Jenis Kelamin Perempuan
Umur 84 Tahun 3 Bulan
Berat Badan 35 Kg
Agama Islam
Alamat Ganting
Pekerjaan IRT
Ruangan HCU Jantung
Mulai Perawatan 30Oktober 2021
Keluar RS (Meninggal Dunia) 30 Oktober 2021

3.2 Riwayat Penyakit

a. Keluhan utama

Nyeri dada menjalar ke punggung sejak ±1 sebelum masuk rumah

sakit dan nafas terasa sesak.

57
b. Riwayat penyakit sekarang

- Nyeri dada menjalar ke punggung

- Nafas sesak

- Pusing

- Berkeringat dingin

- tidak sadarakan diri sampai di IGD

c. Riwayat penyakit terdahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi

d. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

e. Riwayat alergi

Tidak ada

3.3 Pemeriksaan fisik

a. Tanda vital

Pemeriksaan di IGD

Keadaan umum Berat


Kesadaran Soporous/Koma
Tekanan darah 60/35mmHg
Nadi 42x/menit
Pernafasan 24x/menit
Suhu 36OC

Pemeriksaan di Bangsal Jantung

Keadaan umum Berat


Kesadaran Soporous/Koma
Tekanan darah 60/35 mmHg
Nadi 42x/menit

58
Pernafasan 24x/menit
Suhu 36OC
b. Status Generalis

No Uraian Norma Tidak Keterangan

. l Norma

l
1 Kepala √
2 Mata √
3 Wajah √
4 THT √
5 Leher √
6 Dada - √ Sesak nafas
7 Punggung √
8 Abdomen √
9 Urogenital √
10 Ekstermitas atas √
11 Ekstermitas bawah √
12 Status neurologi √
13 Kulit √

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan

Kimia Klinik
30 Oktober Hb 10,6 12,0-16,0 g/dL Tidak

2021 Normal
Leukosit 8910 5.000-10.000 u/L Normal
Basofil 0 0-1% Normal
Eosinofil 1 1-3% Normal
N Batang 44 50-70% Tidak

N segmen Normal
Limfosit 43 20-40% Tidak

Normal
Monosit 10 2-8 % Tidak

59
Normal
NLR 1,00 ≤ 3,13 Normal
LA 3.707 >1.500 Normal
Hematokrit 30 40-48% Tidak

Normal
3
Trombosit 199.000 150-400x10 Normal
Gula Darah 179 < 200 Normal

Sewaktu
Ureum 70 13-43 Tidak

Normal
Kreatinin 1,8 0,8-1,3 Tidak

Normal
Natrium 133 135-148 Normal
Kalium 4,4 3,5-5,5 Normal
Klorida 104 98-107 Normal

3.5 Diagnosis

Diagnosa Utama : Total Atrioventrikular Block (TAVB)

Diagnosa Sekunder : Syok Kardiogenik dengan STEMI inferior

60
3.6 Penatalaksanaan

No Nama Obat Signa Jenis Sediaan Mulai Terapi Stop Terapi Terapi Pulang
1 IVFD NaCl 0,9% 6 jam/kolf Cairan 30 Okt 2021 - Pasien Meninggal Dunia
2 Drip Vascon5 cc/ Setiap 15 Injeksi 30 Okt2021 -

jam menit +

1,7 cc
3 Aspilet 80 mg Loading 2 Tablet 30 Okt2021
-
tablet
4 Clopidogrel 75mg Loading 4 Tablet 30 Okt2021
-
tablet
5 Drip Dobutamine 1 x 0,21 Injeksi 30 Okt 2021 30 Okt 2021

0,21 cc cc/jam 14.30


6 Drip dopamine 2 cc Setiap 15 Injeksi 30 Okt2021 -

menit +

0,6 cc
7 Inj. Ceftriaxone 2 g 1x 2 gr Injeksi 30 Okt2021 -
8 Inj. Metilprednisolon 2 x 62,5 Injeksi 30 Okt2021 -

61
62,5 mg mg
9 Inj. Ranitidin 50 mg 2 x 50 mg Injeksi 30 Okt2021 -
10 Atropine Sulfat 0,25 Setiap 5 Injeksi 30 Okt2021

mg/ml menit + 2

ampul -

(max 12

ampul)
11 Inj. Lovenox 0,6 mg 2x 0,6mg Injeksi - -

62
3.7 Follow up

Nama : Ny. R Diagnosa : TAVB Dokter : dr. Susiyanti, Sp.JP


Umur : 84Tahun 3 Bulan Ruangan : HCU Jantung Apoteker : apt. Mutia Permata Sari S.Farm

Tanggal S O A P
30 Okt 21 - Nyeri dada (+) - TD : 60/35mmHg - monitoring Tekanan
- Clopidogrel + Aspilet dapat
- Sesak Nafas - HR : 42 x/menit Darah
meningkatkan efek samping
(+) - RR : 24 x/menit - Monitoring Nadi
pendaharan jika digunakan
- Suhu : 36OC - Monitoring INR
bersamaan.
- KU : Berat

- Kesadaran :

Soporous/Koma

- Terapi :

- Loading NaCl 0,9%

63
habis dalam 30

menit

- Lanjut NaCl 0,9%/

6 jam

- Drip Vascon

5cc/Jam

- Loading CPG 4

tablet dan aspilet 2

tab

- Lanjut SA 2 ampul

per 5 menit. max 12

ampul

- Inj. Ranitidin 2 x

64
50mg
30 Okt 21 - Nafas seperti - Nafas seperti tidak ada - Monitoring Tekanan

12.30 tidak ada - Drip Dobutamin 0,21 Darah

cc/jam - Monitoring Nadi


30 Okt 21 - Tidak - TD : 86/50 mmmHg - Monitoring Tekanan

15.30 sadarkan diri - HR : 52 x/menit Darah

- Suhu : 36OC - Monitoring Nadi

- Terapi :

1. Drip Vascon up

titrasi sesuai protap

2. Drip Dopamine up

titrasi sesuai protap


30 Okt 21 - Pasien tidak - Inj. Ceftriaxone 1x - Monitoring Tekanan

17.00 sadarkan diri 2g Darah

65
- Inj. - Monitoring Nadi

Metilprednisolone

2 x 62,5 mg
30 Okt 21
Pasien Meninggal Dunia
19.30

66
Analisa Drug Related Problem (DRP)

Check
No Drug Therapy Problem Rekomendasi
List
1. Terapi obat yang tidak diperlukan
Terdapat terapi tanpa indikasi medis Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi, dimana
-
pasien mendapatkan terapi:
Pasien mendapatkan terapi tambahan Pasien tidak memerlukan terapi tambahan, pasien telah mendapatkan
-
yang tidak diperlukan terapi sesuai dengan kondisi medis.
Pasien masih memungkinkan Menjaga pola makan dan penatalaksanaan diet jantung
-
menjalani terapi non farmakologi
Terdapat duplikasi terapi Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat dengan mekanisme kerja
-
yang berbeda-beda.
Pasien mendapat penanganan
Pasien mendapatkan penangana dari efek samping
terhadap efek samping yang -

seharusnya dapat dicegah.


2. Kesalahan obat

67
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan yang diberikan pada saat rawatan telah sesuai.
Terdapat kontra indikasi Ditemukan adanya kontra indikasi pada terapi pengobatan. Yaitu
-
kombinasi fenitoin dan ergotamin
Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat
-
disembuhkan oleh obat
Obat tidak diindikasikan untuk Setiap obat yang diberikan sudah sesuai dengan indikasi suatu
-
kondisi pasien penyakit yang diderita pasien
Terdapat obat lain yang lebih efektif Terapi obat yang diberikan telah efektif dalam proses penyembuhan

- dimana terapi obat yang diberikan telah sesuai dengan literatur pada

diare akut tanpa dehidrasi


3. Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah - Dosis yang diberikan sudah tepat
Dosis terlalu tinggi - Dosis yang diberikan sudah tepat
Frekuensi penggunaan tidak tepat - Frekuensi penggunaan sudah tepat
Penyimpanan tidak tepat Proses penyimpanan obat sudah diletakan pada tempat yang sesuai

- pada tempatnya. Dimana obat disimpan dalam tempat obat pasien.


Administrasi obat tidak tepat - Administrasi sudah tepat.
Terdapat interaksi obat √ Ditemukan adanya interaksi obat yang diberikan pada pasien.

68
4. Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman untuk pasien Obat yang diberikan telah aman digunakan pada pasien. Pemberian

- terapi pada pasien telah disesuaikan dengan dosis yang tepat untuk

pasien
Terjadi reaksi alergi Pasien tidak mengalami alergi.
-
5. Ketidak sesuaian kepatuhan pasien
Obat tidak tersedia Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien. Semua obat yang
-
dibutuhkan pasien telah tersedia di apotek rumah sakit
Pasien tidak mampu menyediakan Pasien mampu menyediakan obat. Karena dibantu dengan apoteker
-
Obat dan perawat.
Pasien tidak bisa menelan atau
- Pasien bisa menelan obat.
menggunakan obat
Pasien tidak mengerti intruksi
- Pasien mengerti intruksi penggunaan obat.
penggunaan obat
Pasein tidak patuh atau memilih
- Pasien patuh menggunakan obat.
untuk tidak menggunakan obat

69
6. Pasien membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi Pasien telah mendapatkan terapi sesuai indikasi, karena obat yang
-
digunakan telah tepat untuk terapi penyakit

70
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada tanggal 30 Oktober2021, Ny.R (84Tahun 3 Bulan)

mengalami nyeri dada menjalar ke punggung sejak ±1 hari sebelum masuk

Rumah Sakit, nafas terasa sesak, pusing, dan berkeringat dingin. Pasien

memiliki riwayat penyakit hipertensi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang didapatkan kesimpulan bahwa pasien ini

mengalami Total AV blok.

AV Block adalah suatu gangguan transmisi impuls dari atrium ke

ventrikel yang disebabkan oleh gangguan anatomis atau fungsional yg

bersifat sementara atau permanen pada sistem konduksi. Berdasarkan

etiologi total av blok dapat diakibatkan dari obat-obatan, penyakit

degenerative dan penyakit infark. Pada pasien ini diikuti dengan riwayat

hipertensi sebelumnya yang dapat menyebabkan otot jantung hipertrofi

dan kontraktilitas jantung yang berkurang sehingga cardiac output

berkurang. Riwayat hipertensi sehingga dapat terbentuknya plak pada

pembuluh darah yang lama kelamaan dapat terlepas dan menyumbat arteri

kecil di otak dan secara mendadak dapat mengakibatkan penurunan

kesadaran.

Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik umum didapatkan kondisi

umum pasien berat, kesadaran pasien soporous/koma, frekuensi nadi


0
45x/menit, suhu 36 C dan tekanan darah pasien pada saat awal

pemeriksaan 60/35 mmHg.

71
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu berdasarkan gejala klinis

dan pemeriksaan penunjang yaitu dapat diberikan terapi simptomatik dan

dilakukan evaluasi laboratorium untuk mengetahui efek dari kerja obat

yang telah diberikan, untuk menilai apakah ada perbaikan kondisi pasien

setelah obat diberikan.

Pasien awalnya langsung dilarikan ke IGD, karena pasien tidak

sadarkan diri saat sampai di IGD. Pasien diberikan loading NaCl 0,9%

yang dihabiskan dalam waktu 30 menit, dilanjutkan NaCl 0,9% 6jam/kolf,

Drip Vascon dan Drip Dopamin yang up titrasi sesuai protap, loading

CPG 4 tablet, Aspilet 2 tablet, Injeksi atropine sulfat 2 ampul per 5 menit

(max. 12 ampul), dan Injeksi ranitidin.

Pada tanggal 30 Oktober2021 pukul 12.30 WIB nafas pasien

seperti tidak ada sehingga pasien diberikan Injeksi drip dobitamin

0,21cc/jam, bagging (pemberian nafas buatan)dan intubasi. Dan pada

pukul 14.30 WIB drip dobutamin dihentikan dan diganti dengan drip

dopamin 2cc/jam.Kemudian pada pukul 17.00 WIB pasien diberikan

terapi tambahan lagi yaitu Injeksi ceftriaxone, Injeksi methylprednisolone.

Dokter menyarankan kepada keluarga pasien agar pasien di rujuk untuk

TPM (Temporary Pace Maker) PCL (Percutaneus Coronary Angiography)

ke RSAM atau M.Djamil. Pihak Rumah Sakit sudah menjelaskan kepada

keluarga pasien mengenai indikasi dan resiko jika tidak dirujuk karena

kondisi pasien sakit berat dan kemungkinan mengalami perburukan atau

kematian. Namun keluarga tetap menolak dirujuk dan meminta dirawat di

72
RSUD Padang Panjang dengan segala keterbatasan yang ada. Dan untuk

segala resiko nantinya keluarga tidak akan menyalahkan pihak RSUD

Padang Panjang. Kemudian pasien di bawa ke ruang HCU jantung.

Pada tanggal 30 Oktober 2021 pukul 19.30 pasien menggal dunia

dengan penyebab kematian Cardiac arrest (Henti Jantung). Untuk terapi

pasien yang jadi digunakan hanya Drip Vascon dan Drip Dopamine.

Kemudian pasien juga telah dilakukan EKG. Sementara itu untuk terapi

yang lain tidak jadi dilakukan.

73
BAB V

KESIMPULAN

Dari kasus diatas disimpulkan bahwa:

1. Dari hasil diagnosa dokter pasien mengalami penyakit

Total Atrioventrikular Block (TAVB)

2. Untuk pemberian terapi obat sudah tepat dengan kondisi dan diagnose penyakit

pasien.

74
LAMPIRAN 1: Hasil Pemeriksaan EKG Awal

75
LAMPIRAN 2 : Hasil Pemeriksaan Hasil EKG Terakhir

76
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). (2013). 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: Areport of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association task force on practice guidelines. J Am
Coll Cardio, 62(16), e240-e327.

Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan Longo,
J.Jameson, Joseph LoscalzoHarrison's Principles of Internal Medicine, 17th
Edition, 17th edn., : Mcgraw-hill, 2008.
Antman EM, Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 16th Ed. USA: McGraw-Hill; 2005. p. 1449-50.
Arif, Muttaqin., 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan hematologi. Salemba Medika, Jakarta.

Bassand JP, Hamm CW, Ardissino D. Guidelines for the diagnosis and treatment of
non-ST-segment elevation acute coronary syndromes. EHJ. 2007; 28(3):141147
Dharma S. Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG. Jakarta:EGC.2009

Ganong, W. F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (20 ed.). Jakarta: EGC

Jennings, Simon. 1998. The Complete Guide to Advance Illustration and Design.
America.

Libby,P. 2008.The Phatogenesis, Prevention, and Treatment of Atherosclerosis,in:


Fauci,A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L.,Hauser,S.L. ,Longo,DL., Jameson,J.L.,
Loscalzo,J (eds) Harrison's. Principles of Internal. Medicine.Vol.II.17th ed.
pp1501-8.

Mendis S. Global target 1: A 25% relative reduction in overall mortality from


cardiovascular diseases, cancer, diabetes or chronic respiratory diseases. In:
Armstrong T, editor. Global Status Report on Non Communicable Disease.
Switzerland: WHO. 2014; 9-20

77
PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Ramrakha P, Hill J.(2006).Oxford handbook of cardiology. Oxford University Press,


edisi 1, p: 260-2.

Reeves, Charlene J., 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa Yasmin Asih,
Edisi Pertama, Salemba Medika, Jakarta.

Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart (Alih


bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC

Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI Jilid 2. 5th ed. Jakarta, 2010.

Wong WD. Epidemiological studies of CHD and the evolution of preventive


cardiology. Nature. 2014;11:276-89

78

Anda mungkin juga menyukai