Anda di halaman 1dari 59

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER BANGSAL ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PADANG PANJANG

“Demam Tifoid pada Anak”

Preseptor:

dr. Yunira Yunirman, Sp.A


apt. Wenna Syukri Yenni, S.Farm

OLEH:

KELOMPOK I

Reski Mulia, S.Farm (2030122054)


Rosmelia, S.Farm (2030122058)
Siti Nirmala, S.Farm (2030122063)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVIII
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabbarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Bangsal

Anak mengenai “Demam Tifoid pada Anak” yang dilakukan di Rumah Sakit

Umum Daerah Padang Panjang pada tanggal 08 November 2021 – 20 November

2021. Laporan ini dibuat untuk melengkapi tugas-tugas bagi mahasiswa Profesi

Apoteker Universitas Perintis Indonesia dan ditulis berdasarkan teori serta hasil

pengamatan selama melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA).

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan,

serta masukan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan

laporan studi kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik

dalam segi penyusunan maupun tata bahasanya sehingga penulis berharap saran,

kritikan dan masukannya demi kesempurnaan laporan studi kasus ini. Semoga

laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padang Panjang, 18 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella entericaserovar typhi (S typhi).Salmonella entericaserovar paratyphi

A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam

paratifoid.Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.Pada

daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.Demam

tifoid juga masihmenjadi topik yang sering diperbincangkan.(Cita, 2011).

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di

berbagai Negara berkembang.Besarnya angka pasti demam tifoid didunia ini sagat

sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum

klinisnya sangat luas.Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di

Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia.Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang

lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan (Idrus H, 2020).

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa

dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai

saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara

keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan

216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per

100.000populasi per tahun) dicatat di Asia Tengahdan Selatan, Asia Tenggara,

dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per

1
100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan

Oceania(kecuali Australia dan SelandiaBaru); serta yang termasuk rendah (<10

kasusper 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya (Hadidjaja P, 2011).

Salmonella typiisama dengan Salmonella yang lain yaitu bakteri gram

negative, yang mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,

fakultatif anaerob, mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari polisakarida.

Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis

luar dari dinding sel dan dimanakan dengan endotoksin.Salmonella typii juga

dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap

multiple antibiotic. (Nelwan RHH, 2012).

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan

reservoir untuk Salmonella typhi.Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama

berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam

telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.Pada daerah endemik,

infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim

hujan.Dosis yang infeksius adalah 103 -106 organisme yang tertelan secara

oral.Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh

feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang

berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan

rumah tangga yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam

tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama

untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.(Nelwan

RHH, 2012).
Pada kasus yang terjadi di Rumah Sakit tempat melaksanakan Praktek

Kerja Profesi Apoteker, terdapat pasien yang didiagnosa dokter mengalami

Demam Tifoid.

1.2Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Demam Tifoid dan Ascariasis pada anak serta

penatalaksanaannya.

2. Untuk mengetahui apakah ada kemungkinan terjadi Drug Related

Problem (DRP) dari obat-obatan yang diberikan kepada pasien.

1.3 Manfaat

1. Sebagai media meningkatkan kemampuan dan pengetahuan penyusun

sendiri.

2. Sebagai bahan bacaan dan penambah wawasan bagi masyarakat,

khususnya bagi sesame tenaga kesehatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tifoid

2.1.1. Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang

disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal

dengan Salmonella typhi (S. typhi).Penyakit ini masih sering dijumpai di negara

berkembang yang terletak di subtropis dan daerah tropis seperti Indonesia.

(Rahmad et al, 2019).

Menurut WHO, ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan

gejala klinik:

1. Demam tifoid akut non komplikasi Demam tifoid akut dikarakterisasi

dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis fungsi bowel

(konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak- anak), sakit kepala,

malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal

penyakit selama periode demam,sampai 25% penyakit menunjukkan

adanya rose spot pada dada, abdomen dan punggung;

2. Demam tifoid dengan kompilkasi Pada demam tifoid akut keadaan

mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Bergantung pada

kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat

mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan

ketidaknyamanan abdomen.

3
3. Keadaan karier Keadaan karier tifoid terjadi pada 1- 5% pasien, tergantung

umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella

typhi di feses. ((Rahmad et al, 2019).

2.1.2. Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,

secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas

sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah

yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis. Insidens rate penyakit

demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per

tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate

demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate

demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per

100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk. Indisens rate di

Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per

100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000

– 1.500.000 penderita.

Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR

sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara

berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi

lingkungan di negara yang bersangkutan.

2.1.3. Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

Parathypi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak

4
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 60 derajat celcius) selama 15 menit, pasteurisasi, pendidihan

dan khlorinisasi.Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella

enterica dan Salmonella bongori (disebut juga subspecies V).Salmonella enterica

dibagi ke dalam enam jenis subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi

karbohidrat, flagell, dan/serta struktur lipopolisakarida. Subspecies dari

Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp. Salamae, subsp. Arizonae,

subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica (Idrus H.H., 2020)

2.1.4. Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid

1. Patogenesis

Pathogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleksmengikuti

ingesti organisme yaitu:

1. Penempelan dan invasi sel-sel M peyer’s patch

2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyer’spatch,

nodus limfafatikus mesenteritikus dan organ-organ ekstra intestinal system

retikulo endothelial,

3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah.

4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta

usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen

intestinal ( Idrus H.H., 2020)

2. Patofisiologi

Patofisiologi masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.Penularan kuman ini dapat

5
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, feces, lalat yang membawa

kuman tersebut dan muntahan dari penderita Typhoid. Sebagian kuman

dimusnahkan di lambung, sebagai lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak (Seogijanto,2002).

Kuman dapat hidup dan berkembang baik di dalam mekrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kuman tersebut

mengerluarkan endotoksin yang selanjutnya kuman masuk ke dalam sirkulasi

darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimtomatik)dan menyebar ke

seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa yang selanjutnya

akan di lakukan fagositosis(Seogijanto, 2002).

Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat difagosit akan mati, sedangkan

yang tidak di fagosit akan tetap hidup dan menyebabkan bakteriema kedua.

Kuman yang masuk ke aliran darah akan menyebabkan roseola pada kulit dan

lidah hyperemia. Selajutnya kuman masuk ke dalam usus halus dan menyebabkan

peradangan sehingga menimbulkan nausea dan vomitus serta adanya anorexia

masalah tersebut akan menyebabkan intake klien yang tidak adekuat dan

kebutuhan nutrisi yang kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan diare sehingga

diperlukan bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi bertambah buruk.

Selanjutnya kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya mengeluarkan

endotoksin yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegaly dan juga

mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan meningkatnya SGOT/SGPT.

Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus yang menekan termoregulasi

yang mengakibatkan demam remiten dan hipertermi sehingga klien akan

mengalami malaise dan akhirnya mengganggu aktivitasnya (Muttain,2011).

6
Ga

mbar 1.Patoisiologi Demam Tifoid

2.1.5. Gejala Klinis Demam Tifoid

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan

atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang

tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat

dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak

nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.Gejala yang

biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan

klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi.Dapat

7
disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada

stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya.

Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,

kemudian dilanjutkan dengan konstipasi.Konstipasi pada permulaan sering

dijumpai pada orang dewasa.Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi

relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada

sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots)

mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan

terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta

menetap selama 2-3 hari. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami

komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2

minggu.Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,

perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta

gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah

secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan

mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu (Muttain,2011).

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang

timbul pada semua penderita demam tifoid.Demam dapat muncul secara

tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai

septikemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada

Salmonella typhi.Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam

tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria,

menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.Demam tifoid dan

8
malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala

hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala

8
meningitis, di sisi lain Salmonella typhi juga dapat menembus

sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.(Muttain,2011).

Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis,

yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma.Nyeri perut kadang tak dapat

dibedakan dengan apendisitis.Penderita pada tahap lanjut dapat muncul

gambaran peritonitis akibat perforasi usus.

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu, (Muttain,2011).

1. Demam. Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.

Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu

pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya

menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.

Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.

Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal

kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak

sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih

kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.

Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).

Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya

didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat

terjadi diare.

3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun

tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,

koma atau gelisah.

9
2.1.6. Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat

bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga

dapat mencegah terjadinya komplikasi.Pengetahuan mengenai gambaran

klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit

ini.Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari

laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.Gambaran darah

tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada

keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai

pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium

lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain

yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofi lia

(menghilangnya eosinofi l).

Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium

didasarkan pada 3 prinsip, yaitu:

 Isolasi bakteri

 Deteksi antigen mikroba

 Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

A. Anamnesis

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap

(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari,

sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.Demam

merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua

10
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari

menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena

10
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.Menggigil tidak biasa

didapatkan pada demam tifoidtetapi pada penderita yang hidup di daerah

endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.Namun

demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu

penderita.Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai

gejala meningitis, di sisi lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak

dan menyebabkan meningitis.Manifestasi gejala mental kadang mendominasi

gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma.Nyeri perut kadang

tak dapat dibedakan dengan apendisitis.Pada tahap lanjut dapat muncul

gambaran peritonitis akibat perforasiusus.

B. Pemeriksaan fisik

Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak

diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri

abdomen, roseolae(jarangpada orang Indonesia).(Djoko W,2009).

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan hematologi, uji widal, uji

TUBEX, uji typhidot, uji IgM dipstick, dan kultur darah. Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis,

memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan.(Djoko W,2009).

1) Pemeriksaan Hematologi

Pada pemeriksaan darah akan ditemukan leukopenia, meskipun pada

beberapa kasus tidak jarang pula akan ditemukan kadar leukosit normal

atau leukositosis. Leukositosis dapat ditemukan walaupun tanpa infeksi

11
sekunder.Selain itu juga dapat ditemukan anemia ringan dan

trombositopenia, serta laju endap darah yang meningkat.Pada pemeriksaan

dari hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia ataupun limfopenia.

(Djoko W,2009).

2) Kimia klinik

SGOT dan SGPT pada demam tifoid akan ditemukan meningkat,

tetapi biasanya akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Namun,

kenaikan SGOT dan SGPT tidak diperlukan penanganan khusus. (Djoko

W,2009).

3) Uji Widal

Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.

typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan

pada uji Widal adalah suspensi bakteri Salmonella yang telah dimatikan

dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk melihat

apakah terdapat aglutinin dalam serum penderita demam tifoid yaitu:

aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman), dan

aglutinin Vi (simpai kuman). Aglutinin O dan H merupakan penanda yang

biasanya digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid.Semakin tinggi

titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi bakteri ini.Peningkatan

titer uji Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis.Uji

Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai

gambaran klinis khas menyokong diagnosis.

Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi

terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang

12
yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6

bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah

pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari uji

widal, yaitu pengobatan dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid,

gangguan pembentukan antibodi, waktu pengambilan darah, karakteristik

daerah (endemik atau non endemik), dan riwayat vaksinasi.(Djoko

W,2009).

4) Uji TUBEX

Uji TUBEX adalah uji semi kuantitatif kolometrik yangprosesnya

cepat (dalam beberapa menit) dan prosedurnya mudah untuk dikerjakan.

Hasil positif dari uji TUBEX akan didapatkan infeksi Salmonella serogrup

D dengan mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09, namun pada infeksi oleh S.

paratyphi akan menunjukkan hasil yang negatif. (Djoko W,2009).

5) Uji Typhidot

Uji typhidot dapat menunjukkan adanya antibodi IgM dan antibodi

IgG yang terdapat pada protein membran luar dari Salmonella typhi.

Hasil positif dari uji ini dapat didapatkan setelah 2-3 hari terjadinya

infeksi.Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,

sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut

pada fase pertengahan.Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah

infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut

dan kasus dalam masa penyembuhan.Yang lebih baru lagi adalah Typhidot

M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja.Typhidot M

12
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan

Typhidot.Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus

disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.

(Djoko W,2009)

6) Uji IgM Dipstick

Uji IgM Dipstick mendeteksi antibodi IgM spesifik

terhadapSalmonella typhi pada spesimen serum. Pemeriksaan ini mudah

dan cepat (dalam satu hari), serta dilakukan tanpa peralatan khusus

apapun. Tapi hasil yang didapatkan hanya akurat apabila pemeriksaan

dilakukan setelah satu minggu timbulnya gejala (Gasem dkk,2002).

7) Kultur Darah

Kultur darah merupakan standar baku emas dalam pemeriksaan kasus

demam tifoid sampai saat ini. Kultur darah adalah uji laboratorium

untuk memeriksa bakteri dalam sampel darah pasien. Namun ada

beberapa faktor yang dapat menyebabkan uji ini menjadi tidak akurat,

yaitu pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotik sebelumnya,

volume darah yang kurang (< 5 cc) dan riwayat vaksinasi sebelumnya

(Djoko W,2009).

2.1.7. Penatalaksanaan Demam Tifoid

Penatalaksanaan demam tifoid berdasarkan Dipiro 2015

 Antibiotik yang direkomendasikan adalah : fluoroquinolon, trimetoprim

atau sulfametoksazol, ampicisilin, sefalosporin generasi 3

12
 Untuk bakterimia, terapi yang menyelamatkan jiwa harus meliputi

sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone 2 g/hari, iv) dan ciprofloxacin 500 mg

sehari 2 x, oral. Durasi terapi antibiotic ditentukan pada tempat.

 Fluoroquinolon seperti ciprofloxacin (500 mg oral, sehari 2x untuk dewasi

selama 10 hari) adalah obat pilihan untuk demam enteric terutama di

tempat tempat dimana resistensi multiobat umum terjadi. Terapi singkat 3-

5 hari efektif tetapi minimum 10 hari direkomendasikan pada kasus berat.

Tabel 1. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid (Grouzard, et al., 2016)


Antibiotik Dosis Keterangan

Ciprofloxacin PO 5-7 hari Tidak


(Grouzard, et direkomendasikan
al., 2016) Dewasa: 1 gram/hari pada anak - anak usia
dalam 2 dosis terbagi dibawah 15 tahun
Anak – anak : 30 akan tetapi risiko yang
mg/kg/hari dalam 2 mengancam jiwa dari
dosis terbagi tyfoid melebihi risiko
efek samping
(alternatif 2, fully
sensitive
multidrug
resistant)

Cefixime (Grouzard, PO 7 hari Dapat menjadi


et al., 2016) Anak – anak (lebih alternatif dari
dari usia Ciprofloxacin bagi
3 bulan) : 20 anak – anak di bawah
mg/kg/hari 15 tahun
dalam 2 dosis terbagi

Amoksisilin PO 14 hari Jika tidak adanya


(Grouzard, et al., Dewasa : 3 gram / resisten
2016) hari
dalam 3 dosis terbagi (fully sensitive)
Anak- anak :
75-100
mg/kg/hari dalam 3

12
dosis Terbagi

Kloramfenikol PO 10-14 hari Jika tidak adanya


(tergantung tingkat resisten (pilihan utama,
(Grouzard, et al., keparahan) fully sensitive)
2016) Anak – anak
1-12 tahun : 100
mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi
≥ 13 tahun : 3 gram/
hari
dalam 3 dosis terbagi

Tiamfenikol PO 5-6 hari Efek samping


hematologis pada
(Rampengan, 2013) 75 mg/kgBB/hari penggunaan
tiamfenikol

Azitromisin PO 6 hari Azitromisin efektif dan


(Rampengan, 2013) 20 mg/kg/hari aman diberikan pada
anak-anak dan dewasa
yang menderita demam
tifoid tanpa komplikasi

Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Salmonella typhi


(Grouzard, et al., Infus (30 menit) dengan cepat
2016) 10 – 14 hari berkembang resisten
(tergantung tingkat terhadap kuinolon
keparahan) (quinolone resistant).
Dewasa : 2-4 gram Pada kasus ini
sehari Sekali gunakan ceftriaxone
Anak – anak:
75mg/kg
sehari sekali

1. Ciprofloxacin
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam nukleat sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu
Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak –
anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan
multi-obat, Salmonella typhi dan paratyphi (Upadhyay, et al.,2015)
Sefalosporin generasi ketiga yaitu Ceftriaxone menjadi penggunaan
alternatif untuk kasus seperti halnya resistensi multi-obat (resistensi

12
terhadap kloramfenikol, amoksisilin dan co- trimoxazole). Pada penelitian
prospektif India utara ada perkembangan bertahap resistensi terhadap
Fluroquinolones 4,4 % resistensi diamati pada Sparfloxacin, resistensi 8,8
% pada ofloxacin dan resistensi yang tinggi 13 % pada Ciprofloxacin
(Naveed and Ahmed,2016). Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak
dianjurkan untuk anak-anak, karena dapat menimbulkan efek samping pada
tulang dan sendi, bila diberikan pada anak akan menggganggu pertumbuhan
tulang pada masa pertumbuhan anak(Tandi dan Joni,2017).
2. Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Sefalosporin generasi ketiga yaitu
Cefixime oral (15-20 mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua
kali sehari) telah banyak digunakan pada anak-anak dalam berbagai
daerah geografis diamati penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun,
dalam beberapa percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan
kekambuhan yang lebih tinggi daripada fluoroquinolones (Paul, 2017).
3. Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Pada percobaan kombinasi
Kloramfenikol dan Amoksisilin mempunyai efek anti bakteri lebih lemah
dibandingkan dengan bentuk tunggal Kloramfenikol dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi (Friambodo, et al., 2017)
4. Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Kloramfenikol masih merupakan
pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah,
mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral (Rampengan, 2013).Efek
samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal
dengan depresi sumsum tulang dan jikadiberikan pada bayi < 2 minggu
dengan gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi
dengan darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis tinggi akan
menyebabkan gray baby sindrom, serta dapat menghambat pembentukan
sel- sel darah (eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu
5 hari sesudah dimulainya terapi, dari efek samping yang timbul sehingga
kloramfenikol memiliki persentase nomor dua dibandingkan penggunaan

12
golongan sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017). Walaupun penggunaan
kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun penggunaannya masih
lebih baik pada tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan sudah
resistensi, seperti ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid,
ciprofloxacin (Rampengen,2013).
5. Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog dengan
kloramfenikol, yang masih digunakan di Indonesia dan masih dianggap
efektif untuk menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol. Efek
samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada
kloramfenikol (Rampengan, 2013).
6. Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Golongan kuinolon dan
azitromisin hampir sama efikasinya dan aman untuk demam tifoid.
Namun azitromisin bisa digunakan sebagai alternatif, karena kuinolon
memiliki kontraindikasi seperti pada anak-anak, wanita hamil, dan
kejadian resisten kuinolon. Namun penggunaanya jika lebih dari 7 hari
tidak diperbolehkan karena penetrasi jaringan lebih kuat dan terakumulasi
di kantung empedu. Penggunaan azitromisin selama5 hari ekuivalen
dengan penggunaan antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan7 hari sama
optimalnya dengan penggunaan antibiotik lain selama 14 hari (Upadhyay,
et al., 2015).
7. Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan
intravena ceftriaxone (75 mg / hari; maksimum 2,5 g / hari) setiap hari
selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg / hari; maksimum 1000 mg /
hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa (97% vs. 94%). Tidak
terdapat pasien yang menggunakan azitromisin mengalami kekambuhan,
sedangkan beberapa kekambuhan diamati pada pasien yangmenggunakan
ceftriaxone (Upadhyay, et al., 2015).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, penggunaan

12
Ceftriaxone untuk terapi demam tifoid disarankan digunakan selama 5
hari (Handayani, 2017). Sifat dari obat ini yang menguntungkan yaitu
dapat merusak spektrum kuman dan tidak mengganggu sel manusia,
bakteri spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman
masih terbatas. Sementara pengobatan dengan golongan sefalosporin
khususnya ceftriaxon hanya membutuhkan 10 hari rawat inap di rumah
sakit dibandingkan dengan kloramfenikol selama 21 hari, sehingga obat
antibiotik sefalosporin ini lebih banyak digunakan (Tandi dan Joni, 2017).
Tabel 2. Terapi kortikoteroid penyakit demam tifoid

Kortikosteroid Dosis Keterangan


Dexamethasone IV 2 hari Pada pasien yang
(Grouzard, et al., 2016) Dosis awal : 3 mg/kg dan mengalami tifoid berat
kemdian 1 mg/kg setiap 6 dengan keadaan
jam (halusinasi,perubahan
kesadaran atau pendarahan
usus)

Dexamethasone merupakan salah satu obat kortikosteroid yang masuk


ke dalam kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti inflamasi
dan imunosupresif, yang mana hal tersebut mendorong semakin
dikembangkannya berbagai steroid sintetik dengan aktivitas anti inflamasi dan
imunosupresif (Katzung, et al., 2013). Pemberian glukokortikoid
direkomendasikan pada kasus demam tifoid berat (halusinasi, perubahan
kesadaran atau pendarahan usus). Hasil penelitian menunjukan penurunan yang
signifikan dalam mortalitas pada pasien demam tifoid berat (Sharma dan
Gandhi, 2015). Penggunaan kortikosteroid seperti Dexamethasone yang tidak
sesuai dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan munculnya efek samping.
Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil dapat beresiko kelahiran prematur,
meningkatkan aliran darah arteri uterina (Katzung, et al.,2013).Penggunaan
kortikosteroid memiliki cakupan yang luas, akibatnya menyebabkan
ketidaksesuaian dengan indikasi maupun dosis serta lama pemberian.
Penggunaan berlebih akan berakibat fatal bagi tubuh, khususnya kerusakan
organ dalam rentang waktu tertentu. Organ yang dalam kerjanya banyak
berhubungan dengan proses penyaringan darah kemungkinan besar akan

12
mengalami kerusakan seperti halnya hepar dan ginjal. Jika jumlah
Dexametasone sudah melebihi jumlah maksimal, maka akan membuat hepar
bekerja lebih keras. Kerja hepar yang berlebihan akan merusak hepar dan
menurunkan kinerjanya serta menyebabkan nekrosis sel(Indayani, et al., 2015)

12
2.1.8.Komplikasi Demam Tifoid

1. KomplikasiIntestinal

a) Perforasi usus

Perforasi usus biasanya timbul di minggu ketiga gejala dengan keluhan

nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh

perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Pada pemeriksaan fisik akan

ditemukan bising usus melemah (pada 50% penderita), nadi cepat, tekanan

darah turun, dan dapat terjadi syok.

b) Perdarahanintestinal

Bila terdapat luka yang terbentuk pada lumen yang sampai mengenai

pembuluh darah oleh karena terinfeksinya plak Peyeri usus maka dapat

mengakibatkan perdarahan intestinal yang dapat menimbulkan syok.

Penanganan dapat dengan memberikan transfusi atau perlu dipertimbangkan

untuk pembedahan.

2. KomplikasiEkstra-intestinal

a) Komplikasihematologi

Komplikasi hematologi dapat berupa trombositopenia sampai koagulasi

intravaskular diseminata (KID).Trombositopenia diperkirakan terjadi karena

menurunnya produksi trombosit selama proses infeksi pada sumsum tulang,

atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Sedangkan

etiologi dari KID padakasusdemamtifoidbelumjelaspenyebabnya.


b) Hepatitistifosa

Pembengkakan hati pada kasus demam tifoid ditemukan pada 50%

kasus.Biasanya terjadi karena pasien dengan status malnutrisi dan sistem imun

yang kurang.

c) Pankreatitistifosa

Pankreatitis tifosa dapat terjadi karena mediator pro inflamasi dari bakteri

yang merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada demam tifoid.

d) Miokarditis

Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita dan gejalanya biasanya sakit dada,

gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Komplikasi ini

disebabkan oleh kerusakan miokardium oleh bakteri Salmonella typhi.

e) Manifestasi tifoid toksik /neuropsikiatrik

Penderita demam tifoid juga terkadang mengalami penurunan kesadaran

(apatis, somnolen, delirium, sopor, atau koma) baik dengan atau tanpa disertai

kelainan neurologis.
2.2Ascariasis

2.2.1 Pengertian Ascaris

Ascariasis adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh Ascaris

lumbricoides , yang merupakan spesies cacing gelang. Cacing gelang adalah jenis

cacing parasit. Infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang cukup umum.

Ascariasis adalah infeksi cacing gelang yang paling umum. Tentang 10 persen.

negara berkembang terinfeksi cacing usus, menurut Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO). Ascariasis paling sering terjadi di tempat-tempat tanpa sanitasi modern.

Orang-orang mendapatkan parasit melalui makanan dan air yang tidak aman.

Infeksi biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi sejumlah besar cacing gelang

(infestasi yang lebih berat) dapat menyebabkan masalah pada paru-paru atau usus

(Jangkung,2022)

2.2.2 Patofisiologi Ascariasis

Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus
halus.Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru, larva di
paru-paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke
trakea. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi.Penderita akan
batuk karena adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke
esofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur
matangyangtertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang
lebih 2 bulan (Jangkung,2022)

2.2.3 Morfologi dan Daur Hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides memiliki tiga bibir (prominent lips) yang


masingmasing memiliki dentigerous ridge (peninggian bergigi), tetapi tidak
memiliki interlabia atau alae. Ascaris lumbricoides jantan memiliki panjang 15-31
cm dan lebar 2-4 mm, dengan ujung posterior yang melingkar ke arah ventral, dan
ujung ekor yang tumpul. Ascaris lumbricoides betina memiliki panjang 20-49 cm
dan lebar 3-6 mm, dengan vulva pada sepertiga panjang badan dari ujung
anterior.Ascaris betina memiliki ovarium yang luas dan dapat mengandung 27
juta telur pada satu waktu, dengan 200.000 telur dikeluarkan setiap harinya.

Telur yang sudah dibuahi berbentuk oval sampai bulat, dengan panjang
45-75 μm dan lebar 35-50 μm.Dinding uterina cacing menghasilkan lapisan luar
yang tebal dan bergumpal pada telur, sehingga saat telur dikeluarkan melalui
feses, lapisan ini terwarnai oleh cairan empedu sehingga menjadi berwarna
cokelat keemasan.Embrio biasanya belum membelah ketika masih berada di feses.
(john, 2006)
2.2.4 Diagnosis Askariasis

Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa pada atau

muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan

empedu penderita, Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan

kolangiografi intravena.Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi, dengan

mengamati cacing yang memakan barium.Cacing tampak sebagai gambaran

memanjang radiolusen.Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides

dapat didapatkan bila : - cacing di usus belum menghasilkan telur. -hanya ada

cacing jantan. - penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk

larva. Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, yaitu : -

telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan dinding albuminoid,

berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan hialin tebal transparan

pada bagian bawahnya. - telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x

90 μm, bentuknya lebih panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi,

dan tampak sejumlah granula di dalamnya. - telur tanpa korteks (decorticated)

tanpa lapisan yang berbenjol-benjol, dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa

korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat mungkin merupakan artefak.

(Hadidjaja P, 2011).

2.2.5 Tatalaksana Askariasis


2.2.5.1 Antelmintik

Antelmintik adalah obat yang bekerja secara lokal untuk mengeluarkan

cacing dari saluran gastrointestinal ataupun secara sistemik untuk membasmi

cacing dewasa atau bentuk berkembangnya yang menyerang organ dan jaringan

(Tracy dan Webster, 2008:1094). Sistem saraf pada cacing mempunyai perbedaan

yang penting dengan sistem saraf pada vertebrata dan ini membentuk dasar

toksisitas selektif pada sebagian besar obat yang digunakan untuk mengobati

infeksi cacing. Otot nematoda mempunyai sambungan neuromuskular eksitasi

ataupun inhibisi, transmitornya masing-masing adalah asetilkolin (reseptor

nikotinik tipe ganglion) dan asam γ-aminobutirat (GABA) (Neal, 2005:88).

Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga perlu

dilakukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Antelmintik diberikan

secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa antelmintik perlu diberikan

bersama pencahar. Antelmintik baru umumnya lebih aman dan efektif dibandingkan

dengan antelmintik lama, efektif untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak

mengganggu, pemberiannya tidak memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan

secara oral sebagai dosis tunggal (Sukarban dan Santoso, 1995:523). Albendazol atau

pirantel pamoat atau mebendazol adalah obat pilihan untuk pengobatan yang disebabkan

oleh infeksi Ascaris lumbricoides, sedangkan piperazin adalah obat alternatifnya

(Katzung,2010:896).

2.2.5.1.1 Albendazol

Albendazol adalah suatu antelmintik oral berspektrum luas, yang

merupakan obat pilihan untuk askariasis. Albendazol dan metabolitnya,

albendazol sulfoksida, diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis

mikrotubulus dalam nematoda, dan dengan demikian mengurangi ambilan


glukosa secara ireversibel. Akibatnya, parasit-parasit usus dilumpuhkan atau

mati perlahan-lahan. Pembersihan parasit tersebut dari saluran cerna belum

dapat menyeluruh hingga beberapa hari setelah pengobatan. Obat ini juga

memiliki efek larvisid (membunuh larva) serta efek ovisid (membunuh telur)

pada askariasis (Katzung,2004:262).

Albendazol diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan

parasit- parasit intraluminal. Namun untuk penanganan terhadap parasit-parasit

jaringan, obat ini harus diberikan bersama dengan makanan berlemak.

Pengobatan untukorang dewasa dan anak-anak di atas usia dua tahun adalah dosis

tunggal 400 mg secara oral. Dengan mengulang dosis 400 mg/hari dalam 2-3 hari,

angka kesembuhan askariasis akan tinggi. Saat digunakan selama 1-3 hari, albendazol

hampir sepenuhnya bebas dari efek-efek yang tidak diinginkan. Obat ini tidak boleh

digunakan selama masa kehamilan kecuali apabila pengobatan alternatif tidak

tersedia. Selain itu, obat ini juga tidak boleh diberikan pada pasien-pasien yang

memiliki hipersensitivitas terhadap obat-obat benzimidazol lain. Tingkat keamanan

albendazol pada anak-anak di bawah usia dua tahun masih belum ditetapkan. Obat ini

dapat dikontraindikasikan apabila terdapat sirosis (Katzung, 2004:262-265).

2.2.5.1.1.2 Pirantelpamoat

Pirantel pamoat merupakan antelmintik berspektrum luas yang sangat

efektif untuk penanganan askariasis. Pirantel efektif terhadap wujud dewasa

ataupun imatur dari cacing yang rentan dalam saluran intestinal, namun tidak

terhadap tahap perpindahan dalam jaringan ataupun terhadap telur. Obat ini

merupakan agen penghambat neuromuskular yang sifatnya mendepolarisasi,

sehingga menimbulkan pengeluaran asetilkolin dan penghambatan

kolinesterase, hal ini menyebabkan stimulasi reseptor-reseptor ganglionik dan


pelumpuhan cacing-cacing, yang diikuti dengan pembuangan dari saluran

intestinal manusia (Katzung, 2004:286). Karena meningkatnya frekuensi

impuls akibat depolarisasi, cacing akan mati dalam keadaan spastik (Sukarban

dan Santoso, 1995:530).

Pirantel pamoat diberikan dengan atau tanpa makanan dengan dosis

standaradalah11mg(base)/kg(maksimum1g).Piranteldiberikansebagaidosistung

gal, angka kesembuhannya 85-100%. Pengobatan harus dilanjutkan apabila masih

dijumpai telur-telur dua minggu sesudahnya (Katzung, 2004:286-287). Absorpsi

pirantel pamoat melalui usus tidak baik, sifat ini meningkatkan efek selektif pada

cacing. Pengunaan pada wanita hamil dan anak di bawah usia dua tahun tidak

dianjurkan. Pirantel pamoat memiliki mekanisme kerja berlawanan dengan piperazin

maka tidak boleh digunakan secara bersamaan. Pengunaannya harus hati-hati pada

penderita dengan riwayat penyakit hati, karena obat ini dapat meningkatkan SGOT

pada beberapa penderita (Sukarban dan Santoso, 1995:530). Terdapat efek samping

yang timbulnya jarang, ringan, dan sementara. Efek tersebut meliputi rasa mual,

muntah-muntah, diare, kram perut, pusing, berkurangnya kesadaran, sakit kepala,

insomnia, ruam, demam, dan rasa lemah (Katzung, 2004:287).

2.2.5.1.1.3 Piperazin sitrat

Piperazin merupakan obat alternatif dalam pengobatan askariasis,

dengan angka kesembuhan di atas 90%, bila dikonsumsi selama dua hari

(Katzung, 2004:280). Piperazin menyebabkan blokade respons otot cacing

terhadap asetilkolin, sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan

oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan

tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Diduga cara kerja

piperazin pada otot cacing dengan mengganggu permeabilitas membran sel


terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat,

sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai

paralisis (Sukarban dan Santoso, 1995:529).

Dosis yang digunakan adalah 75 mg/kg/hari secara oral (dosis maksimum 3,5

g) selama dua hari sebelum atau sesudah makan. Untuk infeksi berat, pengobatan

harus dilanjutkan untuk 3-4 hari atau diulangi setelah satu minggu. Terdapat efek

ringan yang terjadi sesekali, meliputi mual-mual, muntah-muntah, diare, nyeri perut,

pusing, dan sakit kepala. Piperazin tidak dapat diberikan pada pasien-pasien dengan

kerusakan fungsi ginjal atau hati, atau dengan latar belakang epilepsi atau penyakit

neurologis klinis. Kewaspadaan harus dijaga pada pasien penderita malnutrisi parah

atau anemia, dan boleh diberikan pada wanita hamil hanya bila diindikasikan dengan

jelas dan jika obat alternatif tidak tersedia (Katzung, 2004:281)


BAB III
TINJAUAN KHUSUS
3.1 Identitas Pasien
No MR 3858xx
Nama Pasien An. M
Jenis Kelamin Perempuan
Umur 5 tahun 0 bulan
Agama Islam
Ruangan RPA
Dokter yang merawat dr. fitriana, Sp.A, M. Biomed
Farmasis apt. Wenna Syukri Yenni, S.Farm
Mulai Perawatan 05 November 2021
Keluar RS 11 November 2021

3.2 Riwayat Penyakit


a. Keluhan Utama
 Nyeri perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Demam tinggi yang bersifat naik turun sudah 5 hari dan nyeri perut yang
hilang timbul disertai dengan mual muntah, buang angin, BAB tidak ada
sejak kemarin.
c. Riwayat penyakit terdahulu
 Tidak ada
d. Riwayat penyakit keluarga
 Tidak ada
e. Riwayat alergi
 Tidak ada
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital
Pemeriksaan di IGD
Kesadaran Compos mentis

Keadaan umum Sedang

Tekanan darah -

Nadi 115 x/menit

Pernafasan 27 x/menit

Suhu 40 ̊ C

Glasgow Coma Scale 15

b. Status Generalis
Tanggal Pemeriksaan Fisik Hasil Keterangan
06/11/2021 Kepala Normal
Mata Normal
Wajah Normal
THT Normal
Leher Normal
Dada Normal
Punggung Normal
Abdomen Tidak Normal Kolik abdomen
Urogenital Normal
Ekstermitas atas Normal
Ekstermitas bawah Normal

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Nilai
Tanggal Hasil Keterangan
Kimia Klinik Normal
06 November Hb 11,2 g/dl 12,0-16,0 Normal
g/dl
(5.000-
Leukosit 6440/uL Normal
10.000)
Basofil 0 (0-1) % Normal
Eosinofil 0 (1-3) % Normal
2021 N batang 58% 2-6 Normal
( Pemeriksaa N segmen 50-70 Normal
n hematologi) Limfosit 33% 20-40% Normal
Monosit 9% 2-8% Normal
NLA 1,76 < 3,13 Normal
LA 2125 >1500 Normal
Hematokrit 31%
Trombosit 176.000/uL
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih
1003 -
06 November Bj 1015 Normal
2021 1030
(Pemeriksaa PH 6 4,6 – 8,6 Normal
n urine) Leukosit <5 2 – 4 LPB Normal
Eritrosit <5
Urobilinogen +
Benda keton +
06 November
2021
Rapid test Negatif
(Pemeriksaa
n Imunologi)
07 Cek tubex 6 (Positif)
November Ty O : Negatif
2021
(Pemeriksaa Tes widal
Ty H : Negatif
n Imunologi)

08 November Warna Kuning


2021 Konsistensi Lunak
(Pemeriksaa Leukosit Positif
n Feses) Ascaria Positif

3.5 Diagnosis
Diagnosa utama :
 Demam thypoid
Diagnosa sekunder :
 Ascariasis
3.6 Penatalaksanaan
3.6.1 Terapi di IGD
Nama Obat Jumlah Dosis Frekuensi Cara Pemberian

IVFD KA EN 1 kolf 15 tpm - IV


1B

Paracetamol 1 botol 1 ½ Cth 4x PO


syr
3.6.2 Terapi di Bangsal Anak
Tanggal Pemberian Obat

No NamaDagang/Ge Dosis/ Rute 5/11/2021 6/11/2021 7/11/2021 8/11/2021 9/11/2021 10/11/2021

nerik Frekuensi Rabu


Jum’at (IGD) Sabtu Minggu Senin Selasa

P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M P S Sr M
1 IVFD KaEN 1B 15 tpm IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

2 Paracetamol 4 x 1 ½ cth PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
syrup

3 Ranitidine tablet 2 x 60 mg PO √ √

4 Ranitidine 2 x 15 mg IV √ √ √ √
injeksi
5 Injeksi ceftriaxon 2 x 1200 IV √ √ √ √ √ √ √ √
mg

6 Pirantel pamoat 1 x 150 mg PO √

3.6.3 Terapi Pulang


 Curcuma 2x1
 Vit C 2x1
3.6.3 Terapi diet
 Diet lambung
 Asupan dan pola makan (memberikan makan lunak/ML dan makanan cair / MC mudah cerna dan cukup nutrisi)

3.7 Follow Up
Nama :An. M Diagnosa utama : Demam thypoid Dokter : dr. Fitriyana, Sp.A, M. Biomed
Diagnosis tambahan : Ascariasis

Umur : 5 Tahun 0 Bulan Ruangan : RPA Apoteker : apt. Wenna Syukri Yenni, S.Farm

a. Follow Up pemeriksaan fisik dan Vital sign


Tanggal
Pemeriksaan
06/11/21 07/11/21 08/11/21 09/11/21 10/11/21 11/11/21
Keadaan umum Compos
mentis
Kesadaran Sedang
Motorik
Nadi -
Nafas -
Suhu 36̊,8 C 37̊,9 C 36,3̊ c 35,8̊ C - 35,6̊ C
Tekanan darah - - - - - -

b. Pemeriksaan Labor
Pemeriksaan Tanggal Nilai normal
06/11/21 07/11/21 08/11/21 09/11/21 10/11/21 11/11/21
Hematologi
11,0 g/dL 12,0 – 16,0
Hb 11,2 g/dl g/dL

3540/µL 5000-
Leukosit 6440/uL
10.000/µL
Basofil 0 (0-1) %
Eosinofil 0 (1-3) %
N batang 2-6
58%
N segmen 50-70
Limfosit 33% 20-40%
Monosit 9% 2-8%
NLA 1,76 < 3,13
LA 2125 >1500
Hematokrit 31% 30% 37-43%
Trombosit 176.000/uL 165.000/µL 150 – 400
103/µL

c. Pemeriksaan gejala
Tanggal
Pemeriksaan
06/11/21 07/11/21 08/11/21 09/11/21 10/11/21 11/11/21
Demam Ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Nyeri perut Ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Mual Ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Muntah Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Nafsu makan Tidak ada Tidak Tidak ada Sudah ada Sudah ada Sudah ada

Tanggal S O A P
05  Demam tinggi  Ku = Sedang  Tidak ada DRP  Monitoring suhu
Septemb terus menerus  Kesadaran = CM  Terapi untuk indikasi demam tubuh
er 2021  Nyeri perut  BB = 15 Kg sudah tepat.  Penambahan terapi
(IGD) hilang timbul  HR = 27x/ mnt  Belum ada terapi untuk mual untuk mual
sejak siang  RR = 22X/mnt  Terapi untuk keseimbangan  Monitoring kadar
 Mual  Suhu = 40̊ C cairan sudah tepat. cairan tubuh.
 Buang angin  SPO2 = 97%
 BAB tidak ada
sejak kemarin  Terapi =
 BAK biasa 1. IVFD KA EN
IV 15 tpm
2. PCT tab 250 mg
06 Nov  Nyeri perut  T : 36,8̊ C  Tidak ada DRP  Monitoring suhu tubuh
2021  Demam  Hb : 11,2 g/dL  Terapi untuk indikasi demam  Monitoring gejala
(BANGS  Mual  Leukosit 6440/µL sudah tepat. gastrointestinal.
AL  Bibir pecah  Eosinofil 0%  Terapi untuk mual sudah tepat  Monitoring kadar cairan
ANAK)  Monosit 9%  Terapi untuk keseimbangai cairan tubuh.
 NLA : 1,76 sudah tepat.
 Hematokrit : 31%
 Trombosit :
176000/µL
 Leukosit urin : 2-4
 Urobilinogen : (+)
 Benda keton : (+)

Terapi :
1. IVFD KA EN 1B 15
tpm
2. Paracetamol syr 4x
1 ½ cth
3. Ranitidin 2x60 mg
07  Demam  T : 37,9 C  Tidak ada DRP  Monitoring suhu tubuh.
Novemb  Nyeri Perut  Tubex : 6 (Positif  Terapi untuk indikasi demam  Monitoring gejala
er 2021 thypoid) sudah tepat. gastrointestinal
 Widal test : (-)  Terapi untuk keseimbangai cairan  Monitoring kadar cairan
 Leukosit : 3540/µL sudah tepat. tubuh.
 Hb : 11,0 g/dL
 Hematokrit : 30%
 Trombosit :
165.000/µL

Terapi :
Sama dengan
sebelumnya
(+) Ceftriaxone 1200
mg dalam Nacl 0,9% 50
cc dalam 30 menit

08  T :36,3̊ C
Novemb  Nafsu makan  Cek feses :  Terapi untuk ascariasis sudah tepat  monitoring suhu tubuh
er 2021 sudah ada Ascariasis  Terapi untuk keseimbangai cairan  Monitoring gejala
 Nafsu Minum sudah tepat. gastrointestinal
sudah ada  Monitoring kadar
Terapi : cairan tubuh.
Sama dengan
sebelumnya
(+) Pirantel pamoat 150
mg
(-) Ranitidin tab 2x60
mg di stop
09  T : 35,8̊ C -
Novemb  Nafsu makan Terapi :
er 2021 sudah ada Sama dengan
 Nafsu minum sebelumnya
sudah ada (-) KA EN 1B di stop

10  -
Novemb  Nafsu makan  Terapi :
er 2021 sudah ada Sama dengan
sebelumnya
11  Nafsu makan  T : 35,6̊ C
Novemb sudah ada  Terapi :
er 2021 (+) terapi pulang
3.8 Drug Related Problem

No. Drug TherapyProblem Check Rekomendasi


List

1. Terapi obat yang tidak diperlukan

Terdapat terapi tanpa Pasien telah mendapatkan terapi


indikasi medis - sesuai dengan indikasi medis.

Pasien mendapatkan terapi Pasien tidak mendapatkan terapi


tambahan yang tidak - tambahan.
diperlukan

Pasien masih Pasien tidak memungkinkan


memungkinkan menjalani - menjalani terapi non farmakologi
terapi non farmakologi

Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi

Pasien mendapatkan Tidak ada penanganan, karena


penanganan terhadap efek tidak terjadinya efek samping
samping yang seharusnya -

dapat dicegah

2. Kesalahan obat

Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan obat sudah tepat.

Terdapat kontraindikasi Tidak terdapat kontraindikasi pada


-
terapi obat.

Kondisi pasien tidak dapat - Kondisi pasien dapat disembuhkan


disembuhkan oleh obat dengan obat apabila pasien teratur
minum obat
Obat tidak diindikasikan Semua obat sesuai dengan kondisi
-
untuk kondisi pasien pasien.

Terdapat obat lain yang Obat yang diberikan sudah efektif


-
lebih efektif

3. Dosis tidak tepat

Dosis terlalu rendah - Dosis pada terapi obat sudah tepat.

Dosis terlalu tinggi - Dosis sudah tepat

Frekuensi penggunaan Frekuensi penggunaan obat sudah


-
tidak tepat tepat.

Penyimpanan tidak tepat Penyimpanan sudah tepat karena


disimpan pada suhu ruangan dan

- sudah diberikan informasi pada


saat penyerahan obat kepada
pasien.

Durasi penggunaan tidak Durasi penggunaan obat sudah


-
tepat tepat.

Reaksi yang tidak


diinginkan

4. Obat tidak aman untuk Obat aman untuk pasien karena


pasien pasien tidak ada mengeluhkan
-
tentang reaksi alergi ataupun
adanya efek yang tidak diinginkan.

Terjadi reaksi alergi Tidak terdapat reaksi alergi yang


-
ditunjukkan oleh tubuh pasien.

Terjadi interaksi obat √ Tidak ada interaksi obat

Dosis obat dinaikkan atau Dosis obat sudah tepat


-
diturunkan terlalu cepat

Muncul efek yang tidak - Tidak ada muncul efek yang tidak
diinginkan diinginkan jadi tidak ada
permasalahan.

Administrasi obat yang Administrasi obat sudah tepat.


tidak tepat -

Ketidaksesuaian
kepatuhan pasien

5. Obat tidak tersedia

Pasien tidak mampu Pasien dibantu keluarga untuk


-
menyediakan obat menyediakan semua obat.

Pasien tidak bisa menelan Pasien masih bisa menelan obat


-
atau menggunakan obat dengan baik.

Pasien tidak mengerti Pasien dibantu oleh orang tua


intruksi penggunaan obat dalam meminum obat dan orang
-
tua sudah mengerti dengan cara
penggunaan obat untuk pasien.

Pasien tidak patuh atau Pasien patuh dalam menggunakan


memilih untuk tidak - obat setiap diberikan obat.
menggunakan obat

Pasien membutuhkan
terapi tambahan

6. Terdapat kondisi yang tidak diterapi

Pasien membutuhkan obat Pasien sudah mendapatkan obat


-
lain yang sinergis yang sinergis.

Pasein membutuhkan terapi Tidak ada terapi profilaksis


-
profilaksis
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki berinisial MA berumur 5 tahun masuk ke IGD RSUD

Padang Panjang pada tanggal 05 November 2021 jam 23.26 WIB, dengan keluhan

demam tinggi sudah 5 hari secera terus menerus, nyeri perut hilang timbul sejak

siang, mual, muntah, buang angin ada, BAB tidak ada sejak kemarin, BAK seperti

biasa. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di IGD pada tanggal 05

November 2021 pasien didiagnosa Observasi demam hari ke 5 dan kolik

abdomen.Kemudian pasien mendapatkan perawatan di IGD lalu dilanjutkan


perawatan ke Ruang Perawatan Anak (RPA) pada tanggal 06 November 2021 dan

dilakukan cek labor tubex sehingga terbukti bahwa pasien terdiagnosis Demam

thypoid. Kemudian pada tanggal 8 November 2021 dilakukan cek feses terhadap

pasien dan pasien mendapatkan diagnose tambahan ascariasi.

Terapi obat yang didapatkan pasien adalah IVFD KA EN 1B 15 tpm

(mikro), Paracetamol syr 4 x 1 ½ cth, Ranitidin tab 2 x 60 mg, injeksi ranitidine 2

x 15 mg, injeksi ceftriaxone 2 x 1200 mg, pirantel pamoat 1 x 150 mg, dan

diberikan terapi pulang tanggal 11 November 2021 yaitu curcuma 2 x 1 tab dan

vit c 2 x 50 mg.

Pemberian infus KA EN 1B pada pasien digunakan untuk menggantikan

cairan tubuh yang hilang cairan obat ini diberikan untuk penderita dehidrasi yang

mengalami gangguan elektrolit di dalam tubuh.Pasien juga mendapatkan obat

antibitik berupa injeksi ceftriaxone.Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan

utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan

keadaan bakterimia. Ceftriaxone merupakan antibiotic beta laktam golongan

sefalosporin generasi ke 3 yang berkerja dengan cara menghambat sintesis

dinding sel bakteri yang efektif terhadap bakteri gram negatif seperti Salmonela

thypi. Sedangkan pemberian antipiretik pada demam tifoid bertujuan untuk

menurunkan suhu dari demam hingga suhu normal, antipiretik yang biasa

digunakan pada demam tifoid adalah paracetamol syr 1 ½ cth yang dapat

diberikan 3 - 4 kali dalam sehari.

Paracetamol bekerja pada pusat pengatur suhu dihipotalamus menurunkan

suhu tubuh (antipiretik).Bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga

dapat mengurangi nyeri ringan sedang.Interaksi dari obat paracetamol nyeri


ringan sampai sedang, demam.Efek samping dari obat ini reaksi alergi, ruam kulit

berupa eritema atau urtikaria, kelainan darah, hipotensi dan kerusakan hati.Untuk

menjaga daya tahan tubuh dan merangsang nafsu makan anak maka pasien

diberikan curcuma 2 x1 tab dan vitamic c 2x50 mg secara oral. Dan pasien

diberikan ranitidine untuk mengatasi kejadian mual muntah yang dirasakan oleh

pasien. Kemudian pasien juga mendapatkan terpai pirantel pamoat sebagai terapi

ascariasis, pirantel pamoat dapat memberantas cacing dalam lumen usus atau

jaringan tubuh dengan cara menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan

meningkankan frekuensi implus sehingga cacing mati dalam keadaan spastic.

Menurut IDAI (2013) dosis paracetamol untuk anak adalah Dosis menurut

IDAI untuk anak 1 – 5 th = 120 mg -250 mg dosis dapat diulang setelah 4 – 6

jam.Dosis yang diterima pasien adalah 3 x 1 1/2 mg secara PO sesuai dengan

rekomendasi IDAI (2013). Ranitidin tab menurut IDAI (2013) untuk anak adalah

2-4 mg/kgBB setiap 8-12 jam, Dosis yang diterima pasien adalah 2 x 60 mg = 120

mg secara PO sesuai dengan rekomendasi IDAI (2013). Ranitidin injeksi menurut

IDAI = 1 mg/kgBB sedangkan dosis yang diberikan 2 x 15 mg = 30 mg sesuai

dengan rekomendasi IDAI (2013). Dosis pirantel pamoat menurut IDAI = 10

mg/kgBB dosis tungal sedangkan yang diberikan adalah 150 mg sesuai dengan

rekomendasi IDAI (2013).Ceftriaxon yang diberikan adalah 1 x 1.200mg /hari

telah sesuai dengan dosis menurut IDAI (2013).


BAB V

PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Dari kasus diatas disimpulkan bahwa:
1. Dari hasil diagnosa dokter pasien mengalami penyakit demam thypoid
dan ascariasis.
2. Untuk pemberian terapi obat sudah tepat dengan kondisi dan diagnosa
penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2013.Formularium Spesialitik Ilmu Kesehatan


Anak, IDAI. Jakarta; Indonesia
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009.Pedoman Pelayanan Medis, IDAI. Jakarta;
Indonesia
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016.Buku Saku Dosis Obat Pediatrik, IDAI.
Jakarta; Indonesia

Cita, Yp. 2011. Studi Literatur Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 6 Nomor l. Jakarta: STiKes Istana

Nusantara
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,

Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education

Companies, Inggris.

Dipiro J, et al. 2008. Handbook Pharmacotherapy Seventh Edition: Enteric fever.

P1864.

Grouzard, V., Rigal J., and Sutton M. 2016. Clinical guidelines – Diagnosisand

Treatment Manual. Paris: Medecins Sans Frontieres.

Handayani. 2017. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Penyakit Demam Tifoid di

Ruang Rawat Inap Anak RSUD Dr.Soekardjo Tasikmalaya. Jurnal Stikes

PHI, 4(12).

. Hadidjaja P, Margono SS, ed. Dasar parasitologi klinik. 1 st edition.Jakarta :

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.

Indayani, S, N., Susilowati, Lestari, R,S., 2015. Pengaruh Pemberian


Deksametason Terhadap Kerusakan Hepar Tikus Jantan (Rattus
novergicus) Galur Wistar. Jurnal Universitas Negeri Malang. FMIPA.
Biologi.
Idrus H.H., 2020. Buku Demam Tifoid. Makassar: Universitas Muslim Indonesia

John

DT,PetriWA,MarkellEK,VogeM.MarkellandVoge’smedicalparasitology.

Missouri:ElsevierHealthSciences;2006.p.262-7,270-5,

Katzung, G.B., Masters, B.S., dan TrevorJ.A. 2013. Farmakologi Dasar dan

Klinik, Ed.12 Vol.2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Nelwan RHH, 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jurnal Continuing

Medical Education Volume 39 Nomor 4.Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta.


PERKI, 2015.Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular

Edisi Pertama. Jakarta

Paul, K, U. 2017. Typhoid Fever. International Journal of Advance in Medicine.

ISSN 2349-3925.

Rahmad W., Akune K., & Sabir M., 2019. Demam Tifoid dengan Komplikasi

Sepsis: Pengertian, Epidemiologi, Patogenesis, dan Sebuah Laporan

Kasus. Jurnal Medical Profession (MedPro) Volume 3 Nomor 3.

Rampengan, N.H. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada

Anak. Sari Pediatri Local Journal, 14(5): 271-6.

Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab

Demam Tifoid terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran,

6(1).

Tandi, Joni. 2017 Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam

Tifoid di Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah Pharmacon,

6(4). ISSN 2302 – 2493.

Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for

the Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of

Physicians of India, 63.


Lampiran. Perhitungan Dosis

1) Perhitungan Dosis IVFD KA EN 1B

volume sediaan X faktor tetes


Jumlahtetes per menit=
waktu ( jam ) X 60 menit

500 mL X 20 tetes /mL


15 tetes per menit=
waktu ( jam ) X 60 menit

10.000 tetes
waktu ( jam )=
15 tetes per menit X 60 menit

10.000 tetes
waktu ( jam)=
900 tetes

waktu ( jam )=11 jam


2) Perhitungan Dosis Paracetamol syr

Dosis menurut IDAI untuk anak 1 – 5 th = 120 mg -250 mg diulang setelah 4

– 6 jam.

Dosis yang diberikan = 1 ½ sendok

Paracetamol syr 5 ml mengandung 125 mg

X
125 mL
dosis pct= = 1
5 mL 7,5 mg(1 sendok )
2

937,5 mg/mL
X=
5 mL

X =187,5 mg

1 kali pakai = 187,5 mg

1 hari pakai = 4 x 187,5 mg = 750 mg

Jadi, dosis pct untuk 1 kali minum = 187,5 mg (dosis sudah tepat)

3) Ranitidin tab

Dosis menurut IDAI = 2-4 mg/kgBB setiap 8-12 jam

1 kali pakai = 2-4 mg/kgBB x 15 Kg = 30 – 60 mg

1 hari pakai = 30 – 60 mg x 2 = 60 mg – 120 mg

Dosis yang diberikan 2 x 60 mg = 120 mg (dosis sudah tepat)

4) Ranitidin injeksi

Dosis menurut IDAI = 1 mg/kgBB

1 kali pakai = 1 mg/kgBB x 15 mg = 15 mg/kgBB

1 hari pakai = 15 mg/kgBB x 2 = 30 mg

Dosis yang diberikan 2 x 15 mg = 30 mg (dosis sudah tepat)

5) Ceftriaxone injeksi

Dosis menurut IDAI = 20-50 mg/kgBB/hari sampai 80 mg/kgBB/hari


 20 – 50 mg/kgBB – 80 mg/kgBB/hari x 15 kg

 300 – 750 mg/hari – 1.200 mg/hari

Dosis yang diberikan adalah 1 x 1.200 mg/hari (dosis sudah tepat)

6) Pirantel pamoat

Dosis menurut IDAI = 10 mg/kgBB dosis tungal

1 kali pakai = 10 mg/kgBB x 15 kg = 150 kg

Dosis yang diberikan 150 mg (dosis sudah tepat)

7) Vitamin c

Dosis menurut Farmakope ed III = 30 – 40 mg/sekali pakai dan 200 – 300

mg/ hari pakai

Dosis yang di berikan 2 x 50 mg (dosis terlalu tinggi)

Anda mungkin juga menyukai