Anda di halaman 1dari 9

III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Effectiveness of Sialang Forest Honey in Maleisation of the Platy Pedang


Fish (Xiphophorus sp.)
Persentase keberhasilan maleisasi bervariasi antar perlakuan. Persentase
tertinggi (72,05%) diperoleh pada waktu perendaman 12 jam. Persentase yang
diperoleh untuk perlakuan perendaman 14 dan 10 jam adalah 69,55% dan
63,43%, masing-masing. Persentase yang dihasilkan oleh kontrol adalah 58,33% .
Hasil ANOVA diperoleh Fhitung (0,02) < Ftabel (4,75) pada taraf 95%.
Persentase kelangsungan hidup tertinggi adalah 87% dan ditemukan pada
perlakuan perendaman 12 jam. Persentase tertinggi kedua adalah 85,16% yang
diperoleh dari perlakuan perendaman 10 jam. Pada perlakuan kontrol, persentase
batas sebesar 72,22%, dan persentase kelangsungan hidup terendah (66,67%)
terdapat pada perlakuan perendaman 14 jam.
Faktor genetik yang mempengaruhi arah diferensiasi jenis kelamin antara
lain sistem hormonal (endokrin) dan aksi gen pada kromosom dan autosom.
Pengaruh lingkungan meliputi penambahan bahan tertentu, seperti hormon dan
bahan kimia serta kondisi fisik-kimiawi media pemeliharaan ikan selama masa
labil genital. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan 5 mL L-1sialang
madu hutan dan waktu perendaman yang berbeda (10, 12 dan 14 jam) dapat
meningkatkan persentase Platy Pedang maleisasi ikan, dan setiap perlakuan
menghasilkan hasil yang berbeda. Selain madu, potasium dapat digunakan untuk
mengubah ikan betina menjadi jantan kalium mengubah lemak menjadi
prenegnelon, yang mengubah estrogen menjadi progesterone.
Sialang madu menghasilkan persentase jantan yang lebih tinggi daripada
persentase pada kontrol (dari 59,32% menjadi 63,43%-72,05%). Persentase
keberhasilan maleisasi tertinggi (72,05%) ditemukan pada perlakuan 12 jam.
Perlakuan perendaman 14 jam dalam penelitian ini diperoleh persentase 69,55%.
Hasil ini mungkin karena waktu perendaman yang lama. Dosis yang diberikan
tidak diharapkan sesuai dengan lama perendaman sehingga menyebabkan ikan
menjadi stress. Kondisi ini mempengaruhi proses difusi dalam tubuh ikan
sehingga menurunkan persentase maleisasi pada perlakuan P3. Pada perlakuan
perendaman 10 jam persentase yang dihasilkan sebesar 63,43%, lebih rendah
dibandingkan dengan waktu perendaman 12 jam.
Waktu perendaman sangat singkat untuk difusi madu ke dalamPlaty
Pedang larva harus diselesaikan. Namun persentase keberhasilan seks pria masih
rendah dibandingkan dengan perlakuan perendaman 12 jam. Selain itu, perlakuan
kontrol diperoleh 58,33%. Larva ikan tidak diberi perlakuan apapun, sehingga
memungkinkan perkembangan kelamin terjadi secara alami. Lama waktu
perendaman sangat mempengaruhi sex reversal ikan waktu perendaman yang
singkat akan membahayakan proses mengarahkan perubahan jenis kelamin. Dosis
biasanya dikaitkan dengan lamanya pengobatan. Dosis tinggi biasanya diberikan
dalam waktu singkat, sedangkan dosis rendah diberikan dalam waktu lama.
Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan perendaman 12 jam lebih
tinggi (87,00%) dibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan
lainnya. Tingkat kelangsungan hidup terendah diperoleh pada kelompok
perendaman 14 jam. Temuan ini menunjukkan bahwa waktu perendaman yang
lama cenderung mengurangi kelangsungan hidup ikan Platy Pedang ikan.

3.2 Effect of Immersion and Its Duration in Honneybee on Masculinization of


Oreochromis Niloticus Larvae’s
Hasil pengujian memperlihatkan variasi pada rasio kelamin jantan
berdasarkan perlakuan dengan kisaran 68,3% dan 80%. Rasio kelamin jantan
tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan ke-4 (lama perendaman 20 jam)
sebesar 80% sedangkan rasio kelamin jantan terrendah pada kelompok perlakuan
ke-1 dan ke-2 (lama perendaman 5 jam dan 10 jam) sebesar 68,3%. Hasil
diperoleh melalui falidasi jenis kelamin dengan pewarnaan asetokarmin pada
gonad larva ikan nila yang diamati.
Data rasio kelamin jantan yang dihasilkan menunjukkan adanya
keterkaitan antara lama perendaman dan rasio kelamin jantan. Dapat dilihat
bahwa perlakuan dengan lama perendaman 20 jam memberikan nilai tertinggi
dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain. Rasio kelamin jantan yang
diperoleh dipengaruhi oleh lama waktu perendaman yang dilakukan, dimana lama
waktu perendaman berkorelasi positif dengan rasio kelamin jantan yang
dihasilkan.
Dari hasil yang diperoleh juga dapat dilihat bahwa waktu perendaman 5
jam dan 10 jam memberikan rasio yang sama, kedua penulis menjelaskan bahwa
hal ini berkaitan dengan kempuaan senyawa yang diberikan untuk mencapai organ
target dan masa labil proses penentuan jenis kelamin. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa perendaman larva ikan untuk teknik maskulinisasi akan
memberikan hasil yang efektif apabila dilakukan selama masa labil penentuan
jenis kelamin pada ikan dengan rasio kelamin jantan mencapai 90%. Pada
penelitian yang dilakukan, waktu perendaman terlama yang dilakukan adalah 20
jam dengan hasil sebesar 80%.
Hasil memperlihatkan kisaran parameter kualitas air pH berada pada
kisaran 6,5 – 7 dan suhu dengan kisaran 26 – 27 ºC yang dapat dikatakan masih
stabil dan menunjang kehidupan ikan nila. pH di perairan biasanya dipengaruhi
oleh kandungan oksigen terlarut, jika oksigen terlaraut stabil maka pH juga akan
stabil. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Azhari & Tomasoa
(2018) membudidayakan ikan nila kisaran pH yaitu 6 – 7, namun ikan nila
mengalami pertumbuhan optimal pada kisaran pH 7 – 8.

3.3 Masculinization of Bett Fish (Betta Splendes) Larva Using Different Types
of Honey
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian, dari ketiga populasi dan kontrol
tersebut, dapat diindikasikan bahwa persentase nisbah kelamin jantan pada
populasi penggunaan larutan madu hutan menunjukan hasil yang optimum yakni
97% jika dibandingkan dengan dengan populasi pada perendaman larutan madu
ternak, larutan madu propolis dan kontrol yang memiliki hasil persentase
berturutturut 63%, 90% dan 29%.
Berdasarkan hasil pada indeks maskulinisasi larva ikan cupang, diduga
pengaruh perendaman menggunakan jenis madu berbeda diduga berpengaruh
terhadap maskulinisasi larva ikan cupang. Pada Gambar 2 menunjukan nilai
persentasi indeks maskulinisasi larva ikan cupang yang optimum terdapat pada
populasi madu hutan yakni sebesar 38,65%. Sedangkan pada populasi madu
ternak dan madu propolis, nilai persentasi indeks maskulinisasi berturut-turut
sebesar 25,17% dan 36,15%.
Hasil ini diduga bahwa kadar kalium dan total flavonoid pada madu hutan
dan madu ternak dapat mengubah jenis kelamin larva ikan cupang dibandingkan
perlakuan kontrol atau tanpa perlakuan. Sedangkan pada madu propolis komposisi
kimianya yang meliputi komponen resin yang memiliki flavonoid serta komponen
lainnya yang terdapat didalam madu propolis tersebut, diduga dapat mengubah
kelamin larva ikan cupang dibandingkan populasi kontrol atau tanpa penggunaan
larutan madu.
Kelangsungan hidup larva ikan cupang setelah perendaman pada
penelitian ini menunjukan rata-rata nilai persentase sebesar 100%. Hasil ini
cenderung lebih optimum jika dibandingkan dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan Siregar dkk, 2018 dalam penelitiannya
menghasilkan persentase kelangsungan hidup larva ikan cupang dengan rata-rata
kisaran antara 81,1%- 98,8% pasca perlakuan perendaman menggunakan madu.
Berbanding terbalik dengan nilai persentase kelangsungan hidup larva ikan
cupang setelah perendaman, nilai persentase kelangsungan hidup larva ikan
cupang pada akhir pemeliharaan (60 hari) menunjukan hasil yang kurang
optimum.
Pada populasi madu hutan, madu ternak, madu propolis dan kontrol
berturut-turut adalah 28%, 16%, 24%, dan 23%. Nilai persentase kelangsungan
hidup larva ikan cupang akhir pada penelitan ini kurang optimum, diduga karena
cara pemeliharaan atau perawatannya yang juga belum optimum. Hal ini
didukung oleh pernyataan Fariz, 2014 yang menyatakan bahwa semakin baik
teknik pemeliharaan maka akan semakin baik juga kelangsungan hidupnya.

3.4 Efektivitas Perendaman Madu Dengan Suhu Berbeda Terhadap


Maskulinisasi Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, setelah diamati larva
yang telah berumur 17 hari dengan menggunakan teknik pewarnaan asetokarmin
setelah menetas, dapat dibedakan antara gonad jantan dan gonad betina. Dari hasil
pewarnaan asetokarmin terhadap larva ikan. Larva ikan berkelamin jantan
ditandai dengan gonad yang berstruktur germinal cyst. Dimana bentuknya
menyerupai spermatosit dan spermatid. Sedangkan larva ikan betina ditandai
dengan adanya oogonium dan perinuklear.
Dalam melakukan percobaan nisbah kelamin tingkat keberhasilannya
dipengaruhi oleh perendaman pada fase larva. Setelah dijumlahkan dan
ditabulansi diperoleh jumah kelamin jantan pada kelompok berkisar anatar 73,3 –
86,7%. Pada perendaman madu dengan di kombinasikan pada suhu 32 ºC
memperoleh hasil tertinggi sedangkan saat perendaman madu dengan di
kombinasikan pada suhu 26 ºC diperoleh hasil terendah dengan persentase
sintasan hidup sebesar 100 % selama masa percobaan.
Menurut Kambu et al. (2019) terhadap jantanitas ikan nila merah pada
suhu 32 °C dengan konsentrasi propolis 0,1 dan 0,075 mL/L selama 10 jam
mendapatkan persentase jantan antara 79,63-85,61%, rendahnya persentase
tersebut diduga akibat rendahnya dosis hormon yang diberikan, sementara pada
penelitian ini dosis madu yang diberikan optimal yaitu 15 mL/L, di dalam madu
tersebut ada kandungan kalium dan chrysin yang masuk ke dalam tubuh ikan
melalui difusi pada saat perendaman.
Chrysin memiliki peranan dalam mencegah aktivitas aromatase yang
memiliki dampak pada banykanya kandungan testosterone dari hormon estradiol
di dalam ikan. Sedangkan kalium pada perlakuan sex reversal memiliki peranan
untuk mengatur regulasi kandungan hormone testeron yang ada pada tubuh serta
mengarahkan dan mengontrol kerja andirogen.
Pada penelitian ini digunakan suhu yaitu 26, 28, 30, dan 32 ºC. pada
kondisi suhu air yang tinggi akan mengakibatkan ikan mengalami abnormalitas.
Dimana jumlah eritrosit meningkat. Dan kenaikan suhu yang tinggi juga dapat
menyebabkan proses penyerapan oksigen oleh eritrosit meningkat banyak.
Peningkatan kadar eritrosit akan membuat tubuh ikan mengakibatkan ikan
melakukan kompensasi kekurangan oksigen dan kondisi ini dapat mengurangi
kondisi stress. Namun pada penelitian ini menunjukan hasil yang sebaliknya,
karena sebab kelulusan larva ikan sebesar 100 % hal ini menunjukkan bahwa
larva ikan nila tidak mengalmi abnormalitas.
Factor lingkungan seperti suhu sangat mempengaruhi proses metabolisme
yang terjadi di dalam tubuh termasuk proses penentuan jenis kelamin. Hasil di
atas dapat dilihat bahwa rasio kelamin jantan yang di peroleh berkorelasi positif
dengan perlakuan suhu yang diberikan pada saat perlakuan. Suhu tinggi mampu
meningkatkan rasio kelamin jantan.
Pemeliharaan larva ikan pada suhu 35°C-37°C dapat meningkatkan rasio
kelamin jantan hingga >90%. Ikan nila merupakan ikan yang tergolong thermo-
sensitive yang berarti bahwa proses penentuan jenis kelamin sangat dipengaruhi
oleh suhu. Hasil pengukuran suhu dan pH media pemeliharaan selama masa
percobaan, dengan rata-rata suhu sebesar 26 °C dan rata-rata pH sebesar 6-7
menunjukan bahwa suhu dan pH berada dalam kisaran normal untuk penentuan
jenis kelamin.
Suhu sangat mempengaruhi kedua proses utama dalam penentuan jenis
kelamin pada ikan yaitu diferensiasi dan determinasi kelamin melalui dua cara
yaitu mempengaruhi aktifitas hormonal dan proses perkembangan jaringan bakal
gonad. Suhu lingkungan sebagai faktor eksternal berperan pada diferensiasi
kelamin hal ini juga disebabkan karena ikan nila bersifat termosensitif. Sehingga
semakin tinggi suhu makan rasio kelamin ikan jantan semakin tinggi. Dari
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan suhu tinggi selama masa
labil perkembangan gonad dapat mempengaruhi rasio kelamin jantan pada teknik
maskulinisasi dengan menggunakan madu.

3.5 Masculinization of Rainbow Fish (Melanotaenia boesemani) Through


Immersion the Larvae With Extract Of Bee Honey Resin as a Natural
Substance with Different Doses
Identifikasi gonad dilakukan dengan menggunakan larutan asetokarmin
sebagai penunjang. Fungsi utama asetokarmin adalah sebagai pewarna. Pada
gonad jantan ditandai dengan adanya gelembung yang sangat kecil dan halus dan
biasanya berwarna kekuningan yang diidentifikasi sebagai kepala sperma, dan
gonad betina ditandai dengan adanya gelembung putih bening agak berongga
dengan identifikasi kecil sebagai inti telur di tengah. Dalam menentukan jenis
kelamin ikan atau gonad, M. boesemani dapat dilakukan dengan pewarnaan
asetokarmin.
Parameter penelitian yang dilakukan untuk menentukan persentase jantan
yang berasal dari perendaman larva selama 12 jam dengan dosis yang berbeda
menggunakan ekstrak resin lebah madu (Propolis). Untuk setiap treatment yang
diberikan, nilai pada efek maskulin yang ditimbulkan. Efek populasi jantan
meningkat bila diberi dosis ekstrak getah lebah madu sebanyak 1 ppm. Dari
perendaman larva ikan rainbow boesemani dengan dosis 1 ppm dengan lama
waktu 12 jam memberikan hasil terbaik terhadap efek populasi jantan.
Efek maskulinisasi lebih besar dosis 1 ppm dapat terjadi karena ekstrak
getah lebah madu dapat memberikan kadar penghambat aromatase yang justru
sangat lambat bahkan menghambat kinerja ikan dalam mensekresi enzim
aromatase yang merupakan katalisator dalam pembentukan gonad betina.
Aktivitas aromatase secara fisik dan kimia dapat menghambat pertumbuhan ikan
dan menimbulkan efek maskulin yang sama seperti yang ditimbulkan oleh
androgen pada beberapa spesies.
Berdasarkan penelitian ini dilakukan perhitungan tingkat kelangsungan
hidup untuk mengetahui perlakuan dengan pemberian ekstrak madu (Propolis)
dengan dosis berbeda yang diberikan. M. boesemani larva ikan selama 28 hari
dimulai. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah pada disebabkan karena terlalu
banyak pemberian ekstrak madu lebah sehingga dapat mempengaruhi aktivitas
normal metabolisme organisme. Hal itu juga pada akhirnya bisa menyebabkan
kematian.
Factor internal dan eksternal mempengaruhi pertumbuhan ikan. Faktor
internal meliputi jenis kelamin dan genetik. Sedangkan faktor eksternal meliputi
yaitu pakan dan factor lingkungan yang meliputi suhu, oksigen terlarut dan pH.
Selain itu, jumlah ikan selama melakukan pemeliharaan juga mempengaruhi
pertumbuhan ikan.
Kualitas air merupakan faktor penting dalam melakukan kegiatan
budidaya karena kualitas air seperti suhu, pH dan oksigen terlarut dapat
mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh organisme perairan. Dari data
oksigen terlarut atau DO pada pagi hari berkisar antara 5,38 – 8,43 ppm, dan pada
siang hari berkisar antara 5,12 – 7,87 ppm.
Oksigen terlarut (DO) terbaik untuk pertumbuhan Rainbow Boesemani
(M. boesemani) larva ikan > 4 mg/l. Untuk nilai-nilai pengukuran pH terlihat
bahwa perbedaan pH pagi dan siang tidak terlalu rentan terhadap perbedaan nilai,
yaitu pH pada pagi hari berkisar antara 6,5 – 7,8 dan pada siang hari berkisar
antara 6,1 – 7,3. pH yang baik untuk larva ikan berkisar antara 6 sampai 8 tetapi
pH lebih baik sedikit basa (dimana nilainya di atas 7). Nilai pH yang terlalu
rendah dalam keadaan asam menyebabkan nafsu makan ikan menurun dan dapat
mempengaruhi racun bagi kelangsungan hidup ikan. Hasil kisaran kualitas air di
atas masih dalam batas wajar yang dapat ditoleransi untuk mendukung
pertumbuhan larva ikan Rainbow Boesemani

Anda mungkin juga menyukai