Anda di halaman 1dari 41

NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA ASING

PUPUT RAHMAWATI, S.Pd


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah swt yang


telah melimpahkan rahmad dan hidayahNya, sehingga buku pengayaan ini
dapat terselesaikan. Dan salawat dan salam selalu tercurah bagi junjungan
Muhammad saw.
Buku pengayaan yang berjudul NASIONALISME DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA JERMAN mendeskripsikan tentang
pembelajaran bahasa asing yang di selipkan pembelajaran nasionalisme.
Keberhasilan penulisan buku ini tidaklah lepas dari bantuan berbagai
pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wilayah
Kabupaten Situbondo
2. Dra. Hj. Kumudawati, M.Pd selaku Kepala SMKN 1 Panji Situbondo
3. Semua Bapak / Ibu guru SMKN 1 Panji Situbondo .
4. Semua siswa siswi SMKN 1 Panji Situbondo.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang juga telah
membantu hingga terselesainya laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan buku ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
sekiranya dapat menyempurnakan Buku ini. Semoga penulisan laporan
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Situbondo, 08 Agustus 2017


Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................I


Kata Pengantar .................................................................................................2
Daftar Isi ............................................................................................................3
BAB I Nasionalisme ......................................................................................4
BAB II Pengaruh Bahasa Asing terhadap Nasionalisme..........................10
BAB III Nilai Nasionalisme dalam Pembelajaran Bahasa Asing.............21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................39

3
BAB I

NASIONALISM

1. Pendidikan Karakter
Akhir – akhir ini, berita di media Televisi, Koran ataupun media
sosial kita sering menemui fenomena remaja yang mengalami degradasi
moral seperti tawuran antar remaja, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat
obatan terlarang, bullying, dan lain sebagainya. Remaja saat ini seringkali
lebih mengedepankan otot atau emosi daripada otak. Hal ini menjadi
masalah bagi dunia pendidikan di Indonesia. Karena masalah – masalah
tersebut terjadi pada generasi penerus bangsa. Sehingga di dalam dunia
pendidikan tidak hanya dibutuhkan materi akademik saja tapi juga
dibutuhkan materi pendidikan Karakter.
Pendidikan karakter (character education) dengan keadaan sekarang
sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di
negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan
bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan
terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi
masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh
karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.
Sebelum membahasa tentang pendidikan karakter, pengertian
karakter dari beberapa ahli (dari berbagai sumber) yang pertama menurut
Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap
moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga
komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baik didukung oleh
pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
melakukan perbuatan kebaikan.

4
Bagan dibawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga kerangka
pikir ini.

Gambar: Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka


pembentukan
Karakter yang baik menurut Lickona
 Pengertian pendidikan karakter menurut beberapa ahli lannya, anatara
lain : Pendidikan Karakter Menurut Suyanto (2009) mendefinisikan
karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
 Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri
khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau
individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana
seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya,
2010).

5
 Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik
tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan
dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
Dari beberapa pengertian pendidikan karakter dapat disimpulkan
beberapa nilai – nilai pendidikan karakter, yaitu ada 18 butir nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja
Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat
Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi,
Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli
lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam
rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk
kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat
secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the
deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development
(usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan
sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara
optimal.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar
tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang
sesuai adalah metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode
pujian dan hukuman.
Untuk mengatasi permasalahan di dunia pendidikan yang
berkaitan dengan karakter, maka Pemerintah melalui permendikbud no. 23
tahun 2017 tentang hari sekolah merupakan upaya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melaksanakan
program penguatan karakter (PPK). Dan kabarnya permendikbud tersebut
akan berubah menjadi Perpres.

6
Penerapan PPK diharapkan mendorong sekolah menjadi tempat
yang menyenangkan bagi siswa untuk belajar dan mengembangkan diri.
Pengoptimalan beraneka sumber-sumber belajar menjadi salah satu pokok
penting penerapan PPK. Siswa tidak harus belajar di dalam kelas, namun
dapat belajar di luar kelas maupun di luar sekolah.
Penguatan Pendidikan Karakter merupakan amanat nawacita yang
bertujuan untuk menyiapkan generasi emas 2045. Lima nilai karakter
utama yang menjadi target penguatan adalah religius, nasionalis, mandiri,
gotong royong, dan integritas.

2. Karakter Nasionalisme
Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Sangat
lah beruntung dengan penggunaan bahasa Indonesia karenanya warga
dari Aceh di ujung barat dan warga Papua di ujung timur dapat berbicara
dengan bahasa yang sama.
Akhir – akhir ini terdapat fenomena a global networking society yang
difasilitasi dengan internet, komunikasi bisnis, dan keilmuan lintas bangsa
dan negara yang semakin intens sehingga peran bahasa Inggris semakin
menguat sebagai bahasa dunia. Berbagai seminar dan forum keilmuan
internasional menggunakan bahasa Inggris. Begitu pun dalam bisnis.
Ditambah lagi muncul generasi baru dari keluarga menengah atas
yang sekolahnya di luar negeri, dan ketika kembali ke Indonesia rekan-
rekan bisnisnya kebanyakan orang asing serta teman-teman sekolahnya di
luar. Maka praktis setiap hari mereka lebih banyak berbicara dalam
bahasa Inggris.
Belum lagi timbul pertanyaan bagaimana dengan masyarakat di desa,
mereka sehari – hari untuk berkomunikasi juga menggunakan bahasa
daerah. Apakah mereka juga kurang nasionalis?
Untuk mengatasi permasalahan bahasa di atas, menurut Kommarudin
hidayat (

7
https://nasional.sindonews.com/read/1178519/18/nasionalisme-bahasa-
1486645658 diakses tanggal 29 Agustus 2017) sikap yang paling penting
adalah sikap patriotisme, sikap membela kepentingan bangsa. Walaupun
setiap hari bekerja di Indonesia dan berbicara bahasa Indonesia, namun
apabila dalam bekerja merugikan negara, itu termasuk bertentang dengan
semangat nasionalisme dan patriotisme.
Pengertian Nasionalisme menurut KKBBI, Nasionalisme adalah paham
(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Dari sumber lain
menyebutkan, Nasionalisme adalah suatu paham yang sama dan mampu
menciptakan serta mebentuk kedaulatan dalam sebuah negara, dengan
mempertahankan dan mewujudkan suatu konsep indentitas miik bersama
dari sekelompok manusia yang memiliki tujuan, visi, cita-cita yang sama
demi mewujudkan kepentingan nasional, serta nasionalisme juga dapat
diartikan sebagai rasa yang ingin mempertahankan negaranya baik itu
dari sisi luar maupun dalam. Dari beberapa pengertian tersebut adapun
ciri – ciri Nasionalisme, yang telah terdapat dalam Pancasila pada sila ke 3
yaitu, “Persatuan Indonesia”, antara lain :
- Mencintai bangsa dan tanah air Indonesia.
- Rela berkorban demi bangsa dan negara.
- Bangga berbangsa dan bertanah air Indonesia.
- Menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan
pribadi dan golongan.
Sedangakan Tujuan Nasionalisme, yaitu :
1. Memberikan jaminan terhadap kemauan dan kekuatan dalam
mempertahankan masyarakat nasional untuk melawan musuh dari
luar negara sehingga menciptakan semangat rela berkorban demi
membela bangsa dan negaranya.
2. Untuk menghilangkan tuntutan yang berlebih dari suatu warga
negara entah itu dari individu maupun kelompok.
3. Untuk menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air.

8
4. Membentuk bubungan yang rukun, harmonis, sejahterah, dan
untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama.
Kemudian, nasionalisme juga memiliki macam-macam bentuk yang mana
bentuk nasionalisme ini ada 6 yaitu: nasionalisme kewarganegaraan, etnis,
Indentitas, budaya, kenegaraan, dan agama.
Dari penjelasan diatas penggunaan bahasa merupakan salah satu wujud
dari bentuk nasionalisme budaya dan identitas. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang mempunyai karakter. Memupuk karakter lewat bahasa
sangat strategis karena bahasa sebagai media sangat memberikan respon
positif terhadap pemakai bahasa tersebut

9
BAB II
PENGARUH BAHASA ASING

TERHADAP NASIONALISME

I. BAHASA

Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli


 Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3)Bahasa pada hakikatnya
adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang
mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
 Pengertian Bahasa menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009:
126) bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari
penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan.
 Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi,
2002: 88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk
bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk
percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian bahasa tersebut maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian bahasa adalah sistem yang teratur berupa
lambang-lambang bunyi yang digunakan untuk mengekspresikan
perasaan dan pikiran bahasa tersebut.

Keberagaman bahasa di dunia maupun yang ada di Indonesia tak


lepas dari bangsa yang menggunakan. Karena bahasa sangat terkait
dengan kepribadian bangsa sekaligus sebagai wujud keunggulan
komunikasi. Apabila bahasa menjadi bagian dari karakter bangsa maka
sebenarnya juga sebagai ciri nasionalisme artinya menggunakan bahasa

10
yang baik dan benar untuk berkomunikasi adalah bentuk kuatnya
karakter si pengguna bahasa tersebut otomatis akan kuat karakter
nasionalismenya.

II. Bahasa dan Nasionalisme


Bahasa berfungsi sebagai sarana pikir, ekspresi, dan sarana
komunikasi. Bahasa sebagai sarana pikir dimana bahasa dapat menuntun
masyarakat untuk bertindak tertib dan santun, karena bahasa menuntun
pemakainya. Bahasa sebagai sarana ekspresi, bahasa membawa
penggunanya kepada suasana kreatif, karena bahasa sebagai sarana
pengungkap pikiran tentang ilmu, teknologi, dan seni yang dapat
membentuk kecerdasan. Bahasa sebagai sarana komunikasi, bahwa bahasa
menciptakan suasana keakraban dan kebersamaan yang pada akhirnya
memupuk rasa kekeluargaan dalam masyarakat. Maka, bahasa membentuk
pola pikir, perilaku, kreativitas, dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan. Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berkomunikasi
ataupun dalam berinteraksi dengan orang lain kita menggunakan bahasa
Indonesia. Dalam media cetak dan media elektronik, seperti Koran,
majalah, televisi dan radio juga menggunakan bahasa. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kita tidak pernah terlepas dari penggunaan bahasa
karena segala aspek dalam kehidupan kita selalu berhubungan dengan
penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam situasi formal dan tidak formal
(Simanjuntak, 2011).
Jika nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang berkaitan
dengan menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa
(dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu kesatuan
konsep identitas bersama, di manakah letak hubungan antara nasionalisme
dan bahasa? Benarkah sikap nasionalisme ditandai dengan kecintaan pada
bahasa bangsanya? Benarkah dari ungkapan “bahasa menunjukkan
bangsa” kita dapat menemukan signifikansi yang relevan antara
nasionalisme dan bahasa? Jika sebuah bahasa menandai suatu bangsa dan

11
adanya bahasa karena bangsa itu memakainya, antara bangsa dan bahasa
itu terdapat hubungan yang saling menentukan. Namun, masalahnya,
fakta sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa mempunyai
satu bahasa kesatuan yang “menunjukkan bangsa” itu. Ada bangsa yang
menggunakan beberapa bahasa. Sementara itu, ada pula beberapa bangsa
yang mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasionalnya, tetapi bahasa itu
bukan miliknya—bukan berasal dari bahasa yang ada dalam masyarakat
bangsa itu. Ada juga bangsa yang memakai satu bahasa sebagai alat
komunikasi resmi, tetapi bahasa resmi itu pun digunakan oleh beberapa
bangsa lainnya. (Harimansyah, 2012)
Bahasa bukanlah hanya sekadar aset semata, tetapi sebagai pondasi
suatu bangsa. Bahasa dipercaya sebagai salah satu pengikat yang dapat
membangun kebersamaan dan nasionalisme suatu kelompok komunitas,
selain elemen ras, dan agama. Tidak seperti yang terjadi di beberapa negara
maju, Bapak pendiri bangsa Indonesia tidak membangun bangsanya di atas
elemen ras, mengingat keanekaragam suku. Beberapa negara maju
membangun nasionalismenya dengan pendekatan ras, seperti politik
apartheid yang menggambarkan dominasi ras kulit putih atas kulit hitam.
Ada juga yang menggeser suku aborigin atau Indian (Arifah, 2014).
Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan
yang sangat erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang
muncul seiring dengan perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena
bahasa daerah dan bahasa Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam
hal berkomunikasi antar masyarakat. Dengan adanya dua bahasa ini
menimbulkan kedwibahasaan di negara Indonesia.
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan
dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada
tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa
Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari
daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan

12
keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan
sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu
mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya yang dari
Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya
kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia
mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan
“mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi
sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan (Rusyana,
2013).
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya
dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini
akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan
kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan
identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau
ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama,
salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka.
Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk
berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih
akrab. Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa
Indonesia yang baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat
(Minangkabau) (Rusyana, 2013).
Berikut beberapa dampak penggunaan bahasa daerah terhadap
bahasa Indonesia. Adapun dampak positif dari bahasa daerah adalah
Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata, sebagai kekayaan budaya
bangsa Indonesia, sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan
daerah dan menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi. Sedangkan
dampak negatif dari bahasa daerah adalah bahasa daerah yang satu sulit
dipahami oleh daerah lain, warga negara asing yang ingin belajar bahasa

13
Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata dan
masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa
daerah dan dapat menimbulkan kesalahpahaman (Rusyana, 2013).

III. Bahasa Asing dan Nasionalisme


Apabila nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang berkaitan
dengan menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah dengan
mewujudkan satu kesatuan konsep identitas bersama, di manakah letak
hubungan antara nasionalisme dan bahasa? Benarkah sikap nasionalisme
ditandai dengan kecintaan pada bahasa bangsanya? Benarkah dari
ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” kita dapat menemukan
signifikansi yang relevan antara nasionalisme dan bahasa? Jika sebuah
bahasa menandai suatu bangsa dan adanya bahasa karena bangsa itu
memakainya, antara bangsa dan bahasa itu terdapat hubungan yang
saling menentukan. Pernyataan itu cocok untuk, misalnya, bangsa Cina
dengan bahasa Cina, bangsa Jepang dengan bahasa Jepang, bangsa Inggris
dengan bahasa Inggris, bangsa Prancis dengan bahasa Prancis, atau
bangsa Jerman dengan bahasa Jerman. Namun, masalahnya, fakta
sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa mempunyai satu
bahasa kesatuan yang “menunjukkan bangsa” itu. Ada bangsa yang
menggunakan beberapa bahasa. Sementara itu, ada pula beberapa bangsa
yang mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasionalnya, tetapi bahasa
itu bukan miliknya—bukan berasal dari bahasa yang ada dalam
masyarakat bangsa itu. Ada juga bangsa yang memakai satu bahasa
sebagai alat komunikasi resmi, tetapi bahasa resmi itu pun digunakan
oleh beberapa bangsa lainnya. Bahasa Jerman tidak hanya digunakan di
negara jerman tapi juga di beberap negara lainnya seperti Swizterland,
Austria, Polandia dan beberapa negara lain khususnya negara yang
berbatasaln langsung dengan Jerman. Begitupun juga Bahasa Inggris,

14
misalnya, selain digunakan oleh bangsa Inggris sendiri, digunakan juga
oleh bangsa Amerika Serikat, Australia, India, Filipina, dan beberapa
bangsa bekas jajahan Inggris sebagai alat penghubung komunikasi di
dalam bangsanya masing-masing.
Adapula beberapa bangsa yang berhasil mengangkat salah satu
bahasa daerahnya menjadi bahasa nasional, seperti ketika Timor Timur
lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka dan pemerintah yang
baru membuat ketentuan mengenai bahasanya. Bab 13 tentang “Bahasa
Resmi dan Bahasa Nasional” Republik Demokratik Timor Timur yang
ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2002 menyebutkan bahwa bahasa
Tetum (salah satu bahasa daerah di Timor Timur) sebagai bahasa
resminya di samping bahasa Portugis. Namun, ada pula beberapa bangsa
yang akhirnya memakai beberapa bahasa meskipun bahasa itu berasal
dari bahasa daerah yang ada dalam bangsa itu sendiri. Di India, meskipun
bahasa nasionalnya bahasa Hindi, ada juga bahasa nasional alternatif,
yaitu bahasa Inggris. Bahasa Hindi ditetapkan sebagai bahasa resmi di
negara bagian Himachal Pradesh, Delhi, Haryana, Uttar Pradesh,
Chandigarh, Bihar, Madhya Pradesh, dan Rajashtan, tetapi kelompok Indo
Arya, seperti Bengali, Gujarati, Marathi, dan Punjabi, bersikeras dengan
bahasanya masing-masing. Kelompok Dravida, seperti Telugu, Tamil, dan
Malayalam, juga bersikeras dengan bahasanya masing-masing. Bahkan,
sebagian besar muslim India setia menggunakan bahasa literer Urdu. Dari
uraian diatas tentang pilihan bahasa dalam suatu bangsa berdasarkan
tdari motivasi beragam kepentingan dan dibuat dalam berbagai format.
“Kebijakan bahasa” secara eksplisit dibuat berdasarkan latar belakang
keanekaan bahasa yang hidup dalam suatu pemerintahan dan bertujuan
mengatur beragam fungsi pemakaian bahasa itu. Masalah fungsi
pemakaian bahasa itu sudah pasti melibatkan masyarakat tuturnya. Hal
itu berarti bukan hanya permasalahan sosiolinguistik saja, melainkan juga
politik. Seringkali karena sedemikian kompleksnya masalah pilihan

15
bahasa itu, pemerintah harus ikut campur menanganinya. Faktor itu
membuat bahasa menjadi objek yang tidak terhindarkan dari aneka
pilihan politis dan juga historisnya (Coulmas 2006:184; Moeliono, 1985:1;
Alwasilah 1993:91). Di bangsa Kanada, karena faktor politis menetapkan
bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa resminya. Hampir 98% orang
Kanada berbicara secara baik dalam Inggris atau Prancis atau keduanya,
meskipun di negara itu ada sembilan bahasa asli, yakni Chipewyan,
Dogrib, Gwich‘in, Inuinnaqtun, Inuktitut, Inuvialuktun, Cree, Slavey
Utara, dan Slavey Selatan. Satu-satunya bahasa penduduk asli yang
dipercaya secara penuh dapat tersokong saat ini ialah Cree (dengan 72.885
penutur bahasa ibu). Bangsa Swiss menggunakan empat bahasa resmi
sekaligus, yakni bahasa Jerman, Prancis, Italia, dan Romans. Kebijakan itu
diambil oleh Pemerintah Swiss dilatarbelakangi posisinya sebagai negara
tujuan wisata utama internasional dan sebagai “negara netral” tempat
negara lain merundingkan masalah internasional, termasuk menjadi tuan
rumah dari banyak organisasi internasional, seperti Palang Merah dan
WTO. Ada juga negara lainnya, yang sampai saat ini juga menggunakan
lebih dari satu bahasa resmi, di Belgia menggunakan dua bahasa resmi,
yaitu bahasa Prancis dan Belanda, karena di dalam negara itu kedua
kelompok penutur bahasa itu cukup kuat mempertahankan bahasanya
masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah Belgia menetapkan bahasa
Belanda (digunakan oleh suku bangsa Flanders sekitar 60% dari jumlah
penduduk) sebagai bahasa resmi negara dan bahasa Prancis (dituturkan
oleh suku bangsa Wallonia) secara turun-temurun. Begitupula negara
Suriname, yang sebagian besar penduduknya menggunakan bahasa jawa
karena nenek moyang mereka yang berasal dari Jawa di Indonesia.
Termasuk warga Indonesia yang tinggal di desa atau daerah terpencil,
mereka sehari – hari lebih sering menggunakan bahasa daerah daripada
bahasa Indonesia, bahkan ada juga warga negara Indonesia di desa atau
daerah terpencil yang tidak menguasai bahasa Indonesia, karena mereka

16
hanya menguasai bahasa daerah masing – masing. Berkaitan dengan fakta
sosiolinguistik tersebut, apakah nasionalisme orang Amerika Serikat,
Kanada, Belgia, Swiss serta Suriname atau warga di daerah terpencil patut
dipertanyakan karena menggunakan bahasa yang “bukan bahasa resmi”
miliknya? Dalam masalah itu, jika nasionalisme dalam arti sempit
dimaknai sebagai kebanggaan terhadap negara, kita tidak berhak menilai
siapa pun atas hal itu. Dalam penggunaan ragam lisan dalam bahasa
Indonesia, apakah karena seorang warga negara Indonesia berbahasa
Indonesia, tetapi berlogat Amerika dan kebetulan “bule” karena berayah
orang Amerika, berarti dia tidak cinta Indonesia? Rasa bangga dan cinta
ada di dalam hati. Bahasa atau logat seseorang dalam berbicara tidak
menunjukkan kadar nasionalisme. Demikian juga bukan suatu jaminan
pasti jika ada orang yang tinggal di wilayah negara Indonesia, berdarah
asli Indonesia, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat
Indonesia asli seratus persen merasa bangga terhadap Indonesia. Dari
aspek bahasa sebagai identitas suatu bangsa, bangsa Indonesia mungkin
lebih mujur daripada Kanada, Belgia, atau India.
Bangsa Indonesia mempunyai bahasa “asli” milik sendiri yang
menunjukkan nasionalisme. Berkat pilihan politis para pemuda dalam
Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
mengikrarkan Sumpah Pemuda, Indonesia mempunyai bahasa nasional
yang mempersatukan ratusan bahasa daerah dan dialek. Pernyataan sikap
politik bangsa Indonesia “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia” telah menempatkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional yang menyatukan keanekaan dalam
masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, Anton M. Moeliono (2000)
menyatakan bahwa pada tahun 1928 populasi orang Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu hanya 4,9%, sedangkan
bahasa Jawa 47,8%, dan Sunda 14,5%. Dalam perkembangannya, melalui
vernakularisasi, terbukti bahwa pilihan politik pada tahun 1928 itu telah

17
mengantarkan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu
menjadi bahasa masyarakat baru yang bernama Indonesia. Bahasa
Indonesia telah mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang
berbeda latar belakang sosial budaya, bahasa, dialek, dan etnik ke dalam
satu kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia pun kemudian
mendapat pengukuhannya ketika perjuangan politik bangsa Indonesia
mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa negara yang merdeka dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 36. Dalam kaitan itu pula, pengukuhan pilihan politik
status bahasa Indonesia dan perencanaan bahasa Indonesia merupakan
upaya yang tidak mungkin dihindari. Setidaknya, pesatnya
perkembangan bahasa Indonesia dan gencarnya “serangan” bahasa asing
telah menuntut hal itu. Dengan penetapan bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi di Undang -Undang 1945, sebenarnya serangan baahasa
Aing tidak membuat penutur bahasa Indonesia semakin berkurang.
Kebijakan bahasa secara resmi di kalangan pemerintahan dan pendidikan
merupakan upaya pengembangan bahasa untuk menyatukan rasa
nasionalisme. Namun, bagi sebagian orang Indonesia, nasionalisme masih
dianggap pemikiran baru karena konsepnya dianggap hanya digunakan
dalam ranah pemerintahan, politik praktis, dan sekadar tameng untuk
mengantisipasi pengaruh asing—bukan soal bagaimana memahami
kesatuan dan persatuan bangsa. Saat ini kita masih terikat dengan
primordialisme dan perbedaan yang dianggap sebagai hal yang tidak
menyenangkan. Setiap kelompok membuat garis teritorialnya sendiri.
Pada tataran tersebut, konstruksi sosio-budaya-politik kita seharusnya
bercermin pada fakta keberadaan bahasa Indonesia yang dapat digunakan
dalam lintas batas. Identitas sebagai seorang “nasionalis Indonesia”
semestinya sebuah konstruksi yang dipegang sebagai hal pribadi. Orang
tidak perlu menjadi asli untuk dapat mencintai Indonesia karena tatanan
kehidupan global saat ini memungkinkan kita berada di lain benua dan

18
“keindonesiaan” bukan lagi masalah teritorial karena dunia sudah
menjadi perkampungan global. Nun jauh dari Indonesia tentu banyak
orang Indonesia yang berbicara dengan bahasa Indonesia dengan logat
keinggris-inggrisan atau kebelanda-belandaan. Hal itu bukan disebabkan
karena kurangnya nasionalisme, tetapi karena temapt tinggal mereka.
Sekali lagi, bahasa atau logat seseorang dalam berbicara memang tidak
menunjukkan kadar nasionalisme.
Di era globalisasi ini semakin banyak generasi muda yang fasih
berbahasa asing. Bahkan, tak jarang mereka lebih sering menggunakan
bahasa asing, seperti bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia atau
daerah.
Menanggapi fenomena tersebut, sosiolog Imam B Prasodjo menilai bahwa
penggunaan bahasa asing di era sekarang memang tak bisa dihindari.
Sebab, bahasa muncul karena konteksnya masing-masing.
"Seperti dalam kehidupan sehari-hari. Komputer itu ada mouse, kalau
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia jadi tikus itu kan aneh, jadi mau
tidak mau menggunakan istilah asing," ucapnya belum lama ini.
Imam mengatakan, identitas bangsa bukan hanya sekadar yang ada di
kulit. Misalnya, memakai celana jeans yang kebarat-baratan belum tentu
dianggap mengkhianati bangsa. Justru, bisa jadi orang yang memakai
jeans lebih nasionalis daripada orang yang memakai kebaya yang asli
Indonesia.
"Nah, sama halnya bahasa. Jangan hanya mempersoalkan masalah yang
sifatnya simbolis," ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, nasionalisme merupakan komitmen sesama
bangsa yang menderita. Saat ini, menurut dia, orang Indonesia justru
lebih berpihak kepada orang-orang yang sudah beruntung.
Bahasa, kata Imam, muncul karena adanya perkembangan temuan-
temuan. Sehingga, jika mau membawa istilah menggunakan bahasa
Indonesia, maka hal yang diperlukan adalah penemuan dan

19
pengembangan ilmu. Sebaliknya, tanpa penemuan, mau tidak mau
Indonesia akan terus mengikuti penggunaan istilah dari asing. "Seperti
penemuan dari makanan asli Indonesia, ada karedok, gado gado, kopi
luwak. Tapi kalau kita tersaruk dalam penemuan otomatis kita mengikuti,
ada tablet, template, mouse, dan lain sebagainya," imbuhnya.

20
BAB III
NILAI NASIONALISME DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA ASING

Secara formal sampai sekarang bahasa Indonesia mempunyai empat


kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa
negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa
Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa
ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun
dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu
peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja (Kirman:2009)
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda”, 28
Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa
Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa
bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa
Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan
status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa
menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan
menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang
berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah
ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang
menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia
dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah
ego kesukuan (Kirman:2009)
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku
yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing,

21
bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang
bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-
nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan.
Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan
golongan (Kirman:2009)
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi
untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat
bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap
orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke
pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam
penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai
alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena
bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian
alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan
antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau
karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas
atau inisiatif sendiri (Kirman:2009)
Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan.
Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari
rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan
harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup.
Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan
oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia
ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang
identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera
nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia

22
Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus
memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan
lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila
masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian
rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-
benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang
sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam
bahasa Indonesia (Kirman:2009).
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah
dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan
fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun
yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia
belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang
dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang
dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat
diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan
kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa
Indonesia (Kirman:2009).
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula
kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa
resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik
secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang,
peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa
Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi
internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato

23
kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa
Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan
upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu
senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu
dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan
ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru,
kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada
seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga
dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia (Kirman:2009).
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa
Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat
perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat
perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal
lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran
para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional,
dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata
lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah
nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan
bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat
jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan – atasan, mahasiswa
– dosen, kepala dinas – bupati atau walikota, kepala desa – camat, dan
sebagainya (Kirman:2009).
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945,
bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya
dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi.
Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan
satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa

24
Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya
dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan
sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada
situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai
bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna
dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional.
Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta
penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan
untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung
sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha
mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa
Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun
dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian
ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan
(Kirman:2009).
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman
kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan
tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa
daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan
tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu,
harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan
tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa – skripsi, tesis, disertasi,
dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu

25
sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa
bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek
(Kirman:2009).
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah
masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa
ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga
dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society)
(Indah, 2014).
Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang
digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bahasa itu.
Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia
sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu
di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing.
Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau
paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah. Meskipun
Indonesia hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun
bahasa daerah di Indonesia sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah
tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing penduduk di daerah
tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki masing-masing
pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Sebuah negara kadang-
kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara
linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi
dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual) (Indah,
2014).
Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang
pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa
daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi
pada beberapa dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum
berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang

26
terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang
digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian, bahasa
ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Indah, 2014).
Berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan
rasa nasion tersa lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara
ekabahasa. Negara anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan
dua cara: 1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau
2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak
berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara mengambil cara pertama
termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia mulai
menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di
seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana
warga yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan
menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara
mereka menggunakan bahasa nasional yang baik namun tetap
mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal ini bukanlah persoalan
yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan
bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh
seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat
dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau
sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan
bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah
pergeseran bahasa ini (Indah, 2014).
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah
yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik,
sehingga mengundang imigran/ transmigran untuk mendatanginya. Telah
menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika.
Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal
lagi bahasa ibunya.

27
Pemertahanan bahasa nasional baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan
kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri. Sikap positif terhadap
bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang
mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan
apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan
bahasa yakni sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya
dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3)
kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan
bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada
dalam seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat
dikatakan seorang pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa
yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap
bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor
gengsi, budaya, ras, etnis atau politik. Sikap ini akan tampak dalam
keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak merasa perlu untuk
menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak menggunakan
kaidah yang berlaku (Indah, 2014).
Keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada
peran serta dan penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu
sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing
untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan mana yang tidak.
Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu bahasa akan
tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai bahasa
daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita
lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita
pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah.
Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus

28
mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh
anak cucu dan generasi mendatang (Indah, 2014).
“Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”, demikianlah bunyi alenia ketiga sumpah pemuda
yang telah dirumuskan oleh para pemuda yang kemudian menjadi
pendiri bangsa dan negara Indonesia. Bunyi alenia ketiga dalam ikrar
sumpah pemuda itu jelas bahwa yang menjadi bahasa persatuan bangsa
Indonesia adalah bahasa Indonesia. Kita sebagai bagian bangsa Indonesia
sudah selayaknya menjunjung tinggi bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia,
karena dengan bahasa kita dapat mengetahui informasi yang kita
butuhkan, selain itu kita dapat menyampaikan ide dan gagasan kita melalui
bahasa. Oleh sebab itu, kita harus mampu menguasai bahasa dan elemen –
elemennya, seperti kosa kata, struktur dan lain sebagainya. Bahasa muncul
dan berkembang karena interaksi antar individu dalam suatu masyarakat.
Secara singkat sifat bahasa manusia yaitu sebagai suatu sistem arbitary dari
symbol suara yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk
berkomunikasi dan mengenali satu sama lain.
Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan
dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan
yang dialami masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan
banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan
bahasa lain. Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat
Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk
menggunakan bahasa asing. Hal tersebut memberikan dampak terhadap
pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Bahasa Inggris
yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional terkadang memberi
dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia. Kepopuleran

29
bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat
pemakaiannya.
Tumbuhnya paham nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari situasi politik pada abad ke 20. Pada masa itu semangat
menentang kolonialisme Belanda mulai muncul di kalangan pribumi. Ada
3 pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada
masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme dan
nasionalisme Indonsia. Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam
memegang peranan penting dalam pembentukan nasionalisme
sebagaimana di Indonesia. Menurut seorang pengamat nasionalisme
George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja merupakan mata rantai
yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan simbol
persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal
dari agama lain. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali
di Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang
dilakukan oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat
Dagang Islam dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus
Salim dan Abdoel Moeis telah menjadi organisasi politik pemula yang
menjalankan program politik nasional dengan mendapat dukungan dari
semua lapisan masyarakat.
Lahirnya nasionalisme bangsa Indonesia didorong oleh beberapa
faktor Salah satu contoh faktornya adalah Peranan Bahasa Melayu, di
samping mayoritas beragama Islam, bangsa Indonesia juga memiliki
bahasa pergaulan umum (Lingua Franca) yakni bahasa Melayu. Dalam
perkembangannya, bahasa Melayu berubah menjadi bahasa persatuan
nasional Indonesia. Dengan posisi sebagai bahasa pergaulan, bahasa
Melayu menjadi sarana penting untuk menyosialisasikan semangat
kebangsaan dan nasionalisme ke seluruh pelosok Indonesia.
Pada era saat ini untuk menggunakan satu bahasa saja sangatlah
sulit agar dapat masuk dalam kompetisi global. Posisi negara kita yaitu

30
sebagai negara berkembang yang masih memerlukan bantuan dan
kontribusi dari negara lain khususnya negara maju. Perkembangan bahasa
banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan dari berbagai banyak
pihak dan negara. Pihak – pihak tersebut ingin mengembangkan dan
mendeterminasikan bahasanya sebagai suatu bahasa yang dapat dikenal
oleh semua pihak diseluruh belahan dunia (Harimansyah, 2012)
Berkaitan dengan fakta sosiolinguistik tersebut, apakah
nasionalisme orang Amerika Serikat, Kanada, Belgia, atau Swiss patut
dipertanyakan karena menggunakan bahasa yang “bukan asli” miliknya?
Dalam masalah itu, jika nasionalisme dalam arti sempit dimaknai sebagai
kebanggaan terhadap negara, kita tidak berhak menilai siapa pun atas hal
itu. Dalam penggunaan ragam lisan dalam bahasa Indonesia, apakah
karena seorang warga negara Indonesia berbahasa Indonesia, tetapi
berlogat Amerika dan kebetulan “bule” karena berayah orang Amerika,
berarti dia tidak cinta Indonesia? Rasa bangga dan cinta ada di dalam hati.
Bahasa atau logat seseorang dalam berbicara tidak menunjukkan kadar
nasionalisme. Demikian juga bukan suatu jaminan pasti jika ada orang
yang tinggal di wilayah negara Indonesia, berdarah asli Indonesia, dan
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Indonesia asli seratus persen
merasa bangga terhadap Indonesia. Dari aspek bahasa sebagai identitas
suatu bangsa, bangsa Indonesia mungkin lebih mujur daripada Kanada,
Belgia, atau India (Harimasyah, 2012).
Bangsa Indonesia sudah mengenal bahasa asing terjadi sejak abad
ke-7 ketika para saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada
saat Kerajaan Sriwijaya muncul dan kukuh, Cina membuka hubungan
diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha perdagangan dan
pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau
meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara

31
(Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia). Yang disebut dengan bahasa
Tionghoa adalah bahasa di negara Cina (banyak bahasa). Empat di antara
bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton,
dan Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur bahasa Tionghoa
ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa
Tionghoa, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara
keagamaan, keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak
terpelihara keasliannya dan sangat mungkin banyak ia berbaur dengan
bahasa di Indonesia. Contohnya anglo, bakso, cat, giwang, kue/ kuih,
sampan, dan tahu.
1. Hubungan dengan penutur Arab dan Persia.
Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh saudagar dari
Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata
bahasa Arab yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mula
berpengaruh ke dalam bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat
banyak raja memeluk agama Islam. Kata-kata serapan dari bahasa Arab
misalnya abad, bandar, daftar, edar, fasik, gairah, hadiah, hakim, ibarat,
jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, dan wajah. Karena banyak di antara
pedagang itu adalah penutur bahasa Parsi, tidak sedikit kosakata Parsi
masuk ke dalam bahasa Melayu, seperti acar, baju, domba, kenduri, piala,
saudagar, dan topan.
2. Hubungan dengan penutur Portugis
Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa Melayu sejak bangsa
Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun sebelumnya
ia menduduki Goa. Portugis dikecundangi atas saingan dengan Belanda
yang datang kemudian dan menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski
demikian, pada abad ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa
perhubungan antaretnis di samping bahasa Melayu. Kata-kata serapan
yang berasal dari bahasa Portugis seperti algojo, bangku, dadu, gardu,
meja, picu, renda, dan tenda.

32
3. Hubungan dengan penutur Belanda.
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir
Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa
dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda
menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya
dapat menggeser kedudukan bahasa Portugis karena pada dasarnya
bahasa Belanda lebih sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda
sendiri tidak suka membuka diri bagi orang-orang yang ingin mempelajari
kebudayaan Belanda termasuklah bahasanya. Hanya saja pendudukannya
semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri dalam kurun waktu yang
lama (350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia). Belanda juga merupakan
sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum pergerakan. Maka itu,
komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan
banyak mengacu pada bahasa Belanda. Kata-kata serapan dari bahasa
Belanda seperti abonemen, bangkrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.
4. Hubungan dengan penutur Inggris
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia meski tidak lama.
Raffles menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811 dan beliau
bertugas di sana selama lima tahun. Sebelum dipindahkan ke Singapura,
dia juga bertugas di Bengkulu pada tahun 1818. Sesungguhnya pada tahun
1696 pun Inggris pernah mengirim utusan Ralph Orp ke Padang (Sumatra
Barat), namun dia mendarat di Bengkulu dan menetap di sana. Di Bengkulu
juga dibangun Benteng Marlborough pada tahun 1714-1719. Itu bererti
sedikit banyak hubungan dengan bangsa Inggris telah terjadi lama di
daerah yang dekat dengan pusat pemakaian bahasa Melayu.
5. Hubungan dengan penutur Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah tahun tidak
meninggalkan warisan yang dapat bertahan melewati beberapa angkatan.
Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah

33
hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas
kekuatan ekonomi dan teknologinya.
Di antara bahasa-bahasa di atas, ada beberapa yang tidak lagi menjadi
sumber penyerapan kata baru yaitu bahasa Tamil, Parsi, Hindi, dan
Portugis. Kedudukan mereka telah tergeser oleh bahasa Inggris yang
penggunaannya lebih mendunia. Walaupun begitu, bukan bererti hanya
bahasa Inggris yang menjadi rujukan penyerapan bahasa Indonesia pada
masa yang akan datang. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka.
Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa
lainnya. Asal Bahasa Jumlah Kata: arab 1.495 kata, belanda 3.280 kata,
tionghoa 290 kata, hindi 7 kata, inggris 1.610 kata, parsi 63 kata, portugis
131 kata, sanskerta-Jawa Kuno 677 kata, dan tamil 83 kata (Danie, 2013).
Pengaruh bahasa asing sangat berdampak dalam perkembangan bahasa
Indonesia. Berikut beberapa contoh negatif adanya bahasa asing dalam
perkembangan bahasa Indonesia: anak-anak mulai
mengentengkan/menggampangkan untuk belajar bahasa Indonesia,
rakyat Indonesia semakin lama kelamaan akan lupa kalau bahasa Indonesia
merupakan bahasa persatuan, anak-anak mulai menganggap rendah
bacaan Indonesia, lama-kelamaan rakyat Indonesia akan sulit
mengutarakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mampu
melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan
budaya sendiri (Danie, 2013).
Sedangkan dampak positif bahasa asing bagi perkembangan anak antara
lain : mampu meningkatkan pemerolehan bahasa anak, semakin banyak
orang yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris maka akan
semakin cepat pula proses transfer ilmu pengetahuan, menguntungkan
dalam berbagai kegiatan (pergaulan internasional, bisnis, sekolah), dan
anak dapat memperoleh dua atau lebih bahasa dengan baik apabila
terdapat pola sosial yang konsisten dalam komunikasi, seperti dengan

34
siapa berbahasa apa, di mana berbahasa apa, atau kapan berbahasa apa
(Danie, 2013).

35
BAB IV
KORELASI NASIONALISME DAN
MATERI BAHASA JERMAN

Dalam sebuah laman di Internet, saat memberikan kuliah umum di


Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB), mantan Duta
Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal menceritakan
kisahnya yang bersilang pendapat dengan seorang profesor dalam
sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pada seminar itu, kata Dino, seorang profesor mengkritik orang yang
seringkali menggunakan bahasa Inggris ketika berbicara dalam sebuah
forum. Orang tersebut dianggap tidak nasionalis oleh professor karena
sering menggunakan bahasa dan istilah asing setiap pidatonya.
Pendapat sang professor itu pun lantas dibantah Dino. Menurutnya,
nasionalisme seseorang tidak bisa diukur dari seringkalinya seseorang
berbicara dengan menggunakan bahasa asing.
"Contohnya saja Pidato Bung Karno di Indonesia Menggugat yang
menggunakan lima bahasa. Itu bukan berarti Soekarno tidak nasionalis,"
cerita Dino, Rabu (16/4).
Lantas Dino pun menceritakan kisah Soekarno muda yang pernah jatuh
hati pada seorang gadis Belanda. Kisah cinta Soekarno muda dengan
gadis Belanda itu dijalani tanpa sepengetahuan ayahnya.
Soekarno muda takut ayahnya akan marah begitu tahu ia berpacaran
dengan bukan gadis pribumi. Namun, begitu tahu Soekarno berpacaran
dengan gadis bule, sang ayah justru senang.
"Kamu (Soekarno) bisa belajar bahasa asing dari pacarmu," kata ayah
Soekarno seperti ditirukan Dino.

36
Menurut Dino, dalam cerita itu dapat disimpulkan, di era globalisasi
justru akan sangat baik bila kita menguasai banyak bahasa. Salah satunya
dapat dipelajari lewat cara apapun.
"Saya justru senang ketika berkunjung ke banyak daerah siswa siswa kita
sudah banyak yang menguasai bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan
China. Itu membuktikan mereka siswa yang unggul," tuturnya.

MATERI BAHASA JERMAN


1. Lagu
Begrüβung dinyanyikan dengan nada lagu Cucak rowo
Guten Morgen Selamat pagi
Guten Tag Selamat Siang
Guten Abend Selamat Malam
Guten Nacht Selamat Tidur
Wie geht es dir? Apa Kabarmu?
Danke, gut Baik Kabarku
Wie heisst du? Siapa Namamu?
Ich heisse ............. ............ itu Namaku

2. Latihan soal
BEGRÜßUNG

______________________________________

37
__________________________________

_____________________________

_______________________________

Guten Abend, Guten Morgen, Hallo / Tschüss, Gute Nacht,


Guten Tag

38
DAFTAR PUSTAKA
 Alwasilah, Chaedar A. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
 Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.) 2003. Politik Bahasa. Jakarta:
Pusat Bahasa, Depdiknas and Penerbit Progress.
 Coulmas, Florian. 2006. Sociolinguistics: The Study of Speaker’s
Choices. Cambridge: Cambridge University Press.
 Kaplan, Robert B. dan Baldauf Jr, Richard B. 1997. Language Planning
from Practice to Theory. Clevedon: Multilingual Matters Ltd.
 Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa (Seri ILDEP).
Jakarta: Djambatan.
 Moeliono, Anton M. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
dalam Era Globalisasi” dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi
(Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta:
Pusat Bahasa
 Arifah. 2014. ”Bahasa dan Nasionalisme”. Dalam
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/-2956.html. Dikunjungi
pada 15 Oktober 2014.
 Danie, Julianus. 2013. “Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut”.
Dalam
http://sukabahasa.blogspot.com/kajian_geografi_dialek_minahasa_ti
mur_laut.html. Dikunjungi pada hari senin, 3 November 2014
 Harimansyah, Ganjar. 2012. “Bahasa dan Nasionalisme”. Dalam
http://badanbahasa-
.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/42.html. Dikunjungi pada
15 Oktober 2014.
 Indah. 2014. “Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari”.
Dalam

39
http://carapedia.com/penggunaan_bahasa_dalam_kehidupan_sehari
-hari.html. Dikunjungi pada hari senin 3 November 2014
 Kirman, Joko. 2009. “Fungsi Bahasa Indonesia”. Bandung: Dalam
http://jokokirman.blogspot.com/2009/fungsi_bahasa_indonesia.htm
l. Dikunjungi pada hari Senin, 3 November 2014.
 Rusyana, Yus. 2013. “Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan”.
Dalam
http://yusrusyana.com/bahasa_dan_sastra_dalam_gamitan_pendidi
kan.html. Dikunjungi pada hari Senin, 3 November 2014.
 Simanjuntak, Rina Maralus. 2011. “Peran Bahasa dalam Meningkatkan
Nasionalisme”. Dalam
http://rinasimanjuntaksastra.blogspot.com/2011/05/peran-bahasa-
dalam-meningkatkan.html Dikunjungi pada 15 Oktober 2014.
 http://hima-tl.ppns.ac.id/?p=374 diakses pada 24 Agustus 2017
 http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/
diakses pada tanggal 24 Agustus 2017
 Ganjar Harimansyah,
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/42
diakses pada tanggal 24 Agustus 2017
 https://news.okezone.com/read/2015/11/28/65/1257351/pengguna
an-bahasa-asing-tak-pengaruhi-nasionalisme diakses pada tanggal 24
Agustus 2017
 https://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme diakses pada tanggal 24
Agustus 2017
 https://www.merdeka.com/politik/dino-nasionalisme-tak-bisa-
diukur-dari-penggunaan-bahasa-asing.html diakses pada tanggal 24
Agustus 2017
 https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/06/penguatan-
pendidikan-karakter-akan-diperkuat-dalam-peraturan-presiden
diakses pada tanggal 24 Agustus 2017

40
 https://www.satujam.com/pengertian-nasionalisme/ diakses pada
tanggal 28 Agustus 2017
 http://www.kajianteori.com/2013/03/pengertian-bahasa-menurut-
ahli.html# diakses pada tanggal 28 Agustus 2017

41

Anda mungkin juga menyukai