Anda di halaman 1dari 8

Wanaraksa Vol. 12 No.

1 Mei 2018

POTENSI PAKAN DAN HABITAT ELANG JAWA


(Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924)
DI BUKIT MAYANA KECAMATAN KADUGEDE KABUPATEN KUNINGAN

Alfin Muhamad Alfiyasin1), Toto Supartono2), Nurdin3)


1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
2013071003@uniku.ac.id
2
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
toto.supartono@uniku.ac.id
3
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
nurdin@uniku.ac.id

Abstrak
Elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) merupakan satwa liar endemik Jawa. Saat ini
dilindungi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Elang jawa memiliki status konservasi terancam
punah (endengered) oleh IUCN Red list dan termasuk dalam CITES Apendik II. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui pakan yang dimangsa oleh elang jawa yang meliputi keanekaragaman jenis dan
kepadatannya serta sumberdaya habitat bagi kehidupan elang jawa. Penelitian dilaksanakan di Kawasan
Bukit Mayana Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan, selama 3 bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2017.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk jenis burung yaitu point count atau IPA, untuk jenis
mamalia yaitu transek garis (line transect) dan untuk jenis reptil yaitu Visual Encounter survey (VES).
Berdasarkan hasil analisis potensi mangsa elang jawa di Kawasan Bukit Mayana Kecamatan Kadugede
Kabupaten Kuningan teridentifikasi 9 jenis burung, 5 jenis mamalia dan 3 jenis reptil. Dilakukan analisis
vegetasi untuk mengetahui habitat elang jawa dengan menggunakan metode garis berpetak di jalur
inventarisai mangsa elang jawa. Hasil analisis vegetasi di Kawasan Bukit Mayana ditemukan 43 jenis,
vegetasi tingkat tiang 22 jenis dan untuk tingkat pohon 39 jenis.
Kata kunci: elang jawa; hutan alam; keanekaragaman jenis pakan; potensi pakan; habitat elang jawa.

1. PENDAHULUAN dibeberapa wilayah saja bahkan kebanyakan


Indonesia tercatat memiliki 72 jenis burung di hutan konservasi. Penelitian di Kabupten
pemangsa dari 3 famili yaitu Pandionidae, Kuningan masih kurang karena terbatasnya
Accipitridae dan Falconidae dimana 15 jenis peneliti, oleh karena itu perlu dilakukan
diantaranya merupakan endemik artinya tidak penelitian untuk mendukung data dasar dalam
terdapat di daerah lain di dunia dan sebagian kegiatan pelestarian elang jawa di Kabupaten
lainnya merupakan jenis migrasi. Elang jawa Kuningan. Oleh karena itu maka perlu
(Nisaetus bartelsi) adalah salah satu burung
diadakannya penelitian lebih lanjut mengenai
pemangsa endemik di pulau jawa. Jenis ini
merupakan satwa karismatik sebagai “umbrella
elang jawa yang berada di hutan alam Bukit
species” yang dapat mewakili contoh sehatnya Mayana Kecamatan Kadugede Kabupten
habitat dan ekosistem hutan dan nilai penting Kuningan. Penelitian mengenai elang jawa di
keanekaragaman hayati di pulau jawa. (Dewi et hutan alam Bukit Mayana Kecamatan
al, 2003). Kadugede Kabupaten Kuningan akan di
Elang jawa ini termasuk dalam kategori satwa fokuskan untuk mengkaji dari aspek
langka yang terancam punah (endengered) oleh kelimpahan pakan yang dimangsa oleh elang
IUCN Red list, dan dilindungi oleh Undang- jawa.
Undang, karen keberadaan di alam tinggal
sedikit dan tiap tahunnya mengalami penurunan.
Perkiraan keberadaan elang jawa di alamnya
sekitar 108-542 pasang yang tersebar pada 2. METODOLOGI PENELITIAN
kantong-kantong habitat di sepanjang pulau
jawa (Syartinilia et al, 2010). A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Selama ini penelitian mengenai elang jawa telah Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus
dilakukan di berbagai lokasi pulau jawa. Namun 2017 di hutan alam Bukit Mayana Kecamatan
penelitian yang dilakukan masih terbatas Kadugede Kabupaten Kuningan. Luas keseluruhan
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

Bukit Mayana ±43 ha sedangkan untuk hutan sore hari pukul 15:00-18:00 dengan mencatat
alamnya ±9 ha. perjumpaan terhadap burung. Dalam pengamatan
digunakan lima titik hitung (point count)/jalur
B. Alat dan Bahan pengamatan. Seluruh stasiun pengamatan tersebut
Alat yang digunakan adalah binokuler, GPS, berada dalam jalur yang panjangnya 500m dengan
kompas, Tallysheet, pita meter, kamera, buku jarak antar titik hitung 100m. Rentang waktu
panduan pengenal mamalia, panduan lapangan pengamatan dilakukan selama 20 menit dalam
burung dan Elang Jawa. Bahan penelitian yang setiap titik pengamatan, pengamatan dilakukan
digunakan adalah komunitas satwa liar dan sebanyak 3 kali ulangan/jalur pengamatan.
karakter habitat berupa zonasi hutan alam Bukit
Mayana.
C. Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa
cara yaitu studi pustaka, wawancara dan survei
atau pengamatan langsung. Studi pustaka
ditujukan untuk mengumpulkan informasi
umum tentang bioekologi elang jawa, kondisi
daerah penelitian dan informasi lain yang
mendukung kegiatan penelitian di lapangan. Gambar 3. Bentuk Jalur Dan Titik Pengamatan
Wawancara untuk mengetahui informasi tentang
letak sarang, dan keberadaan elang jawa. Survei Mamalia
lapangan dilakukan untuk memproleh data Untuk mempermudah dalam pengambilan data
tentang keberadaan elang dan sarangnya, serta mamalia di lapangan digunakan metode transek
potensi mangsa. garis (line transect). Dalam satu hari dilakukan
Vegetasi dua kali pengamatan yaitu pada pagi hari (pukul
Untuk mengetahui komposisi dan struktur 06:00–10:00) dan sore hari (pukul 15:00–18:00).
floristik habitat elang jawa digunakan analisis Pengamatan dalam satu jalur dilakukan dengan
vegetasi. Kegiatan inventarisasi vegetasi tiga kali ulangan, dengan panjang jalur 500m.
dilakukan pada jalur yang sama di jalur Pengamatan dilaksanakan pada saat cuaca cerah.
inventarisasi mangsa elang jawa, dengan tujuan
untuk mengetahui kondisi dan komposisi
vegetasinya. Data vegetasi habitat diperoleh
dengan metode garis berpetak (Soerianegara &
Indrawan, 2002).
Penentuan jumlah petak keseluruhan dengan
intensitas sampling 10% menghasilkan 23 petak.
Gambar 4. Inventarisasi Satwa dengan Metode
Transek Garis
Keterangan: P = Pengamat, Si = Satwa ke-i
di = Jarak satwa dengan jalur pengamatan
Reptil
Pengumpulan data reptil menggunakan metode
Visual Encounter Survey (VES) yaitu pengambilan
jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung
Gambar 2. Metode Garis Berpetak Analisis pada jalur baik di daerah terestrial maupun akuatik
Vegetasi (Heyer et. al.,1994). Pengamatan dilakukan di
sepanjang transek yang telah dibuat. Masing-
Burung
masing jalur dibuat sepanjang 500 meter.
Pengamatan burung dilakukan dengan metode
Pengamatan dilakukan pada pagi pukul 06:00-
point count atau IPA. Metode Point Count atau
10:00 dan sore hari pukul 15:00-18:00.
Point Index of Abundannce. Pengamatan
dilakukan di pagi hari pukul 06:00-10:00 dan D. Metode Analisis Data
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

Vegetasi 1<H’<3: Menunjukan tingkat keanekaragaman


Analisis vegetasi adalah suatu upaya untuk jenis yang sedang
mendeskripsikan ciri-ciri suatu vegetasi dengan H’>3: Menunjukan tingkat keanekaragaman
menentukan parameter-parameter yang akan jenis yang tinggi
diukur, antara lain: Kelimpahan dan kerapatan
tegakan (K), Frekuensi (F), Dominasi (D), dan Kepadatan
Indek Nilai Penting (INP). Analisis kepadatan burung menggunakan
Persamaan yang digunakan dalam perhitungan persamaan dalam Reynold et al. (1980) dan
analisis vegetasi adalah Soeriancgara dan Santosa (1993) dengan tahapan sebagai berikut:
Indrawan (1998) sebagai berikut: ∑ 𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
D= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ (ℎ𝑎)
Indeks Nilai Penting (INP)
1. Kerapatan
Mamalia
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 Keanekaragaman Jenis (H’)
Tingkat keanekaragaman jenis merupakan ukuran
2. Kerapatan Relatif (KR%) matematis bagi keanekaragaman spesies dalam
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 komunitas. Penentuan indeks keanekaragaman
KR% = 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑥100% jenis pada penelitian ini menggunakan Indeks
Shannon, yang dihitung dengan rumus berikut:
3. Frekuensi
H’ = - Σ pi ln pi; dimana pi = ni/N
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 Keterangan: H’ = Indeks Shannon-Wiener, ni =
F= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 Jumlah individu suatu jenis, N = Jumlah individu
4. Frekuensi Relatif (FR) seluruh jenis.
Kriteria yang digunakan sebagai berikut:
FR= H’<1: Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘
x100% yang rendah
1<H’<3: Menunjukan tingkat keanekaragaman
5. Dominasi jenis yang sedang
𝐿𝐵𝐷𝐶 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 H’>3: Menunjukan tingkat keanekaragaman
D= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 jenis yang tinggi
6. Dominasi Relatif (DR%) Kepadatan Mamalia
FR% Dugaan kepadatan suatu jenis mamalia
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠 berdasarkan metode transek garis dapat dihitung
= x100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 dengan menggunakan persamaan King:
∑ 𝑥𝑖 ∑ 𝑥𝑖
7. Indek Nilai Penting (INP) Dj= 2𝐿𝑤 atau Dj= 𝛼
INP = Kerapatan Relatif + Frekuensi
Relatif + Dominasi Relatif Keterangan: Dj = kepadatan populasi aktual
untuk jalur ke-j (ind/km2), Σxi = jumlah individu
Burung mamalia yang ditemukan (ind), L: panjang garis
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) transek, W: lebar kiri/kanan, a: luas jalur
Ludwig dan Reynolds, (1988) menyatakan pengamatan
bahwa keanekaragaman jenis burung ditentukan
dengan menggunakan Indeks keanekaragaman Reptil
Shannon Wiener dengan rumus: Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis dihitung menggunakan
H’ = -Σ pi. Ln pi; dimana pi = ni/N Keterangan: Indeks Shannon-Wiener Odum, (1971), yaitu:
H’ = Indeks Shannon-Wiener, ni = Jumlah H’= -Σ Pi Ln Pi
individu suatu jenis, N = Jumlah individu Keterangan: H’=Indeks keanekaragaman
seluruh jenis ShannonWiener, Pi = Proporsi jenis ke-i
Kriteria yang digunkan sebagai berikut: Kriteria yang digunakan sebagai berikut:
H’<1: Menunjukan tingkat keanekaragaman H’ < 1 = Menunjukan tingkat keanekaragaman
jenis yang rendah jenis yang rendah
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

1<H’<3=Menunjukan tingkat keanekaragaman individu maupun antar jenis dan penyakit.


jenis yang sedang Lambert, (1992) dalam Partasmita, (2003)
H’ > 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman menambahkan bahwa dalam satu habitat dapat
jenis yang tinggi mempengaruhi burung-burung yang hidup di
alamnya, baik mengenai komposisi komunitas
maupun kebiasan hidupnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 6. Nilai Kepadatan Burung Di Hutan Alam
Potensi Mangsa
Bukit Mayana Kecamatan Kadugede
Keanekaragaman Jenis Burung No Nama Nama Famili Kepada
Berdasarkan hasil pengamatan di hutan alam Lokal Ilmiah -tan
Bukit Mayana Kecamatan Kadugede Ind/ha
Kabupaten Kuningan jenis burung yang 1 Uncal Macropygia Columbidae 0,34
ditemukan sebanyak 32 jenis dengan total buau emiliana
perjumpaan sebanyak 187 kali. Jenis burung 2 Tekukur Streptopelia Columbidae 0,34
yang teridentifikasi di hutan alam Bukit Mayana Biasa chinensis
Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan 3 Bubut Centropus Cuculidae 0,25
kemudian di klasifikasikn untuk mendapatkan jawa nigrorufus
jenis satwa mangsa elang jawa berdasarkan 4 Kadalan Phaenicopa Cuculidae 0,21
kriteria dan dari beberapa penelitian yang sudah Kembang heus
ada yangg disimpulkan. Burung yang dimangsa javanicus
oleh elang jawa sebanyak 9 jenis dari famili 5 Kadalan Phaenicopa Cuculidae 0,21
cuculidae, alcedinidae, columbidae, dan birah heus
captinodae. curvirostris
Berdasarkan hasil analisis dengan 6 Takur Megalaima Capitondae 0,21
menggunakan indeks Shannon (H’), ukuran Tulungtu javensis
keanekaragaman mangsa sebesar 2,16 yang mpuk
7 Wiwik Cuculus Cuculidae 0,21
menunjukan bahwa nilai keragaman dari jenis
burung di hutan alam Bukit Mayana Kecamatan Uncuing spulcralis
8 Cekakak Halcyon Alcedinidae 0,17
Kadugede Kabupaten Kuningan memiliki
jawa cyanoventris
keragaman jenis sedang.
9 Takur Megalaima Capitondae 0,13
Kepadatan Burung Tohtor armillaris
Kepadatan burung di hutan alam Bukit Mayana Jumlah 2,08
Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan
dihitung berdasarkan jumlah individu setiap Keanekaragaman Jenis Mamalia
jenis burung dibagi jumlah total luas plot contoh Berdasarkan hasil pengamatan di hutan alam Bukit
(individu/ha). Hasil analisis kepadatan burung Mayana Kecamatan Kadugede Kabupaten
di lokasi penelitian dengan luas penelitian 7,85 Kuningan jenis mamalia yang ditemukan sebanyak
ha sebesar 2,25 individu/ha atau dalam dugaan 5 jenis dengan perjumpaan 38 kali. Hasil penelitian
selang antara 0,13–0,34 individu/ha (tabel 6). di lapangan menunjukan semua jenis mamalia
Berbeda dengan penelitian Utami, (2002) yang teridentifikasi di lokasi penelitian termasuk
dengan nilai kepadatan sebesar 3,58. Kepadatan mangsa yang menjadi pakan elang jawa. Hal ini di
jenis burung di hutan alam Bukit Mayana lebih karenakan semua jenis mamalia yang telah
kecil dibandingkan dengan kepadatan di teridentifikasi di hutan alam Bukit Mayana
Gunung Salak, perbedaan nilai tersebut diduga Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan sudah
dari pengulangan untuk pengambilan data teridentifikasi menjadi pakan elang jawa dari
ketika di lapangan dan kondisi habitat yang beberapa peneliti sebelumnya.
berbeda. Berdasarkan hasil analisis keragaman jenis dengan
Menurut Alikodra, (1990) dalam Kuswanda, menggunakan indeks keragaman Shennon (H’)
(2010) kepadatan populasi satwaliar akan yaitu memiliki nilai 1,46. Hal ini bahwa jenis
bervariasi menurut wilyah dan tipe habitat, mamalia di lokasi tersebut memiliki keragaman
termasuk kelas burung. Faktor-faktor yang jenis yang sedang.
dapat mempengaruhi ukuran dan kepadatan
populasi adalah kondisi ikilim, kemampuan Kepadatan Mamalia
adaptasi suatu jenis satwaliar, interaksi anatr Kepadatan mamalia di hutan alam Bukit Mayan
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan 1 Kadal Mabuya Agamidae


dianalisis berdasarkan nilai jumlah individu multifasciata
mamali yang ditemukan dibagi luas jalur 2 Bunglon Bronchocela jubata Agamidae
pengamatan yang menjadi plot contoh 3 Ular Ahaetula prasina Colubridae
penelitian. Hasil analisis pendugaan rata- rata
kepadatan dari hasil pengamatan pada plot
penelitian seluas 7,85 ha sebesar 4,96
individu/ha. Berbeda dengan penelitian Utami Vegetasi
(2002), kepadatan jenis mamalia di Gunung Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa
Salak sebesar 5,86 individu/ha. Kepadatan jenis kawasan baik fisik maupun biotik, yang
mamalia di hutan alam Bukit Mayana lebih merupakan satu kesatuan dan dipergunakan
kecil dibandingkan dengan kepadatan di sebagai tempat hidup berkembangbiaknya
Gunung Salak Perbedaan tersebut diduga satwaliar. Struktur vegetasi merupakan bagian
karena: pengulangan ketika mengambil data di dari komponen biotik yang terdapat pada suatu
lapangan, kondisi habitat yang berbeda antara habitat. Struktur vegetasi memiliki peranan yan
Kawasan Bukit Mayana dengan Kawasan penting terhadap pergerakan dan penyebaran
Gunung Salak dan luas plot pengamatan yang satwaliar Alikodra, (2002). Analisis vegetasi
berbeda. Soerianegara dan Indrawan (2002) dilakukan di hutan alam Bukit Mayana Kecamatan
menambahkan bahwa ukuran contoh yang Kadugede Kabupaten Kuningan dan di lakukan
semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang pada tingkat pertumubuhan tiang dan pohon.
ditemukan bertambah. Analisis vegetasi di lakukan dengan menggunakan
metode jalur berpetak sepanjang jalur plot
pengamatan.
Tabel 7. Nilai Kepadatan Mamalia di Kawasan Jenis pohon yang digunakan elang jawa di hutan
Bukit Mayana Kecamatan Kadugede alam dataran rendah merupakan jenis dominan dan
No Nama Nama Family Kepadatan bukan dominan namun memiliki karakter tempat
Lokal Ilmiah ind/ha istirahat elang jawa yaitu emergent tree, cabang
1 Lutung Trachypithecus Cercopitheci 0,94 mendatar sebagai tempat bertengger yang nyaman
Jawa auratus dae bagi elang jawa, cabang kuat dan tajuk terbuka.
2 Bajing Callosciurus Sciuridae 1,75 Hal ini sesuai dengan Afianto, (1999) yang
Kelapa notatus menyebutkan bahwa elang jawa memilih pohon
3 Tupai Tupaia Tupaiidae 1,29 bersarang yaitu yang tertinggi atau emergent tree
Kekes javanica dengan tajuknya yang mencuat melebihi pohon-
4 Monyet Macaca Cercopitheci 0,49 pohon lain di sekelilingnya. Arsitektur tajuk pohon
Ekor fascicularis dae
relatif terbuka dengan cabang yang mendatar
Panjang
sehingga pandangan dari sarang terbuka ke arah
5 Jelarang Ratufa bicolor Sciuridae 0,49
lembah. Karakteristik pohon sarang tersebut
Jumlah 4,96 memudahkan elang untuk terbang meluncur dari
dan ke sarang, mengamati kondisi sekeliling
Keanekaragaman Jenis Reptil sarang dan mengajarkan cara terbang pada
Di hutan alam Bukit Mayana jenis reptil yang pertumbuhan awal ananknya. Selain emergent tree
ditemukan sebanyak 4 jenis dengan perjumpaan Utami, (2002) menyatakan bahwa elang rata-rata
16 kali perjumpaan langsung. memilih cabang pohon yang tegak lurus dengan
Dari keempat jenis reptil yang teridentifikasi di batang utamanya (±900) untuk bertengger dan
lokasi penelitian hanya tiga jenis reptil yang di mengahabiskan mangsa yang ditangkap.
kategorikan sebagai pakan elang jawa yaitu Elang jawa juga suka bertengger di pohon yang
kadal (Mabuya multifasciata), Bunglon sudah mati namun masih berdiri tegak yang berada
(Bronchocela jubata) dan ular. Indeks Shannon di sekitar sarangnya untuk mengawasi anaknya
keragaman jenis reptil yang menjadi mangsa ketika berumur kurang dari 1 tahun dan untuk
elang jawa sebesar 1,03. mengintai mangsa yang dekat dengan sarang. Hal
ini sesuai dengan Utami, (2002) yang
menyebutkan bahwa jenis-jenis elang suka
Tabel 8. Jumlah Jenis Reptil yang ditemukan di
bertengger di pohon yang sudah mati namun masih
Lapangan
berdiri tegak. Pada lokasi pengamatan di hutan
No Nama Nama ilmiah Family
Lokal alam Bukit Mayana Kecamatan Kadugede
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

Kabupaten Kuningan ditemukan vegetasi Hubungan Satwa dengan Vegetasi


sebanyak 43 jenis, vegetasi tingkat tiang 22 jenis Data satwa yang diperoleh dari lokasi penelitian
dan untuk tingkat pohon 39 jenis. yang menjadi mangsa elang jawa sebanyak 17
Jenis yang mempunyai nilai indeks penting jenis diantaranya, 9 jenis burung, 5 jenis mamalia
paling tinggi di tingkat tiang adalah kijangkung dan 3 jenis reptil. Menurut Alikodra (2002) suatu
(Dysoxylum gaudichaudianum) sebesar 81,15 sketsa dari profil vegetasi sepanjang garis transek
%, dan untuk tingkat pohon adalah kikopi berguna bagi satwaliar terutama untuk penelitian
(Lasianthus constrictus) sebesar 37,10%. INP burung dan primata yang menempati suatu habitat
yang paling tinggi di tingkat tiang dan tingkat hutan. Komposisi dari suatu profil habitat sangat
pohon dapat dilihat pada tabel berikut. bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan
tentang suatu hubungan antara derajat kelimpahan
Tabel 10. INP Paling Tinggi Tingkat Tiang dan
satwaliar dengan tipe habitatnya.
Pohon
INP
Hubungan antara satwaliar dengan vegetasi sangat
Tingkat No Nama Lokal Nama Ilmiah berkaitan erat, keduanya mempunyai suatu
(%)
1 Kijangkung Dysoxylum 81,15 hubungan timbal balik dalam keberadaannya
gaudichaudianum dimana vegetasi tingkat tiang dan tingkat pohon
Tingkat 2 Kikopi Lasianthus 47,99 adalah habitat, tempat berlindung, mencari makan
Tiang constrictus dan berkembangbiaknya satwaliar, sedangkan
3 Kapirit 22,31 untuk vegetasinya sendiri yaitu sebagai regenerasi
4 Bisoro Ficus hispida 21,12 atau perkembangbiakan melalui satwaliar dengan
5 Kiteja Cinnamomum 18,06 proses penyerbukan bunga dan pemancaran biji
inners atau buah melalui satwaliar.
1 Kikopi Lasianthus 37,10 Pohon yang mendominasi dilokasi penelitian yaitu
constrictus kijangkung dan kikopi, keduanya berkaitan erat
Tingkat 2 Kijangkung Dysoxylum 31,35 dengan satwa karena pohon tersebut menjadi
Pohon gaudichaudianum tempat makan untuk mamalia dan burung,
3 Kiara Ficus sp 25,07 sehingga proses regenerasi vegetasi semakin cepat
4 Kibodas Hamalium 24,51 perkembangbiakannya mealalui satwa pemakan
fomentasum biji atau buah.
5 Kiara 20,89
Keterbatasan Penelitian
Salodas
Penelitian yang bertempat di hutan alam Bukit
Pohon kijangkung merupakan pohon asli Mayana Kecamatan Kadugede Kabupaten
Australia, penyebaran pohon ini di daerah Pulau Kuningan dilakukan pada bulan Juli – Agustus
Jawa, Pulau-pulau di sekitar Krakatau. Pohon 2017 atau pada saat musim kemarau, sehingga data
ini dapat tumbuh subur di daerah kering, panas atau informasi yang diperoleh dari penelitian ini
bahkan daerah berkapur. Pohon kijangkung belum bisa memberikan gambaran potensi mangsa
berbuah di tangkai daun, buah dan bunga, pada musim hujan. Selanjutnya, penelitian ini
kijangkung sering dikonsumsi oleh lutung jawa terbatas pada hutan alam. Padahal, hutan alam
dan monyet ekor Panjang. Pemencaran biji Bukit Mayana dikelilingi oleh hutan produksi yang
kijangkung di hutan alam Bukit Mayana terjadi tidak menutup kemungkinan merupakan bagian
memelaui kotoran mamalia dan buah yang jatuh dari wilayah jelajah elang jawa, karena luas
ketika dimakan oleh mamalia. Hal ini sesuai wilayah jelajah untuk berburu elang jawa menurut
dengan pernyataaan (Primack & Corlett, 2005) Widodo, (2004) di Gunung Kendeng diketahui
menyatakan bahwa primata memiliki peran rata-rata sebesar 19 ha, dengan luasan hutan alam
besar dalam ekologi hutan, yaitu sebabagi Bukit Mayana hanya ± 9 ha.
pemencar biji.
4. SIMPULAN
Lutung jawa dan monyet ekor panjang
mempunyai daerah jelah atau teritori yang Pada lokasi hutan alam di Bukit Mayana telah
sangat luas sehingga penyebaran biji melalui teridentifikasi terdapat 9 jenis satwa mangsa dari
lutung jawa dan monyet ekor panjang yang kelompok burung, 5 jenis satwa dari kelompok
dimakan lebih menyebar atau lebih banyak, mamalia dan 3 jenis satwa dari kelompok reptil.
maka pertumbuhan pohon kijangkung lebih Jenis satwa mangsa dari kelompok burung yaitu:
tinggi atau lebih banyak dibandingkan dengan Centropus nigrorufus, halcyon cyanoventris,
pohon lain. macropygia emiliana, phaenicophaeus
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

curvirostris, streptopelia chinensis, megalaima Primack R and R Corlett. 2005. Tropical Rain
armillaris, megalaima jevensis, cuculus Forests: an Ecological and Biogeographical
spulcralis dan phaenicophaeus javanicus; dari Comparison. Oxford: Blackwell Science. 319 hal.
kelompok mamalia yaitu: Callosciurus notatus,
Santosa, 1993. Aplikasi Program Basic Untuk
Macaca fascicularis, Trachypithecus auratus,
Analisis Data Penelitian Dalam Penyajian Model
Tupaia javanica dan Ratufa bicolor; dan dari
Matematika. Edisi pertama. Cetakan pertama.
keolmpok reptil: Mabuya multifasciata,
Yogyakarta.
Bronchocela jubata dan Ahaetula prasina.
Vegetasi yang ditemukan sebanyak 43 jenis: Soerianegara, I, dan Indrawan. 1998. Ekologi
tingkat tiang 22 jenis dan tingkat pohon 39 jenis. Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jenis yang mendominasi pada tingkat tiang Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 2002. Ekologi
adalah Kijangkung (Dysoxylum Hutan Indonesia. Laboratorium
gaudichaudianum) dengan INP 81,15 %,) dan
tingkat pohon adalah Kikopi (Lasianthus Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS-based modeling
constrictus) dengan INP sebesar 37,10%. of Javan Hawk-Eagle distribution using logistic
and autologistic regression models. Biological
5. REFERENSI Conservation. 141:756769.
Afianto, M.Y. 1999. Studi Beberapa Aspek Syartinilia, Tsuyuki S & Jung soo Lee. 2009. GIS
Ekologi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi – Based Habitat Model of Javan Hawk Eagle
Stresemann, 1924) di Gunung Salak. Skripsi. (Spizaetus bartelsi) using Inductive Approach in
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Java Island, Indonesia. Nova Science Publisher,
Bogor. Inc:
Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Widodo T. 2004. Populasi dan Wilayah Jelajah
Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresmann, 1924)
Institut Pertanian Bogor. di Gunung Kendeng Resort Cikaniki Taman
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Nasional Gunung Halimun. Skripsi. Fakultas
Bogor: Departemen Pendidikan dan Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Utami, BD. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang
Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) di
Institut Pertanian Bogor. Gunung Salak. Skripsi. Fakultas Kehutanan.
Dewi M. Prawiradilaga, atsuyoshi MURATTE, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anwar Muzakkir, Takehiko INOUE, Kuswanda W. 2010. Pengaruh Komposisi
Kuswandono, Adam A. Supriatna, Desi Tumbuhan Terhadap Populasi Burung di Taman
Ekawati, M. Yayat, Afianto, Hapsoro, Toshiki Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Balai
OZAWA, Noriaki SAKAGUCHI. 2003. Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Pematang
Panduan Survey Lapangan dan Pemantauan Siantar.
Burung-burung Pemangsa. Biodiversity
Conservation Project (LIPI-JICA). [IUCN] International Union for Conservation of
Nature. 2007. IUCN Red List of Threatened
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Animals. Cambridge (UK): IUCN, Gland,
Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Switzerland and Cambridge.
Monitoring Biological Diversity: Standard
Methods for Amphibians. Washington: [Keppres] Keputusan Presiden Republik
Smithsonian Institution Pr. Indonesia Nomor 4/1993. 1993. Flora dan Fauna
Nasional yang ditetapkan sebagai Spesies
Ludwig J, J Reynolds. 1988. Statistical Ecology: Kebanggaan Nasional. Jakarta (ID): Indonesia.
A primer on methods and computing. New York
(ID): John Wiley & Sons. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia P.58/Menhut II/2013. 2013.
Odum, 1971. Fundamentals of ecology. W.B. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa
Saunders Company Ltd. Topan Co. Ltd. Tokyo. (Spizaetus bartelsi) Tahun 20132022. Jakarta
Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan (ID): Indonesia
Buah dan Peranannya Sebagai Penyebar Biji.
Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wanaraksa Vol. 12 No. 1 Mei 2018

Anda mungkin juga menyukai