Anda di halaman 1dari 8

RESUME ABORSI KARENA DITEMUKAN KELAINAN

PADA JANIN
Diajukan Untuk Mememuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Berfikir Kritis Dalam
Kebidanan Program Studi Profesi Kebidanan

Disusun oleh :
Wiwin Elis Sumarni
P20624821039

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN
2021
RESUME ABORSI
A. Pengertian aborsi
Aborsi (abortion: Inggris, abortus: latin) berarti keguguran
kandungan. Dalam kamus bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran
kandungan. Dalam bahasa Arab, aborsi disebut isqat al-h{aml atau ijhad},
yaitu pengguguran kandungan janin dan rahim. Lafal ijhad memiliki
sinonim isqat (menjatuhkan), ilqa (membuang), t}arah (melempar), dan
imlas} (menyingkirkan).2 Majma al-lughah al-‘Arabiyah membedakan
makna ijhad} dengan keluarnya janin sebelum bulan keempat, sementara
isqat} adalah menggugurkan janin antara bulan keempat dan ketujuh.
Aborsi secara umum merupakan perbuatan keji, tidak
berperikemanusiaan dan bertentangan dengan hukum dan ajaran
agama.Walaupun demikian, hukum aborsi secara khusus perlu dikaji
secara lebih mendalam, karena aborsi bukanlah dalam satu bentuk, tetapi
mempunyai berbagai macam sebab.
B. Macam-Macam Aborsi
Aborsi mempunyai banyak macam dan bentuk, sehingga untuk
menghukuminya tidak bisa disamakan dan dipukul rata.
Di antara pembagian aborsi adalah sebagai berikut: Dilihat dari aspek
motif, aborsi dibagi menjadi dua macam:
1. Aborsi Kriminal, yaitu aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena
suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
2. Aborsi Legal, yaitu aborsi yang dilaksanakan dengan sepengetahuan
pihak yang berwenang.
C. Aborsi diperbolehkan dengan alasana tertentu
Ada berbagai alasan, seseorang melakukan praktik aborsi, tetapi alasan
yang paling utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat
alasan aborsi antara lain:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah,
atau tanggung jawab yang lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%).
Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi
kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai
tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika
dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan
mengalami cacat –seperti buta, tuli, bisu– dianggap sebagai sebab yang
memperbolehkan digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu
merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang
kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak
menghalangi mereka untuk bersama-sama orang lain memikul beban
kehidupan ini. Bahkan manusia banyak yang mengenal (melihat)
kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir
dalam sejarah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman
sekarang ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran kepada orang-
orang cacat untuk meraih keberuntungan, sebagaimana keduanya telah
turut andil untuk memudahkan kehidupan mereka.
Banyak di antara mereka (orang-orang cacat) yang turut
menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang
normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah mengganti mereka dengan
beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa. Allah berfirman
dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang
lurus. Namun demikian, Pada fase 40 hari pertama, dan sebelum usia janin
menginjak 120 hari dalam kandungan, janin berada pada fase segumpal
darah dan daging.
Apabila dokter yang terpercaya menetapkan bahwa pada fase itu
janin mengalami cacat yang membahayakan, tidak mungkin bisa
disembuhkan, dan jika dibiarkan hidup maka kondisi hidupnya buruk,
menjadi masalah baginya dan bagi keluarganya, maka dalam kondisi ini
boleh digugurkan, sesuai dengan permintaan orang tua. Karena janin pada
fase ini belum ditiupkan ruh, dan belum disebut manusia. Baru berbentuk
mudghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), sehingga
boleh digugurkan.
Praktik aborsi karena ada indikasi cacat janin tersebut,
dilegalkan menurut Hukum Positip di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 75 ayat (1) Pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Namun, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan /
Pasal 75 ayat (2) huruf a UU Kesehatan: indikasi kedaruratan medis yang
dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan (Fuad,2017).
Aborsi secara umum telah dilarang dalam KUHP, namun secara
Lex Specialis menurut UU kesehatan memberikan pengecualian terhadap
kasus aborsi, yakni aborsi karena ada indikasi medis dan aborsi
pemerkosaan. Aborsi pemerkosaan disini dibolehkan dengan ketentuan
adanya trauma psikologis akibat pemerkosaan bagi korban pemerkosaan,
dapat dijadikan indikasi medis yang meniadakan pidana. Tetapi, hal ini
hanya berlaku jika tindakan perkosaannya dapat dibuktikan atau terbukti
(Fachrisyah,M,2020).
Dalam perspektif medis, waktu yang relatif aman untuk melakukan
pengakhiran kehamilan adalah antara 6-10 minggu atau + 2,5 bulan sejak
haidh terakhir. Berdasarkan data Sudramaji Sumapraja, 97 % perempuan
yang melakukan pengakhiran kehamilan sebelum 12 minggu usia
kehamilannya tidak melaporkan adanya komplikasi, 2,5 % melaporkan
adanya komplikasi ringan, dan kurang dari 0,5 % komplikasinya
memerlukan tindakan medis atau perawatan di rumah sakit
(Wijayati,M,2015)
Aturan normatif sosial-budaya-agama secara ‘informal dan formal’
pada umumnya juga mengarah pada pelarangan aborsi dengan variasi
pendapat dan kelonggaran tertentu. Sebelum UU Kesehatan disahkan, Mei
2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa No. 4
tahun 2005 tentang aborsi. Berdasarkan beberapa dalil Qs. Al-An’am [6]:
161, Qs. Al-Furqan [25]: 63-71, Qs. Al-Hajj [22]: 5, Qs. Al-Mukminun
[23]: 12-14, dan beberapa dalil dari hadis, MUI membolehkan aborsi atas
dua indikasi; darurah dan hajat. Keadaan darurat karena perempuan yang
hamil menderita sakit fisik yang berat seperti TBC dan keadaan kehamilan
yang mengancam nyawa ibu. Keadaan hajat berkaitan dengan janin yang
dideteksi menderita cacat yang sulit disembuhkan dan kehamilan akibat
perkosaan setelah ditetapkan oleh tim yang berwenang dari keluarga
korban, dokter, dan ulama.
Berikut adalah keputusan fatwa MUI tentang Aborsi:
Pertama: Ketentuan Umum
1. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau
hampir mati
2. Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami
kesulitan besar.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat
ataupun hajat.
Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang
membolehkan aborsi adalah
Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium
lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya
yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter. Dalam keadaan di mana
kehamilan mengancam nyawa si ibu.
Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat
membolehkan aborsi adalah:
1. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau
lahir kelak sulit disembuhkan.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban,
dokter, dan ulama.
Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari. NU menyatakan bahwa hukum aborsi
selain dalam rangka darurat medis adalah haram, termasuk aborsi
akibat pemerkosaan yang diperbolehkan oleh MUI dan PP No. 61
tahun 2014. Keputusan ini dikukuhkan pada tanggal 1-2 November
2014.
2.Hukum Aborsi menurut Ulama
Aborsi sebelum peniupan ruh
a. Hukumnya boleh, bahkan sebagian ulama membolehkan
menggugurkan janin tersebut dengan obat.
Pendapat ini dianut oleh ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali. Tetapi kebolehan ini disyaratkan adanya ijin dari kedua
orang tuanya. Mereka berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud yang
menunjukkan bahwa sebelum empat bulan, ruh belum ditiupkan
ke janin dan penciptaan belum sempurna, serta dianggap benda
mati, sehingga boleh digugurkan.
b. Hukumnya makruh, dan jika sampai pada waktu peniupan ruh,
maka hukumnya menjadi haram. Pendapat ini dianut oleh sebagian
ulama madzhab Hanafi dan Imam ar-Ramli salah seorang ulama
dari madzhab Syafi’i.
c. Hukumnya haram, dalilnya bahwa air mani sudah tertanam dalam
rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap
menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan
kejahatan . Pendapat ini dianut oleh Imam al-Ghazali dan Ibnu al-
Jauzi.
Status janin yang gugur sebelum ditiupkan ruh (empat
bulan), dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan,
dikafani ataupun dishalati. Sehingga bisa dikatakan bahwa
menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak dikatagorikan
pembunuhan, tapi dianggap merusak sesuatu yang bermanfaat.
Ketiga pendapat ulama di atas tentunya dalam batas-batas tertentu,
yaitu jika di dalamnya ada kemaslahatan, atau dalam istilah medis
adalah salah satu bentuk Abortus Provocatus Therapeuticum, yaitu
jika bertujuan untuk kepentingan medis dan terapi serta
pengobatan. Bukan dalam katagori Abortus Provocatus
Criminalis, yaitu yang dilakukan karena alasan yang bukan medis
dan melanggar hukum yang berlaku.
Menurut skripisi Anisa Dwi Melantik yang berjudul “Tinjauan
Atas Tindak Aborsi yang dilakukan dengan alasan indikasi medis karena
terjadinya kehamilan akibat pemerkosaan” diperbolehkannya aborsi bagi
korban pemerkosaan, termasuk pemerkosaan karena hubungan incest.
Dengan adanya aturan ini maka trauma psikologis akibat pemerkosaan
bagi korban pemerkosaan, termasuk bagi korban pemerkosaan incest,
dapat dijadikan indikasi medis yang meniadakan pidana. Tetapi, hal ini
hanya berlaku jika tindakan perkosaannya dapat dibuktikan atau terbukti.
Jika tindak perkosaannya tidak terbukti, maka alasan alasan psikologis
tidak cukup untuk dapat dijadikan alasan dilakukannya aborsi (Anisa
Dwi Melantik, “Tinjauan Atas Tindak Aborsi yang dilakukan dengan
alasan indikasi medis karena terjadinya kehamilan akibat pemerkosaan”,
(Fakultas Hukum Universitas Makassar 2016).
Dalam skripsi Sabarudin Ahmad, Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Dibolehkannya Aborsi Akibat Pemerkosaan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi,
Skripsi, Palangka raya : Fakultas, Syariah IAIN Palangka. Fokus
penelitian ini ialah bagaimana tinjauan hukum islam terhadap peraturan
pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur lebih detail dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan
dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan
Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Tenaga kesehatan yang boleh
melakukan aborsi aman harus terlatih dan tersertifikasi. Hingga saat ini,
mekanisme pelatihan bagi tenaga medis masih dalam pembahasan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya
melarang praktik aborsi.
Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan
kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan
melakukan aborsi. Menurut Pasal 31 Peraturan tersebut, tindakan aborsi
akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling
lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Referensi:
Abu Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan
Bandung : Mizan 1997),151.
Fuad.2017.Aborsi Janin Cacat Dalam Perspektif Hukum Islam. Al-Mazaahib,
Volume 5, Nomer 2, Desember 2017
Fachrisyah,M.2020.Studi Kritis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
4 Tahun 2005 Dan Teori Kesehatan Tentang Aborsi Janin Cacat
Kemenkes. 2019. Kemenkes Siapkan Layanan Aborsi Aman Sesuai
Aturan", https://tirto.id/dhlS
Wijayati,M.2015.Aborsi Akibat Kehamilan Yang Tak Diinginkan (KTD):
Kontestasi Antara Pro-Live dan Pro-Choice. : Jurnal Studi Keislaman,
Volume 15, Nomor 1, Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai