Anda di halaman 1dari 69

HUBUNGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI

DENGAN ASFIKSIA BAYI BARU LAHIR DI


RSD GUNUNG JATI KOTA CIREBON
TAHUN 2020

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana Terapan Kebidanan

Oleh :

Siti Munawaroh

NIM.P20624419032

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
CIREBON
2020

i
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN SEBELUM UJIAN

SKRIPSI

HUBUNGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI


DENGAN ASFIKSIA BAYI BARU LAHIR DI
RSD GUNUNG JATI KOTA CIREBON
TAHUN 2020

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk


dipresentasikan

Cirebon, ….. Juli 2020

Pembimbing I

Nurasih, SST., M.Keb Tanggal


……………………

Pembimbing II

Nina Nirmaya Mariani, SST., M.Keb Tanggal


…………………….

i
SKRIPSI

HUBUNGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI


DENGAN ASFIKSIA BAYI BARU LAHIR DI
RSD GUNUNG JATI KOTA CIREBON
TAHUN 2020

Dipersiapkan dan disusun oleh

Siti Munawaroh
NIM.P20624419032
Telah dipertahankan di depan Penguji
Pada Tanggal ……………… 2020

Susunan Penguji

Ketua Penguji

Nurasih, SST., M.Keb

Penguji I, Penguji II,

Hj. Entin Jubaedah, SST., M.Keb Rani Widiyanti, SST.,


M.Keb

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Terapan Kebidanan

Mengetahui,
Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan Cirebon
Ketua,

Elfi, SST., MPH


NIP. 19730405 199303 2 001

ii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi.

Sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis menjadi salah

satu sumber dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Cirebon, Desember 2020

Siti Munawaroh

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur saya panjatkan kepada Allah S.W.T, karena atas berkat dan

rakhmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Terapan

Kebidanan pada Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan Poltekes

Tasikmalaya. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit

bagi saya untuk menyelesaikan ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Hj. Ani Radiati R, SPd., M.Kes, selaku Direktur Kesehatan Kementerian

Kesehatan Tasikmalaya.

2. Nunung Mulyani, APP., M.Kes, selaku Ketua Jurusan Kebidanan.

3. Elfi, SST., MPH, selaku Ketua Program Studi Sarjana Terapan Cirebon.

4. Dr. H. Ismail Jamalludin, SpOT, selaku Direktur RSD Gunung Jati Kota

Cirebon.

5. Seluruh karyawan RSD Gunung Jati Kota Cirebon yang telah banyak

membantu dalam usaha memperoleh data yang diperlukan.

6. Suami, Orangtua dan keluarga yang telah memberikan bantuan dukungan

material dan moral.

7. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah

membalas kebaikan yang mengalir dengan berkah kebaikan pula.

iv
Akhirnya, peneliti beristighfar pada Allah SWT atas segala kesalahan dan

kekhilafan, serta permohonan maaf peneliti sampaikan kepada semua yang telah

terlibat langsung maupun tidak. Mudah-mudahan ilmu yang sedikit ini membawa

manfaat dan kebaikan bagi umat manusia. Amin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Cirebon, Desember 2020

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN SEBELUM UJIAN ……. ii
LEMBAR PENGESAHAN …………….……………………..…………… iii
PERNYATAAN ……………….............................................................. iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…... ix
DAFTAR DIAGRAM ……………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xii
INTISARI …………………………………………………………………… xiv
ABSTRACT …………………………………………………………………. xv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Perumusan Masalah ...................................................... 4
C Tujuan Penelitian .......................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 5
E. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP, DEFINISI
OPERASIONAL DAN HIPOTESIS …………………………... 7
A. Tinjauan Pustaka …………………………………………… 7
1. Ketuban Pecah Dini …………………………………….. 7
2. Persalinan ……………………………………………….. 17
3. Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia ………………………. 24
4. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Asfiksia ………. 34
B. Kerangka Teori …………………………………………….. 38
C. Kerangka Konsep ……………………………………..……. 39
D. Definisi Operasional ………………………………………... 40
E. Hipotesis ……………………………………………………. 40

vi
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………...... 42
A. Desain Penelitian ............................................................. 42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………..… 42
C. Populasi dan sampel ........................................................ 42
D. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian …………. 43
E. Pengolahan Data ……………………………………………. 44
D. Tehnik Analisa Data ………………………………………... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………… 47


A. Hasil Penelitian ……………………………………………. 47
B. Pembahasan ………………………………………………... 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………. 73
A. Kesimpulan ………………………………………………... 73
B. Saran ……………………………………………………….. 73

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Ketuban Pecah ……………………………………………… 7

Gambar 2 Keluarnya Tali Pusat ……………………………………….. 9

viii
DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 1 Patofisiologi KPD …………………………………………… 11

Diagram 2 Penatalaksanaan KPD ………………………………………. 13

Diagram 3 Patofisiologi Persalinan …………………………………….. 19

Diagram 4 Patofisiologi Asfiksia ………………………………………. 26

Diagram 5 Kerangka Teori ……………………………………………… 38

Diagram 6 Kerangka Konsep …………………………………………… 39

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Definisi Operasional …………………………………………. 40

Tabel 2 Distribusi frekuensi kejadian ketuban pecah dini di RSD Gunung


Jati Tahun 2020 …………………………………………….. 47

Tabel 3 Distribusi frekuensi kejadian asfiksia di RSD Gunung Jati Tahun


2020 ………………………………………………………… 48

Tabel 4 Hubungan ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia di RSD


Gunung Jati Tahun 2020 …………………………………… 48

x
DAFTAR LAMPIRAN

xi
INTISARI

Pendahuluan : Salah satu indikator derajat kesehatan dalam suatu wilayah adalah
kematian ibu dan bayi. Penyebab kematian ibu di Indonesia diantaranya
dikarenakan perdarahan (28%), pre eklamsia dan eklamsia (24%), infeksi (11%)
dan persalinan macet/lama (5%) (JNPK-KR, 2017). Penyebab kematian ibu di
Jawa Barat pun masih didominasi oleh 3 faktor penyebab tersebut diatas, yaitu
perdarahan (16%), pre eklamsia dan eklamsia (13%) dan infeksi (3%).
Penyumbang angka kematian ibu karena infeksi diantaranya karena ketuban pecah
dini (KPD) (Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat Tahun 2017). Angka kejadian
ketuban pecah dini pada tahun 2019 sebesar 40% dari seluruh kasus persalinan
yang dilayani di RSD Gunung Jati. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya
(2018) yaitu sebesar 32.8%. Dari 40% kejadian ketuban pecah dini tersebut
bayinya mengalami asfiksia bayi baru lahir sebesar 20%, dan angka ini
mengalami peningkatan dari tahun 2018 yaitu sebesar 15% kejadian bayi asfiksia
dari ibu dengan ketuban pecah dini (Laporan PONEK RSDGJ, 2019).

Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah cross-sectional, dengan variabel


bebas penelitian adalah kejadian KPD dan variabel terikatnya adalah asfiksia.
Populasinya adalah seluruh ibu bersalin dengan KPD berjumlah 126 ibu dan
sampel penelitianya berjumlah 126 ibu bersalin. Instrumen penelitian
menggunakan lembar checklist.

Hasil : Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 88 persalinan dengan ketuban
pecah dini kurang dari 24 jam, 18 persalinan atau 20.5% mengalami asfiksia, dan
70 persalinan atau 79.5% tidak mengalami asfiksia. Dari 38 persalinan dengan
ketuban pecah dini lebih dari 24 jam terdapat 27 persalinan atau 71.1% dengan
kejadian asfiksia, dan 11 persalinan atau sebesar 28.9% tidak mengalami asfiksia.
Secara statistik hubungan antara ketuban pecah dini dengan asfiksia bayi baru
lahir menunjukkan hubungan yang bermakna yaitu p value 0,002 yang berarti
perbedaan tersebut signifikan ( p < 0,05 ).

Kesimpulan : Secara statistik hubungan antara ketuban pecah dini dengan


asfiksia bayi baru lahir menunjukkan hubungan yang bermakna yaitu p value
0,002 yang berarti perbedaan tersebut signifikan ( p < 0,05 ). Dan diharapkan bagi
petugas kesehatan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sehingga
dapat mendeteksi secara dini hal-hal yang dapat dapat menyebabkan ketuban
pecah dini dengan melakukan konseling yang baik pada pemeriksaan kehamilan
sehingga kejadian ketuban pecah dini dan asfiksia dapat diantisipasi sedini
mungkin.

Kata Kunci : Ketuban pecah dini, asfiksia bayi baru lahir

xii
ABSTRACT

Background : One indicator of the degree of health in a region is the death of


babies and mothers. The causes of maternal death in Indonesia are due to bleeding
(28%), pre-eclamsia and eclamsia (24%), infection (11%) and labor jams /long
(5%) (JNPK-KR, 2017). The cause of maternal death in West Java is still
dominated by the above 3 causative factors, namely bleeding (16%), pre-eclamsia
and eclamsia (13%) and infection (3%). Contributors to maternal mortality due to
infection include due to early rupture of amniotic disease (KPD) (Health Profile of
West Java Province in 2017). The number of amniotic events ruptured early in
2019 amounted to 40% of all cases of childbirth served at Gunung Jati Hospital.
This figure increased from the previous year (2018) of 32.8%. From 40% of the
incidence of amniotic rupture early, the baby has asphyxia of newborns by 20%,
and this figure has increased from 2018 which is 15% incidence of asphyxia
babies from mothers with premature ruptured amniotic rupture early, the baby has
asphyxia of newborns by 20%, and this figure has increased from 2018 which is
15% incidence of asphyxia babies from mothers with premature ruptured amniotic
(PONEK RSDGJ Report, 2019).

Methods : The type of research used is cross-sectional, with research-free


variables are KPD events and the free variable is asphyxia. The population is all
maternity mothers with KPD amounting to 126 mothers and the research sample
amounted to 126 maternity mothers. Research instruments using checklist sheets.

Results: From the results of the study it was known that of 88 childbirths with
amniotic rupture early less than 24 hours, 18 childbirth or 20.5% had asphyxia,
and 70 childbirth or 79.5 did not experience asphyxia. Of the 38 births with
amniotic rupture earlier than 24 hours there were 27 childbirths or 71.1% with the
incidence of asphyxia, and 11 childbirths or 28.9% did not experience asphyxia.
Statistically the relationship between early ruptured amniotic and newborn
asphyxia shows a meaningful relationship that is p value 0.002 which means the
difference is significant ( p < 0.05 ).

Conclusion: Statistically the relationship between amniotic rupture early and


asphyxia of newborns shows a meaningful relationship that is p value 0.002 which
means the difference is significant ( p < 0.05 ). And it is expected for health
officials to improve skills and knowledge so that it can detect early things that can
cause amniotic rupture early by conducting good counseling on pregnancy
examinations so that the incidence of amniotic rupture early and asphyxia can be
anticipated as early as possible.

Keywords: Amniotic rupture early, asphyxia newborn

xiii
xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Survei Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2010, Angka

Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup,

sedangkan angka kematian bayi (AKB) adalah sebanyak 34 per 1000

kelahiran hidup. Sedangkan berdasarkan evaluasi Milleneal Development

Goals (MDGs) pada tahun 2015, kasus kematian ibu di Indonesia masih pada

posisi 305 per 100.000 kelahiran hidup dan untuk kematian bayi baru lahir

berkisar 15 per 1000 kelahiran hidup. Padahal target yang dicanangkan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah 102 per 100.000 kelahiran untuk

angka kematian ibu dan 15 per 1000 kelahiran hidup untuk angka kematian

bayi baru lahir. (www.kompas.com)

Angka Kematian Ibu (AKI) untuk propinsi Jawa Barat tahun 2017

yaitu sebesar 76.03 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi

(AKB) mencapai 3.4 per 1000 kelahiran hidup. (Profil Kesehatan Propinsi

Jawa Barat Tahun 2017)

Penyebab kematian ibu dan bayi diantaranya dapat diakibatkan dari

kelainan proses persalinan yaitu salah satunya adalah persalinan dengan

Ketuban Pecah Dini (KPD). KPD merupakan masalah penting dalam obstetrik

yang berkaitan dengan penyebab kelahiran prematuritas dan terjadinya infeksi

khoroamnionitas sampai sepsis yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas

perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Komplikasi paling sering terjadi pada

1
2

KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distres pernapasan

pada bayi, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir (asfiksia bayi baru lahir)

(Prawirohardjo, 2009).

Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian yang fisiologis yang

dialami semua wanita dalam masa reproduktif. Kelahiran juga merupakan

peristiwa sosial yang ibu dan keluarga menantikannya selama 9 bulan. Ketika

persalinan dimulai, peranan ibu adalah untuk melahirkan bayinya, peran

petugas kesehatan atau bidan adalah memantau persalinan untuk mendeteksi

dini adanya komplikasi, di samping itu bersama keluarga memberikan

bantuan dan dukungan pada ibu yang akan bersalin. (Prawirohardjo, 2009)

Ketuban pecah dini (KPD) adalah bila ketuban pecah pada waktu

persalinan, sedangkan pembukaan masih kecil. (Wiknjosastro, 2010).

Sedangkan asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara

spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan meningkatkan

karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih

lanjut. Tujuan melakukan tindakan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan

kelangsungan pernapasan bayi yang sebagian besar terjadi pada waktu

persalinan. (Prawirohardjo. 2010)

RSD Gunung Jati sebagai salah satu Rumah Sakit Pemerintah Daerah

Kota Cirebon yang merupakan rumah sakit rujukan Jawa Barat untuk wilayah

timur. Salah satu pelayanan yang diberikan oleh RSD Gunung Jati adalah

sentra pelayanan maternal dan perinatal dengan pelayanan terpadu. Angka

persalinan di RSD Gunung Jati pada tahun 2019 adalah 3234 persalinan. Dari

3234 persalinan tersebut angka kejadian KPD sebesar 40%nya atau sekitar
3

1293 persalinan. Dan dari 3234 persalinan tersebut 20% nya (647 bayi) bayi

mengalami asfiksia bayi baru lahir, 15% atau 97 kasus dari kasus asfiksia

tersebut menjadi asfiksia berat dan bayi memerlukan perawatan yang lebih

intensif, sisanya 550 adalah kasus asfiksia ringan dan sedang. (Data Rekam

Medis RSD Gunung Jati Tahun 2019). Sedangkan data tahun 2020 jumlah

persalinan dari bulan Januari – Mei sebesar 446 persalinan, persalinan dengan

KPD ada 138 kasus, dan angka kejadian asfiksia sebesar 20% dari jumlah

persalinan atau sekitar 89 kejadian.

Melihat masih tingginya angka persalinan dengan ketuban pecah dini

(KPD) dan angka kejadian asfiksia bayi baru lahir pada RSD Gunung Jati

tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Hubungan Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) dengan Asfiksia

Bayi Baru Lahir di RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat

hubungan antara kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) dengan Asfiksia

bayi baru lahir di RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2020?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD)

dengan Asfiksia bayi baru lahir di RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun

2020.
4

2. Tujuan Khusus

a.Untuk mengetahui gambaran kejadian ketuban pecah dini (KPD) di

RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2020.

b. Untuk mengetahui gambaran kejadian asfiksia bayi baru lahir di

RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2020.

c.Untuk mengetahui hubungan antara kejadian Ketuban Pecah Dini

(KPD) dengan Asfiksia bayi baru lahir di RSD Gunung Jati Kota

Cirebon Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan wawasan

dalam kajian asuhan kebidanan terutama dalam hal penanganan ketuban

pecah dini dan asfiksia bayi baru lahir.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Bidan

Sebagai tolak ukur pengetahuan bidan tentang ketuban pecah dini

dan asfiksia sehingga memberikan motivasi untuk meningkatkan

pengetahuan bidan tentang ketuban pecah dini dan asfiksia.


5

b. Bagi RSD Gunung Jati Kota Cirebon

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang kejadian dan

penanganan ketuban pecah dini dan asfiksia, sehingga di masa yang

akan datang angka komplikasi dari kejadian ketuban pecah dini dan

asfiksia dapat berkurang.

c. Bagi Peneliti

Sebagai informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan

meningkatkan kinerja dalam membantu melayani ibu hamil.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Ketuban Pecah Dini

1. Pengertian Ketuban Pecah Dini

a. Ketuban Pecah Dini yaitu :

1) Keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan

berusia 22 minggu.

2) Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses

persalinan berlangsung.

3) Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm

sebelum kehamilan 37 minggu maupun aterm.

(Saifudin, 2010)

b. Bila ketuban pecah pada waktu persalinan, sedangkan pembukaan

masih kecil. (Manuaba, 2008).

c. Ketuban pecah dini yaitu pecahnya ketuban sebelum infartu bila

pembukaan pada primi 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.

(Mochtar, 2008)

d. Ketuban pecah dini yaitu:

1) Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses

persalinan berlangsung.

2) Ketuban pecah dini merupakan maslah penting dalam obtetric

berkaitan dengan penyulit kelahiran premature atau terjadi

infeksi khorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan


7

mordibitas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi

pada ibu.

3) Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya

kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intra uterin atau

oleh kedua faktor tersebut.

4) Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh adanya

infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.

5) Penanganan Ketuban Pecah Dini merupakan pertimbangan

usiagestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan dan adanya

tanda-tanda persalinan. (Saifudin, 2008)

Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa Ketuban Pecah Dini yaitu

pecahnya ketuban belum waktunya biasanya terjadi sebelum

kehamilan 37 minggu atau terjadinya infeksi khorioamnitis sampai

sepsis yang meningkatkan mordibitas dan mortalitas.

Gambar 2.1 Ketuban Pecah


8

2 Tanda dan Gejala

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui

vagina.  Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak,

mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri

pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau

kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda

duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya

"mengganjal" atau "menyumbat" kebocoran untuk sementara.

Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin

bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat

dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa).

pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban

adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah

apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher

rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat

digunakan untuk mengkonfirmasi jumlah air ketuban yang terdapat di

dalam rahim.

4 Komplikasi KPD

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37

minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40%


9

bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua

ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk

kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan

amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat

terjadi pada KPD.

Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm.

Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD

preterm.  Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini

terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.

Gambar 2.2 Keluarnya Tali Pusar

5 Etiologi

a. Berkurangngnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan

intra uterin atau kedua faktor tersebut.

b. Adanya infeksi yang masuk ke servik melalui vagina.

c. Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat

dan vaskularisasi.

d. Trauma / ibu terjatuh dalam kehamilan tua.

e. Ketegangan rahim berlebihan : Kehamilan ganda, hidramnion.


10

f. Kesempitan panggul, perut gantung, bagian terendah janin belum

masuk PAP. (Prawirohardjo, 2009)

6 Patofisiologi

Kehamilan Aterm

Serviks Overdistensi Faktor Pengaruh dari


inkompeten uterus keturunan luar yang
melemahkan
Kekuatan Hidramnion Serum Ion Cu ketuban
membran serviks hamil ganda rendah
berkurang (infeksi kelainan Infeksi genetalia
dari vagina / Peningkatan genetik
serviks) tekanan intra Kekuatan
uterin Jaringan ikat membran
Terjadi pembukaan yang berkurang
Prematur serviks Kekuatan menyangga
membran ketuban Melemahnya
Membran terkait berkurang semakin daya tahan
Dengan proses berkurang ketuban
Terjadi pembukaan
karena lemahnya
daya tahan ke
tubuh

KPD
Diagram 2.1 Patofisiologi KPD
11

Keterangan :
Pada kehamilan aterm ketuban pecah dini terjadi apabila ada hal –

hal seperti di bawah ini :

a. Apabila servik inkopeten maka kekuatan membrane servik berkurang

(Infeksi dari vagina / servik) dan terjadi pembukaan prematur servik

sehingga membrane terkait dengan proses terjadinya pembukaan

katena lemasnya daya tahan tubuh dan meningkatkan ketuban pecah

dini.

b. Bila terjadi over distensi uterus dan menyebabkan hidramnion dan

kehamilan ganda maka terjadi peningkatan tekanan intrauterine

sehingga kekuatan membrane berkurang dan menimbulkan ketuban

pecah dini.

c. Faktor keturunan dapat menyebabkan serum ion Cu rendah dan

kelainan genetik sehingga jaringan ikat yang menyangga ketuban

semakin berkurang maka terjadi ketuban pecah dini.

d. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban dapat menyebabkan

infeksi genetalia sehingga kekuatan membran berkurang dan

melemahkan daya tahan ketuban sehingga terjadi ketuban pecah dini.

(Manuaba, 2008)
12

7 Penatalaksanaan

Ketuban Pecah Dini


Masuk rumah sakit
A. Antibiotik
B. Batasi pemeriksaan dalam
C. Pemeriksaan air ketuban kultur dan bakteri
D. Observasi benda infeksi dan distres janin
E. Bidan merujuk ke puskesmas atau rumah
sakit

Hamil Prematur (30-36 mg) : Hamil aterm (≥ 37 mg)


 Observasi : - Suhu rectal
-Fetal distres
 kortikosteroid

a. Kelainan Letak kepala,


obstetric indikasi induksi :
b. Distress  Infeksi
janin  waktu
c. Letak
sungsang
d. Letak
lintang
e. CPD

Gagal : berhasil
 Reaksi uterus tidak
ada
 Kelainan letak kepala
SECTIO SESAREA  Fase laten dan aktif
memanjang
 Distress janin
 Rupture uteri
imminens
 Ternyata KPD

Diagram 2.2 Penatalaksanaan KPD


13

Keterangan:

a. Penatalaksanaan KPD usia kehamilan 27-40 minggu harus di

tegakkan diagnosis dahulu dengan pemeriksaan inspekulum yaitu

membedakan antara cairan ketuban dengan air biasa dan menghitung

yang keluar tiap 1 jam kemudian bisa juga dengan pemeriksaan tes

lakmus yaitu dengan kertas lakmus jika kertas ketuban berubah

menjadi warna biru maka positif itu adalah cairan ketuban, setelah

diagnosis KPD dapat ditegakkan maka kita tentukan tanda-tanda

infeksi dan rujuk ke rumah sakit terdekat.

b. Jika klien dengan KPD terdapat riwayat perdarahan pada akhir

perdarahan (setelah 22 minggu) jangan lakukan pemeriksaan secara

digital karena dapat menyebabkan prematur pada membran serviks,

keadaan klien memburuk rujuk segera ke rumah sakit terdekat.

(Prawirohardjo, 2010)

8 Penanganan Ketuban Pecah di Rumah

a. Apabila terdapat rembesan atau aliran cairan dari vagina, segera

hubungi dokter atau petugas kesehatan dan bersiaplah untuk ke

Rumah Sakit

b. Gunakan pembalut wanita (jangan tampon) untuk penyerapan air

yang keluar

c. Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi,

jangan berhubungan seksual atau mandi berendam

d. Selalu membersihkan dari arah depan ke belakang untuk

menghindari infeksi dari dubur


14

e. Jangan coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri (Mansjoer, 2007)

9 Terapi

Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit.

Dokter kandungan akan mendiskusikan rencana terapi yang akan

dilakukan, dan hal tersebut tergantung dari berapa usia kehamilan dan

tanda-tanda infeksi yang terjadi. Risiko  kelahiran bayi prematur adalah

risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah dini.

Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan

terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari

kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan

diambil.

Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah

apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin dini ketuban

pecah terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan

kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba, dokter

biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian

oksitosin (perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah

pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk tanggal persalinan

dokter tak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu,

karena menunda induksi bisa meningkatkan resiko infeksi. Apabila paru

bayi belum matang dan tidak terdapat infeksi setelah kejadian KPD,

maka istirahat dan penundaan kelahiran (bila belum waktunya

melahirkan) menggunakan magnesium sulfat dan obat tokolitik.


15

Apabila paru janin sudah matang atau terdapat infeksi setelah kejadian

KPD, maka induksi untuk melahirkan mungkin diperlukan.

Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan

kontroversi dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan

serta tidak adanya risiko peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan

janin.  Steroid berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi

risiko sindrom distress pernapasan pada janin, serta perdarahan pada

otak.

Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang

pertama adalah penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi setelah

kejadian KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis

bahwa KPD dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm

dapat menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan pada wanita hamil

dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses kelahiran

diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta

sepsis neonatal (infeksi pada bayi baru lahir).

10 Pencegahan

Beberapa pencegahan dapat dilakukan namun belum ada yang terbukti

cukup efektif. Mengurangi aktivitas atau istirahat pada akhir triwulan

kedua atau awal triwulan ketiga dianjurkan.

2 Persalinan

1. Pengertian
16

a. Persalinan adalah proses menipis dan membukanya serviks, dan

janin turun ke dalam jalan lahir (Prawirohardjo, 2010)

b. Persalinan adalah Proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)

yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui

jalan lahir atau jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan

(kekuatan sendiri). (Manuaba, 2008)

2. Permulaan Terjadinya Persalinan

Dengan penurunan hormone progesterone menjelang persalinan dapat

terjadi kontraksi-kontraksi otot rahim menyebabkan :

a. Turunnya kepala, masuk pintu atas panggul,

terutama pada primigravida minggu ke -36 dapat menimbulkan

sesak di bagian bawa, di atas simpisis pubis dan sering ingin

kencing atau susah kencing karena kandung kemih tertekan oleh

kepala.,

b. Perut lebih lebar karena fundus uteri turun.

c. Terjadi perasaan sakit di daerah pinggang karena

kontraksi ringan otot rahim dan tertekannya pleksus frankenhauser

yang terletak di sekitar serviks(tanda persalinan palsu/Fase labour).

d. Terjadi perlunakan serviks karena terdapat kontraksi

otot rahim.

e. Terjadi pengeluaran lendir, di mana lendir penutup

serviks dilepaskan (Manuaba, 2008).


17

3. Patofisiologi

Hormon Estrogen

Meningkatkan sensitivitas Menerima rangsangan

Otot rahim Oxytocin, prostaglandin,

rangsangan mekanis

Hormon Progesteron

Menurunkan sensitivitas Menyebabkan otot Menyulitkan penerimaan


otot rahim rahim dan otot polos rangsangan dari luar
relaksasi seperti rangsangan
oksitosin, rangsangan
prostaglandin, rangsangan
mekanis

Perubahan keseimbangan H. Estrogen dan H. Progesteron.

Meningkatnya Oxytocin keluar Hipofise parst posterior

prostaglandin

Kontraksi Braxton Hicks

Persalinan

Diagram 2.3

Patofisiologi Persalinan
18

Keterangan : Estrogen dan progesteron terdapat dalam keseimbangan

sehingga kehamilan dapat dipertahankan. Perubahan keseimbangan

kedua hormon tersebut menyebabkan oxytocin yang dikeluarkan oleh

hipofise parst posterior yang dapat menimbulkan kontraksi dalam bentuk

braxton hick. Kontraksi ini akan menjadi kekuatan yang dominan saat

mulainya persalinan, oleh karena itu makin tuanya kehamilan frekuensi

kontraksi semakin sering. Oxytocin diduga bekerja sama atau melalui

prostaglandin yang makin meningkat mulai dari umur kehamilan

Minggu ke-15. Di samping itu faktor gizi ibu hamil dan keregangan otot

rahim dapat memberikan pengaruh penting untuk di mulainya kontraksi

rahim dan ketika kontraksi mulai meningkat akan di ketahui tanda –

tanda persalinan (Manuaba, 2008).

4. Tanda Persalinan

Gejala persalinan sebagai berikut:

a. Kekuatan his makin sering terjadi dan teratur dengan jarak

kontraksi yang semakin pendek.

b. Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda, yaitu:

1) Pengeluaran lendir

2) Lendir bercampur darah

c. Dapat disertai ketuban pecah

d. Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks:

1) Pelunakan serviks

2) Pendataran serviks

3) Terjadi pembukaan serviks


19

Faktor-faktor penting dalam persalinan adalah

a. Power

1) His (Kontraksi otot rahim)

2) Kontraksi otot dinding perut

3) Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengejan

4) Ketegangan dan kontraksi ligamentum

b. Pasanger: Janin dan plasenta

c. Passage : Jalan lahir lunak dan jalan lahir tulang.

5. Pembagian Tahap Persalinan

a. Persalinan Kala I

Yang dimaksud dengan kala I adalah kala pembukaan yang

berlangsung antara pembukaan nol sampai pembukaan lengkap.

Pada permulaan his, kala pembukaan tidak berlangsung begitu kuat

sehingga parturien masih dapat berjalan – jalan. Lamanya Kala I

untuk primigravida berlangsung 12 jam sedangkan multigravida

sekitar 8 jam. Berdasarkan kurve Friedman, diperhitungkan

pembukaan primigravida 1cm.jamdan pembukaan multigravida

2cm/jam. Dengan perhitungan tersebut maka waktu pembukaan

lengkap dapat diperkirakan.

b. Persalinan Kala II

Gejala utama kala II adalah :

1) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit,

dengan durasi 50 sampai 100 detik.


20

2) Menjelang akhir kala I ketuban pecah yang ditandai

dengan pengeluaran cairan secara mendadak.

3) Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap

diikuti keinginan meneran, karena tertekannya Fleksus

Frankenhouser.

4) Kedua kekuatan, his dan meneran lebih mendorong

kepala bayi sehingga terjadi kepala membuka pintu, subocciput

bertindak sebagai hipomoglion berturut – turut lahir ubun –

ubun besar, dahi, hidung, dan muka serta kepala seluruhnya.

5) Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi

luar, yaitu penyesuaian kepala pada punggung.

6) Setelah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan

bayi ditolong dengan jalan : Kepala dipegang pada os occiput

dan di bawah dagu, ditarik curam kebawah untuk melahirkan

bahu depan, dan curam ke atas untuk melahirkan bahu

belakang, setelah kedua bahu lahir, ketiak dikait untuk

melahirkan sisa badan bayi, bayi lahir diikuti oleh sisa air

ketuban.

7) Lamanya kala II untuk Primigravida 50 menit dan

multigravida 30 menit.

c. Persalinan Kala III (Pelepasan Uri)

Setelah kala II, kontraksi uterus berhenti sekitar 5 sampai 10 menit.

Dengan lahirnya bayi, sudah mulai pelepasan plasenta pada lapisan

Nitabusc, karena sifat retraksi otot rahim.


21

Lepasnya plasenta sudah dapat diperkirakan dengan memperhatikan

tanda – tanda yaitu uterus menjadi bundar, uterus terdorong ke atas

karena plasenta dilepas ke segmen bawah rahim, tali pusat

bertambah panjang, terjadi perdarahan.

Melahirkan plasenta dilakukan dengan dorongan ringan secara

Crede pada fundus uteri.

d. Persalinan Kala IV

Kala IV Di maksudkan untuk melakukan observasi karena

perdarahan post partum paling sering terjadi pada 2 jam pertama.

Observasi yang dilakukan adalah tingkat kesadaran penderita,

pemeriksaan tanda – tanda vital (tekanan darah, nadi, dan

pernafasan), kontraksi uterus, terjadinya perdarahan. Perdarahan

dianggap masih normal bila jumlahnya tidak melebihi 400 sampai

500cc.

3 Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia

1. Pengertian

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang

gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

(Prawirohardjo, 2010)

2. Etiologi

Penyebab secara umum dikarenakan adanya ganguan pertukaran

pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan /

segera setelah lahir. (Prawirohardjo, 2010)


22

Penyebab gangguan pernapasan pada bayi menurut Prawirohardjo

(2010)adalah :

a. Faktor Ibu

1) Hipoksia ibu

Aliran oksigen dari ibu ke janin menjadi terhambat

dikarenakan ibu pun mengalami kekurangan oksigen atau

gangguan pernapasan.

2) Usia ibu kurang dari 20 atau >35 tahun.

3) Gravida 4 atau lebih.

4) Sosial ekonomi rendah

5) Penyakit darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin,

misalnya : hipertensi, hipotensi, gangguan kontraksi uterus,

preeklampsia dan eklampsia.

6) Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

7) Partus lama atau partus macet.

8) Demam selama persalinan

9) Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

10) Kehamilan post matur (lebih dari 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Placenta

1) Placenta tipis

2) Placenta kecil

3) Placenta tak menempel

4) Solusia placenta

5) Pendarahan placenta,dll
23

c. Faktor Janin / Neonatus

1) Prematur (sebelum kehamilan 37 minggu)

2) Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)

3) Gemeli (bayi kembar)

4) Tali pusat menumbung

5) Kelainan congenital

6) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

d. Faktor Persalinan

1) Partus lama

2) Partus tindakan(ekstraksi vacum dan forcep)

e. Faktor Depresi Bayi pada saat lahir

1) Asfiksia intra uterin

2) Bayi kurang bulan (BKB)

3) Obat-obat yang diberikan/diminum oleh ibu

4) Penyakit neuro muskular bawaan (kongenital)

5) Cacat bawaan

6) Hipoksia intra partum (Prawirohardjo, 2010)


24

1. Patofisiologi

Diagram 2.4

Patofisiologi Asfiksia

Janin kekurangan O2

Merangsang usus CO2 bertambah Intra uterin

Rangsangan N. Vagus Rangsangan Pernafasan


N. Simpatikus

MekoniumDjj lambat Djj cepat Menghisap air


Keluar ketuban & mekonium

Asfiksia Bronkus tersumbat

Alveoli tidak
Berkembang
Sumber : Prawirohardjo (2010)

Keterangan :

1. bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah

rangsangan terhadap N.vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi

lambat. Bila kekurangan O2 ini terus berlangsung, maka N.vagus tidak

dapat dipengaruhi lagi. Timbullah kini rangsang dari N.simpatikus.

DJJ menjadi lebih cepat akhirnya irreguler dan menghilang secara


25

klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih

cepat dari 160x / menit atau kurang dari 120x /menit, halus dan

irreguler, serta adanya pengeluaran meconium.

2. Kekurangan O2juga merangsang usus, sehingga meconium keluar

sebagai tanda janin dalam asfiksia.

Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia

Jika DJJ lebih dari 160x / menit dan ada mekonium : janin sedang

asfiksia.

3. Jika DJJ kurang dari 100x /menit dan ada mekonium : janin dalam

keadaan gawat

Janin akan mengadakan pernafasan intra uterin dan bila kita periksa,

kemudian terdapat banyak air ketuban dan meconium dalam paru.

Bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis, bila janin lahir alveoli tidak

berkembang.

2. Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda asfiksia menurut Depkes RI (2011) adalah

sebagai berikut :

3. Pernafasan cuping hidung

4. Pernafasan cepat ≥ 60 x /menit

5. Nadi cepat

6. Cyanosis / kebiruan

7. Nilai APGAR kurang dari 6

8. Tidak ada pernafasan/nafas lambat < 30x / menit.

9. Tarikan dinding dada ke dalam yang (Depkes RI, 2011)


26

Penilaian asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Penilaian asfiksia pada bayi baru lahir menurut Prawirohardjo

(2010) ditentukan oleh :

1. Pernafasan

2. Tonus otot

3. Warna kulit

3. Penanganan Bayi Baru Lahir Dengan

Asfiksia

Menurut JNPK-KR (2012) penanganan bayi baru lahir dengan

asfiksia adalah sebagai berikut :

a. Keputusan resusitasi pada bayi baru lahir

1) Penilaian

a) Sebelum bayi lahir : apakah kehamilan cukup bulan ?

b) Sebelum bayi lahir, sesudah ketuban pecah : apakah

ketuban jernih, tidak bercampur mekonium ?

c) Segera setelah bayi lahir (jika bayi cukup bulan) :

menilai apakah bayi menangis atau bernapas/megap-

megap ? Dan menilai apakah tonus otot baik ?

2) Keputusan

Memutuskan bayi perlu resusitasi jika :

2 Bayi tidak cukup bulan dan atau bayi megap-

megap/tidak bernapas dan atau tonus otot bayi tidak

baik.
27

3 Air ketuban bercampur mekonium

3) Tindakan

Mulai lakukan resusitasi segera jika :

a) Bayi tidak cukup bulan dan atau bayi megap-megap /

tidak bernapas dan atau tonus otot bayi tidak baik :

lakukan tindakan resusitasi bayi baru lahir.

b) Air ketuban bercampur mekonium : lakukan resusitasi

sesuai dengan indikasinya.

b. Tindakan resusitasi bayi baru lahir

TAHAP I : LANGKAH AWAL

Langkah awal diselesaikan dalam waktu 30 detik. Bagi

kebanyakan bayi baru lahir, 5 langkah awal ini cukup

merangsang bayi bernapas spontan dan teratur. Langkah tersebut

meliputi :

1) Jaga bayi tetap hangat

a) Letakkan bayi diatas kain yang ada di atas perut ibu

b) Selimuti bayi dengan kain tersebut, dada dan perut bayi

tetap terbuka, potong tali pusat.

c) Pindahkan bayi keatas kain di tempat resusitasi yang

datar, rata, keras, bersih, kering, dan hangat.

d) Jaga bayi tetap diselimuti dan di bawah pemancar

panas.
28

2) Atur posisi bayi

a) Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat

penolong

b) Posisikan kepala bayi pada posisi menghidu dengan

menempatkan ganjal bahu sehingga kepala sedikit

ekstensi

3) Isap lendir

a) Isap lendir mulai dari mulut dulu, kemudian dari

hidung

b) Lakukan penghisapan saat alat penghisap ditarik keluar.

TIDAK pada waktu memasukkan

c) Jangan lakukan pengisapan terlalu dalam (jangan lebih

dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam

hidung), hal itu dapat menyebabkan denyut jantung

bayi menjadi lambat atau bayi tiba-tiba berhenti

bernapas.

4) Keringkan dan rangsang bayi

a) Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian

tubuh lainnya dengan sedikit tekanan. Rangsangan ini

dapat membantu bayi baru lahir mulai bernapas

b) Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di

bawah ini :

(1) Menepuk/menyentil telapak kaki ATAU


29

(2) Menggosok punggung/perut/tungkai bayi dengan

telapak tangan.

5) Atur kembali posisi kepala bayi dan selimuti bayi

a) Ganti kain yang telah basah dengan kain kering

dibawahnya

b) Selimuti bayi dengan kain kering tersebut, jangan

menutupi muka dan dada bayi agar bisa memantau

pernapasan bayi

c) Atur kembali posisi kepala bayi sehingga kepala sedikit

ekstensi.

Lakukan penilaian bayi

1) Bila bayi bernapas normal, lakukan asuhan paska resusitasi

2) Bila bayi megap-megap atau tidak bernapas : mulai lakukan

ventilasi bayi.

TAHAP II : VENTILASI

Ventilasi adalah tahapan tindakan resusitasi untuk memasukkan

sejumlah volume udara ke dalam paru dengan tekanan positif

untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa bernapas spontan

dan teratur.

Langkah-langkah :

1) Pasang sungkup :

Pasang dan pegang sungkup agar menutupi dagu, mulut dan

hidung bayi.
30

2) Ventilasi 2 kali

a) Lakukan tiupan/pemompaan dengan tekanan 30 cm air

Tiupan awal tabung sungkup/pemompaan awal balon-

sungkup sangat penting untuk membuka alveoli paru

agar bayi bisa mulai bernapas dan menguji apakah jalan

napas bayi terbuka.

b) Lihat apakah dada bayi mengembang

Saat melakukan tiupan/pemompaan perhatikan apakah

dada bayi mengembang. → Bila tidak mengembang:

(1) Periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada

udara yang bocor

(2) Periksa posisi kepala, pastikan posisi sudah

menghidu

(3) Periksa cairan atau lendir di mulut. Bila ada lendir

atau cairan dilakukan pengisapan

(4) Lakukan tiupan 2 kali dengan tekanan 30 cm air

(ulangan), bila dada mengembang, lakukan

tahapan:

3) Ventilasi 20 kali dalam 30 detik

a) Lakukan tiupan dengan tabung dan sungkup atau

pemompaan dengan balon dan sungkup sebanyak 20

kali dalam 30 detik dengan tekanan 20 cm air sampai

bayi mulai menangis dan bernapas spontan


31

b) Pastikan dada mengembang saat dilakukan tiupan atau

pemompaan, setelah 30 detik lakukan penilaian ulang

napas

4) Ventilasi, setiap 30 detik hentikan dan lakukan penilaian

ulang napas

a) Lanjutkan ventilasi 20 kali dalam 30 detik

b) Hentikan ventilasi setiap 30 detik, lakukan penilaian

bayi apakah bernapas, tidak bernapas atau megap-

megap.

5) Siapkan rujukan jika bayi belum bernapas spontan sesudah

2 menit resusitasi

a) Jelaskan kepada ibu apa yang terjadi, apa yang anda

lakukan dan mengapa

b) Mintalah keluarga untuk mempersiapkan rujukan

c) Teruskan ventilasi selama mempersiapkan rujukan

d) Catat keadaan bayi pada formulir rujukan dan rekam

medik persalinan.

6) Lanjutkan ventilasi sambil memeriksa denyut jantung bayi.

Bila dipastikan denyut jantung bayi tidak terdengar dan

pulsasi tali pusat tidak teraba, lanjutkan ventilasi selama 10

menit.

Hentikan resusitasi jika denyut jantung tetap tidak

terdengar dan pulsasi tali pusat tidak teraba, jelaskan kepada

ibu dan berilah dukungan kepadanya serta lakukan


32

pencatatan. Bayi yang mengalami asistol (tidak ada denyut

jantung) selama 10 menit kemungkinan besar mengalami

kerusakan otak yang permanen.

TAHAP III : ASUHAN PASCA RESUSITASI

Setelah tindakan resusitasi, diperlukan asuhan paska resusitasi

yang merupakan perawatan intensif selama 2 jam pertama.

Penting sekali pada tahap ini dilakukan konseling, asuhan bayi

baru lahir dan pemantauan secara intensif serta pencatatan.

Asuhan yang diberikan sesuai dengan hasil resusitasi.

Ketuban pecah dini yaitu pecahnya ketuban sebelum inpartu bila

pembukaan pada primi 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. (Mochtar,

2010) Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan

berlangsung.Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetrik

berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur atau terjadi infeksi

khorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan mordibitas dan mortalitas

perinatal dan menyebabkan infeksi pada ibu.Ketuban pecah dini disebabkan

oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intra

uterin atau oleh kedua faktor tersebut.Berkurangnya kekuatan membran

disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.

Komplikasi yang paling sering terjadi pada persalinan dengan ketuban pecah

dini bagi janin adalah sindrom distres pernapasan yang apabila bayi tersebut

lahir maka akan menyebabkan terjadinya asfiksia bayi baru lahir.Bila janin

kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap

Nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan
33

O2 ini terus berlangsung, maka Nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi.

Timbullah kini rangsang dari Nervus simpatikus. DJJ menjadi lebih cepat

akhirnya irreguler dan menghilang secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah

denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160x / menit atau kurang dari

120x /menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran meconium.Janin

akan mengadakan pernafasan intra uterin dan bila kita periksa, kemudian

terdapat banyak air ketuban dan meconium dalam paru. Bronkus tersumbat

dan terjadi atelektasis, bila janin lahir alveoli tidak berkembang sehingga lahir

dengan asfiksia.

Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia

kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan

prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya

insiden seksio sesarea atau gagalnya persalinan normal.Dengan pecahnya

ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat sehingga terjadi

asfiksia.Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat

oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.Maka

apabila kejadian ketuban berlangsung lama, maka potensial untuk terjadinya

asfiksia makin besar. (Saefudin, 2010)

Menurut Saefudin (2010) selaput ketuban yang membatasi rongga amnion

terdiri atas amnion dan korion yang sangat erat ikatannya.Lapisan ini terdiri

atas beberapa sel seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang

terikat erat dalam matriks kolagen.Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air

ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi. Dalam keadaan normal,

selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini adalah
34

keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah

dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini

pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8 – 10 % perempuan hamil

aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini prematur

terjadi pada 1 % kehamilan. Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan

perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra selular

amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua

bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban

dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein

hormon yang merangsang aktivitas “matriks degrading enzyme”.

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi

uterus dan peregangan berulang.Selaput ketuban pecah karena pada daerah

tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban

inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler

matriks.Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen

menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban

pecah.Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP)

yang dihambat oleh inhibitor jaringanspesifik dan inhibitor

protease.Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-

1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membran

janin.Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.Pada

penyakit periodontitis dimana terdapat peningkatan MMP, cenderung terjadi

ketuban pecah dini.


35

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda.Pada trimester ketiga

selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada

hubungannya dengan pembesaran uterus,kontraksi rahim, dan gerakan janin.

Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput

ketuban.Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal

fisiologis.Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh

adanya faktor-faktor eksternal, seperti infeksi yang menjalar dari

vagina.Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion,

inkompeten serviks, solusio plasenta.

Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia

kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan

prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya

insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal.Setelah ketuban pecah

biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur

kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban

pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50% persalinan dalam 24

jam.Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1

minggu.

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini.Pada ibu

terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia,

omfalitis.Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada

ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara

umum insiden infeksi sekunder pada kehamilan ketuban pecah dini meningkat

sebanding dengan lamanya periode laten.


36

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali

pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.Terdapat hubungan antara

terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air

ketuban, janin semakin gawat.

4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian-

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

menyusun kerangka konsep tentang hubungan antara ketuban pecah dini

dengan kejadian Asfiksia Neonatorum di RSD Gunung Jati Kota Cirebon

Tahun 2020 sebagai berikut :

Ketuban Pecah Asfiksia


Dini (KPD) Neonatorum di RSD
Gunung Jati

Variabel Bebas Variabel Terikat

Diagram 2.5

Kerangka Konsep

E. Hipotesis
37

Jawaban sementara dari penelitian adalah hipotesis. Hipotesis merupakan

jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji

secara empiris (Badriah, 2009).

Hipotesis nol (Ho) pada penelitian ini adalah tidak adanya hubungan

antara kejadian ketuban pecah dini (KPD) dengan asfiksia

neonatorum.Sedangkan hipotesis alternatif (Ha) pada penelitian ini adalah

adanya hubungan antara kejadian ketuban pecah dini (KPD) dengan asfiksia

neonatorum.

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang

signifikan antara kejadian ketuban pecah dini (KPD) dengan Asfiksia

Neonatorum di RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2020.


38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian cross-sectional atau

lintas-bagian. Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang mengukur

prevalensi penyakit (Badriah, 2010). Penelitian cross-sectional ini untuk

melihat hubungan kejadian ketuban pecah dini (KPD) dengan asfiksia bayi

baru lahir dalam satu waktu tertentu tanpa melihat riwayat sebelumnya.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSD Gunung Jati Kota Cirebon pada

bulan Agustus – November 2020.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yaitu keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Menurut Sukmadinata (2010) populasi adalah

wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai

kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari oleh peneliti dan kemudian ditarik kesimpulan.

38
39

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin dengan

ketuban pecah dini di RSD Gunung Jati Kota Cirebon periode Januari –

Juni tahun 2020 yang berjumlah 126 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sukmadinata, 2010). Sedangkan tehnik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu

dengan mengambil seluruh responden yang ada pada saat penelitian. Besar

sampelnya adalah seluruh ibu bersalin dengan ketuban pecah dini di RSD

Gunung Jati Kota Cirebon periode Januari – Juni tahun 2020 yang

berjumlah 126 orang.

D. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian

Variabel merupakan sesuatu yang menjadi objek pengamatan penelitian,

sering juga disebut sebagai faktor yang berperan dalam penelitian atau gejala

yang akan diteliti. (Dahlan, 2015) Variabel bebas atau variable independent

adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya

atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas nya

adalah ketuban pecah dini. Alat ukur yang digunakan adalah lembar ceklis.

Cara ukurnya dengan melihat laporan persalinan dalam partograf. Hasil

ukurnya : ketuban pecah < 24 jam, dan ketuban pecah > 24 jam. Dan skala

pengukurannya menggunakan skala nominal.

Variabel terikat atau variable dependent adalah variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam
40

penelitian ini variabel terikatnya adalah asfiksia neonatorum. Alat ukur yang

digunakan adalah lembar ceklis. Cara ukurnya dengan melihat laporan

persalinan dalam partograf. Hasil ukurnya : 1) Ya : bayi baru lahir nafas

megap-megap atau tidak bernafas secara spontan, 2) Tidak : bayi baru lahir

bernafas secara spontan. Dan skala pengukurannya menggunakan skala

nominal.

E. Pengolahan Data

Data yang terkumpul dari lembar cheklist ini kemudian diolah dengan

tahap sebagai berikut:

a. Pengeditan

Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan dari

data yang telah dikumpulkan juga memonitor jangan sampai terjadi

kekosongan dari data yang dibutuhkan. Peneliti akan melakukan tahap

editing data saat di lapangan sebelum data yang terkumpul dibawa

pulang.

b. Pengkodean

Pengkodean ini dimaksudkan untuk mempermudah proses pengolahan

data, maka tiap lembar observasi yang telah diisi diberi kode atau

nomor.

c. Tabulasi

Tabulasi data merupakan kelanjutan dari koding data.Dalam hal ini

setelah data diberi kode angka oleh peneliti, data kemudian

dimasukkan ke dalam tabel-tabel dalam bentuk distribusi frekuensi.


41

Penyusunan data ini merupakan pengorganisasian data sedemikian

rupa agar data mudah dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan

serta dianalisis

d. Pemasukan Data

Langkah memasukkan (entering) ini adalah untuk memasukkan data-

data hasil penelitian ke dalam komputer.

F. Tehnik Analisis Data

Analisa adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan diinterprestasikan. Proses ini digunakan statistik, salah

satu fungsinya menyederhanakan data penelitian yang besar jumlahnya

menjadi informasi yang sederhana dan lebih mudah dipahami

(Notoatmodjo, 2010).

a. Analisa Univariat

Analisa Univariat ini digunakan untuk menggambarkan tiap

variabel penelitian antara variabel bebas dan variabel terikat dengan

menampilkan gambaran distribusi frekuensi (Notoatmodjo, 2010).

F
P= x 100%
n

Keterangan :

P : Prosentase

F : Frekuensi

n : Jumlah Responden
42

b. Analisa Bivariat

Yaitu analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berpengaruh atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Analisa ini

dipergunakan untuk melihat kemaknaan hubungan dari tiap-tiap

variabel bebas dan terikat, menggunakan uji statistik Chi Square

dengan tingkat kemaknaan alpha 0,05 untuk uji perbedaan proporsi

kedua variabel. Bila nilai p value alpha < 0,05 berarti hasil perhitungan

statistik bermakna (signifikan) dan bila nilai p value > 0,05 berarti

hasil perhitungan statistik tidak bermakna (tidak signifikan). Arah uji

hipotesis yang dipakai adalah two tail (dua sisi) yaitu merupakan

hipotesis alternatif yang hanya menyatakan hubungan tanpa melihat

apakah hal yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain.

(fo – fh)2
2 = 
fh

Keterangan :

2 =Chi Square

fo= frekuensi yang diobservasi

fh = frekuensi yang diharapkan


43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai ada

tidaknya hubungan ketuban pecah dini (KPD) dengan kejadian asfiksia bayi

baru lahir. Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Analisa Univariat

c) Distribusi Kejadian Ketuban Pecah Dini

Dari penelitian didapatkan gambaran distribusi frekuensi kejadian

ketuban pecah dini (KPD) di RSD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun

2020 adalah sebagai berikut :

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Kejadian Ketuban Pecah Dini di
RSD Gunung Jati Tahun 2020

Ketuban Pecah Dini Jumlah Prosentase (%)


KPD < 24 jam 88 69.8
KPD > 24 jam 38 30.2
Total 126 100

Dari tabel 2, didapatkan bahwa kejadian ketuban pecah dini

kurang dari 24 jam sebanyak 88 persalinan (69.8%) dan ketuban pecah

dini lebih dari 24 jam sebanyak 38 persalinan (30.2%).

d) Distribusi Kejadian Asfiksia


43
44

Dari penelitian didapatkan gambaran distribusi frekuensi kejadian

Asfiksia di RSD Gunung Jati adalah sebagai berikut :

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Kejadian Asfiksia di RSD Gunung Jati
Tahun 2020

Asfiksia Jumlah Prosentase (%)


Ya 45 35.7
Tidak 81 64.3
Total 126 100

Dari tabel 3, didapatkan bahwa kejadian asfiksia sebanyak 45 bayi

(35.7%) dan yang tidak asfiksia sebanyak 81 bayi (64.3%).

4. Analisa Bivariat

Tabel 4
Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Asfiksia di
RSD Gunung Jati Tahun 2020
Asfiksia
Ketuban Pecah Dini Ya Tidak Total P Value
N N
N 18 70 88
KPD < 24 jam
% 20.5 79.5 100
N 27 11 38
KPD > 24 jam 0,002
% 71.1 28.9 100
N 45 81 126
Jumlah
% 35.7 64.3 100

Dari tabel 4 diatas diketahui bahwa dari 88 persalinan dengan ketuban

pecah dini kurang dari 24 jam, 18 persalinan atau 20.5% mengalami

asfiksia, dan 70 persalinan atau 79.5 tidak mengalami asfiksia. Dari 38

persalinan dengan ketuban pecah dini lebih dari 24jam terdapat 27


45

persalinan atau 71.1% dengan kejadian asfiksia, dan 11 persalinan atau

sebesar 28.9% tidak mengalami asfiksia.

Secara statistik hubungan antara ketuban pecah dini dengan asfiksia bayi

baru lahir menunjukkan hubungan yang bermakna yaitu p value 0,002

yang berarti perbedaan tersebut signifikan ( p < 0,05 ).

B. Pembahasan

Hasil penelitian pada 126 responden terdapat 88 persalinan (69.8 %)

dengan ketuban pecah dini kurang dari 24 jam, dan 38 persalinan (30.2%)

dengan ketuban pecah dini lebih dari 24 jam. Komplikasi paling sering terjadi

pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distres pernapasan

pada bayi, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir (asfiksia bayi baru lahir).

18 persalinan atau 20.5% mengalami asfiksia, dan 70 persalinan atau 79.5

tidak mengalami asfiksia. Dari 38 persalinan dengan ketuban pecah dini lebih

dari 24 jam terdapat 27 persalinan atau 71.1% dengan kejadian asfiksia, dan

11 persalinan atau sebesar 28.9% tidak mengalami asfiksia. Secara statistik

hubungan antara ketuban pecah dini dengan asfiksia bayi baru lahir

menunjukkan hubungan yang bermakna yaitu p value 0,002 yang berarti

perbedaan tersebut signifikan ( p < 0,05 ).

Dari pembahasan diatas terbukti bahwa ketuban pacah dini dapat

menyebabkan bayi lahir dengan asfiksia. Hal ini juga dibenarkan dari hasil
46

penelitian yang dilakukan Sri Susanti (2010) tentang faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum di RSUD Majalengka tahun

2010 yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya bayi lahir

dengan asfiksia adalah ibu bersalin dengan ketuban pecah dini. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Imas Asiyah (2012) menyatakan bahwa ibu-ibu

yang bersalin dengan ketuban pecah dini maka akan melahirkan bayi dengan

asfiksia bayi baru lahir sebesar 48,5%. Ketuban pecah dini yang terjadi <

dari 24 jam akan melahirkan bayi asfiksia sebesar 22,6% dan ketuban pecah

dini yang terjadi > 24 jam angka kejadian asfiksia bayi baru lahirnya lebih

tinggi yaitu sebesar 55,4%.

Melihat dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka terbukti

bahwa ada hubungan antara ketuban pecah dini (KPD) dengan asfiksia bayi

baru lahir.
47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Angka kejadian ketuban pecah dini kurang dari 24 jam sebanyak 88

persalinan (69.8%) dan ketuban pecah dini lebih dari 24 jam sebanyak 38

persalinan (30.2%).

2. Angka kejadian asfiksia bayi baru lahir adalah kejadian asfiksia sebanyak

45 bayi (35.7%) dan yang tidak asfiksia sebanyak 81 bayi (64.3%).

3. Terdapat hubungan antara ketuban pecah dini dengan asfiksia yaitu p

value 0,002 yang berarti perbedaan tersebut signifikan ( p< 0,05 )

4 Saran

Diharapkan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan

sehingga dapat mendeteksi secara dini hal-hal yang dapat dapat

menyebabkan ketuban pecah dini dengan melakukan konseling yang baik

pada pemeriksaan kehamilan sehingga kejadian ketuban pecah dini dan

asfiksia dapat diantisipasi sedini mungkin.

69
48

Frequencies

Notes

Output Created 11-Dec-2020 16:09:07

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 126

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics are based on all cases with valid


data.

Syntax FREQUENCIES VARIABLES=KPD Asfiksia


/PIECHART FREQ
/ORDER=ANALYSIS.

Resources Processor Time 00:00:00.766

Elapsed Time 00:00:00.969

[DataSet0] 

Statistics

kejadian KPD kejadian asfiksia

N Valid 126 126

Missing 0 0
49

Frequency Table

kejadian KPD

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid KPD < 24 jam 88 69.8 69.8 69.8

KPD > 24 jam 38 30.2 30.2 100.0

Total 126 100.0 100.0

kejadian asfiksia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 45 35.7 35.7 35.7

Tidak 81 64.3 64.3 100.0

Total 126 100.0 100.0


50

Pie Chart

24 jam
24 jam
51
52

Crosstabs

Notes

Output Created 11-Dec-2020 16:10:40

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 126

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=KPD BY Asfiksia
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.016

Elapsed Time 00:00:00.047

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


53

[DataSet0] 

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kejadian KPD * kejadian


126 100.0% 0 .0% 126 100.0%
asfiksia

kejadian KPD * kejadian asfiksia Crosstabulation

kejadian asfiksia

Ya Tidak Total

kejadian KPD KPD < 6 jam Count 18 70 88

% within kejadian KPD 20.5% 79.5% 100.0%

KPD > 6 jam Count 27 11 38

% within kejadian KPD 71.1% 28.9% 100.0%

Total Count 45 81 126

% within kejadian KPD 35.7% 64.3% 100.0%


54

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 16.683a 1 .0002

Continuity Correctionb 14.620 1 .0002

Likelihood Ratio 16.498 1 .0002

Fisher's Exact Test .0002 .0002

Linear-by-Linear Association 16.464 1 .0002

N of Valid Casesb 126

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.17.

b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai