Anda di halaman 1dari 15

Proses Dekomposisi Sampah

Disiapkan oleh: Ika Bagus Priyambada

Sampah banyak mengandung bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme.

Menurut Warith (1999) proses yang paling bertanggung jawab dalam dekomposisi sampah

dalam sebuah TPA adalah proses biologis. Bahan-bahan organik tersebut oleh mikroorganisme

didekomposisi secara aerobik maupun anaerobik. Selama keberadaan oksigen, bakteri aerobik

melakukan oksidasi terhadap material sampah, dan ketika kandungan oksigen habis, proses yang

terjadi berubah menjadi proses anaerob yang menghasilkan gas CO2 dan CH4. (Al-Yousfi, 1992

dan Rendra, 2007). Dalam respirasi anaerob, mikroorganisme mendapatkan energi dari bahan

organik (mengandung karbon) dengan menggunakan molekul anorganik (selain oksigen) sebagai

penerima elektron seperti nitrat dan sulfat. (Rendra, 2007). Ketika proses dekomposisi sudah

berakhir, sampah dalam TPA dikatakan sebagai materi yang telah stabil. TPA dikatakan stabil

ketika lindi sudah tidak mengandung polutan yang berbahaya, produksi gas dapat diabaikan dan

telah terjadi penurunan timbunan sampah (Borglin et al.,2004 ).

Dalam proses degradasi secara anaerob, beberapa komunitas bakteri seperti bakteri

hidrolisis, bakteri fermentasi, bakteri asetogenik, bakteri metanaogenik dan bakteri pengurai

sulfat merupakan kelompok bakteri yang melakukan proses dekomposisi sampah (Barlaz, 1988

dan Yuen, 1999). Bakteri-bakteri tersebut yang merubah bahan organik menjadi asam organik

dan akhirnya dirubah menjadi metana dan karbon dioksida. Menurut Yuen (1999) dan Barlaz

(1988) proses degradasi anaerobik terdiri atas 4 tahapan yaitu :

1. Hidrolisis. Merupakan proses penting dimana bahan organik komplek dalam bentuk padat

maupun terlarut diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana yang dibutuhkan oleh
konversi mikroba pada tahapan selanjutnya. (karbohidrat menjadi zat gula sederhana, protein

menjadi asam amino dan lemak menjadi gliserol dan lemak jenuh rantai panjang.)

Persamaan reaksi berikut adalah contoh sebuah reaksi hidrolisis dimana sampah organik

dirumbah menjadi gula sederhana, dalam hal ini adalah glukosa.

C6H10O4 + 2H2O → C6H12O6 + 2H2

2. Fermentasi Asam (Acidogenesis). Bahan organik terlarut dari proses hidrolisis difermentasi

oleh bakteri fermentasi manjadi asam jenuh yang mudah menguap (Volatile fatty acid-

VFA’s), alkohol, hidrogen dan karbondioksida. Pada proses fermentasi asam ini

menghasilkan VFA’s dalam konsentrasi yang tinggi.

Produk utama yang dihasilkan dalam tahap acidogenesis adalah asam propionat

(CH3CH2COOH), asam butirat (CH3CH2CH2COOH), asam asetat (CH3COOH), asam format

(HCOOH), asam laktat (C3H6O3), ethanol(C2H5OH) dan methanol (CH3OH),.

Dari produk-produk ini hidrogen, karbondioksida dan asam asetat akan melompat menuju

tahap ketiga yaitu tahap acetogenesis dan digunakan secara langsung oleh bakteri

metanaogen dalam tahap akhir proses dekomposisi. Persamaan reaksi berikut adalah tipikal

reaksi acidogenesis dimana glukosa dirubah menjadi ethanol, asam propionat dan asam

asetat.

C6H12O6 ↔ 2CH3CH2OH + 2CO2

C6H12O6 + 2H2 ↔ 2CH3CH2COOH + 2H2O

C6H12O6 → 3CH3COOH

3. Asetogenesis. Dalam proses ini kelompok bakteri asetogenesis merubah VFA’s rantai

panjang menjadi asetat (asam jenuh dengan rantai terpendek), hidrogen dan korbon dioksida.
Dalam tahap ini, hasil dari tahap acidogenesis seperti asam propionat, asam butirat dan

alkohol dirubah oleh bakteri acetogenik menjadi hidrogen, karbon dioksida dan asam asetat.

Persamaan reaksi berikut menunujukkan perubahan dari asam propionat, glukosa dan ethanol

menjadi asam, asetat.

CH3CH2COO- + 3H2O ↔ CH3COO- + H+ + HCO3- + 3H2

C6H12O6 + 2H2O ↔ 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2

CH3CH2OH + 2H2O ↔ CH3COO- + 2H2 +H+

4. Metanogenesis. Pada proses selanjutnya metana diproduksi oleh bakteri metanaogen.

Konversi dalam tahap ini dilakukan oleh kelompok bakteri asetofilik yang menkonversi asam

asetat menjadi metana dan karbondioksida atau oleh bakteri hidrogenofilik yang

mengkonversi karbondioksida dan hidrogen menjadi metana. Kedua kelompk bakteri tersbut

bekerja dalam kondisi anaerobik penuh serta sangat sensitif terhadap perubahan pH. pH

optimum yang dapat ditoleransi oleh bakteri metanaogenik berkisar antara 6-8. Persamaan

reaksi pada tahap metanaogenesis adalah sebagai berikut:

CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O

2C2H5OH + CO2 → CH4 + 2CH3COOH

CH3COOH → CH4 + CO2

Proses-proses yang terjadi di atas terbagi atas 5 tahapan yang dimulai dari tahapan dimana

timbunan sampah mulai ditempatkan dalam TPA hingga sampah berubah menjadi materi yang

stabil. Karakteristik lindi dan gas yang dihasilkan bervariasi pada setiap fase yang

menggambarkan proses yang terjadi dalam TPA. Pohland (1986), Tchobanoglous et al. (1993)

dan Palmisano dan Barlaz (1996) mendeskripsikan fase-fase tersebut sebagai berikut. (gambar 1)
Tahap I: Penyesuaian Awal (Initial Adjustment)

Tahap ini merupakan tahap penguraian secara aerobik dalam waktu yang singkat setelah

penempatan material sampah dan akumulasi kandungan air dalam lahan urug. Dalam fase ini

bahan organik yang mudah terurai diubah menjadi karbon dioksida dalam kondisi keberadaan

oksigen. (aerob)

Tahap II: Fase Transisi (Transition Phase)

Pada fase ini keberdaan oksigen mulai hilang dan proses yang terjadi berubah menjadi proses

anaerobik. Dalam proses ini materi-materi yang lebih komplek dihidrolisis menjadi materi

terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Karbohidrat dirubah menjadi senyawa gula

yang lebih sederhana, protein dirubah menjadi asam amino, dan lemak dirubah menjadi asam

lemak jenuh dengan rantai panjang dan gliserin. Di akhir proses ini konsentrasi yang dapat

terukur dari volatile fatty acids (VFA’s) dan COD dalam lindi mulai dapat dideteksi.

Tahap III. Fase Pembentukan Asam (Acid Formation Phase)

Tahap pertama dari pembentukan asam adalah acidogenesis dimana materi terlarut yang

dihasilkan dalam tahap hidrolisis diambil dalam sel dari bakteri fermentasi. Dalam tahap ini

bakteri fermentasi merubah asam amino dan senyawa gula sederhana menjadi asam asetat, asam

organik, hidrogen, CO2, amonia dan H2S. Tanpa keberadaan oksigen, nitrat dan sulfat bertindak

sebagai penerima elektron. Dalam proses reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisma nitrat

sering dirubah menjadi nitrogen dan sulfat dirubah menjadi H2S. mikroorganisma yang terlibat

dalam konversi ini disebut sebagai organisma non methanogenik.

pH dari lindi akan berkisar dibawah 5 karena keberadaan asam-asam organik dan kenaikan

konsentrasi CO2 dalam lahan urug. BOD, COD dan konduktifitas lindi akan meningkat secara
tajam dalam fase ini. Dalam fase ini akan banyak nutrien esensial yang akan terlarut dalam lindi

dan jika lindi ini tidak di daur ulang, nutrien-nutrien esensial akan hilang dalam sistem ini.

Tahap IV. Fase Pembentukan Methane (Methane Formation phase)

Pada fase ini asam asetat, hidrogen, dan CO2 di konsumsi oleh bakteri methanogenik dan dirubah

menjadi metana dan CO2. Produksi metana yang stabil merupakan karakteristik dari fase ini.

Pada tahap ini pembentukan asam mulai berkurang, yang mengakibatkan pH dalam lahan urug

menjadi netral dengan nilai antara 6,8–8. Demikian juga pH lindi akan mengalami kenaikan dan

konsentrasi BOD, COD dan konduktifitas akan mengalami penurunan.

Tahap V: Pematangan (Maturation Phase)

Pada tahap ini seluruh materi organik dan nutrien telah dirubah menjadi metana dan CO2.

Pembentukan gas lahan urug (CH4 dan CO2) akan mengalami penurunan secara siginifikan

dalam tahap ini karena sebagian besar nutrient telah hilang bersama lindi selama tahapan-tahapan

sebelumnya dan materi-materi sisa dalam lahan urug akan terurai secara lambat.
Complex
Solid Organic
dissolved
Matter
organic matter

Fermentative
HYDROLISIS
Bacteria

Dissolved
Organic Matter

ACID Fermentative
FERMENTATION Bacteria

Volatile Fatty
Acids (except
acetate) +
Alcohols

ACETOGENESIS Acetogenic
Bacteria

Acetat Acetat Hydrogen Carbon Dioxide

Methanogenic Bacteria Methanogenic Bacteria


METHANOGENESIS
(Acetophilic) (Hydrogenophilic)

Methane

Gambar 1. Proses Dekomposisi Anaerobik dalam TPA


Gambar 2. Pola Stabilisasi Sampah dalam TPA (diadaptasi dari Pohlad dan Kim, 1999)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dekomposisi

Faktor–faktor yang mempengaruhi degradasi merupakan faktor-faktor yang dapat

mempercepat ataupun menghambat proses degradasi yang terjadi dalam sebuah TPA antara lain

kadar air, suhu, pH, nutrien serta inhibitors (materi yang menghambat proses dekomposisi).

Faktor-faktor tersebut dibahas sebagai berikut:

a. Kadar Air

Kadar air merupakan variabel utama dalam proses dekomposisi sampah oleh mikororgansime.

Aliran air dalam timbunan sampah akan menstimulasi bakteri hidrolosis dan bakteri metanaogen

dengan menyediakan kontak yang lebih baik antara substrat, nutrient dan mikroorganisme.
Menurut Palmisano dan Barlaz (1996), kadar air yang mencapai 50% dalam sampah yang

dicacah akan meningkatkan kandungan asam yang akan memicu produksi gas metana,

sebaliknya kadar air yang berada dibawah 35% tidak akan menghasilkan gas metana. Pendapat

serupa juga dikemukakan oleh Chistensen & Kjeldsen (2002) yang menyatakan bahwa kadar air

yang kurang dari 50%, akan menghalangi atau menghambat produksi gas metana, produksi gas

metana akan meningkat secara exponensial ketika kadar air antara 25% - 60%. Menurut Rendra

(2007) dan Yuen (1999) peningkatan kadar air akan memfasilitasi pertukaran substrat, nutrient,

penyangga (buffer), pengenceran material penghambat proses (inhibitors) serta penyebaran

mikroorganisma dalam sampah. Penelitian yang dilakukan Farquhar dan Rover (1973)

menyimpulkan pentingnya aliran air dalam proses dekomposisi polimer serta laju produksi gas

yang lebih lambat pada kondisi tanpa penambahan air.

b. pH

pH dalam sebuah TPA dapat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan gas

metana. Menurut Palmisano dan Barlaz (1999) faktor utama yang membatasi produksi gas

metana dalam TPA adalah kadar air dan pH. Bakteri fermentatif dan bakteri acetogenik

merupakan bakteri yang mampu mentolerasi rentangan pH yang lebih lebar (4-8) dibandingkan

bakteri metanaogen yang memilki rentang nilai pH yang sempit (6-8) (Farquhar dan Rovers

(1973); Warith 1999; Al-Yousfi, 1992). Pada kondisi dimana terjadi pembentukan asam yang

berlebih aktifitas bakteri metanaogenik menjadi tertekan dan konversi hidrogen, karbondioksida

dan asam asetat menjadi metana akan menurun. Penurunan pH akan memperlambat pertumbuhan

bakteri metanaogenik hingga pada kondisi ekstrim dapat menghentikan seluruh proses

pembentukan gas metana. (Yuen, 1999). Penelitian yang dilakukan Pohland et al. (1975)

menyimpulkan bahwa penyesuaian pH sampai nilai 7 pada lindi yang diresirkulasi meningkatkan
laju dekomposisi sampah, sedangkan menurut Alvarez dan Virtua (1986) produksi gas

maksimum dicapai pada nilai pH 7.5.

c. Suhu

Proses anaerobik seperti pada proses biodegradasi pada umumnya sangat tergantung kepada

suhu. Pada saat suhu meningkat tingkat reaksi akan berjalan dengan cepat. Pada proses

dekomposisi secara biologis, suhu maksimum berkisar antara 30–40oC untuk rentang mesofilik

dan 50-60 oC pada rentang termofilik (Rendra, 2007). Menurut Christensen dan Kjeldsen dalam

Rendra (2007) dilaporkan bahwa produksi gas metana akan meningkat secara siginifikan (hingga

100 kali) ketika temperatur meningkat dari 20 menjadi 40oC. Meskipun jumlah energi panas

yang dihasilkan pada proses degradasi anaerobik relatif kecil dibandingkan yang timbul pada

proses degradasi aerobik, namun demikian sampah merupakan insulator panas yang baik,

sehingga panas yang terbuang menjadi minimal sehingga suhu yang terdapat dalam tumpukan

sampah masih berada pada rentang yang optimal (Yuen, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Alvarez dan Virtua (1986) disimpulkan bahwa temperatur operasi optimal dalam proses

dekomposisi secara anaerobik dalam sebuah lahan urug berkisar antara 34-38oC.

d. Nutrien

Mikroorganisme dalam TPA membutuhkan nutrien yang berfungsi sebagai sumber bahan

makanan dalam proses dekomposisi anaerobik. Nutrien yang dibutuhkan berupa sulfur, kalsium,

magnesium, potasium, besi, seng, tembaga dan kobalt. Proses dekompisisi secara anaerobik

membutuhkan nutrien dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan proses degradasi secara

anaerob. Pada penelitian yang dilakukan Leuschner (1989) disimpulkan bahwa penambahan

nutrien dalam reaktor secara siginifikan memperpendek waktu pembentukan gas metana. Alvares
dan Virtua (1986) mengamati proses dekomposisi sampah yang lebih cepat pada reaktor yang

mengalami perlakuan penambahkan kotoran babi, kalsium karbonat dan resirkulasi lindi.

Menurut (Yuen, 1999) dalam sebuah TPA biasanya kebutuhan nutrien sudah dapat tercukupi

yang berasal dari tumpukan sampah sehingga pada kondisi tertentu tidak diperlukan lagi

penambahan nutrien bagi mikroorganisme untuk melakukan proses dekomposisi sampah.

e. Inhibitor

Inhibitor merupakan materi-materi yang dapat menghambat proses dekomposisi sampah yang

berupa bahan pencemar yang ditemukan dalam tumpukan sampah. Penelitian yang dilakukan

oleh Pohland (1992) menggunakan logam berat dalam bentuk lumpur yang ditambahkan dalam

reaktor sampah dengan dan tanpa resirkulasi lindi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan

materi pencemar mengakibatkan penundaan proses stabilisasi dalam reaktor resirkulasi dan

pemberhentian total proses dalam reaktor tanpa resirkulasi yang ditunjukkan dengan nilai pH

yang lebih rendah, produksi gas dan konsentrasi asam yang lebih tinggi. Menurut McKarty dan

McKinney (1961) dalam Yuen (1999) keberadaan sodium, potassium, calcium, magnesium dan

ammonium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mengahambat produksi gas metana.

Metode Peningkatan Laju Dekomposisi

Beberapa metode telah digunakan untuk meningkatkan laju dekomposisi sampah. Penelitian atas

metode-metode tersebut dilakukan baik pada skala laboratorium maupun skala lapangan.

a. Pencacahan sampah

Pencacahan sampah dilakukan untuk meningkatkan homogenitas sampah, meningkatkan luas

permukaan sampah, meningkatkan kadar air sampah serta mempermudah distribusi cairan dalam

sampah (Yuen, 1999) sehingga pencacahan sampah dapat meningkatkan laju degradasi sampah
(Otieno, 1989). Meskipun demikian, menurut (Christensen, et al. 1992), pencacahan sampah

dapat menyebabkan dampak negatif terhadap proses degradasi. Titlebaum (1982) juga

menyimpulkan bahwa pencacahan sampah tidak berpengaruh terhadap laju degradasi sampah.

Pencacahan sampah akan meningkatkan proses hidrolisis dan pembentukan asam yang akan

menurunkan pH yang akan menghambat pembentukan bakteri methanogen. Namun demikian

efek negatif pencacahan dapat dihilangkan dengan melakukan penambahan buffer untuk

meningkatkan pH.

b. Pemadatan Sampah

Pemadatan sampah disamping dilakukan untuk mengurangi volume sampah dalam TPA juga

untuk mengurangi ruang antar sampah (porositas) yang akan membatasi keberadaan oksigen

dalam sampah, sehingga mempersingkat waktu penguraian secara aerobik. Dengan demikian

proses anaerobik akan berlangsung dalam waktu yang lebih awal.

Pemadatan juga akan mengurangi jarak antar partikel sampah yang memungkinkan distribusi

cairan, nutrien dan mikroorganisme lebih merata dalam tumpukan sampah. Kepadatan sampah

yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap laju degradasi sampah hanya pada sampah dengan

kadar air yang rendah. (DeWalle dan Chian dalam Yuen, 1999).

c. Penambahan Buffer

Pembentukan asam yang berlebihan dalam proses dekomposisi sampah akan menurunkan nilai

pH sampah. Kondisi pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri methanogen

sehingga proses dekomposisi sampah tidak akan berjalan dengan sempurna. pH optimum dalam

proses dekomposisi sampah berkisar antara 6.8-7.4. Penambahan buffer merupakan kontrol

alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH dalam tumpukan sampah serta merubah
karakteristik lindi pada proses resirkulasi lindi. Buffer yang sering digunakan adalah sodium

hidroksida (NaOH) dan kalsium karbonat (CaCO3). Menurut Christensen et al., 1992 dan Warith,

1999 penambahan buffer memiliki dampak positif terhadap laju dekomposisi sampah.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Tittlebaum dalam Reinhart, 1998, menyimpulkan sebagai

berikut:

 Resirkulasi lindi dengan kontrol pH menghasilkan populasi bakteri anaerobik dalam

timbunan sampah secara lebih cepat.

 Resirkulasi lindi dengan kontrol pH cenderung mempercepat stabilisasi biologis materi

organik sampah.

 Resirkulasi lindi dengan kontrol pH cenderung mengurangi konsentrasi COD, BOD dan TOC

secara signifikan.

 Resirkulasi lindi dengan kontrol pH dapat digunakan sebagai proses pengolahan lindi yang

efektif.

d. Penambahan Sludge

Penambahan sludge/lumpur (tinja, pengolahan limbah) dalam sebuah lahan urug dapat

meningkatkan laju dekomposisi sampah. Kandungan air yang terdapat dalam sludge dapat

meningkatkan kadar air, penambahan nutrien dan mikroorganisme anaerobik yang dibutuhkan

dalam proses dekompisisi sampah (Yuen, 1999). Barlaz et al. (1989) juga menyimpulkan bahwa

mikroorganisme yang dibutuhkan dalam proses pembentukan metana terdapat dalam limbah

segar. Namun demikian jika penambahan sludge dilakukan pada proses pembentukan metana,

tidak akan berpengaruh terhadap laju dekomposisi sampah (Pohland, 1975; Yuen, 1999). Studi

yang dilakukan oleh Leckie et al., 1979 dan Leuschner, 1989 dalam Yuen, 1999 melaporkan

bahwa penambahan sludge yang berasal dari tangki septik meyebabkan terjadinya pembentukan
asam yang berlebihan yang dapat mengahambat proses dekomposisi, sedangkan sludge yang

berasal dari limbah cair dilaporkan meningkatkan laju pembentukan metana dan mempercepat

proses dekomposisi. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan mikroorganisme yang terdapat

dalam sludge.

e. Penambahan Enzym

Proses hidrolisis dimulai oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri fermentasi. Penelitian

dilakukan untuk mempelajari kemungkinan pengaturan dan peningkatan proses hidrolisis dengan

memanipulasi aktifitas enzim. (Lagerkvist dan Chen dalam Yuen, 1999) melakukan percobaan

dalam skala laboratorium untuk meneliti pengaruh penambahan enzim dalam sampah pada

proses acidogenik dan methanogenik. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa penambahan

enzim dapat mengintensifkan reaksi yang terjadi pada proses acidogenik dan methanogenik.

Ukuran Kestabilan sampah

Sampah yang telah stabil dapat dilihat dari konsentrasi lindi, jumlah produksi gas serta bentuk

dan komposisi sampah. Hasil penelitian yang dilakukan pada Georgia Institute of Technology

dalam percobaan resirkulasi lindi (Pohland, 1992) dapat dilihat bahwa konsentrasi COD lindi

mencapai nilai minimum pada hari ke 1000. Pada saat itu hanya 68% dari pembentukan gas total

yang terbentuk. Ketika pembentukan gas mencapai 95%, laju pembentukan gas turun 10% dari

laju puncak. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa sampah dikatakan mencapai kondisi

stabil ketika laju pembentukan gas relatif rendah (kurang dari 5% dari nilai puncak), konsentrasi

COD berada dibawah 1000 mg/l, rasio BOD/COD lindi kurang dari 0,1 serta bentuk sampah

yang menyerupai lumpur pekat yang berwarna hitam.


Tabel 1. Ringkasan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Sampah
Faktor
Kriteria Referensi
pengaruh
Kadar air Kadar air optimal: Pohland (1986) dan Rees (1980)
60% (berat)
Oksigen Redoks potensial optimal untuk metanogenesis
-200 mV Farquhar dan Rovers (1973)
-300 mV Christensen dan Kjeldsen (1989)
- dibawah 100 mV Pohland (1980)
pH pH optimal untuk metanogenensis
6-8 Ehrig(1973)
6.4 – 7.2 Farquhar dan Rovers (1973)
Alkalinitas Alkalinitas optimal untuk metanogenesis : 2000 Farquhar dan Rovers (1973)
mg/l
Konsentrasi maksimum asam organik untuk Farquhar dan Rovers (1973)
metanogenesis : 3000 mg/l
Rasio maksimum asam asetat / alkalinitas untuk
metanogenesis : 0.8 Ehrig (1983)

Suhu Suhu optimal untuk metanogenesis


40oC Rees (198)
o
41 C Hartz et al. (1982)
o
34-38 C Mata-Alvarez (1986)
Nutrien Biasanya mencukupi dalam hampir semua lahan Christensen dan Kjeldsen (1989)
urug

Sulfat Peningkatan sulfat mengurangi metanogenesis Christensen dan Kjeldsen (1989)

Inhibitor Konsentrasi kation mengambat secara moderat McCarty dan McKinney (1961)
(mg/l)
Sodium : 3500 – 5500
Potasium : 2500 – 4500
Kalsium : 2500 – 4500
Magnesium : 1000 – 1500
Amonium : 1500 – 3000
Logam Berat Ehrig (1993)
Tidak ada pengaruh signifikan
Senyawa organik
Menghambat hanya dalam jumlah yang signifikan Christensen dan Kjeldsen (1989)

Sumber : Yuen, 1999


Tabel 2. Perbandingan Komposisi Sampah di Amerika, Australia, Eropa dan Indonesia

USA1 INA2 AUS3 EB4 EU4 ES4 EB4


No Jenis Sampah
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1 Kertas 31 5.4 19 21.8 30.6 17 27.5
2 Sampah Taman 13.2 - 16 - - - -
3 Sampah Makanan 12.7 77.89 25 30.1 23.8 36.9 24.2
4 Plastik 12 13.21 6 6.2 13 - -
5 Logam 8.4 - 3 3.6 7.0 - -
6 Karet, Kulit, Kain 7.9 1.68 2 4.7 2.0 - -
7 Kayu 6.6 - - 7.5 10 10.6 11
8 Kaca/gelas 4.9 - 6 10 8 - -
9 Lain-lain 3.3 1.81 20 14.6 - - -
Sumber:
1
US EPA (2008)
2
DED TPA Jatibarang, Semarang (2009)
3
Yuen (1999)
4
IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories(2006)
USA = Amerika Serikta; INA = Indonesia; AUS = Australia; EB = Eropa Barat; EU= Eropa Utara; ES = Eropa
Selatan; EB = Eropa Barat

Anda mungkin juga menyukai