Proses Dekomposisi Sampah
Proses Dekomposisi Sampah
Sampah banyak mengandung bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme.
Menurut Warith (1999) proses yang paling bertanggung jawab dalam dekomposisi sampah
dalam sebuah TPA adalah proses biologis. Bahan-bahan organik tersebut oleh mikroorganisme
didekomposisi secara aerobik maupun anaerobik. Selama keberadaan oksigen, bakteri aerobik
melakukan oksidasi terhadap material sampah, dan ketika kandungan oksigen habis, proses yang
terjadi berubah menjadi proses anaerob yang menghasilkan gas CO2 dan CH4. (Al-Yousfi, 1992
dan Rendra, 2007). Dalam respirasi anaerob, mikroorganisme mendapatkan energi dari bahan
organik (mengandung karbon) dengan menggunakan molekul anorganik (selain oksigen) sebagai
penerima elektron seperti nitrat dan sulfat. (Rendra, 2007). Ketika proses dekomposisi sudah
berakhir, sampah dalam TPA dikatakan sebagai materi yang telah stabil. TPA dikatakan stabil
ketika lindi sudah tidak mengandung polutan yang berbahaya, produksi gas dapat diabaikan dan
Dalam proses degradasi secara anaerob, beberapa komunitas bakteri seperti bakteri
hidrolisis, bakteri fermentasi, bakteri asetogenik, bakteri metanaogenik dan bakteri pengurai
sulfat merupakan kelompok bakteri yang melakukan proses dekomposisi sampah (Barlaz, 1988
dan Yuen, 1999). Bakteri-bakteri tersebut yang merubah bahan organik menjadi asam organik
dan akhirnya dirubah menjadi metana dan karbon dioksida. Menurut Yuen (1999) dan Barlaz
1. Hidrolisis. Merupakan proses penting dimana bahan organik komplek dalam bentuk padat
maupun terlarut diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana yang dibutuhkan oleh
konversi mikroba pada tahapan selanjutnya. (karbohidrat menjadi zat gula sederhana, protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi gliserol dan lemak jenuh rantai panjang.)
Persamaan reaksi berikut adalah contoh sebuah reaksi hidrolisis dimana sampah organik
2. Fermentasi Asam (Acidogenesis). Bahan organik terlarut dari proses hidrolisis difermentasi
oleh bakteri fermentasi manjadi asam jenuh yang mudah menguap (Volatile fatty acid-
VFA’s), alkohol, hidrogen dan karbondioksida. Pada proses fermentasi asam ini
Produk utama yang dihasilkan dalam tahap acidogenesis adalah asam propionat
Dari produk-produk ini hidrogen, karbondioksida dan asam asetat akan melompat menuju
tahap ketiga yaitu tahap acetogenesis dan digunakan secara langsung oleh bakteri
metanaogen dalam tahap akhir proses dekomposisi. Persamaan reaksi berikut adalah tipikal
reaksi acidogenesis dimana glukosa dirubah menjadi ethanol, asam propionat dan asam
asetat.
C6H12O6 → 3CH3COOH
3. Asetogenesis. Dalam proses ini kelompok bakteri asetogenesis merubah VFA’s rantai
panjang menjadi asetat (asam jenuh dengan rantai terpendek), hidrogen dan korbon dioksida.
Dalam tahap ini, hasil dari tahap acidogenesis seperti asam propionat, asam butirat dan
alkohol dirubah oleh bakteri acetogenik menjadi hidrogen, karbon dioksida dan asam asetat.
Persamaan reaksi berikut menunujukkan perubahan dari asam propionat, glukosa dan ethanol
Konversi dalam tahap ini dilakukan oleh kelompok bakteri asetofilik yang menkonversi asam
asetat menjadi metana dan karbondioksida atau oleh bakteri hidrogenofilik yang
mengkonversi karbondioksida dan hidrogen menjadi metana. Kedua kelompk bakteri tersbut
bekerja dalam kondisi anaerobik penuh serta sangat sensitif terhadap perubahan pH. pH
optimum yang dapat ditoleransi oleh bakteri metanaogenik berkisar antara 6-8. Persamaan
Proses-proses yang terjadi di atas terbagi atas 5 tahapan yang dimulai dari tahapan dimana
timbunan sampah mulai ditempatkan dalam TPA hingga sampah berubah menjadi materi yang
stabil. Karakteristik lindi dan gas yang dihasilkan bervariasi pada setiap fase yang
menggambarkan proses yang terjadi dalam TPA. Pohland (1986), Tchobanoglous et al. (1993)
dan Palmisano dan Barlaz (1996) mendeskripsikan fase-fase tersebut sebagai berikut. (gambar 1)
Tahap I: Penyesuaian Awal (Initial Adjustment)
Tahap ini merupakan tahap penguraian secara aerobik dalam waktu yang singkat setelah
penempatan material sampah dan akumulasi kandungan air dalam lahan urug. Dalam fase ini
bahan organik yang mudah terurai diubah menjadi karbon dioksida dalam kondisi keberadaan
oksigen. (aerob)
Pada fase ini keberdaan oksigen mulai hilang dan proses yang terjadi berubah menjadi proses
anaerobik. Dalam proses ini materi-materi yang lebih komplek dihidrolisis menjadi materi
terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Karbohidrat dirubah menjadi senyawa gula
yang lebih sederhana, protein dirubah menjadi asam amino, dan lemak dirubah menjadi asam
lemak jenuh dengan rantai panjang dan gliserin. Di akhir proses ini konsentrasi yang dapat
terukur dari volatile fatty acids (VFA’s) dan COD dalam lindi mulai dapat dideteksi.
Tahap pertama dari pembentukan asam adalah acidogenesis dimana materi terlarut yang
dihasilkan dalam tahap hidrolisis diambil dalam sel dari bakteri fermentasi. Dalam tahap ini
bakteri fermentasi merubah asam amino dan senyawa gula sederhana menjadi asam asetat, asam
organik, hidrogen, CO2, amonia dan H2S. Tanpa keberadaan oksigen, nitrat dan sulfat bertindak
sebagai penerima elektron. Dalam proses reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisma nitrat
sering dirubah menjadi nitrogen dan sulfat dirubah menjadi H2S. mikroorganisma yang terlibat
pH dari lindi akan berkisar dibawah 5 karena keberadaan asam-asam organik dan kenaikan
konsentrasi CO2 dalam lahan urug. BOD, COD dan konduktifitas lindi akan meningkat secara
tajam dalam fase ini. Dalam fase ini akan banyak nutrien esensial yang akan terlarut dalam lindi
dan jika lindi ini tidak di daur ulang, nutrien-nutrien esensial akan hilang dalam sistem ini.
Pada fase ini asam asetat, hidrogen, dan CO2 di konsumsi oleh bakteri methanogenik dan dirubah
menjadi metana dan CO2. Produksi metana yang stabil merupakan karakteristik dari fase ini.
Pada tahap ini pembentukan asam mulai berkurang, yang mengakibatkan pH dalam lahan urug
menjadi netral dengan nilai antara 6,8–8. Demikian juga pH lindi akan mengalami kenaikan dan
Pada tahap ini seluruh materi organik dan nutrien telah dirubah menjadi metana dan CO2.
Pembentukan gas lahan urug (CH4 dan CO2) akan mengalami penurunan secara siginifikan
dalam tahap ini karena sebagian besar nutrient telah hilang bersama lindi selama tahapan-tahapan
sebelumnya dan materi-materi sisa dalam lahan urug akan terurai secara lambat.
Complex
Solid Organic
dissolved
Matter
organic matter
Fermentative
HYDROLISIS
Bacteria
Dissolved
Organic Matter
ACID Fermentative
FERMENTATION Bacteria
Volatile Fatty
Acids (except
acetate) +
Alcohols
ACETOGENESIS Acetogenic
Bacteria
Methane
mempercepat ataupun menghambat proses degradasi yang terjadi dalam sebuah TPA antara lain
kadar air, suhu, pH, nutrien serta inhibitors (materi yang menghambat proses dekomposisi).
a. Kadar Air
Kadar air merupakan variabel utama dalam proses dekomposisi sampah oleh mikororgansime.
Aliran air dalam timbunan sampah akan menstimulasi bakteri hidrolosis dan bakteri metanaogen
dengan menyediakan kontak yang lebih baik antara substrat, nutrient dan mikroorganisme.
Menurut Palmisano dan Barlaz (1996), kadar air yang mencapai 50% dalam sampah yang
dicacah akan meningkatkan kandungan asam yang akan memicu produksi gas metana,
sebaliknya kadar air yang berada dibawah 35% tidak akan menghasilkan gas metana. Pendapat
serupa juga dikemukakan oleh Chistensen & Kjeldsen (2002) yang menyatakan bahwa kadar air
yang kurang dari 50%, akan menghalangi atau menghambat produksi gas metana, produksi gas
metana akan meningkat secara exponensial ketika kadar air antara 25% - 60%. Menurut Rendra
(2007) dan Yuen (1999) peningkatan kadar air akan memfasilitasi pertukaran substrat, nutrient,
mikroorganisma dalam sampah. Penelitian yang dilakukan Farquhar dan Rover (1973)
menyimpulkan pentingnya aliran air dalam proses dekomposisi polimer serta laju produksi gas
b. pH
pH dalam sebuah TPA dapat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan gas
metana. Menurut Palmisano dan Barlaz (1999) faktor utama yang membatasi produksi gas
metana dalam TPA adalah kadar air dan pH. Bakteri fermentatif dan bakteri acetogenik
merupakan bakteri yang mampu mentolerasi rentangan pH yang lebih lebar (4-8) dibandingkan
bakteri metanaogen yang memilki rentang nilai pH yang sempit (6-8) (Farquhar dan Rovers
(1973); Warith 1999; Al-Yousfi, 1992). Pada kondisi dimana terjadi pembentukan asam yang
berlebih aktifitas bakteri metanaogenik menjadi tertekan dan konversi hidrogen, karbondioksida
dan asam asetat menjadi metana akan menurun. Penurunan pH akan memperlambat pertumbuhan
bakteri metanaogenik hingga pada kondisi ekstrim dapat menghentikan seluruh proses
pembentukan gas metana. (Yuen, 1999). Penelitian yang dilakukan Pohland et al. (1975)
menyimpulkan bahwa penyesuaian pH sampai nilai 7 pada lindi yang diresirkulasi meningkatkan
laju dekomposisi sampah, sedangkan menurut Alvarez dan Virtua (1986) produksi gas
c. Suhu
Proses anaerobik seperti pada proses biodegradasi pada umumnya sangat tergantung kepada
suhu. Pada saat suhu meningkat tingkat reaksi akan berjalan dengan cepat. Pada proses
dekomposisi secara biologis, suhu maksimum berkisar antara 30–40oC untuk rentang mesofilik
dan 50-60 oC pada rentang termofilik (Rendra, 2007). Menurut Christensen dan Kjeldsen dalam
Rendra (2007) dilaporkan bahwa produksi gas metana akan meningkat secara siginifikan (hingga
100 kali) ketika temperatur meningkat dari 20 menjadi 40oC. Meskipun jumlah energi panas
yang dihasilkan pada proses degradasi anaerobik relatif kecil dibandingkan yang timbul pada
proses degradasi aerobik, namun demikian sampah merupakan insulator panas yang baik,
sehingga panas yang terbuang menjadi minimal sehingga suhu yang terdapat dalam tumpukan
sampah masih berada pada rentang yang optimal (Yuen, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Alvarez dan Virtua (1986) disimpulkan bahwa temperatur operasi optimal dalam proses
dekomposisi secara anaerobik dalam sebuah lahan urug berkisar antara 34-38oC.
d. Nutrien
Mikroorganisme dalam TPA membutuhkan nutrien yang berfungsi sebagai sumber bahan
makanan dalam proses dekomposisi anaerobik. Nutrien yang dibutuhkan berupa sulfur, kalsium,
magnesium, potasium, besi, seng, tembaga dan kobalt. Proses dekompisisi secara anaerobik
membutuhkan nutrien dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan proses degradasi secara
anaerob. Pada penelitian yang dilakukan Leuschner (1989) disimpulkan bahwa penambahan
nutrien dalam reaktor secara siginifikan memperpendek waktu pembentukan gas metana. Alvares
dan Virtua (1986) mengamati proses dekomposisi sampah yang lebih cepat pada reaktor yang
mengalami perlakuan penambahkan kotoran babi, kalsium karbonat dan resirkulasi lindi.
Menurut (Yuen, 1999) dalam sebuah TPA biasanya kebutuhan nutrien sudah dapat tercukupi
yang berasal dari tumpukan sampah sehingga pada kondisi tertentu tidak diperlukan lagi
e. Inhibitor
Inhibitor merupakan materi-materi yang dapat menghambat proses dekomposisi sampah yang
berupa bahan pencemar yang ditemukan dalam tumpukan sampah. Penelitian yang dilakukan
oleh Pohland (1992) menggunakan logam berat dalam bentuk lumpur yang ditambahkan dalam
reaktor sampah dengan dan tanpa resirkulasi lindi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
materi pencemar mengakibatkan penundaan proses stabilisasi dalam reaktor resirkulasi dan
pemberhentian total proses dalam reaktor tanpa resirkulasi yang ditunjukkan dengan nilai pH
yang lebih rendah, produksi gas dan konsentrasi asam yang lebih tinggi. Menurut McKarty dan
McKinney (1961) dalam Yuen (1999) keberadaan sodium, potassium, calcium, magnesium dan
ammonium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mengahambat produksi gas metana.
Beberapa metode telah digunakan untuk meningkatkan laju dekomposisi sampah. Penelitian atas
metode-metode tersebut dilakukan baik pada skala laboratorium maupun skala lapangan.
a. Pencacahan sampah
permukaan sampah, meningkatkan kadar air sampah serta mempermudah distribusi cairan dalam
sampah (Yuen, 1999) sehingga pencacahan sampah dapat meningkatkan laju degradasi sampah
(Otieno, 1989). Meskipun demikian, menurut (Christensen, et al. 1992), pencacahan sampah
dapat menyebabkan dampak negatif terhadap proses degradasi. Titlebaum (1982) juga
menyimpulkan bahwa pencacahan sampah tidak berpengaruh terhadap laju degradasi sampah.
Pencacahan sampah akan meningkatkan proses hidrolisis dan pembentukan asam yang akan
efek negatif pencacahan dapat dihilangkan dengan melakukan penambahan buffer untuk
meningkatkan pH.
b. Pemadatan Sampah
Pemadatan sampah disamping dilakukan untuk mengurangi volume sampah dalam TPA juga
untuk mengurangi ruang antar sampah (porositas) yang akan membatasi keberadaan oksigen
dalam sampah, sehingga mempersingkat waktu penguraian secara aerobik. Dengan demikian
Pemadatan juga akan mengurangi jarak antar partikel sampah yang memungkinkan distribusi
cairan, nutrien dan mikroorganisme lebih merata dalam tumpukan sampah. Kepadatan sampah
yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap laju degradasi sampah hanya pada sampah dengan
kadar air yang rendah. (DeWalle dan Chian dalam Yuen, 1999).
c. Penambahan Buffer
Pembentukan asam yang berlebihan dalam proses dekomposisi sampah akan menurunkan nilai
sehingga proses dekomposisi sampah tidak akan berjalan dengan sempurna. pH optimum dalam
proses dekomposisi sampah berkisar antara 6.8-7.4. Penambahan buffer merupakan kontrol
alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH dalam tumpukan sampah serta merubah
karakteristik lindi pada proses resirkulasi lindi. Buffer yang sering digunakan adalah sodium
hidroksida (NaOH) dan kalsium karbonat (CaCO3). Menurut Christensen et al., 1992 dan Warith,
1999 penambahan buffer memiliki dampak positif terhadap laju dekomposisi sampah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Tittlebaum dalam Reinhart, 1998, menyimpulkan sebagai
berikut:
organik sampah.
Resirkulasi lindi dengan kontrol pH cenderung mengurangi konsentrasi COD, BOD dan TOC
secara signifikan.
Resirkulasi lindi dengan kontrol pH dapat digunakan sebagai proses pengolahan lindi yang
efektif.
d. Penambahan Sludge
Penambahan sludge/lumpur (tinja, pengolahan limbah) dalam sebuah lahan urug dapat
meningkatkan laju dekomposisi sampah. Kandungan air yang terdapat dalam sludge dapat
meningkatkan kadar air, penambahan nutrien dan mikroorganisme anaerobik yang dibutuhkan
dalam proses dekompisisi sampah (Yuen, 1999). Barlaz et al. (1989) juga menyimpulkan bahwa
mikroorganisme yang dibutuhkan dalam proses pembentukan metana terdapat dalam limbah
segar. Namun demikian jika penambahan sludge dilakukan pada proses pembentukan metana,
tidak akan berpengaruh terhadap laju dekomposisi sampah (Pohland, 1975; Yuen, 1999). Studi
yang dilakukan oleh Leckie et al., 1979 dan Leuschner, 1989 dalam Yuen, 1999 melaporkan
bahwa penambahan sludge yang berasal dari tangki septik meyebabkan terjadinya pembentukan
asam yang berlebihan yang dapat mengahambat proses dekomposisi, sedangkan sludge yang
berasal dari limbah cair dilaporkan meningkatkan laju pembentukan metana dan mempercepat
proses dekomposisi. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan mikroorganisme yang terdapat
dalam sludge.
e. Penambahan Enzym
Proses hidrolisis dimulai oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri fermentasi. Penelitian
dilakukan untuk mempelajari kemungkinan pengaturan dan peningkatan proses hidrolisis dengan
memanipulasi aktifitas enzim. (Lagerkvist dan Chen dalam Yuen, 1999) melakukan percobaan
dalam skala laboratorium untuk meneliti pengaruh penambahan enzim dalam sampah pada
proses acidogenik dan methanogenik. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa penambahan
enzim dapat mengintensifkan reaksi yang terjadi pada proses acidogenik dan methanogenik.
Sampah yang telah stabil dapat dilihat dari konsentrasi lindi, jumlah produksi gas serta bentuk
dan komposisi sampah. Hasil penelitian yang dilakukan pada Georgia Institute of Technology
dalam percobaan resirkulasi lindi (Pohland, 1992) dapat dilihat bahwa konsentrasi COD lindi
mencapai nilai minimum pada hari ke 1000. Pada saat itu hanya 68% dari pembentukan gas total
yang terbentuk. Ketika pembentukan gas mencapai 95%, laju pembentukan gas turun 10% dari
laju puncak. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa sampah dikatakan mencapai kondisi
stabil ketika laju pembentukan gas relatif rendah (kurang dari 5% dari nilai puncak), konsentrasi
COD berada dibawah 1000 mg/l, rasio BOD/COD lindi kurang dari 0,1 serta bentuk sampah
Inhibitor Konsentrasi kation mengambat secara moderat McCarty dan McKinney (1961)
(mg/l)
Sodium : 3500 – 5500
Potasium : 2500 – 4500
Kalsium : 2500 – 4500
Magnesium : 1000 – 1500
Amonium : 1500 – 3000
Logam Berat Ehrig (1993)
Tidak ada pengaruh signifikan
Senyawa organik
Menghambat hanya dalam jumlah yang signifikan Christensen dan Kjeldsen (1989)