Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ANJELIA NOVRIANI

NIM : 21118059

PRODI : SI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS : ILMU KESEHATAN

MATKUL : KEPERAWATAN BENCANA

DOSEN : MIRANTI FLORENCIA ISWARI.,S.Kep.,Ns.,M.Kep

TUGAS RESUME

MANAJEMEN BENCANA

Bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam,
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU Nomor 24
Tahun 2007). Dalam penanganan bencana, Bangsa Indonesia tidak bisa berdiri sendiri karena
ancaman bencana tidak mengenal wilayah. Kesepakatan global terkait PRB dicanangkan
melalui Hyogo Frameworks for Actions (HFA) kemudian diperbaharui dengan Sendai
Frameworks for Disaster Risk Reduction (SFDRR) sebagai acuan global PRB untuk kurun
waktu 2015- 2030. Dalam Kerangka Kerja Sendai disebutkan bahwa PRB dilakukan dengan
upaya meningkatkan pemahaman terhadap risiko bencana, memperkuat tata laksana risiko
bencana untuk pengelolaan risiko bencana, melakukan investasi dalam pengurangan risiko
bencana untuk ketangguhan, dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang
efektif dan membangun lebih baik dalam upaya pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hasil jangka panjang yang ingin dicapai dalam 15 tahun ke depan melalui SFDRR adalah
penurunan yang signifikan risiko bencana dan kehilangan nyawa, dukungan kebutuhan hidup
sehari-hari dan kesehatan dari aspek ekonomi, fisik, sosial, Budaya dan lingkungan, baik
pada tingkat individu, bisnis, komunitas, maupun negara. Bencana tidak dapat dihindari tapi
dapat dikurangi dampak negatifnya atau risiko
bencananya. Pengurangan risiko bencana perlu dilakukan dengan cara mengelola risiko
bencana. Konsep pengelolaan risiko bencana telah mengalami paradigma dari pendekatan
konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pandangan konvensional
menganggap bencana merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang tidak dapat dielakkan
dan korban harus segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa faktor yang dapat
menimbulkan besarnya kerugian dalam bencana:

1. Kurangnya pemahaman tentang karakteristik bencana (hazard).


2. Sikap dan perilaku yang mengakibatkan rentannya kualitas sumber daya alam
(vulnerability).
3. Kurangnya informasi peringatan dini (early warning) sehingga mengakibatkan
ketidaksiapan.
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi bahaya.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana (PP No. 21 Tahun 2008).

Pembekalan dalam mitigasi bencana setidaknya memiliki empat hal penting yaitu:

1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana,
2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana,
3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan
diri jika bencana timbul, dan
4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.

A. Potensi Ancaman Bencana


Potensi ancaman bencana adalah suatu kondisi, disebabkan oleh kejadian alam maupun
oleh ulah manusia. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain: Bahaya
alam dan bahaya karena ulah manusia yang menurut United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya
geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi bahaya teknologi dan penurunan
kualitas lingkungan. Menurut Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB,
2014), bahaya dibagi menjadi 12 jenis, yaitu:
1. Gempabumi
2. Tsunami
3. Letusan Gunung Api
4. Gerakan Tanah (Tanah Longsor) \
5. Banjir
6. Banjir Bandang
7. Kekeringan
8. Cuaca Ekstrim (Puting Beliung)
9. Gelombang Ekstrim dan Abrasi
10. Kebakaran Hutan dan Lahan
11. Epidemi dan Wabah Penyakit
12. Kegagalan Teknologi

Untuk wilayah Indonesia, potensi ancaman bencana di berbagai daerah dapat dirujuk pada
portal InaRisk BNPB melalui: http://inarisk.bnpb.go.id/

B. Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan secara terus-
menerus sebelum terjadi bencana, pada saat bencana dan setelah terjadi bencana.
Pelaksanaan siklus penanggulangan bencana menjamin kegiatan pengurangan risiko
bencana berjalan secara efektif. Dalam siklus penanggulangan bencana antara lain
menjelaskan tahap-tahap penanggulangan bencana, objek yang harus
dikerahkan/dimaksimalkan dalam tahapan tersebut, dan para pelaku setiap tahapan yang
wajib dan diharapkan terlibat dalam proses tersebut. Siklus penanggulangan bencana
penting untuk dipahami karena akan dapat memberi arahan pada keutamaan aksi yang
berbeda di setiap tahap, menjelaskan peran setiap pelaku penanggulangan bencana,
efisiensi dan efektifitas upaya penanggulangan bencana, dan menyeimbangkan proses
prabencana, saat bencana dan pascabencana. Meskipun demikian, ketiga tahap siklus
tersebut saling tumpang-tindih, tidak ada Batasan yang jelas dari satu tahapan siklus ke
tahapan berikutnya. Siklus penanggulangan bencana yang diadopsi Indonesia saat ini
sangat dipengaruhi oleh perubahan paradigm bencana dimana penanggulangan bencana
tidak hanya berfokus pada saat terjadi bencana, tetapi juga pada tahap prabencana dan
pascabencana.
Prabencana
Kegiatan manajemen bencana pada saat prabencana dilaksanakan baik pada situasi tidak
terjadi bencana maupun dalam situasi terdapat potensi bencana. Pada tahap prabencana
dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana (Disaster Management Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh
yang meliputi seluruh tahapan/bidang kerja kebencanaan. Sedangkan pada tahap
prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan penyusunan Rencana
Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang didasarkan atas skenario
menghadapi bencana tertentu (single hazard) maka disusun satu rencana yang disebut
Rencana Kontinjensi (Contingency Plan). Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini,
yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat
tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang.

Saat Bencana
Terdapat dua tahap kegiatan penanggulangan pada saat terjadi bencana yaitu masa
tanggap darurat dan pemulihan. Manajemen kedaruratan adalah pengaturan upaya
penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor pengurangan jumlah
kerugian dan korban serta penanganan pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu
dan menyeluruh pada saat terjadinya bencana. Tanggap darurat bencana merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Dalam masa tanggap darurat terdapat
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana. Pada saat tanggap darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan) yang
merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana Kontinjensi
yang telah disusun sebelumnya. Sedangkan Pada tahap pemulihan dilakukan Penyusunan
Rencana Pemulihan (Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi
yang dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk
mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan
petunjuk/pedoman mekanisme penanggulangan pascabencana.

Pascabencana
Kegiatan pemulihan dapat berlanjut sampai pada masa pascabencana. Manajemen
pemulihan dilaksanakan pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup
yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali 7 kelembagaan, prasarana, dan
sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya
bencana. Pada tahap pemulihan terdapat dua fase yaitu rehabilitasi dan rekontruksi.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan rekonstruksi adalah
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hokum
dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Namun demikian, upaya-upaya mitigasi lebih
banyak dilakukan pada masa pascabencana guna untuk mengurangi risiko secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh. Mitigasi dapat dilakukan baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki empat unsur utama yaitu
penilaian bahaya, peringatan dini dan kesiapsiagaan dan adaptasi. Dalam kegiatan
mitigasi juga perlu dilibatkan kegiatan pemantauan, penyebaran informasi, sosialisasi dan
penyuluhan, serta pelatihan/pendidikan. Langkah mitigasi pascabencana dapat
dilaksanakan melalui inventarisasi data-data kerusakan akibat bencana dan kekuatan
bencana yang terjadi, identifikasi wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana
berdasarkan tingkat kerusakan, penyusunan rekomendasi dan saran untuk
penanggulangan bencana pada masa depan, pembuatan rencana penataan ulang wilayah,
termasuk rencana tata ruang dan penggunaan lahan, perbaikan fasilitas pemantauan
bencana yang rusak, serta aktivitas pemantauan rutin dan simulasi tanggap bencana.
STRATEGI DAN TAHAPAN PEMBELAJARAN

A. Strategi Pembelajaran
Pembelajaran kebencanaan di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan menetapkan
strategi penguatan pada kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler yang memiliki
muatan materi-materi kebencanaan. Pembelajaran kebencanaan di perguruan tinggi
dapat disampaikan pada masa Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru
(PKKMB) bagi seluruh mahasiswa baru di perguruan tinggi dan kegiatan-kegiatan
kemahasiswaan lainnya. Pemahaman tentang kebencanaan dapat juga dilakukan
dengan menguatkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti Pramuka, Resimen
Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam, dan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Strategi utama dalam proses pembelajaran kebencanaan pada dasarnya adalah belajar
dengan melakukan (learning by doing). Walaupun demikian, inti dari pembelajaran
tersebut adalah agar mahasiswa dapat melakukan upaya pengurangan risiko bencana
dengan baik dan benar, sehingga diperlukan pemahaman tentang kebencanaan secara
utuh menyeluruh (komprehensif). Berdasarkan pertimbangan tersebut, strategi
pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran konseptual (knowing) pada tahap awal,
kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran praktik (doing), dan harapannya
mahasiswa akan memiliki sikap yang tangguh dalam menghadapi bencana (being).
Pembelajaran konseptual dilakukan untuk memberikan pengetahuan dasar tentang
kebencanaan. Pengetahuan dasar kebencanaan ini meliputi pengetahuan tentang
potensi ancaman bencana, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana. Pemahaman
tentang pengetahuan dasar kebencanaan ini dapat diberikan melalui kuliah umum,
mata kuliah wajib, maupun insersi tema kebencanaan dalam mata kuliah.
Pembelajaran praktik dilakukan dengan maksud agar mahasiswa dapat memiliki
keterampilan dalam kebencanaan, yang meliputi latihan-latihan kesiapsiagaan,
kedaruratan, dan pemulihan, serta menyusun rencana penanggulangan bencana
maupun rencana kontinjensi. Pada tahap ini, mahasiswa diharapkan juga dapat
menerapkan kemampuan manajemen bencana, baik di lingkungan kampus maupun di
luar kampus. Outcome dari proses pembelajaran kebencanaan yang diikuti oleh
mahasiswa tersebut adalah profil lulusan yang berwawasan pengurangan risiko
bencana. Adapun bagan strategi pembelajaran kebencanaan untuk mahasiswa dapat
dilihat pada Gambar berikut.
Skema Pembelajaran Kebencanaan untuk Mahasiswa
B. Tahapan Pembelajaran
Pembelajaran kebencanaan bagi mahasiswa di perguruan tinggi untuk pengurangan
risiko bencana (PRB) ini dilaksanakan secara selama melaksanakan kuliah di
perguruan tinggi. Pembelajaran diberikan secara bertahap, melalui kegiatan-kegiatan
kokurikuler maupun ekstrakurikuler dalam bentuk pembelajaran konsptual,
pembelajaran praktik dan berujung pada pembentukan sikap.
Tahap Pembelajaran Konseptual
Pembelajaran Konseptual (Knowing) merupakan tahap pertama pada proses
pembelajaran kebencanaan bagi mahasiswa. Pada tahap ini kepada mahasiswa
diberikan Pengetahuan Dasar Kebencanaan (PDK), antara lain:
1. Konsep bencana, berupa hubungan risiko, bahaya, kapasitas, kerentanan dan
hubungannya dengan aset penghidupan,
2. Hubungan pembangunan, lingkungan dan bencana,
3. Kebijakan penanggulangan bencana dari global ke lokal,
4. Strategi pengurangan risiko bencana.

Pengetahuan Dasar Kebencanaan dapat diberikan melalui:

1. Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB),


2. Insersi Mata Kuliah (MK),
3. Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU)
4. Kuliah Umum atau Seminar.

Pada kegiatan PKKMB, muatan PDK wajib diberikan setara dengan 2 jam pertemuan
bagi seluruh calon mahasiswa baru. Penyisipan (insersi) muatan PDK pada mata
kuliah yang sesuai, diharapkan dapat diberikan setara dengan 2 kali pertemuan.
Disarankan PDK dapat disajikan sebagai MKWU, setara 2 SKS dalam 1 semester.
Muatan PDK juga dapat diberikan dalam bentuk kuliah umum/seminar, selama
mahasiswa menjalani pembelajaran di perguruan tinggi. Knowing (pengetahuan
kebencanaan) Doing (keterampilan) Doing (penerapan di masyarakat) Being (lulusan
berwawasan PRB)

Tahap Pembelajaran Praktik


Pembelajaran Praktik (Doing) merupakan tahap kedua dari pembelajaran
kebencanaan. Tahap ini dilaksanaakan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun
kokurikuler. Pembelajaran kebencanaan melalui ekstrakurikuler berupa:

1. Latihan Pemetaan Risiko Bencana Kampus,


2. Latihan Kesiapsiagaan,
3. Latihan Evakuasi Mandiri,
4. Latihan Penanganan Gawat Darurat / First Aid,
5. Latihan Pencarian dan Pertolongan,
6. Kegiatan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
7. Latihan Pemulihan.

Kegiatan ekstrakurikuler ini dapat dilaksanakan pada tahun kedua dan ketiga, secara
sendiri maupun bersama, oleh organisasi-organisasi seperti Unit Kegiatan Mahasiswa,
Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa, Kelompok Studi. Pembelajaran
kebencanaan melalui kokurikuler dapat dilaksanakan pada tahun terakhir oleh para
mahasiswa secara mandiri. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk:

1. KKN Tematik Kebencanaan,


2. Pembekalan Kebencanaan pada KKN,
3. Tugas akhir tema bencana.

Anda mungkin juga menyukai