Anda di halaman 1dari 17

TUGAS TUTORIAL KE-2

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

Nama : Risya Sevira Permata


NIM : 041122898
Mata Kuliah : Penelitian Sosial

Tugas.2

Berdasarkan masalah, draft judul, dan pendekatan penelitian yang Anda kerjakan pada

Tugas 1, kerjakan soal berikut:

Jika Anda memilih metode penelitian kuantitatif, maka:

1. Sebutkan lokasi penelitian Anda

2. Identifikasi dan jelaskan variabel penelitian Anda

3. Sebutkan  populasi dan sampelnya

4. Jelaskan teknik pengambilan sampelnya, dan alasan Anda memilih teknik pengambilan 
sampel tersebut.

Jika Anda memilih metode penelitian kualitatif, maka:

1. Tentukan site penelitian Anda

2. Tentukan strategi untuk masuk ke dalam site dan memperoleh gate keepers

3. Jelaskan cara Anda dalam memperoleh akses.

Jawaban Anda harus didasarkan pada literatur/modul yang ada, bukan berdasar pendapat
pribadi. Tuliskan sumber rujukan yang anda gunakan dengan tata penulisan ilmiah yang
benar.
Hindari bekerja sama dan plagiarisasi, karena hal itu akan dinilai sebagai pelanggaran dan
jawaban Anda akan dinilai 0.

Jawaban :

Metode Penelitian Kuantitatif

1. Lokasi masyarakat umum didaerah baturaja


2. Identifikasi berbagai Variabel yang terbukti saling terkait dan saling mempengaruhi, lebih
lanjut dapat dikembangkan sehingga ditemukan cara atau metode penanganan permasalahan
yang diinginkan.
Variabel : “Vaksinasi pada pasien covid-19”

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menangani
masalah Covid-19. Vaksinasi Covid-19 bertujuan untuk menciptakan kekebalan kelompok
(herd immunity) agar masyarakat menjadi lebih produktif dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya.

3. - Populasi dari penelitian tersebut adalah beberapa kepala keluarga di Kabupaten C.


Ukuran dari populasi tersebut adalah 30 kepala keluarga.

- Sampel yang didapatkan dari penelitian tersebut adalah sejumlah kepala keluarga di
Kabupaten C yang dipilih menggunakan cara atau teknik pengambilan sampel tertentu.
Misalkan ditentukan ukuran sampelnya sebanyak 15 kepala keluarga.

4. Saya menggunakan Teknik Purposive Sampling. Teknik Purposive Sampling adalah teknik
sampling yang cukup sering digunakan. Metode ini menggunakan kriteria yang telah dipilih
oleh peneliti dalam memilih sampel. Kriteria pemilihan sampel terbagi menjadi kriteria
inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi merupakan kriteria sampel yang diinginkan peneliti berdasarkan tujuan
penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi merupakan kriteria khusus yang menyebabkan calon
responden yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari kelompok penelitian.
Misalnya, calon responden mengalami penyakit penyerta atau gangguan psikologis yang
dapat memengaruhi hasil penelitian.

Penelitian tentang vaksinasi pasien covid -19

Maka Kriteria inklusi yang dipakai antara lain:

Gejala yang paling umum:


1. demam
2. batuk kering
3. kelelahan
Gejala yang sedikit tidak umum:
1. rasa tidak nyaman dan nyeri
2. nyeri tenggorokan
3. diare
4. konjungtivitis (mata merah)
5. sakit kepala
6. hilangnya indera perasa atau penciuman
7. ruam pada kulit, atau perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki
Gejala serius:
1. kesulitan bernapas atau sesak napas
2. nyeri dada atau rasa tertekan pada dada
3. hilangnya kemampuan berbicara atau bergerak
Rata-rata gejala akan muncul 5–6 hari setelah seseorang pertama kali terinfeksi virus ini, tetapi
bisa juga 14 hari setelah terinfeksi.

Kriteria eksklusi:

1. Hipertensi,
2. Diabetes melitus,
3. Penyakit jantung,
4. Penyakit paru, dan
5. Penyakit ginjal.

Orang yang telah memiliki penyakit ini harus lebih ketat menerapkan protokol kesehatan demi
menghindari penularan Covid-19

Sumber :

https://promkes.kemkes.go.id/masyarakat-indonesia-sambut-baik-vaksinasi-covid-19
12 APR DISKURSUS PENANGANAN COVID-19 OLEH PEMERINTAH PUSAT DAN
DAERAH: EFEKTIFKAH KEBIJAKAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR
(PSBB) DITERAPKAN?

Posted at 15:03h in pleads, pleads, Uncategorized by Biro Media dan Informasi PLEADS 0


Comments 

1Like

Oleh : Salsabiila Tiara Aulia

PENDAHULUAN

Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Jokowi mengadakan Konferensi Pers, dengan tujuan untuk
mengumumkan kepada publik mengenai kebijakan yang dipilihnya guna menyikapi Covid-19
sebagai pandemi global yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini. Pada
konferensi pers tersebut, Presiden Jokowi mengeluarkan statement bahwa, kebijakan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan yang dipilih dalam merespon adanya
Kedaruratan Kesehatan. Kebijakan ini berlandaskan UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Seiring dipilihnya kebijakan PSBB, Presiden Jokowi menegaskan
bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh menerapkan kebijakan sendiri-sendiri di wilayahnya, yang
tidak sesuai dengan protokol Pemerintah Pusat. Hal tersebut mengingatkan kita, bahwa sempat
terjadi kebijakan “local lockdown” yang diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia. Padahal,
menurut UU No. 6 Tahun 2018 penerapan kebijakan lockdown merupakan wewenang
Pemerintah Pusat. Lantas, mengapa Pemerintah Daerah menerapkan hal tersebut?

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono,


menyampaikan bahwa kurva kasus Covid-19 masih terus meningkat, berdasarkan data pasien
positif yang terkonfirmasi.[1] Tentu hal tersebut meresahkan masyarakat, sebab hal ini
menandakan pemerintah belum tangkas dalam menyelesaikan permasalahan. Bahkan, bukan
tidak mungkin keresahan tersebut menjadi ketakutan tatakala muncul sebuah pertanyaan bahwa
apakah tenaga kesehatan di Indonesia sudah siap untuk menangani kasus Covid-19? Masyarakat
akan semakin khawatir jika membandingkan angka pasien positif yang terjangkit virus corona,
dengan kapasitas dan kesiapan tenaga medis yang ada di Indonesia.[2] Apalagi jika kita
mengingat bahwa penyakit ini sangat membutuhkan Dokter Spesialis Paru, sedangkan menurut
Agus Dwi Susanto selaku Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dokter spesialis paru yang
berada di Indonesia hanya 1.106 orang, dan menurutnya Indonesia akan mengalami kondisi
kekurangan dokter spesialis paru, jika kasus Covid-19 ini semakin melonjak.[3] Lantas, hal ini
membuat masyarakat menuntut adanya ketegasan dan keseriusan dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan masyarakat dalam menghadapi
pandemi ini.

Lalu, Bagaimana Respon Pemerintah Pusat Maupun Pemerintah Daerah


dalam Menghadapi Pandemi Covid-19?
Jika kita meninjau, semenjak kasus ini muncul di Wuhan, Tiongkok, Pemerintah Pusat tidak
mendeklarasikan apapun kepada khalayak ramai. Tetapi jika kita melirik kepada para pemimpin
daerah, ternyata mereka terlihat lebih sigap dalam menghadapi kasus Covid-19 ini. Hal ini
terbukti pada salah satu kabupaten yang terdapat di Sumatera Selatan, yang membentuk tim
khusus untuk mengantisipasi penyebaran virus corona sejak mengetahui adanya virus
corona/Sars-Cov-2 di Wuhan, Tiongkok.[4] Tim khusus yang dibentuk oleh Pemerintah
Kabupaten Muara Enim beranggotakan Organisasi Perangkat Daerah, dan instansi Dinas
Kesehatan.[5] Tim khusus ini pun mulai bergerak per 30 Januari 2020, dengan memantau para
WNA yang masuk ke Kabupaten Muara Enim, serta melaporkan data kesahatan warga sekitar
setiap bulannya kepada Gubernur.[6]

 Contoh lainnya, ditunjukan oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang sejak awal telah
memonitor perkembangan kasus Covid-19, dengan mengadakan rapat tertutup pada 29 Januari
2020 dengan mengundang pihak imigrasi dan Badan Intelijen Negara untuk berdiskusi mengenai
ancaman kasus Covid-19. Hal ini bertujuan agar DKI Jakarta dapat memantau secara jelas
adanya WNI ataupun WNA yang baru datang dari luar negeri, dan dengan segera menyiapkan
segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi untuk mewaspadai ada tidaknya masyarakat
yang menduduki wilayah DKI Jakarta saat ini yang tergolong kedalam ODP (orang dalam
pemantauan).

Tindakan kedua Pemerintah Daerah diatas guna menyikapi kasus Covid-19 ini pun dirasa
menunjukan adanya kesiapan lebih dini dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang hanya
menganjurkan kepada masyarakatnya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan. Bahkan ketika
sudah terdeteksi adanya dua orang yang positif terkena Covid-19, Pemerintah Pusat hanya
menganjurkan pengurangan aktivitas di luar rumah tanpa mengeluarkan kebijakan apapun,
bahkan identitas yang perlu diketahui masyarakat pun dirahasiakan. Padahal, menurut Pasal 10
ayat 1 UU No. 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tertuang bahwa “Badan
Publik Wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat
hidup orang banyak dan ketertiban umum”. Dengan ini, seharusnya secara praktis pemerintah
segera merespon kasus positif, salah satunya dengan memberikan transparansi informasi
mengenai hal tersebut. Karena sangat mungkin hal ini dapat mengancam kesehatan masyarakat
secara luas.

Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, sekaligus tetangga dari pasien kesatu
dan kedua yang positif Covid-19, berpendapat bahwa pemerintah terkesan membatasi informasi
untuk masyarakat.[7] Hal tersebut diafirmasi oleh tindakan Achmad Yurianto, juru bicara
Pemerintah khusus Covid-19, yang menjawab tudingan Anis Hidayah dengan menyatakan
bahwa data jumlah pasien Covid-19 merupakan data medis yang bersifat rahasia.[8] Padahal jika
melihat keadaan saat ini, informasi ini dibutuhkan oleh masyarakat. Maka seharusnya informasi
yang sifatnya vital seperti positif atau tidaknya pasien segera diumumkan dengan tegas. Sebab,
ketika pasien tersebut positif maka keadaan masyarakat disekitarnya juga perlu diperhatikan. Jika
kita meninjau lebih jauh hal ini pun telah melanggar ketentuan Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun
2018.

Adanya monopoli informasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diakui oleh Presiden Jokowi,
menurutnya pemerintah melakukan hal tersebut dengan maksud untuk meminimalisir kepanikan
masyarakat.[9] Adanya monopoli informasi ini terbukti dengan kasus kematian pasien corona ke
25. Ketika diminta klarifikasi kepada Pemerintah Daerah, mereka menjelaskan bahwa mereka
tidak mengetahui bahwa pasien tersebut meninggal disebabkan oleh Covid-19. Namun, ketika
diklarifikasi kepada Menteri Kesehatan baru dijelaskan bahwa pasien tersebut meninggal
disebabkan karena terinfeksi virus corona/Sars-Cov-2.[10] Adanya informasi yang simpang siur
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga terlihat ketika Gubernur Banten
mengumumkan jika di Banten terdapat empat orang yang terbukti positif Covid-19, tetapi juru
bicara yang ditunjuk oleh Pemerintah malah kebingungan dan tidak mengetahui apa-apa.[11]

Selang dua minggu dari adanya pernyataan Presiden terkait adanya kasus Covid-19 di Indonesia,
virus corona/Sars-Cov-2 menyebar sangat pesat. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
jumlah masyarakat yang positif Covid-19 pada tanggal 16 Maret 2020 yang mencapai 134 orang,
[12] dari yang semula hanya 2 orang. Hal ini menunjukan grafik yang cukup melonjak dalam
jangka waktu yang cukup singkat, yakni selama empat belas hari. Dengan adanya peningkatan
yang cukup signifikan, lagi-lagi Pemerintah Daerah terlihat lebih serius menanggapi hal ini
dibandingkan dengan Pemerintah Pusat. Hal ini dibuktikan dengan pendeklarasian status siaga
oleh masing-masing kota yang berarti wilayah tersebut bersiap untuk mengahadapi keadaan
darurat bencana. Landasan hukum dari status siaga dalam keadaan darurat bencana terdapat
dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Kebijakan yang cukup masif yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, salah satunya
kebijakan lockdown yang diterapkan oleh Kota di Papua, Kota Tegal, Kota Solo, dan wilayah
desa lainnya. Sedangkan pemerintah pusat hanya menghimbau masyarakat untuk melakukan
“social distancing.” Sebenarnya apa yang menjadi titik pembeda
antara lockdown dan social distancing?

Menurut Dr. Steven Goundor, MD selaku Dokter Spesialis penyakit menular mengungkapkan
bahwa social distancing  merupakan himbauan yang menginstruksikan kepada masyarakat untuk
menghindari diri dari adanya kerumunan.[13] Namun, kini istilah social distancing diganti
dengan istilah physical distancing dikarenakan adanya pertimbangan tafsiran yang kurang tepat
dengan istilah social distancing.[14] Sedangkan, istilah lockdown merupakan pengawasan ketat
di seluruh wilayah negara.

Dalam mekanisme pelaksanaan lockdown biasanya terdapat instruksi secara tegas yang


mengahruskan seluruh masyarakat untuk tetap dirumahnya masing-masing. Kebijakan tersebut
diterapkan Perancis, malahan jika ada warga yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya,
mereka harus membuat surat pernyataan yang menegaskan alasan mereka. Bahkan, Italia
menerapkan sanksi berupa tiga bulan penjara atau denda sebesar 206 euro atau sekitar 3,5 juta
rupiah, sebagai akibat hukum dari adanya lockdown.[15] Begitupun dalam
pelaksanaan lockdown terdapat instruksi penutupuan fasilitas umum, seperti di Italia, Prancis,
Spanyol.[16]Selain itu, guna mendukung pelaksanaan lockdown maka seharusnya kebutuhan
dasar seluruh penduduk negara ditanggung oleh Pemerintah.

Apa Landasan Hukum dari Kebijakan Lockdown Maupun Social Distancing?
Dalam paradigma hukum di Indonesia, social distancing maupun lockdown memiliki landasan
hukum berupa UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan
Kesehatan menurut UU No. 6 Tahun 2018 merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar
atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan social
distancing maupun lockdown sebenarnya merupakan upaya dari adanya Kedaruratan Kesehatan.
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar
biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh
radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang
menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas
negara. [17] Dalam UU No. 6 Tahun 2018 respon dari keadaan darurat kesehatan diantaranya
Karantina rumah, Karantina rumah sakit, Karantina Wilayah dan yang kini digagas oleh Presiden
adalah Pembatasan sosial berskala besar.

Jika kita meninjau kepada ketentuan umum dari masing-masing penyelenggaraan dari
Kedaruratan Kesehatan, pun disertai dengan peninjauan terhadap beberapa pasal di dalamnya,
seperti pada Pasal 15 ayat 2 tersurat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah
satu bentuk tindakan dalam menjalani Karantina Kesehatan. Dalam ketentuan umum,
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk
dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika kita meninjau lebih
jauh definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir sama
dengan Physical Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat.

Sedangkan, Karantina Wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam
suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya, yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit
atau kontaminasi. Pintu Masuk yang dimaksud disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan
keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar
udara, maupun pos lintas batas darat negara. Mekanisme mengenai Karantina Wilayah diatur
pada Pasal 54 dan Pasal 55 dalam UU No. 6 Tahun 2018.

Pasal 54 dijelaskan mengenai mekanisme Karantina Wilayah dalam ayat:

(2) perlunya pemberian garis pada wilayah yang dikarantina, serta wilayah tersebut harus terus
dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian

(3) anggota masyarakat yang dikarantina tidak diperbolehkan untuk keluar masuk wilayah yang
sedang karantina.

Pasal 55 dijelaskan adanya kewajiban yang harus ditanggung pemerintah guna mendukung
pelaksanaan Karantina Wilayah dalam ayat:

(1) kebutuhan hidup dasar selama masa Karantina Wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah
Pusat. Kebutuhan hidup dasar tersebut mencakup kebutuhan hidup dasar seseorang dan makanan
hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina.
(2) tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah pada ayat (1)
dapat melibatkan Pemerintah Daerah.

Dari mekanisme penyelenggaraan Karantina Wilayah sesuai Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 6
Tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa Karantina Wilayah merupakan nama lain dari
kebijakan lockdown.

Mengingat kembali bahwa Pemerintah Daerah sempat memberlakukan kebijakan Karantina


Wilayah, atau dikenal sebagai kebijakan local lockdown. Kebijakan ini diterapkan oleh
Pemeritah Daerah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat di
wilayahnya, agar meminimalisir penyebaran virus corona/Sars-Cov-2. Sebab, menurut alinea ke
empat, dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia
berkewajiban untuk melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain
itu, penerapan local lockdown juga bertujuan untuk melaksanakan salah satu dari tujuan hukum,
yakni kemanfaatan.

Kemanfaatan ini dapat dilihat dari kebijakan local lockdown yang diberlakukan di Wilayah


Papua. Pemberlakuan local lockdown di wilayah Papua dilatar belakangi karena begitu
sedikitnya Rumah Sakit dan tenaga kesehatan yang memenuhi kriteria untuk menaggulangi
kasus Covid-19 ini. Maka Pemerintah Daerah Papua memilih untuk
memberlakukan local lockdown untuk meminimalisir pertumpukan pasien di wilayah Papua,
yang dikhawatirkan nantinya tidak dapat terlayani dengan baik, dan malah berakibat fatal.

Meskipun dalam pelaksanaan local lockdown oleh Pemerintah Daerah memiliki kemanfaatan dan


bertujuan untuk melindungi warga setempat, tetapi kebijakan local lockdown tersebut tetap
disalahi oleh Pemerintah Pusat, sebab hal ini telah melanggar Pasal 11 UU No. 6 Tahun 2018,
yang menegaskan bahwa pemberlakuan kekarantinaan kesehatan merupakan hak absolut
Pemerintah Pusat. Merespon adanya kebijakan local lockdown Presiden Jokowi dalam
konferensi pers tanggal 31 Maret 2020 lalu, yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak
diperkenankan untuk membuat kebijakan sendiri-sendiri diwilayahnya. Dalam konferensi pers
tersebut dijelaskan pula alasan Pemerintah Pusat tidak memilih kebijakan lockdown guna
merespon kedaruratan kesahatan yang sedang dialami saat ini.

Alasan tidak dipilihnya kebijakan lockdown oleh Pemerintah Pusat juga dipaparkan oleh


Presiden, bahwasanya keputusan yang dipilih sudah dipertimbangkan sesuai dengan keadaan
negara. Menurutnya, kita memang dapat mempelajari tindakan negara lain dalam menaggapi
kasus Covid-19, namun tidak serta merta kita dapat menerapkannya secara langsung di
Indonesia, tanpa menimbang aspek lainnya. Hal ini sejalan dengan Pasal 11 UU No. 6 Tahun
2018, dimana disebutkan bahwa penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan pada kedaruratan
kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan berdasarkan besarnya
ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan
kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Seperti yang kita ketahui, ketika menerapkan kebijakan lockdown maka kebutuhan dasar


masyarakat harus ditanggung oleh pemerintah, bahkan pakan hewan ternak yang dimiliki
masyarakat pun termasuk kedalam tanggungan pemerintah. Ketentuan ini terkandung dalam
Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2018. Begitupun jika diberlakukan karantina wilayah atau lockdown,
maka perusahaan, dan tempat umum lainnya wajib untuk tutup (kecuali mereka yang menjual
barang-barang esensial). Hal ini yang menjadi pertimbangan tidak diterapkannya
kebijakan lockdown secara nasional, salah satunya mengingat bahwa jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2018 secara data Ditjen Dukcapil pada Triwulan II 2018 mencapai 263,9 juta jiwa.
Begitupun BPS dan Bappenas yang memproyeksikan dari 2015-2045 data penduduk Indonesia
mencapai 264,2 juta jiwa.[18] Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk Indonesia, maka
semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, guna menanggung kebutuhan
dasar setiap masyarakat. Pun, dengan ditutupnya perusahaan dan tempat-tempat umum seperti
toko, mall, hotel, dan lain sebagainya, maka hal tersebut akan meruntuhkan sistem perekonomian
di Indonesia.

Menakar Keefektifan Kebijakan PSBB oleh Pemerintah Pusat

Kemarin, 10 April 2020 merupakan hari pertama diberlakukan kebijakan PSBB di Jakarta.
[19] Kebijakan ini didukung dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID 19), Begitu juga adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9
Tahun 2020. Regulasi lain yang berkaitan dengan Kasus Covid-19 yakni PERPPU No. 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Akan tetapi, apakah dengan terbitnya beragam instrumen hukum telah sesuai dengan kebutuhan
bangsa saat ini guna merespon kasus Covid-19?

Hal krusial yang perlu dicermati yakni mengenai mekanisme pelaksanaan PSBB. Mekanisme
penetapan PSBB disuatu daerah ternyata memerlukan beberapa syarat, dimana syarat ini
disinggung dalam PP No. 21 Tahun 2018 dan dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
9 Tahun 2020. Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk mendapat ketetapan PSBB
sesuai Pasal 2 Permenkes No. 9 Tahun 2020, yakni adanya peningkatan jumlah kasus, dan atau
jumlah kematian secara signifikan di wilayahnya, serta terdapat kaitan epidemilogis dengan
kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

            Kemudian, syarat tersebut harus diajukan oleh kepala daerah (gubernur/bupati/walikota)
dengan mengajukan data adanya peningkatan jumlah kasus, adanya peningkatan jumlah
penyebaran menurut waktu, serta adanya kejadian transmisi lokal. Data tersebut kemudian harus
disertai dengan adanya kurva epidemiologi yang menyatakan telah terjadinya penularan di
wilayah tersebut. Selain itu, dalam mengajukan permohonan PSBB, kepala daerah perlu
menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup
dasar rakyat, sarana prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial,
dan aspek keamanan.

            Kemudian, setelah diajukan permohonan tersebut, Menteri Kesehatan akan membentuk
tim khusus yang bekerjasama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona, dalam
rangka melakukan kajian epidemiologis, dengan mempertimbangkan aspek kesiapan daerah
tersebut. Nantinya, tim khusus ini memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan untuk
memberlakukan PSBB. Tetapi rekomendasi tersebut dapat ditolak, ataupun diterima oleh
Menteri Kesehatan.

            Maka adanya persyaratan yang cenderung ruwet untuk penetapan status PSBB dalam
suatu wilayah berdasarkan Permenkes No. 9 Tahun 2020, perlu dipermasalahkan. Mengapa?
Karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Daerah tersebut
dikhawatirkan akan menghambat proses penanganan Covid-19.

 Regulasi selanjutnya yang perlu dicermati yakni Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020. PP
No. 21 Tahun 2020 merupakan bentuk aturan yang didelegasikan oleh UU No. 6 Tahun 2018,
tepatnya pada Pasal 10 ayat 4. Dengan ini, seharusnya sifat Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun
2020 berperan sebagai peraturan pelaksanaan terkait segala kebijakan yang akan dilaksanakan,
guna menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tetapi jika kita mencermati lebih jauh
terhadap Pasal 4 PP No. 21 Tahun 2018, dijelaskan bahwa:

Pasal 4 ayat:    (1) Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi

a. peliburan sekolah dan tempat kerja;

                                    b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau

c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

(2) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetap
mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk.

(3) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Kalimat pada Pasal 54 ayat (1) benar-benar persis seperti pada Pasal 59 UU No. 6 Tahun 2018.
Padahal pada hakikatnya peraturan pemerintah memiliki peran untuk menjelaskan pelaksanaan
atas aturan undang-undang yang mendelegasikannya. Namun, hal ini belum terlihat dalam PP
No. 21 Tahun 2020, tepatnya pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan adanya peliburan dalam rangka
mengantisipasi penularan Covid-19, padahal pada kenyataannya sekolah maupun tempat kerja
tidak diliburkan, melainkan belajar dari jarak jauh untuk sekolah, dan untuk sebagian tempat
kerja memberlakukan work from home (WFH). Maka, ketentuan tersebut tidaklah tepat,
meskipun dalam ayat (2) terdapat keterangan lebih lanjut terkait Pasal 4 ayat (1). Namun, tetap
saja ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) tidaklah mengandung mengenai mekanisme
pelaksanaan Pasal 4 ayat (1) secara praktis.

Hal tersebut menunjukan penggunaan diksi dalam instrumen hukum begitu penting, terlebih lagi
dalam penggunaan kata “libur” untuk para pekerja. Sebab, hal tersebut akan memiliki implikasi
terhadap pemberian gaji ataupun upah yang merupakan hak bagi para pekerja setelah
dilakukannya suatu pekerjaan. Sedangkan, ketika karyawan diliburkan tidak ada pemberian gaji
ataupun upah. Maka, penjelasan terhadap klausul dalam suatu regulasi harus sejelas mungkin.
Namun, kejelasan dalam klausul dalam PP No. 21 Tahun 2020 tersebut belum tercapai.

Selain itu hal yang perlu dicermati dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 maupun dalam PP No.
21 Tahun 2020. Sebagai peraturan pelaksana, kedua regulasi tersebut belum mencakup mengenai
ketentuan oprasional PSBB. Seperti, pelaksanaan PSBB oleh mereka yang harus memenuhi
kebutuhan hariannya dengan bekerja diluar rumah dan kegiatan diluar rumah yang tergolong
kedalam pengecualian. Dengan ini, kedua regulasi tersebut masih terlalu sederhana untuk sebuah
peraturan pelaksana.

Kemudian, yang perlu dicermati selanjutnya yakni PERPPU No. 1 Tahun 2020. Dimana
PERPPU ini memiliki maksud untuk menjadi dasar hukum, dengan diberlakukannya realokasi
APBN, seiring dengan adanya kasus Covid-19. Namun, dalam substansi PERPPU ini terdapat
pasal yang cukup menuai kontroversi, yakni Pasal 27 yang disebutkan bahwa pejabat Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga pejabat lainnya tidak dapat
dituntut secara pidana ataupun perdata sepanjang melaksanakan tugas dengan itikad baik dan
sesuai dengan ketentuan. Secara tidak langsung pasal tersebut menjelaskan adanya imunitas yang
dimiliki oleh pejabat sehingga tidak dapat dituntut, jika adanya kerugian yang dialami negara
karena kasus ini.

Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting dengan pencermatan terhadap regulasi, yakni perlu
adanya peninjauan lebih jauh mengenai realisasi. Apakah semua kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah sudah terealisasi?

Realisasi kebijakan PSBB sampai saat ini dilaksanakan secara resmi oleh Pemprov DKI Jakarta.
[20] Pelaksanaan PSBB di Jakarta diiringi dengan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 33 Tahun 2020, sebagai mekanisme pelaksanaan PSBB di Jakarta. Seperti yang
disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bahwa pada hakikatnya seluruh
kebijakan yang terkandung dalam Pergub DKI No. 33 Tahun 2020 mencakup segala pembatasan
kegiatan diluar rumah seperti yang selama ini telah dihimbau oleh Pemerintah.[21] Bedanya,
terdapat sanksi bagi yang melanngar PSBB pada Pasal 27 Pergub DKI No. 30, yang mengacu
kepada Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 yakni, sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama
satu tahun dan/ atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.

Sedangkan, Pemprov Riau mengaku mengalami kendala untuk menetapkan PSBB, karena terus
meningkatnya angka kepulangan TKI, sehinggga hal ini menyebabkan terus adanya perubahan
dalam pendataan.[22] Wilayah Tanggerang sampai saat ini masih mengkaji sistem PSBB dan
belum mengusulkan kepada kementrian kesehatan. Arief Wismansyah, Wali Kota Tanggerang
mengaku akan memantau Jakarta terlebih dahulu dalam pelaksanaan PSBB.[23]

Maka, dari pernyataan ketiga daerah tersebut menunjukan bahwa penerapan PSBB belum
terlaksana secara merata disemua daerah, hal ini menjadi sesuatu yang wajar, mengingat adanya
syarat yang ruwet yang perlu dipenuhi oleh masing-masing daerah dalam penerapan PSBB.
Realisasi kebijakan selanjutnya yakni terkait dengan bantuan sosial yang diberikan kepada
lapisan masyarakat bawah. Pada konferensi pers, Presiden Jokowi mengumumkan akan
digalakannya bantuan sosial ini dalam berbagai bentuk, diantaranya seperti sembako, bantuan
langsung tunai, penggratisan dan diskon biaya listrik oleh golongan tertentu, pelatihan kepada
para sopir bus, taksi, dan truk, serta keringanan pembayaran kredit yang ditujukan kepada pelaku
UMKM dan ojek online.[24]

Namun, pada konferensi pers selanjutnya masih terdapat beberpa pertanyaan yang diwakili oleh
masyarakat bahwa masih terdapat ojek online yang mengaku masih dikejar-kejar oleh rentenir.
Tetapi pihak OJK mengaku telah menyikapi hal ini dengan mengadakan kerja sama dengan
perusahaan ojek online yang mempekerjaan pengemudi ojek yang bersangkutan, agar pihak
perusahaan dapat ikut andil dalam penyelenggarakan bantuan ini.[25]

Selanjutnya bantuan mengenai sembako beberapa sudah diserahkan oleh Presiden Jokowi kepada
para pengemudi ojek online.[26] Namun, pembagian sembako ini belum dapat dipastikan
merupakan bagian dari bantuan sosial yang diberikan oleh Negara, atau dari Presiden Jokowi
secara pribadi. Karena penyerahan sembako yang berstatus sebagai bantuan negara, seharusnya
digalakan oleh masing-masing Pemerintah Daerah dengan anggaran daerahnya masing-masing,
dan mengenai hal ini belum terdapat perkembangan informasi.

Bantuan yang tak kalah penting yakni bantuan langsung tunai, yang menjadi salah satu harapan
masyarakat bawah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena semenjak kasus Covid-19
banyak masyarakat kecil yang mengalami penurunan penghasilan yang begitu signifikan.
Apalagi terkait dengan kebijakan PSBB di DKI Jakarta, yang dengan tegas melarang ojek online
untuk mengangkut penumpang. Pengurangan pendapatan harian selain dirasakan oleh pengemudi
ojek, juga dirasakan oleh mereka yang bekerja didalam UMKM, supir taksi, supir angkot, dan
mereka yang penghasilanya hanya mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

Maka, bantuan lanngsung tunai perlu direalisasikan kepada mereka yang benar-benar
membutuhkan. Namun, lagi-lagi masih terdapat kejadian pilu sebagai dampak dari kasus Covid-
19, yakni adanya pengemudi ojek online dan keluarga yang diusir dari kontrakannya dikarnakan
belum membayar uang kontrakan. [27] Pengemudi ojek Online tersebut mengaku bahwa
semenjak adanya kasus Covid-19 dirinya sangat susah untuk memperoleh pendapatan.
[28] Kemudian, hal ini menyebabkan dirinya tidak bisa membayar kontrakan. Ketika
diwawancara oleh wartawan disalah satu stasiun televisi, pengemudi tersebut mengaku belum
mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah. Maka, hal ini menunjukan bahwa bantuan
langsung tunai belum berjalan, atau bisa saja sudah berjalan tetapi masih belum merata dan tepat
sasaran.

Dengan melihat pernyataan diatas, maka kebijakan PSBB yang dipilih oleh pemerintah guna
menyikapi adanya pandemi Covid-19, masih dalam proses menuju pelaksanaan. Meskipun
belum dilakukan secara menyeluruh, tetapi setidaknya sudah terdapat perkembangan yang
dilakukan oleh beberapa daerah. Namun, masih terdapat juga daerah yang masih mengkaji
kebijakan tersebut. Begitu juga dengan kebijakan bantuan sosial yang dicetuskan Presiden
Jokowi, masih dalam proses pemaksimalan, meskipun masih terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaannya.
KESIMPULAN

            Kasus Covid-19, yang merupakan pandemi global jelas menimbulkan kekhawatiran dari
beragam kalangan, khususnya masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin menjadi-jadi
dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat, serta melihat kurangnya kesiapan beberapa
ranah yang cukup vital guna “memerangi” virus corona. Maka dengan itu, masyarakat menuntut
pemerintah agar dapat memberikan perlindungan, sesuai amanat UUD 1945. Salah satu bentuk
perlindungan yang dapat diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, yakni adalah
sebuah kebijakan guna menyikapi kasus Covid-19 ini.

            Namun, kebijakan yang dikeluarkan oleh sektor pusat dan daerah sering kali mengalami
“tumpang-tindih” atau dengan kata lain, berlainan. Hal ini dilihat karena kurangnya kordinasi
yang jelas antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Disisi lain Pemerintah Daerah
merupakan pejabat publik yang sifatnya paling dekat dengan masyarakat di wilayahnya,
sehingga Pemerintah Daerah lebih mengetahui kebutuhan dan karakteristik daerahnya. Namun,
di sisi lain adanya aturan dalam UU No. 6 Tahun 2018 mengisyaratkan bahwa Pemerintah Pusat
yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan suatu kebijakan kedaruratan kesehatan. Maka, hal
ini mengakibatkan penerapan kebijakan guna menyikapi adanya Covid-19 menjadi cukup pelik.
Padahal kasus yang sedang dihadapi masyarakat saat ini merupakan virus yang telah menelan
banyak korban jiwa.

            Akan tetapi, kepelikan tersebut ternyata cukup teredakan dengan adanya pernyataan
secara tegas dari Presiden Jokowi mengenai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala besar yang
dipilihnya. Tetapi, dengan melihat proses penetapan PSBB dalam suatu daerah maka
dikhawatirkan PSBB hanya akan menjadi seongok kebijakan saja, tanpa adanya pelaksanaan
secara seragam di seluruh wilayah. Jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan dampak yang
sangat fatal yakni berdampak kepada lambannya Pemerintah untuk menangani kasus Covid-19.

            Selain itu, instrumen hukum yang diterbitkan seiring diterapkannya PSBB masih belum
menjadi titik terang akan segala tanda tanya yang tercipta dari keadaan yang dialami masyarakat
saat ini. Seperti kebijakan lain terkait dengan pelaksaan operasional PSBB oleh berbagai
kalangan dan hak-hak masyarakat selama PSBB belum tercantum didalam instrumen hukum
tersebut. Begitupun realisasi kebijakan yang sampai saat ini belum berjalan secara seragam
terkait dengan PSBB, pun bantuan sosial yang belum diterima secara langsung oleh masyarakat.
Maka, kita perlu menuntun, mengontrol, dan memantau besama-sama terkait proses pelaksanaan
dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah. Sebab, sebaik-baiknya regulasi
merupakan regulasi yang terealisasi.
Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Jokowi mengadakan Konferensi Pers, dengan tujuan
untuk mengumumkan kepada publik mengenai kebijakan yang dipilihnya guna menyikapi
Covid-19 sebagai pandemi global yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Pada konferensi pers tersebut, Presiden Jokowi mengeluarkan statement bahwa, kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan yang dipilih dalam merespon
adanya Kedaruratan Kesehatan. Kebijakan ini berlandaskan UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Seiring dipilihnya kebijakan PSBB, Presiden Jokowi menegaskan
bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh menerapkan kebijakan sendiri-sendiri di wilayahnya,
yang tidak sesuai dengan protokol Pemerintah Pusat. Hal tersebut mengingatkan kita, bahwa
sempat terjadi kebijakan “local lockdown” yang diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia.
Padahal, menurut UU No. 6 Tahun 2018 penerapan kebijakan lockdown merupakan
wewenang Pemerintah Pusat. Lantas, mengapa Pemerintah Daerah menerapkan hal
tersebut?

Jika kita meninjau, semenjak kasus ini muncul di Wuhan, Tiongkok, Pemerintah Pusat tidak
mendeklarasikan apapun kepada khalayak ramai. Tetapi jika kita melirik kepada para
pemimpin daerah, ternyata mereka terlihat lebih sigap dalam menghadapi kasus Covid-19
ini. Hal ini terbukti pada salah satu kabupaten yang terdapat di Sumatera Selatan, yang
membentuk tim khusus untuk mengantisipasi penyebaran virus corona sejak mengetahui
adanya virus corona/Sars-Cov-2 di Wuhan, Tiongkok.[4] Tim khusus yang dibentuk oleh
Pemerintah Kabupaten Muara Enim beranggotakan Organisasi Perangkat Daerah, dan
instansi Dinas Kesehatan.[5] Tim khusus ini pun mulai bergerak per 30 Januari 2020, dengan
memantau para WNA yang masuk ke Kabupaten Muara Enim, serta melaporkan data
kesahatan warga sekitar setiap bulannya kepada Gubernur.[6]
            Kasus Covid-19, yang merupakan pandemi global jelas menimbulkan kekhawatiran
dari beragam kalangan, khususnya masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin menjadi-
jadi dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat, serta melihat kurangnya kesiapan
beberapa ranah yang cukup vital guna “memerangi” virus corona. Maka dengan itu,
masyarakat menuntut pemerintah agar dapat memberikan perlindungan, sesuai amanat
UUD 1945. Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah, yakni adalah sebuah kebijakan guna menyikapi kasus Covid-19 ini.

            Namun, kebijakan yang dikeluarkan oleh sektor pusat dan daerah sering kali
mengalami “tumpang-tindih” atau dengan kata lain, berlainan. Hal ini dilihat karena
kurangnya kordinasi yang jelas antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Disisi lain
Pemerintah Daerah merupakan pejabat publik yang sifatnya paling dekat dengan masyarakat
di wilayahnya, sehingga Pemerintah Daerah lebih mengetahui kebutuhan dan karakteristik
daerahnya. Namun, di sisi lain adanya aturan dalam UU No. 6 Tahun 2018 mengisyaratkan
bahwa Pemerintah Pusat yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan suatu kebijakan
kedaruratan kesehatan. Maka, hal ini mengakibatkan penerapan kebijakan guna menyikapi
adanya Covid-19 menjadi cukup pelik. Padahal kasus yang sedang dihadapi masyarakat saat
ini merupakan virus yang telah menelan banyak korban jiwa.

            Akan tetapi, kepelikan tersebut ternyata cukup teredakan dengan adanya pernyataan
secara tegas dari Presiden Jokowi mengenai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala besar
yang dipilihnya. Tetapi, dengan melihat proses penetapan PSBB dalam suatu daerah maka
dikhawatirkan PSBB hanya akan menjadi seongok kebijakan saja, tanpa adanya pelaksanaan
secara seragam di seluruh wilayah. Jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan dampak
yang sangat fatal yakni berdampak kepada lambannya Pemerintah untuk menangani kasus
Covid-19.

            Selain itu, instrumen hukum yang diterbitkan seiring diterapkannya PSBB masih belum
menjadi titik terang akan segala tanda tanya yang tercipta dari keadaan yang dialami
masyarakat saat ini. Seperti kebijakan lain terkait dengan pelaksaan operasional PSBB oleh
berbagai kalangan dan hak-hak masyarakat selama PSBB belum tercantum didalam
instrumen hukum tersebut. Begitupun realisasi kebijakan yang sampai saat ini belum
berjalan secara seragam terkait dengan PSBB, pun bantuan sosial yang belum diterima
secara langsung oleh masyarakat. Maka, kita perlu menuntun, mengontrol, dan memantau
besama-sama terkait proses pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh Pemerintah. Sebab, sebaik-baiknya regulasi merupakan regulasi yang terealisasi.

 Contoh lainnya, ditunjukan oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang sejak awal telah
memonitor perkembangan kasus Covid-19, dengan mengadakan rapat tertutup pada 29 Januari
2020 dengan mengundang pihak imigrasi dan Badan Intelijen Negara untuk berdiskusi mengenai
ancaman kasus Covid-19. Hal ini bertujuan agar DKI Jakarta dapat memantau secara jelas
adanya WNI ataupun WNA yang baru datang dari luar negeri, dan dengan segera menyiapkan
segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi untuk mewaspadai ada tidaknya masyarakat
yang menduduki wilayah DKI Jakarta saat ini yang tergolong kedalam ODP (orang dalam
pemantauan).

Tindakan kedua Pemerintah Daerah diatas guna menyikapi kasus Covid-19 ini pun dirasa
menunjukan adanya kesiapan lebih dini dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang hanya
menganjurkan kepada masyarakatnya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan. Bahkan ketika
sudah terdeteksi adanya dua orang yang positif terkena Covid-19, Pemerintah Pusat hanya
menganjurkan pengurangan aktivitas di luar rumah tanpa mengeluarkan kebijakan apapun,
bahkan identitas yang perlu diketahui masyarakat pun dirahasiakan. Padahal, menurut Pasal 10
ayat 1 UU No. 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tertuang bahwa “Badan
Publik Wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat
hidup orang banyak dan ketertiban umum”. Dengan ini, seharusnya secara praktis pemerintah
segera merespon kasus positif, salah satunya dengan memberikan transparansi informasi
mengenai hal tersebut. Karena sangat mungkin hal ini dapat mengancam kesehatan masyarakat
secara luas.

11 Juli 2021, pukul 3.30 sore


Agus Salim, 42 th
Pertemun pertama dengan pak Agus Salim
Lokasi : rumah pak Agus Salim
Tema : persiapan yang dilakukan ketika social distancing diterapkan
Pak Agus Salim adalah salah satu Perangkat Daerah diKabupaten Muara Enim yang termasuk
dalam Tim khusus yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim.
Menurut pak Agus Salim ’’Tim khusus yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Muara
Enim beranggotakan Organisasi Perangkat Daerah, dan instansi Dinas Kesehatan. Tim khusus
ini pun mulai bergerak per 30 Januari 2020, dengan memantau para WNA yang masuk ke
Kabupaten Muara Enim, serta melaporkan data kesehatan warga sekitar setiap bulannya
kepada Gubernur’’.

Anda mungkin juga menyukai