Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN MAKALAH KELOMPOK 6

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS


RETARDASI MENTAL

Oleh :
KELOMPOK 6

1. Ristika Martha Dewi


2. Saufiliana Nesia
3. Dwi Maulida
4. Muh. Zainul Jum’ati Majdi

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN JENJANG S.1 KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita semua
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS RETARDASI MENTAL” yang merupakan tugas
kami pada mata kuliah “KEPERAWATAN ANAK ” guna memenuhi kegiatan belajar mengajar.
Kami mengucapkan terima kasih pada dosen yang telah memberikan bimbingannya dan
teman – teman yang memberikan dukungan dan masukannya kepada kami dalam menyelesaikan
tugas ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan oleh kami sebagaimana mestinya.
Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
saran serta kritik yang membangun senantiasa kami terima sebagai acuan untuk tugas-tugas kami
selanjutnya.

Mataram, 31 Oktober 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas merupakan bagian dari
anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan pemerintah, masyarakat,
dan keluarga. Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas sama halnya dengan anak
lainnya, yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak agar mereka dapat hidup, tumbuh,
dan berkembang secara optimal, serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat
diperoleh melalui upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial (Suryani dan
Badi’ah).
Pengasuhan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan masalah yang dialami anak,
sangat membutuhkan peran dari orang tua, keluarga, guru sekolah dan perawat.
Pengasuhan dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan perkembangan pada anak
berkebutuhan khusus. Masalah pada anak berkebutuhan khusus yang sering terjadi antara
lain tunarungu, tunagrahita (Retardasi mental), tunanetra, tunadaksa, autisme (Praptono,
2017).
Anak dengan masalah retardasi mental mempunyai keterbatasan kognitif maupun
sosial. Retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak-
kanak (sebelum usia 18 tahun) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal
(IQ sekitar 2 standar deviasi yang dibawah normal, dalam rentang 65 sampai 75 atau
kurang) disertai keterbatasan- keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif:
berbicara dan bahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggaan, keterampilan sosial,
penggunaan sumber-sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja (Betz dan Sowden, 2009).
Berdasarkan data yang didapatkan dalam Journal of Maternal Child Health (2017)
Hampir 83 juta penduduk dunia diperkirakan mengalami keterbelakangan mental (World
Health Organization, 2013). Sekitar seperempat dari kasus disebabkan oleh kelainan
genetik dan 5% dari kasus diwarisi dari orang tua. Sekitar 95 juta orang mengalami
disabilitas di tahun 2013 yang penyebabnya tidak diketahui (Global Burden of Disease
Study 2013 collaborators, 2015). Berdasarkan data dari kemdikbud 2017, sebanyak
121.244 anak merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK). Angka tersebut diantaranya
ada 64.403 anak kelompok tunagrahita atau retardasi mental.

Dampak retardasi mental pada anak dapat dilihat dalam keterampilan gerak dan
fisik yang kurang sehat kesulitan dalam komunikasi kemampuan menolong diri sendiri,
bersosialisasi, berinteraksi dengan teman, gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
perawatan diri kurangnya perasaan dirinya terhadap situasi dan keadaan disekelilingnya
untuk memenuhi kelemahan hal kemampuan motorik halusnya (Yuemi dan Mundakir,
2015). Dampak retardasi mental terhadap reaksi orang tua dalam penelitian Na’imah, dkk
(2017) adalah perasaaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan kurang
menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan
stigma yang melekat pada anak. Berbagai masalah yang dialami orang tua yang memiliki
anak tunagrahita bisa menurunkan happiness dalam hidupnya. Keluarga yang mempunyai
anak dengan retardasi mental akan memberikan perlindungan yang berlebihan pada
anaknya sehingga anak mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan
pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin bertambahnya umur
anak retardasi mental maka para orangtua harus mengadakan penyesuaian terutama
dalam pemenuhan anak sehari- hari (Mutaqqin, 2008).
Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak, salah satunya seperti yang
dicantumkan dalam undang- undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas
pasal 5 ayat 3 yang berbunyi “Anak penyandang disabilitas memiliki hak: b.
Mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh
kembang secara optimal” . Berdasarkan pasal tersebut yang dimaksud dengan “keluarga
pengganti” adalah orang tua asuh, orang tua angkat, wali, dan/ atau lembaga yang
menjalankan peran dan tanggung jawab untuk memberikan perawatan dan pengasuhan
pada anak. Salah satunya terdapat peran perawat dalam memberikan perawatan dan
pengasuhan pada anak.
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan
sangat individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga memerlukan
perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap
tumbuh kembangnya (Soetjiningsih, 2012). Tujuan pengobatan adalah mengembangkan
potensi anak semaksimal mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan
khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak
berfungsi senormal mungkin (Utaminingsih, 2015).
Perawat memberi intervensi berdasarkan rencana asuhan keperawatan untuk
mengimplementasikan tindakan keperawatan yang meningkatkan, mempertahankan,
mengembalikan kesejahteraan, mencegah penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi
(O’brien, dkk, 2014). Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi yang
dapat diberikan kepada anak dengan retardasi mental dalam penelitian Parendrawati, dkk
(2015) adalah dengan terapi bermain, terapi ini dilakukan dengan cara memberikan
palajaran berhitung, sosiodrama ataupun bermain jual beli. Berdasarkan penelitian Yuemi
dan Mundakir (2015) intervensi keperawatan yang dilakukan pada anak dengan retardasi
mental yaitu terapi okupasi: Diorama gambar. Salah satu intervensi keperawatan dalam
penelitian Wulandari (2016) pada keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental
adalah terapi psikoedukasi keluarga.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Penerapan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Retardasi Mental?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan yang diperoleh
adalah sebagai berikut : untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Retardasi Mental
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Retardasi Mental


1. Defenisi Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak-
kanak (sebelum usia 18 tahun) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal
(IQ sekitar 2 standar deviasi yang dibawah normal, dalam rentang 65 sampai 75 atau
kurang) disertai keterbatasan- keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif:
berbicara dan bahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggaan, keterampilan sosial,
penggunaan sumber- sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja (Betz dan Sowden, 2009).
Retardasi mental adalah disabilitas yang menyebabkan keterbatasan signifikan baik
dalam fungsi intelektual maupun dalam perilaku adaptif (keterampilan sosial dan praktis
sehari-hari) sebelum usia 18 tahun (Bernstein dan Shelov, 2017). Retardasi mental juga
dikenal dengan beberapa istilah, yaitu: disabilitas kognitif, disabilitas intelektual,
disabilitas belajar (Betz dan Sowden, 2009), gangguan mental, abuse (misal, moron,
idiot, kretin, mongol) (Hull dan Johnston, 2008), tunagrahita (Iswari dan Nurhastati,
2010), keterbelakangan mental (Utaminingsih, 2015), gangguan intelektual (Bernstein
dan Shelov, 2017).
2. Etiologi
Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk mengetahui
adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial. Walaupun begitu
terdapat beberapa faktor yang potensial berperanan dalam terjadinya retardasi mental
seperti yang dinyatakan oleh Taft LT (1983) dan Shonkoff JP (1992) dibawah ini.

1. Organik
a. Faktor prekonsepsi : kelainan kromosom (trisomi 21/Down syndrome dan
Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neurocutaneos,
dll.)
b. Faktor prenatal : kelainan petumbuhan otak selama kehamilan (infeksi, zat
teratogen dan toxin, disfungsi plasenta)
c. Faktor perinatal : prematuritas, perdarahan intrakranial, asphyxia neonatorum,
Meningitis, Kelainan metabolik:hipoglikemia, hiperbilirubinemia, dll
d. Faktor postnatal : infeksi, trauma, gangguan metabolik/hipoglikemia, malnutrisi,
CVA (Cerebrovascularaccident) - Anoksia, misalnya tenggelam

2. Non organik

a. Kemiskinan dan klg tidak harmonis


b. Sosial cultural
c. Interaksi anak kurang
d. Penelantaran anak

3. Faktor lain : Keturunan; pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain (15-20% ; AAP,
1984)

3. Gejala Klinis

Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa
kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital kemudian mengarah ke suatu sindrom
penyakit tertentu.
Gejala klinis dan kelainan fisik yang disertai retardasi mental:

a. Kelainan pada mata :

1) Katarak :

a) Sindrom Cockayne

b) Sindrom Lowe

c) Galactosemia

d) Sindrom Down
e) Kretin

f) Rubela prenatal

2) Bintik cherry- merah daerah macula

a) Mukolipidosis

b) Penyakit Niemann- pick

c) Penyakit Tay-sachs

3) Korioretinitis

a) Lues Kongenital

b) Penyakit stimegalo virus

c) Rubela prenatal

4) Kornea keruh

a) Lues kongenital

b) Sindrom hunter

c) Sindrom hurler

d) Sindrom Lowe

b. Kejang

1) Kejang umum tonik klonik

a) Defisiensi glikogen sinthease

b) Hiperlisinemia

c) Hipoglikemia, terutama yang disertai glycogen storage disease

I, III, IV dan VI

d) Phenyl ketonuria

e) Sindrom malabsorpsi methionine

2) Kejang masa neonatal


a) Arginosuccinic asiduria

b) Hiperammonemia I dan II

c) Laktik Asidosis

c. Kelainan Kulit

Bintik cafe-au-lait

1) Ataksia-telengiektasia

2) Sindrom bloom

3) Neurofibromatosis

4) Tuberous selerosis

d. Kelainan rambut

1) Rambut rontok

a) Familial laktik asidosis dengan necrotizing ensefalopati

2) Rambut cepat memutih

a) Atrofi progresif serebral hemisfer

b) Ataksia telangiectasia

c) Sindrom malabsorpsi methionine

3) Rambut halus

a) Hipotiroid

b) Malnutrisi

e. Kepala

1) Mikrosefali

2) Makrosefali

a) Hidrosefalus

b) Mucopolisakaridase
c) Efusi subdural

f. Perawakan pendek

1) Kretin

2) Sindrom prader- wili

g. Distonia

1) Sindrom Hallervorden- spaz

Gejala klinis retardasi mental berdasarkan tipe dan umur :

a. Retardasi mental ringan

1) Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan Cara berjalan, makan


sendiri, dan berbicara lebih lambat dibandingkan anak normal.
2) Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan

Mampu mempelajari keterampilan, membaca serta mempelajari aritmatika sampai


ke tingkat kelas tiga-kelas enam dengan pendidikan khusus, dapat dibimbing
kearah penyesuaian sosial sampai usia mental 8- 12 tahun normal.
b. Retardasi mental sedang

1) Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan Keterlambatan dapat


dilihat pada perkembangan motorik, yaitu cara berbicara dan berespon tehadap
pelatihan dalam berbagai aktivitas menolong diri.

2) Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan

Mampu mempelajari komunikasi sederhaana, perilaku kesehtan dan keamanan


tingkat dasar serta keterampilan manual sederhana, tidak mengalami
perkembangan dalam membaca atau aritmatika secara fungsional, usia mental
mencapai 3-7 tahun usia mental normal.
c. Retardasi mental berat

1) Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan


Keterampilan komunikasi kurang atau tidak ada, mampu berespon terhadap
pelatihan mengenai perawatan dasar diri sendiri, misalnya makan sendiri
2) Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan

Mempunyai sedikit pemahaman terhadap percakapan dan sedikit merespon,


mampu mengambil manfaat dari latihan kebiasaan yang sistematik, usia mental
mencapai usia mental toddler normal.
d. Retardasi mental sangat berat

1) Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan Membutuhkan


perawatan total.
2) Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan

Keterlambatan pada semua area perkembangan, menunjukkan respon emosional


dasar, mampi berespon terhadap latihan keterampilan dalam menggunakan
lengan, tangan, dan rahang, membutuhkan supervise ketat, usia mental mecapai
usia mental bayi muda normal.

(Wong, D, dkk, 2009)

Menurut Shapiro BK (2007), gejala klinis yang menyertai retardasi mental


berdasarkan umur antara lain:

1) Newborn : sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi system organ mayor


2) Early infancy ( 2- 4 bulan): gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan
penglihatan atau pendengaran

3) Later infancy ( 6- 18 bulan): keterlambatan motorik kasar

4) Toddlers ( 2- 3 tahun): keterlambatan atau kesulitan bicara

5) Preschool ( 3- 5 tahun): keterlambatan atau kesulitan bicara, masalah perilaku


termasuk kemampuan bermain, keterlambatan perkembangan moptorik halus,
menggunting, mewarnai, menggambar
6) School age ( > 5 tahun): kemampuan akademik kurang, masalah perilaku (perhatian,
kecemasan, nakal )
5. Patofisiologi

Penyebab retardasi mental dapat digolongkan menjadi penyebab pranatal,


perinatal, dan pascanatal. Penyebab prenatal termasuk kelainan kromosom (trisomi 21
[sindrom down], sindrom Fragile-X), gangguan sindrom (distrofi otot Duchenne,
neurofibromatosis [tipe-1] , dan gangguan metabolisme bawaan (fenilketonuria).
Penyebab perinatal dapat berhubungan dengan masalah intrauterus seperti abrupsio
plasenta, diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta masalah neonatal termasuk
meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pascanatal mencakup kondisi- kondisi
yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan gangguan degeneratif dan demielinisasi.
Sindrom Fragile X, sindrom down, dan sindrom alkohol janin terjadi pada sepertiga dari
kasus retardasi mental. Munculnya masalah-masalah terkait, seperti paralisis serebral,
defisit sensoris, gangguan psikiatrik, dan kejang berhubungan dengan retardasi mental
yang lebih berat. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-
kanak. Prognosis jangka panjang pada akhirnya ditentukan oleh seberapa jauh individu
tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam komunitas (yaitu bekerja, hidup mandiri,
keterampilan sosial) (Betz dan Sowden, 2009).
(Mutaqqin, 2008, Utaminingsih, 2015, Betz dan Sowden, 2009, SDKI, 2016 )
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan
sangat individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga memerlukan
perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring
terhadap tumbuh kembangnya (Soetjiningsih,
2012)

a. Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin


Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang meliputi pendidikan
dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin
(Utaminingsih, 2015).

Berikut ini adalah obat- obatan yang dapat digunakan:

1) Obat- obat psikotropika (misalnya: tioridazin, [Mellaril] , haloperidol [Haldol]


untuk remaja dengan perilaku yang membahayakan diri sendiri.

2) Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda defisit perhatian/


hiperaktivitas( misalnya: metilfenidat [Ritalin])
3) Antidepresan (misalnya: fluoksetin [Prozac])

4) Obat untuk perilaku agresif (misalnya: karbamazepin [Tegretol])

b. Terapi Bermain

Anak yang mengalami kerusakan kognitif mempunyai kebutuhan yang sama


terhadap rekreasi dan olahraga seperti anak lainnya. Namun, karena perkembangan
anak yang lebih lambat, orang tua kurang menyadari kebutuhan untuk memenuhi
aktivitas tersebut. Dengan demikian, perawat mengarahkan orang tua untuk memilih
permainan dan aktivitas olahraga yang sesuai.
Jenis permainan didasarkan pada usia perkembangan anak, walaupun kebutuhan
terhadap permainan sensorimotorik dapat diperpanjang sampai beberapa tahun.
Orang tua harus menggunakan setiap kesempatan untuk memperkenalkan anak
kepada banyak suara, pandangan, dan sensasi yang berbeda. Permainan yang sesuai
meliputi suara musik yang bergerak, mainan yang diisi, bermain air, menghanyutkan
mainan, kursi atau kuda yang dapat bergoyang, bermain ayunan, bermain lonceng,
dan bermain mobil-mobilan. Anak harus dibawa bermain keluar, misalnya jalan-jalan
ke toko makanan atau pusat pembelanjaan; orang lain harus diberi semangat umtuk
berkunjung kerumah; dan anak seharusnya berhubungan langsung, misalnya
mendekap, memeluk, mengayun, berbicara kepada anakdalam posisi menatap wajah
(wajah-ke-wajah), dan menaikkan anak diatas bahu orangtua.
Mainan dipilih berdasarkan manfaat rekreasi dan edukasionalnya. Sebagai contoh,
sebuah bola pantai besar yang dapat dikempeskan merupakan mainan air yang
baik;yang mendorong permainan interaktif dan dapat digunakan untuk mempelajari
keterampilan motoric, misalnya keseimbangan, mengayun, menendan, dan melempar.
Boneka dengan pakaian yang dapat diganti dan jenis kancing yang berbeda dapat
membantu anak mempelajari keterampilan berpakaian.

Mainan musical yang dapat meniru suara hewan atau merespon dengan frase
sosial merupakan cara yang sempurna untuk mendorong bicara. Mainan harus
dirancang secara sederhana sehingga anak dapat belajar memainkan mainan tersebut
tanpa bantuan. Bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan fisik berat, tombol
elektronik dapt digunakan untuk memungkinkan anak mengoperasikan mainan
tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk aktivitas fisik berdasarkan pada ukuran tubuh,
koordinasi, kesegaran jasmani dan maturitas, motivasi, dan kesehatan anak (Wong,
2009).
6 . Komplikasi
a. Paralisis serebral

b. Gangguan kejang

c. Masalah- masalah perilaku/psikiatrik

d. Defisit komunikasi

e. Konstipasi (akibat penurunan motilitas usus akibat obat- obatan antikonvulsi, kurang
mengosumsi makanan berserat dan cairan)
f. Kelainan kongenital yang berkaitan seperti malformasi esophagus, obstruksi usus
halus dan defek jantung
g. Disfungsi tiroid

h. Gangguan sensoris

i. Masalah- msalah ortopedik, seperti deformitas kaki, scoliosis

j. Kesulitan makan

(Betz dan Sowden, 2009).

7. Pencegahan
a. Imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan
b. Konseling perkawinan
c. Pemeriksaan kehamilan rutin
d. Nutrisi yang baik
e. Persalinan oleh tenaga kesehatan
f. Memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga
g. Pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat
h. Program mengentaskan kemiskinan, dll.

8. Pemeriksaan Fisik
a. Head to toe.

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaan urin, serum atau titer virus
c. Test diagnostik spt : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas perkembangan
jaringan otak, injuri jaringan otak atau trauma yang mengakibatkan perubahan.
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Data demografi

a. Identitas Klien
b. Identitas Orang tua

2. Riwayat Kesehatan

a. Tanda dan gejala :


1) Mengenali sindrom seperti adanya mikrosepali
2) Adanya kegagalan perkembangan yang merupakan indikator RM seperti anak
RM berat biasanya mengalami kegagalan perkembangan pada tahun pertama
kehidupannya, terutama psikomotor; RM sedang memperlihatkan penundaan
pada kemampuan bahasa dan bicara, dengan kemampuan motorik normal-
lambat, biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun; RM ringan biasanya terjadi pada
usia sekolah dengan memperlihatkan kegagalan anak untuk mencapai kinerja
yang diharapkan.
3) Gangguan neurologis yang progresif
4) Tingkatan/klasifikasi RM (APA dan Kaplan; Sadock dan Grebb, 1994)
b. Ringan ( IQ 52-69; umur mental 8-12 tahun)

Karakteristik :

Usia presekolah tidak tampak sebagai anak RM, ttp terlambat dalam kemampuan berjalan,
bicara , makan sendiri, dll

Usia sekolah, dpt melakukan ketrampilan, membaca dan aritmatik, diarahkan pada
kemampuan aktivitas sosial.

Usia dewasa, melakukan ketrampilan sosial dan vokasional, diperbolehkan menikah tidak
dianjurkan memiliki anak. Ketrampilan psikomotor tidak berpengaruh kecuali koordinasi.

a) Sedang ( IQ 35- 40 hingga 50 - 55; umur mental 3 - 7 tahun)


Karakteristik :

Usia presekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik, terutama bicara, respon
saat belajar dan perawatan diri.

Usia sekolah, dapat mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan, perilaku aman,
serta ketrampilan mulai sederhana, Tidak ada kemampuan membaca dan berhitung.

Usia dewasa, melakukan aktivitas latihan tertentu, berpartisipasi dalam rekreasi, dapat
melakukan perjalanan sendiri ke tempat yg dikenal, tidak bisa membiayai sendiri.

b) Berat ( IQ 20-25 s.d. 35-40; umur mental < 3 tahun)

Karakteristik :

Usia prasekolah kelambatan nyata pada perkembangan motorik, kemampuan komunikasi


sedikit bahkan tidak ada, bisa berespon dalam perawatan diri tingkat dasar sepeti makan.

Usia sekolah, gangguan spesifik dlm kemampuan berjalan, memahami sejumlah


komunikasi/berespon, membantu bila dilatih sistematis.

Usia dewasa, melakukan kegiatan rutin dan aktivitas berulang, perlu arahan berkelanjutan
dan protektif lingkungan, kemampuan bicara minimal, meggunakan gerak tubuh.

c) Sangat Berat ( IQ dibawah 20-25; umur mental seperti bayi)

Karakteristik :

Usia prasekolah retardasi mencolok, fungsi. Sensorimotor minimal, butuh perawatan total.

Usia sekolah, kelambatan nyata di semua area perkembangan, memperlihatkan respon


emosional dasar, ketrampilan latihan kaki, tangan dan rahang. Butuh pengawas pribadi. Usia
mental bayi muda.

Usia dewasa, mungkin bisa berjalan, butuh perawatan total, biasanya diikuti dengan kelainan
fisik.
3. Pemeriksaan fisik :

a. Kepala : Mikro/makrosepali, plagiosepali (bentuk kepala tidak simetris)


b. Rambut : Pusar ganda, rambut jarang/ tidak ada, halus, mudah putus dan cepat berubah
c. Mata : mikroftalmia, juling, nistagmus, dll
d. Hidung : jembatan/punggung hidung mendatar, ukuran kecil, cuping melengkung
keatas, dll
e. Mulut : bentuk “V” yang terbalik dari bibir atas, langit-langit lebar/ melengkung tinggi
f. Geligi : odontogenesis yang tidak normal
g. Telinga : keduanya letak rendah; dll
h. Muka : panjang filtrum yang bertambah, hipoplasia
i. Leher : pendek; tidak mempunyai kemampuan gerak sempurna
j. Tangan : jari pendek dan tegap atau panjang kecil meruncing, ibu jari gemuk dan lebar,
klinodaktil, dll
k. Dada & Abdomen : terdapat beberapa putting, buncit, dll
l. Genitalia : mikropenis, testis tidak turun, dll
m. Kaki : jari kaki saling tumpang tindih, panjang & tegap/ panjang kecil meruncing
diujungnya, lebar, besar, gemuk.

4. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaanurin, serum atau titer virus
c. Test diagnostic sepetti : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas perkembangan
jaringan otak, injury jaringan otak atau trauma yang mengakibatkan perubahan.

B. Diagnosis Keperawatan

1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d kelainan fungsi Kognitif


2. Kerusakan komunikasi verbal b/d lambatnya keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa.
3. Risiko cedera b/d perilaku agresif/ koordinasi gerak tidak terkontrol
4. Gangguan interaksi sosial b/d kesulitan bicara /kesulitan adaptasi sosial
5. Gangguan proses keluarga b/d memiliki anak RM
6. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian/ berhias, toileting b/d
ketidakmampuan fisik dan mental/ kurangnya kematangan perkembangan.

C. Rencana Intervensi :

1. Dx : Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d kelainan fungsi Kognitif

Tujuan : pertumbuhan dan perkembangan berjalan sesuai tahapan

Intervensi :

a. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak


b. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan anak
yang optimal.
c. Berikan aktivitas stimulasi yang sesuai dengan usia
d. Pantau pola pertumbuhan (tinggi badan, berat badan, lingkar kepala dan rujuk ke ahli
gizi untuk mendapatkan intervensi nutrisi)

2. Dx : kerusakan komunikasi verbal b/d lambatnya keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa.

Tujuan : komunikasi terpenuhi sesuai tahap perkembangan anak.

Intervensi :

a. Tingkatkan komunikasi verbal dan stimulasi taktil


b. Berikan intruksi berulang dan sederhana
c. Beri waktu yang cukup untuk berkomunikasi.
d. Dorong komunikasi terus menerus dengan dunia luar contoh Koran, televises, radio,
kalender, jam.

3. Dx : Risiko cedera b/d perilaku agresif/ koordinasi gerak tidak terkontrol

Tujuan : menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor risiko dan untuk
melindungi diri dari cedera.

Intervensi :

a. Berikan posisi yang aman dan nyaman.


b. Manajemen perilaku anak yang sulit
c. Batasi aktifitas yang berlebihan.
d. Ambulasi dengan bantuan ; berikan kamar mandi khusus.

4. Dx : Gangguan interaksi sosial b/d kesulitan bicara /kesulitan adaptasi social

Tujuan : meminimalkan gangguan interaksi social

Intervensi :

a. Bantu anak dalam mengidentifikasi kekuatan pribadi


b. Beri pengetahuan terhadap orang terdekat anak mengenai Retardasi Mental
c. Dorong anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas bersama anak-anak dan keluarga lain
d. Dorong anak mempertahankan hubungan dengan teman-teman
e. Berikan reinforcement positif atas hasil yang dicapai anak

5. Dx : Gangguan proses keluarga b/d memiliki anak RM

Tujuan : keluarga menunjukkan pemahaman tentang penyakit anak dan terapinya

Intervensi :

a. Kaji pemahaman keluarga tentang penyakit anak dan rencana perawatan


b. Tekankan dan jelaskan penjelasan tim kesehatan lain tentang kondisi anak, prosedur
dan terapi yang dianjurkan
c. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang
penyakit dan terapinya
d. Ulangi informasi sesering mungkin

6. Dx : Defisit perawatan diri b/d ketidakmampuan fisik dan mental/ kurangnya kematangan
perkembangan.

Tujuan : melakukan perawatan diri sesuai tingkat usia dan perkembangan anak.

Intervensi :

a. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan.
b. Identifikasi kesulitan dalam perawatan diri, seperti keterbatasan gerak fisik, penurunan
kognitif.
c. Dorong anak melakukan perawatan sendiri

Pendidikan pada orangtua :

a. Perkembangan anak untuk tiap tahap usia


b. Dukung keterlibatan orangtua dalam perawatan anak
c. Bimbingan antisipasi dan manajemen menghadapi perilaku anak yang sulit
d. Informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok, dll

D. Evaluasi

1. Anak berfungsi optimal sesuai tingkatannya.


2. Dapat berkomunikasi dengan baik sesuai usia.
3. Perilaku dan pola hidup anak jauh dari risiko cidera.
4. Anak berpartisipasi dalam aktivitas bersama anak-anak dan keluarga lain.
5. Keluarga menunjukkan pemahaman tentang penyakit anak dan terapinya.
Anak melakukan perawatan diri sesuai tingkat usia dan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

KTI.2010. Retardasi Mental ( http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/08/retardasi-mental.html,


diakses tanggal 2 November 2021)

Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wardhani, W.

Anda mungkin juga menyukai