Oleh :
KELOMPOK 6
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita semua
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS RETARDASI MENTAL” yang merupakan tugas
kami pada mata kuliah “KEPERAWATAN ANAK ” guna memenuhi kegiatan belajar mengajar.
Kami mengucapkan terima kasih pada dosen yang telah memberikan bimbingannya dan
teman – teman yang memberikan dukungan dan masukannya kepada kami dalam menyelesaikan
tugas ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan oleh kami sebagaimana mestinya.
Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
saran serta kritik yang membangun senantiasa kami terima sebagai acuan untuk tugas-tugas kami
selanjutnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas merupakan bagian dari
anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan pemerintah, masyarakat,
dan keluarga. Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas sama halnya dengan anak
lainnya, yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak agar mereka dapat hidup, tumbuh,
dan berkembang secara optimal, serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat
diperoleh melalui upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial (Suryani dan
Badi’ah).
Pengasuhan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan masalah yang dialami anak,
sangat membutuhkan peran dari orang tua, keluarga, guru sekolah dan perawat.
Pengasuhan dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan perkembangan pada anak
berkebutuhan khusus. Masalah pada anak berkebutuhan khusus yang sering terjadi antara
lain tunarungu, tunagrahita (Retardasi mental), tunanetra, tunadaksa, autisme (Praptono,
2017).
Anak dengan masalah retardasi mental mempunyai keterbatasan kognitif maupun
sosial. Retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanak-
kanak (sebelum usia 18 tahun) yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah normal
(IQ sekitar 2 standar deviasi yang dibawah normal, dalam rentang 65 sampai 75 atau
kurang) disertai keterbatasan- keterbatasan lain pada sedikitnya dua area fungsi adaptif:
berbicara dan bahasa, keterampilan merawat diri, kerumahtanggaan, keterampilan sosial,
penggunaan sumber-sumber komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja (Betz dan Sowden, 2009).
Berdasarkan data yang didapatkan dalam Journal of Maternal Child Health (2017)
Hampir 83 juta penduduk dunia diperkirakan mengalami keterbelakangan mental (World
Health Organization, 2013). Sekitar seperempat dari kasus disebabkan oleh kelainan
genetik dan 5% dari kasus diwarisi dari orang tua. Sekitar 95 juta orang mengalami
disabilitas di tahun 2013 yang penyebabnya tidak diketahui (Global Burden of Disease
Study 2013 collaborators, 2015). Berdasarkan data dari kemdikbud 2017, sebanyak
121.244 anak merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK). Angka tersebut diantaranya
ada 64.403 anak kelompok tunagrahita atau retardasi mental.
Dampak retardasi mental pada anak dapat dilihat dalam keterampilan gerak dan
fisik yang kurang sehat kesulitan dalam komunikasi kemampuan menolong diri sendiri,
bersosialisasi, berinteraksi dengan teman, gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
perawatan diri kurangnya perasaan dirinya terhadap situasi dan keadaan disekelilingnya
untuk memenuhi kelemahan hal kemampuan motorik halusnya (Yuemi dan Mundakir,
2015). Dampak retardasi mental terhadap reaksi orang tua dalam penelitian Na’imah, dkk
(2017) adalah perasaaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan kurang
menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan
stigma yang melekat pada anak. Berbagai masalah yang dialami orang tua yang memiliki
anak tunagrahita bisa menurunkan happiness dalam hidupnya. Keluarga yang mempunyai
anak dengan retardasi mental akan memberikan perlindungan yang berlebihan pada
anaknya sehingga anak mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan
pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin bertambahnya umur
anak retardasi mental maka para orangtua harus mengadakan penyesuaian terutama
dalam pemenuhan anak sehari- hari (Mutaqqin, 2008).
Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak, salah satunya seperti yang
dicantumkan dalam undang- undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas
pasal 5 ayat 3 yang berbunyi “Anak penyandang disabilitas memiliki hak: b.
Mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh
kembang secara optimal” . Berdasarkan pasal tersebut yang dimaksud dengan “keluarga
pengganti” adalah orang tua asuh, orang tua angkat, wali, dan/ atau lembaga yang
menjalankan peran dan tanggung jawab untuk memberikan perawatan dan pengasuhan
pada anak. Salah satunya terdapat peran perawat dalam memberikan perawatan dan
pengasuhan pada anak.
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental bersifat multi dimensional dan
sangat individual. Semua anak yang mengalami retardasi mental juga memerlukan
perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap
tumbuh kembangnya (Soetjiningsih, 2012). Tujuan pengobatan adalah mengembangkan
potensi anak semaksimal mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan
khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak
berfungsi senormal mungkin (Utaminingsih, 2015).
Perawat memberi intervensi berdasarkan rencana asuhan keperawatan untuk
mengimplementasikan tindakan keperawatan yang meningkatkan, mempertahankan,
mengembalikan kesejahteraan, mencegah penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi
(O’brien, dkk, 2014). Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi yang
dapat diberikan kepada anak dengan retardasi mental dalam penelitian Parendrawati, dkk
(2015) adalah dengan terapi bermain, terapi ini dilakukan dengan cara memberikan
palajaran berhitung, sosiodrama ataupun bermain jual beli. Berdasarkan penelitian Yuemi
dan Mundakir (2015) intervensi keperawatan yang dilakukan pada anak dengan retardasi
mental yaitu terapi okupasi: Diorama gambar. Salah satu intervensi keperawatan dalam
penelitian Wulandari (2016) pada keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental
adalah terapi psikoedukasi keluarga.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Penerapan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Retardasi Mental?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan yang diperoleh
adalah sebagai berikut : untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Retardasi Mental
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Organik
a. Faktor prekonsepsi : kelainan kromosom (trisomi 21/Down syndrome dan
Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neurocutaneos,
dll.)
b. Faktor prenatal : kelainan petumbuhan otak selama kehamilan (infeksi, zat
teratogen dan toxin, disfungsi plasenta)
c. Faktor perinatal : prematuritas, perdarahan intrakranial, asphyxia neonatorum,
Meningitis, Kelainan metabolik:hipoglikemia, hiperbilirubinemia, dll
d. Faktor postnatal : infeksi, trauma, gangguan metabolik/hipoglikemia, malnutrisi,
CVA (Cerebrovascularaccident) - Anoksia, misalnya tenggelam
2. Non organik
3. Faktor lain : Keturunan; pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain (15-20% ; AAP,
1984)
3. Gejala Klinis
Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa
kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital kemudian mengarah ke suatu sindrom
penyakit tertentu.
Gejala klinis dan kelainan fisik yang disertai retardasi mental:
1) Katarak :
a) Sindrom Cockayne
b) Sindrom Lowe
c) Galactosemia
d) Sindrom Down
e) Kretin
f) Rubela prenatal
a) Mukolipidosis
c) Penyakit Tay-sachs
3) Korioretinitis
a) Lues Kongenital
c) Rubela prenatal
4) Kornea keruh
a) Lues kongenital
b) Sindrom hunter
c) Sindrom hurler
d) Sindrom Lowe
b. Kejang
b) Hiperlisinemia
I, III, IV dan VI
d) Phenyl ketonuria
b) Hiperammonemia I dan II
c) Laktik Asidosis
c. Kelainan Kulit
Bintik cafe-au-lait
1) Ataksia-telengiektasia
2) Sindrom bloom
3) Neurofibromatosis
4) Tuberous selerosis
d. Kelainan rambut
1) Rambut rontok
b) Ataksia telangiectasia
3) Rambut halus
a) Hipotiroid
b) Malnutrisi
e. Kepala
1) Mikrosefali
2) Makrosefali
a) Hidrosefalus
b) Mucopolisakaridase
c) Efusi subdural
f. Perawakan pendek
1) Kretin
g. Distonia
a. Pengobatan
b. Terapi Bermain
Mainan musical yang dapat meniru suara hewan atau merespon dengan frase
sosial merupakan cara yang sempurna untuk mendorong bicara. Mainan harus
dirancang secara sederhana sehingga anak dapat belajar memainkan mainan tersebut
tanpa bantuan. Bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan fisik berat, tombol
elektronik dapt digunakan untuk memungkinkan anak mengoperasikan mainan
tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk aktivitas fisik berdasarkan pada ukuran tubuh,
koordinasi, kesegaran jasmani dan maturitas, motivasi, dan kesehatan anak (Wong,
2009).
6 . Komplikasi
a. Paralisis serebral
b. Gangguan kejang
d. Defisit komunikasi
e. Konstipasi (akibat penurunan motilitas usus akibat obat- obatan antikonvulsi, kurang
mengosumsi makanan berserat dan cairan)
f. Kelainan kongenital yang berkaitan seperti malformasi esophagus, obstruksi usus
halus dan defek jantung
g. Disfungsi tiroid
h. Gangguan sensoris
j. Kesulitan makan
7. Pencegahan
a. Imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan
b. Konseling perkawinan
c. Pemeriksaan kehamilan rutin
d. Nutrisi yang baik
e. Persalinan oleh tenaga kesehatan
f. Memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga
g. Pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat
h. Program mengentaskan kemiskinan, dll.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Head to toe.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaan urin, serum atau titer virus
c. Test diagnostik spt : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas perkembangan
jaringan otak, injuri jaringan otak atau trauma yang mengakibatkan perubahan.
PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data demografi
a. Identitas Klien
b. Identitas Orang tua
2. Riwayat Kesehatan
Karakteristik :
Usia presekolah tidak tampak sebagai anak RM, ttp terlambat dalam kemampuan berjalan,
bicara , makan sendiri, dll
Usia sekolah, dpt melakukan ketrampilan, membaca dan aritmatik, diarahkan pada
kemampuan aktivitas sosial.
Usia dewasa, melakukan ketrampilan sosial dan vokasional, diperbolehkan menikah tidak
dianjurkan memiliki anak. Ketrampilan psikomotor tidak berpengaruh kecuali koordinasi.
Usia presekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik, terutama bicara, respon
saat belajar dan perawatan diri.
Usia sekolah, dapat mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan, perilaku aman,
serta ketrampilan mulai sederhana, Tidak ada kemampuan membaca dan berhitung.
Usia dewasa, melakukan aktivitas latihan tertentu, berpartisipasi dalam rekreasi, dapat
melakukan perjalanan sendiri ke tempat yg dikenal, tidak bisa membiayai sendiri.
Karakteristik :
Usia dewasa, melakukan kegiatan rutin dan aktivitas berulang, perlu arahan berkelanjutan
dan protektif lingkungan, kemampuan bicara minimal, meggunakan gerak tubuh.
Karakteristik :
Usia prasekolah retardasi mencolok, fungsi. Sensorimotor minimal, butuh perawatan total.
Usia dewasa, mungkin bisa berjalan, butuh perawatan total, biasanya diikuti dengan kelainan
fisik.
3. Pemeriksaan fisik :
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan kromosom
b. Pemeriksaanurin, serum atau titer virus
c. Test diagnostic sepetti : EEG, CT Scan untuk identifikasi abnormalitas perkembangan
jaringan otak, injury jaringan otak atau trauma yang mengakibatkan perubahan.
B. Diagnosis Keperawatan
C. Rencana Intervensi :
Intervensi :
2. Dx : kerusakan komunikasi verbal b/d lambatnya keterampilan ekspresi dan resepsi bahasa.
Intervensi :
Tujuan : menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor risiko dan untuk
melindungi diri dari cedera.
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
6. Dx : Defisit perawatan diri b/d ketidakmampuan fisik dan mental/ kurangnya kematangan
perkembangan.
Tujuan : melakukan perawatan diri sesuai tingkat usia dan perkembangan anak.
Intervensi :
a. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan.
b. Identifikasi kesulitan dalam perawatan diri, seperti keterbatasan gerak fisik, penurunan
kognitif.
c. Dorong anak melakukan perawatan sendiri
D. Evaluasi
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.