Anda di halaman 1dari 13

EUTHANASIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Masaail Fiqhiyyah

Dosen pengampu: Dede Darisman S. Pd .I, M.Pd. I.

Disusun Oleh:

Annas Nasrulloh ( 19 03 3612)

Muhammad Yusuf Septian (19 03 3618)

Kelas : 5 D PAI

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM

CIAMIS - JAWA BARAT

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyusun makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhir nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas terstruktur mata kuliah Masaail Fiqhiyyah dengan judul
pokok bahasan " Euthanasia. "

Penyusun tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciamis , 22 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................I

DAFTAR ISI........................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... III

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................

A. Pengertian Euthanasia ..................................................................................... 4

B. Macam-macam Euthanasia............................................................................... 4

C. Pandangan Hukum Islam Mengenai Maslahah dan Mafsadah

Euthanasia

..................................................................................................................................5

BAB III PENUTUP............................................................................................................7

A. Kesimpulan............................................................................................................7

B. Saran......................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami siklus yang dimulai dari kelahiran sampai nanti
akhirnya mengalami kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu
yang mengandung misteri besar yang masih belum bisa diungkap oleh ilmu pengetahuan.

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:

1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah

2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang
benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Karena sesungguhnya kehidupan
dan kematian itu adalah milik Allah semata.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:

1. Pengertian euthanasia

2. Macam-macam euthanasia

3. Pandangan/tinjauan hukum Islam; maslahah dan mafsadah Euthanasia

C. Tujuan Penulisan

1 Untuk mengetahui dan memahami pengertian Euthanasia


2.Untuk mengetahui macam-macam Euthanasia

3.Untuk mengetahui dan memahami Pandangan / Tinjauan Hukum Mashlahan dan Mafsadah
Euthanasia.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang
berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau
taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang
yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).[1] 1

Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis
penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa
derita”.[2]2

B. Macam-macam Euthanasia

Euthanasia mempunyai 2 bentuk:

1. Euthanasia Aktif atau Positif

Merupakan tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.

Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium
akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin
atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan
tetapi sekaligus menghentikan pernapasann

2. Euthanasia Pasif atau Negatif

Merupakan tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti
mempercepat kematian si pasien. Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat
bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang membuat pasien
masih hidup.

Misalnya: ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, dimana otaknya sudah tidak
berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka
itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-

1
1[1] M.Ali Hasan,Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1995), hal 145

2
[2] Billy N., Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia

(billy@hukum-kesehatan.web.id)
satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu
pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter
melepaskan alat bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa
bernafas.[3]3

C. Pandangan/tinjauan Hukum Islam; Maslahah dan Mafsadah

1. Hukum Euthanasia Aktif (Positif)

Euthanasia aktif dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hal itu karena
euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dan pembunuhan dengan
sengaja atau terencana adalah haram, apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih
sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak
diterima oleh syariat.

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-An’am 151:

“...janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar . demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. Al-
An’am 151)

Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat
besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara
dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai
bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS
An-Nisaa` : 29)

Ini hukumnya di akhirat. Adapun hukum pidana di dunia, maka hukumnya dikembalikan kepada keluarga
di pasien. Dan dalam hal ini keluarga pasien mempunyai 3 opsi:

a. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan dan ganti rugi.

b. Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk pembunuhan dengan sengaja adalah
100 ekor onta atau yang senilai dengannya berupa emas dan perak atau 1000 dinar atau 12.000 dirham
menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar setara dengan 4,25 gr emas.

c. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash).

Ketiga opsi ini terambil dari firman Allah Ta’ala yang artinya :

3
[3] Qardhawi Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer 2 (Jakarta, Gema Insani, 2009) hal. 749-750
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih.” (QS Al-Baqarah : 178)

2. Hukum Euthanasia Pasif (Negatif)

Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa
sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini
(atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi
pasien.

Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat
itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah. Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti
menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram.

Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan
(euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh.

Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan
pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. [4] 4

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar?
Bersabar di sini berarti tidak berobat.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama,
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa
penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau,
akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar.
`Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya
tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya.

4
[4] , Euthanasia Dalam Perspektif Islam (http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektif-islam.html)
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika
mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar
radhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-
Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu
lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit.
Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab
(sunnah), dan sebagian kecil lagi -lebih sedikit dari golongan kedua- berpendapat wajib.

Sabda Nabi SAW yang artinya :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA),

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Tetapi, dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu
membolehkan tidak berobat. Jadi, disimpulkan bahwa berobat hukumnya sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita
dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan
sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya -yaitu para
dokter- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan, dengan cara meminum obat,
suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya
sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern, dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya
tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab,
bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab. Maka
memudahkan proses kematian dimana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak
sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat.
Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-
alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat
tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak
keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
[5]i5

Berdasarkan tunjauan kemaslahatan dan kemafsadatan dari keterangan Al quran fan Hadist, penulis
berpandangan bahwa dalam bentuk dan konsep apapun euthanasia tetaplah dilarang oleh syariat islam
karena merupakan bentuk pembiaran yang lebih dekat kepada tindak pidana ( jinayah) seperti Hukum
Qotlul A'mdi ( Pembunuhan secara Sengaja).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

5
[5] , Euthanasia Menurut Hukum Islam (http://fiqih-pangeran377.blogspot.com/2011/04/euthanasia-
menurut-hukum-islam_01.html)
Dari makalah dapat disimpulkan bahwa euthanasia, mempercepat proses kematian terhadap seseorang,
dipandang dari tinjauan Islam dapat dikatakan haram karena membunuh nyawa seseorang adalah
haram hukumnya. Namun, jika memang banyaknya kerugian yang ditimbulkan serta tidak mungkin lagi
bagi si penderita untuk bertahan maka ada kalanya euthanasia menjadi mubah.

B. Saran

Dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sarana untuk menambah
pengetahuan pembaca mengenai pandangan Islam tentang euthanasia. Semoga pembaca dapat berpikir
bijak dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang akan semakin banyak
bermunculan.Dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sarana untuk
menambah pengetahuan pembaca mengenai pandangan Islam tentang euthanasia. Semoga pembaca
dapat berpikir bijak dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang akan semakin
banyak bermunculan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] M.Ali Hasan,Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer

Hukum Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), hal 145


[2] Billy N., Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia

(billy@hukum-kesehatan.web.id)

[3] Qardhawi Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer 2 (Jakarta, Gema Insani, 2009) hal. 749-750

[4] , Euthanasia Dalam Perspektif Islam (http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektif-


islam.html)

[5] , Euthanasia Menurut Hukum Islam (http://fiqih-pangeran377.blogspot.com/2011/04/euthanasia-


menurut-hukum-islam_01.html) ( Diunduh pada tanggal 29 oktober 2021).
i

Anda mungkin juga menyukai