Anda di halaman 1dari 671

Prosiding Seminar Nasional

call for paper

KEPEMIMPINAN
DALAM POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Program Studi Ilmu Pemerintahan


FISIP Unikom
2017

i
Prosiding Seminar Nasional
call for paper
Kepemimpinan Dalam Politik dan
Pemerintahan.

xii + 658 halaman (21 x 29 cm)

Penulis :
Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom

ISBN :
978-602-73799-2-3

Tim Editor :
Ketua : Nia Karniawati
Anggota : Dewi Kurniasih, Poni Sukaesih K, Tatik Fidowaty,
Rino Adibowo, Tatik Rohmawati, Andi Pratama.

Desain Sampul :
Fulky Hariyyan

Penerbit :
Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom

Redaksi :
Jl. Dipati Ukur No.112-116 Bandung 40132
Telp. (022) 2504119
Email : ip@email.unikom.ac.id

Cetakan pertama, Mei 2017

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Bissmilahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullohi Wabaraktuh
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan
hidayahNya, Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom dapat menyelenggarakan
Seminar Nasional Call for Paper pada tanggal 9 Mei 2017 dan menghasilkan
Proceeding ber-ISBN.
Seminar Nasional Call for Paper ini mengangkat tema Kepemimpinan Dalam
Politik dan Pemerintahan. Dengan sub tema yaitu (1) Kepemimpinan (2) Demokrasi
(3) Manajemen Pemerintahan (4) Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (5) Budaya
POlitik (6) Pemilihan Umum (7) Birokrasi (8) E-Government (9) Pemerintah Daerah
(1) Pelayanan Publik.
Seminar ini diikuti oleh dosen, peneliti, praktisi, birokrat, dan pemerhati
pemerintahan dari lembaga pendidikan dan pemerintahan yang ada di Indonesia.
Penghargaan yang setinggi-tinggi nya kami sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan Prosiding ini, terima kasih atas kerja keras
dan kerja samanya. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabaraktuh

Bandung, 9 Mei 2017

Ketua Tim Editor,


Nia Karniawati, S.IP.,M.Si.

iii
SAMBUTAN KETUA PANITIA
SEMINAR NASIONAL CALL FOR PAPER 2017
PRODI ILMU PEMERINTAHAN

Assalamu’alaikum Warahmatullohi Wabaraktuh


Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan kesehatan dan karunianya kepada kita semua sehingga kita bisa
mengadakan Seminar Nasional dan Call For Paper dengan tema “Kepemimpinan
dalam Politik dan Pemerintahan” yang kali ini di adakan di Auditorium Unikom, terdiri
dari sub tema Kepemimpinan, Demokrasi, Manajemen Pemerintahan, Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik, Budaya Politik, Pemilihan Umum, Birokrasi, Elektronic
Government (E-Gov), Pemerintahan Daerah, dan Pelayanan Publik. Tema ini
diharapkan dapat menghasilkan ide, gagasan atau pemikiran tentang Ilmu
pemerintahan pada umumnya dan kepemimpinan dalam bidang politik dan
pemerintahan khususnya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) karena salah satu kunci suksesnya pelaksanaan sebuah instansi
pemerintah adalah pemimpin yang kerkualitas.
Seminar nasional dan Call For Paper ini merupakan pelaksanaan yang kedua
kalinya yang di adakan oleh Program studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom yang
diikuti oleh para dosen, peneliti, pengamat politik dan pemerintahan, birokrat dan
mahasiswa. Seminar ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian kita terhadap proses
pemilihan pemimpin yang selalu kita lakukan selama 5 tahun sekali melalui pemilihan
umum baik legislatif maupun eksekutf.
Semoga pelaksanaan Seminar Nasional dan Call For Paper ini memberikan
banyak ilmu pengetahuan kepada kita semua terkait kepemimpinan dalam politik dan
pemerintahan. Jangan pernah berhenti berusaha mewujudkan Negara Indonesia
yang lebih baik.
Akhir kata, kami selaku panitia pelaksana Seminar Nasional dan Call For
Paper mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila terjadi salah-salah kata dan
penerimaan kami yang kurang berkenan di hati Bapak dan Ibu. Semoga kita dapat
berjumpa lagi pada seminar nasional selanjutnya. Terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabaraktuh

Bandung, 9 Mei 2017


Ketua Panitia Seminar Nasional Call for Paper
2017 Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom

Tatik Fidowaty, S.IP.,M.Si.

iv
SAMBUTAN
KETUA PRODI ILMU PEMERINTAHAN
FISIP Unikom

Assalamu’alaikum Warahmatullohi Wabaraktuh


Salam sejahtera untuk kita semua
Alhamdulillahi robbal alamiin, atas berkah rahmat dan hidayah Allah SWT,
Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom dapat kembali menyelenggarakan
Seminar Nasional dengan tema: KEPEMIMPINAN DALAM POLITIK DAN
PEMERINTAHAN. Tema ini sengaja dipilih karena Indonesia pada tiga tahun terakhir
ini sedang mengadakan pemilihan umum baik di tingkat pusat maupun daerah. Sudah
sewajarnya semua akademisi, peneliti, praktisi, pengamat politik dan mahasiswa turut
mengamati tahun pemilihan umum ini.
Terima kasih kepada seluruh panitia yang telah bekerja keras
menyelenggarakan seminar nasional ini, sehingga berjalan dengan lancer dan
sukses. Semoga hasil kegiatan ini dapat menjadi sumbangan rekomendasi untuk
menciptakan pemimpin-pemimpin Indonesia yang hebat. Aamiin yaa robbal alamiin..
Atas perhatian dan kerjasama yang baik dari semua pihak, kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh

Bandung, 9 Mei 2017


Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan
FISIP Unikom

Dr. Dewi Kurniasih, S.IP.,M.Si.

v
SAMBUTAN
DEKAN FISIP UNIKOM

Seminar Nasional Call for Paper ini merupakan salah satu Program dari Prodi
Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom. Ini merupakan tindak lanjut dari Visi Unikom, Visi
FISIP Unikom, Visi Prodi Ilmu Pemerintahan dalam upaya menjadi kampus FISIP
yang mengikuti dinamika global dalam pengejawantahkan pengabdian pada
masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan refleksi pencapaian reformasi birokrasi di
Indonesia.
Seminar Nasional Call for Paper ini menghasilkan prosiding yang terdiri dari
artikel yang di tulis oleh mahasiswa S3, dosen, peneliti, praktisi, birokrat, dan
pemerhati pemerintahan dari berbagai lembaga pendidikan dan pemerintahan yang
ada di Indonesia. Ini merupakan sumbangsih, kontribusi terhadap dinamika
pemerintahan Indonesia.
Saya ucapkan terima kasih kepada para Pemakalah dan Partisipan yang telah
berpartisipasi dalam acara ini, kepada panitia yang telah bekerja keras dalam
mensukseskan acara ini.

Bandung, 9 Mei 2017

Dekan FISIP Unikom

Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs.,M.A.

vi
DAFTAR ISI

Cover i
Kata Pengantar iii
Sambutan Ketua Panitia iv
Sambutan Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan v
Sambutan Dekan FISIP Unikom vi
Daftar Isi vii
Susunan Acara Seminar Nasional & CFP xii
Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017

TEMA:KEPEMIMPINAN DALAM POLITIK DAN PEMERINTAHAN

SUBTEMA KEPEMIMPINAN :

KEPEMIMPINAN UWA DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN


TOWANI TOLOTANG DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
PROVINSI SULAWESI SELATAN 1 - 17
Herman Dema, Mulyana Hatta

CITRA KEPEMIMPINAN RIDWAN KAMIL SEBAGAI PEMIMPIN


HUMORIS (Studi Analisis Semiotika Pada Akun Instagram
ridwankamil Periode 18 -26 Februari 2017) 18 - 29
Iwan Koswara, Pramono Benyamin

KEPEMIMPINAN BERBASIS BUDAYA POLITIK BANGSA


Junardi Harahap 30 - 34

PENGARUH SPIRITUALITAS REOG PONOROGO


BAGI KEPEMIMPINAN CAMAT PONOROGO
DI KABUPATEN PONOROGO 35 - 50
Muhadam Labolo dan Muhammad Riqqo Khadafi

DEMOKRATISASI DESA MASA ORDE BARU: Bergesernya


Nilai dan Sifat Pemimpin Desa Serta Pudarnya Motivasi Warga
Untuk Menjadi Kepala Desa (Kasus Pemilihan Kepala Desa
51 - 72
Di Sangiang Kecamatan Banjar Kabupaten Majalengka)
Utang Suwaryo dan Iyep Saefulrahman

STRATEGI KEPALA DAERAH MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS


PEMERINTAHAN 73 - 89
Yanhar Jamaluddin
KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH DALAM MEWUJUDKAN
90 - 109
TUJUAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

vii
Dewi Kurniasih dan Aos Kuswandi

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN PASCA REFORMASI


Pipin Hanapiah 110 - 121

SUBTEMA DEMOKRASI :

MARKETING POLITIK PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN


UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KOTA BUKIT TINGGI
122 - 137
Adil Mubarak

KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA DAN WAJAH


HUBUNGAN DEMOKRASI, ISLAM SERTA KEPEMIMPINAN
POLITIK DI INDONESIA 138 - 150
Indira Sabet Rahmawaty

KOMUNIKASI POLITIK PEREMPUAN DI DALAM KONTEKS


PERPOLITIKAN : Sebuah Analisis Makna Politik Bagi Kaum
Perempuan 151 - 154
Rita Destiwati, Junardi Harahap

NAGARI Vs NEGARA DAN EKSPERIMEN DEMOKRASINYA


Tengku Rika Valentina, Utang Suwaryo 155 - 176

REUNDERSTANDING GAGASAN DEMOKRASI MODEL


MINANGKABAU 177 - 194
Irawati

SUBTEMA MANAJEMEN PEMERINTAHAN :

ARAH, KOMPAS PEMERINTAHAN : Jalan Terjal Menuju


Pemerintahan Yang Terpercaya (Trustworthy Government)
195 - 209
Andi Pitono dan Kartiwi

PUBLIC PARTICIPATION FOR IMPLEMENTATION OF PNPM


MANDIRI PARIWISATA IN KARANG DIMA VILLAGE LABUHAN
BADAS SUBDISTRICT SUMBAWA REGENCY 210 - 221
Elvira Mulya Nalien, Bintang Rizki Sakinah, dan Rea Indranata

KAJIAN PENGUATAN PROFESIONALISME


SEKERTARIAT DPRD
222 - 232
Lukman M Fauzi, Samugyo Ibnu Redjo

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN


INDUSTRI MEDIA DIGITAL (Kajian di Jawa Barat, Indonesia)
233 - 245
Machroni Kusuma, Diah Fatma Sjoraida, Rully Khairul Anwar

ANALISA KRITIS ATAS MOTIF POLICY COMMUNITY DALAM


KOLABORASI (Studi Kasus Kebijakan Pemindahan Pusat
246 - 267
Pemerintahan Provinsi Lampung)
Maulana Mukhlis

viii
PENGUATAN KAPASITAS INDIVIDU DALAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG
BATUBARA MELALUI DANA CSR DI KABUPATEN TABALONG 268 - 286
Muhammad Riduansyah Syafari

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI


KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH (Studi Pada
Kecamatan Ciater Hasil Pemekaran Dari Kecamatan
287 - 309
Jalancagak Kabupaten Subang Jawa Barat)
Rahman Mulyawan, Utang Suwaryo, Iyep Saefulrahman

EVALUASI IMPLEMENTASI APLIKASI QLUE


DI WILAYAH JAKARTA UTARA
310 - 326
Restu Rahmawati

MANAJEMEN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN


PULAU-PULAU KECIL TERLUAR NDONESIA
327 - 352
Samugyo Ibnu Redjo dan Hasim As’ari

MANAGEMENT SKILLS PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA


BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT
353 - 368
Herson Simbolon dan Samugyo Ibnu Redjo

SUBTEMA TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK :

PRAKTIK DIPLOMASI REPUBLIK INDONESIA DALAM


MENGAMBIL ALIH PENGELOLAAN
FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)
369 – 383
DIATAS KEPULAUAN NATUNA DARI SINGAPURA
Pramono Benyamin, Iwan Koswara dan Santika Swandari

SINERGISITAS ANTARA PEMERINTAH KOTA DENGAN


STAKEHOLDERS KEBENCANAAN DI KOTA PADANG
DALAM UPAYA PENGURANGAN RESIKO
384 – 405
BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI
Roni Ekha Putera dan Heru Nurasa

URGENSI RESTRUKTURISASI PEMERINTAHAN


DI PROVINSI DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA
406 – 424
Sigit Rochadi dan Baretha Rizka Tantiya

SINERGITAS PEMERINTAH DAERAH KOTA SERANG


DENGAN KENADZIRAN DALAM MENGEMBANGKAN
WISATA ZIARAH DI BANTEN LAMA 245 - 439
Titi Setiawati, Rina Yulianti

ix
SUBTEMA PEMILIHAN UMUM :

KONDISI POLITIK ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP


PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILU TAHUN 2014
(Studi di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara) 440 - 463
Bobby Rahman dan Azhar

DEMOKRASI DAN PENGAWASAN PEMILU


Dede Sri Kartini 464 - 477

SAUNG BEWARA PEMILU: Media Informasi


Pemilu dan Demokrasi di Kota Bandung
478 - 489
Gumgum Gumilar dan Achmad Abdul Basith

SUBTEMA BIROKRASI :

ANALISA JABATAN BAPPEDA


KAB. LIMA PULUH KOTA DI SUMATRA BARAT
490 - 493
Ayuning Budiati

POLITISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN


DI INDONESIA PASCA REFORMASI 494 - 509
Ratnia Solihah dan Siti Witianti

SUBTEMA E-GOVERNMENT :

EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI DESA (SID)


BERBASIS WEB DI DESA TERONG
KECAMATAN DLINGO KABUPATEN BANTUL 510 – 520
Faria Ruhana, Riski Wulandari, Sari Humaira

E-GOVERNMENT DALAM PELAYANAN PERIJINAN


REKOMENDASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN
BANDUNG UTARA (KBU) PADA ASPEK TANGIBLES
DI DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN
521 – 540
TERPADU SATU PINTU (DPMPTSP) JAWA BARAT
Nia Karniawati, Samugyo Ibnu Redjo, Utang Suwaryo dan
Rahman Mulyawan

SUBTEMA PEMERINTAH DAERAH :


TINJAUAN KRITIS POSISI KECAMATAN DALAM
TATA PEMERINTAHAN DAERAH
541 - 559
Donald K Monintja

ANALISIS PROSES ORGANISASI PERANGKAT


DAERAH DI KABUPATEN DHARMASRAYA
Elza Zikra Muallimin, Ulung Pribadi, dan Dwian Hartomi Akta 560 - 577
Padma Eldo

x
SUBTEMA PELAYANAN PUBLIK :

URBAN FARMING “KAMPUNG BERKEBUN” SEBAGAI


PELAYANAN PUBLIK YANG INOVATIF
DARI PEMERINTAH KOTA BANDUNG 578 - 589
Henny Sri Mulyani R

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH


DAERAH KOTA BANDUNG (Studi Pelayanan Izin
Penyelenggaraan Reklame pada Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu) 590 - 615
Titin Rohayatin, Tulus Warsito, Ulung Pribadi, Achmad
Nurmandi

PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KEPENDUDUKAN (Studi


tentang Pelaksanaan Penegasan Status Kewarganegaraan
Melalui Pemberian Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi
Migran Philippina Selatan di Kabupaten 616 - 629
Kepulauan Talaud tahun 2010-2014)
Burhan Niode

ANALISA KONTEMPORER PELAYANAN PUBLIK KTP-EL


DALAM GOOD LOKAL GOVERNANCE DI INDONESIA
630 - 647
Yeti Rohayati

PENYELENGGARAAN PELAYANAN
SISTEM ADMINISTRASI KENDARAAN BERMOTOR
648 - 658
Kurhayadi

xi
SUSUNAN ACARA
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER
PRODI ILMU PEMERINTAHAN UNIKOM 2017

Waktu Kegiatan Pelaksana Tempat


Hari Pertama, Selasa 9 Mei 2017
07.00 - 08.00 Registrasi Peserta Panitia Lt.17
Rehat Kopi Lt.16
08.00 - 09.00  Pembukaan MC Lt.17
 Menyanyikan lagu Indonesia
Raya, Mars Unikom, Kilas
Unikom
 Sambutan Ketua Pelaksana Tatik Fidowaty, S.IP., M.Si
 Sambutan Ketua Prodi IP Dr. Dewi Kurniasih, S.IP., M.Si
 Sambutan Dekan FISIP Prof. Dr. H. Samugyo Ibnu Redjo,
Unikom Drs., M.A
 Sambutan Rektor Unikom Dr. Ir. H. Eddy Soeryanto Soegoto
(membuka Acara)
 Doa Tatik Rohmawati, S.IP., M.Si
09.00 – 09.30  Persembahan Sadaya Tarian Tradisional & Rampak Lt.17
Unikom Gendang
09.30 – 11.45 Pemaparan Keynote Speaker Keynote Speaker Lt.17
dan Pembicara Pemateri 1
Pemateri 2

11.45 – 12.00 Penyerahan Cinderamata dan LT.17


Photo Bersama
12.00 - 13.00 Sholat, Istirahat, Makan Seluruh Peserta Lt.16
13.00 - 14.30 Presentasi Pemakalah Lt. 9
Sesi Pertama
Ruang 1 Presentasi 7 Pemakalah 9.013
Ruang 2 Presentasi 7 Pemakalah 9.015
Ruang 3 Presentasi 7 Pemakalah 9.019
Ruang 4 Presentasi 7 Pemakalah 9.025
14.30 - 14.45 Rehat Kopi Seluruh Peserta Lt. 16
14.45 - 16.15 Presentasi Pemakalah Lt. 9
Sesi Kedua
Ruang 1 Presentasi 7 Pemakalah 9.013
Ruang 2 Presentasi 7 Pemakalah 9.015
Ruang 3 Presentasi 8 Pemakalah 9.019
Ruang 4 Presentasi 8 Pemakalah 9.025
16.15 - 16.30 Pemberian Penghargaan & Ketua Panitia Lt. 17
Pembagian Sertifikat Tatik Fidowaty,S.IP.,M.Si.
Penutupan MC Protokoler
Hari kedua, 10 Mei 2017
07.00 - 08.00 Registrasi Peserta Unikom
08.00 – 16.00 City Tour Bandung
16.00 – 16.45 Penutupan Unikom

xii
KEPEMIMPINAN UWA DALAM PEMBAGIAN
HARTA WARISAN TOWANI TOLOTANG
DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Herman Dema1 and Mulyana Hatta2

ABSTRAK
Kepemimpinan Uwa’ menurut adat Towani Tolotang menjadi hal yang sangat
berpengaruh dalam proses pembagian harta warisan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menjawab permasalahan dalam menggali informasi terkait dengan
kepemimpinan Uwa’ dalam menentukan pembagian harta warisan menurut adat
Towani Tolotang, mekanisme dan sistem pembagian harta warisan dalam komunitas
adat Towani Tolotang. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah pembagian harta warisan, jika tidak
terjadi mufakat dalam keluarga yang bersangkutan maka menurut ajaran
kepercayaan adat Towani Tolotang harus dibahas dalam rapat musyawarah adat.
Dalam rapat musyawarah adat tersebut akan dihadiri oleh Uwa’ yaitu tokoh adat yang
diberi wewenang atau kuasa khusus untuk menentukan dan merumuskan segala
kebijakan yang menyangkut pembagian harta warisan, dan setiap hasil keputusan
musyawarah adat yang dirumuskan oleh Uwa’ harus ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakatnya sesuai dengan falsafah adatnya “Polopa Panni” yang mengandung
makna “apa yang telah ditetapkan oleh Uwatta dalam komunitas Towani Tolotang
itulah yang harus dijalankan”, dengan demikian pembagian harta warisan ditentukan
oleh rapat musyawarah adat. Jika ada yang merasa dirugikan akan dipersilahkan
menempu jalur hukum, tetapi hal ini sangat jarang terjadi disebabkan pengadilan juga
biasanya mengembalikan ke Uwa untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Sistem
pembagian pembagian harta warisan menurut adat Towani Tolotang dilakukan
secara musyawarah mufakat oleh ahli waris. Dalam musyawarah tidak ada
perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, artinya diusahakan mendapat bagian
yang sama (sistem kekerabatan parental atau bilateral).
Kata kunci: Kepemimpinan Uwa, pembagian warisan, masyarakat towani tolotang

ABSTRACT
The leadership of Uwa’ according to Towani Tolotang custom becomes a very thing.
The purpose of this study is to answer the problems in relation to Uwa’ leadership in
determining the division of inheritance according to Towani Tolotang custom, the
mechanism and system of customary property division of Towani Tolotang. The
research method used is descriptive qualitative. Result of research indicate the
existence of problem of distribution of property, if not happened consensus in family
concerned hence according to belief of custom Towani Tolotang must in custom
meeting meeting. In the meeting the customary meeting will be attended by Uwa’ that
is the custom leader who is given the authority or special power to determine and
formulate all policies related to the inheritance, and every result of the customary
consultative decision formulated by Uwa' must be obeyed and implemented by the
community according to The customary philosophy of "Polopa Panni" which implies

1 Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Unpad Bandung Program Doktor Ilmu Pemerintahan/
herman.lppmstisip@gmail.com
2 Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Muhammadiyah
Rappang Pada

1 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


"what Uwatta has established in the Towani Tolotang community to be executed",
thus dividing the inheritance by customary meeting meetings. If anyone feels
aggrieved will be welcome to pursue the legal path, it is very rare to court also usually
to Uwa’ to be owned by kinship. Towani Tolotang conducted by deliberation
consensus by the heirs. In the deliberation there is no difference between men and
women, who are attempted to get equal parts (parental or bilateral kinship system).
Keywords: Uwa leadership, division of inheritance, towani tolotang community.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kepemimpinan Uwa’ dalam menata kehidupan masyarakat Towani To Lotang
di Kabupaten Sidenreng Rappang khususnya di Kelurahan Amparita sangat
dibutuhkan terutama dalam pembagian harta warisan. Dalam menjalankan sistem
kewarisan adat yang dimiliki oleh masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten
Sidenreng Rappang harus senantiasa memperhatikan beberapa aspek-aspek dasar
yang telah ditetapkan oleh ketentuan adat Towani Tolotang, seperti halnya untuk
menentukan siapa ahli waris dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris, sebab
seseorang tidak dapat memperoleh bagian dari harta warisan tersebut, serta
menentukan status harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris apakah
terjadi pencampuran harta dalam perkawinan mereka atau tidak. Untuk menentukan
masalah pembagian harta warisan seorang ahli waris menurut ajaran kepercayaan
adat Towani Tolotang harus dibahas dalam rapat musyawarah adat.
Dalam rapat musyawarah adat tersebut akan dihadiri oleh Uwa’ yaitu tokoh
adat yang diberi wewenang atau kuasa khusus untuk menentukan dan merumuskan
segala kebijakan yang menyangkut pembagian harta warisan, dan setiap hasil
keputusan musyawarah adat yang dirumuskan oleh Uwa’ harus ditaati dan
dilaksanakan oleh masyarakatnya sesuai dengan falsafah adatnya “Polopa Panni”
yang mengandung makna “apa yang menjadi keinginan uwa’ itulah yang jadi”, dengan
demikian pembagian harta warisan ditentukan oleh rapat musyawarah adat.
Melandasi kultur budaya pada masyarakat adat Towani Tolotang dalam hal
pembagian harta waris adat senantiasa perlu memandang pada aspek keadilan pada
masyarakatnya, apakah sistem kewarisan tersebut telah memenuhi aspek keadilan
dan disepakati atau disetujui oleh masyarakat hukum adat Towani Tolotang pada
umumnya.
Komunitas ini adalah sebuah kelompok masyarakat bugis, yang oleh
pemerintah memasukkan dalam naungan agama Hindu. Namun dalam pembagian

2 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


harta warisan tidak berdasar pada agama Hindu. Tapi didasarkan atas musyawarah
adat Towani Tolotang.

RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini difokuskan pada permasalahannya sebagai berikut:
a. Bagaimana kepemimpinan Uwa’ dalam menentukan pembagian harta warisan
menurut adat Towani Tolotang?
b. Bagaimana sistem pembagian harta warisan menurut adat Towani Tolotang?

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan dalam menggali
informasi terkait dengan kepemimpinan Uwa’ dalam menentukan pembagian harta
warisan menurut adat Towani Tolotang, mekanisme dan sistem pembagian harta
warisan dalam komunitas adat Towani Tolotang. Adapun kegunaan penelitian ini
adalah untuk menggali nilai-nilai luhur budaya agar komunitas Towani Tolotang lebih
ditingkatkan demi menjaga kelestarian budaya bangsa yang sangat plural dan juga
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.

TINJAUAN PUSTAKA
KEPEMIMPINAN UWA’
Pimpinan dalam masyarakat tradisional dapat merupakan suatu kedudukan
sosial. Sebagai suatu kedudukan sosial, pemimpin tradisonal merupakan suatu
kompleksitas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh
seseorang. Dengan demikian sebagai suatu proses sosial keberadaan pemimpin
meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh orang-orang atau badan-badan untuk
mengaktifkan kegiatan-kegiatan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat dalam Mulyana (2010), agar dapat menjalankan
kewajiban dengan memuaskan, kepemimpinan tradisional memerlukan minimal tiga
unsur penting, yaitu :
a. Kekuasaan atau power
b. Kewenangan atau authority
c. Popularitas
Kepemimpinan tradisional di Komunitas Towani Tolotang dapat digolongkan
pada tipe kepemimpinan tradisional head man, yaitu tipe ini cenderung berorientasi
pada proses pewarisan artinya jabatan adat yang diemban akan diteruskan oleh

3 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


generasi berikutnya atas dasar prinsip senioritas, hal ini dapat berjalan secara
alamiah yang didukung oleh moral roh-roh atau arwah leluhur disertai pula dengan
upacara keagamaan (Onghakhara 1998). Hal tersebut memiliki kedekatan atau
kesamaan dalam kepemimpinan kepemimpinan Uwa’ dilakukan secara turun
temurun dengan proses pewarisan turunan langsung dari Uwa’ sebelumnya.
Demikian pula meyakini adanya kekuatan-kekuatan yang berasal dari roh atau arwah
leluhurnya.Titik sentral kepemimpinan masyarakat Towani Tolotang dikendalikan
oleh Uwa atau dalam komunitas Towani Tolotang dikenal dengan istilah Uwa’ta.
Peranan Uwa’ secara umum dalam masyarakat Towani Tolotang adalah
sebagai berikut:
a. Kepemimpinan bersifat religius, berhubungan dengan dengan pembawa
ajaran kepercayaan Towani Tolotang.
b. Kepemimpinan dalam seluruh aspek kehidupan, berhubungan dengan
lingkungan hidup dan dan alam.
c. Kepemimpinan formal (pejabat resmi) peranan Uwa’ sangat diperhitungkan
terutama dalam menerapkan kebijakan pemerintah yang menyangkut urusan
dengan kepentigan masyarakat TowaniTolotang, agar mendapat respon dari
masyarakat sesuai dengan yang di harapkan oleh pemerintah.
Kotter (1997), mengajukan sebuah teori untuk menjelaskan kepemimpinan
kharismatik dalam hubungannya dengan sebuah dalil yang dapat diuji yang
menyangkut proses-proses yaang dapat diobservasi, bukannya berdasarkan atas
cerita rakyat atau mistik. Teori tersebut didasarkan atas hasil penemuan dan berbagai
disiplin ilmu sosial. Ia mengidentifikasikan bagaimana pemimpin karismatik
berperilaku, bagaiman mereka berada dengan orang lain, serta dalam kondisi
bagaimana mereka memperoleh banyak kemungkinan untuk berkembang. Seorang
pemimpin karismtik mempunyai dampak yang dalam dan tidak biasa paada
pengikutnya, mereka merasakan bahwa keyakinan-keyakinan pemimpin tersebut
adalah benar, mereka menerima pemimpin tersebut tanpa mempertanyakan lagi
mereka tunduk pada pemimpin dengan senang hati, mereka merasa sayang pada
pemimpin tersebut, mereka terlibat secara emosional dalam misi kelompok atau
organisasi tersebut, mereka percaya bahwa mereka dapat memberi kontribusi
terhadap keberhasilan misi tersebut, mereka mempunyai tujuan kinerja-kinerja yang
tinggi.
Mengenai kepemimpinan tradisional di Komunitas Towani Tolotang dapat
digolongkan pada tipe kepemimpinan tradisional head man, yaitu tipe ini cenderung

4 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


berorientasi pada proses pewarisan artinya jabatan adat yang diemban akan
diteruskan oleh generasi berikutnya atas dasar prinsip senioritas, hal ini berjalan
secara alamiah yang didukung oleh moral roh-roh atau arwah leluhur disertai pula
dengan upacara keagamaan (Onghakhara 1983). Menurut Khalikin (2011:77) nuansa
keberagamaan masyarakat Towani Tolotang yang titik sentral kepemimpinannya
dikendalikan oleh uwa’ dan uwatta. Kepemimpinan tradisional tersebut diberikan
dengan pola pewarisan secara estafet dari generasi ke generasi berikutnya sampai
sekarang, dan masih tetap dipertahankan sebagai sesuatu yang sakral (Faisal; {baca
Abstrak}:2004).
Hubungan yang terjalin antara uwa’ sebagai pemimpin dengan Komunitas
Towani Tolotang sebagai pengikutnya sangat erat. Kesetiaan kepada uwa’ dan
kepada tujuan-tujuan sistem yang sangat menonjol dapat mengungguli kepedulian
akan keselarasan. Kesetiaan kepada uwa’ tidak hanya mempunyai arti keduniaan,
tetapi juga suatu arti keabadian; pemenuhan kewajiban kepada mereka dari satu
sudut dapat diartikan sebagai kewajiban dalam ketaatan keagamaan.

HUKUM WARIS ADAT


Istilah “harta warisan”, merupakan harta dari pewaris yang telah wafat, baik
harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Istilah ini dipakai
untuk membedakan dengan harta yang didapat oleh seseorang bukan dari
peninggalan pewaris, melainkan didapat sebagai hasil usaha pencaharian sendiri di
dalam ikatan perkawinan. Jadi, warisan atau harta warisan adalah harta kekayaan
seseorang yang telah wafat sedangkan “harta peninggalan” sebaiknya digunakan
untuk harta kekayaan pewaris yang penerusannya tidak terbagi-bagi disebabkan
salah seorang pewaris masih hidup. Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat
berupa harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (Hadikusuma 2003:213).
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari
pewarisnya kepada para ahli warisnya dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut
TerHaar (Hadikusuma, 1980:17) mengatakan bahwa hukum waris adat adalah
aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa
proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi ke generasi. Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur
yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang
meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan

5 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya (Hadikusuma,
2003:211).
Soepomo (Hadikusuma, 2003:9) memberikan definisi tentang hukum waris
adat yaitu: hukum waris adat membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immateriele goerderen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada keturunannya.
Dengan demikian menurut penulis hukum waris itu memuat ketentuan-
ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud
atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah
pewaris meninggal dunia.
Soehardi (2006:58) menjelaskan tentang pengertian hukum waris adat yaitu:
hukum waris yang memuat seluruh peraturan hukum yang mengatur pemindahan hak
milik, barang-barang harta benda, dari generasi yang berangsur mati (yang
mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris).
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat,
kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin (Hadikusuma,
1980:34) bahwa hukum waris adat yang mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional yang bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya
patrilineal, matrilinial, dan parental atau bilateral walaupun pada bentuk kekerabatan
yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Menurut Soerjono Soekanto (2001:260) hukum waris adat di Indonesia
dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan, yang mungkin merupakan prinsip Patrilineal murni, Patrilineal beralih-
alih, Matrilineal maupun Bilateral (walaupunsulit ditegaskan dimana berlakunya di
Indonesia. Ada pula Prinsip Unilateral berganda (double unilateral). Prinsip-prinsip
garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian
harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materil maupun inmateril).

SISTEM KEWARISAN ADAT


Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia menurut
tata tertib sanak dan hukum waris adat terdapat tiga sistem kewarisan, yaitu sistem
kewarisan kolektif, sistem kewarisan mayorat, dan kewarisan individual (Hadikusuma,
2003:212).

6 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


1) Sistem Kewarisan Kolektif
Pewarisan dengan sistem kolektif ialah dimana harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk
mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.
Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris
diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat
yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kepala kerabat. (Hilman
Hadikusuma 2003:26).
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara
kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perseorangan, maka
kewarisan demikian itu disebut kewarisan kolektif, menurut sistem kewarisan ini para
ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan
diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati
hasilnya. Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan
leluhur yang disebut Harta Pusaka, berupa sebidang tanah (pertanian) dan atau
barang-barang pusaka (Hadikusuma, 2003:212).
Kebaikan dari sistem kolektif ini yang masih nampak apabila fungsi harta
kekayaan itu diperuntukkan buat kelangsungan hidup keluarga besar itu untuk
sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperanan, tolong menolong antara
yang satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung
jawab masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Sedangkan
kelemahan dari sistem kewarisan kolektif ialah menumbuhkan cara berpikir yang
terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar. Disamping itu, oleh karena tidak
selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat diandalkan dan
aktifitas hidup yang kian meluas bagi para anggota kerabat, maka rasa setia kawan,
rasa setia kerabat bertambah luntur.

SISTEM KEWARISAN MAYORAT


Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah penerusan dan pengalihan
hak atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang
bertugas sebagi pemimpin rumah tangga atau kepala rumah tangga menggantikan
kedudukan ayah dan ibu sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam kedudukannya
sebagai penerus tanggung jawab oang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan
memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta

7 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah
tangga dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun
temurun (Hilman Hadikusuma, 2003:28).
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua,
yang berarti hak pakai, hak mengulah dan memungut hasil dikuasai sepenuhnya oleh
anak tertua dengan hak kewajiban dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak
kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai
mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “Sistem
kewarisan Mayorat” (Hadikusuma, 2003:212).
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan
yang dianut, yaitu mayorat laki-laki seperti yang berlaku di lingkungan masyarakat
adat Lampung, terutama beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk
Yos Soedarso Kabupaten Jayapura dan sistem mayorat perempuan seperti yang
berlaku di lingkungan masyarakat adat Sumatera Selatan (Hadikusuma 2003:29).
Sistem mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris
meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris
tunggal, seperti di Lampung. Sedangkan sistem mayorat perempuan, yaitu apabila
anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal
(Soekanto, 1983:285).
Kelemahan dan kebaikan sistem pewarisan mayorat terletak pada
kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang
telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna
kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Anak tertua yang penuh
tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga
sampai semua waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah
tangga sendiri. Tetapi anak tertua yang tidak bertanggung jawab, yang tidak dapat
mengendalikan diri terhadap kebendaan, yang pemboros dan lain sebagainya
jangankan akan dapat mengurus harta peninggalan dan saudara-saudaranya
malahan sebaliknya ia yang diurus oleh anggota keluarga yang lain (Hadikusuma,
2003:29).

SISTEM KEWARISAN INDIVIDUAL


Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta

8 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan
memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan (dijual)
kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. (Hilman
Hadikusuma 2003:24).
Sistem individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sistem
kekerabatannya parental sebagaimana di kalangan masyarakat adat Jawa atau juga
di kalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Batak dimana berlaku adat
manjae (Jawa, mencar, mentas); atau juga di kalangan masyarakat adat yang kuat
dipengaruhi hukum Islam, seperti di kalangan masyarakat adat Lampung. Faktor
lainnya yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian warisan secara individual
adalah dikarenakan tidak ada lagi yang berhasrat memimpin penguasaan atau
pemilikan harta warisan secara bersama, disebabkan para waris tidak terikat lagi
pada satu rumah kerabat (rumah gadang) atau rumah orang tua dan lapangan
kehidupan masing-masing anggota waris telah tersebar tempat kediamannya
(Hadikusuma, 2005:24).
Kebaikan dari sistem perkawinan individual antara lain adalah bahwa dengan
pemilikan secara pribadi maka waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta
warisan bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya lebih lanjut
tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarga yang lain. Ia dapat mentransaksikan
bagian warisannya itu kepada orang lain untuk dipergunakan menurut kebutuhannya
sendiri atau menurut kebutuhan keluarga tanggungannya. Bagi keluarga-keluarga
yang telah maju dimana rasa kekerabatan sudah mengecil, dimana tempat kediaman
anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh dan tidak begitu terikat lagi untuk
bertempat kediaman di daerah asal, apalagi telah melakukan perkawinan campuran,
maka sistem individual ini nampak besar pengaruhnya (Hadikusuma, 2003:25).
Kelemahan dari sistem pewarisan individual ialah pecahnya harta warisan dan
merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin
memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Sistem individual
dalam pewarisan dapat menjurus ke arah nafsu yang bersifat individualistisme dan
materialisme. Hal mana kebanyakan menyebabkan timbulnya perselisihan-
perselisihan antara anggota pewaris (Hadikusuma, 2003:25).
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat memiliki, secara perorangan
dengan hak milik yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati
hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka
kewarisan demikian itu disebut Kewarisan Individual. Sistem kewarisan ini yang

9 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam
hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam hukum
waris islam (Hadikusuma 2003:213).

SISTEM KEWARISAN BERDASARKAN KEKERABATAN


Menurut Eman Suparman (2005:41), bahwa secara tertib sanak kekerabatan
pada masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu
sama lainnya berbeda-beda yaitu :
1) Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistim kekerabatan patrineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan dari pihak nenek moyang laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki
sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian
masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli
waris orang tuanya yang meninggal dunia (Suparman, 2005:41).
Pada suatu tertib patrineal hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris oleh
karena anak perempuan keluar dari golongan famili patrinealnya semula, sesudah
mereka itu kawin. Anak laki-laki mendapat warisan maupun dari bapak dan dari ibu
dan pada asasnya berhak atas semua harta benda. Jika anak laki-laki dari seorang
ahli waris, yang meninggal lebih dahulu, menjadi ahli waris oleh penggantian tempat.
Seandainya yang meninggal itu tidak mempunyai anak laki-laki, bagian warisannya
itu jatuh kepada kakeknya (bapak dari yang mewariskan). Demikian juga halnya
dengan seluruh harta pusaka itu, jika yang mewariskan tidak mempunyai anak laki-
laki. Seandainya bapak (dari yang mewariskan) tak ada lagi, maka anak-anak dari
bapak itu (jadi saudara laki-laki yang mewariskan itu) menjadi ahli waris (Soehardi,
2006:60).
Terdapat alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum waris adat
masyarakat patrineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta
peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam
masyarakat Batak pada umumnya (Suparman, 2005:45).
2) Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem kekerabatan matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak

10 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari
garis perempuan atau garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari
keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota-anggota
keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.
Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau keluar tanah
aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah (Suparman, 2005:41).
3) Sistem Kekerabatan Parental atau Bilateral
Sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Dalam sistem ini
kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar.
Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta
peninggalan orang tua mereka (Suparman, 2005:42).
Hukum adat pada sistem kekerabatan parental atau bilateral memiliki ciri khas
tersendiri, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak
perempuan. Berbeda dengan dua sistem kekerabatan patrineal dan sistem matrineal.
Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya sehingga
dalam proses pengalihan/ pengoperan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada
ahli waris, anak laki-laki dan akan perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan
sama (Suparman, 2005:59)

METODE PENELITIAN
Penelitian ini, menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Creswell
(2014:4), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengekplorasi dan
memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Selanjutnya Maleong (2012:6)
penelitian kualitatif merupakan pemahaman tentang fenomena apa yang sedang
dialami oleh subyek penelitian baik secara holistik ataupun dengan cara
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Proses penelitian kualitatif melibatkan
upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-
prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data
secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan
menafsirkan makna data (Creswell, 2014:4-5).
Salim (2006:20) menambahkan bahwa penelitian yang kaya data tidak akan
berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang logis.

11 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Oleh karena itu, data dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh Towani Tolotang
dianalisis dengan mencari hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN


KEADAAN AGAMA
Distribusi penduduk ditinjau dari segi agama dan kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat di Kelurahan Amparita yang dijadikan sebagai lokasi penelitian
sekaligus merupakan daerah yang terbanyak dihuni oleh komunitas Towani Tolotang.
Penganut agama Hindu (Towani Tolotang) melebihi dari penganut agama Islam
sebagai agama yang berpengaruh besar di Kabupaten Sidenreng Rappang secara
khusus, dan Indonesia secara umum. Keadaan penduduk menurut agama secara
terperinci dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Distribusi Penduduk Menurut Agama di Kelurahan Amparita


No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase
1 Hindu (Towani Tolotang) 2.142 50,4
2 Islam 2.102 49,5
3 Kristen 6 0,1
Jumlah 4.250 100
Sumber :Kantor KelurahanAmparita. 2010

SEJARAH SINGKAT KOMUNITAS TOWANI TOLOTANG


Kata “Towani Tolotang” terdiri dari dua suku kata yakni “Towani” dan
“Tolotang” Kata Towani masih mempunyai dua arti, yakni “To” artinya orang dan
“Wani” adalah nama desa, dengan demikian Towani adalah orang yang berasaal dari
desa Wani, tempat penganut kepercayaan tersebut berasal. Adapun kata “Tolotang”
juga mempunyai dua arti yaitu “To” yang berarti orang dan “Lotang”berarti selatan.
Dengan demikian “Tolotang” berarti orang dari desa Wani yang tinggal di sebelah
selatan.
Istilah Tolotang ini pertama kali diucapkan oleh La Patiroi Addatuang
Sidenreng VII untuk sebutan terhadap orang-orang pendatang tersebut yaang
kemudian dikenal dengan nama aliran kepercayaan mereka (Asmar Pattawe,2017 :
47).
Nenek moyang Komunitas Towani Tolotang berasal dari Wani, sebuah desa
di wilayah Kabupaten Wajo + 60 km dari Amparita. Pada awal abad ke-17, Raja Wajo

12 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Sultan Abd. Rahman yang bergelar Petta Matao wajo Sangkuru Petta Malajaji, secara
resmi memeluk agama islam dan memerintahkan agar seluruh rakyatnya pun ikut
memeluk agama islam. Ataas perintah tersebut rakyatnya pun patuh dan memeluk
agama islam, kecuali sekelompok kecil masyarakat yang bertempat tinggal di Desa
Wani menolak perintah tersebut dan masih mempertahankan kepercayaan mereka
yaang lama. Karena penolakan tersebut mereka pun di usir oleh sang Raja untuk
meninggalkan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo. Karena keputusan tersebut maka
penduduk Desa Wani meninggalkan Desa mereka di bawah pimpinan I Pabbere
menuju ke arah barat menusuri pinggiran utara danau Sidenreng, kemudiam berhenti
di sebuah lembah persawahan untuk beristirahat, sekitar 2 Km dari sebelah utara
Amparita. Di tempat itu mereka berdiri melepas lelah, sehingga lembah tersebut diberi
nama “tettong” yang berarti “berdiri”.
Perihal kedatangan rombogan I Pabbere diketahui oleh Raja Sidenreng yang
bergelar Addatuan VII dan berkedudukan di Massepe sekitar +2 km sebelah selatan
Amparita, segera memerintahkan utusannya guna mencari tau tentang maksud
kedatangan I Pabbere dan rombongannya. Setelah tercapai kata mufakat antara
rombongan tersebut dengan penguasa Sidenreng, akhirnyapun mereka diizinkan
untuk menetap dan tinggal di wilayah tersebut dengan beberapa persyaratan yang
tertuang dalam satu perjanjian “Ade Mappurana Onrong Sidenreng”.
Setelah beberapa tahun tinggal dii perrinyameng, oleh Addatuang Sidenreng
persoalan mereka kemudian diserahkan kepada Arung Amparita, lalu mereka disuruh
meninggalkan Perrinyameng untuk kemudian tinggal di daerah perkampungan
Amparita bersama penduduk asli hingga sekarang. Pemindahaan oleh Arung
Amparita mungkin dimaksudkan agar proses integrasi antara pengungsi dan
penduduk asli dapat berjalan lebih cepatatau untuk mempermudah kontrol dan
pengawasan terhadap mereka.
Towani Tolotang dipimpin oleh seorang yang di sebut (Uwa’), memimpin
seluruh penganut Towani Tolotang baik yang tinggal di dalam maupun di luar
Amparita. Pengangkatan Uwa’ dapat ditunjuk oleu Uwa’ yang lama sebelum ia
meninggal atau dipilih oleh di antara Uwa’-Uwa’ sebelum mayat Uwa’ yang lama
dikuburkan. Jabatan Uwa’ dipegang oleh laki-laki dan perempuan, dan orang yang
menempati kedudukan itu lazim disebut sebagai “Pemegang Bunga”.

13 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


PERANAN UWA’ DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN
Dalam masyarakat tradisional seorang pemimpin adat berdasarkan stratifikasi
sosialnya mempunyai atau diberi oleh pengikutnya berupa kekuasaan, kewenangan,
dan popularitas. Dengan adanya kekuasaan, kewenangan, dan popularita yang
dimiliki oleh Uwa di Kelurahan Amparita, maka diharapkan mampu menjalankannya,
khususnya dalam hal pembagian harta warisan.
Penggunaan kekuasaan Uwa dalam proses pembagian harta warisan selalu
mengedepankan musyawarah mufakat. Keberadaan Uwa dianggap sangat
berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan di kalangan masyarakat adat Towani
Tolotang. Karena jika Uwa telah mengambil keputusan, maka keputusan yang diambil
oleh Uwa sangat jarang ada penolakan dari ahli waris. Sebagaimana penuturan Uwa’
LS,bahwa :
“Dalam pembagian harta warisan atau dalam hal apapun, penggunaan
kekuasaan Uwa’ yang sangat berpengaruh, namun tetap mengedepankan
musyawarah mufakat dalam keluarga, kita (Uwa’) hanya mediator jika terjadi
ketidakmufakatan dalam komunitas Towani Tolotang”. (Sumber : wawancara,
April 2017).

Jika terjadi pertentangan pembagian harta warisan dalam keluarga maka


Uwa’ mempunyai kewenangan atau kewajiban untuk menyelesaikannya dengan jalan
adat. Uwa’ dapat memanggil mereka yang bersengketa untuk digelar rapat adat yang
dipimpin oleh Uwatta (sebutan khusus dalam komunitas Towani Tolotang) artinya
orang tua atau yang dituakan.
Kekuasaan, kewenangan, dan popularitas seorang Uwa’ atau sebutan orang
tua, jika ada yang langsung membawa kasusnya ke desa, kecamatan, atau langsung
ke kepolisian dan pengadilan. Kasus tersebut sangat sulit diselesaikan, dan oleh
pihak kepolisian dan pengadilan harus mengembalikan untuk diselesaikan secara
adat. Sebagaimana penuturan Uwa’ EJ, bahwa:
“Jika terjadi pertentangan atau pertikaian antara ahli waris, maka orang tua
(Uwa’) memanggil pihak yang bertikai itu, nanti kalau tidak bisa sepakat baru
dilanjutkan ke tingkat pengadilan. Tapi kita selaku orang tua mengusahakan
bagaimana dia bisa bersepakat. Karena biasanya kalau tanpa
sepengetahuan Uwa’ mereka lanjutkan ke atas (Desa, Camat, Polisi, atau
pengadilan) tetap juga dikembalikan ke orang tua untuk diselesaikan secara
adat atau Uwa’ memberikan surat pengantar untuk diselesaikan di pengadilan.
Kepolisian Sidrap tidak memproses jika tidak ada surat pengantar dari orang
tua (Uwa’)”. (Sumber : wawancara, April 2017).

Dari hasil wawancara dengan tokoh adat Towani Tolotanga (Uwa’ EJ), bahwa
popularitas Uwa’ sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pembagian

14 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


harta warisan menurut adat Towani Tolotang. Karena merupakan hal yang sangat
berkaitan erat dengan ketaatan pengikutnya.

SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT ADAT TOWANI TOLOTANG


Dalam pembagian harta warisan menurut Uwa EJ, tidak ada keharusan
bahwa laki-laki atau perempuan itu harus lebih banyak, tapi tergantung dari hasil
kesepakatan. Selanjutnya dalam pembagian harta warisan menurut Uwa EJ, itu tdk
ada yang diambil oleh adat atau adat tidak punya hak untuk harta warisan itu, kalau
itu terjadi dianggap sebagai penindasan harta warisan orang tuanya.
Senada yang disampaikan oleh seorang tokoh pendidik dari komunitas
Towani Tolotang, SPT menuturkan bahwa:
“Sistem pembagian harta warisan menurut adat Towani Tolotang tidak jauh
berbeda dengan masyarakat Bugis pada umumnya, yaitu tidak ada perbedaan
antara laki-laki dengan perempuan dia mempunyai hak yang sama. Bahkan
terkadang perempuan bisa mendapat lebih dari laki-laki karena dianggap
lemah secara fisik, seperti rumah biasanya diwarisi oleh anak perempuan
yang termuda atau belum bersuami”. Pembagian harta warisan dihadiri oleh
Uwatta (dianggap sebagai orang tua) demi menghindari jangan sampai ada
yang “macecceng” artinya mau mendapatkan bagian lebih dari yang
lainnya.”(Sumber : wawancara, April 2017).

Melihat sistem kewarisan masyarakat Towani Tolotang menganut sistem


kekeluargaan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang tua.
Sistem kekerabatan parental atau bilateral sangat baik menurut adat Towani Tolotang
karena dianggap mampu menciptakan rasa keadilan oleh ahli waris karena dilakukan
secara musyawarah mufakat.

PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan dan hasil pembahasan penelitian yang telah diuraikan
maka, dapat dikemukan simpulan sebagai berikut :
a. Kepemimpinan Uwa’ dalam proses pembagian harta warisan menurut hukum
adat Towani Tolotang di Kelurahan Amparita, dapat dilihat berdasarkan hasil
pembahasan penelitian pada tiga aspek yaitu; kekuasaan, kewenangan, dan
popularitas. Peran Uwa’ sangat berpengaruh dan menentukan dalam
pembagian harta warisan terutama jika tidak ditemui kesepakatan dalam ahli
waris maka, Uwa’ selaku orang tua harus memanggil untuk diadakan
musyawarah adat dan selanjutnya diambil kebijakan oleh Uwa yang para ahli
waris harus patuh dan taat atas keputusan Uwa.

15 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


b. Proses pembagian harta warisan menurut adat Towani Tolotang dilakukan
secara musyawarah mufakat oleh ahli waris. Dalam musyawarah tidak ada
perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, artinya diusahakan mendapat
bagian yang sama.

REKOMENDASI
Diharapkan kepada Uwa’ selaku yang dianggap orang tua Towani Tolotang
agar senantiasa membina dan mempertahankan proses pembagian harta warisan
menurut adat Towani Tolotang karena terbukti dapat menghindari rasa dendam
sesama ahli waris ketimbang diselesaikan secara hukum formal lewat pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W. 2014. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed). Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Haar, Ter. Bzn. 1983. Asas-Asas dan Susunan hukum Adat.Jakarta: Pradnya
Paramita
Hadikusuma, Hilman. 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti
, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat danUpacara
Adatnya,Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
, 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Bandung: CV.
MandarMaju
, 2005. Hukum Waris Indonesia dalam Prespektih Islam, Adat,dan BW,
Bandung: PT. Refika Aditama,
Hazairin. 1981. Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara
Irawansyah, dkk. 2016. Kewenangan Kesultanan dalam Bidang Pertanahan di
Daerah Istimewah Yogyakarta (Prosiding APPPTM, vol. 2. Hal 115-123).
Yogyakarta: PPs UMY.
Khalikin, Ahsanul. 2011. Eksistensi Masyarakat Towani Tolotang: Sistem
Kepercayaan Lokal dan Perkembangannya di Kecamatan Tellu Limpoe
Kabupaten Sidenreng Rappang. Vol. X Nomor. 4 ISSN. 1412-663-X, pp. 77-
91. (Jurnal Harmoni)
Koesnoe, Moeh. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bandung:
MandarMaju
Maleong LJ. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

16 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Pattawe, Asmar. 2017. Tolotang Terjaga Karena Prinsip Hidup. (Pamor,
Ajatappareng-edisi 7)
Salim, Agus. 2006. Teori dan Pradigma Penelitian Sosial. Yokyakarta: Taira Wacana.
Soehardi, A. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia Indonesia. Bandung: Mandar
Maju
Soekanto, Soerjono. 1996. Meninjau Hukum Adat Indonesia (SuatuPengantar Untuk
Mempelajari Hukum Adat), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soepomo, 2000. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradya Paramita.

17 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


CITRA KEPEMIMPINAN RIDWAN KAMIL
SEBAGAI PEMIMPIN HUMORIS
(Studi Analisis Semiotika Pada Akun Instagram ridwankamil
Periode 18 -26 Februari 2017)
Iwan Koswara3 dan Pramono Benyamin4

ABSTRAK
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan citra kepemimpinan
merupakan bentuk representasi seorang pemimpin yang harus dikonstruksi
sedemikian rupa agar dapat menciptakan kepercayaan publik yang bernilai positif dari
waktu ke waktu. Seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpinan yang efektif
jika telah dapat melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinannya dengan baik.
Mochamad Ridwan Kamil atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kang Emil adalah
adalah Wali Kota Bandung periode 2013-2018. Kiprah Kang Emil di dunia politik dan
pemerintahan yang telah banyak menerima berbagai penghargaan baik di tingkat
nasional maupun internasional tidak perlu dipertanyakan lagi. Gaya komunikasi yang
disampaikannya melalui akun media sosial pun telah menjadi sorotan banyak pihak
khususnya bagi sebagian besar masyarakat di Kota Bandung. Sudah bukan menjadi
rahasia umum lagi bahwa media sosial telah merambah dan semakin populer di
kalangan masyarakat saat ini, khususnya instagram. Indonesia merupakan salah satu
negara dengan jumlah pengguna instagram terbanyak, 89 persen Instagrammers
yang berusia 18-34 tahun mengakses instagram setidaknya seminggu sekali. Kang
Emil kerapkali memposting berbagai kegiatan politik di akun instagram-nya, jumlah
follower instagram akun ridwan kamil telah mencapai angka 5,6m atau sekitar 5,6 juta
pengguna instagram, merupakan yang tertinggi di antara tokoh politik lainnya. Hal
yang menarik adalah Kang Emil selalu menyisipkan humor di dalam setiap postingan-
nya yang dapat membuat para followers terhibur. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana citra kepemimpinan seorang Ridwan Kamil dalam
menciptakan kesan sebagai sosok pemimpin yang humoris. Citra ini akan diteliti
dengan metode analisis isi media sosial melalui analisis semiotika Pierce dalam akun
instagram. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah foto dan caption-caption
humor yang di-posting di dalam akun instagram ridwan kamil periode 18-26 Februari
2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ridwan Kamil memiliki citra sebagai
pemimpin humoris dan amat dekat dengan masyarakat. Beberapa postingan
menunjukkan bahwa gaya komunikasi Ridwan Kamil lebih mengedepankan unsur
humor dan mengutamakan interaksi dua arah dengan follower-follower-nya.
Kata Kunci: Citra Kepemimpinan, Ridwan Kamil, Pemimpin Humoris, Media Sosial,
Instagram.

ABSTRACT
Leadership is a person's ability to influence a group of people to achieve certain goals.
While the image of leadership is a form of representation of a leader who must be
constructed in such a way as to create positive public trust from time to time. A leader
can be said to be an effective leader if it has been able to carry out its leadership

3 FIKOM UNPAD/iwankoswara17@gmail.com
4 FIKOM UNPAD

18 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


functions well. Mochamad Ridwan Kamil or better known as Kang Emil is the Mayor
of Bandung period 2013-2018. Kang Emil's work in politics and government that has
received many awards both nationally and internationally is unquestionable.
Communication style delivered through social media accounts has also become the
spotlight of many parties, especially for most people in Bandung. It is no longer a
secret that social media has become increasingly popular amongst people today,
especially instagram. Indonesia is one of the countries with the largest number of
instagram users, 89 percent of Instagrammers aged 18-34 years access instagram at
least once a week. Kang Emil often post various political activities on his instagram
account, the number of follower instagram of our ridwan kamil account has reached
5.6m or about 5.6 million instagram users, which is the highest among other political
figures. The interesting thing is that Kang Emil always inserts humor in every post that
can keep the followers entertained. This study aims to find out how the image of a
Ridwan Kamil leadership in creating an impression as a humorous leader figure. This
image will be examined by social media content analysis method through Pierce
semiotics analysis in instagram account. The data analyzed in this research are
photograph and caption-caption humor which is posted in the account instagram
ridwan kamil period 18-26 Februari 2017. The result of research indicate that Ridwan
Kamil has image as a humorist leader and very close to the society. Some postings
indicate that communication style Ridwan Kamil put forward the element of humor
and prioritize the two-way interaction with its follower-follower.
Keywords: Leadership Image, Ridwan Kamil, Humorist Leader, Social Media,
Instagram

PENDAHULUAN
Mochamad Ridwan Kamil, S.T., M.U.D lahir di Bandung, Jawa Barat, 4
Oktober 1971; umur 45 tahun) adalah Wali Kota Bandung periode 2013-2018.
Sebelum menjadi pejabat publik, pria yang akrab dipanggil Kang Emil ini memiliki
karier sebagai seorang arsitek dan dosen tidak tetap di Institut Teknologi Bandung.
Emil merupakan putra dari pasangan Atje Misbach Muhjiddin dan Tjutju Sukaesih.
Pada tahun 2013 Emil yang dari kalangan profesional dicalonkan oleh Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Gerindra sebagai wali kota Bandung dengan didampingi oleh
Oded Muhammad Danial sebagai calon wakil wali kota. Dalam Rapat Pleno Komisi
Pemilihan Umum Kota Bandung pada 28 Juni 2013, pasangan ini unggul telak dari
tujuh pasangan lainnya dengan meraih 45,24% suara sehingga Pasangan Ridwan
Kamil dan Oded Muhammad Danial ditetapkan menjadi pemenang dalam Pemilihan
umum Wali Kota Bandung 2013.
Sebagai seorang Wali Kota, Ridwan Kamil seringkali menggunakan social
media atau jejaring sosial untuk melaksanakan aktivitas komunikasi
pemerintahannya. Ekspansi media sosial juga masuk ke dalam setiap lapisan
masyarakat indonesia. Untuk di Indonesia saja, menurut Kementerian Komunikasi
dan Informatika, sebanyak 63 juta orang di Indonesia adalah pengguna internet dan
95 persen di antaranya adalah pengguna situs jejaring sosial. Indonesia menempati

19 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah pengguna facebook terbanyak di dunia
yaitu sejumlah 65 juta pengguna aktif dan peringkat ke-5 sebagai negara dengan
pengguna twitter terbanyak di dunia yaitu sejumlah 19,5 juta pengguna aktif. Selain
facebook dan twitter, masyarakat Indonesia juga menggunakan blog, tumblr, path,
instagram, line, dan jejaring sosial lainnya5. Perkembangan media sosial di Indonesia
mengalami fase yang terus meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Menurut
data yang dikeluarkan oleh internetlivestats, sebuah lembaga riset yang
mengelaborasi data dari International Telecommunication Union (ITU), World Bank,
and United Nations Population Division. Jumlah pengguna internet di Indonesia
mencapai 53.236.719 jiwa pada tahun 2016 dari jumlah populasi 260.581.100 jiwa6.
Instagram merupakan jejaring sosial yang dipilih Ridwan Kamil sebagai media
komunikasi yang dianggap paling efektif saat ini. Mengingat Indonesia merupakan
salah satu negara dengan jumlah pengguna instagram terbanyak, 89 persen.
Instagrammers yang berusia 18-34 tahun mengakses instagram setidaknya
seminggu sekali7. Hal ini tentunya menjadi peluang tersendiri untuk menjadikan
instagram sebagai media sosial dalam menyampaikan informasi seputar aktvitas atau
kegiatan pemerintahan, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengetahui
secara langsung kondisi dan situasi terkini, berdasarkan aktivitas yang tengah
dilakukan oleh Wali Kota-nya melalui beragam postingan yang ada di akun instagram
Ridwan Kamil.
Akan tetapi, terdapat suatu fenomena yang amat menarik. Sebagai seorang
birokrat, tentunya stigma masyarakat akan menilai Ridwan Kamil sebagai sosok Wali
Kota yang ‘kaku’ dan sulit untuk membangun interaksi secara langsung dengan
masyarakat. Sebaliknya, Ridwan Kamil menjadi sosok yang amat gemar menyisipkan
humor di setiap postingan yang ada pada akun instagramnya. Kang Emil mampu
menciptakan konteks komunikasi yang ‘cair’ dan ‘interaktif’, yang membuat followers-
nya gemar untuk memberikan komentar-komentar positif atau sekadar membalas
setiap postingan yang dianggap lucu dan menghibur. Berdasarkan hal tersebut,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai citra kepemimpinan Ridwan
Kamil sebagai pemimpin humoris di dalam postingan instagram, melalui suatu kajian

5 Munandar, Harris dan Maman Suherman (2016). Aktivitas Komunikasi Pemerintahan Ridwan Kamil di Media Sosial.
Prosiding Hubungan Masyarakat. Volume 2, No.1, Tahun 2016.
6Admin. Indonesia Internet Users dalam http://www.internetlivestats.com/internet-users/indonesia/, diakses pada 12
Februari 2017, pukul 17: 55 WIB
7 Mailanto, Arsan. Pengguna Instagram di Indonesia Terbanyak Mencapai 89%, dalam
http://techno.okezone.com/read/2016/01/14/207/1288332/pengguna-instagram-di-indonesia-terbanyak-mencapai-
89. Diakses pada 11 Februari 2017, pukul 19: 27 WIB

20 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


analisis semiotika yang dicetuskan oleh Charles Sanders Pierce yang membagi tanda
atas ikon, indeks, dan simbol.

KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam pembahasan mengenai citra kepemimpinan Ridwan Kamil sebagai
pemimpin humoris, terdapat beberapa konsep yang perlu dipaparkan lebih lanjut,
yang pertama mengenai citra, kedua kepemimpinan, dan yang terakhir mengenai
konsep humoris. Citra merupakan hasil evaluasi dalam diri seseorang berdasarkan
pengertian dan pemahaman terhadap rangsangan yang telah diolah, diorganisasikan
dan disimpan dalam benak seseorang. Citra dapat diukur melalui pendapat, kesan
atau respon seseorang dengan tujuan untuk mengetahui secara pasti apa yang ada
dalam pikiran setiap individu mengenai suatu objek (Amalia, 2015). Kepemimpinan
sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi mempunyai
kedudukan strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam
kehidupan kelompok. Mempunyai kedudukan strategis, karena kepemimpinan
merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi. Sehingga
kepemimpinan mempunyai peranan sentral di dalam menentukan dinamikanya
sumber-sumber yang ada (Wahjomusidjo, 1984: 21). Humor merupakan sesuatu
yang lucu, keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati;
kejenakaan; kelucuan8

METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi sebagai mekanisme
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti (Moleong, 2002:
3). Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis isi media melalui metode analisis
semiotika Charles Sanders Pierce yang membagi tanda atas ikon, indeks, dan simbol.
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklarifikasikan sesuai
dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Pierce mengembangkan teori
segi tiga makna (triangle meaning) yang terdiri atas tanda (sign) objek (object) dan
interpretan (interpretant). Menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata.
Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah

8 http://kbbi.web.id/humor diakses pada 16 April 2017 pukul 22: 11 WIB

21 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda
(Sobur, 2006: 114-115).
Charles Sanders Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index indeks), dan
symbol (simbol). Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang
bersifat kemiripan, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, dan simbol adalah tanda yang
menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya (Sobur, 2006: 41-
42).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Makna Ikon, Indeks, dan Simbol Pada Postingan Instagram Ridwan Kamil
Periode 18-26 Februari 2017

1. 18 Februari 2017

Visualisasi: Ikon, berupa gambar


Ridwan Kamil, Aa Gym, dan
mempelai pria yang duduk
berbarengan dengan dalam ruangan
yang didalamnya terdapat beberapa
saksi pernikahan yang turut serta
meramaikan jalannya proses akad.
Ridwan Kamil menggunakan peci
berwarna hitam, jas, dan dasi. Aa
Gym menggunakan sorban putih, dan
si mempelai pria menggunakan baju
gamis serba putih, dengan peci
berwarna putih.
Pada gambar tersebut juga
terdapat sebuah vas bunga di atas
meja akad yang ditutupi oleh kain
berwarna putih.
Pengambilan gambar: Full short
merupakan teknik pengambilan
gambar objek secara seluruh badan
dengan aktivitas yang dilakukan
objek.

22 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Indeks Meja akad adalah tanda dari prosesi akad
pernikahan. Baju koko serba putih adalah
tanda dari kesucian dan kebersihan, peci
merupakan tanda keislaman pada muslim
di Indonesia, jas dan pakaian formal
menandakan bahwa seseorang memiliki
status sosial yang tinggi serta
menunjukkan kedewasaan. Sorban
menandakan seorang alim ulama atau ahli
di bidang agama.Vas bunga menandakan
suatu hiasan yang memperindah suasana.
Ridwan Kamil menyindir melalui guyonan
“btw walau perih seperti luka kena cuka,
coba jawab, kamu kapan? Merupakan
bentuk sindiran kepada siapapun untuk
segera menggenapkan sebagian
agamanya melalui pernikahan.
Simbol Dari ikon dan ucapan verbal di postingan
instagram tersebut terkandung pesan
simbolik bahwa Ridwan Kamil merupakan
sosok pemimpin yang memandang
pernikahan sebagai suatu jalan kebaikan,
yang harus disegerakan apabila
seseorang telah mampu untuk
melakukannya. Ridwan Kamil melalui
humornya ini menjadi sosok pemimpin
yang peduli terhadap nasib para jomblo
atau mereka yang belum menikah.
Khususnya bagi warga Bandung

23 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


2. 21 Februari 2017

Visualisasi: Ikon, pada gambar


tersebut terlihat Ridwan Kamil yang
menggunakan seragam Sat Pol PP
dengan kacamata hitam sedang
menjabat tangan seorang petugas
Sat Pol PP yang terlihat dari kedua
tangan mereka yang
menggambarkan semangat korsa
dan persatuan. Keduanya
tersenyum bahagia, dan dengan
percaya diri untuk berpose di
hadapan kamera. Di belakang
terdapat seorang anggota TNI yang
juga menghadap kamera sembari
menutup hidungnya. Di belakang
pun terdapat unit kendaraan.
Terlihat juga petugas Sat Pol PP
tersebut membawa tongkat di
tangan kirinya.
Pengambilan gambar: Medium
shot merupakan teknik
pengambilan gambar objek secara
setengah badan dengan aktivitas
yang dilakukan objek.

Indeks Seragam Sat Pol PP menunjukkan bahwa


Ridwan Kamil merupakan bagian dari
penegak ketertiban masyarakat, kaca mata
hitam menandakan bahwa Ridwan Kamil
merupakan sosok yang juga memperhatikan
penampilan, perwira berseragam hijau
menandakan sosok pembela tanah air.

24 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Ridwan Kamil menjelaskan dalam
captionnya, bahwa dari kecil dirinya ingin
sekali menjadi seorang komandan yang
memimpin pasukan, yang menandakan
bahwa sosok Ridwan Kamil, merupakan
sosok yang pemberani. Ia amat ingin sekali
membela tanah air Indonesia berarti ia amat
mencintai negaranya. Ia juga berharap
bahwa Indonesia akan menjadi negara yang
disegani di dunia, menandakan dirinya
bangga terhadap negaranya. Bahkan Wali
Kota Bandung ini menganggap bahwa dirinya
mirip dengan pemain drama korea
Descendent of The Sun yang berarti ia
percaya bahwa ia tampan. Humor “Dua
orang yang menghalangi saya inimah tidak
penting, itulah cerita saya, perwira
berseragam hijau yang ada di tengah.
Merdeka!
Simbol Dari ikon dan tanda verbal yang ada,
terkandung pesan simbolik dari positngan
tersebut bahwa seorang pemimpin harus
menciptakan ketertiban dan disegani oleh
masyarakat. Seorang pemimpin harus cinta
terhadap tanah airnya, menjadi sosok yang
berani, dan yang menjadi nilai tambah,
adalah pemimpin yang memiliki penampilan
menarik. Hal yang paling penting ialah ketika
seorang pemimpin harus rendah hati, ini
ditunjukkan melalui humor “Dua orang yang
menghalangi saya inimah tidak penting, itulah
cerita saya, perwira berseragam hijau yang
ada di tengah. Merdeka!. Ternyata, Ridwan
Kamil berusaha membalikan framing yang
ada pada dirinya kepada orang lain. Inilah
wujud kerendahan hati yang ada.

25 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


3. 22 Februari 2017

Visualisasi: Ikon, pada gambar


tersebut terlihat Ridwan Kamil beserta
istrinya yang menggunakan pakaian
formal di dalam suatu ruangan yang
megah berpose mesra, Ridwan Kamil
menggunakan jas, dasi, dan peci.
Sedangkan istrinya menggunakan
pakaian muslim batik yang modis, di
mana terdapat motif mega mendung di
dalamnya dan juga sembari
mengenakan kalung yang fashionable.
Vas bunga yang begitu besar nampak
menghiasi ruangan yang menimbulkan
kesan megah.
Pengambilan gambar: Full shot
merupakan teknik pengambilan gambar
objek secara keseluruhan badan
dengan aktivitas yang dilakukan objek.

Indeks Suasana sepasang suami istri yang rukun


terpancar di dalam gambar ini. Jas dan dasi
yang dikenakan oleh Ridwan Kamil
menandakan bahwa dirinya mampu menjadi
sosok pemimpin yang gagah. Pakaian batik
bermotif mega mendung menandakan bahwa
istri Ridwan Kamil sosok yang mencintai
kebudayaannya dalam berpakaian.
Dipadupadankan dengan beragam aksesoris
tambahan yang dapat mempercantik diri.
Fokus dari postingan yang dibuat oleh Ridwan
Kamil ini adalah mengenai sosok sang istri
yang berusaha untuk terlihat cantik. Sisi
humor terpancar melalui kata-kata “setelah

26 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


dandan lama, akhirnya keluar dengan baju
warna, HIJAU” didukung dengan hastag #Oh
Wanita. #OngkohNanya
#SenyumkuPenuhMakna
Simbol Dari ikon dan tanda yang ada menunjukkan
bahwa Ridwan Kamil merasa heran dengan
sikap wanita yang cenderung impulsif dalam
mengambil keputusan. Sosok istrinya ini
terkesan plin-plan, bahkan apa yang
ditanyakan berbeda dengan apa yang
diputuskan. Namun, rasa heran itu dikemas
melalui guyonan agar dapat menarik
followersnya untuk memberikan komentar.

26 Februari 2017

Visualisasi: Ikon pada visualisasi ini


berupa Ridwan Kamil bernyanyi
bersama seorang nenek yang
mengenakan daster berwarna hijau,
ditemani oleh sang istri. Ridwan Kamil
nampak terlihat santai dan nenek
tersebut bersemangat untuk
melantunkan lagu sampai menunjuk ke
arah penonton yang ada di sana. Sang
istri pun ikut terhibur dengan aksi
nenek tersebut. Di suasana malam hari
yang gemerlap, dan terdapat juga
banyak penonton yang hadir sembari
mendokumentasikan momen tersebut.
Pengambilan gambar: Medium shot
pada jarak ini memperlihatkan tubuh
manusia dari pinggang ke atas. Gestur
serta ekspresi wajah mulai tampak.
Terlihat ekspresi semangat dari
seorang nenek dan wajah yang begitu
menghayati lagi dari sosok Ridwan
Kamil.

Indeks Ekspresi sang nenek yang menunjuk ke arah


penonton merupakan tanda semangat dalam
melantunkan lagu yang penuh ekspresi. Hal ini
menandakan bahwa meskipun umur sudah
tidak lagi muda, tapi bukan berarti kita dapat
kehilangan semangat hidup. Caption yang
ditunjukkan Ridwan Kamil bernada humor ini
saat beliau mengatakan “Kalo (nenek) sudah

27 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


nunjuk2 kamu sebagai calon terindahnya, kelar
hidup lo”
Simbol Dari ikon dan tanda menunjukkan bahwa
Nenek tersebut memiliki semangat yang tinggi,
ditambah lagi dengan guyonan Ridwan Kamil
yang menandakan jika si nenek telah memilih
satu orang di antara penonton yang akan
mendampingi hidupnya. Hal ini tentunya
mengundang reaksi yang beragam dan dapat
menjadi sindiran bagi para lelaki yang nantinya
menjadi pasangan seorang wanita yang lebih
tua dari dirinya.

PENUTUP
Ridwan Kamil seringkali memposting hal-hal lucu di akun instagramnya yang dapat
mengundang reaksi followers, baik yang berkenaan dengan kegiatan politik maupun
kegiatan pribadinya. Banyak hal-hal yang dapat mengundang gelak tawa di antaranya
adalah beberapa postingan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini tentunya dapat
memunculkan kesan bahwa sosok Ridwan Kamil adalah sosok yang humoris,
meskipun sebagai seorang birokrat, ia tidak sungkan untuk membangun hubungan
yang baik dengan warga-warganya, di antaranya melalui media sosial yang hits
seperti instagram. Kesan yang muncul melalui beberapa postingan instagram yang
telah dianalisis melalui analisis semiotik Pierce ini menunjukkan bahwa citra Ridwan
Kamil sebagai pemimpin adalah citra seorang pemimpin yang humoris. Ridwan Kamil
merupakan sosok pemimpin cerdas yang mampu menciptakan caption yang dapat
menimbulkan reaksi melalui celotehan-celotehan humornya.

DAFTAR PUSTAKA:
Amalia, Nur. (2015). Citra Kepemimpinan Ridwan Kamil Sebagai Wali Kota Bandung.
Prosiding Penelitian SPeSIA. Bandung: Universitas Islam Bandung.
Munandar, Harris dan Maman Suherman (2016). Aktivitas Komunikasi Pemerintahan
Ridwan Kamil di Media Sosial. Prosiding Hubungan Masyarakat. Volume 2,
No.1, Tahun 2016.
Moleong, Lexy.J. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya
Sobur, Alex. (2006). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotika, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Wahjosumidjo. (1984). Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia

28 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Website:
Admin. Indonesia Internet Users dalam http://www.internetlivestats.com/internet-
users/indonesia/, diakses pada 12 Februari 2017, pukul 17: 55 WIB
http://kbbi.web.id/humor diakses pada 16 April 2017 pukul 22: 11 WIB
Mailanto, Arsan. Pengguna Instagram di Indonesia Terbanyak Mencapai 89%, dalam
http://techno.okezone.com/read/2016/01/14/207/1288332/pengguna-
instagram-di-indonesia-terbanyak-mencapai-89. Diakses pada 11 Februari
2017, pukul 19: 27 WIB

29 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


KEPEMIMPINAN BERBASIS BUDAYA POLITIK BANGSA
Junardi Harahap9

ABSTRAK
Kepemimpinan merupakan bagian penting dan akan beraroma kepada hasil yang
membawa dampak kepemimpinan yang membawa untuk kemakmuran bagi
masyarakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang
diyakininya. Kepemimpinan membawa arah kepada kebijakan-kebijakan yang akan
dilakukan oleh seorang pemimpin. Kemimpinan yang tidak berhasil biasanya tidak
memahami karakter dan budaya bangsa yang berkembang di dalam
kepemimpinannya. Kepemimpinan yang telah berhasil sejak lama dan telah terbukti
keberhasilannya adalah kepemimpinan berbasis budaya yang terbukti sukses dan
membawa nusantara disegani pada masanya dahulu. Pertanyaan ini yang
menggelitik dan menjadi landasan fikir dari artikel ini, bahwa sejauh mana uraian
kepemimpinan yang membawa keberhasilan di dalam kepemimpinan yang dilakukan
kepemimpinan yang bagaimanakah. Hasil dan pembahasan menyatakan bahwa
kepemimpinan berbasis kepada budaya politik bangsa adalah jawaban untuk
keberhasilan sebuah kepemimpinan bangsa di nusantara, karena telah nyata bahwa
selama beratus tahun kepemimpinan telah membawa kepada kemakmiran bangsa.
Hal ini berakhir setelah terjadi penjajahan di nusantara yang membawa banyak
kehancuran dan kebinasaan bangsa. Namun, terlepas dari beralihnya sistem
demokrasi yang ada di nusantara nilai-nilai budaya lokal harus tetap dipertahankan
menuju kepemimpinan yang diidam-idamkan.
Kata kunci: kepemimpinan, budaya politik, kearifan lokal dan kesejahteraan

PENDAHULUAN
Perjuangan-perjuangan dalam ranah budaya yang tentu memerlukan sebuah
kepastian di dalam melakukan perjuangan yang panjang dalam ranah kepemimpinan
yang berbasis budaya. Panjangnya perjuangan ditentukan oleh sebuah tujuan yang
menjadi sasaran dari perjuangan tersebut pula. Bangsa kita adalah bangsa pejuang
yang telah mengalami panjangnya perjuangan yang besar dan menyeluruh dari
bagian penting dari fenomena global tersebut. Selain daripada itu banyak sekali
kearifan lokal dari bangsa ini, yang harus tetap dijaga kelangsungannya dengan baik
dari berbagai orang-orang yang melakukan kerusakan di dalam bangsa ini. Kearifan
lokal bangsa telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan harus dipastikan tetap tetap
lestari sampai kapanpun juga untuk membawa dan menjadikan anak-anak bangsa
tetap merasakan mempunyai peradaban dan juga mempunyai kearifan lokal dari
bangsa ini. Dan perjuangan panjang itu mestilah terus diperjuangkan sampai
kapanpun adanya dan membawa kepada banyak keadaan yang baik dari bangsa ini.

9 Departemen Antropologi Universitas Padjadjaran / junardiharahap@gmail.com

30 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Bangsa yang besar pula haruslah menjadikan setiap langkah yang dibawa
harus menjadi hal penting yang harus didapat dan membawa pencerahan bagi
bangsa tersebut. Yang mau tidak mau harus sesuai dengan keadaan yang dilakukan
olehnya dan tentunya pula harus ssuai dengan keadaan yang dituju dari masalah
yang ada tersebut. Keadaan sebenarnya yang harus dipahami dengan sebenar-
benarnya yang membawa kepada perubahan dalam cara berfikir untuk kesejahteraan
yang dicapai secara menyeluruh dan sesuai dengan keinginan yang dituju.

TINJAUAN PUSTAKA
Messner (1999:1093), berbicara mengenai keterkaitan antara kepemimpinan
dengan budaya yang ada di dalam masyarakat. Dull (2010:857) yang mencoba
mendeskripsikan secara bersama pengalaman dan gagasan ilmiah yang
dipraktekkan mengenai budaya dan juga kepemimpinan lokal yang ada. Heck
(1998:51) pada masyarakat kota dan juga masyarakat desa memiliki kebijakan dan
juga kekuatan di dalam kepemimpinan yang dimilikinya. Abbasi & Miandashti
(2013:505), kepemimpinan di dalam sebuah organisasi budaya dan organisasi yang
akan mengoptimalkan budaya dan kepemimpinan. Hartmann & Khademian
(2010:945) terjadinya perubahan di dalam kepemimpinan masyarakat yang
membawa kepada banyaknya budaya dan perubahan kepemimpinan.

PEMBAHASAN
Budaya yang besar akan tumbuh dengan baik bila budaya tersebut dipupuk
dan sebenar dari berbagai masalah yang timbul dari ketidaktahuan akan arti penting
budaya bagi masyarakat setempat dan juga bangsa yang sedang membawa kepada
pembangunan yang ingin dicapainya. Pencapaian dari sebuah budaya adalah
sebuah pencapaian puncak yang di dapati oleh sebuah bangsa yang baik, dan tentu
pula hal itu akan membawa daftar panjang dari perjalanan yang dituju dari sebuah
budaya bangsa.
Budaya sebagai panglima di dalam menghadapi dan membawa sebuah
perubahan yang diinginkan sebagai sebuah patokan dalam berpijak dan bertindak di
dalam sebuah kekuatan yang melandasi di dalam pemikiran bersama akan
pentingnya sebuah budaya bangsa. Membawa kepada perubahan yang cukup besar
di dalam kehidupan berbangsa yang cukup besar di dalam kehidupan berbangsa
yang besar. Kehidupan yang dilalui dengan berbagai macam hal yang menyangkut
hubungan yang baik.

31 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Salah satu bentuk dari budaya yang harus dipahami dengan benar pula
bahwa bahwa kita mempunyai keragaman yang sebenarnya dapat menjadi alat
pemersatu bangsa yang kuat. Artinya perbedaan yang ada seharusnya membawa
kebaikan bangsa yang besar ini dan membawa perubahan yang baik dalam bangsa
kita yang majemuk ini dan membawa kepada berbagai hal yang mengarah kepada
kebaikan bangsa yang besar. Yang nyatanya dengan berbagai hal yang ada dalam
keragaman yang ada di bangsa kita dapat dijadikan sebagai sebuah kekuatan bangsa
yang besar demi tercapainya cita-cita yang ingin dicapai oleh bangsa besar tersebut.
Bangsa yang besar akan menjadi besar bila berpegang kepada budaya yang
melingkupinya dan tidak meninggalkan budaya tersebut.
Bangsa yang besar juga sebenarnya harus memahami benar falsafah dari
keragaman budaya yang dimilikinya dan menjadikannya sebagai budaya bangsa dari
berbagai keragaman yang ada tersebut dan membawa kepada banyak hal yang
membawa kepada dampak keragaman yang ada di dalam bangsa yang besar
tersebut. Bangsa yang besar tentu mempunyai kaedah-kaedah yang berkaitan
dengan optimalisasi dari berbagai budaya yang ada yang harus diperhatikan dalam
keragaman yang ada di dalam bangsa kita yang beradab sesuai dengan bangsa
dengan peradaban yang sebenarnya membawa kepada keragaman yang ada.
Keragaman yang ada dalam bangsa kita dapat dijadikan sebuah kekuatan
dari bangsa untuk menjadikan bangsa sebagai keragaman yang ada dalam
masyarakat kita. Masyarakat yang beradab tentunya adalah masyarakat yang harus
memegang berbagai kekuatan dan keragaman bangsa yang ada sesuai dengan
keinginan yang dicapai oleh bangsa tersebut. Keragaman adalah hal yang mutlak
dijadikan patokan di dalam kehidupan yang ada dan membawa berbagai hal yang
menyangkut berbagai keadaan yang ingin capai oleh keadaan tersebut. Keragaman
adalah sebuah hal yang penting dalam kondisi yang ada di dalam masyarakat yang
membawa kepada kedamaian dan perubahan di dalamnya. Keragaman yang ada
mesti dipelihara dengan baik sehingga menghasilkan hasil yang diharapkan sesuai
dengan keinginan yang dicapai dan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan.
Seperti mana halnya dengan berbagai hal yang diinginkan oleh banyak hal dan
membawa kepada kebahagian bagi orang-orang membawa kesadaran di dalamnya.
Artinya keragaman yang ada tersebut membawa kepada kebaikan dan memang telah
menjadi fitrah manusia dengan adanya keragaman yang pada masyarakat yang ada.
Keragaman yang ada harus tetap dipertahankan sesuai dengan kaidah yang
ada di masyarakat kita dan membawa kepada kebaikan bagi kita dan masyarakat

32 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


bersama untuk membawa bangsa yang beradab sesuai dengan cita-cita yang
diinginkan bersama. Tentu hal ini yang ingin dicapai untuk perubahan yang lebih baik.
Keragaman yang ada di dalam bangsa Indonesia telah nyata membawa
kemaslahatan bagi bangsa dan tentunya sangat berpengaruh terhadap berbagai hal
yang menyangkut kesejahteraan orang banyak yang ada di masyarakat kita.
Solusi persoalan bangsa sebenarnya terletak dari sejauh mana sebuah
bangsa dapat memperkuat dan memperkenalkan budayanya sendiri dengan baik dan
melakukan banyak hal sesuai dengan kaedah budaya yang mereka miliki bersama.
Bangsa yang besar tentunya harus faham akan arti penting dari hal ini dan
membawanya. Solusi dari berbagai persoalan yang ada terdapat pada hal yang
menyangkut dan berhubungan dengan keragaman yang dimiliki oleh bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjadikan berbagai kepentingan
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa yang beradab dan membawa
kemaslahatan bagi bangsa. Keragaman yang ada di dalam bangsa kita dapat
dijadikan sebagai sumber kebaikan bagai bangsa kita dan membawa kepada
perubahan yang akan dirasakan oleh banyak bangsa salah satunya yaitu bagi bangsa
Indonesia.

KESIMPULAN
Kepemimpinan sebenarnya memberikan berbagai kepastian di dalam
kepemimpinan yang telah menjadi bagian penting di dalam kebudayaan yang telah
berlangsung sangat lama dalam bangsa Indonesia. Nusantara pada masa lalu telah
memberikan kepemimpinan dalam budaya lokal yang telah berhasil membawa
pembangunan yang mumpuni di nusantara yang tidak bisa digantikan dengan
falsafah budaya lokal pada masyarakat bangsa. Telah nyata bahwa kepemimpinan
pada masa lalu telah berhasil membawa nusantara menjadi negara yang kuat
menjadi unggulan pada luar negaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Abbasi, E. & Miandashti, N.Z. (2013). The role of transformational leadership,
organizational culture and organizational learning in improving the
performance of Iranian agricultural faculties. Higher Education, Vol. 66, No. 4
(October 2013), pp. 505-519 Published by: Springer. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/43648504.

33 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Dull, M. (2010). Leadership and Organizational Culture: Sustaining Dialogue between
Practitioners and Scholars. Source: Public Administration Review, Vol. 70, No.
6 (November December 2010), pp. 857- 866. Published by: Wiley on behalf of
the American Society for Public Administration. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/40927102.
Heck, R.H. (1998).Conceptual and Methodological Issues in Investigating Principal
Leadership across Cultures. Source: Peabody Journal of Education, Vol. 73,
No. 2, Leading Schools in a Global Era: A Cultural Perspective (1998), pp. 51-
80. Published by: Taylor & Francis, Ltd. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/1493015.
Hartmann, J. & Khademian, A.M. (2010). Culture Change Refined and Revitalized:
The Road Show and Guides for Pragmatic Action. Source: Public
Administration Review, Vol. 70, No. 6 (November|December 2010), pp. 845-
856. Published by: Wiley on behalf of the American Society for Public
Administration Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40927101.
Messner, A. (1999). Land, Leadership, Culture, and Emigration: Some Problems in
Chartist Historiography. Source: The Historical Journal, Vol. 42, No. 4 (Dec.,
1999), pp. 1093-1109. Published by: Cambridge University Press Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3020938.

34 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


PENGARUH SPIRITUALITAS REOG PONOROGO
BAGI KEPEMIMPINAN CAMAT PONOROGO
DI KABUPATEN PONOROGO

Muhadam Labolo10 dan Muhammad Riqqo Khadafi11

Abstrak
Indonesia adalah negara berbentuk kesatuan yang terdiri dari 17.504 pulau
dan terdiri dari banyak suku bangsa. Hal ini yang membuat Indonesia memiliki
kebudayaan yang beraneka ragam. Keanekaragaman budaya ini salah satunya yaitu
keanekaragaman seni tradisi. Secara umum, seni tradisi yang dimiliki kelompok etnik
di Nusantara tidak dapat lepas dari konteks ritualitas dan sakralitas salah satunya
yaitu seni tradisi Reog Ponorogo. Seni tradisi Reog Ponorogo yang telah mendarah-
daging di kalangan masyarakat Ponorogo mempunyai nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Nilai spiritualitas tersebut mampu mempengaruhi kepemimpinan
seseorang seperti kata pepatah “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang,”
maka demikian pula pengaruh budaya terhadap corak dan gaya kepemimpinannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh
spiritualitas Reog Ponorogo terhadap kepemimpinan Camat Ponorogo di Kabupaten
Ponorogo. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan etnograf serta pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan
deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa spiritualitas Reog
Ponorogo mampu mempengaruhi kepemimpinan Camat sesuai dengan muatan
yang terkandung dalam catatan historys dan jalan ceritanya. Hasil penelitian
menggambarkan pengaruh terhadap perilaku Camat yang cenderung lebih
demokratis, mengutamakan musyawarah mufakat, membangun persatuan dan
kesatuan dalam mencapai tujuan, serta kemampuan menyelesaikan konflik. Manfaat
penlitian ini dapat dipakai sebagai informasi dalam usaha mengambil nilai-nilai positif
yang terkandung pada setiap kebudayaan, dimana Camat memiliki sikap
tenggangrasa yang luas pada masyarakat. Harapan lebih jauh keberhasilan Camat
Ponoroogo menerapkan nilai-nilai spiritualitas yang ada pada budaya Reog Ponorgo
mampu menjadi contoh bagi pemimpin lainnya guna menyerap dan menerapkan nilai-
nilai yang ada pada budaya di daerah masing-masing.
Kata Kunci : reog ponorogo, spiritualitas, kepemimpinan

ABSTRACT
Indonesia is a country shaped unity consisting of 17,504 island and consist of
many tribes. This makes Indonesia has a rich culture. Cultural diversity is one of them
art tradition of diversity. In general, the artistic traditions thet belong to ethnic groups
in Indonesia can not be separated from the context of the rituallity and holiness one
of them, namely the arts traditions of Reog Ponorogo. Reog Ponorogo artistics
traditions thet had been habitude among the public, Ponorogo have values contained
with it. The value of the spirituality capable of affecting a person’s leadership as the
saying goes “other pool other fish too, other fields other locusts too,” then so are
cultural influence againts the pattern and style of leadership.

10 Institut Pemerintahan Dalam Negeri / muhadamlabolo@gmail.com


11 Institut Pemerintahan Dalam Negeri / muhammadriqqo@gmail.com

35 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


This research aims to analyze and find out the influence of Reog Ponorogo
spirituality to leadership in Ponorogo subdistrict head. In this study, the author using
qulitative method with approach of etnographer and collection of data is done in a
systematic and descriptive.
Based on the research results obtained the image of that spirituality of Reog
Ponorogo is able to influence the leadership of the head according to the charge
contained in the notes and the plot historys. Study results describe the effect on the
behavior of the head which tend to be more democratic, to giving priority for
discussion consensus, building unity and integrity in accomplishing the goals, as well
as the ability to resolve conflict. The benefits of these studies can be used as
information in an attempt to take positive values contained in every culture, where the
head has abroad tolerant attitude in society. Hopes of the ruther Ponorogo subdistrict
head implemet values of spirituality in the culture of Reog Ponorogo able to become
an example other leaders to absorb and apply the values thet exist the culture in their
respective areas.
Keywords : reog ponorogo, spirituality, leadership

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara berbentuk kesatuan yang terdiri dari 17.504 pulau
dan terdiri dari banyak suku bangsa. Indonesia juga merupakan salah satu negara
dengan keanekaragaman suku bangsa terbesar di dunia. Tidak kurang dari 400
kelompok etnis yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap etnis/suku bangsa memiliki
keunikan kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman budaya atau cultural
diversity di nusantara merupakan sesuatu yang nyata dan tidak dapat dipungkiri
merupakan ciri khas dari Indonesia. Keanekaragaman budaya ini tidak terlepas dari
keadaan sosial kutural yang berkaitan erat dengan ras dan suku bangsa di Indonesia.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya, Indonesia dapat dikatakan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai
potret kebudayaan yang lengkap, bervariasi dan istimewa. Kemudian tak kalah
pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai
jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu.
Semboyan Bhineka tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua
merupakan dasar bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk dan beraneka
ragam.
Keanekaragaman budaya ini salah satunya yaitu keanekaragaman seni
tradisi. Secara umum, seni tradisi yang dimiliki kelompok etnik di nusantara tidak
dapat dilepaskan dari konteks ritualitas dan sakralitas salah satunya di Kabupaten
yang terletak di sisi tenggara Provinsi Jawa Timur yaitu seni tradisi Reog Ponorogo.
Seni tradisi Reog Ponorogo merupakan bentuk kesenian rakyat yang dapat

36 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


ditampilkan ke dalam dua versi. Pertama, ditampilkan pada saat festival Reog yang
diselenggarakan oleh Kabupaten Ponorogo dengan jalan cerita menggambarkan
tentang bagaimana perjalanan rombongan prajurit Ponorogo yang akan melamar
putri dari kerajaan Kediri. Kedua, ditampilkan untuk keperluan adat dan tradisi desa
maupun perorangan dengan cerita pementasan sesuai dengan permintaan pemilik
hajatan atau acara. Permintaan pertunjukkan Reog Ponorogo banyak diminati untuk
keperluan seni pertunjukkan hiburan dan wisata budaya.
Seni tradisi Reog Ponorogo yang telah mendarah-daging di kalangan
masyarakat Ponorogo sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Negara
Malaysia mengklaim dan mengakui bahwa Reog Ponorogo merupakan salah satu
budaya asli mereka dan menjadi warisan budaya mereka. Klaim yang dilakukan
Malaysia menimbulkan banyak protes dan penentangan dari masyarkat Indonesia
secara umum dan khususnya masyarakat Ponorogo. Hal ini seharusnya menjadi
pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia untuk melestarikan keanekaragaman
budayanya. Permasalahan tidak berhenti atas pengakuan yang dilakukan oleh
Malaysia, terdapat permalahan yang jauh lebih besar yakni badai globalisasi.
Pertemuan-pertemuan seni tradisi Reog Ponorogo dengan kebudayaan luar dapat
mempengaruhi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga dituntut untuk
memahami, menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Camat yang
merupakan pemimpin di wilayah kecamatan diharapkan dapat menjadi panutan
dalam menjaga keanekaragaman budaya di Indonesiadan Camat dapat menjadi
solusi dari permasalahan tersebut. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian
tentang kemampuan Camat untuk menyerap dan menerapkan nilai-nilai yang
terdapat di dalam seni tradisi Reog Ponorogo.

RUMUSAN MASALAH
Dengan latar belakang yang penulis utarakan dan atas dasar kerangka
pemikiran tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah nilai-nilai spiritualitas dari Reog Ponorogo dapat mempengaruhi
kepemimpinan Camat di kecamatan Ponorogo?
Bagaimana hasil penerapan nilai-nilai yang terkandung pada Reog Ponorogo
terhadap kepemimpinan Camat di kecamatan Ponorogo?

37 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


MAKSUD
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian dimaksudkan untuk
mengungkapkan pengaruh spiritualitas Reog Ponorogo terhadap corak, perilaku dan
gaya kepemimpinan Camat di kecamatan Ponorogo.

TUJUAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh
spiritualitas seni tradisi Reog Ponorogo terhadap kepemimpinan Camat Ponorogo di
Kabupaten Ponorogo.

KEGUNAAN PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis: untuk mengetahui pengaruh seni tradisi Reog Ponorogo
terhadap gaya kepemimpinan Camat di kecamatan Ponorogo serta
memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu sosial dan dapat dijadikan
bahan tambahan dan informasi bagi ilmu yang di pelajari.
2. Manfaat Praktis: sebagai bahan masukan, informasi dan bahan untuk
mengevaluasi diri tentang gaya kepemimpinan Camat serta memperbaiki
ataupun mengatasi kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi, serta juga
dapat sebagai informasi dalam usaha mengambil nilai-nilai positif yang
terkandung pada setiap kebudayaan.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori dan Konsep
Setiap penelitian yang menggunakan metode ilmiah, diperlukan adanya teori
untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natural yang
ingin diteliti. Oleh sebab itu sebelum masuk dalam konsep yang berhubungan dengan
penulisan, maka penulis akan mengemukakan beberapa teori yang dijadikan bahan
acuan.

Reog Ponorogo
Reog merupakan seni tradisi yang berbentuk pertunjukan masyarakat Jawa
yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi tari, drama dan musik.
Pertunjukan seni tradisi Reog disajikan dalam bentuk sendratari, yaitu suatu tarian
dramatik yang tidak berdialog dan diharapkan gerakan-gerakan tarian tersebut sudah
cukup untuk mewakili isi dan tema dari tarian tersebut (Supartha, 1982:38). Reog

38 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


awalnya bernama barongan, seni tradisi ini di bawa oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam
yang berasal dari Bali. Oleh karena itu Reog Ponorogo hampir mirip dengan seni
tradisi dari Bali yang bernama barong. Pada awalnya kata Reog adalah Reyog,
namun, saat ini telah diganti menjadi Reog yang disahkan oleh Markum Singodimejo
(Bupati Ponorogo pada saat itu) atas dasar kepentingan pariwisata, dan pemakaian
bahasa Indonesia yang baku pada tahun 1994-2004.
Unsur-unsur pementasan tokoh yang ditampilkan di dalam seni tradisi Reog
yakni Warok, Jathilan, Pujangga Anom, Klana Sewandono, dan Pembarong. Warok
merupakan salah satu unsur Tarian dalam Reog. Menurut salah satu riwayat kisah
Reog, Warok berasal dari bahasa Arab, Wara’a yang artinya orang yang melakukan
hal-hal mistis. Dalam pentas, sosok Warok muda digambarkan sebagai punggawa
Raja Klanasewandono yang tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan. Sementara
Warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas Warok muda.

Spiritualitas
Pengertian Spiritualitas
Menurut Aman (2013:20), spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang
berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi
yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan
sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara. Didalamnya mungkin terdapat
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama, tetapi memiliki
penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan ekspresi dari
kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi
dalam pandangan hidup seseorang dan lebih daripada hal yang bersifat inderawi.
Ahli lain menyebutkan definisi lain terkait spiritualitas, yakni spiritualitas
merupakan pencarian terhadap sesuatu yang bermakna (a search of the sacred).
(Synder dan Lopez, 2005)
Sedangkan, menurut Wigglesworth, spiritualitas memiliki dua komponen yaitu vertikal
dan horizontal:
1. Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu,
sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan
untuk berhubungan dengan dan diberipetunjuk oleh sumber ini.
2. Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet
secara keseluruhan.

39 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Secara eksplisit, piedmont memandang spiritualitas sebagai rangkaian
karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosinal umum yang
mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. (Piedmont,
2001 :7)
Spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yyang relevan
secara eksensial untuk manusia. Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah
hidup itu berharga, namun juga fokus pada mengapa hidup berharga.

Kecerdasan Spiritual
Ginanjar (2007) menyatakan bahwa spiritual quotient adalah penjabaran dari
gerakan thawaf spiritual yang menjelaskan tentang bagaimana meletakkan aktifitas
manusia, agar mampu mengikuti pola-pola atau etika alam semesta. Sehingga
manusia dapat hidup di dunia dengan penuh makna, serta memiliki perasaan nyaman
dan aman, tidak terlanggar atau tidak bertentangan dengan azas-azas SBO (Spiritual
Based Organization) yang sudah baku dan pasti.
Sementara itu, oleh Zohar dan Marshall (2007) kecerdasan spiritual diartikan
sebagai kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri yang berhubungan
dengan kearifan di luar ego atau jiwa kesadaran. Sebagai kecerdasan yang
senantiasa dipergunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada,
melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan.
Jadi seseorang menghadapi persoalan makna atau nilai (value) guna menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks yang lebih luas. Kecerdasan spiritual lebih
berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang mempunyai SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa,
masalah bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif
itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang
positif.

Kepemimpinan
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan tumbuh secara alami diantara orang-orang yang dihimpun
untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kelompok atau organisasi. Beberapa dari
anggota kelompok akan memimpin, sedangkan sebagian besar anggota kelompok
akan mengikutinya. Kebanyakan orang menginginkan seseorang untuk menentukan
hal-hal yang perlu dikerjakan dan cara mengerjakannya, diberi motivasi dan

40 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


bimbingan dalam melaksanakan kegiatannya tidak mau mengerjakan apabila tidak
ada yang memimpinnya.
Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mempengaruhi aktivitas
seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam
esensinya, kepemimpinan merupakan upaya pencapaian tujuan dengan dan melalui
orang-orang. Ada beberapa definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan
beberapa ahli, diantaranya sebagai berikut :
Menurut Hasibuan (2007 :170) Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
orang lain untuk memahami dan setuju tentang apa yang akan dikerjakan dan
bagaimana tugas tersebut dapat dilakukan secara efektif, dan proses memfasilitasi
usaha individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Kaloh (2003 :10) mengemukakan dalam tiga pengertian, sebagai berikut:
1. Kepemimpinan adalah sesuatu yang semestinya melekat pada diri seorang
pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu: kepribadian (personality),
kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability).
2. Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang terkait
dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
3. Kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi antar pemimpin,
bawahan dan situasi.
Sedangkan menurut Yukl menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai
proses mempengaruhi, yang mempengaruhi interprestasi mengenai pristiwa-
peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari saran-saran bagi kelompok atau birokrasi,
pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaran-sasaran
tersebut, motivasi dari para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan
hubungan kerja sama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerja sama dari
orang-orang berbeda diluar kelompok atau birokrasi.
Permasalahan yang terus berkembang dalam kepemimpinan adalah
mengenai gaya kepemimpinan, bagaimanakah gaya yang efektif untuk dapat
diterapkan oleh seorang pemimpin terhadap bawahannya, dengan kata lain apa yang
membuat seorang pemimpin untuk dapat menjadi sukses. Dalam hal ini beberapa
teori yang dikemukakan ahli manajemen mengenai gaya kepemimpinan terus
dilaksanakan. Pemimpin dalam suatu organisasi memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda-beda. Masing-masing gaya kepemimpinan dapat dipastikan mengakibatkan
dampak yang berbeda kepada para bawahan dan lingkungan disekitarnya. Namun,

41 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin adalah gaya kepemimpinan harus
dapat memajukan organisasi yang dipimpinnya, bukan sebaliknya.

Gaya Kepemimpinan
Pemimpin menurut Anoraga (1992) adalah seorang yang mempunyai
wewenang untuk memerintah orang lain, yang di dalam pekerjaannya untuk
mencapai tujuan organisasi memerlukan bantuan orang lain. Menurut Kartono (1998)
pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa
pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk
melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu.
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam
memimpin para pengikutnya. Perilaku para pemimpin ini secara singkat disebut
sebagai gaya kepemimpinan (leadership style). Menurut Sutanto & Stiawan (2000)
gaya kepemimpinan adalah sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam
menghadapi bawahan. Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara pemimpin untuk
mempengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau
kepribadian (Anonim, 2008).
Menurut Veithzal Rivai (2004: 42) dalam bukunya yang berjudul
“Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi”. Gaya kepemimpinan merupakan
sekumpulan ciri yang digunakan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan agar
sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan
adalah pola perilaku dan strategi yang dikuasi dan sering diterapkan oleh seorang
pemimpin. Menurut Miftah Thoha (2006: 49), dalam bukunya yang berjudul
“Kepemimpinan dalam Manajemen”. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku
yang diinginkan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain seperti yang ia lihat.

Camat dan kecamatan


Kecamatan dipimpin oleh seorang kepala kecamatan yang disebut Camat
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui
sekretaris Daerah. Kecamatan dibentuk dalam rangka meningkatkan koordinasi
penyelenggaraan pemerintahan artinya dengan adanya kecamatan, Camat sebagai
pimpinan tertinggi di Kecamatan harus dapat mengkoorkdinasikan semua urusan
pemerintahan di kecamatan, kemudian juga Camat harus memberikan pelayanan
publik di kecamatan dan juga pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

42 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Camat mempunyai tugas:
1. menyelenggaraan urusan pemerintahan umum
2. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat
3. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban
umum
4. mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada
5. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum
6. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan
oleh Perangkat Daerah di Kecamatan
7. membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa dan/atau
kelurahan
8. melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah
kabupaten/kota yang ada di Kecamatan
9. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Selain tugas tersebut diatas Camat juga mendapat pelimpahan wewenang sebagai
berikut:
1. Selain melaksanakan tugas seperti diatas, Camat mendapatkan pelimpahan
sebagian kewenangan bupati/wali kota untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
2. Pelimpahan kewenangan bupati/walikota dilakukan berdasarkan pemetaan
pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/atau
kebutuhan masyarakat pada Kecamatan yang bersangkutan.
3. Pelimpahan kewenangan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan
bupati/wali kota berpedoman pada peraturan pemerintah.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian diskriptif kualitatif dengan pendekatan
etnograf. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat menjelaskan,
menggambarkan, menganalisa dan menafsirkan unsur-unsur dari objek. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan informasi sebagai sumber memperoleh data.
Informasi diperoleh dari data emik, etik dan negosisasi serta literatur yang berkenaan
dengan objek. Data etik adalah Informasi yang diberikan secara langsung oleh para
partisipan/informan, data emik adalah Informasi berbentuk interpretasi peneliti yang

43 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


dibuat sesuai dengan perspektif para partisipan/informan sedangkan data negosiasi
adalah informasi yang disetujui bersama oleh para partisipan/informan dan peneliti
untuk digunakan dalam penelitian.
Pemilihan data didasarkan pada subjek dan objek yang banyak memiliki
informasi yang berkualitas sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dan
bersedia memberikan data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif dan sistematis serta berlangsung
secara terus menerus hingga lengkap dengan mendeskripsikan dan menjelaskan
data yang telah diperoleh, selanjutnya dijabarkan dalam bentuk penjelasan yang
sebenarnya. Kemudian penulis menggunakan versi milles dan huberman (2000:16)
yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
keseimpulan.

OBJEK
Menurut Suharsimi Arikunto (2006:118), objek penelitian adalah fenomena
atau masalah penelitian yang telah diabstraksi menjadi suatu konsep atau variabel.
Objek penelitian ditemukan melekat pada subyek penelitian. Dalam penelitian ini
yang akan dijadikan objek penelitian adalah pengaruh Reog Ponorogo terhadap
kepemimpinan Camat Ponorogo.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambara Umum Kecamatan Ponorogo
Ponorogo adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat
pemerintahan atau ibukota Kabupaten Ponorogo. Kecamatan Ponorogo dihuni oleh
94.354 penduduk. Secara bebas administratif Kecamatan Ponorogo meliputi :
Sebelah Utara : Kecamatan Babadan
Sebelah Selatan : Kecamatan Siman
Sebelah Barat : Kecamatan Sukorejo
Sebelah Timur : Kecamatan Siman

Luas kecamatan Ponorogo 22,31 Km² yang meliputi 19 kelurahan yaitu


Bangunsari, Banyudono, Beduri, Brotonegoaran, Cokromenggalan, Jingglong,
Kauman, Keniten, Kepatihan, Mangkujayan, Nologaten, Paju, Pakunden, Pinggirsari,
Purbosuman, Surodikraman, Tamanarum, Tambakbayan, Tonatan.

44 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Berdasarkan hasil penelitian Camat Ponorogo memiliki kecerdasan spiritual
yang tinggi. Kecerdasan spiritual tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap
gaya kepemimpinannya. Hal dapat dibuktikan bahwa dengan kecerdasan spiritualnya
Camat mampu mencari dan menyerap nilai-nilai spiritualitas yang ada pada Reog
Ponorogo, sehingga nilai-nilai tersebut mempengaruhi sikap perilaku dan gaya
kepemimpinannya.
Kemampuan bermusyawarah untuk mencapai mufakat
Camat cenderung mengutamakan musyawarah mufakat dan demokratis
dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan sikap dan perilaku
Camat yang selalu membicarakan dan menyelesaikan masalah secara bersama
sesuai dengan lingkup persoalan atau permasalahan yang ingin dibahas.
Musyawarah untuk menentukan keputusan yang hendak disepakati demi
kepentingan bersama dilakukan untuk menghindari kepentingan segelintir orang
saja. Kesepakatan yang telah diambil bukan lagi milik Camat atau milik perorangan
yang mengusulkan, melainkan menjadi milik bersama yang harus dilaksanakan
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Salah satu implementasi yang
dilakukan dalam menerapkan musyawarah mufakat adalah ketika persiapan
perayaan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 agustus-an) di
kecamatan Ponorogo. Penerapan musyawah mufakat yang dilakukan cenderung ke
arah demokrasi deliberatif (istilah modern), dimana camat mendengar aspirasi dan
keinginan masyrakat melalui perwakilannya. Setiap perwakilan mengusulkan
kegiatan yang diinginkan oleh masayrakatnya yang kemudian terjadi diskusi panjang
dengan argumentasi masing-masing. Setelah terjadi diskusi maka kegiatan yang
dianggap penting dan sekiranya dapat dilaksanakan akan dipilih dan dimasukkan
dalam rangkaian kegiatan. Perbedaan mencolok dari demokrasi lokal yang dilakukan
oleh camat dengan demokrasi deliberatif ala barat adalah kata mufakat, keberhasilan
camat dalam mengelola dan mengatur diskusi sehingga resistensi dan kekecewaan
dari peserta diskusi dapat diminimalkan dan berujung pada kata sepakat.
Nilai musyawarah dan mufakat ini tercermin dari tokoh yang terdapat dari seni
tradisi Reog Ponorogo yakni Warok dan Prabu Anom Klanasewandono, Warok yang
ditampilkan dalam sosok Warok tua dan Warok muda merupakan sebagai contoh
sosok pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan juga pengayom masyarakat serta
memperhatikan semua aspirasi dan keinginan masyarakat sehingga tujuan awal
menuju ke kerajaan kediri dari jenggala untuk melamar putri Kediri yang bernama
Dewi Songgolangit dapat terlaksana sesuai dengan rencana.

45 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Kemampuan persatuan dan kesatuan
Camat Ponorogo dapat membangun persatuan dan kesatuan dalam lingkup
lingkungannya. Kemauan keras yang dimilikinya dalam upaya membangun
kecamatan dilakukan dengan cara mempersatukan para aparat pemerintah yang
berada dilingkungan kecamatan. Upaya mempersatukan dan membangun kesatuan
para aparat pemerintah yang dilakukan camat agar terjadi sinkronisasi dalam
pemerintahan. Hal yang seringkali dilakukan adalah mengumpulkan semua Lurah
beserta aparat kecamatan untuk mempertemukan mereka dan berdiskusi perihal
permasalahan yang dihadapi dalam rangka memperkuat hubungan antar sesama.
Kemudian, gotong royong sering kali diterapkan dalam setiap acara selain untuk
membangun hubungan yang baik antara pemerintah kecamatan dan masyarakat di
lingkungan kecamatan yang berimbas juga terhadap penghematan anggaran. Dalam
pelaksanaannya, keinginan untuk adanya sinergitas dibawahan kepemimpinannya,
sehingga pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang diembannya mendapatkan
dukungan dari pemerintah kelurahan dan masyarakat di lingkungan kecamatan
Ponorogo.
Nilai persatuan dan kesatuan didapatkan Camat dari seni tradisi Reog
Ponorogo yang sesuai dengan jalan/alur cerita yang tergambarkan dalam adegan
iring-iringan seni pertunjukan Reog Ponorogo. Adegan iring-iringan menceritakan
bahwa seluruh tokoh yang ada atau masuk didalam cerita bersatu padu menuju
kerajaan kediri dan masing-masing tokoh menjalankan perannya secara sadar dan
konsisten.
Kemampuan menghindari dan menyelesaikan konflik
Camat Ponorogo memiliki kemampuan menghindari dan menyelesaikan
konflik dengan baik tanpa menciptakan konflik baru. Pemeliharaan hubungan antara
Camat dengan aparat pemerintah merupakan penunjang terciptanya hubungan yang
harmonis, sehingga terjalin kerjasama yang baik antara atasan dengan bawahan.
Sifat tidak membeda-bedakan antara aparat pemerintah yang satu dengan yang
lainnya membuat keharmonisan dilingkungan kantor kecamatan tetap terjaga.
Kegemaran untuk selalu berdiskusi dengan para aparat pemerintah membuat
hubungan menjadi nyaman yang kemudian secara tidak langsung dapat menghindari
konflik. Camat memiliki sikap angrasa wani yang artinya berani menghadapi
resiko,sikap ini juga diiringi dengan keberanian mengatasi konflik dengan konflik
tingkat tinggi sekalipun. Camat dapat menumbuhkan situasi yang mendorong para
aparat pemerintah melakukan penilaian atas diri sendiri yang mengarah kepada

46 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


terjadinya perubahan di masa yang akan datang, baik dalam hal persepsi maupun
sikap dan perilaku. Camat juga dapat mempengaruhi orang lain agar dapat
bekerjasama dengan baik untuk mencapai suatu perubahan. Kemudian, Camat
memiliki gaya penyelesaian konflik yang disesuaikan dengan perihal yang
dihadapinya. Namun, gaya obliging dan compromis lebih dominan dalam gaya
penyelesaian konflik yang dihadapinya. Kedua gaya penyelesaian konflik ini
merupakan gaya terbaik yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sesuai dengan
kepribadian Camat.
Hal ini sesuai dengan alur cerita dari seni pertunjukan Reog Ponorogo dimana
terdapatnya adegan perkelahian antara sesama Warok muda dan pertempuran
antara pasukan kerajaan Wengker dengan Singabarong yang keduanya merupakan
konflik besar. Kedua konflik ini dapat terselasaikan dengan baik tanpa munculnya
perkelahian yang lebih besar lagi, perihal ini terbukti dengan munculnya adegan iring-
iringan pasca perkelahian sebagai simbol bersatunya kembali pasukan yang bertikai
sebelumnnya.
Sikap tenggang rasa
Camat Ponorogo memiliki ilmu rasa yang amat diperlukan oleh seorang
pemimpin, ilmu rasa merupakan sebuah filosofi hidup yang halus sehingga Camat
mempu menyelami rasa yang dimiliki bawahan. Ilmu rasa yang tertanam dalam diri
camat tidak lain merupakan raos gersang yaitu rasa hidup, rasa untuk saling percaya
dan saling mengerti diantara atasan dan bawahan serta pemimpin dengan
masyarakatnya. Camat berusaha menciptakan suasana saling percaya dan
menghargai baik antara dirinya dengan para aparat pemerintah maupun dengan
masyarakat. Sikap saling percaya diwujudkan dengan keterbukaan keuangan kantor
yang terampang dalam bentuk papan pengumuman di depan kantor kecamatan.
Sikap saling percaya juga diwujudkan dengan job description yang telah
disepakati bersama dengan aparat pemerintah melaui musyawarah mufakat
sehingga timbul rasa dan sikap bersahabat. Camat menerapkan etika pemerintahan
dengan baik, Camat menyelesaikan masalah dengan cara yang bijaksana yakni
berpikir sebelum bertindak dan lebih baik diam daripada dapat membuat kegaduhan
yang lebih besar lagi. Namun bukan berarti tidak tegas, konsep ketegasan pada
dirinya bukan dengan cara marah-marah dan meluapkan semua emosi dan nafsunya
melainkan dengan cara memanggil dan menasehati secara langsung di dalam
ruangan sehingga dapat menjaga perasaan aparat pemerintah yang ditegur. Camat
juga memiliki sikap angrasa kleru lan bener tuh pener yang artinya camat memiliki

47 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


kepribadian baik yang mampu menyadari diri sendiri bila keliru atau salah dalam
berbuat. Sikap tenggang rasa ini juga menciptakan sikap dan perilaku dalam
melakasanakan pekerjaan tanpa paksaan, suka rela tanpa diperintah atau dalam
kepemimpinan eropa disebut dengan sense of participate voluntrarily defend. Sikap
yang sedemikian rupa membuat satu rentetan atau siklus pendek dengan kalimat
camat enak-aparat enak-masyarakat enak.
Hal ini terlihat dari penokohan dari masing-masing tokoh yang terdapat di
dalam seni pertunjukan ini. Pujanggong dan Prabu Anom Klanasewandono serta
Dhadak Merak memilik sikap tenggang rasa yang amat kuat terasa. Pujanggong
dapat menyelami kejiwaan dan kepribadian Prabu Anom Klanasewandono, sehingga
tidak membuat sang Raja Wengker marah besar dan bertindak kejam terhadapnya.
Kemudian Prabu Anom Klanasewandono memiliki sikap tenggang ras yang tinggi
terhadap Singabarong, hal ini sesuai dengan catatan historys dimana tidak
dibinasakannya Singabarong dan masih diberikan kesempatan untuk menjadi
pasukan di kerajaan.

KESIMPULAN
Kecerdasan emosional yang dimilki Camat berpengaruh terhadap
sikap,perilaku maupun gaya kepemimpinannya. Semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional seorang pemimpin maka kemampuan untuk menyerap dan mengambil
nilai-nilai yang terdapat pada suatu kebudayaan semakin baik pula. Camat memiliki
kecerdasan emosional yang sangat tinggi, dimana Camat mampu menyerap,
mengambil serta mengimplemantasikan nilai spiritualitas yang terdapat di seni tradisi
Reog Ponorogo. Hal ini dibuktikan dengan sikap Camat yang cenderung lebih
demokratis, mengutamakan musyawarah mufakat dalam setiap kegiatan ataupun
permasalahan, Camat dapat membangun persatuan dan kesatuan dalam mencapai
tujuan, Camat juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan dan menghindari
konflik, serta Camat memiliki sikap tenggang rasa antar aparat pemerintah maupun
masyarakat dilingkungannya.

REKOMENDASI
Menerima ataupun menolak nilai-nilai yang ada pada suatu kebudayaan
merupakan pilihan setiap individu. Namun, keberhasilan Camat Ponorogo dalam
usaha menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai spiritualitas dari seni tradisi
Reog Ponorogo diharapkan dapat dipertahankan serta dapat menjadi contoh bagi

48 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


aparat pemerintah yang berada di lingkungan kecamatan Ponorogo. Harapan lebih
jauh, Camat Ponorogo dapat menjadi contoh bagi para pemimpin lainnya guna
menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai yang ada pada budaya di daerah
masing-masing. Penerapan nilai-nilai spritualitas yang telah dilakukan ini juga
dimaksudkan untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal agar keanekaragaman
budaya kita tidak hanya menjadi tontonan dan nilai dari pariwisata tetapi juga dapat
terjaga nilai-nilai kebudayaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta,
2006.
Brandon, James R. Theatre in Southeast Asia. New York: Harvard University Press,
1967
Emmons, Robert A. The psychology of ultimate concerns: Motivation and spirituality
in personality. New York: Guilford Press, 1999.
Endraswara, Suwardi, Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2013
Fry, Louis W. Jody, and Cindy Graves Wigglesworth. Toward a theory of spiritual
intelligence and spiritual leader development. International journal on
spirituality and organization leadership. 2013
Ginanjar, A.A. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power. Jakarta: ARGA
Publishing, 2007.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Hartono. Reyog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). Jakarta: Proyek Penulisan dan
Penerbitan Buku/ Majalah Pengetahuan Ilmu Profesi Depdikbud, 1980.
Heelas, Paul, et al. The spiritual revolution: Why religion is giving way to spirituality.
New Jersey: Blackwell, 2005.
Holt, Claire. Art in Indonesia: continuities and change. New York: Cornell Univ Pr,
1967.
Kaloh, J. Dr. Kepala Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Kecamatan Ponorogo dalam Angka Tahun 2016 diakses pada tanggal 29 Maret 2017
di www.ponorogokab.bps.go.id
Malayu, S.P. Hasibuan. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.
2010.
Mukarromah, Sururil. Mobilisasi Massa Partai Melalui Seni Pertujukan Reog di
Ponorogo Tahun 1950-1980. Jurnal. Verleden 1.1, 2012.

49 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Piedmont, Ralph L. Spiritual transcendence and the scientific study of
spirituality. Journal of rehabilitation. 2001
Pigeaud, Theodore Gauthier Th. Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de
beschrijving van land en volk. Volkslectuur, 1938.
Profil kecamatan Ponorogo 2016 diakses pada tanggal 29 Maret 2017 di
www.bappeda.ponorogo.go.id
Ponorogo, Pemkab. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas
Budaya Bangsa. 1993.
Sergiovanni, Thomas J. Moral leadership: Getting to the heart of school improvement.
Jossey-Bass Inc., Publishers, 350 Sansome Street, San Francisco, CA 94104
(US sales); Maxwell Macmillan International Publishing Group, 866 Third
Avenue, New York, NY 10022 (sales outside US), 1992.
Stogdill, Ralph M. Handbook of leadership: A survey of theory and research. New
York: Free Press, 1974.
Suparjan, I. G. N. Suparta. Pengantar Pengetahuan Tari Untuk SMKI. Jakarta:
Depdikbud, 1982.
Terry, George R, Prinsip – prinsip Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Wigglesworth, Cindy, and Deep Change. Spiritual intelligence and why it
matters. Bellaire Texas: Conscious Pursuit Inc. 2002.
Wilson, Ian Douglas. Reog Ponorogo: spirituality, sexuality, and power in a Javanese
performance tradition. Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the
€Pacific, 1999, 2
Yukl, G. A. Leadership in organizations. New Delhi: Pearson Education India, 1981.
Zohar, D., dan Marshall, I. SQ: Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence. Alih
Bahasa Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan Media Utama, 2007

50 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


DEMOKRATISASI DESA MASA ORDE BARU:
Bergesernya Nilai dan Orientasi Pemimpin Desa
Serta Pudarnya Motivasi Warga Untuk Menjadi Kepala Desa
(Kasus Pemilihan Kepala Desa di Sangiang Kecamatan Banjar
Kabupaten Majalengka)

Utang Suwaryo12 dan Iyep Saefulrahman13

ABSTRAK
Seperti kesatuan masyarakat hukum lainnya yang ada di Indonesia, Desa Sangiang
juga tidak dapat lepas dari kehendak negara. Arah perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan dan demokrasinya harus dapat menyesuaikan dengan kebijakan yang
dibuat negara yang sentralistis dan uniformitas. Dampak yang muncul ternyata tidak
hanya pada berkurangnya ruang dan kuasa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan desa dan warganya, tetapi juga pada pergeseran kesakralan seorang
pemimpin desa dan pudarnya motivasi warga untuk menjadi kepala desa. Penelitian
ini dilakukan untuk menganalisis secara lebih mendalam terkait dengan
demokratisasi yang berlangsung di Sangiang pada masa Orde Baru khususnya saat
berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa beserta peraturan
pelaksananya. Untuk dapat menjawab tujuan penelitian tersebut, digunakan
pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan datanya dokumentasi dan
wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa demokrasi yang
terbangun di Sangiang khususnya dalam pemilihan kepala desa lebih berbasiskan
tradisi liberal yang mengarah pada demokrasi formalitas. Hal ini disebabkan dalam
proses penanaman nilai demokrasi yang dilakukan negara lebih menekankan pada
aspek prosedural dibanding substansi dalam berdemokrasi. Akibatnya demokrasi
yang berjalan di Sangiang sebatas hanya untuk melaksanakan kewajiban desa pada
negara. Ketentuan dalam kebijakan negara yang mengatur kekuasaan dan
kedudukan kepala desa yang cenderung menjadi birokratis juga telah menyebabkan
terjadinya pergeseran nilai dan orientasi dari seorang pemimpin desa di Sangiang
yang pada akhirnya hal tersebut menyebabkan motivasi warga Sangiang untuk
menjadi kepala desa pun memudar. Merujuk pada hal yang terjadi di Sangiang masa
Orde Baru, sudah selayaknya pemerintah sekarang menjadikannya sebagai referensi
dalam membangun demokrasi desa untuk dapat lebih bermakna dengan tidak hanya
menekankan aspek prosedural semata tetapi juga menekankan aspek substansinya.
Kata Kunci: demokratisasi, desa, kepala desa

ABSTRACT
Desa Sangiang can not be separated from the will of the state considering its position
as law community unit in Indonesia. The direction of village governance and
democracy should be able to conform to a centralised policy of the state and its
uniformity. As a result, the village have no longer eligible to control dan manage
interests of village and its denizens, likewise, there have been a shift of sanctity of

12 Guru Besar di Departemen Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad


13 Staf Pengajar di Departemen Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad / sef73rahman@gmail.com

51 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


village chief and a lack of denizens’ motivation to obtain its position. This research is
aimed at gaining a deep analysis of the democratisation in Desa Sangiang during the
New Order era, particularly on the execution of Village Government Law Number
5/1979 (UU No.5 Tahun 1979) including its technical regulations. Qualitative
approach adopted is to answer the aim of research through documentation and in-
depth interview. This research seeks to show that during Village Chief election in Desa
Sangiang there is an implementation of liberal tradition that leads to a formal
democracy. It occured due to the state perspective in internalising the democracy
values tend to be more procedural than substantive that have formed the conformity
of village to pay off its duties before the state. Subsequently, the state policy in
adjusting the power of village chief have bureaucratically shaped the shift of values
and characters of village chief itself. It also become one of the reason why the
denizens’ motivation to be a village chief in Desa Sangiang have decreased. This
findings suggests it is proper that Government has to learn to what occured in Desa
Sangiang during the New Order era, in order to build a meaningful democracy in
village through emphasizes the embodiment of substantive democracy than the
procedural democracy.
Keywords: democratisation, village, village chief

PENDAHULUAN
Masa Orde Baru yang ditandai dengan perubahan arah kebijakan politik dan
paradigma pembangunan nasional, membawa konsekuensi yang signifikan pada
kondisi negara secara umum dan desa secara khusus terutama dalam
penyelengaraan pemerintahannya. Harapan untuk mewujudkan stabilitas nasional
setelah sebelumnya selalu terjadi konflik dengan puncaknya pada peristiwa
pemberontakan 30 September 1965, menjadi dasar pertimbangan pemerintah yang
berkuasa untuk menerapkan kebijakan yang sentralistis dalam segala bidang
kehidupan. Oleh karena itu dalam bidang politik—pemerintahan, pendekatan
keamanan dipilih pemerintah untuk mendampingi kesejahteraan.
Di saat yang sama arus modernisasi yang dialirkan oleh negara-negara barat,
khususnya Amerika Serikat, masuk dan menjadi basis nilai untuk pembangunan
nasional yang akan dilaksanakan di Indonesia. Keberhasilan negara-negara
penggagas modernisasi dalam membangun negara dan mencapai tingkat
kesejahteraan yang diharapkan, menjadi daya tarik bagi pemerintah untuk juga
menerapkannya dalam membangun ekonomi—politik negara. Semangat untuk
segera menerapkannya semakin bertambah karena adanya bantuan dari negara
pengusung baik pada aspek pembiayaan maupun teknologi dan juga tenaga ahlinya.
Perpaduan political will dan good will pemerintah dengan arus modernisasi
tersebut menghasilkan suatu pola kebijakan negara yang mengarah pada
pembangunan nasional dengan ekonomi sebagai basisnya. Dalam konteks

52 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


penyelenggaraan pemerintahan di aras desa14 dan kesatuan masyarakat hukum
lainnya yang ada di Indonesia, pemerintah pun menerapkan kebijakan dan strategi
yang sama dengan menjadikan desa sebagai ujung tombak pembangunan nasional.
Oleh karena itu, desa yang tadinya sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan desa dan warganya15 menjadi
bagian dari birokrasi negara (pemerintah). Dengan kedudukannya tersebut desa
menjadi alat negara dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional yang
digariskan dalam suatu kebijakan yang menjadi haluan negara yang dikenal dengan
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Untuk mendukung kebijakan tersebut, desa dan kesatuan masyarakat hukum
lainnya tidak lagi diberi ruang dan kuasa untuk dapat menggunakan tradisi dan adat
istiadatnya sebagai basis dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Kemudian,
negara (pemerintah) mendesain desa yang lebih mengarah pada desa administratif
dan berkedudukan sebagai birokrasi pemerintah dengan mengganti tradisi dan adat
tersebut oleh peraturan perundang-undangan yang kental dengan semangat
sentralistis dan uniformitas (penyeragaman). Peraturan yang dimaksud adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa beserta aturan-
aturan pelaksananya.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka kesatuan masyarakat
hukum yang ada di Indonesia itu ditetapkan penyebutannya menjadi desa. Tidak
hanya itu, dalam setiap ruang dan geraknya desa diatur dan diawasi oleh negara.
Kekuasaan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya pun mengalami
pemudaran, termasuk dalam memilih pemimpinnya sendiri. Kekuasaan yang selama
ini menjadi ciri khas dan kekuatan desa, pada masa ini menjadi kewenangan negara.
Kondisi ini dirasakan hampir di semua kesatuan masyarakat hukum, terutama yang
ada di Jawa yang hukum adatnya mulai tergeser oleh nilai-nilai modernisasi yang
diperkenalkan sejak masa kolonial.

14Desa merupakan sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang umumnya hidup di Jawa dan sekitarnya. Banyak
sebutan atau istilah lain yang juga memiliki kesamaan karakter dengan desa dan hidup di wilayah lain (propinsi
dan/atau pulau) di Indonesia seperti nagari di Sumatera Barat, huta atau kuta di Sumatera Utara, kampong atau
mukim di Nangroe Aceh Darussalam, marga di Sumatera Selatan. Sementara di Jawa Barat sendiri istilah untuk
kesatuan masyarakat hukumnya dikenal dengan sebutan kampung. Semua sebutan untuk kesatuan masyarakat
hukum tersebut didasarkan pada hukum adat yang berlaku di wilayah (propinsi) masing-masing. Ndraha (1991)
dengan mengutip pendapatnya R. van Dijk serta Soepomo (1996) dan Soemadiningrat (2002) yang mengutip
pendapatnya van Vallenhoven, menyebutkan adanya 19 lingkaran atau sub sistem hukum adat yang ada di
Indoensia. Dari 19 sub sistem hukum tersebut Jawa Tengah disatukan dengan Jawa Timur dan Madura, sedangkan
Jawa Barat terpisah sendiri. Oleh karena itu, di Jawa Barat, kesatuan masyarakat hukum ini sering disebut kampung
(Kartohadikoesoemo, 1984)
15 Dengan adanya kekuasaan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri tersebut, kedudukan desa
mengarah pada wujudnya sebagai self governing community.

53 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Walaupun kebijakan ini bersifat seragam atau berlaku sama untuk semua
kesatuan masyarakat hukum, tetapi dampak yang ditimbulkannya di aras desa dapat
berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi desa atau kesatuan
masyarakat hukum itu sendiri serta kemampuan dalam menghadapi dan beradaptasi
dengan kebijakan negara dan arus modernisasi. Dalam beberapa hal ada desa yang
mampu mempertahankan tradisi dan adat istiadatnya sehingga tetap dapat menjadi
salah satu basis dalam penyelenggaraan pemerintahannya seperti yang terjadi pada
Desa Neglasari yang ada di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya16. Namun,
tidak sedikit juga desa dan kesatuan masyarakat hukum lainnya yang ada di
Indonesia mengalami transformasi, baik berubah secara keseluruhan maupun
beradaptasi dan menghasilkan nilai-nilai baru perpaduan nilai modern dan lokal.
Pada intinya, masuknya arus modernisasi ke desa-desa akan memberikan dampak
pada desa baik positif maupun negatif, termasuk bagi Desa Sangiang.
Sebagai salah satu desa yang ada di Kecamatan Banjar Kabupaten
Majalengka, Sangiang pun tidak dapat melepaskan ikatan diri dari kebijakan negara
dan arus modernisasi. Sebagai konsekuensi dari keterikatannya tersebut, maka
perubahan pada desa dan warganya tidak bisa dihindari baik itu pada bidang sosial
maupun politik—pemerintahan, termasuk dalam berdemokrasi. Sebagai contoh
dalam pemilihan pemimpinnya yang ternyata tidak diminati oleh elitnya dan
masyarakat secara umum untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala desa.
Dari data yang diperoleh diketahui bahwa selama masa Orde Baru (1968—
1999), di Desa Sangiang pemilihan kepala desa telah dilakukan sebanyak 4 (empat)
kali. Namun, kalau merujuk pada berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa sampai dengan tahun 1999, pemilihan dilaksanakan hanya 1
(satu) kali yaitu tahun 1985. Sementara 3 (tiga) pemilihan lainnya diselenggarakan
tahun 1968, 1972, dan 1976. Adapun antara tahun 1982—1985 dan 1993—1999
Sangiang dipimpin oleh Pejabat Sementara. Dari 4 kali penyelenggaraan, hanya pada
tahun 1968 saja pemilihan kepala desa diikuti oleh lebih satu calon, sedangkan tiga
pemilihan lainnya diikuti oleh satu calon atau calon tunggal, termasuk pemilihan
tahun 1985.
Penelitian ini tidak akan membahas keseluruhan perubahan yang terjadi dan
proses penanaman nilai-nilai demokrasi oleh negara di Desa Sangiang. Kajian hanya
difokuskan pada:

16Sedikit penjelasan tentang desa ini dapat dilihat pada tulisan “The Imposible Power of Local Democracy in
Neglasari” dalam International Journal of Research in Social Sciences, June. 2015. Vol. 5, No.4

54 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


1. Bagaimana demokrasi yang terbangun di Desa Sangiang Kecamatan Banjar
Kabupaten Majalengka pada Masa Orde Baru
2. Apa dampak sosial—politik yang timbul dari demokratisasi yang dilakukan
negara terhadap desa dilihat dari pemilihan pemimpinnya di Desa Sangiang
Kecamatan Banjar Kabupaten Majalengka pada Masa Orde Baru.
Oleh karena itu, secara umum tujuan penelitian ini hendak menganalisis
demokrasi desa yang akan dibangun oleh pemerintah pada masa orde baru dan
dampak yang ditimbulkannya di Desa Sangiang Kecamatan Banjar Kabupaten
Majalengka. Sementara secara khusus bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis demokratisasi desa yang dilihat dari
pemilihan kepala desanya di Desa Sangiang Kecamatan Banjar Kabupaten
Majalengka pada Masa Orde Baru
2. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak sosial—politik dari demokratisasi
yang dilakukan pemerintah khususnya dalam pemilihan kepala desa di Desa
Sangiang Kecamatan Banjar Kabupaten Majalengka pada Masa Orde Baru

TINJAUAN PUSTAKA
Negara, pemerintah, dan masyarakat merupakan tiga entitas penting dalam
berpemerintahan dan akan selalu menjadi fokus pembahasan dan pusat perhatian.
Pertautan di antara ketiganya tidak mungkin dapat dipisahkan karena kuatnya relasi
yang terbangun yang menjadikan ketiadaan salah satunya akan berdampak pada dua
entitas lainnya. Namun yang pasti, pemerintah dan masyarakat (penduduk) bersama
dengan wilayah dan kedaulatan merupakan unsur pokok yang harus ada agar suatu
kumpulan masyarakat yang terorganisir sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu
negara.17
Dilihat dari sisi kepemilikan kekuasaan, negara lebih berkuasa dibanding
pemerintah dan masyarakat walaupun pada hakekatnya negara dibentuk oleh
kehendak masyarakat. Kontrak sosial yang dibangun oleh masyarakat dan mereka
yang akan duduk serta menjalankan kekuasaan negara (pemerintah) menjadi dasar
besarnya kekuasaan negara. Dalam pola umum evolusi politik, kekuasaan negara
tetap besar bahkan terpusat karena ternyata negara mempertahankan dan
meneruskan proses evolusi pemusatan kekuasaan dari bentuknya yang sederhana
berupa kumpulan (bands) sampai terbentuk suatu negara dan membentuk monopoli

17 Penjelasan tentang unsur-unsur dalam negara atau pembentuk negara (unsur formal negara) salah satunya dapat
dilihat dalam bukunya Muchtar Affandi

55 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


kekuatan yang akan digunakan untuk mendukung penggunaan kekuasaan itu.18 Hal
ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Mac Iver (1988) bahwa
kekuasaan yang dimiliki negara merupakan sarana untuk dapat memaksakan
tegaknya ketertiban sosial dan amanat untuk melakukannya ada di tangan
pemerintah yang dalam bertindaknya berdasarkan pada (produk-produk) hukum.
Dengan kata lain, hukum tersebut berkedudukan sebagai pedoman untuk
pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan, perbuatan, atau kegiatan.
Pada ranah politik—pemerintahan, pedoman bertindak bagi pemerintah yang
dimaksud dikenal dengan istilah kebijakan19. Carl Friedrich dan Anderson seperti
dikutip Wahab (1990) memberikan batasan kebijakan ini dengan mengaitkannya
pada tujuan yang ingin dicapai oleh negara yaitu sebagai tindakan yang secara
sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai hambatan atau
masalah demi mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Pada akhirnya
dapat dikatakan bahwa penetapan kebijakan negara tersebut dimaksudkan untuk
medukung kepentingan negara.
Terkait dengan perubahan sosial, kebijakan negara menjadi salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi atau menjadi variabel independen bagi perubahan yang
terjadi di masyarakat dalam suatu negara karena adanya daya paksa pada kebijakan
tersebut untuk suka atau tidak tetap harus dilaksanakan. Oleh karena itu, terlepas
positif atau negatifnya dampak yang mungkin timbul20, kebijakan dan perubahan
sosial memiliki relasi yang sangat kuat. Kekuatan kebijakan negara akan semakin
bertambah ketika kebijakan negara yang di antaranya berisi kehendak negara dan
strategi untuk mewujudkannya mendapat pengaruh dari aliran pemikiran tertentu
seperti halnya modernisasi. Dengan nilai-nilai modernisasi sebagai muatan utama
dalam kebijakan negara, maka perubahan yang terjadi dan akan dialami masyarakat
dalam semua tipe dan kondisi daerahnya21 dalam berbagai bidang kehidupannya
menjadi suatu keniscayaan. Dalam hal ini modernisasi menjadi faktor lain yang
berperan penting dalam perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya di
masyarakat pada berbagai bidang kehidupannya tetapi juga pada negara yang
berubah cara pandangnya terhadap masyarakat yang dapat dilihat dalam substansi
kebijakan yang dibuatnya.

18 Lihat Stepen K. Sanderson dalam bukunya Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (1993)
terkait dengan evolusi politik
19 United Nation, 1975
20
Castle (2001) menjelaskan bahwa perubahan sosial memiliki dua konsekuensi, positif dan negatif bagi komunitas
dan negara bangsa.
21 Castle (2001) op.cit ...perubahan sosial mempengaruhi semua tipe masyarakat baik di daerah maju maupun
tertinggal

56 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Adanya hubungan antara perubahan sosial dengan modernisasi diungkapkan
oleh Peter Berger seperti dikutip Usman (2004). Menurutnya modernisasi menggangu
ikatan solidaritas dan juga telah merubah kehidupan tradisional yang semula
dibingkai oleh kekuatan dari luar kontrol manusia menjadi diwarnai oleh proses
individualisasi, membuka terjadinya rekonstruksi nilai dan norma yang telah mapan,
merubah orientasi ke depan dan kesadaran atas waktu. Dengan demikian
modernisasi pun menjadi faktor pendorong untuk terjadinya perubahan sosial.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat ini tidak hanya mencakup
perubahan pada bentuk luar, Pranaji seperti dikutip Munthe (2007) menjelaskan
bahwa pada hakekatnya perubahan juga terjadi pada bentuk dasar, fungsi, struktur,
atau karakteristik suatu kegiatan usaha ekonomi masyarakat. Munthe sendiri
mengatakan bahwa perubahan yang terjadi tidak hanya pada struktur (kebudayaan
dan kelembagaan) tetapi juga pada pola proses.
Salah satu kesatuan masyarakat yang mengalami perubahan seiring dengan
masuknya arus modernisasi yang didukung oleh kebijakan negara yaitu desa yang
merupakan salah satu kesatuan masyarakat hukum22 yang ada di Indonesia. Di
Indonesia sendiri kesatuan masyarakat hukum itu memiliki banyak sebutan
tergantung pada lingkaran hukum23 tempat kesatuan masyarakat hukum tersebut
berada. Di Jawa kesatuan masyarakat hukum tersebut dikenal dengan sebutan desa,
sedangkan di Priangan (Jawa Barat) dikenal dengan sebutan kampung. Namun,
secara umum dalam berbagai literatur istilah desa lebih banyak digunakan. Boeke
(1971) dan Kartohadikoesoemo (1984), memberikan batasan pada desa sebagai
persekutuan atau kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat
dikatakan bahwa desa atau kesatuan masyarakat hukum tersebut berkuasa atas
dirinya termasuk dalam berdemokrasi khususnya ketika memilih pemimpinnya
sendiri.
Sebagai konsep dalam politik—pemerintahan, demokrasi merujuk pada
pernyataan Abraham Lincoln, merupakan “a government of, by,and for the people”.
Terkait dengan pernyataan ini Wayne (2004) mengatakan suatu pemerintahan dari
rakyat harus mendorong adanya dialog publik yang dapat diakses oleh tiap orang dan
meresponnya. Keputusan yang diambil secara keseluruhan ditujukan untuk

22istilah kesatuan hukum masyarakat atau kesatuan masyarakat hukum (KMH) ini diberikan oleh pakar hukum adat
dari Belanda van Vallenhoven
23Ndraha (1991) yang mengutip pendapatnya R. van Dijk serta Soepomo (1996) dan Soemadiningrat (2002) yang
mengutip pendapatnya van Vallenhoven

57 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


kepentingan rakyat. Mampu mengartikulasikan dan mengekspresikan kepentingan
publik menjadi suatu kebijakan yang diinginkan dan dianggap sah oleh masyarakat
yang terkena dampaknya. Pernyataan di atas merupakan inti demokrasi
sebagaimana dijelaskan Larsen (2005) menyatakan bahwa inti demokrasi itu adalah
wewenang berasal dari rakyat yaitu warga suatu pemerintahan yang masing-masing
dari mereka memiliki kesamaan hak untuk berpartisipasi. Penjelasan di atas
merupakan batasan demokrasi dalam tradisi liberal karena bercirikan adanya
pengakuan yang besar pada hak dan kebebasan individu24 yang dapat dilihat pada
pemilu dan pengambilan keputusan di parlemen melalui direct votong25 dan voting ini
dianggap sebagai kesuksesan tertinggi dalam demokrasi sebagai wujud dari
tanggung jawab warga.26 Ciri lainnya yaitu kemampuan mengartikulasikan dan
mengekspresikan kepentingan publik menjadi suatu kebijakan yang menurut Grugel
(2002) demokrasi liberal itu menjadi agregasi preferensi individu.
Demokrasi yang bekerja di desa berbeda dengan demokrasi yang bersumber
dari dunia luar desa dan hendak dikembangkan negara khususnya terkait dengan
sumber, semangat, asas, wadah, metode, dan hasil.27 Sumber yang berupa tradisi
atau adat istiadat menjadi basis bagi semangat, asas, wadah, metode dan hasil.
Berdasarkan pada demokrasi yang seperti itu, pada konteks pemilihan pemimpin
desa, pemimpin yang terpilih tidak hanya berkedudukan sebagai pemimpin dalam
arti yang formal (politis) tetapi sekaligus juga pemimpin informal (sosial). Dalam hal
kekuasaannya kedudukannya sebagai pemimpin informal jauh lebih “bermakna”
dibanding sebagai pemimpin formal karena ada relasi antara dirinya dengan warga
yang terikat secara “batiniah” dan tanpa paksaan. Oleh karena proses pemilihan dan
kedudukannya yang seperti itu, maka ia menjadi seorang primus yang berwenang
dalam mengambil keputusan akhir pada proses pengambilan keputusan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa menjadi seorang pemimpin di suatu desa
merupakan suatu “kehormatan” karena yang dimilikinya tidak hanya ada kekuasaan
atas kedudukannya tersebut tetapi lebih dari itu yaitu adanya nilai berupa
kepercayaan dan ketaatan dari warga dari adanya kharisma dan kewibawaan.
Hubungan antara negara, kebijakan, dan modernisasi dengan demokrasi
desa makin terlihat jika dikaitkan dengan pendapatnya Suwarno (2000) yang
menjelaskan tentang adanya faktor intern dan ekstern yang harus diperhatikan dalam

24Menurut Hatta (2009) penghargaan pada hak individu (individualimse) merupakan ciri utama berdemokrasi
dalam tradisi liberal.
25Lihat Pieterse J Nederveen (2001). Participatory Democratization Reconseived. Futures 33 p. 407-422.
26Shari R Veil (2008). Civic Responsibility and Risk Democracy. Public Relation Review p. 387-391
27Lihat Saefulrahman (2016) dalam Jurnal Mimbar Vol. 32, No. 2 Tahun 2016

58 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


demokrasi desa. Faktor intern menyangkut dua hal, demos (rakyat) yang terdiri dari
orang yang menempati satu pemukiman karena adanya hubungan darah dan/atau
karena diam ditempat yang sama serta berhubungan dengan akrab dan membentuk
paguyuban, sedangkan kratos (pranata) terkait dengan gotong royong yang terwujud
dalam primus inter pares. Dalam hal ini keterlibatan rakyat dalam pengambilan
keputusan tetap ada hanya saja keputusan akhir berada pada tetua yang dianggap
sebagai primus. Adapun faktor ekstern yaitu pemerintah atas (supra desa), faktor
sosial, ekonomi dan budaya. Merujuk pada pendapat tersebut maka kebijakan dan
modernisasi dapat dikatakan sebagai bagian dari faktor ekstern. Peran negara dapat
dilihat pada eksistensi pemerintah supra desa yang berperan dalam mewujudkan
bangunan demokrasi di desa melalui serangkaian kebijakan demokratisasi desa.
Sementara bersama modernisasi, negara dan kebijakan yang dibuatnya akan terlihat
pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Merujuk pada kedudukan negara yang memiliki kekuasaan dengan daya
paksa yang sangat besar maka dapat dikatakan faktor ektern memiliki pengaruh yang
besar dalam demokrasi desa dibanding faktor intern. Dengan kata lain negara dapat
menjadi penentu utama saat akan membangun arah dan tradisi demokrasi yang
harus diterapkan oleh desa (demoktratisasi desa). Di antaranya dengan adanya
ketentuan untuk menerapkan pemilihan secara seragam dengan basis tradisi liberal
dalam pemilihan kepala desa seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Besarnya pengaruh kekuasaan negara juga akan terlihat,
terlepas dari dampak posistif atau negatifnya, pada motif ekonomi dan kebanggaan
diri (prestise) rakyat desa saat menjadi pemimpin desa. Dalam hal ini pun kondisi
dimaksud dapat memberikan kontribusi pada demokrasi desa. Dengan adanya motif
tersebut, warga desa akan memiliki atau justru tidak memiliki keinginan untuk secara
langsung ikut serta dalam berdemokrasi di desanya baik untuk memilih maupun
dipilih. Secara sederhana pertautan negara, kebijakan dan demokrasi desa dapat
dilihat pada gambar berikut:

59 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Modernisasi

Negara
(Pemerintah)

Kebijakan

Ekonomi
demos Demokrasi
Desa Sosial
kratos
Budaya

Pemilihan Kepala
Desa

Gambar Pertautan Demokrasi Desa dengan Modernisasi dan Kebijakan Negara

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketika hendak menerapkan nilai-
nilai demokrasi yang diinginkannya (demokratisasi), negara (pemerintah) harus
memperhatikan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakannya tersebut. Hal
ini disebabkan banyaknya kemungkinan yang timbul tidak hanya positif tetapi juga
dapat berdampak negatif seperti bergesernya nilai dan orientasi dari seorang
pemimpin desa dan hilangnya motivasi warga untuk mencalonkan menjadi kepala
desa. Oleh karena itu sangat mungkin juga ternyata perubahan yang diharapkan oleh
Pemerintah berbeda dengan harapan masyarakat walaupun keduanya sebetulnya
mengharapkan perubahan. Jika hal yang negatif terjadi, sesungguhnya negara
(pemerintah) sendiri dengan kebijakan yang dibuatnya tersebut tidaklah
mencerminkan atau dapat dikategorikan pemerintahan yang demokratis. Alih-alih
mau lebih mendemokrasikan desa, yang terjadi malah dirinyalah yang menjadi tidak
demokratis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan
nilai-nilai demokrasi yang diinginkan negara yang akan menggantikan nilai-nilai

60 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


demokrasi yang selama ini bekerja di desa dan dampaknya dalam kehidupan
masyarakat desa pada Masa Orde Baru di Desa Sangiang Kecamatan Banjar
Kabupaten Majalengka. Dengan tujuan yang seperti itu, pendekatan yang tepat untuk
digunakan yaitu penelitian kualitatif. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Nasution
(2003), Sugiono (2005), dan Irawan (2007) yang melihat ketepatan menerapkan
penelitian kualitatif ketika fokus penelitian lebih mengarah pada pengungkapan
makna dibalik fakta-fakta yang akan terlihat. Seperti halnya penerapan nilai
demokrasi yang diinginkan negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa dalam pemilihan kepala desa yang memungkinkan memberi
makna yang lain dibalik fakta yang tampak yang didapatkan peneliti seperti ketika
terjadi calon tunggal dalam pemilihan kepala desa dan dijabatnya kepala desa oleh
penjabat sementara di Sangiang selama masa Orde Baru.
Untuk dapat menjawab tujuan tersebut, strategi yang digunakan yaitu studi
kasus karena memberi ruang pada pendalaman masalah penelitian, dalam hal ini
untuk mengkaji secara lebih dalam tentang demokratisasi desa khususnya dalam
pemilihan kepala desa dan dampak dari demokratisasi tersebut. Kedetilan dalam
mengungkapkan hal-hal yang bersifat khas juga akan diperoleh dengan strategi studi
kasus, terutama menyangkut hal-hal yang menyebabkan pergeseran nilai dan
orientasi kepala desa sebagai pemimpin rakyat dan hilangnya motivasi warga untuk
mencalonkan dan dicalonkan sebagai kepala desa pada masa Orde Baru.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur
dan dokumentasi. Wawancara terutama dilakukan dengan tokoh desa, mantan
kepala desa, serta kepala desa dan perangkat desa sekarang. Teknik penetapan
informan dilakukan dengan teknik bola salju yang dimulai dari kepala desa sekarang
(Bapak Maman Badrujaman/54 tahun) dan Ujang Sumarjo (Sekretaris Desa/46
tahun), kemudian muncul nama tokoh masyarakat yaitu Bapak Enjon (74 tahun)
sebagai mantan Panitia Pemilihan Kepala Desa Masa Orde Baru; Jubaedi (78 tahun)
mantan Sekretaris Desa masa antara tahun 1963—1993 dan juga pernah menjabat
sebagai pejabat kepala desa tahun 1982—1985; dan Entis Sutisna (54 tahun) yang
menjadi kepala dusun/lurah Blok Legok sejak 1997—sekarang.
Adapun pengolahan dan analisa data digunakan tahapan seperti
dikemukakan Miles dan Huberman seperti dikutip Sugiyono (2005) yaitu proses
reduksi data yang terpokus pada pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar dari hasil catatan lapangan (data reduction), proses
penyajian data yang dimulai degan penyusunan informasi menjadi pernyataan yang

61 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


memungkinkan penarikan kesimpulan (data display), dan proses penarikan
kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang berlangsung secara
bertahap dari kesimpulan umum pada tahap reduksi data, kemudian lebih spesifik
pada tahap penyajian data, dan lebih khusus lagi pada tahap penarikan kesimpulan
yang sebenarnya (conclusion drawing/ verification).

OBJEK, HASIL PENELITIAN, dan PEMBAHASAN


Sangiang merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan
Banjar Kabupaten Majalengka. Desa ini merupakan desa perbukitan dan berada di
kaki Gunung Ciremai dengan wilayahnya seluas 554,075H. Secara administratif
wilayah desa dibagi ke dalam 6 kedusunan yang disebutnya dengan istilah “Blok”
yaitu Blok Sangiang Lama, Sangiang Rahayu, Pasirbitung, Legok, Pendetan, dan
Maranggi. Kepala Dusun atau Lurah Blok sekaligus sebagai Ketua RW. Tiap blok
dibagi lagi masing-masing menjadi 7 RT sehingga jumlahnya menjadi 42 RT.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2014, jumlah penduduknya mencapai 2.405
jiwa yang terdiri dari 1.185 penduduk laki-laki dan 1.221 penduduk perempuan. Blok
Legok merupakan kedusunan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 642 orang
(26,69%).
Pada saat ini, Sangiang dipimpin oleh Bapak Maman Badrujaman yang terpilih
sebagai kepala desa pada pemilihan tahun 2012. Dalam penyelenggaraan
pemerintahannya ia dibantu oleh seorang sekretaris, 2 (dua) orang kepala urusan
dan 6 (enam) orang kepala dusun. Selain itu seperti halnya desa-desa lainnya, di
Sangiang pun terdapat Badan Permusyawaratan Desa dengan anggotanya sebanyak
9 orang dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat juga dengan angotanya sebanyak
9 orang. Dilihat dari aspek pendidikan, mayoritas berada di tingkat sekolah
menengah pertama sebanyak 12 orang (41,38%) dan sekolah menengah atas
sebanyak 10 orang (34,48%). Walau begitu ada juga yang berpendidikan sarjana
sebanyak 5 orang (17,24%) yang seperti pada umumnya di perdesaan mereka
merupakan sarjana pendidikan, sedangkan yang berpendidikan sekolah dasar ada 2
orang (6,89%) yang memegang jabatan sebagai kepala dusun. Kepala Desanya
sendiri berpendidikan sekolah menengah pertama.

62 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Demokratisasi di Sangiang: Dinamika Pemilihan Kepala Desa Pada Masa Orde
Baru tahun 1968—1999
Paradigma sentralistis dan uniformitas yang diusung pemerintah pada masa
ini, menyebabkan pemilihan kepala desa di Sangiang pun harus berpedoman pada
kebijakan negara yaitu UU No. 5 Tahun 1979 serta peraturan pelaksana dan
teknisnya. Undang-undang tersebut kental dengan nilai-nilai modern karena arus
modernisasi memang tengah menjadi tren pada saat itu, sehingga pemerintah pun
banyak mengadopsinya dan dijadikan sebagai paradigma dalam membangun
negara. Dalam ranah politik-pemerintahan khususnya dalam pemilihan kepala desa,
Pemerintah tetap mempertahankan tradisi demokrasi liberal yang sejalan dengan
nilai modern. Namun, seperti halnya yang terjadi di beberapa desa, di Sangiang pun
pada saat undang-undang tersebut ditetapkan tidak bisa langsung dijadikan dasar
hukum dalam pemilihan kepala desa karena pada saat itu Sangiang telah memiliki
kepala desa hasil pemilihan tahun 1976 yaitu masa kepemimpinan Bapak M. Ohim28.
Masa jabatannya sendiri tidak ada batasnya secara pasti selain ketidaksanggupan
yang bersangkutan untuk memimpin Sangiang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
Bapak Ohim memimpin Sangiang sampai dengan tahun 1982 berarti hanya selama
6 tahun. Namun pemilihan Kepala Desa Sangiang sendiri baru dilaksanakan tahun
1985 karena antara tahun 1982—1985, Sangiang dipimpin oleh penjabat sementara
yaitu Bapak Jubaedi yang merupakan sekretaris desa.
Pada masa orde baru ini, pemilihan di Sangiang seharusnya diselenggarakan
mengikuti tahapan seperti yang ditetapkan dalam kebijakan negara yaitu pencalonan
kepala desa diajukan oleh yang mencalonkan secara tertulis kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala daerah Tk II melalui Panitia Pencalonan dan
Pelaksana Pemilihan. Kemudian panitia ini setelah memeriksa meneruskannya
kepada Panitia Pengawas. Selanjutnya Panitia Pengawas memeriksa dan
mengirimkan hasilnya kepada ketua Panitia Peneliti dan Penguji. Bila lolos dalam
seleksi yang dilakukan oleh Panitia Peneliti dan Penguji, maka bakal calon ditetapkan
oleh Bupati/Walikotamadya KD Tk II sebagai calon yang akan mengikuti pemilihan
kepala desa. Kepala desa yang terpilih nantinya akan memimpin desa selama 8

28Namun sebetulnya, pada tahun 1968 dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1968 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa di Jawa dan
Madura. Artinya ada kemungkinan pemilihan kepala desa di Sangiang pun didasarkan pada instruksi menteri dalam
negeri tersebut walaupun situasi pada saat itu memungkinkan juga untuk berdasarkan pada tradisi yang selama ini
bekerja di Sangiang

63 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


(delapan) tahun dalam sekali masa jabatan dan dapat dipilih kembali untuk satu kali
masa jabatan lagi29.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses pemilihan kepala desa di
Sangiang tidak seperti ketentuan yang ditetapkan negara. Pada tahun 1985 saat
dilaksanakan pemilihan hanya diikuti satu calon atau calon tunggal yaitu Bapak
Harun. Kalau merujuk pada Permendagri No. 6 Tahun 1981 tentang Tata cara
Pemilihan, secara tersirat calon tunggal diperbolehkan, tetapi dalam prakteknya calon
tunggal tidak diperbolehkan karena dianggap tidak mencerminkan nilai demokrasi
dalam tradisi liberal. Ketentuan yang secara jelas memberikan kemungkinan untuk
dapat dilaksanakan pemilihan kepala desa dengan calon tunggal baru ditetapkan
tahun 198830. Namun sepertinya, untuk kasus Sangiang ketentuan tersebut tidak
berlaku karena pemilihan kepala desa tetap berlangsung walaupun hanya diikuti
calon tunggal. Selama keberadaan Desa Sangiang, hanya dua kali pemilihan kepala
desa di Sangiang diikuti oleh dua calon yaitu tahun 1963 yang diikuti oleh Bapak Emik
dan Bapak Ohim serta tahun 1968 dengan calon Bapak Adrai dan Bapak Engko.
Namun perlu diketahui bahwa pemilihan tersebut berlangsung sebelum
diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 beserta peraturan pelaksananya. Selebihnya,
termasuk sebelum tahun 1963 calon kepala desa di Sangiang selalu tunggal. Pilihan
pada penetapan calon tunggal pada saat itu merupakan hasil kesepakatan para tokoh
desa untuk menghindari bentrokan antar pendukung calon. Penetapan calon tunggal
ini dipertahankan sampai dengan pemilihan tahun 2012 saat Bapak Badrujaman
terpilih menjadi kepala desa untuk masa jabatan 2012—2018.
Selain itu, penetapan Bapak Harun sebagai calon kepala desa tidak dilakukan
oleh Panitia Pemilihan di aras desa yaitu Panitia Pencalonan dan Pelaksana
Pemilihan. Sudah menjadi suatu tradisi di Sangiang, bahwa kewenangan untuk
penetapan calon kepala desa ada di tangan para tokoh masyarakat melalui
musyawarah. Hasil musyawarah kemudian diserahkan kepada Panitia di aras desa
untuk selanjutnya diproses sampai ke Pantiuji (Panitia Penelitian dan Pengujian) yaitu
panitia di tingkat Kabupaten Majalengka. Jadi, Panitia Pemilihan di aras desa tidak
melakukan seleksi atas calon karena calon telah diseleksi sebelumnya oleh para

29 Mengenai tata cara pencalonan dan pemilihan, undang-undang menetapkan akan diatur dengan peraturan daerah
(Perda). Propinsi DT I Jawa Barat untuk kepentingan tersebut mengeluarkan Perda No. 22 Tahun 1981 tentang
Tatacara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa.
Perda tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1981 yang juga mengatur tentang
Tatacara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa.
30 Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 1988 tepatnya pada Bagian II Nomor 6. Menurut Instruksi
Mendagri ini, calon tunggal dalam pemilihan kepala desa dimungkinkan sepanjang kondisi ini tidak disengaja atau
digiring sebagai calon tunggal. Artinya calon kepala desa betul-betul tunggal yang didasarkan pada tidak ada lagi
warga yang mendaftar walaupun telah beberapa kali dibuka pendaftaran.

64 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


tokoh desa, sehingga hak (kekuasaan) yang dimiliki Panitia Pemilihan hanya untuk
menyetujui pencalonan tersebut.
Hal yang menarik dan perlu dicatat adalah bahwa selama masa Orde Baru,
calon kepala desa yang dihasilkan oleh musyawarah para tokoh tersebut (antara
tahun 1968—1993) sebetulnya menolak untuk dicalonkan, sehingga antara tahun
1982—1985 Sangiang dipimpin oleh Pejabat (Bapak Jubaedi) dan tahun 1993—1999
dijabat oleh Bapak Amin. Kalaupun pada akhirnya ada warga yang menjadi calon
kepala desa dan terpilih seperti pada pemilihan tahun 1968, 1972, 1976, dan 1985
sesungguhnya karena terpaksa. Para tokoh desalah yang memaksa calon tersebut
agar mau mendatangi tempat pendaftaran. Dalam istilah mereka calon tersebut
dibawa dengan cara ditungtun (dibawa dengan cara dipegang tangannya secara
“paksa” menuju tempat pendaftaran) supaya tidak dapat melepaskan diri. Dalam
pemikiran yang sederhana dapat saja tokoh desa sendiri yang mencalonkan, tetapi
dalam pandangan para tokoh desa kepala desa haruslah dipegang (dijabat) oleh
generasi setelah mereka. Pertimbangan untuk hal tersebut yaitu keinginan untuk
adanya regenerasi tokoh desa karena warga yang menjadi kepala desa tersebut ke
depan akan menjadi bagian dari tokoh desa. Selain itu, dari sisi usia dan dukungan
fisik para tokoh desa sudah tidak memungkinkan untuk memikul tanggung jawab
sebagai kepala desa yang apalagi dengan kedudukannya seperti diinginkan oleh
negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 yang tidak hanya sebagai alat desa, tetapi juga
alat Daerah dan Pusat.
Proses pemilihan kepala desa pada masa Orde Baru di Sangiang ini hampir
sama dengan desa-desa lainnya di wilayah Jawa Barat. Penggunaan biting31 dan
bumbung32 sudah tidak berlaku lagi karena prosesnya mengikuti tata cara yang terjadi
saat pemilu 1982 yaitu menggunakan kertas suara. Perbedaannya dengan desa-
desa lain misalnya pada simbol yang digunakan calon kepala desanya saja yang di
Sangiang menggunakan gambar buah-buahan. Bapak Harun sebagai calon tunggal
pada waktu itu memilih gambar Buah Jeruk dan satu gambar lagi dalam kertas suara
berisi kotak kosong. Dalam prosesnya, melalui pemilihan langsung oleh warga desa
Bapak Harun terpilih sebagai kepala desa untuk masa jabatan 1985—1993.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, masa jabatan kepala desa ditetapkan selama 8
tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan selanjutnya.

31 Sepotong lidi (± 10 cm) yang digunakan sebagai tanda dukungan dalam pemilihan kepala desa di Neglasari
sebelum digantikan dengan surat suara
32 Kotak suara yang terbuat dari batang/ruas bambu yang besar untuk menampung suara yang tidak akan memilih
calon kepala desa dalam suatu pemilihan dengan calon tunggal

65 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Terlepas dari hal tersebut, keterlibatan para tokoh dalam pemilihan kepala
desa melalui musyawarah menunjukkan bahwa di Sangiang pun bekerja dua tradisi
demokrasi. Proses bekerjanya pun sama dengan yang terjadi di Neglasari hanya saja
dasar basis tradisi demokrasinya berbeda33. Di Neglasari tradisi demokrasinya
bersumber dari ajaran Islam dan adat Naga, sedangkan di Sangiang basisnya tradisi
atau kebiasaan yang hidup di Sangiang. Penelitian memang menunjukkan bahwa
tidak ada masyarakat adat yang hidup di Sangiang seperti halnya Kampung Naga di
Neglasari. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bekerjanya dua tradisi
demokrasi di Sangiang pun lebih disebabkan karena kepemimpinan para elit lokalnya
yang terus menjaga agar kebiasaan yang dimilikinya tetap bisa dipertahankan di
tengah “paksaan” dari negara untuk menerapkan tradisi demokrasi liberal.
Satu hal lagi yang perlu mendapat catatan bahwa adanya calon tunggal pada
masa orde baru sebelum tahun 1988 menjadi bukti bahwa kekuasaan dan
kepemimpinan para tokoh desa Sangiang beserta warganya telah berhasil
“memaksa” negara untuk berkompromi dengan keinginan dan kebiasaan Sangiang.
Selain itu Sangiang pun telah mampu “memaksa” negara untuk kembali
menempatkan penjabat sementara (Pjs) di Sangiang karena setelah habis masa
jabatan Bapak Harun tahun 1993, tidak ada lagi warga Sangiang yang mau menjadi
kepala desa. Selama 6 (enam) tahun Sangiang dipimpin oleh Penjabat (Bapak Amin)
sampai dengan tahun 1999 ketika memasuki masa reformasi.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa dalam pemilihan kepala desa,
Sangiang tidak hanya menerapkan ketentuan negara seperti tertuang dalam
kebijakan yang dibuatnya (UU No. 5 Tahun 1979 dan peraturan perundang-undangan
lainnya). Penetapan bakal calon yang dilakukan oleh para tokoh desa menjadi bukti
bahwa Sangiang juga tetap menerapkan sebagian tradisinya dalam berdemokrasi.
Artinya tradisi di Sangiang pada masa Orde Baru ini ternyata masih dapat bekerja
walau hanya pada tahap penetapan bakal calon saja. Namun hal tersebut masih lebih
baik karena secara formal negara sudah tidak mengakuinya. Secara tidak langsung,
bekerjanya tradisi ini menunjukkan Sangiang sebagai suatu kesatuan masyarakat
hukum masih memiliki sedikit kekuasaan, apalagi kalau dikaitkan dengan
pelaksanaan pemilihan kepala desa yang hanya diikuti oleh calon tunggal dan pada
masa-masa tertentu kepala desa dijabat oleh Penjabat dalam kurun waktu yang
melebihi ketentuan. Oleh karena itu jika merujuk pada kebijakan yang dibuatnya,

33 Saefulrahman (2016) op.cit

66 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


maka demokratisasi desa yang dilakukan di Sangiang pada masa ini tidak sesuai
dengan harapan negara.

Pergeseran Nilai dan Orientasi Kepala Desa dan Dampaknya pada Pudarnya
Motivasi Warga.
Merujuk pada kebijakan desa yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa dan peraturan pelaksananya, desa dikontruksi dengan
pendekatan geografis (teritorial) karena didefiniskan sebagai suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemeintahan
terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari batasan tersebut
dapat dikatakan bahwa desa dimaknai sebagai wilayah adminitratif dan didudukan di
bawah pembinaan dan pengawasan kecamatan, sehingga pemerintah desa
(khususnya kepala desa) seolah menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah
kecamatan (Camat) yang merupakan wakil pusat di daerah. Dapat dikatakan bahwa
kepala desa pada masa ini bukan pemimpin tetapi lebih sebagai pelaksana atau staf
dari pemerintah supranya. Artinya, sebagai pemimpin rakyat di desa, kepala desa
tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya dan rakyatnya. Sikap, perilaku, dan tindakannya
harus senantiasa mengikuti perintah dari atasannya yang mengangkat dan
melantiknya.
Dengan kedudukannya yang seperti itu maka pada peran dan fungsinya,
kepala desa pun mengalami pergeseran. Ia tidak lagi sebagai pemimpin rakyat yang
bertanggung jawab dan berorientasi pada kebutuhan rakyat. Ia juga tidak dapat lagi
berperan sebagai “bapaknya” rakyat desa karena kewajiban utamanya lebih kepada
menyukseskan setiap kebijakan negara di desanya. Selain itu, kekuasaan formal
yang dimilikinya tidak lagi datang dari adanya pengakuan warga tetapi “seolah”
diberikan oleh negara. Hal ini terkait dengan kedudukannya yang lebih sebagai alat
Negara dan Daerah dibanding sebagai alat Desa. Pada akhirnya hubungan antara
pemimpin rakyat (kepala desa) dengan warga desa yang awalnya terbangun atas
dasar moral dan sosial serta memang dibutuhkan warga bergeser menjadi atas dasar
ekonomi dan politis serta atas kebutuhan negara.
Dampak dari penerapan kebijakan desa yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun
1979 tersebut, ternyata menjadi salah satu penyebab sulitnya Desa Sangiang
memiliki pemimpin desanya. Sebagaimana telah dijelaskan, selama masa ini (kurun

67 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


waktu 1968—1999), Sangiang 2 (dua) kali dipimpin oleh Penjabat dengan waktu
yang cukup lama antara 3—6 tahun. Kondisi tersebut tidaklah lazim, karena pejabat
umumnya hanya mengisi kekosongan jabatan kepala desa selama menunggu
diselenggarakan pemilihan kepala desa. Dalam Permendagri No. 6 Tahun 1981 yang
mengatur tentang tata cara pemilihan ditetapkan bahwa masa jabatan Penjabat
kepala desa paling lama 1 (satu) tahun. Kalaupun pemimpin desa hasil pemilihan
didaptkan, ternyata hanya diikuti calon tunggal dan itupun setelah calon tersebut
dipaksan oleh para tokoh desa.
Secara tersirat dapat ditangkap bahwa kondisi tersebut terkait dengan
bergesernya nilai dan orientasi dari kedudukan seorang pemimpin desa. Kebanggaan
dan kehormatan atas kedudukan tersebut pudar seiring dengan bergesernya pusat
kekuasaan dari kepala desa kepada pemerintah di atasnya. Pernyataan yang
dikemukakan informan terkait dengan “tidak bermaknanya kedudukan atau jabatan
kepala desa tanpa kekuasaan” menjadi dasar kesimpulan di atas. Apalagi selama
kepemimpinan kepala desa sebelumnya yang ternyata cenderung lebih banyak
“pengorbanannya” demi untuk menyukseskan kepentingan negara34.
Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa dibutuhkan dana
yang terkadang untuk pembiayaan tersebut sebagian besar dibebankan pada calon.
Dalam ketentuan sebetulnya tidaklah secara tersurat demikian karena berdasarkan
Permendagri No. 6 Tahun 1981 dan Instruksi Mendagri No. 17 Tahun 1988 biaya
berbagai kegiatan dalam pemilihan ditanggung bersama antara Kabupaten/Kota
(APBD) dengan Desa (APPKD). Hanya saja dalam praktek dana dari APPKD diambil
dari swadaya masyarakat, yang di dalamnya termasuk calon kepala desa.
Persoalannya adalah biaya yang dikeluarkan serta tenaga dan pikiran yang
dicurahkan yang ternyata lebih untuk kepentingan negara tidak sebanding dengan
“penghasilan” yang didapat kepala desa. Hal inilah yang menjadi alasan lain
penolakan warga Sangiang untuk dicalonkan atau kengganan untuk mencalonkan diri
menjadi kepala desa. Secara ekonomis penghasilan dari menjadi kepala desa di
Sangiang tidak akan mencukupi untuk menghidupi keluarga kepala desa karena
tanah bengkok yang dimiliki desa cukup sempit (yang tercatat hanya 15.357 m 2).
Kondisi ini berbanding lurus dengan tidak adanya Kepala Desa Sangiang yang
menjabat lebih dari satu kali masa jabatan.

34Seperti melunasi PBB, menyukseskan setiap pemilu, realisasi pembangunan desa yang merupakan program
pemerintah dan sebagainya

68 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Bergesernya nilai dan orientasi kepala desa memang terjadi setelah
ditetapkan kebijakan negara berupa UU No. 5 Tahun 1979 beserta peraturan
perundang-undangan lainnya. Pergeseran tersebut berkontribusi pada pudarnya
motivasi warga Sangiang untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala desa.
Dengan kata lain, kebijakan membawa perubahan pada aspek kratos dan ternyata
perubahan tersebut membawa dampak pada aspek demos dan bangunan demokrasi
desa secara keseluruhan. Artinya secara langsung dan tidak langsung kebijakan
sebagai salah satu faktor ekstern memberikan dampak pada demos. Begitu pun
dengan perubahan pada aspek ekonomi, secara nyata memberikan dampak pada
perubahan pada aspek demos dan bangunan demokrasi desa secara keseluruhan.
Penghasilan yang kecil yang akan didapatnya dari kedudukannya sebagai kepala
desa menyebabkan motivasi warga untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi
kepala desa dalam pemilihan kepala desa menjadi pudar. Kalau ditelusuri lebih jauh,
tuntutan pada keinginan mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan
keluarga dalam kedudukannya sebagai kepala desa, tidak terlepas pada terjadinya
perubahan pada aspek sosial dan budaya seiring masuknya nilai-nilai modern
(bersama dengan liberal) yang cenderung mengandung nilai-nilai materialis. Dengan
kecenderungan tersebut maka tuntutan akan pemenuhan “kebutuhan manusia”
secara maksimal menjadi sulit dihindari. Artinya pergeseran nilai tidak hanya terjadi
pada kedudukan kepala desa tetapi juga pada diri individu warga desa. Selama ini
basis nilai yang menjadi pegangan warga dalam menjalani kehidupannya lebih ke
arah moral. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan kebutuhan, basis
nilai bergeser ke arah ekonomi.
Faktor yang mempengaruhi demokrasi (intern dan ekstern) dalam kasus
Sangiang ternyata tidak berjalan secara linear. Dengan kata lain, pengaruh dari
kedua faktor tersebut tidak hanya secara langsung ke arah demokrasi desa, tetapi
juga berlangsung pengaruh faktor ekstern terhadap faktor intern terlebih dahulu yang
kemudian berdampak pada demokrasi desa khususnya dalam pemilihan kepala
desa. Di antara bagian dalam faktor intern dan ekstern sendiri ternyata juga terjadi
faktor yang satu mempengaruhi faktor yang lain, dan dampak yang dimunculkan
mempengaruhi demokrasi desa secara umum dan pemilihan kepala desa secara
khusus. Dengan adanya pengaruh faktor ekstern terhadap intern, maka menjadi
wajar jika faktor ekonomi lebih nyata dampaknya pada pudarnya motivasi warga
dibanding pergeseran nilai dan orientasi kedudukan kepala desa.

69 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Demokrasi desa yang terbangun di Sangiang khususnya dalam pemilihan
kepala desa, tidak didasarkan pada satu ketentuan yang ditetapkan negara seperti
tertuang dalam kebijakan demokratisasi desa yang dapat dilihat pada UU No. 5 Tahun
1979 beserta peraturan perundang-undang lainnya. Musyawarah para tokos desa
sebagai suatu tradisi di Sangiang dalam mengambil keputusan ternyata tetap menjadi
bagian penting dalam membangun demokrasi di desanya. Dalam hal ini, adanya
pemilihan sangat tergantung pada “kemauan dan kemampuan” para tokoh desa
untuk menghadirkan calon kepala desa. Dengan kata lain demokrasi di Sangiang
dibangun oleh dua tradisi, liberal yang ditanamkan Negara melalui kebijakan
demokratisasi desa dan lokal yang selama ini menjadi basis demokrasi di Sangiang
yang bersumber dari tradisi desa.
Demokratisasi desa yang dilakukan negara pada masa ini memberikan dampak
yang cukup signifikan pada pemilihan kepala desa di Sangiang. Hal ini disebabkan
adanya perubahan kontruksi desa yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai
dan orientasi kepala desa sebagai pemimpin rakyat serta tidak sebandingnya beban
tugas yang harus dilaksanakan dengan penghasilan yang didapatnya dalam
kedudukannya sebagai kepala desa, menyebabkan motivasi warga desa untuk
mencalonkan diri dan dicalonkan menjadi kepala desa telah pudar. Bahkan, kalaupun
ada pemilihan kepala desa pasti hanya diikuti oleh calon tunggal, itupun dihadirkan
atas “kemauan dan kemampuan” para tokoh desa.

SARAN
Dalam demokrasi yang sesungguhnya, keikutsertaan calon tunggal dalam
suatu pemilihan kepala desa tidaklah salah. Yang bermasalah justru ketika tidak ada
yang bersedia untuk mencalonkan atau dicalonkan karena hal tersebut menunjukkan
rendahnya derajat atau kualitas demokrasi. Oleh karena itu, yang lebih penting dalam
demokratisasi (mendemokrasikan) desa, Pemerintah dengan kewenangan yang
dimilikinya, tidak boleh memaksakan kehendaknya dengan merubah kontruksi desa
dan segala yang ada di dalamnya sesuai dengan keinginannya. Negara tetap harus
memperhatikan tradisi desa untuk dimasukkan dalam kebijakan yang dibuatnya
ketika hendak membangun demokrasi desa karena tradisi desa tersebut merupakan
basis utama terbentuknya desa. Dengan begitu maka rasa memiliki akan timbul
dalam diri warga desa, sehingga akan ikut bertanggung jawab untuk membangun

70 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


desa dan demokrasinya di antaranya dengan bersedia mencalonkan diri atau
dicalonkan untuk menjadi kepala desa.
Langkah lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan
kesejahteraan pemerintah desa (kepala desa dan perangkatnya). Pemberian insentif
dari bagi hasil antara desa dan supra desa untuk sementara dapat saja memecahkan
persoalan tingkat kesejahteraannya. Namun, untuk terlembagakannya motivasi
warga yang tinggi untuk menjadi kepala desa maka pengembalian kekuasan pada
desa terkait nilai dan orientasi pemimpin desa serta tidak memberikan beban
pekerjaan yang berlebih dan administrtaif pada desa menjadi pilihan yang lebih arif
untuk diambil negara jika Negara bersunguh-sunguh hendak membangun demokrasi
dari bawah.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Muchtar. 1986. Ilmu-ilmu Kenegaraan (cetakan keempat). Bandung:
Lembaga Penerbitan Fakultas Sosial Politik Unpad
Castles, Stephen. 2001. Studying Social Transformation dalam International Political
Science Review Vol 22, No. 1, 13–32
Grugel, Jean. 2002. Democratization: A Critical Introduction. New York: Palgrave
Hatta, Moh. 2009. Demokrasi Kita. Pikiran-pikiran Tentang Demokrasi dan
Kedaulatan Rakyat. Bandung: Sega Arsy
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Iver, Mac. 1988. Negara Modern (cetakan kedua). (penerjemah Drs. Moertono).
Jakarta: Bina Aksara
Munthe, HM. 2007. Modernisasi dan Perubahan Sosial Masyarakat Dalam
Pembangunan Pertanian: Suatu Tinjauan Sosiologis dalam Jurnal Harmoni
Sosial, September 2007, Volume II, No.
Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito
Ndraha, Taliziduhu. 1991. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa.(Cet. Ketiga)
Jakarta: Bumi Aksara
Nederveen, Pieterse J. 2001. Participatory Democratization Reconseived. Futures
33 p. 407-422.
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial (Edisi Kedua) (penerjemah Farid Wajidi dan S Menno).
Jakarta: Rajawali

71 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Soemadiningrat, Otje Salman. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.
Bandung: Alumni
Seopomo, 1996. Bab-bab Tentang Hukum Adat (Cet. Ke-14), Jakarta: Pradnya
Pramita
Sugiono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Suwarno, PJ. 2000. Demokrasi Desa di Indonesia Melacak Akar dan Sejarahnya
dalam Dadang Juliantara (penyunting). 2000. Arus Bawah Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta:CIReD
Veil, Shari R. 2008. Civic Responsibility and Risk Democracy. Public Relation Review
p. 387-391

72 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


STRATEGI KEPALA DAERAH
MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN

Yanhar Jamaluddin35

ABSTRAK
Pada era reformasi pencalonan Kepala Daerah untuk mengikuti
pemilihan Kepala Daerah dilakukan melalui jalur partai dan jalur
perseorangan. Jalur partai merupakan mekanisme dimana calon Kepala
Daerah dicalonkan melalui institusi partai. Dalam beberapa kali pemilihan
Kepala Daerah yang dipilih langsung rakyat, calon yang diusung melalui jalur
partai adalah anggota partai dan bukan anggota partai. Dalam sistem
kepartaian di Indonesia, Kepala Daerah yang dicalonkan melalui partai
cenderung membawa misi-misi tertentu partai pendukung sehingga ketika
memenangkan pilkada, maka otomatis program yang dijalankan adalah misi
kepartaian dan Kepala Daerah akan lebih mudah mendapatkan dukungan
partai di parlemen. Sedangkan jalur perseorangan merupakan mekanisme
dimana calon Kepala Daerah mencalonkan diri secara independent tanpa
melalui dukungan partai. Kepala Daerah yang mencalonkan diri melalui jalur
perseorangan pada akhirnya akan kesulitan mendapatkan dukungan partai
di parlemen.
Fenomena ini secara langsung berimplikasi terhadap efektivitas
pemerintahan. Terselenggaranya pemerintahan yang efektif merupakan
harapan Kepala Daerah dan publik. Salah satu bentuk efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan adalah keberhasilan pemerintah
melaksanakan pelayanan yang memuaskan publik.
Pada konteks inilah artikel ini bertujuan untuk menganalisis strategi
Kepala Daerah mewujudkan efektivitas pemerintahan. Berdasarkan fakta
empiris, hasil diskusi dan penelusuran literatur terdapat beberapa strategi
Kepala Daerah mewujudkan efektivitas pemerintahan, yaitu : Kebijakan yang
disusun ; disepakati dan ditetapkan bersama Kepala Daerah dan DPRD,
kebijakan yang disusun sesuai dengan kehendak rakyat dan dapat
diimplementasikan menjadi kenyataan, selarasnya kebijakan daerah dengan
pusat, kepemimpinan politik yang transformatif, dan Manajemen kontrol
terhadap rencana kerja dan program.
Kata kunci : Strategi, Kepala Daerah, efektivitas, pemerintahan

PENDAHULUAN
Pada era reformasi pencalonan Kepala Daerah untuk mengikuti pemilihan
Kepala Daerah dilakukan melalui jalur partai dan jalur perseorangan. Jalur partai
merupakan mekanisme dimana calon Kepala Daerah dicalonkan melalui institusi
partai. Dalam beberapa kali pemilihan Kepala Daerah yang dipilih langsung rakyat,

Dosen FISIP Universitas Islam Sumatera Utara – Medan & Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor FISIP
35
Unpad / yanharja-ii@uisu.ac.id, /yanhar15001@mail.unpad.ac.id

73 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


calon yang diusung melalui jalur partai adalah anggota partai dan bukan anggota
partai. Apabila partai politik belum mempersiapkan kadernya yang akan menjadi
calon, pada akhirnya partai politik akan mengandalkan kepada kuantitas partai
pendukung lain atau kuantitas massa. Seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini,
Walikota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Batang
Yoyok Riyo Sudibyo, dan sebagainya adalah contoh Kepala Daerah berstatus
Pegawai Negeri Sipil yang jelas bukan anggota partai. Artinya, partai politik tidak
hanya telah membuka diri kepada tokoh yang bukan anggota partai, tetapi juga telah
mampu memilih dan menentukan calon yang tepat. Tidak heran bila cukup banyak
tokoh yang bukan anggota partai berupaya maju melalui jalur partai. Sedangkan jalur
perseorangan merupakan mekanisme dimana calon Kepala Daerah mencalonkan diri
secara independent tanpa melalui dukungan partai. Jalur perseorangan ini dipilih
calon Kepala Daerah salah satunya disebabkan ketidakpercayaan calon terhadap
partai politik.
Setiap pilihan, apakah calon Kepala Daerah maju melalui jalur partai politik
ataupun jalur perseorangan, memiliki konsekuensi politik. “ Konsekuensi politik yang
dimaksud terdiri dari konsekuensi yang dapat diperkirakan (intended consequences)
maupun yang tidak diperkirakan sebelumnya (unintended consequences) ” (Surbakti,
Kompas, 31/03/2016). Bila maju melalui jalur politik, pasangan calon yang terpilih
diperkirakan akan mendapat dukungan solid dari partai politik yang mencalonkannya
di parlemen. Namun dukungan itu tidaklah serta merta didapat secara langsung dari
partai politik, karena hal ini tergantung pada kepemimpinan politik Kepala Daerah
terpilih dalam menggalang dukungan dari partai tersebut di parlemen. Sebaliknya,
calon perseorangan yang terpilih menjadi Kepala Daerah diperkirakan akan kesulitan
memperoleh dukungan dari semua partai politik di parlemen. Dukungan pun akan
didapat juga sangat tergantung pada kepemimpinan politik Kepala Daerah terpilih
dalam menggalang dukungan dari partai tersebut di parlemen.
Sesungguhnya bagi rakyat arena pemilihan Kepala Daerah adalah untuk
mencari dan menentukan seorang pemimpin yang berkepemimpinan (leader for
leadership) (Utomo, 2009 : 104) ; Yaitu seorang Kepala Daerah yang keberadaannya
(fisik, moral, mental, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya) ada
diatas rata-rata masyarakat. Dengan kelebihan-kelebihan itu seorang Kepala Daerah
akan dapat viable untuk memimpin masyarakat dan daerah. Dengan kelebihan itu
pula masyarakat menaruh perhatian dan kepercayaan besar kepada Kepala Daerah
untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan mereka (Trust Approach).

74 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Besarnya harapan masyarakat terkadang tidak sebanding dengan kenyataannya,
artinya Trust Approach dari masyarakat tidak mampu diseimbangkan dengan Trait
Aproach (pendekatan ciri, sifat, karakter dan pembawaan) yang dimiliki Kepala
Daerah.
Ketidakmampuan Kepala Daerah menyeimbangkan antara Trust Approach
dan Trait Approach disebabkan dimensi leadership yang berkaitan dengan apek
Politik. Seperti halnya pencalonan Kepala Daerah yang dicalonkan melalui partai
cenderung membawa misi-misi tertentu dari partai pendukung sehingga ketika
memenangkan pemilihan Kepala Daerah, maka otomatis program dan rencana kerja
pemerintahan yang dijalankan adalah sebahagian besar misi partai. Sedangkan
Kepala Daerah yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan pada akhirnya akan
kesulitan dan akan berusaha mendapatkan dukungan partai ataupun fraksi di
parlemen terhadap visi – misi - rencana yang diusulkannya.
Fenomena seperti diatas mencerminkan adanya kegaduhan politik terhadap
peran Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan. Sementara disisi lain,
Kepala Daerah dituntut untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan. Alhasil situasi
ini pun secara langsung berimplikasi terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat
di daerah. Apalagi pada era reformasi, masyarakat tidak lagi bersifat pasif, tetapi
mereka lebih bersifat aktif dan responsif. Hal ini dapat dilihat dari permintaan dan
tuntutan masyarakat akan pelayanan yang memuaskan. Permintaan dan tuntutan ini
sangatlah rasional dan tidaklah berlebihan atau mengada-ada. Tuntutan masyarakat
kepada pemerintah akan pelayanan yang berkualitas dinilai tidak pula menyalahi
peraturan yang berlaku, karena apa yang mereka minta bertujuan untuk memperbaiki
pelaksanaan pembangunan, mencapai kehidupan masyarakat yang sejahtera - adil
dan makmur, sekaligus memperbaiki efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pelayanan publik adalah hak dari warga masyarakat yang harus disediakan
oleh pemerintah, dan sebaliknya pelayanan publik merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah. Itu artinya kedudukan warga masyarakat telah
mengalami perubahan dalam mendapatkan haknya. Seperti ditegaskan Kei Ho dan
Coates (2002) dalam Dwiyanto (2005:189) “ Cara pandang mengenai posisi
masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik dari semula sebagai customer
kemudian menjadi owner mempunyai arti lebih strategis bagi pemerintah daerah “.
Sebab menurut warga masyarakat, pemerintah daerahlah yang lebih banyak
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam
kenyataannya praktek pelayanan kepada warga tidak jarang sering terabaikan.

75 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Salah satu penyebabnya adalah adanya kegaduhan atau pun polemik yang dihadapi
Kepala Daerah karena adanya Other interest (antara melayani kelompok dan/atau
warga masyarakat).
Kepala Daerah selaku pimpinan organisasi perangkat daerah yang
melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan, perlu menyadari bahwa
pelayanan kepada warga masyarakat adalah suatu kewajiban yang harus
diutamakan (tanpa harus diminta), dan pelayanan tidak boleh diabaikan dikarenakan
adanya polemik ataupun kepentingan politik. Sudah semestinya Kepala Daerah
beserta perangkat daerah secara professional mengedepankan kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan warga masyarakat, bukan kepentingan partai ataupun
kelompok tertentu. Terpenuhinya kebutuhan warga masyarakat akan menjadi bukti
seperti apa kualitas pelayanan yang diberikan kepada warga masyarakat, sehingga
keadaan ini akan menjadi ukuran penilaian efektif tidaknya Kepala Daerah
menyelenggarakan pemerintahan.
Berdasarkan latar belakang diatas, artikel ini disusun untuk membahas
strategi apa yang harus dilakukan Kepala Daerah dalam rangka mewujudkan
efektivitas pemerintahan di Daerah.

PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Pengukuran Efektivitas
Efektivitas secara harfiah berasal dari kata efektif, yang berarti tujuan, atau
dengan kata lain efektivitas erat kaitannya dengan tujuan atau pencapaian tujuan
secara lebih baik. Menurut Etzioni (dalam Indrawijaya, 2000:12) “ Efektivitas
merupakan suatu usaha untuk mengukur sejauhmana keberhasilan suatu organisasi
dalam mencapai tujuan “. Sementara Sedarmayanti (2000:185-186), “ Dimensi
efektivitas berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal, dalam arti
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu ”. Sedangkan
menurut Bernard (dalam Gibson, Ivancevich, et.al, 2007:38) menegaskan “ Efektivitas
adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian menunjukkan
derajat efektivitas”. Berdasarkan pendapat diatas, efektivitas itu dipandang sebagai
pencapaian sasaran organisasi secara umum dan tercapainya out-put,
pertumbuhan atau produktivitas yang telah ditentukan.
Selanjutnya Gibson, Ivancevich, et.al, (2007:29-32) menegaskan bahwa
dalam perspektif efektivitas, manajer dan lainnya tertarik pada bagaimana organisasi
dapat efektif memfokuskan pada satu atau seluruh ketiga perspektif. Pertama –

76 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


efektivitas individual, yang menekankan pada kinerja tugas dari karyawan atau
anggota organisasi. Manajer secara rutin menilai efektivitas individu melalui proses
evaluasi prestasi untuk menentukan siapa yang akan menerima gaji, promosi, dan
balas jasa lain yang tersedia dalam organisasi. Kedua – bahwa individu jarang
bekerja sendiri, dalam bentuk isolasi dari rekan lain dalam organisasi. Biasanya
karyawan bekerja dalam bentuk kelompok sehingga masih diperlukan perspektif lain
dari efektivitas, yaitu efektivitas kelompok. Efektivitas kelompok secara sederhana
menurut Gibson, Ivancevich, et.al, adalah jumlah konstribusi seluruh anggota.
Perspektif Ketiga – adalah efektivitas organisasi. Efektivitas organisasi terdiri dari
efektivitas individu dan efektivitas kelompok.
Berdasarkan perspektif inilah efektivitas dapat digambarkan sebagaimana
berikut ini :
Gambar : Tiga Perspektif Efektivitas

Efektivitas Efektivitas Efektivitas


Individual Kelompok Organisasi

Sumber : Gibson, Ivancevich, et.al (2007:32)

Berdasarkan gambar diatas dapat dimaknai bahwa ketiga perspektif


efektivitas itu saling bersinergi satu sama lain ; efektivitas kelompok tergantung dari
efektivitas individual, dan efektivitas organisasi tergantung dari efektivitas individual
dan efektivitas kelompok. Hubungan ketiganya akan bervariasi ditentukan oleh
berbagai faktor. Seperti yang dikemukakan Steers (1977) : Terdapat 4 rangkaian
variabel yang berhubungan dengan efektivitas, yaitu : (1) ciri organisasi, (2) ciri
lingkungan, (3) ciri pekerja, (4) kebijakan dan praktek manajemen. Dalam berbagai
penelitian, ternyata variabel-variabel tersebut berperan penting memperlancar
terciptanya lingkungan kerja yang berorientasi prestasi.
Pengukuran efektivitas dalam perkembangannya mengalami fase-fase
penemuan, namum para analis organisasi sepakat bahwa kriteria yang paling
banyak digunakan untuk mengukur efektivitas, yaitu : kemampuan menyesuaikan diri
– keluwesan, produktivitas, kepuasan kerja, kemampuan berlaba, Pencarian
sumberdaya (Steers).
- Keluwesan merupakan kemampuan organisasi untuk mengubah prosedur
standard operasinya jika lingkungannya berubah, dan untuk mencegah
terjadinya kebekuan terhadap rangsangan lingkungan.

77 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


- Produktivitas, dinilai secara kuantitas dari produk atau jasa yang dihasilkan.
Produktivitas ini pun dapat dibedakan atas tiga tingkatan : Individu, kelompok,
dan keseluruhan organisasi. Dalam pengukuran produktivitas tidak ada
perhitungan biaya dan keluaran.
- Kepuasan kerja, yaitu tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas
peran dan pekerjaannya dalam berbagai situasi pekerjaan dan perkembangan
organisasi, yang dibuktikan dengan diterimanya imbalan yang setimpal
- Kemampuan berlaba, berarti penghasilan (bisa juga out-put) atas penanaman
modal yang dipakai untuk menjalankan organisasi. Bisa juga dilihat dari jumlah
sumberdaya yang masih tersisa setelah biaya dan sumberdaya lainnya telah
dipenuhi.
- Pencarian sumberdaya, dimaksudkan sejauhmana organisasi melaksanakan
seluruh tugas pokoknya atau mencapai sasarannya, dengan memanfaatkan
sumberdaya secara efisien.
Jika diperhatikan kelima kriteria efektivitas organisasi tersebut ternyata juga
menimbulkan pandangan yang berbeda-beda. Ini menyangkut tentang : 1) kriteria
mana yang dianggap penting dan berpengaruh besar terhadap kesinambungan
organisasi, dan 2) apakah kriteria tersebut tepat diterapkan pada jenis-jenis
organisasi ?. Bertitik tolak dari perbedaan yang ditimbulkan, maka yang terpenting
dari semua itu adalah bahwa setiap usaha untuk menilai tingkat efektivitas organisasi
yang berlaku saat itu harus didahului oleh analisis yang teliti mengenai kemungkinan
pembatasan yang mungkin tidak dapat dipisahkan dari setiap usaha evaluasi.
Analisis yang dilakukan diawal sebelum dilakukannya pengukuran, adalah tindakan
mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan efektivitas.

B. Efektivitas Pemerintahan
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa efektivitas suatu organisasi
dipandang sebagai pencapaian sasaran organisasi secara umum dan tercapainya
out-put, pertumbuhan atau produktivitas yang telah ditentukan dan dicapai secara
bersama-sama. Pencapaian sasaran organisasi itu pun tidak terlepas dari
konsistennya organisasi melaksanakan tugas dan fungsinya. Jika seperti itu batasan
suatu efektivitas organisasi, maka dalam konteks organisasi pemerintah dapat
dimaknai bahwa parameter efektivitas pemerintahan adalah a. terlaksananya tugas
pokok, fungsi dan peran birokrasi pemerintahan secara tepat dan benar, dan b.
terciptanya tata pemerintahan yang baik.

78 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Tugas pokok dan fungsi birokrasi pemerintahan sebagaimana dikemukakan
Agus Dwiyanto (2005:378), dapat dibedakan atas tiga, yaitu Membuat kebijakan dan
regulasi, Menyelenggarakan pelayanan, dan Memaksakan adanya kepatuhan
terhadap peraturan perundangan dan standar norma yang berlaku. Tugas pokok dan
fungsi ini penting untuk dilakukan karena tugas pokok dan fungsi yang berbeda akan
menciptakan peluang dan kendala yang berbeda dalam mengembangkan strategi
dan kebijakan. Perbedaan tersebut tidaklah pula menjadikan satuan organisasi berdiri
sendiri, lepas dari koordinasi dan integrasi dengan satuan organisasi lainnya.
Sedangkan peran yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah dimulai dari peran
mengatur kehidupan masyarakat (regulative), melindungi masyarakat (protective),
mendistribusikan sumberdaya (redistributive), memberikan subsidi agar masyarakat
mau melakukan kegiatan yang diinginkan pemerintah (distributive), sampai peran
pemberian pelayanan publik (public service). Keseluruhan peran itu menunjukkan
kalau birokrasi pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan publik, atau
dengan kata lain birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Sementara tata pemerintahan sebagaimana dirumuskan oleh UNDP (1997)
dalam Sumarto (2003: 3) “ Tata Pemerintahan (Governance) meliputi Pemerintah –
sektor swasta – dan civil society - serta interaksi antar ketiga elemen tersebut “.
Selanjutnya dalam dokumen kebijakannya UNDP menyebutkan ciri ciri good
governance, yaitu mengikutsertakan semua, transparan dan bertanggungjawab,
efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas -
prioritas politik – sosial - dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat, serta
memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses
pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. Dari
rumusan dan ciri itu dapat dimaknai bahwa aktivitas mengatur sebuah tata
pemerintahan yang baik mutlak harus didasarkan pada prinsip-prinsip dimaksud
sehingga pemerintahan menjadi lebih efisiensi, responsif, akuntabel dan bebas dari
praktik Korupsi-Kolusi-Nepotisme, serta berkeadilan. Karena prinsip itu melekat
dalam setiap aspek kehidupan birokrasi pemerintah, maka mau tidak mau efisiensi,
daya tanggap serta akuntabel senantiasa harus diperbaiki dan dikembangkan.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menjamin tercapainya tata kelola pemerintahan
yang baik.
Berdasarkan parameter efektivitas pemerintahan diatas, maka birokrasi
adalah sebagai alat kerja pemerintahan menjadi ujung tombak untuk menjalankan

79 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


tugas-tugas pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan dan memberikan
pelayanan publik. Ini merupakan bukti bahwa kedudukan pemerintah daerah sangat
strategis dalam melayani publik, sehingga Kepala Daerah harus professional dan
efektif dalam mengemban misi pemerintahan dan kerakyatan. Upaya Kepala Daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif adalah dengan merealisasikan
komitmen untuk melaksanakan pelayanan publik yang memuaskan. Hal ini tidaklah
mudah untuk dilaksanakan. Purwanto (dalam Dwiyanto, 2005:179) menyatakan “
Untuk mewujudkan komitmen melaksanakan pelayanan publik yang memuaskan
bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena birokrasi
pemerintah didaerah selama bertahun-tahun telah menginternalisasi nilai-nilai lama
seperti paternalisme, mental priyayi, mental pangreh, dan lain sebagainya yang jauh
dari prinsip-prinsip good governance. Bahkan lebih ekstrim lagi, nilai-nilai lama
tersebut justru mendorong munculnya praktik bad governance yang
menumbuhsuburkan prilaku korupsi, kolusi, dan Nepotisme “. Untuk itulah Kepala
Daerah perlu mempersiapkan strategi pendukung agar setiap aktivitas birokrasi
pemerintah senantiasa berada pada jalur pencapaian sasaran/tujuan pemerintahan
yang efektif dan efisien.

C. Strategi Kepala Daerah Mewujudkan Efektivitas Pemerintahan


Secara literal, strategi berasal dari bahasa Yunani stratos = tentara (army),
dan strategos = keperwiraan (generalship). Sedangkan secara substansial strategi
pada awalnya adalah merupakan konsep dan sikap mental untuk membuat seorang
manajer berpikir – bertindak seperti seorang Jenderal komandan perang, dan
kemudian konsep ini berkembang untuk membantu manajer membuat rencana tindak
yang terstruktur untuk mencapai tujuan organisasi (Kaufman dan Wallack, 1980: 12
– dalam Setiyono, 2014: 94). Strategi berbeda dengan taktik (tactics) yang
berorientasi untuk mengatasi persoalan yang sifatnya terbatas, karena konsep
strategi memiliki makna yang lebih komprehensif dan dirancang untuk menghadapi
multiple war (berbagai pertempuran / persoalan).
Dalam konsep manajerial, strategi merupakan sub-sistem dari Planning, yang
akhirnya dikenal dengan istilah Strategic Planning. Mengutip pendapat Olsen dan
Eadie, 1982:4 dalam Setiyono, 2014: 95, yang mendekatkan pemahaman strategi
terhadap penyelenggaraan pemerintahan disebutkan “ Strategic Planning adalah
sebuah disiplin usaha untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang membentuk
pola dan arah aktivitas pemerintah dengan batasan konstitusi “. Pendapat ini

80 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


memberikan pemahaman bahwa setiap sesuatu yang akan dilakukan pemerintah
terlebih dahulu harus didasarkan pada keputusan yang disusun secara rasional dan
mementingkan kemajuan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan peraturan
dan ketentuan yang berlaku. Karenanya strategi perlu dibangun oleh Kepala Daerah
yang berorientasi pada pencapaian hasil riel dan efektifnya pemerintahan, mengingat
Kepala Daerah sebagai pejabat politis (politisi) biasanya cendrung memiliki orientasi
yang pendek dan sempit berdasarkan kepentingan politis sesaat. Dengan strategi,
maka diharapkan kinerja pemerintahan akan lebih terkontrol dan efektivitas
pemerintahan dapat tercapai, sehingga muara pelayanan publik akan lebih jelas
terukur secara rasional.
Untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, maka beberapa strategi yang
dapat dilakukan Kepala Daerah, antara lain :

1. Kebijakan yang disusun ; disepakati dan ditetapkan bersama antara Kepala


Daerah dan DPRD.
Sebagai pejabat politis Kepala Daerah memiliki tugas pokok membuat
kebijakan-kebijakan mikro sebagai terjemahan dari kebijakan-kebijakan makro
yang dibuat oleh DPRD. Sedangkan DPRD bertugas membuat kebijakan-
kebijakan makro dalam bentuk peraturan daerah atau ketentuan regulasi lainnya.
Demi pelayanan kepada masyarakat maka Kepala Daerah (sebagai pejabat
politik) dan DPRD melakukan kerjasama dalam menyusun kebijakan-kebijakan
untuk kemajuan, kesejahteraan dan kepentingan daerah dan masyarakat, bukan
demi golongan/kelompok ataupun jabatan yang diemban. Dalam konteks
penyelenggaraan otonomi didaerah, suatu kebijakan yang akan ditetapkan,
menurut Utomo (2009 : 44), kebijakan perlu difokuskan pada empat isu strategis
yaitu pengembangan kelembagaan, pengembangan sumberdaya aparatur,
pengembangan Jaringan Kerja (Net working), dan pengembangan lingkungan
yang kondusif (Suistainable).
Isu strategis pengembangan kelembagaan tidak hanya secara mikro dan
statis yang menyangkut birokrasi atau perangkat daerah baik unsur penunjang
(sekretariat) – unsur pelaksana (Dinas, Kantor, Badan) – maupun unsur-unsur
pendukung (Lembaga-Lembaga Teknis), tetapi juga menyangkut baik badan
eksekutif maupun badan legislatif (Utomo, 2009 : 79). Penguatan kelembagaan
pemerintahan lokal khususnya Kepala Daerah dan DPRD sangatlah strategis dan
kritis, karena harus diakui bahwa sebahagian besar dari mereka tidaklah terlalu

81 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


berpengalaman dalam bidang pemerintahan. Tetapi dengan perubahan
paradigma diikuti dengan adanya kesadaran dan semangat, akan menjadi
kekuatan untuk mengembangkan komponen-komponen kelembagaan
pemerintahan di daerah.

2. Kebijakan yang disusun ; sesuai dengan kehendak rakyat dan dapat


diimplementasikan menjadi kenyataan, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh
warga masyarakat.
Salah satu cara untuk mendorong terlaksananya strategi ini adalah
melibatkan warga masyarakat didalam proses pembuatan kebijakan.
Dilibatkannya warga dalam proses pembuatan kebijakan sesungguhnya banyak
keuntungan yang diperoleh. Pertama : adanya peningkatan kualitas kebijakan
yang dihasilkan, Kedua : Seperti yang diungkapkan Smith dan Ingram (1993)
dalam Dwiyanto (2005:190), selain mendatangkan keuntungan bagi masyarakat,
partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan juga akan memberikan
manfaat bagi pemerintah, sebab pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam arti
ada peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pembuatan kebijakan. Demikian
pula yang dikemukakan Webler, Kastenholz, dan Renn (1995) dalam Glicken
(2000:302) – dikutip dari Dwiyanto (2005:190) – bahwa partisipasi publik dalam
proses pembuatan keputusan akan mendatangkan keuntungan yaitu ;
memberikan konstribusi terhadap peningkatan kompetensi para pembuat
keputusan melalui pengembangan pembuatan kebijakan yang berkualitas,
memberikan legitimasi yang lebih besar terhadap keputusan-keputusan yang
dibuat karena partisipasi publik dapat meningkatkan akuntabilitas publik dalam
proses pengambilan keputusan, serta memberikan citra positif sebagai suatu
masyarakat yang demokratis. Yang lebih penting lagi bahwa melalui partisipasi
publik dalam proses pembuatan kebijakan adalah warga dapat membantu
meningkatkan jaminan atau kepastian bahwa suara dan kepentingan individu
maupun kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat didengarkan dan
direspon oleh pemerintah secara adil (Denhardt dan Denhardt, 2003:50).
Keterlibatan warga merupakan representasi warga dan stakeholder yang
secara langsung memperlihatkan adanya interaksi aktif warga dan stakeholder
dengan para pembuat kebijakan dalam merespon isu kebijakan dan dalam
menyusun kebijakan. Representasi dari warga dan stakeholder ini dapat secara
langsung menyampaikan gagasan dan pemikiran terkait dengan isu kebijakan atau

82 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


rancangan kebijakan tertentu yang akan dirumuskan oleh pemerintah. Dengan
demikian aspirasi dari warga dan stakeholder dapat diperhatikan dan menjadi
pertimbangan penting dalam proses pembuatan kebijakan. Jika seperti ini
mekanisme yang dilakukan pemerintah maka efek dari representasi warga dan
stakeholder akan memudahkan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan
mewujudkannya melalui program-program konkrit di masyarakat.
Sedangkan cara lainnya adalah dengan mendorong warga dan stakeholder
untuk terlibat secara langsung dalam wacana publik mengenai isu-isu kebijakan
tertentu. Apa yang telah diperbuat oleh beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota
di Indonesia dengan memberdayakan forum-forum partisipasi warga, pada
umumnya berperan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang terjadi di lingkungan mereka. Melalui forum-forum seperti
ini pula aspirasi warga akan dapat lebih terakomodir.dan masyarakat akan merasa
bebas mendiskusikan dan menyampaikan pendapat mengenai berbagai isu dan
masalah mereka. Lebih menarik lagi adalah forum itu sering menjadi rujukan bagi
DPRD maupun Kepala Daerah dalam proses pembuatan kebijakan.
Dengan memiliki informasi-informasi mutakhir tersebut, Kepala Daerah
bersama DPRD dalam proses kebijakan dapat dengan mudah mengakomodasi
kehendak warga dan kepentingan publik dalam proses kebijakan pemerintah. Jika
pada akhirnya pilihan kebijakan yang diambil Kepala Daerah dan DPRD benar-
benar sesuai dengan kehendak dan aspirasi warga, maka implementasi kebijakan
itu pun akan mendapat dukungan dari warga. Akibatnya segala konsekuensi politik
dan sosial yang mungkin akan ditimbulkan sebagai akibat dari pelaksanaan suatu
kebijakan, akan menjadi konsekuensi yang dihadapi bersama.

3. Selarasnya kebijakan daerah dengan pusat.


Ketidakselarasan antara kebijakan daerah dengan pusat selalu terjadi.
Misalkan terkait kebijakan penyederhanaan izin berinvestasi. Dari pusat
menyebutkan ada penyederhanaan izin, tetapi tidak sinkron dengan didaerah
sehingga investor mengalami keruwetan dalam pengurusan perizinan dilapangan,
khususnya izin yang ditangani pemerintah daerah (Kompas, 30/04/2016).
Sepatutnya kebijakan dari pusat yang memudahkan investor dalam memulai
investasi hendaknya diselaraskan dengan kebijakan daerah. Karena dengan
kebijakan yang memudahkan investor memulai bisnis harus terasa dari pusat
hingga daerah yang menjadi lokasi investasi.

83 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Strategi menyelaraskan antara kebijakan daerah dengan pusat bertujuan
untuk memperlancar dan mensinkronkan pencapaian tujuan nasional, sehingga
tercipta adanya keseragaman dalam implementasinya. Namun dalam upaya
menyelaraskan kebijakan pusat dengan daerah perlu diingat bahwa berdasarkan
pengalaman ada terdapat kebijakan yang sifatnya hanya menyeragamkan dan
mengendalikan kebijakan di daerah yang ternyata sering kali tidak cocok dengan
situasi dan kondisi daerah. Begitu juga sebaliknya terdapat kebijakan-kebijakan
daerah yang bertolakbelakang dengan kebijakan yang lebih tinggi diatasnya,
seperti Peraturan Pemerintah. Dampak yang ditimbulkan adalah banyak kebijakan
pemerintah pusat yang akhirnya gagal memperoleh dukungan penuh dan
partisipasi masyarakat di daerah karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi daerah. Demikian juga banyak kebijakan-kebijakan daerah yang akhirnya
dicabut karena tidak selaras dengan kebijakan pusat.
Perbedaan budaya, nilai-nilai lokal, geografis, dan ekonomis didaerah yang
berbeda-beda melahirkan kebutuhan yang berbeda pula, sehingga akhirnya
menuntut kebijakan yang berbeda pula. Kumorotomo (2005) dalam Sugandi
(2011:125), pernah menjelaskan beberapa hal mengenai mengapa banyak
kebijakan, program dan pelayanan publik yang kurang responsif terhadap aspirasi
masyarakat, yaitu : Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada
kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan
dirinya sebagai penguasa sesuai filosofi paternalistik. Kedua, terdapat
kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan
dengan yang dikehendaki oleh rakyat.
Dari beberapa penyebab tersebut dan bagaimana agar terdapat
keselarasan antara kebijakan pusat dengan daerah maka seorang Kepala Daerah
harus menjalin dan memperkuat Komunikasi Pemerintahan. Dalam lingkup mikro
; komunikasi pemerintahan itu mempertemukan antar lembaga pemerintahan yang
bertujuan untuk koordinasi dan integrasi program, sedangkan dalam lingkup makro
; komunikasi pemerintahan itu mempertemukan antara pemerintah dengan
masyarakat. Melalui komunikasi pemerintahan pula terjalin hubungan kerja yang
dapat mensinergikan keinginan, kebutuhan dan harapan diantara dua pihak yang
memiliki peran berbeda. Seperti yang dikemukakan Hasan (2005:95) “ Dalam
hubungan kerja dikenal adanya komunikasi informasi dan komunikasi hubungan
kerja. Komunikasi informasi biasanya disampaikan oleh pimpinan kepada unit-unit
kerja dibawahnya melalui kegiatan apel kerja atau dalam suasana rapat,

84 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


sedangkan komunikasi hubungan kerja adalah suatu cara dalam menyampaikan
kegiatan yang harus dilaksanakan dengan tujuan agar kegiatan tersebut dapat
berhasil secara efisien dan efektif “.
Dari pendapat itulah, maka model komunikasi pemerintahan yang harus
dikembangkan Kepala Daerah terutama dalam menyelaraskan kebijakan pusat
dan daerah adalah model komunikasi hubungan kerja. Dengan model komunikasi
hubungan kerja, antara pusat dan daerah dapat saling menyampaikan isu
kebijakan ataupun gagasan terkait permasalahan dan pelayanan publik. Begitu
pula dengan model komunikasi hubungan kerja tercipta keterbukaan akan
keinginan dan kebutuhan masing-masing yang dapat dikonkritkan dalam suatu
kebijakan. Hal yang sama pernah dikemukakan Gondokusumo (1980:2), aktivitas
komunikasi yang terjalin dalam hubungan kerja pada umumnya bertujuan untuk :
(1) meningkatkan hubungan kerja dan kerjasama antar organisasi atau
departemen, (2) mengetahui sedini mungkin masalah-masalah yang timbul dalam
pelaksanaan pekerjaan, (3) mengurangi aspek negatif dari timbulnya konflik, dan
(4) mendorong semangat kerja.

4. Kepemimpinan politik yang transformatif,


Menurut dimensinya, fungsi dari kepemimpinan itu memiliki dua dimensi
yaitu :
a. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan
(direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, dan
b. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau
keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas
pokok kelompok/organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui
keputusan-keputusan dan kebijaksanaan pemimpin.
Berdasarkan dimensi itu, maka seorang Kepala Daerah disamping memiliki
kemampuan manajerial dalam bidang pemerintahan, yaitu dengan menjalankan
fungsi Instruktif – Konsultatif – Partisipasi – Delegatif – dan Pengendalian, Kepala
Daerah dituntut pula memiliki kemampuan profesionalisme dibidang politik
pemerintahan. Konsekuensi akan hal itulah, Kepala Daerah dituntut memiliki
kemampuan politik untuk menjalin kerjasama dan interaksi dengan DPRD, mampu
menterjemahkan kebijakan-kebijakan DPRD, dan memiliki kemampuan
mentransformasikan gagasan sesuai tuntutan kebijakan kepada perangkat daerah

85 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


agar dapat digerakkan. Dalam konsep kepemimpinan inilah yang disebut dengan
kepemimpinan transformatif atau transformasional.
Kepemimpinan Transformatif sebagaimana diuraikan Pasalong (2008:128)
dengan istilah kepemimpinan Transformasional yang terdiri dari kepemimpinan
dan transformasional. Menurutnya, kepemimpinan adalah gaya (cara atau teknik)
yang digunakan pimpinan dalam mempengaruhi pengikut atau bawahannya dalam
melakukan kerjasama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan
Transformasional adalah mengubah sesuatu hal menjadi bentuk lain. Jadi
menurutnya kepemimpinan transformasional adalah bagaimana mengubah
pengikut (SDM) ke arah pengembangan organisasi. Sementara Bass (dalam
Gibson, Ivancevich, et.al, 1997:86) menyatakan “ Kepemimpinan
Transformasional adalah kemampuan untuk memberi inspirasi dan memotivasi
para pengikut untuk mencapai hasil—hasil yang lebih besar daripada yang
direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal “
Menyimak dari pendapat tersebut maka dalam konteks organisasi
pemerintah daerah, makna pengikut (SDM) tidaklah hanya terbatas pada jajaran
pegawai di semua satuan pelaksana perangkat daerah saja, namun meluas
hingga ke anggota DPRD – masyarakat - dan stakeholder lainnya, yang secara
kelembagaan bersinergi dengan Pemerintah Daerah. Oleh karenanya dengan
gaya transformasional ini, Kepala Daerah dapat melakukannya dengan cara :
meningkatkan kesadaran para sumberdaya akan pentingnya peran mereka
masing-masing, mengarahkan mereka untuk tetap fokus pada kepentingan dan
tujuan bersama (visi-misi daerah), membangun interaksi dan kemitraan bersama
sesuai perannya masing-masing, dan mengembangkan potensi pegawai,
masyarakat, dan stakeholder secara optimal dalam mengimplementasikan
kebijakan dan program daerah.
Namun perlu diingat, ketika Kepala Daerah akan menerapkan
kepemimpinan transformasional ini dalam pengelolaan pemerintahan dan untuk
mencapai keberhasilannya maka setidaknya ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan. Pasalong (2008:130) menguraikan ada sepuluh prinsip
kepemimpinan transformasional yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Kejelasan visi,
(2) kesadaran pegawai, (3) pencapaian missi berorientasi pada pencapaian visi,
(4) pelopor perubahan, (5) pengembangan diri, (6) pembelajaran pegawai, (7)
pemberdayaan pegawai, (8) pengembangan kreativitas, (9) membudayakan
kerjasama, dan (10) kondusifitas organisasi. Dengan mengetahui prinsip-prinsip

86 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


tersebut, Kepala Daerah dalam menerapkan kepemimpinan transformasional
telah dapat mempersiapkan diri dalam kapasitasnya sebagai pimpinan daerah,
bukan pimpinan kelompok atau golongan tertentu.

5. Manajemen kontrol terhadap rencana kerja dan program.


Terhadap strategi ini Kepala Daerah tidak bisa mengkesampingkan
pentingnya aspek kompatibilitas atau keserasian dan Sensitivitas. Utomo (2009 :
81) menegaskan “ ........ karena Governance didalam rangka otonomi daerah,
secara makro menghendaki kompatibilitas antara pemerintah – swasta – dan
masyarakat, sedangkan secara mikro didalam pemerintahan daerah dituntut
adanya kompatibilitas diantara komponen-komponen yang ada didalam
pemerintahan “. Penguatan kompatibilitas antar komponen ini sangat diperlukan
karena tujuan akhirnya adalah terciptanya hubungan kemitraan Kepala Daerah
dengan seluruh komponen makro dan mikro pemerintahan. Kepala Daerah harus
sadar bahwa tugasnya untuk memandirikan daerah dan masyarakatnya melalui
rencana kerja dan program-program, dan untuk mencapai itu tidak dapat dilakukan
sendiri tanpa melalui kemitraan dengan komponen lain. Kompatibilitas tidak saja
dapat dilakukan dengan komunikasi, negoisasi dan interaksi, tetapi juga concern
Kepala Daerah terhadap fungsi, misi dan tugas pokoknya. Maka rencana kerja dan
program strategis yang ada dalam skema perencanaan daerah merupakan
pedoman bagi semua komponen di daerah.
Jika kompatibilitas diarahkan pada hubungan Kepala Daerah secara
ekstern, maka sensitivitas diarahkan pada kepekaan intern seorang Kepala
Daerah terhadap keberadaan lingkungan daerah, terutama kepekaannya terhadap
potensi-potensi yang tersedia didaerah. Karena melalui sensitivitas ini akan
muncul analisa strategis Kepala Daerah untuk mengembangkan potensi daerah.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pendahulun dan pembahan diatas, maka penulis
menarik kesimpulan :
a. Strategi untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan perlu dibangun oleh
Kepala Daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil riel yang efektif.
Perlunya strategi, mengingat Kepala Daerah sebagai pejabat politis (politisi)
biasanya cendrung memiliki orientasi yang pendek dan sempit berdasarkan

87 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


kepentingan politis sesaat. Dengan strategi, maka diharapkan kinerja Kepala
Daerah dalam mengelola pemerintahan akan lebih terkontrol dan efektivitas
pemerintahan dapat tercapai, sehingga muara pelayanan publik akan lebih jelas
terukur secara rasional.
b. Untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, maka beberapa strategi yang
dapat dilakukan Kepala Daerah, antara lain : (1) Kebijakan yang disusun ;
disepakati dan ditetapkan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD, (2)
Kebijakan yang disusun ; sesuai dengan kehendak rakyat dan dapat
diimplementasikan menjadi kenyataan, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh
warga masyarakat, (3) Selarasnya kebijakan daerah dengan pusat, (4)
Kepemimpinan politik yang transformatif, dan (5) Manajemen kontrol terhadap
rencana kerja dan program.

B. Saran
Untuk mendorong agar strategi-strategi tersebut dapat terlaksana dalam
mewujudkan efektivitas pemerintahan, maka penulis merekomendasikan agar
Kepala Daerah :
a. Bersinergi dengan DPRD dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang
difokuskan pada empat isu strategis yaitu pengembangan kelembagaan,
pengembangan sumberdaya aparatur, pengembangan Jaringan Kerja (Net
working), dan pengembangan lingkungan yang kondusif (Suistainable).
b. Melibatkan warga masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, karena
akan meningkatkan kualitas kebijakan yang dihasilkan, mendatangkan
keuntungan bagi masyarakat, dan pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam
arti ada peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pembuatan kebijakan.
c. Menjalin dan memperkuat Komunikasi Pemerintahan melalui model komunikasi
hubungan kerja.
d. Mengembangkan prilaku kompatibilitas atau keserasian dan Sensitivitas.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Bass, Bernard M, 1985, Leadership : Good, Better, Best, Organizational Dynamics,
13, 26 – 40.
Denhardt, J.V and Denhardt, R.B, 2003, The New Public Service : Serving, not
Steering, Armonk, etc: M.E. Sharpe.

88 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Dwiyanto, Agus, 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,
Yogyakarta: UGM-Press
Gondokusumo, A.A, 1980, Komunikasi Penugasan, Jakarta: Gunung Agung
Hasan, Erliana, 2005, Komunikasi Pemerintahan, Bandung: Refika Aditama
James, A. Gibson, James L, dan Ivancevich, John M. et.al, 1997, Organisasi,
Struktur, Proses, Alih Bahasa Nunuk Adriani, Tangerang: Binarupa Aksara.
James, A. Gibson, James L, dan Ivancevich, John M. et.al, 2007, Organisasi, Struktur,
Proses, Alih Bahasa Nunuk Adriani, Tangerang: Binarupa Aksara.
Kei Ho, A.T and Coates, P, 2002, Citizen Participation: Legitimazing Performance
measurement as a Decision Tool “, Goverment Finance Review, April
Pasalong, Herbani, 2008, Kepemimpinan Birokrasi, Bandung: Alfabeta
Sedarmayanti, 2000, Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan, Bandung: Mandar Maju.
Setiyono, Budi, 2014, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, Jakarta: BUKU
SERU
Steers, Richard M. 1985, Efektivitas Organisasi, Goodyear Publishing Company, Inc
– LPPM dan Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sugandi, Yogi Suprayogi, 2011, Administrasi Publik – Konsep dan Perkembangan
Ilmu di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumarto, Hetifah Sj, 2003, Inovasi – Partisipasi – dan Good Governance, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Utomo, Warsito, 2009, Administrasi Publik Baru Indonesia : Perubahan Paradigma
dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Surat Kabar :
Kompas, 31/03/2016, Calon Perseorangan dan Pemda
Kompas, 20/04/2016, Selaraskan Kebijakan di Pusat dan Daerah

89 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH DALAM MEWUJUDKAN
TUJUAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Dewi Kurniasih36 dan Aos Kuswandi37

ABSTRAK
Pencapaian tujuan penyelenggaraan good governance adalah impian kita bersama.
Namun kenyataannya sulit untuk dicapai. Kondisi dan berbagai permasalahan yang
ada di daerah menuntut kemampuan yang handal dari Kepala Daerah. Bupati dan
walikota sebagai pemimpin di Kabupaten atau Kota memegang peranan penting
dalam pencapaian keberhasilan tersebut. Kepemimpinan pemerintahan menjadi
penentu dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Gaya
kepemimpinan bupati dan walikota menentukan prestasi dari penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan demokratik, partisipatif, kharismatik, yang didukung oleh inovasi,
kejujuran dan transparansi dalam pembangunan dan pelayanan publik, mampu
membawa kabupaten dan kota mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang baik.
Kata kunci : Kepemimpinan, pemerintah daerah, Good Governance

ABSTRACT
Achieving of the good governance goal is our dream. But the reality is difficult to
achieve. Conditions and various problems that exist in the region requires a reliable
ability of the regional leader. Regents and mayors as leaders in the District or City
play an important role in achieving that success. Government leadership becomes the
determinant in realizing the goals of governance. The leadership style of the regents
and mayors determines the achievements of local governance. Based on the results
of the research show that democratic leadership style, participative, charismatic,
supported by innovation, honesty and transparency in development and public
service, able to bring districts and cities to achieve the goal of good local governance.
Keywords: Leadership, Local Government, Good Governance

PENDAHULUAN
Perubahan paradigma dalam penyeleggaraan pemerintahan di Indonesia,
baik pusat maupun daerah, telah memposisikan pentingnya organisasi dan
manajemen pemerintahan. Hal ini seiring dengan adanya perubahan kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralistik menjadi desentralistik. Sejak
perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
disempurnakan kembali dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004, semakin
menekankan bahwa pemerintahan daerah merupakan unjuk tombak bagi pencapaian

36 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Unikom.


37 Dosen Tetap Prodi Magister Ilmu Pemerintahan, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam 45.

90 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Perubahan kebijakan
kemudian terjadi lagi sebagai upaya pemisahan pengaturan dalam kebijakan antara
Pemerintahan Daerah dan Desa dengan adanya UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 6 Tahun 2016 Tentang Desa. Dua paket UU
tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemerintahan
desa dapat efektif dan efisien. Tentu saja dengan semakin mendekatkan pemerintah
dengan masyarakat di daerah dan desa.
Pentingnya organisasi dan manajemen dalam pemerintahan daerah pasca
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2014 adalah kebutuhan mutlak. Karena pemerintah
daerah dituntut untuk memiliki struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan di
daerahnya masing-masing dengan memperhatikan kemampuan sumberdaya yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah tersebut. Sumberdaya yang dimaksud adalah
kemampuan dan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Apapun
kondisi daerah yang dimiliki, maka peranan manajemen menjadi sangat diperlukan.
Hal ini tentu saja diperlukan adanya sosok pempimpin kepala daerah yang memiliki
kemampuan, komitmen dan memahami permasalahan, kebutuhan dan sumberdaya
yang dimilikinya.
Organisasi Pemerintahan Daerah yang merupakan satu kesatuan sistem
dalam pengelolaan berbagai urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangannya sesuai dengan UU, perlu dikelola dengan baik. Oleh karenanya
kehadiran seorang pemimpin dalam pemerintahan daerah adalah menjadi hal pokok.
Kepala Daerah sebagai pemimpin sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah memegang peranan penting dalam mencapai tujuan pemerintahan daerah.
Pengelolaan urusan pemerintahan dan penanganan berbagai permasalahan
serta kebutuhan masyarakat di daerah yang dipimpinnya menjadi tanggung jawab
kepala daerah sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berbagai kebijakan dan strategi yang dibuat bersama-sama dengan DPRD menjadi
kunci keberhasilan pembangunan. Oleh karenanya kepiawaian seorang kepala
daerah baik Bupati/Walikota dalam memimpin daerahnya menjadi fokus dalam
kepemimpinan pemerintahan daerah.
Seiring bergulirnya otonomi daerah, tuntutan masyarakat atas kualitas
pelayanan dan capaian pembangunan daerah menjadi agenda yang harus dipenuhi
oleh Pemerintahan Daerah. Banyak pemerintah kabupaten atau kota yang masih
belum menunjukkan komitmen dalam pencapaian kualitas pelayanan dan
pembangunan daerah namun banyak juga Bupati dan Walikota yang secara

91 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


sungguh-sungguh berkomitmen untuk memajukan dan mensejahterakan rakyatnya
melalui kebijakan pembangunan yang mendekatkan pada rakyat.
Setelah reformasi politik dan pemerintahan tahun 1998 dan dengan
digulirkannya UU Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 yang kemudian diganti
dengan UU No. 23 Tahun 2014, banyak bermunculan Bupati dan Walikota yang
cukup baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Fenomena ini merupakan
angin segar bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Contoh
keberhasilan dari beberapa Bupati dan Walikota dalam membawa keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan daerah menarik untuk diteliti dan dikaiji lebih jauh.
Penelitian yang berhubungan dengan seorang Kepala Daerah adalah berkaitan
dengan variabel kepemimpinan yang dilakukan oleh Bupati dan Walikota. Oleh
karenanya setudi ini hanya dilakukan pada Kabupaten dan Kota yang fenomenal
dalam mencapai keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam penelitian yang dilakukan dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Kepala Daerah dalam
membawa keberhasilan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah?
2. Keberhasilan seperti apa yang diraih oleh Kepala Daerah melalui
kepemimpinan yang dilakukannya?
3. Indikator kepemimpinan seperti apa yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan kepala Daerah?
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih dalam kepemimpinan kepala
daerah dalam mencapai keberhasilan penyelenggaraana pemerintahan daerah.
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh
Kepala Daerah dalam membawa keberhasilan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis keberhasilan yang diraih oleh Kepala
Daerah melalui kepemimpinan yang dilakukannya.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Indikator kepemimpinan yang
berpengaruh dalam mencapai keberhasilan kepemimpinan kepala Daerah.
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna bagi studi kepemimpinan
pemerintahan, melalui studi best practice governance dan bermanfaat bagi
penguatan pemerintahan daerah.

92 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sebuah organisasi public kepemimpinan merupakan salah satu
variabel dari manajemen. Oleh karenanya sering dikatakan bahwa inti dari
manajemen adalah kepemimpinan, sedangkan inti dari organisasi adalah
manajemen. Antara Organisasi, Manajemen dan Kepemimpinan tidak bisa
dipisahkan. Letaknya pada upaya pencapaian tujuan organisasi, termasuk
pemerintahan maka manajemen dan kepemimpinan merupakan kuncinya.
Bagaimana seorang pimpinan dalam organisasi pemerintahan dalam mengelola
organisasi tersebut sangat menentukan terhadap pencapaian tersebut.
Kepemimpinan sebagai inti dari kegiatan manajemen dalam organisasi
pemerintahan bermakna bahwa setiap pemimpin dituntut untuk mampu
mengarahkan, menggerakan dan mengoordinasikan unsur-unsur dalam organisasi
agar melaksanakan tugas pekerjaan dengan baik serta menciptakan iklim organisasi
yang kondusif. Pada sisi lain seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan
berkomunikasi secara efektif terhadap bawahannya untuk menumbuhkan motivasi
kerja mereka, serrta berkomunikasi dengan semua unsur terkait agar pencapaian
tujuan berpemerintahan. Secara konseptual, peranan atau fungsi kepemimpinan
dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu: yang bersifat pengambilan keputusan,
interpersonal, informasional, kemudian dijabarkan dalam sepuluh kriteria diantaranya
yaitu: pengambilan keputusan, actuating atau penggerakkan atau arahan, motivator,
pimpinan, perencanaan dan pengawasan (Siagian, 2009).Dari beberapa aspek
dalam kepemimpinan tersebut menjadi penting untuk diperhatikan oleh seorang
pemimpin.
Pada manajemen organisasi pemerintahan, Sutarto menjelaskan bahwa
kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan
mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sutarto, 1991). Kemampuan
mempengaruhi inilah bagian penting dari seni maupun gaya kepemimpinan seorang
pemimpin. Didalamnya memiliki makna yang mendalam bahwa ketika berhadapan
dengan berbagai jenis dan karakter manusia, seorang pemimpin harus mampu
menggerakannya agar mau bekerjasama dan membantu pencapaian tujuan dari
organisasi. Seseorang yang menduduki jabatan pemimpin dalam suatu organisasi
memainkan peranan yang sangat penting, tidak hanya secara internal bagi organisasi
yang bersangkutan, akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai pihak luar
organisasi dalam kerangka kebaikan organisasi dalam mencapai tujuannya.

93 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


Seorang Kepala Daerah sebagai pemimpin bagi perangkat organisasi satuan
kerja perangkat daerah dan masyarakat di daerah, dirinya dituntut memiliki kemahiran
dalam kepemimpinannya. Ia harus menjadi sosok manusia yang hebat yang mampu
menciptkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang inovatif untuk mencapai visi
dan misi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam pandangan Sutarto, seorang
pemimpina dituntut untuk mampu mempengaruhi bawahan atau pengikutnya. Hal
tersebut dilakukan antara lain dengan memberikan gambaran masa depan yang lebih
baik, memberikan perintah, memberikan imbalan, melimpahkan wewenang,
mempercayai bawahan, memberikan penghargaan, memberikan kedudukan,
memberi tugas, memberi tanggung jawab, memberikan kesempatan mewakili,
mengajak, membujuk, meminta saran, meminta pendapat, meminta pertimbangan,
memberikan kesempatan berperan, memenuhi keinginannya, memberikan motivasi,
membela, mendidik, membimbing, memberikkan petunjuk, memelopori,
mengantarkan, mengobarkan semangat, menegakkan disiplin, memberikan teladan,
mengemukakan gagasan baru, memberikan arah, memberikan keyakinan,
mendorong kemajuan, menciptakan perubahan, memberikan ancaman, memberikan
hukuman dan lain-lain (Sutarto, 1991).
Idealisme seorang pemimpin menjadi bagian yang melekat dalam dirinya
ketika ia menjalankan kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang ideal dituntut
memiliki gaya kepemimpinan yang baik sehingga dapat meningkatkan kinerja
bawahan/pengikutnya. Kondisi pengikut yang berbeda, permasalahan yang berbeda
serta sumberdaya yang dimiliki yang berbeda, akan menghendaki gaya
kepemimpinan yang berbeda dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin sangat
perlu memperhatikan gaya kepemimpinan dalam proses mempengaruhi,
mengarahkan kegiatan anggota kelompoknya serta mengordinasikan tujuan anggota
dan tujuan organisasi agar keduanya dapat tercapai dengan baik. Gaya
kepemimpinan seorang pemimpin berbeda satu dengan lainnya.Namun, apapun jenis
gaya kepemimpinan yang dilakukannya tentu harus menyesuaikan dengan kondisi di
lapangan. Setiap gaya kepemimpinan harus menjadikan gaya kepemimpinan yang
baik. Gaya kepemimpinan yang baik adalah gaya kepemimpinan yang dapat
memberikan motivasi kerja pada bawahannya. Widyatmini dan Hakim (2008)
mengatakan seorang pemimpin harus melalukan berbagai keahlian, pengalaman,
kepribadian dan motivasi setiap individu yang di pimpinya. Gaya kepemimpinan yang
dilakukan oleh seseorang akan cocok dengan pengikutnya apabila visi, misi dan

94 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


tujuan selalu dikomunikasikan kepada bawahan dan pengikutnya secara
berkesinambungan.
Terkait dengan studi kepemimpinan yang telah dilakukan, Tampubolon (2007)
telah meneliti pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja, menyimpulkan bahwa
gaya kepemimpinan seseorang pimpinan mempunyai berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja dan keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. Di sini
bermakna bahwa kinerja organisasi turut ditentukan oleh gaya kepemimpinan dari
pemimpinnya. Pemimpin yang sukses adalah apabila pemimpin tersebut mampu
menjadi pencipta dan pendorong bagi bawahannya dengan menciptakan suasana
dan budaya kerja yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan kinerja
karyawannya. Pemimpin tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh
positif bagi pengikut untuk melakukan pekerjaan dan tugasnyasesuai dengan yang
diarahkan dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan
menggunakan data sekunder yang diambil dari berbagai dokumen tertulis dan
berbasis website. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan pemaparan dan
analisis atas data yang diperoleh. Unit analisis dilakukan terhadap tiga kepala daerah
Kabupaten dan Kota yang memenuhi kriteria sebagai Kabupaten dan Kota yang
berhasil dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksud adalah diperolehnya berbagai
penghargaan dari berbagai lembaga penilai baik di tingkat Provinsi, Nasional maupun
Internasional. Kepala daerah yang dijadikan unit analisis dalam studi kepemimpinan
tersebut yaitu Bapak Prof. Dr. H. Nurdin Abdulah, Bupati Bantaeng Provinsi Sulawesi
Selatan; Ir. Tri Rismaharini,MT, Walikota Surabaya; dan Ridwan Kamil, ST., MT,
Walikota Bandung.
Analaisis data dilakukan terhadap berbagai kebijakan, strategi
penyelenggaraan pemerintahan dan inovasi dalam pemerintahan yang dilakukan
serta berbagai penghargaan yang diperoleh selama menjalankan kepemimpinan
pemerintahan daerah. Hasil analisis kemudian disimpulkan.

95 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


OBYEK, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Paparan mengenai gambaran umum obyek merupakan deskripsi dari Kapala
Daerah yang menjadi sorotan analisis. Dalam hal ini akan dipaparkan tiga Kepala
Daerah Kabupaten dan Kota sebagai obyek analisis dalam melihat Kepemimpinan
Kepala Daerah yang berhasil. Tiga Kepala Daerah sebagai obyek kajian yaitu:1) Prof.
Dr. Ir. H. M Nurdin Abdullah, M.Agr, sebagai Bupati Kabupaten Bantaeng; 2) Ir. Tri
Rismaharini, MT; dan 3) Ridwan Kamil, ST. MT.
Gambaran yang akan diuraikan merupakan profile singkat dari masing-
masing Kepala Daerah yang dikaji. Pokok utama yang dilihat adalah berbagai karya
yang dihasilkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,terutama mengenai
inovasi dalam pemerintahan dan berbagai penghargaan yang diperoleh dari
pemerintah Proinsi, NAsional maupun Internasional atas prestasi yang diperolehnya.
Berikut adalah profil Kepala Daerah yang dikaji:

1. Profil Bupati Bantaeng: Nurdin Abdullah


Prof. Dr. Ir. H. M Nurdin Abdullah, M.Agr, lahir di Pare-Pare 7 Februari
1963, seorang Bupati Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Beliau
menjabat sebagai Bupati selama dua periode. Pertama mengikuti Pilkada
tahun 2008, dan memenangkan pilkada tersebut. Untuk pertama kalinya terjun
di birokrasi pemerintahan daerah masa bakti 2008-2013. Akhir masa
jabatannya beliau diusung kembali untuk mencalonkan kembali pada pilkada,
dan beliau terpilih kembali untuk memimpin Bantaeng periode 2013-2018.
Berikut dapat dilihat profile singkat H. M. Nurdin Abdullah:

Tabel
Profile Singkat Bupati Bantaeng (H.M. Nurdin Abdullah)
No. Kategori Keterangan
1. Pendidikan Formal 1. Tamat SD Tahun 1975
2. Tamat SMP Tahun 1978
3. Tamat SMA Negeri 5 Makassar Tahun
1982
4. S1 Fakultas Pertanian dan Kehutanan
UNHAS Tahun 1986
5. S2 Master of Agriculture Kyushu
University Jepang Tahun 1991
6. S3 Doktor of Agriculture Kyushu
University Jepang Tahun 1994
2. Riwayat Pekerjaan 1. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin

96 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


2. Presiden Direktur PT. Maruki Internasional
Indonesia
3. Presiden Direktur PT. Global Seafood Japan
4. Direktur PT. Kyushu Medical Co. Ltd. Japan
5. Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar
6. Bupati Bantaeng, Masa Bakti 2008 – 2013
7. Bupati Bantaeng, Masa Bakti 2013 – 2018
3. Terobosan Bidang 1. Mencetuskan Bantaeng sebagai Kabupaten
Pertanian Benih Berbasis Teknologi.
2. Revitalisasi kelembagaan petani dimana
kelompok tani dilakukan revitalisasi kelompok
dengan mengesahkan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga kelompok tani yang
berbadan hukum.
3. Gerakan massal penerapan sistim tanam
legowo 2 : 1 terhadap pengembangan dan
peningkatan produksi dan produktivitas
komoditas tanaman pangan khususnya padi.
4. Pengembangan kawasan agrowisata uluere
melalui sinergisitas lintas sektor dalam usaha
pengembangannya, untuk sektor pertanian
fokus pada pengembangan tanaman apel,
strobery, tanaman sayuran organik kentang
serta tanaman hias (krisan) serta
pengembangan pembibitan melalui kultur
jaringan.
5. Penerapan pola zonasi wilayah
pengembangan untuk pengembangan
komoditas unggulan pertanian antara lain :
zona pengembangan agrowisata Uluere, zona
pengembangan kawasan tanaman pangan
yakni pengembangan komoditas padi, jagung
dan talas bantaeng (talas safira).
6. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes) di setiap desa yang berfungsi
lembaga keuangan mikro bagi masyarakat
desa.
7. Kebijakan Pembangunan industri pengolahan
hasil pertanian meliputi pembangunan industri
pengemasan hasil dan pengepakan;
pembangunan industri pengalengan hasil laut;
pengembangan industri olahan hasil komoditi
wortel (Kripik SNEWOTA).
8. Pengembangan perbenihan berbasis
teknologi antara lain pengembangan kultur
jaringan.
9. Perbaikan kualitas ternak sapi melalui
tekhnologi Inseminasi Buatan
10. Perbaikan kualitas ternak sapi melalui
tekhnologi Inseminasi Buatan dan Laser
Punktur

97 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


11. Pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas
sebagai energi alternatif di pedesaan
12. Pemanfaatan limbah ternak menjadi pupuk
organik padat dan cair
13. Pemanfaatan limbah tanaman pangan dan
perkebunan (kopi, coklat, biji kapuk) menjadi
pakan ternak.
14. Integrasi Pengelolaan Hutan Desa dengan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES).
4. Penghargaan Lebih dari 80 buah penghargaan atas berbagai
prestasi yang diraih Kabupaten Bantaeng di berbagai
bidang termasuk didalamnya inovasi bidang
pemerintahan.

Sumber: http://nurdinabdullah.net/portfolio/profil-bantaeng/

2. Profil Walikota Bandung : Ridwan Kamil


Ridwan Kamil, pria kelahiran Bandung 4 Oktober 1971 adalah Walikota
Bandung periode 2013-2018. Ia terpilih menjadi Walikota setelah
mengalahkan 7 pasangan lainnya dengan perolehan 45,24%. Sebelum
menjadi pejabat publik, ia dikenal sebagai seorang arsitek dan dosen tidak
tetap di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semenjak dipercaya sebagai Wali
Kota Bandung, Ridwan Kamil melakukan berbagai terobosan dalam
menerapkan berbagai program kerja pemerintahan Kota Bandung melalui
berbagai inovasi. Dari Kerja kerasnya memimpin Kota bandung, Ridwan Kamil
mampu mencapai Kota Bandung yang lebih baik bahkan mendapat julukan
‘smart city’. .Berikut adalah profi singkat Ridwan Kamil:

Tabel
Profile Singkat Walikota Bandung : Ridwan Kamil
No. Kategori Keterangan
1. Pendidikan Formal 1. Tamat SDN Banjarsari III Bandung
tahun1984
2. Tamat SMP Negeri 2 Bandung tahun 1987
3. Tamat SMA Negeri 3 Bandung tahun 1990
4. Institut Teknologi Bandung dengan
mengambil jurusan Teknik Arsitektur dari
tahun 1995
5. Master of Urban Design University of
California, Berkeley 2001
3. Riwayat Pekerjaan 1. Bekerja paruh waktu di Departemen
Perancanaan Kota Berkeley
2. Prinsipal PT. Urbane Indonesia,
3. Dosen Tidak Tetap di Jurusan Teknik
Arsitektur Institut Teknologi Bandung

98 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


4. Senior Urban Design Consultant SOM,
EDAW (Hong Kong & San Francisco), dan
SAA (Singapura).
5. Terobosan Dalam 1. Membentuk Bandung Creative City Forum
Penyelenggaraan sebagai wadah lintas komunitas kreatif
Pemerintahan yang bertujuan menjadikan Bandung
sebagai kota kreatif kelas dunia
2. Menggelar Helarfest sebagai ajang parade
keragaman komunitas budaya kota
Bandung
3. Menghadirkan ornamen huruf DAGO di
Taman Cikapayang selain sebagai
penanda dan pemacu kreatifitas generasi
muda kota Bandung dimaksudkan juga
sebagai penarik kunjungan masyarakat
terhadap taman
4. Menggagas Indonesia Berkebun yang
dimulai dari kota Bandung dengan
memanfaatkan lahan tidur untuk ditanami
tanaman pangan sehingga
membudayakan rekreasi berkebun dan
juga menjadi tambahan ruang terbuka
hijau bagi kota Bandung
5. Menggagas Save Babakan Siliwangi
sebagai hutan kota dunia yg dilindungi
6. Berhasil mengatasi banjir di Kampung
Babakan Asih, Kopo Bandung dengan
jalan memotivasi warga untuk
membangun sumur resapan di rumah-
rumah.
7. Menciptakan Taman Bermain di kampung-
kampung kumuh dan gelap sehingga
memperbaiki keadaan kehidupan
kampung menjadi lebih ceria dan
berwarna
8. Menciptakan Enerbike, sepeda penghasil
energi listrik yg disebarkannya di
kampung-kampung yang susah listrik.
9. Menggagas Bike Sharing, konsep
penyewaan sepeda pertama dan satu-
satunya di dunia yang dikelola oleh
komunitas.
10. Menggagas Bandung Citizen Journal,
(penerapan journalisme warga di
Bandung).
11. Menggagas DIKADOKU (Adik Kakak
Donasi Buku) yang bertujuan mewujudkan
membangun sebuah perpustakaan di
kawasan Asia-Afrika Bandung.
6. Penghargaan Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota
Bandung, Ridwan Kamil sudah membawa pada 147
Pengharaan pada kategori: pimpinan (40

99 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017


penghargaan) , SKPD (57 penghargaan),
Perusahaan Daerah (11 penghargaan) dan
Kewilayahan (39 penghargaan).i
Sumber: https://ppid.bandung.go.id/informasi/daftar-penghargaan-pemerintah-kota,
diakses 12/04/2017 jam 11.20

3. Profil Walikota Surabaya (Tri Rismaharini)


Tri Rismaharini kelahiran Kediri pada tanggal 20 November 1961.
Mengawali karir di birokrasi Pemerintah Kota Surabaya dengan memulai karir
sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko Surabaya
pada tahun 1997-2000. Lalu Risma mengemban tugas sebagai Kepala Seksi
Pendataan dan Penyuluhan Disbang pada tahun 2001. Sebagai Kepala
Cabang Dinas Pertamanan dijalaninya pada 2001 juga. Beliau dalam karirnya
sebagai birokrat yang tegas dan dispilin.Oleh karenanya karir berikutnya
sebagai Kepala Bagian Bina Bangunan pada 2002 dan kemudian menjabat
sebagai Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan di 2005. Sebagai karir
yang cukup baik pada pemerintah Kota Surabaya, ia menjabat sebagai
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya pada tahun 2005.
Kemdian sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya
pada tahun 2008. Sebagai Walikota Surabaya sejak tahun 2010 (dua
periode). Berikut adalah proile singkat beliau:

Tabel
Profile Singkat Walikota Surabaya (Tri Rismaharini)
No. Kategori Keterangan
1. Pendidikan Formal 1. Tamat SD Negeri di Kediri tahun 1973
2. Tamat SMPN10 Surabaya tahun 1976
3. Tamat SMAN 5 Surabaya tahun 1980
4. Tamat Jurusan Arsitektur Institut Teknologi
Sepuluh November (ITS) Surabaya tahun
1987.
5. Tamat Pendidikan Manajemen
Pembangunan Kota Institut Teknologi
Sepuluh November (ITS) Surabaya tahun
2002

2. Riwayat Pekerjaan 1. Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna


Tanah Bappeko Surabaya pada tahun 1997-
2000
2. Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan
Dinas Bangunan pada tahun 2001

100 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Kepala Cabang Dinas Pertamanan pada
tahun 2001
4. Kepala Bagian Bina Bangunan pada 2002
5. Kepala Bagian Penelitian dan
Pengembangan di 2005
6. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Surabaya (2005)
7. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Kota Surabaya (2008)
8. Walikota Surabaya sejak tahun 2010 (dua
periode)
3. Terobosan Dalam 1. Membuat sistem yang bisa mencegah
Penyelenggaraan adanya pelanggaran
Pemerintahan 2. Membangun sistem elektronik yang bisa
mengantisipasi intervensi dari pejabat dalam
sistem penganggaran, perizinan dan
sebagainya e-Budgeting, e-Procurment,
serta Single Window
3. Menerapkan sistem respon cepat (central
clearing house)
4. Membangun Broadband Learning Centre
untuk memberi pelatihan bagi petani agar
terkoneksi dengan jaringan sistem
pelayanan daring38
4. Penghargaan Selama kurun waktu tahun 2010 – 2016 jumlah
penghargaan yang diperoleh Pemerintah Kota
Surabaya bersama jajaran SKPD dan lembaga
Teknis Daerah lainnya sebanyak 173 buah
penghargaan. 39
Sumber: http://surabaya.go.id/berita/8230-penghargaan, diunduh 12/04/2017 pukul
12.35

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian yang dilakukan, berikut


dibahas dan dianalisis terkat dengan Kepemimpinan Kepala Daerah daalam
mewujudkan tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Variabel yang dianalisis
yaitu: 1) gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Kepala Daerah dalam membawa
keberhasilan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 2) keberhasilan yang diraih
oleh Kepala Daerah melalui kepemimpinan yang dilakukan Kepala Daerah; dan 3)
Indikator kepemimpinan yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan
kepala Daerah.

38 https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/05/19/ini-dia-deretan-prestasi-internasional-surabaya-yang-bikin-
makin-bangga diunduh 12/04/2017 pukul 14.10
39 http://surabaya.go.id/berita/8230-penghargaan, diunduh 12/04/2017 pukul 12.35

101 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
d.1 Bupati Bantaeng: Prof. Dr. Ir. H. M Nurdin Abdullah, M.Agr
Blusukan menjadi bagian keseharian dalam aktivitas melayani masyarakat
Kabupaten Bantaeng sejak awal menjabat sebagai Bupati. Makanya ia sangat dikenal
bersahabat oleh masyarakat dari segala lapisan umur. Ia melakukan blusukan hingga
ke kampung-kampung menemui warga. Ia senantiasa ingin mencari tahu akar
masalah dalam berbagai hal dan ia langsung mencari tahu dan datang ke
sumbernya. Jika sudah tahu penyebabnya, dengan cepat ia mengambil tindakan.
Bekerja dengan fokus, itulah kunci keberhasilannya.
Dalam pengaturan perilaku birokrat pada pemerintah Kabupaten Bantaeng,
Bupati membuat kebijakan bahwa seluruh kepala SKPD dilarang memakai sepatu
mahal. Hal ini karena beliau tidak ingin pejabatnya tampil mewah. Kejujuran dan
disiplin menjadi bagian filsafat hidupnya. Ia menjunjung tinggi filosopi Jepang.
Pendidikan yang dijalaninya sejak Program Master sampai Doktor mempengaruhi
cara ia bekerja dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Salah satu awal keberhasilan dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik
yang merupakan bagian dari fungsi pemerintahan, ia berhasil membenahi sistem
pelayanan kesehatan warganya. Warga Bantaeng paling dimanjakan untuk
pelayanan kesehatan. Jika ada warga yg sakit, cukup menelpon Brigade Siaga
Bencana (BSB ) di 113 atau 0413-22724 / 0413-21408 maka dalam waktu kurang
dari 20 menit dokter serta perawat bersama ambulans gratis akan segera menjemput
pasien di rumahnya. Pasukan ini mampu menurunkan angka kematian ibu melahirkan
menjadi nol dari sebelumnya 12/100.000 kematian per tahun. BSB siaga 24 jam dgn
20 dokter, 16 perawat dan 8 unit mobil ambulans berfasilitas emergency. Selain itu,
BSB Bantaeng juga menyiagakan 11 unit mobil pemadam kebakaran berstandar
Internasional. Bahkan dalam bidang kesehatan pada tahun 2016 Kabupaten
Bantaeng sudah mampu membuat Rumah Sakit Umum dengan peralatan yang
modern. Keberadaan rumah sakit ini juga bisa melayani daerah kabupaten lain di
sekitar Bantaeng.
Sejak tahun 2009, Bantaeng menjadi daerah yang cukup menonjol di wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan. Bantaeng menjadi destinasi, bukan lagi tempat transit.
Investor kelas dunia berdatangan ke kabupaten Bantaeng40. Dalam bidang pertanian
seperti tanaman stroberi, apel, durian tumbuh subur di pegunungan Bantaeng.Selain
itu dikembangkan juga Bantaeng sebagai menjadi penghasil benih unggul yang

40http://www.kompasiana.com/171717/belajar-kepemimpinan-dari-bupati-terbaik-indonesia-prof-dr-h-m-nurdin-
abdullah-sang-maestro-kab-bantaeng_551c0ffaa33311652bb65a47, diakses 20/0/2017 jam 15.35.

102 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mampu menaikkan tingkat ekonomi masyarakatnya terutama petani. Bantaeng
tumbuh dengan berbagai industri pengolahan. Di bidang industri pengolahan hasil
pertanian, Bantaeng sukses merintis pengolahan hasil pangan sekaligus
pengepakannya. Hasil-hasilnya pun kini sudah diekspor ke berbagai negara,
khususnya Jepang dan Cina. Selain itu, industri pengalengan hasil laut pun
berkembang.Bangkitnya industri ini cukup mengagumkan karena Bantaeng bukan
daerah tambang yg bisa dengan cepat mengundang investor. Bantaeng adalah
daerah pertanian sehingga butuh waktu cukup lama untuk bisa meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD). Gambaran ini menunjukkan keberhasilan dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Berbagai prestasi dan penghargaan
dalam penyelanggaraan pemerintahan banyak diperoleh Kabupaten Bantaeng lebih
dari 90 prestasi dalam berbagai kategori.
Pola kepemimpinan demokratis partisipatif dengan konsep egaliter, mampu
mendekatkan dirinya sebagai pemimpin dengan masyarakatnya. Terkait dengan pola
kepemimpinan yang dilaksanakan oleh M. Nurdin Abdulah melakukan beberapa
strategi kepemimpinan untuk memajukan daerah dan mensejahterakan
masyarakatnya, antara lain41:. Terkait dengan kepemimpinnya ia menyatakan bahwa
ada beberapa hal yg bisa dilakukan untuk memajukan daerah dan masayarakat
antara lain: Pertama, seorang pemimpin hanya bisa memajukan daerah jika dia
memiliki sifat kejujuran. Kedua, dalam memilih Kepala-kepala Dinas dilakukan pada
yang benar benar memiliki kompetensi dibidangnya dan menempatkannya di tempat
yang sesuai dalam arti dalam penempatan pejabat harus senantiasa didasarkan
pada prinsip the right man on the right place. Ketiga, kepala daerah dalam hal ini
bupati dan wakil bupati harus bisa saling bersinergi dan bekerjasama membangun
daerah.Keempat, kunci berikutnya untuk memajukan daerah adalah mendapatkan
investor untun menanam sahamnya didaerah dan salah satu cara mendatangkan
investor adalah menciptakan kepercayaan kepada investor yg akan menanamkan
sahamnya dengan jalan menjaga keamanan dan ketertiban daerah serta berusaha
menjalin kerjasama dengan daera lain yg ada diluar negeri seperti halnya
dikabupaten bantaeng banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah jepang.
Kelima, mensejahterakan rakyat dan memperhatikannya dengan berusaha
memenuhi kebutuhannya termasuk memberikan pelayanan kesehatan yg lebih cepat
dan efesien.

41Ceramah tentang kepemimpinan yg dibawakannya dihadapan peserta eselon II dari berbaagai daerah,
http://nurdinabdullah99.blogspot.co.id/2012/03/pejabat-kti-belajar-kepemimpinan-di.html, 30/03/2017 jam 09.17.

103 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Selama menjalankan kepemimpinanya ia telah berhasil mencapai kualitas
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Beberapa gaya kepemimpinan yang ia
lakukan antara lain: 1) selalu mau mendengarkan keluh kesah dan curhatan
masyarakatnya; 2)Profesional dan religious dalam melaksanakan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat; 3) sebagai pemimpin yang focus terhadap solusi
penyelesaian masalah dan segera mengatasinya; 4) sebagai pemimpin ia senantiasa
membuat konsep yang baik dan berusaha tepat dalam pelaksanaan pembangunan
Bantaeng dan ia memutuskan dengan cepat serta mengawalnya; 5) ia sebagai
pemimpin yang revolusioner dalam membangun Bantaeng dengan begitu cepat.ia
berhasil membangun Bantaeng Industrial Park seluas 3.000 Ha, tanpa pungutan
sepeserpun untuk penerbitan perijinan yang tak lebih dari satu jam atau Free
Licenses within one day one Stop Service. Sehingga mega proyek dari PMA Jepang
yang berhasil menarik dana puluhan trilyun rupiah tersebut, berhasil menjadi roda
raksasa dalam memutar perekonomian Bantaeng, dan tentu saja dapat membuka
ribuan lapangan kerja baru.
Beberapa pola gaya kepemimpinan Nurdin Abdullah yang kharismatik,
demokratis, partisipatif telah mampu membawa Bantaeng sebagai Kabupaten yang
menjadi tujuan para investor. Dalam pertumbuhannya sampai sekarang, Kabupaten
telah menunjukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang cukup
signipikan. Dari yang sudah dilakukannya oleh Nurdin Abdullah sebagai Bupati telah
membawa Bantaeng meraih prestasi dan penghargaan.

d.2 Walikota Bandung : Ridwan Kamil, ST. MT.


Semenjak dipercaya sebagai Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil melakukan
berbagai terobosan dalam menerapkan berbagai program kerjanya di tengah
kebekuan birokrasi.Semenjak dilantik sebagai wali kota pada 2013 lalu, dia membuat
terobosan dengan menghidupkan kembali taman-taman kota, memberikan denda
kepada perokok di tempat umum, hingga mempercepat pembuatan akte kelahiran
bagi warganya. Walaupun langkahnya itu terkadang dihadang berbagai kendala, ia
selalu berusaha berinovasi dalam pelayanan kepada masyarakat.
Selogan Bandung Juara adalah etos kerja yang disuarakan oleh Ridwan
Kamil sejak terpilihnya beliau menjadi Walikota Bandung untuk menuju Bandung
Bermartabat. Dalam menjalankan kepemimpinannya,Ridwan Kamil, melakukan dua
strategi, terutama untuk membereskan masalah-masalah di Bandung, yaitu Pertama,
melalui desentralisasi kepada aparatur pemerintah di wilayah seperti Camat, Lurah,

104 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dan RW. Tiga komponen ini harus gesit berdaya di daerahnya masing-masing.
Kedua, dengan kolaborasi melalui partisipasi dan pemnerdayaan kelompok
masyarakat. Melalui kedua strategi tersebut, ia mampu membawa Kota Bandung
semakin baik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Kharisma yang dikembangkan oleh Ridwan Kamil, antara lain melaui aktivitas
rutin "menyapa" warganya melalui media sosial atau menemui secara langsung
warganya yang kurang beruntung dengan mengajaknya makan bersama.
Pendeketan informal ini mencirikan bahwa pola dan gaya kepemimpinan Ridwan
Kamil bersifat demokratik partisipatif. Terbukti dengan adanya pelibatan masyarakat
dalam pelaksanan gerak pembangunan. Banyak inovasi yang dilakukan untuk
menuju Bandung Juara. Ia sadar betul dalam zaman yang sudah berbasis IT maka
teknologi informasi dan komunikasi ia optimalkan dalam menjalin komunikasi dengan
masyarakat Bandung. Berbagai langkahnya ini kemudian menarik perhatian media,
sehingga namanya pun banyak disebut. Dalam perkembangannya Ia dianggap
sebagai contoh pemimpin di tingkat lokal yang mampu berinovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Ia pandai memanfaatkan sepenuhnya media sosial, untuk melakukan dialog langsung
dengan warganya.
Beberapa terobosan dan inovasi handal dari Ridwan Kamil selama menjabat
sebagai walikota Bandung antra lain yaitu :
1. Membentuk Bandung Creative City Forum sebagai wadah lintas
komunitas kreatif yang bertujuan menjadikan Bandung sebagai kota
kreatif kelas dunia
2. Menggelar Helarfest sebagai ajang parade keragaman komunitas budaya
kota Bandung
3. Menghadirkan ornamen huruf DAGO di Taman Cikapayang selain sebagai
penanda dan pemacu kreatifitas generasi muda kota Bandung
dimaksudkan juga sebagai penarik kunjungan masyarakat terhadap
taman
4. Menggagas Indonesia Berkebun yang dimulai dari kota Bandung dengan
memanfaatkan lahan tidur untuk ditanami tanaman pangan sehingga
membudayakan rekreasi berkebun dan juga menjadi tambahan ruang
terbuka hijau bagi kota Bandung

105 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
5. Menggagas Save Babakan Siliwangi sebagai hutan kota dunia yg
dilindungi
6. Berhasil mengatasi banjir di Kampung Babakan Asih, Kopo Bandung
dengan jalan memotivasi warga untuk membangun sumur resapan di
rumah-rumah.
7. Menciptakan Taman Bermain di kampung-kampung kumuh dan gelap
sehingga memperbaiki keadaan kehidupan kampung menjadi lebih ceria
dan berwarna
8. Menciptakan Enerbike, sepeda penghasil energi listrik yg disebarkannya
di kampung-kampung yang susah listrik.
9. Menggagas Bike Sharing, konsep penyewaan sepeda pertama dan satu-
satunya di dunia yang dikelola oleh komunitas.
10. Menggagas Bandung Citizen Journal, (penerapan journalisme warga di
Bandung).
11. Menggagas DIKADOKU (Adik Kakak Donasi Buku) yang bertujuan
mewujudkan membangun sebuah perpustakaan di kawasan Asia-Afrika
Bandung.
Selain itu, beberapa program unik dan inovatif lain dari Ridwan Kamil sebagai
walikota Bandung antar lain yaitu : 1) Senin Gratis, dalam meningatkan animo
masyarakat dalam memanfatkan angkutan umum gratis yang menjadi salah satu
upaya mengatasi kemacetan di Kota Bandung, maka setiap Setiap Senin para pelajar
gratis menggunakan angkutan umum Bis Damri segala jurusan. 2) Selasa Tanpa
Rokok, Hari Selasa juga dicanangkan sebagai hari tanpa rokok. Warga diajak turut
menyayangi Bandung dengan aksi solusi mulai dari diri sendiri. 3) Rebo Nyunda, ini
dalam rangka melestarikan pakaian adat sunda, oleh karennya para pegawai pemda
memakai baju adat sunda setiap hari Rabu. 4) Kamis Inggris, dengan tekun, setiap
kamis melalui berbagai akun media sosial miliknya Ridwan Kamil mengajak warga
untuk bicara dalam bahasa Inggris. 5) Jum’at Bersepeda, Sejak awal masa
kepemimpinannya, RK melakukan hal yang tidak lazim yakni bersepeda menuju
kantornya. Ia konsisten menunjukkan kebanggaannya bersepeda di tiap event hingga
akhirnya diluncurkanlah program Jumat bersepeda yang disambut sangat hangat
oleh masyarakat Bandung. 6) Membahagiakan masyarakat prasejahtera dengan
makan malam bersama. Setiap sebulan sekali, RK beserta istri dan tim pemkot
mengadakan makan malam bersama keluarga prasejahtera. Selain makan malam,
mereka juga diberi bantuan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan happiness

106 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
indexatau indeks kebahagiaan warga Bandung.7) Relokasi Persuasif Pedagang Kaki
Lima (PKL), Ridwan Kamil melakukan relokasi dan penertiban PKL dengan cara yang
persuasif. Salah satunya adalah dengan merangkul alim ulama yang menjadi sosok
yang dihormati sebagian besar warga Bandung. 8) Malam Kuliner (Culinary Night),
yaitu event yang istimewa bagi masyarakat Bandung. Ini adalah upaya yang baik
untuk memeratakan kepadatan kota sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi kota
Bandung. 9) Konsep Jemput Bola dalam pelayanan public, yaitu rutin hadir dan
mencetak akte kelahiran di rumah-rumah sakit bersalin di seluruh kota Bandung dan
Gratis. Sehingga warga tidak usah capek-capek mengantri ke kantor Disdukcapil.
Dan banyak inovasi lainnya.
Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan Ridwan
Kamil sebagai Wali Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh gaya beliau yang
kharismatik, inovatif, demokratis pasrtisipatif dan memahami betul kondisi
masyarakat yang dipimpinnya. Hampir tidak ada jarak antara beliau dengan warga
masyarakat. Kondisi demikian membawa sejumlah prestasi bagi Kota Bandung
dengan berbagai penghargaan yang diperolehnya.

d.3 Walikota Surabaya : Ir. Tri Rismaharini, MT.


Risma dalam masa kepemimpinannya, telah membuat banyak sekali
perubahan dan prestasi luar biasa, utamanya dalam meningkatkan pelayanan publik
terutama yang terkait dengan tata ruang publik alias taman kota. Banyak sekali taman
– taman yang dapat kita jumpai diKota Surabaya, dengan konsep all-in-one
entertaiment park, taman di Bundaran Dolog, Taman Undaan, taman di Bawean,
Taman Mundu di depan Geraha 10 November, Taman Lansia, Taman Prestasi,
Taman Pelangi dan berbagai tempat lainnya yang dulunya mati, gersang, dan tak
terawat sekarang menjadi bersih, hijau, dan tertata rapi. Sehingga dalam masa
kepemimpinannya tersebut berhasil menjadikan kota Surabaya meraih tiga kali piala
Adipura dalam 3 tahun terakhir kategori kota metropolitan, Risma juga sukses
membuat Kota Surabaya menjadi kota yang terbaik se- Asia Pasfifik pada tahun 2012
versi Citynet. Pada Tahun 2013 dibawah kepemimpinannya Surabaya berhasil
meraih penghargaan tingkat Asia Pasifik yakni Future Goverment Awards 2013 di 2
bidang sekaligus yaitu data center dan inklusi digital menyisihkan 800 kota di seluruh
dunia Asia – Pasifik .
Tidak hanya dalam sektor pelayanan publik saja, dalam sektor lain Risma juga
menunjukkan sepak terjangnya dalam melakukan gaya kepemimpinan transformatif

107 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dari sektor ekonomi, saat ini Surabaya sebagai kota terbesar nomor dua di Indonesia
telah menjadi kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi dari rata – rata
nasional yakni 7,6 persen, disamping juga mempunyai peningkatan kualitas hidup
manusia
Berbagai penghargaan dan prestasi yang dilakukan Risma, termasuk kedalam
dimensi – dimensi kepemimpinan yang mampu membawa perubahan yang sangat
baik. Dalam kepemimpinannya, Ibu Risma mampu untuk memberikan peningkatan
mutu layanan publik kepada masyarakat Kota Surabaya, sehingga kota Surabaya
mendapat berbagai penghargaan di kancah nasional dan internasional. Memberikan
pelayanan dalam bentuk teknologi informasi memang sangat dibutuhkan bagi warga
kota surabaya sekarang ini. Dalam kepemimpinannya Risma memberikan pelayanan
dengan cara memudahkan akses teknologi informasi dengan membangun spot – spot
WIFI di taman kota, memasang CCTV di berbagai sudut kota, dan juga sistem
pengadaan barang dan jasa, juga melalui lelang elektronik, hingga akhirnya sistem
ini berhasil menyabet penghargaan berupa EProcurement Award 2013 kategori
Kepemimpinan dalam Transformasi Sistem Pengadaan dari Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pola kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Risma dengan inovasi dalam
layanan publik melalui teknologi ICT, pola pendekatan yang membimbing dan
membina terhadap unsur staf dan masyarakat dan juga memberikan teladan dalam
berpemerintahan merupakan salah satu kunci sukses yang dilakukannya. Pada gaya
yang lain Risma cenderung demokratik partisipatif sehingga sangat disukai oleh
masyarakat di Kota Surabaya. Dua periode selama masa kepemimpinnya telah
membawa Kota Surabaya meraih prestasi dalam pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitian yang dilakukan,
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Keberhasilan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sangat ditentukan oleh
gaya kepemimpinan dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota) yang menyesuaikan
dengan kondisi masyarakat yang dipimpinnya.
2. Prestasi yang dicapai dan penghargaan yang diperoleh Kabupaten Bantaeng;
Kota Bandung dan Kota Surabaya merupakan bagian dari keberhasilan

108 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepemimpinan Kepala Daerah yang telah mampu melaksanakan gaya
kepemimpinan yang baiuk dan diterima oleh masyarakatnya.
3. Terdapat kecenderungan yang sama dari ketiga kepala daerah dalam
menjalankan gaya kepemimpinnya yaitu:Demokratik, partisipatif, inovatif, jujur,
disiplin dan transfaran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dari gaya
kepemimpinan yang dilaksanakan tersebut secara konsisten mampu membawa
masyarakatnya dalam hidup yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Hardasulistya, D. 2009. Peranan Gaya Kepemimpinan dalam Organisasi. Artikel.
http://danangharda.blogspot.com/2009/12/peranan-gaya-kepemimpinan-
dalam.html diakses pada tanggal 21 November 2015.
Hersey, 2004. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Jakarta: Delaprasata
Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada.
Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Andi Press.
Maisardana, 2006. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Motivasi KerjaPegawai
Pada PT. Bank SUMUT Cabang Stabat. (Tidak Skripsi Dipublikasikan).
Rivai, Veithzal, 2005. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : Raja
Grafindo
Safaria, T. 2004. Kepemimpinan. Yogyakarta : Graha.
Siagian, Sondang P, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Suratno, P. 2006. Sang Pemimpin. Yogyakarta : Adiwacana.
Suryanto, D. 2006). Komponen Perilaku Kepemimpinan Transformasional. Artikel.
http://www.pemimpin-unggul.com/index.pnp/Dcetak/0604 /243322.htm
diakses pada tanggal 21 November 2015.
Suyuti, 2001. Kepemimpinan Organisasi. Jakarta : Grafika.
Yukl, Gary 2006. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Jakarta : Penerbit Prehalindo,

109 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN PASCAREFORMASI
Pipin Hanapiah42

Abstrak
Sejak berhentinya Presiden Soeharto bulan Mei 1998, bergulir isu-isu dan tuntutan-
tuntutan reformasi nasional di Indonesia dalam berbagai bidang pembangunan,
termasuk reformasi kepemimpinan pemerintahan. Sampai dengan saat ini, isu dan
tuntutan ini terus berdinamika. Dinamika kepemimpinan pemerintahannya itu adalah
terutama yang terkait dengan model kepemimpinan-lama (baca: Orde Lama dan
Orde Baru) yang dihujat, dikritik, dan ditinggalkan; sementara model kepemimpinan-
baru (baca: Era Reformasi) yang masih berubah-ubah, hampa-nilai, dan tercerabut
dari akar bangsanya sendiri. Dinamika kepemimpinan pemerintahan ini perlu ditelisik,
dievaluasi, dan diformulasi untuk menemukan alternatif kepemimpinan pemerintahan
untuk di masa yang akan datang di era pascareformasi. Artikel ini berfokus pada
penemuan kepemimpinan pemerintahan pascareformasi yang inspirasinya digali dan
diambil dari pengalaman Indonesia sejak berjuang merajut kebangsaannya (baca:
Pancasila) dan menata kenegaraannya (baca: UUD 1945) dengan juga
mempertimbangkan saling-silang pengaruh (baca: terutama dalam hal ideologi,
politik, ekonomi, iptek) dari dunia internasional yang semakin serbaglobal
(borderless). Temuan ini nantinya bisa jadi sebagai alternatif kepemimpinan
pascareformasi yang bertanggung-jawab dalam pemerintahan (responsibility in
government) yang bisa kita diskusikan terus-menerus agar modelnya bisa berlaku
ajeg, menusantara, dan berdampak efektif bagi kejayaan bangsa dan negara
Indonesia.
Kata-kunci: Reformasi Pemerintahan, Pertanggungjawaban dalam Pemerintahan,
dan Kepemimpinan Pemerintahan Pascareformasi.

Pendahuluan
Sejak Jenderal Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesia di bulan Mei tahun 1998, bergulir isu-isu dan tuntutan-tuntutan reformasi
nasional di Indonesia dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk isu-isu dan
tuntutan-tuntutan reformasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah dan
desa. Hal itu begitu wajar karena pada saat itu—dan di beberapa tahun
sebelumnya—sedang terjadi kejenuhan kepemimpinan di tingkat nasional terutama
yang terkait dengan kebebasan berpolitik yang sedang terkekang dan kesejahteraan
ekonomi yang sedang krisis.
Sampai dengan saat ini, di era Reformasi pun, isu-isu dan tuntutan-tuntutan
tersebut terus berdinamika, terutama tuntutan yang terkait dengan pertumbuhan
ekonomi yang stagnan, dinamika politik yang penuh dengan konflik horizontal, serta

42Lektor Kepala dalam bidang ‘Metodologi Ilmu Politik/Pemerintahan’ pada Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP
Unpad / pipin.hanapiah@unpad.ac.id pipin_hanapiah@yahoo.com

110 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pertanggungjawaban dalam pemerintahan (responsibility in government) yang
dilematis. Hal itu pun imbasnya masih terjadi dan terrasa sampai di tingkat daerah
dan desa.
Dinamika pertanggungjawaban dalam pemerintahan (responsibility in
government) ini merupakan fenomena, masalah-masalah, dan/atau permasalahan
kepemimpinan pemerintahan reformatif yang menarik untuk dikaji secara tematik dan
berkelanjutan baik melalui penelitian maupun kajian lainnya. Karena, bisa jadi
dinamika tentang fenomena, masalah-masalah, dan/atau permasalahan
kepemimpinan pemerintahan reformatif itu akan memberi kontribusi baru bagi
ditemukannya tesis-tesis baru yang kemudian menciptakan konsep-konsep dan/atau
teori-teori baru yang terkait dengan kajian kepemimpinan pemerintahan reformatif.
Pada umumnya, reformasi kepemimpinan pemerintahan akan meninggalkan
nilai-nilai kepemimpinan pemerintahan yang lama (baca: Orde Lama dan Orde Baru)
yang kemudian akan memunculkan bahkan membutuhkan nilai-nilai kepemimpinan
pemerintahan yang baru (baca: Era Reformasi). Namun demikian, sampai dengan
saat ini, nilai-nilai kepemimpinan pemerintahan yang baru di Era Reformasi belum
juga kunjung terpola, apalagi efektif dalam kemanfaatan dan dampaknya. Kalau
seperti ini terus-menerus berlangsung, lalu muncul pertanyaan: apakah Era
Reformasi ini akan terus berlanjut? Atau, apakah kepemimpinan pemerintahan
reformasi sulit ditemukan? Atau, kalau begitu, kepemimpinan pemerintahan
pascareformasi yang seperti apakah yang perlu ditemukan?
Sebagaimana diketahui bersama, kepemimpinan pemerintahan
(governmental leadership) berasal dari dua suku-kata, yaitu ‘kepemimpinan’ dan
‘pemerintahan’.
Kata Warren Bennis, “Leadership is the capacity to translate vision into
reality”.43 Untuk itu, menurut Tappen et al (2004:5)44, ada tiga tugas utama bagi
pemimpin untuk menerjemahkan hal tersebut, yaitu “(1) set direction: mission, goals,
vision, and purpose; (2) build commitment: motivation, spirit, teamwork; and (3)
confront challenges: innovation, change, and turbulence.
Konsep tentang ‘pemerintahan’ dinyatakan oleh Van Poelje sebagai
hubungan antara pemerintah dan yang-diperintah. Pemerintahan beresensi body of
knowledge of government yang bertujuan untuk memimpin hidup bersama manusia
ke arah kebahagiaan sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah

43 https://www.forbes.com/sites/kevinkruse/2013/04/09/what-is-leadership/#1670a845b90c 26/4/2017 (09:26).


44 http://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/46260_9781446207635.pdf 26/4/2017 (09:33).

111 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(Spiegel dalam Ndraha, 2005)45. Dengan demikian, secara konsep dan esensi,
government should be structured and how public policies should be made and
implemented (Cheema and Rondinelli, 2007:ix). Untuk itu, ‘pemerintahan’ itu sendiri
sebagai (1) “The act or process of
governing, especially the control and administration of public policy in a political
unit” dan (2) “A system or policy by which a political unit is governed”.46
Dengan demikian, pemahaman kepemimpinan pemerintahan seperti itu
begitu penting mengingat karena esensi dan relevansinya untuk topik artikel ini, yaitu
bahwa kepemimpinan pemerintahan suatu Negara itu adalah kapasitas seorang
pemimpin yang mampu menerjemahkan visi kedalam realitas melalui tiga tugas
utamanya sebagai pengatur arah, pembangun komitmen, dan penghadap tantangan
dalam bernegara. Esensi kepemimpinan seperti itulah yang harus dikuasai dalam
kapasitasnya untuk bertindak dalam proses memerintah, terlebih dalam mengelola
kebijakan publik dalam konteks bersistem politik dalam suatu Negara.47
Selanjutnya, kerangka acuan yang digunakan sebagai pisau-analisis untuk
menelisik, mengevaluasi, dan memformulasi kepemimpinan pemerintahan
pascareformasi dalam artikel ini adalah konsep/teori “pertanggungjawaban dalam
pemerintahan (responsibility in government)” dari Herbert J. Spiro (1969) yang
bersubstansi bahwa pemerintahan itu seharusnya bertanggung-jawab (government
as responsibility), berkewajiban (government as obligation), berakuntabilitas
(government as accountability), serta beralasan atau berpertimbangan (government
as cause) atas setiap kebijakan, program, dan tindakan pemerintahannya”.
Untuk itu, lanjut Spiro, apa pun ideologi, konstitusi, dan sistem
pemerintahannya; pertanggungjawaban dalam pemerintahan (responsibility in
government) adalah berhubungan dengan obligation, accountability, and cause.
Merujuk pada kamus Hornby (2000); responsibility is a duty to deal with or take care
because of job, position, etc; obligation is the state of being force to do something
because it is a duty or because of a law or a rule; accountability is responsibility for
decisions or actions and expected to explain them when asked; and cause is the
person or thing that makes something happen, likes resources, knowledge, choice,
and purpose as a motive or a reason to decide/act and/or not to decide/act.

45 Penjelasan lebih luas tentang ‘body of knowledge of government‘ dibahas oleh Taliziduhu Ndraha (2005), hal. 13.
46 http://www.thefreedictionary.com/government 26/4/2017 (09:49).
47 Untuk pemahaman lebih lanjut, silakan akses laman http://besetfreeministry.org/governmental-leadership-
explained/.

112 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dengan demikian, pemahaman kepemimpinan pemerintahan pascareformasi
dimaksudkan sebagai kepemimpinan pemerintahan di masa yang akan datang yang
terkait dengan substansinya sebagai yang bertanggung-jawab baik terkait dengan
obligation, accountability, maupun cause dalam pemerintahannya.
Pembahasan dalam artikel ini dibatasi pada analisis dan formulasi
kepemimpinan pemerintahan pascareformasi yang terlebih dahulu dilakukan telisik
dan evaluasi terhadap kepemimpinan pemerintahan selama ini. Dengan demikian,
tulisan ini bertujuan untuk menganalisis:
1. Responsibility in government di zaman kemerdekaan.
2. Responsibility in government di zaman Orde Lama.
3. Responsibility in government di zaman Orde Baru.
4. Responsibility in government di era Reformasi.
5. Kepemimpinan pemerintahan pascareformasi.
Mengacu pada pemahaman konseptual-teoretik dan tujuannya tersebut,
tulisan tentang “kepemimpinan pemerintahan pascareformasi” ini dianggap penting
(dan tentu ada urgensi dan relevansinya) untuk disajikan karena dalam Seminar
Nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom
ini dipandang perlu dibahas ragam dimensi akademiknya secara lebih utuh dan
lengkap. Dengan demikian, tulisan ini juga menjadi signifikan dan berkontribusi bagi
kajian Ilmu Pemerintahan.

PEMBAHASAN
Untuk menelisik dan mengevaluasi kepemimpinan pemerintahan terkait
dengan pertanggungjawaban dalam pemerintahan (responsibility in government)
untuk kepentingan artikel ini, pembahasan dan analisisnya difokuskan sejak zaman
kemerdekaan bangsa Indonesia (1945) sampai dengan artikel ini ditulis.

Responsibility in Government di Zaman Kemerdekaan


Secara umum di zaman ini tersimpul jejak pertanggungjawaban dalam
pemerintahannya sebagai berikut.
BPUPKI dan PPKI telah berjuang dengan penuh heroik dalam menjalankan
kepemimpinan pemerintahannya secara bertanggung-jawab (responsibility) baik
melalui obligasi (obligation), akuntabilitas (accountability), maupun kausa (cause)-
nya.

113 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dalam hal obligasi pemerintahan (secara kewajiban moral dan politik
kebangsaan, secara hukum, dan secara peraturan/regulasi yang diamanatkan oleh
BPUPKI), efektivitas pertanggungjawaban kepemimpinan telah ditunjukkan oleh para
pemimpin pemerintahan (melalui dan dalam PPKI) yang diberi amanah oleh Bangsa
yang baru dimerdekakan (17 Agustus 1945) dan Negara yang baru didirikan (18
Agustus 1945). Di sini dibentuk dan disepakati Pancasila sebagai ideologi Bangsa
Indonesia dan UUD 1945 sebagai hukum dasar Negara Indonesia.
Dalam hal akuntabilitas pemerintahan (tentang keputusan-keputusan,
tindakan-tindakan, dan aspirasi/harapan yang terkait dengan kepentingan-
kepentingan atau urusan-urusan publik/yang-diperintah), efektivitas
pertanggungjawaban kepemimpinan juga telah ditunjukkan oleh mereka dengan
terusirnya para Penjajah (Belanda, Jepang, Inggris, Amerika Serikat) dari Tanah Air
Indonesia. Hal ini sudah sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)
Indonesia untuk kemerdekaan Bangsa sejak Penjajah menderitakan mereka
melalukan kolonisasinya.
Dalam hal kausa pemerintahan (tentang alasan-alasan, pertimbangan-
pertimbangan, tujuan-tujuan, dan manfaat-manfaat yang terkait dengan kebijakan,
tindakan, program yang dibuat atau diputuskan), efektivitas pertanggungjawaban
kepemimpinan tampak kurang yang ditandai dengan berubah-rubahnya konstitusi
(UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950).
Di samping kurang efektif secara kausanya, pertanggungjawaban
pemerintahan secara akuntabilitasnya pun mulai tergerus oleh kubutuhan publik atas
kesejahteraan ekonominya yang kurang terpenuhi karena kepemimpinan
pemerintahannya yang lebih fokus pada urusan politik negara.
Tercatat hal yang sangat mendasar di zaman ini, yaitu munculnya benih-benih
disintegrasi Bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan karena faktor-faktor
kedaerahan, pemahaman hilafiyah agama, dan pemahaman ideologi aliran diluar
Pancasila.
Secara umum, pertanggungjawaban dalam pemerintahan di zaman ini telah
efektif secara obligasi, akuntabilitas, dan kausa di awal; berdinamika di tengah; akan
tetapi ‘terguras’ yang nantinya berujung pada ‘terpancingnya pola kepemimpinan
panik menuju otokratif” di akhir perjalanan.

114 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Responsibility in Government di Zaman Orde Lama
Secara formal ‘terpancingnya pola kepemimpinan panik menuju otokratif” di
akhir perjalanan kepemimpinan pemerintahan di zaman Kemerdekaan tersebut
dimulai sejak diterbitkannya Dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959.
Penerbitan Dekrit Presiden itu, secara kepemimpinan pemerintahan, jelas
merupakan penyimpangan dari pertanggungjawaban dalam pemerintahan
(responsibility in government) dalam konteks kewajiban pemerintah (government as
obligation) dalam bernegara. Mengapa? Sebab, ketika itu diterbitkan, tidak ada dasar
konstitusinya.
Namun demikian, ada hal yang menarik secara mendasar. Secara
akuntabilitas dan kausa pemerintahan, efektivitas pertanggungjawaban
kepemimpinan pemerintahannya justru telah ditunjukkan oleh Presiden Soekarno.
Mengapa? Sebab, di situ tampak bahwa Presiden sudah mengabulkan aspirasi,
tuntutan dan kepentingan publik, mendahulukan kepentingan nasional dan amanat-
kemerdekaan ketika awal Negara dibentuk, serta juga mengutamakan kepentingan
Negara di masa depan dan masukan-masukan dari lembaga-lembaga Negara (baca:
ABRI sekedar contoh).
Akan tetapi, lagi-lagi pertanggungjawaban pemerintahan secara
akuntabilitasnya semakin tergerus oleh kubutuhan publik atas kesejahteraan
ekonominya yang semakin kurang terpenuhi karena kepemimpinan pemerintahannya
yang masih terfokus pada urusan politik Negara dan sikap kepemimpinan politiknya
yang begitu konfrontatif dengan Barat tetapi begitu ‘familiar’ dengan Timur.
Akibatnya, tercatat hal yang sangat mendasar pula di zaman ini, yaitu
memuncaknya pola kepemimpinan pemerintahan yang otokratif yang dikenal dengan
istilah ‘demokrasi terpimpin’ yang sekaligus bergesekan dengan komitmen ABRI
beserta para petingginya (baca: Angkatan Darat, AD).

Responsibility in Government di Zaman Orde Baru


Memuncaknya pola kepemimpinan pemerintahan yang otokratif tersebut,
telah memancing dan mendorong banyaknya demonstrasi yang dipimpin oleh para
mahasiswa dan pemuda yang rindu pada keamanan negara, persatuan bangsa, dan
pembangunan ekonomi. Fakta itulah yang sudah bergaung-sambut dengan
komitmen ABRI sejak awal pembentukannya.
Karena Barat ketika itu juga sedang berkonfrontasi dengan Timur (baca: era
perang dingin), maka gaung-sambut tersebut dengan mudah ‘bersinerji’ dengan

115 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepentingan Barat. Singkat cerita, terjadilah pergantian Presiden Soekarno oleh
Presiden Soeharto. Secara formal, pergantian ini terjadi melalui Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret 1966).
Penerbitan Supersemar itu, secara kepemimpinan pemerintahan, jelas juga
merupakan penyimpangan dari pertanggungjawaban dalam pemerintahan
(responsibility in government) dalam konteks kewajiban pemerintah (government as
obligation) dalam bernegara. Mengapa? Sebab, keontetikannya, sampai dengan
saat ini, masih perlu dikaji secara ilmiah dan independen.
Namun demikian, ada hal yang menarik secara mendasar. Secara
akuntabilitas dan kausa pemerintahan, efektivitas pertanggungjawaban
kepemimpinan pemerintahannya justru telah ditunjukkan oleh Presiden Soeharto.
Mengapa? Sebab, di situ tampak bahwa Presiden bisa dan mampu mengabulkan
aspirasi, tuntutan, dan kepentingan publik; mendahulukan kepentingan nasional dan
amanat-kemerdekaan ketika awal Negara dibentuk; serta terpenuhinya tuntutan
jaminan keamanan Negara dan pembangunan kesejahteraan ekonomi.
Akan tetapi, efektivitas kepemimpinan pemerintahan dalam
pertanggungjawabannya secara akuntabiltas dan kausa tersebut tidak mulus dalam
perjalanan ke ujung periode jabatannya. Pro-kontra dan kritik-tajam terkait
ketidakterbatasan berapa kali masa jabatan presiden serta menajamnya kesenjangan
ekonomi di antara anak-bangsa yang terpoles oleh meruaknya isu KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) ternyata adalah yang telah menghantarkan Presiden di zaman
Orde Baru itu akhirnya ‘menyatakan berhenti’ dari jabatannya tanggal 21 Mei 1998.
Penulis menduga, hal itu terjadi karena dipicu oleh gerakan reformasi nasional yang
dipacu oleh ketidakpercayaan Barat (baca: Amerika Serikat dan Eropa) dan Asia
(baca: Jepang) atas kebijakan mobil-nasional (mobnas) Timor yang dipimpin oleh
Tommy Soeharto (salahsatu putranya) sebagai pemenang tender dan juga telah
menunjuk langsung Korea Selatan sebagai mitranya48.

Responsibility in Government di Era Reformasi


Kemudian, apa dan bagaimana kepemimpinan pemerintahan di Era
Reformasi? Jawabannya tentu saja perlu menelisik dan mengevaluasi sejak Presiden
yang pertama (B.J. Habibie), kedua (Abdurrahman Wahid), ketiga (Megawati

48Ketika ini terjadi, Indonesia sudah melanggar karena sudah menjadi anggota World Trade
Organization (WTO), yang salahsatu prinsipnya telah mengatur tentang ‘proses lelang
secara terbuka dan transparan’.

116 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Soekarnoputri), keempat (Susilo Bambang Yudhoyono), dan kelima (Joko Widodo) di
era ini.
Dikeluarkan kebijakan tentang ditawarkannya jajak-pendapat di Timor Timur
oleh Presiden B.J. Habibie dengan adanya dua opsi (merdeka dari atau tetap
bergabung dengan NKRI)—ketika pada saat: (a) masyarakat Indonesia sedang
begitu uforia pasca Presiden Soeharto49 berhenti, (b) beberapa tokoh Timor Timur
sedang melobi Barat untuk bisa merdeka, dan (c) Australia sedang mengincar celah
Laut Timor—merupakan kepemimpinan pemerintahan, yang secara obligasi, jelas
sebagai yang kurang bertanggung-jawab. Itu pandangan penulis sebagai anak-
bangsa dari sudut pandang akuntabilitas dalam pemerintahan (responsibility in
government) dan kausa di ranah publik domestik Negara Indonesia.
Walaupun demikian, ada prestasi Presiden Habibie di eranya yang secara
kausa pertanggungjawaban pemerintahannya sudah begitu efektif, yaitu
diselenggarakannya Pemilu 1999 atas dasar desakan dan aspirasi publik bangsa
Indonesia yang telah berjalan dengan demokratis sesuai dengan ‘tradisi demokrasi’
di Barat?
Secara obligasi pertanggungjawaban, Presiden Abdurrahman Wahid telah
dipilih dan diberhentikan melalui politik ‘poros tengah’ garapan Amien Rais dan
kawan-kawan. Tetapi secara akuntabilitas dan kausa, Presiden ini telah dianggap
mengecewakan publik karena diduga tersangkut ‘hibah Raja Brunei Darussalam’
yang tidak dipublikasikan/dicatatkan secara prosedur administrasi keuangan negara
di Indonesia, yang akhirnya secara permainan-politik mudah dijadikan titik-bidik
tembakan.
Yang ‘tertembak-politik’ itu tergantikan oleh Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri yang kemudian menjadi Presiden. Presiden Megawati adalah sah
secara obligasi, akuntabilitas, dan kausa pertanggungjawaban negara ketika itu.
Akan tetapi, secara akuntabilitas dan kausa pertanggungjawaban diri-
pemerintahannya tampak kurang efektif, terutama tentang hal-hal yang terkait
dengan manajemen dan komunikasi pemerintahannya yang dianggap oleh sebagian
kalangan/publik sebagai yang kurang efektif dan kolaboratif. Kekurangan inilah yang
menjadi titik-bidik tembakan berikutnya oleh lawan-lawan politiknya terutama dari
kalangan politisi, pengusaha, dan media.

49 Hal ini dapat difahami karena bergabungnya Timor Timur itu sebagai salahsatu kinerja
Presiden Soeharto.

117 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dengan dukungan kalangan politisi, pengusaha, dan media; hasil Pemilu
Legislatif 2004 telah mengantarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menjadi Presiden terpilih berikutnya yang kemudian terpilih lagi (Tahun 2009). Secara
obligasi pertanggungjawaban pemerintahannya, Presiden ini dinilai efektif.
Namun demikian, secara akuntabilitas dan kausanya masih menyisakan pro-
kontra publik tentang kebijakan dana-talangan (bailout) terkait Bank Century dan
kasus. Yang lainnya adalah tontonan ketidakharmonisan SBY-Megawati seringkali
menjadi sumber-berita para awak media dan para politisi sampai dengan saat ini.
Yang salah satunya adalah sebagai bersebab-akibat politik pada
kemenangan PDIP dalam Pemilu Legislatif 2014 dan yang telah mengantarkan Joko
Widodo untuk terpilih menjadi Presiden berikut dengan relatif mudah sebagai
petugas-partai PDIP. Di masa Presiden ini ada yang cukup mengganggu, yaitu utang
luar negeri mulai digenjot kembali, kebijakan Negara seringkali terkesan
‘serbakebelet’, seringkali muncul isu resafel-kabinet, terkesan banyak isu diskriminasi
hukum, dan beralih poros dan kiblat kerjasama ke Tionghoa. Akibatnya, hal-hal
tersebutlah yang seringkali menimbulkan banyak demostrasi massa selama ini.

Kepemimpinan Pemerintahan Pascareformasi


Bercermin pada keempat karakter ‘responsibility in government’ selama ini di
Indonesia dan mempertimbangkan saling-silang pengaruh terutama dalam isu-isu
ideologi, politik, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dari dunia
internasional yang semakin serbaglobal (borderless), di masa yang akan datang—di
era pascareformasi seandainya di era reformasi ini tidak kunjung efektif dan
berdampak dengan baik bagi kejayaan bangsa Indonesia—diperlukan kepemimpinan
pemerintahan yang kuat, yaitu—yang penulis sebut dengan istilah—‘good-strong
governmental leadership’.
‘Good-strong governmental leadership’ bisa dijalankan di negara Indonesia di
masa yang akan datang yang tetap berideologi Pancasila dan berkonstitusi UUD
1945, tetapi juga yang sistem pemerintahannya bisa tetap demokrasi (seperti yang
selama ini) atau berubah menjadi monarki-konstitusional (yaitu sistem monarki yang
dimufakati dalam permusyawaratan/perwakilan melalui perubahan kali kelima UUD
1945).
Dalam monarki-konstitusional—yang ditawarkan penulis ini—untuk di era
pascareformasi nanti adalah yang esensi dan karakteristik kepemimpinan
pemerintahannya sebagai berikut.

118 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
1. Sistem pemerintahan dan sistem politiknya adalah monarki-konstitusional, yaitu
yang termufakati dalam UUD 1945 hasil Perubahan Kelima.
2. Kepala Negara yang untuk kali pertamanya adalah yang ‘diberi amanah’ oleh
Bangsa Indonesia sebagai hasil ‘musyawarah-langit’ dan karena memang yang
sudah menjadi haknya seiring dinamika pertumbuhan dan perkembangan
pemerintahan dan politik Nusantara sejak zaman prasejarah.
3. Kepala Negara tersebut yang kepemimpinan pemerintahannya hanya untuk
memimpin, memperteguh, dan memanfaatkan sekalian teritorial, tanah air, dan
segala sumberdaya yang terkandung di dalamnya untuk kerayaan dan kejayaan
Bangsa Nusantara.
4. Kepala Negara tersebut adalah yang berkapasitas memimpin pemerintahan dan
politiknya secara ‘asah, asih, asuh’ dalam ‘kepemimpinan, keteladanan,
penegakan’-nya.
5. Kepemimpinan Kepala Negara seperti itu adalah yang kuat pertanggungjawaban
dalam pemerintahannya (strong responsibility in government) tetapi yang baik
dalam negosiasi politiknya (good negotiation in politic) secara domestik/nasional.
6. Kepemimpinan Kepala Negara seperti itu adalah yang tangguh dan konsisten
mempersatukan seluruh komunitas kepengikutan Orde Lama, Orde Baru, dan Era
Reformasi (tenacious and consistent in unifying the Old Order, the New Older, and
the Reform Era) secara domestik/nasional.
7. Kepemimpinan Kepala Negara seperti itu adalah yang fokus mengabdi untuk
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa Nusantara
secara adil.
8. Kepemimpinan Kepala Negara seperti itu adalah yang tangguh dan pengkuh
berdiplomasi dalam berhubungan internasionalnya (tough diplomacy in
international relations) secara global/kosmopolitan.
Gagasan ini nantinya bisa jadi sebagai alternatif kepemimpinan
pascareformasi yang bertanggung-jawab dalam pemerintahan (responsibility in
government) yang bisa kita diskusikan terus-menerus agar modelnya bisa berlaku
ajeg, menusantara, dan berdampak efektif bagi kejayaan bangsa dan negara
Indonesia.

119 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENUTUP
Simpulan
Hal yang sangat mengganggu dan menghambat bagi kejayaan Nusantara di
bawah kepemimpinan pemerintahan pascareformasi di masa yang akan datang
adalah masih berlajutnya konflik sosial-politik antarpemimpin elitnya (baca: Presiden)
beserta antarpengikutnya masing-masing. Berlanjutnya konflik ini akan menjadi
kendala sekaligus tantangan bahkan ancaman bagi efektivitas kinerja
pertanggungjawaban dalam pemerintahan (responsibility in government).
Antara Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto belum clear-and-clean
terkait dengan latarbelakang, substansi, dan dampak Supersemar. Antara Presiden
Soeharto dan Presiden B.J. Habibie belum clear-and-clean terkait dengan
latarbelakang, proses, dan dampak lepasnya Timor Timur. Antara Presiden Megawati
dan Presiden SBY belum clear-and-clean terkait dengan latarbelakang, proses, dan
dampak pergantian kepemimpinan walaupun adalah benar sesuai dengan hasil
Pemilu Presiden 2004. Kemudian, fenomena Presiden Joko Widodo yang belum
clear-and-clean terkait dengan keberlanjutan yang bersangkutan sebagai
‘kepanjangan-tangan’ dari Presiden Megawati—yang Presiden Megawati pun
sebagai ‘kepanjangan-tangan’ dari Presiden Soekarno dalam hubungannya dengan
Presiden Soeharto—dalam hubungannya dengan Presiden SBY.
Yang lebih rumit dan berjelimet-lagi adalah bahwa ketidakharmonisan di
antara mereka itu diduga ternyata terus berlanjut juga di kalangan para pengikut dan
massa-simpatisannya masing-masing baik secara vertikal maupun horizontal.

Saran
Ke depan untuk bisa mengurai kejelimetan konflik sosial-politik
kebangsaan/kenegaraan tersebut perlu ditemukan pemimpin bangsa yang
negarawan yang bisa:
1. Menjalankan esensi dan karakteristik kepemimpinan pemerintahan
pascareformasi sebagaimana yang ditawarkan penulis.
2. Menyatupadukan persepsi, sikap, dan hambatan-jiwa politik para pemimpin elit
(baca: Presiden) Bangsa Indonesia yang ada dan tersimpan selama ini.
3. Merangkul dan memetakan-kembali semangat kenusantaraan Bangsa Indonesia
di kalangan para pengikut-setia para pemimpin elit (baca: Presiden) masing-
masing tersebut.

120 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pemimpin bangsa yang negarawan tersebut adalah yang beresensi dan
berkarakter sebagai yang ‘good-strong governmental leadership’.

DAFTAR PUSTAKA

Bennis, Warren, tt. Dalam https://www.forbes.com/sites/kevinkruse/2013/04/09/


what-is-leadership/#1670a845b90c.
Held, David, 2004. Democracy and the Global Order: From the Modern State to
Cosmopolitan Governance, Oxford: Marston Book Services Ltd.
Hidayat, Setia dan N. Syamsuddin Ch. Haesy, 2004. Sangkakala Padjadjaran:Upaya
Awal Mengeja dan MenyingkapMakna Rumpaka. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi: Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Olthof, W.I., 1941. Babad Tanah Jawi. Alih Bahasa: H.R. Sumarsono. Yogyakarta:
Narasi.
Rosidi, Ajip, 2009. Manusia Sunda: Sebuah Esai tentang Tokoh-tokoh Sastera dan
Sejarah. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Spiro, Herbert J., 1969. Responsibility in Government: Theory and Practice, New
York: Van Nostrand Reinhold Company.
Tappen, et al, 2004. Dalam http://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-
binaries/46260_9781446207635.pdf 26/4/2017 (09:33).

121 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
MARKETING POLITIK PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN
UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KOTA BUKIT TINGGI
Adil Mubarak50

Abstrak
Marketing politik merupakan sebuah sarana bagi partai politik untuk
merancang strategi dalam mengenalkan partai dan kandidatnya kepada masyarakat
agar dapat memenangkan perolehan suara dalam pemilihan umum. Partai Gerindra
pada pemilu legislatif 2014 menjadi salah satu partai politik dengan capaian yang
spektakuler. Di Kota Bukittinggi partai Gerindra menjadi partai pemenang pemilu
dengan perolehan suara yang jauh meningkat jika dibanding dengan hasil pemilu
2009.
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh DPC
Partai Gerindra Kota Bukit Tinggi dalam memenangkan pemilu legislatif 2014 yang
baru lalu dengan pendekatan empat (4) program marketing politik yaitu product,
promotion, price, place. Program marketing politik merupakan sebuah metode dan
peralatan bagi partai politik, calon presiden, dan calon legislatif untuk melakukan
pendekatan kepada calon pemilih dengan tujuan meraih simpati dan minat pemilih
untuk menjatuhkan pilihan politiknya ke partai Gerindra.
Artikel ini merupakan hasil penelitian pada tahun 2016 di DPC Partai Gerindra
Kota Bukittinggi dengan pendekatan kualtitatif yang berusaha mendeskripsikan
secara lengkap strategi marketing politik oleh DPC Gerindra Kota Bukittingi pada
pemilu legislatif 2014.
Kata kunci: Marketing politik, Pemilu Legislatif, Partai Gerindra

Abstract
Political marketing is a tool for political parties to devise a strategy in
introducing the parties and candidates to public in order to win the vote in the general
election. Gerinda in legislative elections in 2014 became one of the political party with
the spectacular achievements.
This article aims to determine strategy DPC Gerindra BukitTinggi in winning
legislative elections in 2014 with the approach of the four (4) political marketing
program are: product, promotion, price, place. Political marketing program is a method
and apparatus for political parties, presidential candidates, and legislative candidates
to approach the electorate with the aim to gain the sympathy and interest of voters to
impose its political choice to Gerindra party.
This article is the result of research in 2016 in DPC Gerindra BukitTinggi with
a qualitative approach that seeks to describe the complete political marketing strategy
by DPC Gerindra Bukittingi City in legislative elections in 2014.
Keywords: Political Marketing, legislative elections, Gerindra

50 Jurusan IAN FIS Universitas Negeri Padang / adilmubarak08@yahoo.co.id

122 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar utama demokrasi
sebagai wadah bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam menjalankan hak
politiknya yaitu memilih dan dipilih. Semua warga negara yang telah memenuhi syarat
berhak untuk memilih dan dipilih oleh karena itu partisipasi politik masyarakat dalam
pemilu tidak saja melibatkan masyarakat secara umum tetapi juga melibatkan elit
politik yang tergabung dalam partai politik yang nantinya akan dipilih oleh masyarakat
untuk menempati posisi-posisi strategis dalam negara.
Salah satu pemilu yang ada di Indonesia adalah pemilu legislatif yang sudah
diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 lalu. Dalam pemilu legislatif tersebut ada
12 partai politik yang menjadi konstestan pemilu dan akan memperebutkan sejumlah
kursi di lembaga legislatif (DPR) mulai dari tingkat pusat, provins hinggatingkat
Kabupaten dan Kota. Untuk mendapatkan hati rakyat agar tergerak hatinya untuk
memilih partai dan kandidat dari partai tertentu maka, sudah menjadi keniscayaan
partai politik yang ikut dalam kostetasi pelimu legisltaif 2014 membuat strategi yang
efektif agar memperoleh suara rakyat yang besar.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menjadi salah satu konstestan
pemilu legislative 2014 yang memperoleh suara yang relative besar, sebagai partai
politik baru, dan pemilu legisltaif 2014 adalah pemilu yang ke 2 yang mereka ikuti
menjadi sebuah prestasi yang gemilang. Jika dibandingkan dengan pemilu
sebelumnya, maka perolehan suara Partai Gerindra pada pemilu legislatif 2014 jauh
meningkat.

Tabel Perbandingan Perolehan Suara dan Kursi Partai Gerindra Pemilu


Legislatif 2009 dengan Pemilu 2014 Secara Nasional
TAHUN JUMLAH SUARA JUMLAH KETERANGAN
KURSI
2009 4.46 % 26 Peringkat 8
2014 11, 86 % 68 Peringkat 3 naik 150
%
Sumber : Olahan dari berbagai media Cetak 25/4/2014

Perolehan suara secara Nasional yang relatif naik cukup drastis ini tentunya
tidak lepas dari perolehan suara yang ada di tingkat wilayah maupun daerah, hampir
sebagian besar wilayah di Indonesia Partai Gerindra dapat mendulang suara.
Provinsi Sumatera Barat adalah salah satu basis suara Partai Gerindra yang banyak
memberikan sumbangan suara.

123 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tabel Perolehan Suara Partai Gerindra di Dapil I&II Sumatera Barat
DAPIL SUMBAR I DAPIL SUMBAR II
NO Nama Partai Suara Partai Nama Partai Suara Partai
1 Golkar 245.514 Gerindra 191.966
2 Gerindra 147.367 Demokrat 158.386
3 PAN 141.742 Golkar 149.776
4 Demokrat 139.028 PKS 93.733
5 Nasdem 133.134 PPP 91.759
6 PPP 111.531 PDIP 80.926
7 PKS 108.015
8 PDIP 100.620
Sumber : KPU Sumbar dikutip dari SKH.Padang Ekspres Tanggal 25-04-2014

Seperti yang terlihat pada tabel, Dapil 2 Sumatera Barat Partai Gerindra
menjadi pemenang, dan salah satu daerah yang berada di dapil 2 Sumbar ini adalah
Kota Bukitinggi yang mana di Kota BukitTinggi ini Partai Gerindra juga menadi partai
pemenang.

Tabel Perolehan Suara partai pada Pileg 2014 di Kota Bukit Tinggi
NO Nama Partai Politik Perolehan Perolehan %
Suara Kursi
1 Partai Gerakan 7.566 4 16%
Indonesia Raya
2 Partai Golongan Karya 7.233 4 15.28%
3 Partai Demokrat 6.941 4 14,67%
4 Partai Persatuan 6.222 3 13.16%
Pembangunan
5 Partai Amanat Nasional 5.634 3 11.90%
6 Partai Keadilan 4.120 3 8.71%
Sejahtera
7 Partai NasDem 2.433 1 5.14%
8 Partai Hati Nurani 2.120 1 4.48%
Rakyat
9 Partai Kebangkitan 1.513 1 3.20%
Bangsa
10 PDIP 1.395 1 2.95%
Sumber : KPUD Kota BukitTinggi

Data diatas memperlihatkan peningkatan yang cukup laur biasa dalam


perolehan suara partai jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya dimana
Gerindra Kota BukitTinggi hanya pada posisi ke 7 dengan perolehan satu (1) kursi di

124 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DPRD Kota Bukittinggi. Berdasarkan pada kenyataan inilah penelitian ini mencoba
untuk menggali secara mendalam terkait strategi apa yang diterapkan oleh Partai
Gerindra khususnya Kota BukitTinggi dalam mempengaruhi masyarakat sehingga
masyarakat terpaut hatinya untuk menetapkan pilihannya ke Partai Gerindra yang
berdampak pada perolehan suara yang begitu besar.
Dalam studi politik kontemporer ada satu pendekatan yang relevan dengan
fenomena ini yaitu konsep yang dikenal dengan political marketing (marketing politik)
yaitu sebuah strategi yang dipakai oleh partai dan kandidat untuk mempengaruhi
calon pemilih untuk menentukan pilihannya. Dalam marketing politik ada 4 program
yang mesti diterapkan yaitu yang berkaitan dengan produk, promosi, biaya dan
tempat. Asumsi peneliti partai Gerindra Kota BukitTinggi dalam memperoleh capaian
prestasi pada pemilu legislatif 2014 lalu telah menerapka strategi marketing politik
tersebut.
Oleh karena itu penelitian ini merumuskan masalah penelitian dengan
mempertanyakan bagaimana marketing politik partai Gerindra Kota BukitTinggi pada
pemilu legislative 2014?, tujuannya adalah untuk mendeskripdikan secara mendalam
tentang program marketing politik partai Gerindra Kota BukitTinggi dalam hal produk,
promosi, biaya dan tempat. Hasil penelitian ini tentunya diharapkan dapat bermanfaat
secara akademik dalam pengayaan pada studi ilmu sosial secara umum dan ilmu
politik secara khusus, sementara dalam konteks praktis hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi partai politik secara umum dan bagai Partai
Grindra secara khusus dalam membuat strategi kampanye untuk mengahadapi
pemilu legislatif dan pemilu lainnya pada masa yang akan datang.

PEMBAHASAN
PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
Tahun 2014 menjadi tahun politiknya Negara Indonesia karena di tahun ini
akan dilaksanakan dua pesta demokrasi secara nasional yaitu pemilihan umum
legistatif dan pemilihan umum presiden, bahkan di tahun ini juga tidak sedikit pula
dilaksanakan pemilihan umum kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
diseluruh Indonesia. Namun dalam penelitian ini akan difokuskan hanya pada pemilu
legislatifnya saja.
Pemilihan umum legislatif adalah pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang akan duduk di parlemen sebagai representasi rakyat
Indonesia. Mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2012 pasal 1 yang disebut dengan

125 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemilihan umum adalah sarana melaksanakan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Selanjutnya di pasal 1 ayat 2 UU no.8 Tahun 2012 dijelaskan juga bahwa
pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pemilu legislatif ini diikuti oleh beberapa partai politik yang telah lolos berbagai
tahapan verifikasi yang begitu ketat persyaratannya, sehingga memerlukan dua tahap
verifikasi yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi factual. Dari sekian banyak partai
politik yang ikut dalam tahap verifikasi hanya ada 12 partai politik yang dinyatakan
lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dapat menjadi kontestan pemilu dan
berkompetisi dalam meraih suara pemilih. Dua belas parpol tentunya akan membuka
peluang untuk bersaing, persaingan politik inilah yang harus di siasati dengan
berbagai strategi yang efektif.
Adapun tahapan dalam pemilu legislatif ini dilaksanakan dengan beberapa
tahap, pasal 4 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2012 menegaskan bahwa tahapan
penyelenggaraan pemilu meliputi : (a) Perencanaan program dan anggaran, serta
penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, (b) Pemutakhiran data
pemilih dan penyusunan daftar pemilih, (c) Pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu,
(d) Penetapan peserta Pemilu, (e) Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah
pemilihan, (f) Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota,
(g) Masa Kampanye Pemilu (h) Masa tenang (i) Pemungutan dan penghitungan suara
(j) Penetapan hasil pemilu dan (k) Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota.
Demikianlah seluruh tahapan pemilu yang diatur oleh perundangan yang
mesti di laksanakan oleh semua partai politik yang ikut berkompetisi dalam pemilu ini.
Kemudian yang terpenting dalam setiap memilihan umum adalah mengenai sistem
yang menjadi regulasi. Maka, dalam pemilu legislative 2014 ini pada pasal 5 ayat 1
UU No.8 Tahun 2012 dinyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional
terbuka.

126 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Artinya, dalam pemilu yang memakai sistem proporsional terbuka seperti yang
dipakai oleh Indonesia ini akan berdapak pada pola persaingan politik yang terbuka,
baik persaingan antar parpol yang menjadi kontestan maupun antar kandidat yang
berada dalam satu partai politik yang sama, karena sistem ini meniscayakan sebuah
perolehan suara yang banyak karena yang berhak mendapatkan kursi di parlemen
adalah kandidat yang memperoleh suara terbanyak.

PARTAI POLITIK
Partai politik didefeninisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk
membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi)
untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Dalam undang-undang RI
Nomor 2 Tahun 2008 pasal 1 ayat 1 partai politik adalah organisasi yang bersifst
nasional yang dibentuk oleh sekelompok orang warga negara indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila
dan undang-undang dasar Republik Indonesia 1945.
Miriam Budiardjo (2003:160-161) Partai Politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita
yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka. Menurut Mark N. Hogopain yang dikutip oleh Mufti (2012:123)
partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan
karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis
tertentu, melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam
pemilihan.
Ada banyak fungsi yang strategis bagi partai politik, antara lain sebagaimana
yang dikutip oleh Icliasul Amal (1996:26) yaitu : representasi, konversi dan agregasi,
integrasi (partisipasi, sosialisasi dan mobilisasi, persuasi, represi, rekruitmen
(penerimaan anggota baru) dan pemilihan pemimpin, pertimbangan dan perumusan
kebijaksanaan, serta control terhadap pemerintah.
Seperti halnya organisasi lain yang beroperasi dalam tataran public spere.
Partai politik perlu melihat kembali peran dan tugas yang diembannya. Secara garis
besar, fungsi partai politik dapat dibedakan dua. Pertama, peran dan tugas internal
ornganisasi. Dalam hal ini organisasi partai politik memainkan peran penting dalam

127 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pembinaan, edukasi, pembekalan, kederisasi, dan melanggengkan idiologi politik
yang menjadi latar belakang pendirian partai politik. Kedua, partai politik juga
mengemban tugas yang lebih bersifat eksternal organisasi. Disini peran dan fungsi
organisasi partai politik terkait denga masyarakat luas bangsa dan negara. Kehadiran
partai politik juga memiliki tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk
mebawakondisi dan situyasi masyarakat menjadi lebih baik (Firmanzah, 69:2007).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 pasal 11 menyebutkan fungsi
partai politik sebagai berikut:
a. Partai Politik berfungsi sebagai sarana;
1) Pendidkan Politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
3) Penyerap, penghipun dan penyalur aspirasi Politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
4) Partisipasi politik warga negara indonesia dan
5) Rekruitment politik dalam proses pengisian jabatan politk melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan
kedilan gender
b. Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
secara konstitusional.
Pada pemilu legislatif 2014 misalnya tercatat ada 12 partai politik nasional
yang lolos verifikasi oleh KPU untuk dapat menjadi kontestan pemilu 2014 saat ini,
dibawah ini adalah daftar partai politik peserta Pemilihan Umum 2014 berdasarkan
nomor urutnya : (1). Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), (2) Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), (3) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), (4) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), (5) Partai Golongan Karya (Partai Golkar),
(6) Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), (7) Partai Demokrat, (8) Partai
Amanat Nasional (PAN), (9) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), (10) Partai Hati
Nurani Rakyat (Partai Hanura), (11) Partai Bulan Bintang ( PBB), (12) Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI).

128 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
POLITICAL MARKETING ( MARKETING POLITIK )
O`Shaughnessy (2001) sebagaimana dikutip oleh Firmanzah (2010:XLI)
memahami bahwa marketing politik adalah sebuah metode dan peralatan bagi partai
politik atau calon presiden untuk melakukan pendekatan kepada publik. Marketing
politik berbeda dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk
menjual partai politik atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang
menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat
program yang berhubungan dengan kebutuhan publik.
Marketing Politik (political marketing) adalah serangkaian aktifitas terencana,
startegis tetapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk
menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Tujuan dari marketing politik adalah
membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan perilaku
pemilih. Perilaku pemilih yang diharapkan adalah ekspresi mendukung dengan
berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai (Nursal, 2004:49)
Peran marketing dalam politik menurut firmazah (2008:149) tidak ubahnya
domain aktifitas sosial lain, dunia politik telah menjadi terbuka dan transparan. Dunia
politikpun kebal terhadap persaingan. Bahkan bidang ini justru sangat kental diwarnai
persaingan. Persaingan trejadi untuk memperebutkan hati kostituen dan membuat
mereka memilih kandidat (partai politik atau kontestan individu) masing-masing
selama periode pemilihan umum. Persaingan tidak hanya terjadi diantara konstestan
dalam memperebutkan konsumen mereka, melainkan juga dalam lobi-lobi politik
parlemen. Persaingan ini menurut masing-masing konsumen untuk memikirkan cara
dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan meyakinkan konstituen
bahwa kandidat atau partai politik merekalah yang paling layak dipilih
Adapun cara-cara yang dilakukan partai politik dalam marketing politik
menurut Baines dalam Adman Nusal (2004:23) adalah:
1) Mengkomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan,
langsung atau tidak langsung, kepada para pendukung dan para
pemilihnya.
2) Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan para pendukung, para
pemilih lainnya dan sumber-sumber eksternal agar mereka memeberikan
dukungan financial dan untuk mengembangkan dan menjaga struktur
menejemenditigkat lokal maupun nasional.

129 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3) Berinteraksi dan merespon dengan para pendukung, influencer, para
legislator, para kompetitor, dan masyarakat umum dalam mengembangkan
dan mengadaptasian kebijakan-kebijakan dan strategi.
4) Menyampaikan kepada semua pihak berkepentingan atau stack holder,
melalui berbagai media, tentang informasi, saran dan kepemimpinan yang
diharapkan atau dibutuhkan dalam negara demokrasi.
5) Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi
kampanye kandidat, para agen, pemasar, dan aktivis partai.
6) Berusaha mempengaruhi dan mendorong para pemilih, media-media dan
influencer penting lainnya untuk mendukung partai kandidat atau kandidat
yang diajukan organisasi dan agar tidak mendukung pesaing.
O`Cass (1996) yang juga dikutip oleh Firmanzah (2012:196), berpendapat
bahwa falsafah marketing memberikan arahan tentang cara menerapkan ilmu
marketing dalam dunia politik. Pada dasarnya ilmu marketing melihat bahwa
kebutuhan konsumen adalah hal terpenting. Sehingga perlu diidentifikasi dan dicari
cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika falsafah marketing diterapkan
dalam dunia politik oleh partai politik atau kandidat untuk memenangkan pemilu,
mereka harus bisa menangkap keresahan dan permasalahan mendasar yang
berkecamuk di tengah kehidupan masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya iklim persaingan yang sehat dan terbuka
diantara partai-partai politik, banyak kalangan yang menganjurkan agar partai politik
lebih berorientasi pasar (O`Cass,2001: Lilleker & Negrine, 2006 ) dikutip dari
Firmaszah (2012). Konsep orientasi pasar disini bukan berarti sebuah partai politik
atau kandidat harus at all cost memenuhi apa saja keinginan pasar. Karena masing-
masing partai politik memiliki konfigurasi ideology dan aliran pemikiran yang
menjadikan satu partai berbeda dengan partai lainnya.
Dalam konsep marketing politik yang paling harus dipahami adalah (1)
menjadikan pemilih sebagai subjek, bukan objek partai politik atau seorang kandidat,
(2) menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam
menyususn program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideology masing-masing
partai, (3) marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan tetapi menyedia
tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih (O`Shaughnessy,2001) dalam
Firmanzah (2012:197).
Lees-Marshmant (2001) dalam Firmanzah (2012:198) bahwa marketing politik
harus dilihat secara komprehensif. Pertama, marketing politik lebih dari pada sekadar

130 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
komunikasi politik. Kedua, marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses
organisasi partai politik, tidak hanya tentang kampanya politik tetapi juga sampai pada
tahap bagaimana memformulasikan produk politik pembangunan symbol, image,
platform dan program yang di tawarkan. Ketiga, marketing politik menggunakan
konsep marketing secara luas, tidak hanya terbatas pada teknik marketing namun
sampai pada strategi marketing, dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program
serta desain produk sampai ke market intelligent dan pemrosesan informasi.
Keempat, marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pembahasannya,
seperti sosiolofi dan psikologi. Kelima, Konsep marketing politik bisa diterapkan
dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilihan umum sampai ke proses lobi di
parlemen.
Selanjutnya Niffeneger (1989) dan Butler & Collins (1993) dalam Firmanzah
(2012:199) menjelaskan karakteristik marketing politik dengan mengambarkan
sebuah proses yang mesti dilewati yang meliputi empat elemen penting yaitu : (1)
product, (2) Promotion, (3) Price dan (4) Palace. Produk politik meliputi tiga hal yaitu,
(1) platform partai , (2) Catatan tentang hal-hal yang dilakukan dimasa lampau, (3)
Ciri Pribadi.
Promosi adalah sebuah usaha untuk memperkenalkan produk politik dengan
berbagai cara dan media yang tentu dipertimbangkan secara matang, baik melalui
media maupun promosi secara langsung dengan cara berorasi, berpidato dan lain
sebagainya. Sementara harga (Price) dalam marketing politik mencakup banyak hal,
mulai ekonomi, priskologis sampai ke citra nasional, namun bicara tentang harga
berarti bicara tentang seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk sebuah proses
marketing politik. Elemen terakhir adalah tempat (place) berkaitan erat dengan cara
hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi
dengan para pemilih atau calon pemilih.

131 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Bagan Proses Marketing Politik Niffeneger (1989) dalam Firmanzah (2012)
Program Marketing Politik Segmen Pemilih

Product - Platfrorm Segmen 1 Isu


- Karakteristik Politik/Kesempatan
Lingkungan Personal
- Masa Lalu
Promotion - Iklan Segmen 2 Isu
- Publikasi,Event, Politik/Kesempatan
Debat
Price - Biaya Ekonomi Segmen 3 Isu
- Biaya Politik/Kesempatan
Kandidat Psikologis
- Efek Image

Place - Program Segmen 4 Isu


Kolektif Politik/Kesempatan
- Program
Personal

MARKETING POLITIK PARTAI GERINDRA KOTA BUKITTINGGI


Niffeneger (1989) dan Butler & Collins (1993) dalam Firmanzah (2012:199)
menjelaskan karakteristik marketing politik dengan mengambarkan sebuah proses
yang mesti dilewati yang meliputi empat elemen penting yaitu : (1) product, (2)
Promotion, (3) Price dan (4) Palace. Produk politik meliputi tiga hal yaitu, (1) platform
partai , (2) Catatan tentang hal-hal yang dilakukan dimasa lampau, (3) Ciri Pribadi.
Promosi adalah sebuah usaha untuk memperkenalkan produk politik dengan
berbagai cara dan media yang tentu dipertimbangkan secara matang, baik melalui
media maupun promosi secara langsung dengan cara berorasi, berpidato dan lain
sebagainya. Sementara harga (Price) dalam marketing politik mencakup banyak hal,
mulai ekonomi, priskologis sampai ke citra nasional, namun bicara tentang harga
berarti bicara tentang seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk sebuah proses
marketing politik. Elemen terakhir adalah tempat (place) berkaitan erat dengan cara
hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi
dengan para pemilih atau calon pemilih.
Niffnegger (1989) dalam Firmanzah (2012) membagi produk politik dalam tiga
kategori yaitu (1) Platform Partai, (2) Catatan tentang hal-hal yang dilakukan dimasa
lalu (3)karakteristik Pribadi. Namun produk utama dari sebuah institusi politik adalah
platform partai yang berupa konsep, identitas ideology dan program kerja sebuah
institusi politik. DPC Partai Gerindra Kota Padang memang menjadikan Visi Misi,
Platform, jati diri partai, ideology partai sebagai jualan yang di sosialisaikan kepada

132 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
calon pemilih. Enam program aksi transformasi partai Gerindra 2014-2019
merupakan produk utama yang dapat memikat pemilih. Enam program aksi tersebut
juga yang selalu di promosikan oleh partai dalam berbagai kesempatan. enam
program aksi tersebut adalah (1) Membangun ekonomi yang kuat, berdaulat, adil dan
makmur; (2) melaksanakan ekonomi kerakyatan; (3) Membangun Kedaulatan
Pangan dan Energi serta pengamanan sumberdaya air; (4) Meningkatkan kualitas
pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan
budaya serta olahraga; (5) Membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam
serta lingkungan hidup; (6) Membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat,
tegas dan efektif.
Selain Program, kandidat atau figure juga menjadi produk penting yang
dipersiapkan oleh DPC Partai Gerindra kota Bukit Tinggi. Sosok Ketua Pembina
Partai Gerindra yaitu Prabowo Subianto merupakan sosok yang dijadikan jualan
paling laris bagi partai Gerindra. Di Kota Bukit Tinggi Partai Gerindra juga melakukan
proses pemilihan figure atau kandidat secara selektif, melalui prosedur yang cukup
ketat DPC Gerindra ingin mendapatkan calon legislatif yang memiliki kompetensi dan
integritas, serta mampu berperan sebagai agen dalam mensosialisasikan program
yang sudah dirumuskan oleh DPP. Pada pileg 2014 DPC Gerindra Kota BukitTinggi
menetapkan 25 Orang calon tetap yang tersebar di 3 daerah pemiliha (dapil) yaitu
dapil 1 Kecamatan Mandiangin koto selayan, dapil 2 Kecamatan Guguak Panjang
dan dapil 3 Kecamatan Aur birugo tigobaleh, menurut Ketua DPC Gerindra Kota
BukitTinggi kandidat atau calon tetap ini merupakan produk yang akan ditawarkan ke
para calon pemilih.
Program kedua adalah promosi. Promosi adalah sebuah usaha untuk
memperkenalkan produk politik dengan berbagai cara dan media yang tentu
dipertimbangkan secara matang, baik melalui media maupun promosi secara
langsung dengan cara berorasi, berpidato dan lain sebagainya. Pemilihan media
perlu juga dipertimbangkan. Tidak semua media tepat sebagai ajang untuk
melakukan promosi, harus dipikirkan dengan matang media apa yang paling efektif
dalam mentransfer pesan politik.( Firmanzah : 2012).
Partai Gerindra melakukan beberapa bentuk promosi, baik itu di media massa
cetak, elektronik hingga media online. Penyebaran informasi dalam media ini
dilakukan secara nasional dan juga lokal. Untuk media nasional, yang lebih berperan
dalam kegiatan promotion ini adalah Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Khusus
untuk media lokal, DPD dan DPC partai Gerindra lah yang terlibat dikarenakan

133 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
adanya pemahaman khusus terhadap daerah masing-masing dalam hal target
penggunaan media.
Seperti terpantau dalam amatan peneliti dan juga masyarakat secara umum
DPP Gerindra begitu gencar melakukan promosi di media elektronik (TV-TV
Nasional), hampir setiap saat, dan disemua stasiun tv nasional iklan partai Gerindra
muncul dengan berbagai macam tagline dimana ketua Pembina Partai Gerindra
langsung menjadi aktor utama dalam setiap iklan yang ditampilkan. Efek iklan dengan
intensitas yang cukup tinggi dan pesan yang disampaikan begitu jelas dan rasional,
membuat Partai Gerindra sekaligus ketua pembinanya Bapak Prabowo Subianto
begitu melekat dalam benak penonton TV.
DPC Gerindra Kota BukitTinggi mempergunakan semua bentuk media dalam
rangka promosi, promosi tersebut dalam rangga sosialisasi 6 program aksi
tranformasi dan para caleg. Media-media yang dipakai adalah iklan di media televisi
lokal, koran-koran lokal, Radio, dan media-media lain yaitu pemasangan spanduk,
baliho di setiap sudut strategis Kota BukitTingg. Iklan juga dipasang di beberapa
angkutan kota karena dinilai efektif dan akan menjangkau calon pemilih yang banyak.
Khusus untuk internal partai Gerindra, dalam penyebaran informasi bagi
pengurus dan anggota, partai Gerindra memiliki media internal yang disebut sebagai
media internal Gerindra. Media ini berisikan informasi seputar partai Gerindra di
tingkat Nasional ataupun di berbagai daerah. Media tersebut bernama “Gema
Indonesia Raya” dan diterbitkan setiap bulannya. Informasi dari berbagai daerah se-
Indonesia disampaikan dari pusat melalui Gema Indonesia Raya dengan struktur
keredaksian yang berasal dari Gerindra pusat dan diterbitkan langsung oleh Badan
Komunikasi Partai Gerindra untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah se-
Indonesia.
Program ketiga adalah yang terkait dengan harga. Harga dalam marketing
politik mencakup banyak hal, Mulai ekonomi, psikologis sampai citra nasional
(Niffenegger, 1989) dalam Firmanzah (2012). Harga ekonomi meliputi semua biaya
yang dikeluarkan institusi politik selama periode kampanye. Dari biaya iklan,
publikasi, biaya rapat sampai ke biaya administrasi pengorganisasian kampanye.
Harga tidak saja terkait dengan uang, ada tiga aspek yang melingkupinya yaitu,
pertama nilai ekonomi, DPC Gerindra Kota BukitTinggi menekankan kepada semua
calon tetap bahwa untuk menghadapi setiap tahapan pemilu legislative akan
membutuhkan “ongkos” relative besar dari segi materil. Hal ini pada akhirnya masing-
masing calon tetap secara pribadi harus sudah siap sesuai dengan kebutuhan dan

134 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
targetnya, selain dana pribadi DPC Gerindra Kota BukitTinggi juga mengelola dana
gotong royong yang dimanfaatkan untuk kegiatan bersama dalam rangka
mengahadapi setiap tahapan pemilu, mengenai besaran dana secara kongrit hampir
tidak dapat dipastikan karena banyak keberagaman. Kedua adalah nilai
psikologis,Nilai psikologis merupakan satu hal yang juga dipertimbangkan oleh DPC
Gerindra Kota Bukit Tinggi, Harga Psikologis pada dasarnya mengacu pada harga
persepsi psikologis, misalnya adanya ketertarikan terhadap kandidat, pemilih merasa
nyaman dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain.
Dalam hal ini DPC Gerindra sebagaimana yang telah diungkap pada bagian
sebelumnya dimana ada komitmen yang dilakukan oleh DPC Gerindra Kota Bukit
Tinggi untuk menyiapkan Bacaleg hingga menjadi Caleg yang sudah ditetapkan
adalah kandidat-kandidat yang mempunyai integritas, kapabilitas, dan yang lebih
penting adalah yang sudah terbiasa aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, dan
ketiga yang juga termasuk kedalam program harga ini adalah citra positif yang erat
kaitan dengan tatakrama, etika, sopan santun, rasa empati, responsivitas yang
diperlihatkan oleh para kandidat.
Program marketing politik yang terakhir adalah placeTempat (place) berkaitan
erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya
dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih. Place (Penempatan)
merupakan hubungan komunikasi antara kandidat dan masyarakat dengan fokus
daerah pendistribusian product politik.Hal ini erat hubungannya dengan Caleg dan
Dapil, DPC Partai Gerindra Kota Bukit Tinggi sebelumnya sudah melakukan
semacam pemetaan wilayah, mengidentifiaksi daerah pemilihan berdasarkan
karakteristik lingkungannya dalam berbagai dimensi. Selain itu DPC juga
mengelompokan program partai secara nasional sesuai dengan kondisi wilayah yang
ada.

PENUTUP
KESIMPULAN
1. Program marketing politik DPC Gerindra Kota BukitTinggi terkait Produc pada
pemilu legislatif 2014 dilaksanakan dengan cara memantapkan sosialisasi 6
program aksi yang sudah dirumuskan oleh DPP kepada calon pemilih di Kota
Bukittingi, selain itu DPC Gerindra Kota BukitTinggi juga menerapkan proses
seleksi sistematis untuk merekrut calon kandidat untuk ditetapkan sebagai caleg
yang memiliki kapasitas untuk dipilih oleh masyarakat.

135 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Program yang kedua adalah Promotion. DPC Gerindra Kota BukitTinggi
memanfaatkan semua media kontemporer baik cetak, elektrotik, maupun media
sosial, bahkan media internal untuk mengenalkan dan meyakinkan masyarakat
calon pemilih program dan kandidat yang diusung oleh DPC Partai Gerindra Kota
Bukittingi, baik secara kolektif maupun secara individu yang dibuat oleh para
caleg.
3. Program ketiga adalah terkait Price, Yaitu Biaya yang sudah dikeluarkan oleh
DPC dan kandidat secara individual, arah penggunaan dan jumlah yang
dipergunakan. Dalam hal ini berbagai sumber enggan untuk menjelaskan detil
nominal yang mereka habiskan untuk kegiatan selama proses dan tahapan
pemilu, namun dapat dipastian biaya atau ongkos tersebut sangat besar yang
bersumber dari dana gotong royong dan dana individual dari para caleg yang ikut
berebut kursi DPDR Kota BukitTinggi
4. Program keempat terkait dengan Place yaitu segmentasi program dan wilayah
serta kandidat yang diterapkan dengan pemetaan wilayah berdasarkan jumlah
penduduk, karakteristik wilayah, tingkat ekonomi, pendidikan dan mata
pencaharian.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Amal, Ichlasul. 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta. Tiara Wacana
Budiarjo, Miriam. 2003.Dasar-dasar Ilmu Politi., Jakarta, PT.Gramedia Pustaka
Utama,
Firmanzah. 2010. Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, Dan Marketing Politik,
Pembelajaran Politik Pemilu 2009. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Firmanzah. 2012. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Haris, Syamsuddin, 1997. Struktur, Proses dan Fungsi Pemilihan Umum Catatan
Pendahuluan dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta. PPW LIPI
Kansil,CST, 1986. Memahami Pemilu dan Referendum, Jakarta. Ind.Hill.Co
Mufti, Muslim. 2013. Teori-teori Politik, Bandung. Pustaka Setia

136 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: strategi memenangkan pemilu sebuah
pendekatan baru kampanye pemilihan DPR, DPD, Presiden. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Ware, Alan. 2000. Political Parties and Party System. New York: Oxford University
Press

B. Internet
www.kpu-sumbarprov.go.id

137 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA DAN WAJAH
HUBUNGAN DEMOKRASI, ISLAM
SERTA KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA
Indira Sabet Rahmawaty51

ABSTRAK
Kasus dugaan penistaaan agama yang dilakukan Tjahaya Basuki Purnama
(Ahok) sedemikian besar menyedot perhatian publik nasional dan internasional.
Pelbagai perspektifpun muncul dalam memandang kasus ini, ada yang perspektifnya
positif dan ada yang negatif, ada yang bernada optimis dan yang bernada pesimis.
Namun ada satu hal yang tidak bisa dibantah bahwa kasus dugaan penistaan agama
ini mampu untuk menampakkan dengan jelas wajah hubungan demokrasi, Islam dan
aspek kepemimpinan politik di negeri ini.
Terbukanya ruang ekspresi politik untuk beragam pihak yang pro, kontra
ataupun yang berusaha bersikap netral merupakan ciri bahwa kebebasan
berpendapat yang merupakan indikator demokrasi cukup berjalan dengan baik di
negeri ini. Di sisi lain, Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim juga menunjukkan
bahwa kekuatan Islam harus berhadapan dengan mekanisme demokrasi yang tidak
selalu mulus dan konsekwen. Namun kekuatan Islam yang berhasil digerakkan para
ulama ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan politik tidak selalu dimiliki oleh
kekuatan formal tapi justru dimiliki juga oleh kekuatan pemimpin informal yaitu para
ulama.
Wajah hubungan demokrasi, Islam dan kepemimpinan politik di Indonesia
adalah wajah hubungan dilematis-kompromistis. Namun di sisi lain mampu
menegaskan bahwa Islam selalu memiliki peran penting dalam banyak proses politik
di negeri ini. Kondisi ini akan menjadikan Indonesia sebagai salahsatu model
hubungan demokrasi, Islam dan kepemimpinan politiknya bagi banyak negara lain.
Kata Kunci: Demokrasi, Islam, Kepemimpinan Politik, Ulama, Penistaan Agama.

ABSTRACT
The case of Tjahaya Basuki Purnama’s/Ahok’s alleged religious blasphemy
has attracted a lot of national as well as international attention. Various perspectives
arise in viewing the case including both positive and negative perspectives as well as
optimistic and pitched tone. However, one thing cannot be denied that the case clearly
reflects the face of the relation among democracy, Islam and political leadership
aspects in Indonesia.
The opening of a space of political expression to various parties who are pro,
contra or try to be neutral shows that freedom of opinion which is one of the indicators
of democracy runs quite well in this country. On the other hand, Indonesia as a Muslim
majority country also shows that the power of Islam must deal with democratic
mechanism that is not always smooth and consistent. But the power of Islam which
have been successfully arisen by Islamic scholars (ulama) also demonstrates that
political leadership is not always possessed by formal forces but it is also owned by
the power of informal leaders of the ulama.

51Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Pascasarjana FISIP UNPAD dan Dosen Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN SGD Bandung / dini.islami@gmail.com// indira.sarah@uinsgd.ac.id

138 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
The face of the relation among democracy, Islam and political leadership in
Indonesia is dilemmatic and compromistic. However, on the other hand it affirms that
Islam always has an important role in many political processes in this country. This
condition makes Indonesia as one of the models of the relation among democracy,
Islam and political leadership for many other countries.
Keywords: democracy, Islam, political leadership, ulama, blasphemy

PENDAHULUAN
20 April 2017 -sehari setelah putaran kedua pemilihan umum Daerah khusus
ibukota (DKI) Jakarta rampung- sidang ke-18 kasus dugaan penistaan agama yang
menjadikan Gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok
yang juga calon gubernur yang kalah suara versi quick count, kembali di gelar. Sidang
ini merupakan proses panjang dari kasus dugaan penistaan agama yang menyedot
perhatian publik Indonesia juga dunia internasional. Dimulai dari diunduhnya video
pernyataan Ahok yang dipandang menghina ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 51
di Kepulauan Seribu yang menjadi viral dan kemudian bergulir menggerakkan jutaan
massa muslim yang menuntut hukuman bagi Sang Gubernur.
Beragam aspek bisa dipotret dari kasus dugaan penistaan agama ini. Dari
aspek politik saja memotret kasus dugaan penistaan agama ini akan menghasilkan
ragam hasil pemotretan. Hal ini sebagaimana pelbagai perspektifpun muncul selama
kasus ini bergulir. Perspektif positif-negatif dan bernada optimis-pesimispun muncul
seolah saling bersaing untuk menunjukkan gigi dan juga mempengaruhi publik.
Namun ada satu hal yang tidak bisa dibantah bahwa kasus dugaan penistaan agama
ini mampu untuk menampakkan dengan jelas wajah hubungan demokrasi, Islam dan
aspek kepemimpinan politik di negeri ini. Terbukanya ruang ekspresi politik untuk
beragam pihak yang pro, kontra ataupun yang berusaha bersikap netral merupakan
ciri bahwa kebebasan berpendapat yang merupakan indikator demokrasi cukup
berjalan dengan baik di negeri ini.
Kasus dugaan penistaan agama yang terjadi juga seperti batu ujian juga alat
deteksi yang mampu menunjukkan apakah mekanisme demokrasi yang berjalan di
Indonesia adalah mekanisme yang benar? Yaitu mekanisme yang menjunjung tinggi
suara rakyat, keadilan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.

139 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PEMBAHASAN
2.1 Demokrasi Indonesia, Demokrasi Cacat (Flawed Democracy)?
Sejak Negara Indonesia berdiri, negara ini sudah menjadikan demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan yang diadopsinya. Hal ini sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Beragam jenis
demokrasipun telah dipraktekkan: Demokrasi konstitusional dan Terpimpin di masa
orde lama, demokrasi pancasila di masa Orde Baru dan Demokrasi “liberal” di orde
reformasi ini
Demokrasi telah menjadi pilihan yang tidak pernah berubah sejak negara ini
berdiri.
Namun perjalanan demokrasi Indonesia menurut salahsatu lembaga yang
mengukur penerapan demokrasi menunjukkan bahwa Indonesia terkategori negara
demokrasi yang memilliki cacat. Hal ini sebagaimana terlihat di bawah ini:

Gambar Democracy Index 2016

Sumber: https://infographics.economist.com/2017/DemocracyIndex/

The Economist Intelligence Unit, lembaga yang mempublikasikan laporan


tersebut menempatkan Indonesia di posisi transisi menuju demokrasi penuh. Dalam
versi The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi didasarkan pada 5 (lima)
kategori: electoral process and pluralism; civil liberties; the functioning of government;
political participation; and political culture.

140 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Berdasarkan skor untuk kelima kategori tersebut kemudian tiap negara bisa
dikategorikan tipe rezim pemerintahannya, apakah: “full democracies”; “flawed
democracies”; “hybrid regimes”; and “authoritarian regimes”. (Democracy Index 2015,
www.eiu.com). Pada tahun 2015, Indonesia berada di ranking 49 dari 103 negara
dengan skor 7,03 dari skala 0-10. Perolehan skor indikator yang paling rendah
Indonesia ada di aspek budaya politik. Budaya politik ini salahsatunya diukur dari apa
yang disebut a strong tradition of the separation of Church and State yang popular di
Indonesia dengan istilah pemisahan agama dan negara atau sekulerisas. Satu tahun
kemudian yaitu tahun 2016, skor indeks demokrasi Indonesia menurun, sebagaimana
terlihat di bawah ini:

Gambar Indek Demokrasi Indonesia Tahun 2006-2016

Sumber: https://infographics.economist.com/2017/DemocracyIndex/

Dalam konteks kasus dugaan penistaan agama ini juga berbagai peristiwa lain yang
melibatkan hubungan politik dan agama memang menjadi bukti bahwa di negara
Indonesia jauh dari tradisi yang kuat untuk memisahkan peran agama dengan negara
atau politik. Meskipun Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyatakan dalam
salahsatu pidatonya untuk memisahkan atau tidak mencampuradukkan agama dan
politik. Pernyataan inipun kemudian menuai beragam respon positif-negatif dari
berbagai kalangan. Pernyataan Jokowi ini disampaikan 24 Maret 2017 saat
meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus,
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dan sekali lagi Jokowi Menegaskan bahwa:
"Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik"

141 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(http://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.a
gama.dan.politik)
Seruan ini disampaikan dengan tujuan menghindarkan konflik antar umat
beragama terutama pada saat prosesi pemilihan kepemimpinan kepala daerah
berlangsung. Tentu saja, seruan ini langsung dikaitkan dengan setting politik yang
terjadi saat itu yaitu pencalonan Ahok yang merupakan terduga kasus penistaan
agama sebagai gubernur DKI Jakarta. Inilah salahsatu gambaran wajah hubungan
demokrasi, agama dan kepemimpinan di Indonesia. Gambaran ini cukup kompleks
namun menantang untuk diamati dan ditemukan polanya.

2.2 Ragam Wajah Hubungan Demokrasi-Islam-Kepemimpinan Politik


Membicarakan hubungan demokrasi dan Islam juga kepemimpan politik di
dalamnya tidak bisa dilepaskan dari membicarakan hubungan Islam dan politik atau
hubungan Islam dan negara secara umum.Pembicaraan ini adalah pembicaraan
yang sudah banyak diulang-ulang namun dalam istilah Bahtiar Effendi selalu menjadi
soal yang bersifat recurrent (Dalam Oliver Roy, 1996: v). Hubungan Islam-Politik
diungkapkan Azyumardi Azra sebagai hubungan yang penuh dengan ketegangan
konseptual (2002: 118).
Wacana hubungan Islam dan Politik dan selanjutnya hubungan demokrasi
dan Islam tentu seiring dengan diterapkannya demokrasi itu sendiri di dunia Islam.
Demokrasi sendiri adalah sistem yang menemukan titik perkembangannya di dunia
Islam saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh. Saat itulah ragam pandangan muncul
tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya hubungan demokrasi dan
Islam. Pandangan yang muncul seiring runtuhnya entitas politik Islam.
Bahtiar Effendi dalam pengantar bukunya Oliver Roy “Gagalnya Islam Politik”
menyatakan bahwa Islam, umat Islam dan kawasan Islam tak akan pernah bisa
dipisahkan dari persoalan-persoalan politik (1996: v). Persoalan-persoalan politik ini
baik yang terjadi dalam konteks lokal maupun global. Esposito memandang bahwa
demokrasi adalah salahsatu perkara global yang harus dihadapi oleh Islam dan umat
Islam. Esposito menjelaskannya cukup panjang dalam bukunya Demokrasi di
Negara-Negara Muslim dalam bab khusus yang diberi judul Islam Dan Demokrasi:
Warisan Sejarah dan Konteks Global (1999: 11).
Pertemuan antara Islam dan Demokrasi ini melahirkan perdebatan dan
perbedaan pandangan dalam tubuh umat Islam khususnya kalangan tokoh intelektual
muslim atau para ulama (N., 2015). Oliver Roy membaginya menjadi 2 (arus)

142 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dominan yaitu Fundamentalis tradisionalis dan Fundamentalis reformis (1999: 37).
Meskipun dalam istilah lain fundamentalis reformis ini sering disebut sebagai
kalangan modernis yang menilai Islam dan demokrasi sebagai 2 (dua) hal yang
berkesesuaian dan saling mengisi. Sementara kalangan fundamentalis tradisionalis
yang sering distigma sebagai kalangan radikal yang melihat pertentangan antara
demokrasi dan Islam.
Esposito menyatakan bahwa dari kalangan muslim yang setuju kesesuaian
Islam dan demokrasi muncul konsep “Demokrasi Islam”. Pandangan ini misalnya
diungkapkan oleh ulama besar Abu A’la Al Maududi, Yusuf Qaradhawi kemudian ada
Fazlur Rahman dan tokoh-tokoh lainnya. Namun semuanya dengan argumen yang
dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Artinya Demokrasi Islam bisa disimpulkan sebagai
demokrasi dengan batasan aturan Islam atau Demokrasi versi Islam bukan versi
barat. Muncul istilah lain selain demokrasi islam untuk menggambarkannya seperrti
demokrasi religius atau theodemokrasi.
Argumen-argumen ini dikaitkan dengan konsep-konsep ayanga da di dalam
khazanah syariah Islam .Misalnya Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Min Fiqh Ad-
Dawlah fi al-Islam,pakar syariat dari Mesir ini menyatakan bahwa syura Islam serupa
dengan ruh demokrasi. Ada Juga pendapat yang sama datang dari Musthafa
Manshur dan Mahmud al-‘Aqqad (Al-Wa’ie , 2001: 45). Eickelman termasuk yang
menangkap bahwa bahwa Islam kompatibel dengan “nilai-nilai” universal yang
dijanjikan di zaman modern: sains, demokrasi, keadilan sosial dan hak azasi manusia.
Intelektual ini menyebut diri mereka sebagai reformis-modern maupun aktivis
religius(1998: 46-47).
Di sisi lain, Istilah demokrasi Islam merupakan suatu anatema bagi orang
barat. Pendapat inii memustahilkan untuk memahami daya tarik dan kekuatan
gerakan-gerakan Islam. Mengingat demokrasii merupakan konsep yang pada
dasarnya masih diperdebatkan, penting dipahami bagaimana persepsi demokrasi di
kalangan gerakan kebangkitan Islam belakangan ini (1999: 25). Pandangan sebagai
anatema ini misalnya ditunjukkan Huntington dan Fukuyama yang mengklaim bahwa
Islam incompatible dengan demokrasi dan modernitas. Pendapat dari Benhenda
menguatkan dengan pernyataannya: Liberal rights and sharia can themselves
overlap.(Benhenda, 2011)
Kalangan muslim yang memandang demokrasi bertentangan dengan Islam
berargumen bahwa Diin wa siyasah atau din wa daulah adalah 2 (hal) yang tidak bisa
dipisahkan dalam arti politik harus diatur oleh Islam yang menempatkan kedaulatan

143 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
di tangan Tuhan bukan di tangan rakyat. Artinya Demokrasi mengambil alih posisi
Tuhan yang berdaulat. Hal ini sebagaimana dipegang oleh Muhammad Sayyid Quthb.
Pandangan tegas lain muncul dari gerakan dakwah Hizb At Tahrir yang
menerbitkan buku secara khusus tentang Demokrasi yang berjudul” Demokrasi
Sistem Kufur “. Dijelaskan bahwa penolakan terhadap paham ini karena bertentangan
dengan Islam bukan karena sentimen anti barat dan anti kemodernan tapi dari
sejumlah argumentasi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri (Dalam Jurnal Al
Waie no.06 tahun 1, 1-28 Februari 2001).
Penolakan terhadap demokrasi juga dikaitkan dengan pandangan bahwa
demokrasi dijadikan alat penjajahan oleh Barat, khususnya Amerika ke dunia Islam.
Demokrasi memang ditetapkan sebagai politik luar negerinya AS u melindungi politik
dalam negerinya. Hal ini sebagaimana George W. Bush tahun 2004 nyatakan: “Jika
kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang harus
dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Al Wa’ie, 2013: 9)
Pernyataan tokoh-tokoh non muslim yang menyangsikan Demokrasi juga
ditunjukkan. Diantaranya pernyataan Thomas Jefferson, pendiri negara Amerika
Serikat, sejak awal telah menyangsikan demokrasi berpihak kepada rakyat. Ia malah
menyebut demokrasi sebagai aturan mafia (mob rule): “ A democracy is nothing more
than mob rule, where fifty-one percent of the people may take away the rights of other
forty-nine” ( Al-Waie, 2014 hal 13). Kalangan muslim yang menolak demokrasi
menyatakan bahwa Muslim yang shalih yang berjuang melalui demokrasi seperti a
good driving riding a bad car (Sopir yang baik mengemudikan mobil yang rusak) (Al
Wa’ie, 16 Feb 2014).
Pendapat yang berbeda juga muncul namun tidak dalam konteks menolak
demokrasi.Namun menganggp demokrasi adalah bagian dari Islam atau bagian dari
Syuro. Namun Syuro itu sendiri bukan demokrasi. Hal ini seperti yang diungkapkan
Asy-Syawi dalam bukunya Syuro bukan Demokrasi, Asy-Syawi menyatakan :
“Sementara itu, kita lihat bangsa-bangsa asing (non Arab) telah melebihi kita
dalam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan kemerdekaan
berpolitik. Mereka bahkan telah menerapkan sistem pemerintahan semacam
syuro dengan sebutan demokrasi. Mereka pada akhirnya beranggapan bahwa
syuro adalah demokrasi. Padahal yang benar adalah bahwa demokrasi
merupakan bentuk syuro versi Eropa. Namun demiian, tidak sama benar
dengan syuro, karena mereka tidak berpegang pada dasar-dasar syariat kita,
tidak berada di bawah naungannya dan tidak mau terikat dengan batas-
batasnya.... Syuro yang diwajibkan syariat kita tampak lebih universal dan
lebih sempurna dibandingkan demokrasi” (1997: 21-22).

144 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Asy-Syawi selentunya memberikan penjelasan tentang batas-batas yang
berbeda ini adalah karena sistem demokrasi saat ini sampai pada tingkat
mengesahkan kekuasaan diktator totaliter atas nama kekuasaan mayoritas dan
diktator partai yang telah memberikan kepada mereka kekuasaan mutlak tanpa batas.
Sistem demokrasi barat dengan liberalismenya membukakan pintu luas bagi setiap
faktor kerusakan moral, penyimpangan sosial dan bentuk-bentuk kejahatan yang lain
(1997: 22)
Dalam perkembangan selanjutnya, perdebatan dan perbedaan pendapat
tentang Islam dan demokrasi teralihkan pada keharusan pragmatis menghadapi
kenyataan Islam dan kaum muslimin hari ini hidup dalam wadah politik demokrasi.
Sebagai sebuah sistem politik, baik di dunia muslim maupun tempat lain, pasti
melibatkan manajemen persaingan dan bahkan perbenturan pelbagai kepentingan.
(Eickelman, 1998: 16). Akhirnya menurut Fazlur Rahman harus ada dukungan Islam
pada demokrasi dalam arti proses demokratisasi dalam tubuh umat islam yang
diartikan sebagai partisipasi umat Islam dalam keputusan politik dan legislatif yang
mempengaruhi kehidupan komunitas mereka sebagai muslim.
Di dunia muslimpun termasuk Indonesia muncullah upaya umat Islam untuk
menjadikan demokrasi sebagai arena memperjuangkan kepentingan Islam.
Melakukan Islamisasi melalui mekanisme demokrasi. Hal ini sebagaiman terlihat
dalam keterlibatan umat Islam dalam berbagai proses politik dan menerima berbagai
kebijakan politik yang ditetapkan rezim penguasa dalam sistem demokrasi. Argumen
lain juga muncul seperti yang diungkapkan El Fadh: a constitutional democracy, as
the system most capable of promoting the ethical and moral imperatives of Islam
(2003: 10).
Dalam bukunya “Managing politics and Islam in Indonesia”, Porter
menunjukkan bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang bisa diatur dengan
berbagai kebijakan politik dari rezim yang berkuasa. Hal ini sangat terlihat di masa
Soeharto. Kebijakan ini mencakup kebijakan partai politik Islam, pendidikan Islam dan
program harmonisasi agama (Porter, 2005: 66-67). Artinya politik dan Islam di
Indonesia di era demokrasi pancasila masa Soeharto didominasi warna menjadikan
demokrasi ajang untuk memperjuangkan Islam dan tak terlalu mencuat isu
mempertanyakan kesesuaian demokrasi itu sendiri dengan Islam. Hal ini
berpengaruh pada keterlibatan muslim dalam berbagai event politik termasuk
berbagai pesta pemilihan umum yang secara rutin di laksanakan per 5 (lima) tahun
di Indonesia.

145 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kebijakan memanage politik dan Islam juga terlihat pada diberikannya jalan
untuk berdiri dan berkembangnya berbagai organisasi yang berdiri untuk
mengakomodir aspirasi umat Islam lewat jalur non partai seperti: Nahdlatul Ulama
(NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
menjadi bukti-buktinya.(Porter, 2005: 67).
Indonesia orde reformasi pasca Soeharto juga menunjukkan meskipun ruang
ekspresi dan partisipasi Islam dan muslim jauh lebih luas namun di sisi lain
kesempatan yang samapun diberikan pula untuk non Islam. Ruang yang lebih luas
juga melahirkan ragam entitas dalam tubuh umat Islam sendiri, termasuk ragam
pandangan terhadap demokrasi. Akhirnya, Hubungan Islam, demokrasi dan
kepemimpinan politik berada dalam arena tarik-menarik antara berbagai kekuatan.
Azra bahkan menyebut kondisi reformasi pasca keruntuhan Soeharto sebagai rebirth
of political Islam di Indonesia. (2002: 109-111). Hal ini karena ditandai dengan
menjamurnya partai politik Islam dan simbol-simbol Islam.
Politik Islam dalam bentuk partai politik yang telah terlahir kembali ini pada
perjalannnya ada yang tak mampu bertahan hidup dan akhirnya mati. Fakta lainnya
ada yang tak mampu berdiri sendiri hingga harus berafiiasi, ada pula yang bertahan
tapi dengan identitas dan kesolidan Islam yang melemah dan ragam fakta politik yang
lain.
Kesimpulan Fatima Al-Samak yang menyebut hubungan antara Islam dan
demokrasi sebagai a obscure relationship, -sebuah hubungan yang tak jelas- layak
diamini. Kesimpulan ini layak disepakatii karena kekuatan Islam harus berhadapan
dengan mekanisme demokrasi yang tidak selalu mulus dan konsekwen. Mekanisme
ini membuat muslim dalam wadah demokrasi ada dalam situasi dilematis dan
akhirnya memilih sikap kompromistis.

2.3 Wajah Dilematis-Kompromistis dalam Hubungan Demokrasi-Islam-


Kepemimpinan Politik dalam Kasus Dugaan Penistaan Agama
Dalam konteks Indonesia, ragam pandangan hubungan Islam, demokrasi dan
kepemimpinan tersebut semuanya hadir. Kalangan-kalangan muslim yang
mengusungnyapun menunjukkan eksistensi dan kepemimpinannya di tengah
masyarakat. Kasus dugaan penistaan agama menjadi batu ujian dan juga alat
deteksinya terhadap eksistensi dan kepemimpinannya. Iklim Tarik-menarik kekuatan
untuk mempengaruhi opini dan kebijakanpun terasa melalui berbagai media terutama
media online/jejaring sosial.

146 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dari kasus dugaan penistaan agama ini menunjukkan beberapa point penting
terkait hubungan demokrasi, islam dan kepemimpinan di Indonesia:
Pertama, muncul dan diprosesnya kasus penistaan agama itu sendiri
menunjukkan bahwa agama menjadi satu perkara yang ditempatkan dalam ruang
terhormat sekaligus sakral bagi mayoritas penduduk Indonesia.
Kedua, dugaan kasus penistaan agama yang dipicu oleh pernyataan Ahok
tentang ayat suci Al-Qur’an tentang kepemimpinan politik menunjukkan bahwa
agama termasuk kitab sucinya –dalam hal ini Islam dan Al-Qur’an- merupakan
rujukan dan tuntunan selain ayat konstitusi yang berlaku. Dalam kacamata dikotomi
yang dilakukan oleh Oliver Roy juga kacamata barat secara umum merupakan ciri
dari fundamentalisme tradisonal atau dalam kata lain radikal. Begitu juga jika
dikaitkan dengan indikator indeks demokrasi yang di keluarkan the economist
intelligence unit, maka hal ini dinilai sebagai budaya politik yang jauh dari prinsip
sekulerisme barat.
Ketiga, dugaan kasus penistaan agama ini mengantarkan pada terjadinya
tarik-menarik kekuatan berbagai kelompok yang mengerucut pada 2 (dua) kubu:
Penuntut Ahok dan Pembela Ahok. Kedua kubu ini juga digawangi oleh para tokoh
muslim: kubu penuntut dianggap radikal dan kubu pembela dianggap modernis.
Keempat, dugaan kasus penistaan agama yang juga bertepatan dengan
pemilihan umum kepala daeran khusus ibukota Jakarta menggiring opini pada ruang
perdebatan politik Islam tentang kepemimpinan politik. Pihak yang menyatakan
haram pemimpin kafir dalam Islam dan pihak yang menyatakan kebolehan pemimpin
non muslim asal memiliki kapasitas. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Islam
masih cukup kuat mempengaruhi pilhan dan partisipasi politik muslim di Indonesia.
Namun di sisi lain memunculkan situasi dilematis untuk mengambil pendapat yang
mana. Situasi dilematis ini makin kuat ketika organisasi induk mengarahkan untuk
memilih sosok tertentu.
Kelima, kepemimpinan tokoh agama yaitu para ulama yang kuat. Para ulama
ini menjadi tokoh yang mampu menggerakan dan didengar oleh masyarakat muslim
Indonesia. Pressure politik yang dilakukan ulama dengan umat menunjukkan
bagaimana pemerintah atau penguasa memerlukan dukungan dan legitimasi ulama
dalam langkah atau kebijakan politik mereka. Kepemimpinan Islam melalui para
ulama. ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan politik tidak selalu dimiliki oleh
kekuatan formal tapi justru dimiliki juga oleh kekuatan pemimpin informal yaitu para
ulama

147 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Keenam,turunnya massa Islam dalam jumlah besar untuk menuntut keadilan
hukum dalam kasus penistaan agama ini menunjukkan respon lamban sekaligus
kurang konsekwen dari rezim demokrasi yang sedang berkuasa. Respon lamban
bahkan terkesan kurang respek ditunjukkan dengan absennya Presiden Jokowi
dalam salahsatu aksi dan memilih berada di agenda lain dan langkah hukum yang
terkesan ditunda-tunda. Kurang konsekwen karena massa dengan jumlah fantastis
ternyata tidak dipandang sebagai suara rakyat yang seharusnya lebih dari cukup
untuk membuat tuntutannya didengar dan dikabulkan pemerintah. Aksi massa Islam
juga tidak murni dipandang sebagai bentuk penyampaian aspirasi rakyat justru isu
makar merebak tanpa terbukti di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelaan
terhadap Islam yang menjadi identitas yang muncul dlam aksi menjadi hal yang masih
dipandang dalam kacamata demokrasi liberal-sekuler yang memandang Islam
sebagai ancaman.
Ketujuh, beragam pihak yang pro, kontra ataupun yang berusaha bersikap
netral merupakan ciri bahwa kebebasan berpendapat yang merupakan indikator
demokrasi cukup berjalan dengan baik di negeri ini. Namun seperti yang
diungkapsebelumnya, hal ini mengantarkan pada situasi tarik-menarik kekuatan yang
berakhir pada situasi dilematis-kompromistis.
Kedelapan, hubungan politik dan Islam di Indonesia didominasi warna
menjadikan demokrasi ajang untuk memperjuangkan Islam dan tak terlalu mencuat
isu mempertanyakan kesesuaian demokrasi itu sendiri dengan Islam. Hal ini
mendorong tingkat partisipasi politik yang tinggi dalam berbagai agenda politik
khususnya pemilihan kepala daerah di ibukota ini. Namun di sisi lain upaya islamisasi
melalui sistem demokrasi memang berpotensi menemui berbagai ketidaksinkronan.
Ketidaksinkronan ini sering berakhir pada langkah kompromistis, seperti mau tidak
mau menerima berlarut-larutnya proses hukum kasus dugaan penistaan agama ini
padahal di kasus lain prosesnya bisa begitu cepat. Contoh lain adalah menerima
pemimpin muslim tapi menahan bahkan menjauhkan tuntutan penerapan syariat
Islam.

PENUTUP
Dinamika pengalaman demokratisasi muslim di Indonesia menunjukkan
bahwa hubungan demokrasi dan Islam termasuk di dalamnya topik kepemimpinan
politik ada dalam ragam hubungan yang tak bisa digeneralisasi dan sifatnya yang
kasusistik. Hal ini karena pluralnya kekuatan politik yang terlibat dan upaya islamisasi

148 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
melalui sistem demokrasi yang memang berpotensi menemui berbagai
ketidaksinkronan. Namun pada akhirnya, dari perjalanan kasus dugaan penistaan
agama ini tergambar bahwa ketidaksinkronan ini seringkali diakhiri dengan upaya
kompromi. Wajah kompromistis inilah yang merupakan wajah hubungan Demokrasi-
Islam-kepemimpinan politik d Indonesia. Solusi kompromistis ini memang tidak selalu
membuat lega dan diterima semua pihak namun dipandang mampu menyelesaikan
ketidaksinkronan yang sedang terjadi.
Namun bagaimanapun wajah hubungan demokrasi, Islam dan kepemimpinan
politik yang nampak, tetap mampu menegaskan bahwa Islam selalu memiliki peran
penting dalam banyak proses politik di negeri ini. Kondisi ini akan menjadikan
Indonesia sebagai salahsatu model hubungan demokrasi, Islam dan kepemimpinan
politiknya bagi banyak negara lain.

DAFTAR PUSTAKA:
Al-Samak, Fatima. Democracy and Islam: An Obscure Relationship. Published on
Books on Islam and Muslims | Al-Islam.org (https://www.al-islam.org)
Asy-Syawi, Taufiq. (1997). Syuro Bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press.
Azra, Azyumardi. (2002). Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut
Kerukunan Antarumat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Benhenda, M. (2011). Liberal democracy and political Islam: The search for common
ground. Politics, Philosophy & Economics, 10(1), 88–115.
http://doi.org/10.1177/1470594X10368248
Democracy Index 2016, https://infographics.economist.com/2017/DemocracyIndex/.
Diakses 22 april 2017
Democracy Index 2015, www.eiu.com. Diakses 10 November 2016
Eickelman, Dale F dan James Piscatori. (1998). Ekspresi Politik Muslim. Bandung:
Penerbit Mizan
El-Fadl, Khaled Abou. (2003). Islam and the Challenge of Democratic Commitment.
Copyright c 2003 by the authors. Fordham International Law Journal is
produced by The Berkeley Electronic Press (bepress).
http://ir.lawnet.fordham.edu/ilj
Esposito, John L dan John O. Voll. (1999). Demokrasi di Negara-Negara Muslim:
Probem dan Prospek. Bandung: Mizan
Januar, Iwan. 2014. Demokrasi: Sistem Mafia. Dalam Jurnal Al-wa’ie no.171 Tahun
XV, 1-30 November 2014

149 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Victoria, Adi. 2013. Masih Percaya Demokrasi?. Dalam Jurnal Al-Wa’ie no.158 Tahun
XIV, 1-31 Oktober 2013
Vox Populi Vox Dei?. Rubrik Resensi Buku dalam Jurnal Al-Wa’ie no.06 Tahun I, 1-
31 Februari 2001
Victoria, Adi. 2014. Pemerintahan Pasca Demokrasi. Dalam Jurnal Al-Wa’ie no.162
Tahun XIV, 1-28 Februari 2014
Porter, Donald J. (2005). Managing Politics and Islam in Indonesia. New York:
RoutledgeCurzon
N., S. (2015). Islamic Movements Engaging with Democracy: Front Islamique Du
Salut (FIS) and the Democratic Experiment in Algeria. India Quarterly, 73(3),
255–271. http://doi.org/10.1177/0974928415584025
Roy, Oliver. (1996). Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Zallum, Abdul Qadim. (2001). Demokrasi Sistem Kufur. Pustaka Thariqul Izzah
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.ag
ama.dan.politik. Diakses 24 April 2017

150 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KOMUNIKASI POLITIK PEREMPUAN
DI DALAM KONTEKS PERPOLITIKAN
(Sebuah Analisis Makna Politik Bagi Kaum Perempuan)
Rita Destiwati52 dan Junardi Harahap53

ABSTRAK
Cara melakukan sebuah kebijakan di dalam politik, tentu dilakukan dengan cara
masing-masing orang yang tentunya berbeda-beda cara komunikasi politik. Di dalam
memahami makna politik yang berbeda-beda karena setiap orang memahami politik
itu berbeda-beda pula. Dan yang sering didengar adalah sebuah komunikasi politik
yang dilakukan oleh kaum laki-laki, bukan oleh kaum perempuan. Untuk komunikasi
politik perempuan bagaimana pula? Karena itu, perlu disadari bahwa komunikasi
politik memainkan peran yang sangat penting di dalam ranah politik bangsa yang di
dalam literatur politik yang mau tidak mau bangsa kita memainkan peran dan juga hal
yang harus dipahami dan dilakukan dengan baik. Komunikasi politik memainkan
peran yang sangat urgent di dalam kancah bangsa yang saat ini sedang berlangsung
di negara Indonesia. Terlebih-lebih perempuan yang mempunyai sifat dengan
kelembutan yang mau tidak mau memberikan kesan kepada sebuah budaya politik
yang memberikan kesantunan sehingga membawa hasil kepada hasil politik yang
bernafaskan kepada kelembutan. Pertanyaan yang diungkapkan di dalam kajian ini
adalah bagaimanakah komunikasi politik perempuan memaknai politik dalam
komunikasi politik bangsa. Hal apa yang akan terjadi bila komunikasi politik
perempuan dapat berlangsung. Penelitian ini sendiri dilakukan dengan metode
kualitatif dan melakukan wawancara dan observasi. Hasil kajian didapati bahwa
komunikasi politik perempuan di dalam perpolitikan ternyata membawa kepada
kelembutan yang membawa hasil komunikasi politik yang dilakukan dengan naluri
perempuan yang melatarbelakanginya. Hasil yang didapat dari komunikasi politik
perempuan adalah hasil yang didamkan. Hasil kajian didapati pula bahwa dengan
perempuan memaknai politik sepertinya pasif dan tidak berani mengungkapkan,
karena dominasi patriaki yg begitu kuat.
Kata kunci: Komunikasi, politik, patriaki, perempuan, antropologi, kelembutan, dan
santun.

PENDAHUUAN
Komunikasi politik merupakan bagian penting di dalam kegiatan politik, salah
satu hal yang disoroti adalah mengenai komunikasi politik dalam kaum perempuan.
Perempuan mempunyai budaya yang sangat lembut di dalam menyampaikan
komunikasi politiknya. Perempuan memainkan banyak sekali kekuatan di dalam
melakukan beragam aktivitas yang dilakukan oleh kaum perempuan. Apa jadinya bila
hal tersebut berlaku di dalam sebuah perpolitikan, artinya yang terjadi adalah sebuah
politik yang diliputi dengan suasana yang berlaku dengan kelembutan yang dimiliki

52 Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom / ritadestiwati@gmail.com
53 Departemen Antropologi FISIP Unpad / junardiharahap@gmail.com

151 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
perempuan. Kelembutan telah menjadi hal yang membawa dan bawaan bagi kaum
perempuan. Yang membuat kaum perempuan sebagai ibu yang dapat mendidik
anak-anaknya dengan kelembutan yang dimiliki oleh kaum perempuan.
Kelembutan di dalam politik sangat penting, terlebih-lebih bangsa kita adalah
bangsa yang sangat berbudaya serta sangat sopan santun di dalam ranah
kehidupannya. Budaya sopan dan santun serta kelembutan mutlak diperlukan di
dalam ranah budaya bangsa yang sangat majemuk serta mempunyai politik yang
sangat santun dari masa lalu yang bangsa ini miliki. Tentu, hal yang sangat
mengesankan terjadi apabila bangsa kita yang mempunyai budaya yang sangat
santun ini mempunyai sebuah politik yang berbudaya dan bertata krama sesuai
dengan budaya yang dimiliki bangsa yang besar.

METODE
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif dengan
melakukan wawancara dan juga melakukan observasi di lapangan. Melakukan
wawancara dengan perempuan yang menjadi informan di dalam kajian ini serta
melakukan observasi di dalam kajian ini juga.

KAJIAN PUSTAKA
Morissan(2013:89), simbol memberikan cara berfikir akan adanya tanda, yang
memberikan instrument berfikir yang membawa kepada manusia memiliki kekuatan
dan kebutuhan akan adanya simbol. Rakhmat(2005:101), proses pengenalan diri
akan membentuk konsep diri yang membawa kaum perempuan juga melakukan
kesadaran akan diri mereka yang mempunyai kekuatan akan kelembutan mereka.
Nimmo(2004:166-167), di dalam komunikasi politik diperlukan saluran untuk
menyampaikan pesan berupa cerita, gambar, lambang-lambang. Sobur(2006:255)
makna memainkan peran di dalam filsafat komunikasi yang ada yang berpengaruh
terhadap cara pandang melihat kaum perempuan dalam politik. Darmawan (2013:36),
di dalamnya terdapat sosiologi komunikasi yang memainkan peran dan latar belakang
budaya serta kondisi sosial. Yoshio (2014:205), dalam kajiannya menyatakan akan
keterlibatan perempuan di dalam perpolitikan.

152 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan dari kajian ini akan melihat sejauh mana komunikasi politik yang
dilakukan oleh kaum perempuan di dalam memaknai komunikasi politik yang melatar
belakangi mereka. Artinya sebenarnya komunikasi politik yang ada pada kaum
perempuan masih bersifat pasif, dari hasil wawancara yang dilakukan kaum
perempuan masih memaknai politik secara pasif dan masih memahami bahwa politik
masih milik kaum laki-laki di dalam perpolitikannya. Kaum laki-laki masih menjadi
faktor yang dominan di dalam memandang mengenai politik kaum perempuan. Kalau
menelitik dari sejarah panjang bangsa Indonesia, memang faktor budaya memang
masih mengakar kepada masyarakat bangsa.
Budaya bangsa yang masih mengakar di dalam masyarakat bangsa, yang
membawa kepada masyarakat menjadi bagian penting di dalam ranah budaya
bangsa yang mengakar. Budaya dan budaya politik yang sangat memperhatikan
budaya politik yang sangat menekankan peranan laki-laki di dalam politik
memberikan kesempatan dan peluang perempuan untuk ambil bagian dari politik.
Laki-laki masih mendominasi di dalam politik, dan hal ini dapat dimaknai dengan
simbol-simbol yang dimainkan oleh kaum perempuan di dalam masyarakat dan juga
di dalam budaya politik bangsa. Keberanian untuk melakukan bentuk perlawanan
tetap ada, namun politik dan budaya yang masih berakar membawa masyarakat
masih tetap bertahan di dalam budaya politik yang lebih mengandalkan dominasi laki-
laki dibandingkan dengan perempuan.
Peranan-peranan bahwa perempuan masih bermain di dalam posisi domestik
yang berada di dalam rumah, hal ini masih melandasi sehingga peranan perempuan
di dalam politik belum begitu mendominasi di dalam politik bangsa Indonesia.
Peranan ini mestilah dibalik supaya kaum perempuan lebih memainkan peranan dan
kekuatan dengan kelembutan yang dimiliki oleh kaum perempuan yang begitu besar
di dalam membangun kekuatan di dalam politik bangsa yang sangat mendambakan
ikut ambil bagiannya kaum perempuan di dalam perpolitikan bangsa.

KESIMPULAN
Kesimpulan dari kajian ini menyatakan bahwa perempuan masih kurang dan
pasif di dalam memaknai komunikasi politiknya. Hal ini diperoleh dari kajian ini, kaum
perempuan masih bersifat lembut dan juga sangat pasif dalam hal politik perempuan
yang dilakukan oleh mereka. Artinya budaya patriaki masih mendominasi di dalam
budaya politik bangsa. Seharusnya dengan adanya masuknya wanita ke dalam politik

153 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
akan membawa kaum perempuan mempunyai peranan yang penting di dalam politik
bangsa. Karena wanita memainkan peranan yang membawa kepada kelembutan
yang sangat penting dimiliki oleh politik bangsa kita saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Deni. 2013. Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Teori dan
Aplikasi. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi. Komunikator, Pesan, Percakapan dan
Hubungan(Interpersonal). Bogor: Ghalia Indonesia.
Nimmo.2004. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: Penerbit
PT. Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit
PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT. Remaja
Rosdakarya.
Yoshio, Hitomi. 2014. Performing the Woman Writer: Literature, Media, and Gender
Politics in Tamura Toshiko's Akirame and "Onna sakusha". Source:
Japanese Language and Literature, Vol. 48, No. 2, Special Section: New
Perspectives on the Japanese Writing System and Reading Japanese as L1
and L2 (October 2014), pp. 205-236. Published by: American Association of
Teachers of Japanese. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/24394405.

154 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
NAGARI VS NEGARA DAN EKSPERIMEN DEMOKRASINYA
Tengku Rika Valentina54 dan Utang Suwaryo55

ABSTRAK
Intervensi untuk sebuah konsolidasi demokrasi”, menjadi labeling awal peneliti ketika
membaca dan memahami model intervensi yang dilakukan oleh kolonial Belanda
pada Nagari di Sumatera Barat. Bagaimana Nagari/desa didekonstruksi menjadi
bagian analisis yang menarik untuk melihat “eksperimen” demokrasi yang menyertai
perjalanannya. Dalam menganalisis temuan data ini, pertama memfokuskan kepada
transisi demokrasi nagari tradisional berawal dari masuknya Islam ke Minangkabau
hingga gerakan politik dan social disorder “Paderi”; kedua pertarungan antara
suprastruktur politik (politik formal yang dibuat oleh kolonial Belanda) dengan infra
struktur politik Nagari (demokrasi Tuah Sakato) melalui model sistem politik
demokrasi kelarasan (Koto Piliang yang aristokrasidan Bodi Chaniago yang egaliter).
Menariknya, kekuasaan politik dan pemerintahan secara tradisional identik dengan
tradisi budaya di Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilineal, dan dalam
tradisi budaya masyarakat ini antara kepemimpinan sosial dan politik sukar sekali
untuk dipisahkan. Dengan menggunakan teori demokratisasi dan penggunaan
metode postpositive eksploratif, nagari tradisional di Sumatera Barat masih menjadi
sebuah kajian menarik untuk diangkat kepermukaan. Ketika secara politis demokrasi
di Nagari merupakan sistem di mana pemimpin mewakili rakyat, dan secara sosial
ketika masyarakat mempunyai hak yang sama atas pencapaian suatu kekuasaan,
ternyata sangat rentan dengan persaingan dan konflik karena tidak sejalan
kekuasaan politik dan kekuasaan sosial dalam masyarakat.
Kata kunci: Nagari, Negara, Demokrasi, dan Kekuasaan Politik

ABSTRACT
Interventions to a consolidation of democracy", being the initial labeling researchers
when read and understand the model of intervention by the colonial Dutch in Nagari
West Sumatra. How Nagari / village deconstructed into parts of the analysis
interesting to see the "experiment" of democracy that accompanies the journey. In
analyzing this data findings, the first to focus on the transition to democracy started
from the traditional villages of Islam into Minangkabau to political movements and
social disorder "Padri"; The second fight between the political superstructure (politics
formal created by the colonial Dutch) with political structure infra Nagari (Tuah Sakato
democracy) through a model of a democratic political system kelarasan (Koto Piliang
the aristocracy and Body Chaniago egalitarian). Interestingly, political power and
governance has traditionally been synonymous with tradition in Minangkabau culture
that embraces matrilineal lineage, and the cultural traditions of this society between
social and political leadership it was difficult to be separated. By using the theory of
democratization and the used postpositive explorative methods, traditional villages in
West Sumatra still be an interesting study to be lifted to the surface. When politically
democracy in Nagari is a system in which leaders represent the people, and socially
when citizens have equal rights to the attainment of power, it is very vulnerable to
competition and conflict for it is not political power and social power in society.
Keywords: Nagari, State, Democracy, and Political Power

54 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik, FISIP, Unpad dan Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas /
tengkurika@gmail.com
55 Guru Besar Ilmu Pemerintahan, Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Unpad / utang_59@yahoo.com

155 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang
saling berkaitan, salah satunya yaitu konsolidasi demokrasi. Konsolidasi adalah
sebuah “fase” dari demokratisasi (Huntington 1991; Dahl 1971; Schedler 1998; Linz
& Stepan 2001; Dahl Shapiro & Cheibub 2003; Freedman 2006). Konsolidasi
demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural
dan lembaga-lembaga politik saja tetapi juga terjadi pada level masyarakat (Oo Zau
Min 2008: 19). Artinya, secara prinsipil ada sebuah komitmen dari seluruh elemen
masyarakat tentang aturan main demokrasi yaitu, demokrasi yang terkonsolidasi apa
bila aktor- aktor politik dan elemen masyarakat menggangap bahwa tindakan
demokrasi sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan, dan tidak ada aktor
atau kelompok yang mengklaim veto terhadap tindakan pembuatan keputusan yang
sudah terpilih secara demokratis(Whitehead dalam Robert Pastor 1989:30). Oleh
karena itu Robert Putnam (1993) menyatakan, bahwa penguatan budaya politik
demokratis merupakan sebuah kunci utama dalam konsolidasi demokrasi.
Ketika proses penelitian ini diarahkan dalam konteks dinamika politik lokal
di Indonesia, konsolidasi demokrasi dalam wujud demokratisasi ternyata “menuai”
banyak masalah yaitu: (1) pergeseran dari pemerintahan yang sentralisasi ke
pemerintahan desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintah
otoriter ke pemerintahan demokratis; (2) pergeseran dari negara kuat ternyata tidak
membentuk masyarakat sipil yang kuat; (3) melemahnya negara pusat tidak secara
otomatis membuahkan demokrasi lokal yang lebih kuat ( Aspinal dan Fealy dalam
Nordholt & Klinken 2007; Benda-Beckmann dalam Nordholt & Klinken 2007), dan
semua penjelasan ini akan selalu diakhiri dengan permasalahan tentang
desentralisasi dengan pembentukan lembaga di tingkat lokal oleh negara (baca:
pemerintah pusat) misalnya nagari, gampong, desa, subak dan lain-lain.
Bagaimana dengan nagari tradisional di Minangkabau? ketika Setting politik
lokal diwarnai dengan problematika eksistensi lembaga dan kearifan lokal (ini dimulai
sejak sebelum Indonesia merdeka), peneliti memahami ada usaha yang dilakukan
oleh elite politik tradisional yang berkuasa pada masa itu, untuk menjaga
keseimbangan antara pelaksanaan fungsi standar political structure demokrasi
dengan otoritas-otoritas struktur kekuasaan adat nagari tradisonal. Permasalahan ini
dapat dilihat dalam dua sisi pertama ketika masuknya Islam ke Minangkabau hingga
terjadinya gerakan politik dan social disorder “Paderi” pada kerajaan Islam

156 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pagaruyung (1803-1821); kedua terjadinya “pertarungan” antara suprastruktur politik
(politik formal yang dibuat oleh kolonial Belanda) dengan infra struktur politik nagari
(demokrasi Tuah Sakato) dalam sistem politik tradisional yaitu demokrasi kelarasan
(Koto Piliang yang aristokrasidan Bodi Chaniago yang egaliter) (1821-1900-an).
Merujuk pendapatnya Sri Zulchariyah (2008:78)“dari masa kolonial sampai
masa kemerdekaan – Orde Baru secara keseluruhan terlihat gambaran
kecenderungan akan proses pemudaran dan pelemahan akan sistem nagari”.Secara
politik nagari memang bukan lembaga seperti yang dikatakan oleh Max Weber
sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan
secara absah. Tetapi secara teoritis sejak tahun 1803 (pada masa kerajaan Islam
Pagaruyung) sampai dengan sekarang ini,nagari di Minangkabau (baca: Sumatera
Barat) merupakan organisasi yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom
dan berbasis pada masyarakat (self-governing community), mempunyai perangkat
pemerintahan demokratis yang merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat
tatanan sosial-budaya (Benda-Beckmann 1979).Sehingga nagari sebagai basis
kehidupan masyarakat akar–rumput mempunyai dua wilayah yang berbeda yaitu (1)
wilayah internal nagari yaitu relasi hubungan antara pemerintah nagari dengan
lembaga- lembaga nagari serta masyarakat; (2) adalah wilayah eksternal nagari yaitu
wilayah hubungan antara nagari dengan ”negara” (baca: pada masa kerajaan Islam
Pagaruyung hingga Kolonial Belanda)
Inilah permasalahan menurut peneliti yang menjadi pemicu konflik antara
negara (baca: pada masa Kerajaan Islam Pagaruyung dan Kolonial Belanda) dengan
nagari tradisional Minangkabau pada masa itu. Penelitimelihat bahwa ada anomali
kekuasaanketika sifat otoritas negara pada akhirnya memunculkan sebuah “drama”
sistem politik yang langsung diterapkan pada lembaga lokal nagari tradisional, dan
semuanya menurut peneliti membutuhkan sebuah penelitian yang lebih mendalam.
Artinya, di Minangkabau pada masa itu (baca: Sumatera Barat)ada sesuatu yang
sangat unikdan secara nomotetik peneliti mengkaitkannya dengan demokratisasi ke
arah proses konsolidasi demokrasi lokal, yaitu ketika ingin mengurai model
demokrasi,serta potensi konflik yang ada dalam nagari tradisional dengan negara
(baca: Kolonial Belanda) ternyata aspek-aspek demokratisasi semakin menarik untuk
dianalisis dalam melihat fenomena demokratisasi lokal.

157 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan diatas dengan segala kompleksitasnya cukup
menarik sebenarnya dijadikan sebagai kajian dan penelitian serta dirumuskan dalam
pertanyaan kunci:
a. Bagaimana bentuk intervensi negara (pada masa kerajaan Islam Pagaruyung)
dan kaitannya dengan sosial disorder Paderi (1803-1821)sehingga berdampak
pada berubahnya demokrasi tradisional di Minangkabau?
b. Bagaimana proses intervensi negara (baca: Kolonial Belanda)akhirnya bisa
menciptakan model demokrasi yang berbeda pada nagari tradisional di
Minangkabau?

TUJUAN PENELITIAN
a. Mengkaji dan menganalisis bagaimana bentuk model demokrasi yang tercipta
dari hubungan antara nagari dengan negara (baca: inlad-agraria dan costal-
maritme kerajaan Islam Pagaruyung) dan setelah terjadinya sosial disorder
paderi di Minangkabau (1803-1821)
b. Mengkaji dan menganalisis pelbagai model demokrasi yang tercipta dari bentuk
intervensi negara (baca: Kolonial Belanda ) pada nagari tradisional di
Minangkabau (1821-1900-an

KEGUNAAN PENELITIAN
Sebagai bahan masukan bagi pengembangan secara teoritik pada kajian
demokrasi lokal,serta memberikan beberapa sumbangan besar dalam displin Ilmu
Politik dan pengembangan pada tataran prakteknya tentang dinamika dan model
demokrasi dalam ruang politik lokal Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
KONSTRIBUSI TEORI UTAMA DALAM STUDI DEMOKRATISASI
Berbicara tentang demokrasi dalam artian sempit, Schumpeter (dalam
Ishiyama & Breuning 2011:267) memberikan pandangan bahwa demokrasi adalah
sebagai metode untuk memilih pemimpin dimana metode demokratis adalah ”tatanan
institusional” untuk mendapatkan keputusan politik dan individu mendapatkan
kekuasaan untuk memutuskan melalui sebuah persaingan dalam mendapatkan
suara”. Selain itu, Held (dalam Ishiyama & Breuning 2011:267) berpendapat:
”Democracy entails a political equal communitiyin which there is some from of political

158 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
equalityamong the people. Held (1996) menyatakan bahwa demokrasi ternyata akan
melibatkan komunitas politik di mana ada beberapa bentuk ”kesetaraan politik” di
antara orang-orang yang berkuasa. Peneliti memahaminya disini harus ada
eksistensi antara kesamaan hak dan kesamaan kewajiban dan itu merupakan ciri
utama dari demokrasi.
Jika ini dimaksudkan sebagai sebuah demokrasi, Ishiyama (2011:268)
memberikan sebuah penekanan pada makna demokratisasi yaitu sebagai proses
yang dengannya masyarakat berkembang ke arah demokrasi. Beberapa scholars
seperti Freeman dan Snidal (dalam Ishiyama 2011:268) mendefinisikan
demokratisasi sebagai perluasan warga negara, akan ada proses pemilihan dan para
elite politik akan “tunduk” pada hasil dari pemilihan tersebut. Dalam perspektif ini
Ishiyama (2011:268) kemudian menggarisbawahi bahwa ketika memandang definisi
minimal demokrasi sebagai aturan hukum, perkembangan sebuah institusi, praktek
pemilu yang bebas dan adil dan akuntabilitas pemerintah maka demokratisasi adalah
sebuah proses yang membentuk sebuah aturan hukum, pemilu akuntabilitas dan
kepemimpinan dan melalui demokrasi-lah masyarakat sipil akan berkembang. Lain
dari pada itu Leo Agustino (2007:129).berpendapat bahwa pemahaman akan
demokratisasi masih akan terus dilakukan oleh scholars dalam rangka menemukan
jati diri dari demokrasi, dan kegiatan tersebut tidak dapat terlepas dari indikasi
pergeseran fokus analisis liberalisasi-politik dari negara (state) ke sisi masyarakat
(society). Selain itu, Leo Agustino (2007) juga menambahkan dari banyak tulisan
yang membahas tentang persoalan demokratisasi ternyata fokus analisis tentang
kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi
menjadi perhatian lebih dari para scholars.
Gagasan ini menurut peneliti merupakan alternatif terhadap gagasan arus-
utama yang mengartikan demokrasi sebagai pemerintahan atau kedaulatan rakyat
serta demokrasi adalah proses pembelajaran dan kelembagaan yang
menghubungkan lembaga-lembaga politik formal (suprastruktir politik) dengan
kehidupan politik sehari-hari dalam masyarakat (infrastruktur politik). Politik formal
meliputi lembaga eksekutif dan legislatif yang dihasilkan dari proses elektoral yang
berwenang untuk membuat kebijakan dan mengendalikan masyarakat sipil.
Sedangkan kehidupan politik sehari-hari berkaitan dengan aktivitas politik
masyarakat baik dalam konteks organisasi maupun dalam proses artikulasi politik
(Sutoro Eko2006:25-26).

159 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis atau non demokratis,
scholars pada umumnya akan menjabarkan elemen-elemen kritis yang terkandung
dalam frasa pemerintahan oleh rakyat, selain melihat perwujudan elemen-elemen
demokrasi pada level empirik. Jika dikaji lebih dalam frasa ”pemerintahan oleh
rakyat”, ternyata akan menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis siapa rakyat yang
memerintah itu?, bagaimana rakyat memerintah? seberapa besar rakyat terlibat?.
Sejumlah pertanyaan ini menyebabkan demokrasi tidak bermakna tunggal tetapi
merupakan entitas dimanis yang memperoleh pemaknaan (interprestasi)berbeda-
beda dari para scholars
Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan dimaknai
dengan dua pendekatan yang berbeda, yang pertama kali muncul adalah
pendekatan klasik-normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide-ide dan
model-model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis pemikiran
klasik – dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan sampai pada pemikiran
sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang dan
tujuan (kerangka preskripsi secara normatif untuk sistem politik). Pendekatan klasik
normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak rakyat sebagai sumber atau
alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama. (Sartori 1987;Gould 1988; Dahl
1989; Dahl 1990)
Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif
memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan unsur-
unsur nonpolitik (sosial, ekonomi dan budaya). Kebebasan sebagai esensi dalam
demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara, memilih,
berkumpul, berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosial ekonomi (yakni bebas dari
berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan
sebagaimnya) para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon Struat
Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa ketimpangan sosial
ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan demokrasi. dengan kata lain
suatu negara yang diwarnai dengan ketimpangan sosial ekonomi tidak bisa dikatakan
demokratis meski kebebasan politiknya terjamin (Sorensen 2006).
Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen
konstitusi dan gagasan rule of law untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak dan
kewajiban rakyat (warga negara) serta untuk membatasi penggunaan kekuasaan
sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi, pendekatan
klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik ketika studi

160 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
demokratisasi berkembang sejak akhir dekade 1970-an, pendekatan ini hanya
digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide-ide, wacana dan model-model
demokrasi.
Salah satu cara untuk mengkombinasikan dua konsep demokrasi yang
berbeda menurut Ishiyama (2011:268) adalah dengan menempatkan konsepsi Dahl
(1989) tentang poliarki sebagai variasi dari demokrasi dan disisi lain konsep
demokrasi yang dikemukan oleh Linz dan Stepan (dalam Ishiyama 2011: 297-268)
memberikan kriteria minimalis untuk demokrasi dan berguna untuk membedakan
antara satu rezin dengan rezim yang lain. Seperti yang digunakan oleh Go”Bel
(2010: 176-190) dalam artikelnya yang ditulis pada Centre for East and South East
Asian Studiesyang berjudul Authoritarian Consolidation menjelaskan bahwa tren
demokrasi itu diibaratkan sebagai sebuah kekuatan alam yang mempunyai potensi
besar untuk sebuah perubahan, tapi momentum mereka tidak dapat diprediksi, dan
hal ini berlaku juga untuk demokrasi gelombang ketiga yang mempengaruhi hampir
setiap negara, termasuk Indonesia.
Ada sebuah asumsi awal yang dibuat dalam penelitian ini yaitu apabila Suatu
sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yaitu kompetisi,
partisipasi, kebebasan sipil serta akuntabilitas. Derajat dibawahnya adalah
semidemokrasi atau disebut sebagai demokrasi yang terbatas (restricted
democracy), yang ditandai oleh: (1) tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan
politik tetapi kekuasaan efektif pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan
ada harapan dari perferensi publik, (2) kekebasan sipil dan politik sangat terbatas
dimana oreantasi dan kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan
mengekspresikan kebebasan itu. Sementara derajat yang paling rendah adalah
nondemokrasi yakni rezim yang tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan
berpartisipasi secara bebas.
Konsep negara demokratis juga peneliti pakai untuk memperkaya varian
analisis demokrasi lokal nagari. Negara demokratis baru adalah sebuah negara yang
ideal, terbuka dimana ada sebuah desentralisasi dan sebuah devolusi
(Gidden,1999;89) Elemen- elemen dasar dari demokratisasi baru menurut Anthony
Giddens adalah: Devolusi, Pembaharuan ruang publik --- transparasi, Efisiensi
administrasi, Mekanisme demokrasi langsung, Pemerintah sebagai pengelola resiko.
Desentralisasi dan devolusi dimaknai disini sebagai pengembalian kekuasaan
kepada wilayah- wilayah, kota- kota dan lingkungan tempat tinggal. Serta devolusi
digambarkan disini sebagai sebuah penambahan lapisan kekuasaan birokratis elite

161 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
lokal pada pusat politik. Untuk bisa mengambarkan varian demokratisasi lokal nagari
dalam bentuk bagaimana negara mengintervensi lembaga lokal di nagari tradisonal
di Minangkabau, desentralisasi dan devolusi yang di gambarkan oleh Gidden (1999)
peneliti fokuskan pada bentuk kekuasaan dari aktor atau elite politik lokal nagari
tradisional, nantinya ada sebuah lapisan birokratris elite lokal pada pusat politik di
nagari. selain itu, desentralisasi yang disusung oleh negara akan mendorong kearah
stabilitas politik melalui tiga cara yaitu: 1) membuat lembaga pemerintahan lebih
responsif kepada rakyatnya di level bawah; 2) menciptakan sejumlah besar jabatan
dengan pemilihan di level bawah; mengurangi frustasi dari partai oposan atau bisa
juga menciptakan ruangan yang lebih banyak dari kelompok kepentinggan.
Penelitian ini juga menempatkan tindakan elite sebagai variabel terdepan
yang sangat menentukan intervensi negara pada nagari. Jadi, tidak hanya berkaitan
dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang mengawali”. Dalam perspektif
elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan
keberadaan kelompok elite. Teori pertama kelompok elite dianggap lahir dari proses
alami. Mereka adalah orang- orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan
kepandaian dalam memecahkan persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini
lahir bukan karena mereka menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi
karena memiliki kapasitas personal yang lebih potensial untuk menempatkan posisi
itu. Dalam pendekatan teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai
orang- orang yang terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial,
mereka diberi wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi
politik.
Peneliti membuat sebuah pemetaan dari dua pandangan teoritik diatas,
dengan menggunakan pendapatnya Ramlan Surbakti (1992: 74-75) yaitu proses
terbentuknya elite tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tiga model distribusi dari
kekuasan tersebut yaitu model elite yang memerintah, model pluralis dan model
populis. Model pertama melukiskan kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil
orang (elite), model pluralis mengambarkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok
sosial masyarakat, dan model populis melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap
individu warga negara secara kolektif.
Ada keyakinan berbeda dalam melihat cara pandang desentralisasi dan
demokrasi lokal untuk memaknai politik nagari tradisional, karena desentralisasi dan
demokrasi lokal yang peneliti kemukakan di sini mempunyai misi: (1) nagari dapat
dipahami dengan kerangka pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing

162 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
community). Konsep ini menggambarkan bahwa nagariadalah sebuah republik kecil,
sebuah formasi pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Nagari
adalah suatu kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya
berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan,
ekonomi, sosial budaya. Artinya nagari mempunyai otonomi dalam membangun
organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan
lokal, mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya
lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan
sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama
hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan
aturan (hukum) adat. Mengikuti hukum nasional, self-governing community berarti
sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan kewenangan
sesuai dengan asal-usulnya. (2) ketikanagari sudah masuk ke dalam formasi besar
negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk memaknai ulang
keberadaan nagari.

METODE PENELITIAN
Penelitian Tentang Nagari Vs Negara serta eksperimen demokrasinya,
peneliti memakai metode post-positive eksploratif (Denzin and Lincoln 2000:351).
Anselm Staraus dan Juliet Crobin (2000; 350) menulis, bahwa dalam penelitian
kualitatif akan menghasilkan sebuah teori yang padat secara konseptual dan
variatif. Metode kualitatif dirancang sebagai alat bantu bagi peneliti agar dapat
menganalisis data secara konseptual dan sifatnya sangat padat. Hubungan
tersebut dipaparkan sebagai proposisi melalui sebuah tulisan yang bersifat
deskriptif dan konseptual. Jenis dan sumber data yang digunakan berasalmdari data
primer yaitu wawancara mendalam (indepthinterview) dengan pihak-pihak terkait.
dan data sekunder yaitu arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi, majalah ilmiah.
Analisis Data disesuaikan dengan dengan prinsip metode post-positive
eksploratif. Di samping perolehan data dari pelaporan “on the spot”, data yang
banyak tersebut juga harus direduksi dengan jalan membuat abstraksi sebagai
sebuah rangkuman yang inti. Di sini akan dilakukan pengembangan teori dan
hubungan antara indikator di dalam teori, serta juga nantinya akan berhubungan
dengan kedalaman analisa dan menalaah data secara sistematis. Hubungan
tersebut dipaparkan sebagai proposisi sebagaimana didalam penelitian kualitatif
lainnya melalui sebuah tulisan yang bersifat deskriptif dan konseptual.

163 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan (emik)
yang sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari
analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari informan
(emik) dan interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan tersebut

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pergerakan Politik Di Sumatera Barat: Berawal Dari Masuknya Islam Dan Social
Disorder “Paderi” Di Minangkabau (1803-1821)
Kesatuan politik dan geografis yang utama di Minangkabau adalah Nagari.
Nagari merupakan wilayah kesatuan hukum adat yang terdiri atas wilayah luhak atau
inlad-agraria dan rantau atau costal-maritime (merupakan wilayah yang menentukan
perbedaan sistem pemerintahan nagari). Menariknya, ada empat pusat penyebaran
penduduk di dataran tinggi Minangkabau yang masing-masing wilayah memiliki ciri
khas demokrasi yang berbeda yaitu daerah Darat (baca: Darek/inlad-agraria) adalah
jantung pemerintahan Minangkabau, yang terletak di tengah-tengah Bukit Barisan
yang terdiri atas; (i) luhak Agam56 yang terletak di bagian utara Gunung Merapi; (ii)
luhak Tanah Datar57 yang mendiami kawasan sebelah selatan Tenggara Gunung
Merapi; (iii) luhak Limapuluh Koto58 yang menurut Ahmad, Dt. Batuah dan A.Dt,
Madjoindo (1956: 14-16) mendirikan pemukiman baru di bagian utara Gunung Sago;
dan (iv) luhak rantau59 terletak di wilayah Solok, yang secara historis menurut Tingkok
Nagari Solok (2006) dan Graves (2007) dikenal dengan Kubuang XIII(baca: tigo
baleh) dan IX Koto60. Keempat kawasan ini merupakan daerah basis kebudayaan

56 Wilayahnya di mulai dari Lado Sula (Koto Baru), yakni berbatasan dengan Luhak Tanah Datar, hilirnya sampai ke
Dasun Tunggal (Titih) yang menjadi batas Luhak Ranah Limapuluh Koto (Edison & Nasrun Dt. Marajo Sungut 2016:
143-144)
57 Wilayahnya mulai dari Tanjung Bonai, Lubuk Jantan dan ke hilirnya ke Talang Danto yaitu meliputi Kabupaten
Sawahlunto Sijunjung sekarang (Edison & Nasrun Dt. Marajo Sungut 2016: 143)
58 Menurut Graves (2007); A.A. Navis (2015) sejarah namanya bermula dari limapuluh kepala keluarga. Dan
wilayahnya menurut Edison & Nasrun Dt. Marajo Sungut (2016: 144) adalah sebelah utara sampai ke Koto Tinggi
dan Siamang Babunyi yaitu perbatasan dengan daerah Pasaman, kearah selatan sampai ke Pauh Tinggi, kearah
timur sampai ke Sialang Balantak Basi dan Galugur, kemudian terus ke Pangkalan Sarai, Batu Sanggan, Kampar kiri,
Kampar kanan Riau.
59 Menariknya selain menjelaskan daerah rantau Hamka (1984), Graves (2007), Hadler (2010), A.A.Navis (2015) juga
menerangkan tentang bagaimana posisi daerah di sepanjang pantai Sumatera Barat,terdapat suatu tipe nagari yang
lain yang berbeda dari empat tipe luhak yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya. Secara geografis nagari-nagari di
daerah pantai ini termasuk ke dalam lingkuangan alam Minangkabau, tapi kebudayaannya menurut Graves (2007: 8)
tidak bercorak Minangkabau “asli”. Komposisi penduduknya sudah heterogen, kota-kota disekitar pantau barat seperti
Padang, Painan, Pariaman, dan Pasaman didiami oleh penduduk yang jarang sekali menganggap diri mereka
sebagai penduduk asli setempat. Mereka selalu menghububungkan diri mereka dengan nenek moyang yang berasal
dari nagari- nagari yang berada pada wilayah empat luhak atau wilayah darat (baca:darek) yaitu Agam,
Limapuluhkoto, Tanah Datar dan rantau (Solok), Kawasan inilah pada dulunya oleh Belanda disebut sebagai
padangsche Beneden landen (dataran rending di sekitar Padang), dan menurut istilah Minangkabau disebut sebagai
“rantau”atau daerah perbatasan (front landen). Secara Kultural dan politik menurut Hamka (1984) nagari-nagari yang
berada disepanjang pesisir pantai mencerminkan sosok yng kabur dari gaya hidup adat Minangkabau di empat luhak.
60 Seperti yang dijelaskan dalam Tingkok Nagari Solok Kubuang XIII (baca: kubuang tigo baleh ) dan IX Koto sifat
pemerintahannya adat dan nagarinya sangat aristokrat dengan kiblat demokrasinya adalah Kerajaan Pagaruyung
yang berpusat di Tanah Datar. Lihat Tingkok Nagari Solok (2006). Bandingkan juga dengan A.A. Navis (2015).

164 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Minangkabau asli dan tempat tumbuh dan berkembangnya pola yang paling
kompleks dan sistematis (Graves 2007: 6-7).61 Di daerah Darek dan Rantau( baca:
costal-maritime) tersebut tersebarlah republik-republik kecil sebagai unit
pemerintahan yang otonom yang disebut sebagai nagari. Nagari di Minangkabau
terhimpun kedalam federasi longgar dipimpin oleh seorang raja yang semenjak awal
abad ke 15-an bertahta di kerajaan Pagaruyung di Luhak Batipuh Tanah Datar.
Berdasarkan penggalan sejarah pembagian wilayah ini, maka sebuah
tindakan “menoleh kebelakang” kiranya menjadi penting untuk memahami apa yang
sesungguhnya terjadi dengan ruang politik lokal di Sumatera Barat. Sekat-sekat yang
membatasi secara tegas domain negara, politik dan cultural menurut analisis peneliti
akan menjadi cair ketika entitas politik dari sejarah masa lalu yang dibahasakan
sebagai kekuatan cultural dapat menembus arena intervensi negara.
Namun, apa hubungan antara Kerajaan Pagaruyung, Islam dan Social
disorder Paderi?62 Tiga varian ini menurut analisis awal peneliti adalah embiro
pusaran gerakan politik dan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Embrio
pusaran politik pertama ketika Pagaruyung dijadikan sebagai pusat pemerintahan
raja-raja Minangkabau, pada masa pemerintahan Aditiawarman diperkirakan
organisasi pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku
di Majapahit. Organisasi pemerintahan tersebut secara berangsur-angsur berubah
dengan penyesuaian seperti yang dikehendaki setelah Islam masuk ke Pagaruyung,
baik dalam komposisi dan fungsinya maupun dalam hal nama-nama jabatannya.
Pada bagian ini peneliti membuat perbandingan antara pemerintahan
tradisonal Minangkabau versinya Majapahit dan setelah masuknya Islam di kerajaan
Pagaruyung (lihat Tabel g.1), yang menjadi cikal bakal model sistem pemerintahan

61 Menurut Graves (2007) adanya pemilikan sawah secara ekstensif mengikut pada sistem keluarga matrilinial (garis
keturunan ibu) yang di atur berdasarkan hubungan adat yang rumit. Keluarga bangsawan yang biasanya berkuasa di
nagari berdasarkan pemilikan tanah keluarga, atau kaum,bertanggung jawab melindungi hukum adat setempat bagi
kepentingan anggota kaum mereka. Setiap keluarga atau garis keturunan di setiap nagari memiliki tumpak tanah
mereka sendiri-sendiri, atau sebidang tanah tempat rumah gadang. Rumah Gadang selain ditempati oleh keluarga
yang lebih tua, juga berfungsi sebagai kegiatan sosial dan keagaaman. Rujuk Graves (2007) khususnya Bab I untuk
memahami pola kehidupan yang komplek dari sistem matrilinial di Minangkabau. Sebagai perbandingan rujuk Hamka
(1984) bagian I tentang sususunan adat minangkabau dan A.A. Navis (2015). Hal yang sama juga disampaikan oleh
informan Buspadewar, Dt.Kayo penasehat Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kubuang Tigo Baleh, Solok, pada 12
Oktober 2016.
62 Penulis asing umumnya berpendapat bahwa kata Paderi berasal dari bahasa Spanyol padre, artinya bapak, yang
lazim di gunakan untuk pastor katolik. Penamaan ulama katolik untuk ulama Islam tentu saja tidak logis, mungkin
karena itulah penulis Indonesia lebih suka mengatakan asal kata Paderi dari Pidie, nama tempat di Aceh, atau bisa
disebut juga sebagai Pidir. Berdasarkan nama Pidie atau Pidir ulama muda Minangkabau menamai gerakan
solidaritas mereka , yang kemudian menjelma menjadi Pidari menurut lafal orang Minangkabau. Rujuk A.A. Navis
(2015) untuk bahasan lebih lanjut mengenai hal ini. Selain itu sejarah yang sama tentang Perang Paderi juga peneliti
dapatkan berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (Budayawan dan Dosen Sastra Daerah Minangkabau
Universitas Andalas Padang) di Padang, pada 22 September 2016.

165 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
nagari secara tradisional, peneliti bahas pada nagari dan model eksperimen
demokrasinya dimasa penjajahan Kolonial Belanda (g.2)

Tabel Perbandingan Organisasi Pemerintahan Tradisional Pagaruyung versi


Majapahit dan Sesudah Masuknya Islam

Ketika Majapahit berkuasa di Ketika Islam masuk dalam


Kerajaan Budha Pagaruyung Kerajaan Pagaruyung63
Mantri katrini ( mahamentri yang tiga) Rajo Tigo Selo (Tungku Tigo
yaitu: yaitu Mahamentri Hino, Sajarangan) yaitu: Cati Bilang Pandai,
Mahamentri Sirikan dan Mahamentri Datuak Katamanggungan, dan Datuak
Halu. Perpatih Nan Sabatang yang
merupakan pusat pimpinan
pemerintahan.64

Catur Rakian (penguasa yang empat) Basa Empat Balai, yaitu bandaharo di
yaitu: Rakrian Demung, Rakrian Sungai Tarab, andomo di Suraso,
Kanurun,Rakrian Rangga, dan Rakrian mangkudum di Sumanik, dan Tuan
Tumenggung. Berlima dengan Gadang di Batipuh yang merupakan
mahapatih disebut panca ringwilwatika. pembesaran pemerintah pusat.65

Darmajaksayang berdua, yaitu Raja Duo Selo,yaitu raja adat di Buo


pembesar agama Budha dan Hindu. dan raja Ibadat di Sumpur kudus

Saptapapatri (upapati yang tujuh), yaitu Gadang Nan Batujuah, yaitu tujuh orang
pembesar yang melaksanakan hukum pembesar yang melaksanakan tertib
dan keagamaan. hukum dan keagamaan.66
Sumber: A.A Navis (2015), Hamka (1984), Mid. Jamal (1995), Graves (2007), Musyair
Zainuddin (2008), Tengku Rika (2009), Edison (2010), dan Hedler (2010).

Embrio pusaran politik kedua setelah Islam mempengaruhi pola pemerintahan


tradisional Pagaruyung adalah social disorder Paderi (1803-1821). Perang Paderi
merupakan sebuah kombinasi antara reformisme lokal67 dengan pengaruh-mirip

63 Setelah masuknya Islam di kerajaan Pagarayung, mulai terlihat perkembangan model demokrasi dan statifikasi
kekuasaan dalam pemerintahan dan politik nagari di Minangkabau. Analisi ini dapat terlihat dalam Sub Bab 4.2 Nagari
dan Model Berdemokrasi
64 Menurut sejarah yang dituturkan oleh A.A. Navis (2015: 87), ketika raja Pagaruyung pertama yang memeluk agama
Islam yaitu Sultan Alif (1560) terjadi perubahan komposisi dalam pemerintahan. Perubahan itu terjadi pada Raja Duo
Selo menjadi Rajo Adat dan Rajo Ibadat.
65 Ada perubahan personalia dalam Basa empat balai di mana kedudukan Tuan Gadang di Batipuh digeser oleh Tuan
kadi di Padang Ganting (A.A.Navis 2015: 87).
66 Ada perubahan dalam posisi pemerintahan Nagari pasca Sultan Alif raja Pagaruyung memeluk Agama Islam yaitu
posisi ulama mendapat tempat dengan gelar Malin, sebagai komposisi orang empat jenis (A.A.Navis 2015: 87).
67Hamka (1984), Hadler (2010), dan A.A. Navis (2015) menerangkan kekekerasan yang dilakukan Paderi di
Minangkabau yang berkaitan dengan gerakan politik adalah mengumumkan jihad melawan elite matrilineal
tradisional di Minangkabau yang lebih menjunjung adat dari pada mematuhi perintah agama. Beberapa ulama
pengikut Tuanku Cangkiang (kemudian dikenal dengan pemberontakan nagari Cankiang) yang menganut ajaran
tarekat yang adalah salah satu pendiri Paderi yang ingin melakukan pembersihan pada umat islam yang terbenam
dengan aturan adat nagari yang mengikat.

166 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
wahabi,68 pengaruh yang diberikan kaum wahabi menurut Stoddaed (1979) bukan
hanya semata-mata pada gerakan Paderi saja, malahan kepada dunia Islam pada
umumnya. Gerakan ini dipandang sebagai awal kebangkitan Islam modern dan politik
dalam menetang penjajahan asing. Perang Paderi menurut Hadler (2010), adalah
serangkaian konflik berkepanjangan antara “negara Islam Pagaruyung”69 dengan
Paderi yang dipengaruhi oleh tradisi desentralisasi dan demokrasi dalam politik
Minangkabau.70 Menurut Hamka (1984) dan Hadler (2010), ketika Belanda terjun
dalam konflik antara Paderi dengan kelompok tradisionalis adat matrilineal
Pagaruyung secara tidak langsung mencegah Sumatera Barat menjadi benteng luar
permanen Wahabi, tetapi Memoar Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimin besar
Paderi menyangkal naratif ini.71
Orang mungkin berpendapat, seperti beberapa peneliti terdahulu72 yang
menyatakan, bahwa Paderi secara sadar mencoba menciptakan sentralisasi politik
dan demokrasi baru (membantah demokrasi komunitarian berbasis matrilineal)
dengan memanfaatkan ikatan-ikatan keagamaan untuk menyatukan loyalitas atau
kesetiaan mereka secara langsung. Tetapi peneliti memiliki posisi yang sedikit
berbeda dengan para peneliti terdahulu, ketika revolusi politik dan keagamaan yang

68 Menurut Schriek (1973), A.A. Navis (2015) dan Hamka (1984) wahabi adalah, segolongan umat Islam yang
menganut ajaran Muhammad bin Abdad Wahhab (1703-1777) yang bermaszhab Hambali. Dalam beberapa hal
ajarannya bertentangan dengan pendapat ulama lainnya, misalnya menolak pelbagai kebiasaan yang di ijma
(persetujuan para ulama tentang kesah-an suatu hukum), sebagai contoh misalnya meminta safaat kepada orang-
orang yang dianggap wali atau keramat seperti yang dilakukan oleh pengikut Tarekat Syatariyah di Ulakan Padang
Pariaman.
69 Pada tahun 1730 yang menjadi raja Pagaruyung adalah Sultan Bagagar Alamsyah, Belanda membuat perjanjian
baru dengan Sultan Bagagar Alamsyah yang sudah pasti akan tetap menguntungkan Belanda, alasan perjanjian itu
adalah kedudukan Pagaruyung semakin lemah akibat dari intervensi Paderi, dan tahun 1780 perjanjian tersebut tetap
diperpanjang kembali oleh Sultan Sri Maharaja Diraja setelah Sultan Bagagar Alamsyah wafat. Menariknya setelah
Inggris menyerahkan kembali Kota Padang kepada Belanda (setelah Perang Napoleon), Sultan Bagagar Alamsyah
beserta empat belas penghulu menyerahkan Minangkabau kepada Belanda dengan satu perjanjian Belanda mau ikut
bagian untuk memerangi Kelompok Paderi. Perjanjian penyerahan itu terjadi pada tahun 1821, dengan demikian
kerajaan Pagaruyung berakhir setelah penyerahan kekuasaan tersebut, dan Sultan Bagagar Alamsyah hanya
diangkat sebagai regen kepala (hoofdregent) wilayah Tanah Datar dengan gaji 100 gulden sebulan. Rujuk Rusli
Amran (1981) dan A.A. Navis (2015) untuk keterangan lebih lanjut mengenai hal ini.
70 Menurut Kraz & Adriyetti Amir (2002: 41) pada tahun 1815 kaum Paderi, dengan memakai pembicaraan damai
sebagai kedok, membantai keluarga kerajaan Pagaruyung di Batu Sangkar. Menurut versi sejarah ini, serangkaian
perjanjian dan apa yang dianggap sebagai pengkhianatan dan konflik menandai 12 tahun penuh pertempuran sengit.
Runtuhnya Paderi pada tahun 1833 diikuti dengan penyatuan muslim reformis dan tradisionalis matrelinieal, akhirnya
membuat Belanda tahun 1832 menyusun kekuatan kembali untuk membentuk koloni baru di Miangkabau.
71 Menurut narasi yang diceritakan oleh Hadler (2010) naskah kuno Tuanku Imam Bonjol dipinjam dari Ali Usman,
keturunan Tuanku dan wali warisan keluarga di nagari Bonjol Pasaman pada Mei 1996 untuk studi dan pameran di
Museum Adityawarman, tetapi naskah kuno itu tidak pernah dikembalikan. Hadler (2010) mendapatkan salinan
naskah kuno tersebut dari Rusydi Ramli (Profesor dari IAIN Padang) dan kemudian menyimpannya di perpustakaan
di Universitas of California, Berkeley. Peneliti kemudian menelusuri naskah kuno ini berdasarkan informasi yang
dinarasikan oleh Hadler (2010) di Museum Adityawarman Padang dan di Minangkabau Corner Universitas Andalas.
Berdasarkan wawancara dengan DR. Pramono (Dosen Sastra Daerah Minangkabau Universitas Andalas, Peneliti
tentang Naskah-Naskah Kuno dan Kepala Pusat Studi Minangkabau Corner) pada 27 Oktober 2016. Narasi tentang
bentuk teks naskah kuno yang diceritakan ini, hampir mirip dengan yang di tulis oleh Hadler (2010: 54) dalam
penelitiannya yang berjudul Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Naskah ini
mengambarkan suatu pertemuan besar pakar pakar hukum Belanda, pemimpin pemerintahan Keresidenan, dan
semua pejabat utama Minangkabau yang bekerja untuk Belanda. Tuanku Imam Bonjol mengambarkan pertemuan
itu sebagai titik balik dalam inkooporasi Sumatera Barat kedalam Hindia Timur Belanda (1820-an dan 1875).
72 Hamka (1974), Stoddard (1979), Rusli Amran (1981), A.A. Navis (1982; 2015), Zenwen Pador (2002), Gusti Asnan
(2006), Graves (2007), dan Hadler (2010).

167 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diwujudkan dalam bentuk misi spiritual yang diciptakan oleh tokoh pemimpin lokal
Paderi (Tuanku Imam Bonjol). Seharusnya pemimpin Paderi menawarkan suatu
sistem pengawasan yang lebih dekat dengan semangat ke-islaman kepada
komunitas masyarakat tradisional nagari. Konflik utama yang muncul adalah versi
tentang Islam yang berbeda, yaitu Islam sinkretik yang sifatnya tradisional (Baca:
sering diajarkan di surau-surau atau di Masjid Nagari) dan dilain pihak adalah
kelompok pembaharu yang ingin menerapkan praktek keagamaan dengan benar dan
berperan dalam kehidupan nagari. Kekuatan gerakan Paderi untuk mengadakan
pembaharuan di nagari-nagari terkendala ketika sebagian dari kelompok tersebut
tidak memiliki ikatan darah untuk mewarisi institusi-institusi yang terdapat disetiap
nagari artinya mereka tidak mempunyai otoritas tentang adat setempat.
Menurut Mohammad Hasbi (1990: 11-12) sejarah telah memberikan
kesaksian, lembaga nagari dapat mempertahankan kestabilan dan keberhasilan
diatas struktur politik yang berubah-ubah, bahkan keadaan politik yang tidak stabil
sekalipun, seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya. Sosial disorder Minangkabau
oleh Paderi (1803-1821) memang berhasil menanamkan supremasinya politiknya di
Minangkabau, tapi tidak berhasil menciptakan suatu kekuasaan yang riil dengan
pengurusan terpusat di nagari-nagari, dan tidak bisa mengurangi otoritas penghulu
adat terhadap masyarakat Nagari. Ikatan yang muncul hanyalah ikatan ideologis
keagamaan seperti yang terjadi pada masa Pagaruyung Islam.73 Politik Nagari tetap
dibawah kepemimpinan penghulu yang terorganisir dalam Kerapatan Adat Nagari
(KAN), dengan Nagari, ada sebuah lambang mikrokosmik dari sebuah sistem
kelembagaan yang lebih luas. Intinya ada sebuah persyaratan embrional dari sebuah
negara, Nagari adalah “negara” dalam artian miniatur. Sehingga tidak salah Mochtar
Naim (1990: 48) mengatakan, banyak peneliti asing74 yang suka menjuluki sistem
tatanan di tingkat nagari sebagai “republik-republik kecil “ yang sifatnya seft-
contained, otonom, dan mampu membenahi diri sendiri. Bukan saja pada tiga unsur
utama dari perangkat pemerintahan nagari (legislatif, eksekutif, yudikatif), nagari juga
merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial budaya lainnya.
Belajar dari pengalaman gerakan politik dan social disorder Paderi, ikatan bernagari
di Minangkabau bukan saja sifatnya primordial-konsanguinal (ikatan darah dan

73 Hal ini juga terlihat dalam ikatan yang terjadi antara nagari-nagari di Minagkabau dengan Kerajaan Pagaruyung
Budha (1374-1550) dan kerajaan Pagaruyung Islam (1550-1809).
74 Stoddard (1979), Graves (2007), dan Hadler (2010).

168 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kekerabatan adat), tapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial pemerintahan
yang efektif. 75
Perang Paderi adalah sebuah batas sejarah yang menentukan bagi
Minangkabau, Episode sejarah ini menurut Taufik Abdulah (dalam Hadler 2010: xxxi),
bisa dipakai sebagai pembatas antara “sebelum” dan “sesudah” ketika sejarah politik
ini hendak di buka kembali. Salah satu filosofi politik di Minangkabau yang terkenal
”sakali aia gadang sakali tapian barubah” (sejarah politik akan menentukan
peradaban selanjutnya). Setelah social disorder Paderi berakhir, Minangkabau
mempunyai landasan demokrasi baru yaitu ”Adat bersendikan syarak, syarak
bersendikan Kitabullah, adat mamakai, syarak mangato”, dengan ungkapan ini
berakhirlah validitas diktum lama tentang Paderi.

Suprasturktur Politik Vs Infrastruktur Politik Nagari Dengan Pelbagai Model


Berdemokrasi (Pada Masa Kolonial Belanda 76
Ada tiga benturan kekuatan politik di Minangkabau pada masa penjajahan
Kolonial Belanda yaitu adat matrilineal, agama Islam dan kekuasaan Kolonial
Belanda akhirnya mencipatakan konflik terbuka sejak Perang Balesting (1908) dan
puncaknya pada pemberontakan Komunis di Silungkang pada tahun 1927. Menurut
Taufik Abdullah (dalam Hadler 2010: xxxi-xxxviii), setelah perang Paderi berakhir,
struktur kepemimpinan adat dalam demokrasi Tuah Sakato berangsur-ansur
tercerabut (adat basandi syarak dan syarak basandi kitabulah).
Salah satu dampak dari perang Paderi adalah menjadikan pejabat agama
menjadi struktur kepemimpinan adat (baca: pemerintah) yang formal, imam dan
khatib menjadi bagian dari jabatan adat yang formal. Terlepas dari semua itu, perang
Paderi juga meninggalkan sebuah”mitos politik” yang mengatakan bahwa “kompeni”
hanya datang untuk berdagang dan membantu untuk menjaga jangan sampai terjadi
perang antara nagari. Hal ini sesuai dengan isi Plakat Panjang yang dikeluarkan pada
tahun 1833, Plakat Panjang dari catatan sejarah merupakan “mitos politik”77 yang

75 Mochtar Naim (1990: 48) menyebutkan, salah satu ciri khas dari masyarakat bersuku (tribal society) adalah sifatnya
yang mandiri dan otnom. Ikatan luhak dan alam adalah ikatan totemis dan kosmologis yang menyatukan antara
nagari-nagari dan mengikatanya menjadi kesatuan emosional-spiritual. Oleh karena itu orang Minangkabau bisa
memberdakan kesatuan teritorial-kongsanguinal. Ikatan ke dalam menunjukan suku, adat dan asal usul
(mikrokosmik) sedangkan ikatan keluar adalah bangsa, bahasa dan budaya (makrokosmik).
76 Di Indonesia kasus-kasus politik lokal menjadi sebuah “laboratorium” untuk teori demokrasi. Berbagai temuan dan
kesimpulan telah diajukan oleh Ilmuan politik dalam mengkaji demokrasi lokal di Indonesia, seperti defective
democracy, deficit democracy, politicizing democracy, changing continuities dan patronage- based democracy (
Croissant 2004; Priyono et,al., 2007; Harris et.al. 2005; Nordholt 2005; 2007; Palmer 2010). Sub bab dari analisis ini
berawal model demokrasi pada Nagari yang berujung terjadinya proses konsolidasi demokrasi nagari .
77 Suasana dan isi dalam Plakat Panjang inilah yang dipercayai oleh masyarakat Minangkabau, setelah perang Paderi
berakhir.

169 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberikan kesan bahwa Minangkabau “seakan-akan” merupakan wilayah yang
merdeka dengan aturan bahwa tidak ada kewajiban dalam membayar pajak
(Belasting), dan mereka tetap diperintah oleh penghulu adat, dan Nagari tetap
dibiarkan menyatu dan membiarkannya kearah kemajuan.
Reorganisasi nagari diadakan, dengan mengangkat Tuanku Laras (baca:
Tuanku Lareh) sebagai kepala adat dan pemerintahan untuk sebuah federasi Nagari,
praktis pada masa itu setelah demokrasi Tuah Sakato tidak dipakai lagi masyarakat
di Minangkabau hidup dibawah tiga sistem hukum—adat, Islam dan Barat (baca:
Belanda) (Taufik Abdullah dalam Hadler 2010: xxxiiii-xxxiv).78
Selama dua dasawarsa, campur tangan sosial dan birokratik Belanda ternyata
telah mentransformasi Nagari, dan pada tahun 1914 Ordinansi Nagari secara resmi
mengorganisasikan diri sebagai otoritas lokal. Penghulu yang diakui oleh Belanda
mengatur pajak lewat suatu dewan nagari yang baru, pengakuan sebatas kulit
terhadap sebuah tradisi dan rerstorasi tidak dipercaya siapapun serta pada tahun
1920-an sebuah keluarga matrilineal di Minangkabau seperti terpolitisasi karena
terperangkap dalam metafora politik yang memindahkan ruang rumah bersifat pribadi
(babiliak kacie’) ke ruang publik politik (babiliak gadang) (Hedler 2010: 240,245).
konflik politik social disorder Paderi, konflik dan interaksi antara matriarkat, Islam
reformis dan Belanda telah mengoyahkan unsur-unsur paling esensial dari demokrasi
Tuah Sakato. Sumatera Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah
menjadi sektor pembiak ideologis,79 walaupun dibawah kolonialisme Belanda politas
Minangkabau mengalami kekalahan, tetapi daya tahan matriarkat, adalah sebuah
saksi akan daya tahan terhadap tradisi lokal, fleksibilitas dari Islam reformis, dan
kelemahan mendasar dari kolonialisme Belanda.
Di Minangkabau, dengan tindakan “menoleh kebelakang” ternyata sejarah
menunjukan suatu jawaban awal dari pertanyaan peneliti tentang Bagaimana proses
intervensi negara (baca: Kolonial Belanda) akhirnya bisa menciptakan model
demokrasi yang berbeda pada nagari tradisonal di Minangkabau? berdasarkan

78 Taufik Abdullah (dalam Hadler 2010: xxxiv) mengatakan, setelah perang Paderi berakhir, berbagai perubahan
mendasar dalam sistem pemerintahan dan politik serta ekonomi diperkenalkan oleh Belanda, salah satunya adalah
penyelenggaraan hukum pidana tidak lagi dibawah kekuasaan Raja Adat. Tanam paksa mulai diperkenalkan dan
semua orang mulai menjalankan rodi (heerendiensten atau kerja-wajib). hanya para penghulu yang dibebaskan dari
kerja rodi. satu pertanyaan mendasar yang dibuat oleh Taufik Abdulah (dalam Hadler 2010) kalau hanya Penghulu
yang bebas atas kewajiban rodi, mengapa keluarga yang kaya tidak mendirikan Penghulu sendiri? bukankah
Penghulu bisa saja berdiri asal saja dapat “sakato alam”—disetujui bersama? sejarah telah menjawab pertanyaan
Taufik Abdullah, dan memperbanyak penghulu dengan melanggar esensi dari demokrasi Tuah Sakato menjadi
sebuah gejala umum di Miangkabau pada waktu itu. maka Belanda membuat peraturan hanya Penghulu yang “diakui”
yang bebas dari rodi, dan masyarat nagari pun menamakan Penghulu tersebut sebagai “Penghulu nan basurek”
(penghulu yang memakai surat keputusan).
79 Kontribusi disproporsional orang Minangkabau terhadap politik nasional adalah akibat langsung dari destibilasi ini
seperti tokoh Hamka, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Natsir, Agus Salim, Sutan Syahrir.

170 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pernyataan yang dibuat oleh Stepan & Linz (1996), Schedler (1998), dan Freedman
(2006) tentang proses demokratisasi, di mana ada sebuah proses yang mengurangi
pembalikan demokrasi, termasuk juga di dalamnya proses negosiasi (transaksi) yang
hendak mempromosikan sistem baru atau aturan main baru dari pada merusak
sistem lama. Selain diawali dengan runtuhnya demokrasi Tuah sakato, intervensi
Belanda pada pemerintahan nagari juga merupakan bagian dari proses konsolidasi
demokrasi Nagari di Minangkabau (baca: Sumatera Barat).
Lembaga pemerintahan nagari mulai mengalami pergeseran fungsi, ketika
Belanda berusaha melumpuhkan kekuatan Ninik Mamak Urang Ampek Jinih
(Dubalang, Punggawa, Manti, Malin)dalam pemerintahan nagari dengan
mengelurkan Ordonansi Inlansche Gemeente Ordonantie voor Sumatera Westkust
(IGOSWEK), Staatblad 1918 no 677 dan untuk menjalankan peraturan tersebut
diterbitkanlah Besluit van Den Resident van Sumatera Westkust, ddo.1 Januari 1918
no 1A, jo.15, Maret 1919 no 175 (Tuah Sakato edisi 190 April 2001),80 yaitu ordonansi
khusus mengenai pemerintahan nagari di Sumatera Barat.
Pasca Belanda mengkianati perjanjian Plakat Panjang dan menghilangkan
makna serta peran dari Tali tigo Sapilin, ada satu muatan politik Belanda mengenai
“aritokrasi buatan” yaitu, Belanda ingin menciptakan golongan baru yang bisa menjadi
perpanjangan tangan dalam mengkoordinasikan kebijakan yang akan dijalankan.
Salah satunya adalah menghidupkan kembali sistem Regen seperti dilakukan pada
masa Paderi, yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk koordinasi dan
sekaligus membawahi beberapa Nagari.81
Selain itu, Konsep Tali Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan kemudian
dihapus oleh Belanda dan mengantikannya dengan “fase pengadministrasian
pengurusan nagari” dengan membentuk Dewan Rakyat yang kemudian diberi nama
sebagai desa yuridis formal dan dipimpin oleh seorang Kepala Nagari (Mohammad
Hasbi 1990: 14),82 Kerapatan Nagari ini kemudian memilih Kepala Nagari dengan
menggunakan voting system.

80 Menurut Ampera Salim ( dalam Tuah Sakato edisi 190 April 2001) pokok pokok yang diatur dalam Beslit adalah: (i)
Memilih Kepala Nagari, bagaimana mufakat dalam memilih kepala nagari diletakan secara Voting System, diatur juga
bagaimana cara memanggil masyarakat nagari, bagaimana penjaringan bakal calon kepala nagari dan bagaimana
laporan dan berita acara kerapatan dip roses sampai mendapatkan keputusan dari Tuan Residen di Padang; (ii) hal
yang memberhentikan Kepala Nagari, berhenti atas permintaan sendiri, atas permintaan Kerapatan Nagari dan
Onderafdeling; (iii) Mengatur tentang hal Kerapatan Nagari, membuat peraturan dalam Nagari semuanya perlu
pengesahan dari Tuan Besar residen di Padang.
81 Karena istilah Regen ini asing dengan masyarakat Minangkabau, maka pada tahun 1860, Belanda kemudian
menggantinya dengan sebutan Laras (baca: Lareh) dengan kepalanya diberi gelar sebagai Tuanku Lareh.
Wawancara dengan Hasan Basri, di Solok, pada tanggal 14 Oktober 2016.
82 Dewan ini kemudian ditumbuhkan menjadi Kerapatan Nagari yang anggotanya terdiri dari Penghulu-Penghulu yang
basurek, dan ditambah dengan orang-orang terkemuka yang dipandang patut menurut adat dan kebiasaan Nagari
setempat. Rujuk (Mohammad Hasbi 1990) dan Irhash A. Shamad (2014) untuk penjelasan lebih lanjut.

171 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Berdasarkan model aritokrasi pemerintahan dan politik yang dibuat oleh
kolonial Belanda, peneliti menaruh perhatian, ternyata model intervensi kolonial
Belanda di Minangkabau sama dengan model intervensi Belanda pada pedesaan
Jawa.83 Di Minangkabau, walaupun pemerintah kolonial Belanda telah menunjuk
secara seletif orang-orang yang akan duduk dalam Kerapatan Nagari, namun dalam
kenyataannya Kerapatan Nagari tidak mempunyai hak otonomi untuk mengurus
rumah tangga nagari.84 Lebih tidak mungkin lagi untuk dapat mengembangkan dan
memajukan nagari secara politik, budaya dan ekonomi, alasannya karena Kerapatan
Nagari tidak mampu menggantikan peranan dan mengembangkan sifat-sifat khusus
yang ada pada Kerapatan Adat Nagari (Mohammad Hasbi 1990: 14).85
“Intervensi untuk sebuah konsolidasi demokrasi”, menjadi labelling awal
peneliti ketika membaca dan memahami model intervensi yang dilakukan oleh
kolonial Belanda. Walaupun ada intervensi dalam pemerintahan dan politik, peneliti
memahami derajat pemetaan demokrasi lokal pada Nagari di Sumatera Barat pada
masa Kolonial Belanda memakai penjabaran yang dibuat oleh Stepan & Linz (1996),
Schedler (1998), dan Freedman (2006) tentang konsolidasi demokrasi, sebenarnya
diwarnai dengan negosiasi yang mempromosikan aturan baru. Negosiasi ini antara
lain adalah: (i) perjanjian Plakat Panjang (yang kemudian dikhianti oleh Belanda
sendiri); (ii) Belanda menciptakan tiga bentuk pemerintahan lokal yaitu Tuanku lareh

83Peneliti mensandingkan temuan data yang bersumber dari informasi wawancara dengan beberapa informan yang
menekuni penelitian tentang sejarah nagari (Mak Katik wawancara pada tanggal 22 September 2016, Prof. Afrizal
wawancara pada tanggal 24 Oktober 2016, Dr Asrinaldi wawancara pada pada tanggal 25 Oktober 2016, Suryanef
wawancara pada tanggal 27 Oktober 2016), Tesis yang ditulis oleh Mestika Zet (1983) tentang ‘Melayu Kopidaun:
Eksploitasi Kolonial Dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908)’, serta Penelitian
yang dilakukan oleh Hefner (1999) tentang ‘Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik’.

84 Wawancara dengan Suryanef (Peneliti dan Penulis dalam Buku Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal,
serta Dosen pada FIS Universitas Negeri Padang), di Padang, pada 27 Oktober 2016.
85 Menurut Mohammd Hasbi (1990: 14-15) keputusan-keputusan Kerapatan Nagari sebagian besar berasal dari

inisiatif bestuur ambtenaaren, yang kemudian dijadikan sebagai putusan Kerapatan Nagari yang akan dilaksanakan
oleh penghulu-penghulu di bawah perintah Kepala Nagari. Keputusan-keputusan itu berdasarkan kepentingan dan
tujuan kolonial Belanda. Sebagian besar keputusan itu bersifat mendukung ekonomi kolonial, yaitu' eksploitasi
ekonomi dan tenaga kerja serta sumberdaya lainnya (tanam paksa kopi). Dapat difahami, bila di luar kepentingan
dan tujuan kolonial, penghulu-penghulu dibiarkan mengurus kepentingan anak nagari, karena pada dasarnya mereka
telah menjadi alat kolonial itu sendiri, yang menjalankan keputusan Gubememen seperti pengenaan pajak kepada
anak nagari, penggantian uang rodi, dan pembebanan lain yang diperlukan kolonial. Oleh sebab itu penghulu-
penghulu tidak lagi mengambil keputusan atas kepentingan masyarakat. Dalam melaksanakan aturan yang.
ditetapkan Gubernemen, penghulu-penghulu berhadapan langsung dengan anak nagari. Tidak sedikit kesulitan yang
timbul dalam melaksanakan aturan tersebut. Banyak benturan yang terjadi dalam komunitas anak nagari, yang
akhirnya menurunkan wibawa penghulu-penghulu di depan anak nagari. Sungguhpun demikian, dalam pergaulan
anak nagari, mereka masih tetap mengembangkan dasar kemasyarakatan berdasarkan alue jo patuik, karena masih
tetap hidup sebagai suatu tradisi yang dinalurikan.

172 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(nagarihoof), Penghulu Suku Rodi86 dan Kepala Nagari. Dua bentuk pemerintahan
pertama merupakan kepala unit dari pemerintahan teritorial dan menjadi
pemerintahan supra nagari. Kepala nagari, yang menjadi Kepala Nagari dari suatu
nagari, berdasarkan atas kelompok-kelompok yang lebih kecil yang telah disatukan
(suku).
Bagi peneliti, sejarah politik Sumatera Barat adalah sebuah kekalahan yang
berulang-ulang, tetapi semuanya mengandung makna. Ketika nagari dianggap tidak
sah akibat intervensi negara (mulai dari zaman kolonialisme Belanda), dan digantikan
dengan politas-politas yang lebih kecil dengan maksud supaya mudah dikontrol
seperti desa Jawa, dan dua abad terakhir menurut temuan peneliti, semuanya
bermuara pada sebuah proses konsolidasi demokrasi.

PENUTUP
Kesimpulan Dan Rekomendasi
Kajian penelitian ini mendiskusikan bagaimana nagari tradisional berhadapan
dengan negara (kerajaan Islam Pagarayung dan Kolonial Belanda) sehingga tercipta
berbagai bentuk model demokrasi yang menyertai perjalanan sejarahnya. Teori
utama dalam disertasi ini adalaheksplorasi tentang ide-ide, norma dan budaya
demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat sehingga tercapai proses demokratisasi.
Kata kunci yang peneliti kembangkan adalah mengikut pada pendapatnya Greene
bahwa “Consolidationisthe habituationof democratization,” ternyata diikuti dengan
berkembangnya nilai sosial dan budaya politik masyarakat yang sejalan dengan
prinsip demokrasi, sehingga akan menguatkan hubungan sosial yang dibentuk.
Penelitian ini bermanfaat secara teoritik pada kajian politik lokal Indonesia
serta memberikan beberapa sumbangan besar dalam disiplin ilmu politik dan
pengembangan pada tataran prakteknya tentang dinamika dan model demokrasi
dalam ruang politik lokal Indonesia. Dengan kata lain, peneliti tidak hanya
menempatkan kajian ini sebagai sebuah penelitian mengenai proses konsolidasi
demokrasi lokal nagari di Sumatera Barat saja, tetapi dapat menjadi bahan lanjutan
bagi peneliti berikutnya yang ingin mendalami masalah-masalah yang berkaitan
dengan dinamika demokrasi dan politik lokal di Indonesia.

86 Menurut Mestika Zet (1983) Penghulu Suku rodi adalah tugas yang paling dibenci pada masa penjajahan
Belanda.salah satu tugasnya adalah menjalankan tanam paksa kopi pada nagari-nagari. dengan diperkenalkan
sistem pemerintahan ini membawa efek yang merusak pada penghulu.

173 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Batuah & A. Dt. Madjoindo. 1957. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai
Pustaka.
Anthony Giddens.1999.The Third Way The Renewal Of Social Democracy.
Terjemahan Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Dahl, Robert, Ian Shapiro, & Jose´ Antonio Cheibub. 2003. The Democracy
Sourcebook. London: The MIT Press Cambridge.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale
University Press.
Dahl, Robert. 1989, Democracy and its Critics, New Haven : Yale University Press.
Dahl, Robert. 1990. Political and Developing Countries: Comparing Experience with
Democracy. Colorado: Lynne Rienne.
Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln. 2000. Hand Book of Qualitative Research.
California: Sage Publication.
Edison & Nasrun Dt. Marajo Sungut. 2016. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum
Adat Minangkabau.Bukittinggi: Kristal Media.
Franz & Keebet von Benda- Beckmann. 2007. Ambivalent Identity: Decentralization
and Minangkabau political communities. Dalam. Henk Schulte Nordholt &
Gerry van Klinken (eds.). Local Politics in Post-Suharto Indonesia, 417-442.
The Netherlands: KITLV Press.
Freedman, Amy L. 2006. Political Change and Consolidation Democracy’s: Rocky
Road in Thailand, Indonesia, South Korea, and Malaysia. New York: Palgrave
Macmillan.
Freedman, Amy L. 2006. Political Change and Consolidation Democracy’s: Rocky
Road in Thailand, Indonesia, South Korea, and Malaysia. New York: Palgrave
Macmillan.
Go¨bel, Christian. 2010. Authoritarian Consolidation. Centre for East and South East
Asian Studies 176-190.
Gould, Carol, 1988, Rethinking Democracy, Cambridge, New York: Cambridge
University Press.
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Terj. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gusti Asnan. 2006. Pemerintahan daerah Sumatera Barat dari VOC Hingga
Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka.

174 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Hadler, Jeffrey. 2010. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformis Islam, dan
Kolonialisme di Minangkabau. Terj. Jakarta: Freedom Institute.
Hamka. 1974. Antara Fakta dan Khayal ‘Tuanku Rao’. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamka. 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: PT Pustaka Panjimas.
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger:Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
Terj. Yogyakarta: LKiS.
Held, David. 2006. Models of Democracy. Cambridge: Politiy Press.
Hutington, Samuel. 1991. The Third Wave Democratization In The Late Twentieth
Century. London : Universtiy of Oklahoma Press.
Irhash A. Shamad. 2014. Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah:
Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru. Padang: Imam Bonjol
Press.
Ishiyama, John T & Breuning,Marijke. 2011. 21st Political Science : A Reference
Handbook. London: Sage.
Kartz, E. Ulrich & Adriyetti Amir. 2002. Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan
Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Balai Pustaka.
Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Ulasan Bahasan Ilmu Politik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Linz &Stepan, Alfred. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation:
Southern Europe, South America and Post-Communist Europe. Baltimore:
The Johns Hopkins University Press.
Linz, Juan J. & Stepan, Alfred. 2001. Toward Consolidated Democracies Dalam. Larry
Diamond & Marc F. Plattner.(eds).The Global Divergence of Democracies, 93-
112. London: The Johns Hopkins University Press.
Mestika Zed. 1983. Melayu Kopidaun: Eksploitasi Kolonial Dalam Sistem Tanam
Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908). Tesis S2.
Universitas Indonesia
Mid Jamal. 1995. Manyingi Tambo Alam Minangkabau. Bukittingi: Cv Tropik.
Mochtar Naim. 1990. Nagari versus Desa: Sebuah Kerancuan Sturktural. Dalam. Edy
Utama. (eds.). Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat,
47-60. Padang: Yayasan Genta Budaya.
Mohammad Hasbi. 1990. Intervensi Negara Terhadap Komunitas Nagari di
Minangkabau. Dalam. Edy Utama. (eds.). Nagari, Desa dan Pembangunan
Pedesaan di Sumatera Barat, 5-32. Padang: Yayasan Genta Budaya.

175 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Nordholt, Henk Schulte & Klinken, Van Gerry [eds]. 2007. Renegotiating Boundaries
Local Politics In Post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work. Pricenton: Pricenton University
Press.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Sartori, Giovanni. 1987. The Theory Of Democracy Revisited. New York : Chatam
House
Schedler, Andreas.1998. What is Democratic Consolidation? Journal of Democracy
9(2) 91-107.
Schriek, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat. Jakarta: Bhratara.
Sørensen, Rune J. 2006. Local Government Consolidations: The Impact Of Political
Transaction Costs. Public Choice. 127: 75–95
Sri Zulchairiyah. 2008. Nagari Minangkabau dan Desa di Sumatera Barat: Dampak
Penerapan UU No 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa.
Padang: Kaukus Perempuan Penyelenggara Pemilu Sumatera Barat
(KP3SB).
Stoddard, L. 1979. Dunia Baru Islam. Jakarta: Pembangunan.
Sutoro Eko. 2006dalam Demokrasi dan Potret Pemilu Lokal 2004 . Yogyakarta :
Percik, Pustaka Pelajar.
Taufik Abdullah. 1992. Minangkabau dalam Perspektif Perubahan Sosial. Dalam.
Mestika Zed (eds.). Perubahan Sosial di Minangkabau, 26-27. Padang: Pusat
Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.
Tengku Rika Valentina. 2009. Demokrasi Lokal Tiga Nagari di Kabupaten Solok
Sumatera Barat. Tesis M.A. Universitas Gadjah Mada.
Tuah Sakato edisi 190 April 2001
Whithehead, Laurence. 1989. The consolidation of Fragile Democracies. Dalam
Robert Pastor [ed]. Democracy in the America, 30-45. New York: Holmes.
Zaw Oo, Min 2008. From Democratic Transition to Consolidation: The Analysis Of
115 Cases of Democratic Transitions In Eighty-Six. Dissertation Submitted to
the Graduate Faculty of George Mason University UMI.
Zenwen Pador. 2002. Nasib Nagari dan Kerapatan Adat Nagari di Tengah Intervensi
Negara. Dalam. Zenwen Pador (eds.). Kembali ke Nagari: Batuka Baruak jo
Cigak?, 2-19. Jakarta: PT Sinar Grafika.

176 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
REUNDERSTANDING
GAGASAN DEMOKRASI MODEL MINANGKABAU
Irawati87

ABSTRAK
Minangkabau dengan struktur budaya dan politik yang unik telah menjadi citra
struktur demokrasi lokal (grass root democracy) berasal dari filosofi budaya
yang dilembagakan masyarakatnya. Dalam literatur dan diskusi publik orang
Minangkabau selalu digambarkan sebagai masyarakat yang egaliter dengan
model demokrasi yang menempatkan kesepakatan bersama sebagai proses
pengaturan komunal dalam pencarian keputusan. Sejarah budaya
Minangkabau, memiliki ada dua pilar utama dari sistem tradisional yang
mengatur kehidupan politik mereka yakni sistem Koto Piliang (adat
Katemenggungan) dan sistem Bodi Caniago (adat Perpatih Nan Sabatang).
Jika ditelusuri ke dua sistem tradisional, sebenarnya mereka memiliki prinsip-
prinsip dasar dari nilai-nilai tradisional yang benar-benar berbeda. sistem
pemerintahan Koto Piliang bersifat “monarkis”, sedangkan sistem
pemerintahan Bodi Caniago bersifat “demokratis”. Dua sistem pemerintahan
sebagai implikasi dari kedua sistem tradisional di atas, menunjukkan kepada
kita bahwa ide demokrasi di Minangkabau perlu dikaji ulang. Pada titik ini perlu
dipertanyakan lagi bagaimana sebenarnya gagasan dan praktek demokrasi
model Minangkabau itu sendiri dalam dua sistem adat ini? Tulisan ini mencoba
untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan memperlihatkan bahwa dalam
demokrasi Minangkabau memiliki variasi ide demokrasi yang juga menjadi
basis kultural masyarakat tersebut.
Kata Kunci: demokrasi, demokrasi lokal, masyarakat Minangkabau, sistem
tradisional

ABSTRACT
Minangkabau with unique cultural and political structure has become an image
of the structure of local democracy (grass root democracy) is derived from the
culture and philosophy of the institutionalized culture of Minangkabau society.
In the literature and public discussions of Minangkabau people are always
portrayed as an egalitarian society with a democratic model that puts the
collective agreement as a communal setting process as searches the decision.
Wherever, history of Minangkabau culture, actually there are two major pillars
of traditional systems which govern the political of life; the systems Koto Piliang
(adat Katemenggungan) and the systems Bodi Caniago (adat Perpatih Nan
Sabatang). If traced to these two traditional systems, so they actually have the
basic principles of different traditional values. Two systems of government as
the implications of the two traditional systems above, shows us that the idea of
democracy in the Minangkabau to be reunderstanding. This paper, explain the
idea and practice of both democracy Minangkabau models of this custom.
Key world: democracy, local democracy, Minangkabau society, traditional
systems

87 Staf Pengajar Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas / ira.tanjung@gmail.com

177 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang mendiami wilayah propinsi
Sumatera Barat, dikenal sebagai suku bangsa yang memiliki khazanah budaya yang
ekuivalen dengan nilai-nilai demokrasi. Etnis ini sendiri mengakui sebagai kelompok
yang memiliki keunggulan dibanding dengan etnis lainnya di Indonesia. Sejak lama
orang Minangkabau mempunyai sejarah “otonomi asli” yang berbasis pada nagari
yang mereka yakini jauh lebih unggul dari demokrasi bergaya aristokratis di Jawa
atau demokrasi liberal ala Barat. Pengakuan ini terlihat dari begitu banyak tulisan para
cendikiawan yang berasal dari etnis ini seperti M. Hatta, Mestika Zed, Taufik Abdullah,
Mochtar Naim, Azzumardi Azra dan lain-lainnya, maupun dari Cendekiawan non-
Minang, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, pernah mengafirmasi
adanya “demokrasi Minang”. Namun pengakuan ini tidak hanya datang dari dalam
masyarakat itu sendiri, tetapi juga dari luar mereka. Tulisan peneliti-peneliti dari barat
seperti Belanda, Prancis dan lainnya menggambarkan bagaimana kultur etnis ini
yang menunjukkan model demokrasi yang dianggap ideal dapat dilihat pada tulisan
Franz & Benda-Beckmann (2000), Dobbin (1983), Josselin de Jong (1960), Tsuyoshi
Kato (1989), Khan (1993), Audrey Kahin (2005) dan Hadler (2010).
Dalam literatur-literatur dan diskusi-diskusi publik masyarakat Minangkabau
selalu digambarkan sebagai masyarakat yang egaliter dengan model demokrasi yang
menempatkan kesepakatan kolektif komunal sebagai suatu proses penentuan
keputusan. Ada yang menyebut model demokrasi Minangkabau ini dengan model
demokrasi komunitarian, demokrasi egaliter, maupun demokrasi kerakyatan. Sering
dikatakan basis demokrasi Minangkabau ada di nagari. Nagari sudah lama menjadi
bagian dari identitas dan basis kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebagai entitas
self-governing community, Nagari mempunyai seperangkat hukum adat untuk
mengelola hubungan sosial, mengatur perilaku kaum, membagi sumber daya
ekonomi secara komunal dan adil, menciptakan keseimbangan antara alam dan
manusia, membentuk harga diri, memandang dunia luar, serta mengatur sistem
pemerintahan lokal secara otonom. Melalui proses dialektika sejarah yang panjang,
Nagari diatur dengan prinsip tali tigo sapilin: pertautan antara hukum adat, syari’at
Islam dan hukum negara. Orang Minang yakin betul pada prinsip Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan
antara hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Pemerintahan Nagari yang otonom
dikelola dengan model demokrasi komunitarian dan deliberatif (Eko tanpa tahun),

178 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dimana kepemimpinan lokal dipegang secara kolektif (konsorsium) dengan prinsip
tungku tigo sajarangan (ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai) dan
pengambilan keputusan dilakukan melalui permusyawaratan antara pemimpin dan
kaumnya di Nagari.
Gambaran seperti diatas yang menunjukkan struktur politik masyarakat
Minangkabau yang sangat demokratis. Minangkabau dengan keunikan budaya dan
struktur politiknya telah menjadi sebuah image dari struktur demokrasi lokal (grass
root democracy) yang bersumber dari kultur dan filosofi budaya yang terlembaga
dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri..

RUMUSAN MASALAH
Ketika dilakukan penelusuran sejarah terhadap kultur masyarakat
Minangkabau itu sendiri, sebenarnya terdapat dua pilar utama sistem adat yang
mengatur kehidupan politik mereka. Dua pilar utama sistem adat tersebut yaitu sistem
adat Koto Piliang (adat Katemenggungan) dan sistem adat Bodi Caniago (adat
Perpatih nan Sabatang). Kedua sistem adat ini sering disebut juga sebagai sistem
lareh nan duo (dua kelarasan), yang pada gilirannya diasosiasikan sebagai dua
sistem pemerintahan tradisional Minangkabau (Azwar 2001, Sairin 1995, Manan
1995, Saanin 1989, Mansoer 1970, de Jong 1960, Kahin 2005, Graves 2007).
Sistem pemerintahan dengan pola Koto Piliang dipengaruhi oleh unsur
budaya Minang dan Hindu, sehingga berorientasi dinasti dengan hierarki dan
aristoktratis dalam sistem pemerintahannya. Sedangkan sistem pemerintahan
dengan pola Bodi Caniago yang dipengaruhi oleh unsur budaya Minang dan Islam,
sehingga berorientasi egalitarian (de Jong 1960, Kahin 2005, Kato 1989, Kahn 1993,
Maarif 1996). Dengan demikian, sistem pemerintahan Koto Piliang bersifat
“monarkis”, sedangkan sistem pemerintahan Bodi Caniago bersifat “demokratis”.
Kecenderungan adanya pola dua kelarasan yang bertolak belakang ini digambarkan
sebagai salah satu bentuk dualisme (keduaan) dalam masyarakat Minangkabau,
khususnya dalam sistem sosial-politik.
Perbedaan antara dua lareh ini disatu sisi telah memunculkan persaingan satu
sama lain, bahkan menurut Dobbin (1983), persaingan tersebut telah terjadi sejak
dua Datuk, yaitu: Datuk Katamenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang,
mencetuskan adat kelarasan tersebut. Menurut Maarif (1996), Welhendri Azwar
(2001), sampai sekarang pun, pola yang selalu bersaing antara dua kelarasan ini
tetap bertahan dalam memperebutkan supremasi politik di seluruh Minangkabau.

179 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dua sistem pemerintahan sebagai implikasi dari dua sistem adat yang
disebutkan di atas, menunjukkan kepada kita bahwa gagasan tentang demokrasi di
Minangkabau perlu dikaji ulang. Jika dirunut kepada dua sistem adat Minang yang
ada selama ini, yaitu Adat Perpatih nan Sabatang dan Adat Katemenggungan, maka
keduanya sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip dasar nilai adat yang berbeda.
Banyak literatur dan pemikiran para ahli tentang Minangkabau, lebih didominasi oleh
pemikiran gaya Bodi Caniago yang menempatkan Minangkabau sebagai masyarakat
yang demokratis dengan pepatah duduak samo randah – tagak samo tinggi.
Pandangan ini tidak salah, namun akhirnya cenderung menafikkan adanya paham
aristokratis dalam masyarakatnya dengan pepatahnya bajanjang naiak – batanggo
turun. Padahal sebagaimana diperlihatkan di atas masyarakat Minangkabau yang
berbasis pada dua sistem adat tersebut menunjukkan dua hal yang memiliki prinsip
berbeda, bahkan bertentangan. Pada titik ini perlu dipertanyakan lagi bagaimana
sebenarnya gagasan dan praktek demokrasi model Minangkabau itu sendiri dalam
dua sistem adat ini? Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut
dengan memperlihatkan bahwa dalam demokrasi Minangkabau memiliki variasi lain
yang juga menjadi basis kultural masyarakat tersebut.

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan hendak menjelaskan kembali gagasan tentang
demokrasi Minangkabau yang memiliki varian dengan prinsip dasar berbeda.
Meskipun berbeda varian gagasan demokrasi Minangkabau ini sama-sama berakar
dari kultur masyarakat Minangkabau sendiri yang tetap hidup.

KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu pendekatan awal dalam
memahami gagasan demokrasi di Minangkabau dan dijadikan landasan untuk
melakukan perubahan dan pembenahan bagi proses demokratisasi yang sedang
berlangsung di Nagari saat ini.

180 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
TINJAUAN KONSEPTUAL:
DEMOKRASI KOMUNITARIAN DAN PROSES DELIBERASI BERBASISKAN
KULTUR
Demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup” untuk mencapai kebaikan
bersama. Pemahaman yang telah diterima oleh banyak orang bahwa demokrasi
dilihat sebagai kebebasan individu. Tetapi masih sangat sedikit orang yang
memahami prinsip dasar demokrasi adalah mendengarkan dan menghargai orang
lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus
banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan
kultural (Eko tanpa tahun:1). Demokrasi prosedural antara lain terkait dengan
mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi kepentingan
masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tatakrama
(fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin
dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust,
kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya.
Demokrasi komunitarian muncul sebagai kritik atas demokrasi liberal, karena
demokrasi liberal dinilai menjadi hegemoni universal yang melakukan penyeragaman
praktek demokrasi prosedural di seluruh dunia (Held:2007). Hampir semua orang di
manapun akan mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan
secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali ditemukan orang yang berargumen
bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif.
Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai demokrasi secara
partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya, struktur sosial, sistem
ekonomi dan sejarah setiap negara. Dalam wacana demokrasi komunitarian terdapat
prinsip-prinsip yang menjadi prasyarat bagi terciptanya sebuah demokrasi bersifat
kolektif. Dua penganut demokrasi komunitarian, Barber (1983) dan Walzer (1984),
menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan
menafikkan civic virtue. Artinya, semangat individualisme liberal itu tidak mampu
memberikan landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam
bingkai demokrasi komunitas (Eko tanpa tahun:2). Penganut komunitarian yakin
bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik.
Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level
komunitas yang kecil seperti nagari karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal
mewadahi partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi

181 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
praktek demokrasi hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga
perwakilan, yang diyakini sebagai wadah partisipasi publik. Model demokrasi
perwakilan yang didesain dan dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang
mau tidak mau menimbulkan apa yang disebut oleh Robert Michel sebagai oligarki
elite. Karena itu, ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community,
dapat mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan
pembangunan di level komunitas. Demokrasi komunitarian menekankan pentingnya
perluasan ruang publik, pengaktifan peran kelompok-kelompok sosial, forum warga,
serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan self-help kelompok,
tetapi juga sebagai wahana awareness warga, civic engagement dan partisipasi
dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas (Eko tanpa tahun:3). Elemen-
elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan penyelenggaraan
pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan
segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian potensi dan
kreativitas individu dalam ikatan kolektif.
Menurut para penganut demokrasi komunitarian, mekanisme penentuan
pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga secara
langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog,
musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Untuk menyelesaikan permasalahan
publik, kualitas pembuatan keputusan harus diletakkan dalam inti perdebatan dengan
diperkuatnya rasionalitas yang diskursif atau komunikatif, sehingga kita dapat
mencari solusi kolektif dari permasalahan kolektif yang kita hadapi dalam kehidupan
modern (Dryzek dalam Held 2007:277-278). Demokrasi komunitarian menempatkan
deliberasi publik atas warga negara yang bebas dan setara sebagai inti legitimasi
pembuatan keputusan politik dan pemerintahan sendiri. Dalam model demokrasi ini
keputusan politik yang memenuhi standar adalah yang dapat dipertahankan dalam
debat publik yang diikuti oleh semua pihak yang berkepentingan yang setara (Held
2007:281). Demokrasi komunitarian sangat cocok dengan proses deliberatif yang
menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses
pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi juga praktek-praktek teror,
kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya (Eko tanpa tahun:3).
Model demokrasi deliberatif ini menuntut pemahaman nilai-nilai kolektif yang
dihargai dan dilaksanakan dalam proses pengambilan keputusan politik. Saling
menghargai sesama anggota kelompok, kultur yang toleran, terbuka, egalitarian,
bertanggungjawab, mutual trust dan kesetaraan menjadi hal yang penting dalam

182 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
debat publik dalam pengambilan keputusan. Secara historis-sosiologis, nagari
mempunyai tradisi demokrasi komunitarian yang bersendikan adat dan syarak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
kepustakaan. Penelitian lebih banyak dilakukan dengan penelusuran terhadap
literatur-literatur yang berbicara tentang ide demokrasi dalam masyarakat
Minangkabau.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sejarah Kemunculan Sistem Dua Kelarasan dalam Kultur Minangkabau
Menurut literatur dua orang datuak yakni Datuk Katamenggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang merupakan pencetus sistem adat kelarasan. Namun berbagai
literatur yang pernah membahas tentang dua sistem kelarasan yakni Koto Piliang
dan Bodi Caniago tidak begitu jelas membahas kemunculan sistem ini. Sejarah
Minangkabau menunjukkan nagari sebagai basis demokrasi sebenarnya sudah ada
semenjak zaman nenek moyang orang Minangkabau turun di Nagari Pariangan,
Luhak Tanah Datar (Kahin 2005:20). Nagari dibentuk dari taratak, koto, kampuang.
Pada hakekatnya nagari adalah "republik otonom", yang dengan sesamanya
membentuk federasi longgar. Federasi longgar dari "federasi -republik
nagari" dinamakan "luhak". Pada zaman ini nagari sudah lebih dahulu terbentuk
dan menunjukkan pengelolaan secara otonom oleh para penghulu yang terlepas dari
kekuasaan kerajaan Minangkabau di Pagaruyung (Graves, 2007:36-37). Dua orang
datuk yang merupakan keturunan dari Maharaja di Raja – dalam mitos dianggap
sebagai nenek moyang orang Minangkabau- yaitu Datuk Katamenggungan dan
Datuk Perpatih Nan Sabatang merupakan penyusun bentuk pemerintahan adat.
Datuk Katamenggungan dibesarkan dalam lingkungan Istana Pagaruyung
sedangkan Datuk Perpatih Nan Sabatang dibesarkan dalam lingkungan diluar Istana
(Kahin 2005:2).
Kedua datuk ini merupakan pejabat di Istana Pagaruyung, dimana Datuk
Perpatih Nan Sabatang merupakan perdana menteri sedangkan Datuk
Katamenggungan adalah panglima perang. Namun kemudian terjadi perdebatan
antara Datuk Katamenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang pada abad ke-14,
ketika Adityawarman, pangeran dari Sumatera yang dididik di Jawa, ingin menjadikan
daerah Minangkabau berada di bawah kendali kerajaan Jawa. Mereka berbeda

183 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pendapat mengenai kedudukan Adityawarman dalam sistem pemerintahan
Minangkabau. Datuk Katamenggungan dan para pengikutnya mengakui status
Adityawarman sebagai raja, sementara Datuk Perpatih Nan Sabatang dan para
pengikutnya tidak mengakuinya sebagai penguasa atas wilayah Minangkabau
(Abdullah 1972). Konflik dua orang ini yang menciptakan dasar bagi sistem politik
adat Bodi Caniago dan sistem Koto Piliang. Sistem Politik Bodi Caniago didasarkan
pada ajaran Datuk Perpatih nan Sabatang yang dipengaruhi oleh unsur budaya
Minang dan Islam, sehingga memiliki prinsip egalitarian, dalam arti nagari diperintah
oleh sekelompok penghulu yang merupakan representasi dari suku masing-masing.
Sementara Koto Piliang dikembangkan dari ajaran Datuk Katamanggungan yang
dipengaruhi oleh unsur budaya Minang dan Hindu mengenal adanya Penghulu Pucuk
sebagai jabatan puncak (primus inter pares) dan karena itu dianggap lebih otokratik
(Abdullah 1966:6-7). Dua sistem ini kemudian disebut lareh, selain sebagai sistem
politik, merupakan gabungan dari dua suku (lineage). Lareh Koto Piliang adalah
gabungan dari suku Koto dan Piliang, sedangkan Bodi Caniago yang merupakan
gabungan suku Bodi dan Caniago. Konflik ini menimbulkan konflik kelembagaan yang
permanen diantara keturunan mereka, bahkan sampai sekarang dua sistem
kelarasan ini tetap selalu bersaing dalam memperebutkan supremasi politik di seluruh
Minangkabau.

Nilai-Nilai Demokrasi dalam Sistem Politik Bodi Caniago dan Koto Piliang
Secara tradisisional, masyarakat Minangkabau mengenal dua sistem politik
pemerintahan, yaitu sistem Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sistem pemerintahan
Koto Piliang bersifat “monarkis”, sedangkan sistem pemerintahan Bodi Caniago
bersifat “demokratis”. Dalam bahasa lain, kedua sistem adat ini memiliki ciri-ciri yang
berbeda satu sama lainnya, bahkan cenderung bertolak belakang.
Filosofi demokrasi Minangkabau pada dua sistem politik ini sama-sama dapat
ditemukan dalam pepatah petitih yang lazim ada pada masyarakat ini. Kebudayaan
Minangkabau memang memiliki kekuatan pada unsur verbal atau “kata”. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau selalu memulai sesuatu dengan
"kata", dan "kata" dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat. Walaupun aksara
diperkirakan pernah hidup dalam masyarakat Minangkabau (dengan ditemukannya
aksara itu dalam kitab Tambo milik pribadi seorang penghulu di Parahyangan Padang
Panjang), tetapi bahasa "kata" lebih menduduki tempat yang tinggi dalam masyarakat
Minangkabau. Sistem nilai diwariskan kepada generasi berikutnya dengan "kata"

184 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(Sairin 1995:4). Pepatah-petitih ini kemudian yang dijadikan sebagai dasar
berperilaku dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari nagari. Pola interaksi dan
sistem politik tiap nagari sangat tergantung pada sistem mana yang dianut oleh
masyarakat, sistem Koto Piliang atau sistem Bodi Caniago yang secara filosofi
memiliki perbedaan.
Sistem demokrasi dalam adat Minangkabau sebenarnya dimulai dari suku
kemudian diteruskan pada level nagari. Elizabeth Graves melihat suku merupakan
basis dari organisasi sosial dan sekaligus arena tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental terjadi (Graves 2007:12). Masing-masing suku memiliki oleh seorang
penghulu yang merupakan pimpinan dari sukunya masing-masing dan akan menjadi
wakil suku dalam Kerapatan Adat Nagari. Proses demokrasi Minangkabau itu sendiri
sudah terlihat dari proses pemilihan penghulu ini. Para pemimpin suku itu tidak
ditentukan atau diangkat oleh Kerapatan Adat nagari, tetapi ditetapkan oleh warga
suku yang ada di nagari masing-masing. Walaupun ada kesamaan suku, tetapi
tinggal di nagari lain ia atau mereka tidak punya hak apapun dalam menentukan
penghulu dalam suku itu.
Meskipun setiap suku mempunyai berbagai kriteria sendiri dalam menentukan
penghulu, tetapi adat Minangkabau menentukan beberapa syarat bagi orang yang
dapat diangkat menjadi Penghulu. Yang dapat menjadi penghulu adalah laki-laki
warga dari suku yang bersangkutan, dan mempunyai hak atas itu. Apabila terdapat
lebih dari satu calon penghulu, maka semua warga suku itu, yang diwakili oleh
penghulu andiko (wakil dari sebuah paruik), mengadakan musyawarah untuk
menentukan calon yang akan dipilih. Meskipun musyawarah ini umumnya adalah
musyawarah mamak (saudara laki-laki ibu) dan kemanakan laki-laki, tetapi pendapat
dan saran anggota suku yang perempuan selalu dijadikan pertimbangan (Batuah &
Tanameh tanpa tahun:99-145). Pada proses pemilihan pemimpin suku ini, kedua
sistem politik Minangkabau, baik sistem Bodi Caniago maupun Koto Piliang memiliki
prinsip yang sama bahwa pemimpin dipilih oleh warga kaum atau suku melalui rapat.
Tetapi kemudian yang membedakannya terletak pada bagaimana kekuasaan
dipegang oleh pemimpin dan proses pengambilan keputusan pada level kaum atau
suku maupun nagari.
Dalam sistem adat Koto Piliang yang bersifat “monarkis” memperlihatkan
bahwa kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan
wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya bajanjang naik, batanggo
turun (berjenjang naik, bertangga turun). Balai adat (panggung) tempat

185 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berlangsungnya rapat-rapat penghulu dengan lantai bertingkat-tingkat untuk
menunjukkan hierarki penghulu. Dalam rapat ini juga dipimpin oleh seorang penghulu
pucuak (primus interpares). Struktur kekuasaan yang hirarkis juga terlihat pada
prinsip hubungan antara pemimpin (penghulu) dengan warga (kemenakan), namun
tidak sama dengan hierarkisme masyarakat feodal pada umumnya.
Kekuasaan dalam konsep sistem adat Koto piliang ini tertumpu pada seorang
penghulu sebagai kepala kaum berpedoman pada petatah-petitih yang menyatakan
misalnya, “aia manitiak dari langik”(air turun dari langit) dan “kamanakan saparentah
mamak” (keponakan mengikuti perintah mamak) (Navis 1983:84). Jenjang hirarkis
yang harus diikuti anggota kaum/ suku untuk menyampaikan pendapatnya harus
melalui mamak paruik (penghulu andiko), kemudian mamak paruik juga akan
menyampaikan kepada penghulu kaum. Isu-isu keputusan yang menyangkut kaum
biasanya muncul dari sang penghulu. Dalam pengambilan keputusan meskipun ada
rapat kaum yang dihadiri oleh para mamak (wakil paruik) namun kekuasaan terbesar
tetap dipegang oleh penghulu. Demokrasi model ini lebih menunjukkan mekanisme
demokrasi perwakilan oleh mamak. Rapat kaum hanya berfungsi sebagai arena
konsultatif saja, bukan sebagai forum pengambilan keputusan. Keputusan yang
diambil oleh penghulu kaum harus dilaksanakan oleh seluruh warga kaum seperti
kata pepatah “kamanakan saparentah mamak”. Rasionalitas dalam pengambilan
keputusan dipandang sudah dapat dipenuhi oleh seorang penghulu selaku pimpinan
yang bijaksana. Artinya, kelarasan Koto Piliang tersebut memiliki kepemimpinan yang
serba instruksi. Kecil sekali ruang publik yang tersedia bagi anggota kaum untuk
berbeda pendapat apalagi menolak keputusan. Debat publik (Held 2007:277)
diantara anggota kaum tidak terlalu diberi ruang sehingga kadangkala keputusan juga
tidak terlalu menunjukkan kualitas kepentingan publik anggotanya.
Demikian juga pada tingkatan Nagari, dalam kerapatan adat diangkat seorang
penghulu pucuak yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dari penghulu-penghulu
lainnya. Kalau rapat tidak mencapai kata sepakat, keputusan diserahkan kepada
Penghulu Pucuak sebagai pemegang keputusan tertinggi (Graves 2007:32), seperti
tercermin dalam ungkapan biang nan manabuek, gantieng nan mamutuih
(menembus yang hampir tembus, memutus yang hampir putus). Proses mufakat
yang dianut masih terbatas karena kekuasaan Penghulu Pucuak sebagai Primus
Interpares. Proses deliberasi melalui ruang publik diantara sesama anggota
kerapatan lebih dibatasi oleh penghulu pucuak selaku pemegang kekuasaan
tertinggi. Pada level nagari ini masyarakat juga tidak tidak dapat secara langsung

186 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengakses informasi ataupun melakukan debat publik, karena adanya prinsip hirarki
yang dari penghulu, ke mamak, mamak ke kemanakan dan anggota kaum secara
keseluruhan. Hal ini menjadi wajar ketika melihat pada sejarah penciptaan sistem ini,
dimana Datuk Katumanggungan bisa mengakui kekuasaan raja.
Sedangkan sistem pemerintahan dengan pola Bodi Caniago berpusat di
Nagari Limo Kaum yang dipengaruhi oleh unsur budaya Minang dan Islam, sehingga
berorientasi egalitarian. Sementara sistem adat Bodi Caniago atau Adat Perpatih,
yang bercirikan “demokratis” itu memperlihatkan bahwa kekuasaan tersusun
berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan
pepatahnya duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi). Kekuasaan raja tidak akui. Dalam rapat-rapat adat, posisi duduk semua
penghulu (perwakilan kaum) sederajat. Tidak ada penghulu yang lebih berkuasa
dibanding dengan penghulu lain. Dalam pengambilan keputusan pun diambil secara
demokratis berdasarkan mufakat dari seluruh anggota.
Berbeda dengan sistem Koto Pilaing, Kekuasaan dalam konsep sistem adat
Bodi Caniago ini berada pada anggota kaum berpedoman pada pepatah yang
menyatakan, “aia mambasuik dari bumi”(air keluar dari bumi). Isu-isu dan keputusan
sangat tergantung pada kebutuhan dan tuntutan anggota kaum. Partisipasi
keterlibatan anggota kaum dalam rapat kaum menjadi penting bagi sistem adat ini.
Rapat kaum merupakan wadah bagi para anggota untuk menyampaikan pendapat
atau pandangannya sehingga dicapai kata mufakat. Anggota kaum juga dapat
menyampaikan langsung kepada penghulu keinginan atau keberatan mereka tanpa
harus melalui hirarkis mamak seperti yang ada dalam sistem Koto Piliang. Jarak
sosial yang relatif dekat antara penghulu dengan warganya menyebabkan tidak ada
kesulitan sama sekali bagi warga kaum/ suku untuk berdialog dengan penghulunya.
Meskipun rasa hormat warga kepada penghulu cukup tinggi, tetapi karena begitu
dekatnya hubungan kedua belah pihak, maka setiap waktu dapat saja warga suatu
suku membicarakan kepentingannya dengan penghulu itu. Penghulu itu, menurut
ajaran Minangkabau, adalah pemimpin mereka:
"Ditinggikan sarantiang
Didulukan salangkah"
(Ditinggikan seranting
Didahulukan selangkah) (Hakimy:1991)

Jarak sosial yang relatif dekat antara penghulu dengan warga sukunya ini pula
yang menyebabkan mekanisme kontrol dalam kehidupan masyarakat berjalan
dengan baik. Meskipun seorang penghulu mempunyai kekuasaan dalam mengatur

187 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kehidupan sukunya, tetapi dalam bertindak ia dituntut untuk melakukan musyawarah
lebih dahulu. Ada ungkapan:
Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka panghulu,
Panghulu barajo ka mupakat,
Mupakat barajo ka alua jo patuik.
(Kemanakan beraja kepada mamak,
Mamak beraja kepada penghulu,
Penghulu beraja kepada mufakat,
Mufakat beraja kepada alur dan patut). (Hakimy:1991)

Kemanakan harus mengakui kekuasaan dan patuh pada mamaknya,


demikian juga mamak juga mengakui dan patuh pada kekuasaan penghulu. Namun
bukan berarti mamak bisa sewenang-wenang, dia harus melakukan musyawarah
dengan keputusan yang benar. Etika serupa juga mesti berlaku bagi penghulu,
sebagai pemimpin tradisional. Meskipun seorang penghulu mempunyai kekuasaan
besar dalam mengatur kehidupan sukunya, tetapi dalam bertindak ia dituntut untuk
melakukan musyawarah lebih dahulu dengan mamak dari masing-masing paruik.
Artinya meski mereka mengakui kekuasaan pemimpin secara bertingkat namun
harus dengan pertimbangan kebenaran melalui musyawarah mufakat sebagai
penentu kekuasaan tersebut. Pemaknaan terhadap prinsip ini pada akhirnya juga
memperlihatkan dualisme penganutnya, disatu sisi mereka menerima struktur hirarkis
pemimpin, namun mereka juga mengakui musyawarah sebagai mekanisme yang
harus dipenuhi oleh pemimpin dalam menggunakan kekuasannya.
Namun yang menjadi prinsip utama pandangan sistem Bodi Caniago terhadap
pemimpin adalah orang yang bukan tidak boleh dikritik. Tidak ada orang kebal kritik
dan kontrol: Rajo alim rajo disambah rajo lalim rajo disanggah (raja alim
raja disembah, raja lalim raja disanggah). Ini menunjukkan, kebenaran manusia
relatif. Kebenaran mutlak hanyalah milik Sang Maha Pencipta, yakni Allah SWT.
Karena kemenakan (warga) dan para penghulu (pemimpin) itu adalah manusia-
manusia yang bebas dan merdeka.
Pada prinsipnya proses musyawarah yang menjadi ide dasar dari demokrasi
model Minangkabau ini. Pengambilan keputusan dalam musyawarah suku ini
umumnya tidak sulit karena sebelum mereka membicarakannya dalam forum resmi,
mereka telah memperbincangkannya lebih dulu. Pada proses ini mamak atau
penghulu melakukan konsultasi publik dengan anggota paruik atau sukunya dalam
menggali pendapat dan keinginan mereka. Forum ini yang kemudian menjadi ruang
publik yang terbuka lebar bagi perdebatan dan perbedaan pendapat. Proses tukar

188 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pendapat dan saling akomodasi diantara berbagai kepentingan anggota kaum terjadi
dalam pertemuan ini, sehingga keputusan yang diambil sudah menjadi kesepakatan
bersama yang dapat diterima secara rasional (Habermas dalam Held 2007:281).
Seperti mekanisme demokrasi yang terdapat pada kehidupan suku, dalam
tingkat nagari pun sistem Bodi Caniago ini dalam segala urusan dilaksanakan melalui
musyawarah. Etika musyawarah diatur dalam ajaran adat sebagai berikut:
Kok bulek buliah digolongkan,
Kok picak lah buliah dilayangkan,
lndak ado kusuik nan tak salasai,
lndak ado karuah nan tak janiah.
(Jika bulat sudah dapat digolongkan,
Jika gepeng sudah dapat dilayangkan,
Tidak ada kusut yang tidak selesai,
Tidak ada keruh yang tidak jernih). (Hakimy:1991)

Pepatah adat ini menekankan prinsip musyawarah dalam kehidupan


masyarakat. Voting tidak dikenal dalam sistem musyawarah dalam adat
Minangkabau. Semua yang diperlukan untuk diputuskan, dilakukan melalui proses
musyawarah, sampai tercapainya kata mufakat. Prinsip demokrasi seperti ini berjalan
dalam kehidupan suku dan nagari. Maka kata mufakat melalui proses musyawarah
dengan cara baio-batido (beria-bertidak: mutual deliberations) yang mengutamakan
kepentingan bersama di atas yang lainnya adalah tuntunan logisnya. Pada
perdebatan baio-batido ini selain bertukar fikiran dan saling tukur informasi serta uji
argumentasi akan dapat meningkatkan kualitas penilaian kolektif dalam mencari
keputusan yang terbaik (Held 2007:280). Yang dituntut dengan sendirinya dalam
proses ini adalah prinsip demokrasi atas dasar penghargaan, toleransi dan
keterbukaan di antara sesama dalam menyelesaikan semua persoalan dengan
semangat musyawarah. Sebagai wujud egaliterianisme, budaya Bodi Caniago ini
tidak alergi terhadap perbedaan pendapat, karena hal itu bagian dari dinamika sosial.
Perbedaan pendapat, kalau dikelola dengan baik, justru dapat memicu kemajuan.
Nilai semacam itu tercermin dalam ungkapan basilang kayu dalam tungku mako api
ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku maka api akan hidup). Namun demikian,
solusi atas perbedaan pendapat sedapat mungkin dilakukan melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek pambuluah
bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat).
Tapi perbedaan pendapat dan konflik sekalipun diakomodasikan tetap saja
ada, sehingga keputusan mufakat ada yang bisa saja merupakan hasil kesepakatan
semua “bulek nan buliah digolongkan” dan jika ada yang tidak sepakat, tetapi harus

189 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dapat menerima pendapat mayoritas, inilah yang terkandung dalam pepatah “ picak
yang buliah dilayangkan”. Adat ini juga mengajarkan bahwa semua persoalan yang
timbul pasti dapat dipecahkan, “tak ado kusuik nan dak salasai, tak ado karuah nan
tak janiah” dan kalau sudah sepakat dengan keputusan yang diambil, maka harus
dilaksanakan secara konsekuen (Batuah& Tanameh: tanpa tahun). Mufakat
merupakan wadah demokrasi deliberatif (permusyawaratan) dalam Nagari, yang
memegang kedaulatan tertinggi di atas kedudukan Kerapatan Adat.
Mufakat yang mewadahi seluruh anggota kaum, para penghulu menjadi
tempat bagi semua membuat keputusan secara langsung dengan mekanisme
permusyaratan (musyawarah). Kuatnya ikatan masyarakat Minangkabau pada nagari
meskipun mereka berbeda suku tetapi dipandang setara memungkinkan proses
permusyawaratan (deliberation) berjalan dengan baik tanpa dominasi oleh salah satu
kelompok (duduak samo randah tagak samo tinggi).

Dualisme dalam Demokrasi Minangkabau


Pada prinsipnya, asas musyawarah yang dikembangkan oleh sistem adat
Bodi Caniago ini, dalam proses pengambilan keputusan dinagari juga dianut dan
dipraktekkan oleh sistem Koto Piliang dalam rapat para Penghulu Nagari yang berada
dalam Kerapatan Adat meskipun kemudian ada penghulu pucuak.
Selain itu, kedua sistem adat Minangkabau ini sama-sama menempatkan
individu pada kedudukan yang fungsional dalam masyarakat. Setiap individu
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu, mereka pun
mempunyai hak dan kewajiban yang disesuaikan dengan keadaan mereka masing--
masing. Nilai-nilai kesamaan dalam budaya Minangkabau tidak didasarkan pada
filsafat liberalisme yang ekstrem. Budaya lokal menjunjung tinggi etika dalam
hubungan sosial. Penghargaan terhadap hak sesama sebagai bagian dari nilai
demokrasi, juga tercermin dalam ungkapan nan ketek dilindungi, nan tuo dihormati,
nan samo gadang dipatenggangkan (yang kecil dilindungi, yang lebih besar
dihormati, yang sama besar dihormati). Filosofi penghargaan terhadap individu ini
justru diterima secara luas oleh masyarakat Minangkabau baik yang menganut sistem
Bodi Caniago Maupun Koto Piliang.
Namun di sisi lain masyarakat Minangkabau sendiri juga memiliki budaya
perbedaan kelas dalam masyarakat. Pembedaan antara pendatang dan orang asli
yang sering muncul dalam perdebatan ketika dalam menentukan kepemimpinan
sebagai penghulu maupun dalam proses penentuan keputusan. Dalam budaya

190 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Minangkabau sendiri baik yang menganut sistem Bodi Caniago maupun Koto
Piliang mengakui perbedaan kelas ini. Model kelas ini dapat ditelusuri ketika orang
Minangkabau adanya pembagian “kamanakan dibawah daguak”, “kamanakan
dibawah paruik” dan “kamanakan dibawah lutuik”. Biasanya dalam jabatan penghulu
tidak akan diserahkan kepada “kamanakan dibawah lutuik” yang merupakan
pendatang yang diakui sebagai kemanakan (Batuah & Tamaneh, 1994). Begitu juga
dalam rapat kaum untuk pengambilan keputusan kamanakan dibawah lutuik ini tidak
memiki keleluasaan yang sama dalam perdebatan.
Hal ini merupakan beberapa aspek yang menunjukan dualisme masyarakat
Minangkabau itu sendiri, dan lainnya seperti terlihat juga dalam sistem kekerabatan
(matrilineal-patrilineal), dualisme dalam pewarisan (harta pusaka - harta
pencaharian), dualisme dalam gelar dan pengasuhan anak (mamak/kemenakan –
bapak/anak) (Saanin dalam Brouwer 1989:89).

Dialektika Masyarakat Minangkabau dalam Memaknai Perbedaan


Meskipun secara filosofi Bodi Caniago dan Koto Piliang berbeda dalam praktik
kedua tradisi tersebut terserap dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi
Koto Piliang yang lebih hirarkis lebih menyelaraskan dengan tatanan masyarakat
Minang yang egaliter, sehingga tercipta situasi dimana “hukum mambasuik dari Bumi”
sedangkan “parintah turun dari langik” (Kahin 2007:3). Josselin de Jong sering
menyebut hubungan kedua tradisi ini sebagai sebuah perseteruan yang tajam, yang
sekaligus menjadi landasan bagi rasa persatuan, sebab yang satu tidak bisa hidup
tanpa keberadaan yang lain, dan kerjasama diantara kedua tradisi ini dibutuhkan
demi tegaknya komunitas secara keseluruhan (de Jong 1960:74-75).
Dalam Praktek politik, kedua aliran itu bertemu dalam satu sistem yang
berakar pada asas musyawarah untuk mufakat. Asas ini menjadi lebih menunjukkan
warnanya pada kehidupan masyarakat di tingkat nagari (Graves 2007:34). Akan
tetapi dalam prakteknya model musyawarah ini juga punya dua kelemahan. Pertama,
proses deliberasi cenderung didominasi oleh para penghulu, yang kadangkala kurang
mengakomodasi kepentingan terutama golongan muda. Dengan kata lain,
ketergantungan warga masyarakat terhadap penghulu. Kedua, musyawarah ini
sering kali adalah wadah penghulu, mamak dan kemenakan laki-laki kaum atau
nagari, sehingga tidak mengakomodasi aspirasi kaum perempuan. Seperti
pengalaman demokrasi langsung di Yunani Kuno, tata cara pemerintahan dan
pengelolaan publik dalam model ini hanya menempatkan kaum perempuan sebagai

191 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
warga kelas dua yang hanya bekerja di sektor domestik. Karena itu demokrasi model
Bodi Caniago yang demokratis ini juga belum menjamin kesetaraan antara laki-laki
dengan perempuan. Proses musyawarah ini memperlihatkan bahwa masyarakat
Minangkabau sebenarnya juga memiliki ciri paternalistik yang tidak menempatkan
semua anggota suku (komunal) memiliki kesempatan yang sama.
Namun satu hal yang perlu ditegaskan, tradisi musyawarah mufakat masyarakat
Minangkabau ini jelas mengandung nilai-nilai demokrasi dan telah berlangsung sejak
berabad-abad yang lalu. Di tingkat masyarakat, tradisi itu terlembaga misalnya dalam
wujud kerapatan nagari. Sehingga dalam sebuah masyarakat Minangkabau yang
komunitarian, kebaikan bersama diterima sebagai sebuah konsepsi mendasar
tentang kehidupan yang baik yang menentukan pandangan hidup komunitas
(Kymlicka 2004:276).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Mengutip pendapat MacIntyre, ia mengkritik proyek Pencerahan, mencoba
menunjukkan bahwa masyarakat hanya dapat diberi pendasaran dengan mengacu
pada tradisi-tradisi historis dengan kebiasaan-kebiasaan etis dan pandangan
teleologis tertentu. MacIntyre membayangkan suatu masyarakat yang dibangun atas
dasar nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan khasnya sendiri, namun dapat
membandingkan dengan tradisi saingan. Perbandingan dan penilaian itu tidak
menggunakan rujukan kriteria rasionalitas objektif dan netral. Hal ini dapat
dibayangkan di mana paling tidak orang mencapai pengertian diri baru. Maka,
perlulah kiranya memahamkan kembali nilai tradisi dan mendudukannya dalam
proses demokratisasi di nagari.
Dengan menemukan kembali ide, gagasan demokrasi dari kultur sendiri,
dapat dijadikan landasan untuk melakukan perubahan dan pembenahan bagi proses
demokratisasi yang sedang berlangsung di nagari saat ini. Pembangunan demokrasi
di nagari juga harus didasarkan kepada model kultur yang sudah tumbuh dari masing-
masing nagari baik yang menganut Bodi Caniago maupun menganut Koto Piliang.
Tidak semua nagari dipaksa untuk demokratis seperti yang selalu diimajinasikan
sebagian besar orang Minang. Ungkapan “adat salingka nagari” juga harus menjadi
pertimbangan dalam proses demokrasi nagari itu sendiri. Hal yang paling penting
adalah pemberdayaan nilai-nilai demokrasi kultural yang dianggap unggul inilah yang
seharusnya dieksplorasi untuk menjembatani perubahan yang ada. Kultur demokrasi
Minangkabau telah memperlihatkan keterbukaan pada perbedaan, dan masyarakat

192 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang mampu mendialektikakan perbedaan menjadi persamaan yang dihargai
bersama seperti yang terjadi pada dua sistem adat Bodi Caniago dan Koto Piliang.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal, 2006. Dualisme Adat Kelarasan dan Pengaruhnya pada Perilaku Politik
Masyarakat Minangkabau. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Padang:
Universitas Andalas.
Abdullah T ,1972, Modernization in The Minangkabau World. Dalam: Culture and
Politics in Indonesia, claire Holt et al. Ithaca: Cornell University Press.
Azwar, Welhendri, 2001, Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi
Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press.
Barber, B., 1983, The Logic and Limits of Trust. New Brunswick: Rutgers University
Press.
Benda-Beckmann, Keebet von, 2000, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta:
Grasindo.
de Jong JPE, 1960, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in
Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Dobbin, Christine E., 1983, Islamic revivalism in a changing peasant economy:
central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press
Eko, Sutoro, Komunitarianisme Demokrasi Lokal, Makalah, tanpa ada keterangan
tahun, IRE, Yogyakarta,hal.1. Akses 23 Mei 2010, http://www.ireyogya.org,
Graves EE , 2007, Asal-usul Elite Mniangkabau Modern, Respons Terhadap Kolonial
Belanda Abad XXX, Terj. Novi Andri, dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hakimy, Idrus Dt. Rajo Penghulu., 1991, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di
Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Held D , 2007, Model of Democracy. Jakarta: Akbar Tanjung Institute.
Kahin A, 2005, Dari Pemberontakan Ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor.
Kahn JS , 1993, Constituting the Minangkabau. Oxford: BERG.
Kato T, 1989, Nasab Ibu dan Merantau: Tradisi Minangkabau yang Berketerusan di
Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia.
Kymlicka W, 2004, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

193 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Maarif, Ahmad Syafei, 1996, “Gagasan Demokrasi dalam Perspektif Budaya
Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam
Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM.
Manan, Imran, 1995, Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau
(Nagari dan Desa di Minangkabau). Padang: Yayasan Pengkajian
Kebudayaan Minangkabau.
Mansoer, M.D., 1970, Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
Navis AA (eds), 1983, Dialektika Minangkabau. Dalam Kemelut Sosial dan Politik.
Padang: Genta Singgalang Press.
Saanin, H.H.B. Datuk Tan Pariaman, 1989, “Kepribadian Orang Minangkabau dan
Psikopatologinya” dalam M.A.W.Brouwer (eds). Kepribadian dan
Perubahannya. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Sairin, Sjafri, 1995, “Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau”
dalam Humaniora No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada.
Walzer, Michael, Aug., 1984, “Liberalism and the Art of Separation”, Political Theory,
Vol. 12, No. 3. , pp. 315-330. http://links.jstor.org/sici?sici=0090-
5917%28198408%2912%3A3%3C315%3ALATAOS%3E2.0.CO%3B2-A

194 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ARAH, KOMPAS PEMERINTAHAN
Jalan Terjal Menuju Pemerintahan Yang Terpercaya
(Trustworthy Government))
Andi Pitono88 dan Kartiwi89

ABSTRAK
Kehadiran seorang pemimpin dalam sebuah organisasai tradisional dan modern,
mulai dari organisasi tingkat bawah hingga tingkat atas, mulai dari RT sampai dengan
Negara menjadi Pusat seluruh aktivitas dalam berorgnisasi. Keberadaa Pemimpin
menjadi roh atau jiwa dalam kehidupan berorganisasi, terlebih organisasi public,
Sang Pemimpin dipandang mampu menjelma sebagai pemecah semua kebuntuan
dari setiap permasalahan yang selama ini selalu membebani anggota organisasi atau
warga negara pada sebuah negara. Sang Pemimpin djadikan titik central sebagai
lambang kesejahteraan, kebanggaan bahkan dianggap sebagai resep yang dapat
mendiagnosa segala macam penyakit. Sehingga untuk memilih Sang Pemimpin
diantara mereka, memerlukan perjuangan besar yang terkadang menimbulkan
gejolak social yang meresahkan seluruh pihak dalam waktu berkepanjangan.
Kehadiran Sang Pemimpin diharapkan dapat mewujudkan pelayanan yang baik,
mempunyai kejelasan standard dalam semua aspek dan pada akhirnya terwujud
suatu pemerintahan yang terpercaya (trustworthy government) dengan
memperhatikan etika pemerintahan dan nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan roh
atau jiwa pemerintahan.
Kata Kunci: Pemimpin, Pemerintah, Kepercayaan dan Etika.

ABSTRACT
The presence of a leader in traditional and modern organization, start from lower level
organizations to the top level, start from RT to the state becomes the center of all
activities in organizing. The presence of leader becomes spirit or soul in organizational
life, especially public organizations, the leader is deemed able to reincarnate as
breaking all deadlock of some problems that always burden on organizations member
or citizens in a country. The leader is become central point as the symbol of prosperity,
pride and even the leader is considered a recipe that can diagnose all kinds of
diseases. So that, to choose the leader among them, require a great struggle that
sometimes lead to social turmoil unsettling the entire aspects in a prolonged time. The
presence of leader is expected to create a good service, have the clarity standard in
all aspects and ultimately realize a trusted governance (trustworthy government) with
regard governance ethic and the values of local wisdom that are the soul or spirit of
government.
Keywords: Leader, Government, Trust and Ethics.

88 Prodi Politik Pemerintahan Fakultas Politik Pemerintahan Pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri /
makarthi_nagari@yahoo.com
89 Prodi Politik Pemerintahan Fakultas Politik Pemerintahan Pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri /
makarthi_nagari@yahoo.com

195 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Inti Pemerintahan adalah Kepemimpinan dan etika, setiap bicara
pemerintahan tidak akan lepas dari kepala pemerintahan, dan setiap bicara harapan
apa yang bisa kita letakkan pada kepala pemerintahan, larinya ke etika. (Ryaas
Rasyid, 2001 : 10). Lebih Lanjut, seorang pemimpin harus bisa menempatkan dirinya
berbicara pada tingkatan masyarakat yang mana saja. Seorang pemimpin
seyogianya memiliki kemampuan mengdukasi masyarakat, bisa menjadi orang
pertama yang menolong masyarakat, orang pertama yang datang untuk mengatasi
masalah dan mampu mencegah terjadinya disharmoni sosial di tengah masyarakat.
Seorang pemimpin harus mempunyai integritas yang lebih dibanding dengan yang
dipimpinnya.
Negara Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan dengan terjadinya suatu ledakan
permasalahan yang sangat besar bagi kelangsungan berbangsa dan bermasyarakat.
Permasalahan tersebut bukan lagi menjadi domain masalah pemerintah semata
tetapi merupakan masalah publik secara universal, meliputi : korupsi, transparansi,
akuntabilitas, tata kelola pemerintahan yang tidak berpihak pada masyarakat,
perilaku elit jauh dari harapan dan menurutnya berbagai fasilitas pelayanan publik
atau kurang memperhatikan standart pelayanan. Sehingga dampak permasalahan ini
tidak saja merugikan masyarakat secara nasional tetapi juga berdampak pada
kepercayaan internasional yang dicerminkan pada rendahnya nilai Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan puncaknya Indonesia dinilai termasuk ketegori
suatu negara yang mengarah kepada Negara gagal (fail nations).
Berdasarkan fenomena dimaksud, kita mencoba memandang dan
mefokuskan pada kepemimpinan moral penyelenggara negara dan pemerintahan
atau tepatnya Birokrasi pemerintahan. Sissela Bok seorang filsafat dari Brandeis
University dalam artikelnya menekankan pada kepemimpinan moral sebagai sesuatu
yang utama dikedepankan bagi mereka yang berada dalam organisasi public:
“Aristotle said that people in government exercise a teaching function. Among other
things, we see what they do and think that is how we should act. Unfortunately, when
they do things that are enderhanded or dishonest, that teaches us too”. Dengan
perkataan lain diantara aktor lain, aktor-aktor public di pemerintahan itu ibarat
seorang guru. Ia melihat apa yang mereka kerjakan dan mereka menghimbau
bagaimana kita harus vertindak. Tiba-tiba ketika mereka mengerjakan sesuatu yang
licik, curang atau tidak jujur secara sadar atau tdak sadar mereka sedang
mengajarkannya kepada kita semua (LAN RI, 2002).

196 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Seorang pemimpin seyogianya memiliki kemampuan memahami dinamika
masyarakat, sehingga dapat menjadi orang pertama yang menolong masyarakat,
orang pertama yang datang untuk mengatasi masalah dan mampu mencegah
terjadinya disharmoni sosial di tengah masyarakat. Saat-saat seperti ini seorang
pemimpin mempunyai integritas yang lebih dibanding dengan yang dipimpinnya.
Suatu Kepercayaaan (trust) yang diharapkan oleh warga negara kepada
pemerintah, artinya bahwa pemrintah harus dapt dipercaya dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara totalitas, tanpa kepercayaan akan timbul saling curiga
mencurigai yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Tanpa kepercayaan suatu
organisasi semakin lama akan ditinggalkan oleh konsumen, jika organisasi publik
dalam hal ini pemerintah, warga negara yang aka meninggalkannya, bahkan
cenderung melawan akibat ketidakpercayaan terhadap pemerintah (distrust),
selanjutnya pemerintah akan gagal, bahkan mati. Menurut David G. Carnevale (1995
: 5-6) bahwa :
1) Trust is essential. There is no organization without trust, trust is what holds
fabric of organizations together, trust is an essential aspect of community.
Authoritarianism cannot substitute for trust. It can influence only what it can
control and there are limits to control in organizations.
2) Trust is truth. Trust enables employees and managers to face up to the
truth of their working situation. Organizations make choices about how they
will structure and manage work processes, and those choices influence
levels of trust and the extent that employees have cpntrol over their work.
3) Trust is survival, Facing up to the truth through trust enables people to
reduce defensive behaviors and open themselves up to learning.

Untuk menjawab kepercayaan birokrasi dengan jiwa kepemimpinan dan


integritas diharapkan mampu dan memiliki tanggung jawab dalam
mengimplementasikan undang-undang yang diarahkan untuk kepentingkan publik.
Hal-hal yang dilakukan oleh birokrasi dalam menyangkut integritas agar mendapat
kepercayaan warga negara adalah :
a) Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk memenuhi standar
kinerja dan persyaratan organisasi lainnya;
b) Memperlakukan diri di depan umum dengan cara yang tidak akan
mencerminkan buruk, salah dan tidak tepat pada sektor publik, lembaga
atau pegawai sektor publik secara umum.
c) Memastikan berperilaku mencerminkan harapan masyarakat sebagaimana
yang tertuang dalam tujuan dan standar undang-undang yang berorientasi
pada Publik.

197 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Integritas yang dimiliki birokrasi, sebagai upaya untuk membangun
kepercayaan public dan bentuk pelayanan, yang sampai saat ini dirasakan masih
sangat kurang sehingga publik kurang percaya lagi (distrust) terhadap pemerintahan
yang dikelola oleh birokrat. Arah Pemeritahan yang difokuskan pada etika yang
bersumber dari kearifkan lokal dapat memberikan ikatan yang kuat bagi pemimpin
mendapat kepercayaan publik, tidak mudah memang tetapi bukan tidak mungkin
untuk tidak dapat diraih walau jalan menuju pemerintahan yang terpercaya
(thrustworthy government) sangat terjal. Wujud kearifkan lokal sebagai sumber etika
adalah budaya masyarakat yang mengandung nilai-nilai agung sebagai dasar
kehidupan menuju ke arah yang lebih baik dan dapat membantu pemerintah memiliki
nilai lebih di dalam mengelola pemerintahan dan bersinergis denga kehidupan
bermasyarakat setempat. Menurut Osborne dan Plastrik (2001 : 49) bahwa Budaya
merupakan bagian lima strategi untuk memperbarui organisasi pemerintah, yaitu :
Strategi Budaya (culture strategy), yang mempunyai tujuannya untuk mengubah
perilaku, perasaan, dan cara berpikir pegawai negeri. Strategi Budaya ini lebih jauh
bertujuan untuk meletakkan nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai yang sesuai
dengan tujuan organisasi, sistem insentifnya, sistem akuntabilitasnya dan sistem
struktur kekuasaan.

PEMBAHASAN
Pemerintahan Daerah Dan Kepercayan Publik
Pemerintah Daerah dibentuk sebagi wujud desentralisasi, dalam arti devolusi.
Hal ini sebagaimana menurut Rondinelli (Made Suwandi, 2004 : 9) bahwa
Desentralisasi mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik
kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pusat yang ditugaskan ke
daerah. Pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan
pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah sebagai upaya untuk
meningkatkan pelayanan yang terbaik kepada publik serta sebagai upaya untuk dekat
dengat masyarakat. Selanjutnya argument implementasi desentralisai menurut
Rondinelli & Cheema (1983) diantaranya bahwa Desentralisasi dapat meningkatkan
jumlah pemberian pelayanan barang dan jasa publik, dan dengan biaya yang lebih
rendah serta Desentralisasi perencanaan pembangunan, fungsi manajemen
memungkinkan pemimpin lokal utk menentukan pelayanan dan fasilitas secara lebih
efektif dengan komunitas.

198 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sampai sekarang proses penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia
dilaksanakan melalui tiga asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Idealnya ketiga asas tersebut berjalan secara seimbang agar proses
pemerintahan dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Pemberian kewenangan
yang luas kepada daerah otonom dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan dan
bukan menggeser kewenangan kepada daerah, meskipun hampir sebagian besar
kewenangan pemerintahan ada pada daerah otonom, sementara sisanya masih
dipegang pemerintah pusat. Penyerahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke
daerah lebih merupakan teknis administrasi pemerintahan dalam mengelola tugas-
tugas publik untuk mencapai tujuan Negara. Penyerahan kewenangan yang lebih
luas merupakan tuntutan obyektif dalam mengelola pemerintahan agar lebih efektif
dan efisien dan memudahkan tercapainya tujuan organisasi pemerintahan.
Kewenangan luas yang dimiliki daerah merupakan respon atas kondisi pemerintahan
yang dirasakan mendistorsi tujuan bernegara.
.
Kepercayaan Publik
Pelayanan public oleh Pemerintah Daerah merupakan sebuah kepercayan
public oleh masyarakat kepada aparatur, oleh karenanya pelayanan yang diberikan
merupakan bentuk jaminan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga
menimbulkan kepercayaan dari masyarakat. Pelayanan yang diberikan kepada public
tidak sekedar memberikan pelayanan secara minimal, tetapi merupakan pelyanan
yang optimal dan mempunyai nilai yang lebih, hal ini dapat menciptakan kepercayaan
yang sesungguhnya dari publik kepada pemerintah demi terwujudnya pemerintahan
yang terpercaya (thrustworthy government).
Membangun kepercayaan, merupakan kunci bagi organisasi dan manajemen
dalam mencapai tujuan. Kepercayaan hal yang penting untuk dipahami oleh semua
anggota organisasi jika ingin pekerjaan dapat diselesaikan secara baik. Oragnisasi
membuat bagaimana anggota organisasi mempunyai rasa yang besar untuk memiliki
kemauan untuk sebuah kejujuran atau memberdayakan para pegawai untuk menabur
dan menuai kejujuran ke dalam komitmen (commitment), keterlibatan (involvement),
identifikasi (identification), loyalitas (loyality), motivasi (motivation) dan prestasi
(achievement).
Setiap Aparat dituntut memperlakukan organisasinya (kantor/tempat
kerjanya) sebagai kepercayaan publik, mempergunakan kekuasaan dan sumber
daya kantor untuk pengembangan kepentingan publik bukan untuk mencapai

199 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
manfaat pribadi atau mengejar kepentingan pribadi dengan memanfaatkan sumber
daya, parasarana dan sarana kantor. Mengejar ketetapan kepentingan umum
sebagai prinsip dasar etika pelayanan publik. Sebagai prinsip dasar etika
pemerintahan adalah “organisasi/tempat kerja adalah sebagai sebuat kepercayaan
public (public trust). Pegawai Publik wajib melayani kepada masyarakat dan
menghindari kepentingan pribadi serta tidak mengijinkan mempergunakan kantor
tempat kerjanya untuk kepentingan pribadi.
Menurut Michael Josephson (2005 : 3) terdapat lima (5) prinsip etika
pelayanan publik untuk membangun kepercayaan public, yaitu :
1) Safeguard the public interest (Membangun dan melindungi kepentingan
publik : menggunakan kepentingan kantor untuk perkembangan
masyarakat)
2) Use independent, Objective Judgment (Bersifat Netral dan berpikir obyektif
:membuat keputusan berdasarkan prestasi, tidak memihak, tidak
berprasangka negatif dan mengurangi konflik kepentingan);
3) Be Publicly Accountable (Bertanggung jawab terhadap public :
Pemerintahan terbuka, effisien, adil dan terhormat).
4) Lead with citizenship (Pimpin dengan Kenegarawan : Kehormatan dan
peduli kepada publik).
5) Show Respectability and Fitness for office (Tunjukan kepedulian dan
kebaikan kantor : membangun konfiden masyarakat dalam integritas
pemerintahan).

Etika dan Model Code of Conduct berbasis Kearifan Lokal Menuju


Pemerintahan Terpercaya.
Etika Pemerintahan tidak hanya sekedara membicarakan manajemen dan
hukum, tetapi lebih dari semuanya. Etika Pemerintahan merupakan semangat, jiwa
atau roh dari code etik yang dipunyai jiwa suatu bangsa. Melalui Etika memungkinkan
dapat menilai suatu kegiatan ke arah yang lebih dan juga menghasikan suatu
kebijakan yang terbaik. Masalah etika disadari atau tidak setiap hari merupakan isu
yang terus berkembang di dalam kehidupan termasuk di dalam pelayanan publik.
Semua aparat akan lalai jika tidak memahami tantangan secara filosofi dalam
membelajari etika yang terjadi setiap harinya.
Ada lima bentuk infrastruktur etika yang perlu diintegrasikan kedalam
manajemen organisasi pemerintahan, yaitu :

200 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
1) Mekanisme konsultasi etika (komisi penasihat etika yang independen);
2) Saluran Pelaporan, prosedur menyampaikan keluhan, hotlines, informasi
konfidensial, ombudsman;
3) Perubahan sistem personalia, rotasi jabatan secara periodic dilakukan
supaya pejabat pengganti bisa mengevaluasi kebijakan pejabat;
4) Audit etika secara berkala (merevisi dokumen, kerentanan di dalam
penaksiran, survey dan wawancara dengan karyawan, evaluasi terhadap
sistem untuk memudahkan dalam menilai efektivitas program);
5) Pengambil keputusan kunci harus setidaknya dua orang mengurangi
kewenangan dan hasrat korupsi, infrastruktur etika menjamim integritas
public, memungkinkan mengukur kemampuan diri sehingga fair dan
menciptakan suasatana keterbukaan. (Haryatmoko, 2011 :199).
1. Kode Etik Pemerintah Pusat, Bermasyarakat dan Individu
Kode etik pemerintahan secara nasional diatur dalam peraturan menteri masing-
masing kementerian. Kementerian dalam negeri memiliki kode etik yang berlaku
untuk Pegawai yang bekerja di lingkungan kementerian dalam negeri berdasar
peraturan menteri nomor 31 tahun 2011. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil yang
diatur dalam peraturan menteri nomor 31 tahun 2011 sebagai pedoman sikap,
tingkah laku, dan perbuatan baik dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan
hidup sehari-hari. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk:
1) mendorong pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) meningkatkan disiplin baik dalam pelaksanaan tugas maupun hidup
bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara;
3) lebih menjamin kelancaran dalam pelaksanaan tugas dan suasana kerja
yang harmonis dan kondusif;
4) meningkatkan kualitas kerja dan perilaku Pegawai Negeri Sipil yang
profesional; dan
5) meningkatkan citra dan kinerja Pegawai Negeri Sipil.
Setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas kedinasan dan
kehidupan sehari-hari wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam
bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, dan terhadap diri sendiri serta sesama
Pegawai Negeri Sipil. Etika dalam bernegara meliputi:
1) turut serta memelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia;

201 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2) menghormati dan menjunjung tinggi toleransi antar sesama suku dan
umat beragama;
3) memberikan dukungan baik moral maupun spiritual kepada bangsa dan
rakyat indonesia dalam meraih prestasi di luar negeri dan/atau di dalam
negeri;
4) tidak bersikap dan bertindak diskriminatif dalam menjalankan
kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
5) transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugas agar
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
6) tanggap, terbuka, jujur, teliti dan akurat serta tepat waktu dalam
melaksanakan tugasnya;
7) melakukan perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang
mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia;
8) melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah
daerah beserta perangkat daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
9) menghormati nilai-nilai seni dan budaya bangsa Indonesia yang terdiri
dari bermacam-macam suku dan adat istiadat.

Adapun Etika dalam bermasyarakat meliputi:


a) bersikap terbuka dan responsif terhadap kritik, saran, keluhan, laporan
serta pendapat dari lingkungan masyarakat;
b) memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak dan
kewajiban di bidang penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip
hak asasi manusia;
c) melaksanakan kegiatan sosial baik dilingkungan Rukun Tetangga maupun
Rukun Warga dan membantu tugas sosial lainnya untuk kepentingan
masyarakat umum;
d) menghormati dan menjaga kerukunan antar tetangga; dan
e) berperan aktif dalam menjaga keamanan lingkungan masyarakat.
Etika terhadap diri sendiri meliputi:
a. tidak melakukan perbuatan perzinahan, prostitusi, perjudian dan minuman
yang memabukkan;

202 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
b. tidak menggunakan dan/atau mengedarkan zat psikotropika, narkotika
dan/atau sejenisnya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan;
c. meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi sesuai tugas
dibidangnya masing-masing untuk menjaga citra institusi Kementerian
Dalam Negeri, bangsa dan negara;
d. tidak melakukan penyalahgunaan wewenang, jabatan dan perbuatan
kolusi, korupsi dan nepotisme;
e. tidak melakukan pungutan di luar ketentuan yang berlaku untuk
kepentingan pribadi, golongan dan pihak lain yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan masyarakat, bangsa dan negara;
f. tidak menerima hadiah, pemberian, dan gratifikasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas
g. loyalitas dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat; dan
h. menjaga keutuhan rumah tangga dengan tidak melakukan perbuatan
tercela dan perbuatan tidak bermoral lainnya.

2. Code of conduct Pemerintah Daerah


Kode etik yang berlaku dalam pemerintahan daerah di Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota, baik secara organisasi maupun sebagai
Pegawai Pemerintah Daerah sesuai dengan kode etik yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah masing-masing. Kode etik yang berlaku di pemerintahan
daerah menjadi pedoman perilaku bagi organisasi dan seluruh pegawai di
pemerintahan daerah tersebut. Kode etik masing-masing daerah cenderung
berbasis pada budaya daerah yang hidup di sekitar kehidupan masyarakat dan
memberi inspirasi pada pemerintahan daerah baik secara organisasi maupun
pegawainya.
Berikut contoh kode etik dari Pemerintah Kota Solok Provinsi Sumatera Barat
yang disahkan ke dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Etika
Pemerintahan Daerah Kota Solok. Setiap penyelenggara pemerintahan pada
Pemerintah Kota Solok bersama masyarakat dalam berinteraksi dan berinterelasi
sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing wajib menghormati,
mengamalkan dan menegakkan norma etik guna menjaga kehormatan dan
martabat serta harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

203 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
bernegara sebagai upaya mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik,
oleh karena itu diperlukan pegangan etik bagi setiap penyelenggara
pemerintahan maupun kelompok masyarakat;
Prinsip dasar Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok berdasarkan kepada
nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat dan norma hukum yang berlaku. Adapun
Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok bertujuan :
1) Menegakkan norma etika penyelenggara pemerintahan daerah dan
warga masyarakat;
2) Menegakkan martabat dan kehormatan penyelenggara pemerintahan
daerah dan warga masyarakat;
3) Membangun sikap, perilaku, dan tindakan yang etis bagi
penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat;
4) Mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah dan warga
masyarakat yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia;
5) Memberikan pembelajaran kepada penyelenggara pemerintahan
daerah dan warga masyarakat untuk mewujudkan tata pemerintahan
daerah yang baik;
6) Membangun dan menumbuhkembangkan budaya organisasi yang baik
bagi penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat.
7) Menciptakan suasana saling menghormati dan saling membutuhkan
antara penyelenggara Pemerintah Daerah dan warga masyrakat.

Sedangkan Ruang lingkup Etika Pemerintahan Daerah meliputi pengaturan


sikap, perilaku, tindakan dan ucapan baik tertulis maupun tidak tertulis bagi
seluruh penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat. Serta
Norma etika pemerintahan daerah, terdiri dari :
1) Kejujuran dan keikhlasan;
2) Keadilan;
3) Tepat janji;
4) Taat aturan;
5) Tanggung jawab;
6) Kewajaran dan kepatutan;
7) Kecermatan dan kehati-hatian;
Pelanggaran terhadap etika pemerintahan ini berupa sikap, perilaku, tindakan
dan ucapan Penyelenggara Pemerintahan Daerah yang tidak sesuai terhadap

204 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ketentuan, dikenakan sanksi moral dan sanksi administratif. Sanksi moral,
meliputi :
1) Pengumuman melalui media massa;
2) Meminta maaf secara terbuka;
3) Mengundurkan diri dari jabatan.
Sedangkan Sanksi administratif meliputi:
1) Teguran lisan atau tulisan;
2) Pemberhentian sementara (skorsing);
3) Pemberhentian dengan tidak hormat;
4) Sanksi administratif lainnya, sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Contoh implementasi etika pemerintahan lainnya adalah etika yang menjadi
acuan bagi Pemerintah Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Etika ini
diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang
Puseur (Pusat) Budaya Sunda (SPBS). Melalui Peraturan ini penyelenggaraan
urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah kabupaten dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan kearifan budaya daerah sebagai landasan
moral dan etika dalam kehidupan masyarakat. Peraturan ini SPBS
dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan budaya Sunda dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. Serta bertujuan untuk memperkokoh
jatidiri aparatur pemerintah daerah dan masyarakat serta menguatkan daya
saing daerah menuju terwujudnya Kabupaten Sumedang Sejahtera, Agamis
dan Demokratis pada Tahun 2025.
Adapun Nilai yang terkandung dalam SPBS yaitu:
1) Nilai Filosofis adalah “INSUN MEDAL INSUN MADANGAN”, yang berarti
Saya Lahir untuk Memberi Penerangan dan bermakna : Makna dari Nilai
Filosofis ini adalah setiap warga masyarakat Sumedang harus memiliki
semangat dan tekad untuk memberikan sumbang pikiran dan karya nyata
yang terbaik dan tanpa pamrih bagi kepentingan bangsa dan negara,
kapan pun dan dimana pun berada. Warga masyarakat Sumedang harus
memiliki mental baja sebagai pejuang pembangunan, memiliki keberanian
untuk menegakkan kebenaran serta mampu meraih prestasi atau
kemenangan tanpa harus mengalahkan. Warga asyarakat Sumedang harus
memiliki kharakter keberanian tapi rendah hati.

205 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2) Nilai Manajerial adalah “RAWAYAN JATI SUNDA”. yaitu jati diri yang harus
dijaga oleh masyarakat Sumedang sebagai jembatan antara dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, mulai dari fase perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, sampai dengan fase pengawasan dan pertanggungjawaban,
menuju tercapainya masyarakat yang Sejahtera, Agamis dan Demokratis.
3) Nilai Operasional adalah “DASA MARGA RAHARJA”. artinya adalah
sepuluh perilaku atau sifat yang harus dimiliki oleh masyarakat
Sumedang untuk dilaksanakan dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, sehingga dapat
memberikan daya guna dan hasil guna. Esensi dari nilai operasional
SPBS ini diambil dari nilai-nilai sosial budaya Sunda yang tumbuh
kembang di tengah-tengah masyarakat Sumedang. Sepuluh perilaku atau
sifat dimaksud adalah sebagai berikut :
a) Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
b) Selalu bersikap ramah, tulus dalam tekad, ucap dan segala perbuatan
serta tidak berlaku Diskriminatif;
c) Merasa empati dan simpati, tidak suka menyakiti orang lain, bijak dan
memiliki “sense of crisis”;
d) Berwawasan luas;
e) Jujur dan transparan;
f) Memegah teguh komitmet dan bekerja keras;
g) Kreatif, Inovatif dan selalu dinamis;
h) Profesional dan waspada, cermat serta teliti dalam mengerjakan
sesuatu;
i) Mengerjakan dan melakukan sesuatu sampai tuntas;
Selanjutnya etika dalam Kearifan lokal di Pemerintah Kabupaten : Karakter
Sabilulungan Ki Sunda di Pemerintah Kabupaten yang digagas oleh Bupati
Bandung, H.Dadang Mohamad Naser, SH, S.Ip. bahwa dalam
perspektif kebudayaan, otonomi daerah harus dipahami sebagai peluang untuk
membangkitkan kembali nilai-nilai budaya dan karakter masyarakat lokal yang
dianggap sudah mulai memudar, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung
mempunyai komitmen untuk mewujudkan hal tersebut, sebagaimana di
amanatkan dalam visi pembangunan yang berkehendak untuk menjunjung
aspek-aspek kultural kesundaan dalam prosesi pembangunan, dalam hal

206 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ini karakter Sabilulungan merupakan bagian dari nilai-nilai ki sunda yang juga
harus kembali dibangkitkan.
Adapun menurut Prof. A. Chaedar Alwasilah (2006:18) setidaknya ada
tiga langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan karakter Sabilulungan
merupakan bagian dari nilai-nilai ki sunda, yaitu : (1) pemahaman untuk
menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, (3) pembangkitan
kreatifitas kebudayaan. Pemahaman yang kaffah terhadap budaya sunda, ki
sunda akan sulit merumuskan etos budaya sunda yang mantap, jika bangsa
Jepang memiliki etos bushido, lantas etos apa yang dimiliki ki sunda? semangat
atau karakter Sabillulungan ki sunda bisa dijadikan salah satu alternatif.
Sabilulungan mengandung makna silih asah, silih asuh, silih asih, silih
wawangi yang kesemuanya akan berkontribusi pada pembentukan kondisi
masyarakat yang mempunyai karakter dan ber-etos kerja tinggi, sabilulungan
merupakan kata dalam bahasa sunda yang dapat disepadankan dengan kata
gotong royong dalam bahasa Indonesia dengan makna yang lebih luas, dalam
kata sabilulungan terkumpul sekumpulan nilai-nilai luhur yang berkembang
dalam masyarakat sunda, yaitu "sareundek saigel sabobot sapihanean, rempug
jukung sauyunan rampak gawe babarengan", yang memiliki makna seia sekata,
seayun selangkah, sepengertian sepemahaman, senasib sepenanggungan,
saling mendukung, saling menyayangi, saling membantu, bekerja sama, rasa
persaudaraan yang sedemikian erat dan kebersamaan. Sabilulungan bisa
hidup tumbuh dan berkembang di berbagai dimensi kehidupan masyarakat :
1) Dimensi ekonomi ada budaya yang disebut leuit yaitu menyimpan sebagian
hasil panen di lumbung padi untuk cadangan pangan yang digunakan bagi
masyarakat yang membutuhkan;
2) Dimensi sosial ada yang disebut dengan beas perelek semacam sistem
jaring pengaman sosial yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat,
dimensi pembangunan ada istilah kerja bakti yaitu bekerja bersama-sama
membangun fasilitas umum;
3) Dimensi keamanan dan ketertiban, Ngaronda operasi keamanan kampung
secara bergiliran setiap malam dan lain sebagainya.

PENUTUP
Kearifan Lokal yang mengandung Nilai-nilai, karakter dan filosofi yang hidup
di daerah merupakan sumber etika bagian dari kekayaan kultural bangsa yang harus

207 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dijaga, dipelihara dan dilestarikan sebagai dasar pegangan hidup dalam
bermasyarakat dan berpemerintahan. Eksistensi nilai-nilai budaya dan karakter
nasional tidak akan berarti banyak tanpa ditopang oleh eksistensi nilai dan budaya
yang ada di daerah, keduanya saling melengkapi dan menjadi isu strategis yang
sama pentingnya, jikalau kita berasumsi bahwa nasionalisme perlu dipelihara oleh
semua warga negara untuk keberlangsungan martabat bangsa, maka di daerah
selain nasionalisme, juga perlu dikembangkan nilai-nilai budaya lokal yang dianggap
bisa memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya yang ada di
masyarakat, gerakan revitalisasi karakter sabilulungan, Sumedang Puser Budaya,
Etika Solok, dan masih banyak lagi, layak untuk dipertimbangkan menjadi aset
bangsa dan menjadi sumber inspirasi pemerintah, pemerintah daerah dalam
melindungi dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Pada Akhirnya, arah pemerintahan ke depan mengarah pada pemerintahan
yang terpercaya (thrusworthy government), tanpa kepercayaan dari warga negara
pemerintah akan menggalami keterpurukan. Untuk membangun pemerintahan yang
terpercaya (thrusworthy government), secara umum dapat dirumuskan ke dalam 5
hal, yaitu :
1) Trustworthy leadership : Helping people to lead themselves
2) Creating participation and involvement
3) Developing effective communications
4) Fair performance appraisal and incentive systems
5) Managing power, politics, and conflict. David G, Carnevale (1995 :55-129)

DAFTAR PUSTAKA
Ciulla, Joanne B, 2004. Ethics,The Heart of Leadership, The United States of Amerika
: Praeger, Publishers, Inc.
Cooper, Terry L. 2006. The Responsible Administrators, An Approach to Ethics for
the Administrative Role, The United States of Amerika : Joseey-Bass,
Publishers, Inc.
Coody, W.J. Michael and Lynn, Richardson R, 1992. Honest Government. An Ethics
Guide for Public Service, The United States of Amerika : Praeger,
Publishers,Inc.
Carnevale, David G.1995. Trustworthy Government (Leadership and Management
Strategies for Building Trust and High Performance. San Francisco : Jossey-
Bass Publishers.

208 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Haryatmoko, 2011. Etika Publik (untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi). Jakarta
: Kompas Gramedia.
---------------, 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta : Kompas Gramedia.
Josephson, Michael, 2007. Preserving the Public Trus (The Five Principles of Public
Service Ethics. Los Angeles, California :Josephson Institute of Ethics.
Gilman, Stuart C, & Lewis, Carol W , 2005. The Ethics Challenge in Public Service. A
Problem Solving Guide, The United States of Amerika : Joseey-Bass,
Publishers, Inc.
Leo W. J. C. Huberts , Jeroen Maesschalck, Carole L. Jurkiewicz , Ethics and Integrity
of Governance: Perspectives Across Frontiers (New Horizons in Public
Policy).
Naser Dadang, 2012. Revitalisasi Karakter Sabilulungan. Kabupaten Bandung.
Rohr, John A, 1999. Public Service Ethics Primer & Constitutional Practice, Kansas :
The University Press.
Rasyid, Ryaas, 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan, Jakarta : MIPI.
Shafer L, Russ, 2011. The Fundamentals of Ethics. New York :Oxford University
Press.
---------------------------. The Ethics Life, Fundamental Readings in Ethics and Moral
Problems, New York :Oxford University Press.
Suwandi, Made, 2004. Menganggas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta :
Samitra Media Utama.
Svara, James, 2007. The Ethics Primer. For Public Administrators in Government and
Nonprofit Organiszations, The United States of Amerika : Jones and Bartlett
Publishers, Inc.
W. Coox III, Raymond, 2009, Ethichs and Integrity in Public Administration, Conceps
and Cases, London, England : M.E. Sharpe.

209 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PUBLIC PARTICIPATION FOR IMPLEMENTATION OF PNPM
MANDIRI PARIWISATA IN KARANG DIMA VILLAGE
LABUHAN BADAS SUBDISTRICT SUMBAWA REGENCY
Elvira Mulya Nalien90, Bintang Rizki Sakinah91, Rea Indranata92

ABSTRACT

The implementation of PNPM Mandiri Pariwisata is a program that expected to reduce


poverty through tourism by tourist growth philosophy that will affect economic growth
and poverty reduction. This study aims to analyze community participation and the
improvement of community participation strategy in the implementation of PNPM
Mandiri Pariwisata in Karang Dima Village Labuan Badas District Sumbawa Regency.
This study is a descriptive study with a qualitative approach. Where the key informants
who serve as resource persons in this study were selected using purposive sampling
technique. Based on the analysis of public participation in the implementation of
PNPM Mandiri Pariwisata in Karang Dima Village Labuan Badas District Sumbawa
Regency in general can be considered good, base on the Participation in Planning,
community involvement has been seen since the beginning of the activities, and then
in Participation in Implementation community directly involved to carry out activities
that have been adjusted to the priorities and activities of the community, then
Participation in Utilization since the beginning, the community involved as subjects of
activities so they could felt the benefit of the activities directly, and the last
Participation in Evaluation community involvement in terms of evaluating the activities
carried out in stages ranging from monitoring, surveillance, until the evaluation. While
the strategy of increasing public participation in the implementation of PNPM Mandiri
Pariwisata in Karang Dima Village Labuan Badas District Sumbawa Regency done
by Enabling steps through the pattern of community development based on
community activities, potential, and uniqueness of the location and community
involvement as a subject, then Empowering through the access opening and forge
partnerships with key stakeholders, and the last Protecting through participation in
festivals and fairs as well as the fulfilment of raw material and supporting equipment.
Referring to the results of the discussion, the authors suggest that to maintain public
participation in PNPM Mandiri Pariwisata needed figures through tourism community
such as tourism awareness group (Pokdarwis), whereas in order to enhance
community participation, the pattern of development activities conducted through
community-based tourism (CBT) .
Keywords: Public Participation, Community Development, PNPM Mandiri Pariwisata

INTRODUCTION
After now, the government has made changing to empowerment community
through the National Program For Empowerment Community (PNPM). One of the
function of this program is making tourism sector as tools as usually for empowerment
and poverty reduction. The presence of PNPM Mandiri Pariwisata answer tourism

1
90 Asisten Lecturer Governance Institute Of Home Affairs / elviranalien@gmail.com
91 Student at Governance Institute of Home Affairs (IPDN) / binth13.br@gmail.com
92 Student at Governance Institute of Home Affairs (IPDN) / rindranata@gmail.com

210 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
development paradigm shift that puts the public as an object into a society that has a
role as agents of development. In this regard, the involvement and active participation
of the community can be used as the basic capital and the dominant factor for the
survival of an empowerment program and can also be used as a measurement of
whether the development has been executed in accordance with the needs of the
community.
The implementation of PNPM Mandiri Pariwisata in Sumbawa has existed
since 2011 in 2 (two) village where the beneficiaries of activities, namely the village
of Karang Dima and the village of Poto, then increased in 2 (two) villages in the Year
2013 Labuhan Mapin Village and Labuhan Aji Village. The implementation of the
PNPM Mandiri Pariwisata in Karang Dima Village considered successful. It can be
seen from the assistance received, if the village had helped to phase 3 or the last
stage, the village is considered to realize the help of PNPM Mandiri Tourism and has
progress in the development of activities. Moreover, Karang Dima has a more diverse
travel categories namely cultural tourism and nautical tourism so it is interesting to
study the form of community participation in the activities of PNPM Mandiri Pariwisata.
Therefore, this study has the objective to analyze the strategies of community
participation and increasing participation in the implementation of PNPM Mandiri
Pariwisata in Karang Dima Village, Labuhan Badas, District of Sumbawa .

REVIEW OF LITERATURE
a. Community Participation
Community participation can be interpreted as participation, engagement, and
gathering community members in a particular activity, either directly or indirectly.
It is inevitable that public participation is an indispensable and important role in
throughout the implementation of rural development. Community is an important
factor for development in every field, because society is at once subject and target
of development in all fields, so that public participation should be increased.
According to Kaho in Septiani Soemarno and Purwadio (2010) describes the
forms of community participation in development occurs in four stages, namely:
participation in planning, participation in the implementation, participation in the
utilization of, and participation in the evaluation.
b. Community Empowerment
A conceptual understanding of empowerment according to Priyono and Pranarka
(1996:3) contains two meanings, “give power or authority to” (means giving power

211 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
or delegate authority to the community, so that people have the independence in
the decision to build hisself and its independent environment) and “the to give
ability or enable (it means improving the ability of the community through the
implementation of various development programs, so that people's living
conditions reach the level of proficiency expected).
Therefore, empowerment is a tool of the entire development community and a
movement to gather strength and ability of the community and their environment
(Prasojo, 2004: 71). Therefore, efforts to empower communities by Kartasasmita
(1996:159) must be carried out through three channels, namely: Create an
atmosphere or climate that allows the potential for developing societies (enabling),
Strengthening the potential power of the communities (empowering), and
Empower also contain meaning protecting.
c. PNPM Mandiri Pariwisata
PNPM Mandiri Pariwisata is actuating of PNPM Mandiri with other programs like
development and community capacity building and supporting infrastructure for
developing economic activities of the community while reducing poverty through
tourism sector. Based on Michael (2007:10) can be seen in the figure below:

Picture Tourism Development Filosophy and Poverty Reduction

Source: Michael (2007:10)

PNPM Mandiri Pariwisata activities focused on development of target areas that


linked function and impact with elements of tourist attraction like nature resources,
culture, and the result of man-made as well as the facilities of tourism business
and creative industries.

d. Strategies for Community Empowerment in PNPM Mandiri Pariwisata


The strategy used in this program are focused on empowerment cluster for certain
tourism. Approach cluster describes the geographic concentration and functional

212 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
integration of the components interlinked businesses in a particular field of
development.
The main aspects of the development concept based cluster is the geographical
proximity of fields related business that synergistically work together in improving
the competitiveness of products and businesses. In the context of tourism
development, concept development based cluster can be adopted to support and
enhance the competitiveness and the distribution of the benefits of the
development of a tourist attraction or bags of tourism on the relevant area or its
buffer. Therefore the model cluster (cluster) used can be seen in the figure below:

Picture Cluster Model Tourism Industry – Karang Dima Village

Source: Karang Dima Tourism Village Profile, 2013 (processed)

RESEARCH METHODS
The methods used is descriptive method with qualitative approach. The
analysis unit or units observation in this study is the community groups PNPM Mandiri
Pariwisata in Karang Dima Vllage, Labuhan Badas District of Sumbawa. While the
determination of key informants as a resource in this study were selected intentionally
or by using sampling techniques that aim (purposive) that consists of the Village Head,
District Technical Team of PNPM Mandiri Pariwisata, Village Facilitators, Chairman
of the Institute for Self-Reliance Society, Chairman of the Group of Governmental,
Village Head Pamulung, and Head of Tanjung Pengamas. Data collection is in-depth
interviews, study the documentation, and observation. Data analysis method used
was data reduction, a data display (presentation of data), and conclusion drawing
(picture conclusions). While the analysis used to reach the goal are as follows:

213 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
a. Community participation role in PNPM Mandiri Tourism is the participation of
people actively involved in every process of the activities performed in PNPM
Mandiri Tourism;
b. Public participation can be seen through several stages, namely:
1) Participation in decision-making (planning), the participation of people to take
part in determining what will be done;
2) Participation in the implementation, the role of the community to participate for
contributing to tangible effort, money, material goods, or information that is
useful for implementation of the program;
3) Participation in the use, benefit socially acceptable that material benefits,
benefits, social and personal benefits;
4) Participation in the evaluation, as well as the role of the public to judge for
themselves the results that have been implemented.
c. The strategy for improving participation in PNPM Mandiri Tourism is the steps
taken to encourage public awareness in order to play an active role in the activities
of PNPM Mandiri Tourism through community empowerment.

RESULT AND DISCUSSION


Participation of Civil Society in the Implementation of the PNPM Mandiri
Pariwisata in Karang Dima Village District Labuhan Badas
a) Participation in planning
The existence of PNPM Mandiri Tourism Karang Dima Village got positive
response by all levels of community. This is evident with the passage of the
various programs that have been implemented since 2011 until 2013. Of course,
this fact reflects an increase in the development process-oriented society
participation, especially in the planning of the program involve them at every
conference / meeting to discuss the program.
Community involvement can already be seen from the initial cycle activities
PNPM Mandiri Pariwisata like socialization. In the stages of socialization to the
village where the recipient PNPM Mandiri Tourism, is given a detailed description
of the program in question. Through this socialization is expected that every actor
involved the activities of PNPM Mandiri Tourism, stakeholders, and the public
support for the tourist village gain knowledge and information in accordance with
the general guidelines of PNPM Mandiri Tourism through the Tourism Village and
Operational Technical Guidelines Help Tourism Village.

214 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
After going through the socialization, further community involvement in
PNPM Mandiri Tourism can be seen from its participation in the discussion. The
next, the District Technical Team and Village Facilitators determine the medium-
term program is planned to develop the receiving country PNPM Mandiri
Tourism. In the discussion, there are some things produced include:
1. the establishment of an MFI which is expected to be the driving force
of community participation in supporting activities that are part of the
implementation of the PNPM Mandiri Tourism;
2. reviewing RPJMDes, because Karang Dima as a recipient PNPM
Mandiri Tourism has had RPJMDes but have not loaded the tourism
program. Therefore, in the activities of discussion, the addition of the
tourism program in the existing RPJMDes;
3. Determination of priority activities undertaken by the community based
on the results of meetings / rembug with RPJMDes based and is
outlined in the Proposed Activities (RUK) group as in the table below:

Table Activities Priority of PNPM Mandiri Pariwisata 2013

Proposed Budget
Name of Communities
No. Activities PNPM Mandiri
Group Budget
Pariwisata
1 Gita Samawa Sanggar seni Rp 20.000.000,- Rp 1.000.000,-
2 Saling Sayang Sanggar seni Rp 11.000.000,- Rp 1.500.000,-
3 Goa jaya Kuliner dan Bahari Rp 35.000.000,- Rp 5.000.000,-
4 Maris Gama Tenun tradisional Rp 10.000.000,- Rp 1.000.000,-
Jumlah Rp 76.000.000,- Rp 8.500.000,-
Source: Karang Dima Tourism Village Profile, 2013 (processed)

4. The establishment of beneficiaries by the community in accordance with


the results of consultation / deliberation residents and is known by the
competent authority in this regard by the village chief to accept and carry
out the activities. based on existing data in the field, it is known there are
some beneficiary groups formed by the community in accordance with the
results of consultation / deliberation residents as follows:

215 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Table Kelompok Penerima Manfaat PNPM Mandiri Pariwisata Tahun 2013
Anggota
No. Nama Kelompok Kegiatan
Laki-laki Perempuan
1 Gita Samawa Sanggar seni 6 3
2 Saling Sayang Sanggar seni 3 5
3 Goa jaya Kuliner dan Bahari 5 2
4 Maris Gama Tenun tradisional 1 6
Jumlah 15 16
Source: Karang Dima Tourism Village Profile, 2013 (processed)

b) Participation in the implementation carried out by the beneficiary


communities
PNPM Mandiri Tourism according to RUK (Rencana Usaha Kegiatan /
Activities Business Plan) previously created as described in the table below:

Table Activities Business Plan


Kelompok Penerima Manfaat PNPM Mandiri Pariwisata Tahun 2013
Nama
No. Kegiatan Usulan Kegiatan
Kelompok
a. Pengadaan alat musik tradisional;
1 Gita Samawa Sanggar seni b. Pengadaan pakaian adat kebutuhan
sanggar;
a. Pengadaan alat kesenian sanggar;
2 Saling Sayang Sanggar seni b. Pelatihan kesenian musik dan tari
tradisional;
a. Pengadaan alat bakar ikan;
3 Goa jaya Kuliner dan Bahari
b. Pengadaan alat kebersihan;
4 Maris Gama Tenun tradisional a. Pengadaan alat tenun;
Source: Karang Dima Tourism Village Profile, 2013 (processed)

c) Participation in utilization
It was shown that the use of BDW in Karang Dima Village used for the
improvement of society, the provision of facilities and infrastructure to support
tourism, a growing appreciation of traditional cultural arts, and Operating Costs
Program (BOP).

d) Participation in the evaluation


The public is given the opportunity to judge for themselves the results
already obtained in the activities of PNPM Mandiri Pariwisata. The participation of
evaluation for knowing that action of PNPM Mandiri Pariwisata as run as well
based on the mechanism, procedur and planning. The evaluation in PNPM

216 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Mandiri Pariwisata is doing from the under level until the high level, started from
communities until Ministry of Tourism an Creative Economy. Participation model
on evaluation have start from monitoring, supervision and evaluation.

Strategy of Increased Community Participation in the Implementation of the


PNPM Mandiri Pariwisata in Karang Dima Village, Labuhan Badas District of
Sumbawa
a) Create atmosphere or climate That Allow Potential Development (Enabling)
The pattern of development activities of PNPM Mandiri Tourism which was
held in the village of Karang Dima District of Labuhan Badas done by providing
assistance to community groups as the embryo of tourism development. So that
in the future each of these embryos will be integrated together in shaping and
creating a tourist attraction through activities that are tailored to local community
activities as well as based on the potential and uniqueness locations owned (either
cultural tourism or maritime travel).
Therefore, since the beginning of the community serve as subjects not
become the object. Community involvement can be seen through their active
participation in implementing the PNPM Mandiri Tourism activity cycle from
planning, managing, and employ yourself. With the hope that the implementation
of these activities are done from the community, by the community, and to society.
So that people can feel the direct benefits from these activities, even allowing for
creating new jobs for the poor. As an example of some of the weaving industry
and handicrafts, they need workers to assist in operational activities. While other
examples are the activities of art galleries which receive assistance art equipment
and custom clothing (costume perform) so that they can be free to perform and
more productive in generating new works. In addition, other benefits earned by
poor people who have the potential in the field of tourism, they can employ
themselves more viable when it has received aid as well as having alternative
livelihoods that support the promotion of their welfare.

b) Strengthen Potential Or Southwestern Owned Communities (Empowering)


The strategy used is through the access opening (link) into various
opportunities (opportunities) that will make people become more and more
powerless. Access opening is not only limited in terms of marketing the products
of the activities, publications, as well as the promotion of tourist attraction through

217 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
the involvement of business actors of tourism, but also has partnerships
established with key stakeholders who have contributed to the development of
tourism activities such as government central and local stimulant that funding from
other sources may go into the village so that it can be used for coaching, training,
and development activities that already exist.
In addition, no less important is how to improve the quality of human
resources so as to competitiveness. One step is to develop its productive capacity
through various training activities and debriefing, especially for groups engaged
in activities of a dance studio and manufacture of traditional weaving. The
activities training and development intended, in addition to increasing the capacity
of human resources but also to regenerate well as the recruitment of new
personnel dipersiapan for the sustainability of the activities carried out in the
future.

c) Empower In Meaning Protect (Protecting)


The success in increasing revenue will be affected by business activities
that can be developed and market conditions that support it. One step taken today
is by cooperating with the local government to jointly introduce the products of
activities to include the activities of festivals and fairs. In addition, the continued
sustainability of the activities that already exist can be supported by the fulfillment
of the availability of raw materials and ancillary equipment, with the hope when
help is not there then the public will still be able to continue activities already
underway before.

CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS


1. Conclusions
Based on the analysis of community participation as well as strategies for
improving public participation in PNPM Mandiri Tourism above it can be
concluded, as follows:
a) Public participation in the implementation of PNPM Mandiri Tourism in the
village of Karang Dima Labuhan Badas District of Sumbawa. Public participation
in general can be considered good, in which:
- Participation in Planning, community involvement has seen since the
eginning, starting from socialization activities, discussion / deliberation

218 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
residents, prioritization of activities, even to the formation of groups of
beneficiaries PNPM Mandiri Tourism so that in the end people took part in
determining what will be done;
- Participation in Implementing, people directly involved to carry out activities
that are tailored to community activities and in accordance with the priority
activities both in the form of physical activity and non-physical. The form of
physical activity such as procurement of equipment arts, procurement of
equipment and materials weaving, as well as equipment procurement grilled
fish, while the non-physical forms of activities are training and debriefing;
- Participation In use, since the beginning of the community involved as
subjects of activities so that people can feel the immediate benefit of PNPM
Mandiri Tourism both economic benefits from additional sources of income,
benefits productive with their new jobs, as well as personal benefits with an
increased ability to source human resources;
- Participation in evaluation, community involvement in the evaluation carried
out in stages from monitoring to see the extent of activity, continues with
supervision to determine the use of the budget and prevent the occurrence of
irregularities, and the final evaluation to assess performance of the
implementation of activities;

b) The strategy for improving public participation in the implementation of PNPM


Mandiri Tourism in the village of Karang Dima Labuhan Badas District of
Sumbawa done with the following steps:
- Create an atmosphere or climate which allows the potential for developing
(Enabling), through a pattern of development activities that are tailored to the
activity of local communities and based on the potential and uniqueness of the
location of either cultural tourism or maritime culture, as well as community
involvement as a subject in a cycle of activities that could provide benefits
directly to the public;
- Strengthening the potential of power or the communities (Empowering),
through the access opening marketing, publicity and promotion by involving
the actors of tourism businesses and establish partnerships with key
stakeholders such as central and local government to get funding other
stimulants. Besides that, an additional step is to improve the quality of human

219 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
resources as well as the process of regeneration through training and
development activities.
- Empower in the sense of protecting (Protecting), through participation in the
activities of festivals and fairs, as well as to the sustainability of existing
activities can be supported by fulfillment of the availability of raw materials and
supporting equipment.

2. Recommendations
Departing from the above conclusion, the authors propose some suggestions in
research related to public participation in the implementation of PNPM Mandiri
Tourism as follows:
a) Successful implementation of PNPM Mandiri Tourism can not be separated
from the involvement and participation of the community as the subject of
activity. Therefore, to maintain the conditions that have been created now
required driving character. This driving character has a very big role in
mobilizing public participation in the tourism community such example is
aware group travel (Pokdarwis). Figures mover will invite the public to the field
of tourism because it has a very high proximity with the public so that it can
easily map the following tourism potential problems that may arise. Figures
movers also be representative of the wider community to outsiders especially
important stakeholders such as the tourism business actors that will be used
as working partners, local authorities and central government.
b) In order to increase the degree of public participation, the pattern of
development of strategies that can be used in the future is through a group of
local people engaged in the tourism or the so-called community-based tourism
(CBT).

BIBLIOGRAPHY
Hall, Michael. 2007. Pro-poor Tourism: Who Benefits? Perspectives on Tourism and
Poverty Reduction. Canada: Channel View Publications.
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.
Onny, S Priyono, dan AMW Pranarka. 1996. Pemberdayaan; Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and Interenasional Studies.

220 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Prasojo, Eko. 2004. People and Society Empowerment. Perspektif Membangun
Partisipasi Publik. Malang: Jurnal Ilmiah Administrasi Publik FIA Brawijaya.
Profil Desa Wisata Desa Karang Dima Tahun 2013.
Septiani, Melly., Soemarno, Ispurwono., & Purwadio, Heru. 2010. Peningkatan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan (Studi Kasus
Kelurahan Tlogomas Kecamatan Lowokwaru Kota Malang), Makalah yang
disajikan pada Seminar Nasional Perumahan Pemukiman dalam
Pembangunan Kota 2010. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

221 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KAJIAN PENGUATAN PROFESIONALISME
SEKERTARIAT DPRD
Lukman M Fauzi93 dan Samugyo Ibnu Redjo94

ABSTRAK
Keberadaan Sekretariat DPRD yang sangat kritis dan penting serta pengaruhnya
yang signifikan terhadap fasilitasi pelaksanaan fungsi DPRD menjadikannya perlu
untuk dirumuskan dalam karakteristik ideal dari Sekretariat DPRD. Model ideal ini
pada gilirannya diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas dari Sekretariat
DPRD dan diharapkan dapat mempermudah dalam pencapaiannya. Profesionalisme
sebagai refleksi dari cerminan kemampuan, keahlian akan dapat berjalan efelctif
apabila didukung oleh adanya kesesuaian antara tingkat pengetahuan atas dasar
latar belakang pendidikan dengan beban kerja pegawai yang menjadi tanggung
jawabnya. Dalam penelitian ini digunakan metdode deskritif pendekatan Kualitatif,
dimana data dengan purposive dengan metode wawacara, observasi dan kajian,
adapun rumusan yang dibuat meihat Bagaimana Profesionalisme Sekwan Kota
Bandungm Hambatan serta upaya –upaya yang dalam profesionalisme sekwab kota
Bandung untuk mendukung Kinerja DPRD
Kata kunci : profesionalisme, DPRD

PENDAHULUAN
Profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang
yang professional (Longman dalam siagian). “Profesionalisme” adalah sebutan yang
mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu
profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya.
Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap
mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional
melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa
memberikan makna profesional.
Profesionalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau suatu
rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu “profesi”.
Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk
keuntungan atau sebagai sumber penghidupan. Disamping istilah profesionalisme,
ada istilah yaitu profesi. Profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan” atau “job” kita
sehari-hari. Tetapi dalam kata profession yang berasal dari perbendaharaan Angglo
Saxon tidak hanya terkandung pengertian “pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan
tidak hanya pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi
dalam arti “profession” terpaku juga suatu “panggilan”.

93 Dosen Biasa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unjani / lukmanulhakim.unjani@gmail.com


94 Guru Besar FISIP Unpad dan Dosen Luar Biasa FISIP Unikom / samugyo.ir@gmail.com

222 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dengan begitu, maka arti “profession” mengandung dua unsur. Pertama unsur
keahlian dan kedua unsur panggilan. Sehingga seorang “profesional” harus
memadukan dalam diri pribadinya kecakapan teknik yang diperlukan untuk
menjalankan pekerjaannya, dan juga kematangan etik. Penguasaan teknik saja tidak
membuat seseorang menjadi “profesional”. Kedua-duanya harus menyatu.
Pertama ialah bahwa manusia-manusia profesional tidak dapat di golongkan
sebagai kelompok “kapitalis” atau kelompok “kaum buruh”. Juga tidak dapat
dimasukkan sebagai kelompok “administrator” atau “birokrat”.
Kedua ialah : bahwa manusia-manusia profesional merupakan suatu
kelompok tersendiri, yang bertugas memutarkan roda perusahaan, dengan suatu
leadershipstatus. Jelasnya mereka merupakan lapisan kepemimpinan dalam
memutarkan roda perusahaan itu. Kepemimpinan di segala tingkat, mulai dari atasan,
melalui yang menengah sampai ke bawah.
Profesionalisme sekwan merupakan suatu proses yang tidak dapat di tahan-
tahan dalam perkembangan dunia perusahaan modern dewasa ini. Parson tidak tahu
arah lanjut proses profesionalisasi itu nantinya, tapi menurutnya, bahwa keseluruhan
kompleks profesionalisme itu tidak hanya tampil kedepan sebagai sesuatu yang
terkemuka, melainkan juga sudah mulai mendominasi situasi sekarang.
Dalam perkembangannya perlu diingat, bahwa profesionalisme mengandung
dua unsur, yaitu unsur keahlian dan unsur panggilan, unsur kecakapan teknik dan
kematangan etik, unsur akal dan unsur moral. Dan kedua-duanya itulah merupakan
kebulatan unsur kepemimpinan. Dengan demikian, jika berbicara Tentang
profesionalisme tidak dapat kita lepaskan dari masalah kepemimpinan dalam arti
yang luas.

KONSEP PROFESIONALISME
Profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang
yang professional (Longman dalam siagian 1998). “Profesionalisme” adalah sebutan
yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu
profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya.
Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap
mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional
melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa
memberikan makna profesional.

223 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Untuk itu menurut Mertin Jr (dalam Islamy, 1998:25-26), karakteristik/ ciri-ciri
sosok profesionalisme aparatur sesuai dengan tuntutan good governance,
diantaranya, meliputi :
1. Equality : Perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal ini
didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional yang secara
konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua
pihak tanpa memandang afilisasi politik, status sosial dan
sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik
dengan berlaku jujur.
2. Equity : Perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup. Selain itu
juga perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik
kadang-kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang
sama. (misalnya menghapus diskriminasi pekerjaan, sekolah,
perumahan dan sebagainya) dan kadang-kadang pula diperlukan
perlakuan yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu
(pemberian kredit tanpa bunga kepada pengusaha lemah dsb).
3. Loyalty : Kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan
dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama
lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu
jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya.
4. Accountability : Setiap aparat pemerintah harus siap menerima tanggung
jawab atas apaun yang ia kerjakan dan harus menghindarkan diri
dari sindroma “saya sekedar melaksanakan perintah atasan”.
Peningkatan kreativitas kerja dan profesionalisme hanya mungkin terjadi
apabila; pertama, terdapat iklim yang mendorong aparatur untuk mencari ide baru
dan konsep baru serta menerapkannya secara inovatif; kedua, terdapat kesediaan
pimpinan untuk memberdayakan bawahannya, antara lain melalui partisipasi
bawahan untuk mengambil keputusan yang menyangkut pekerjaannya, mutu hasil
pelaksanaan tugasnya, kariernya dan cara-cara yang dianggapnya paling efektif
dalam menyelesaikan permasalahan di tempat pekerjaan
Upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan secara benar
(good-governance) dan bersih (clean-government) termasuk didalamnya
penyelenggaraan pelayanan publik memerlukan unsur-unsur mendasar antara lain
adalah unsur profesionalisme dari pelaku dan penyelenggara pemerintahan dan
pelayanan publik.

224 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dari konsep profesional diatas tersebut melahirkan arti profesional quality,
status, etc yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang
diduduki oleh orang orang yang memilki kemampuan tertentu pula dari keterangan
tersebut bahwa kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi
(bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement),
merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien,
inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi terdapat banyak pandangan lain
didalam profesionalisme terdapat keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga
terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang
mudah dipahami dan diikuti oleh pemangku kepentingan.
Dalam kenyataanya pula tentang pengukuran profesionalisme sebagai berikut
: Kemampuan beradaptasi, kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena
global dan fenomena nasional. Mengacu kepada misi dan nilai (mission & values-
driven professionalism), birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan
kepada publik dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada
hasil yang ingin dicapai organisasi.
Dalam pandangan Tjokrowinoto (dalam islamy 1996:190) birokrasi dapat
dikatakan profesional atau tidak, diukur melalui kompetensi sebagai berikut:
a. Profesionalisme yang Wirausaha (Entrepreneurial-Profesionalism).
Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional, keberanian mengambil risiko dalam
memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari
kegiatan yang berproduktifitas rendah ke produktifitas tinggi yang terbuka dan
memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja dan peningkatan
pendapatan nasional.
b. Profesionalisme yang Mengacu Kepada Misi Organisasi (Missiondriven
Profesionalism).
Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah langkah yang perlu
dan mengacu kepada misi yang ingin dicapai (missiondriven professionalism),
dan tidak semata mata mengacu kepada peraturan yang berlaku (rule-driven
professionalism).
c. Profesionalisme Pemberdayaan (Empowering-Profesionalism).
Kemampuan ini diperlukan untuk aparatur pelaksana atau jajaran bawah
(grassroots) yang berfungsi untuk memberikan pelayanan publik (service
provider). Profesionalisme yang dibutuhkan dalam hal ini adalah

225 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
profesionalisme-pemberdayaan (empoweringprefesionalism) yang sangat
berkaitan dengan gaya pembangunan.

PEMBAHASAN
Profesionalitas Sekwan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan
sekretariat dewan untuk menguatkan hasil kerja serta hubungannya dengan
organisasi,. Kesedian pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi
adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi
dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya
keamanan dan kepuasan didalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja
Salah satu faktor yang mempengaruhi loyalitas Sekwan sekretariat dewan
adalah kepuasan kerja. Dan loyalitas Sekwan atau kesetiaan sebenarnya tidak hanya
berarti cukup lama bekerja disuatu perusahaan, misalnya sekian puluh tahun. Loyal
harus diartikan pula mampu menjaga nama baik atau citra perusahaan dimana
seseorang bekerja.
Loyalitas Sekwan merupakan keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan atau disebut dengan komitmen organisasi. Disamping
itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari
sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen
organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi
secara aktif.
Loyalitas Sekwan merupakan suatu kondisi sikap mental untuk tetap
memegang teguh kesetiaan baik kepada perusahaan, atasan, maupun rekan sekerja.
Loyalitas Sekwan wajib dipertahankan namun dengan tidak melupakan prinsip dasar
bahwa loyalitas Sekwan tertinggi harus didedikasikan pada hal-hal yang diyakini
sebagai kebenaran. Dalam suatu perusahaan atau organisasi seorang sekretariat
dewan diharapkan mempunyai sikap loyalitas Sekwan yang tinggi sehingga
efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan perusahaan akan tercapai dengan baik.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pofesionalitas Sekwan kerja
sekretariat dewan antara lain persepsi terhadap lingkungan kerja dan kompensasi.
Adanya persepsi sekretariat dewan terhadap lingkungan kerja dan kompensasi yang
sesuai diharapkan sekretariat dewan dapat bekerja sesuai rencana dan tujuan
organisasi, sehingga dengan adanya faktor tersebut diharapkan sekretariat dewan
lebih optimal dalam bekerja.

226 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Seperti diungkapkan Mowday dan Steers (1979), komitmen merupakan
loyalitas Sekwan sekretariat dewan terhadap suatu unit sosial yang bisa berupa
loyalitas Sekwan sekretariat dewan terhadap perusahaan, departemen, atau
terhadap pekerjaan mereka. Sekretariat dewan yang memiliki loyalitas Sekwan tinggi
bersedia bekerja melebihi kondisi biasa, memiliki kebangaan dalam pekerjaan, serta
bersedia menerima berbagai tugas, merasa ada kesamaan nilai dengan perusahaan,
merasa terinspirasi, dan memerhatikan nasib perusahaan secara keseluruhan.
Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan
adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan
kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan
pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam
mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat
dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan
Disamping dalam proses kepemimpinan akuntabilitas (accountability) yaitu
berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai
tugas dan kewenangannya masing-masing. sebuah konsep etika yang dekat dengan
administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif
parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara
lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang
dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) ,yang dapat dipertanyakan
(answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai
ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan
harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau
pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait
dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan
perusahaan-perusahaan setidaknya seorang profesional memiliki tiga watak, yaitu
antaranya :
1. Pekerjaan yang dilakukan seorang profesional itu semata mata untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti.
2. Seorang profesional menjalankan pekerjaannya harus dilandasi oleh kemahiran
teknis yang berkualitas tinggi.
3. Kerja seorang profesional diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral dan
harus menundukan diri pada sebuah kode etik yang dikembangkan dan
disepakati.

227 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Disamping itu harapan profesionalisem sekwan diartikan dengan
profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-
kegiatan kerja tertentu dalam masyarkat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan
berdasarkan rasa keterpanggilan serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut
sebagai bukti keahlian kerja. Keahlian kerja adalah kemampuan kita dalam
menyelesaikan pekerjaan yang kita tangani. Menyelesaikan pekerjaan di sini artinya
pekerjaan yang sudah kita selesaikan sudah membuahkan solusi bagi orang lain yang
membutuhkan kemampuan kita, mampu menghadirkan benefit (manfaat atu
keuantungan) bagi orang lain dan bagi kita yang menjalankan.Realita kehidupan,
keahlian kerja ini merupakan salah satu penyebab pengangguran. Minimnya keahlian
kerja yang kita miliki telah menciptakan jurang pemisah antara kebutuhan pekerjaan
terhadap keahlian tertentu, dan kebutuhan kita terhadap pekerjaan dengan keahlian
yang kita miliki. Beberapa alasan di lapangan mengapa kita perlu meningkatkan
Profesionalisme dan keahlian kerja Sekwan adalah sebagai berikut :

Pengembangan Jaringan Kerja


Pertama, sebagai sarana untuk mengasah kemampuan yang kita miliki. Kita
akan tahu kemampuan kita itu dibawah standar yang dibutuhkan atau justru melebihi
kemampuan orang lain. Dan orang lain di sini sudah barang tentu mereka yang
berada dalam suatu komunitas tertentu dimana kita harus terlibat di dalamnya. Artinya
makin banyak komunitas orang lain yang kita ketahui kita dapat belajar untuk menjadi
orang yang lebih baik lagi dari mereka.
Kedua, cara menyikapi cara Seseorang bisa meraih prestasi
tertentu sampai ke ukuran tertentu bukan disebabkan oleh semata-mata keahlian
yang dimiliki, atau oleh modal yang dimiliki, melainkan juga berkat dukungan
komunitas yang dimasuki. Memangun jaringan merupakan langkah awal yang bisa
mngantarkan kita untuk memasuki komunitas tertentu sesuai dengan jenis level
prestasi yang kita inginkan. Artinya, meningkatkan prestasi itu memerlukan upaya
untuk mengenal orang lain, memasuki komunitas orang lain, atau menjadi bagian dari
lingkungan orang lain yang sesuai dengan bidang atau target prestasi kita.
Ketiga sebagai sumber keajegan kerja . Kita harus ingat bahwa datangnya
perubahan keadaan dan nasib buruk bisa menimpa siapa saja, itu semua berada di
luar jangkauan kita (kehendak Tuhan), yang bisa kita lakukan adalah selalu berusaha
untuk menggandakan bekal, mempersiapkan diri, atau melengkapi diri dengan
kekuatan yang bisa membuat stabilitas keamanan kita terjaga. Pertolongan Tuhan

228 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
disaat kita mngalami kesulitan(ketidakamanan) sering dating melalui tangan orang
lain karena itulah pentingnya kita selalu menambah jaringan atau menambah jumlah
orang yang kita kenal.
Keempat jaringan yang kita bangun jika kita terus menerus upayakan maka
pada akhirnya akan terbentuk pula jaringan-jaringan lain seperti yang dilakukan
dalam bisnis multi level marketing. Artinya bisnis, prestasi, dan reputasi kita bisa
meningkat karena jaringan-jaringan yang terbentuk yang sudah kita rintis
sebelumnya.
Memang terdapat hambatan-hambatan atau masalah yang akan kita temui di
saat kita mengembangakn atau membangun suatu jaringan. Hambatan atau masalah
itu bisa berasal dari dalam maupun dari luar. Masalah atau hambatan dari dalam
seperti sikap kita yang senang atau semangat selalu mengkritik sisi-sisi negative
orang lain hanya untuk mengkritik dan berhenti pada kritik dengan cara mengkritik
semata, apalagi ditambah dengan semangat permusuhan (critical spirit). Ditambah
lagi dengan spirit memberi problem pada orang lain, belum lagi berpikir semua
penting dan tidak penting, budaya konkurensi (memukul, menghalangi keunggulan
orang lain, menjatuhkan dan menjegal), budaya dualistik (menjadikan perbedaan
sebagai materi untuk permusuhan).

Karakter Sekretariat Dewan Profesional


Setiap profesional berpegang pada nilai moral yang mengarahkan
dan mendasari perbuatan luhur. Dalam melakukan tugas profesi, para profesional
harus bertindak objektif, artinya bebas dari rasa malu, sentimen, benci, sikap malas,
dan enggan bertindak.Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki
profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan
khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi)
didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk
membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk
mencari nafkah atau kekayaan materi duniawi. Isitilah profesional itu berlaku untuk
semua personil mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Profesional dapat
diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing.
Peningkatan kreativitas kerja hanya mungkin terjadi apabila; pertama,
terdapat iklim yang mendorong aparatur untuk mencari ide baru dan konsep baru
serta menerapkannya secara inovatif; kedua, terdapat kesediaan pimpinan untuk

229 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberdayakan bawahannya, antara lain melalui partisipasi bawahan untuk
mengambil keputusan yang menyangkut pekerjaannya, mutu hasil pelaksanaan
tugasnya, kariernya dan cara-cara yang dianggapnya paling efektif dalam
menyelesaikan permasalahan di tempat pekerjaan.

Analisis Kinerja Sekertariat Dewan.


Kinerja Sekwan yang baik adalah kinerja yang mengikuti tata cara atau
prosedur sesuai standar yang telah ditetapkan. Akan tetapi didalam kinerja tersebut
harus memiliki beberapa kriteria agar meningkatkan produktifitas sehingga apa yang
diharapkan bisa berjalan sesuai apa yang di inginkan.
Untuk meningkatkan kinerja Sekwan yang baik harus introspeksi diri demi
tercapainya kinerja yang lebih baik kedepannya, bekerja sesuai posisi, porsi, dan
jobnya masing-masing. Naum tidaklah mudah tetapi mesti ada peran langsung ke ikut
sertaan manajemen untuk bisa mengontrol dan memberikan teknik cara agar
bagaimana bisa terjaminnya mutu dan kualitas sehingga karyawan bisa dengan
mudah bekerja tanpa ada rasa terbebenani dan hubungan antara pihak manajemen
dengan bawahan semakin kuat. Tanpa disadari mungkin di setiap kantor/tempat kerja
ada pihak yang mau menang dan benar sendiri, akan tetapi pihak manajemen juga
tidak bisa menyalahi bawahannya. Untuk itulah pihak manajemen terkait mesti turun
langsung kelapangan agar bisa melihat bagaimana menciptakan teknik yang baik
serta meningkatkan loyalitas Sekwan karyawan terhadap kantor dan pekerjaannya
Itulah yang bisa meningkatkan bagaimana efektifitas waktu yang akan
ditempuh dalam satu hari bekerja sehingga meningkatkan mutu efisiensi waktu dalam
bekerja dan manajemen harus bisa menciptakan metode bekerja dengan baik dan
bawahan merasa nyaman dalam metode yang ditemukan tersebut.Tidak dapat
dipungkiri jika salah saja metode pada pihak manajemen maka akan berdampak pada
kinerja bawahan sehingga bawahan akan trus selalu mengikuti metode yang telah
diberikan oleh atasan.

KESIMPULAN
Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan
sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya
dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai
kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan
(thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat

230 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dicapai oleh seseoarng atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan
perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan
moral atau etika.
Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan
dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan,
kemampuan dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut model partner-lawyer
kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor; (a) harapan mengenai
imbalan; (b) dorongan; (c) kemampuan; kebutuhan dan sifat; (d) persepsi terhadap
tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan
kepuasan kerja. Dengan demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal,
yaitu: (1) kemampuan, (2) keinginan dan (3) lingkungan.
Oleh karena itu, agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang sekwan harus
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui
pekerjaannya. Tanpa mengetahui ketiga faktor ini kinerja yang baik tidak akan
tercapai. Dengan kata lain, kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian
antara pekerjaan dan kemampuan. Kinerja individu dipengaruhi oleh kepuasan kerja.
Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap pekerjaannya.
Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya
secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. Rucky, 2001; Sistem Manajemen Kinerja, Performance Management
System, Panduan Praktis Untuk Merancang Kinerja Prima, Cetakan Pertama,
PT. Gramedia Pustaka. Utama Jakarta.
Alfian, 1990, Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD 1945,
dalam Jumal Ilmu Politik, Nomor 7, AIPI,LIPI, dan PT. Gramedia, Jakarta.
Blau, M. Peter dan Marshall W.Meyer. 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modem,
Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambon, 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik
Indonesia. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Islamy, Irfan M. ; 2003; Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara; Diterbitkan
PT. Bumi Aksara Jakarta.

231 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
James C. Craig Robert M. Grant; 2002 Strategic Management (Manajemen; Strategi
Sumber Daya, Perencanaan, Efisiensi, Biaya-sasaran, Cetakan ke tiga PT.
Gramedia Jakarta..
Moenir, H.A.S. 2000; Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan ke empat,
diterbitkan oleh PT. Bumi Aksara Jakarta.
Siagian, Sondang. 2002. Manajemen SDM. Jakarta: Bumi Aksara.
----------------------, 1998; Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Bumi Aksara
Yogyakarta.
Tjiptono, Fandy. 2000; Prinsip-prinsip Quality Service (TQS) Penerbit Andi, Cetakan
Pertama Yogyakarta.

232 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
PENGEMBANGAN INDUSTRI MEDIA DIGITAL
(Kajian di Jawa Barat, Indonesia)
Machroni Kusuma95, Diah Fatma Sjoraida96 dan Rully Khairul Anwar97

ABSTRAK
Kajian ini menelusuri upaya pemerintah dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan
dalam pengembangan industri masyarakat yang dilakukan secara media digital.
Pemerintah di sini bertujuan untuk mengajak dan memberi model penumbuhan
ekonomi, termasuk dalam bidang usaha mikro, kecil, dan menengah. Hal ini dapat
menjadi potensi yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara
berkelanjutan. Pertanyaan muncul mengenai bagaimana formulasi pengembangan
masyarakat (community development) berbasis industri media digital pada
pemerintah Jawa Barat. Dengan formulasi itu, dipersoalkan apakah pemerintah dapat
membawa masyarakat pada industri media digital sehingga dapat menumbuhkan
ekonomi kreatif masyarakat, bagaimana proses yang terjadi dalam perumusan
formula kebijakan tersebut, dan pertanyaan sejenisnya. Dengan metode deskriptif
dan kualitatif, kajian ini mendapatkan bahwa pemerintah memformulasikan kebijakan
yang sangat mendukung pengembangan industri media digital, demikian juga
sebagian masyarakat sudah merespons secara positif atas kebijakan pemerintah
yang telah menyahuti perkembangan teknologi mutakhir dalam bidang usaha, hanya
saja masih terdapat kendala-kendala teknis yang harus terus disempurnakan dalam
pelaksanaan industri media digital masyarakat.
Kata Kunci: Kebijakan Publik, Wirausaha, Jawa Barat, Bisnis Online

ABSTRACT
This study explores the government's efforts in formulating policies in the industrial
development of local communities of digital media. The government here aims to
encourage and provide a model of economic growth, including in the field of micro,
small, and medium enterprises. This can be a potential that can provide for the public
welfare in a sustainable manner. The question arises as to how the formulation of
community development based on digital media industry in West Java Government.
It is also questioned whether the government can bring people to the digital media
industry in order to foster creative economy society, how processes that occur in the
formulation of the policy, and the like. With descriptive and qualitative approach, this
study found that the government formulates policies that strongly support the
development of the digital media industry, as well as some people had responded
positively to the government's policy in the cutting-edge technology in the fields of
business. Only that there are still technical obstacles should be continued to be
refined in the implementation of the digital media industry community.
Keywords: Public Policy, Entrepreneurship, West Java, Online Business

95 FISIP Unpad / machronikusuma@gmail.com


96 FISIP, Unpad / diah.fatma@unpad.ac.id,
97 FISIP, Unpad / rully.khairul@unpad.ac.id

233 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan sehingga
pertumbuhan ekonomi dapat terus menanjak. Dalam hal pertumbuhan ekonomi,
persentase itu sudah naik, yaitu hingga 6,4% pada tahun 2011. Situasi kemiskinan
juga sudah mulai menurun. Demikian kabar baiknya. Namun, pada tahun 2010,
kemiskinan masih ada pada 31 juta orang (13,5% dari total penduduk). Kabar
buruknya ialah bahwa 60% dari kemiskinan ada di daerah pedesaan (Prihartono,
2012).
Oleh karena itu, semua potensi pengembangan harus dikerahkan untuk
memerangi kemiskinan. Pemerintah dalam hal ini telah mengalami berbagai cara
untuk mendorong dan menyediakan model pertumbuhan ekonomi, termasuk di
bidang mikro, kecil, dan menengah. Di antaranya ialah industri media digital. Dengan
media digital, penduduk pedesaan dapat melakukan transaksi di dunia internet, yang
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memerangi kemiskinan pada waktu
yang sama.
Dari segi pembangunan daerah, Jawa Barat memiliki potensi pembangunan
yang dapat dikembangkan menjadi potensi yang dapat memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat. Potensi Jawa Barat yang demikian kaya dengan sumber daya alam
dan manusia menjadi menarik karena potensi-potensi tersebut masih perlu digali dan
dikembangkan secara optimal sehingga mampu memberikan manfaat yang maksimal
untuk kesejahteraan rakyat.
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun
atau lebih. Mereka terdiri dari "Angkatan Kerja" dan "Bukan Angkatan Kerja". Proporsi
penduduk yang tergolong "Angkatan Kerja" ialah mereka yang aktif dalam kegiatan
ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi
penduduk yang masuk dalam pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan
jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja.
Penduduk Jawa Barat berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2014 mencapai
33,47 juta orang. Jumlah angkatan kerja sebanyak 21 juta orang, dimana 19,23 juta
orang diantaranya bekerja di berbagai sektor usaha, sedangkan sisanya 1,78
jutatidak bekerja atau penganggur. Jumlah tersebut menjadikan angka tingkat
pengangguran terbuka menjadi 8,45%. Penduduk usia produktif (15-64 tahun)
mencapai 31 juta orang, dan usia nonproduktif sebanyak 15 juta menjadikan angka
dependency ratio atau rasio ketergantungan menjadi 48,4, yang artinya dalam 100

234 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
orang usia produktif menanggung 48 orang usia nonproduktif. Nilai ini menunjukkan
bahwa Jawa Barat telah memasuki periode bonus demografi dimana 1 orang usia
nonproduktif ditanggung oleh setidaknya 2 orang usia produktif.
Perekonomian Jawa Barat diperkirakan digerakkan oleh setidaknya 19,23 juta
orang pekerja. Mereka bekerja diberbagai lapangan usaha yang ada. Sebagian besar
atau 25,6 % di sektor perdagangan, diikuti oleh sektor manufaktur sebesar 20,3%,
dan sektor pertanian 19,9%. Masalah-masalah yang sedang dan akan menghadapi
ialah tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi terutama disebabkan oleh
urbanisasi dan pendatang baru. Masih banyak kemacetan lalu lintas di jalan protokol
menuju pusat kota.
Selain itu, sebagai daerah industri dan masalah polusi volume limbah cair
yang sangat tinggi. Masalah ini ialahekses dari Kota dan Kabupaten Bandung yang
kemudian untuk menangani masalah ini harus lakukan secara bersama-sama.
Potensi yang dapat timbul dari berbagai profesi yang berkembang. Sumber
mata pencaharian penduduk saat ini telah menjadi semakin kompleks. Hal ini dapat
member kesempatan kerja, sehingga tidak hanya pertanian, perdagangan, kantor-
kantor pemerintah, tetapi ada juga area bisnis, terutama bidang ekonomi kreatif.
Berbagai profesi dalam masyarakat merupakan bagian penting yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan potensi kreatif dan peluang masyarakat.
Masalah pengangguran dan kemiskinan masih tinggi di masyarakat karena mereka
masalah akut yang harus diatasi. Di sinilah perlunya kreativitas untuk
mengembangkan berbagai potensi untuk membuat orang lebih sejahtera.
Oleh karena itu, isu pengembangan masyarakat melalui media digital menjadi
fenomena menarik untuk dilirik. Pengembangan masyarakat secara alami memiliki
kegunaan untuk diorientasikanpada kesejahteraan. Isu globalisasi dalam berbagai
aspek, masalah kemiskinan dan pengangguran, masalah kerusakan alam, dan lain-
lain merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, ketika berbagai cara,
termasuk penggunaan teknologi mutakhir, dicari untuk menjadi solusi. Demikian
karena menurut Manning (1994), perbedaan upah dan praktek di pasar tenaga kerja
disebabkan karena penerapan teknologi baru.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya untuk
memberdayakan masyarakat melalui kemampuan dan potensi masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini, masyarakat bisa memilih hasil-hasil pembangunan. Pengembangan

235 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
masyarakat kadang-kadang dipandang sebagai kebalikan dari pendekatan
pembangunan top-down bahwa segala sesuatu ditentukan dari luar atas ke bawah.
Dalam pendekatan pengembangan masyarakat yang biasanya terbentuk
organisasi masyarakat, ada komponen-komponen berikut Kindervatter (1979: 46):
1) Berorientasi dengan kebutuhan, baik materi dan non-materi.
2) Memanfaatkan keaslian masyarakat setempat, termasuk visi dan misi
masa depan.
3) Independen, yang berarti mendasarkan pada kekuatan dan sumber daya.
4) Ekologis, yang memanfaatkan sumber daya secara rasional dan sungguh-
sungguh.
5) Berdasarkan transformasi struktural, yang berarti perubahan hubungan
sosial, kegiatan ekonomi dan struktur kekuasaan.
Tujuan utama dari organisasi masyarakat ialah pengembangan 'harga diri'
(martabat) dan kepuasan untuk berpartisipasi. Meskipun ada perbedaan pendapat,
tetapi dari kedua istilah itu dapat diambil konsep yang sama, yaitu, suatu proses yang
memfokuskan perhatian pada kegiatan lokal. Berikut ialah beberapa definisi dari
pengembangan masyarakat, termasuk yang dikemukakan oleh Dunham (1971),
yaitu, "pengembangan masyarakat dapat sementara didefinisikan sebagai suatu
proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi kemajuan ekonomi dan sosial bagi
seluruh masyarakat dengan partisipasi aktif dan sepenuhnya tergantung pada inisiatif
masyarakat."
Pernyataan di atas menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat mengacu
pada perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat secara keseluruhan dengan
menggunakan partisipasi aktif dari inisiatif berbasis masyarakat. Bahkan,
pembangunan masyarakat seharusnya tidak hanya mengembangkan potensi
ekonomi masyarakat, tetapi juga pengembangan martabat dan nilai, kepercayaan diri
dan harga diri serta kearifan lokal, sistem nilai budaya. Pemberdayaan sebagai
konsep sosial budaya diimplementasikan dalam pengembangan yang difokuskan
pada orang-orang, bukan hanya untuk tumbuh dan berkembangnya nilai tambah
ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan budaya (Hikmat, 2000).
Ada empat arah dalam memahami perkembangan masyarakat, yaitu sebagai
proses, metode, program, dan sebagai gerakan (Hardcastle, 2004). Perubahan
ekonomi masyarakat, oleh Lindell dan Perry (2001), didefinisikan sebagai proses di
mana anggota masyarakat setempat membentuk organisasi dan membangun
kemitraan terkait satu sama lain dengan bisnis yang menguntungkan. Dalam

236 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pengembangan ekonomi masyarakat; semakin banyak orang yang terlibat akan
perubahan di masyarakat, semakin organisasi itu bertindak dan berusaha untuk
mendorong keinginan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
Ekonomi ialah salah satu cabang khusus dari ilmu sosial yang mempelajari
perilaku manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang relatif terbatas
dengan sarana yang terbatas untuk memuaskan kebutuhan mereka (Deliarnov, 2007:
2-3). Dengan kata lain, masalah-masalah ekonomi yang timbul dari penggunaan
sumber daya yang langka untuk memuaskan keinginan manusia yang tidak terbatas.
Kelangkaan tidak dapat dihindari dan merupakan inti dari masalah ekonomi (Lipsey,
1988: 11).
Manusia hidup dalam masyarakat yang secara keseluruhan membentuk suatu
sistem. Sistem ini secara sederhana dapat diartikan sebagai interaksi, atau asosiasi,
atau hubungan dari unsur-unsur yang lebih kecil membentuk satuan yang lebih besar
dan kompleks. Dengan demikian, sistem ekonomi merupakan interaksi dari unit
ekonomi kecil (konsumen dan produsen) sampai dengan unit ekonomi yang lebih
besar (Deliarnov, 2007: 3).
Menurut ekonom Paul Romer (1993), ide ialah barang ekonomi yang sangat
penting, lebih penting dari benda-benda produk ekonomi. Di dunia dengan
keterbatasan fisik, penemuan ide-ide besar bertepatan dengan ditemukannya jutaan
ide-ide kecil telah menyebabkan ekonomi untuk terus berkembang.
Pemenang Nobel di bidang ekonomi, Robert Lucas (1988), mengatakan
kekuatan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu kota
atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas kelompok (cluster) orang-orang
berbakat dan kreatif atau manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu
pengetahuan. Apa yang termasuk ekonomi kreatif pada mulanya ialah periklanan,
arsitektur, seni, barang antik, kerajinan, desain, desain pakaian, film, video, software,
musik, seni pertunjukan, penerbitan, komputer, TV, radio, dll. Sekarang in yang
termasuk ekonomi kreatif itu barangkali termasuk seni, gadget seperti ponsel, ponsel
pintar, dll.
Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan mendefinisikan
ekonomi kreatif sebagai "konsep yang berkembang berdasarkan aset kreatif yang
berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan." (UNCTAD,
2009).
Di Indonesia, dalam cetak biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia
untuk Tahun 2025, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai "era baru ekonomi setelah

237 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan sumber daya
manusia sebagai produksi utama dalam kegiatan ekonominya." (www.dg.or.id).
Di sini, pengembangan ekonomi kreatif didorong oleh peluncuran Indonesia
Power Design (IDP) pada tahun 2006. IDP ialah program untuk meningkatkan daya
saing produk Indonesia di pasar domestik dan ekspor. Selama 10 tahun terakhir,
sektor ekonomi kreatif telah berkembang pesat di beberapa kota besar. Melalui
inisiatif komunitas anak muda di sejumlah kota, seperti industri kreatif Jakarta,
Bandung, dan Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang dengan pesat pergerakan
ekonomi lokal.
Benih yang memicu pertumbuhan ekonomi kreatif di tingkat lokal telah mampu
memproduksi film, animasi, fashion, musik, software, game komputer, dan
sebagainya. Beberapa pelaku ekonomi kreatif bahkan mendapatkan kesempatan
untuk menunjukkan karya mereka di kancah internasional.
Mantan staf khusus Menteri Perdagangan yang ikut mengembangkan cetak
biru industri ekonomi kreatif, Rhenald Kasali, mengatakan bahwa industri kreatif
digital pada dasarnya membuat produk atau jasa. Jika dijalankan sebagai industri
atau usaha ekonomi, itu akhirnya akan dikaitkan dengan pengambilan risiko
(www.dg.or.id).
Untuk mendukung pengembangan prestasi ini yang juga dimaksudkan untuk
membangun komunitas menjadi lebih produktif dan memiliki prestasi, diperlukan
untuk menciptakan sinergi antara pemerintah, pengusaha, dan intelektual mengenai
pengembangan ekonomi kreatif. Itu di antara rekomendasi dari cetak biru
Pengembangan Ekonomi Kreatif di atas.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menyelidiki tentang kontribusi industri media digital dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat.Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan (2003), penelitian kualitatif dilakukan dengan
mengamati aktivitas kelompok sosial tertentu, yang dalam pengamatan kegiatan
kelompok berusaha untuk menjelaskan secara rinci dari awal, proses sampai perilaku
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Pendekatan ini dipilih untuk
mendapatkan gambaran penelitian dan perincian yangmendalam tentang fenomena
sosial tertentu. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk dalam kategori
penelitian deskriptif, yaitu berusaha untuk menggambarkan rincian spesifik dari

238 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
situasi, pengaturan atau hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup subyek
penelitian (Patton, 2002).
Penelitian ini juga menggunakan metode studi kasus. Menurut Bloor dan
Wood (2006), metode studi kasus ialah eksplorasi sistem secara terbatas. Studi
kasus dapat dilakukan pada individu, kelas manusia, lingkungan manusia atau
lembaga sosial. Metode ini dianggap efektif karena dapat digunakan untuk mencari
motif di balik fakta sosial yang empiris.
Penelitian ini membutuhkan data yang dikumpulkan dari aktor yang terlibat
dalam pengembangan kebijakantentang industri media digital yang dijalankan oleh
pemerintah. Selain itu, juga mewawancarai beberapa pihak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kementerian
Perdagangan dan Industri, atau instansi terkait lain, dan juga orang-orang yang
berpartisipasi aktif mendukung kegiatan ini.
Penelitian ini berlangsung di Jawa Barat untuk mendapatkan beberapa model
pengembangan masyarakat berbasis media digital yang secara natural
dikembangkan oleh industri media bisnis dan kelembagaan yang dikembangkan oleh
pemerintah. Data tentang dampak program terhadap kesejahteraan rakyat di Jawa
Barat ditemukan dengan menggunakan triangulasi, yaitu triangulasi sumber data.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Globalisasi media telah menunjukkan bahwa informasi tidak hanya dapat
diperoleh melalui media cetak seperti surat kabar, majalah dan sebagainya dan media
elektronik seperti televisi dan radio. Globalisasi telah menciptakan internet yang
dipandang sebagai media interaktif dan juga dapat berfungsi sebagai media yang
menyediakan berbagai informasi di dalamnya, termasuk berita, bahkan bisnis. Hari
ini, semua orang bisa menulis berita secara bebas melalui Internet.
Pada tingkat berita, telah muncul situs dan blog atau apa yang disebut
jurnalisme online yang bisa menggeser posisi atau mempengaruhi jurnalisme
tradisional atau konvensional. Demikian pula, orang tidak puas dengan media yang
ada, yang kadang-kadang memiliki kecenderungan tertentu (Dzyaloshinsky, 2013).
Kini telah muncul di internet portal-portal berita di tingkat lokal, nasional,
daninternasional.
Pada tingkat bisnis, industri media digital sudah mulai merangkak pada
perdagangan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, teknologi, gadget, dan lain-
lain. Sekarang, orang hanya membuka internet untuk mencari apa yang dibutuhkan,

239 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dan kemudian memesan, membayar, kemudian menunggu barang yang dipesan.
Demikian pula, untuk jasa. Iklan sudah banyak di internet. Orang yang tertarik pada
iklan di internet dapat menghubungi dan melakukan transaksi. Tak heran, jika
akibatnya, iklan pinggir jalan telah kurang lagi digunakan.
Perpindahan konsumsi dari media konvensional ke media baru memang
wajar. Dalam hitungan detik media online menjadi semakin mudah diakses.
Kebanyakan orang lebih memilih informasi atau berita yang lebih mudah dan cepat
diterima. Dengan terus berkembangnya dunia teknologi dan informasi di periode
terakhir tampaknya semakin hari semakin tumbuh untuk mendukung sarana untuk
berkomunikasi. Hal ini juga dianggap sebagai era baru dalam berkomunikasi. Tentu
saja, perkembangan skala besar yang secara bertahap terus dimanfaatkan oleh
banyak orang, terutama dalam proses penyebaran informasi oleh media massa.
Dalam era super sibuk seperti sekarang ini banyak sekali informasi yang
dikonsumsi dengan cara yang praktis dan cepat.Di kota-kota besar, orang-orang
sudah terlalu malas untuk beranjak dari kursi dan kemudian membaca halaman demi
halaman koran. Di sinilah nampak bahwa munculnya media online menjadi ancaman
dan tantangan bagi berbagai pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa penyebaran informasi
melalui internet akan menjadi komoditas utama dalam industri media. Hal ini diakui
oleh Wakil Direktur Jenderal WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) bahwa “Internet
mempunyai potensi untuk hidup orang, menyambungkan pasar-pasar yang jauh, dan
menciptakan pasar yang baru sama sekali, mengumpulkan orang-orang yang jauh,
dan membantu mereka berbagi banyak informasi” (The Internet has the potential to
improve people’s lives, linking distant markets, and creating entirely new ones,
bringing remote people together, and helping them share more information) (Lund
and McGuire, 2005).
Dunia bisnis di Indonesia sudah mengincar perkembangan ini untuk waktu
yang lama. Berbagai industri, baik industri barang dan jasa telah lama terlibat dalam
pengembangan digital ini. Bahkan untuk hal-hal yang tidak direncanakan, sekarang
ada perkembangan bisnis 'proaktif'. Misalnya dalam bisnis transportasi kini telah
tumbuh bisnis digital “Uber” taksi atau ojek bisnis “Gojek.”Dengan demikian, melalui
media baru internet, di dunia maya, banyak pihak yang siap melayani pelanggan.
Dalam Internet dunia yang pernah disebut dunia maya, sekarang ada pasar barang
dan jasa yang siap melayani pelanggan seperti dalam website-website Bukalapak,
Alfa Cart, Tokopedia, Blibli, dan sebagainya.

240 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Media bisnis lokal juga telah berkembang, meskipun tidak sebagus media
mainstream. website bisnis lokal ialah media yang masyarakat paling populer. Di
Jawa Barat, website bisnis lokal telah tumbuh secara signifikan dan telah memainkan
peran penting dalam dinamika komunitas bisnis akar rumput. Namun, pengembangan
website bisnis lokal bukan tanpa masalah. Sebuah proses yang kompleks dalam
melatih masyarakat ialah salah satu masalah yang paling krusial. Ada masalah
ketepatan waktu juga, untuk melakukan bisnis online perlu ketepatan waktu,
sedangkan masyarakat Indonesia, khususnya suku Sunda, tidak benar-benar tepat
waktu.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika industri media berkorelasi erat
dengan perkembangan kebijakan media atau pengembangan kebijakan media.
Dalam banyak kasus, pemerintah sebagai regulator kesulitan dalam menyelaraskan
dengan peraturan lingkungan industri media berubah dengan cepat. Pemerintah yang
tidak merespon dengan membuat industri bergerak bebas tanpa peraturan yang
ketat. UU Penyiaran Nomor 32/2002 terus-menerus dikritik oleh berbagai organisasi
masyarakat sipil, aktivis media, dan juga oleh industri media itu sendiri. Masing-
masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda terhadap hokum. Di satu sisi
undang-undang ini untuk mempromosikan demokratisasi dan keberagaman melalui
media, tapi di sisi lain hukum ini tidak menjelaskan secara rinci pelaksanaan
konkretnya. Peraturan yang kurang jelas ini memberikan kebebasan media, yang
kemudian dapat memungkinkan perusahaan untuk menggunakan barang publik
tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah. Peraturan media lainnya seperti UU
Informasi dan Transaksi Elektronik juga telah mengancam hak warga negara untuk
berpartisipasi di media dan warga negara harus menyingkirkan peran mereka
sebagai produsen pengendali media dan pengguna media.
Masalah yang kami temukan ialah bahwa perkembangan industri media tidak
selalu sejalan dengan pembangunan infrastruktur dan pengembangan literasi media
pada warga. Ketika sisi bisnis dari industri ini berkembang, akses ke media masih
belum merata. Ada kesenjangan mengejutkan antara infrastruktur media dalam
kelompok bisnis distribusi maju dan kelompok usaha kurang berkembang.
Kesenjangan yang tidak hanya terkait dengan pesatnya pertumbuhan media baru dan
media digital yang membutuhkan akses internet, tetapi juga kesenjangan dalam
akses ke media konvensional. Hal ini telah membuat kesenjangan informasi tumbuh
melebar. Media komunitas dapat, pada kenyataannya mungkin, alternatif yang
memberikan informasi yang lebih relevan dengan masyarakat setempat. Meskipun

241 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
radio komunitas juga berkembang, aturan kompleks dan perkembangan teknologi
yang cepat dalam industri media membuat inisiatif radio komunitas menghadapi
kesulitan untuk bertahan hidup dan bersaing dengan saluran media lainnya
keuntungan berdasarkan.
Di Jawa Barat, dalam rangka merespon kehendak orang untuk bekerja,
pemerintah telah memfasilitasi pembentukan komunitas-komunitas kreatif.
Diharapkan di masa depan komunitas-komunitas kreatif itu dapat menjadi pusat
kegiatan kreatif baik nasional maupun internasional. Mengingat ukuran dan
kompleksitas kebutuhan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan masing-
masingkomunitas-komunitas kreatif bekerja dengan instansi pemerintah, lembaga
pendidikan dan pihak swasta. Dengan demikian, peran pemerintah sangat penting
dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga tidak hilang dengan
cepat oleh perkembangan masyarakat. Dengan itu, orang bisa mengandalkan
pemerintah mereka ketika mereka membutuhkannya.
Pemerintah Jawa Barat sendiri mempunyai visi “Jawa Barat Maju dan
Sejahtera untuk Semua” (2013-2018). Dengan misinya antara lain:
1) Membangun masyarakat berkualitas dan berdaya saing.
2) Membangun perekonomian yang kokoh dan berkeadilan.
3) Meningkatkan kinerja pemerintahan, profesionalisme aparatur, dan
perluasan partisipasi publik.
4) Mewujudkan Jawa Barat yang nyaman dan pembangunan infrastruktur
strategis yang berkelanjutan.
5) Meningkatkan kehidupan sosial, seni dan budaya, peran pemuda dan olah
raga, serta pengembangan pariwisata dalam bingkai kearifan lokal.
Dari misi Pemerintah Jawa Barat di atas, Nampak bahwa visi pertama, kedua,
dan keempat dapat dijadikan pijakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
mendukung usaha industri media digital. Kemudian, dalam Visi Jawa Barat 2005-
2025, yang berbunyi “Dengan Iman dan Taqwa Jawa Barat Termaju di Indonesia,”
dengan tujuh bidang unggulan seperti berikut:
1) Penyelenggaraan pemerintahan yang bermutu (beyond the expectation),
akuntabel dan berbasis ilmu pengetahuan.
2) Masyarakat yang cerdas, produktif dan berdaya saing tinggi.
3) Pengelolaan pertanian dan kelautan.
4) Energi baru dan terbaharukan serta pengelolaan sumber daya air.
5) Industri manufaktur, industri jasa, dan industri kreatif.

242 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
6) Infrastruktur yang handal dan pengelolaan lingkungan hidup yang
berimbang untuk pembangunan yang berkelanjutan.
7) Pengembangan budaya lokal dan menjadi destinasi wisata dunia.
Dari tujuh bidang unggulan di atas, nampak bahwa Jawa Barat mencita-
citakan pengembangan industri kreatif. Tentu cukup membanggakan dan dapat
membuat nyaman para pelaku usaha, termasuk masyarakat yang hendak melakukan
usaha. Namun, dalam kenyataannya, banyak hal yang berhubungan dengan industri
media digital ini, termasuk hal-hal yang bersifat legal.
Kebijakan pemerintah dengan mengundangkan UU Pers No. 40/1999 dan UU
Penyiaran No. 32/2002 telah berada di jalur yang benar, yaitu menjamin warga
Negara untuk menjalankan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Walaupun
implementasi boleh jadi berbeda-beda.
Kebijakan pemerintah dalam hal media nampaknya gagal ketika melakukan
regulasi pada media untuk dijadikan sebagai industri. Kebijakan yang ada tidak
mampu mengatur prinsip ekonomi yang berorientasi pada keuntungan yang dipegang
teguh oleh pihak media. Sementara itu, para pembuat kebijakan dan pemerintah
gagal untuk mengatur batasan praktek yang tegas antara monopoli, oligopoli dan
usaha rakyat. Tidak adanya kebijakan yang secara khusus mempertimbangkan
aspek komersial media.
Demikian pula, munculnya aturan-aturan yang secara tidak langsung
mengancam industry media digital seperti berbagai undang-undang tentang hukum
seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Adanya
penyensoran oleh diri sendiri dapat mengancam keberadaan ranah keterbukaan
media itu sendiri.
Kebijakan pemerintah yang menyebabkan media mainstream tetap mewarnai
sebagai faktor utama dalam demokratisasi media. Di sini pemerintah harus bekerja
sama dengan masyarakat dalam rangka mengawasi media mainstream supaya tidak
hanya mau menang sendiri. Dengan demikian, literasi media harus terus
disosialisasikan kepada masyarakat.
Terakhir, pemerintah juga harus mempersiapkan regulasi-regulasi terkait
industry media digital itu sendiri supaya berdasarkan pada asas-asas keadilan,
kesempatan yang sama, dan tidak memberi ruang pada adanya monopoli, terutama
pada industri penyedia konten dan penyedia jaringan.

243 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, dari penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Misi utama dari pengelolaan industri ialah untuk kelangsungan hidup industri itu
sendiri, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendukung hal tersebut dengan
adanya program unggulan bidang industri manufaktur, jasa, dan industri kreatif.
2. Inkubasi bisnis merupakan hal mutlak yang harus dilakukan di dunia industri untuk
keberlanjutan industri itu sendiri. Pola inkubasi berbeda dari satu industri yang
lain, tergantung pada jenisnya. Dalam industri konvensional, inkubasi terjadi dari
pengusaha untuk keluarga. Pemerintah telah melakukan inkubasi bisnis untuk
masyarakat. Proses inkubasi, karena itu, ialah konvergensi antara pemerintah
dan pengusaha untuk kemajuan masyarakat.
3. Pola manajemen digital sebagai spesialisasi, pengaruh, promosi, dan sebagainya
dilakukan oleh industri, termasuk industri konvensional. Tanpa manajemen digital,
industri akhirnya akan bangkrut seperti yang dialami oleh industri konvensional
skala kecil.
4. Dengan keterlibatan pemerintah dalam membangun masyarakat, masyarakat
memiliki kesempatan untuk naik kelas dari orang-orang biasa untuk menjadi
pengusaha.
5. Masih banyak rintangan yang mesti diselesaikan dalam rangka meluruskan jalan
industri kreatif di bidang media digital.

DAFTAR PUSTAKA
Bloor, Michael and Wood, Fiona. (2006). Keywords in Qualitative Methods. London:
Sage Publications.
Deliarnov. (2007). Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja. Grafindo
Persada.
Dunham, Arthur. (1971). The New Community Organization. London: Thomas Y.
Crowell Co.
Dzyaloshinsky, Iosif. (2013). On a New Approach to Problems of Communication. In
Media and Information Literacy for Knowledge Societies. Moscow:
Interregional Library Cooperation Center.
Hardcastle, D.A. (2004). Community Practice: Theories and Skills for Social
Workers. Cary, NC: Oxford University Press.

244 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Hikmat, H. (2000). Strategi Menuju Pembangunan Berpusat Pada Rakyat (People
Centred Development). Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Kindervatter, Suzanne. (1979). Non-Formal Education as an Empowering Process.
Armherst, Massachussets: Center for International Education.
Lucas, Robert. (1988). On the Mechanics of Economic Development. In Journal of
Monetary Economics, 22 (1988). North Holland.
Lund, Mark J.F. and McGuire, Steven. (2015). Institutions and Development:
Electronic Commerce and Economic Growth. In Organization Studies, 2005:
26; 1743.
Manning, Chris. (1994). “Labor Market Development in Indonesia during New
Order,” Economics Division Working Papers. Canberra: Research School of
Pacific and Asian Studies 94/1, Australian National University.
Patton, Michael Quinn (2002), Qualitative Research and Evaluation Methods. 3rd
edition, London: Sage Publications, (1990).
Prihartono, Bambang. (2012). Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan
Transportasi Jangka Panjang. Jakarta: Bappenas.
Romer, Paul. (1993). Idea Gaps and Object Gaps in Economic Development. In
Journal of Monetary Economics, 32 (1993). North Holland.
UNCTAD. (2009). Creative Economy Report. 2008. UNCTAD. Retrieved 2009-11-
28.

245 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ANALISA KRITIS ATAS MOTIF POLICY COMMUNITY
DALAM KOLABORASI
(Studi Kasus Kebijakan Pemindahan
Pusat Pemerintahan Provinsi Lampung)
Maulana Mukhlis98

ABSTRAK
Diskursus kontemporer menunjukkan bahwa collaborative governance (kolaborasi
pemerintahan) merupakan strategi ideal dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan dan dinamika kebijakan publik. Beragam elemen penting yang melekat
di dalamnya telah menjadikan pendekatan ini dipakai oleh banyak pemerintah daerah
dalam menimplementasikan kebijakan dengan harapan mendapatkan hasil yang
lebih baik. Provinsi Lampung menggunakan pendekatan collaborative governance
dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan sejak tahun 2007 namun ternyata
terhenti di tengah jalan. Ironisnya, para aktor (policy community) yang sejak awal
berkonsensus untuk berkolaborasi tidak melakukan reaksi apapun ketika salah satu
pihak membatalkan konsensus itu. Teori collaborative governance yang oleh para
pendukungnya digadang-gadang selalu berimplikasi positif terhadap keberhasilan
sebuah kebijakan nyatanya tidak selalu benar. Analisis kritis dalam artikel ini
menunjukkan bahwa para aktor (kolaborator), meskipun akhirnya berkonsensus
terhadap tujuan bersama, sesungguhnya juga tetap memiliki motif tersembunyi (self-
interest nya) masing-masing. Pendekatan rational choice akan mengawal riset ini
untuk mengungkap motif kolaborasi dari para aktor sebagai policy community.
Kata Kunci: Komunitas Kebijakan, Kolaborasi Pemerintahan, Pusat Pemerintahan.

ABSTRACT
Contemporary discourse suggests that the collaborative governance is an
ideal strategy in the process of governance and in the dynamics of public policy. The
various important elements that embedded in it have made this approach used by
many local governments in implementing policies and it hope getting better for the
results. Lampung Province uses the approach of the collaborative governance in the
central government transfer policy since 2007, but it failed. Ironically, the actors (policy
community) who join to collaborate did not make any reaction when one party
canceled the consensus. The collaborative governance theory not always get success
resultsd. The critical analysis in this article shows that the actors (collaborators),
although ultimately consensus towards the common goal, actually also retain their
own self-interest motives. The rational choice approach will oversee this research to
uncover the motives of actors as a policy community who join the collaborative.
Keywords: Policy Community, Collaborative Governance, Central of Government.

98 Dosen FISIP Universitas Lampung dan Mahasiswa S-3 FISIP Unpad / maulanamukhlis1978@gmail.com

246 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, pendekatan collaborative
governance menjadi trend dan fenomena yang menarik diteliti dan dikaji.
Collaborative governance hadir layaknya “obat” yang mampu menyembuhkan
berbagai patologi kebijakan, baik dari sisi politisasi regulasi, pembengkakan
anggaran, maupun kegagalan implementasi kebijakan (Ansell dan Gash,
2007:544).Collaborative governance juga disebut sebagai adaptive management
untuk menjamin keterlaksanaan sebuah program (Kallis, Kiparsky, & Norgaard,
2009:631), sedangkan Sorensen dan Torfing (2012:1) menempatkan collaborative
governance sebagai ide baru dan inovasi praktis sebagai kekuatan dalam
implementasi sektor publik dan trigger bagi proses pengambilan kebijakan yang lebih
baik.
Di Indonesia, collaborative governance melahirkan antusiasme baru
disebabkan oleh pengalaman sejarah dalam tata kelola pemerintahan semasa Orde
Baru. Beberapa ciri yang mengemuka dalam masa itu diantaranya adalah
dominannya peran negara, kurangnya kemauan pemerintah untuk melibatkan aktor
di luar negara, serta pola pembangunan yang sentralistis dan top down. Dalam
perjalanannya, pola-pola tersebut ditambah dengan kegagalan pemerintah dalam
mengantisipasi pergeseran atau perubahan lingkungan kebijakan kemudian turut
berpengaruh sebagai salah satu penyebab runtuhnya rezim Soeharto pada tahun
1998. Oleh karena itu anjuran untuk melibatkan multipihak (pemerintah, swasta dan
masyarakat) dalam manajemen pemerintahan dan kebijakan publik dan inisiasi
pemerintahan berpola collaborative governance diyakini akan terus berkembang di
berbagai daerah seiring dengan adanya agenda otonomi daerah.
Popularitas collaborative governance telah menarik minat banyak pemerintah
daerah untuk menggunakannya; salah satunya Pemerintah Provinsi Lampung. Sejak
tahun 2007, Pemprov Lampung bereksperimen menggunakan pendekatan
collaborative governance dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan provinsi
dari Kota Bandar Lampung (saat ini) ke sebuah lokasi terpadu di Kabupaten Lampung
Selatan dengan membangun sebuah kota baru (Lampung New City).
Mengacu pada kriteria dari Ansell dan Gash (2007:544), penggunaan
pendekatan collaborative governance dalam kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan Provinsi Lampung ditandai dengan adanya pelibatan multistakeholders
secara formal, pengakomodasian kepentingan para pihak, serta adanya konsensus

247 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
untuk berkolaborasi. Pada ciri yang pertama, telah dibentuk forum resmi bernama
Badan Pengelola Kawasan Kota Baru Lampung yang keanggotaannya terdiri atas
berbagai stakeholders. Ciri kedua ditandai adanya pembagian peran yang diatur
dalam dokumen rencana induk (master plan) yang telah disusun dan telah
mengakomodasi berbagai kepentingan. Ciri ketiga, dalam upaya menjamin
keberlangsungan konsensus yang sudah terbangun antar stakeholders sehingga
tujuan pemindahan pusat pemerintahan dapat tercapai telah disahkan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pembangunan Kota Baru Lampung
sebagai payung hukum kesinambungan kebijakan.
Namun dalam perkembangannya, kebijakan yang mulai dirancang pada 2007
dan sejak 2010 mulai diimplementasikan di bawah Gubernur Sjachroedin ZP terpaksa
terhenti di tengah jalan. Tahun 2014 ketika terjadi pergantian gubernur Lampung dari
Sjachroedin ZP kepada M. Ridho Ficardo, gubernur baru langsung menghentikan
proyek pembangunan Kota Baru Lampung untuk jangka waktu yang belum
dipastikan. Sampai saat ini (tahun 2016) beberapa bangunan di kota baru Lampung
mangkrak, padahal dana yang digelontorkan oleh Pemprov Lampung sudah
mencapai hampir Rp. 600 miliar. Alasan penghentiannya karena tidak ada dana dan
belum dianggap prioritas dibanding kebutuhan mendesak lainnya terutama sektor
infrastruktur jalan provinsi yang 60% nya rusak. Alasan ketiadaan dana tersebut
didukung laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan
keuangan Pemerintah Provinsi Lampung tahun 2013 yang menyatakan bahwa
pemerintah provinsi memiliki utang dana bagi hasil pajak ke pemerintah
kabupaten/kota sebesar Rp. 604,995 milyar yang harus segera dibayarkan.

RUMUSAN MASALAH
Problem statement dalam penelitian ini adalah bahwa pendekatan
collaborative governance yang digadang sebagai pendekatan ideal dalam
implementasi kebijakan publik yang berdimensi panjang sehingga tak lekang oleh
pergantian kekuasaan, nyatanya tidak selamanya benar; minimal dalam kasus
penghentian kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Provinsi Lampung. Ikhtiar
para kolaborator (policy community) untuk melegalkan konsensus mereka dalam
sebuah produk hukum daerah-pun (Perda No. 2 Tahun 2013) tak cukup menjamin
bahwa konsensus tersebut dapat berkelanjutan (berkesinambungan) atau terbebas
dari dampak pergantian kekuasaan. Ironisnya, para aktor (policy community) yang
sejak awal berkonsensus untuk berkolaborasi juga tidak melakukan reaksi apapun

248 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ketika salah satu pihak (gubernur) membatalkan konsensus dengan menghentikan
kebijakan itu.
Oleh karena itu, dengan asumsi bahwa pada dasarnya semua individu dalam
mengambil keputusan didasarkan atas keuntungan yang akan diperolehnya, maka
research question dalam penelitian ini adalah motif apa yang melatarbelakangi pilihan
para kolaborator sehingga mau berkonsensus serta motif apa yang melatarbelakangi
ketiadaan sikap para kolaborator lain ketika konsensus tersebut terciderai oleh salah
satu pihak yang berkonsensus?

TUJUAN DAN KEGUNAAN


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) motif atau kepentingan
para kolaborator dalam berkonsensus, (2) bagaimana konsensus dapat tercapai
ketika motif dari para kolaborator berbeda dan/atau beragam, serta (3) motif dari para
kolaborator yang membiarkan atau tidak mengambil sikap apapun ketika terdapat
pencideraan terhadap konsensus yang sudah dibangun. Kegunaan penelitian ini
secara teoritis adalah untuk memberikan kontribusi pada aspek kepekaan teorisasi
collaborative governance terhadap motif dari para kolaborator, karena selama ini
collaborative governance hanya dianggap sebagai sebuah proses pencapaian
konsensus melalui serangkaian prosedur formal tanpa mempertimbangkan adanya
watak politis dari pada kolaborator. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan
memberikan landasan bagi para pihak untuk menggunakan pendekatan collaborative
governance dalam implementasi kebijakan publik; serta kesadarannya untuk
mempertimbangkan adanya motif dalam berkolaborasi.

TINJAUAN PUSTAKA
RASIONALITAS KOLABORASI DALAM KEBIJAKAN
Secara konseptual, kebijakan pemindahan pusat pemerintahan sangat
relevan dilakukan dengan didasarkan pada adanya ketidakmampuan kota (secara
lingkungan fisik perkotaan) dalam memenuhi kebutuhan warganya maupun
kemampuan pemerintah kota dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat
secara optimal. Menurut Sadyohutomo (2009:123) lokasi perkantoran pada kawasan
terpadu akan berpengaruh terhadap tingkat kemudahan masyarakat untuk
memperoleh pelayanan umum sebagai tolak ukur pemerintahan yang baik. Dalam
kaitan dengan konsep reinventing government, kebijakan pemindahkan pusat
pemerintahan juga merupakan salah satu upaya antisipasi pemerintah untuk

249 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengurangi adanya tekanan sebelum tekanan (masalah) perkotaan semakin besar
dan kritis di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan konsep anticipatory government
(prevention rather than cure) dari David Osborne dan Ted Gaebler (1996:7). Atas
dasar itu, kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Provinsi Lampung, dalam
perspektif kebijakan adalah merupakan kebijakan yang rasional untuk dilakukan.
Terkait dengan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dengan
membangun sebuah kota baru tentu pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan
pada kapasitas internal yang dimiliki. Terlebih dalam jangka panjang, kota baru
tersebut bukan hanya memainkan fungsi sebagai pusat pemerintahan namun juga
akan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan sebagainya sehingga tanggung
jawab implementasi bukan hanya merupakan ranah pemerintah semata. Adanya
fakta keterbatasan kemampuan, sumberdaya, maupun jaringan yang menjadi faktor
pendukung terlaksananya suatu kebijakan seharusnya mendorong pemerintah untuk
melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah,
pihak swasta maupun masyarakat, dan komunitas masyarakat sipil sehingga dapat
terjalin kerjasama kolaboratif dalam mencapai tujuan program atau kebijakan
(Purwanti, 2016:174). Oleh karena itu, pilihan untuk menggunakan pendekatan
collaborative governance dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi
Lampung adalah merupakan pilihan yang tepat.

KOMUNITAS KEBIJAKAN
Sebagai wujud respon intelektual, gagasan komunitas kebijakan turut
diperkuat kedudukannya oleh pandangan pluralisme dan korporatisme dalam literatur
kebijakan publik. Tepatnya dapat dikatakan bahwa komunitas kebijakan membangun
basis argumentasinya diatas anomali-anomali kedua tradisi berpikir itu sekaligus
berusaha menertibkannya. Menggunakan pluralisme dan korporatisme sebagai
pijakannya, pemerintahan yang terekspresikan dalam produk kebijakan publik. Ini
tidak berarti bahwa perspektif-perspektif tersebut sama sekali tidak berguna.
Komunitas kebijakan lebih merupakan cara pandang alternatif yang mampu (minimal
dalam pandangan para pendukungnya) merefleksikan dinamika kebijakan publik
yang kian hari kian kompleks ketimbang sebagai pengganti dari perspektif-perspektif
sebelumnya. Dengan similaritas pemahaman seperti ini, komunitas kebijakan
memainkan beberapa peran vital dalam mengawal dinamika kebijakan publik (Lipson,
1984 dalam Asworo, 2015:19).

250 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Komunitas kebijakan memiliki beberapa karakter tipikal berikut :1) memiliki
keanggotaan yang terbatas dengan latar belakang kepentingan tertentu yang
terkadang secara sadar atau tidak sadar dapat mengeksklusi kelompok lain; 2)
memiliki nilai bersama; 3) berinteraksi secara periodik; 4) adanya pertukaran sumber
daya yang dikelola oleh para pemimpinnya; dan 5) adanya keseimbangan kekuasaan
relatif di antara para anggotanya.
Berdasarkan tipikal komunitas kebijakan dengan disandingkan dengan
konsep collaborative governance secara umum tidak terdapat perbedaan berarti.
Secara umum keduanya memiliki karakteristik yang sama yakni adanya keterlibatan
para pemangku kepentingan, adanya nilai (tujuan) bersama yang diperjuangkan
sebagai sebuah konsensus, serta keseimbangan peran dan kekuasaan dari para
kolaborator. Meski demikian, konsep komunitas komunitas lebih berdimensi sebagai
wadah bersama (kolektif). Collaborative governance yang dapat dimaknai sebagai
sebuah proses yang terlembaga dalam forum khusus pada akhirnya akan sangat
berpengaruh terhadap keberadaan dan keberlangsungan komunitas kebijakan dalam
jangka panjang. Oleh karena itu, yang dimaksud komunitas kebijakan dalam
penelitian ini adalah para pihak yang bersepakat untuk berkolaborasi (kolaborator);
sehingga penulisan komunitas kebijakan dalam tulisan ini adalah sama dengan ketika
terdapat istilah kolaborator, dan juga aktor.

TEORI PILIHAN RASIONAL


Teori pilihan rasional adalah sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana
memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat
memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka atau dengan kata lain memaksimalkan
keuntungan dan meminimalisir biaya. Meskipun teori ini berakar pada ilmu ekonomi,
namun dalam perkembangannya teori ini dapat digunakan untuk mejelaskan
fenomena yang terjadi pada berbagai macam disiplin ilmu termasuk di dalamnya
bagaimana menjelaskan sebuah pilihan tindakan yang dilakukan oleh birokrasi dalam
perumusan kebijakan publik.
Adam Smith, pengarang The Wealth of Nation (1976), menjelaskan bahwa
“orang bertindak untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, melalui mekanisme
“the invisible hand” menghasilkan keuntungan kolektif yang memberi manfaat pada
seluruh masyarakat”. Hal itu berarti bahwa model kebijakan publik mirip dengan
mekanisme pasar dimana pembeli dan penjual saling bertransaksi untuk
menegoisasikan harga yang kemudian bertemu di titik keseimbangan (equilibrium).

251 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Ketika kepentingan mereka dibenturkan inilah kemudian terjadi bergaining yang
kemudian berujung kepada sebuah konsensus. Harga adalah titik temu antara
penjual dan pembeli dimana kedua-keduanya saling diuntungkan. Menurut penganut
mazhab rational choice, politik dan kebijakan publik-pun demikian. Setiap aktor
berusaha memaksimalkan keuntungan. Teori pilihan rasional adalah teori yang
beranggapan bahwa setiap aktor dalam proses kebijakan berperilaku rasional untuk
memaksimalkan keuntungan masing-masing atau utility.
Menurut teori pilihan rasional dalam kebijakan publik setiap aktor berkompetisi
dan berinteraksi untuk memaksimalkan keuntungan mereka masing-masing yang
kemudian terbentuklah secara alamiah titik keseimbangan yang kemudian menjadi
kebijakan itu sendiri. Dalam tataran praktis teori ini bisa menjelaskan tarik menarik
antar aktor dalam proses kebijakan publik. Menurut teori ini kebijakan publik bukanlah
masalah ilmiah dari proses berpikir teknokratis namun lebih dari tarik menarik antar
kepentingan (Howlett and Ramesh, 2003: 22).

OBYEK DAN METODE PENELITIAN


Obyek atau ruang lingkup materi dari penelitian ini adalah (a) motif apa (self-
interest) yang melatarbelakangi para kolaborator untuk mau berkolaborasi meskipun
motif mereka sangat beragam; (b) bagaimana keragaman motif para kolaborator
dapat dipersatukan dalam konsensus; dan (c) motif apa yang melatarbelakangi
pilihan para kolaborator untuk ‘diam’ dan tidak bereaksi ketika terdapat salah satu
kolaborator yang menciderai konsensus.
Ketiga ruang lingkup materi tersebut dikawal dengan pendekatan rational
choice bahwa seorang individu dalam bertindak sangat dipengaruhi oleh kepentingan
pribadi mereka untuk mengejar dan menghasilkan keuntungan kolektif melalui
mekanisme “the invisible hand”. Untuk mengelaborasi persoalan ini, teorisasi rational
choice yang diadopsi akan disandingkan dengan praktik empirik yaitu dinamika
implementasi kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Provinsi Lampung.
Riset dilakukan secara kualitatif dengan melakukan wawancara dengan para
kolaborator (komunitas kebijakan) serta mempelajari berbagai dokumen yang
berhubungan atau terkait dengan obyek penelitian. Metode analisis deskriptif dipilih
dengan mempertimbangkan karakterisik data dan informasi berupa dokumen-
dokumen dan transkrip wawancara yang diperoleh masih memerlukan pemahaman
dan interpretasi teks yang baik dan tepat dikaitkan dengan tujuan penelitian. Segala
sesuatu yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dipelajari sebagai

252 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sesuatu yang utuh. Dengan kata lain penelitian tidak hanya mengungkapkan
kebenaran belaka, tetapi memahami kebenaran tersebut. Untuk memperoleh tingkat
kepercayaan hasil penelitian, merujuk pada pendapat Creswell (2010:286) dilakukan
uji validitas dengan mentriangulasi (triangulate) dan meminta seorang auditor luar
(external auditor) untuk mereview keseluruhan hasil riset yang telah dilakukan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


DINAMIKA KEBIJAKAN PEMINDAHAN PUSAT PEMERINTAHAN PROVINSI
LAMPUNG
Secara makro, kebijakan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Lampung
adalah salah satu upaya menjawab kebutuhan-kebutuhan sekaligus percepatan
pembangunan Kota Bandar Lampung. Salah satu strategi kebijakan pengembangan
yang dilakukan adalah menciptakan kota-kota di sekitar Bandar Lampung yang
bersifat mandiri atau satelit yang berfungsi sebagai penyangga (counter magnet) bagi
kota induknya yakni Bandar Lampung. Sebagai kota terbesar di Provinsi Lampung
sekaligus ibukota Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung dihadapkan pada
tuntutan dan kebutuhan masyarakat untuk (1) memenuhi kebutuhan akan tempat
berusaha dan tempat tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) memenuhi
kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram
dan sejahtera. Namun permasalahan yang terjadi saat ini, Kota Bandar Lampung
dihadapkan pada banyaknya masalah perkotaan sehingga tidak sanggup memenuhi
dua tuntutan masyarakat tersebut.
Kota Bandar Lampung sebagai pusat kegiatan pemerintahan, bisnis,
pendidikan, serta sosial budaya sudah over capacity dan memiliki disparitas yang
sangat tinggi dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. Luas Kota Bandar Lampung
hanya 197,22 km2 dan jumlah penduduk tahun 2014 yaitu mencapai 1.364.759 jiwa,
maka dengan demikian kepadatan penduduk tahun 2014 sebesar 6.919 jiwa/km2.
Selain itu, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi selama 5 tahun terakhir sebesar
1,4%99 pertahun semakin menyebabkan kota ini tumbuh dengan cepat (BPS &
BAPPEDA Provinsi Lampung, 2014).
Data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bandar Lampung 2005 – 2015
juga menyatakan bahwa hanya sekitar 39% wilayah Kota Bandar Lampung yang
layak untuk dijadikan daerah permukiman dan pusat kegiatan karena sebagian besar

99Lebih besar dibanding tingkat pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1.17% per tahun, meskipun masih lebih
kecil dibanding rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 2,75% per tahun (Bappenas, KSPPN 2014).

253 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berada di lereng dan perbukitan dengan kecuraman lebih dari 40%. Pada sisi yang
lain, kawasan perkotaan Bandar Lampung dan sekitarnya saat ini berkembang cukup
dinamis, sehingga tekanan terhadap kawasan perkotaan Bandar Lampung cukup
berat, sehingga perlu ada upaya untuk pendistribusian kegiatan perkotaan ke
kawasan-kawasan perkotaan yang ada di sekitar Bandar Lampung dengan
membangun Kota Baru Lampung yang berlokasi di Kecamatan Jati Agung Kabupaten
Lampung Selatan.
Tahap awal diharapkan pada tahun 2014 pusat perkantoran Pemprov
Lampung dapat dipindahkan dari lokasi Kota Bandar Lampung (saat ini) ke lokasi
Kota Baru Lampung tersebut. Harapannya dengan perpindahan pusat pemerintahan
sebagai awal akan mendorong tumbuhnya kota mandiri dan berikutnya mampu
menjadi pusat penggerak kegiatan primer seperti permukiman, perekonomian,
pendidikan, dan sebagainya dengan membangun kerjasama dengan pihak lain selain
pemerintah daerah semata. Tujuan tersebut sejalan dengan pendapat Golany
(1976:64) bahwa pemindahan pusat pemerintahan tidak hanya dapat menciptakan
optimalisasi pelayanan dan kinerja pemerintah, namun kebijakan ini dapat menjadi
strategi dan awal kemunculan kota baru di daerah tujuan atau lokasi pemindahan.

Gambar Skenario Pengembangan Kota Baru Lampung

AWAL Berkembang MASA DEPAN

Kota Satelit Kota Mandiri

Menindahkan Pusat GENERATOR/PUSA


Skenario Awal Pemerintahan dari Bandar T PENGERAK
Lampung ke Kota Baru KEGIATAN PRIMER

FUNGSI YANG MUNCUL


AKIBAT GENERATOR :

Permukiman
Kegiatan Komersial
Pendidikan
Ruang Publik
Infrastruktur
Transportasi, dsb

254 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tabel di bawah akan menjelaskan bagaimana dinamika kebijakan
pemindahan pusat pemerintahan di Provinsi Lampung sejak tahun 2004 sampai
dengan tahun 2014 berlangsung. Perspektif Galston (2015:681) tentang fisibilitas
politik dan kekuasaan yang mana kekuasaan memiliki pengaruh sangat besar dalam
pengambilan sebuah kebijakan publik terutama bagi penguasa yang ingin
mempertahankan kekuasaan politiknya dipakai untuk menjelaskan betapa nuansa
politis dan dominasi kekuasaan itu sangat terlihat.

Tabel Dinamika Kebijakan Pemindahan Pusat Pemerintahan


Provinsi Lampung
Tahun Produk Tentang/Peristiwa Keterangan
Aturan
2004 Pemilihan Pasangan Sjachroedin ZP -
gubernur Provinsi Syamsurya Ryacudu menang
Lampung Periode
2004-2009
2004 RPJMD Provinsi Kebijakan pemindahan pusat
Lampung Tahun pemerintahan dengan
2004-2009 membangun Kota Baru Lampung
tidak ada atau tidak menjadi
prioritas pembangunan merujuk
dokumen RPJMD periode ini
2005 Perda No. 6 RPJPD Provinsi Kebijakan pemindahan pusat
Tahun 2007 Lampung Tahun pemerintahan dengan
2005-2025 membangun Kota Baru Lampung
juga tidak ada atau tidak menjadi
prioritas pembangunan merujuk
dokumen RPJPD periode ini.
2005 RTRW Provinsi RTRW disusun dengan
Lampung Tahun pembagian zoning wilayah
2005-2015 perkotaan dan fungsinya. Wilayah
Kecamatan Natar dan Kecamatan
Jati Agung sebagai calon lokasi
kota baru masih diperuntukkan
untuk kawasan perkebunan
(sebagaimana fungsi saat itu),
bukan zoning sebagai kawasan
pusat perkantoran.
2007 Master Plan Ketika persoalan perkotaan
Pembangunan Bandar Lampung semakin
Kota Baru meningkat, mulai ditawarkanlah
Lampung konsep perpindahan pusat
pemerintahan oleh Gubernur
Sjachroedin ZP sebagai salah
satu prioritas pembangunan
wilayah. Rencana membangun
Kota Baru Lampung (sebagai

255 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tahun Produk Tentang/Peristiwa Keterangan
Aturan
Kota Mandiri) seluas 4.000 ha di
Kecamatan Natar dan Kecamatan
Jati Agung salah satunya
bertujuan untuk memindahkan
pusat pemerintahan Provinsi
Lampung. Sejak tahun 2007 ini,
kebijakan pembangunan Kota
Baru Lampung merupakan salah
satu program unggulan Gubernur
Lampung yang disebut sebagai
salah satu bentuk inovasi
pemerintahan dalam
kepemimpinannya100.
2007 Perda No. 13 Penataan Ruang Dalam pasal 29 Perda ini sudah
Tahun 2007 Wilayah Provinsi mengakomodir pembangunan
Lampung Kota Baru Lampung untuk
pemindahan pusat pemerintahan
sebagai program unggulan dan
prioritas.
2009 Pilkada Gubernur Sjachroedin ZP terpilih kembali
Lampung periode dan perolehan suaranya menang
2009-2014 mutlak di dua kecamatan calon
lokasi Kota Baru Lampung yakni
di Kecamatan Natar dan Jati
Agung tersebut. Berbagai analis
politik menjelaskan bahwa
kemenangan mutlak di daerah ini
sangat dipengaruhi oleh adanya
harapan publik agar Kota Baru
Lampung dapat segera
direalisasikan.
2010 Perda No. 1 Rencana Tata Pembangunan Kota Baru
Tahun 2010 Ruang Wilayah Lampung di Kecamatan Jati
Provinsi Lampung Agung semakin ditegaskan
2009-2029 sebagai pusat pemerintahan
provinsi, meninggalkan lokasi di
Kecamatan Natar akibat
banyaknya masalah yang ditemui
dalam penetapan lokasi101.

100 Lihat dalam Syarief Makhya. 2014. Inovation Governance in Lampung Province. Makalah dalam Seminar
Internasional Pembangunan Berkelanjutan di Bali, 14-16 Oktober 2014. Meskipun banyak definisi tentang inovasim
namun inovasi identik dengan sesuatu yang baru yang menunjukkan kinerja dari pola-pola lama. Purwanto (2000:4)
menegaskan adanya lima unsur dalam inovasi yakni pengetahuan baru (new knowledge), cara-cara baru (new
practices), barang/object baru (new product), teknologi baru (new technology), dan penemuan baru (new invention).
101 Dalam perkembangannya kemudian, pertimbangan atas pilihan lokasi kota baru sekaligus sebagai pusat
pemerintahan baru Provinsi Lampung di Natar & Jati Agung tidak memiliki dukungan lahan yang jelas sehingga dalam
perjalanan banyak mengalami perubahan. Lahan seluas 4.000 hektar di tiga unit usaha sampai tahun 2010 belum
memperoleh persetujuan Menteri BUMN (sebagai pemilik PTPN VII) karena hak guna usaha (HGU) atas lahan
tersebut baru akan berakhir antara di akhir tahun 2027 dan akhir tahun 2030. Penetapan HGU hingga tahun tersebut
didasarkan pada analisis usaha bahwa produktifitas tanaman karet dan kelapa sawit di lahan pada tiga unit usaha
tersebut masih bisa optimal hingga tahun itu. Juga penolakan dari dari Kementerian Perhubungan karena Kecamatan
Natar masuk dalam Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP).

256 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tahun Produk Tentang/Peristiwa Keterangan
Aturan
Juni Pembangunan Pembangunan Kota Baru
2010 Kota Baru Lampung mulai dibangun di atas
Lampung dimulai lahan 1.669 hektar, namun baru
seluas 1.308 hektar yang sudah
mendapat izin pelepasan
kawasan hutan dari Kementerian
Kehutanan <baru sebatas
penyerahan hak pengelolaan
lahan, jadi belum memperoleh
hak kepemilikan>.
Pemerintah Provinsi Lampung
menetapkan lokasi lahan pada
kawasan hutan produksi tetap di
register 40 di Desa Gedong Wani
Kecamatan Jati Agung sebagai
calon lokasi pembangunan Kota
Baru Lampung di mana di
dalamnya terdapat lahan seluas
350 hektar kebun milik PTPN VII
(Persero) yang akan
dipergunakan sebagai calon
lokasi pusat perkantoran
Pemerintah Provinsi Lampung102.
Prioritas awal (mendesak) yang
dibangun mulai tahun 2010 ini
adalah pembangunan empat
gedung utama, yakni kantor
gubernur dengan biaya (Rp72
miliar), gedung DPRD (Rp46
miliar), balai adat (Rp1,5 miliar),
dan masjid agung (Rp20 miliar)
yang direncanakan dapat
diselesaikan selama tiga tahun
hingga tahun 2013 karena awal
tahun 2014 Gubernur Sjachroedin
ZP berencana kantor Pemprov
Lampung sudah dapat berpindah
ke Kota Baru sebelum masa
jabatan gubernur-wakil gubernur
serta DPRD berakhir pada tahun
2014 itu.
2013 Perda No. 2 Kota Baru Agar pembangunan Kota Baru
Tahun 2013 Lampung Lampung dapat berkelanjutan
karena target pindah tidak

102Untuk mendapatkan pembebasan lahan di Register 40 Pemerintah Provinsi Lampung diwajibkan terlebih dahulu
memperoleh izin prinsip dari Menteri Kehutanan RI dan pastinya diwajibkan juga untuk memberikan lahan pengganti.
Sedangkan untuk lahan seluas 350 Ha milik PTPN VII (Persero) harus terlebih dahulu memiliki izin dari Menteri BUMN
selaku pemegang saham (Chief Financial Officer dan Chief Operating Officer) dengan skim mekanisme pembebasan
mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri BUMN No. 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan
Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN.

257 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tahun Produk Tentang/Peristiwa Keterangan
Aturan
tercapai karena empat gedung
utama belum selesai.
2014 Pilkada Gubernur Calon gubernur yang digadang
Lampung periode oleh Gubernur Sjachroedin ZP
2014-2019 yang juga ketua DPD PDIP
Provinsi Lampung yaitu pasangan
Berlian Tihang <saat itu sekda> -
Mukhlis Basri <saat itu bupati
Lampung Barat> kalah.
Terpilihlah M. Ridho Ficardo yang
juga Ketua DPD Partai Demokrat
Provinsi Lampung, putra pemilik
PT. Sugar Group Companies,
perusahaan perkebunan tebu dan
gula pasir terbesar di Lampung.
2014 Pelantikan Pilkada Gubernur M. Ridho Ficardo
Gubernur menghentikan pembangunan
Lampung periode Kota Baru Lampung dengan
2014-2019 alasan ketiadaan anggaran.
Padahal, Perda No. 2 Tahun
2013 sudah mengamanatkan
bahwa kebijakan pemindahan
pusat pemerintahan harus terus
berjalan meskipun terjadi
pergantian kepemimpinan
daerah.
Sumber : Hasil Telaahan, 2016

MOTIF BERKOLABORASI
Identifikasi motif atau kepentingan dari para kolaborator dalam kebijakan
pemindahan pusat pemerintahan diawali dengan menetapkan siapa saja yang
awalnya berkolaborasi. Mengacu pada dokumen master plan berbagai pihak yang
berkolaborasi dalam kebijakan ini adalah :
1. Pemerintah Provinsi Lampung
2. Pansus Perda Tata Ruang DPRD Provinsi Lampung
3. Pemerintah Kota Bandar Lampung
4. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan
5. PT. Perkebunan Nusantara VII
6. Otoritas Bandara Raden Intan II
7. Kementerian Dalam Negeri
8. Pakar Perencana Penyusun Dokumen Rencana Induk Kota Baru Lampung
9. LSM (Aktifis Lingkungan di Lampung)

258 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tabel berikut ini menguraikan secara rinci keragaman motif dan kepentingan
dari para kolaborator dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi
Lampung.

Tabel Motif Kolaborator Kebijakan Pemindahan Pusat Pemerintahan


Provinsi Lampung
Kolaborator Motif
Pemerintah Sebagai aktor utama, Pemerintah Provinsi Lampung adalah
Provinsi Lampung pihak yang paling besar tujuan dan kepentingannya dari
kebijakan ini. Dari beberapa motif, di awal ide kebijakan ini
muncul, yang paling dominan adalah motif politik yakni
pembuktian ke publik bahwa ide pembangunan Kota Baru
Lampung bukan hanya sekedar wacana namun ide yang
akan menjadi kenyataan; sekaligus pembuktian dari apa
yang pernah dikampanyekan oleh salah satu calon
gubernur.

Meskipun demikian, rasionalitas motif dari Pemprov


Lampung dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan
ini tetap terlihat jika dikaitkan dengan rasionalitas problem
(masalah kebijakan) yang hendak diselesaikan dengan
kebijakan ini.
Pansus Perda Sebagai lembaga legislatif, fungsi Pansus Tata Ruang
Tata Ruang adalah membahas rancangan yang diajukan pihak
DPRD Provinsi eksekutif; rencana pembangunan Kota Baru Lampung
Lampung khususnya dan rencana tata ruang provinsi umumnya.
Fungsi tersebut menjadi sebuah tujuan setelah anggota
Pansus berkunjung dan melihat secara dekat komplek
Putrajaya di Malaysia sebagai perbandingan tentang masa
depan apa yang akan terjadi di Kota Baru Lampung.

Oleh karena itu, kepentingan DPRD adalah terlaksananya


pembangunan Kota Baru Lampung dengan
mempertimbangkan segala aspek baik administratif,
ekonomi maupun sosial sehingga masyarakat luas akan
memperoleh kemanfaatan dari kebijakan ini tanpa
memberikan beban tambahan terhadap APBD untuk
membiayai sektor pembangunan lainnya.
Pemerintah Kota Berdasarkan wawancara dan kajian terhadap dokumen
Bandar Lampung kebijakan pembangunan Kota Bandar Lampung, fokus dan
motif serta tujuan dari Pemkot Bandar Lampung terhadap
rencana pembangunan Kota Bandar Lampung cenderung
pasif. Hal ini didasarkan atas belum jelasnya informasi dari
Pemprov menyangkut segala aspek yang berkaitan dengan
kebijakan tersebut semisal masalah pengalihan aset, status
ibukota, dukungan Pemkot serta akselerasi dan
kesinambungan daya dukung infrastruktur antara Bandar
Lampung dan calon Kota Baru Lampung di Jati Agung.

259 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kolaborator Motif

Meskipun pasif, motif utama dari Pemkot Bandar Lampung


adalah bisa mendapatkan pengalihan aset (terutama eks
kantor pemerintahan provinsi) secara murah karena Pemkot
Bandar Lampung juga dihadapkan pada masalah
ketidakterpaduan kantor pemerintahannya. Dalam skala
yang lebih luas, masalah-masalah perkotaan yang dihadapi
oleh Bandar Lampung akan dapat berkurang dengan
tersebarnya pusat-pusat keramaian ke Kota Baru Lampung.
Pemerintah Hasil wawancara dengan Kepala BAPPEDA Lampung
Kabupaten Selatan terungkap bahwa kepentingan paling utama dari
Lampung Selatan Pemkab Lampung Selatan adalah jangan sampai
kecamatan Natar (calon lokasi awal) tidak lagi menjadi
bagian dari wilayah administratif Kabupaten Lampung
Selatan. Hal ini didasarkan semata faktor ekonomi yakni
sumbangsih yang sangat besar bahkan paling besar
terhadap PAD Kabupaten Lampung Selatan adalah
bersumber dari kecamatan ini baik dari PBB sektor
perkotaan/perdesaan, retribusi dan sektor perkebunan.
Ketika kecamatan ini lepas dari Kabupaten Lampung
Selatan, maka kontribusi PAD dalam APBD Lampung
Selatan juga akan berkurang.
PT. Perkebunan Motif yang paling dominan dari PTPN VII adalah ‘ketakutan’
Nusantara VII akan stabilitas perusahaan dan kegagalan asumsi
peningkatan pendapatan perusahaan yang selama ini
diperoleh dari produktifitas lahan di tiga unit usaha calon
lokasi pembangunan Kota Baru Lampung. Atas dasar
kepentingan ini, motif ekonomi menjadi faktor yang paling
dominan sehingga meskipun secara lisan menyetujui tukar
guling lahan calon lokasi Kota Baru Lampung, namun
secara formal belum pernah memberikan persetujuan dan
melemparkan masalah ini kepada kewenangan
kementerian BUMN dan Kementerian Kehutanan sehingga
prosedur perizinan menjadi lebih rumit.

Dalam perspektif tujuan dan motif kepentingan, PTPN VII


menjadi stakeholders yang mengedepankan motif ekonomi
sehingga cenderung melakukan penolakan secara halus
terkait dengan penggunaan lahan mereka untuk lokasi
pembangunan Kota Baru Lampung. Hal ini diperkuat oleh
fakta bahwa di beberapa lahan justru dilakukan penanaman
tanaman karet baru terutama di unit usaha Kedaton.
Otoritas Bandara Tujuan dan motif kepentingan dari otoritas Bandara Raden
Raden Intan II Intan II adalah juga faktor ekonomi meskipun terbungkus
dalam motif pelayanan dan keselamatan operasional
penerbangan terhadap masyarakat. Otoritas Bandara
adalah otoritas pelaksana sedangkan otoritas regulasi ada
di Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.

Dalam perspektif kepentingan dari otoritas Bandara Raden


Intan II dapat dinyatakan bahwa terlaksana atau tidaknya

260 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kolaborator Motif
pembangunan Kota Baru Lampung, kawasan keselamatan
operasional penerbangan harus ditegakkan dengan cara
memindahkan bandara atau merubah struktur bangunan di
lokasi Kota Baru Lampung untuk tidak melebihi tiga lantai.
Kementerian Kementerian Dalam Negeri sebenarnya berada pada posisi
Dalam Negeri pasif. Satu-satunya motif Kemendagri adalah stabilitas
wilayah, karena berdasarkan undang-undang No. 14 Tahun
1964 tentang pembentukan Provinsi Lampung ibukota
provinsi ini ada di Teluk Betung, Kota Bandar Lampung.
Hasil konsultasi Pemprov Lampung ke Kementerian Dalam
Negeri terkait dengan aspek administratif pemindahan
pusat pemerintahan telah menjadi pekerjaan rumah
tersendiri selain aspek teknis pelaksanaan pembangunan
Kota Baru Lampung.
Pakar Perencana Masterplan Pembangunan Kota Baru Lampung disusun
Penyusun oleh pakar atau konsultan perencana wilayah. Basis
Dokumen penyusunannya adalah pertimbangan ideal. Adanya
Rencana Induk kesulitan lahan, adanya penolakan warga, serta rumitnya
Kota Baru urusan administratif tidak menjadi bagian dari pertimbangan
Lampung pakar dalam penyusunannya.
LSM (Aktifis Sebagai lembaga yang concern pada persoalan
Lingkungan di lingkungan hidup, terdapat dua kepentingan yang berbeda
Lampung) dari Walhi Lampung. Pertama persetujuan atas
pembangunan Kota Baru Lampung untuk menghindarkan
Bandar Lampung dari perusakan lingkungan yang semakin
parah yang terjadi saat ini. Namun, pembangunan Kota
Baru Lampung justru memunculkan masalah baru yakni
dengan berkurangnya daerah resapan air di kota ini
sehingga aspek lingkungan harus menjadi perhatian serius
pada saat proses konstruksi pembangunan Kota Baru
Lampung dilakukan.

Kepentingan para aktor yang paling terlihat adalah kepentingan ekonomi dan
politik, di luar kepentingan ideal dan administratif. Kepentingan ekonomi muncul dari
PTPN VII yakni ‘ketakutan’ akan stabilitas perusahaan dan kegagalan proyeksi
peningkatan pendapatan perusahaan yang selama ini telah diperoleh dari
produktifitas lahan di tiga unit usaha calon lokasi pembangunan Kota Baru Lampung.
Sedangkan kepentingan politik dapat dirunut ke belakang sejak tahun 2006 pada saat
pertama kali secara formal Gubernur Lampung (Drs. Sjahroedin) menyampaikan ide
ini, maka kepentingan politik yang paling terlihat adalah upaya menjadikan kebijakan
ini sebagai bahan kampanye Pilgub Lampung tahun 2009. Di samping itu,
kecenderungan kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni peran sebagai pemain
tunggal dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan masih sangat terlihat,
menyebabkan pemerintah masih meminimasi peran dan ide masyarakat. Kondisi

261 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tersebut masih sangat terlihat dalam konteks berlangsungnya kolaborasi pada
kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ini.

PROSES PENCAPAIAN KONSENSUS


Pada tabel di atas secara nyata menunjukkan bahwa terdapat keragaman
motif atau kepentingan dari para kolaborator. Pertanyaannya adalah, bagaimana
kemudian keragaman motif tersebut dapat disatukan dalam sebuah konsensus?
Secara umum, proses kolaborasi sebenarnya telah berlangsung dengan cukup baik
dalam kasus kebijakan ini. Model proses kolaborasi dari Gray dalam Ansell dan Gash
(2007:15) yang menggambarkan kolaborasi sebagai perkembangan tahapan proses
kolaborasi yaitu penentuan permasalahan (problem solving), penentuan tujuan
(direction setting), dan pelaksanaan (implementatation) sudah berlangsung dalam
pelaksanaan kebijakan ini.
Seluruh proses collaborative governance dalam kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan Provinsi Lampung terbangun dari dialog tatap muka antar aktor.
Sebagai sebuah proses yang berorientasi pada consensus telah memunculkan
kesempatan bagi setiap aktor untuk mengidentifikasi peluang-peluang keuntungan
bersama. Dialog tatap muka merupakan sebuah cara untuk memecah kecurigaan
antar aktor dalam membangun sebuah kolaborasi dan mencegah eksplorasi
keuntungan bersama di tahap awal sebuah kolaborasi. Karena yang ditekankan pada
tahap awal adalah bagaimana membangun konsensus bukan untuk mengatur
keuntungan masing-masing aktor. Dialog tatap muka merupakan proses membangun
trust, sikap saling menghormati, sikap saling memahami, dan komitmen pada proses.
Adanya kepercayaan antar aktor merupakan poin awal dari proses kolaborasi
dalam kebijakan ini. Beberapa literatur juga menyatakan proses kolaborasi tidak
hanya berkutat pada negosiasi tetapi juga membangun kepercayaan antar aktor.
Trust building menjadi satu fase yang digunakan untuk membentuk proses saling
memahami antar stakeholders agar terbentuk komitmen untuk menjalankan
kolaborasi. Selain itu, rasa kepemilikan terhadap proses juga telah berimplikasi pada
munculnya rasa saling bertanggung jawab terhadap proses. Trust memiliki peranan
dalam menjamin bahwa masing-masing aktor memiliki tanggung jawab tersebut.
Bentuk-bentuk mandatory dalam bentuk kolaborasi dapat dilaksanakan ketika
dorongan untuk berpartisipasi antar aktor bersifat lemah, akan tetapi kooperasi yang
bersifat mandatory mengindikasikan adanya kelemahan komitmen antar aktor.

262 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pada beberapa proses kolaborasi, aktor-aktor harus mengembangkan sikap
saling memahami terhadap apa yang akan dicapai bersama. Share understanding
dalam beberapa literasi disebut sebagai misi bersama, kesamaan niat, kesamaan
tujuan, kesamaan visi bersama, ideologi bersama, tujuan-tujuan yang jelas, arah
yang strategis dan jelas, serta keselarasan nilai-nilai inti. Share understanding juga
dapat berarti kesepakatan dalam mendefinisikan sebuah masalah.

KETIADAAN REAKSI ATAS PENCIDERAAN KONSENSUS


Salah satu kondisi yang banyak dipertanyakan oleh khalayak setelah
Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo menghentikan kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan yang sedang berjalan adalah mengapa aktor lainnya yang tergabung
dalam komunitas kebijakan Badan Pengelola Kawasan Kota Baru Lampung tidak
bereaksi. Jikalaupun ada reaksi, hanya muncul dari DPRD Provinsi Lampung melalui
media yang menyayangkan tindakan gubernur tersebut. Namun, reaksi itu hilang
ketika dihadapkan pada alasan ketiadaan anggaran sebagai dasar gubernur
menghentikan kebijakan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa motif ekonomi
(anggaran) telah menjadi tujuan penghentian.
Motif politik yang pada mulanya menjadi tujuan Gubernur Sjachroedin (2007)
dalam memilih kebijakan ini adalah pilihan rasional dan terbukti mendapat dukungan
publik. Ketika motif ekonomi (penyelamatan anggaran) dijadikan tujuan gubernur M.
Ridho Ficardo dalam menghentikan implementasi kebijakan, kemudian juga dianggap
sebagai pilihan rasional oleh kolaborator lain. Dalam konteks ini dapat dijelaskan
bahwa tujuan dan motif yang dibawa oleh para kolaborator sebagian sudah terpenuhi,
dan meskipun terdapat kolaborator lain yang belum mendapatkan tujuan
keuntungannya namun mereka nyatanya tidak mengalami kerugian.
Gubernur Lampung (Sjachroedin ZP) sudah mendapatkan keuntungan politik
dengan terpilih kedua kali pada 2009. Pemprov Lampung di bawah kepemimpinan
Sjachroedin ZP sudah mendapatkan keuntungan politis karena di mata publik
dianggap telah berpikir jauh ke depan (anticipatory government). PTPN VII sudah
mendapatkan keuntungan ekonomi dengan penggantian lahan yang diperolehnya di
Kabupaten Way Kanan. Otoritas Bandara Raden Inten II meskipun tidak
mendapatkan keuntungan namun tidak mengalami kerugian dengan kawasan
keselamatan operasional penerbangannya. Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan meskipun tidak mendapatkan keuntungan namun risiko kehilangan PAD dari
kecamatan calon lokasi pusat pemerintahan baru juga tidak terjadi.

263 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Berbagai keadaan tersebut membuktikan bahwa semua pilihan para
kolaborator baik untuk menghentikan (yang dilakukan oleh Pemprov Lampung)
maupun ketiadaan sikap atas penghentian kebijakan (yang ditunjukkan oleh
kolaborator lain) seluruhnya didasarkan atas pilihan rasional. Keragaman motif yang
dimiliki oleh para kolaborator di awal mereka melakukan kolaborasi ternyata tidak
menjadikan adanya keragaman sikap. Hal tersebut terjadi karena keragaman motif
keuntungan mereka tidak saling bernegasi (berlawanan) antara satu dengan lainnya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Berdasarkan rangkaian proses kolaborasi yang berlangsung dalam dinamika
kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Provinsi Lampung dapat disimpulkan
bahwa secara administraif dan prosedural proses collaborative governance telah
berlangsung pada koridor yang sesuai. Keberlangsungan proses kolaborasi
dibuktikan dengan adanya keragaman motif yang telah dapat ‘didamaikan’ dalam
konsensus bersama melalui serangkaian aktifitas dialog tatap muka, adanya
kepercayaan antar aktor, komitmen terhadap proses, sikap saling memahami, dan
kesepakatan tujuan. Hal tersebut berimplikasi pada tidak adanya penolakan sama
sekali terhadap tujuan jangka pendek dan jangka panjang dari kebijakan yang akan
dilakukan.
Namun terdapat temuan menarik dalam konteks tersebut, bahwa berjalannya
proses kolaborasi akan sangat ditentukan oleh ada-tidaknya aktor utama yang
‘mengendalikan’ proses kolaborasi. Pemprov Lampung (melalui Badan Pengelola
Kawasan Kota Baru Lampung) terbukti menjadi aktor yang paling utama dalam
menjamin berjalannya proses kolaborasi. Temuan ini sebenarnya menjadi penting
untuk didiskusikan karena secara tidak langsung telah menciderai perlunya
kesejajaran antar aktor dan ketiadaan ketergantungan antar aktor dalam kolaborasim
karena faktanya dominasi salah satu aktor dan ketergantungan aktor lain kepada
aktor tersebut sangat besar. Terdapat teori bahwa tinggi rendahnya sifat
ketergantungan antar aktor akan menentukan kesuksesan proses kolaborasi, yang
dalam kasus kolaborasi dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi
Lampung tidak dapat terbukti. Ini berarti bahwa dominasi salah satu aktor masih
dibutuhkan dalam sebuah proses kolaborasi untuk menjamin bahwa proses
kolaborasi dapat berjalan dengan baik. Pertanyaannya, pada batas mana dominasi
itu terjadi? Maka konsensus yang dihasilkan dalam sebuah kolaborasi seharusnya
bukan hanya tentang “tujuan bersama apa yang hendak dicapai”, namun juga tentang

264 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
“pada batas mana masing-masing kolaborator harus berperan”. Oleh karena itu
dominasi salah satu aktor bukan dimaknai sebagai intervensi kepada aktor lain
namun sebagai peran yang dilebihkan dari aktor lain.
Dinamika implementasi kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di
Provinsi Lampung juga menunjukkan bahwa dalam sebuah kolaborasi yang terdiri
atas banyaknya aktor yang terlibat, keragaman motif adalah sesuatu yang pasti. Teori
rational choice terbukti kebenarannya dalam hal ini. Pertanyaannya, jika masing-
masing pihak memiliki motif, yang dalam teori rational choice disebut sebagai
keuntungan, bagaimana kemudian mendamaikan perbedaan motif tersebut? Satu hal
yang pasti adalah bahwa berbeda individu akan berbeda pula jenis kepentingan
(keuntungannya). Namun, perbedaan kepentingan keuntungan tersebut dapat
disatukan dalam konsensus bersama apabila motif (kepentingan) itu tidak saling
bernegasi. Kondisi ini terjadi dalam kasus kebijakan pemindahan pusat pemerintahan
di Provinsi Lampung. Ini berarti bahwa kesediaan para kolaborator yang berbeda
kepentingan untuk bersepakat dalam konsensus bersama tetap atas didasarkan pada
pilihan bahwa kesepakatan itu tidak akan menghilangkan motif keuntungan yang
akan diperolehnya.
Pada kedua temuan di atas pada akhirnya menunjukkan bahwa tindakan dari
kolaborator lain untuk tidak bereaksi ketika salah satu aktor menghentikan konsensus
adalah juga merupakan pilihan rasional bahwa meskipun motif keuntungan mereka
belum dapat terpenuhi, minimal mereka belum pernah merugi. Dalam perspektif
ekonomi, itulah pilihan jalan tengah yang paling moderat: tidak mengapa tak
mendapat untung asalkan tak merugi.
Oleh karena itu, perbedaan motif untuk mendapatkan untung dari para
kolaborator dalam sebuah kolaborasi tak selamanya menjadi ancaman dalam
kolaborasi sepanjang perbedaan itu tidak saling bernegasi. Potensi bernegasinya
motif dari para kolaborator dapat diredam dengan membangun konsensus yang
meminimalkan adanya kerugian dari para pihak yang berkolaborasi. Kekhawatiran
akan adanya relasi-transaksi di luar prosedur formal dalam berkolaborasi juga tidak
perlu menjadi alasan yang dilebih-lebihkan untuk menghindari kolaborasi, karena
bagaimanapun kolaborasi tetap lebih baik dibanding sendiri.

265 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DAFTAR PUSTAKA
Ansell dan Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of
Public Administration Research and Theory. Published by Oxford University
Press.
Asworo, Listiana. 2015. Rasionalitas Quasi Kolaborasi: Politik Ekonomi di Balik
Penyelamatan Hutan. Tesis Magister Politik dan Pemerintahan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta: Program Pascasarjana FISIPOL Universitas
Gadjah Mada.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung & Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi Lampung. 2014. Provinsi Lampung Dalam Angka Tahun
2014. Bandar Lampung: Penerbit BPS Provinsi Lampung.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed (Campuran). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Galtson, Wiliam A, dkk. 2015. Handbook Kebijakan Publik (terjemahan). Bandung:
Nusa Media.
Golany, G. 1976. New-Town Planning: Principles and Practice. New York: A Wiley-
Interscience Publication.
Howlett, M & Ramesh, M. 2003. “Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem”. New York: Oxford University Press.
Kallis, Giorgos, dkk. 2009. Collaborative Governance and Adaptive Management.
Jurnal of Enviromental Science and Policy. Published by Elsevier.
Makhya, Syarief. 2014. Inovation Governance in Lampung Province. Makalah dalam
Seminar Internasional Pembangunan Berkelanjutan di Bali, 14-16 Oktober
2014
Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the
Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector from Schoolhouse to
Statehouse. City Hall to Pentagon, Reading, MA: Addison Wesley.
Purwanti, Nurul D, 2016. Collaborative Governance (Kebijakan Publik dan
Pemerintahan Kolaboratif, Isu-Isu Kontemporer), Yogyakarta, Center for
Policy & Management Studies, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sadyohutomo, Mulyono. 2009. Manajemen Kota dan Wilayah, Realita & Tantangan
Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara.

266 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sorensen, Eva, dkk. 2012. Collaborative Innovation in The Public Sector. The Public
Sector Innovation Journal. Vol 17 (1).
http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/70831-gubernur-pastikan-kota-
baru-dihentikan, diakses pada tanggal 15 April 2016.

267 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENGUATAN KAPASITAS INDIVIDU DALAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG
BATUBARA MELALUI DANA CSR
DI KABUPATEN TABALONG
Muhammad Riduansyah Syafari103

ABSTRAK
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara Melalui Dana
Corporate Social Responsibility oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong belum
berhasil. Khususnya pemberdayaan masyarakat dengan Dana CSR Bina Desa.
Fungsi pemerintah sebagai fasilitator baru sampai dilevel kebijakan, sementara di
level teknis belum berjalan baik, demikian pula sebagai katalisator atau dinamisator.
Mayoritas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pada pembangunan infrastruktur
fisik bukan pemberdayaan ekonomi produktif.
Metode Penelitian yang digunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data,
yaitu observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Untuk menilai keakuratan data
penelitian peneliti menerapkan salah satu strategi validitas, yaitu triangulasi.Teknik
analisis data yang digunakan teknik Miles dan Huberman,yang meliputi reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan pemberdayaan masyarakat dengan dana CSR
Bina Desa 2014/2015, dari 32 desa di ring 1, hanya ada 3 desa yang melaksanakan
pemberdayaan masyarakat pada sektor ekonomi produktif, sedangkan pada tahun-
tahun sebelumnya 100 % pada infrastruktur fisik, kecuali di desa Manduin pada tahun
2011/2012 tetapi tidak optimal, demikian pula pemberdayaan masyarakat di desa
Mantuil dan desa Pasar Panas. BPMPD belum berfungsi sebagai fasilitator dan
katalisator karena tidak merasa dilibatkan. Sementara, fungsi fasilitator dan
katalisator dari Kecamatan dan pemerintah desa belum maksimal. Berlangsungnya
penguatan kapasitas individu di desa Maburai atas kelompok penerima manfaat,
terselenggara karena kepeloporan sekretaris panitia pelaksananya yang terus
mengawal dan menjalin komunikasi, koordinasi dan kerjasama dengan stakeholders
terkait.
Kata Kunci: Pemberdayaan Masyarakat, Dana CSR, Pemerintah Kabupaten

ABSTRACT
Community empowerment around coal mine through that held by "Bina Desa"
Corporate Social Responsibility (CSR) fund in Tabalong Regency hasn't been
succeeded yet.The function of the government as a new facilitator to the policy level,
while at the technical level has not gone well, so is the catalyst or dynamicator. The
majority of planning and implementation of activities on the development of physical
infrastructure rather than productive economic empowerment.
The research used qualitative approach method. Data source collected from
primary and secondary data by 3 ways : observation, interview and documentary
study. For data accuracy, author used triangulation as validity strategy. Data analysis
techniques used Miles and Hubermand techniques, including data reduction, data
presentation, and data verification.

103 Dosen FISIP ULM Banjarmasin / muhammad.syafari@ymail.com

268 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
The result shows that community empowerment by using "Bina Desa" CSR
fund on 2014-2015 just 3 villages which implemented that programme on economic
sector. Even the years before it, all fund used to build infrastructure especially in
Manduin Village on 2011-2012, as well as community empowerment in Mantuil Village
and Pasar Panas.BPMPD has not functioned as a facilitator and catalyst because it
does not feel involved. Meanwhile, the function of facilitators and catalyst from the
Kecamatan and village government has not been maximal.The on going
strengthening of individual capacities in Maburai village over beneficiary groups, was
established due to the pioneering secretaries of its executing committee which
continues to guard and astablish communication, coordination and cooperation with
relevant stakeholders.
Keywords: Community empowerment, CSR fund, region government.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Atas dasar Undang-Undang No.4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Tabalong
bekerjasama dengan PT Adaro Indonesia tbk dan Partner melaksanakan program
pemberdayaan masyarakat setempat. Kerjasama pemberdayaan masyarakat ini
ditetapkan melalui surat keputusan Bupati Tabalong nomor : 188.45/471/2014
Tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Sinkronisasi Program Corporate Social
Responsibility (CSR) Perusahaan Yang Berada di Wilayah Kabupaten Tabalong.
Penduduk Kabupaten Tabalong sebagian besar bekerja di sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan sebesar 55,05 %. Namun,
kontribusi sektor pertanian terus turun dalam dua tahun terakhir sejak tahun 2011
(tabalongkab.bps.go.id/publikasi/mono2014/index.html).Angka kemiskinan juga
masih cukup tinggi, pada tahun 2013 tercatat 14.305 KK (kal-sel.bps.go.id, diakses,
15 Januari 2015).
Pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara bertujuan agar dapat
meningkatkan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi masyarakat sekitar
pertambangan batubara, disamping efektivitas penggunaan dana CSR melalui
perencanaan yang terarah. Perusahaan mengeluarkan dana CSR yang disebut CSR
Bina Desa. CSR perusahaan juga membantu pemberdayaan UMKM yang sudah
tumbuh di wilayah ring 1 s/d 3 dan Koperasi yang membantu permodalan UMKM.
Hasil penilaian administratif, khusus pemberdayaan masyarakat program Bina
Desa “ masih ada 50 % kelompok kerja yang budget kegiatan ekonomi produktif
kurang dari 60 %. Sementara, batas toleransi yang diperbolehkan adalah 75 % untuk

269 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kegiatan ekonomi produktif, dan maksimal 25 % untuk operasional dan kegiatan
pembangunan fisik yang menunjang kegiatan ekonomi produktif ”.104
Realisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dari tahun 2012 s/d
2015hampir 100 % dana CSR digunakan pada pembangunan infrastruktur
fisik.105Pengawasan yang sangat lemah dan tidak adanya peningkatan kinerja Panitia
Pelaksana menyebabkan lemahnya kapasitas Panlak CSR Bina Desa.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat sekitar
tambang batubara belum terlaksana sebagaimana mestinya. Pada hal menurut
Mardikanto dan Soebiato (2013: 70-72) Untuk menjadikan masyarakat itu berdaya
dan mandiri perlu dilakukan penguatan kapasitas atas tiga aspek berikut, yaitu
penguatan kapasitas individu, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas networking.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara melalui
dana Corporate Social Responsibility oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan?

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan,
dan menganalisa pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara melalui dana
CSR oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dari sudut pandang
paradigma governance. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan
temuan baru di bidang kajian paradigma governance.

MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis akan menghasilkan pengembangan ilmu pengetahuan tentang
pemberdayaan masyarakat di bidang kajian administrasi publik dalam paradigma
governance.
2. Secara praktis menjadi pedoman baru pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
sekitar tambang batubara oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong dan PT Adaro
Indonesia tbk, dan Partner.

104Penilaian rencana kegiatan hasil musyawarah desa berdasarkanitem % budget menunjang kegiatan ekonomi,
tahun 2014.
105Hasil laporan pemberdayaan masyarakat bidang program Bina Desa divisi CSR PT Adaro Indonesia dan partner,
Januari 2016.

270 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
TINJAUAN PUSTAKA
GOVERNANCE
Paradigma administrasi publik kontemporer adalah paradigma
governanceyang menghendaki terdistribusinya kekuasaan atas tiga domain secara
seimbang, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta (Goodsell, 2003, Dwiyanto,
2006: 19, Santosa, 2009: 130). Sujarwoto dan Yumarni (dalam Jurnal Administrasi
Publik Vol. VIII No. 2, 2007: 556-558) menjelaskan inti dari teori governance adalah
koordinasi, kolaborasi dan penyebaran kekuasaan di mana kekuasaan yang semula
didominasi oleh negara didistribusikan kepada aktor-aktor di luar negara yang ada di
sektor swasta maupun masyarakat sipil. Paradigma ini menghendaki adanya
pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dari ketiga pilar tersebut, sehingga
diharapkan akan terjadi chek and balance dalam penyelenggaraan kepemerintahan.
Adanya pembagian peran itu tidak hanya menjaga keseimbangan
penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik, tetapi juga dapat
menciptakan keharmonisan hubungan ketiga domain itu(Utomo, 2007:98).Karena itu
diperlukan adanya komitmen bersama yang dituangkan dalam suatu kesepakatan
bersama, sehingga pelayanan publik itu berkeadilan dan memuaskan semua pihak
(Utomo, 2007: 114).
Menurut Wijaya (dalam Jurnal Adminisrasi Publik Vol. VIII No. 2, 2007: 538)
Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator, regulator, dan pengontrol dari pada
pelaksana langsung. Pelayanan publik dapat diserahkan kepada pihak ketiga
(swasta) sebagai penyelenggara layanannya.Untuk mencegah agar warga negara
tidak diperlakukan sebagai konsumen, tetapi tetap sebagai warga negara diperlukan
kesepakatan semacam client’s charter, Denhardt & Denhardt (2003: xii). Bahkan
dalam kaitan ini,organisasi RT/ RW, PKK, Dasawisma, Karang Taruna dan juga LSM-
LSM baik diperdesaan maupun di perkotaan menjadi bagian governance yang
penting sebagai intermediary dan arena kemitraan antara masyarakat dan negara
(Dwipayana & Eko, 2003: 28). .
Pemberdayaan masyarakat dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat,
swasta dalam program-program pembangunan, dan membuat pemerintah fokus
menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan (Rusli,
2015: 191). Sebagai fasilitator, Pemerintah dapat lebih berperan dalam
mengarahkan swasta dan masyarakat dalam melaksanakan program-program
pembangunan (Suhendra, 2006:122). Pemerintah dapat lebih fokus mengarahkan,
dan aktif membentuk masyarakat, negara dan bangsa, serta membuat keputusan-

271 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
keputusan yang bijaksana dan lebih banyak menggerakkan lembaga sosial dan
ekonomi (Osborne dan Gaebler (1999: 37)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan masyarakat salah satu instrumen kebijakan publik yang
sangat penting, karena banyaknya pemberdayaan masyarakat yang masuk ke dalam
wacana kebijakan publik sejak tahun 2000-an. Kebijakan pemberdayaan masyarakat
dapat menjadikan masyarakat berdaya secara individu, kelompok dan organisasi.
Manfaatnya berupa meningkatnya efektivitas organisasi (Stewart,1998: 31).
Profesionalitas dan kinerja masyarakat dapat ditingkatkan, sehingga dapat
mewujudkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (Adisasmita, 2011: 131).
Pemberdayaan masyarakat memiliki dua kecenderungan, pertama,
menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada masyarakat, organisasi atau individu agar berdaya
(kecenderungan primer). Kedua, menekankan proses menstimulasi, memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan/keberdayaan untuk menentukan pilihan
hidupnya (Pranarka dalam Sedarmayanti, 2014: 40).
Menurut Sedarmayanti (2014: 81-82) Pemberdayaan dapat melahirkan
inisiatif dan respon yang cepat dan fleksibel atas masalah individu dan organisasi.
Pegawai/ karyawan organisasi yang berdaya dan memiliki kewenangan
menyelesaikan permasalahan dalam organisasi, dapat menyelesaikan permasalahan
dengan cepat dan benar. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat meningkatkan
kualitas individu dan efektivitas organisasi.
Dilihat dari prosesnya, pemberdayaan masyarakat itu adalah proses
penguatan kapasitas. Menurut Roesmidi & Risyanti (2006: 16) Pengkapasitasan
manusia berarti memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun
kelompok. Pengkapasitasan organisasi berupa restrukturisasi, misalnya sebelum
diberikan peluang usaha, kelompok miskin dibuatkan Badan Usaha Milik Rakyat.
Pengkapasitasan sistem nilai berupa aturan main. Dalam organisasi, bisa berkenaan
dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sistem dan prosedur.
Untuk menjadikan masyarakat itu berdaya dan mandiri dapat dilakukan
melalui penguatan kapasitas atas tiga aspek berikut, yaitu penguatan kapasitas
individu, kapasitas kelembagaan (organisasi dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas
networking. Mardikanto dan Soebiato (2013: 70-72) menguraikan proses penguatan
kapasitas itu sebagai berikut:

272 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pertama, penguatan kapasitas individu itu meliputi 3 hal, yaitu penguatan
kapasitas kepribadian, kapasitas di dunia kerja, dan kapasitas profesional.Kedua,
penguatan kapasitas kelembagaan yang meliputi : 1) kejelasan visi, misi, dan budaya
organisasi. 2) kejelasan struktur organisasi, kompetensi, dan strategi yang akan
ditempuh untuk tercapainya tujuan/ efektivitas organisasi. 3) proses organisasi atau
pengelolaan organisasi. 4) pengembangan jumlah dan mutu sumber daya. 5)
interaksi antar individu di dalam organisasi. 6) interaksi dengan entitas organisasi
dengan pemangku kepentingan (stakeholders) yang lain.
Ketiga, penguatan kapasitas sistem jejaring/networking yang meliputi
pertama, pengembangan interaksi antar entitas (organisasi) dalam sistem yang
sama. Kedua, interaksi dengan organisasi di luar sistem.

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)


Corporate Social Responsibility (CSR) secara umum merupakan kontribusi
menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan dengan
mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari kegiatannya
(Ardianto & Machfudz,2011: 12, Untung, 2008: 35, Rusdianto, 2013: 7).Kuncinya
adalah komitmen dan tanggung jawab korporat terhadap dampak usaha yang
ditimbulkannya baik yang bersifat sosial maupun lingkungan serta usaha bagi
korporat untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat (Rudito, dkk, 2007:
207 ). Pandangan sederhana dan mudah dipahami bisa dilihat dari pandangannya
Elkington (1998) CSR itu merupakan kepedulian perusahaan menyisihkan sedikit
keuntungannya untuk pembangunan manusia, dan lingkungan secara berkelanjutan
berdasarkan prosedur yang tepat dan professional (Suharto, 2010: 4-5).
Secara filosofis CSR bisa dilihat dari tiga aspek berikut: Pertama, CSR
philanthropy.Kedua, CSR promosi (untuk membentuk,meningkatkan, atau
memelihara citra dan reputasi perusahaan) (Kotler & Lee, 2005: 144-145).Ketiga,
CSR bersifat sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan)(Rudito,
dkk, 2013:103).Pemberdayaan masyarakat akan mendorong dan mewujudkan hal
itu, dan merupakan tujuan utama community development (pembangunan
masyarakat) (Christenson &Robinson , 1989: 3) .

273 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, lokasinya di wilayah
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Sumber data penelitian yaitu, data primer
dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan , yaitu: observasi,
wawancara, dokumentasi ( Creswell, 2010: 261, Afrizal, 2015: 133). Untuk menilai
keakuratan data, peneliti menerapkan salah satu strategi validitas, yaitu triangulasi.
Teknik analisis data yang digunakan teknik Miles dan Huberman (1984)Aktivitas
dalam analisis data ini meliputi reduksi data/ kodifikasi data, penyajian data, dan
verifikasi data (Afrizal, 2015: 174-175). Objek penelitiannya berupa pemberdayaan
masyarakat sekitar tambang batubara melalui dana CSR oleh Pemerintah Kabupaten
Tabalong Kalimantan Selatan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


GAMBARAN UMUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG
BATUBARA
Pemberdayaan Masyarakat sekitar tambang batubara melalui dana CSR yang
dinaungi SK Bupati berada pada dua periode Bupati yang berbeda, dan berbeda pula
SK Bupati yang menaunginya. Pada masa pemerintahan Bupati H. Rachman Ramsy
2010 s/d 2014 SK Bupati dikeluarkan pada tahun 2011. Pemerintah Kabupaten
Tabalong mengeluarkan surat keputusan Bupati Tabalong nomor : 188.45/291/2011
tentang Pembentukan Tim Perumus, Pelaksana, dan Pengawas, serta Penetapan
Penggunaan Anggaran, dan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT
Adaro Indonesia dan Partner Tahun 2011.Pada tahun 2014 terjadi pergantian
pemerintahan kepada Bupati yang terpilih Bapak H. Anang Syakpihani. SK sedikit
berubah, SKditetapkan melalui surat keputusan Bupati Tabalong nomor :
188.45/471/2014 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Sinkronisasi Program
Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Yang Berada di Wilayah
Kabupaten Tabalong.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, Kebijakan Bupati H. Anang Syakphihani yang mengatur
tentang koordinasi dan sinkronisasi penyaluran dana CSR perusahaan lebih tepat.
Karena, sesuai dengan peran Pemerintah sebagai Fasilitator dan dinamisator
pembangunan. Pemerintah Daerah fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat
sekitar tambang batubara, maka Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung

274 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dalam pelaksanaannya. Pemerintah Daerah melalui regulasinya hanya mengatur dan
mengontrol dan memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat tersebut.
Konsep pemberdayaan masyarakat dengan Dana CSR Bina Desa sudah
semakna dengan konsep yang dikehendaki dalam pemberdayaan masyarakat.Dilihat
dari prosesnya pemberdayaan masyarakat itu khususnya masyarakat yang miskin
sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya, diberikan
kapasitas agar mampu mandiri dan meningkat kesejahteraannya.Bertumpu kepada
masyarakat desa, karena masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu
pembangunan.Masyarakat desa difasilitasi oleh pemerintah desa untuk mengkaji
kebutuhan, masalah, peluang pembangunan, merencanakan dan melaksanakannya.
Mereka juga menemu kenali solusi yang tepat dan mengakses sumber daya yang
diperlukan, baik sumber daya internal maupun eksternal ( Mardikanto dan Soebiato,
2013: 61).
Pemberdayaan Masyarakat sekitar tambang batubara ada yang masuk dalam
bidang CSR Bina Desa dan ada yang masuk dalam bidang Ekonomi dan
UMKM.Fokus pembahasan tulisan ini pada pada bidang CSR Bina Desa.Yaitu, pada
penguatan kapasitas individu dalam pemberdayaan masyarakat sekitar tambang
batubara melalui dana CSR oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong Kalimantan
Selatan.
Pendanaan terbesar CSR ada pada CSR Bina Desa, dana CSR Bina Desa
ditekankan agar lebih diutamakan pada kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Karena,
dana CSR tersebut digunakan dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat
desa sekitar tambang batubara. Berdasarkan data rekapitulasi CSR Bina Desa,
realitas yang terjadi dilapangan justeru dana-dana CSR itu digunakan untuk
pembangunan infrastruktur fisik. Hal tersebut terjadi mulai tahun 2011-2012,
kemudian pada tahun 2013-2014 juga masih digunakan untuk infrastruktur fisik,
dengan sebagian masih ada hubungannya dengan aspek ekonomi, seperti jembatan
ke lahan pertanian atau ke kebun karet rakyat.Pada pengusulan dana CSR 2014 dan
pelaksanaannya pada tahun 2015, hampir 100 % dana CSR Bina Desa bukan
digunakan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, tetapi masih digunakan
untuk pembangunan infrastruktur fisik. Hanya ada 3 desa yang 60 % dana CSR
digunakan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa dan 40 % untuk
pembangunan infrastruktur fisik, yaitu Desa Maburai berupa kelompok pengrajin Kain
Sasirangan, Desa Mantuil berupa perikanan Lele, dan Desa Pasar Panas rencana

275 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengembangkan perikanan Patin.106Pemberdayaan masyarakat yang tersistematis
dan ada pengkapasitasannya baru ada di desa Maburai, yang melibatkan lembaga
sosial DPC HIPMIKINDO Kabupaten Tabalong.
Berdasarkan paparan di atas, secara umum kegiatan pemberdayaan
masyarakat melalui dana CSR di kabupaten Tabalong melibatkan banyak
stakeholders. Stakeholders terkait pemberdayaan masyarakat sekitar tambang
batubara itu setidaknya ada 3 bagian, yaitu Pemerintah Kabupaten Tabalong sebagai
legislator dan fasilitator kegiatan pemberdayaan masyarakat, CSR PT Adaro
Indonesia dan Partner sebagai pemberi dana CSR dan pelaksana penyalurannya,
Panitia Pelaksana Pemberdayaan Masyarakat sekitar tambang batubara CSR Bina
Desa sebagai fasilitator program dan kelompok-kelompok penerima manfaat baik
yang dari CSR Bina Desa, serta LSM/ organisasi sosial.

PENGUATAN KAPASITAS INDIVIDU DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


SEKITAR TAMBANG BATUBARA MELALUI DANA CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY
Penguatan kapasitas dalam pemberdayaan masyarakat sekitar tambang
batubara melalui dana CSR oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong belum terlaksana
sebagaimana diharapkan. Fungsi fasilitator atau katalisator pemerintah kabupaten,
khususnya BPMPD terhadap Panitia Pelaksana CSR Bina Desa dan kelompok
penerima manfaatnya tidak ada, sedangkan Kecamatan juga lemah dalam
menjalankan fungsi ini.Secara konsep penguatan kapasitas dalam pemberdayaan
masyarakat meliputi tiga aspek, yaitu penguatan kapasitas individu, penguatan
kapasitas kelembagaan/ organisasi, dan penguatan kapasitas
jaringan/networking.Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada penguatan
kapasitas individu.

PENGUATAN KAPASITAS INDIVIDU


Penguatan kapasitas individu merupakan bina manusia pertama dalam
menjadikan individu yang berdaya. Penguatan kapasitas individu manusia meliputi:
penguatan kapasitas kepribadian, penguatan kapasitas di dunia kerja, dan penguatan
kapasitas keprofesionalan.
1. Penguatan Kapasitas Kepribadian

106Data rekapitulasi CSR Bina Desa PT Adaro Indonesia dan Partner, 2016

276 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kapasitas kepribadian tidak hanya dilihat dari penampilan fisik, tetapi menyangkut
keseluruhan perilaku seseorang yang dilihat dari penampilan fisik, nilai-nilai
perilaku yang berasal dari sistem sosial masyarakatnya maupun yang berasal dari
luar masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya, dan keterampilan dalam
berkomunikasi (Mardikanto dan Soebiato, 2013: 70-71).
Merujuk kepada pemikiran tersebut, pemberdayaan masyarakat sekitar tambang
batubara melalui dana CSR oleh Pemerintah Kabupaten Tabalong belumlah
serinci itu, tetapi pemberdayaan masyarakatnya berdasarkan legalitas SK Bupati
Tabalong telah berlangsung sejak tahun 2011. Namun, khusus untuk
pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara melalui dana CSR Bina
Desa yang terprogram baik baru terlaksana di desa Maburai atas ibu-ibu rumah
tangga dalam pelatihan dasar pembuatan kain batik sasirangan.
Merujuk kepada konsep penguatan kapasitas kepribadian di atas, hanya konsep
ke dua yang diketahui dilaksanakan dalam pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga
di desa Maburai.Yaitu, penguatan kapasitas kepribadian yang dilihat dari
penguatan nilai-nilai perilaku.Sebagaimana petikan wawancara dengan Bapak
Sutejo, Ibu Misbah dan Ibu Juraida:
“Kalau penguatan kapasitas kepribadian yang dimaksud penguatan berupa
penampilan fisik, keterampilan berkomunikasi dan penguatan nilai perilaku,
kami tidak serinci itu. Hanya, kalau nilai –nilai lokal yangcoba kami kuatkan
melalui pertemuan mingguan berupa penguatan rasa kebersamaan dan
kekeluargaan.Karena menurut kami itu penting, agar suasana kebersamaan
dan kekeluargaan itu selalu dipupuk dan terjaga. Karena, dengan
kebersamaan dan kekeluargaan mereka bisa berempati satu sama lain dan
bisa saling menguatkan”.107

Pertemuan mingguan itu meningkatkan kebersamaan dan rasa kekeluargaan,


sehingga suasana pembuatan kain batik sasirangannya menjadi ramai dan
menyenangkan.Kebersamaan dan kekeluargaan adalah nilai-nilai lokal religius
yang masih cukup kuat di daerah pedesaan dibandingkan di daerah kota-kota
besar yang cenderung lebih individualis.Suasana kebersamaan dan kekeluargaan
anggota kelompok Bunda Tanjung Bersinar, Maburaiitu dapat menghilangkan
suasana iri hati yang kadang ada pada diri manusia. Aktivitas mereka sebagai ibu
rumah tangga memiliki kekosongan waktu yang lebih banyak selain mengurus
anak.Dengan aktivitas tambahan membuat kain batik sasirangan, ke depannya
dapat menjadi salah satu alternatif penghasilan tambahan keluarga.

107Wawancaradengan Sekretaris Panitia Pelaksana CSR Bina Desa Maburai, Ketua Kelompok Bunda, Kabid
Pemberdayaan Perempuan DPC HIPMIKINDO, 13 Januari 2017.

277 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Penguatan Kapasitas di Dunia Kerja
Kapasitas untuk memasuki dunia kerja, yaitu persyaratan kerja yang meliputi:
pengetahuan teknis, sikap kewirausahaan, dan keterampilan manajerial yang
diperolehmelalui pendidikan/pelatihan, serta motivasi bekerja. Selain itu, juga ada
jejaring dan atau referensi yang dimilikinya.
Untuk memasuki dunia kerja yang keras dan bersaing dengan kelompok-kelompok
usaha lain, diperlukan adanya penguatan kapasitas tersebut. Pertama
pengetahuan teknis, pengetahuan ini sangat penting agar kelompok penerima
manfaat memiliki pengetahuan dan keterampilan atas pilihan usaha yang mau
dikembangkan.
Ibu-ibu rumah tangga di desa Maburai, melalui kerjasama pemberdayaan antara
Panlak CSR desa Maburai dan DPC HIPMIKINDO Bidang Pemberdayaan
Perempuan telah melaksanakan pelatihan dan penyuluhan.Penyuluhan diberikan
oleh sekretaris panlak dan Kabid Pemberdayaan perempuan DPC HIPMIKINDO
Kabupaten Tabalong, berupa penyadaran dan motivasi kewirausahaan, dan
pelatihan dasar pembuatan kain batik sasirangan oleh tenaga ahli yang
didatangkan dari HIPMIKINDO Provinsi Kalimantan Selatan.Hanya, keterampilan
manajerial yang belum diberikan, karena fokusnya pada penyadaran dan
menumbuhkan semangat kewirausahaan serta kemampuan dasar pembuatan
kain batik sasirangan. Sebagaimana petikan wawancara dengan bapak Sutejo, ibu
misbah dan Ibu Juraida berikut: “Penyuluhan diberikan untuk membangun
kesadaran dan semangat kewirausahaan, serta pelatihan dasar untuk
memberikan kemampuan dasar membuat kain batik sasirangan”.108
Dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat wirausaha tersebut, Sekretaris
Panlak juga mempelopori dan mendampingi 8 orang ibu-ibu rumah tangga yang
paling bersemangat melakukan kunjungan dan diskusi ke UMKM-UMKM di
Kabupaten Tabalong. Pasca kunjungan dan pelatihan dasar, dibentuk dan
dilakukan penguatan kapasitas lanjutan ibu-ibu rumah tangga yang tergabung di
dalam Kelompok Bunda Tanjung Bersinar.Penguatan kapasitas dilakukan melalui
pendampingan intensif yang dikawal oleh Sekretaris Panlak dan pembinaan yang
diberikan oleh Kabid. Pemberdayaan Perempuan DPC HIPMIKINDO.Pola
tersebut sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan Ife, dkk (2008: 346-349)

108Petikan
wawancara dengan Sekretaris Panlak CSR Maburai, Ketua Bunda Tanjung Bersinar, Kabid
Pemberdayaan Perempuan DPC HIPMIKINDO, 29/01/2017.

278 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang mengemukakan ada 4 tahap penyadaran individu yang dapat dilakukan, yaitu
: pertama, aspek personal dan politik. Pengalaman akan pemberdayaan yang
pernah dilakukan dan kemampuan berkomunikasi dengan stakeholders terkait,
baik dengan pemerintah, LSM terkait dan CSR Perusahaan terbukti sangat
membantu pelopor pemberdayaan masyarakat desa Maburai bapak Sutejo dalam
merangkul semua stakeholders tersebut, sehingga mampu meyakinkan tidak
hanya stakeholders yang membantu pemberdayaan tersebut, tetapi juga ibu-ibu
rumah tangga yang diberdayakan.
Kedua, membangun hubungan dialogis dengan anggota masyarakat yang
diberdayakan. Sepulang dari kunjungan ke UMKM-UMKM dilakukan diskusi
dengan ibu-ibu tersebut, walaupun mereka masih bingung dalam menemukan ide
produk yang akan dikembangkan, tetapi semangat wirausaha ibu-ibu tersebut
telah tumbuh, terlihat dari antusiasnya mereka dalam melakukan perjalanan dan
keinginan untuk berwirausaha, serta mengikuti pelatihan sasirangan pemula.
Ketiga, berbagi pengalaman penindasan. Dengan berdiskusi seputar pengalaman
pelaku UMKM yang dikunjungi, setidaknya telah dapat membuka wawasan
pengalaman kewirausahaan ibu-ibu rumah tangga desa Maburai yang
diberdayakan.Keempat, membuka peluang-peluang untuk tindakan. Kunjungan
dan diskusi-diskusi yang dilakukan diatas tidak ada artinya, jika tidak ada upaya
membuka peluang-peluang kearah perubahan yang dikehendaki atau perubahan
yang diinginkan. Karena dapat mematikan upaya awal pemberdayaan masyarakat
yang telah dillakukan.

KAPASITAS MENINGKATKAN MUTU DAN PRODUKTIVITAS


Penguatan kapasitas yang dilakukan untuk meningkatkan mutu dan
produktivitas kelompok Bunda Tanjung Bersinar dilakukan melalui kegiatan studi
banding ke pusat kerajinan kain batik sasirangan di Kampung Melayu Kota
Banjarmasin.Dengan kunjungan itu anggota kelompok melihat langsung kegiatan
pengolahan kain batik sasirangan dari awal sampai dengan akhir prosesnya.Anggota
kelompok juga dapat bertanya langsung kepada pengrajin yang sudah
berpengalaman dalam menekuni kerajinan pembuatan kain batik
sasirangan.Sebagaimana petikan wawancara dengan Bapak Sutejo, Ibu Misbah, dan
ibu Juraida berikut:“ Studi banding dilakukan ke pusat produksi kain batik sasirangan

279 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
di Banjarmasin, untuk meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan produk yang
bermutu tinggi”.109
Efek pelatihan dan studi banding itu sudah bisa dirasakan dan terlihat dari
hasil produksi kain batik sasirangan kelompok Bunda Tanjung Bersinar.Mutu produk
sudah bisa bersaing dan produksi sudah bisa dilakukan walaupun masih terbatas, Ibu
Misbah bapak Sutejo menyatakan:“Kami sudah bisa membuat kain batik sasirangan
bercirikan khas daerah Kabupaten Tabalong berupa motif buah langsat dan api obor,
dan bisa bersaing”. 110

KAPASITAS PENGEMBANGAN KARIR, YANG MENCAKUP :BUDAYA KERJA,


HUBUNGAN INTER-PERSONAL, BEKERJA DALAM TIM, SERTA
PENGEMBANGAN JEJARING.
Pada poin pengembangan karir atau cocoknya menurut hemat penulis adalah
pengembangan pada kapasitas usahanya.Ketika ibu-ibu rumah tangga di Maburai
sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan membatik sasirangan.Maka, mereka
sudah bisa menciptakan lapangan usahanya sendiri atau tetap bergabung dengan
kelompok Bunda Tanjung Bersinar yang menjadi wadah usaha mereka bersama.
Walaupun diberikan pilihan opsi itu, tetapi kelompok ibu-ibu rumah tangga itu lebih
senang berkumpul bersama dan mengerjakan bersama-sama proses pembuatan
kain batik sasirangan. Sebagaimana petikan wawancara dengan Bapak Sutejodan
ibu Misbahberikut:
“Para anggota bisa mencari pelanggan sendiri dan mengerjakan sendiri dan
kuntungan untuk dirinya sendiri, jika pesanan itu melalui kelompok, maka dilakukan
pengerjaan bersama-sama dan keuntungannya dibagi berdasarkan hasil
kesepakatan kelompok.Kita selalu menekankan pentingnya budaya kerja positif yang
saling membantu, bergotong royong dan bersegera menyelesaikan pesanan sebaik
mungkin, agar hasilnya bagus dan jika ada pesanan berikutnya kerjaannya tidak
menumpuk”.
Hubungan yang dikembangkan dalam kelompok Bunda adalah hubungan
antar pribadi yang penuh kekeluargaan. Maka, suasana hubungan komunikasi dalam
kelompok adalah suasana hubungan yang harmonis dan saling tolong menolong satu
sama lain, tidak ada iri hati dan dengki.

109Petikan
wawancara dengan Sekretaris Panlak CSR Maburai, Ketua Bunda Tanjung Bersinar, Kabid
Pemberdayaan Perempuan DPC HIPMIKINDO, 29/01/2017.
110Wawancara denganKetua Bunda Tanjung Bersinar, Sekretaris Panlak CSR Maburai, 29/01/2017.

280 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pekerjaan yang diselesaikan dengan tim jauh lebih baik dan besar
manfaatnya bagi keberlangsungan kelompok usaha Bunda Tanjung Bersinar
kedepannya. Kelompok ini terus maju dan berkembang, ibu-ibu rumah tangga yang
pernah mengikuti pelatihan dasar satu demi satu mulai bergabung kembali.Mereka
tertarik untuk turut bergabung bersama, mengerjakan pembuatan kain batik
sasirangan sambil belajar menambah pengetahuan dan keterampilan usaha
membuat kain batik sasirangan. Ibu Misbah menyatakan: “Hikmah bekerja dalam tim
baik untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan dan menarik simpati ibu-ibu rumah
tangga bergabung”.111
Pelatihan dan bantuan pengembangan usaha dilakukan dengan
menggandeng stakeholders terkait. DPC HIPMIKINDO membantu pengembangan
dan pelatihan pengolahan batik sasirangan yang memperhatikan kualitas dan corak
yang lebih menarik dan khas.Pelatihan UMKM dengan Disperindagkop, pemasaran
dengan Disperindagkop pada Tabalong Expo 2015 dan Koperasi Al Yaqin yang
memiliki tempat pemasaran Pusat Oleh-Oleh khas Tabalong (POKTA). Dengan
adanya POKTA, diharapkan dapat membantu pemasaran hasil-hasil kerajinan
UMKM, khususnya yang tergabung menjadi anggota Koperasi Al Yaqin.
Aktivitas pemberdayaan masyarakat yang dapat menguatkan kapasitas
individu khususnya penguatan kepribadian wirausaha dan membangun kesadaran
individu belum terlihat di pemberdayaan masyarakat yang sama di desa Mantuil dan
desa Pasar Panas. Upaya itu hanya terlihat dalam aktivitas pemberdayaan
masyarakat dengan dana CSR Bina Desa di desa Maburai atas dasar inisiatif dari
Sekretaris Panlak Maburai bapak Sutejo. Upaya itu tidak sistemik, tetapi direspon
positif oleh CSR PT Adaro Indonesia dan Partner, Bupati dan Ibu Bupati yang menjadi
representasi Dharmawanita Kabupaten Tabalong, serta stakeholders terkait lainnya.
Pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara dengan dana CSR Bina
Desa yang melakukan penguatan kapasitas individu secara baik baru terjadi didesa
Maburai Kecamatan Murung Pudak. Sementara dua desa lainnya, yaitu desa Mantuil,
Kecamatan Muara Harus belum ada, demikian pula dengan desa Pasar Panas yang
baru memulai programnya.Pemberdayaan masyarakat di dua desa itu, belum ada
penguatan kapasitas individu, kelembagaan dan networking yang tersistematis
seperti di desa Maburai.Pemberdayaan masyarakat di desa Mantuil kelompok
penerima manfaatnya adalah pengurus BPD, tenaga honor pemerintah desa,
pengurus LPM dan Ketua RT/RW.

111Wawancara dengan Ketua Kelompok Bunda Tanjung Bersinar, 13 Januari 2016

281 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Usaha yang dikembangkan adalah perikanan kolam Lele, yang dilaksanakan
secara sederhana. Tidak ada penyuluhan dan pembinaan yang tersistematis dan
terencana baik, semua berjalan apa adanya. Pengetahuan dan keterampilan usaha
dilakukan secara sederhana melalui pengetahuan berkolam yang dimiliki bapak
Kepala Desa, yang kebetulan memiliki kolam ikan Lele beberapa buah di dekat
rumahnya. Bapak Bambang Rasmadi menyatakan : “Tidak ada penguatan kapasitas,
pengarahan diberikan Kepala Desa seperlunya.Sudah satu kali panen, hasilnya
dibagi kepada warga sekitar dan sebagian dijual untuk modal berikutnya”.112
Fakta yang sama juga terjadi di desa Pasar Panas, Kecamatan Kelua.
Kondisinya lebih parah dari kegiatan pemberdayaan masyarakat di desa
Mantuil.Kegiatannya berupa pemberdayaan masyarakat di RT 4 yang rencananya
membangun 4 kolam perikanan Patin. Hanya, untuk sementara baru ada 2 kolam,
karena terkendala anggaran dana CSR tahap kedua yang belum dicairkan, ikan dan
pakannya pun belum ada.
Ada 4 kelompok yang dibentuk di RT per kelompok beranggotakan 20 orang,
total ada 80 orang. Sementara penguatan kapasitas atas Panitia Pelaksana maupun
kelompok penerima manfaat belum ada, karena Panlak sendiri bingung bagaimana
memberdayakannya, dan belum ada upaya untuk menjalin kerjasama dengan
stakeholders terkait lainnya, seperti di desa Maburai. Bapak Supriadi, menjelaskan
:“Belum ada pendamping dan belum ada rencana menjalin kerjasama yang luas, kami
bingung, mungkin ada pendampingan dari Adaro atau Pemerintah”.113
Permasalahan pemberdayaan masyarakat di desa Mantuil yang berjalan
seadanya dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di desa
Pasar Panas, tidak terlepas dari kurang baiknya koordinasi Pemerintah Kabupaten
dengan SKPD terkait. Dalam hal ini antara BAPPEDA dengan BPMPD sebagai
penanggungjawab di Pemerintah Kabupaten atas Pemberdayaan masyarakat
dengan dana CSR Bina Desa. Sebagaimana hasil wawancara sebelumnya dengan
Kepala BPMPD dan staff, yang menyatakan kurang mengetahui kegiatan tersebut
dan tidak merasa dilibatkan, karena juga tidak ada koordinasi dengan CSR PT Adaro
Indonesia dan Partner.Hal tersebut, menunjukkan lemahnya koordinasi kebijakan dan
koordinasi teknis di internal pemerintah Kabupaten dengan SKPD terkait.
Efeknya adalah tidak adanya partisipasi pemberdayaan masyarakat oleh
BPMPD atas pemberdayaan masyarakat dengan dana CSR Bina Desa. Akhirnya

112Wawancara dengan Sekdes/ Sekretaris Panlak CSR Bina Desa Mantuil, 18 Januari 2016.
113Wawancara dengan Sekdes/ Sekretaris Panlak CSR Bina Desa Pasar Panas, 08/02/2016.

282 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
fasilitasi pemberdayaan masyarakat dengan dana CSR Bina Desa hanya bertumpu
kepada Pemerintah Desa, karena Kecamatan hanya sekedar mengetahui saja.
Kondisi tersebut menyebabkan pemberdayaan masyarakat sekitar tambang
batubara dengan dana CSR Bina Desa menjadi tidak maksimal. Karena, hanya
bertumpu kepada pemerintah desa sebagai fasilitatatornya, sedangkan Kecamatan
dan pemerintah Kabupaten melalui BPMPD tidak terlibat langsung.

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Pemberdayaan masyarakat sekitar tambang batubara melalui dana CSR oleh
Pemerintah Kabupaten Tabalong dalam hal penguatan kapasitas individu belum
terlaksana sesuai dengan harapan. Penyebabnya adalah lemahnya peran fasilitator
dan katalisator pemerintah Kabupaten hingga Kecamatan.Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintah Desa tidak menjalankan fungsinya, karena tidak merasa
dilibatkan dalam pemberdayaan tersebut, dan tidak mengetahui penunjukan yang
tertuang dalam SK Bupati.Hal tersebut juga menunjukkan koordinasi dan sinkronisasi
kebijakan tidak berlanjut ke tingkat teknis.
Fasilitator pemberdayaan masyarakat di tingkat pelaksanaan, akhirnya hanya
bertumpu kepada Pemerintah Desa.Sementara, pemerintah desa (Kepala Desa) juga
terbatas sarana dan prasarana pemberdayaan masyarakat yang dimilikinya.
Keterbatasan itu, menyebabkan mayoritas desa menggunakan dana CSR Bina Desa
pada pembangunan fisik bukan pada pemberdayaan ekonomi produktif. Sementara,
desa Mantuil dan desa Pasar Panas pelaksanaannya belum sesuai harapan.
Berlangsung dinamisnya pemberdayaan masyarakat di desa Maburai, dan
melaksanakan penguatan Kapasitas Individu yang dilakukan Panitia Pelaksana CSR
Bina Desa Maburai bekerjasama dengan DPC HIPMIKINDO Tabalong, Pemerintah
Desa, dan CSR PT Adaro Indonesia dan Partnernya CSR PAMA Persada Nusantara,
karena adanya kepeloporan dari Sekretaris Panlak Maburai yang bergerak dinamis
mengawal dan mempelopori penguatan kapasitas individu ibu-ibu rumah tangga desa
Maburai baik inisiatif dirinya maupun melobi stakeholdersterkait tersebut. Hasilnya,
adalah ibu-ibu tersebut berdaya bersama Kelompok Bunda Tanjung Bersinar dalam
keterampilan membuat kain batik sasirangan Khas Maburai, Tabalong yang bermutu
dan mampu bersaing.

283 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
REKOMENDASI
Berdasarkan temuan-temuan permasalahan penelitian dilapangan, maka
saran penelitian adalah:
1. BAPPEDA perlu memastikan terlaksananya koordinasi dan sinkronisasi kegiatan
pemberdayaan masyarakat dengan dana CSR ke BPMPD sebagai SKPD terkait
dalam pemberdayaan masyarakat dengan dana CSR Bina Desa.
2. BAPPEDA perlu mendorong dan memastikan berjalannya fungsi fasilatator dan
dinamisator atau katalisator oleh Kecamatan dan Pemerintah Desa.
3. Setelah fungsi Fasilitator Kecamatan dan Pemerintah Desa berjalan, diharapkan
berlanjut kepada terjalinnya koordinasi dan sinkronisasi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dengan BPMPD untuk penguatan Kapasitas Panitia Pelaksana CSR
Bina Desa dan Kelompok Penerima Manfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Afrizal. 2015. Metode Penelitian Kualitatif Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu (cetakan ke-3). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Ardianto, Elvinaro & Dindin M. Machfud. 2011.Efek Kedermawanan Pebisnis dan
CSR. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Christenson, James A. & Jerry W. Robinson. Jr. 1989. Community Development in
Perspective. United State of America, Iowa: Iowa State University Press.
Creswell, John W. 2010. Research Design ; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid (edisi ke-3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denhard, Janet V.& Robert B. Denhard. 2003. The New Public Service; Serving, Not
Steering. London,England, Armonk, New York: M.E. Sharpe.
Dwipayana, Ari AAGN& Sutoro Eko. 2003. Membangun Good Governance di Desa.
Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE).
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kotler, Philip & Nancy Lee. 2005. Corporate Social Responsibility Doing the Most
Good for Your Company and Your Cause. Hoboken, New Jersey, AS: John
Wiley and Sons, Inc.
Mardikanto, Totok & Poerwoko Soebiato. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Perpspektif Kebijakan Publik (cet. Ke-2). Bandung: Penerbit Alfabeta.

284 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Osborne, David &Ted Gaebler. 1999. Mewirausahakan Birokrasi Reinventing
Government Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor
Publik(cetakan ke-5). Terjemahan Abdul Rosyid. Jakarta: CV Teruna Grafika.
Roesmidi & Riza Risyanti. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Sumedang: Alqaprint
Jatinangor.
Rudito, Bambang & Melia Famiola. 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan Di Indonesia. Bandung: Rekayasa Sains.
Rudito, Bambang & Melia Famiola. 2013. CSR (Corporate Social Responsibility).
Bandung: Rekayasa Sains.
Rusdianto, Ujang. 2013. CSR Communications A Framework For PR Practitioners.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rusli, Budiman. 2015. Kebijakan Publik Membangun Pelayanan Publik Yang
Responsif. Bandung: CV Adoya Mitra Sejahtera.
Santosa, Pandji. 2009. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance
(cetakan ke-2). Bandung: Refika Aditama.
Sedarmayanti. 2014. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Stewart, Aileen Mitchell. 1998. Empowering People ( Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia. Terjemahan Agus M. Hardjana (edisi ke-5). Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Sudaryono. 2014. Budaya & Perilaku Organisasi. Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia.
Suharto, Edi. 2010. CSR dan COMDEV Investasi Kreatif Perusahaan Di Era
Globalisasi. Bandung: Alfabeta.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Sujarwoto, Yumarni. 2007. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya, Malang. Dinamika KepemerintahanVol.
VIII No. 2 2007.
Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Utomo, Warsito. 2007. DINAMIKA ADMINISTRASI PUBLIK: Analisis Empiris Seputar
Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik.Yogyakarta: Magister
Administrasi Publik-Pustaka Pelajar.

285 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Rujukan Elektronik
Anynomous. 2015. Kondisi Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan. Melalui
http://kalsel.bps.go.id/Brs/view/id/1047.
Anynomous. 2014. Monografi Kabupaten Tabalong. Melalui
tabalongkab.bps.go.id/publikasi/mono2014/indeks.html.
Goodsell, Charles T. 2003. A New Vision For Public Administration. Melalui e-mail:
goodsell@vt.edu.
Dokumen-Dokumen
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Surat Keputusan Bupati Tabalong nomor : 188.45/471/2014 Tentang Pembentukan
Tim Koordinasi dan Sinkronisasi Program Corporate Social Responsibility
(CSR) Perusahaan Yang Berada di Wilayah Kabupaten Tabalong.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.

286 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI
KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH
(Studi Pada Kecamatan Ciater Hasil Pemekaran Dari
Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang Jawa Barat)
Rahman Mulyawan114, Utang Suwaryo115, Iyep Saefulrahman116

ABSTRAK
Kedekatan pemerintah pada yang diperintah merupakan suatu keniscayaan jika
pemerintah bermaksud memberikan pelayanan yang lebih berkualitas. Salah satu
kebijakan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pemekaran wilayahnya
seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Subang Jawa Barat yang
memekarkan beberapa kecamatan yang ada di wilayahnya. Penelitian ini bermaksud
untuk menganalisis secara lebih dalam dampak kebijakan pemekaran pada
kecamatan yang dilihat dari perspektif pelayanan publik. Dengan tujuan seperti itu,
pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, sedangkan teknik
pengumpulan datanya melalui wawancara tidak terstruktur dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat
setelah pemerintah daerah melaksanakan pemekaran wilayah kecamatannya. Hal
lainnya yang berhasil dicapai dengan kebijakan pemekaran wilayah tersebut yaitu
kehadiran pemerintah sangat dirasakan oleh masyarakatnya. Rentang kendali dan
ruang dalam melaksanakan fungsinya tersebut yang semakin sempit serta
kepemimpinan camatnya menjadi determinan terwujudnya kedekatan jarak antara
pemerintah—yang diperintah. Secara nyata kondisi tersebut memberikan kontribusi
pada peningkatan kualitas pelayanan kepada yang diperintah.
Kata kunci: pelayanan publik, pemekaran wilayah, kepemimpinan

ABSTRACT
A requirement of adjacency between government and those who are governed is
important if the government aim to provide a proper service. It reflects in one of the
policy of Subang Regency Government called regional blossoming (pemekaran
wilayah) that refers to the splitting up of their sub-districts (kecamatan) into multiple
new territorial administrative units. The research is aimed at gaining a deep analysis
on the policy through public service perspective and assisted by qualitative approach
in the matter of data collection such as unstructured interview and documentation.
The findings reveals the quality improvement of public service is an impact of regional
blossoming in a certain local government. Furthermore, the regional blossoming
policy also shows the more desirable presence of government amidst the public and
also it is able to restrict a span of control and leadership of Camat as the determinant
of adjacency embodiment between government and those who are governed and to
embody a proper implementation of public service at once.
Keywords: public service, regional blossoming, adjacency between government and
those who are governed, leadership

114Staf pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad / rahmanmulyawan@yahoo.com


115Guru Besar pada Departemen Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad
116Staf pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad

287 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah telah
melakukan berbagai strategi baik yang sifatnya langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks Indonesia, pilihan pada kebijkan negara terkait dengan upaya
mendekatkan diri dengan masyarakat melalui pemekaran wilayah, sudah sejak dulu
dilakukan. Kita dapat menelusurinya dari berbagai undang-undang yang mengatur
tentang penyerahan dan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Undang-undang terbaru yang mengatur tentang hal tersebut
adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain dengan pemekaran, Pemerintah juga menetapkan kebijakan lain untuk
mendukung perwujudan pelayanan masyarakat yang lebih baik secara langsung.
Kebijakan yang dimaksud di antaranya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2014 tentang Pedoman Survei
Kepuasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 1 Tahun 2015
tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pelayanan Publik. Adapun
kebijakan yang secara spesifik mengatur tentang pelayanan publik di lingkungan
pemerintahan khususnya pelayanan administrasi di kecamatan, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan.
Untuk tingkat lokal, pemerintah juga melalui kebijakan daerah melakukan
pemekaran terhadap kecamatan, kelurahan, dan desa yang ada di wilayahnya.
Banyak kabupaten/kota yang mengeluarkan kebijakan pemekaran terhadap
beberapa kecamatan, kelurahan, dan desanya yang dinilai memiliki wilayah yang
luas. Di antaranya dilakukan oleh Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat,
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Subang No. 3 Tahun 2007 dilakukan
pemekaran terhadap 8 kecamatan yang salah satunya yaitu Kecamatan Jalancagak
yang dimekarkan menjadi Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Ciater. Kebijakan
pemekaran kecamatan yang dipilih oleh Pemerintah Kabupaten Subang dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya sebagai pihak yang
diperintah dapat dikatakan sebagai langkah yang tepat karena memungkinkan
pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik atau berkualitas sekurangnya
pelayanan akan semakin sederhana, mudah, murah, dan cepat. Walaupun begitu,
tidak berarti juga bahwa pada pasca implemetasi kebeijakan pemekaran tersebut,
kinerja pemerintah (kecamatan) dalam pelayanan publik akan meningkat. Dengan

288 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kata lain hubungan pemekaran dengan kualitas pelayanan publik tidak selalu linier.
Artinya bisa juga terjadi bahwa setelah kecamatan dimekarkan, baik pada kecamatan
yang dimekarkan maupun kecamatan hasil pemekaran, kualitas pelayanan publik
tidak meningkat atau bahkan tetap dan mungkin juga malah semakin menurun
kualitasnya karena beberapa hal.
Berdasarkan pada latar belakang di atas dan untuk membatasi permbahasan
agar lebih fokus pada tujuan kajian terkait kualitas pelayanan di kecamatan hasil
pemekaran, maka permasalah an yang diajukan berkisar pada:
1. Bagaimana pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan Ciater pasca
dimekarkan dari Kecamatan Jalancagak di Kabupaten Subang pada tahun 2015?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan masyarakat di Kecamatan
Ciater pasca dimekarkan dari Kecamatan Jalancagak di Kabupaten Subang
pada tahun 2015?

MAKSUD DAN TUJUAN


Secara garis besar penelitian ini bermaksud untuk mengetahui peningkatan
kualitas layanan publik di kecamatan hasil pemekaran setelah dilakukan Pemerintah
Kabupaten Subang pada tahun 2007. Adapun secara khusus tujuanan yaitu:
1. Mengetaui kualitas pelayanan kepada masyarakat pada tahun 2015 di
Kecamatan Ciater Kabupaten Subang pasca dimekarkan dari Kecamatan
Jalancagak
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat
sebagai bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada tahun 2015
di Kecamatan Ciater Kabupaten Subang pasca dimekarkan dari Kecamatan
Jalan Cagak

TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum dapat dipahami bahwa pemerintah merupakan suatu badan
atau lembaga yang memiliki kekuasaan formal untuk melakukan berbagai kegiatan
dalam rangka menjaga keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, menyediakan
segala kebutuhan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemerintah merujuk pada organ
atau badan atau lembaga yang berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan

289 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
negara117. Ndraha memberikan batasan pemerintah yang lebih spesifik terkait hal
tersebut dan menurutnya: “ organ yang berwenang memproses pelayanan publik dan
berkewajiban memproses pelayanan civil bagi setiap orang melalui hubungan
pemerintahan, sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan
menerimanya pada saat diperlukan, sesuai dengan tuntutan (harapan) yang
diperintah” (Ndraha, 2003:6)
Untuk dapat melaksanakan wewenang dan kewajiban tersebut, pemerintah
dapat mengeluarkan berbagai kebijakan yang secara langsung mengatur
peningkatan kualitas pelayanan dan/atau dengan kebijakan yang berupaya
mendekatkan pemerintah dengan yang diperintah di antaranya melalui pemekaran
wilayah walaupun bagi pemerintah kebijakan tersebut merupakan suatu pilihan yang
dilematis. Kebijakan pemekaran ini di satu sisi merupakan pilihan yang penting dan
signifikan untuk bisa meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan,
termasuk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memungkinkan
Pemerintah dapat lebih mendekatkan diri dengan yang diperintah. Namun di sisi lain,
pemekaran wilayah menjadi arena segelintir orang untuk memperebutkan kekuasaan
di aras lokal yang tentunya akan menghambat dalam penyelenggaraan pemerintahan
secara umum karena tujuan pemekaran wilayahnya yang berbeda.
Pemekaran wilayah umumnya dipahami sebagai bagian dalam menata
daerah otonom. Dalam pandangan Djohan (2006) terkait penataan daerah otonom,
diharapkan bahwa pemekaran wilayah (daerah) akan berguna bagi peningkatan
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah baik dalam pelayanan,
pemberdayaan, maupun dalam pembangunan. Oleh karena itu kebijakan pemekaran
wilayah harus diselaraskan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta kondisi
kelayakan daerah tersebut untuk dimekarkan baik secara politik, ekonomi, maupun
sosial. Terkait dengan hal tersebut, Pratikno (2006) memberikan batasan
parameternya yang menurutnya:
Secara normatif, kebijakan pemekaran daerah harus diletakkan dalam
kerangka reformasi politik pemerintahan. Dalam konteks fungsi pemerintahan,
kebijakan pemekaran daerah seharusnya diletakkan dalam kerangka untk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu
dalam konteks fungsi pelayanan, pemekaran wilayah harus memberikan
kontribusi secara positif bagi pengingkatan kualitas pelayanan publik secara
positif bagi semua kelompok masyarakat. Pemekaran juga diharapkan

117lihatMuchtar Affandi (1982) dalam bukunya Ilmu-ilmu Negara: Suatu Studi Perbandingan. memberikan penjelasan
terkait pemerintah ini yang dikaitkannya dengan kekuasaan yang dimiliki negara. Menurutnya pemerintah, dalam arti
yang sempit, merujuk pada cabang eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan negara. Pemerintah juga diartikannya
sebagai suatu organisasi teknis dengan kelengkapan kewenangan-kewenangan tertentu untuk pengaturan dn
pelaksanaan segala urusan. Sementara dalam arti yang luas diartikan sebagai keseluruhan rangkaian lembaga yang
digunakan oleh sekelompok orang untuk memerintah dan menyebabkan orang lain mengikuti perintahnya

290 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberikan akselerasi pembangunan ekonomi yang dinikmati secara merata
oleh seluruh wilayah dan lapisan masyarakat Indonesia.

Secara empiris, penataan wilayah tidak hanya terjadi pada daerah otonom
saja (Propinsi, Kabupaten, dan Kota). Pada wilayah kecamatan pun bisa dilakukan
pemekaran. Hal ini dapat ditelusuri dari peraturan perundangan-undangan yang
pernah dikeluarkan pemerintah termasuk dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan konsep atau
istilah pemekaran kecamatan, tetapi dalam undang-undang tersebut diatur tentang
pembentukan kecamatan dalam suatu daerah kabupaten dan kota. Merujuk pada
pembentukan daerah yang terdiri dari pemekaran dan penggabungan daerah, maka
pembentukan kecamatan pun tentunya dapat juga mengacu pada pemekaran dan
penggabungan kecamatan. Pembentukan kecamatan berdasarkan undang-undang
tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.
Pembentukannya dilakukan melalui suatu peraturan daerah yang sebelum ditetapkan
disampaikan terlebih dahulu kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat untuk mendapatkan persetujuan.
Meminjam dimensi adminsitratif atau teknis dalam pemekaran daerah seperti
dikemukakan Djohan (2006), tampaknya pemekaran kecamatan dilihat dari aspek
geografisnya memungkinkan meningkatkan tujuan seperti tertuang dalam UU No. 23
Tahun 2014 karena wilayah untuk dikelola akan semakin sempit. Dengan kondisi
yang demikian menurut Mutholib (1987) seperti dikutip Djohan pemekaran menjadi
pilihan yang tepat di antaranya untuk pelayanan lebih optimal, pemerintah lebih
responsif karena lebih dekat dengan komunitas yang dilayani dan konsultasi
masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan instansi pemerintah dengan
masyarakat. Dalam hal ini pelayanan memiliki kedudukan yang penting jika dikaitkan
dengan kebijakan pemekaran wilayah. Oleh karena itu bagi pemerintah keberhasilan
memberikan pelayanan kepada masyarakat memiliki makna yang dalam karena akan
berdampak pada adanya pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat bahwa ia
memiliki kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pelayanan ini menurut Moenir (2001) pada hakekatnya merupakan
serangkaian kegiatan dan proses yang akan berlangsung secara rutin dan berjalan
secara berkesinambungan. Saefullah (1999) yang mengambil istilah pelayanan
umum (terjemahan dari public service) menjelaskannya sebagai “pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat yang menjadi warga negara atau yang secara sah

291 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menjadi penduduk negara yang bersangkutan”. Dengan demikian dalam pelayanan
ada pihak yang melayani dan yang dilayani. Dalam konteks hubungan pemerintahan,
Lonsdale seperti dikutip oleh Wirjatmi (1996) memberikan definisi pelayanan sebagai
“sesuatu yang disediakan baik oleh organisasi pemerintah maupun swasta karena
masyarakat umumnya tidak dapat memenuhi sendiri kecuali melalui kolektif (Wirjatmi,
1996:6). Hal ini sejalan dengan pendapatnya Wasistiono (2001) yang menyatakan
bahwa “Pelayanan umum adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta
atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa
pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat
(Wasistiono, 2001: 51—52) dan juga Dwiyanto (2005) yang melihat dalam konsep
pelayanan umum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
memenuhi kewajibannya, artinya pemerintah memang harus memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Pelayanannya pun harus sesuai dengan standar pelayanan
karena menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah
secara berkualitas.
Terkait dengan batasan kualitas dalam pelayanan, Sampara Lukman
memberikan penjelasan bahwa pelayanan yang berkualitas itu harus
diselenggarakan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai
pedoman dalam memberikan layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah
ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik (Lukman, 1999:14).
Batasan lain terkait kualitas pelayanan masyarakat dikemukakan oleh Lovelock yang
dikutip Tjiptono yaitu “sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian
atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono,
1996:59). Supranto (1997) dengan mengutip pendapatnya Kolter mengemukakan
adanya beberapa dimensi dalam kualitas pelayanan yang disebutnya sebagai
kualitas pelayanan yang mantap. Dimensi lain yang disebutnya sebagai ukuran
pelayanan berkualitas dikemukakan oleh Pasuraman yang dikutip oleh Tjiptono, yaitu
Bukti langsung (tangibles); Keandalan (reliability); Daya tanggap (responsiveness);
Jaminan (assurance) dan Empati (empathy).
Untuk mewujudkan pelayanan publik yang efektif dan efesien, maka akan
lebih baik kalau diselenggarakan oleh pemerintah daerah melalui penerapan
desentralisasi. Dengan desentralisasi ini, setiap Daerah akan berupaya
memaksimalkan semua unit pemerintahannya. Salah satunya yaitu kecamatan yang
merupakan alat daerah dalam membangun hubungan antara pemerintah dengan
yang diperintah termasuk dalam menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat.

292 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dalam perspektif sistem, tidak ada sesuatu hal yang bisa berdiri sendiri tanpa
mempengaruhi dan/atau dipengaruhi yang lainnya. Merujuk pada pendapatnya Kaho
(2010), dengan melihat pada pelaksanaan otonomi daerah secara khusus,
sekurangnya ada empat hal yang menjadi faktor yang mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintahan yaitu manusia pelaksana, keuangan, peralatan atau
sarana dan prasarana, serta organisasi dan manajemen yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Menurutnya untuk dapat melaksanakan otonomi
daerah yang berarti juga menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk di
dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik maka keempat faktor tersebut berada
dalam kondisi yang baik. Faktor-faktor yang dijelaskan oleh Kaho hanyalah beberapa
saja dari banyak faktor yang ada. Ada kemungkin faktor lain yang tidak bisa
dimasukkan dalam salah satu faktor yang berhasil diidentifikasinya. Selain itu, dalam
pembagian faktor tersebut tampaknya lebih banyak terfokus pada internalnya saja,
sedangkan untuk eksternalnya—kalaupun ada—belum mendapatkan porsi yang
banyak. Dalam aspek internal pemerintahan pun, penjelasan belum mengaitkan
dengan aspek sosial budaya. Padahal, dalam konteks ilmu sosial aspek ini
merupakan hal yang sangat penting dan signifikan dapat mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum dan pelayanan publik secara
khusus.

METODE PENELITIAN
Merujuk pada permasalahan dan tujuan penelitiannya yang hendak
mengetahui realitas sosial terkait dengan kualitas pelayanan publik pasca pemekaran
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka pendekatan penelitian yang akan
digunakan yaitu kualitatif dan jenis penelitiannya eksplanasi. Dasar pertimbangannya
karena pendekatan dan jenis penelitian tersebut dimaksudkan untuk tidak hanya
sekedar memberikan gambaran mengenai suatu gejala sosial tertentu yang menjadi
fokus perhatian yang dijelaskan, tetapi bagaimana hubungannya dengan gejola
sosial lainnya serta mengapa dan bagaimana hubungan tersebut bisa timbul.
Dari permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai teknik pengumpulan data
yang akan digunakan dalam penelitian seperti dikemukakan Sugiyono (2005) terdiri
dari observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam (indepth interview) atau
wawancara tidak berstruktur. Untuk memperoleh informasi yang tepat dan mendalam
maka ketepatan memilih informan menjadi hal yang penting. Untuk menentukan
informan dipilih teknik purposive dan ditetapkan bahwa informannya terdiri dari Camat

293 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Ciater, Aparat Kecamatan Ciater yang bertugas melayani masyarakat, pemerintah
desa di Kecamatan Ciater, tokoh masyarakat desa di Kec, Ciater.
Pengolahan dan analisa data yang akan digunakan adalah tahapan seperti
dikemukakan oleh Sugiyono (2005) yang mengutip pendapatnya Miles and
Huberman. Aktivitas dalam analisis data tersebut meliputiproses reduksi data (data
reduction) yang terpokus pada pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar dari hasil catatan lapangan; proses penyajian data (data
display) yang dimulai degan penyusunan informasi menjadi pernyataan yang
memungkinkan penarikan kesimpulan; dan proses penarikan kesimpulan (conclusion
drawing/verification) berdasarkan reduksi dan penyajian data yang berlangsung
secara bertahap dari kesimpulan umum pada tahap reduksi data, kemudian lebih
spesifik pada tahap penyajian data, dan lebih khusus lagi pada tahap penarikan
kesimpulan yang sebenarnya.

OBJEK, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pelayanan Publik Pasca Pemekaran Di Kecamatan Ciater
Lokasi untuk mengkaji kualitas pelayanan masyarakat di kecamatan hasil
pemekaran ini yaitu Kecamatan Ciater yang merupakan hasil pemekaran dari
Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang tahun 2007. Pemilihan Kecamatan Ciater
sebagai lokasi kajian disebabkan Ciater merupakan kecamatan yang lokasinya ada
di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang. Dengan
posisinya yang demikian maka Ciater menjadi salah satu kecamatan yang paling jauh
dari ibukota Kabupaten Subang. Selain itu, letak geografisnya118 yang lebih banyak
pegunungan menjadikan Ciater memiliki potensi wisata yang cukup signifikan.
Dengan potensi tersebut maka perubahan sosial yang terjadi di wilayahnya sangat
dinamis mengingat potensi keluar dan masuknya penduduk dari dan/atau ke luar
Ciater akan sangat besar. Potensi wisata juga memberi ruang bagi tumbuh dan
berkembangnya masyarakat pariwisata di Ciater. Persoalan-persoalan tersebut
sedikit atau banyak memberi dampak pada penyelenggaraan pemerintahan secara
umum dan pelayanan publik secara khusus.
Sebagai kecamatan yang baru terbentuk, saat ini Kecamatan Ciater sedang
dalam kondisi mencoba menata penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan
akuntabel sehingga mampu mencapai visinya yaitu “Mewujudkan Kecamatan Ciater

118Lihat BPS Kab. Subang dalam dokumen Kecamatan Ciater Dalam Angka 2015, Statistik Daerah: Kecamatan
Ciater tahun 2015, dan Uraian Tugas Pegawai di Lingkungan OPD Kec. Ciater

294 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kecamatan Wisata Yang Berbasis Masyarakat Religius Tradisiional dan Bertaraf
Internasional”. Untuk mencapai visi tersebut Kecamatan Ciater menetapkan
beberapa misi yang akan dilaksanakan. Misi-misi tersebut di antaranya:
Meningkatkan kualitas pelayanan administrasi perkantoran dan sumber daya
aparatur; dan Melaksanakan pelayanan umum. Jumlah penduduk di Kecamatan
Ciater sendiri pada tahun 2014 berjumlah 28.947 jiwa dengan komposisi penduduk
laki-laki sebanyak 14.568 jiwa serta jumlah penduduk perempuan sebanyak 14.406,
sedangkan kepadatan penduduk sebesar 630 jiwa per kilo meter persegi. Tersebar
di 7 desa (Ciater: 5.599 jiwa, Nagrak: 2.296 jiwa, Cibeusi: 2832 jiwa, Cibitung: 3.008
jiwa, Sanca: 4.339 jiwa, Palasari: 6583 jiwa, Cisaat: 4.317 jiwa). Kecamatan Ciater
terdapat dua desa dengan kepadatan penduduk diatas 700 jiwa per Km2. Desa
tersebut adalah Desa Palasari (1019 jiwa/Km2), dan Desa Cibeusi (778 jiwa /Km2)
untuk desa yang paling jarang penduduknya adalah Desa Cibitung yaitu sebanyak
326 jiwa per Km2.
Pelayanan publik atau biasa disebut juga pelayanan masyarakat merupakan
bagian dari penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus fungsi utama dari
keberadaan sebuah pemerintahan. Itulah alasan bahwa Kecamatan Ciater yang
merupakan perangkat daerah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Subang pun
memiliki kewajiban untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang tercakup
dalam urusan bidang pelayanan kepada masyarakat.
Dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan di
Kecamatan Ciater masih tetap berlandaskan pada Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2008 tentang Kecamatan. Pelayanan kepada masyarakat merupakan bagian
dari tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh Camat. Artinya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di kecamatan maka yang bertanggung jawab
adalah Camat sebagai pimpinan pelaksana teknis kewilayahan. Pelayanan yang
diberikan oleh kecamatan (camat) adalah yang termasuk dalam ruang lingkupnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa dan
kelurahan.119Tugas yang terkait dengan pelayanan masyarakat sebagaimana
dimaksud yaitu120: melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat
di kecamatan; melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di
wilayahnya; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pelayanan kepada masyarakat di kecamatan; melakukan evaluasi terhadap

119Lihat Pasal 15 PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan


120Lihat Pasal 22 PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan

295 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan; melaporkan
pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan kepada
Bupati/Walikota. Dalam hal-hal tertentu seperti perijinan dan rekomendasi camat
juga menerima tanggung jawab untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan
yang dilimpahkan oleh bupati/walikota.
Dengan ketiadaan aturan baru yang mengatur tentang pelayanan masyarakat
secara khusus, maka dalam menyelenggarakannya Kecamatan Ciater juga tetap
mengacu pada aturan yang sudah ada. Dalam hal ini yaitu Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan yang dikenal dengan istilah PATEN. Pijakan Kecamatan Ciater untuk
tetap mengacu permendagri tersebut sebagai basis normatif penyelenggaraan
pelayanan ini juga didasarkan pada tataran empiris bahwa dalam penyelenggaraan
urusan pelayanan yang diberikan pada masyarakat lebih banyak melaksanakan
pelayanan adminsitratif baik bidang perijinan maupun non perijinan.
Dibalik relatif positifnya kebijakan-kebijakan tersebut, ada hal yang masih
kurang dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan Ciater ini. Di
antaranya terkait dengan ketiadaan kebijakan yang menetapkan tentang jenis-
jenis layanan yang diselenggarakan oleh Kecamatan Ciater. Dari hasil penelitian
didapat informasi bahwa pihak kecamatan sendiri tidak mengetahui secara pasti
dasar hukum yang mengatur atau menetapkan jenis layanan yang harus
diselenggarakan oleh kecamatan. Kondisi tersebut menjadi suatu kewajaran karena
dari hasil penelusuran pada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
termasuk Permendagri No. 4 Tahun 2010 tentang PATEN tidak ada penetapan jenis
layanan yang harus diselenggarakan oleh kecamatan secara umum ataupun terkait
dengan penyelenggaraan PATEN sendiri. Permendagri hanya membagi ruang
lingkup pelayananan menjadi perijinan dan non perijinan. Oleh karena itu Kecamatan
Ciater hanya menyelenggarakan pelayanan masyarakat “yang biasanya” atau “yang
selama ini” berjalan seperti sebelum-sebelumnya kecuali ada ketentuan lain seperti
halnya dalam pelayanan KTP.
Dengan ketiadaan informasi tentang jenis layanan tersebut, maka dilakukan
pengidentifikasian jenis layanan yang diselenggarakan Kecamatan Ciater kepada
masyarakat. Daftar jenis layanan kemudian disusun yang didasarkan pada
penelusuran dari berbagai sumber. Hasil pengidentifikasian dapat dilihat pada tabel
berikut:

296 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tabel Jenis Layanan Masyarakat Yang Diselenggarakan
Di Kec. Ciater Pasca Pemekaran

NO JENIS LAYANAN
1 Pembuatan Akta Jual Beli/Apbh (Akta Pembagian Hak Bersama)
2 Surat Pernyataan Waris
3 Proses Pembuatan Ktp
4 Surat Pindah
5 Dispensasi Nikah
6 Surat Keterangan Domisili/Tempat Tinggal
7 Surat Keterangan Domisili Usaha
8 Ijin Mendirikan Bangunan Pemutihan
9 Rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan
10 Surat Keterangan Tidak Mampu
11 Surat Keterangan Domisili/Tempat Tinggal (Bg yang Mau Berangkat Haji)
12 Kartu Keluarga
13 Surat Keterangan Akta Kelahiran
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Jenis layanan yang teridentifikasi diselenggarakan di Kecamatan Ciater
tersebut bisa saja bertambah karena di beberapa kecamatan ada jenis pelayanan
lain. Di antaranya ada Ijin Pemanfaatan Ruang, SKCK, Surat Keterangan
Permohonan Pelepasan Hak Atas Tanah, Pelayanan Kartu Identitas Penduduk
Musiman (KIPEM), Surat Keterangan Lahir, Mati, dan Lahir Mati, Pelayana Surat
keterangan Pindah Antar Desa dalam kecamatan, antar kecamatan dalam
kabupaten, dan antar kabupaten dalam propinsi. Mengingat Kecamatan Ciater
merupakan wilayah pariwisata sangat mungkin juga untuk menambah jenis layanan
baru yang terkait dengan potensi dan kondisinya tersebut.
Dalam penjelasannya beberapa informan (pemerintah desa) menjelaskan
bahwa hampir semua jenis layanan pernah diselenggarakan, tetapi dengan intensitas
yang berbeda. Pengurusan pelayanan masyarakat umumnya berkisar pada
pelayanan administrasi kependudukan seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), Surat
Pindah, Surat keterangan Domisi, SKTM, dispensasi nikah (NA), dan akte kelahiran.
Informasi dari pemerintah desa ini sejalan dengan jawaban responden pada tabel di
atas yang menempatkan pelayanan proses pembuatan KTP di Kecamatan Ciater
sebagai jenis layanan yang paling banyak diterima (dibutuhkan) warga. Adapun untuk
jenis layanan lain seperti IMB, Akte Jual Beli/APBH, sering dilakukan dikawasan desa
wisata seperti di Desa Palasari dan Desa Ciater. Informasi ini diketahui karena dalam
mengurus jenis layanan tersebut, masyarakat harus memiliki surat pengantar dari
pemerintah desa. Setelah itu pengurusan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat
sendiri. Walaupun begitu ada di antaranya yanag meminta bantuan kepada

297 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemerintah desa dalam pengurusannya. Untuk hal seperti ini, pemerintah desa
biasanya menampung terlebih dahulu (dilakukan secara kolektif). Namun untuk yang
sifatnya mendesak seperti kebutuhan akan SKTM untuk keperluan ke rumah sakit,
salah seorang perangkat desa (sekretrais desa) akan menyegerakan
pengurusannya.
Data yang tersaji pada tabel 1 hanya menunjukkan bahwa Kecamatan Ciater
sekurangnya menyelenggarakan 13 jenis layanan. Data tersebut tidaklah menjadi
ukuran utama untuk menilai kualitas pelayanan masyarakat. Namun begitu, data
tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh Kecamatan Ciater dalam menyiapkan
strategi pelayanan misalnya untuk proses pembuatan KTP agar bisa lebihbaik.
Misalnya dengan menyiapkan sarana dan prasarananya (peralatan) yang lebih
berkualitas (efektif dan efesien), ruang tunggu yang nyaman dan bisa menampung
banyak warga, penambahan petugas pelayanan dan lain-lain.
Dengan usia baru 8 tahun tetapi sudah mendapat penilaian cukup positif dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebesar itu, sebetulnya sudah
merupakan prestasi tersendiri bagi para penyelenggaranya, khususnya pimpinannya
yaitu Camat. Dengan segala keterbatasan yang ada, seperti gedung kantor yang
masih menyewa. Situasi seperti itu jelas menyulitkan camat beserta perangkat
kecamatannya untuk melakukan penataan ruang yang lebih representatif dan
kondusif dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan kondisi yang demikian maka tidak mengherankan bila di
antaranya ada yang menyatakan bahwa dilihat dari aspek bukti langsung (tangible)
seperti ketersediaan ruang untuk pelayanan yang dinilai kurang bersih dan nyaman
serta fasilitas pelayanan yang kurang memadai dan kurang mendukung pelayanan.
Dalam hal ini, masyarakat tetap masih mengharapkan tersedianya fasilitas yang
cukup untuk dapat menyelenggarakan pelayanan yang kondusif dan representatif.
Ketersediaan fasilitas yang mencakup ruang beserta segala sarana dan
prasarananya akan memberikan kenyamanan pada masyarakat. Sebaliknya jika
ruang serta prasarana dan sarananya kurang kondusif maka pelayanan masyarakat
yang diselenggarakan Kecamatan Ciater dapat dikatakan kurang berkualitas karena
ketiadaan dukungan dari aspek tersebut. Apalagi ketika jarak kantor kecamatan yang
harus tempuh warga sangat jauh, maka tuntutan untuk ketersediaan ruang dan
fasilitas pelayanan menjadi bertambah. Dalam perspekstif pelayanan jasa dan
reinventing government, maka masyarakat adalah konsumen dan kenyamanannya

298 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dalam beraktivitas menjadi hal utama yang harus disiapkan Pemerintah, dalam hal ini
Kecamatan Ciater
Kekurangan pada aspek bukti langsung tersebut untungnya dapat diimbangi
oleh para penyelenggaranya (aparat kecamatan) yang dinilai informan memiliki
kecakapan. Hal ini didasarkan pada keterampilan dan kecekatan aparat saat
memberikan layanan kepada masyarakat. Kecakapan yang dibutuhkan oleh aparat
kecamatan untuk pelaksanaan fungsi pelayanan umum tidaklah sekomplek untuk
pelaksanaan fungsi pembangunan dan pemberdayaan terutama bagi aparat yang
bekerja di lembaga teknis seperti dinas dan badan. Kemampuan dalam hal pelayanan
kepada masyarakat yang bersifat adminsitratif lebih merujuk pada keterampilan
aparat dalam mengoperasikan peralatan agar mampu memberikan pelayanan yang
memuaskan dari sisi kecepatan, kecermatan, dan kecekatan. Oleh karena itu, dalam
aspek keandalan (reliability), aparat kecamatan dapat menunjukkannya.
Kualitas pelayanan juga akan terkait dengan daya tanggap atau respon dari
aparat terhadap setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Untuk aspek ini, Kecamatan Ciater dinilai memiliki responsivitas
yang baik. Penilaian ini tidak terlepas dari beberapa upaya perbaikan yang dilakukan
oleh Kecamatan Ciater untuk mewujudkan pelayanan masyarakat yang berkualitas
salah satunya dengan menyiapkan “ruang” yang dioperasikan sebagai “tempat
pelayanan terpadu”. Ruang tersebut dibuat oleh Camat salah satunya untuk bisa
mempercepat pelayanan masyarakat. Walaupun sangat sederhana, tetapi tempat
tersebut sangat membantu penyelenggaraan pelayanan secara keseluruhan
sekurangnya pelayanan menjadi lebih efesien karena bisa diselesaikan saat itu juga.
Ada memang keluhan terhadap ruang pelayanan yang dimiliki Kecamatan Ciater,
tetapi kondisi tersebut diluar kuasa pihak Kecamatan karena sebagaimana telah
sedikit dijelaskan bangunan yang kini digunakan sebagai Kantor Kecamatan Ciater
merupakan bangunan milik Desa Cisaat yaitu bekas Pasar Rakyat. Dengan kondisi
seperti itu, Camat sebagai pimpinan di Kecamatan Ciater tidak memiliki keleluasaan
untuk melakukan penataan ruang kantor.
Kebijaksanaan Camat untuk menyiapkan “ruang” pelayanan seperti itu tidak
terlepas dari kepekaannya pada aspirasi (keluhan dan masukan) masyarakat baik
yang disampikan langsung maupun melalui pemerintah desa. Artinya Camat
membuka “ruang lain” untuk dialog atau ruang komunikasi antara pemerintah dengan
yang diperintah dan antara pimpinan dengan yang dipimpinnya. Dengan adanya
ruang seperti itu, maka solusi terhadap kesulitan yang dihadapi masyarakat atau

299 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
keluhan masyarakat bisa segera dicarikan. Strategi yang dilakukan Camat untuk
membangun komunikasi tersebut yaitu dengan melaksanakan “kegiatan rutin
mingguan”. Dalam ruang komunikasi tersebut selain terjadi pertukaran informasi,
informasinyanya sendiri akan terus terbarukan. Hal yang sama pun akan terjadi pada
berbagai keluhan atau aspirasi atau saran masyarakat. Dalam hal ini “ruang
komunikasi” yang dibangun camat menjadi strategi yang menyebabkan responden
memberikan penilaian bahwa wadah atau tempat untuk menampung saran,
masukan, dan keluhan masyarakat selalu tersedia. Adanya ruang komunikasi
tersebut menyebabkan pemerintah desa sebagai ujung tombak atau pihak pertama
dalam penyelenggaraan pelayanan di Kecamatan Ciater dapat secepatnya
memberikan informasi kepada warga masyarakatnyaterkait prosedur atau
persyaratan untuk mendapatkan pelayanan.
Aspek ketiga dalam pelayanan yang berkualitas ini memiliki dampak yang
signifikan pada penilaian kualitas pelayanan yang diselenggarakan di Kecamatan
Ciater pada aspek berikutnya yaitu jaminan (assurance). Ruang komunikasi yang
awalnya dibangun oleh Camat sebagai strategi dalam merespon setiap
permasalahan, ternyata secara tidak langsung dapat membangun suatu kepastian,
munculnya kepercayaan, dan rasa aman pada diri masyarakat terhadap pelayanan
publik yang diselenggarakan Kecamatan Ciater sebagai kecamatan hasil pemekaran.
Walau begitu, keluhan pada aspek ini tetap ada dan hal tersebut menyangkut pada
tidak ada kepastian dalam hal besaran biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dan
waktu penyelesaian saat mengurus keperluannya (membuat KTP, KK dan lain-lain).
Ketidakpastian ini sebetulnya disebabkan oleh masyarakat sendiri yang ternyata saat
mengurus keperluannya seringkali memberikan “biaya administrasi” kepada aparat
(khususnya di desa) yang besarannya tidak sama. Namun sesungguhnya “biaya
adminitrasi” tersebut tidak ada dan juga tidak diminta. Masyarakat sendirilah yang
dengan kesadarannya memberikan biaya tersebut. Untuk keperluan pengurusan
SKTM, aparat desa tidak pernah mau menerima “biaya administrasi” tersebut, tetapi
untuk membantu pengurusan keperluan adminitrasi lainnya yang mengharuskan
aparat desa pergi ke kecamatan dan pemda serta sebetulnya bukan kewajiban
pemerintah desa dan seharusnya dilakukan masyarakat sendiri, aparat mau
menerimanya. Sementara, dalam hal ketidakpastian pada waktu penyelesaian
sebetulnya tidak terjadi di kecamatan karena penyelesaian akhir untuk hampir semua
pelayanan publik yang sifatnya administratif ada di Pemerintah Kabupaten Subang.

300 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas juga harus bisa
memenuhi aspek empati (empathy). Aspek ini berkaitan dengan sikap aparat dalam
membangun hubungan dengan masyarakat. Hubungan tersebut akan mudah
terbangun apabila aparat (petugas) memiliki pemahaman yang baik terhadap
permasalahan yang dihadapi masyarakat atau kebutuhan masyarakat. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa secara umum informan menilai petugas (aparat)
Kecamatan Ciater memiliki empati yang baik dengan sikapnya yang selalu ramah
pada saat memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memilki pemahaman yang
dalam terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dasar penilaian tersebut
terkait dengan aspek jaminan kepastian yang telah dijelaskan sebelumnya dan kalau
merujuk pada penjelasan keempat aspek sebelumnya, Kecamatan Ciater memiliki
kemampuan membangun hubungan yang baik dengan masyarakat. Artinya aspek
empati tidak akan menjadi titik lemah dan memberikan masalah pada
penyelenggaraan pelayanan kualitas yang hendak diwujudkan kecamatan.
Keyakinan akan kemampuan Kecamatan Ciater dalam membangun hubungan
dengan masyarakat yang akhirnya mampu menumbuhkan empati pada aparat
(petugasnya) sebetul sudah bisa ditelusuri pada saat Camat membangun “ruang
komunikasi” antara pemerintah dan yang diperintah dan antara pimpinan dan yang
dipimpin (bawahan). Melalui ruang komunikasi tersebut, pembinaan terhadap sikap
aparat dalam memberikan pelayanan dapat secara terus menerus tersosialisasikan.
Selain itu melalui ruang itu juga Camat dapat menumbuhkembangkan
kepekaan pada aparatnya yang menjadi bawahannya terhadap permasalahan yang
dihadapi masyarakat baik dalam pelayanan masyarakat dan kehidupannya secara
khusus maupun permasalahan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu
untuk sikap dan kepekaan aparat, responden memberikan penilaian yang positif. Dari
tabel tampak bahwa responden tidak menjadikan sikap dan kepakaan sebagai salah
satu alasan belum memuaskannya pelayanan masyarakat yang diselenggarakan di
Kecamatan Ciater.

Determinan Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kecamatan Ciater


Merujuk pada penjelasan pada bab sebelumnya, kita dapat melihat adanya
beberapa faktor yang menjadi determinan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
di Kecamatan Ciater pasca pemekarannya dengan Kecamatan Jalancagak. Secara
umum faktor tersebut dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu yang mendukung dan
menghambat terciptanya kualitas pelayanan publik.

301 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Faktor Pendukung
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan faktor-faktor lain, kepemimpinan
camat menjadi faktor utama dalam keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik di Kecamatan Ciater. Strateginya dalam membangun hubungan
antara yang pemerintah dan yang diperintah serta antara pimpinan dan bawahan
menjadi kunci atas cukup berkualitasnya pelayanan yang diselenggarakannya.
Strategi yang dimaksud adalah tersedianya “ruang komunikasi” yang intens yang
memungkinkan terjadinya pertukaran dan pembaruan informasi terkait dengan
pengurusan dan penyelesaian pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.
Ruang komunikasi yang dibangun oleh Camat tersebut secara tidak langsung
menumbuhkan semangat pada pemerintah desa untuk juga menyelenggarakan
pemerintahan dan pelayanan publik menjadi lebih baik lagi, produktif, responsif dan
akuntabel. Hasil penelitian memberikan gambaran tentang pemerintah desa
khususnya dalam pelayanan kepada masyarakat yang cukup berkualitas. Hal ini
dilihat dari sisi penerimaan pemerintah (perangkat) desa pada masyarakat saat
mengurus kebutuhannya (seperti surat pengantar ke puskesmas, kecamatan dan
lain-lain) yang memberikan rasa aman dan nyaman. Pemerintah desa juga seringkali
memberikan penjelasan terkait prosedur pengurusan pelayanan selanjutnya setelah
selesai pengurusannya di desa.
Merujuk pada kedudukan kecamatan sebagaimana diatur dalam UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kecamatan Ciater dapat dikatakan
berhasil meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik di wilayah kerjanya. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kemampuan camat
dalam melaksanakan tugas-tugasnya baik yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut maupun secara khusus terkait pelayanan yang diatur oleh Permendagri No.
4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Adminsitrasi Terpadi Kecamatan. Dalam
hal ini Camat mampu memimpin, mengkoordinasikan, dan mengendalikan
penyelenggaraan pelayanan administrasi secara terpadu di kecamatan melalui
“ruang pelayanan terpadu” yang berhasil disiapkan walau sederhana.
Walaupun dari hasil penelitian dalam penyelenggaraan pelayanan publik
hanya dinilai cukup baik (cukupberkualitas), tetapi mengingat kecamatan ini baru
terbentuk dan prasarananya yang belum sepenuhnya mendukung penyelenggaraan
(seperti gedung untuk kantor yang masih sewa), nilai seperti itu merupakan sebuah
pencapaian yang tetap patut diapresiasi. Apresiasi juga layak diberikan kepada
Camat Ciater yang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menerapkan

302 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepemimpinan yang sensitif dan responsif, sehingga masukan baik berupa saran
dan/atau kritikan/keluhan dari publik (masyarakat) dijadikan bahan untuk perbaikan
dan evaluasi diri.

Faktor Penghambat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik di
Kecamatan Ciater belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Dengan kata lain
pelayanan yang diselenggarakan baru bisa mencapai tahap cukup baik (cukup
berkualitas). Namun penilaian tersebut tidak semata disebabkan karena
kekurangmampuan Kecamatan Ciater dalam menyelenggarakannya. Secara umum
bahkan penilaian tersebut lebih disebabkan hal-hal yang berada di luar kekuasaan
kecamatan, di antaranya:
1. Jarak yang masih jauh dengan lokasi Kecamatan Ciater
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Subang dengan memekarkan beberapa
kecamatan di wilayahnya adalah untuk lebih mendekatkan pemerintah dengan
masyarakatnya. Secara lebih kongkrit lagi yaitu untuk lebih mendekatkan jarak
tempuh masyarakat kepada kantor pemerintahan dalam rangka mengurus berbagai
kebutuhan administrasi. Kebijakan ini pun sebetulnya dalam rangka melaksanakan
semua fungsi yang melekat pada keberadaan pemerintahan yaitu pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan. Untuk bisa melaksanakan fungsi tersebut
dengan baik maka salah satu jalannya yaitu lebih mendekatkan lagi dengan
masyarakat.
Dalam kasus Kecamatan Ciater, jarak tempat tinggal masyarakat dengan
kantor kecamatan ternyata masih dianggap terlalu jauh. Oleh karena itu untuk
mengurus kebutuhan administrasi, masyarakat membutuhkan waktu yang lama, dan
biaya yang besar. Kebutuhan tersebut bisa dua kali lipat kalau dalam pengurusannya
tidak bisa selesai dalam satu kali atau satu hari. Diperoleh informasi dari beberapa
responden bahwa sebetulnya kalau menggunakan jalan yang “menerobos”dan
selama ini digunakan masyarakat jarak dan waktu tempuhnya lebih dekat ke kantor
kecamatan sebelumnya (Kecamatan Jalancagak). Hal tersebut tidak terlepas dari
lokasi kantor kecamatan yang berada tidak di tengah-tengah 7 (tujuh) desa yang
menjadi di wilayah kerjanya. Kantor desa saat ini berlokasi perbatasan Bandung
Barat—Subang di wilayah Desa Cisaat.

303 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Prasarana Pelayanan (Gedung Kantor Kecamatan) Bukan Milik Pemerintah
Setelah 8 (delapan) tahun dimekarkan dari Kecamatan Jalancagak, ternyata
Kantor Kecamatan Ciater masih menempati gedung sewaan. Dari informasi diketahui
bahwa gedung tersebut merupakan bekas digunakan untuk kegiatan pasar rakyat.
Dilihat dari sisi fisik bangunan, tampaknya bangunan masih layak digunakan karena
sudah permanen. Namun kalau dilihat dari sisi luas bangunan dan tata ruangnya tidak
kondusif untuk bisa mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik secara berkualitas.
Sebagai contoh “ruang pelayanan terpadu” berbagi lahan dengan ruang
tunggu yang juga berfungsi sebagai ruang untuk tamu kantor. Oleh karena itu ruang
pelayanan tersebut lahannya sangat sempit hanya untuk menempatkan meja dan
kursi saja. Ketika melayani satu atau dua orang warga ruangan masih bisa dirasakan
nyaman. Namun pada saat-saat tertentu ketika secara bersamaan masyarakat
mengurus kebutuhan administrasi kependudukan ruang pelayanan menjadi tidak
nyaman karena masyarakat menjadi berdesak-desakan.
Mengingat bangunan tersebut bukan milik pemerintah (Kecamatan Ciater)
dan bukan untuk bangunan kantor, maka camat merasa kesulitan untuk menata
ruangannya agar lebih representatif dan kondusif. Selain itu, ruangyang tersedia juga
terbatas karena gedungnya juga tidak terlalu luas/besar. Oleh karena itu, ruang untuk
pelayanan terpadu mengambil ruang tamu yang sekaligus difungsikan sebagai ruang
tunggu sehingga kurang bisa menghadirkan kenyamanan saat mengurus pelayanan.
Hal inilah yang dikeluhkan warga Kecamatan Ciater dengan membandingkan
bangunan kantor kecamatan lain atau Kecamatan Jalancagak.
3. Terbatasnya kewenangan kecamatan sebagai penyelenggara pelayanan publik
Terbatasnya kewenangan kecamatan menjadi faktor lain yang menyebabkan
penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan Ciater dinilai hanya cukup
memuaskan saja atau cukup berkualitas. Kewenangan yang dimaksud adalah
kewenangan dalam mengurus berbagai jenis pelayanan untuk bisa diselesaikan di
kecamatan saja. Pada beberapa jenis layanan seperti halnya KTP, pengurusannya
harus melibatkan pihak pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait. Akibatnya
masyarakat yang membutuhkan kartu identitas tersebut harus menyiapkan waktu dan
biaya tambahan. Hal tersebut berbeda dibanding masa-masa sebelumnya yang untuk
mengurus KTP cukup diselesaikan sampai di kecamatan saja.
4. Ketidakpastian dalam pengurusan dan penyelesaian pelayanan yang
menyebabkan biaya dan waktu pengurusan yang berbeda-beda.

304 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kontribusi Kecamatan Ciater pada ketidakpastian pengurusan dan
penyelesaian pelayanan ini terkait dengan lamanya waktu penyelesaian dan besaran
biaya pengurusannya. Lamanya waktu disebabkan petugas dari kecamatan
menunggu jumlah masyarakat yang juga mengurus pelayanan lebih banyak (tidak
hanya 1 atau 2 orang). Dengan ada beberapa orang yang mengurus maka biaya
yang dibutuhkan (sebagai pengganti transportasi ke pemda) bisa sedikit/kecil karena
seolah ditanggung bersama. Selain itu juga untuk efesiensi waktu karena dalam
sekali pergi ke kantor Pemda Subang, banyak hal yang bisa diselesaikan. Sementara
untuk kepastiaan biaya, sebetulnya untuk pengurusan pelayanan adminsitrasi di
kecamatan kepastian biaya sudah bisa ditetapkan karena aturannya jelas.
Pembiayaan pada jenis-jenis layanan tertentu biasanya sudah ditetapkan Pemda,
sedangkan pengurusan yang tidak ada biayanya tidak dipungut biaya.
Ketidakpastian besaran biaya muncul karena ada sebagian masyarakat yang
meminta bantuan petugas dari kecamatan untuk menguruskan kebutuhan mereka
yang dalam jenis layanan tertentu tidak memerlukan kehadiran yang bersangkutan.
Untuk mengganti transportasi (ongkos) masyarakat tersebut memberikan sejumlah
uang yang tidak ada ketentuan besarannya. Oleh karena itu tiap orang (warga
masyarakat) berbeda-beda memberinya tergantung keikhlasannya.
Disisi lain praktek seperti itu memberikan kesan negatif pada petugas
kecamatan dan Kecamatan Ciater itu sendiri, seolah terjadi praktek percaloan atau
bahasa halusnya ‘Biro Jasa”. Secara empiris dari hasil penelitian memang ada kesan
seperti itu yang secara lisan disampaikan pada saat menyebarkan kuesioner. Kesan
negatif yang muncul di antaranya ketidakadilan dalam pelayanan, bagi masyarakat
yang memberi petugas (aparat) “biaya” pengurusannya lebih besar maka akan
disegerakan, sedangkan yang kecil bisa lebih lama. Bila menggunakan logika dan
perhitungan matematis (diluar norma dan aturan perundang-undangan), sebetulnya
kejadian seperti itu menjadi hal yang wajar. Bila kita kaitkan dengan jarak yang harus
ditempuh oleh petugas saat membantu menguruskan keperluan administrasi
masyarakat, semua energi yang dikeluarkannya harus juga diperhitungkan. Artinya
kalau dari sisi perhitungan “biro jasa” tidak cukup hanya mengganti ongkos
transportasi saja, tetapi juga harus diperhitungkan aspek waktu, tenaga, dan lain-lain.
Oleh karena itu, sekali lagi, menjadi hal wajar jika masyarakat yang memberi biaya
lebih besar bisa segera dilakukan pengurusannya ke pemda karena transportasi dan
lain-lainnya sudah bisa tertutupi. Namun terlepas dari perhitungan dan pertimbangan
logika, dalam etika pemerintah maka praktek “biro jasa” seperti itu tidak dibenarkan.

305 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Lebih baik biarkan masyarakat mengurus dan menyelesaikan sendiri keperluan
admisnitrasi sampai ke kantor Pemda. Petugas kecamatan hanya memberikan
pelayanan sebatas yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pada
akhirnya memang bagi masyarakat kecil, keputusan tersebut menjadi beban yang
sangat berat karena selain harus mengeluarkan biaya yang besar juga akan
mengambil waktunya yang biasanya digunakan untuk mencari penghasilan.
Mengingat Kecamatan Ciater menjadi bagian dari Pemerintahan Daerah Kabupaten
Subang maka penyelesaiannya harus juga dipikirkan oleh pemerintah daerah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat ditarik
menjadi suatu simpulan terkait kualitas pelayanan publik di Kecamatan Ciater pasca
pemekarannya dengan Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang. Simpulan
tersebut yaitu:
1. Pelayanan publik yang diselenggarakan di Kecamatan Ciater pasca pemekaran
mencakup beberapa jenis layanan. Jenis layanan yang teridentifiaksi ada 13
jenis di antaranya proses pembuatan KTP, KK, surat pernyataan ahli waris, akta
jual beli, IMB dan lain-lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa Kecamatan
Ciater mampu menyelenggarakannya, walaupun ada beberapa hal yang dinilai
masih perlu perbaikan seperti persyaratan, kepastian penyelesaian
pengurusannya dan lain-lain. Namun, mengingat kecamatan ini baru terbentuk
tahun 2007 maka permasalahan tersebut masih bisa ditolerir. Terbentuknya
Kecamatan Ciater ini justru memberikan dampak positif untuk terciptanya
penyelengaraan pemerintahan secara umum dan pelayanan publik secara
khusus lebih berkualitas lagi. Hal ini disebabkan rentang kendali
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik menjadi lebih sempit
sehingga hubungan pemerintah dengan yang diperintah bisa lebih dekat lagi.
Kedekatan inilah yang memberikan kesempatan pada Pemerintah Kabupaten
Subang untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik melalui unit pemerintahannya yang ada di kecamatan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pemekaran kecamatan masih
relevan sebagai strategi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2. Keberhasilan Kecamatan Ciater yang secara umum cukup mampu
menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas tidak terlepas dari

306 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepemimpinan camat yang berhasil mengelola dan mengatasi segala
keterbatasan yang dimiliki kecamatannya sebagai kecamatan baru. Ruang
komunikasi yang dibangun antara pemerintah dan yang diperintah serta antara
pimpinan dan bawahan menjadi strategi yang tepat dalam mewujudkan
pelayanan publik yang berkualitas. Namun, ada beberapa faktor lain yang
menjadi kendala untuk mewujudkan pelayanan yang lebih berkualitas lagi. Faktor
tersebut di antaranya menyangkut jarak kantor kecamatan dengan masyarakat
desa yang tetap masih jauh, prasarana kecamatan (gedung kantor) yang bukan
milik pemerintah dan berakibat pada sulitnya melakukan penataan ruang
pelayanan yang kondusif dan representatif, ketidak pastian dalam pengurusan
dan penyelesaian pelayanan dan terakhir terbatasnya fungsi dan kewenangan
kecamatan dalam pelaksanaan fungsi pelayanan.

Rekomendasi
Merujuk pada kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang kiranya perlu
mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Subang untuk bisa meningkatkan
lagi kualitas penyelenggaraan pemerinahan dan pelayanan publik.
1. Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui kebijakan pemekaran wilayah
(kecamatan) dapat tetap dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten Subang,
mengingat selain dapat memberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik, secara tidak langsung juga dapat membangun hubungan yang
lebih dekat dengan yang diperintah. Selain itu, rentang kendali sebagai bagian
dari manajemen pemerintahan menjadi lebih sempit, sehingga koordinasi,
pembinaan dan pengawasan dalam mewujudkan tujuan berpemerintahan dapat
secara efektif dan efesien dilaksanakan.
2. Faktor penghambat yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik di
Kecamatan Ciater lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternalnya. Oleh
karena itu yang kiranya perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah
dan DPRD Kabupaten Subang menyangkut:
a. Penempatan aparatur pemerintah yang tepat untuk mengisi jabatan yang
strategis (seperti Camat) dengan berbasiskan pada sistem merit
b. Ketersediaan gedung pemerintahan untuk kantor kecamatan yang kondusif
dan representatif yang disesuaikan dengan kondisi geografis dari wilayah
kecamatan baru tersebut.

307 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
c. Sebagai jembatan penghubung antara Pemerintah Kabupaten Subang
dengan masyarakat, kecamatan perlu diberikan tambahan fungsi dan
kewenangan terkait dengan pengurusan dan penyelesaian pelayanan
publikkhususnya terkait dengan upaya mempersingkat proses pelayanan
sehingga bisa selesai di kecamatan.
d. Menyederhanakan persyaratan dalam pengurusan dan penyelesaian
pelayanan dengan membuat sebuah kartu atau apapun (semacam kartu
pintar) yang bisa mencakup untuk semua persyaratan yang harus dipenuhi
masyarakat. Penyederhaan juga dapat dilakukan dengan menyederhanakan
jalur birokrasi dan menerapkan strategi “pelayanan jemput bola” yaitu
menugaskan instansi yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik mengunjungi tiap kecamatan yang ada di Kabupaten Subang secara
berkala. Akan lebih baik (berkualitas) kalau pelayanan jemput bola ini
diselenggarakan di desa-desa. Selain akan meningkatkan kemudahan dan
kecepatan pelayanan, dalam artian meningkatkan kualitas pelayanan
masyarakat, strategi ini pun dapat meningkatkan kualitas hubungan antara
pemerintah dengan yang diperintah.

DAFTAR PUSTAKA
Djohan, Djohermansyah. 2006. Mengkaji Kembali Konsep Pemekaran Daerah
Otonom dalam Indra J. Piliang (epilog). 2006.Blue Print Otonomi Daerah
Indonesia.Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership
for Governance Reform in Indonesia dan European Union.
Kaho, Josep Riwu. 2010. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia.Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi
Penyelenggaraannya. Jakarta:Rajawali Pers
Malo, Manasse dan Sri Trisnoningtias. (tanpa tahun). Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia
Moenir, H.A.S. 1996. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi cet 1. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Grasindo
Pratikno. 2006. Politik Kebijakan Pemekaran Daerah dalam Indra J. Piliang (epilog).
2006.Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa

308 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia dan
European Union.
Rasyd, Ryass. 2000. Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan
Kepemimpinan. Jakarta: Yarsif Watampone.
Saefullah, A.D. 1999. Konsep dan Metode Pelayanan Umum yang Baik dalam Jurnal
Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol 1 Tahun 1999.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Tjiptono, Fandy. 2000. Manajemen Jasa: Yogyakarta: Penerbit Andi
Wasistiono, Sadu. 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah.
Sumedang: Alqoprint
Wirjatmi, Endang. 1996. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Citra
Naga Rajawali Press

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintahan No. 9 Tahun 2008 Tentang Kecamatan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelayanan
Administrasi Terpadu Kecamatan

309 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
EVALUASI IMPLEMENTASI APLIKASI QLUE
DI WILAYAH JAKARTA UTARA
Restu Rahmawati, S.IP.,MA121

ABSTRAK
Tulisan ini akan membahas tentang evaluasi implementasi aplikasi qlue diwilayah
Jakarta Utara. Alasan penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana implementasi
qlue yang merupakan bagian dari program smart city di DKI Jakarta dan bagaimana
evaluasi dari pelaksanaan program tersebut di masyarakat Jakarta Utara terutama di
Kecamatan Tanjung Priok. Tanjung Priok merupakan salah satu daerah di wilayah
Jakarta Utara yang cenderung mempunyai permasalahan publik yang banyak
terutama masalah sampah, jalan yang rusak, dan tingginya tingkat kriminalitas.
Dengan hadirnya aplikasi qlue yang merupakan bagian dari e-government
seharusnya memudahkan masyarakat untuk mengadukan permasalahannya kepada
Pemda setempat. Namun, dengan melihat kondisi saat ini di Tanjung Priok
dikorelasikan dengan kondisi Tanjung Priok sebelumnya, pemda setempat relatif
lamban dalam penanganan permasalahan publik tersebut meskipun sudah terdapat
aplikasi qlue yang memudahkan masyarakat melaporkan keluhannya. Menyoal
permasalahan tersebut maka penulis ingin melihat apa yang mendasari hal tersebut,
mengapa masyarakat kurang memanfaatkan aplikasi qlue tersebut? Atas dasar itu,
maka penulis ingin meneliti tentang evaluasi implementasi aplikasi qlue di wilayah
Jakarta Utara khususnya Tanjung Priok. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data adalah
wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi aplikasi qlue belum
efektif. Hal ini dikarenakan, masyarakat Tanjung Priok banyak yang belum
mengetahui tentang aplikasi qlue, itu artinya kurang sosialisasi kepada masyarakat
terkait aplikasi qlue. Selain itu, mewajibkan ketua RT dan RW melapor tiga kali sehari
juga masih belum efektif. Dengan demikian evaluasi dari implementasi aplikasi qlue
adalah perlu peninjauan ulang terkait wajib lapor 3 kali sehari yang harus dilakukan
oleh ketua RT/RW, dan perlu ditingkatkan lagi sosialisasi kepada masyarakat tentang
aplikasi qlue tersebut supaya implementasi aplikasi qlue menjadi maksimal dan
Jakarta menjadi educating city.
Kata Kunci : Evaluasi kebijakan, implementasi kebijakan, Aplikasi Qlue, E-
Government

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tulisan ini akan membahas tentang evaluasi implementasi aplikasi qlue
diwilayah Jakarta Utara. Alasan penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana
implementasi qlue yang merupakan bagian dari program smart city di DKI Jakarta
dan bagaimana evaluasi dari pelaksanaan program tersebut di masyarakat Jakarta
Utara terutama di Wilayah Jakarta Utara, mengingat aplikasi qlue ini merupakan

121 FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta / restu.rahmawati3@gmail.com

310 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
bentuk kebijakan yang baru diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan pada tahap
implementasinya sangat beragam pendapat dari masyarakat dalam menanggapi qlue
tersebut. Selain itu alasan penulis mengambil case study di Wilayah Jakarta Utara
dikarenakan wilayah Jakarta Utara cenderung mempunyai permasalahan publik yang
banyak terutama masalah sampah, jalan yang rusak, dan tingginya tingkat
kriminalitas. Atas dasar itu maka kajian ini penting untuk dilakukan, sehingga output
penelitin ini dapat berguna sebagai masukan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk
menciptakan kebijakan yang lebih baik lagi dan tepat sasaran.
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta baru saja meluncurkan Qlue, yakni aplikasi
yang memungkinkan warga melaporkan keluhannya kepada aparat pemerintah
dengan menggandeng CEO qlue yakni Rama Raditya. Aplikasi ini terintegrasi dengan
smartcity.jakarta.go.id dan bisa diunduh di android play store. Rencananya, aplikasi
ini terintegrasi dengan aplikasi Crop yang diunduh aparat pemerintah. Qlue adalah
aplikasi media social untuk melaporkan permasalahan kota kepada pemerintah, pihak
swasta ataupun saling berbagi informasi sesama warga di lingkungan sekitarmu demi
terciptanya smart city. Laporan warga yang masuk melalui aplikasi qlue akan
diteruskan kepada pihak terkait dan tetap bisa dipantau perkembangannya di dalam
aplikasi qlue maupun di dashboard mycity.qlue.id. akan tetapi, penggunaan aplikasi
qlue ini masih ditanggapi secara beragam. Tidak semua ketua RT/RW menyetujui
adanya aplikasi qlue. Bagi ketua RT/RW yang belum melek internet maka aplikasi
qlue ini hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta meluncurkan aplikasi qlue guna merespon
laporan masyarakat untuk memperbaiki kota Jakarta. Sampah berserakan dan
coretan liar dibersihkan dalam hitungan jam berkat laporan masyarakat lewat aplikasi
qlue yang terhubung dengan program Jakarta Smart City. Ada lebih 30 pelaporan
yang bisa ditujukan bagi pemerintah dan pihak swasta. Dalam sehari laporan warga
yang masuk melalui qlue mencapai angka 3.000. Data yang telah diolah dikirimkan
kepada pemprov DKI Jakarta tiap bulan sebagai bahan solusi permasalahan kota.122
Oleh karena itu, setiap kali laporan masuk pemerintah setempat langsung
menindaklanjutinya.
Komitmen Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menindaklanjuti setiap
laporan tidak main-main, karena kinerja pegawai terlihat jelas lewat layar yang
dipantau setiap saat. Dengan demikian, hadirnya aplikasi mobile berbasis media

122http://m.liputan6.com/tv/read/2499802/video-rama-raditya-aplikasi-qlue-pertama-di-Indonesia&Ic=id-
ID&s=1&m=974%host=www.google.co.id&ts=1492405163&sig=AJsQQ1Cqus3RqrrtZnSbyfR6yUTN6NM3rw.
Diakses tanggal 17 April 2017 pukul 13.05 WIB

311 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sosial pelaporan, Qlue, di tengah-tengah sibuknya warga Jakarta, kini memberikan
ruang yang pasti untuk segera mengadukan permasalahan atau kejadian yang
ditemukan penggunanya. Warga yang kerap protes ini dan itu terhadap lingkungan
sekitarnya, dapat melaporkan permasalahannya melalui platform digital ini, yang
akan diteruskan kepada pihak yang berwenang.
Komitmen Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menciptakan Jakarta lebih
baik lagi melalui qlue, berarti menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah
mengikuti trend aplikasi e-government. E-government digunakan sebagai bentuk
inovasi pemerintah daerah dalam memperbaiki pelayanan publik. Hal ini tentunya
sejalan dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk menjamin
perbaikan pemerintahan secara keseluruhan.
Aplikasi Qlue ini digagas dan dikembangkan oleh Rama Raditya, yang
terinspirasi dari permasalahan Kota Jakarta dan Bulan Desember 2014 diluncurkan.
Saat ini Qlue telah memiliki 160 ribu pengguna terdaftar, dengan total persentase
keaktifan sebanyak 91% dan 30-34% aktif per harinya. Walaupun setiap harinya
bertambah jumlah pengguna hingga 1000 pengunduh, namun Rama menilai bahwa
angka tersebut hanya mencapai 3% dari total pengguna ponsel pintar di Jakarta123.
Berdasarkan data yang disampaikan di atas, maka kiranya perlu untuk
mengkaji persoalan aplikasi qlue ini lebih lanjut. Hal ini dikarenakan, fakta dilapangan
menunjukkan masyarakat belum siap dengan adanya aplikasi qlue sehingga
keberadaan qlue itu sendiri belum digunakan secara optimal dan pihak Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta pun masih terus berupaya untuk memformulasikan mengenai
bagaimana seharusnya qlue ini digunakan untuk perbaikan Jakarta. Menyoal
permasalahan tersebut maka penulis ingin mengkaji tentang evaluasi implementasi
aplikasi qlue di wilayah Jakarta Utara, dengan harapan melalui evaluasi dapat
diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan,
atau ada kebocoran, atau penyimpangan dengan merujuk pada model evaluasi yang
mencakup efektivitas, efisiensi, kecukupan, equity, responsivitas, dan ketepatan.124

123 http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-dengan-aplikasi-qlue.
Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib.
124 Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. Hal 497

312 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara?
2. Bagaimanakah evaluasi implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara?

MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN


Merujuk pada permasalahan dalam penelitian ini, maka maksud dan tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara
2. Untuk mengetahui evaluasi implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta
Utara

KEGUNAAN PENELITIAN
Kegunaan penelitian ini adalah untuk :
1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah khasanah kelimuan
terkait kajian kebijakan publik khususnya evaluasi kebijakan publik,
2. Secara praktisnya penelitian ini ditujukan untuk memberikan masukan bagi
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta pada khususnya dan daerah lain pada
umumnya terkait kebijakan aplikasi qlue supaya penggunaan aplikasi qlue ini
menjadi optimal dan tepat sasaran.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Publik
Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy.
Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan125 mendefinisikan kebijakan public
sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai
tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and
practice. Sementara David Easton126 mendefinisikan kebijakan publik sebagai akibat
aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Jadi secara sederhana dapat
dikatakan bahwa kebijakan publik adalah:
“…..setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk

125 Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. 1970. Power And Society, New Heaven: Yale University Press. Hal : 71
126 Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life, New York: Willey. Hal 212

313 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa
transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan”.127

Berdasarkan penjelasan diatas, maka tujuan kebijakan publik dapat


dibedakan dari sisi sumber daya atau risorsis yakni antara kebijakan publik yang
bertujuan men-distribusikan sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap
sumber daya negara. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan kebijakan publik
adalah128:
a. Men-distribusikan sumber daya Negara kepada masyarakat, termasuk alokatif,
realokatif, dan redistribusi versus mengabsorpsi atau menyerap sumber daya
kedalam Negara
b. Regulative versus deregulatif
c. Dinamisasi versus stabilisasi
d. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar
Pada praktiknya, kebijakan publik mengandung multi tujuan yakni untuk
menjadikan kebijakan itu sebgai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong
kemajuan kehidupan bersama. Meskipun pemahaman ini penting, hal yang lebih
penting lagi bagi pemerintah atau lembaga publik adalah berkenaan dengan
perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Pada tahap perumusan masalah maka yang harus dipahami bahwa masalah
adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi yang dapat
diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Fase
perumusan masalah terdiri dari proses pencarian masalah, pendefinisian masalah,
spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Lalu berikutnya peramalan masa
depan kebijakan. Peramalan masa depan kebijakan adalah prosedur membuat
informasi aktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi yang telah
ada tentang kebijakan. Berikutnya dilanjutkan dengan rekomendasi kebijakan dimana
dalam rekomendasi kebijakan ini berisi pernyataan advokasi. Setelah rekomendasi
maka tahap berikutnya adalah pemantauan hasil kebijakan. Pemantauan hasil
kebijakan ini menekankan pada pembentukan premis-premis faktual mengenai
kebijakan publik. Terakhir adalah evaluasi kebijakan yang menekankan pada
penciptaan premis-premis nilai dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan “Apa
perbedaan yang dibuat”?

127 Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. Hal: 123
128 Ibid hal 140

314 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kriteria evaluasi kebijakan sama dengan kriteria rekomendasi kebijakan yang
dijabarkan sebagai berikut:
Tabel Model Evaluasi Kebijakan
Tipe Kriteria Pertanyaan
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Berapa banyak dipergunakan sumber daya?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan telah
memecahkan masalah?
Perataan (equity) Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata
pada kelompok target yang berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi,
atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil yang diinginkan benar-benar berguna atau
bernilai?

Evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi yaitu eksplanasi, kepatuhan,


audit, dan akunting. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan
generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang
diamatinya. Dari evaluasi, evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan
aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan eksplanasi. Melalui
evaluasi, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku baik birokrasi
maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standard dan prosedur yang ditetapkan
kebijakan kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar
sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau ada bocoran, penyimpangan
(audit) serta melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan
tersebut (akunting)129. Dengan demikian, hasil yang dicapai dapat diukur dalam
ukuran jangka pendek atau output, dan jangka panjang outcome.
Evaluasi kinerja kebijakan publik juga juga dilakukan dengan melakukan
penilaian komprehensif terhadap:
1. Pencapaian target kebijakan (output)
2. Pencapaian tujuan kebijakan (outcome)
3. Kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian
4. Pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat
lain yang berhasil
5. Identifikasi faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan sehingga
menyebabkan kesenjangan, dan memberikan rekomendasi untuk
menanggulangi kesenjangan

129 Ibid hal 497

315 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
E-Government
Dalam sebuah masyarakat dan ekonomi yang semakin digerakkan oleh
inovasi teknologi, birokrasi di 316egara-negara sedang berkembang harus
berhadapan dengan proses tuntutan yang baru yaitu efisiensi, produktivitas, akses
rakyat terhadap informasi yang ada dalam birokrasi serta tuntutan kepastian dan rasa
aman dan rasa nyaman (convenience). Dalam proses 316egara yang menuju
demokrasi selalu terdapat tuntutan dan kepastian dan bahkan kebutuhan akan hak-
hak “masyarakat yang diperintah” harus diletakkan seiring dengan tujuan-tujuan
pembangunan. Secara umum diketahui bahwa diluar lingkungan birokrasi, secara
historis, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang
meningkat dengan kata lain kalau mau maju ya harus ada inovasi130.
Bagi seorang pemimpin pemerintahan yang baik, pelayanan yang baik adalah
visi yang ingin selalu diciptakannya dalam menjamin perbaikan pemerintahan secara
keseluruhan, dan dalam perkembangannya yang sekarang e-government berhasil
menjadi alternative yang umum diterapkan di 316egara sedang berkembang dalam
reformasi pemerintahannya. Dengan demikian, dari sisi akademis aplikasi e-
government dalam pemerintahan serta hasil yang telah dicapai oleh beberapa
Negara maju mengesankan bahwa Negara yang ingin memperbaiki pelayanan
publiknya, sedikit atau banyak ia harus berani berinovasi dalam manajemen
pelayanan dan peningkatan mutu pelayanan publiknya. Dengan kata lain seolah da
adagium: “Tidak ada perbaikan mutu pelayanan 316egara tanpa inovasi. Tidak ada
inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi. Dengan kata lain tidak ada pelayanan yang
baik tanpa e-government”. 131
Merujuk pada penjelasan diatas, maka e-government adalah aplikasi
teknologi informasi dan komunikasi dalam dan dengan pihak luar diharapkan
meningkatkan performance pemerintahan dan memenuhi ekspektasi masyarakat
akan peningkatan kualitas pemerintahan. Selain itu, terbukti bahwa semakin maju
suatu 316egara maka semakin tinggi tingkat aplikasi e-government. Berikut data yang
menunjukkan seberapa jauh suatu negara siap terhadap e-government.
Tabel Peringkat Kesiapan E-Government Secara Global
No. Nama Negara Indeks Kesiapan Government
1 Amerika Serikat 0,927
2 Swedia 0,840
3 Australia 0,831

130 Said, Mas’ud. 2012. Birokrasi di Negara Birokratis. Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi di Indonesia.
Malang: UMM Press. Hal 214
131 Ibid hal 213

316 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
4 Denmark 0,820
5 Inggris 0,814
6 Kanada 0,806
7 Norwegia 0,778
8 Swiss 0,764
9 Jerman 0,762
10 Finlandia 0,761
11 Belanda 0,746
12 Singapura 0,746
13 Republik Korea 0,737
14 Selandia Baru 0,718
15 Islandia 0,702
16 Estonia 0,697
17 Irlandia 0,697
18 Jepang 0,693
19 Perancis 0,690
20 Italia 0,685
21 Austria 0,676
22 Chili 0,671
23 Belgia 0,670
24 Israel 0,663
Sumber : United Nations, World Public Sector Report, 2003.
Berdasarkan tabel di atas, maka gambaran kesiapan e-government diseluruh
dunia adalah terletak pada tingkatan pembangunan ekonomi, sosial dan politik dari
negara-negara yang bersangkutan. Sehingga salah satu faktor primer yang turut
berperanan dalm menyumbangkan angka kesiapan e-government yang tinggi ialah
investasi di masa lalu dalam sumber daya telekomunikasi dan manusia.

Aplikasi Qlue
Aplikasi Qlue merupakan sebuah terobosan yang digunakan oleh Pemprov
DKI Jakarta
sesuai Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 903 Tahun 2016 tentang mekanisme
pelaporan elektronik melalui aplikasi Qlue sebagai wadah bagi warganya untuk
melaporkan segala bentuk pengaduan masalah yang ada di DKI Jakarta. Besar
kemungkinan aplikasi Qlue ini akan diterapkan secara Nasional. Jika Anda warga DKI
Jakarta, Anda bisa ikut berpartisipasi untuk melaporkan segala jenis masalah yang
ada, seperti kemacetan, sampah, banjir, pelanggaran, kebakaran, jalan rusak,
pengemis, kaki lima liar, kriminal, lampu jalan rusak, pohon tumbang, fasilitas umum,
parkir liar, pelanggaran izin bangunan, joki 3 in 1, kawasan bebas rokok.
Qlue adalah aplikasi yang dibuat untuk menjadi jembatan antara warga dan
pemerintah yang bertujuan untuk membangun Jakarta agar lebih baik lagi. Dengan

317 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
aplikasi ini kita bisa bebas untuk menyampaikan keluhan tentang apa yang tidak wajar
pada kota Jakarta.
Kita sendiri suka mengeluh tentang jalan yang macet, lampu yang digunakan untuk
menerangi jalan sering mati, jalan yang kita lalui sering terjadi pembegalan pada
malam hari, atau masalah lainnya yang sering terjadi di Ibu kota.
Cara Menggunakan Aplikasi Qlue: 1) Pilih icon plus pada aplikasi Qlue yang
letaknya dibawah tengah layar; 2) Akan ada 3 pilihan. Pilih salah satu untuk siapa
keluhan akan ditujukan, untuk pemerintah, swasta, atau hanya sekedar untuk
berdiskusi. Jika keluhan yang ingin kamu sampaikan itu tidak ada hubungannya
dengan pihak perusahaan maka pilih lapor ke pemerintah saja. Lapor ke swasta
hanya digunakan jika kejadian atau keluhan yang ingin kamu sampaikan itu
bersangkutan dengan sebuah perusahaan. Pilih buat forum untuk mendiskusikan
masalah yang mungkin perlu pendapat untuk menyelesaikannya; 3) Ambil foto
sebagai bukti tentang keluhan yang ingin kamu sampaikan. 4) Pilih topik yang
bersangkutan tentang keluhan yang ingin kamu laporkan; 5) Beri judul dan penjelasan
yang lengkap tentang kejadian atau masalah dari keluhan yang ingin kamu laporkan,
dan 6) Upload lalu tunggu untuk ditindaklanjuti, jika keluhan kamu benar-benar
berkualitas pasti akan segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Warna merah adalah
masih menunggu, Warna kuning berarti sedang dalam proses dan Warna hijau
tandanya telah selesai menangani keluhan yang kamu laporkan. Berikut contoh dari
aplikasi qlue.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif.
Alasan penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, yakni dikarenakan dapat
memudahkan penulis memperoleh deskripsi, atau gambaran secara sistematis,

318 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
faktual dan akurat. Selain itu, penulis menyadari bahwa dengan menggunakan
metode kualitatif deskriptif, maka penulis akan mudah memahami sikap, pandangan,
perasaan, dan perilaku individu atau kelompok yang telah diteliti. Atau dengan kata
lain, analisis deskriptif ini lebih menekankan kepada latar belakang perilaku individu
atau kelompok yang diteliti secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas
maka observasi dan teknik wawancara mendalam menjadi penting untuk dilakukan.
Selain itu, penelitian ini secara general menggunakan pendekatan Studi
Kasus (case study). Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini adalah peneliti
dapat melakukan penelitian terhadap beberapa atau seluruh aspek potensial dari
suatu unit atau serangkaian kasus yang terbatas. Adapun lokasi yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Wilayah Jakarta Utara yang meliputi Kelurahan Tanjung Priok,
Semper, Sunter Agung, dan Cilincing. Informan utama dalam penelitian ini adalah
Lurah, ketua RT/RW, operator aplikasi qlue di kelurahan, dan masyarakat Tanjung
Priok, Semper, Sunter Agung, dan Cilincing.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi lapangan, dan wawancara mendalam. Sebelum dilakukan penelitian,
peneliti telah melakukan observasi terlebih dahulu yakni dengan melihat aktivitas
kepala sekolah, guru, dan para siswa yang mengindikasikan adanya sebuah
resistensi. Observasi lapangan ini dilakukan guna mengetahui informasi-informasi,
isu-isu aktual nilai-nilai, pola tingkah laku, dan perilaku sosial politik dari para informan
penelitian. Setelah itu, kemudian ditentukan informan mana saja yang layak untuk
diteliti dengan memperhatikan juga kesediaan mereka untuk bekerjasama dan
memberikan data yang akurat.
Teknik kedua yakni wawancara mendalam (indepth interview) dengan
informan utama. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam ini dilakukan
karena peneliti meyakini bahwa melalui wawancara mendalam suatu pandangan,
perilaku, dan pola kultural dapat diketahui. Pengumpulan data ini, dilakukan dengan
melalui alat perekam. Oleh karena itu, isu-isu penelitian yang terungkap dalam
penelitian ini digunakan sebagai data primer. Adapun data sekunder yang dijadikan
data pendukung yakni berupa data agregat, buku-buku, majalah, dan jurnal yang
terkait dengan masalah politik bahasa dan resistensi masyarakat yang relevan
dengan fokus penelitian.

319 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
TEKNIK ANALISIS DATA
Data dianalisis dengan menggunakan empat tahap yakni pertama, tahap
pemilahan (sortiring) data yang terkait dengan resistensi kelompok pendidik. Kedua,
tahap klasifikasi (categorizing) dengan melakukan perbandingan antara data yang
satu dengan yang lain. Ketiga, tahap komparasi yakni dengan melakukan
perbandingan antara data yang satu dengan yang lain. Dan keempat tahap sintesis
(synthesizing) dengan melakukan penafsiran terhadap data resistensi dan
mengaitkannya dengan kerangka teori sehingga dapat dipahami fenomena resistensi
tersebut132.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Implementasi Kebijakan Aplikasi Qlue di Wilayah Jakarta Utara
Berbicara implementasi kebijakan maka berbicara bagaimana suatu kebijakan
diterapkan. Terkait penelitian ini maka implementasi kebijakan aplikasi qlue akan
berbicara bagaimana pelaksanaan aplikasi qlue ini diterapkan di wilayah Jakarta
Utara dengan rentan waktu penelitian sampai bulan Maret 2017. Menyoal
implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara, dan berdasarkan data yang
didapatkan dari lapangan maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan aplikasi qlue belum maksimal dikarenakan beberapa persoalan misalnya
salah satunya Lukman Rimadi seorang karyawan swasta di kawasan Tanjung Priok.
Luqman mengaku berhasil meng-instal aplikasi ini. Hanya, ia gagal melakukan
registrasi. Pas install dan memasukkan nama dan umur, qlue nya menjelaskan “name
has been used” itu artinya nama yang bersangkutan sudah terdaftar. Tapi pas
mencoba login maka ada keterangan “your account is not active” sudah berkali-kali
dicoba sampai kapok. Padahal saat peluncuran aplikasi ini ia ingin melaporkan
banyak permasalahan dikawasannya. Namun, pada impelementasinya aplikasi qlue
ini masih ada kendala dalam sistemnya. Ini penting untuk menjadi catatan bagi
Gubernur DKI Jakarta dalam menyempurnakan kebijakan qlue.
Lalu, informan berikutnya Abdul Rozak, (28) juga gagal melakukan registrasi.
Warga Kelurahan Tanjung Priok ini akan mengadukan terkait kerusakan jalan yang
sudah parah menuju akses pelabuhan. Jalan raya Cilincing-Tanjung Priok ini sangat
membahayakan pengendara mobil dan motor karena lubang jalan raya sudah parah
sehingga rawan terjadi kecelakaan. Terkait dengan persoalan tersebut, sebenarnya

132Newman,
W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Allyan & Bacon,
Needham Heights. hal. 427

320 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sudah ada warga yang melaporkan yakni Abdul Rozak namun karena persoalan
sistemnya sehingga informan kesulitan masuk ke dalam aplikasinya maka hal ini
menjadi kendala tersendiri bagi sebagian warga Jakarta Utara.
Dari informasi yang didapatkan dari kedua informan tersebut, maka dapat
dilihat bahwa ada sebagian warga yang merasa mendapatkan kendala dari system
aplikasi qlue itu sendiri yang menyebabkan mereka kesulitan untuk melakukan
registrasi dan melaporkan keluhannya. Ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta supaya berkoordinasi ulang dengan CEO Aplikasi Qlue untuk
memperbaiki system aplikasi qlue itu sendiri. Namun, bukan hanya itu saja, warga
juga harus terus mengupgrade informasi dan mengikuti sosialisasi terkait aplikasi
qlue sehingga kendala yang tadi dihadapi bisa dipecahkan.
Selain kedua informan tersebut, Syafi’i warga Warakas juga menyayangkan
lurah dan camat yang tidak tanggap atas pengaduan warga melalui teknonologi
canggih ini. Persoalan ini dihadapi Syafi’i karena informan sudah melapor namun
tidak ada respon dari lurah dan camatnya. Dari kasus tersebut, penulis melihat bahwa
lurah kurang tanggap dengan persoalan yang dilaporkan warga, atau lurah tersebut
tidak selalu update dengan permasalahan yang ada di dalam qlue setiap harinya
sehingga pelaporan warga hanya masuk sampai pada aplikasi qlue saja tanpa ada
tindak lanjutnya. Mengapa demikian? Karena dari temuan dilapangan menunjukkan
bahwa tidak semua lurah yang pro aktif dengan aplikasi qlue ada juga sebagian dari
lurah yang tidak melek teknologi. Inilah kemudian yang menyebabkan kurang
tanggapnya lurah atau camat dalam menanggapi pelaporan warga.
Syarifudin ketua RW 5 Kelurahan Kebon Bawang, ia menyoal kewajiban
RT/RW melapor sebanyak 3 kali sehari. Keluhannya menjelaskan bahwa hal
kewajiban melapor itu tidak efektif karena menurut mereka belum tentu terdapat
pelanggaran atau keluhan yang terjadi dalam jangka waktu sehari. Ini tentu saja
membebani mereka karena dengan adanya kewajiban tersebut maka seolah-olah
mereka dipaksakan untuk menciptakan persoalan setiap harinya untuk dinilai oleh
Gubernur. Hal ini mengingat, bahwa RT/RW yang tidak ada laporan maka dianggap
tidak bekerja. Semakin banyak laporan maka semakin dianggap bagus kinerjanya.
Padahal banyak laporan belum tentu kinerja RT/RW bagus karena banyak juga
keluhan warga tidak direspon RT/RW setempat. Inilah kemudian yang menjadi pro
kontra adanya aplikasi qlue dikalangan masyarakat Jakarta Utara.
Berdasarkan beberapa penjelasan informan diatas, dapat dilihat bahwa
implementasi aplikasi qlue mengundang banyak pendapat dari masyarakat Jakarta

321 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
khususnya Jakarta Utara. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
pengamat Kebijakan publik Amir Hamzah133 mengatakan bahwa laporan publik digital
bernama “qlue” (Jakarta smart city) terkesan menciptakan perang opini antar wilayah,
bisa saja karena ulah oknum yang dibayar dalam melakukan pemetaan laporan
publik. Misalnya karena kebodohan posting didunia maya masak lurah harus fokus
pada jawaban terhadap operator yang tidak tahu wilayah sementara tugas itu tekait
SKPD lain yang berwenang. Fakta juga menunjukkan bahwa laporan qlue kini sudah
mengarah pada persaingan antar wilayah. Seolah qlue hanya program pengawasan
saja bukan bagian dari pelayanan public sevice. Kinerja lurah pun hanya didasarkan
pada banyaknya laporan qlue serta penyelesaian permasalahan wilayah. Sementara
ada juga wilayah kelurahan yang tidak tersentuh oleh laporan qluetapi juga banyak
permasalahan yang tidak selesai. Selain itu, aplikasi qlue berbentuk laporan dengan
memakai istilah saran, jawaban serta nama samara nampaknya terkondisikan untuk
menjadi alat propaganda menjatuhkan istitusi. Beberapa lurah di Jakarta barat dan
pusat menyampaikan bahwa posting warna baik merah, kuning dan biru untuk
ditindaklanjuti lurah terkadang salah dalam pemetaan oleh yang memposting
(pelapor) walaupun lurah sudah menyatakan jawaban qlue sesuai teknis jawaban.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memberlakukan qlue untuk RT/RW dan
memberikan Rp 10.000 untuk sekali pelaporan, namun karena warga banyak yang
protes maka pemberlakukan qlue untuk RT dan RW dihapus sehingga
pemberlakukan insentif Rp 10.000 pun dihapus dengan alasan RT/RW itu sifatnya
pengabdian masyarakat jadi lebih ke ketokohan tidak perlu diberikan insentif cukup
uang operasional. Untuk itu, posisi RT/RW dikembalikan kesemula yakni menempati
bagian ketokohan masyarakat yang sangat dihargai.
Pada awalnya qlue menjadi tolok ukur kinerja RT/RW. Namun karena
sosialisasi dan implementasi yang kurang tepat maka banyak RT dan RW yang
mengunggah laporan spam seperti laporan yang diunggah merupakan informasi
pribadi seperti KTP warga baru atau surat undangan untuk warga sekitar. Oleh karena
itu, dalam beberapa bulan terkahir laporan RT/RW itu tidak lagi ditampilkan secara
langsung. Qlue membuat laporan tersebut hanya bisa diakses oleh pihak terkait
sehingga tidak membingungkan pengguna lain. Dengan kewajiban untuk melapor tiga
kali sehari, kira-kira 90 ribu laporan dari 30 ribu RT/RW di DKI Jakarta. Sementara
pengguna Qlue secara keseluruhan ada 700 ribu dan tidak semuanya aktif melapor.

133http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-dengan-aplikasi-qlue.
Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib.

322 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Jadi dapat dibayangkan, laporan qlue yang berasal dari RT/RW terbilang cukup
besar. Kondisi ini secara tidak langsung juga membingungkan pengguna lain. Sebab
qlue sendiri merupakan platform berbagi untuk umum.
Tidak semua masyarakat yang tidak puas dengan adanya aplikasi qlue.
Misalnya saja informan berikut yang penulis temui. Endah adalah warga Kelurahan
Semper yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan sangat terbantu dengan
adanya aplikasi qlue. Hal ini dikarenakan, warga jadi bebas untuk melaporkan tanpa
harus datang ke kantor kelurahan langsung. Ada beberapa laporannya terkait
sampah yang langsung direspon oleh ketua RT/RW. Ini menjadi catatan positif dari
warga Semper terkait implementasi aplikasi qlue.
Demikian implementasi aplikasi qlue di wilayah Jakarta Utara. Pada intinya
ada masyarakat yang menilai positif, dan ada juga masyarakat yang masih
menganggap belum sempurna implementasi aplikasi qlue tersebut. Sehingga masih
perlu ada perbaikan ke depan untuk menyempurnakan kebijakan aplikasi qlue
tersebut, karena menurut data Populi Center tingkat kepuasan masyarakat terhadap
aplikasi Qlue sebesar 35,8 persen134. Namun meskipun demikian, saya optimis
bahwa kebijakan ini akan membawa manfaat yang besar dalam menata kota Jakarta
ketika semua kekurangannya diperbaiki.

Evaluasi Implementasi Aplikasi Qlue di Wilayah Jakarta Utara


Evaluasi kinerja kebijakan publik juga dilakukan dengan melakukan penilaian
komprehensif terhadap pencapaian target kebijakan (output), pencapaian tujuan
kebijakan (outcome), kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan
pencapaian, pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat
lain yang berhasil, dan identifikasi faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan
sehingga menyebabkan kesenjangan, dan memberikan rekomendasi untuk
menanggulangi kesenjangan. Berdasarkan data mengenai implementasi aplikasi qlue
yang dijelaskan diatas, maka evaluasi implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta
Utara adalah sebagai berikut :
1) Dari aspek pencapaian target kebijakan (output), kebijakan aplikasi qlue
implementasinya masih belum 100%, karena berdasarkan data dari Populi Center
masyarakat hanya 35.8 % yang puas dengan implementasi aplikasi qlue. Ini
mengindikasikan bahwa pencapaian target belum maksimal. Selain, itu banyaknya

134http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/24/03450051/tingkat.kepuasan.masyarakat.terhadap.pemprov.dki.j
akart. Diakses tanggal 18 April 2017. Pukul 09.00 WIB

323 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
keluhan warga Jakarta Utara yang dijelaskan pada bagian sebelumnya
mengisyaratkan bahwa aplikasi qlue msih jauh dari target yang diharapkan;
2) Kebijakan aplikasi qlue ini jika dilihat dari pencapaian tujuan kebijakan (outcome)
sudah sesuai dengan tujuan kebijakannya yakni untuk tujuan reformasi birokrasi
sehingga dapat menciptakan Jakarta lebih baik. Menurut penulis, tujuan adanya
aplikasi qlue pada dasarnya baik, namun segala kekurangan yang ada itu
persoalan waktu dan proses yang akan menyempurnakan. Sekalipun outputnya
juga belum maksimal;
3) Kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian dapat dilihat
dengan membandingkan target pencapaian kebijakan dengan pencapaian tingkat
kepuasan masyarakat terhadap kebijakan aplikasi qlue tersebut. Jika targetnya
adalah 100% sasaran maka yang puas dimata publik adalah 35.8% maka masih
ada sekitar 64.2% target yang harus direalisasikan dengan berbagai pembenahan
yang ada. Data tersebut menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara
target dan pencapaian dari kebijakan aplikasi qlue. Oleh karena itu, perlu ada
upaya pembenahan supaya tujuan kebijakan yakni Kota Jakarta yang tertata dapat
terealisasi.
4) Pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang
berhasil yakni bisa kita lihat dan bandingkan dengan program smart city yang telah
berhasil sukses dilakukan di Surabaya. Seharusnya aplikasi qlue ini lebih berhasil
di Jakarta karena Jakarta merupakan representasi masyarakat perkotaan yang
memiliki akses yang mudah terhadap internet apalagi Jakarta merupakan ibu kota
negara. Namun pada implementasinya, masih banyak yang harus diperbaiki.
5) Kebijakan aplikasi qlue ini pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang bagus
dan patut untuk didukung oleh masyarakat Jakarta. Mengapa demikian? Karena
potensi kebijakan ini akan berhasil sangat tinggi sebab semua perangkat yang
mendukung aplikasi qlue terfasilitasi namun perlu dioptimalkan saja. Sedangkan
faktor yang mungkin akan menjadi penghambat dari kebijakan tersebut adalah
perihal kurangnya sosialisasi, masih adanya ketua RT/RW yang belum melek
teknologi, dan rendahnya pengawasan.
Berdasarkan evaluasi kebijakan diatas, maka perlu kiranya Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta untuk memperbaiki segala kekurangan dari implementasi
kebijakan aplikasi qlue tersebut.

324 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan pemaparan diatas, maka kesimpulannya adalah kebijakan aplikasi qlue
masih harus terus diperbaiki karena pada tataran implementasinya belum maksimal.
Hal ini dikarenakan, sebagian masyarakat Jakarta Utara menganggap bahwa
kebijakan aplikasi qlue masih ada kekurangan dalam hal sistemnya yakni susah untuk
melakukan registrasi, sosialisasi untuk aplikasi qlue ini masih minim sehingga tidak
semua warga yang mengetahui bagaimana cara mengoperasionalisasikan aplikasi
qlue sehingga sebagian masyarakat kurang memanfaatkan aplikasi qlue ini dengan
baik. Dari sisi RT/RW, dan lurah juga belum melek teknologi secara keseluruhan.
Lalu, sebagian lurah juga banyak yang mengeluh terkait wajib lapor 3 kali setiap hari.
Berdasarkan implementasi kebijakan aplikasi qlue tersebut, maka rekomendasinya
sebagai hasil dari evaluasi kebijakan aplikasi qlue adalah perbaiki sistemnya supaya
mudah registrasi, perlu sosialisasi yang intensif harus ke seluruh warga agar layanan
ini dapat dimanfaatkan lebih baik, lurah dan camat harus tanggap dan melek gadget,
perlu pengawasan yang extra terhadap implementasi aplikasi qlue, harus jelas terkait
tujuan dari adanya pelayanan publik yang berbentuk aplikasi qlue supaya
kemanfaatannya jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen
Kebijakan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal 497
Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. 1970. Power And Society, New Heaven: Yale
University Press. Hal : 71
Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life, New York: Willey. Hal 212
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen
Kebijakan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal: 123
Said, Mas’ud. 2012. Birokrasi di Negara Birokratis. Makna, Masalah dan Dekonstruksi
Birokrasi di Indonesia. Malang: UMM Press. Hal 214
Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Allyan & Bacon, Needham Heights. hal. 427
http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-
perkotaan-dengan-aplikasi-qlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33
wib.
http://m.liputan6.com/tv/read/2499802/video-rama-raditya-aplikasi-qlue-pertama-di-
Indonesia&Ic=idID&s=1&m=974%host=www.google.co.id&ts=1492405163&

325 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sig=AJsQQ1Cqus3RqrrtZnSbyfR6yUTN6NM3rw. Diakses tanggal 17 April
2017 pukul 13.05 WIB
http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-
perkotaan-dengan-aplikasi-qlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33
wib.

326 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
MANAJEMEN PEMERINTAH
DALAM PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR INDONESIA
Samugyo Ibnu Redjo135 dan Hasim As’ari136

ABSTRAK
Pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis bagi kedaulatan
negara dan bangsa, hal ini menyangkut batas negara serta perlindungan terhadap
seluruh potensi negara. Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar yang berbatasan
dengan negara-negara tetangga dan sebagian besar pulau kecil terluar di Indonesia
masih kosong/ belum berpenghuni sehingga diperlukan kebijakan strategis karena
masih banyaknya kasus illegal fishing di perairan Indonesia terutama di laut Cina
Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen pemerintah terhadap
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia dalam perspektif pandangan
pemerintah terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sesuai Peraturan Presiden
Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau kecil terluar, dengan
menggunakan metode kualitatif menitikberatkan pada teknik wawancara mendalam
terhadap informan yang ditentukan secara snowoball
Hasil penelitian menggambarkan manajemen pemerintah dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar Indonesia diperlukan restrukturisasi organisasi pemerintah
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia.
Kata Kunci: Kebijakan, Pulau-pulau Kecil Terluar, Strategi Pengelolaan

ABSTRCT
Outer small islands Indonesia has a strategic value for the sovereignty of the
state and nation, it concerns the state border and protection of the entire potential of
the country. Indonesia has 92 outer islands bordering the neighboring countries and
most of the outer islands in Indonesia is still empty / uninhabited so that the necessary
strategic policies because there are many cases of illegal fishing in Indonesian waters,
especially in the South China Sea
This study aimed to analyze the management of the government on the
management of small islands outermost Indonesia in the perspective view of the
government on the management of small islands outermost accordance Presidential
Regulation No. 78 Year 2005 on the Management of small islands outermost, using
qualitative methods focused indepth interview informant the snowoball determined
The results of the study describes the management and the government in the
management of the outer small islands Indonesia needed restructuring of government
organizations in the management of the outer small islands of Indonesia.
Keywords : policy, outer small islands, Management Strategy

135 Guru Besar Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad / samugyo.ir@gmail.com


136 Pegawai Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Provinsi Kepulauan Riau / hasil_asari75@yahoo.co.id

327 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sebagai negara Kepulauan, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau
termasuk pulau-pulau kecil terluar/terdepan yang menjadi batas negara dengan
negara lain. Banyaknya Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia secara prinsip akan
memudahkan Indonesia dalam memantau batas negara dan pengawasan sumber
daya alam indonesia dari pencurian dan penyelundupan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005, Indonesia memiliki 92 pulau
kecil terluar dan sebagian besar belum bepenghuni dengan berbatasan lebih dari 10
negara. Banyaknya pulau tersebut menjadikan indonesia menjadi negara yang
memiliki garis pantai yang panjang hingga mencapai 81.000 km2.
Banyaknya pulau kecil terluar Indonesia sejatinya mampu mengendalikan
pengawasan terhadap kedaulatan wilayah negara dan berbagai penyelundupan dan
pencurian sumberdaya laut indonesia. Pulau kecil terluar bila dikelola dengan baik
akan berdampak positif bagi pengembangan ekonomi kawasan perbatasan serta
menjaga berbagai potensi yang ada. Kondisi ini ternyaa kontraproduktif dengan
kondisi yang ada dilapangan, dimana pulau-pulau kecil terluar masih dibiarkan
kosong tanpa penghuni dan pengawasan ekstra dari pemerintah sehingga
berdampak pada sering terjadinya pencurian ikan oleh nelayan asing, setidaknya dari
januari hingga pertengahan april 2007 telah terjadi 147 kasus penangkapan kapal
nelayan asing137.
Pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia tercermin dari
lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi miliki setelah Indonesia kalah di
Mahkamah Internasional atas kepemilikan kedua pulau tersebut. Kondisi ini harus
menjadikan landasan penting bagi pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil
terluar sebagai beranda depan Negara kesatuan Republik Indonesia dan cerminan
pemerintah dalam membangun kedaulatan bangsa dan negara.
Penyelenggaraan pemerintahan Negara mencakup pelaksanaan fungsi-
fungsi pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan yang dimaksud mencakup fungsi
perlindungan, fungsi pertahanan, fungsi penegakkan hukum, fungsi pembangunan,
fungsi pemberdayaan, fungsi pelayanan dan fungsi hubungan antar pemerintahan.
Dalam dimensi pelaksanaan fungsi perlindungan, implementasi kebijakan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan Negara idealnya dapat memberi
perlindungan secara optimal terhadap kehidupan sosial budaya, sosial ekonomi dan

137Sumber Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017

328 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sosial politik setiap warga Negara yang bermukim di pulau-pulau kecil terluar serta
melindungi segenap kekayaan Negara di perbatasan. Dalam dimensi pelaksanaan
fungsi pertahanan, implementasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan idealnya dapat menjamin terwujudnya pertahanan dan ketahanan
masyarakat, bangsa dan Negara yang meliputi seluruh aspek
ipoleksosbudhankamnas.
Dalam dimensi pelaksanaan fungsi penegakkan hukum, implementasi
kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan idealnya dapat
mengoptimalkan upaya penegakkan hukum terhadap pelanggaran kedaulatan
Negara, pengikisan batas-batas Negara, pencurian kekayaan Negara dan kejahatan
antar Negara.Dalam dimensi pelaksanaan fungsi pembangunan, implementasi
kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan idealnya dapat
menjamin tersedianya infrastruktur kawasan dan terwujudnya kesejahteraan
msyarakat yang semakin menggelorakan semangat kebangsaan setiap warga
Negara yang bermukim di perbatasan.Dalam dimensi pelaksanaan fungsi
pemberdayaan, implementasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan idealnya dapat menjamin peningkatan dinamika keberdayaan individu,
keberdayaan kelompok masyarakat dan keberdayaan institusi kemasyarakatan di
perbatasan agar tampil prima dan berpartisipasi aktif dalam melestarikan sumber
daya lingkungan dan mewujudkan kejayaan bangsa Indonesia di perbatasan.
Dalam dimensi pelaksanaan fungsi pelayanan, implementasi kebijakan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan idealnya dapat menjamin
peningkatan pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat serta
berkembangan sumber daya individu dan kelompok masyarakat untuk berpartisipasi
aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Dalam dimensi pelaksanaan fungsi hubungan antar pemerintahan,
implementasi kebijakan pengalolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan idealnya
dapat mendukung terjalinnya hubungan social ekonomi dan social budaya yang
harmonis di antara warga Negara di masing-masing perbatasan Negara serta
mendukung pula keharmonisan hubungan antar pemerintahan negara dalam
mengelola perbatasan masing-masing Negara.

329 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiaman kebijakan pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar?
2. Apa yang menyebabkan pulau-pulau kecil terluar Indonesia masih banyak
yang kosong?

MAKSUD PNELITIAN
1. Untuk mengetahui bagaimana manajemen pemerintah dalam mengelola
pulau-pulau kecil terluar.
2. Untuk mengetahui mengapa pulau-pulau kecil terluar masih banyak belum
berpenghuni

TUJUAN DAN KEGUNAAN


1. Teoritis
Hasil penelitian diharapkan kiranya dapat dijadikan acuan studi oleh para
peneliti untuk mengembangkan konsep-konsep penelitian yang lebih
mendalam dan menyeluruh terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
perbatasan Indonesia.
2. Praktis
Penelitian kiranya dapat diterima sebagai masukan yang bermanfaat untuk
meningkatkan kinerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan,
terutama pulau-pulau kecil terluar

TINJAUAN PUSTAKA
KEBIJAN PUBLIK
Elemen dalam kebijakan publik adalah implementasi kebijakan, implementasi
juga merupakan aspek yang sangat penting dari keseluruhan proses kebijakan.
Wahab (2002:59) mengemukakan bahwa Implementasi kebijaksanaan merupakan
sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan sekedar berupa impian atau rencana yang tersimpan
dalam arsip apabila tidak diimplementasikan. Meskipun implementasi kebijaksanaan
itu penting, akan tetapi baru beberapa dasawarsa terakhir ini saja para ilmuwan sosial
menaruh perhatian terhadap masalah proses kebijaksanaan.
Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu
yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.Sesuatu tersebut dilakukan

330 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga
pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Sementara itu, menurut Sunggono
(1994:137) implementasi merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu.
Berdasarkan definsi tersebut, implementasi merupakan tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam
suatu keputusan kebijakan.Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga
harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak
yang buruk atau tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan
tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan
masyarakat.Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dari
administrasi publik sebagai suatu institusi, dimaksudkan sebagai salah satu proses
kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit administratif atau unit-unit birokratik pada
berbagai tingkat pemerintahan baik bersifat vertikal maupun harizontal dalam proses
kebijakan publik (Franklin dalam Tachjan, 2006: 63). Proses kebijakan tersebut
dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu perumusan kebijakan publik, implementasi
kebijakan publik, pengawasan dan evaluasi (hasil) kebijakan publik. Menurut Wayong
(dalam Tachjan, 2006:64) ketiga fungsi tersebut merupakan fungsi pokok (dasar)
administrasi publik. Dengan demikian, implementasi kebijakan publik sebagai salah
satu aktivitas dari administrasi publik atau sebagai proses kegiatan yang bertalian
dengan penerapan organisasi dan manajemen di dalam suatu unit administratif dalam
rangka merealisasikan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Secara umum, tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur
hubungan antara kebijakan publik yang telah ditetapkan dengan tindakan pemerintah
untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut berupa hasil kebijakan (policy
outcome).Carl J. Friedrich (dalam Anderson, 1984:5) mengatakan A proposed
course of action of a person, group, or government within a given environment
providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and
overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose. Dengan
demikian implementasi kebijakan publik akan melibatkan aktivitas individu, kelompok
atau pemerintah ke dalam suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam konteks ini, Anderson (1984:5) menjelaskan To the notion of policy as
a course of action, Friedrich adds the requirement that policy is directed toward
accomplishing some purpose or goal. Although the purpose or goal of governemental

331 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
actions may not always be easy to discern, the idea that policy involves purposive
behavior seems a necessary part of its definition. Policy, however, should designate
what is actuallya done rather than what is merely proposed in the way of action on
some matter.
Dengan demikian kebijakan publik mengacu pada cara-cara tertentu yang
dianggap aktual dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.Dalam hal perumusan
kebijakan publik, Anderson (1984:6) “Public policies are those developed by
governemental bodies and officials. (Nongovernemental actors and factors may of
course influence public-policy development).” Howlett & Ramesh (1995:5)
menyampaikan pendapat William Jenkins yang mengatakan Public policy as ‘a set of
interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the
selection of goals and means of achieving them within a specified situation where
those decisions should, in princile, be within the power of those actors to achieve.
Pendapat Jenkins di atas jelas menunjukkan bahwa kebijakan publik itu merupakan
suatu set hubungan antar pihak yang berperan sebagai penentu kebijakan. Para
pihak yang dimaksud jelas memiliki kewenangan (power) untuk menentukan tujuan-
tujuan tertentu serta merumuskan cara untuk mencapai tujuan. sedangkan
Lasswell dan Kaplan (dalam Islamy, 2000:15)berpendapat kebijakan sebagai “a
projected program of goals, values and practies.” Artinya, di dalam suatu kebijakan
itu terdapat suatu konsepsi program yang mempunyai tujuan tertentu serta ukuran-
ukuran pencapaian tujuan tersebut. Dalam konteks inilah kebijakan pelayanan publik
di bidang keagamaan dapat dianggap sebagai suatu rumusan tujuan dan sasaran
yang hendak dicapai melalui pelaksanaan program dan kegiatan pelayanan.
Sementara itu, kebijakan publik yang dirumuskan dan selenggarakan oleh
pemerintah tentu mengandung dampak tertentu terhadap kepentingan publik atau
masyarakat.
Anderson (1984:6) menjelaskan tiga implikasi kebijakan publik :First, the
definition links policy to purposive or goal-oriented action rather than to random
behavior or chance occurrences. In actuality, the goals of a policy may be somewhat
loosely stated and cloudy in content, thus providing general direction rather than
precise targets for its implementation. Those who want action on a problem may differ
both as to what should be done and how it should be done. Second, policies consist
of courses or patterns of action taken over time by governmental officials rather than
their separate, discrete decisions. A policy includes not only the decision to adopt a
law or make a rule on some topic but also the subsequent decisions that are intended

332 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
to enforce or implement the law or rule.Third, public policies emerge in response to
policy demands, or those claims for action or inaction on some public issue made by
other actors-private citizens, group representatives, or other public officials-upon
government officieals and agencies.
Dengan demikian, implikasi suatu kebijakan terbentuk dari : pertama, tujuan
atau manfaat kebijakan; kedua, pola dan konsetrasi kebijakan; dan ketiga, respon
pemerintah terhadap issu publik. Ketiga implikasi kebijakan publik perlu
dipertimbangkan dalam setiap implementasi. Implikasi ini tentu berkorelasi dengan
bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Artinya, implementasi kebijakan publik merupakan suatu fenomena yang
terbantuk setelah kebijakan itu ditetapkan sebagai suatu konsep penanganan
masalah-masalah publik yang terkait dengan kepentingan publik dan atau terkait
dengan tugas dan tanggungjawab pemerintah.
Kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan dapat juga
dikatakan sebagai penyelenggaran suatu sistem manajemen kawasan perbatasan.
Penyelenggaraan sistem manajemen ini tentu didasarkan pada suatu kebijakan
publik. Terkait dengan implementasi kebijakan publik, Hill and Hupe (2002:7)
menyatakan Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually
incorporated in a statute but which can also take the form of important executive
orders or court decisions. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be
addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and in a variety of ways,
‘structures’ the implementation process. The process normally runs through a number
of stage begining with passage of basic statute, followed by the policy outputs
(decisons) of the implementing agencies, the compliance of target groups with those
decisions, the actual impact – both intended and unintended – of those outputs, the
percieved impacts of agency decisions, and finally, important revisions (or attemted
revisons) in the basic statute.
Dari pendapat di atas, idealnya, implementasi kebijakan dipandang sebagai
suatu keputusan yang mengidentifikasi permasalahan untuk kemudian dicarikan
berbagai cara penyelesaiannya dengan menunjukkan struktur pelaksanaan kebijakan
yang bisa diikuti oleh para pelaksana kebijakan. Dengan pandangan ini, maka
implementasi kebijakan merupakan suatu proses penyelesaian masalah yang
dilakukan dengan cara-cara tertentu ke dalam proses pelaksanaan kebijakan.
Dengan demikian implementasi kebijakan membutuhkan dukungan pemahaman

333 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang komprehensif terhadap perspektif permasalahan yang perlu disikapi, diatasi
atau diantisipasi melalui serangkaian tindakan atau kegiatan.
Dalam hal ini Ripley and Franklin (1990:4) mengatakan Implementation is
what happens after laws are passed authorizing a program, a policy, a benefit, or
some kind of tangible output. The term refers to the set of activities that follow
statements of intent about program goals and desired results by government official.
Implementation encompasses action (and no action) by a variety of actor, especially
bureaucrats, designed to put program in to effect, ostensibly in such an away to
achieve goals. Pendapatan Ripley and Franklin di atas menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan mengacu pada serangkaian kegiatan atau tindakan yang
menyertai pernyataan tentang tujuan dan hasil program yang ingin dicapai oleh
pejabat pemerintahan. Serangkaian kegiatan atau tindakan yang dimaksud
berlangsung manakala suatu aturan (laws) sudah ditetapkan untuk melaksanakan
program tersebut.
Cooper (1998:185), menegaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan
penterjemahan dari pernyataan kebijakan ke dalam tindakan. Kemudian Van Meter
and Van Horn (1978:154)menyatakan implementation as a linear process, yang terdiri
atas enam variabel yang mengkaitkan kebijakan dengan pencapaian (performance),
yakni: (a) standar dan tujuan; (b) sumber daya; (c) komunikasi dan aktivitas pelaksana
antar organisasi; (d) karakteristik agen pelaksana; (e) kondisi ekonomi dan politik; (f)
sikap dari pelaksana.Model Meter dan Horn disebut A Model of The Policy
Implementation Process.Model ini menunjukkan adanya korelasi antara variabel-
variabelindependentdan variabel dependent mengenai kepentingan-kepentingan,
serta hubungan di antara variabel bebas. Demikian juga bahwa variabel standar dan
tujuan, sumberdaya dan komunikasi dan aktivitas antara organiasi sebenarnya dapat
dikategorikan sebagai dimensi organisasi saja.

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR


Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005
tentang pengelolaan Pulau-pulau kecil terluar, bahwa dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah
perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan
memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang social,ekonomi, budaya,
hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan dimana pulau-pulau kecil
terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal

334 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia.
Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan
2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat
geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum
internasional dan nasional. (Perpres No. 78/2005). Pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dilakukan dengan tujuan: a). menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta
menciptakan stabilitas kawasan; b) memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka
pembangunan yang berkelanjutan; c) memberdayakan masyarakat dalam rangka
peningkatan kesejahteraan. Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah : a).
Wawasan Nusantara; b). berkelanjutan; dan c). berbasis masyarakat. Pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Perpres juga
menegaskan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan sebagaimana dimaksud
meliputi bidang-bidang: a) sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b) infrastruktur
dan perhubungan; c) pembinaan wilayah; d) pertahanan dan keamanan; e) ekonomi,
sosial, dan budaya. Pengelolaan sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (Perpres No. 78/2005) Mengenai
pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Suyanto (2006) ditinjau dari aspek ekonomi, keberadaan pulau-pulau terluar
yang rata-rata hanya merupkan pulau kecil dan tidak berpenghuni kurang
memberikan kontribusi yang berarti bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat
disekitar pulau tersebut.Namun karena pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau
terluar dan memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga
maka pulau-pulau tersebut memiliki nilai yang sangat strategis sekaligus rawan
terhadap sengketa kepemilikan di masa mendatang. Belum tersedianya infrastruktur
yang memadai menunjukkan belum adanya perhatian yang serius dari pemerintah
daerah untuk mengucurkan dananya dalam pembanguan di wilayah tersebut.
Terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, Bengen (2013) dalam
forum Diskusi Indonesia Maritime Institute mengatakan : Keberadaan pulau-pulau
kecil itu tentu secara kewilayahan maupun fungsinya memiliki nilai strategis bagi
NKRI. Karakteristik ekosistem pulau-pulau kecil juga spesifik dan jika berbicara
kekayaan SDA hayati laut itu tidak terlepas dari keberadaan pulau-pulau kecil.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, sudah selayaknya pemerintah memberi perhatian

335 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang serius terhadap keberadaan pulau-pulau kecil itu, dan membuat sebuah "grand
strategi" pengelolaan dan pendayagunaannya untuk keberlanjutan SDA hayati laut
Indonesia.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan terkait dengan isu-isu
strategis sebagaimana disampaikan oleh Retraubun bahwa Persoalan pulau-pulau
kecil adalah bagian dari persoalan bangsa dan negara yang sangat penting.Kebijakan
alokasi ruang dan pengelolaan pulau- pulau kecil harus dirumuskan secara hati-hati,
karenaaspek pembangunan ekonomi, isu ini jugamenyangkut:1) harga diri dan
moralitas Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, 2) kedaulatan dan keutuhan
wilayah Republik Indoensia sebagainegara kepulauan, 3) penegakan hak-hak
masyarakat adat sebagi unsur penting dalam struktur negara dan bangsa, 4)
kelestarian sumberdaya alam antar generasi.
Untuk lebih memahami pengertian tentang pulau kecil terluar serta bagaimana
pulau terluar tersebut memiliki fungsi yang strategis, Mahendra Putra mengatakan
“jika NKRI diibaratkan adalah sebuah rumah, maka yang menjadi halaman depan
atau pagarnya adalah wilayah atau kawasan perbatasan. Sebuah rumah yang baik
adalah sebuah rumah yang memiliki pagar yang kukuh, kuat dan tidak mudah
ditembus oleh pihak lain.” Dalam konteks ini, Sianturi (2010) mengatakan
Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam
mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh
karakteristik kegiatan anatara lain :mempunyai dampak penting bagi kedaulatan
negara, merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya, mempunyi keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan
kegatan yang dilaksanakan diwilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah
manapun antar negara dan mempunyai dampak terhadap kondidi pertahanan dan
keamanan baik skala regional maupun nasional.
Dengan keberadaan posisi pulau-pulau kecil terluar berada dibatas negara
maka menjadikan posisi tersebut sangat strategis, hal ini disampaikan oleh Purnomo
(2006) ”bahwa pulau-pulau terkecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai
Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan indonesia dalam penetapan wilayah
Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen
indonesia”.
Pulau kecil terluar sebagai perbatasan negara memiliki makna statis dan
dinamis sebagaimana disampaikan oleh Patriadi (2010) Perbatasan tidak cukup

336 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
hanya dimaknai secara statis seperti dilihat dalam dimensi fisik atau batas teritori
karena hal ini akan mereduksi isu perbatasan dan tidak mampu mengidentifikasi
tantangan dalam pengelolaan perbatasan seiring dengan semakin derasnya arus
transnasionalisme. Sebagai alternative batas begara perlu juga dilihat dalam aspek
dinamis yaitu juga bermakna sebagai batas dari satu entitas politik yang bernama
“bangsa” (nation) yang mempunyai kapasitas untuk memaknai arti dan fungsi
perbatasan.
Terkait dengan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, Sutisna, dkk
(2010) mengemukakan didalam merumuskan sebuah kebijakan pengelolaan
perbatasan yang terintegrasi dan berkesinambungan, identifikasi permasalahan dan
ruang lingkupnya merupakan sebuah langkah awal yang paling penting. Terkait
dengan kebijakan pengelolaan perbatasan di Indonesia seringkali masyarakat umum
bahkan para stakeholders perbatasan masih seringkali mencampuradukkan
permasalahan yang ada sehingga solusi penyelesaiannya seringkali melebar, tidak
focus dan bahkan menimbulkan paranoia baru di masyarakat.
Chandra (2010:34) mengatakan bahwa sbagai salah satu sebuah Negara
kepulauan yang terbesar didunia, Indonesia mesti menekankan pentingnya
manajemen terhadap kebijakan perbatasan Indonesia. Luasnya wilayah lndonesia
mewariskan permasalahan besar bagi pemerintah Indonesia untuk bisa mengelola
wilayahnya dengan efektif”. Untuk mewujudkan pengelolaan diperbatasan
diperlukan beberapa langkah serta memperhatikan beberapa prinsip sebagaimana
dijelaskan oleh Nugraha (2010) Diplomasi untuk mempertahankan wilayah
membutuhkan klaim historis, klaim kultural dan kontrol efektif terhadap suatu wilayah.
Hal ini tidak mungkin dilakukan apabila tidak ada pembangunan di wilayah
perbatasan. Sementara itu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah perbatasan harus
juga mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dengan memperluas keterlibatan
masyarakat, menegakkan penghormatan terhadap HAM adanya akuntabilitas dan
tata kelola yang baik dalam sistim kontrol perbatasan”.
Selain beberapa prinsip pengelolaan perbatasan yang disampaikan oleh
Aryanta Nugraha, maka diperlukan pengamanan dan perkuatan diseluruh wilayah
maritim sebagaimana disampaikan oleh Diamar (2011), yang menyampaikan lima
pilar yang dijadikan pengamanan dan penguatan wilayah maritim Republik
Indonesia secara terpadu berikut :Pertama, peneguhan pemahaman terhadap
wawasan maritim, hal ini dilakukan dengan menumbuhkan kembali kesadaran
geografis. Kedua, penegakan kedaulatan yang nyata di laut. Pilar ini dapat dibangun

337 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dengan sistem pertahanan (defense), keamanan (constabulary) dan pengendalian
(civilian monitoring, control & surveillance), beserta penegakkannya (enforcement)
yang utuh dan berkesinambungan. Ketiga, pembangunan industri maritim. Pilar ini
memberikan kontribusi akan keberadaan negara maritim yang modern dengan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan iptek
tersebut teraplikasikan melalui penelitian, pengembangan dan penerapan iptek dalam
bidang industri maritim. Keempat, meletakkan pentingnya penataan ruang wilayah
maritim. Kondisi ini diharapkan terciptanya tata ruang yang terpadu antar daerah
pesisir, laut dan pulau-pulau untuk menghasilkan sinergi dan keserasian antar
daerah/kawasan antar sektor dan antar srata sosial yang berwawasan lingkungan.
Kelima, penegakan sistem hukum maritim. Penegakan dapat dibangun dengan
ocean policy yang lengkap, mulai dari yang bersifat undang-undang pokok atau
payung hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata yang mengakomodasikan
hukum adat.
Selanjutnya terkait dengan pengamanan dan penguatan di wilayah maritim
yang menjadi perbatasan maka diperlukan penataan yang berkesinambungan.
Terkait dengan upaya untuk penataan wilayah perbatasan, Diamar (2004)
menyampaikan :”Sebagai negara kepulauan yang menuju menjadi negara maju yang
demokratis maka proses prencanaan tata ruang kira-kira akan harus mengikuti
“tradisi analisis kebijakan publik”. Undang-undang penataan ruang yang baru perlu
mengatur kelembagaan, proses, tata cara untuk pengelolaan ke arah itu”.
Terkait dengan dinamika pengelolaan wilayah-wilayah perbatasan, Kartikasari
(2010 :107) mengemukakan Mengurai pengelolaan perbatasan di wilayah-wilayah
perbatasan Indonesia”.menyampaikan : “Perbatasan merupakan perwujudan dari
kedaulatan territorial. Sebagai makna perbatasan yaitu sebagai daerah atau jalur
pemisah Antara unit-unit politik (Negara) maka perbatasan negara mengandung
komponen paling sedikit dua negara yang berbatasan dengan demikian jga dari
komponen rakyat dari Negara yang berbatasan.
Berbagai studi yang dilakukan oleh Depkimpraswil 2002, Bappenas 2004 dan
studi Lemhanas 2004 serta LIPI, menunjukkan bahwa isu atau masalah perbatasan
sangat kompleks. Secara umum permasalahan-permasalahan diperbatasan dapat
diidentifikasi berdasar beberapa kelompok isu berikut:
1. Isu geografis-teritorial karena belum disepakatinya batas-batas wilayah darat
maupun laut dibeberapa tapal batas dengan Negara tetangga.

338 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Isu-isu keamanan dan kedaulatan nasional, terutama kejahatan lintas batas
(cross border crimes) yang terorganisir sepert penyelundupan, perdagangan
illegal dan garis batas yang kabur dengan akibat berkurangnya wilayah nasional
Indonesia.
3. Isu lingkungan yaitu kerusakan ekologi dan eksploitasi sumbe daya berlebihan,
bersifat lintas batas dan dilakukan secara legal maupun illegal.
4. Isu kemiskinan, keterbelakangan, keterbatasan prasarana ekonomi, pendidikan
dan kesehatanyang dialami warga Indonesia di perbatasan, serta sarana
transportasi dan pembangunan yang masih minim.
5. Isu koordinasi dan implementasi kebijakan pembangunan akibat jauhnya jarak
komunikasi antar pemerintah lokal dan pemerintah daerah atau pusat.
Rendahnya alokasi pembiayaan pembangunan atau ketergantungan terhadap
pemerintah pusat dan belum terwujudnya keterpaduan dalam upaya pengelolaan
perbatasan.
6. Isu kependudukan dan perubahan social terutama akibat mitigasi lintas batas
yang bersifat legal dan illegal.
7. Isu patriotism dan ketahanan nasional terutama menyangkut persepsi penduduk
perbatasan bahwa mereka dianaktirikan.
Dari berbagai permasalan tersebut maka diperlukan model kelembagaan
yang efektif sebagaimana disampaikan Loy (2010:250) Sifat pengelolaan perbatasan
yang kompleks selanjutnya membutuhkan model bangunan kelembagaan
pengelolaan yang sifatnya berjenjang. Model ini beranjak dari dua asumsi:1).
kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan untuk menangani masalah perbatasan
tersebar secara vetikal diantara unit administrasi dilevel nasional, propinsi dan lokal.
Secara horizontal tersebar diantara aktor pemerintah dan non-pemerintah pada
tingkat nasional dan lokal, 2). Tangan pemerintah pusat terlalu pendek dan ‘kurang
terampil’ untuk menjangkau wilayah-wilayah terpencil di perbatasan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian
kualitatif ini merujuk pada prosedur penelitian kualitatif yang dijelaskan oleh Creswell
(1994:143).Disain penelitian dirancang dengan pendekatan penelitian kualitatif yang
dilakukan dengan paradigma post positivisme. Paradigma post-positivisme ini dipilih
karena penelitian tentang manajemen pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Indonesia dipandang sebagai ”observed facts” yang akan

339 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menghasilkan”knowledge based on experience”, yaitu suatu konsep baru yang
disusun berdasarkan temuan penelitian terhadapap informan penelitian dari instansi
pemerintah pusat dan daerah, dengan penentuan informanmenggunakan snow ball
technique. menggunakan teknik wawancara dan observasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pengelolaan pulau pulau kecil terluar adalah bagian integral pembangunan tr
yang terdapat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesaia. Karena itu,
telaah implementasi kebijakan pengelolaan pulau kecil terluar Indonesia dengan
Negara tetangga mengacu pula pada gambaran umum keadaan pulau-pulau kecil
terluar di Indonesia.
Keberadaan pulau-puau kecil terluar di perbatasan negara tampak menjadi fenomena
tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Perbatasan Negara
merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu
Negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan,
pemanfaatan sumberdaya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah.
Penentuan perbatasan Negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses
historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu Negara
sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah,seperti tertuang di dalam Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, bahwa Negara Kesatuan
Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang berciri nusantara mempunyai
kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah
kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam pasal 1 UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara juga
disebutkant bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan
satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung didalamnya.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000
pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya yang mencapai
3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantai Indonesia

340 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah
dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81 persen dari
luas keseluruhan wilayah Indonesia, yang memiliki wilayah perbatasan dengan
banyak Negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-
negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat
Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Propinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-
masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula Negara
tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi,
politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10
negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau,
Australia, Timor Leste dan Papua New Guinea (PNG). Wilayah perbatasan laut pada
umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-
pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih
intensif karena mempunyai kecenderungan timbulnya permasalahan dengan Negara
tetangga.
Menurut hukum laut internasional, yang dimaksud dengan Negara Kepulauan
adalah sebuah negara yang terdiri dari seluruhnya atau sebagian kepulauan dengan
perbandingan luas perairan dan luas daratan 1:1 sampai 1:9. Disamping itu,
kepulauan juga mengandung maksud kelompok pulau-pulau, termasuk bagian dari
pulau, air yang menghubungkan dan yang berada di sekitar pulau-pulau tersebut atau
ciri-ciri alam yang lain (natural feature) yang demikian erat terkaitnya, sehingga pulau-
pulau, perairan dan fenomena alam tersebut membentuk satu kesatuan geografis,
ekonomi dan politik yang bersifat intrinsik atau karena secara historis memang telah
diakui dunia.
Berdasarkan konsepsi hukum internasional, cakupan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah seluruh wilayah yang diwarisi dari
penjajah Belanda, sesuai dengan prinsip hukum Uti Possidetis Juris, yang artinya
bahwa suatu Negara mewarisi wilayah penguasa penjajahnya. Di dalam hukum
nasional, cakupan wilayah Indonesia tercantum di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 25A UUD 1945 dinyatakan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan haknya ditetapkan dengan Undang-
Undang”. Ketentuan UUD 1945 ini sejalan dengan United Nation Convention on the
Law Of Sea (UNCLOS) 1982 yang berlaku sejak 16 November 1994 dan telah

341 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1985 dengan menegaskan pengakuan dunia
internasional terhadap konsepsi Negara kepulauan (archipelagic state) yang
diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sejak Deklarasi Juanda Tahun 1957.
Indonesia dikenal dunia sebagai negara kepulauan (archipelagic state),
memiliki struktur pulau-pulau besar dan kecil tersebar luas dalam jumlah mencapai
ribuan pulau. Pada awalnya jumlah pulau adalah lebih dari 17.508 buah (Pussurta
ABRI, 1987) pulau kecil dan besar dengan garis pantai yang panjangnya sekitar
81.000 km2. Akibat adanya perubahan politik dan yuridis, Indonesia telah kehilangan
4 pulau yaitu dua pulau di Provinsi Kalimantan Timur (Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan) serta dua pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pulau Arturo dan Pulau
Kolokambing), sehingga jumlah pulau menjadi 17.504.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU KECIL TERLUAR


Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau Kecil Terluar. Pertimbangan yang
menjadi dasar terbitnya Peraturan Presiden ini adalah bahwa dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah negara, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah
perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan
memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya,
hukum, sumber daya manusia, pertahanan, dan keamanan. Pertimbangan lainnya
adalah bahwa pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik
Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan
Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia.
Dalam Peraturan PresidenNomor 78 Tahun 2005 yang dimaksud dengan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya
pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas
2
area kurang atau sama dengan 2000 km (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki
titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut
kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau kecil
terluar sebagaimana dimaksud dan koordinat titik terluarnya adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden ini138.

138Perpres 78 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, pasal 1

342 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan: a). menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional,
pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; b).
memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan;
c). memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan139. Prinsip
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah a). Wawasan Nusantara; b).
berkelanjutan; c). berbasis masyarakat; d). Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. (Pasal 4) Pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang: a).
sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b). infrastruktur dan perhubungan; c).
pembinaan wilayah; d). pertahanan dan keamanan; e). ekonomi, sosial, dan budaya.
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Tim Koordinasi merupakan wadah koordinasi non-struktural yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tim Koordinasi
mengadakan rapat koordinasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setiap 6
(enam) bulan. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi dapat mengundang
dan atau meminta pendapat dari instansi-instansi pemerintah terkait dan atau pihak
lain yang dianggap perlu. Tim Koordinasi menyampaikan laporan kepada Presiden
setiap 6 (enam) bulan dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud mempunyai tugas: a).
mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar; b). melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. (Pasal 8)
Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi sehari-hari dibantu oleh Tim Kerja yang
dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Tim Kerja terdiri dari 2 (dua)
tim, yaitu: Tim Kerja I membidangi sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur
dan perhubungan, ekonomi, sosial, dan budaya; Tim Kerja II membidangi pembinaan
wilayah, pertahanan dan keamanan. Tim Kerja I diketuai oleh Direktur Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tim
Kerja II diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, rincian tugas, dan

139Perpres 78 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, pasal 2

343 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tata kerja Tim Kerja sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan. (Pasal 9)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Menteri Kelautan dan
Perikanan dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat mempunyai tugas memberikan
pelayanan administratif. Sekretariat secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja
struktural di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan yang menangani
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Ketua Sekretariat ditunjuk oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan. (Pasal 10) Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan
tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jumlah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau yang berada di titik
perbatasan yang mencapai 19 pulau tersebut, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
tentu membutuhkan dukungan sub sistem manajemen pemerintahan yang khusus
terfokus pada pengelolaan pulau-pulau tersebut sesua. Untuk itu, pemerintah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP).
Dalam Perpres tersebut diatur bahwa BNPP dipimpin oleh seorang Kepala
Badan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(Pasal 2) BNPP mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan
perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan
pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. (Pasal 3) Untuk melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud, BNPP menyelenggarakan fungsi: a). penyusunan dan
penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan; b). pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan; c). pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan
pengamanan Batas Wilayah Negara; d). inventarisasi potensi sumber daya dan
rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya,
lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan Perbatasan; e). penyusunan program
dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dan sarana lainnya
di Kawasan Perbatasan; f). penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan
Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas; dan
g). pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan

344 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan. (Pasal 4).
Pelaksana teknis pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan dilakukan Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas dan
fungsinya berdasarkan rencana induk dan rencana aksi pembangunan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan yang ditetapkan oleh BNPP. (Pasal 5
Berdasarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2010 secara struktural dan fungsional
pelaksanaan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar termasuk dalam pengelolaan perbatasan sebagaimana dimaksud dalam
Perspres Nomor 12 Tahun 2010 tersebut. Perpres ini merupakan penjabaran
organisasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 Tentang
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan: 1). Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya; 2).
Pulau-Pulau Kecil Terluar, selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang
memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut
kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional; 3). Kawasan Strategis
Nasional Tertentu, selanjutnya disingkat KSNT adalah kawasan yang terkait dengan
kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia,
yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional; 4). Pemanfaatan
PPKT adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan potensi sumber
daya PPKT dan perairan di sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; 5). Peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara fisik
atau nonfisik, langsung atau tidak langsung, atas dasar kesadaran sendiri atau akibat
peranan pembinaan dalam pemanfaatan PPKT; 6). Pemerintah Pusat, selanjutnya
disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
7).Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah; 8). Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. (Pasal
1)

345 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pemanfaatan Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT) dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan pemerintah daerah. Pemanfaatan PPKT sebagaimana
dimaksud ditujukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PPKT merupakan KSNT. PPKT sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan
Peraturan Presiden adalah Pemanfaatan PPKT dilakukan berdasarkan Rencana
Zonasi yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Rencana Zonasi
PPKT sebagaimana dimaksud terdiri atas sub zona yang meliputi pertahanan
keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan140.
Pemanfaatan PPKT hanya dapat dilakukan untuk: a). pertahanan dan keamanan; b).
kesejahteraan masyarakat; dan/atau c). pelestarian lingkungan. Pemanfaatan PPKT
sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
PPKT. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
di perbatasan mencakup tiga dimensi manajemen kawasan perbatasan, yaitu dimensi
pertahanan dan keamanan; dimensi kesejahteraan masyarakat; dan dimensi
pelestarian lingkungan.Tiga dimensi manajemen kawasan perbatasan ini tentu
mencakup berbagai upaya untuk memanfaatkan Pengelolaan Pulau Kecil Terluar
(PPKT) di kawasan perbatasan.
Pemanfaatan PPKT untuk pertahanan dan keamanan sebagaimana
dimaksud dalam Perpres 78 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar, untuk: a). akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara di laut; b).
penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; c). penempatan
aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d). penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; e).
penempatan sarana bantu navigasi pelayaran; dan/atau f). pengembangan potensi
maritim lainnya. (Pasal 6) Pemanfaatan PPKT untuk kesejahteraan masyarakat
sebagaimana dimaksud untuk : a). usaha kelautan dan perikanan; b). ekowisata
bahari; c). pendidikan dan penelitian; d). pertanian subsisten; e). penempatan sarana
dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau f). industri jasa maritim. (Pasal 7)
Pemanfaatan PPKT untuk pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud
dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi. Kawasan
yang dilindungi sebagaimana dimaksud dapat ditetapkan sebagian atau seluruhnya
sebagai kawasan konservasi. Kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi

140Perpres 78 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, pasal 4

346 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 8) Kawasan konservasi
sebagaimana dimaksud dapat ditetapkan sebagai: a). kawasan konservasi pesisir
dan PPK; b). kawasan konservasi maritim; c). kawasan konservasi perairan; dan/atau
d). sempadan pantai. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan kawasan
konservasi sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penetapan sempadan pantai sebagaimana dimaksud diatur
dengan Peraturan Presiden.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 dijelaskan bahwa
kawasan perbatasan merupakan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang
penataan ruangnya diprioritaskan, karena memiliki pengaruh yang sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. PKSN merupakan kawasan perkotaan
yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan
untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk
pelayanan kegiatan lintas batas antar negara.
Adapun kriteria dari PKSN ini adalah: 1) pusat perkotaan yang berpotensi
sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; 2) pusat perkotaan
yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan
negara tetangga; 3) pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi
yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau; 4) pusat perkotaan yang
merupakan tumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di
sekitarnya. Jelas bahwa kawasan perbatasan memiliki peran yang sangat penting
hingga penataan ruangnya lebih diprioritaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), walau begitu hal ini tidak serta merta menjadikan kawasan
perbatasan sebagai kawasan yang lebih maju diantara lainnya. Sebaliknya kawasan
perbatasan di Indonesia memiliki ciri yang berlawanan dari peran pentingnya.
Berbagai permasalahan terjadi di kawasan perbatasan, rendahnya kualitas
infrastruktur, rendahnya akses terhadap informasi, kondisi perekonomian yang
tertinggal, serta segala permasalahan lain yang memperlihatkan bahwa kawasan
perbatasan Indonesia saat ini masih menjadi halaman belakang yang seakan
terabaikan.
Permasalahan koordinasi lintas sektor seringkali menjadi penghambat dalam
upaya pembangunan di kawasan perbatasan, hal ini terjadi karena belum adanya
lembaga yang mempunyai peran mengkonsolidasikan seluruh sektor terkait hingga

347 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
akhirnya hadir Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai koordinator
pengelolaan kawasan perbatasan di tingkat Nasional. Lemahnya kelembagaan
pemerintah dalam mengelola kawasan perbatasan yang teridentifikasi dari : 1).Isu
kawasan perbatasan belum menjadi agenda pembangunan prioritas yang ditangani
secara komprehensif dan terpadu; 2). Meningkatnya aktivitas-aktivitas ilegal di
wilayah perbatasan; dan 3). Lemahnya penegakan hukum terhadap para pencuri
kayu (illegal logger), penyelundup barang, penjualan manusia (human trafficking),
pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia
(seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan, terutama pada grey
area.
Pola pembangunan kawasan perbatasan yang meliputi : 1). Pola
pembangunan kawasan perbatasan selama ini berorientasi inward looking (melihat
ke dalam), artinya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri seperti
pertahanan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat. Hal ini
ditandai salah satunya dengan minimnya pintu akses masuk yang resmi dan
dilengkapi dengan fasilitas CIQ (Customs, Immigration, Quarantine); 2). Rendahnya
kemampuan pemerintah untuk membangun dan membina daerah perbatasan,
karena pendekatan keamanan lebih menonjol dibanding pendekatan kesejahteraan;
3). Rendahnya aksesibilitas yang menghubungkan wilayah perbatasan yang
tertinggal dan terisolir dengan pusat-pusat pemerintahan dan pelayanan atau wilayah
lainnya yang relatif lebih maju; 4). Terbatasnya sarana dan prasarana baik
pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air
bersih dan irigasi, ketenagalistrikan serta pertahanan keamanan; 5). Belum
optimalnya pembangunan di wilayah perbatasan oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan secara langsung; 6).
Kondisi pertumbuhan ekonomi wilayah perbatasan relatif terlambat; 7). Pemerintah
masih berfokus pada permasalahan delimitasi dan demarkasi, belum pada isu
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan; 8). Kesenjangan pembangunan yang
lebar antara daerah perbatasan dengan negara tetangga; 9). Banyaknya tawaran
investasi yang cukup besar namun terbentur dengan terbatasnya dana pembangunan
sarana dan prasarana yang dapat disediakan pemerintah dan pemerintah daerah;
dan 10). Belum optimalnya upaya pelibatan sektor swasta dan dunia usaha, lembaga
non pemerintah, dan masyarakat lokal dalam pengembangan wilayah perbatasan.
Masalah Sumber Daya Manusia dan Sumberdaya Alamyang teridentifikasi
dari : 1). Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh

348 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga.
Hal ini memicu terjadinya kerawanan sosial melalui kegiatan-kegiatan
pemberontakan dan perdagangan ilegal; 2). Pengembangan potensi sumberdaya
manusia, kelembagaan serta sumber daya alam yang belum optimal dan berorientasi
masa depan; dan 3). Kesenjangan sosial ekonomi yang nyata terlihat antara
masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di negara tetangga.
Masalah penurunan wawasan kebangsaanyang terindetifikasi dari :1)
Rendahnya aksesibilitas informasi, berpotensi terjadinya penurunan wawasan
kebangsaan; dan 2). Minimnya pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
pada daerah perbatasan, menjadikan sebagian masyarakat di daerah perbatasan
merasa bukan bagian dari sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR


Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdapat sekitar 17 kementerian/lembaga yang
sama-sama memiliki peran dalam pengelolaan pulau kecil terluar dan perbatasan.
Banyaknya instsansi yang berperan menjadikan tidak ada satupun lembaga yang
memiliki peran senral secara fungsional dan struktur dalam menjalan misi dan visi
pengelolaan pulau kecil terluar sebagai beranda depan negara dan batas negara. Hal
ini terlihat masih masih belum fokusnya pembangunan di pula kecil terluar.
Permasalahan lain yang timbul dalam pengelolaan pulau kecil terluar adalah
masih terbatasnya sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan atau anggaran untuk
pengelolaan pulau kecil terluar sebenarnya secara umum cukup memadai, hanya
saja anggaran tersebut menyebar diberbagai kementerian lembaga, sehingga
menhjadi tidak fokus, termasuk dukungan sumber daya manusia yang belum
memadai.
Kelemahan dalam pengelolaan pulau kecil terluar adalah lemahnya
manajemen pemerintah dalam menggerakkan sumber-sumber organisasi yang
terlibat dalam pengelolaan karena banyaknya instansi. Banyaknya instansi akan
menjadikan fokus pengelolaan tidak terkontrol karena setiap instansi kementerian
dan lembaga akan berjalan pda capaian program kerja instansinya.
Kelemahan dalam pengelolaan pulau kecil terluar disebabkan antara lain: (1)
lemahnya fungsi koordinasi antar lembaga kementerian dalam menyusun program
dan kebijakan sehingga cenderung berjalan sendiri-sendiri (2) belum ada lembaga

349 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang menjadi pusat kendali atau rezim yang berkuasa atas kebijakan pengelolaan
pulau kecil terluar secara fungsional dan struktural; (3) keterbatasan sumber daya
terutama sumber daya pembiayaan dikarenakan anggaran masih menyebar di
kementerian lembaga menyebabkan pembangunan tidak fokus; (4) peran pemerintah
daerah. Pemerintah daerah pada dasarnya dapat berperan bersama dengan
pemerintah dalam mengembangkan pulau kecil terluar sehingga pulau kecil terluar
dapat dijadikan objek wisata laut tentunya sesuai dengan kewenangan yang yang
dimiliki oleh pemerintah dasrah; (5) keterlibatan swasta. Pemerintah perlu mendorong
swasta ikut serta mengelola pulau-pulau kecil terluar untuk dikembangkan sebagai
kawasan ekowisata bahari. (7) Melibatkan perguruan tinggi; keterlibatkan perguruan
tinggi sangat mungkinkan dalam pengeloln pulau kecil terluar, karena disamping
sebagai tempat penelitian dalam mengembangkan kawasan perbatasan, juga dapat
meningkatan wawasan kebangsaan bagi generasi mudah. Kondisi seperti ini
dilakukan oleh berbagai negara dalam mengelola pulau kecil terluar, seperti Inggris
dalam mengelola pulau kecil terluarnya dengan menempatkan masyarakat,
membangun pangkalan militer, serta melibatkan perguruan tinggi dalam mengelola
pulau kecil terluar.
Berbagai potensi yang ada di pulau kecil terluar pada akhirnya dapat
terlindungi dan tereksplorasi dengan baik jika pemerintah dapat mengelola pulau kecil
terluar dengan serius dengan turut serta memberdayakan segala potensi yang dimiilki
negara.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


KESIMPULAN
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar masih hingga saat ini belum menunjukkan hasil
maksimal, karena masih banyaknya pulau-pulau kecil terluar yang dibiarkan kosong
sehingga belum terkelola, hal ini dikarenakan belum sinerginya manajemen
pemerintah dalam mengelola pulau kecil terluar antar kementerian dan lembaga yang
terlibat.Hal ini yang menyebabkan belum oftimalnya pelaksanaan pengelolaan pulau
kecil terluar karena masih terbatasnya sumber daya untuk mengelola.

REKOMENDASI
Agar pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dapat secara cepat dikelola serta dapat
terpadu, maka dibutuhkan lembaga khusus yang secara otoritas memiliki fungsi
struktural dan fungsional dalam satu kelembagaan terpadu, sehingga dapat

350 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menggerakkan semua potensi dalam bersamaam, sehingga pengelolaan pulau kecil
terluar dapat terlaksana secara maksimal serta melibatkan semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E, 1984. Public Policy Making – An Introduction (second edition),
Texas A & M University.
Bappenas. 2004. Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara di Indonesia. Jakarta :
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Bengen Dietrich :Forum Diskusi Indonesia Maritime Institute, Jakarta 12 Agustus
2013.
Chandra, Bonggas Adi, Mencari Format Manajemen Perbatasan yang Komprehensif,
Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010
Creswel, John. W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches.
Sage Publication : New Delhi
Depkimpraswil, Bappenas 2004 dan Studi Lemhanas 2004 serta LIPI,2002
Diamar, Son :Wawancara Indo Defense Blog, Kamis 27 Oktober 2011
Hill, Michael and Peter Hupe, 2002.Implementing Publik Policy, London: SAGE
Publications Ltd.
Howlett, Michael., and M. Ramesh, 1995. Studying Public Policy, Policy Cycless and
Policy Subsytems, New York: Oxford University Press.
Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Buni
Aksara.
Kartikasari, Wahyuni,:Mengurai Pengelolaan Perbatasan di wilayah-wilayah
Perbatasan Indonesia, Yogyakarta,Graha Ilmu, 2010
Kartiko Purnomo: Kebijaksanaan Pulau-pulau kecil Terluar dan Permasalahannya,
Depertemen Dalam Negeri, RI 2006
Nikolas Loy,Globalisasi, Kedaulatan Negara dan Tata Kelola
PerbatasanYogyakarta:Graha Ilmu, 2010
Nugraha Aryanta, Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia
Yogyakarta:Graha Ilmu, 2010
Patriadi, Himawan Bayu : Isu Perbatasan, Memudarnya Imagined State.
Yogyakarta:Graha Ilmu 2010.
Ripley, Randall. B., Franklin, Grace. A, 1990, Policy Implementation and Bureaucracy
(Second Edition), Chicago, Illinois : The Dorsey Press.

351 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sianturi Eddy MT :Makalah Strategi Pengembangan Wilayah Kedaulatan NKRI,
Puslitbang Strahan Balitbang Dephan, 6 Februari 2010
Sunggono, Bambang, 1994, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar
Grafika.
Suyanto, Djoko, Artikel: Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, diakses dari situs
Kemhan.go.id, 2006
Suyanto, Djoko, Artikel: Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, diakses dari situs
Kemhan.go.id, 2006
Sobar Sutisna, Sora Lokita, Sumaryo, Boundary Making Theory dan Pengelolaan
Perbatasan di Indonesia Yogyakarta,Graha Ilmu, 2010
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI & Puslit KP2W Lemlit
Unpad.
Van Meter, Donald S. and Van Horn, Carl E., 1975. “The Policy Implementation
Process.A Conceptual Framework”.Administration and Society, Vol.6
No.4.London: Sage Publications, Inc.
Wahab, A Solichin. 2002. Pengantar Analisis Kebijakasanaan Negara. Jakarta:
Reneka Cipta.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law of the Sea
Undang-Undang nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara
Undang-Undang Noor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola
Perbatasan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pemanfaatan Pulau Kecil
Terluar

352 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
MANAGEMENT SKILLS PENGELOLAAN SAMPAH
DI KOTA BANDUNG
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT
Herson Simbolon141 dan Samugyo Ibnu Redjo142

ABSTRAK
Sampah merupakan hasil dari kegiatan manusia, setiap harinya manusia
memproduksi sampah baik itu sampah rumah tangga atau sampah
industri dan lain sebagainya, untuk itu diperlukan pengelolaan sampah
yang efektif. Pengelolaan sampah menjadi suatu kegiatan yang sangat penting
untuk dilakukan agar berbagai hal mengenai sampah dapat ditangani dengan baik.
Manajement skills merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh PD
kebersihan dalam menyelesaikan permasalahan sampah.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui management skills pengelolaan
sampah di kota Bandung dengan menggunakan analisis swot. Dalam penelitian ini
Penulis menggunakan analisis swot dari Robbins Coulter dalam Erwin Suryatama
(2014:25) yang terdiri dari Kekuatan (Strenght), Kelemahan (Weakness) Opportunity
(keempatan) dan Threat (ancaman).
Hasil penelitian menunjukan bahwa PD Kebersihan sebagai satu-satunya
perusahaan yang memiliki kewenangan berkaitan dengan kebersihan dan
pengelolaan sampah di Kota Bandung cukup kuat dengan daya tarik bisnis medium
dan memiliki pasar yang tinggi, namun dengan pertumbuhan bisnis yang cukup
rendah, masih terdapat sumber daya manusia yang belum sesuai dengan kompetensi
pengelolaan sampah sehingga belum bisa bekerja secara maksimal. Selain itu juga
PD Kebersihan kurang melibatkan peran serta masyarakat serta Sarana dan
prasarana pengelolaan sampah masih minim dan belum menggunakan teknologi
modern yang pada akhirnya membuat proses pengelolaan sampah kurang makimal.
Kata Kunci: Management skills, Sampah, dan analisis swot.

ABSTRACT
Garbage is the result of human activities, every day people produce garbage
either household waste or industrial waste and so forth, for that required effective
waste management. Waste management becomes a very important activity to be
done so that various things about waste can be handled properly. Manajement skills
is one way that can be done by PD cleanliness in solving garbage problems.
The purpose of this research is to know the management skills of garbage
management in Bandung by using swot analysis. In this study the author uses swot
analysis from Robbins Coulter in Erwin Suryatama (2014: 25) consisting of Strength
(Strength), Weakness (Opportunity) and Threat (threat).
The results showed that PD Hygiene as the only company that has authority
related to cleanliness and waste management in Bandung is quite strong with medium
business appeal and has a high market, but with business growth is quite low, there
are still human resources who Not in accordance with the competence of waste
management so that it can not work optimally. In addition, PD Cleanliness less
involving the participation of the community and facilities and infrastructure of waste

141 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pemerintahan, FISIP, Unpad / kenherson@gmail.com


142 Guru Besar FISIP Unpad / samugyo.ir@gmail.com

353 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
management is still minimal and not using modern technology that ultimately makes
the waste management process less than the minimum.
Keywords: Management skills, Trash, and swot analysis.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dewasa ini sampah telah menjadi masalah yang krusial diberbagai macam
kota, baik di kota besar maupun kota kecil. Kota Bandung merupakan salah satu kota
yang mengalami permasalahan pengelolaan sampah. Dengan jumlah penduduk yang
besar maka berakibat juga pada produksi sampah yang besar. Kehidupan kota
dijalankan dengan sangat dinamis namun diiringi dengan fenomena sampah yang
dikeluarkan sangat banyak dan beraneka ragam, termasuk sampah kimia sintesis
yang asing bagi lingkungan alamiah, potensial dan berbahaya, serta tidak dapat
didaur ulang kembali. Penanganan sampah yang tidak tepat menimbulkan berbagai
macam permasalahan kebersihan yang berakibat pada kebersihan, kesehatan
masyarakat dan keindahan kota Bandung.
Sampah merupakan hasil dari kegiatan manusia, setiap harinya manusia
memproduksi sampah baik itu sampah rumah tangga atau sampah
industri dan lain sebagainya, untuk itu diperlukan pengelolaan sampah
yang efektif. Pengelolaan sampah menjadi suatu kegiatan yang sangat penting
untuk dilakukan agar berbagai hal mengenai sampah dapat ditangani dengan baik.
Dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pasal
1 dijelaskan bahwa “Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah”.
Kebijakan Pengelolaan Sampah yang tertuang dalam Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pun memiliki tujuannya
tersendiri agar permasalahan yang berkaitan dengan sampah dapat teratasi.
Tujuan dari dilakukannya pengelolaan sampah itu sendiri, yang tertera dalam Pasal
4 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tersebut adalah, bahwa “Pengelolaan
sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya”.
Kebijakan pengelolaan sampah yang sesuai dengan aturan cenderung akan
mendukung terkelolanya sampah dengan baik yang pada akhirnya akan turut
meningkatkan kesehatan masyarakat dan begitupun dengan kualitas lingkungan.
Pengelolaan sampah yang dilakukan dengan baik meliputi kegiatan pengurangan

354 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah adalah kegiatan yang
meliputi pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan
pemanfaatan kembali sampah, dijelaskan dalam Pasal 20 Undang Undang Nomor
18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Sedangkan untuk penanganan
sampah dijelaskan dalam Pasal 22, yaitu kegiatan yang terdiri dari:
a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah
dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu.
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau
dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat
pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir.
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah.
Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Kota Bandung memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis, yaitu
sebagai pusat pemerintahan, industri, perdagangan, dan parawisata. Pertumbuhan
ekonomi yang sangat pesat ini adalah bagian dari perkembangan Kota Bandung yang
menjadi daya tarik bagi orang untuk bermigrasi. Konsekuensinya telah terjadi
pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat, dan pada gilirannya membawa
implikasi semakin banyaknya bahan buangan berupa sampah, baik yang dihasilkan
oleh industri maupun rumah tanggga. Disamping itu penduduk commuter juga
berpengaruh terhadap jumlah sampah yang harus ditangani oleh pemerintah daerah
melalui Perusahaan Daerah Kebersihan.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti membuat rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimanakah management skills pengelolaan sampah di kota
bandung dengan menggunakan analisis swot?

TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui management skills pengelolaan sampah di kota bandung
dengan menggunakan analisis swot.

355 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Teoritis
Untuk mengembangkan teori analisis swot khususnya dan mengembangkan
konsep manajemen pemerintahan pada umumnya.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya serta sebagai bahan masukan
bagi PD kebersihan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan manajerial yang baik dari suatu organisasi mengasumsikan
adanya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen seperti planning (perencanaan),
organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan) and controling
(pengawasan) yang baik pula. Kondisi ini sangat kondusif terhadap efektivitas dan
efisiensi pencapaian tujuan organisasi.
Sebagaimana dipahami bahwa pada prinsipnya manajemen berangkat dari
suatu proses yang saling memiliki ketergantungan tinggi yang merupakan kerangka
sistem, karena walau bagaimanapun tidak ada satupun hasil yang dapat memuaskan
dan perfect tanpa keterlibatan dari seluruh unit/komponen sistem tersebut.
Pentingnya fungsi manajerial dalam kegiatan organisasi, sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1988 : 228) yang mengemukakan bahwa
pada intinya manajemen adalah : proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai fujuan
organisasi yang telah ditetapkan.
Membicarakan berbagai kasus di Daerah, pada dasarnya tidak terlepas dari
bagaimana manajemen Pemerintahan di Daerah dilaksanakan, Hal itu disebabkan
karena faktor manajerial merupakan faktor penting tentang bagaimnana suatu teknik
kepemimpinan diarahkan guna terselenggaranya birokrasi pemerintahan di Daerah
secara arif yang secara moral sesuai nilai kulturalnya dapat diterima oleh rakyat di
Daerah. Dalam konteks ini, manajemen pemerintahan harus berupaya untuk
menciptakan ukuran-ukuran yang secara potensial akan memperluas hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga akuntabilitas pemerintahan dapat
dengan transparan terlihat oleh masyarakat. Perlu diketahui bahwa ekstensi
manajemen bersifat internal organisational sekaligus eksternal organisasional dalam
hal ini lingkungan. Pada tingkat internal persoalan utama adalah pada qualitas dan

356 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kapabilitas manajer utnuk menggerakan roda organisasi, dalam hal ini kemempuan
manajer untuk mengkomunikasikan, memotivasi dan mempengaruhi serta
menekankan loyalitas bawahan terhadap pimpinan, sehingga anggota manajerial
dapat bergerak dalam satu kesatuan yang sistemik. Dengan kata lain, fungsi manajer
menjaga keutuhan gerakan serta mereorientasi terus menerus mengenai tujuan
organisasi, dalam konteks TQGM, maka Plan, Do, Check and Act (PDCA) selalu
dilakukan.
Sementara pada persoalan eksternal organisasional, maka hal itu lebih
menunjuk pada entrepreneur sense/spirit dari manajer, yaitu dalam kerangka
membangun kemitraan yang efektif dan saling menguntungkan antara oraganisasi
dengan lingkungannya. Untuk itulah persoalan manajerial yang efektif tidak
memungkinkan sifat-sifat parasitisme muncul, melainkan proses saling
menghidupkan dan membesarkan (symbiosis mutualistis) yang ada.
Untuk melihat management skills dalam pengelolaan sampah maka penulis
menggunakan analisis swot. Mary dan Robbins Coulter dalam Erwin Suryatama
(2014:25) mendefinisikan analisis SWOT sebagai suatu analisis organisasi dengan
menggunakan kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman dari lingkungan.
1. Kekuatan (Strenght)
Strength atau kekuatan adalah situasi datau kondisi yang merupakan
kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini. Strength merupakan
faktor internal yang mendukung perusahaan dalam mencapai tujuannya
seperti sumber daya, keahlian atau kelebihan yang lain.
2. Kelemahan (Weakness)
Weakness adalah kegiatan-kegiatan organisasi yang tidak berjalan
dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan oleh organisasi tetapi
tidak dimiliki oleh organisasi. Weakness merupakan faktor internal yang
menghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya. Faktor
penghambat dapat berupa fasilitas yang tidak lengkap, kurang sumber
daya keuangan, kemampuan mengelola keahlian dan sebagainya
3. Opportunity
Opportunity atau keempatan adalah faktor positif yang muncul dari
lingkungan dan memberikan kesempatan bagi organisasi. Opportunity
merupakanfaktor eksternal yang mendukung perusahaaan dalam
mencapai tujuan. Faktor eksternal yang mendukung dalam pencapain

357 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tujuan dapat berupa peruabahan kebijakan, perubahan lingkungan, dan
perubahan teknologi.
4. Threat Threat atau ancaman
Adalah faktor negative dari lingkungan yang memberikan hambatan bagi
berkembangnya atau berjalannya sebuah organisasi. Threat merupakan
faktor eksternal ynag menghambat perusahaan dala mencapai tujuannya.
Faktor eksternal ynag menghambat perusahaan dapat berupa masuknya
pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, perubahan teknologi
serta kebijakan baru.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan dan menganalisis
management skills supaya dapat di ketahui kekurangan dan kelebihannya dalam
rangka memahami manajemen pemerintahan dalam pengelolaan sampah di Kota
Bandung.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Analisa ini dibagi menjadi dua bagian yaitu analisa internal dan analisa
eksternal. SWOT merupakan singkatan dari Strength (kekuatan), Weaknesses
(kelemahan), Opportunities (kesempatan), dan Threats (ancaman). Dimana
kekuatan merupakan keunggulan komperatif atas sumberdaya, keahlian, atau
keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing serta kebutuhan dalam pasar
yang dilayani oleh perusahaan atau membutuhkan pelayanan perusahaan.
Kelemahan merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya,
keahlian, dan kemampuan perusahaan yang mengganggu efektifitas kinerja
perusahaan. Kesempatan ialah situasi yang sangat menguntungkan dalam
lingkungan perusahaan. Dan ancaman merupakan hal yang sangat tidak
menguntungkan dalam lingkungan perusahaan. Analisa SWOT merupakan suatu
identifikasi yang sistematis atas faktor-faktor tersebut yang menggambarkan
kombinasi dari faktor tesebut. Analisa tersebut didasarkan pada asumsi bahwa
suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang
dimiliki perusahaan serta meminimalisasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi
perusahaan.

358 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Analisa SWOT berpengaruh dalam analisa strategi perusahaan, dan dengan
demikian berpengaruh pula dalam rancangan proses usaha perusahaan. Dengan
adanya ancaman dari pihak luar maka perusahaan akan mencari strategi baru untuk
menghadapi ancaman tersebut. Salah satu alternatif adalah dengan memperkuat
keunggulan komperatif yang telah dimiliki oleh perusahaan yang tidak dimiliki oleh
pesaingnya. Alternatif tersebut dapat membuat perancangan susunan aktivitas baru
atau memodifikasi (memperbaiki) susunan aktivitas lama. Berikut analisa SWOT
Strength (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan), dan
Threats (ancaman) yang dilakukan oleh PD Kebersihan yaitu:
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan (Strength)
Kelembagaan dan organisasi, lembaga PD Kebersihan memiliki
kedudukan yang kuat karena sebagai lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah melalui Peraturan Daerah, serta dengan struktur organisasi yang
ditetapkan melalui Keputusan Walikota. Loyalitas SDM, sebagian besar
pegawai PD Kebersihan adalah berstatus pegawai perusahaan dengan
tingkat pengupahan rata-rata dibawah Upah Minimum Kota (UMK), namun
demikian dapat dinilai memiliki loyalitas yang cukup baik tetap bekerja di PD
Kebersihan dengan tingkat keluar masuk yang rendah.
b. Kelemahan (Weaknesses)
Kemampuan pengetahuan berdasarkan kompetensi pengelolaan sampah
masih kurang/lemah. Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi juga masih jarang dilaksanakan. Sarana dan prasarana
pengelolaan sampah terus meningkat, namun pertumbuhan pengadaan
sarana dan prasarana belum mampu mengikuti kebutuhan sesuai dengan
volume sampah yang kian meningkat. Perangkat Lunak seperti sistem
informasi manajemen baik sistem perencanaan, sistem administrasi, sistem
pengawasan dan pengendalian belum seluruhnya dibakukan, sehingga
belum dapat menjadi bahan umpan balik dalam program perbaikan kinerja.
2. Lingkungan Eksternal
a. Kesempatan (Opportunity)
Jasa pelayanan pengelolaan sampah merupakan kebutuhan permanen,
pelayanan pengelolaan sampah sebuah kebutuhan untuk memenuhi
kemanfaatan umum dan kemanfaatan individu yang pasti dan selalu
dibutuhkan oleh sebagian besar dan bahkan seluruh masyarakat perkotaan

359 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sepanjang waktu. Teknologi pengelolaan sampah telah banyak tersedia, baik
teknologi tepat guna maupun teknologi modern untuk mengolah dan
memanfaatkan kembali sampah kota. Isu lingkungan dan persampahan kota
dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang diorientasikan dalam konsep
pembangunan berkelanjutan.
b. Ancaman (Threats)
Memuaskan pengguna jasa (pelanggan) dalam mengelolaan sampah
merupakan puncak kinerja PD Kebersihan. Memerlukan dukungan
optimalisasi seluruh aspek yang mendukungnya. Teknologi modern
membutuhkan kecepatan pelayanan, keterbatasan ruang untuk pengelolaan
sampah akhir, resistensi masyarakat terhadap kehadiran TPA, diantaranya
dapat diatasi dengan penggunaan teknologi modern dalam pengelolaan
sampah kota. Hal ini merupakan ancaman bagi PD Kebersihan untuk dapat
memanfaatkan keberadaan teknologi modern agar dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan yang lebih baik dan berkelanjutan. Globalisasi dalam
pengelolaan sampah sehingga adanya kompetitor penyelenggara pelayanan
persampahan yang dapat menjangkau area kompetitor penyelenggara
pelayanan persampahan yang dapat menjangkau area yang lebih luas. Hal
ini yang menjadi tantangan untuk dapat mempertahankan diri dan
mengembangkan profesionalisme PD Kebersihan.
Berdasarkan hasil analisis SWOT yang dilakukan oleh PD Kebersihan Kota
Bandung dapat dikatakan bahwa PD Kebersihan sebagai satu-satunya perusahaan
yang memiliki kewenangan berkaitan dengan kebersihan dan pengelolaan sampah
di Kota Bandung adalah cukup kuat dengan daya tarik bisnis medium dan memiliki
pasar yang tinggi, namun dengan pertumbuhan bisnis yang cukup rendah. Oleh
karena itu terdapat beberapa isu strategi dalam pengelolaan sampah Kota Bandung
yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab PD Kebersihan yaitu:
1. Adanya kondisi keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PD
Kebersihan sehingga belum dapat memberikan pelayanan secara optimal.
2. Pemberdayaan masyarakat dengan pengurangan sampah disumber melalui
3R.
3. Regionalisasi TPA yaitu pengelolaan TPA bersama dalam lingkup metropolitan
Bandung yang dikelola oleh suatu unit pengelola dibawah kendali Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.

360 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Untuk mengetahui siapa saja pihak eksternal yang berpengaruh atau
dipengaruhi oleh aktivitas organisasi PD Kebersihan Kota Bandung adalah sebagai
berikut:
“Pihak eksternal yang berpengaruh yaitu SKPD Pemerintah Kota yaitu
Kecamatan dan Kelurahan, DPRD, ada juga RT, RW, masyarakat,
kompetitor, media cetak dan eletronik, LSM, dan juga akademisi. Mereka
yang menjadi lingkungan kerja PD Kebersihan” 143

Dari wawancara diatas, penulis dapat mengetahui beberapa kelompok yang


mempunyai pengaruh terhadap PD Kebersihan. Agar lebih jauh lagi kemudian
penulis melanjutkan wawancara untuk mengetahui kontribusi atau keterlibatan pihak
eksternal dalam hal manajemen strategi, apakah pihak tersebut hanya
menandatangani usulan manajemen atau ikut aktif berpartisipasi mengusulkan
arah masa depan PD Kebersihan Kota Bandung adalah sebagai berikut:
1. Dukungan Pemerintah Kota Bandung dalam hal pembiayaan pelayanan
kebersihan umum (jalan) lebih membaik sehingga pengajuan biaya sesuai
dengan pengajuan dari PD Kebersihan.
2. Dukungan DPRD dalam hal persetujuan alokasi anggaran untuk kebersihan
kota sedikit mengalami peningkatan. Dukungan dalam hal ketentuan peraturan
pengelolaan kebersihan cukup baik.
3. Dukungan dari pihak akademis dengan melakukan pengkajian dalam hal
pengelolaan sampah.
4. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memantau proses pelaksanaan
dilapangan sebagai mitra pemerintah.
5. Kelurahan, Kecamatan, RT, RW merupakan sebagai perantara antara kami dan
masyarakat.
6. Masyarakat sebagai partisipan dalam mengelola dan membayar retribusi
pengelolaan sampah.
Berdasarkan jawaban diatas dapat dikatakan pihak-pihak eksternal
memberikan kontribusi atas aktivitas organisasi yaitu mempunyai wewenang secara
ketatakerjaan yang berada dibawah bidang perkonomian Pemerintah Kota,
sehingga segala kebijakan di dalam organisasi harus dengan sepengetahuan
Pemerintah Kota. Dimana yang menjadi lingkungan kerja PD Kebersihan ialah
Kelurahan, Kecamatan, RT, RW, yang membantu PD Kebersihan sebagai perantara
untuk ke dalam masyarakat. Peran LSM juga ikut mengawasi kegiatan dari PD

143Hasil Wawancara dengan Direktur Umum

361 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kebersihan. Media ikut membantu dalam mensosialisasikan program kerja PD
Kebersihan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas.
Kemudian penulis melanjutkan dengan bertanya lebih lanjut untuk
mengetahui apakah PD Kebersihan sudah melibatkan peran serta masyarakat di
dalam mendukung strategi dari PD Kebersihan Kota Bandung.
“Usaha kami dalam melibatkan peran serta masyarakat guna mendukung
strategi kerja kami masih kurang. Sosialisasi yang kami lakukan pun
belum mencapai semua kalangan masyarakat, fasilitas alat untuk mengelola
sampah rumah tangga juga sangat minim yang bisa kami sediakan, karena
anggaran yang kami punya sedikit jadi upaya yang kami lakukan pun belum
maksimal”. 144

Berdasarkan observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa PD


Kebersihan Kota Bandung dapat dikatakan kurang melibatkan peran serta
masyarakat sebagai lingkungan kerja eksternal di dalam mendukung manajemen
strategi dari PD Kebersihan. Sosialisasi yang dilakukan belum mencapai semua
kalangan masyarakat dapat dilihat didalam evaluasi program kerja didalam
corporate plan PD Kebersihan Kota Bandung semester 1 tahun 2012 yaitu kegitan
sosialisasi 3R (Reduce, Reuse, Recyle), kegiatan pemilahan, pencacahan sampah,
pengomposan serta pengolahan sampah organik untuk menghasilkan biogas
dengan realisasi tingkat pencapaiannya hanya 24%. Serta fasilitas yang diberikan
oleh PD Kebersihan untuk mengelola sampah juga masih kurang, seperti tong
sampah, mesin press, mesin pencacah sampah sampah guna mengefisiensikan
pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan akhir sampah. Hal ini disebabkan
oleh anggaran yang PD Kebersihan miliki juga terbatas.
Supaya manajemen strategi yang direncanakan oleh PD Kebersihan dapat
berjalan sesuai keinginan, maka diperlukan usaha yang memerlukan biaya untuk
membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku
terhadap kebersihan sampah yang tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau
kewajiban tetapi lebih didasarkan pada nilai kebutuhan. Untuk dapat mengubah
kebiasaan tersebut maka seharusnya perlu dilakukan pembinaan berupa sosialisasi
terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, terus
menerus, terarah dan terencana. Untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan
membina peran serta masyarakat secara terarah, maka diperlukan manajemen
strategi yang harus dilaksanakan secara intensif dan berorientasi kepada

144Hasil Wawancara dengan Bidang Humas

362 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penyebarluasan pengetahuan, agar masyarakat dapat mengerti dan memahami
masalah lingkungan dan berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan.
Manajemen strategi dalam pengelolaan sampah pada PD Kebersihan akan
tercapai jika keterlibatan dari lapisan masyarakat yang bahu membahu dan bekerja
sama menjaga kebersihan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara
menyimpan sampah pada tempat yang benar, memilah sampah agar dapat di daur
ulang kembali. Dengan ini PD Kebersihan seharusnya dapat meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan sekitar. Dalam kaitannya
dengan manajemen strategi peran serta masyarakat dapat dilibatkan dengan bentuk
kontribusi misalnya turut serta dalam mengelola sampah dengan cara mendaur
ulang sampah, atau dengan membayar retribusi pengumpulan sampah. Peran serta
masyarakat yang lebih maju bisa dengan cara memberikan pendapat dan usulan
dan perbaikan dalam manajemen strategi pengelolaan sampah.
Namun peran serta masyarakat yang paling baik adalah dengan membentuk
kelompok di dalam masyarakat untuk memberikan masukan kepada pengambil
keputusan dalam manajemen strategi pengelolaan sampah pada PD Kebersihan
Kota Bandung serta melakukan pengawasan. Sasaran pokok yang hendak dicapai
dalam pemberdayaan peran serta masyarakat ini adalah agar masyarakat dapat
secara mandiri mau dan mampu mengelola kebersihan lingkungannya (kota dan
daerah) masing-masing. Pemerintah hanya berperan aktif sebagai fasilitator atau
penyedia kemudahan dan prasarana dasarnya saja.
Kemudian penulis melanjutkan dengan bertanya lebih lanjut untuk
mengetahui dari beberapa faktor lingkungan eksternal diatas, apa yang menjadi
kesempatan dan juga ancaman di dalam eksternal organisasi PD Kebersihan Kota
Bandung yaitu sebagai berikut :
“Kita mempunyai kesempatan dalam lingkungan eksternal karena jasa
pelayanan sampah merupakan kebutuhan permanen, serta apabila teknologi
pengelolaan sampah bisa di tingkatkan tentunya bisa menjadi kesempatan
yang baik. Namun dari segi ancaman apabila tidak memaksimalkan peran
serta masyarakat tentunya penanganan sampah sangat lambat karena
hanya mengandalkan PD Kebersihan saja, dan kepuasan masyarakat yang
menggunakan jasa pelayanan kami merupakan ancaman besar bagi kami
untuk dapat selalu memenuhi kebutuhan masyarakat, dan kami pun harus
mampu menggunakan teknologi yang modern. Kalau hal ini tidak
diperhatikan ancaman yang akan mungkin terjadi ialah muncul kompetitor
yang dapat menyelenggarakan pelayanan pengelolaan sampah lebih baik”145

145Hasil Wawancara dengan Bidang Humas

363 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Bedasarkan wawancara diatas, penulis dapat menyimpulkan dalam analisis
eksternal yang mempunyai pengaruh cukup penting ialah SKPD (Susunan tata kerja
dan perangkat daerah) yang di dalamnya terdapat DPRD, Kecamatan, Kelurahan,
RT, RW, karena turut andil dalam memberikan keputusan serta menyetujui
kebijakan yang melibatkan peran serta pemerintah. Sedangkan pihak eksternal
lainnya ialah masyarakat yang belum sepenuhnya berperan serta secara aktif. Hal
ini dikarenakan kemampuan untuk melibatkan peran serta masyarakat yang salah
satunya dapat dilakukan dengan sosialisasi atau memberikan fasilitas seperti tong
sampah, mesin pencacah, dan fasilitas yang secara langsung dapat masyarakat
gunakan dalam mengelola sampah secara mandiri masih terbatas, dan belum
maksimal dalam pengadaannya di setiap kawasan karena anggaran yang terbatas.
Hal ini yang dapat menjadi ancaman karena banyak masyarakat yang beranggapan
bahwa pengelolaan sampah bukan menjadi tanggung jawab masyarakat,
akan tetapi hanya menjadi tanggung jawab PD Kebersihan. Disamping kepuasan
masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan pengelola sampah yang merupakan
puncak dari kinerja PD Kebersihan. Hal ini merupakan ancaman yang berat yang
memerlukan optimalisasi seluruh aspek yang mendukungnya. Keterbatasan ruang
dalam mengelola sampah akhir seharusnya dapat diatasi dengan menggunakan
teknologi modern. Hal ini pula yang menjadi ancaman bagi PD Kebersihan untuk
dapat memanfaatkan keberadaan teknologi modern yang dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan yang lebih baik dan berkelanjutan. Seiring memasuki era
globalisasi akan banyak kompetitor penyelenggaraan pelayanan sampah yang
dapat menjangkau area yang lebih luas. Oleh sebab itu PD Kebersihan Kota
Bandung agar dapat mempertahankan diri dan mengembangkan professionalism.
Dalam hal kesempatan PD Kebersihan mempunyai kesempatan yang besar
karena pengelolaan sampah merupakan kebutuhan permanen. Jasa pengelolaan
sampah adalah sebuah kebutuhan untuk memenuhi kemanfaatan umum dan
individu yang pasti dan selalu dibutuhkan oleh sebagian besar dan bahkan seluruh
masyarakat perkotaan sepanjang waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan
pengelolaan sampah merupakan jenis jasa yang selalu dibutuhkan. Dengan
demikian seharusnya PD Kebersihan dapat memanfaatkan kesempatan yang ada
untuk menjadi pengelola sampah yang handal yang mampu mengikutsertakan peran
masyarakat, memanfaatkan teknologi modern, agar dapat memenuhi kebutuhan
para pengguna jasa pelayanan pengelolaan sampah di Kota Bandung.

364 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kemudian penulis melanjutkan dengan bertanya lebih lanjut untuk
mengetahui apakah kekuatan di dalam lingkungan internal PD Kebersihan Kota
Bandung yaitu sebagai berikut :
“Kekuatan internal yaitu PD Kebersihan karena lembaga yang dibentuk oleh
Pemerintah melalui Peraturan Daerah, serta struktur organisasi juga
ditetapkan oleh Peraturan Walikota, dan juga mempunyai loyalitas yang
tinggi karena pengupahan rata-rata dibawah upah minimum kota (UMK)”146

Berdasarkan wawancara diatas, dapat dikatakan bahwa terdapat kekuatan


internal dalam kelembagaan dan organisasi karena PD Kebersihan dibentuk oleh
Pemerintah didirikan pada tahun 1985 sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor : 02/PD/1985. Sebagaimana
telah diubah dengan peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 14 Tahun 2011
tentang Perusahaan Daerah Kebersihan. Dan Struktur Organisasi yang dibuat
berdasarkan Peraturan Walikota Bandung Nomor 101 tahun 2006 tentang susunan
organisasi dan tata kerja perusahaan daerah kebersihan Kota Bandung. Lalu
pegawai PD Kebersihan dapat dinilai memiliki loyalitas yang cukup baik karena
sebagian besar pegawai PD Kebersihan berstatus pegawai perusahaan (93%)
dengan tingkat pengupahan rata-rata dibawah upah minimum kota (UMK), namun
tetap bekerja di PD Kebersihan dengan tingkat keluar masuk (turn over) yang
rendah.
Kemudian penulis kembali melanjutkan dengan bertanya lebih lanjut tentang
apa kelemahan dalam lingkungan internal PD Kebersihan Kota Bandung sebagai
berikut :
“Kemampuan SDM terhadap pengetahuan pengelolaan sampah masih
lemah, pengadaan sarana dan prasarana masih kurang, sistem informasi
manajemen belum maksimal, dan anggaran masih terbatas”147

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat dikatakan bahwa terdapat


kelemahan dalam lingkungan internal yaitu sumber daya manusia yang belum sesuai
dengan kompetensi pengelolaan sampah, hal ini disebabkan karena pendidikan dan
pelatihan masih jarang dilakukan oleh jajaran staff, kebutuhan sarana dan prasarana
belum memenuhi kebutuhan seiring meningkatnya tingkat pertumbuhan sampah
yang sebanding dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitas kota. Perangkat lunak
seperti sistem informasi manajemen baik dalam sistem perencanaan, sistem

146Hasil Wawancara dengan Bidang Humas


147Hasil Wawancara dengan Bidang Humas

365 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
administrasi, sitem pengawasan dan pengendalian belum seluruhnya dibakukan,
sehingga belum dapat menjadi umpan balik dalam program perbaikan kinerja. Dalam
hal pembiayaan masih belum mencukupi kebutuhan, dapat dilihat belum mampunya
melakukan pengadaan kembali sarana operasional yang telah habis masa pakainya,
serta pengupahan secara standar Upah Minimum Kota (UMK).

PENUTUP
KESIMPULAN
1. PD Kebersihan sebagai satu-satunya perusahaan yang memiliki kewenangan
berkaitan dengan kebersihan dan pengelolaan sampah di Kota Bandung cukup
kuat dengan daya tarik bisnis medium dan memiliki pasar yang tinggi, namun
dengan pertumbuhan bisnis yang cukup rendah
2. Sumber daya manusia yang belum sesuai dengan kompetensi pengelolaan
sampah
3. PD Kebersihan Kota Bandung dapat dikatakan kurang melibatkan peran serta
masyarakat sebagai lingkungan kerja eksternal di dalam mendukung manajemen
strategi dari PD Kebersihan
4. Sarana dan prasarana pengelolaan sampah masih minim dan belum
menggunakan teknologi modern

SARAN
1. Hendaknya pihak manajemen PD. Kebersihan mampu mengelola proses bisnis
internal secara lebih baik melalui inovasi yang sesuai dengan visi, misi dan
program PD. Kebersihan serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Lakukan peningkatan SDM dengan cara mengikuti pelatihan, seminar, workshop
dan melanjutkan sekolah/kuliah ke jenjang yang lebih tinggi
3. Libatkan masyarakat dalam mengelola sampah seperti memilah-milah sampah
dalam berbagai macam kartegori, ajak masyarakat untuk bahu membahu menjaga
kebersihan serta libatkan masyarakat dalam mengambil keputusan.
4. Peningkatan sarana dan prasarana serta teknologi dalam pengelolaan sampah
seperti menambah mobil angkut sampah, mobil penyapu jalan dan teknologi
pemrosean sampah.

366 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DAFTAR PUSTAKA
Bellinger. William K. 2007. The Economic Analysis of Public Policy The Goals of
Public Policy, London: Routledge.
Bungin. Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Gibson L. James, John M. Ivanvevich dan James H. Donnely Jr.1996. Organisasi
dan Manajemen : Perilaku, Struktur dan Proses, ahli Bahasa Djoerban
Wahid SH. Jakarta : Erlangga.
Kirk, Jerome & Mark L. Miller, Reliability and Validity in Qualitative Research, Vol.1,
Beverly Hills: Sage Publication.
Lukman Sampara. 1999. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta : STIA-LAN
Press
Mangkunegara A.A. Anwar Prabu. 2007. Evaluasi Kinerja Sumber Daya
Manusia. Bandung : Refika Aditama.
2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung
Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Miles, M dan M. Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis: A Source Book of
new Methods, Beverly Hills, CA; Sage Publication.
Moleong, Lexy. J., 1997., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy, Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan- Proses
kebijakan Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management
dalam Kebijakan Publik Kebijakan sebagai the Fifth Estate-Metode
Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.
Patton, Michael Quinn. 1987. Qualitative Evaluation Methods, Beverly Hills: Sage
Publications.
Rangkuti, Freddy. 2014. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta.
PT Gramedia Pustaka Utama
Redjo, Samugyo Ibnu., 2012., Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Modul
Kuliah), Bandung.

367 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sabatier, P. A., 1986., Top-down and Bottom-up Aprroaches to Implementation
Research., A Critical Analysis and Suggested Synthesis., Journal of Public
Policy 6 (1) : 21-28
Salusu. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Non Profit. Jakarta : Grasindo.
Siagian S.P, 1991. Organisasi, Kepeminpinan Dan Perilaku Organisasi. Jakarta:
Haji Masangung.
1995. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara
, 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksara.
, 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Stoner, James A.F., Freeman, Edward R., Gilbert JR. Daniel R. 1996. Manajemen
Jilid I dan II.. Diterjemahkan oleh Alexander Sindoro. Jakarta : PT Indeks
Gramedia.
Streib, Gregory. 2011. Local Government Management, California : Sage Publication
Suradinata, Ermaya. 1997. Pemimpin dan Kepemimpinan Pemerintah Pendekatan
Budaya, Moral, dan Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suryatama, Erwin. 2014. Lebih Memahami Anlisis SWOT dalam Bisnis. Jakarta.

368 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PRAKTIK DIPLOMASI REPUBLIK INDONESIA DALAM
MENGAMBIL ALIH PENGELOLAAN FLIGHT INFORMATION
REGION (FIR) DIATAS KEPULAUAN NATUNA DARI
SINGAPURA
Pramono Benyamin148, Iwan Koswara149, Santika Swandari150

ABSTRAK
FIR (Flight Information Region) merupakan sebuah bentuk regulasi
penerbangan udara yang sangat berperan penting dalam pertahanan sebuah negara.
FIR atau Flight Information Region merupakan bentuk ruang udara yang telah
ditetapkan dimensi serta bagiannya yang didalamnya terdiri atas Flight Information
Service dan Alerting Service. Flight Information Service merupakan bentuk
pelayanan yang dipersiapkan untuk memberikan berbagai bentuk informasi secara
penuh untuk keselamatan dan efisiensi penebangan serta saran-saran yang ditujukan
untuk penerbangan yang tujuannya adalah menghindari sesuatu yang tidak
diinginkan. Sedangkan Alerting Service merupakan pelayanan yang diberikan kepada
organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/ penerbangan yang
membutuhkan pertolongan dan dan membantu organisasi yang membutuhkan
bantuan pencarian dan pertolongan. Dengan kata lain Alerting Service membantu
organisasi penerbangan yang berkaitan dengan pesawat terbang melakukan
pencarian bila ada pesawat dari organisasi tersebut membutuhkan pertolongan
bahkan hilang dari radar.
Seperti yang kita ketahui sampai dengan saat ini pengelolaan FIR atas
kepulauan Natuna masih dikendalikan oleh SIngapura. Pengelolaan navigasi udara,
khususnya di wilayah barat, ternyata tidak 100% dikuasai Indonesia. Pengelolaan
wilayah udara sektor ABC atau di area Kepulauan Riau, yakni Natuna, masih
dikendalikan oleh otoritas Singapura.
Oleh karena itu penelitian singkat ini bertujuan untuk menjawab salah satu
konflik pengelolaan lalu lintas udara yaitu lalu lintas udara di wilayah kepulauan
Natuna antara Indonesia dan Singapura.Menggunakan metode penelitian kualitataif
dimana Diplomasi dijadikan sebagai bagian dari upaya yang dilakukan Indonesia
dalam rangka mengukuhkan kedaulatannya. Sehingga dapat menghasilkan jalan
keluar bagi Indonesia karena dalam permasalahan ini Indonesia adalah pihak
unilateral dan bentuk-bentuk upaya apa saja yang akan Indonesia lakukan untuk
mengambil alih pengelolaan FIR tersebut. Dibandingkan dengan penanganan
perbatasan darat dan laut yang memiliki klaim yang terukur dan ketentuan yang relatif
lebih jelas, penanganan perbatasan udara nyaris tertinggal. Karenanya beragam
faktor penghambat mulai dari tingkat politik, legislasi hingga operasi yang selama ini
menjadi salah satu penyebab kelambanan pemerintah dalam membangun kebijakan
dan kapasitas pengelolaan perbatasan udara harus menjadi suatu concern bersama.
Kata Kunci: Praktik Diplomasi, Penerbangan, Perbatasan Udara, Flight Information
Region

148 Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad / benyaminpramono@yahoo.com


149 Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
150 Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad

369 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Dalam sebuah bentuk atau konsepsi negara yang berdaulat diperlukan
pemahaman dan kesadaran dari masing masing individu tentang kedaulatan
negaranya. Kesadaran tersebut meliputi kesadaran terhadap ruang dan kesadaran
garis batas yang akan membentuk konsepsi ruang (space conception) dari suatu
bangsa tentang wilayah negaranya. Bila tidak ditangani dengan serius, persoalan
perbatasan sebuah negara tetap akan jadi pekerjaan rumah yang besar bagi
siapapun pemerintahannya.151
Sebagai Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam
masa pemerintahannya saat itu telah melakukan banyak sekali usaha-usaha untuk
mengambil alih FIR dari kekuasaan Singapura. Seperti yang telah kita ketahui bahwa
hal yang juga menjadikan Indonesia inferior di bawah Singapura adalah kenyataan
bahwa kita sebenarnya belum berdaulat sepenuhnya atas udara negeri sendiri
karena sebagian masih dikontrol oleh Singapura.
Sampai dengan tahun 2014 masa akhir pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sebagian wilayah udara Indonesia masih akan dikendalikan
oleh pengatur lalu lintas udara milik Singapura. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena
itulah bunyi Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 7 Tahun 1996 tentang ratifikasi
perjanjian FIR (Flight Information Region) dengan Singapura, yang menyatakan
sistem navigasi timur di Indonesia dikuasai Singapura selambat-lambatnya 15 tahun.

PEMBAHASAN
Dalam Undang Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara disebutkan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga
dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.152
Upaya untuk mewujudkan pengakuan kedaulatan di wilayah teritorial negara
kepulauan tidak terlepas dari prinsip negara kepulauan (archipelago principles) yang
termuat dalam dokumen hasil pembicaraan empat negara (Fiji, Filiphina, Indonesia,
Mauritius) dalam sidang United Nations Seabed Comittee pada tahun 1972 di New
York, khususnya prinsip kedua yang menyatakan,” Negara kepulauan berdaulat atas
perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik antara pulau pulau

151 Hamzah Hamid.Konflik Batas Negara.Diakses dari. http://maritime-connector.com/ship/crest-gold-1-9468267/ 118.


Pada 24 Februari 2016 [14.25]
152 Ibid.

370 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
terluar. Kedaulatan ini tidak saja meliputi perairan tetapi mencakup juga dasar laut
(seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil) serta ruang udara di atas perairan
kepulauan.153
Konsepsi ruang yang dimaksud Friedrich Ratzel tentu juga terkait dengan
masalah kedaulatan negara di udara. Dalam dunia penerbangan dikenal adanya
Flight Information Region (FIR) yang wilayah penetapannya tidak berdasarkan
wilayah teritorial, tetapi ditetapkan berdasarkan kepentingan dan pertimbangan
keselamatan penerbangan (safety consideration). Sehubungan dengan masalah
kedaulatan negara di udara, maka penguasaan Air Traffic Control (ATC) oleh
Singapura di wilayah Indonesia yaitu di kawasan Kepulauan Riau (Kepri), bukan saja
menyebabkan terjadi pelanggaran kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), namun juga memberikan implikasi yang sangat luas
khususnya terhadap aspek pertahanan udara dan kerugian bidang ekonomi.154
Pengelolaan navigasi udara, khususnya di wilayah barat, ternyata tidak 100%
dikuasai Indonesia. Pengelolaan wilayah udara sektor ABC atau di area Kepulauan
Riau, yakni Natuna, masih dikendalikan oleh otoritas Singapura. Pasalnya
sistem Flight Information Region (FIR) masih dipegang oleh menara Air Traffic
Control Singapura sehingga pesawat Indonesia yang terbang di area tersebut harus
izin kepada Singapura meskipun terbang di atas wilayah Indonesia. Ternyata
pengawasan dan pengaturan FIR untuk wilayah Natuna atau sektor ABC telah
dipegang oleh Singapura sejak 1946 atau setahun setelah Indonesia merdeka. Saat
itu, International Civil Aviation Organization (ICAO) menggelar pertemuan untuk
membahas pembagian dan pengelolaan FIR. Namun perwakilan Indonesia tidak
hadir. Alhasil, FIR untuk area Natuna diberikan kepada Singapura. "Traffic di Malaka
dulu meningkat. ICAO menegaskan untuk ditunjuk air traffic di sana. Dilakukan
pertemuan tahun 1946, namun perwakilan Indonesia tidak hadir karena baru
merdeka. Akhirnya itu ditugaskan ke Singapura. Sebetulnya bukan Singapura karena
itu diserahkan ke koloni Inggris," papar pengamat penerbangan Chappy Hakim di
acara transportasi CENS UI ke-12 Rabu 19 November 2014.
Pendelegasian FIR kepada Singapura Beberapa hal pokok yang terdapat
dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1995 dan diperkuat oleh keputusan
Presiden No 07/1996 tentang Pengesahan Agreement between the Government of
the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the

153 Mochtar Kusumaatmaja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut III, Pusat Studi
Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & PT Alumni, Bandung, 2003, Hal 5-8.
154 Pankaj Kumar. (2011) India’s Defence Diplomacy in Southeast Asia, Journal of Defence Studies, 5:1 hal : 47-63

371 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and
the Jakarta Flight Information Region adalah155:
a. Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan laut sampai
ketinggian 37.000 feet.
b. Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan di wilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut sampai
dengan ketinggian tak terhingga (unlimited height).
c. Sektor C tidak termasuk di dalam perjanjian. d. Atas nama Indonesia, Singapura
memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Rans Charges di wilayah
udara yurisdiksi Indonesia pada Sektor A, selanjutnya diserahkan ke pemerintah
Indonesia, sedangkan Sektor B dan C tanpa Rans Charges karena masih
merupakan permasalahan Indonesia dan Pemerintah Malaysia.

( Sumber: ICAO assembly elects new council )


Gambar Sektor A,B,dan C Perjanjian Indonesia dan Singapura

Pemerintah Indonesia lewat Marsekal TNI Djoko Suyanto pada dua periode
masa pemimpinannya menyatakan siap untuk mengambil alih pelayanan ruang udara
atau flight information region (FIR) di kawasan udara Natuna dan juga kawasan

155Kementrian Serikat Negara Republik Indonesia.2016.Produk Perundang-undangan Republik Indonesia. Diakses


Dari
http://setneg.go.id/index.php?catname=KEPPRES&catid=4&tahun=0&Itemid=42&option=com_perundangan&task=
&act=. Pada 18 Maret 2016 [17.40]

372 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Persiapan teknologi
hingga sumber daya manusia dipercepat agar FIR yang dikuasai Singapura sejak
tahun 1946 itu bisa diambil alih paling lambat tahun 2019. Mengambil alih FIR ini dari
singapura juga bukan merupakan hal yang mudah karena memang sejak dahulu FIR
ini telah dikendalikan oleh Singapura, berbagai macam cara diplomasi harus
dilakukan mengingat Indonesia dan Singapura memiliki hubungan yang tidak cukup
baik belakangan ini.156 Penekanan kalimat “mengambil alih” ini dikatakan oleh beliau
karena masalah ini bukan merupakan masalah yang ringan karena ini merupakan
masalah yang menyangkut kedaulatan sebuah negara maka harus dikatakan secara
tegas bahwa mengambil alih FIR tersebut merupakan hal yang wajib dan tidak bisa
diganggu gugat. Masalah ini kemudian diosorti lebih mendalam sampai dengan masa
pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini.
Marsekal Chappy Hakim dalam artikel “Sejauh Mana Indonesia Berdaulat di
Udara”, Kompas 20 Desember 2006, mempertanyakan kedaulatan NKRI di ruang
udara berkaitan dengan adanya ruang udara Indonesia yang diatur oleh Singapura.
“Bergerak di rumah sendiri, tetapi harus mendapat izin dan diatur mutlak oleh
tetangganya dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari paviliunnya.” Membiarkan
hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada upaya sama sekali untuk
mengoreksinya adalah suatu hal yang sangat merendahkan harga diri dan
kehormatan bangsa.”Mengatasi masalah ini tidak bisa hanya dilakukan dengan
kebijakan-kebijakan teknis jangka pendek dan bersifat tambal sulam. Harus ada
kebijakan strategis jangka menengah dan jangka panjang.157 Menurut Chappy,
Langkah-langkah yang seharusnya Indonesia lakukan untuk mengambil peluang
dalam memegang kendali atas lalu lintas udara tidak hanya di atas Indonesia saja,
tetapi juga untuk kawasan Asia Tenggara. Namun, hal itu baru bisa dicapai jika
kemampuan dan fasilitas navigasi kita memungkinkan dan memadai,” kata Chappy.
Menurutnya, kedua faktor tersebut yaitu kemampuan dan fasilitas navigasi
merupakan salah satu faktor utama yang harus diperbaiki dan ditingkatkan terlebih
dahulu untuk mengendalikan kembali FIR kita. Terkait langkah-langkah untuk
mengambil alih FIR dari Singapura, menurut beliau, tentunya harus melibatkan
semua pihak. Baik itu menyangkut sarana infrastruktur maupun kesiapan peralatan
pendukung keselamatan penerbangan. Sarana dan prasarana itu di antaranya radar,

156 VOA INDONESIA.2014. Kepulauan Indonesia dikhawatirkan terseret kasus China Selatan. Diakses dari
http://www.voaindonesia.com/a/kepulauan-natuna. Pada 19 Juli 2016 [21.20]
157 Chappy Hakim.2006. Sejauh Mana Indonesia Berdaulat di Udara. Diakses dari
www.chappyhakim.com/2006/12/20/menyongsong-103-tahun-penerbangan/ Pada 08 Mei 2016 [10.00]

373 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
serta sumber daya manusia yang mampu mengelola lalu lintas udara. Selain itu kita
harus introspeksi atau menilai diri. Bila dilihat dari segi SDM kita sudah mampu,
peralatan juga mampu. Kita harus meninjau pada peralatan yang lain sehingga
masyarakat Internasional menilai kita sudah mampu untuk mengelola itu, Bila
semuanya telah tercapai dengan baik makan 2019 FIR atas Natuna dan Kepri akan
bisa kita kendalikan sendiri tanpa adanya campur tangan Singapura, Kata Chappy.158
Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah pulau sebanyak 18.306 buah serta luas wilayah sebesar 1,9 juta km2 selain
membawa keuntungan bagi Indonesia atau sebagai asset berharga, disisi lain
membawa ancaman tersendiri bagi Indonesia terutama dalam masalah batas negara
apabila tidak ada pengelolaan yang baik. Masalah batas negara menjadi penting
dikarenakan perbatasan suatu negara merupakan manifestasi utama kedaulatan
suatu negara (sovereignty), termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan,
pemanfaatan sumber daya alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Keamanan
perbatasan suatu negara menjadi perhatian pemerintah terutama bagi wilayah yang
berbatasan langsung dengan negara lain. Hal ini dikarenakan isu perbatasan saat ini
mengalami pergeseran dari masalah keamanan tradisional (traditional issues)
menjadi semakin kompleks dengan munculnya isu-isu keamanan non-tradisional
(non-traditional security issues) didalamnya, seperti: terorisme, konflik etnis, migrasi
penduduk, perdagangan manusia, transnational crime, penyelundupan senjata dan
obat bius, dan lain-lain.159
Salah satu permasalahan yang muncul saat ini adalah permsalahan wilayah
udara Indonesia yang masuk ke Singapura. Berdasarkan Hukum Internasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai kedaulatan yang penuh dan
eksklusif di atas wilayah udara Indonesia, wilayah yang dimaksud adalah wilayah
udara di atas daratan, wilayah laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan
pedalaman. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 ketentuan tersebut di atas
diadopsi menjadi Pasal 5. Selanjutnya didalam Pasal 6 UU penerbangan tersebut
dijelaskan bahwa bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas
wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan
wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan

158 Jakarta Greater Forum Militer.2014. Kemampuan Radar dalam Penguasaan FIR oleh Singapura. Diakses Dari
http://jakartagreater.com/kemampuan-radar-dalam-penguasaan-fir-singapura/. Pada 23 Juli 2016 [22.45]
159 Jakarta Greater Forum Militer.2014. Kemampuan Radar dalam Penguasaan FIR oleh Singapura. Diakses Dari
http://jakartagreater.com/kemampuan-radar-dalam-penguasaan-fir-singapura/. Pada 08 Mei 2016 [10.20]

374 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial
budaya, serta lingkungan udara.160
Namun demikian tanggung jawab pengaturan ruang udara tersebut
kenyataannya tidak semua ruang udara Indonesia diatur sendiri oleh Pemerintah
Indonesia sebagai contoh ruang udara sekitar Tanjung Pinang dan Natuna yang
dikendalikan oleh Singapura. Dasar hukum pendelegasian ini adalah Annex 11 dari
Konvensi Chicago 1944 tentang Air Traffic Services. Dalam bagian umum ketentuan
ini menjelaskan bahwa setiap negara anggota ICAO wajib menentukan bagian-
bagian dari wilayah udaranya tempat pemberian pelayanan lalu lintas udara untuk
kepentingan keselamatan. Dalam hal ini dimungkinkan kerjasama yang saling
menguntungkan antar negara untuk mendelegasikan tanggung jawab ruang
udaranya yang diberikan ke negara lain seperti adanya pelayanan lalu lintas udara.
Praktek atas ketentuan ini dikenal dengan nama Flight Information Region (FIR),
dimana sebagian wilayah udara NKRI masuk kedalam FIR Singapura.161
Keberadaan FIR Singapura saat ini sesuai dengan Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight
Information Region and the Jakarta Flight Information Region tertanggal 21
September 1995. Dalam pelaksanaannya telah banyak menimbulkan kendala baik
dari penerbangan sipil Indonesia maupun pelaksanaan operasi dan penegakan
hukum di wilayah sekitar Tanjung Pinang dan Natuna yang dilaksanakan baik oleh
Komando Pertahanan Udara Nasional maupun oleh TNI AL yang melaksanakan
Operasi Maritim, karena pengendalian ruang udara tersebut ada pada Air Traffic
Control Singapura (ATC Singapura).162
Sebagai contoh jalur penerbangan dari Tanjung Pinang ke Ranai atau
sebaliknya tidak bisa terbang lurus, sehingga akan menambah air time yang juga
akan menambah biaya operasional pesawat. Contoh lain bagi pesawat militer yang
akan melakukan operasi, patrol udara dan latihan militer disekitar Batam Tanjung
Pinang dan Natuna sering terkendala akibat pengaturan ruang udara oleh ATC
Singapura yang semata-mata hanya mendahulukan kepentingannya sendiri. Hal ini
tentu saja melukai rasa nasionalisme kita.

160 Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia.2010. Keputusan Presiden. Diakses Dari
http://setneg.go.id/index.php?catname=KEPPRES&catid=4&tahun=0&Itemid=42&option=com_perundangan&task=
&act=. Pada 10 Mei 2016 [10.15]
161 DR. Ide Agung Anak Gde Agung.2010.Pengambil Alihan Ruang Udara Natuna: Undermine Approach. Diakses
Dari http://masyarakathukumudara.or.id/pengambil-alihan-ruang-udara-natuna-undermine-approach/. Pada 08 Mei
2015 [21.00].
162 Ibid.

375 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Selain itu, Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) sebagai
Komando Operasional TNI yang menyelenggarakan upaya pertahanan dan
keamanan terpadu atas wilayah udara nasional tersebut belum memiliki kerjasama
antara ATC Singapura. Padahal ICAO mewajibkan adanya koordinasi antara militer
dan Air Traffic Services (ATS) sesuai dengan amanat Annex 11 Konvensi Chicago
1944.163
Dalam hal ini memang disayangkan bahwa, UU penerbangan kita yang baru
memberikan jangka waktu yang sangat lama yaitu paling lambat 15 (lima belas) tahun
untuk mengevaluasi dan akhirnya harus sudah dilayani oleh lembaga penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan nasional. Namun dalam jangka pendek perlu
diusulkan pertama, penempatan Liasion Officer (LO) dari Kohanudnas di ATS
Singapura, dan kedua perlu ada permintaan dari Indonesia bahwa, ATS Singapura
harus memberikan prioritas bagi pesawat sipil dan militer Indonesia yang
melaksanakan penerbangan di sekitar wilayah tersebut.
Wilayah udara meliputi daerah yang berada di atas wilayah negara atau di
atas wilayah darat dan wilayah laut teritorial suatu negara. Di forum internasional
belum ada kesepakatan tentang kedaulatan suatu negara atas wilayah udara. Dalam
pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang telah diganti dengan Konvensi Chicago 1944
dinyatakan, bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan utuh dan eksklusif di
wilayah udaranya.164
Awalnya, persoalan pengelolaan wilayah perbatasan negara hanya menjadi
salah satu isu sensitif politik dan pertahanan, terutama dalam hal mempengaruhi
kerjasama atau ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki wilayah
berbatasan langsung. Seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu-isu
pengelolaan wilayah perbatasan negara juga menjadi problem multilateral dan
bahkan internasional, dimana kemajuan tekonologi dan beroperasinya kepentingan
negara dan korporasi yang lintas negara memunculkan beragam persoalan terkait
perbatasan suatu negara atau aktivitas lintas batas negara.165
Oleh karena itu penelitian singkat ini disiapkan untuk menjawab salah satu
konflik pengelolaan lalu lintas udara yaitu lalu lintas udara di wilayah kepulauan
Natuna antara Indonesia dan Singapura. Dimana Diplomasi dijadikan sebagai bagian

163 Kolonel PNB Supri Abu S,H,. M,H.2010. Wilayah Udara Indonesia Masuk FIR Singapura. Diakses Dari
http://tabloidaviasi.com/hukum-regulasi/wilayah-udara-ri-masuk-fir-singapura/. Pada 12 Maret [19.10]
164 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.2015. Minta Perbaikan Peralatan, Presiden Jokowi Ingin Kelola Sendiri
Ruang Udara Untuk Lalu Lintas. Diakses Dari http://setkab.go.id/minta-perbaikan-peralatan-presiden-jokowi-ingin-
kelola-sendiri-ruang-udara-untuk-lalu-lintas/. Pada 08 Mei 2016 [21.30].
165 Ibid.

376 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dari upaya yang dilakukan Indonesia dalam rangka mengukuhkan kedaulatannya.
Sehingga dapat menghasilkan jalan keluar bagi Indonesia karena dalam
permasalahan ini Indonesia adalah pihak unilateral dan bentuk-bentuk upaya apa
saja yang akan Indonesia lakukan untuk mengambil alih pengelolaan FIR tersebut.
Dibandingkan dengan penanganan perbatasan darat dan laut yang memiliki klaim
yang terukur dan ketentuan yang relatif lebih jelas, penanganan perbatasan udara
nyaris tertinggal. Karenanya beragam faktor penghambat mulai dari tingkat politik,
legislasi hingga operasi yang selama ini menjadi salah satu penyebab kelambanan
pemerintah dalam membangun kebijakan dan kapasitas pengelolaan perbatasan
udara harus menjadi suatu concern bersama.
Dalam Undang - undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara disebutkan bahwa pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga
dan melindungi kedaulatan negara, keuntuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
Upaya untuk mewujudkan pengakuan kedaulatan di wilayah teritorial
Negara kepulauan tidak terlepas dari prinsip Negara kepulauan (archipelago
principles) yang termuat dalam dokumen
hasil pembicaraan empat negara (Fiji, Filipina, Indonesia, Mauritius) dalam sidang
United National Seabed Committeepada tahun 1972 di New York, khususnya prinsi
p kedua yang menyatakan, “Negara kepulauan berdaulat atas perairan yang terdapat
di dalam garis pangkal lurus yang ditarik antara pulau-pulau terluar. Kedaulatan ini
tidak saja meliputi perairan tetapi mencakup juga dasar laut (seabed) dan tanah
dibawahnya (subsoil) serta ruang udara di atas perairan kepulauan”.166
Sehubungan dengan masalah kedaulatan Negara di udara,
maka penguasaan Air Traffic Control (ATC) oleh Singapura di wilayah Indonesia
yaitu dikawasan Kepulauan Riau (Kepri), bukan saja menyebabkan terjadi
pelanggaran kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
namun juga memberikan implikasi yang sangat luas khususnya terhadap aspek
pertahanan udara dan kerugian bidang ekonomi. Kabar heroik yang beredar di ruang
udara nasional. Sejak tahun 1946, Flight Information Region (FIR) di wilayah
Kepulauan Riau mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna berada dalam kendali
Singapura. Jika pesawat hendak melintas di wilayah tersebut, selain harus meminta

166 Ibid.

377 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
izin kepada ATC Indonesia, diwajibkan untuk meminta clearance kepada negeri
seribu satu larangan tersebut.167
Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan dari pemaparan diatas bahwa perlu
diadakan yang dinamakan dengan strategi diplomasi yang akan dilakukan Indonesia
untuk pengambilalihan layanan wilayah udara yang memang masuk dalam teritori
Indonesia tersebut dan menyelesaiakan masalah ini dengan diplomasi berhubung
Indonesia dan Singapura memiliki hubungan bilateral yang cukup dibilang baik. Dari
tahun ke tahun, Indonesia dan Singapura membina hubungan kunjungan kenegaraan
tingkat tinggi. Hubungan ini ditandai dengan kerja sama ekonomi yang kuat. Dalam
beberapa tahun terakhit, Singapura secara konsisten menjadi investor asing terbesar
di Indonesia. Kerja sama antara Indonesia dan Singapura juga meliputi beberapa
bidang, termasuk kesehatan, pertahanan, dan lingkungan hidup. Hubungan antara
Indonesia dan Singapura kebanyakan didorong karena kedekatan geografis.
Singapura merupakan salah satu negara tetangga terdekat Indonesia. Wilayah
negara kota ini dikepung wilayah Indonesia di bagian barat, selatan, dan timur, terjepit
di antara Malaysia dan Indonesia. Kedua negara adalah pendiri ASEAN, dan negara
anggota Gerakan Non-Blok dan APEC.
Dalam melakukan sebuah diplomasi tentunya harus menggunakan strategi
apalagi diplomasi ini dilakukan untuk menyelesaikan sebuah kasus yang cukup
dibilang berat dan menyangkut masalah kedaulatan sebuah Negara. Maka dari itu
Strategi yang digunakan oleh Indonesia dalam perjuangan ini adalah strategi
diplomasi melalui dua jalur yaitu168 : 1. First track diplomacy. 2. Second
track diplomacy
Tetapi dalam permasalahan ini strategi yang digunakan adalah First Track
Diplomasi. Sedangkan strategi lain yang dapat dilakukan Indonesia yaitu
menggunakan hukum udara internasional yang menghasilkan konvensi chicago
1944, konvensi ini dijadikan senjata bagi Indonesia dalam mengambil alih FIR
Singapura dan malaysia yang menguasai wilayah Indonesianamun Singapura
menggunakan konvensi ini untuk mempertahankan kepentinganya.169
Berdasarkan pemaparan di atas, maka di sini peneliti tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai Praktik Diplomasi Indonesia terhadap Singapura dalam

167 Santoso Rizal.2010. Penguasaan Flight Information Region (FIR) Oleh Singapura di Kepulauan Riau. Diakses
Dari.http://www.academia.edu/9123950/PENGUASAAN_FLIGHT_INFORMATION_REGION_FIR_OLEH_SINGAP
URA_DI_KEPULAUAN_RIAU_. Pada 18 Maret 2016 [19.20]
168 Kissinger, Henry A. (1994) Diplomacy. New York: Simon and Schuster.
169 Elza Astari Retaduari.2015. RI Terus Berupaya Rebut Kembali Ruang udara Dari Singapura. Diakses Dari
http://news.detik.com/berita/3010741/ri-terus-berupaya-rebut-kembali-ruang-udara-yang-dikuasai-singapura. Pada
18 Maret 2016[18.30]

378 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengambil alih FIR. Mengambil alih ini juga diambil dari istilah Ministry of Foreign
Affairs yang menyatakan bahwa Pengambil alihan FIR ini harus dilakukan karena
menyangkut kedaulatan negara dan Berbagai ketentuan inilah yang masih menjadi
pertanyaan besar, apakah Indonesia sudah bisa dianggap mampu mengelola ruang
udara diatas Kepulauan Natuna atau masih harus bergantung pada Singapura
mengingat kasus FIR ini yang sudah dikuasai oleh Singapura.
Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan keseriusannya hendak mengambil alih
kontrol atas ruang udara atau FIR (flight information region) di Kepulauan Riau –
antara lain mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna– yang selama ini dipegang
Singapura. Pejabat tinggi RI telah bertemu dengan Singapura. Pemenrintah juga
telah mengutus Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk berbicara
dengan negara tetangga Indonesia itu. Saat ini Indonesia tengah menyiapkan sumber
daya manusia dan infrastruktur untuk mengelola ruang udara di atas Kepulauan Riau
yang berbatasan dengan Singapura itu.
Dalam pengertian yang baku, FIR adalah suatu ruang udara yang ditetapkan
dimensinya dan didalamnya terdapat Flight Information Service dan Alerting Service.
Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk
memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi
penebangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan kepada organisasi
yang berkaitan dengan pesawat terbang/ penerbangan yang membutuhkan
pertolongan dan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian
dan pertolongan.
Bagi pesawat yang terbang melalui rute dalam FIR Singapura termasuk
pesawat dari Indonesia harus mendapatkan ATC Clearance dari pengatur lalu lintas
penerbangan Singapura. Dengan demikian pesawat sipil dan pesawat negara
termasuk pesawat militer milik Indonesia apabila melewati rute dalam FIR Singapura
harus mendapatkan ATC Clearance dari ATC Singapura. Oleh sebab itu,
berdasarkan pembagian FIR sesuai dengan ketentuan ICAO dan agreement yang
dibuat antara pemerintah Indonesia dan Singapura, maka pengaturan keselamatan
penerbangannya dilakukan oleh ATC Singapura.
Kewenangan yang dimiliki oleh ATC Singapura menyebabkan segala aktifitas
penerbangan yang berada di FIR Singapura harus berada dibawah otoritas
Singapura, termasuk juga pesawat sipil dan pesawat negara yang berasal dari
Indonesia. Permasalahan FIR negara lain Pembagian wilayah FIR sering tidak
mengacu kepada wilayah udara negara yang berdaulat sehingga sering berbenturan

379 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dengan kedaulatan suatu negara. Dasar hukum Flight Information Region terdapat
dalam Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 dan Annex 11 Konvensi Chicago 1944, yang
berbunyi, “undertakes, so far as it may find practicable, to provide, in its territory,
airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilities to
facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practices
recommended or established from time to time, pursuant to this Convention”.
Walaupun demikian menurut Annex 11, Indonesia dapat mendelegasikan
pemanduan lalu lintas udara tersebut kepada negara lain dan hal ini juga termuat
pada Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan. Pendelegasian tersebut tidak mengurangi kedaulatan negara Republik
Indonesia. Apabila Indonesia dianggap telah mampu, maka pendelegasian tersebut
dapat dikembalikan kepada Indonesia. 170
Sejak 66 tahun lalu, setahun setelah bangsa ini merdeka, ruang udara
Indonesia di wilayah Kepulauan Riau (mencakup Batam, Tanjungpinang, dan
Natuna) berada di bawah kendali Singapura. ”Luas penguasaan Singapura atas
wilayah udara kita mencapai 100 nautical mile,” kata Kepala Keselamatan
Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah. Satu nautical mile setara 1,825
kilometer. ”Artinya, luas kekuasaan Singapura di atas negara kita sekitar 200
kilometer dari garis batas kedua negara. Itu sudah nyaris masuk ke wilayah Pangkal
Pinang (Bangka) dan Palembang. Sangat luas,” kata Irwansyah. Singapura dalam hal
ini bertindak sebagai pihak yang berwenang dalam memberikan instruksi (Air Traffic
Control) kepada pesawat yang melakukan penerbangan dan memberikan bantuan
navigasi penerbangan kepada pesawat yang melewati rute di wilayah udara tersebut.
Perjanjian antara Indonesia dan Singapura ditetapkan berakhir setelah lima tahun
sejak ditandatangani, sehingga perjanjian tentang pendelegasian FIR Singapura
telah berakhir pada tanggal 21 September 2000.
Sering kita dengar istilah diplomasi dalam ranah hubungan internasional.
Yang kita tahu, diplomasi digunakan sebagai alat atau media untuk menyelesaikan
konflik tanpa adanya kekerasan atau bahkan perang. Menurut Sir Peter Marshall,
terdapat enam makna terkait mengenai ‘diplomacy’. Beberapa di antaranya adalah
diplomasi yang memiliki arti konotasi sebagai pelaksanaan kebijakan luar negeri dan
diplomasi yang berfokus pada manajemen hubungan internasional melalui
negosiasi.171 Hal itupun dijelaskan oleh Adam Watson bahwa diplomasi merupakan

170 Yuwono Agung Nugroho.2006. Kedaulatan Udara Indonesia.( Jakarta: Bumi Intirama Sejahtera)
171 Marshall, Sir Peter (1990) The Dynamics of Diplomacy. London: The Diplomatic Academy of London.

380 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pelaksanaan hubungan internasional melalui negosiasi.172 Dengan demikian, cukup
jelas bahwa diplomasi adalah sebuah cara untuk menjalin kerjasama dalam
hubungan internasional demi mencapai kepentingan bersama, yang dapat dilakukan
dengan bernegosiasi.
Diplomasi sudah dilakukan sejak zaman peradaban kuno, yaitu peradaban
Mesopotamia yang diwujudkan dengan berbagai perjanjian antarsuku, serta
penggunaan bahasa kedua suku yang menjadi bahasa diplomatik pertama di Timur
Tengah, yakni Babilonia dan Akkadia. Berdasarkan sejarah, peradaban pertama yang
melahirkan konsep pengiriman duta besar adalah kekaisaran Romawi. Mereka
menyebutnya utusan dengan istilah legati dan kantor perwakilan atau kedutaan di
luar negeri disebut dengan legatio. Pada masa India Kuno pun ditemukan referensi
tentang berbagai tipe utusan dan hal tersebut telah ada mulai dari masa Regweda,
Yajurweda, hingga seterusnya. Kemudian diplomasi terus dilakukan dari masa ke
masa dan di berbagai wilayah. Bahkan pada abad pertengahan, diplomasi modern
mulai berkembang di Italia serta dijadikan sebagai metode oleh para penguasa untuk
mencapai kepentingan mereka dan menjaganya. Hal itu tertulis dalam buku
Machiavelli yang berjudul ‘The Prince’. Diplomasi terus digunakan hingga saat ini,
bahkan terdapat berbagai bentuk diplomasi yang diimplementasikan oleh masing-
asing negara untuk mencapai interest-nya.
Berdasar pada sejarah dan fakta, diplomasi menjadi sebuah komponen
penting dalam hubungan internasional. Dalam buku “International Relation: The Key
Concept”, dijelaskan bahwa diplomasi merupakan alat bagi negara untuk
menjalankan misi dan kepentingannya tanpa menciptakan permusuhan terhadap
negara lain, serta digunakan untuk mengkonstruksi citra positif negara tersebut.
Ketika terdapat sebuah konflik antarnegara, diplomasi akan menjadi alat yang efektif
untuk menjaga agar hubungan kedua belah pihak tetap baik, dan tentu saja
menjauhkan konflik yang berkepanjangan dan mengacu pada peperangan atau
ancaman militer.
Karena telah menjadi bagian dalam interaksi antarnegara sejak dulu, maka
dapat dikatakan bahwa diplomasi pun telah menjadi kajian dalam HI sejak dahulu.
Sebab hampir seluruh negara tidak terlepas dari proses diplomasi dan negosiasi
untuk mendapatkan interest-nya dalam kerjasama internasional yang dijalankan.
Diplomasi merupakan komunikasi terbuka yang baik dan mampu memfasilitasi
pembuatan resolusi suatu konflik. Tran berpendapat bahwa komunikasi yang terdapat

172 Watson, Adam (1982) Diplomacy: The Dialogue between States. London: Eyre Methuen.

381 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dalam diplomasi menjadi darah bagi tubuh manusia. Ketika komunikasi itu terhenti,
maka tentu tubuh politik internasional serta proses diplomasi tersebut akan mati,
sehingga akan tercipta konflik yang mengacu pada kekerasan atau atrofi.
Pencapaian interest dan penggunaan diplomasi sebagai alat pun tidak luput
menjadi bagian dari daftar kajian dalam HI, karena pada dasarnya ilmu HI membahas
berbagai hal yang terjadi dalam dunia internasional, tepatnya hubungan antarnegara.
Dan dalam hubungan antarnegara itulah terdapat politik luar negeri. Sebelumnya, kita
perlu mengetahui arti politik luar negeri. Menurut Henry Kissinger yang merupakan
seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, “foreign
policy begins when domestic policy ends”. Dari situ dapat disimpulkan bahwa politik
luar negeri merupakan hasil dari politik domestik yang kemudian diajukan dalam
perundingan mengenai isu-isu politik internasional. Dengan kata lain, politik luar
negeri dibuat sesuai dengan kondisi politik internasional kala itu dan politik luar negeri
menjadi penting eksistensinya bagi setiap negara. Dengan politik luar negeri, sebuah
negara bisa menjaga keamanan negaranya dan menghimpun kekuatan ketika negara
lain telah menerima politik luar negeri yang dibuat negara tersebut. Perlu digaris
bawahi juga bahwa politik luar negeri turut mempengaruhi politik domestik dan
keduanya tidak dapat dipisahkan.

PENUTUP
Politik luar negeri dan diplomasi pada hakikatnya saling beriringan dan
memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai interest bagi negara masing-masing. Ini
menunjukkan adanya keterkaitan antarnegara dan termasuk interaksi dalam
hubungan internasional. Dengan politik luar negeri yang diajukan dan proses
diplomasi yang dijalankan, apabila keduanya berjalan dengan lancar dan mampu
diterima oleh semua pihak, maka kepentingan negara pun bisa tercapai. Sehingga
pada akhirnya setiap negara pasti menjalankan politik luar negeri dan melakukan
diplomasi untuk mencapai resolusi konflik serta kesejahteraan bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Berridge, G.R, dan Alan James. (2003) A Dictionary of Diplomacy. New York
: Palgrave Macmillan.
Booth, Gore.(1979) Satow’s Guide to Diplomatic Practice Fifth ed. New York :
Longman

382 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Coplin, D.William. (2003) Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah
Teoritis. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Departemen Pertahanan RI. (2008) Buku Putih Pertahanan RI

383 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
SINERGISITAS ANTARA PEMERINTAH KOTA DENGAN
STAKEHOLDERS KEBENCANAAN DI KOTA PADANG DALAM
UPAYA PENGURANGAN RESIKO BENCANA
GEMPA BUMI DAN TSUNAMI
Roni Ekha Putera173 dan Heru Nurasa174

ABSTRAK
Dalam upaya pengurangan resiko bencana gempa bumi dan Tsunami di Kota Padang
sinergisitas antara stakeholders kebencanaan sangat diperlukan. Sebagaimana yang
diketahui bahwa Kota Padang merupakan daerah yang rawan terhadap bencana
gempa Bumi dan Tsunami paling tinggi di dunia, hal ini berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh LIPI dan NTU Singapura dan juga telah dimuat dalam Majalah Time
tahun 2005. Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah kota dan segenap stakeholders
kebencanaan perlu mengupayakan program atau kegiatan yang akan dilakukan
untuk menghadapi bahaya tersebut. Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk
menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota dan bagaimana
dukungan dari mayarakat, NGOs dan Dunia Usaha. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif interpretatif, dengan pengumpulan data melalui observasi,
wawancara, dan telaah dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah dinas terkait
di Pemerintah Kota Padang, perwakilan masyarakat, NGOs dan Dunia usaha.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah, bahwa adanya sinergisitas antara Pemerintah
Kota dengan Stakeholders kebencanaan. Sinergisitas tersebut terlihat dari
keterlibatan masyarakat, NGOs dan Dunia usaha dalam kegiatan-kegiatan yang
dilakukan Pemerintah Kota Padang untuk pengurangan resiko bencana gempa bumi
dan Tsunami, seperti pembuatan Protap Penanggulangan bencana, simulasi
evakuasi bencana, pelatihan-pelatihan kebencanaan di tingkat masyarakat maupun
sekolah, perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Padang.
Kata Kunci: Sinergisitas, Stakeholders Kebencanaan, Pemerintah Kota, Bencana

ABSTRACT
Synergy between stakeholders is indispensable in risk reduction efforts following
earthquake and tsunami in Padang. As shown in research conducted by LIPI, NTU
Singapore and published in Time Magazine in 2005, Padang is one of the most
susceptible areas to earthquake and tsunami in the world. In response to this, the
local government and stakeholders need to pursue programmes or activities that can
be put in place to confront these dangers. The purpose of this paper is to describe the
efforts undertaken by the city and the support from society, NGO’s and the business
world. The method used is qualitative interpretative. Data was collected through
observation, interviews and review of documents. Informants in this study are related
offices in the government of Padang, community representatives, NGO’s and the
business world. The result of this study shows that there is synergy between the local
government and stakeholders in case of disaster. This can be seen in the involvement
of the public, NGOs and the business world in activities carried out by Padang
government for disaster risk reduction following earthquake and tsunami. For

173 Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik, FISIP Unpad Bandung & Dosen Administrasi Publik FISIP
Universitas Andalas Padang / roniekhaputera@gmail.com
174 Dosen Administrasi Publik FISIP Unpad Bandung / hnurasa@yahoo.com

384 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
instance, the creation of Protap disaster relief, simulated evacuations, disaster
training in the community including schools and changing the city planning in Padang.
Keywords: Synergy, Stakeholders Disaster, City Government, Disaster

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Kejadian bencana belakangan ini telah menjadi persoalan yang multi dimensi,
berbagai persoalan yang ditimbulkan akibat bencana yang tidak terduga telah
membukakan mata semua pihak betapa pentingnya penanggulangan bencana di
masa yang akan datang, berbagai ahli dari disiplin ilmu tertentu telah mengkaji
tentang kebencanaan ini, tidak terkecuali disiplin ilmu Administrasi Publik, salah
satunya Hughes (1994) dalam bukunya Management and Public Administration yang
mengemukakan bahwa crisis / Disaster Management merupakan salah satu dari isu
penting dalam kajian Administrasi Publik. Dengan demikian persoalan kebencanaan
bukan hanya bisa dikaji dari satu disiplin ilmu saja tetapi merupakan persoalan yang
bisa dikaji dari multidisplin keilmuan. Berbicara tentang kebencanaan maka ada
pendapat yang menyatakan bahwa kejadian bencana yang melanda merupakan
kejadian alam yang merupakan takdir yang diberikan Tuhan untuk “dosa-dosa
negara” (Quarantelli, 2006 dalam Kusumasari, 2014). Namun perkembangan ilmu
pengetahuan sebagai sumber pengetahuan baru telah mengubah pandangan orang
tentang bencana sebagai “tindakan alam” (act of nature); bukan tindakan Tuhan (act
of god) (Shaluf, 2007). Perubahan pemikiran akibat kemajuan ilmu pengetahuan
memberikan pemahaman bahwa bencana yang terjadi bukan saja berasal dari alam
dan tindakan Tuhan tetapi juga ada yang berasal dari tindakan manusia (acts of men
and women) (Quarantelli, 2001 dalam Kusumasari, 2014).
Untuk kasus di Indonesia, persoalan bencana bukan lagi merupakan hal yang
“aneh”, karena hampir setiap saat selalu terjadi bencana, baik itu bencana alam
seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, angin topan, kebakaran hutan ataupun
bencana ulah tangan manusia seperti kebakaran gedung, runtuhnya gedung.
Berdasarkan hasil kajian dari pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014)
mengatakan bahwa hampir sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia adalah
akibat kerusakan lingkungan hidup, Banjir Bandang yang terjadi di beberapa daerah
misalnya di Wasior Papua, di Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota. Dengan
demikian, Indonesia ini ibarat labarotorium bencana, karena hampir semua bencana
dan terjadi di Indonesia. Dengan tingginya tingkat kerawanan dan kerentanan

385 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
terhadap bencana yang ada maka kebijakan untuk pengurangan resiko bencana
menjadi salah satu hal yang penting guna meminimalisir kerugian harta benda dan
korban jiwa. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BNPB (2011) Provinsi Sumatra
Barat menempati posisi ke-6 dalam daftar kerawanan bencana. Hal ini dikarenakan
kondisi geografis dari beberapa kabupaten dan Kota yang berada di wilayah pesisir
yang berbatasan langsung dengan Samudara Hindia. Dengan Keadaaan geografis
seperti itu maka mengakibatkan 7 kabupaten/kota dari 19 Kabupaten/Kota yang ada
mempunyai tingkat kerawanan dan kerentanan yang besar terkena ancaman gempa
dan tsunami. Adapun wilayah yang dimaksud adalah Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir
selatan, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Pariaman, dan Kota Padang.
Berkaitan dengan data di atas maka dapat dilihat Kota Padang merupakan
salah satu daerah yang rawan dan rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Pada
Tahun 2013, dari data yang dikeluarkan oleh BNPB tentang Indeks Rawan Bencana,
Kota Padang termasuk dalam kategori tinggi dan rawan terhadap bencana, dalam
data disebutkan berada pada peringkat 10 secara nasional dan peringkat pertama
diantara kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat (BNPB, 2013). Dengan posisi
dan kondisi Kota Padang yang berada pada jalur the pasific ring of fire dan berada
pada zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia menjadikan
Kota Padang sebagai salah satu daerah yang sering mengalami bencana
gempabumi. Salah satu kejadian gempa bumi yang melanda Kota Padang adalah
Gempa besar tanggal 30 September 2009, yang menimbulkan banyaknya korban
harta benda dan jiwa. Seperti yang diketahui, bencana gempa bumi yang melanda
Sumatera Barat termasuk Kota Padang yang mengakibatkan ribuan jiwa menjadi
korban dan ribuan rumah dan fasilitas umum serta infrastuktur menjadi hancur. Data
menunjukkan korban meninggal di Kota Padang adalah 316 orang, jumlah korban
yang hilang 4 orang, 181 orang luka berat, 425 luka ringan (BPBD, 2009)
Banyaknya korban yang berjatuhan sinyalir karena kurangnya persiapan
(mitigasi) untuk menghadapi bencana, terutama bencana gempa bumi, apalagi yang
berpotensi tsunami. Selain itu menurut data awal peneliti jalur lokasi evakuasi belum
siap, prosedur tetap (protap) belum tersedia, SOP peringatan dini belum tersedia,
pengalaman satu tahun lalu menunjukkan bahwa gempa 7,9 SR yang mengguncang
Kota Padang menyebabkan Kota Padang menjadi macet total, kepanikan terjadi
dimana-mana. Warga mengungsi menggunakan kendaraan roda empat sehingga
membuat sejumlah jalan utama menjadi macet total. Dengan demikian kejadian

386 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
gempa besar yang melanda Kota Padang September 2009 telah memberikan
pelajaran yang berharga bagi pemerintah Kota Padang betapa pentingnya upaya
penanggulangan bencana sekarang ini. Sebenarnya Kota Padang telah memiliki
Peraturan Daeran No. 3 Tahun 2008 tentang penanggulangan bencana, tetapi
kenapa kejadian bencana yang terjadi masih saja banyak berjatuhan korban jiwa.
Padahal di dalam peraturan daerah yang ada telah diamatkan bahwa pemerintah
perlu membuat sistem peringatan dini, kesiap-siagaan pengurangan resiko bencana,
perlu adanya kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat dalam hal
pengurangan resiko bencana. Hal yang patut dipertanyakan adalah apa yang terjadi
sebenarnya dengan peraturan yang telah ada, padahal kebijakan sudah ada, dan
pemerintah daerah juga telah membentuk badan penanggulangan bencana daerah
(BPBD) sebagai amanat dari UU dalam pengelolaan kebencanaan di tingkat daerah.
Lantas apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Kota Padang dalam kebijakan
penanggulangan bencana, bagaimana keterlibatan stakeholders dalam pengurangan
resiko bencana. Dengan demikian sinergisitas antara stakeholder yang terkait dalam
pengurangan resiko bencana diperlukan dalam rangka meminimalisir kerugian yang
akan ditimbulkan oleh bencana.
Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana Sinergisitas Antara Pemerintah Kota Dengan Stakeholders Kebencanaan
Di Kota Padang Dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana Gempa Bumi Dan
Tsunami. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan
menggambarkan tentang Sinergisitas Antara Pemerintah Kota Dengan Stakeholders
Kebencanaan Di Kota Padang Dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana Gempa
Bumi Dan Tsunami. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan
gambaran tentang Sinergisitas Antara Pemerintah Kota Dengan Stakeholders
Kebencanaan Di Kota Padang Dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana Gempa
Bumi Dan Tsunami. Serta memberikan masukan dan kontribusi bagi pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap pelaksanaan pengurangan resiko bencana gempa
bumi dan tsunami di Kota Padang.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Sinergisitas
Asal kata Sinergi adalah dari bahasa Yunani yaitu Synergos yang berarti
bekerja bersama /working together. Sedangkan menurut Roz. D. Lasker, Ellisa E.
Weiss, and Rebecca Miller (2001: 5) mengatakan bahwa sinergi adalah Kekuasaan

387 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
atau kekuatan untuk menggabungkan perspektif, sumber daya, dan keterampilan dari
sekelompok orang dan organisasi. Sementara itu Covey (1997) menyatakan bahwa
sinergisitas merupakan kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat
menghasilkan suatu yang lebih baik, dibandingkan dikerjakan sendiri-sendiri, dengan
demikian gabungan dari beberapa unsur akan lebih menghasilkan suatu luaran yang
lebih baik. Dengan begitu, sinergisitas yang terjadi merupakan keterpaduan dari
unsur-unsur yang ada sehingga menghasilkan produk yang lebih baik dan unggul.
Sinergisitas akan mudah terjadi jika komponen-komponen yang ada mampu
bersinergi dan memiliki kesamaan pandang.
Sementara itu Menurut Iversen (1997), Sinergi diartikan sebagai sebagai
proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan perusahaan atau pemerintahan pada
satuan yang terpisah dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
secara efisien dan efektif. Landasan teori mengacu pada konsep“competitive
advantage, creating and sustaining performance”, sedangkan dalam pelaksanaan
terdapat prinsip dasar yang dijadikan acuan, yakni: Koordinasi, Integrasi, dan
Sinkronisasi. Sesuai dengan yang ditulis oleh Iversen (1997) dalam Concept of
Synergy toward a Clarification, pedoman kesinergian antara lain: a. Sinergi harus
terpusat; b. Sinergi harus terpadu; c. Sinergi harus berkesinambungan; d. Sinergi
menggunakan pendekatan multi instansional. Sedangkan Menurut Doctoroff (1977)
dalam Mukhtaromi dkk (2013; 159) persyaratan utama bagi suatu sistem sinergi yang
ideal adalah kepercaayaan, komunikasi yang efektif, umpan balik yang cepat, dan
kreativitas.
Dengan demikian dapat diartikan konsep sinergitas merupakan kegiatan
kerjasama dan atau gabungan yang dilakukan oleh bagian atau kelompok-kelompok
organisasi guna memperoleh hasil yang baik dan unggul dengan terjadinya
keterhubungan peran yang berbeda dari pada masing-masing aktor namun terkait
didalamnya. Dengan demikian, seluruh komponen yang terlibat dalam
penanggulangan bencana baik itu pemerintah, swasta dan masyarakat diharapkan
bersinergi agar tercapainya cita-cita yang diharapkan yaitu masyarakat yang tangguh
bencana.

Penanggulangan Bencana, Perubahan Paradigma dan Sistem Penanggulangan


Bencana
Pengertian penanggulangan bencana adalah sebuah proses sistematis
dengan menggunakan keputusan administratif, organisasi, keterampilan operasional,

388 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kapasitas implementasi, strategi, dan kapasitas dari masyarakat dalam mengurangi
dampak dari ancaman alam, lingkungan, dan bencana teknologi. Hal ini meliputi
segala kegiatan, termasuk ukuran-ukuran struktural/non-struktural dalam
menghindari ataupun membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak dari bencana
yang mungkin timbul (UNISDR, 2004.) Perkembangan internasional dalam hal
pengurangan resiko bencana adalah pertemuan Hyogo yang mencanangkan Hyogo
framework for action 2005-2015 yang menyerukan pada seluruh negara untuk
menyusun mekanisme pengurangan resiko bencana (PRB) atau Disaster Risk
Reduction (DRR) yang terpadu dengan dukungan kelembagaan dan sumber daya
yang tersedia.
Sementara itu di Indonesia, dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup
signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat
nasional hingga daerah. Jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di
Indonesia bersifat tanggap darurat saja (emergency response), maka melalui UU No.
24 tahun, 2007 ini mencakup semua fase bencana, diawali dengan fase
kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pemulihan pasca bencana. Perubahan utama
dan sangat besar pengaruhnya terhadap sistem penanggulangan bencana di
Indonesia dengan dikeluarkannya undang-undang No. 24 tahun 2007 adalah
perubahan paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana. Bencana tidak
lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja, tetapi bisa dicegah
dan diantisipasi, terutama kejadian bencana, korban dan dampaknya. Perubahan
paradigma ini tentu saja diikuti dengan perubahan sistem penanggulangan bencana
yang dianut oleh pemerintah selama ini. Penanggulangan bencana juga dibagi ke
dalam tindakan, tanggung jawab dan wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah
melalui kegiatan pembangunan, keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi
penanggulangan bencana. Disamping itu aturan ini juga membahas tentang
kewajiban dan tanggung jawab masyarakat, badan internasional, dan juga lembaga
usaha. Peraturan ini juga membahas tentang pembiayaan yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat dan Daerah dan juga bantuan dari masyarakat. Terdapat
juga sanksi hukum kepada mereka yang menghalangi keamanan negara dalam
rangka melaksanakan aktifitas pembangunan. Dengan kata lain, UU ini memaksa
semua pihak untuk memandang dan menyusun sistem penanggulangan bencana
secara lebih serius dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem
penyelenggaraan negara.

389 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Untuk itu, penanggulangan bencana melibatkan semua tingkat pemerintahan,
non pemerintah juga organisasi berbasis masyarakat memainkan peran penting
dalam proses penanggulangan bencana. Beberapa tahun terakhir memandang
bahwa harus ada pra-mitigasi bencana atau tindakan untuk menghindari atau
mengurangi dampak dari bencana.
Gambar Siklus Penanggulangan Bencana

Sumber: Carter, 2008

Pada gambar diatas dijelaskan bahwa penanggulangan bencana mencakup


tahapan dari pencegahan dan mitigasi (mitigasi dan rencana manajemen
pencegahan), kesiap-siagaan (rencana kontingensi, peringatan dini, dan
perencanaan kesiapan), tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, dan
tanggap darurat), dan pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi). Untuk
lebih jelasnya akan diterangkan sebagai berikut ini:
a. Prevention (pencegahan) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman
bencana.
b. Mitigation (usaha memperkecil efek bencana). Adalah merupakan serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik

390 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
c. Preparedness (Kesiap-siagaan). Adalah merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
d. Response (reaksi cepat). Adalah merupakan tindakan yang dilakukan pada saat
bencana terjadi. serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana.
e. Recovery (perbaikan). Adalah merupakan proses perbaikan dan pemulihan
pasca gempa yang merupakan serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan
upaya rehabilitasi
f. Development (pengembangan). Adalah merupakan tindakan untuk melupaka
kejadian bencana yang telah terjadi dan tetap waspada terhadap bencana yang
akan datang, dengan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif deskriptif interpretatif (Denzim
dan Lincoln, 2005) Pilihan terhadap pendekatan kualitatif ini di dasarkan pada
rumusan dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini (Neuman, 1997),
dengan sumber data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi, wawancara dan telaah dokumentasi. Wawancara dilakukan
dengan berbagai stakeholder yang terkait dengan kebencanaan baik itu dari pihak
pemerintah, swasta dan masyarakat. Sedangkan Data sekunder dikumpulkan melalui
telaah kepustakaan, dokumen-dokumen dari bebagai pihak yang terkait dengan
kebencanaan. Pemilihan informan dilakukan dengan sengaja, yang
merepresentasikan stakeholders yang terkait. Analisis data dilakukan dengan “Model
Interaktif” dari Miles, Hubermen dan Saldana (2014) yang mengatakan bahwa
tahapan analisis data meliputi: Koleksi data; Kondensasi data; Penyajian data dan
Kesimpulan/verifikasi.

391 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PEMBAHASAN
Dalam kerangka pengurangan resiko bencana alam secara menyeluruh
(komprehensif), terdapat tiga aktor atau unsur yang berperan yaitu Pemerintah (public
sector), Swasta (privat sector) dan masyarakat (community). Keterlibatan berbagai
aktor tersebut dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi hal yang
penting. Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 24 tahun 2007. Pasal 16
ayat (3) ditegaskan bahwa Kegiatan kesiapsiagaan merupakan tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah dan dilaksanakan bersama-sama masyarakat dan
lembaga usaha. Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah multi stake
holder terlibat, baik itu dari pihak pemerintah (mulai dari tingkatan pemerintah yang
paling rendah sampai yang paling tinggi, mulai dari kelurahan sampai pusat), lembaga
legislatif, Lembaga Swadaya masyarakat (NGOs baik lokal maupun asing) dan pihak
swasta. Untuk konteks Kota Padang pranata kelembagaan yang terbentuk dalam
rangka kegiatan pengurangan resiko bencana sudah tertata dengan baik dan dapat
dikatakan sudah lengkap, kenapa demikian, karena hampir semua lembaga yang
bergerak di bidang kebencanaan ada di Kota Padang. Dalam hal ini, BPBDPK
sebagai leading sectornya harus bisa mengelola lembaga yang sudah ada ini. Selain
itu juga disetiap lembaga pemerintah/SKPD terkait juga ada kegiatan
kebencanaannya. Berikut ini dapat dilakukan pengklasifikasian SKPD, LSM dan
Pihak swasta yang terkait dengan kegiatan kebencanaan di Kota Padang antara lain
Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB), Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker), Dinas Pendidikan (Diknas), Dinas Kesehatan
(Dinkes), Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), Badan Perencaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), kelurahan (Taruna Siaga Bencana). Sementara
itu di LSM ada Komunitas Siaga Tsunami (Kogami), Jemari Sakato, Mercy Corps.
Dan dari swasta ada PT.Semen Padang, yang di dukung oleh radio bencana Classy
FM. Kesemuanya pihak tersebut terlibat dalam proses pelaksanaan pengurangan
resiko bencana di Kota Padang.
Masing-masing aktor menjalankan fungsinya masing-masing namun masih
dalam koridor saling keterkaitan dengan organisasi yang lainnya, disinilah peran dan

392 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
fungsi BPBDPK sebagai komando dan koordinator dalam penanggulangan bencana,
dengan bagaimana menggerakkan lembaga-lembaga tersebut agar bisa bersinergi
dalam penyelenggaraan pengurangan resiko bencana khususnya gempa bumi dan
tsunami di Kota Padang, terutama pada tahap pra bencana (mitigasi bencana),
sehingga resiko yang akan timbul oleh bencana dapat diminimalisir.
Peran BPBDPK sebagai leading sector penanggulangan bencana di daerah
didasarkan kepada Perka BNPB No. 23 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan
BPBD yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selanjutnya disebut BPBD
adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penanggulangan bencana di daerah. Pada bab IV peraturan tersebut dijelaskan
fungsi BPBD Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai
fungsi koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja antara
BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi,
komando dan pengendalian.
Terkait dengan fungsi Koordinasi, Koordinasi BPBD dengan instansi atau
lembaga dinas/badan secarahorisontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat
dan pascabencana, dilakukan dalam bentuk: (a) penyusunan kebijakan dan strategi
penanggulangan bencana; (b) penyusunan perencanaan penanggulangan bencana;
(c) penentuan standar kebutuhan minimun; (d) pembuatan prosedur tanggap darurat
bencana; (e) pengurangan resiko bencana; (f) pembuatan peta rawan bencana; (g)
penyusunan anggaran penanggulangan bencana; (h) penyediaan
sumberdaya/logistik penanggulanganbencana;dan (i) pendidikan dan pelatihan,
penyelenggaraan gladi/simulasi penanggulangan bencana. Koordinasi
penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui kerjasama
dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait sesuai dengan
ketentuan yang berlaku sementara itu kerjasama yang melibatkan peran serta negara
lain, lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dilakukan melalui
koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan untuk
melakukan rapat koordinasi penanggulangan bencana dilakukan minimal 1 (satu) kali
dalam satu tahun dan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan :antara BPBD
Kabupaten/Kota dan instansi terkait/organisasi/lembaga terkait di tingkat
kabupaten/Kota, antara BPBD Provinsi dengan instansi/organisasi/lembaga terkait di
tingkat provinsi dan antara BPBD Provinsi dengan BPBD Kabupaten/Kota.
Sedangkan Terkait dengan fungsi komando BPBD menjalankan fungsi Dalam
hal status keadaan darurat bencana, Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk seorang

393 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
komandan penanganan darurat bencana atas usulan Kepala BPBD. Komandan
Penanganan Darurat Bencana sebagaimana yang disebutkan di atas, mengendalikan
kegiatan operasional penanggulangan bencana danbertanggung-jawab kepada
Kepala Daerah. Sedangkan Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki
kewenangan komando memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi: (a)
Pengerahan sumber daya manusia; (b) pengerahan peralatan; (c) pengerahan
logistik; dan (d) penyelamatan; Komandan Penanganan Darurat Bencana
berwenang mengaktifkan dan meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi
Pos Komando.
Sementara itu, sebagai fungsi pelaksana adalah merupakan fungsi pelaksana
unsur pelaksana BPBD dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan
satuan kerja perangkat daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah
dengan memperhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan
ketentuan peraturan yang berlaku (Permendagari No. 46 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD).
Untuk kasus Kota Padang, pelaksanaan fungsi yang baru terlihat
dilaksanakan oleh BPBDPK dari ketiga fungsi tersebut adalah fungsi pelaksana,
sementara fungsi komando dan koordinator belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam menjalankan tugas sebagai fungsi pelaksana maka BPBDPK yang dikepalai
oleh seorang Kepala Pelaksana menjalankan program-program/kegiatan mitigasi
bencana yang sudah dianggarkan sebelumnya di Rencana Anggaran Belanja (RAB)
BPBDPK. Seperti sosialisasi ke masyarakat tentang bencana, pelatihan anggota
KSB, pembuatan leafleat, pemeliharaan rambu-rambu, dan simulasi gempa.
Disisi lain koordinasi yang dilakukan oleh BPBDPK dengan dinas dan badan
terkait masih lemah, sehingga ini terlihat dari program yang diselenggarakan oleh
masing-masing SKPD terkait masih bersifat parsial, masing-masing SKPD membuat
program sendiri-sendiri, padahal sebenarnya ada beberapa program yang terkait
dengan kebencanaan bisa disinkronkan. Misalnya untuk program simulasi
kebencanaan ke masyarakat dan sekolah ada di beberapa SKPD tertentu yaitu di
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan BPBD itu
sendiri. Menurut peneliti, program ini cukup satu saja di BPBDPK jadi lembaga yang
terkait turut serta juga melakukannya dengan berkoordinasi dengan BPBD, sehingga
pos anggaran untuk kegiatan serupa bisa dialihkan untuk kegiatan yang lainnya.
Dengan demikian sinergisitas antar bidang diperlukan dalam upaya pengurangan

394 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
resiko bencana. untuk itu dapat dilihat berikut ini peran dari pada masing-masing
bidang dalam upaya tersebut.
Dinas Pekerjaan Umum mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang
dalam Peraturan Walikota Padang No. 58 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas
Pokok Dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum. Dalam peraturan tersebut dijelaskan
bahwa tugas daripada Dinas PU dalam kerangka mitigasi penanggulangan bencana
adalah sebagai penyedia sarana dan prasarana (infrastruktur), misalnya
menyediakan shelter (Tempat Evakuasi Sementara) di beberapa titik yang rawan
terhadap bencana, membangun jalur evakuasi gempa dan tsunami, yang pada saat
ini sedang dikerjakan tersedia untuk 12 jalur, selain itu juga melakukan pengawasan
terhadap pembangunan gedung-gedung yang tahan terhadap gempa dan melakukan
evaluasi terhadap gedung-gedung bertingkat yang di bangun sebelum gempa 2009,
ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak
dipergunakan atau tidak, jika masih layak maka bisa jadi dipergunakan sebaagi TES
atau jika tidak layak maka lebih baik di runtuhkan. Dengan demikian, untuk kegiatan
mitigasi penanggulangan bencana, Dinas PU merupakan tim teknis, yang melakukan
pekerjaan berdasarkan perencanaan atau usulan dari dinas lain. Keterkaitan
pekerjaan tersebut bisa dilihat dari misalnya Dinas Pendidikan mempunyai program
pembangunan sekolah yang ramah terhadap gempa, maka pelaksanaan
pembangunan sekolah tersebut merupakan pekerjaan Dinas PU, Dinas Pendidikan
cukup mengusulkan hal dan dimasukkan dalam pos anggaran Dinas Pendidikan.
Contoh lainnya adalah pembanguan Jalur Evakuasi Gempa dan Tsunami,
perencanaannya ada pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, sedangkan yang
melakukan eksekusi pelaksanaannya adalah Dinas Pekerjaan Umum, sehingga
kegiatan ini masuk dalam Pos Anggaran Dinas TRTB. Dengan demikian, ada
keterkaitan kegiatan daripada masing-masing SKPD yang terkait dengan
kebencanaan.
Dinas Pendidikan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam
Peraturan Walikota Nomor 53 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok Dan
Fungsi Dinas Pendidikan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu
tupoksi daripada Dinas Pendidikan dalam hal mitigasi penanggulangan bencana
gempa bumi adalah melakukan edukasi kepada anak didik dan guru-guru di sekolah.
Memberikan sosialiasi dan pembelajaran kepada anak-anak sekolah serta guru-guru.
Saat ini yang sudah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Padang baru tahap
sosialisasi dan edukasi. Pada tahap sosialisasi Dinas Pendidikan bekerjasama

395 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dengan BPBDPK untuk melakukan kegiatan ini, dimana Dinas Pendidikan dalam hal
ini sekolah menyiapkan anak sekolah dan guru-guru untuk menerima materi tentang
kebencanaan, selain itu juga melakukan latihan berupa simulasi gempa yang
melibatkan banyak anak sekolah beserta guru-guru. Sedangkan untuk tahap edukasi,
kegiatan mitigasi bencana diupayakan masuk ke dalam kurikulum kebencanaan, ada
tiga cara yang bisa dipakai supaya materi kebencanaan ini bisa masuk ke sekolah
yaitu melalui integrasi kedalam Mata Pelajaran, menjadi mata pelajaran muatan lokal,
dan integrasi dalam kegiatan ekstrakulikuler. Yang saat ini terlaksana di Kota Padang
baru pada tahap kegiatan ekstrakulikuler dan integrasi ke mata pelajaran yang terkait
seperti fisika, geogarfi, biologi. Untuk kegiatan ekstrakulikuler seperti kegiatan
olahraga sedangkan untuk integrasi ke mata pelajaran, dimasukkan dalam
pembahasn di salah satu sub bab mata pelajaran. Sesuai hasil wawancara dengan
Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kota Padang:
“untuk kegiatan mitigasi bencana sebenarnya yang menjadi leading sector
adalah BPBDPK, peran Dinas Pendidikan adalah membantu saja, yaitu
menyiapkan anak didik serta guru mereka untuk ikut dalam kegiatan yang
dilakukan oleh BPBDPK, misalnya dalam hal sosialisasi ke sekolah-sekolah,
kegiatan simulasi gempa bumi, semua itu adalah kegiatan BPBDPK, kita
sendiri di Dinas Pendidikan tidak ada progarm khusus untuk kegiatan Mitigasi
bencana. Selain itu untuk kurikulum kebencanaanpun kita baru memasukkan
ke dalam beberapa mata pelajaran yang terkait serta kegiatan ekstrakurikuler,
alasan untuk tidak menjadikan materi kebencanaan ke dalam satu mata
pelajaran khusus dikarenakan dalam dalam kurikulum 2013 tidak ada mata
pelajaran muatan lokal”

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan mitigasi


bencana merupakan kegiatan yang dilakukan bersama antara BPBDPK dan Dinas
Pendidikan. Selain itu untuk materi kebencanaan di sekolah-sekolah di Kota Padang
masuk dalam kegiatan ektrakulikuler dan terintegrasi kebeberapa mata pelajaran.
Namun fakta dilapangan kegiatan ini masih dirasakan kurang, karena dengan hanya
memasukkan program kebencanaan sebagai ektrakulikuler dan terintegrasi ke mata
pelajaran, maka materi kebencanaan yang diberikan kepada siswa terasa kurang.
Padahal Kota Padang sudah mempunyai peratuan daerah yang mengatur tentang
implementasi kurikulum kebencanaan, peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah
Kota Padang No. 5 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan pendidikan di Kota
Padang, pada bagian kurikulum lokal pasal 50 huruf f yaitu pengetahuan dan
keterampilan kesiapsiagaan bencana dan kebutuhan daerah lainnya. Dengan adanya
peraturan ini terbuka peluang untuk Kota Padang memasukkan Kurikulum
kebencanaan sebagai muatan lokal. Dengan dimasukkan kurikulum kebencanaan

396 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sebagai muatan lokal maka harapannya adalah materi yang diberikan dan waktu
penyajian akan lebih banyak, sehingga diharapkan siswa akan lebih faham dan
mengerti tentang kebencanaan. Kondisi ini memungkinkan, mengingat Kota Padang
merupakan kota yang rawan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi,
sehingga sejak awal perlu diperkenalkan kepada anak-anak sekolah tentang kondisi
ini. Anak-anak adalah termasuk kelompok yang rentan terhadap resiko bencana
disamping orang tua dan kaum difabel. Maka penintegrasian materi kebencaan ke
dalam muatan lokal menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok dan fungsi yang
tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 55 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas
Pokok Dan Fungsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa salah satu tugas Dinas Sosial dan tenaga kerja dalam mitigasi
bencana adalah melakukan kegiatan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat
yang rentan terhadap bencana, misalnya ibu-ibu, masyarakat miskin kota, kaum
difabel. Pemberian sosialisasi ini melibatkan unsur dari Tagana (taruna siaga
bencana) yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.
Sosialisasi dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kepada kaum difabel,
antara lain Tuna Rungu dan Tuna Netra. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Berikut ini:
“Dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana, peran Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat antara lain
kepada kelompok rentan yaitu ibu-ibu, anak-anak, kaum difabel dan
masyarakat miskin kota”.

Secara umum peran serta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam
penanggulangan bencana pada dasarnya adalah pada tahap bencana dan pasca
bencana. Pada saat bencana/tanggap darurat bagaimana Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja menyediakan dapur umum (logistik bencana), tempat pengungsian sementara,
menyediakan Tim SAR, dan pada saat pasca bencana bagaimana Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja melakukan pemulihan terhadap korban bencana. Trauma healing
setelah pasca gempa perlu dilakukan, guna memulihkan mental para korban yang
terkena bencana.
Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan mempunyai tugas pokok dan fungsi
yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 59 Tahun 2012 tentang Penjabaran
Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan. Dalam peraturan
tersebut salah satu fungsi daripada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan dalam
kebijakan penanggulangan bencana adalah melakukan perencanaan terhadap jalur-

397 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
jalur evakuasi gempa, perencanaan terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan
mengeluarkan izin mendirikan bangunan. Terkait dengan perencanaan jalur evakuasi
gempa, Dinas Tata Ruang dan Bangunan merencanakan 12 jalur yang terbentang
dari barat ke timur Kota Padang. Dalam pelaksanaan program pembuatan jalur
evakuasi ini, tanggung jawab nya ada pada Dinas Pekerjaan Umum dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK).
Sedangkan untuk revisi atas RTRW dilakukan oleh Dinas TRTB bekerjasama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dalam rangka mensikapi perubahan
yang terjadi terhadap peruntukan ruang terutama setelah gempa Padang tahun 2009,
maka ada perubahan terhadap RTRW yang ramah terhadap bencana. Sedangkan
untuk izin mendirikan bangunan, Dinas TRTB mengeluarkan rekomendasi terhadap
pembangunan gedung, sementara itu juga menginisasi lahirnya Peraturan Daerah
Kota Padang No. 7 Tahun 2015 tentang bangunan gedung. Ada pengaturan terhadap
pembangunan gedung terutama gedung untuk layanan publik milik pemerintah.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) mempunyai tugas
pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 44 Tahun 2012
tentang Penjabaran Tugas Pokok Dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi daripada adalah melakukan
perencanaan terhadap pembangunan daerah, perencanaan penganggaran bidang
kebencanaan. Dalam kaitannya dengan kebijakan mitigasi bencana, bappeda
dengan SKPD terkait melakukan revisi terhadap RTRW Kota Padang. Yang
disesuaikan dengan salah satu program prioritas Kota Padang Tahun 2014-2019
yaitu Penataan lingkungan perkotaan yang hijau, berkelanjutan dan berbasis mitigasi
bencana.
Badan Pengeloaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) mempunyai tugas
pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 63 Tahun 2012
tentang Penjabaran Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset
Derah. Dalam peraturan tersebut diatur salah satu fungsi daripada BPKAD adalah
menyiapkan anggaran untuk semua kegaitan yang ada di Kota Padang, termasuk
kegiatan kebencanaan. Dalam anggaran tahun 2016 dianggarkan untuk
kebencanaan sebesar 2 Milyar Rupiah.
Dinas Kesehatan (Dinkes) mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang
dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok
Dan Fungsi Dinas Kesehatan. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi dari pada
Dinkes adalah melakukan pelatihan-pelatihan kepada tim medis dalam rangka

398 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mitigasi bencana. Pelatihan diberikan kepada tim medis untuk mempersiapkan
mereka dalam menghadapi bencana yang akan terjadi. Persiapan ini diperlukan,
karena jika bencana datang maka tim medis sudah siap sedia.
Dukungan pemerintah terhadap kebencanaan terlihat dari keseriusan
mempersiapkan lembaga yang mempunyai kepentingan dalam penanggulangan
bencana. Kementerian Sosial melalui Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial
telah membentuk Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Pembentukan Tagana
merupakan respon pemerintah terhadap perlunya komponen kesiapsiagaan bencana
yang berasal dari masyarakat. Tagana sendiri dibentuk tanggal 23 Maret 2004.
Tagana sebenarnya itu dilahirkan oleh pemikir yang peduli terhadap bencana, tagana
posisinya sebagai relawan yang memiliki kemampuan yang serba bisa, tujuan
pemerintah membentuk kepedulian masyarakat terhadap penanganan persoalan
bencana dan bagaimana tagana bisa berperan aktif dalam masyarakat. Berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh Tagana Kota Padang adalah melakukan pelatihan
kepada anggota Tagana tentang bagaiman mempersiapkan dapur umum,
penyediaan logistik bencana, simulasi gempa, dan sosialisasi bencana gempa
kepada kaum difabel dan lansia.
Sementara itu, sebagai tindak lanjut UU No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana maka di Kota Padang Tahun 2011 telah dibentuk
Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebanyak 2080 orang di 104 Kelurahan.
Pembentukan KSB ini diinisiasi oleh BPBDPK, bersama dengan Jemari Sakato,
Mercy Corps dan Kogami. Sejak tahun 2011 s/d sekarang, secara bertahap anggota
KSB diberikan pendidikan dan pelatihan oleh Pemerintah melalui BPBD-PK Kota
Padang. KSB ini merupakan ujung tombak dan kepanjangan tangan dari BPBDPK
dalam mitigasi penanggulangan bencana. Dari tujuan pembentukan KSB adalah
sebagai tim advance dalam mitigasi bencana. KSB yang melakukan sosialisasi dan
peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal kebencanaan, KSB yang berdiri paling
depan dalam mitigasi penanggulangan bencana, KSB yang secara langsung
bersentuhan dengan masyarakat dan KSB pulalah yang membuat peta evakuasi
gempa. Dengan demikian, keberadaan KSB akan dapat membantu BPBDPK dalam
mentrsnformasikan kegiatan-kegiatan mitigasi bencana yang telah dirancang oleh
BPBDPK.
Sedangkan legislatif (Komisi IV DPRD Kota Padang) dalam kebijakan
penanggulangan bencaan memiliki peran yang penting. Komisi IV merupakan bidang
yang membawahi kegiatan kebencanaan. Melalui program-program yang dibuat

399 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Komisi IV juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebencanaan.
Sosialisasi dilakukan biasanya pada masa reses yaitu disaat kunjungan anggota
DPRD kepada konstituennya. DPRD dalam hal ini Komisi IV mempunyai peran yang
cukup strategis dalam persoalan kebencanaan. BPBDPK sebagai mitra Komisi IV
DPRD Kota Padang, selalu melakukan koordinasi dan berkomunikasi tentanga apa
yang akan dilakukan dalam program mitigasi bencana.yang membuat program
adalah BPBDPK sedangkan DPRD mengawasi dan melakukan perencanaan
anggaran. Disamping itu, DPRD yang merupakan perwakilan masyarakat juga
mendengarkan aspirasi masyarakat tentang program mitigasi bencana, makanya
DPRD mendorong BPBDPK untuk menyiapkan segala macam program dalam
mitigasi bencana, dorongan tidak hanya kepada BPBDPK tetapi juga kepada SKPD
terkait mislanya Dinas PU, Dinas TRTB. Sesuai dengan hasil wawancara dengan
sekretaris Komisi IV DPRD Kota Padang sebagai berikut ini:
“Kita telah memperjuangkan apa yang diminta oleh BPBDPK dalam hal
anggaran kebencanaan, selain itu kita juga mendukung kegiatan sosialisasi
ke sekolah dan masyarakat. Sehingga ke depannya jika terjadi bencana
gempa bumi masyarakat sudah mengetahui apa yang harus dilakukan.
Dorongan juga kita lakukan kepada SKPD terkait untuk bisa dengan segera
menyelesaikan jalur evakuasi, memasang petunjuk arah, membangun
shelter”.

Sedangkan dari unsur LSM atau NGOs yang terlibat dalam kegiatan
penanggulangan bencana di Kota Padang adalah antara lain Jemari Sakato, Kogami,
dan Mercy Corps. Jemari sakato merupakan LSM yang memberikan perhatian yang
serius terhadap program pengurangan resiko bencana di Kota Padang. Beberapa
kegiatan yang dilakukan oleh Jemari Sakato pasca gempa Padang tahun 2009 adalah
vulnerability and capacity assessment (VCA) bekerjasama dengan Mercy Corps atas
dukungan UKAid, Program READY bekerjasama dengan KSB, Mercy Corps atas
dukungan dana dari Usaid dan Prepare Sumbar. Umumnya kegiatan itu didukung
oleh Amerika dan Inggris, dengan perpanjangan tangan dari Mercy Corps.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh Jemari Sakato adalah membantu BPBD
Kota Padang dalam membentuk KSB di setiap kelurahan yang ada di Kota Padang.
Pembentukan KSB dan memberikan edukasi kepada mereka, sehingga KSB menjadi
kelompok yang kuat, kelompok ini yang akan mentransfer ke masyarakat
pengetahuan mereka terhadap kebencanaan, bagaimana kelompok ini memberikan
pengetahuan kepada masyarakat jika bencana terjadi. Dengan demikian Jemari
Sakato lebih banyak melakukan mitigasi non struktural, dengan melakukan edukasi

400 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dan advokasi terhadap masyarakat yang rentan bencana gempa dan tsunami,
mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat bagaimana siap menghadapi bencana.
Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat dengan mempertemukan ketiga
pilar yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta serta DPRD. Sehingga kegiatan
mitigasi ini juga bisa diketahui oleh pemerintah, nagari, kecamatan. Kebutuhan-
kebutuhan mitigasi tidak hanya masyarakat saja yang tahu. Tapi juga diberitahukan
kepada pemerintah, Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat untuk mitigasi dengan
pemerintah dan swasta. Edukasi dan advokasi dilakukan dengan cara memberikan
pemahaman kepada masyarakat berupa pelatihan, mengkaji kerentanan dan
kapasitas, bersama dengan masyarakat membuat dokumen tentang daerah mereka.
Dari dokumen tersebut dilakukan lokakarya, dengan mereka mengetahui seperti
inilah kondisi wilayah mereka. Setelah dokumen fix dan diperbaiki serta dijadikan
dokumen itu sebagai pembelajaran dari meraka. Selain itu juga melakukan Program
pendampingan kepada kelurahan, Kelurahan yang dampingi banyak program yang
hasilkan dari penjaringan yang dilakukan itu diakomodir oleh pemerintah.
Pendampingan dilakukan oleh jemari dengan mengingintegrasikan program ke dalam
program pemerintah. Pendampingan dilakukan dalam merencanakan kegiatan apa
yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam
kebencanaan, bagaimana mengahadapi bencana, karakteristik bencana,
memberikan pemahaman dan pelatihan teknis bagaiman jika bencana terjadi,
evakuasi, tidak saja hanya edukasi tetapi juga hal teknis. Kegiatan yang lakukan
adalah workshop dan hearing dengan pemerintah, dan itu dimasukkan ke dalam
program pemerintah.
Pada tingkat pemerintah daerah, Jemari Sakato melakukan edukasi terhadap
BPBDPK. Edukasi dilakukan dengan asumsi BPBD ini baru jadi staf-staf yang
ditempatkan masih awam terhadap konsep kebencanaan, Jemari Sakato mentransfer
pengetahuan terhadap upaya-upaya mitigasi bencana. memberikan penguatan-
penguatan dalam bentuk seminar dan workshop yang diikuti oleh BPBD dan SKPD
terkait.
Sementara itu, Kogami lahir pasca tsunami Aceh, secara defacto lahir di bulan
April 2005, Kogami lahir dari keprihatinan dari beberapa orang relawan dan akademisi
yang peduli tentang bencana gempa bumi dan tusnami. Kagami lahirnya tepat pada
21 September 2005, lahir di sumbar. Kogami merupakan salah satu lembaga
swadaya masyarakat yang juga ikut menginisiasi lahirnya KSB bersama dengan
BPBD. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Kogami dalam rangka mitigasi

401 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penanggulangan bencana di Kota Padang adalah melakukan sosialisasi dan edukasi
kepada masyarakat mengenai bencana gempa bumi dan tsunami. Relawan-relawan
Kogami turun kemasyarakat dan sekolah untuk turut serta menyebarkan informasi
dan mengedukasi masyarakat dan sekolah tentang upaya-upaya yang perlu
dilakukan dalam rangka mengurangi resiko bencana gempa bumi dan tsunami.
Dalam melakukan kegiatan tersebut tidak jarang Kogami mendapat pertentangan dari
masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Kogami berikut ini:
“Di dalam melakukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, ada beberapa
dari relawan Kogami mendapatkan perlakuan yang tidak sopan dari
masyarakat, himbaun kami ditolak, malah ada dari kami yang diusir,
masyarakat berpendapat, mereka trauma dengan kejadian gempa yang
melanda Kota Padang, jadi tidak usah gempa dan tsunami itu di sebut-sebut
nanti benar-benar datang, masyarakat menjadi phobia terhadap hal itu,
sehingga timbul penolakan”.

Namun, walaupun mendapatkan pertentangan dari masyarakat, Kogami tetap


saja melakukan kegiatannya. Kegiatan lain yang dilakukan Kogami adalah melakukan
pendampingan/advokasi kurikulum kebencanaan ke bebepa sekolah baik tingkat SD,
SLTP ataupun SLTA, selain itu juga melakukan pelatihan kepada kaum difabel, serta
melakukan pelatihan peningkatan kapasitas personel dan lembaga BPBDPK serta
SKPD terkait.
Lembaga lain yang juga terlibat dalam kegiatan mitigasi penanggulangan
bencana di Kota Padang adalah Mercy Corps yang merupakan LSM Internasional
yang bermarkas di Amerika. Mercy Corps juga ikut serta menginisiasi lahirnya KSB
di Kota Padang, bersama dengan BPBD pada saat itu. Peran dari pada Mercy Coprs
dalam mitigasi bencana di Kota Padang adalah memberikan pelatihan-pelatihan dan
bantuan teknis kepada masyarakat melalui KSB yang sudah dibentuk. Diberikan
peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan kepada anggota KSB dan Anggota
BPBD itu sendiri, Mercy Corps melakukan kerjasama dengan Jemari Sakato,
membantu membuat SOP di kelurahan. Selain itu juga melakukan Pelatihan dasar
bagaimana penanggulangan bencana, pelatihan bagaimana mempergunakan alat
komunikasi, simulasi-simulasi, Mercy Corps membantu masyarakat dan
mengarahkan untuk mempersiapkan mitigasi bencana di daerahnya.
Sementara itu pihak swasta yang terlibat cukup aktif dalam upaya
penanggulangan bencana di Kota Padang selama ini adalah PT. Semen Padang. PT.
Semen Padang sebagai salah satu BUMN yang berlokasi di Kota Padang,
mempunyai peran yang penting dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana di
Kota Padang. Bersama-sama dengan pemerintah dan LSM (Jemari Sakato, Kogami

402 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dan Mercy Corps) melakukan kegiatan mitigasi bencana berupa sosialisasi bencana
ke masyarakat dan sekolah-sekolah yang berada di Ring satunya Semen Padang.
Sosialisasi juga dilakukan bekerjasama dengan radio Classy FM, yang merupakan
satu-satunya radio yang medeklarasikan dirinya sebagai Radio Siaga Bencana.
Bersama Classy FM melakukan berbagai acara Talkshow tentang kebencanaan.
Selain itu Semen Padang melalui pendanaan dari dana CSR nya melakukan berbagai
simulasi gempa di sekolah-sekolah yang berada di sekitar kawasan PT. Semen
Padang. Selain melakukan kegiatan sosialisasi dan simulasi, PT. Semen Padang
juga melakukan pelatihan, salah satu pelatihan yang diadakan adalah pelatihan radio
komunikasi, kegiatan pelatihan ini merupakan kerjasama antara PT. Semen Padang,
Mercy Corp dan Usaid. PT. Semen Padang juga mempunyai Tim Reaksi Cepat
(TRC), yang mana tim ini aktif mengikuti pelatihan dan melakukan simulasi serta
sosialiasi ke masyarakat, tim ini juga memiliki kemampuan dalam reaksi cepat jika
bencana datang.
Dengan demikian stake holders yang terlibat dalam mitigasi bencana
mempunyai peran masing-masing sehingga bisa saling mendukung satu dengan
yang lainnya. Disinilah seharusnya BPBDPK memainkan fungsinya sebagai
koordinator, bagaimana BPBDPK bisa mengajak dan berkoordinasi dengan SKPD
terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mitigasi bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut diharapkan terkoneksi sehingga
memberikan efek dan stimulasi yang besar terhadap kegiatan mitigasi bencana
secara keseluruhan. Yang terjadi di Kota Padang saat ini adalah BPBDPK sebagai
koordinator dalam penyelenggaraan penanggulangan bencan belum mampu
melaksanakan fungsinya dengan baik, yang terlihat sekarang ini adalah fungsi
pelaksana yang lebih dominan dijalankan oleh BPBDPK. Padahal dengan potensi
yang besar dan kewenangan yang ada BPBDPK tinggal menggerakkan SKPD terkait
untuk melaksanakan kegiatannya, sehingga siknronisai kegiatan antara satu SKPD
dengan SKPD yang lain bisa terjadi. Peran serta beberapa SKPD terkait dalam
kegiatan mitigasi bencana yang bisa dikoordinir oleh BPBDPK misalnya dapat dilihat
sebagai berikut ini menggerakkan Dinas PU untuk bisa membangun dan
menyelesaikan pembangunan Jalur evakuasi Gempa dan Tsunami, sementara Dinas
Sosial membantu penyediaan logistik bagi pengungsi bencana, Dinas Pendidikan
melakukan sosialisasi dan penerapan kurikulum kebencanaan di sekolah, Dinas
TRTB membuat aturan tentang bangunan gedung serta pembangunan di zona
merah, Bappeda melakukan perencanaan penganggaran dan peninjauan terhadap

403 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
RTRW yang aman terhadap gempa, Dinas Kesehatan melakukan pelatihan tenaga
medis.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Dalam upaya pengurangan resiko bencana, sinergisitas antar pemerintah
Kota Padang dengan stakeholders kebencanaan terlihat mampu memberikan solusi
terhadap program/kegiatan kebencanaan di Kota Padang. Namun demikian, masih
terlihat daripada fungsi BPBDPK yang belum maksimal dalam menjelanakn tugasnya,
sehingga kecenderungan program kebencanaan yang dijalankan lebih bersifat
parsial. Namun sebenarnya program yang ada bisa dikoordinasikan dengan baik oleh
berbagai pihak dengan BPBDPK sebagai koordinatornya. Akan tetapi, walaupun
demikian, apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang sejauh ini telah
memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan, dimana telah adanya beberapa
program yang berjalan dalam rangka mitigasi penanggulangan bencana. misalnya
pembuatan Protap Penanggulangan bencana, simulasi evakuasi bencana, pelatihan-
pelatihan kebencanaan di tingkat masyarakat maupun sekolah, perubahan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Padang. Kegiatan itu semua mendapatkan dukungan dari
semua stakeholdrs yang bergerak di bidang kebencanaan.
Berdasarkan keseimpulan tersebut maka penulis merekomendasikan kepada
pemerintah Kota Padang terutama dalam hal ini BPBDPK Kota Padang agar
hendaknya mempunyai kemampuan dalam menjalankan fungsi koordinasi dalam
bidang kebencanaan, sehingga stakeholders yang terlibat dalam kebenanaan bisa
saling bersinergi satu dengan yang lainnya. Selain itu hendaknya juga Pemerintah
Kota Padang memperhatiakan keberadaan Kelompo Siaga Bencana yang sudah
dibentuk disetiap kelurahan, agar mereka benar-benar dapat diberdayakan dalam
rangka penguranagn resiko bencana, KSB merupakan ujung tombak dari
pengurangan resiko bencana, karena merekalah yang langsung berhubungan
dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ayu Mukhtaromi, Mochammad Saleh Soeaidy, Ainul Hayat, (2013), Sinergi
Pemerintah Daerah Dan Lembaga Adat Dalam Melaksanakan Pelestarian
Kebudayaan, (Studi pada Budaya Suku Tengger Bromo Sabrang Kulon Desa
Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan), Jurnal Administrasi Publik
(JAP), Vol 1, No.2, hal. 155-163

404 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Bevaola Kusumasari, (2014), Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah
Lokal, Yogyakarta: Gava Media
Charter, W. N. (2008). Disaster Management : A Disaster Manager’s Handbook.
Mandaluyong City, Manila: Asian Development Bank.
Denzim, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Handbook of Qualitative Research (3 ed.). (N.
K. Denzim, & Y. S. Lincoln, Eds.) Thousand Oaks, California: Sage
Publications.
Doctoroff, Michael. (1977) Synergistic Management. New York, AMACOM Press.
Hughes, O. E, (1994), Public Management and Administration: an Introduction. New
York: Martin’s Press
Iversen, M. (1997) Concept of Synergy–toward a clarification. Departement of
Industrial Economics and strategy, Copenhagen Business School.
Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny. (2014). Qualitative Data
Analysis: A Methods Sourcebook (3 ed.). (M. B. Miles, A. M. Huberman, & J.
Saldaña, Eds.) Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Neuman, Lawrence W. (1997), Social Research Methods: Qualitative and quantitative
approaches. London: Allyn and Bacon
Roz. D. Lasker, Ellisa E. Weiss., and Rebecca Miller. (2001), “Partnership Synergy :
A Practical Framework for Studying and Strengthening the Collaborative
Advantage”. New York Academy of Medicine.Published by Blacwell
Publishers. USA.
Shaluf, I. M. (2007), Disaster Type. Disaster Prevention and Management, 16 (5),
704-717.
Stephen R. Covey (1997), Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, (Terj.)
Budijanto, dengan judul asli The 7 Habits of Highly Effective People, (Jakarta : Bina
Rupa Aksara, 1997), h.21

405 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
URGENSI RESTRUKTURISASI PEMERINTAHAN DI PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA
Sigit Rochadi175 dan Baretha Rizka Tantiya176

Abstrak
Pertumbuhan penduduk, tuntutan akan layanan publik yang cepat, tepat, berkualitas
dan murah berkat perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor-faktor
penting perlunya restrukturisasi pemerintahan khususnya kelurahan di DKI Jakarta.
Di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jakarta mengalami
kemajuan pesat dalam tata kelola dan layanan publik. Inovasi penting dalam layanan
publik yaitu pembentukan dan optimalisasi Pusat Layanan Terpadu Satu Pintu
(PLTSP) yang ada di setiap kelurahan. Keberadaan lembaga ini mengurangi secara
drastis tugas dan fungsi kecamatan dalam layanan publik. Sementara, terjadi
ketimpangan sangat tajam dalam layanan publik di kelurahan-kelurahan di mana
terdapat kelurahan yang hanya memiliki 1 (satu) Rukun Warga dan 2 (dua) Rukun
Tetangga (RT) di lain pihak ada kelurahan yang memiliki 36 (tiga puluh enam) RW
dan 154 RT. Terdapat pula kelurahan yang daerahnya lebih banyak dipenuhi gedung,
perkantoran, mall, kedutaan asing yang jenis layanannya berbeda dengan kelurahan
pada umumnya. Jelas berlangsung ketimpangan dalam beban kerja lurah.
Restrukturisasi atau penataan ulang kelurahan-kelurahan di Jakarta merupakan
kebutuhan mendesak guna optimalisasi layanan publik dan pemerataan beban kerja
aparatur pemerintahan.
Kata kunci: restrukturisasi, pembentukan/penggabungan kelurahan, layanan publik,
pemerataan, ketimpangan layanan publik.

PENDAHULUAN
Sejak Osborne dan Gaebler (Osborne & Gaebler, Reinventing Government-
How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, 1992); (Osborne &
Gaebler, 1995) mengenalkan konsep reinventing goverment (menemukan kembali
pemerintah), kota-kota besar di dunia meresponnya dengan melakukan
restrukturisasi. Kerjasama pemerintah-swasta menjadi pilihan dari model restrukrisasi
karena pemerintah menghadapi krisis keuangan. Sementara, swasta belum
sepenuhnya tertarik mengerjakan proyek-proyek publik karena marginnya kecil.
Model kemitraan kemudian meluas ke negara-negara Dunia Ketiga di mana
pemerintah juga menghadapi krisis finansial. Namun bagi Negara Dunia Ketiga, yang
pondasi ekonominya lemah seperti Indonesia, diperlukan lebih dari partnership.
Deregulasi dan berlanjut ke privatisasi merupakan langkah yang dianjurkan oleh para
penganut ekonomi liberalisme dan neoliberalisme. Peranan pemerintah dalam bidang

175 FISIP Universitas Nasional Jakarta / sigitrochadi@yahoo.com;


176 FISIP Universitas Nasional Jakarta / baretharizka@gmail.com

406 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ekonomi dianggap terlalu memberatkan keuangan negara dan harus dipangkas demi
efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Reformasi sektor publik menjadi agenda negara-
negara Dunia Ketiga. Bukan hanya memperbaharui pemerintahan dengan
menjalankannya seperti organisasi bisnis, tetapi secara terus menerus melakukan
inovasi (Osborne & Plastrik, 2000). Dengan inovasi, organisasi-organisasi publik akan
mampu memperbaiki efektivitasnya secara terus-menerus.
Deregulasi dan privatisasi di Indonesia tidak berjalan sesuai rencana.
Penyebabnya adalah deregulasi dimulai dari sektor keuangan dan bukan sektor riil
(Rachbini, 2001) deregulasi yang dijalankan setengah hati karena menghindari sektor
bisnis yang dikuasi keluarga Presiden (Hadiz, 2005) dan deregulasi yang dilakukan
tidak disertai pembangunan kelembagaan. Jika di negara maju privatisasi bertujuan
mengembangkan industri dalam negeri, di Indonesia kebijakan itu dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi utamanya membebaskan perusahaan negara dari pencari
rente. Baik deregulasi maupun privatisasi sebagai usaha restrukturisasi tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Pemerintah bahkan pernah memangkas
tangannya sendiri dengan mendorong sejumlah besar pegawai negeri sipil
mengambil pensiun dini dan membebastugaskan direktorat jenderal bea dan cukai
melakukan tugas utamanya dan digantikan dengan perusahaan swasta dari Perancis
(SGS). Kendala utama restrukturisasi terletak pada kuatnya jalinan patronase dalam
birokrasi, sehingga mengabaikan profesionalisme. Jika mungkin dilakukan proliferasi
untuk menampung saudara-saudaranya dan atau pihak-pihak yang berjasa dalam
membantu kariernya. Hingga struktur organisasi terlalu gemuk, tidak efisien dan tidak
efektif yang hanya memboroskan keuangan negara.
Gagasan restrukturisasi di Indonesia didorong oleh krisis keuangan negara.
Tidak hanya dalam tubuh birokrasi sipil, dalam Tentara Nasional Indonesia pun
dilakukan reorganisasi dengan mengurangi dan menetapkan syarat-syarat ketat
untuk mencapai pangkat jenderal, menghilangkan struktur komando wilayah
pertahanan dan menciutkan komando daerah militer. Penggabungan kementrian
negara, pembubaran kementrian dan penggabungan direktorat jenderal. Pasca
reformasi politik 1998, restrukturisasi bersamaan dengan demokrasi yang mencita-
citakan pemerintahan sedekat mungkin dengan rakyat, sehingga berlangsung
pemekaran daerah, kecamatan dan kelurahan. Reformasi politik yang diikuti dengan
pemilihan gubernur secara langsung melahirkan iklim baru dalam banyak aspek,
khususnya iklim politik, bisnis dan kinerja layanan publik. Di bidang politik
berlangsung kontestasi antar partai dan antar kandidat gubernur secara tajam.

407 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Layaknya kontestasi, semua sumberdaya dikerahkan untuk memenangkan
pemilihan. Yang menarik, desain kelembagaan/organisasi pemerintahan tidak pernah
disinggung dalam kampanye calon gubernur. Pada hal bangun struktur organisasi
sangat menentukan efektivitas dan efisiensi layanan publik. Struktur organisasi
pemerintahan sangat menentukan kecepatan layanan, biaya dan kemudahan publik
dalam berhubungan dengan birokrasi. Perubahan struktur organisasi pemerintahan
dalam bentuk desentralisasi memang menjadi tema besar pasca reformasi politik
tahun 1998/1999, tetapi downzising, delayaring, inovasi, kompetensi dan cost-
reduction strategy belum banyak dilakukan oleh para kepala daerah. Ujungnya, high
cost economy yang semula menggurita di Pusat perlahan bergeser ke Daerah.
Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan, bisnis dan jasa apalagi lebih dari 50%
uang nasional beredar di Jakarta, tentu menjadi medan yang lebih keras dibanding
daerah lain. Tidak mengherankan pula jika Jakarta menjadi tujuan utama migrasi,
angkatan kerja terdidik menyerbu Jakarta yang di kemudian hari menuntut upah terus
naik (Rochadi, 2014). Sementara itu, gencar tuntutan layanan publik yang berkualitas,
mengingat warga Jakarta adalah pembayar pajak terbesar.
Atas dasar latar belakang tersebut, makalah ini memaparkan pentingnya
restrukturisasi pemerintahan di DKI Jakarta. Selain pertimbangan pertumbuhan kota
dengan segala kompleksitasnya dan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi
seperti telah dikemukakan, pertimbangan daya dukung fisik dan norma hukum juga
sangat penting. Tuntutan layanan publik yang semakin cepat, mudah dan murah
seiring dengan pemberlakukan layanan berbasis teknologi, terus meningkat dari
tahun ke tahun. Memangkas rantai birokrasi merupakan langkah positif seperti yang
disarankan oleh Osborne dan Plastrik (Osborne & Plastrik, 2000) tetapi bukan satu-
satunya pilihan. Restrukturisasi pemerintahan dalam bentuk penggabungan dan
penghapusan kelurahan, merupakan alternatif yang lebih menarik memperhatikan
jumlah penduduk dan jumlah layanan publik yang dilakukan oleh setiap kelurahan.

TINJAUAN TEORI DAN KONSEPTUAL


Studi tentang organisasi dipelopori oleh Max Weber, seorang ahli ilmu sosial
Jerman yang terkenal dengan karyanya The Theory of Social and Economics
Organization (1947). Pandangannya banyak dicurahkan pada pembagian kekuasaan
di berbagai posisi dalam organisasi formal (birokrasi). Tesis terkenal Weber selain
tipe ideal birokrasi adalah perkembangan struktur organisasi sejalan dengan
kemajuan masyarakat. Tidak ada masyarakat yang terbebas dari organisasi.

408 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sementara itu, (Etzioni, 1982) memberikan catatan bahwa studi birokrasi tidak dapat
disamakan dengan organisasi karena terminologi birokrasi merupakan ciptaan Weber
yang ciri-cirinya telah ditentukannya sendiri. Studi organisasi lebih luas dibanding
birokrasi, karena birokrasi weberian hanyalah salah satu organisasi formal yang
menekankan pada spesialisasi, hirarki otoritas, aturan detil dan hubungan
impersonal. Tetapi jelas bahwa tidak ada pemerintah yang berhasil tanpa birokrasi,
yang penting di sini adalah struktur dan kemampuannya melakukan restrukturisasi.
Konsep restrukturisasi dalam studi organisasi sering disamakan dengan
redesain organisasi. Robbins (Robbins, 1994) menyamakan restrukturisasi sebagai
redesain atau konstruksi ulang dan mengubah sebuah organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi. Restrukturisasi ini dilakukan guna memperbaiki efektivitas dan
efisiensi. Dua kata kunci ini tetap perlu dikedepankan selain pemerataan dan
keadilan. Bahwa organisasi publik belum lama memperhatikan keadilan telah
ditunjukkan oleh Frederickson (Frederickson, 1987). Administrasi negara baru yang
dikedepankannya berusaha menyusun kebijakan-kebijakan dan desain organisasi
yang mendorong keadilan. Struktur birokrasi yang cenderung mengutamakan
stabilitas, kaku, tidak menjangkau si miskin dan wilayah-wilayah terbelakang harus
diubah. Dengan demikian, efektivitas organisasi bukan hanya dilihat dari efisiensi dan
pencapaian tujuan, tetapi juga harus memasukkan pencapaian keadilan. Dalam
administrasi publik misi itu semakain penting mengingat tugas utama pemerintah
adalah mewujudkan keadilan, menyelenggarakan layanan publik yang adil, optimal
dan memusaskan warga negara bukan pelanggan.
Menurut Mintzberg (Mintzberg, 1979) birokrasi pemerintah merupakan
organisasi bertipe teknostruktur di mana para birokrat melaksanakan standarisasi
tertentu dalam organisasi. Standarisasi merupakan mekanisme kontrol guna
memastikan aturan-aturan yang dibuat dipatuhi oleh warga. Organisasi tipe ini
mempunyai tugas operasi rutin yang tinggi, aturan yang sangat diformalisasi dan
pembagian dalam departemen-departemen fungsional. Oleh Robbins (Robbins,
1994) organisasi semacam ini disebut birokrasi mesin karena selain ciri-ciri di atas
ditambah pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando dan sebuah
struktur administrasi yang rumit dengan perbedaan tajam antara aktivitas lini dan staf.
Sudah tentu struktur semacam itu mempunyai kekuatan dalam hal pembagian tugas
yang jelas, meminimalkan duplikasi, mudah dijalankan bagi manager madya yang
kurang profesional sekalipun sehingga lebih murah. Struktur komando semacam itu
juga kurang membutuhkan pengambil keputusan yang inovatif. Kelemahannya

409 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
terletak pada terlalu sering terjadinya konflik pada tingkat unit-unit akibat
departementasi yang berlebihan. Dalam situasi semacam ini, tujuan organisasi
dikalahkan oleh tujuan unit kerja. Jika ada masalah yang belum diatur dalam suatu
aturan kerja, tidak ada staf yang berani melakukan modifikasi. Pada akhirnya birokrasi
mesin hanya melayani dirinya sendiri.
Birokrasi mesin sangat sulit melakukan restrukturisasi karena departementasi
dan spesialisasi fungsi yang tajam. Di negara-negara berkembang yang rata-rata
menerapkan birokrasi mesin (Blau, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, 1987) (Blau,
2003) dengan kemampuan managerial yang kurang menyebabkan penyalahgunaan
wewenang yang luas. Restrukturisasi dianggap sebagai ancaman serius karena
dapat mematikan karir para birokrat. Situasi terbaru di beberapa negara masih
menunjukkan gejala tersebut seperti dikemukakan oleh Riccucci dan van Ryzin
(Riccucci & Ryzin, 2017). Situasinya semakin memburuk jika tidak ada keterwakilan
ras, etnik dan jenis kelamin dalam birokrasi publik. Oleh sebab itu, Robbins (Robbins,
1994) mengedepankan tipe birokrasi profesional yang dicirikan adanya standarisasi
dan desentralisasi. Menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin terdidik,
kritis, sebagian besar kelas menengah, membutuhkan aparatur yang memiliki
keahlian yang tinggi dan terspesialisasi. Sekolah-sekolah dan rumah sakit semakin
memerlukan aparatur profesional karena menghadapi warga yang kritis, memahami
aturan dengan baik dan secara ekonomi tidak bergantung kepada pemerintah.
Kebutuhan aparatur dengan spesialisasi yang internalized bukan division of labour
ala durkheim, sangat dirasakan oleh pemerintah kota.
Birokrasi profesional ala Robbins bukan tanpa kelemahan, ancaman konflik
akibat departementasi yang tajam tetap membayangi. Meskipun level operating core
model Mintzberg sudah diisi oleh tenaga profesional, sepanjang departementasi
tajam tidak berhasil dikurangi dan kepemimpinan middle line lemah, apa yang dikenal
sebagai ego sektoral di negeri kita akan terus berlanjut. Oleh karena itu membangun
struktur organisasi seperti dikemukakan oleh Cohen, Eimicke dan Heikkila (Cohen,
Eimicke, & Heikkila, 2011), di mana struktur menjadi fungsi dari tiga faktor: sasaran
dan tujuan, struktur sosial internal dan lingkungan eksternal, perlu dipertimbangkan
oleh pemerintah kota yang masyarakatnya berubah dengan cepat. Restrukturisasi
harus dilakukan jika organisasi menetapkan tujuan-tujuan baru atau terjadi
perubahan pimpinan yang memiliki visi-misi yang berbeda jauh dengan yang
digantikannya. Kebijakan-kebijakan protektif, redistributif dan distributif yang
mengambil sumberdaya publik memerlukan desain organisasi dengan sedikit struktur

410 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
maupun level. Desain organisasi perlu dibuat sederhana, dengan pembagian tugas
dan hubungan kerja yang jelas. Demikian pula struktur sosial internal harus
diperhitungkan dalam pembentukan struktur organisasi. Pertimbangan yang paling
utama adalah bentuk organisasi harus mengikuti fungsi organisasi, terlebih jika
pemerintah menggunakan frase Osborne dan Gaebler (Osborne & Gaebler, 1995)
“mengarahkan dari pada mengayuh”.
Lingkungan eksternal adalah lingkungan ketiga yang memengaruhi desain
organisasi. Lingkungan tersebut lazimnya berupa tekanan partai-partai politik dan
kelompok penekan lainnya. Birokrasi sering bekerja menjalankan misi pemimpin
politik baik sebagai gubernur, walikota atau pun menteri. Dari sini awal mula
restrukturisasi yang lebih banyak mengikuti kepentingan politik dari pada tuntutan
manajerial. Seperti ditemukan oleh Cruz dan Keefer (Crus & Keefer, 2015) bahwa
dalam reformasi pemerintahan para politisi yang paling tidak berminat melakukan
efisiensi kebijakan. Politisi klientelis kebanyakan menolak reformasi termasuk
restrukturisasi yang akan memangkas sumber-sumber pendapatan mereka.
Merupakan rahasia umum jika para politisi membangun hubungan yang saling
menguntungkan dengan cabang-cabang eksekutif utamanya dalam mengelola
sumberdaya. Restrukturisasi yang akan memangkas unit-unit kerja tentu akan
menimbulkan reaksi keras dari legislator. Konflik antara Gubernur DKI Jakarta Ahok
dengan DPRD yang berujung pada gagal disepakatinya APBD tahun 2015,
merupakan bukti atas temuan Cruz dan Keefer tersebut.
Restrukturisasi pemerintah daerah di Indonesia dilaksanakan mengikuti
amanat undang-undang atau peraturan daerah. Dalam UU No. 29 tahun 2007 tentang
Pemerintahan DKI Jakarta, dikemukakan bahwa wewenang membentuk, menghapus
dan menggabungkan kelurahan yang dalam tulisan ini disederhanakan menjadi
restrukturisasi, ada di tangan gubernur dengan keputusan gubernur. Sementara itu
dalam PP No 73 tahun 2005 tentang Kelurahan dikemukakan syarat pembentukan
kelurahan yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja dan sarana
prasarana pemerintahan. Kelurahan yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat
dimaksud dapat dihapus atau digabung (pasal 4). Untuk wilayah Jawa dan Bali
merujuk pada Permendagri No. 31 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan
dan Penggabungan Kelurahan, jumlah penduduk paling sedikit 4.500 jiwa atau 900
Kepala Keluarga (KK). Sedangkan menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 3
tahun 2004 jumlah penduduk paling sedikit 25.000 jiwa atau 5.000 KK dan paling
banyak 40.000 jiwa atau 8.000 KK. Dalam Permendagri 31/2006 dikemukakan syarat

411 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
minimum luas wilayah kelurahan yaitu 3 km persegi, sedangkan Keputusan Gubernur
No 3/2004 menyatakan luas wilayah merupakan luas wilayah yang berimbang
dengan jumlah penduduk. Jelas bahwa Keputusan Gubernur DKI Jakarta di atas tidak
sejalan dengan Permendagri 31/2006.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, tetapi bukan kualitatif murni
seperti dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (Bogdan & Taylor, 1993) di mana
peneliti ingin mempelajari, memahami dan mendeskripsikan sekelompok orang yang
berinteraksi. Juga bukan penelitian lapangan sepenuhnya seperti yang dikemukakan
oleh Neuman (Neuman, 2015), tetapi semi kualitatif atau kuasi kualitatif. Disebut
semu karena pengaruh kuantitatif masih kuat seperti terlihat pada data dan
penggunaan teori (Bungin, 2014). Dengan menggunakan metode penelitian ini,
peneliti bermaksud mendeskripsikan struktur pemerintahan di DKI Jakarta, sejarah
struktur pemerintahan dan menunjukkan proses restrukturisasi yang telah
berlangsung maupun yang perlu dilakukan. Pertimbangan menyatakan perlunya
restrukturisasi diverifikasi dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan
menunjukkan fakta-fakta. Dengan demikian, analisis bukan hanya normatif tetapi juga
empiris.
Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari para informan dengan wawancara maupun melalui Focused Group
Discussion (FGD). Informan dipilih 5 (lima) orang lurah yang memimpin kelurahan
padat penduduk dan kepadatannya rata-rata, tiga orang camat yang memimpin
kecamatan padat penduduk serta kepala biro tata pemerintahan DKI Jakarta.
Wawancara dilakukan masing-masing 2 (dua) kali, pertama wawancara mengenai
kondisi masyarakat, kelurahan dan layanan yang diberikan oleh kelurahan kepada
masyarakat. Kedua wawancara mengenai pandangan informan mengenai
restrukturisasi terutama penghapusan dan penggabungan kelurahan. Wawancara
dilakukan pada bulan Oktober 2015. Selain itu dilakukan FGD yang melibatkan 10
lurah (lima di antaranya telah menjadi informan, lima camat (3 di antaranya telah
menjadi informan) dan para pejabat di lingkungan Biro Tata Pemerintahan DKI
Jakarta. FGD dilakukan 2 kali pada awal November dan Desember 2015. Data
sekunder diperoleh terutama dari Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta dan BPS DKI
Jakarta.

412 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Analisis data dilakukan dengan tipe ideal menurut Max Weber. Tipe ideal
adalah standar dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada dan
dibandingkan dengan data atau realitas sosial (Neuman, 2015). Mengingat peraturan
perundang-undangan bukan rujukan tunggal, maka dilakukan pula analisis ilustratif
yaitu metode analisis data yang menggunakan konsep atau teori sebagai kotak
kosong untuk diisi dengan data yang yang diperoleh di lapangan, selayaknya suatu
analisis konsep yang telah diisi data didialogkan dengan konsep lain.

Restrukturisasi dan Layanan Publik


Sejak awal berdirinya negara ini, para pendiri sudah memikirkan bahwa ibu
kota negara akan berkembang demikian pesat dengan fungsi multidimensi. Sampai
akhir tahun 1960-an, Jakarta masih jauh tertinggal dibanding ibu kota negara lain di
kawasan Asia Tenggara, meskipun pada akhir tahun 1900-an sempat menjadi pusat
perdagangan gula terbesar di Asia (Lindblad, 2000). Hingga jatuhnya Soekarno,
nyaris tidak terjadi perubahan penting dalam struktur pemerintahan. Meskipun telah
ditetapkan sebagai ibu kota negara dengan undang-undang No. 10 tahun 1964,
Jakarta masih merupakan kota kecil yang terdiri dari 3 wilayah, yaitu Jakarta Selatan,
Jakarta Tengah dan Jakarta Utara. Semasa Ali Sadikin (1966-1977) struktur
pemerintahan mulai diubah dengan membentuk 5 (lima) wilayah administrasi, yaitu
Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur.
Penambahan struktur baru ini selain pertimbangan meningkatnya jumlah penduduk,
berkembangnya wilayah pinggiran juga kebutuhan layanan publik yang semakin
meningkat. Jumlah kecamatan dan kelurahan juga mengalami penambahan menjadi
22 kecamatan dan 204 kelurahan. Perubahan penting yang dilakukan Ali Sadikin
adalah menghapus dualisme pemerintahan daerah dengan mengintegrasikan jalur
wilayah dan daerah di tangan Gubernur (Ramadhan, 1995). Model ini yang dikenal
sebagai integrated prefectoral system diilhami oleh cara Napoleon Bonaparte dalam
mengendalikan wilayah (Benyamin, 2009).
Dibanding provinsi lain, Jakarta mengalami pertumbuhan penduduk tertinggi.
Selama kurun waktu 1970-1980, di Jakarta terjadi pertambahan penduduk 4,1% di
mana 2,3% di antaranya merupakan migrasi masuk (BPS Jakarta, 1985).
Pembangunan Jakarta mengalami kemajuan pesat sejak dilaksanakan Program
Pembangunan Lima Tahun Tahap I (Pelita I) yang diawali tahun 1969. Sebagai
ibukota negara, Jakarta memiliki infrastruktur yang jauh lebih baik dibanding daerah
lain. Tidak mengherankan jika semua investor mengincar Jakarta sebagai tujuan

413 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
investasi. Selama Pelita I nilai kumulatif investasi asing yang disetujui sebesar 3,945
milyar dolar AS (Statistical Year Book Indonesia, 1999). Dari jumlah tersebut, 60%
nya memilih Jakarta sebagai tujuan investasi (Sedyawati, Rahardjo, Johan, & Manilet-
Ohorella, 1987). Kondisi yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh data tahun 2010-
2015 di mana pertumbuhan kaum pendatang masih tertinggi di Indonesia, sehingga
penduduk Jakarta pada siang hari telah mencapai 12,8 juta orang (Dinas
Kependudukan DKI Jakarta, 2016).
Perubahan Jakarta secara mencolok berlangsung tahun 1970-an ketika
Gubernur dijabat oleh Ali Sadikin. Berlangsung pembangunan infrastruktur yang
pesat, seperti pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintahan, jaringan listrik,
telepon, taman, pusat-pusat perbelanjaan dan transportasi publik yang murah. Hanya
dalam waktu 20 tahun, Jakarta menempati kota terpadat ketujuh di dunia (1992).
Penyediaan sarana dan prasarana termasuk pembangunan perumahan berpacu
dengan pertumbuhan penduduk. Para pengembang mengincar tanah luas dan
strategis untuk pembangunan perumahan dan perkantoran, sehingga harga tanah
melonjak tajam yang tidak diketahui jelas harga riil menurut nilai jual objek pajak atau
harga versi calo. Pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6,5% per tahun selama
1968-1995 yang berarti dua kali lipat dibanding semasa Orde Lama. Selama satu
tahap pembangunan jangka panjang pertama, Indonesia sudah masuk lima negara
industri baru (the newly industrializing countries) selevel dengan Singapura dan
Korea Selatan. Bahkan Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai salah satu
keajaiban Asia (Asian miracle).
Restrukturisasi pemerintahan era Ali Sadikin ternyata mampu meningkatkan
layanan publik. Kehadiaran pemerintah dirasakan oleh warga utamanya dengan
mengubah sejumlah desa menjadi kelurahan, menyeragamkan struktur
pemerintahan kecamatan dan kelurahan dengan mengoptimalkan fungsi pejabat di
atasnya sebagai komando seperti yang dia laksanakan di kemiliteran dan mulai
berperan aktif-nya tentara dalam birokrasi sipil. Konskekuensi dari pesatnya
pembangunan Jakarta adalah penyediaan kebutuhan pokok, seperti pangan,
sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi publik. Semua
gubernur Jakarta dihadapkan pada masalah-masalah tersebut ditambah
pengendalian banjir. Untuk itu desain organisasi publik menjadi sangat penting
karena fleksibelitas, insentif, devolusi dan pendelegasian merupakan kata kunci bagi
organisasi publik di kota-kota besar dalam upaya optimalisasi layanan publik
(Andrews, Boyne, & Walker, 2006). Desain organisasi yang terlalu gemuk, kaku dan

414 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
rinci antar bagian, bukan hanya menyulitkan proses kerja dan disorientasi tetapi juga
hanya melayani dirinya sendiri. Birokrasi yang melayani dirinya sendiri berakar pada
birokrasi kerajaan Mataram yang kemudian menjadi cikal bakal birokrasi nasional
(Moertono, 1985) (Sutherland, 1986) yang menggurita di era Orde Baru. Birokrasi
Jakarta pun gemuk, kurang efisian, kurang efektif, tidak transparan dan lebih banyak
berorientasi ke atas sebagai bagian dari ciri politik-birokratis. Sebagai akibatnya,
pungutan liar berlangsung di berbagai bagian khususnya yang berhubungan dengan
perijinan, suap merajalela dan proses bisnis tidak efisien yang berdampak pada
tingginya biaya siluman dan high cost economy.
Jakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia dengan 23 ribu
orang/ km persegi dan keempat di dunia (tahun 2015). Luas wilayah DKI Jakarta
661,5 km persegi yang berarti hanya seper lima puluh tiga (1/53) wilayah provinsi
Jawa Barat. Tidak mengherankan jika jumlah layanan publik terus meningkat. Pada
tahun 1995, pemerintah DKI mulai dari level kelurahan, kecamatan hingga
pemerintah provinsi memberikan 113.126 layanan publik khusus untuk surat-surat
kependudukan. Layanan dimaksud mencakup kelahiran, kematian, perkawinan,
perceraian, pengangkatan anak dan pengesahan anak. Pengurusan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang paling banyak dibutuhkan oleh warga
justru tidak tercatat. Angka tersebut tahun 2000 telah mencapai 126.362 layanan. Ini
belum mencakup layanan perijinan yang paling banyak dibutuhkan dan paling
memakan waktu dan energi dalam pengurusannya. Pada tahun 2015 ketika Pusat
Layanan Terpadu Satu Pintu (PLTSP) diterapkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang memberikan layanan perijinan maupun non perijinan, jumlah
layanan untuk 3 (tiga) bulan pertama mencapai 1.123.765 layanan. Ini berarti tiap-
tiap kelurahan memberikan layanan 1.403 tiap bulan atau 71 layanan per hari.
Dibanding tahun-tahun awal reformasi, selain jenis layanan, kemudahan dan
kejelasan layanan turut meningkatkan animo masyarakat untuk mengurus
administrasi kependudukan dan kartu keluarga. Ketika KTP elektronik mulai
diterapkan tahun 2010, diduga 10 persen penduduk wajib KTP tidak memiliki KTP
(pendapat para peserta FGD Tahap I November 2015). Sementara itu, dari 8,9 juta
penduduk Jakarta, hanya 7,8 juta penduduk yang memiliki akte kelahiran. Kurang
optimalnya layanan publik dalam administrasi kependudukan disebabkan oleh bad
governance seperti diakui oleh sejumlah peserta FGD tahap I. Praktek bad
governance tidak sepenuhnya ditolak oleh warga meskipun warga mengakuinya
sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang buruk dan harus dihindari. Penelitian

415 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dwiyanto (Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, 2006) dan (Dwiyanto,
2014) menunjukkan bahwa praktek bad governance diam-diam didukung oleh warga
karena warga merasa segera dapat menyelesaikan urusannya. Alasan ini bukan
terletak pada kualitas layanan, tetapi lebih untuk menghindari urusan yang rumit.
Penyederhanaan layanan membantu meningkatkan animo masyarakat
berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Salah satu strateginya adalah
memperpendek rantai komando, redesain organisasi ataupun delayering dengan
memangkas struktur organisasi di atasnya. Pembentukan PLTSP memangkas secara
drastis tugas-tugas pemerintah kecamatan, sehingga Gubernur Ahok mewacanakan
untuk menghapus kecamatan (www.sindones.com, 28 Mei 2015; www.kompas.com,
27 September 2016). Dengan optimalisasi PLTSP, maka tugas dan fungsi camat
sebagaimana diatur dalam PP No.19 tahun 2008, tinggal pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
Sebaliknya, layanan publik yang berhubungan dengan kependudukan dan perijinan
penyelenggaraan kegiatan, ijin usaha dan ijin lainnya, tidak perlu ke kecamatan.
Inovasi ini meskipun direspon positif oleh masyarakat, dikeluhkan oleh para camat
dan lurah. Camat mengeluh karena banyak pekerjaan yang dipangkas oleh Gubernur
dan pemangkasan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Sumberdaya
manusia berkualitas di kecamatan banyak yang bekerja tidak penuh waktu dan karir
para pegawai tersebut kemungkinan tidak berkembang. Sebaliknya para lurah
mengeluh terlalu banyak pekerjaan, waktu kerja menjadi tidak menentu dan ruang
kerja di kelurahan terlalu penuh. Selain itu, para lurah sering bersinggungan dengan
Camat tentang PLTSP ini mengingat para Camat yang merasa memiliki wewenang
berdasarkan UU No. 29 tahun 2007 dan PP No. 19 tahun 2008 (FGD Tahap II
Desember 2015).

Kebutuhan Mendesak
Restrukturisasi dengan pembentukan dan penggabungan kelurahan di DKI
Jakarta terakhir dilakukan melalui Keputusan Gubernur No. 435 tahun 1996 tentang
penggabungan kelurahan Koja Utara dan Koja Selatan menjadi kelurahan Koja serta
pembentukan kelurahan Rawa Badak Utara dan kelurahan Rawa Badak Selatan di
kecamatan Koja kota Jakarta Utara. Restrukturisasi yang cukup besar berlangsung
tahun 1990 ketika Gubernur dijabat oleh Wiyogo Atmodarminto. Berlangsung
pembentukan 13 kecamatan dan 29 kelurahan. Pertimbangan utama saat itu adalah
luasnya wilayah-wilayah yang dipecah sehingga layanan publik kurang efektif. Selain

416 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
itu daerah-daerah pinggiran perlu dikembangkan untuk menyerap penduduk yang
terus tumbuh agar tidak menggelembung di Pusat. Meskipun kelurahan-kelurahan
baru yang sebagain besar di daerah perbatasan dengan Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi berhasil berkembang, tetapi berkembangnya tidak terarah. Kegagalan
perencanaan yang terjadi di Pusat berlanjut ke pinggiran sehingga kesemrawutan lalu
lintas, banjir dan kebakaran terus terjadi. Sebagai akibatnya pemborosan bahan
bakar, energi dan waktu terbuang di jalan. Para pekerja kehilangan waktu
produktifnya untuk melakukan pekerjaan, pasokan barang terlambat dan harga
barang kebutuhan pokok sering tidak menentu. Situasi semacam itu dihadapi oleh
penduduk Jakarta yang ujung-ujungnya meningkatkan biaya hidup.
Pembangunan infrastruktur terutama jalan dan jembatan tidak disiapkan untuk
mendukung pengembangan kawasan-kawasan baru. Sebagai akibatnya
pertumbuhan pemukiman sering tidak terkendali. Tumbuh pusat-pusat perbelanjaan
yang penetapan lokasinya mengandalkan patronase bisnis dan kekuasaan serta
mengabaikan perencanaan wilayah. Ciri khas pembangunan pusat perbelanjaan dan
perkantoran di Indonesia adalah mengabaikan supply kebutuhan pokok
karyawannya, sehingga di sekitar mall dan perkantoran dipenuhi pedagang kaki lima
yang mengokupasi jalan dan trotoar. Penguasaan parkir di tangan sekelompok geng,
paramiliter atau ormas-ormas berselimut agama dan etnik. Kompleksnya kepentingan
kelompok di sekitar pusat perbelanjaan dan perkantoran ini sering membuat
pemerintah kecamatan dan kelurahan tidak berkutik. Jangankan mengatur dan
menata wilayahnya, meminta data orang-orang yang tinggal di sekitar mall dan
perkantoran saja sering tidak berhasil (FGD Tahap II Desember 2015). .
Memperhatikan jumlah penduduk, jumlah layanan, jumlah Rukun Warga,
Rukun Tetangga dan aturan perundang-undangan, pemerintah DKI Jakarta perlu
melakukan restrukturisasi lebih lanjut untuk memberikan layanan publik yang lebih
optimal. Memperhatikan syarat pembentukan kelurahan seperti telah dikemukakan di
atas dan kondisi yang ada di sejumlah kelurahan di DKI Jakarta, maka sejumlah
kelurahan perlu dibentuk sebagai pemecahan kelurahan yang jumlah penduduknya
padat. Minimum ada 53 kelurahan (20%) yang perlu dipecah. Namun, jika
memperhatikan luas wilayah, maka hanya 32 kelurahan yang layak untuk
dimekarkan. Ditambah dengan besarnya jumlah layanan, maka restrukturisasi
merupakan kebutuhan mendesak.
Kepadatan penduduk menjadi masalah serius di Jakarta karena berimbas
pada pemukiman yang tidak teratur, kawasan tidak layak huni, tingginya ketegangan

417 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
antar warga yang mudah memicu konflik, okupasi ruang publik dan pendudukan
secara liar lahan hijau atau milik pemerintah sehingga mendatangkan kerusakan
lingkungan. Selain itu pemerintah kelurahan terlalu berat dalam memberikan layanan
publik. Kompleksitas atas persoalan itu terjadi di beberapa kelurahan antara lain
Tamansari, Manggarai, Tanah Tinggi, Lagoa, Cipinang Muara, Penjaringan,
Penggilingan, Tegal Alur, Cengkareng Timur, Duri Kepa, Palmerah dan Pejagalan.
Setelah dicoba dengan beberapa program rehabilitasi mulai Jakarta BMW (bersih,
manusiawi dan berwibawa) sampai Jakarta Teguh Beriman hasilnya masih belum
menggebirakan. Problem utamanya adalah tali-temalinya persoalan di atas. Di bawah
kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilakukan relokasi dari pemukiman-
pemukiman ilegal. Model rehabilitasi lingkungan Ahok berbeda dengan program
sebelumnya di mana Ahok menyediakan tempat tinggal dalam bentuk rumah susun
yang disewa. Yang terbesar adalah relokai pemukiman Kalijodo yang merupakan
wilayah maksiat sejak tahun 1960-an dan Kampung Pulo, sebuah kampung yang
dibangun di bantaran sungai Ciliwung. Pembangunan pemukiman di kawasan itu
telah menghadang arus air sehingga menyebabkan daerah sekitarnya mengalami
banjir yang terus menerus.
Dari perspektif ilmu administrasi publik, tujuan utama restrukturisasi adalah
untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, adil dan merata.
Memperhatikan data penduduk dan layanan, terjadi ketimpangan serius. Di satu sisi
ada sejumlah kelurahan dengan jumlah penduduk di bawah 20 ribu orang, jumlah
layanan sekitar 500 untuk satu catur wulan yang berarti 125 layanan per bulan dan
hanya 7 layanan per hari. Kelurahan dengan karakteristik demikian rata-rata
kelurahan yang wilayahnya dipenuhi gedung-gedung perkantoran, mall (pusat
perbelanjaan) dan sejenisnya. Kelurahan Gambir, Gelora, Senayan, Karet Semanggi,
Melawai, Setiabudi, Selong, Roa Malaka dan Guntur adalah beberapa kelurahan
dimaksud. Keberadaan kelurahan-kelurahan seperti itu tidak lagi efektif dalam
menyelenggarakan layanan publik. Sekolah-sekolah di kawasan semacam itu
kekurangan peserta didik. Untuk sekolah swasta, beberapa di antaranya sudah mulai
tidak menerima peserta didik baru. Kawasan semacam ini perlu dipertimbangkan
untuk direstrukturisasi dalam bentuk penggabungan.
Namun demikian, memperhatikan tren pertumbuhan wilayah Jakarta yang
mengarah pada pembangunan apartemen, kondominium dan kondotel, perlu
dipertimbangkan kembali melakukan restrukturisasi kelurahan-kelurahan yang
penduduknya sedikit. Sejumlah kelurahan telah berubah fungsi sebagai tempat

418 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
perkantoran dan bisnis. Aktivitas kantor dan bisnis tetap memerlukan pelayanan
publik seperti surat ijin usaha, ijin domisili perusahaan dan sebagainya.
Restrukturisasi hendaknya
a. Sejumlah kelurahan akan berkembang menjadi pusat bisnis, perkantoran
sekaligus perumbuhan penduduk mengingat ijin mendirikan apartemen,
kondominium dan sejenisnya tengah dalam proses. Wilayah semacam ini
akan segra menyedot penduduk yang memerlukan layanan kelurahan.
b. Sejumlah kelurahan meskipun penduduknya sedikit, telah menjadi ikon
nasional dan internasional, seperti Monumen Nasional, Stasiun Gambir,
Museum, dan sebagainya. Mengelola ikon nasional dan internasional
memerlukan perhatian serius dan karena itu perlu dipertahankan kelurahan-
kelurahan tempat bangunan bersejarah seperti itu.
c. Sejumlah kelurahan tempat bangunan nasional dan internasional, seperti
gedung pemerintah pusat dan kedutaan negara sahabat, akan kesulitan
dalam mengubah identitas kelurahan dengan perubahan kelurahan. Untuk itu,
kelurahan semacam ini perlu dipertahankan.
d. Restrukturisasi dengan pembentukan kelurahan baru hendaknya
memperhatikan sejarah, budaya dan nilai-nilai lokal masyarakat setempat
khususnya batas-batas dan penamaan kelurahan.

KESIMPULAN
Restrukturisasi merupakan kata kunci guna membangun pemerintahan yang
efektif. Pemerintah DKI Jakarta sudah 21 tahun tidak melakukan restrukturisasi dalam
arti pembentukan dan penggabungan kelurahan. Pada hal dilihat dari pertumbuhan
penduduk, volume pekerjaan birokrasi yang ditunjukkan oleh jumlah layanan dan
masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah yang terus meningkat,
restrukturisasi seharusnya telah dilakukan sepuluh tahun yang lalu. Memang sepuluh
tahun terakhir pemerintah DKI Jakarta fokus pada lima hal: penataan ruang-ruang
publik, penataan lingkungan, layanan kebutuhan pokok rakyat yang optimal,
pengendalian banjir dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Fokus kepada hal-hal
tersebut menjadikan pemerintah DKI Jakarta kurang memikirkan restrukturisasi
pemerintahan. Selain itu dalam upaya menciptakan organisasi publik yang efektif,
pemerintah DKI Jakarta menempuh mekanisme lelang jabatan-jabatan publik. Ini
merupakan inovasi baru tahun 2012 ketika Gubernur dijabat Joko Widodo. Lelang
jabatan dilakukan karena pemerintah berpendapat struktur organisasi yang ada

419 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
masih mampu menjalankan peran dengan optimal. Lelang jabatan berhasil
mengubah budaya organisasi, ditambah penggunaan media untuk mempublikasikan
program, anggaran dan kinerja, maka terbangun transparansi dan pembangunan
tata kelola. Sementara itu, bagi penduduk yang tinggal di daerah-daerah kumuh,
pemerintah melakukan penataan dengan membangun rumah deret dan rumah
kumuh ditambah dengan pemberian Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta
Sehat (KJS). Penertiban para pedagang kaki lima disertai pembangunan pasar dan
kios yang diberikan secara gratis selama tiga bulan. Serangkaian kebijakan itu
menjadi daya tarik warga dari luar Jakarta untuk memperoleh pekerjaan di Jakarta,
jika mungkin menjadi warga Jakarta.
Keterbatasan lahan dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat diikuti
dengan kebutuhan layanan pendidikan, kesehatan, perumahan dan kebutuhan akan
ruang publik, menempatkan Jakarta sebagai kota yang penuh sesak. Besarnya APBD
Jakarta yang mencapai 72 trilyun rupiah (2015) juga menjadi daya tarik warga dari
luar Jakarta untuk turut menikmatinya. Pembangunan sarana-prasarana serta
pertumbuhan kawasan bisnis yang membuka kesempatan kerja bagi golongan
menengah ke atas, menjadikan Jakarta sebagai penyedia lapangan kerja yang paling
menarik. Ujungnya adalah pertumbuhan penduduk dan tuntutan akan penyediaan
sarana dan layanan publik yang optimal. Menghadapi hal-hal tersebut, restrukturisasi
pemerintahan di DKI Jakarta khususnya pembentukan dan penggabungan kelurahan
merupakan kebutuhan mendesak. Kebijakan melakukan restrukturisasi harus
memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat dan sejarah lokal, khususnya batas-
batas wilayah dan nama-nama kelurhan yang dibentuk kemudian. Meski demikian,
pemerintah juga harus memikirkan besarnya biaya yang ditanggung oleh warga
seperti biaya perubahan sertifikat tanah, surat-surat kendaraan bermotor dan surat-
surat berharga lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Andrews, R., Boyne, G. A., & Walker, R. M. (2006). Strategy Content and
Organization Performance: An Empirical Analysis. Public Administration
Review, 52-63.
Benyamin, H. (2009). Perubahan Model, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah.
Jakarta: UI Press.
Blau, P. (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: UI Press.

420 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Blau, P. (2003). Teori Weber Tentang Birokrasi. In D. Wrong, Max Weber Sebuah
Khazanah (pp. 219-225). Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Bogdan, R., & Taylor, S. J. (1993). Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya:
Usaha Nasional .
Bungin, B. (2014). Penelitian Kualitatif . Jakarta: Kencana.
Cohen, S., Eimicke, W., & Heikkila, T. (2011). Menjadi Manajer Publik Efektif .
Jakarta: PPM.
Crus, C., & Keefer, P. (2015). Political Parties, Clientelism and Buerucratic Reform.
Comparative Political Studies.
Dwiyanto, A. (2006). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Dwiyanto, A. (2014). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Etzioni, A. (1982). Organisasi-Organisasi Modern. Jakarta: UI-Press.
Frederickson, H. G. (1987). Administrasi Negara Baru . Jakarta: LP3ES.
Hadiz, V. R. (2005). Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto. Jakarta: LP3ES.
K.H, R. (1995). Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta: Sinar Harapan.
Lindblad, T. J. (2000). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Mintzberg, H. (1979). The Structuring of Organization: a Synthesis of the Research.
Michigan: Prentice-Hall.
Moertono, S. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Neuman, W. L. (2015). Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: PT Indeks.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government-How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. New York: Plum.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1995). Mewirausahakan Birokrasi Mentransformasi
Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo.
Osborne, D., & Plastrik, P. (2000). Memangkas Birokrasi Lima Strategi Menuju
Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.
Rachbini, D. (2001). Ekonomi Politik. Jakarta. Retrieved April 22, 2017
Ramadhan. (1995). Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta: Sinar Harapan .

421 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Riccucci, N. M., & Ryzin, G. G. (2017). Representative Bureaucracy: A Lever to
Enhance Social Equity. Coproduction, and Democracy. Public Administration
Review, 21-30.
Robbins, S. P. (1994). Teori Organisasi Struktur, Desain & Aplikasi . Jakarta: Arcan.
Rochadi, S. (2014). Kebijakan Industri(alisasi) dan Kontinyuitas Konflik Industrial
Pasca Krisis Ekonomi 1997/1998. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 91-
103.
Sedyawati, E., Rahardjo, S., Johan, M. I., & Manilet-Ohorella. (1987). Sejarah Kota
Jakarta 1950-1980. Jakarta: Direktorat Sejarah Nitra-Depdikbud.
Sutherland, H. (1986). Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
LAMPIRAN
Tabel. 1. Kelurahan yang Perlu dipecah
No Kelurahan Luas Jumlah Jmlh Rekomendasi
(Ha) Penduduk layanan
catur
wulan I
2015
1 Kapuk 562,68 144.854 6.231 Dipecah
menjadi 4
2 Penjaringan 395,43 116.970 12.109 Dipecah
menjadi 4
3 Penggilingan 448,45 104.225 11.008 Dipecah
menjadi 3
4 Pulogebang 692,00 98.440 8.571 Dipecah
menjadi 3
5 Jatinegara 659,75 77.871 7.757 Dipecah
menjadi 2
6 Tegal Alur 496,69 90.390 7.454 Dipecah
menjadi 3
7 Pejagalan 323,18 85.049 8.075 Dipecah
menjadi 3
8 Cengkareng Timur 451,50 84.811 8.064 Dipecah
menjadi 3
9 Duri Kosambi 591,00 82.112 4.624 Dipecah
menjadi 3
10 Kali Baru 246,70 81.990 10.491 Dipecah
menjadi 3
11 Klender 304,90 78.573 9.874 Dipecah
menjadi 3
12 Sunter Agung 702,26 78.041 7.921 Dipecah
menjadi 3
13 Semper Barat 159,07 77.657 9.132 Dipecah
menjadi 3
14 Pegadungan 866,80 75.849 7.883 Dipecah
menjadi 3

422 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
15 Kalideres 571,05 75.207 9.960 Dipecah
menjadi 3
16 Semanan 598,00 74.632 5.341 Dipecah
menjadi 2
17 Cibubur 450,29 70.983 6.728 Dipecah
menjadi 2
18 Cengkareng Barat 360,59 70.774 6.231 Dipecah
menjadi 2
19 Ciracas 393,03 70.551 6.824 Dipecah
menjadi 2
20 Palmerah 233,15 68.952 2.797 Dipecah
menjadi 2
21 Slipi 97,42 68.952 1.116 Dipecah
menjadi 2
22 Lagoa 157,53 68.235 18.245 Dipecah
menjadi 2
23 Lubang Buaya 372,20 68.198 10.213 Dipecah
menjadi 2
24 Pondok Bambu 489,70 67.810 9.498 Dipecah
menjadi 2
25 Sunter Jaya 458,17 67.564 8.241 Dipecah
menjadi 2
26 Duren Sawit 455,55 66.675 9.255 Dipecah
menjadi 2
27 Rawa Buaya 406,90 66.544 6.231 Dipecah
menjadi 3
28 Cakung Barat 612,43 65.373 9.544 Dipecah
menjadi 2
29 Pejaten Timur 267,83 64.965 8.070 Dipecah
menjadi 2
30 Duri Kepa 387,00 64.462 4.371 Dipecah
menjadi 2
31 Jagakarsa 485,00 64.219 5.439 Dipecah
menjadi 2
32 Cakung Timur 981,03 63.954 9.838 Dipecah
menjadi 2
33 Sukapura 561,40 63.008 5.260 Dipecah
menjadi 2
34 Cipinang Muara 289,50 62.783 12.184 Dipecah
menjadi 2
35 Kamal 490,27 62.409 2.426 Dipecah
menjadi 2
36 Srengseng Sawah 674,70 61.461 8.791 Dipecah
menjadi 2
37 Pondok Pinang 684,00 61.167 13.260 Dipecah
menjadi 2
38 Kebon Bawang 172,70 58.883 8.214 Dipecah
menjadi 2
39 Kembangan Utara 364,67 58.155 1.128 Dipecah
menjadi 2
40 Lenteng Agung 227,74 57.998 12.360 Dipecah
menjadi 2

423 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
41 Cilandak Barat 604,60 57.805 6.386 Dipecah
menjadi 2
42 Cipete Selatan 232,23 57.805 3.667 Dipecah
menjadi 2
43 Cipinang Besar 115,20 57.055 9.206 Dipecah
Utara menjadi 2
44 Petukangan Utara 299,24 57.010 8.829 Dipecah
menjadi 2
45 Bintaro 455,50 56.146 6.740 Dipecah
menjadi 2
46 Kebon Jeruk 369,15 55.873 958 Dipecah
menjadi 2
47 Kebon Pala 229,50 52.028 8.945 Dipecah
menjadi 2
48 Makasar 161,02 52.028 3.806 Dipecah
menjadi 2
49 Batu Ampar 255,02 51.460 3.006 Dipecah
menjadi 2
50 Pegangsaan Dua 628,42 51.458 5.391 Dipecah
menjadi 2
51 Warakas 108,84 51.423 5.827 Dipecah
menjadi 2
52 Pela Mampang 162,32 51.028 7.488 Dipecah
menjadi 2
53 Cilincing 631,25 50.574 9.089 Dipecah
menjadi 2

Tabel 2. Kelurahan dengan jumlah penduduk di bawah 5000 orang


No Kelurahan Jumlah Perkembangan saat ini
Penduduk
1 Karet 2.948 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis,
Semanggi ikon nasional
2 Melawai 3.158 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis
3 Gambir 3.469 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis,
ikon nasional dan internasional
4 Setiabudi 3.629 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis
5 Selong 3.840 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis
6 Gelora 4.008 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis,
ikon nasional dan internasional
7 Roa Malaka 4.018 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis
8 Senayan 4.122 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis,
ikon nasional dan internasional
9 Guntur 4.573 Pertumbuhan apartemen, pusat bisnis

424 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sinergitas Pemerintah Daerah Kota Serang Dengan
kenadziran Dalam Mengembangkan
Wisata Ziarah di Banten Lama
Titi Setiawati177 dan Rina Yulianti178

ABSTRAK
Sinergitas antara pemerintah daerah dengan pihak kenadziran kesultanan sangat
penting dilakukan, karena hal ini akan memberikah pengaruh yang sangat besar di
dalam pengelolaan wisata religi yang ada di Banten Lama. Sinergitas yang diperlukan
adalah bagaimana mengelola wisata religi menjadi suatu pariwisata yang dapat
mendatangkan kebaikan baik secara perekonomian dan pelestarian peninggalan-
peninggalan yang ada disekitar wisata religi. Seperti di ketahu bahwa pengelolaan
wisata religi ini di kelola oleh pihak kenadziran, yang juga melakukan koordinaasi
dengan Disporapar Kota Serang, Hendaknya yang diperlu di perhatikan oleh kedua
belah pihak adalah dengan memberikan kenyamanan dan kebersihan di tempat
sekitar wisata religi. Selain ttu dengan banyaknya pengunjung yang datang juga dapat
memberdayakan masyarakat dengan menyediakan tempat menginap semacam
home stay. Pada penelitian ini, menggunakan metode kualitatif, sedangkan tehnik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, studi
dokumentasi dan observasi.
Kata Kunci : Sinergitas, Pemda, wisata religi

ABSTRACT
The synergy between the local government and the Sultanate of the Sultanate is very
important, because this will entitle a very big influence in the management of religious
tourism in Banten Lama. Synergy is needed is how to manage religious tourism into
a tourism that can bring good in the economy and the preservation of the relics that
exist around religious tourism. As in the know that the management of religious
tourism is managed by the party kenadziran, who also do the coordination with
Disporapar Serang city, should be taken care by both parties is to provide comfort
and cleanliness in the vicinity of religious tourism. In addition to the number of visitors
who come can also empower the community by providing a place to stay like home
stay. In this study, using qualitative methods, while the data collection techniques
used in this study are interviews, documentation studies and observation.
Keyword: The synergy, local government, religious tourism

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pariwisata atau obyek wisata merupakan salah satu faktor yang memiliki
peranan yang amat penting sebagai sumber pendapatan yang produktif. Karakteristik
alam dan tata nilai kehidupan masyarakat Indonesia memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai sumber potensi wisata. Adanya obyek wisata membuka lahan

177 FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten / titistiawati@yahoo.co.id


178 FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten / rina.antinas@gmail.com

425 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
bagi masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan. Pariwisata merupakan industri
tanpa asap yang menyerap banyak tenaga kerja. Karena bagaimanpun majunya
pariwisata tidak akan meninggalkan sumber daya manusia sebagai pelaku utama
karena tidak bisa digantikan oleh mesin.
Pariwisata merupakan salah satu sektor penting dalam suatu negara atau
daerah, dimana peran dari pariwisata ini sangat banyak, diantaranya seperti
pertukaran dan perkenalan kebudayaan kepada daerah atau negara lain, pelestarian
sumber daya alam yang indah, wisata sejarah yang juga di dalamnya ada wisata
ziarah, Pengelolaan dan pengembangan pariwisata di suatu daerah tujuannya
didasarkan pada perencanaan, pengembangan, dan arah pengelolaan yang jelas
agar semua potensi yang dimiliki suatu daerah tujuan wisata dapat diberdayakan
secara optimal.Selanjutnya menurut Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah. Di sisi lain pengembangan pariwisata
berada pada area tatanan wilayah administrasi Pemerintahan Daerah yang memiliki
otoritas dan otonomi daerah yang mempunyai implikasi luas terhadap
pengembangan pariwisata. Dalam pengembangan potensi wisata akan terjadi saling
ketergantungan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Pariwisata di Banten khususnya di Kota Serang memiliki peranan yang sangat
penting dalam rangka membantu pemasukan daerah. Pariwisata sebagai suatu
sektor ekonomi yang memiliki dampak berjenjang (multiplier effect) mampu
menghidupkan berbagai sektor ekonomi lainnya, seperti transportasi, perhotelan,
kuliner, budaya dan lain sebagainya, selanjutnya pariwisata mampu menarik tenaga
kerja yang banyak. Artinya potensi pertumbuhan ekonomi akan semakin besar
melalui pengelolaan pariwisata yang baik.
Kota Serang adalah salah satu destinasi obyek wisata yang memiliki potensi
yang amat besar terutama obyek wisata religi. Hal tersebut tidak terlepas dari latar
belakang sejarah berdirinya Kerajaan Islam. Kawasan Banten Lama menjadi saksi
pernah berdirinya Kesultanan Banten pada tahun 1526-1813 Masehi. Sisa-sisa
peninggalan bersejarah yang syarat akan nilai-nilai perjuangan yang begitu kuat dan
kentalnya agama Islam masih tampak terlihat di Kawasan Masjid Agung Banten.
Peninggalan berupa masjid, menara, serta makam-makam petinggi Kesultanan
Banten menjadi daya tarik wisata religi.

426 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Obyek wisata religi menjadi alternatif yang banyak diminati oleh wisatawan.
Salah satunya adalah di Kawasan Masjid Agung Banten, di bulan-bulan tertentu
pengunjung mencapai ribuan, yakni bulan Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan haji,
dan sebagainya. Dengan melihat banyaknya antusias pengunjung, tentu dibutuhkan
pengelolaan yang baik guna mencapai tujuan yang memberi dampak multipier, baik
bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang tinggal dekat dengan kawasan Masjid
Agung Banten. Kawasan Masjid Agung Banten dimaksud dalam penelitian ini yaitu
meliputi lingkup yang dikelola oleh kenadziran dimulai dari Masjid Agung Banten
sampai alun-alun.
Kenadziran merupakan Sebagai pengelola asset dari wakaf, maka fungsi
Kenadziran Banten Lama memiliki peran yang sangat penting. Kenadziran Banten
Lama diberikan hak otoritas untuk mengumpulkan pendapatan dari hasil pengunjung
yang berziarah dan pengunjung masjid Banten Lama. Untuk kemudian pendapatan
tersebut oleh Kenadziran Banten Lama digunakan untuk kesejahteraan umat, antara
lain pendirian sekolah, panti asuhan dan kegiatan lainnya yang non komersial.
Disamping terdapat pendapatan lain yang dikelola oleh Kenadziran Banten Lama
berasal juga dari kencleng atau pemberian uang sedekah dalam kotak dari
pengunjung masjid dan peziarah. Diperkirakan jumlah pengunjung ke Banten Lama,
khususnya ke Masjid Agung Banten Lama dan Kompleks Makan Sultan Hasanudin
mencapai enam juta orang setiap tahunnya.
Potensi wisata religi di Banten lama belum sepenuhnya teroptimalkan, maka
diperlukan revitalisasi dalam pengelolaan wisata religi yang melibat pemerintah
daerah karena pariwisata merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar
terhadap perekonomian. Untuk dapat menjadikan sektor ini berhasil, maka diperlukan
adanya sinergitas pemerintah daerah dengan Kenadziran dalam mengelola wisata
religi di kawasan Banten lama.
Dalam rangka mengembangkan potensi wisata religi di kawasan Banten lama
dibutuhkan kerjasama yang baik antara berbagai pihak, termasuk di dalamnya adalah
pihak pemerintah daerah dan kenadziran. Dikarenakan terdapat banyak pihak yang
terlibat dalam pengembangan potensi pariwisata di kawasan Banten lama, maka
salah satunya adalah Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga kota
Serang sebagai pihak pengelola dari lembaga formal harus mampu menjadi fasilitator
dan bersinergi diantara berbagai pihak lainnya dalam usaha pengembangan wisata
religi di kawasan Banten lama.

427 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sinergitas antara pemerintah daerah yang dalam hal ini Dinas Kebudayaan
Pariwasata sangat penting, karena pengembangan kawasan pariwisata merupakan
bagian kegiatan ekonomi yang multi dimensional yang tidak hanya mempunyai tujuan
akhir berupa output ekonomi atau nilai finansial yang diperoleh tetapi juga
menyangkut persoalan sosial, agama, budaya dan keamanan yang bahkan menjadi
ruh pariwisata untuk dieksploitasi menjadi daya tarik wiasata yang mempunyai daya
jual tinggi. Pariwisata berkembang menjadi industri pariwisata yang melibatkan
kepentingan berbagai pihak (Sphillone, J. James, 1994) yang bahkan antar daerah
atau antar negara.
Namun pada kenyataannya masih ditemukan hal-hal yang dapat diartikan
belum optimalnya kerjasam anatara pemerintah daerah (Disporapar) dengan
Kenadziran dalam mengelola wisata religi di Banten lama, antara lain yaitu :
1. Peranan Disporapar Kota Serang masih sangat terbatas kewenangannya,
untuk saat ini hanya melakukan koordinasi dan pembinaan dalam penataan
pedagang rangka menarik kunjungan wisatawan.
2. Belum adanya keharmonisan dan kebersamaan antara pemerintah daerah
dengan kenadziran dalam pengelolan wisata religi di Kawasan Masjid Agung
Banten.

RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana masalah yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas,
masalah pada penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana sinergitas
pemerintah daerah kota serang dengan kenadziran dalam mengembangkan wisata
ziaran di banten Lama ?

MAKSUD DAN TUJUAN


1. Terjalinnya sinergitas secara harmonis antara Pemerintah Daerah, dengan
Kenadziran Kesultanan Banten.
2. Adanya fungís kontrol yang dilakukan bersama-sama untuk meningkatkan
kualitas wisata religi di Banten lama.

Kegunaan Penelitian
1. Untuk pengembangan keilmuan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
dasar untuk pengembangan keilmuan terutama kajian pengelolaan wisata
religi di Banten lama.

428 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Untuk pengambil kebijakan, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menumbuhkan dan mengembangkan Kenadziran Kesultanan
Banten dalam mengelola wisata religi di Banten lama
3. Untuk mengembangkan inovasi-inovasi dalam mengembangkan objek wisata
religi di Banten lama agar menjadi objek wisata yang menjadi kebanggaan
Pemerintah Daerah dan masyarakat Banten.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kenadziran
Kenadziran adalah orang atau kelompok yang memiliki fungsi sebagai
penjaga dan pengelola yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf,
melestarikan masjid dan makam. Kenadziran berasal dari kata “Nadzir” yang artinya
pihak yang menerima harta benda waqah dari wakif untuk di kelola sesuai dengan
peruntukannya. Posisi Nadzir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan
mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.
Walaupun kekuasaan Nadzir hanya terbatas pada pengelolaan wakaf yang
dikehendaki oleh pihak yang memberi wakaf. Nadzir tidak boleh menjual,
menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diizinkan oleh pengadilan.
Sehinnga keberadaan harta wakaf yang ada di tangan Nadzir dapat dikelola dan
diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat
banyak.

Pengertian Pariwisata
Seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah yang memberikan otonomi penuh kepada daerah
memungkinkan daerah menyelenggarakan pelaksanaan pemerintahan daerah yang
serius dengan aspirasi dan kehendak masyarakat setempat. Di sisi lain memberikan
kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk melakukan penataan dan
pengaturan terhadap segala sesuatu yang ada di daerahnya. Kewenangan tersebut
antara lain adalah berupa pembinaan dan pengembangan potensi pariwisata. Dalam
UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata
dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Menurut Karyono (1997:15) “Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mengatur, mengurus dan melayani

429 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kebutuhan wisatawan”. Lebih lanjut lagi pendapat dari E. Guyer Freuler yang dikutip
dalam S. Pendit (2002: 34) pariwisata merupakan fenomena dari jaman sekarang
yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian
yang sadar dan menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya
disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat
manusia sebagai hasil daripada perkembangan perniagaan, industri, perdagangan
serta penyempurnaan daripada alat-alat pengangkutan.
Sedangkan menurut Suwantro (2004:3) istilah pariwisata behubungan erat
dengan pengertian perjalanan wisata yaitu “sebagai sesuatu perubahan tempat
tinggal sementara seseorang diluar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan
untuk melakukan kegiatan untuk menghasilkan upah dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perjalanan wisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan
seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk medapatkan kenikmatan dan
memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu”.

Bentuk dan Jenis Pariwisata


Sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah, maka timbullah
berbagai bentuk dan jenis pariwisata yang dapat digunakan untuk keperluan
perencanaan dan pengembangan pariwisata suatu daerah. Bentuk pariwisata
menurut Nyoman S. Pendit (2002 : 59) dibagi menjadi 5 kategori yaitu menurut asal
wisatawan, menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran, menurut jangka waktu,
menurut jumlah wisatawan dan alat angkut yang digunakan.
Ditinjau dari segi ekonomi, pembagian kategori bentuk-bentuk pariwisata
dengan istilah-istilah tersebut sangat penting, karena klasifikasi tersebut akan
berguna untuk menyusun statistik kepariwisataan dan untuk perhitungan pendapatan
industri pariwisata. Selain berdasarkan bentuk, pariwisata perlu diklasifikasikan
berdasarkan jenisnya. Hal ini diperlukan untuk menyusun data-data penelitian dan
peninjauan yang lebih akurat di bidang pariwisata, sehingga pembangunan pariwisata
dapat dilakukan secara optimal. Nyoman S. Pendit (2002 :62 ) mengemukakan jenis-
jenis pariwisata yang terbagi menjadi pariwisata budaya,kesehatan, olah raga,
komersial, industri, politik, konvensi, sosial, pertanian, maritim (bahari), cagar alam,
buru, pilgrim, wisata bulan madu dan wisata petualangan.

430 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Wisata Religi
Dalam penelitian ini menekankan pada obyek wisata religi. Dimana dalam
perkembangannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Indonesia tahun 1991
yang mencanangkan “Visit Indonesian Year” (Tahun Kunjungan Indonesia) yang
bertujuan memanipulasi budaya etnik bangsa (budaya kontemporer/kebudayaan
daerah) yang dipasarkan ke biro-biro perjalanan wisata (tour and travel) internasional.
Sehingga hal tersebut membuka gerbang adanya obyek wisata religi yang kemudian
menjadi daya tarik bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Pengertian religi sendiri dalam Pujileksono (2006:86) berasal dari kata religare
dan relegare (Latin). Religare memiliki makna suatu perbuatan yang memperhatikan
kesungguh-sungguhan dalam melakukannya. Relegare memiliki arti perbuatan
bersama dalam ikatan saling mengasihi. Kedua istilah ini memiliki corak individual
dan sosial dalam suatu perbuatan religius.
Dalam teori kepariwisataan, studi mengenai wisata ditekankan pada sebuah
perjalanan sementara pada tempat-tempat yang memiliki nilai historis sebagai proses
pembelajaran sejarah untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Dalam
perkembangan selanjutnya, aktifitas ziarah sering disebut menyatu dalam paket
dengan kegiatan wisata. Bahkan ziarah sendiri kemudian dimasukkan dalam kategori
pariwisata. Wisata ziarah selalu dikaitkan dengan tradisi dan budaya kelompok
tradisionalis, berbarengan dengan kesadaran spiritualitas masyarakat sekarang
menjadi sebuah kebutuhan hidup tanpa pandang kelas sosial maupun status.
Wisata ziarah adalah wisata yang sedikit banyak dikaitkan dengan agama,
sejarah, adat istiadat, kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata
ini banyak dilakukan perorangan atau rombongan ke tempat-tempat suci, ke makam
orang-orang besar atau pemimpin yang di agungkan, ke bukit atau gunung yang
dikeramatkan, ke tempat pemakaman tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib
penuh legenda. Wisata ziarah dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang
memiliki makna khusus bagi umat beragama, biasanya berupa tempat ibadah yang
memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah, adanya mitos dan
legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan arsitektur
bangunannya.

Pengertian Koordinasi
Koordinasi merupakan salah satu hal penting dalam administrasi dan
manajemen dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerjasama antar

431 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
individu dalam organisasi yang merupakan salah satu persyaratan dalam
menjalankan roda organisasi akan dapat berjalan dengan baik apabila terjadi suatu
koordinasi yang efektif. Dengan demikian koordinasi merupakan salah satu hal yang
ikut menentukan keberhasilan suatu organisasi.
Istilah koordinasi menurut Westra (1983:54) dalam Rosyadi, 2009:23) jika
dilihat dari segi etimologi merupakan serapan dari bahasa asing yang terdiri dari kata
“cum” yang berarti berbeda-beda, dan kata “ordinate” yang berarti penyusunan atau
penempatan sesuatu pada yang seharusnya atau semestinya. Menurut Sutarto
(2006:145-146) koordinasi sebenarnya dapat dipakai satu istilah yaitu keselarasan.
Baik kesatuan tindakan, kesatuan usaha, penyesuaian antar bagian, keseimbangan
antar bagian maupun sinkronisasi semuanya berdasarkan keselarasan. Atas dasar
itu, koordinasi dapat berasaskan bahwa di dalam organisasi harus ada keselarasan
aktivitas antar satuan organisasi atau keselarasan antar pejabat.
Koordinasi merupakan suatu usaha yang penting dilakukan dalam
meningkatkan efektivitas, efesiensi dan produktifitas kerja untuk mewujudkan tujuan
secara optimal. Tanpa koordinasi yang baik dalam lembaga akan sulit untuk dapat
tercapainya keteraturan kegiatan dengan tertib dalam upaya untuk meraih tujuan
yang hendak dicapai oleh lembaga tersebut. Peningkatan koordinasi diperlukan
supaya dalam pencapaian tujuan organisasi akan berjalan dengan lebih lancar dan
lebih efektif dan lebih efisien dibandingkan sebelumnya.

Model Kerjasama Antar Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Wisata


Pengembangan kawasan wisata merupakan salah satu konsep
pengembangan jaringan. Baiquni, (2004 : 47) memberikan konsep tentang jaringan
antar kota: Kota dengan segala fasilitas dan keunggulan teknologi serta aksesibilitas,
menjadi jaringan global, jaringan bisnis yang mengglobal memanfaatkan jaringan
informasi untuk menentukan keputusan investasi, pilihan industri yang akan
dibangun berdasarkan kecenderungan selera konsumen individual. Maka untuk
menangkap selera konsumen yang dimanifestasikan melalui selera pasar pariwisata
akan memaksa pelaku bisnis pariwisata mengembangkan suatu konsep jaringan
serta kerjasama antar jaringan.
Untuk menyiasati keterbatasan kemandirian dalam menampung selera
konsumen diperlukan rekayasa jaringan agar memiliki kemampuan mempengaruhi
dalam sekala luas dan hal tersebut merupakan kewenangan publik. Pola
pengembangan jaringan pariwisata nantinya akan diperlukan kerjasama antar

432 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
jaringan baik disektor publik, yaitu antar pemerintah daerah maupun sektor swasta
sebagai pelaku bisnis pariwisata.
Pengembangan terhadap suatu kawasan pariwisata yang didalamnya
melibatkan berbagai pemain pariwisata, menurut Wahab (1992) merupakan bentuk
interaksi pemasaran pariwisata terhadap pasar wisata. Aplikasi yang dilakukan para
pelaku pariwisata meliputi pasar wisata, pasar wisata budaya, pasar wisata konvensi,
pasar wisata utama dan kondisi hari libur ( Wahab, 1992). Pelaku pariwisata ini dapat
berkembang kepada pemerintah sebagai pelaku pariwisata sekaligus menjadi
pemegang kewenangan regulasi maupun bentuk kebijakan lain dalam
pengembangan pariwisata.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002:136). Untuk mengetahui masalah
dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini menggunakan metode dengan
pendekatan kualitatif. Selanjutnya pendekatan kualitatif menurut Bagdon dan Taylor
dalam Moleong (2002:3) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati.
Dalam pendekatan kualitatif data yang dihasilkan berbentuk kata, kalimat dan gambar
untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial tenta yang terjadi dengan
mendeskripsikan variabel yang sesuai dengan masalah dan unit yang diteliti, dalam
hal ini bagaimana sinergitas pemerintah daerah dalam hal ini Disporapar dengan
Kenadziran dalam mengembangkan wisata religi di Banten Lama.

INSTRUMEN PENELITIAN
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Wawancara. Merupakan proses untuk memperoleh keterangan untuk
mencapai tujuan penelitian yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi verbal
berupa percakapan. Pada penelitian ini wawancara dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara (petunjuk umum wawancara) dan
percakapan tersebut direkam dengan menggunakan tape recorder.
2. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen
resmi yang relevan .

433 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh sumber penelitian di lapangan, yaitu
dalam kegiatan yang dilakukan oleh Kenadziran Kesultanan Banten.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya dalam
melakukan wawancara adalah:
1. Buku catatan : untuk mencatat percakapan dengan sumber data.
2. Tape-recorder: untuk merekam semua percakapan karena jika hanya
menggunakan buku catatan, peneliti sulit untuk mendapatkan informasi yang
diberikan oleh informan.
3. Camera: Untuk memotret kegiatan yang berkaitan dengan penelitian.. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan keabsahan penelitian.

Selanjutnya sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terbagi atas
data primer dan data sekunder. Data primer diambil langsung dari informan/subyek
penelitian. Dalam hal ini data primer di ambil melalui wawancara (interview).
Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak langsung berasal dari informan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh melalui data-data dan
dokumen-dokumen yang relevan dengan masalah yang diteliti. Data-data tersebut
merupakan data yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah yang dibahas dalam
penelitian ini.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 adalah wilayah Indonesia dibagi menjadi
sejumlah daerah besar dan kecil yang bersifat otonom, yaitu daerah yang boleh
mngurus rumah tangganya sendiri dan daerah administrasi yaitu daerah yang tidak
boleh berdiri sendiri. Hal ini mendorong pemerintah daerah Kota Serang untuk
mencari dan memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya. Salah satunya adalah
mengembangkan potensi obyek wisata ziarah yang ada di Banten Lama. Dengan
adanya potensi wisata ziarah, maka perlu adanya pengembangan dari sumber daya
tersebut terutama pada sumber daya yang mempuyai potensi obyek wisata yang
menjanjikan, pembangunan obyek wisata pada suatu tempat erat kaitannya dengan
pembangunan suatu daerah dan negara dimana tempat obyek wisata itu berada.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi wisata religi dan budaya
yang sangat menarik adalah Banten Lama. Banten Lama memiliki potensi obyek
wisata religi yang sangat kuat. Pariwisata di saerah ini sangat potensial untuk

434 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dikembangkan sehingga dapat mendatangi banyak wisatawan baik wisatawan
nusantara maupun wisatawan mancanegara. Untuk dapat mengembangkan dan
memajukan kegiatan wisata tersebut diperlukan sebuah kerjasama dan koordinasi
yang baik sehingga akan membentuk citra yang baik bagi wisatawan domestik
maupun luar.
Banten Lama ini merupakan kawasan cagar budaya yang banyak dikunjungi
oleh pelancong yang ingin melakukan wisata religius.Dan semua orang tau juga kalau
Banten Lama ini tempatnya kotor sekali, dari mulai alun-alunnya, halaman mesjid,
sampai tempat wudhu dan toiletnya. Selain itu banyak sekali pedagang kaki lima dan
pengemis yang membuat lokasi wisata sejarah menjadi kurang menarik dan bersih
dan ini membuat peziarah untuk berlama-lama di kawasan tersebut. Oleh karena itu
diperlukan kerjasama yang baik antara instansi di dalam mencari model pengelolaan
banten lama yang paling ideal sesuai keinginan pemerintah daerah maupun
masyarakat yang berada di wilayah Banten lama.
Kerjasama dan koordinasi yang dilakukan hendaknya tidak hanya sebatas di
atas kertas akan tetapi lebih kepada kemampuan petugas yang akan di terjunkan
dalam pelaksanaan pengembangan wisata ziarah ini. Setiap instansi yang terkait
dapat melakukan tugasnya. Seperti Dinas kebersihan, hendaknya lebih menekankan
kepada bagaimana kenyamanan akan kebersihan di dalam dan siluar area mesjid
agung dan alun-alun lebih diperhatikan. Akan lebih baik kalau pemerintah daerah juga
membuat peraturan yang tegas terkait pembuangan sampah yang tidak pada
tempatnya. Akan sangat ironi tempat yang seharusnya sangat menjaga kebersihan
tetapi pada kenyataannya jauh dari kata bebas sampah. Begitu juga dengan pihak
kenadziran hendakny harus sering mengingatkan pengunjung untuk membuang
sampah pada tempatnya.
Banten Lama memiliki potensi wisata ziarah yang sangat menarik, namun
dalam pengembangan potensi wisata di Banten lama selama ini belum maksimal dan
menyeluruh. Sehingga dengan adanya Peran Dinas Pariwista dapat meningkatkan
potensi obyek wisata ziarah yang ada dengan dipersiapkan secara lebih struktur dan
berkesinambungan. Sehingga mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti
bagi pengembangan daerah. Selain itu akan lebih baik kalau Kenadziran Kesultanan
di Banten Lama dapat lebih membuka diri di dalam pengelolaan mesjid agung dan
makam yang ada disekitarnya yang menjadi tempat pengunjung untuk berziarah.
Karena dengan melihat antusias pengunjung yang begitu antusias di dalam
melakukan bwisata ziarah di Banten lama ini juga akan memberika keuntungan

435 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
banyak pihak. Pemerintah dapat membantu promosi wisata religi d Banten Lama
melalui media online.
Selain itu pemerintahan daerah dalam mengembangkan wisata ziarah di
serahkan kepada Disporapar Kota Serang untuk kelancaran dalam pengembangan
pariwisata yang ada di Kota Serang, maka perlu adanya peran dari pemerintah,
masyarakat, serta swasta. Sedangkan peran pemerintah dalam pengembangan
Pariwisata difokuskan kepada Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata. Menurut
Peran Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata dalam mengembangkan obyek wisata
adalah sebagai berikut :
1. Koordinator
Seseorang atau badan atau pelaku struktural dalam suatu organisasi dengan
tugas mengkoordinasikan dalam hubungan kerja kepada satuan-satuan tugas
lainnya. Koordinasi dalam pengembangan obyek wisata disini adalah
mengembangkan obyek wisata dengan cara mempromosikan pariwisata dan
pemasaran pariwisata.
Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kota Serang terus berupaya untuk
mengadakan strategi promosi dan pemasaran pariwisata yang ada di Banten
Lama Kota Serang. Hal ini terlihat dengan mengikuti berbagai macam
kegiatan atau pameran-pameran untuk mempromosi pariwisata terutama
wisata ziarah yang ada di Banten Lama.. Hal tersebut dilakukan agar banyak
orang yang tahu tentang potensi obyek wisata di Banten Lama dan dapat
meningkatkan kunjungan wisata dalam membantu pengembangan daerah di
sekitar wisata ziarah tersebut. Berdasarkan hasil observasi di lapangan
penulis melihat bahwa sejauh ini Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata
telah melakukan upaya promosi dan pemasaran pariwisata dengan mengikuti
event dalam daerah maupun luar daerah. Tetapi dari beberapa upaya yang
dilakukan oleh Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata dalam strategi
promosi dan pemasaran pariwisata ada beberapa hal penting salah satunya
yaitu kurangnya informasi yang diberikan oleh Dinas Pemuda, Olahraga dan
Pariwisata, terkait sarana dan prasarana yang ada disana., seperti :
hotel/penginapan serta transportasi.
2. Fasilitator
Orang yang menyediakan fasilitas. Disini peran Dinas Pemuda Olahraga dan
Pariwiata sebagai fasilitator adalah menyediakan fasilitas di berbagai obyek
wisata. Seperti infrastruktur, sarana dan prasarana wisata, serta transportasi

436 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menuju tempat wisata tersebut.Di Banten Lama sendiri dalam belum banyak
tersedia sarana dan prasarana yang dapat mendukung kegiatan objek wisata
ziarah itu sendiri. Berdasarkan pengamatan peneliti, wisatawan setelah
melakukan wisata ziarah lebih banyak menginap di Kota serang bukan di
sekitar area objeknya. Seharusnya Dinas terkait dapat melakukan pembinaan
kepada masyarakat terkait penyediaan tempat tinggal bagi wisatawan yang
datang. Misalnya menyediakan home stay bagi pendatang, selagi pemerintah
daerah menyiapkan penginapan maupun hotel di wilayah tersebut. Akan lebih
baik masyarakat yang menyediakan penginapan karena hal tersebut akan
menambah pemasukan bagi ekonomi keluarga di sekitar objek wisata ziarah
yang ada di Bnaten Lama.
3. Stimulator
Peran Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata sebagai stimulator adalah
mendorong pemerintah untuk membangun obyek dan daya tarik wisata.
Peran Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata sebagai stimulator adalah
pemerintah dapat menciptakan strategi untuk membangun dan
mengembangkan obyek dan daya tarik wisata ziarah. . Dinas Pemuda,
Olahraga dan Pariwisata terus melakukan pembenahan-pembenahan untuk
mengembangkan potensi-potensi obyek wisata yang ada di Banten Lama.
Selain itu instansi terkait juga dapat melakukan kerjasam dengan pihak
kenadziran agara dapat mengelola kegiatan perekonomian dengan mengajak
masyarakat disekitar wisata ziarah. Seperti diketahui Kenadziran merupakan
pengelola mesjid agung dan makam-makam yang ada disekitarnya. Sehingga
di perlukan sinergitas yang optimal agar apa yang diinginkan oleh pemerintah
juga seiring sejalan denga pihak Kenadziran Kesultanan Banten.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


KESIMPULAN
Di dalam melakukan pengembangan pariwisata ( wisata ziarah) hendaknya
dibuar sebuah strategi yang baik, sehingga ketika wisatawan hendak melakukan
kegiatan ziarahnya tetapi mereka juga mendapatkan hal lain terkait sejarah mengenai
mesjid agung dan makam-makam yang di sekitarnya. Selain itu iuga harus ada
koordinasi yang kuat antara pemerintah daerah dengan pihak kenadziran agar dapat
bekerjasama di dalam mengelola wisata ziarah yang ada di Banten Lama. Bagaimana
pun Banten Lama mempunyai nelai sejarah yang tinggi terutam dengan masuknya

437 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Islam di wilayah itu. Hendaknya pemerintah daerah selain membantu promosi juga
menyediakan sarana dan prasana yang memadai agar pengujung dapat merasa
nyaman dalam melakukan kigiatan wisata religinya. Begitu juga dengan pihak
kenadziran kesultanan agar lebih membuka diti di dalam pengelolaan mesjid agung
yang menjadi sentral daripada wisata religi ini.

REKOMENDASI
1. Sarana dan prasarana di lengkapi atau harus ditambah, misalnya transportasi
menuju Banten Lama, penginapan dan jalan yang bagus.
2. Harus ada koordinasi yang baik antara dinas dan pihak kenadziran agar dapat
lebih mengembangkan banten lama sehingga dapat memberikan pemasukan
secara ekonomi pada masyarakat setempat.
3. Mengajak dan Mengingatkan pengunjung untuk menjaga kebersihan di
lingkungan wisata religi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta : PT. Kiblat Buku Utama
Karyono, A. Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia
Creswell, John, W., 2013, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Michrob, Halwany dkk. 2011. Catatan Masalalu Banten. Serang : Saudara Serang.
Miles, B Matthew., dan A. Michael Huberman 2009. Analisis Data Kualitatif Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung :
Muljadi, A.J. 2012. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada.
Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2013. Destinasi Pariwisata Berbasis Masyarakat. Jakarta:
Salemba Humanika.
Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Pratikno. 2007. Mengelola Dinamika Politik dan Jejaring Kepermerintahan Daerah,
Kemitraan, Partisipasi dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Program S2 Politik
dan Otonomi Daerah UGM

438 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pendit, Nyoman S. 2002. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:PT.
Pradnya Paramita.
Sugandha, Dann N. 1991. Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta:
Intermedia
Sutarto. 2006. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Dokumen :
Perda Kota Serang No. 14 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Tahu 2015 – 2025
Sumber Lain
Jurnal Peningkatan Koordinasi antar Instansi Vertikal, pengarang Drs. H. Alizar

439 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KONDISI POLITIK ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILU TAHUN 2014
(Studi di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara)
Bobby Rahman179 dan Azhar180

ABSTRAK
Kajian ini menggambarkan perubahan kondisi politik di Aceh yang berdampak pada
partisipasi masyarakat pada Pemilu Tahun 2014, khususnya di Kecamatan Nisam
Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian yang dipakai adalah kualitatif dengan
wawancara dan dokumentasi untuk teknik pengumpulan data. Data-data yang
diperoleh nantinya dianalisis dengan cara direduksi, kemudian disajikan agar mudah
dipahami dan ditemukan kesimpulannya. Hasil penelitian yang diperoleh memberikan
gambaran berupa kondisi politik di Aceh yang semakin kondusif pasca MoU
perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh memberikan dampak yang
cukup positif pada tingkat partisipasi masyarakat khususnya di Kecamatan Nisam.
Hal tersebut ditandai dengan semakin antusiasnya masyarakat dalam mensukseskan
Pemilu 2014 di Aceh. Pada sisi lain, pembangunan secara kelembagaan yang
dilakukan Pemerintah Aceh juga ikut memberikan kontribusi pada partisipasi
masyarakat pada Pemilu Tahun 2014. Beberapa lembaga-lembaga yang kemudian
muncul dengan mengusung semangat penerapan Syari’at Islam di Provinsi Aceh juga
turut mendorong hegemoni politik di dalam keikutsertaan masyarakat secara aktif
pada pemilu. Kesimpulannya, dipahami bahwa kondisi politik di Aceh yang semakin
kondusif memberikan ruang kepada masyarakat untuk semakin peduli dan
berkontribusi dalam Pemilu di Aceh Tahun 2014.
Kata Kunci : Partisipasi Politik, Kondisi Politik, Pemilu, dan Partisipasi Masyarakat.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang besar, dimana hak-hak
warga negaranya dijamin secara konstitusi berkaitan dengan menjamin partisipasi
masyarakat dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan berpolitik dengan
bebas, tanpa tekanan namun tetap dalam koridor hukum dan undang-undang. Hal ini
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dimana negara menjamin kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. Hal ini dilakukan sebagai wujud partisipasi politik
masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya untuk pembangunan bangsa
sesuai dengan kehendak dan cita-cita rakyat.

179 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Malikussaleh / bobby.rahman@unimal.ac.id


180 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Malikussaleh

440 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sejarah kemunculan Partai Politik di Indonesia sendiri telah dimulai sejak
masa Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908.
Dalam sistem Politik Etis ini, banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera yang
mulai tergerak untuk ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai
organisasi kemasyarakatan. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945 maka telah diundangkan berbagai produk perundang-undangan yang
mengakomodasi dan mengatur berbagai aspek mengenai partai politik. Hal ini
menyebabkan bermunculannya partai politik dengan berbagai ideologi yang
mengusung dan memperjuangkan visi dan misinya masing-masing.
Sistem politik di Indonesia setiap periodenya dari setiap rezim pemerintahan
mengalami evolusi dan perubahan dalam prosesnya. Perubahan politik adalah
suatu keharusan yang merupakan esensi untuk menjadikan perubahan politik
agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Perubahan politik yaitu bagaimana kita
harus mengubah kebijakan yang seharusnya kebijakan yang dahulu harus diganti
agar untuk menjadi lebih baik sehingga suatu bangsa dapat menjadi lebih baik dan
lepas dari kepurukan. Perubahan politik dapat ditimbulkan oleh konflik kepentingan
dan gagasan atau nilai-nilai baru.181
Terdapat hubungan yang erat antara perubahan politik dengan partisipasi
masyarakat dalam politik. Hal tesebut dikarenakan perubahan politik dapat
disebabkan oleh berbagai hal yang memiliki tujuan yang beragam, salah satunya
adalah memberikan kepada masyarakat suatu kesempatan untuk mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan dari proses dan sistem perubahan politik itu sendiri.
Dengan adanya perubahan politik dan partisipasi politik, masyarakat dapat
mengontrol pemerintah yang akan terpilih, selain itu, partisipasi politik juga menjadi
alat untuk memilih pemimpin dan mengekspresikan eksistensi individu atau grup yang
mempengaruhi pemerintah melalui jalan terlibat dalam politik.
Setiap partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan-
kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap.
Diketahui bahwa yang berperan melakukan kegiatan politik itu adalah warga negara
yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan, yang
berwenang membuat dan melaksanakan keputusan politik adalah pemerintah, akan
tetapi masyarakat mempuyai hak untuk mempengaruhi proses pembuatan serta
pelaksanaan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan tersebut. Partisipasi atau
keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara.

181 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2000), h. 246

441 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dapat dilihat dari pengertian demokrasi tersebut secara normatif, yaitu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.182
Partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui perilaku politiknya. Perilaku politik
tersebut dapat dilihat dari berbagai jenis yaitu melalui partai politik, kampanye,
pemberian suara dan lain-lain. Bentuk perilaku politik ini menjadi alat analisis untuk
melihat partisipasi politik masyarakat itu sendiri. Termasuk di dalamnya pada
pemillihan calon legislatif dan pemilihan presiden pada pemilihan umum tahun 2014
yang lalu. Dimana rakyat ikut berpartisipasi di dalam pemilihan tersebut secara
langsung untuk memilih siapa yang akan menduduki pemerintahan untuk lima tahun
ke depannya.
Partisipasi politik ini merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara
demokrasi. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan
wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara
politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dimana dalam hal ini partisipasi politik
dapat diartikan sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintan.183
Bagi pemerintah partisipasi politik dapat dikemukakan dalam berbagai fungsi
antara lain; (1) Mendukung program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran
serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program
pembangunan; (2) Sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat
untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan
pembangunan; dan (3) Sebagai sarana memberikan masukan, saran, dan kritik
terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Oranisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan organisasi sosial politik
(orsospol) merupakan contoh dari fungsi politik lain.184
Partisipasi masyarakat dalam politik dan perilaku memilih adalah paket dalam
diskusi pemilu. Partisipasi politik menyoal hubungan antara kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintahan. Sedang perilaku memilih adalah keikutsertaan
warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Oleh karena itu, dapat
dilihat hubungan yang erat antara demokrasi, partisipasi politik, pemilihan umum,
partai politik dan perilaku memilih.

182 Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h 43.
183 Samuel.P.Huntington, dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004),
h.6.
184 Sudijono, Sastroatmodjo, Perilaku Politik, (Semarang: IKIP Press, 1995), h. 86.

442 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Sejak pemilu pertama kali yang diselenggarakan pada tahun 1955 Indonesia
telah melakukan 10 kali pemilihan umum yang dilakukan secara teratur setiap 5 tahun
sekali. Sejak awal issu mengenai partai politik lokal menjadi perdebatan yang cukup
pelik, baik di kalangan akademisi maupaun di kalangan praktisi hukum tata negara
Indonesia. Perubahan-perubahan situasi politik sebagai konsekuensi dari tuntutan
demokratisasi tentunya akan berpengaruh pada pemerintahan di tingkat lokal. Proses
demokratisasi mulai tampak dalam kehidupan politik. Berbagai perubahan dalam
sistem pemilihan umum dan adanya prinsip otonomi daerah akan memberikan warna
baru dalam pemilihan umum.185
Pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 di Aceh, selain
diikuti oleh partai politik nasional, juga diikuti oleh partai-partai politik lokal. Aktor
utama dari pemilu legislatif adalah rakyat, partai politik dan calon legislatif dari tiap-
tiap partai politik. Ketiga faktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pemilu. Pemilu
merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur/tertib dan
periodik baik perubahan sirkulasi elite politik maupun perubahan arah dan pola
kebijakan publik. Bentuk patisipasi politik masyarakat yang paling umum dikenal
adalah pemungutan suara (voting) baik untuk memilih calon wakil rakyat ataupun
untuk memilih kepala Negara. Partisipasi politik masyarakat merupakan media yang
efektif dalam pelaksanaan pemilu legislatif.
Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Peneliti
meneliti partisipasi masyarakat di dalam Pemilihan Umum tahun 2014 yang lalu.
Peneliti meneliti tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum
dengan adanya perubahan kondisi politik di Aceh terutama setelah lahirnya partai-
partai lokal di Provinsi Aceh. Kehadiran partai politik lokal berdampak negatif terhadap
partai-partai nasional di Aceh khususnya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh
Utara. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan partisipasi masyarakat terhadap
partai-partai politik nasional di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
Pada penelitian ini, perubahan politik dikritisi melalui perspektif lipset yaitu
mencari hubungan antara perubahan politik dengan partisipasi politik masyarakat. Di
samping itu, melalui perspektif lipset perubahan politik juga akan dikaitkan dengan

185Martin Jimung, Partai Lokal dan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusantara, 2005), h. 24.

443 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
perubahan politik pada kondisi-kondisi sosialnya antara lain kondisi ekonomi dan
sosial.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana perubahan politk di Aceh pasca UUPA?
2) Bagaimana pengaruh perubahan politik Aceh dengan partisipasi masyarakat
dalam pemilu 2014 khususnya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara?

MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) Mengetahui dan mendeskripsikan perubahan politk di Aceh pasca UUPA.
2) Menganalisis dan medeskripsikan pengaruh perubahan politik Aceh dengan
partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 khususnya di Kecamatan Nisam
Kabupaten Aceh Utara.

KEGUNAAN PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1) Teoritis
a. Dapat menambahkan Ilmu pengetahuan sekaligus referensi tentang perubahan
politik dan partisipasi masyarakat.
b. Dapat digunakan sebagai bahan bacaaan bagi peneliti dimasa yang akan
datang, terutama untuk mengetahui hubungan antara perubahan politik dengan
partisipasi masyarakat.
c. Sebagai pengembangan Ilmu Politik, khususnya untuk para mahasiswa Ilmu
Politik yang akan meneliti penelitian ini.
2) Praktis
a. Menjadi masukan bagi dan menambah informasi bagi pembaca tentang
perubahan politik Aceh pasca UUPA dan partisipasi masyarakat pada pemilu
2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
b. Sebagai bahan masukan dan pengembangan partai kepada kader-kader dan
simpatisan dari partai-partai politik.

444 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
c. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam berpartisipasi mengenai
politik.
d. Sebagai bahan masukan terhadap mahasiswa, masyarakat, tentang perubahan
politik Aceh pasca UUPA dan partisipasi masyarakat pada pemilu 2014.

TINJAUAN PUSTAKA
Partisipasi sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat,
digunakan secara umum dan luas. Didalam kamus besar bahasa Indonesia
partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan
(keikutsertaan).186 Partisipasi masyarakat dalam politik adalah keterlibatan individu
atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang
positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Setiap
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan-kegiatan
sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap.
Bentuk partisipasi politik seorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya.
Bentuk patisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting)
entah untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala Negara. Menurut
Rahman, kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai
berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi berbagai
negara dan waktu dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk
konvensional dan non konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi)
maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner.187
Bentuk partisipasi politik masyarakat antara lain: partisipasi buah pikiran, yang
diberikan partisipan dalam pertemuan atau rapat. Kehadiran seseorang dalam
pertemuan akan mempengaruhi bagi masyarakat yang lain agar dapat ikut serta
dalam memberikan sumbangsih pemikiran. Partisipasi tenaga, yang diberikan
partisipan dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa
pertolongan bagi orang lain. Partisipasi harta benda, yang diberikan orang dalam
berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang
lain dengan memberikan makanan atau minuman seadanya tanpa ada timbal balik
(jasa).188

186Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 831.
187A. Rahman. H, Sistem Politik Indonesia. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), h. 287.

445 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Partisipasi seorang itu dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat
(pendidikan dan kedudukan sosial) dan faktor keadaan alam sekitar atau
lingkungannya. Adanya kondisi masyarakat yang beraneka ragam tentunya tiap-tiap
warga masyarakat mempunyai tujuan hidup yang beragam pula sesuai dengan
tingkat kebutuhannya, dan upaya memenuhi kebutuhan itu direfleksikan dalam
bentuk kegiatan, yang tentunya kebutuhan yang berbeda akan menghasilkan
kegiatan yang berbeda pula. Demikian pula dalam partisipasi politiknya tentu tujuan
yang ingin dicapai antara warga satu berbeda dengan yang lain. partisipasi politik
bertujuan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun
dalam pengertian menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi
kepentingan pelaku partisipasi.189
Orang berpendidikan tinggi salah satu partisipasinya bisa diwujudkan dalam
bentuk sumbangan buah pikiran seperti terlibat dalam diskusi-diskusi politik, menjadi
penghubung antara suatu partai dengan masyarakat gunanya untuk merekrut
pendukung partai tersebut, mendirikan kelompok-kelompok partai, pemberi
kampanye, penyampaian aspirasi masyarakat, pemberi gagasan, ide-ide dan strategi
dari suatu partai politik. Sedangkan masyarakat dengan berpendidikan rendah
partisipasi politik bisa diwujudkan melalui pemilihan umum dengan menjadi pemilih
yang aktif, ikut menghadiri kampanye serta sumbangan-sumbangan tenaga lainnya.
Pendidikan tinggi juga angat mempengaruhi partisipasi politik, karena pendidikan
tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa
mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemmpuan
berpolitik.190
Tingkat partisipasi politik dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan masyarakat tersebut. Apabila orang tersebut mempunyai pekerjaan yang
padat maka tingkat partisipasi politik bisa dikatakan lebih rendah dibandingkan
dengan orang yang tidak mempunyai kesibukan. Begitu pula apabila pekerjaan
seseorang mempunyai hubungan dengan politik justru tingkat partisipasi politik orang
tersebut semakin tinggi. 191
Tingkat penghasilan atau pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat juga
mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat partisipasi politiknya. Orang yang
berpenghasilan rendah tentu saja mempunyai keterbatasan dalam berpartisipasi

188Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Model dan Strategi Pembangunan Berbasis
Kerakyatan. (Bandung: Humaniora, 2008), h. 103.
189 Mariam Budiarjo. Partsisipasi dan Partai Politik. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 47.
190 Ibid, h. 48
191 Ibid, h. 49

446 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
politik karena mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sedangkan orang yang mempunyai penghasilan tinggi mereka lebih leluasa dalam
berpartisipasi. Di samping itu, faktor ekonomi juga akan mempengaruhi orang lain
untuk berpertisipasi politik misalnya adanya perangsang, maka orang mau
berpartisipasi dalam kehidupan politik. 192
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
partisipasi politik seseorang. Apabila lingkungan dan masyarakat mendukung
terhadap politik yang dijalankan, maka orang tersebut lebih leluasa dan menjalankan
politiknya, namun jika tidak adanya dukungan masyarakat disekitarnya politik yang
dijalankan akan mengalami kendala dan hambatan-hambatan. Lingkungan politik
yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan
politik. dalam lingkungan polititk yang demokrasitis, orang merasa lebih bebas dan
nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik ketimbang dalam lingkungan
yang tidak aman. 193
Menurut pendapat Budiarjo mengemukakan bahwa sebagai definisi umum
dapat dikatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah (publicpilicy). Kegiatan sukarela (voluntary) dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara
langsung (direct) atau tidak langsung (indirect) dalam proses pembentukan kebijakan
umum. 194
Budiarjo juga menjelaskan tiga hal yang menjadi ciri-ciri partisipasi:
1. Titik berat partisipasi adalah mental dan emosional kehadiran secara pribadi
dalam suatu kelompok tanpa keterlibatan tersebut bukanlah suatu partisipasi.
2. Keberanian untuk menerima tanggung jawab atas suatu usaha untuk mengambil
bagian dalam pertanggung jawaban .
3. Kesediaan untuk memberikan kontribusi tujuan. Wujud kontribusi dalam
pembangunan ada bermacam-macam, misalnya barang, jasa, uang. Bahkan
buah pikiran dan ketrampilan.195
Sedangkan tujuan dari partisipasi politik itu yaitu pertumbuhan demokrasi
dengan formatnya yang benar dan sangat tergantung kepada sejauh mana

192 Ibid,
193 Ibid, h. 50
194 Miriam Budiarjo, Masalah ..., h. 1
195 Ibid, h. 5

447 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
keikutsertaan anggota masyarakat secara aktif dalam menentukan dan
merealisasikan tujuan-tujuan politik, yakni tergantung kesempatan berpartisipasi
yang diberikan kepada mereka, dan bahkan dijadikan sebagai hak yang dapat
dinikmati oleh setiap warga negara, tanpa kecuali. Di samping itu, partisipasi politik
juga menyebabkan terbentuknya oposisi yang kuat dan kokoh untuk melawan
pemerintahan dengan kekuasaan tunggal. 196
Tujuan lain dari partisipasi politik merupakan media fundamental untuk
memperdalam rasa tanggung-jawab pada diri penguasa maupun rakyat dan
merupakan sarana untuk memperkokoh pemerintahan kolektif. Partisipasi politik
merupakan media yang efektif agar para partisipan merasa dihormati dan dihargai, di
samping itu juga menyadarkan para partisipan akan hak dan kewajiban mereka, serta
memperluas koridor kesadaran politik melalui berbagai pengalaman dan wawasan
politik yang lahir darinya.197
Menurut Robert dalam Sastroatmojo menyebutkan bahwa partisipasi politik
paling tidak memiliki empat manfaat, diantaranya :
1) Sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi.
Partisipasi politik seringkali muncul dalam bentuk upaya-upaya menjadikan
arena politik untuk memperlancar usaha ekonominya ataupun sebagai sarana
untuk mencari keuntungan material. Partisipasi politik seseorang tidak serta
merta melakukan begitu saja, namun ada upaya-upaya, tujuan-tujuan yang ingin
dicapai. Contohnya dengan menjadi tim sukses suatu partai, ketika calon yang
didukungnya terpilih menjadi wakil rakyat (DPR) akan memudahkan mereka
dalam melakukan hubungan dengan pihak pemerintah, misalnya mengajukan
proposal bantuan dana usaha dari pemerintah, sebagai jalan untuk
mengembangkan usahanya, akan memperoleh dana-dana apirasi dari anggota
dewan, sebagai jalan untuk memperoleh kesempatan dalam menerima bantuan
pemerintah, dan lain sebagainya.198
2) Sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial,
Sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial, yakni
memenuhi kebutuhan akan harga diri, meningkatnya status sosial, dan merasa
terhormat karena bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka dan penting.
Pergaulan yang luas bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong
partisipasi seseorang untuk terlibat dalam aktivitas politik sehingga dengan

196 Ibid, h. 5
197 Ruslan, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003), h. 20.
198 Sastroatmojo, Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa. (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), h. 84.

448 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
demikian orang-orang tersebut akan puas bahwa politik dapat memenuhi
kebutuhan terhadap penyesuaian sosialnya. Sebagian tujuan masyarakat
berpartisipasi politik yaitu untuk meningkatkan harga diri dan status sosialnya.
Seseorang akan merasa bangga dan puas jika sudah bergaul dengan pejabat-
pejabat. Dengan memiliki kawan seorang pejabat, akan memperbanyak koneksi
dengan rekan-rekan yang lain sehingga banyak peluang untuk jadi pribadi
yang selalu dihormati dan disegani oleh orang lain.199
3) Sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus.
Sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus, dalam hal ini orang
berpartisipasi dalam politik dianggap dapat dijadikan sarana bagi pencapaian
tujuan-tujuan tertentu seperti untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan
proyek dan tender, melicinkan karier bagi jabatannya. Nilai-nilai khusus dan
kepentingan individu tersebut apabila tercapai, akan makin mendorong
partisipasinya dalam politik. Jika orang yang didukung terpilih sebagai wakil
rakyat, pertama-tama yang diinginkan adalah adanya balas jasa dari apa yang
telah diperbuat sebelumnya. Jika orang tersebut seorang pegawai yang
diharapkannya adalah kenaikan jabatan dari posisi sebelumnya dan jika orang
tersebut belum mempunyai pekerjaan, mungkin saja dia akan memperoleh
pekerjaan melalui bantuan anggota dewan yang telah dibantunya.200
4) Sarana untuk memnuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan
psikologi tertentu, seperti kepuasan batin, perasaan terhormat, merasa menjadi
sosok yang penting dan dihargai orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target
yang telah ditetapkan. 201
Salim menjelaskan bahwa bagi pemerintah, partisipasi politik warga negara
mempunyai beberapa fungsi, di antaranya :
1) Mendukung program-program pemerintah
Partisipasi politik masyarakat untuk mendukung program-program
pemerintah. Hal tersebut berarti bahwa peran serta masyarakat diwujudkan
untuk saling mendukung program politik dan program pembangunan. Partisipasi
politik ini diarahkan dan didorong oleh pemerintah untuk mendukung pemerintah.
Tidak semua tujuan masyarakat berpartisipasi politik untuk kepentingannya
sendiri, namun banyak di atantara masyarakat berpartisipasi politik guna
mendukung program pemerintah. Contohnya dengan mendukung suatu partai

199 Ibid.
200 Ibid. h. 85.
201 Ibid.

449 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diharapkan akan adanya program pembangunan di daerah tersebut sehingga
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. 202
2) Menyuarakan kepentingan masyarakat
Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang
menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam
mengarahkan dan meningkatkan pembangunan. Terlibatnya seseorang dalam
partisipasi politik, akan memudahkan orang tersebut untuk mendrikan organisasi-
organisasi sebagai penghubung masyarakat dengan pemerintah terutama dalam
menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat kepada pemerintah melalui
anggota dewan.203
3) Sarana untuk memberikan masukan, saran, dan kritik
Partisipasi politik dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan
masukan, saran, kritik terhadap pemerintah dalam merencanakan dan
pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya partisipasi seseorang dalam politik,
orang tersebut mempunyai kesempatan untuk menyampaikan masukan-
masukan, saran-saran kepada pemerintah terutama yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat banyak di daerahnya. Hal ini menjadi batu loncatan
dalam memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat terutama dari segi
pembangunan infrastruktur, ekonomi dan bantuan-bantuan sosial kepada
masyarakat. Dengan demikian kehidupan sosial ekonomi masyarakat di daerah
tersebut akan menjadi lebih baik.204
4) Pelaksanaan fungsi control
Partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol
terhadap pemerintah dalam pelaksanaan kebijaksanaan.Partisipasi politik
seseorang merupakan sebuah mekanisme dalam melakukan pengawasan
kepada pemerintah. Dengan adanya partisipasi dalam politik, masyarakat lebih
tanggap terhadap apa saja yang dilakukan oleh pemerintah ataupun wakil-wakil
rakyat yang telah terpilih. Contohnya kebijakan-kebijakan yang dijanjikan saat
kampanye apakah ada dilaksanakan ataupun tidak. Seandainya pelaksanaan
kebijaksanaan tersebut tidak dilaksanakan masyarakat dengan mudah
mengontrolnya dan menagih janji tersebut.205

202 Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 2000), h. 18.
203 Ibid.
204 Ibid. h. 19.
205 Ibid. h. 20.

450 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Partisipasi politik dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor
adalah sebagai berikut :
1) Faktor Sosial Ekonomi
2) Faktor Politik
Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan
suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
b. Kesadaran Politik.
c. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan.
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.206
1) Faktor Fisik Individu dan Lingkungan
4) Faktor Nilai Budaya. 207
Partisipai masyarakat dalam politik dapat menggeser politik lama dengan
politik baru yang lebih baik. Contohnya dengan adanya partisipasi politik, maka
perubahan politik di Provinsi Aceh semakin terlihat jelas seperti terbentuknya
lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di Aceh dan lahirnya Qanun-Qanun baru
sebagai ciri khas di Provinsi Aceh tersebut. Secara keseluruhan kita dapat melihat
dinamika perubahan peta kekuatan politik Aceh pasca Mou Helsinky sebagai sebuah
upaya pembangunan politik dari berbagai masalah yang terjadi di Provinsi Aceh.
Berkat adanya partisipasi masyarakat dalam politik tersebut telah terjadi
pembaharuan di Provinsi Aceh di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya.
Saat ini Provinsi Aceh telah mendapatkan otonomi khusus yang merupakan dasar
penyelenggaraan otonomi daerah di Aceh. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat
dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Jadi dapat disimpulkan
bahwa Perubahan politik mempunyai hubungan yang erat dengan partisipasi
masyarakat dalam politik karena perubahan politik dapat terjadi dengan berbagai
tujuan, diantaranya adalah memberikan kepada masyarakat suatu kesempatan untuk
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dari proses dan sistem perubahan politik
itu sendiri.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat dan bentuk
partisipasi politik seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial baik dari segi
pendidikan, pekerjaan, ekonomi maupun faktor lingkungan. Jika dilihat dari faktor

206 Surbakti, Memahami Ilmi Politik, (Jakarta, Gramedia Widiasarana, 2000), h. 119.
207 Ibid.

451 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pendidikan, orang yang berpendidikan tinggi dengan orang yang berpendidikan
rendah mempunyai tingkat partisipasi politik yang berbeda.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian
deskriptif analisis. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji secara mendalam
tentang partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara akibat perubahan politik Aceh.
Sumber data dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Data Primer, adalah sumber data utama dalam penelitian. Dalam penelitian yang
menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan informan mengenai
partisipasi masyarakat pada pemilu tahun 2014 dan permasalahan perubahan
politik dalam masyarakat.
2) Data Sekunder, adalah data pendukung yang mendukung data primer dalam
penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku referensi yang
sesuai dengan fokus penelitian dan jurnal-jurnal tentang perubahan politik Aceh
dan partisipasi masyarakat serta data-data yang diperoleh dari KIP Kabupaten
Aceh Utara.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
interaktif dengan tahapan penelitian pengumpulan data, reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang untuk
mendapatkan data yang valid, tentang perubahan politik dan partisipasi masyarakat
pada pemilu tahun 2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Hasil reduksi
tersebut perlu ditampilkan untuk masing-masing pola yang hendak dipahami duduk
persoalannya dan akhirnya peneliti dapat mengambil hasil dari pemahaman dan
pengertiannya.
Langkah-langkah analisa data yang dilakukan peneliti adalah :
1) Mengorganisasikan data dengan maksud agar data-data dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disaran oleh data.
2) Mengedit data-data dengan maksud supaya dapat membedakan data-data yang
perlu dan data-data yang tidak perlu sehingga akan memperoleh kesimpulan
sesuai dengan penelitian.
3) Reduksi data dengan maksud proses analisis untuk memilih, memusatkan
perhatian, menyederhanakan, mengabstraksikan serta mentransformasikan data
yang muncul dari catatan-catatan lapangan.

452 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
4) Kesimpulan data yaitu menyimpulkan keseluruhan data yang terkumpulkan
setelah direduksi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara
Nisam adalah salah satu Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara
dengan luas wilayah ±193,47 Km / 19347 Ha. Secara geografis, Kecamatan ini
berada pada bagian Barat Kabupaten Aceh Utara dengan Ibukota Kecamatan Keude
Amplaih. Kecamatan Nisam juga merupakan salah satu kecamatan induk dan bukan
merupakan hasil pemekaran dari kecamatan lain selama tahun 2000 sampai dengan
sekarang.
Kecamatan Nisam berbatasan langsung dengan Kecamatan Banda Baro di
sebelah barat dan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur dan Kota
Lhokseumawe di sebelah Timur, sedangkan untuk sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Dewantara dan Kota Lhokseumawe dan sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Nisam Antara.
Adapun kemukiman dalam Kecamatan ini sebanyak 3 kemukiman, yaitu
kemukiman Keude Amplaih yang terdiri atas 14 desa, kemukiman Blang Dalam
sebanyak 12 desa dan kemukiman Lhok Weng sebanyak 3 desa, sehingga total
jumlah seluruh desa yang terdapat di Kecamatan Nisam adalah sebanyak 29 desa.
Secara geografis, seluruh desa yang berada dalam wilayah Kecamtan Nisam
dikelompokan desa bukan pantai untuk kategori Dataran sedangkan jika ditinjau dari
letak topografis desa Kacamatan ini terbagi kedalam 2 wilayah topografi, yaitu
dataran yang terdiri atas 24 desa dan perbukitan 5 desa. Jika dilihat dari jarak ke
hutan tidak satupun desa di Kecamatan ini yang termasuk berada di dalam
hutan sedangkan untuk di tepi hutan sebanyak 5 desa dan di luar hutan sebanyak
24 desa.
Secara administrasi, pemerintahan Kecamatan Nisam menaungi 29 desa
dengan jumlah kepala desa sebanyak 29 orang dan sekretaris desa sebanyak 29
orang, dan jumlah kepala dusun disetiap desa berbeda-beda antara 3 sampai dengan
6 orang dengan jumlah total seluruh kepala dusun yang berada di Kecamtan Nisam
sebanyak 121 orang dengan jenjang pendiikan yang berbeda dari tidak tamat Sekolah
Dasar (SD) sampai ketingkat Diploma/Sarjana.
Jumlah penduduk Kecamatan Nisam berdasarkan hasil Sensus Penduduk
Tahun 2011 sebesar 17.115 Jiwa yang terdiri dari 8.469 jiwa laki-laki dan 8.646 jiwa

453 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
perempuan.Tingkat kepadatan penduduk perjiwa/untuk kecamatan ini dapat
dikatatakan tidak terlalu padat dengan rata-rata 88 perjiwa/ sehingga tingkat
pemerataan penduduk tidak merata hal ini dikarena lebih banyak wilayah ini
dimanfaatkan untuk pengelolaan perkebunan.
Sedangkan sex ratio untuk Kecamatan Nisam berdasarkan hasil Sensus
Penduduk tahun 2011 sebesar 98,15 menggambarkan bahwa jumlah penduduk
berjenis kelamin perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk
laki-laki dimana pada setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 98 orang
penduduk laki-laki. Namun ada beberapa desa yang penduduk berjenis kelamin laki-
laki lebih banyak dari penduduk dengan jenis kelamin perempuan dan yang tertinggi
porsentase sek ratio adalah desa Keutapang (138,28%) sedangkan untuk porsentase
sek ratio terendah adalah desa Blang Dalam Baroh (81,18%).
Jika dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis
kelamin maka penduduk terbesar berada pada kelompok umur 0 hingga 4 tahun yang
berjumlah 2.447 jiwa, didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebanyak 1.275 jiwa
sedangkan jenis kelamin perempuan hanya 1.172 jiwa. Untuk kelompok terkecil
berada pada umur 75 tahun keatas (lansia) yang berjumlah 295 jiwa yang didominasi
oleh 180 jiwa dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki sebanyak 115 jiwa.
Secara umum di Kecamatan Nisam tidak terdapat pasar dengan bangunan
permanen ataupun pasar dengan bangunan tidak permanen sedangkan untuk
kios/ndu terdapat 258 unit dan kedai makanan/minuman sebanyak 86 Unit. Bangunan
kios/ndu ataupun kedai makanan/minuman banyak terdapat di desa Mns. Meucat.
Industri kecil dan industri rumah tangga yang banyak terdapat di Nisam adalah
adalah untuk jenis industri anyaman, yaitu berjumlah 82 buah dan banyak terdapat
pada 4 desa yaitu Desa Blang Crok 10 buah, Menasah Krueng 16 buah, Menasah
Alue 10 buah dan yang paling banyak terdapat industri anyaman adalah di desa
Jeulikat yang berjumlah 40 buah.
Sebagai penunjang kelancaran mobilitas penduduk dari desa ke kota
Lhokseumawe untuk keperluan pribadi ataupun yang bersifat umum masyarakat
Nisam dapat memanfaatkan alat transportasi roda roda 4 yang selalu ada setiap
waktu dengan trayek Nisam – Krueng Geukuh. Alat tranportasi umum yang lebih
menyerupai angkutan kota (angkot) ini namun memiliki bentuk yang lebih besar dan
tinggi dan mampu menampung penumpang sebanyak 16 orang disebut oleh
masyarakat dengan istilah labi-labi karena mengingat jalannya yang lambat dan lebih

454 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
banyak berhenti. Labi-labi ini beroperasi setiap hari dari jam 06.00 WIB sampai
dengan jam 19.00 WIB.
Kecamatan Nisam merupakan salah satu wilayah penghasil komoditi
pertanian khususnya pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebuan.
Pemanfaatan lahan dari total luas wilayah 19.347 Ha sebesar 3.300 Ha lebih
digunakan untuk persawahan sedangkan sisanya sekitar ± 16.000 Ha dimanfaatkan
untuk pemukiman penduduk, perkebunan dan sebagian kecil merupakan lahan
kosong,rawa serta semak belukar.

Perubahan Politik di Aceh Pasca UUPA


Perubahan politik di Provinsi Aceh secara umum dan di Kecamatan Nisam
Kabupaten Aceh Utara pada khususnya yaitu perubahan politik yang ditimbulkan oleh
konflik yang mana lebih bersifat kekerasan untuk mengganti sistem politik yang ada
dengan sistem baru. Hal ini seperti yang dialami oleh masyarakat Aceh saat
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan tersebut
dilakukan untuk merubah sistem pemerintahan di Provinsi Aceh dengan sistem yang
baru. Sebelum adanya perjanjian MoU Helsinky, sebagian besar penghasilan di
Provinsi Aceh dikelola oleh pemerintah pusat tapi setelah adanya Undang-Undang
PA, penghasilan di Provinsi Aceh dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Bahkan
untuk mengganti sistem politik yang baru, di Provinsi Aceh lahir beberapa partai politik
lokal seperti PA, PDA dan PNA.
Dalam merubah sistem politik yang baru, contohnya strategi politik yang
digunakan oleh Partai Aceh juga berbeda dengan Partai Nasional dan Parlok lainnya
yang masih menggunakan cara-cara konvensional. Partai Aceh melakukan strategi
politik yang sederhana, murah dan efektif sementara strategi politik ini dianggap
terkenal bagi masyarakat di Aceh. Misalkan isu politik yang diusung yaitu MoU
Helsinky sebagai masa depan politik Aceh.
Pasca UUPA, telah terjadi babak kehidupan baru yakni tercapainya
perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
ditandai dengan berakhirnya konflik antar keduanya. Hal tersebut kemudian
menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi Aceh. Tentunya sebagai ibukota
dari Provinsi Aceh (Nanggore Aceh Darussalam). Beberapa dampaknya dapat dilihat
melalui tiga ruang lingkup, yaitu ruang lingkup sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam ruang lingkup sosial, dapat dilihat melalui diterapkannya syariat Islam
secara menyeluruh di Aceh melalui dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh

455 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(UUPA) tahun 2006. Sebagai upaya dalam mendukung penerapan syariat Islam
tersebut, maka dibentuklah qanun (peraturan daerah Aceh), salah satu contohnya
saat ini yaitu Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 mengenai aturan tentang hukuman
atas perilaku jarimah yang luas termasuk di dalamnya meliputi maisir (judi), khamar
(minum-minuman keras), dan khalwat (mesum).
Selanjutnya dalam ruang lingkup ekonomi, yakni sebelum tsunami dan Mou
Helsinki disepakati, kondisi perekonomian Aceh sangatlah miris terutama akibat dari
konflik yang terjadi berkepanjangan. Namun setelah tsunami dan Mou Helsinki telah
disepakati, kondisi perekonomian Aceh mulai membaik dimana infrastruktur seperti
gedung pemerintahan, pasar-pasar, sekolah-sekolah sudah mulai dibangun. Jika
dilihat dari segi pendidikan juga terjadi dampak yang cukup
signifikan.
Kemudian dari segi politik, terbentuknya MoU Helsinky merupakan sebuah
awal yang penting, dikarenakan dalam mengimplementasikan perjanjian tersebut
terdapat peran GAM yang cukup signifikan. Peran GAM dalam proses reintegrasi
menjadi penting untuk diperhatikan, terutama dengan masuknya kalangan GAM ke
dalam pemerintahan lokal pasca pilkada langsung pada Desember 2006.
Kemenangan tersebut telah membuka jalan bagi kalangan GAM, yang sebelumnya
bukan hanya berada di luar melainkan juga berhadapan dengan pemerintah, untuk
terlibat langsung dalam proses kebijakan publik di Aceh.
Secara keseluruhan kita melihat dinamika perubahan peta kekuatan politik
Aceh pasca UUPA sebagai sebuah upaya pembangunan politik dari berbagai
masalah yang terjadi. Perubahan politik pasca UUPA di Provinsi Aceh semakin
terlihat jelas seperti terbentuknya lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di Aceh dan
lahirnya Qanun-Qanun baru sebagai ciri khas di Provinsi Aceh tersebut. Secara
keseluruhan kita dapat melihat dinamika perubahan peta kekuatan politik Aceh pasca
Mou Helsinky sebagai sebuah upaya pembangunan politik dari berbagai masalah
yang terjadi di Provinsi Aceh.

Pengaruh Perubahan Politik di Aceh dengan Partisipasi Masyarakat pada


pemilu 2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
Perubahan politik dapat terjadi dengan berbagai tujuan, diantaranya adalah
memberikan kepada masyarakat suatu kesempatan untuk mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan dari proses dan sistem perubahan politik itu sendiri. Dengan
adanya perubahan politik dan partisipasi politik, masyarakat dapat mengontrol

456 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemerintah yang akan terpilih, selain itu partisipasi politik juga menjadi alat untuk
memilih pemimpin dan mengekspresikan eksistensi individu atau grup yang
mempengaruhi pemerintah melalui jalan terlibat dalam politik.
Dalam ruang lingkup sosial, sebagai upaya dalam mendukung penerapan
syariat Islam tersebut, maka dibentuklah qanun (peraturan daerah Aceh), salah satu
contohnya saat ini yakni Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 mengenai aturan
tentang hukuman atas perilaku jarimah yang luas termasuk di dalamnya meliputi
maisir (judi), khamar (minum-minuman keras), dan khalwat (mesum).
Selanjutnya dalam ruang lingkup ekonomi, kondisi perekonomian Aceh mulai
membaik dimana infrastruktur seperti gedung pemerintahan, pasar-pasar, sekolah-
sekolah sudah mulai dibangun. Jika dilihat dari segi pendidikan juga terjadi dampak
yang cukup signifikan.
Kemudian dari segi politik, peran GAM dalam proses reintegrasi menjadi
penting untuk diperhatikan, terutama dengan masuknya kalangan GAM ke dalam
pemerintahan lokal pasca pilkada langsung pada Desember 2006. Kemenangan
tersebut telah membuka jalan bagi kalangan GAM, yang sebelumnya bukan hanya
berada di luar melainkan juga berhadapan dengan pemerintah, untuk terlibat
langsung dalam proses kebijakan publik di Aceh.
Perubahan politik pasca UUPA di Provinsi Aceh semakin terlihat jelas seperti
terbentuknya lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di Aceh dan lahirnya Qanun-
Qanun baru sebagai ciri khas di Provinsi Aceh tersebut. Secara keseluruhan kita
dapat melihat dinamika perubahan peta kekuatan politik Aceh pasca Mou Helsinky
sebagai sebuah upaya pembangunan politik dari berbagai masalah yang terjadi di
Provinsi Aceh.
Partisipasi masyarakat dalam politik adalah keterlibatan individu atau
kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang
positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bentuk
partisipasi masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara tampak dalam
aktivitas-aktivitas politiknya.
Pengaruh antara perubahan politik Aceh dengan partisipasi masyarakat pada
pemilu 2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Dengan adanya perubahan
politik, partisipasi masyarakat tehadap partai lokal semakin nampak contohnya kader
dari Partai Aceh. Sementara partisipasi masyarakat terhadap partai nasional semakin
kecil bahkan hampir tidak kelihatan dalam masyarakat. Masyarakat tidak secara

457 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
otomatis berpartisipasi dalam politik dan mengabaikan segala hal yang berbaur
politik. Pada banyak hal, partisipasi politik masyarakat masih berlangsung dan
bahkan mungkin mengalami peningkatan. Namun, partisipasi politik yang ditunjukkan
tidak hanya melalui saluran-saluran yang disediakan oleh pemerintah. Semisal
terbentuknya KIP, PPK, PPS, KPPS, Hansip, dan lain-lain. Namun masih banyak
partisipasi masyarakat yang disebabkan tertarik terhadap suatu partai politik seperti
dengan sukarela menjadi kader partai, tim sukses partai, saksi partai dan lain
sebagainya.
Perubahan politik dengan partisipasi masyarakat sangat erat hubungannya.
Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum untuk merubah politik
yang ada, banyak hal-hal yang ikut berubah pula. Contohnya dari segi ekonomi sosial,
saat ini sudah banyak masyarakat miskin yang mendapat bantuan dari pemerintah
seperti bantuan rumah dhuafa, bantuan PKH, jaminan kesehatan, pendidikan gratis,
dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari infrastruktur: jalan sebagai jalur transportasi
sudah mulai bagus, jembatan sudah baik, pembangunan-pembangunan seperti
menasah dan tempat umum lainnya sudah ada perubahan kearah yang lebih baik.
Tujuan dari partisipasi masyarakat untuk melakukan perubahan politik
gunanya untuk menuju perubahan yang lebih baik dari semua sektor, dalam setiap
perubahan yang dilakukan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari
sektor politik, ekonomi, sosial dan budaya. dengan adanya partisipasi masyarakat
dalam merubah politik yang ada, kebijakan-kebijakan terdahulu yang masih kurang
baik akan diganti dengan kebijakan baru gunanya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat disegi politik, ekonomi dan sosial budaya.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 adalah adalah
berpartisipasi dalam penyelenggaraan kampanye. Saat kampanye diadakan, hampir
seluruh masyarakat ikut meramaikan, mulai dari anak-anak, dari yang muda sampai
dengan yang tua, laki-laki serta perempuan. Apalagi Kampanye partai Aceh, hampir
seluruh pelosok ikut meramaikan. Mereka meninggalkan semua aktivitas guna
menghadiri kampanye tersebut. Kampanye merupakan kegiatan menyampaikan
informasi dan menunjukkan visi, misi, dan program partai politik dalam pemilu
sehingga menarik simpatik masyarakat untuk memilihnya.
Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara pada pemilu 2014 banyak masyarakat yang aktif dalam diskusi-diskusi
politik, terlibat dalam tim sukses suatu partai, terlibat dalam penyelenggaraan pemilu
seperti menjadi tim sukses dari suatu partai, saksi suatu partai pada hari pemungutan

458 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
suara, sebagai pengawas pemilihan umum, penjaga keamanan, Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan (KPPS), dan lain-lain. Di samping itu di saat ada kampanye partai ramai
masyarakat yang ikut hadir pada kampanye tersebut. Selain itu masyarakat juga hadir
memberikan suara pada hari pencoblosan, ada juga sebagian masyarakat yang
mempengaruhi dari proses politik itu sendiri.
Di samping itu, bentuk-bentuk lain partisipasi politik masyarakat di Kecamatan
Nisam Kabupaten Aceh Utara pada pemilu 2014 antara lain partisipasi dalam bentuk
penyumbangan buah pikiran. Artinya orang tersebut ikut memberikan ide, gagasan
atau saran-saran yang dianggap berguna bagi suatu partai terutama saat-saat diskusi
politik dan pertemuan maupun rapat-rapat mengenai politik. Partisipasi politik
masyarakat dalam bentuk penyumbangan tenaga yaitu masyarakat membantu
dengan sukarela melalui tenaganya tanpa mengharapkan pamrih dari suatu golongan
atau partai politik. Contohnya seseorang mengajak sekelompok masyarakat untuk
memilih suatu partai, mempersiapkan kegiatan kampanye, menghadiri kampanye dan
lain-lain.
Adapun yang memotivasi partisipasi politik masyarakat di Kecamatan Nisam
Kabupaten Aceh Utara pada pemilu 2014 yaitu dengan adanya partisipasi politik dari
masyarakat orang-orang yang duduk di pemerintahan mulai dari Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota dan anggota DPR akan meningkatkan tanggung jawab terhadap
tugas yang dijalankan kepada masyarakat. Dengan adanya partisipasi politik, akan
adanya upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi
keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut
masyarakat banyak.
Di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara pada pemilu 2014 bahwa
partisipasi politik seseorang tidak serta merta melakukan begitu saja, namun ada
upaya-upaya, tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Contohnya dengan menjadi tim
sukses suatu partai, ketika calon yang didukungnya terpilih menjadi wakil rakyat
(DPR) akan memudahkan mereka dalam melakukan hubungan dengan pihak
pemerintah, misalnya mengajukan proposal bantuan dana usaha dari pemerintah,
sebagai jalan untuk mengembangkan usahanya, akan memperoleh dana-dana
apirasi dari anggota dewan, sebagai jalan untuk memperoleh kesempatan dalam
menerima bantuan pemerintah, dan lain sebagainya.

459 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Selain itu, yang memotivasi masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara pada pemilu 2014 berpartisipasi politik yaitu untuk meningkatkan harga
diri dan status sosialnya. Seseorang akan merasa bangga dan puas jika sudah
bergaul dengan pejabat-pejabat. Dengan memiliki kawan seorang pejabat, akan
memperbanyak koneksi dengan rekan-rekan yang lain sehingga banyak peluang
untuk jadi pribadi yang selalu dihormati dan disegani oleh orang lain.
Sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus juga salah satu yang memotivasi
masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara pada pemilu 2014. Jika
orang yang didukung terpilih sebagai wakil rakyat, pertama-tama yang diinginkan
adalah adanya balas jasa dari apa yang telah diperbuat sebelumnya. Jika orang
tersebut seorang kontraktor harapannya adalah setiap ada proyek dari pemerintah
dia akan mendapatkan proyek tersebut. Jika orang tersebut seorang pegawai yang
diharapkannya adalah kenaikan jabatan dari posisi sebelumnya dan jika orang
tersebut belum mempunyai pekerjaan, mungkin saja dia akan memperoleh pekerjaan
melalui bantuan anggota dewan yang telah dibantunya.
Tujuan masyarakat masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara
berpartisipasi politik pada pemilu 2014 yaitu untuk mendukung program-program
pemerintah. Dengan mendukung suatu partai diharapkan akan adanya program
pembangunan di daerah tersebut sehingga akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut. Di samping itu dengan terlibatnya seseorang dalam
partisipasi politik, akan memudahkan orang tersebut untuk mendrikan organisasi-
organisasi sebagai penghubung masyarakat dengan pemerintah terutama dalam
menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat kepada pemerintah melalui anggota
dewan.
Dengan adanya partisipasi seseorang dalam politik, orang tersebut
mempunyai kesempatan untuk menyampaikan masukan-masukan, saran-saran
kepada pemerintah terutama yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
banyak di daerahnya. Hal ini menjadi batu loncatan dalam memperjuangkan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat terutama dari segi pembangunan infrastruktur,
ekonomi dan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan demikian
kehidupan sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut akan menjadi lebih baik.
Partisipai masyarakat dalam politik telah menggeser politik lama dengan politik baru
yang lebih baik. Contohnya dengan adanya partisipasi politik, maka perubahan politik
di Provinsi Aceh semakin terlihat jelas seperti terbentuknya lembaga-lembaga
berbasiskan Syari’at di Aceh dan lahirnya Qanun-Qanun baru sebagai ciri khas di

460 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Provinsi Aceh tersebut. Secara keseluruhan kita dapat melihat dinamika perubahan
peta kekuatan politik Aceh pasca UUPA sebagai sebuah upaya pembangunan politik
dari berbagai masalah yang terjadi di Provinsi Aceh.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perubahan politik Aceh dan
pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat pada Pemilu 2014 dapat disimpulkan
bahwa :
1. Perubahan politik di Aceh pasca UUPA semakin terlihat jelas seperti terbentuknya
lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di Aceh seperti Mahkamah Syari’yah,
Majelis Permusyawaratan Ulama, Lembaga Wali Naggroe, Lembaga Adat yang
terdiri dari Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim Imeum chik, Keuchik, Tuha Peuet,
Tuha Delapan, Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima laot, Pawang Glee,
Peutua Seuneubok, Syahbanda. Dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah dan
lahirnya Qanun-qanun di Provinsi Aceh contohnya; Qanun Aceh No. 07 Tahun
2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh, Qanun Aceh No. 01
Tahun 2008 tantang Pengelolaan Keuangan Aceh, Qanun Aceh No. 02 Tahun
2008 tentang ata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas
Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, Qanun Aceh No.03 Tahun 2008
tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota DPRA dan DPRK,
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat, Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, dan lain-lain.
2. Pengaruh perubahan politik di Aceh dengan partisipasi masyarakat pada pemilu
2014 di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara yaitu dengan adanya perubahan
politik, kondisi perekonomian Aceh juga mulai membaik dimana infrastruktur
seperti gedung pemerintahan, pasar-pasar, sekolah-sekolah sudah mulai
dibangun, Jika dilihat dari segi pendidikan juga terjadi dampak yang cukup
signifikan. Dari segi politik, lahirnya partai-partai lokal seperti PA, PNA dan PDA.

REKOMENDASI
Berdasarkan hasil yang diperoleh di atas, dapat direkomendasikan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari berbagai jenis, oleh karena itu
diharapkan kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan partisipasinya dalam

461 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penyelenggaran pemilu sehingga hasil yang diperoleh dari pemilu benar-benar
adil, jujur dan bersih.
2. Perubahan politik Aceh sangat erat hubungannya dengan partisipasi masyarakat,
oleh karena itu diharapkan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
melakukan perubahan kebijakan-kebijakan yang lama kepada kebijakan-kebijakan
yang baru sesuai dengan inspirasi masyarakat sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik dari segi politik maupun ekonomi dan sosial
budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Huraerah. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Model dan
Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung:Humaniora.
A. Rahman. H. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Emil Salim. 2000. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan.
Jakarta:Yayasan Idayu.
Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta:Gajah Mada
University Press.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Kusnadi, 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang:Taroda.
Lexy.J. Moleong, Lexi J. 2005. Metode Penelitia. Galia Indonesia. Jakarta.
Martin Jimung, 2005. Partai Lokal dan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif
Otonomi Daerah. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta
Miriam Budiarjo. 2003. Masalah Kenegaraan. Gramedia. Jakarta.
Mariam Budiarjo.2000. Partsisipasi dan Partai Politik. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Mochtar Mas’oed, 2003. Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Ramlan Surbakti, 2000. Memahami Ilmi Politik. Gramedia Widiasarana, Jakarta.
Robert, H. Lauer, 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta.
Robert lawang, 1994. Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Universitas Terbuka,
Jakarta.

462 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Ruslan. 2003. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta:Rineka Cipta.
Samuel. P. Huntington dan Nelson, Joan. 2004. Partisipasi Politik di Negara
Berkembang. Jakarta:Rineka Cipta.
Sastroatmojo. 2002. Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa. Jakarta:Sinar
Harapan.
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang:IKIP Press.

Jurnal/Artikel:
Baharuddin, Optimaslisasi Peran Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik
Masyarakat pada Pemilu Legislatif Berdasarkan Undang Undang Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Studi di Kalimantan Barat), Jurnal, 2014.
Junaidi, Pergeseran Peran Partai Politik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
:22-24/PUU-VI/2008, (Jurnal: Ilmu hukum, Vol.2 Nomor 2, 2013.
Tia Subekti, Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum (Studi Turn of
Voter dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Magetan Tahun
2013), (Jurnal: Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya, 2014

463 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DEMOKRASI DAN PENGAWASAN PEMILU

Dede Sri Kartini208

ABSTRAK
Pelaksanaan demokrasi mudah terlihat salah satunya ketika adanya pelibatan rakyat
dalam menentukan pemimpinya melalui pemilu. Namun pelaksanaan pemilu tanpa
pengawasan, mustahil menghasilkan pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pengawasan pemilu secara teoritis masih meminjam konsep-konsep manajemen
yang tentunya perlu diskursus untuk menemukan konsep bahkan definisi
pengawasan pemilu yang tepat. Kajian pustaka ini bermaksud untuk mendiskusikan
definisi pengawasan pemilu, ruang lingkup pengawasan pemilu, jenis-jenis
pelanggaran pemilu, kemudian mengaitkanya dengan demokrasi. Sejarah
pengawasan pemilu, juga akan disampaikan sebagai pembuka tulisan ini. Untuk
mengawal demokrasi diperlukan pengawasan pemilu yang memang dilaksanakan
secara struktur dari mulai Bawaslu sampai Panwaslu yang ada di Desa/Kelurahan,
juga pengawasan yang partisipatif dengan melibatkan sukarelawan dari kalangan
masyarakat.
Kata Kunci : demokrasi, pengawasan pemilu, pelanggaran pemilu

PENDAHULUAN
Demokrasi mensyaratkan adanya suksesi kepemimpinan melalui pemilu secara
reguler, selain itu pemilu juga menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dengan memilih anggota legislatif. Dengan memandang pemilu merupakan
kesempatan bagi rakyat untuk memilih pejabat politik, maka diperlukan pengawasan
untuk memastikan jalanya pemilu secara jujur dan adil. Pilkada langsung yang
merupakan hidupnya demokrasi lokal juga merupakan tahapan dalam proses
desentralisasi. Pemilihan langsung juga telah membuka lebar untuk memelihara
demokrasi lokal yang telah tertunda selama Seoharto berkuasa (Sulistiyanto dan
Maribeth Erb, 2009 : 3).
Meskipun Indonesia sudah memiliki lembaga yang khusus mengawasi pemilu
yaitu Bawaslu, tapi Bawaslu belum memiliki bank data tentang pelanggaran pemilu,
misalnya Bawaslu belum dapat membandingkan jumlah pelanggaran dalam pilkada
serentak 2015 dan 2017. Hal ini menunjukkan kurangnya tenaga dan dana untuk
pengawasan pemilu atau manajemen pemilu dari sisi pengawasan yang belum
terbentuk, sehingga Bawaslu belum berani mempublikasikan jumlah pelanggaran
pemilu yang valid. Usaha Bawaslu yang telah mengidentifikasi 8 (delapan) ruang

208 Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad

464 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
lingkup pengawasan pemilu209 patut kita hargai. Kedelapan jenis pelanggaran pemilu
tersebut adalah :
1. Pengawasan penyusunan daftar pemilih
2. Pengawasan tahapan pencalonan
3. Pengawasan tahapan kampanye
4. Pengawasan dana kampanye
5. Pengawasan logistik
6. Pengawasan pemungutan dan penghitungan suara
7. Pengawasan rekapitulasi penghitungan suara
8. Pengawasan netralitas ASN (Aparat Sipil Negara)
Pemilu yang baik menurut Ozbudun seperti yang dikutip Sayed dalam Amalia
(2016 : 16) dari Weiner, tergantung tiga hal yaitu :
Pertama, adanya hak pilih universal bagi orang dewasa (universal adult
suffrage) tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan
semacamnya. Kedua, adanya proses pemilu yang adil (firness of voting),
keadilan dalam hal ini meliputi adanya jaminan kerahasiaan dalam proses
pemilu (secret ballot), adanya jaminan bahwa prosedur penghitungan suara
dilakukan secara terbuka (open counting), tidak ada kecurigaan dalam proses
pemilu mulai dari pendaftaran hingga penghitungan suara, tidak ada
kekerasan politik yang dilakukan – baik oleh aparat, partai politik, maupun
pemilih – (absence of violence), dan tidak ada intimidasi (absence of
intimidation). Ketiga, adanya hak untuk mengorganisir dan mengajukan calon
(khuusnya partai politik sebagai peserta pemilu.

Lengkapnya organ-organ pengawasan dari pusat sampai daerah (mulai


Bawasalu dari tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Panwas sampai
Kecamatan) tiada lain untuk menjamin pemilu yang baik seperti yang diuraikan di
atas. Agar pemilu dapat dilaksanakan dalam situasi yang demokratis, maka perlu ada
lembaga yang menjalankan pengawasan pemilu dari Pusat sampai daerah.

PEMBAHASAN
Melalaui websitenya, Bawaslu mengeluarkan uraian singkat tentang sejarah
pengawasan pemilu210 di Indonesia. Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul
pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap
pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa.

209 https://idonesiana.tempo.com/read/108926/2017/03/09/Potret- Pelanggaran- Pilkada -2017. Diakses tanggal 24


Maret 2017 pukul 11.19
210 http://www.bawaslu.go.id/id/profil/sejarah-pengawasan-pemilu tanggal 24 Februari 2017 jam 22.27

465 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas
banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh
para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu
yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon
pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan
memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982.
Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil
peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga
mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk
mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat
mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat. Untuk itulah dibentuk
sebuah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur
tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggara Pemilu
sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri
(sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain lembaga pengawas pemilu juga
berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu).
Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru
dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini dalam
pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah lembaga adhoc terlepas dari
struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan. Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya
sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun
aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat
kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas
Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan
Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun selanjutnya
berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review yang
dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen

466 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan
utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta
menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta
kode etik.
Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih berjalan dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya
lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan Pengawas
Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu
juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat
Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan, selain kewenangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu
berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 juga memiliki kewenangan
untuk menangani sengketa Pemilu.
Ajaran klasik tentang demokrasi menyatakan bahwa rakyat memiliki kedaulatan
tertinggi, sehingga kalau perlu kedaulatan tersebut tidak perlu diserahkan kepada
orang lain. Namun, kompleksnya kehidupan saat ini tidak mungkin menerapkan ide
Aristoteles atau Rouseau tersebut.
Rakyat seharusnya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah diri sendiri tanpa
menyerahkan kekuasaannya kepada instansi lain manapun. Begitulah
himbauan yang melekat di dalam ajaran klasik tentang demokrasi. Akan tetapi
pada saat teori klasik ini dirumuskan, masyarakat belum sekompleks sekarang.
Polis Yunani kuno, tempat Aristoteles hidup, atau kanton Swiss yang menjadi
acuan Rousseau dalam dalam ajaran demokrasinya bukanlah masyarakat-
masyarakat dengan populasi giantis seperti negara-negara modern dengan
metropolis-metropolis dalam era globalisasi dewasa ini. Untuk memahami
himbauan ini sesuai dengan perubahan zaman, orang harus memperhitungkan
fakta pluralis didalam masyarakat-masyarakat kompleks yang terglobalisasi
dewasa ini. (Hardiman, 1992 : 125)

Beragamnya kehendak masyarakat untuk memilih atau dipilih, memerlukan


mekanisme yang terstruktur untuk terwujudnya demokrasi. Demokrasi memang
menekankan kesamaan akan hak untuk berkuasa bagi siapapun, tapi kehendak
untuk berkuasa tersebut disalurkan melalui momen tertentu yaitu pemilu. Pemilu ini
pula yang sekaligus menjadi salah satu syarat demokrasi berjalan. Adanya jaminan
hak pilih dalam pemilu yang bebas diwujudkan dalam partisipasi orang dewasa dalam
memilih.
Powell Jr., secara lengkap mengemukakan kriteria negara demokratis yaitu :

467 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
1. Pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warganya;
2. Klaim itu berdasarkan pada adanya pemilihan kompetisi secara berkala antara
calon alternatif
3. Partisipasi orang dewasa sebagai pemilih dan calon dipilih
4. Pemilihan bebas
5. Warga negara memiliki kebebasan-kebebasan dasar yaitu kebebasan
berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta
membentuk partai politik. (Tim ICE UIN Jakarta, 2005)

Pemilu merupakan ekspresi formal pemilih yang diatur untuk kemudian


diakumulasikan apakah terjadi pemindahan kekuasaan atau tidak, Harrop dan Miller
menyatakan secara lengkap “pemilu adalah sebuah preferensi ekspresi formal yang
diatur untuk kemudian ditampung dan ditransformasikan kedalam sebuah keputusan
kelompok tentang siapa yang akan memerintah – apakah ada pergantian dalam
kepemimpinan pemerintahan atau tidak”. (Harrop dan Miller, 1987 : 2). Sedangkan
Heywood menyatakan “Pemilu menyediakan bagi masyarakat kesempatan formal
yang paling jelas untuk memengaruhi proses politik, dan juga membantu secara
langsung atau tidak langsung, untuk menentukan siapa yang akan memegang
kekuasaan pemerintahan”. (Heywood, 2014 : 372-373). Sehubungan pemilu adalah
aktivitas formal yang dibiayai negara, maka lembaga-lembaga yang terlibat juga
formal, untuk Indonesia, lembaga pelaksana adalah KPU dan lembaga pengawas
adalah Bawaslu.
Menurut Heywood, terdapat dua pandangan berbeda tentang fungsi pemilu,
yaitu pandangan konvensional yang menyatakan bahwa pemilu merupakan sebuah
mekanisme dimana para politisi dapat dituntut untuk memperhitungkan dan dipaksa
untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan opini publik.
Pendekatan seperti ini menenkankan bottom-up dari pemilu yaitu rekrutmen politik,
perwakilan, pembentukan pemerintahan, pemberian pengaruh pada kebijakan dan
sebagainya. Disisi lain, pandangan yang radikal dikemukakan oleh Ginsberg (1982),
menggambarkan pemilu sebagai sarana elit politik melakukan kontrol atas rakyatnya,
menjadikan mereka lebih tenang, lebih lunak dan tetunya lebih mudah diatur.
Pandnagn ini lebih menekankan fungsi top-down dari pemilu : pembagunn legitimasi,
pembentukan opini pulik dan penguatan pas elit. Pemilu menurut Heywood tidak
hanya memiliki karakter tunggal, pemilu bukan sekedar mewujudkan akuntabilitas
publik ataupun melakukan kontrol atas rakyat, tapi sebagaimana komunikasi politik,
pemilu memiliki jalur dua arah yang menyediakan bagi pemerintahan dan rakyat, para
elit dan masyarakat, kesempatan untuk saling mempengaruhi satu sama lain .
Fungsi utama dari pendekatan bottom-up dan top down adalah :

468 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
 Rekrutmen para politisi. Di negara-negara demokratis, pemilu merupakan
sumber utama rekrutmen politik, juga merupakan proses dimana partai politik
mencalonkan kandidatnya. Para politisi biasanya memiliki daya pikat untuk
dipilih, seperti karisma, keterampilan berorasi dan penampilan yang baik.
Namun, mereka tidak perlu memiliki bakat untuk melaksanakan tugas-tugas
konstituensi, atau terampil dalam menjalankan tugas kementrian. Pemilu
memang tidak diajdikan sarana utama untuk mengisi jabatan-jabatan yang
memerlukan keterampilan dan pengetahuan khusus.
 Pembentukan pemerintahan. Tergantung sistem pemerintahan yang
dipakai, bila sistem pemerintahan parlementer yang diapaki maka parlemen
berperan membentuk pemerintahan, bila pemilihan langsung terhadap
presiden yang dipakai maka rakyatlah yang berperan membentuk
pemerintahan.
 Menyediakan perwakilan. Ketika pemilu berlangsung jujur dan kompetitif,
pemilu merupakan sarana dimana tuntutan rakyat disalurkan kepada
pemerintah. Kalau penggunaan inisiatif dan recall tidak ada, maka pemilih
tidak memiliki sarana yang efektif untuk menjamin bahwa mandat mereka
dialaksanakan, dengan kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi, pemilih
dapat memebri hukuman pada pemilu berikutnya.
 Memengaruhi kebijakan. Pemilu dapat menghindari pemerintahan yang
akan menjalankan kebijakan radikal dan sangat tidak populer. Hanya dalam
kasus-kasus yang luar biasa, isu tunggal mendominasi kampanye akan
berpengaruh pada kebiijakan publik. Dapat pula dikatakan kebijakan politik
yang digariskan dalam pemilu . memiliki sedikit pengaruh pada kebijakan.
Kebijakan pemerintahan, bagaimanapun lebih dibentuk pada keadaan kondisi
riil, misalnya keadaan ekonomi daripada pertimbngn sektoral.
 Mendidik para pemilih. Kampanye dapat dijadikan sarana bagi para pemilih
untuk menseleksi beragam informasi, partai politik, kandidat, kebijakan,
berita-berita teetang petahana yang terkini, dan sebagainya. Namun, semua
hal tersebut akan menjadi pendidikan para pemilih jika informasi yang
disediakan dan bagaimana diediakan, memunculkan ketertarikan masyarakat
sehingga dapat memunculkan diskusi dan debat, bukan sebaliknya
mendorong pati dan alienasi. Ketika kandidat dan partai politik, sekedar
melakukan pendekatan kepada pemilih, seperti memberikan informasi yang
tidak lengkap dan tidak benar, maka ini berarti partai dan kandidat tidak

469 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberikan pendidikan pemilih. Dalam hal ini partai politik dan kandidat
memberi sumbangan kesalahan yang besar dalam mengisi pemikiran pemilih.
 Membangun legitimasi. Alasan rezim otoriter selalu melakukan pemilu,
meskipun pemilu tersebut tidak kompetitif, ini dikarenakan pemilu turut
membantu memperkuat legitimasi. Melalui pemilu suatu rezim memperoleh
pembenaran bagi sebuah sistem kekuasaan. Bagaimanapun kampanye dapat
dijadikan sarana untuk memperkuat status calon dan pengaruh seremonial
pada kandidat. Hal yang terpenting dari pemilu adalah dapat mendorong
warga untuk berpartisipasi dalam politik, meskipun hanya sekedar memilih.
Pemilu bagaimanapun dapat menggalang kesepakatan aktif dari pemilih.
 Memperkuat para elit. Pemilu juga dapat menjadi sarana bagi para elit untuk
memanipulasi dan mengendalikan masyarakat. Ketidakpuasan dan
penentangan politik dapat dinetralkan oleh pemilu yang menyalurkan
ketidakpuasan tersebut ke dalam sebuah konstitusi, dan memungkinkan
pemerintahan untuk datang dan pergi sementara rezim itu tetap bertahan.
Pada saat yang sama, elit dapat memberikan pada warga bahwa rakyat
memiliki kekuasaan atas pemerintahan. (Heywood, 2014 : 362-364)
Indonesia menyelenggarakan pemilu dengan menggunakan pendekatan
bottom-up, sehingga fungsi pemilu sebagai berikut :
 Rekrutmen para politisi. Pemilu merupakan sumber utama
rekrutmen politik, dari mulai jabatan tertinggi kutuk menduduki jabatan
Presiden/Wakil Presiden dan jabatan legislatif tertinggi Ketua
DPR/DPD/MPR, juga jabatan Kepala daerah terendah yaitu Walikota-
Wakil Walikota/Bupati-Wakil Bupati beserta anggota DPRD.
 Pembentukan pemerintahan. Dengan sistem pemilihan langsung
terhadap presiden, maka rakyat Indonesia berperan membentuk
pemerintahan. Terpilihnya Presiden hasil pilihan rakyat, otomatis
Presiden memilih Menteri-Menteri untuk membantu Presiden
menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
 Menyediakan perwakilan. Ketika pemilu berlangsung jujur dan
kompetitif, pemilu merupakan sarana dimana tuntutan rakyat dapat
disalurkan kepada pemerintah dan DPR/DPRD. Ketika tuntutan rakyat
tidak dapat diakomodir baik oleh eksekutif maupun legislatif, maka
rakyat dapat menghukunya dengan tidak memilih mereka kembali di
pemilu berikutnya.

470 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
 Mempengaruhi kebijakan. Pemilu dapat menghindari pemerintahan
yang akan menjalankan kebijakan radikal dan sangat tidak populer.
Melalui kampanye, rakyat dapat menyeleksi kebijakan mana saja yang
dibutuhkan oleh rakyat, sehingga apabila kandidat mengemukakan
kebijakan yang kontroversi, maka rakyat tidak perlu memilihnya.
 Mendidik para pemilih. Beragam informasi yang muncul pada saat
kampanye, akan membawa rakyat ke dalam diskusi di lingkungan
kerja, diskusi publik, perbincangan santai dan sebagainy. Rakyat diberi
kesempatan untuk menseelkasi mana informasi yang benar dan tidak.
Pemilih yang aktif akan mencari, membandingkan, menseleksi,
membandingkan semua informasi kemudian menentukan pilihan. Hal
ini merupakan bagian dari pendidikan politik, sehingga pemilih tak
sembarangan menentukan pilihan.
 Membangun legitimasi. Sahnya suatu kekuasaan salah satunya
dapat diperoleh melalui pemilu. Meskipun rakyat hanya sekedar
memilih, setidaknya pemilu telah mendorong rakyat untuk
berpartisispasi dalam politik. tingginya partisipasi memilih,
menunjukkan derajat legitimasi yang diperoleh sebua rezim.
 Memperkuat para elit. Pemilu dapat menetralkan kelompok-
kelompok yang tidak puas terhadap pemerintahan, atau kelompok-
kelompok yang ingin berkuasa. Ketidakpuasan dan keinginan tersebut,
dapat disalurkan secara konstitusional melalui pemilu. Kelompok ini
dapat ikut serta dalam pemilu dengan cara memberi alternatif
kebijakan kepada pemilih.

Tujuan pemilu pada dasarnya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat,


disamping terpilihnya pejabat politik secara sah dan damai, sedangkan pengawasan
adalah untuk melihat kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan
sehingga tujuan tercapai. Dengan demikian, pemilu yang merupakan salah satu
indikator demokrasi perlu diawasi agar tujuan pemilu tercapai. Dengan pengawasan
diharapkan dapat memberi masukan pada pengambil keputusan untuk : (1)
menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambat dan ketidakadilan; (2) mencegah terulangnya kembali
kealahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan
ketidakadilan; dan (3) mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang

471 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
telah baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok fungsi
organisasi dan pencapaian visi misi organisasi dalam penyelenggaraan pemilu –
karena konteksnya pemilu-.(Suryanto, 2008 : 143-144)
Menurut Stoner dan Freeman (1989 : 556) yang dikutip oleh Wasistiono dan
Yonatan (2009 : 143), dikatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk
menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan. Sedangkan Koontz (1994
: 578) berpendapat bahwa pengawasan adalah untuk melakukan pengukuran dan
tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara obyektif dan
merencnakan suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi.
Selanjutnya secara sederhana disebutkan bahwa pengawasan adalah
kegiatan yang dilaksanakan agar visi, misi atau tujuan organisasi tercapai dengan
lancar tanpa ada penyimpangan atau segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui
dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan
apakah yang sesuai dengan semestinya atau tidak.
Menurut Griffin (1997 : 607) dalam Wasistiono (2009 ; 143) bahwa proses
pengawasan memiliki empat dasar tahapan yaitu :
a). Establish standards, dengan menetapkn kembali target atau program yang berikut
untuk perbandingan yang membawa kinerja terukur, standar pengawasan inipun
selalu konsisten terhadap tujuan organisasi.
b). Measurement performance, ukuran kinerja yang tetap, kegiatan yang terus
menerus pada sebagain besar organisasi, untuk suatu pengawasan yang efektif
ukuran kinerja harus benar atau sah, harian, mingguan atau bulanan, penampilan
ukuran pelayanan dari suit Post, kualitas produk dan jumlahnya, penampilan
pekerja sering diukur antara mutu dan jumlah terhadap hasil.
c). Compare performance Grains standar, membandingkn kembali kinerja dengan
standar, mungkin kinerja lebih tinggi, atau lebih rendah atau sama dengan standar.
d). Consider corrective action, keputusan untuk mengambil tindakan yang berat,
manajer memerlukan analisis dan keahlian diagnostik, meneliti tingkat
penyimpangan atau merubah standar atau ukuran atau norma.
Pengawasan pemilu diusulkan oleh Panwaslu Kabupaten Sumbawa untuk
didefinisikan sebagai “proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan pemilu
untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan dalam pemilu berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”211. Terkait dengan pengawasan pemilu

http://panwaslukabsumbawa.blogspot.co.id/2013/07/pengawasan-pemilu-sebuah-definisi.html tanggal 24 Feb


211
2017 pukul 22.44

472 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini maka UU No. 15/2011 pada Pasal
1 Angka 23 menyebutkan arti “pengawasan pemilu” sebagai “kegiatan mengamati,
mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai peraturan
perundang-undangan”. Secara lebih rinci, pengertian pengawasan pemilu
sebagaimana disebutkan di atas dapat diuraikan sebagaimana di bawah ini.

Pengawasan Pemilu sebagai Kegiatan Mengamati Seluruh Proses


Penyelenggaraan Tahapan Pemilu.
UU No. 15/2011 telah mengamanatkan bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL dan PPLN bertugas
melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan
pemilu. Kegiatan pengawasan dimaksud berupa pengamatan terhadap seluruh
proses dalam tahapan penyelenggaraan pemilu, yakni: (a) pemutakhiran data
pemilih; (b) pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden,
serta calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (c) proses penetapan calon
anggota DPR, DPD dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (d) pelaksanaan kampanye; (e) pengadaan logistik
Pemilu dan pendistribusiannya; (f) pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara, dan penghitungan suara hasil Pemilu; (g) pengawasan seluruh proses
penghitungan suara di wilayah kerjanya; (h) proses rekapitulasi suara; (i)
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan
Pemilu susulan; serta, (j) proses penetapan hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pengawasan Pemilu sebagai Kegiatan Mengkaji Prospek-Prospek Tertentu


yang Diduga Berpotensi Terjadinya Pelanggaran Pemilu.
Berdasarkan praktek penyelenggaraan pemilu di Indonesia selama ini,
penyelenggaraan pemilu kerap memunculkan masalah-masalah penegakan hukum.
Situasi ini disebabkan tidak lain karena peluang untuk terjadinya pelanggaran sangat
terbuka, baik pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu
(partai politik, pasangan calon, maupun perseorangan), tim kampanye, pemerintah,
pemilih, serta masyarakat umum. Oleh karenanya, pengawasan pemilu juga
dilakukan melalui kegiatan mengkaji prospek-prospek tertentu yang diduga
berpotensi terjadinya pelanggaran pemilu. Prospek-prospek dimaksud sebagaimana
disebutkan dalam Perbawaslu No. 13/2012 tentang Tata Cara Pengawasan Pemilu.

473 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Di dalam Perbawaslu No. 13/2012 ditekankan perlunya kajian dalam bentuk
analisis guna mengidentifikasi dan memetakan potensi rawan pelanggaran pemilu, di
setiap tahapan, ataupun aspek lainnya yang tidak termasuk tahapan pemilu. Hal ini
dimaksudkan agar diketahui:
1) perintah atau larangan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan;
2) ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak tegas
sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir;
3) adanya perbedaan penafsiran antar pemangku kepentingan dalam memahami
ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) subjek atau pelaku yang berpotensi melakukan pelanggaran; dan
5) wilayah pengawasan dengan mempertimbangan tinggi rendahnya tingkat
kerawanan dan besarnya potensi pelanggaran pada wilayah tertentu berdasarkan
pengalaman pemilu sebelumnya.

Pengawasan Pemilu sebagai Kegiatan Memeriksa Laporan dan Bukti-Bukti


yang Diperoleh sebagai Indikasi Awal Dugaan Pelanggaran Pemilu.
Pengawasan pemilu sebagai kegiatan memeriksa, dapat diartikan pula
sebagai kegiatan “melihat, mencermati, dan memperoleh” laporan atau bukti-bukti
yang menjadi indikasi awal dugaan pelanggaran pemilu. Dalam konteks ini,
pengawasan pemilu harus bersifat fact finding, yakni menemukan fakta-fakta yang
menjadi indikasi awal dugaan pelanggaran pemilu melalui teknik pengawasan
langsung, dengan cara:
1. Pengawas pemilu secara aktif mendapatkan informasi dan data yang dibutuhkan
dari KPU dan jajarannya, serta dari pihak-pihak terkait lainnya;
2. Pengawas pemilu memastikan kelengkapan, kebenaran, keakuratan serta
keabsahan data dan dokumen yang menjadi objek pengawasan pada masing-
masing tahapan pemilu;
3. Pengawas pemilu melakukan konfirmasi kepada para pihak terkait dalam hal
terdapat indikasi awal terjadinya pelanggaran; dan
4. Pengawas pemilu melakukan kegiatan atau langkah-langkah lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai tindak lanjut dari hasil pengawasan di atas, pengawas pemilu
memperoleh hasil pengawasan, berupa: informasi awal potensi pelanggaran
dan/atau temuan dugaan pelanggaran; serta laporan masyarakat yang disampaikan

474 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
secara tidak langsung (dimana laporan ini dikategorikan sebagai informasi awal untuk
pengawas pemilu).
Atas informasi awal potensi pelanggaran berupa data dan dokumen yang
menjadi objek pengawasan pada masing-masing tahapan pemilu, pengawas pemilu
melakukan pencermatan terhadap kelengkapan, kebenaran, keakuratan serta
keabsahan data dan dokumen dimaksud. Jika informasi awal potensi pelanggaran itu
berupa laporan masyarakat yang disampaikan secara tidak langsung, pengawas
pemilu dapat melakukan konfirmasi kepada para pihak terkait atas laporan dimaksud.
Dan, apabila potensi pelanggaran tersebut adalah temuan dugaan pelanggaran,
berupa bukti awal dugaan pelanggaran yang diperoleh dari: keterangan saksi, surat
atau dokumen, rekaman foto atau video, dokumen elektronik, atau alat
peraga, pengawas pemilu dapat mengkaji bukti-bukti awal tersebut guna
menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti temuan dugaan pelanggaran dimaksud.

Pengawasan Pemilu sebagai Kegiatan Menilai Proses Penyelenggaraan Pemilu.


Dalam penyelenggaraan pengawasan pemilu kegiatan pengawasan pemilu
secara final bertujuan untuk menilai proses dalam seluruh tahapan penyelenggaraan
pemilu. Tujuan sebagaimana dimaksud guna:
1. Memastikan terselenggaranya pemilu secara LUBER, JURDIL, dan Berkualitas,
serta dilaksanakannya peraturan perundang-undangan mengenai pemilu secara
menyeluruh;
2. Mewujudkan pemilu yang demokratis; dan
3. Menegakkan integritas, kredibilitas penyelenggara, transparansi penyelenggaraan
dan akuntabilitas hasil pemilu.
Penilaian terhadap proses dalam seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu
sebagaimana dimaksud di atas dilakukan melalui laporan hasil pengawasan pemilu
yang disampaikan oleh pengawas pemilu pada setiap tahapan dan seluruh tahapan
penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara berjenjang dari pengawas pemilu di
tingkat bawah kepada pengawas pemilu di tingkat atasnya.
Sedangkan penulis mengusulkan bahwa definisi pengawasan pemilu adalah
kegiatan-kegiatan yang dilakukan bauk secara struktural maupun non struktural untuk
mencapai tujuan pemilu. Definisi tersebut dikemukakan dengan argumentasi sebagai
berikut :
1. Kegiatan pengawasan pemilu meliputi 4 kegiatan seperti yang disebutkan
di atas.

475 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
2. Secara struktural dan non struktural, secara struktural pengawasan
dilakukan oleh Bawaslu di tingkat Nasonal dan Propinsi, Panwaslu untuk
tingkat Kota/Kabupatens dan Panwas untuk tingkat Kecamatan dan
Desa/Kelurahan, sedangkan nun-struktural, pengawasan pemilu
dilakukan oleh para relawan dan individu.
3. Tujuan pemilu untuk rekrutmen pejabat politik dengan cara yang sah dan
damai.

PENUTUP
Pemilu yang merupakan salah satu pilar demokrasi, telah memberi kesempatan
kepada rakyat secara langsung untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Namun
pemilu juga bisa dipandang baik secara bottom-up maupun top-down. Indonesia yang
mengunakan pemilu secara bottom-up, memiliki tujuan pemilu yaitu untuk merekrut
pejabat politik secara sah dan damai. Untuk mencapai tujuan itulah diperlukan
pengawasan pemilu, agar tujuanya tercapai. Setelah melakukan kajian pustaka,
penulis mengusulkan definisi pengawasan pemilu sebagai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan bauk secara struktural maupun non struktural untuk mencapai tujuan
pemilu. Pengawasan pemilu diperlukan agar demokrasi berjalan dengan penuh
keadilan, dan pemilu dilaksankan secara jujur.

DAFTAR PUSTAKA
Fahrul, Sayed. 2017. Dinamika Rekruitmen Penyelengara Pemilu Dalam
Mewujudkan Pemilu Berintegritas Di Aceh (Studi Kasus Rekruitmen Anggota
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Barat Daya Periode
2013-2018). Tesis. FISIP UNPAD
Hardiman, F. Budi. 1992. Demokrasi Deliberatif : Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius,
Yogyakarta.
Harrop, Martin dan William L. Miller, 1987, Election and Voters : A Comparative
Introduction, MacMillan, London.
Heywood, Andrew. 2014. Politik. Penerjemah : Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Sulistiyono, Priyambudi and Maribet Erb. 2009. “Indonesia And The Quest For
“Democracy” in Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyono (eds). Deepening

476 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Democracy In Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada).
Singapore : ISEAS Publishing
Suryanto, Adi (ed). 2008. Manajemen Pemerintahan Daerah. Jakarta : PKKOD-LAN
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat
Madani.Jakarta : Prenada Media.
Wasisitiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Bandung : Fokus Media

Website
http://panwaslukabsumbawa.blogspot.co.id/2013/07/pengawasan-pemilu-sebuah-
definisi.html tanggal 24 Feb 2017 pukul 22.44
http://www.bawaslu.go.id/id/profil/sejarah-pengawasan-pemilu tanggal 24 Februari
2017 jam 22.27
https://idonesiana.tempo.com/read/108926/2017/03/09/Potret- Pelanggaran- Pilkada
-2017. Diakses tanggal 24 Maret 2017 pukul 11.19

477 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
SAUNG BEWARA PEMILU:
MEDIA INFORMASI PEMILU DAN DEMOKRASI
DI KOTA BANDUNG
Gumgum Gumilar212 dan Achmad Abdul Basith213

ABSTRAK
Kebutuhan informasi mengenai pemilu khususnya di Kota Bandung menjadi
perhatian khusus Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung. Salah satu langkah untuk
memenuhi kebutuhan informasi baik untuk masyarakat maupun media tersebut
adalah dengan membangun pusat informasi, dokumentasi, literasi, serta studi tentang
pemilu dan demokrasi yang diberi nama Saung Bewara Pemilu.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif mengenai Saung Bewara
Pemilu. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Deskripstif Kualitatif
dengan teknik pengumpulan data berupa Wawancara, Observasi dan Penelusuran
Dokumen.
Informan penelitian ini adalah Komisioner KPU Kota Bandung, Kepala Divisi Teknis
dan Partisipasi Saung Bewara Pemilu, Perwakilan Media Massa dan Pengakses
Informasi di Saung Bewara Pemilu.
Hasil Penelitian ini memperlihatkan KPU melalui Saung Bewara Pemilu menyediakan
data yang diperlukan berkaitan dengan pemilu baik berupa data digital, cetak maupun
kemudahan akses secara langsung, beragam bentuk data dan informasi disediakan.
Informasi dan dokumen yang disediakan bukan hanya pilkada Bandung, tetapi juga
Jawa Barat dan Nasional, serta langkah KPU dalam menginformasikan keberadaan
saung ini kepada masyarakat dan awak media, salah satunya agenda roadshow ke
sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan politik kepada siswa dan juga
memperkenalkan keberadaan Saung Bewara Pemilu ke guru dan siswa. Selain itu
juga sejalan dengan sosialisasi tahapan pilkada di Kota Bandung yang akan
diselenggarakan tahun 2018.
Kata kunci: saung bewara, pemilu, kpu, bandung, informasi, demokrasi

PENDAHULUAN
Komisi Pemilihan Umum gencar memberikan edukasi kepada masyarakat,
salah satunya dengan membuat Rumah Pintar Pemilu di setiap kota dan kabupaten.
Dalam Buku Pedoman Rumah Pintar Pemilu, dikatakan bahwa Rumah Pintar Pemilu
adalah sebuah konsep pendidikan pemilih yang dilakukan melalui pemanfaatan ruang
dari suatu bangunan atau bangunan khusus untuk melakukan seluruh program-
aktifitas project edukasi masyarakat. Pada rumah pintar pemilu ini, satu sisi berbagai
program pendidikan pemilih dilakukan, dan pada sisi yang lain ia menjadi wadah bagi
komunitas pegiat pemilu membangun gerakan. Konsep rumah pintar pemilu itu
menjadi penting untuk menjawab kebutuhan pemilih dan masyarakat umum akan

212 Program Studi Jurnalistik Fikom Unpad / gumgum.gumilar@unpad.ac.id


213 Program Studi Jurnalistik Fikom Unpad / basithpatria@gmail.com

478 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
hadirnya sebuah sarana untuk melakukan edukasi nilai-nilai demokrasi dan
kepemiluan. Rumah pintar pemilu diharapkan dapat membentuk generasi bangsa
yang mampu menerjemahkan nilai demokrasi sesuai khittahnya. Generasi inilah yang
selain dapat menjadi pemilih cerdas, juga dapat menjadi pemimpin yang berkualitas
dan melahirkan kebijakan yang memihak pada tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dalam melaksanakan keputusan KPU untuk membuat rumah pintar pemilu
dengan konsep yang lebih lokal di setiap daerah, maka KPU Kota Bandung untuk
memenuhi kebutuhan informasi baik untuk masyarakat maupun media tersebut
adalah dengan membangun pusat informasi, dokumentasi, literasi, serta studi tentang
pemilu dan demokrasi yang diberi nama Saung Bewara Pemilu.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif mengenai Saung
Bewara Pemilu. Adapun fokus penelitian ini untuk mengetahui Gambaran Umum dan
tujuan saung bewara, informasi yang disampaikan di saung bewara, serta media yang
digunakan untuk menyampaikan informasi di Saung Bewara Pemilu.

TINJAUAN PUSTAKA
Keterbukaan dan transparansi informasi pada sektor atau badan publik diatur
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
yang diundangkan pada tanggal 30 April 2008. Pelaksanaan undang-undang tersebut
telah dimulai sejak tahun 2010 bersamaan dengan terbitnya petunjuk pelaksanaan
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nonor 61 tahun 2010 dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 tahun
2010 tentang Standar Layanan Publik.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi publik memberikan penegasan
bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi
manusia secara universal, namun juga merupakan hak konstitusional setiap warga
negara, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 28F UUD 1945 yang mengamanatkan
bahwa setiap orang berhak berkomunikasi, menyebarkan, dan mendapatkan
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Di sisi lain,
seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28J, selain memiliki hak atas
informasi publik, masyarakat memiliki kewajiban juga untuk mematuhi berbagai
peraturan dan mekanisme dalam mendapatkan dan menggunakan informasi
tersebut.
Menurut Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik yang dikutip dari situs web
http://kpu.go.id. ada sembilan kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan dalam

479 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
upaya meningkatkan kualitas sosialisasi dan partisipasi masyarakat dalam pemilu
yaitu:
1) Pertama kelompok masyarakat yang berada dalam zona tingkat partisipasi
memilihnya rendah atau di bawah rata rata pada tingkat nasional dengan acuan
pada Pemilu Legislatif rata rata partisipasi memlih secara nasional sebanyak 75
persen, dan pada Pemilu Presiden sebanyak 71 persen.
2) Kedua, Sosialsasi masif pada kelompok masyarakat yang berada di wilayah yang
jauh dari kota atau wilayah yang terisolir.
3) Ketiga, Melakukan pemetaan daerah pelaksana Pilkada atau Pemilu yang dari
catatan Pemilu sering terjadi pelanggaran utamanya dari aspek penyelenggara
Pemilu.
4) Keempat, kelompok masyarakat di daerah tertentu yang disinyalir banyak
melakukan pelanggaran dalam ranah money politic atau politik uang yang
dilakukan calon kepala daerah atau calon legislatif.
5) Kelompok masyarakat marjinal, kelompok masyarakat yang terbentuk akibat
konflik atau memang masyarakat yang termarjinalkan
6) Kelompok masyarakat penyandang disabilitas,
7) Kelompok masyarakat pemilih pemula
8) Kelompok masyarakat tokoh masyarakat yang ada di pelosok desa.
9) Peran para jurnais atau media masa.
Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu badan publik, dituntut untuk
meningkatkan kinerjanya secara optimal dan profesional sehingga diharapkan dapat
memberikan pelayanan informasi kepada publik secara cepat, murah, transparan dan
akuntabel.

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Creswell
(2003), penelitian kualitatif adalah sebuah proses mendalam dengan mengacu pada
tradisi-tradisi metodologi untuk mengeksplorasi permasalahan manusia. Peneliti
membangun interaksi kompleks, gambaran realitas keseluruhan, analisis isi, laporan
dari informan, dan seluruh data yang didapat di lapangan.
Creswell mengatakan pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk
membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya,
makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan

480 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau
berdasarkan perspektif partisipatori dan sulit untuk diolah.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


a. Gambaran Umum Saung Bewara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu badan publik, dituntut untuk
meningkatkan kinerjanya secara optimal dan profesional sehingga diharapkan dapat
memberikan pelayanan informasi kepada publik secara cepat, murah, transparan dan
akuntabel. Dalam memberikan pelayanan informasi publik, KPU Kota Bandung
memiliki ruang khusus pelayanan informasi dan dokumentasi yang diberi nama
“Saung Bewara Pemilu” yang di resmikan pada tanggal 8 Desember 2016. Saat ini
pelayanan tersebut masih terus dibenahi dan dilengkapi dan akan mulai di buka untuk
umum pada Bulan Mei 2017. Namun, saat ini sudah tersedia beberpa informasi di
Saung Bewara Pemilu yang bisa diakses oleh pengguna seiring proses pemutakhiran
data.
Pembangunan Saung Bewara Pemilu ini sejalan dengan keputusan KPU yang
mengginginkan setiap KPU di seluruh Indonesia memiliki Rumah Pintar Pemilu untuk
memberikan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan inspirasi masyarakat
tentang pentingnya pemilu dan demokrasi. Pembentukan rumah pintar pemilu juga
merupakan pelaksanaan ketentuan keterbukaan informasi publik.
KPU sebagai salah satu badan publik, juga dituntut untuk meningkatkan
keinerjanya secara optimal dan profesional sehingga diharapkan memberikan
pelayanan informasi kepada publik secara cepat, murah, transparan dan akuntabel.
(Laporan Pelayanan Informasi Publik Tahun 2016: hal 2)

Gambar Saung Bewara Pemilu Kota Bandung

481 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Keberadaan Saung Bewara Pemilu ini merupakan salah satu upaya KPU Kota
Bandung dalam mewujudkan misinya sebagai “Pusat Informasi edukasi dan studi
Pemilu dan Demokrasi di Kota Bandung. Ruangan ini dilengkapi dengan anjungan
informasi mandiri berupa display layar sentuh untuk pencarian informasi, ruangan
tunggu, meja pelayanan, dan papan informasi. Dengan aadanya ruangan khusus ini
KPU Kota bandung berharap masyarakat dapat mencari, melihat dan mengetahui
berbagai informasi tentang kepemiluan dan demokrasi dengan lebih nyaman dan
lebih baik (Laporan Pelayanan Informasi Publik Tahun 2016: hal 6)

Gambar Ruang Saung Bewara Pemilu

Menurut Suhartie, Komisioner KPU Kota Bandung, Konsep awal Saung


Bewara Pemilu adalah Rumah Pintar Pemilu dengan mengggunakan bahasa sunda.
Isinya ada tentang demokrasi, sejarah pemilu. Semua informasi mengenai pemilu
akan tampilkan di Saung Bewara Pemilu. “Nantinya akan ada ruang display, ada
ruang audio visual yang menampilkan film-film tentang pemilu dan demokrasi. Studio
kecil sekitar 15 orang untuk nonton. Kami usahakan dari 1955, tapi on proses untuk
melengkapi data. Ada ruang pamer, ada ruang simulasi pemungutan suara.”
Ungkapnya.
Pengumpulan data mengenai pemilu bukanlah hal mudah. Untuk informasi
pemilu sejak tahun 2003 terkumpul dan terdokumentasikan di KPU sedangkan
dokumentasi pemilu dan demokrasi sebelum tahun 2003 dikumpulkan melalui pihak-
pihak terkait seperti pemerintah daerah, SKPD terkait, arsip nasional dan juga
lembaga-lembaga yang menyimpan arsip pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.

482 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
b. Media yang digunakan di Saung Bewara Pemilu
Kesediaan media di Saung Bewara Pemilu didasarkanpada Pedoman Rumah
Pintar Pemilu yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dalam menyampaikan
pelayanan informasi publik, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
KPU Kota Bandung menyediakan beberapa media yang dapat diakses oleh
pengguna antara lain :

Display Layar Sentuh. Merupakan media utama yang disediakan oleh KPU Kota
Bandung. Media ini menyediakan beragam informasi mengenai pemilu dan
demokrasi. Informasi yang disampaikan melalui media ini ditampilkan dalam
bentuk visual interaktif dan publik dapat mencari informasi, mencatat, mencetak
bahkan mengcopy data tersebut. Layar sentuh yang dimiliki Saung Bewara
Pemilu masih satu buah, dan sedang dicoba menambahmya dengan
menggunakan satu server yang dapat menampilkan beberapa layar sentuh.

Gambar Display Layar Sentuh

Display Statis berupa Poster. KPU Kota Bandung menyediakan informasi dalam
bentuk poster yang ditempatkan di Saung Bewara Pemilu, Ruang Komisoner, dan
Aula. Poster untuk menyampaikan informasi mengenai permilu dan demokrasi
jumlahnya cukupbanyak dengan informasi yang beragam.

483 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Contoh Poster (papan informasi)

Maket. Media lain yang tersedia di Saung Bewara Pemilu untuk menyampaikan
informasi mengenai pemilu dan demokrasi adalah Maket. Maket merupakan
bentuk visualisasi 3 dimensi yang menceritakan tentang proses atau peristiwa
kepemiluan dan demokrasi, antara lain seperti proses pemungutan suara, denah
TPS, peristiwa yang dianggap memiliki nilai sejarah terkait kepemiluan setempat,
dsb. Maket yang tersedia Saung Bewara Pemilu menggambarkan bagaimana
tahapan proses pemungutan suara dilaksanakan, dilengkapi dengan bagian dan
fasilitas yang harus tersedia di setiap tempat pemungutan suara. Menurut
Suhartie, Komisioner KPU Kota Bandung, penggunaan maket lebih efektif untuk
menyampaikan informasi proses demokrasi berupa pemungutan suara dilakukan,
terutama bagi siswa sekolah dan pemilih pemula.

Gambar Peneliti mendapat penjelasan maket dari komisioner KPU Kota Bandung

Ruang Diskusi. KPU Kota Bandung menyediakan ruangan yang dapat digunakan
untuk diskusi baik oleh internal KPU maupun oleh masyarakat. Ruang ini
dirancang untuk melakukan audiensi atau
pertemuan/diskusi/workshop/seminar/FGD tentang Pemilu dan Demokrasi. KPU

484 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dapat mengundang/memfasilitasi para pegiat pemilu atau kelompok peduli
pemilu/masyarakat umum dari berbagai segmen, yang akan melahirkan banyak
ide/gagasan/evaluasi untuk perbaikan proses pemilu dan demokrasi.

c. Informasi yang disampaikan di Saung Bewara Pemilu


Beragam informasi disediakan di Saung Bewara Pemilu, informasi tersebut
disajikan dalam bentuk media berupa display baik display statis maupun display
interaktif. Informasi yang disajikan bukan hanya informasi pemilu di Kota Bandung
atau Jawa Barat, tetapi pelaksanaan pemilu secara nasional. Informasi yang
dikumpulkan dan disajikan oleh KPU Kota Bandung sejak pemilu pertama
dilaksanakan tahun 1955 sampai dengan persiapan pilkada Jawa Barat dan Kota
Bandung tahun 2018 dan Pemilihan Presiden dan anggota Dewan tahun 2019.
Dalam display interaktif berupa layar sentuh, informasi yang disampaikan antara lain:
Demokrasi, Kelembagaan Negara, Pemilu dan Partisipasi Masyarakat.

Gambar Tampilan Informasi tentang Demokrasi

Demokrasi. Informasi mengenai demokrasi yang disampaikan di layar sentuh antara


lain: Pengertian Demokrasi, Pilar Demokrasi, Kedudukan Warga negara dalam
negera demokrasi dan Hambatan Pelaksanaan Demokrasi.

Kelembagaan Negara. Informasi mengenai kelembagaan negara yang disajikan


antara lain: Kekuasaan Negara dalam demokrasi, Peran Rakyat dalam kelembagaan
negara, Tantangan kelembagaan Negara dan Cabang kekuasaan Negara.

485 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pemilu. Informasi mengenai Pemilu yang disampaikan antara lain: Pengertian
Pemilu, Manfaat Pemilu, Prinsip pemilu jujur dan adil, Sistem Pemilu, Sejarah Pemilu
di Indonesia, Kelembagaan Pemilu, Tahapan Pemiludan Pemilih Cerdas

Gambat Tampilan Informasi tentang Pemilu

Selain informasi yang disajikan melalui layar sentuh juga ditampilkan informasi
melalui papan informasi berupa poster. Informasi yang disampaikan antara lain:
 Pelaksanaan Pemilu dari tahun 1955 sd. Sekarang
 Lembaga pelaksana Pemilu
 Peserta Pemilu setiap pelaksanaan pemilu sejak tahun 1955 dilengkapi
dengan identitas dan lambang.
 Pejabat-pejabat Walikota Bandung
 Kartu Suara Pemilu
 Dokumentasi Pelaksanaan Pemilu
 Komisioner KPU Kota Bandung
 Dll

486 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Poster Peserta Pemilu tahun 1955

d. Akses informasi pelayanan Publik KPU Kota Bandung


Berdasarkan data dan informasi dari Komisioner, sampai dengan akhir tahun
2016 berdasarkan Laporan pelayanan Informasi Publik tahun 2016 yang disampaikan
KPU Kota Bandung, pemohon informasi sebagai berikut :

Grafik Pemohon Informasi ke KPU Kota Bandung Tahun 2016


Berdasarkan latar belakang

Sumber: Laporan Pelayanan Informasi Publik Tahun 2016


Grafik Pemohon Informasi ke KPU Kota Bandung berdasarkan

487 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Tujuan penggunaan informasi

Sumber: Laporan Pelayanan Informasi Publik Tahun 2016

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat pengakses atau pemohon informasi


terbanyak adalah Mahasiswa/Dosen dengan tujuan permohonan data untuk bahan
penelitian, Skripsi, Tesis, dan disertasi.
Sampai dengan Maret tahun 2017 jumlah pemohon informasi pemilu bertambah,
sekolah SMP, SMA, Praktisi, Profesional dan juga media massa mencari informasi ke
KPU Kota Bandung.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Saung Bewara Pemilu merupakan ruang publik yang menyediakan informasi
mengenai pemilu dan demokrasi di Indonesia sejak tahun 1995 sampai dengan
sekarang. Ruang pelayanan publik ini diresmikan 8 Desember 2017 dan akan dibuka
untuk umum Mei 2007. Sebagai pelaksanaan dari keterbukaan informasi publik,
Saung Bewara Pemilu terus melakukan perbaikan dan pemutakhiran data sehingga
dapat memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.
Saung Bewara Pemilu menyediakan informasi dalam bentuk display layar
sentuh, audio visual berupa film-film tentang pemilu, papan informasi (poster), maket
dan ruang diskusi. Informasi yang disampaikan mengenai demokrasi, pemilu,
kelembagaan negara dan partisipasi masyarakat. Selain itu juga informasi
pelaksanaan pemilu sejak tahun 1955, peserta pemilu dan tahapan pemilu di
Indonesia.
Saung Bewara Pemilu dapat menjadi ruang layanan informasi yang bisa
digunakan dosen, mahasiswa, siswa, partai politik, media massa dan masyarakat
umum untuk mendapat informasi pilkada atau pemilu baik telah dilaksanakan maupun
tahapan yang akan dilaksanakan.

488 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J. W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed
methods approaches (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
KPU Kota Bandung. Laporan Pelayanan Informasi Publik tahun 2016. Diakses 01
April 2017 melalui laman http://kpud-bandungkota.go.id
kpu.go.id. 2015. 9 Kelompok Masyarakat Sasaran KPU dalam Kegiatan Sosialisasi
Pemilu. Diakses 26 April 2017 di laman
http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2015/3704/9-Kelompok-Masyarakat-
Sasaran-KPU-Dalam-Kegiatan-Sosialisasi-Pemilu/berita.
RPP “ Saung Bewara Pemilu KPU Kota Bandung. Diakses 01 April 2017 di laman
https://www.facebook.com/kpubandungkota/photos/pcb.1837320643222320/183
7319959889055/?type=3.
Buku Pedoman Rumah Pintar Pemilu. Diakses 2 April 2017 di laman
http://www.kpu.go.id/koleksigambar/Buku_Pedoman_Rumah_Pintar_Pemilu.
pdf
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Komisi Informasi No. 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi
Publik

489 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ANALISA JABATAN BAPPEDA KAB. LIMA PULUH KOTA
DI SUMATRA BARAT
Ayuning Budiati

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Untuk mewujudkan ASN yang berdayaguna dan berhasil guna, maka perlu
dilaksanakan penataan kepegawaian dan kelembagaan. Dalam penataan
kepegawaian dan kelembagaan ini diperlukan informasi tentang jabatan, informasi ini
diperoleh melalui analisis jabatan. Bappeda Kab. Lima Puluh Kota merupakan
sebagai salah satu unsur pelaksana tugas Pemerintah Daerah dalam urusan
Perencanaan Pembangunan Daerah, agar kapasitas kelembagaan berjalan dengan
optimal, efektif dan efisien juga dan agar Bappeda juga dapat menghasilkan output
yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder, maka perlu dilakukan analisa
terhadap seluruh jabatan yang ada.
Dalam melaksanakan tugasnya Bappeda mempunyai tugas pokok melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan
pembangunan daerah,
1. Perumusan kebijakan teknis penyusunan perencanaan pembangunan
daerah.
2. Pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan daerah.
3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan
daerah.
4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai ruang lingkup
bidang tugasnya.
Analisa jabatan ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana uraian tugas dari
masing-masing jabatan yang ada dapat mengakomodir semua tugas pokok dan
fungsi Bappeda dalam kedudukannya sebagai pelaksana tugas Pemerintah Daerah
dalam urusan Perencanaan. Analisa jabatan dapat memberikan manfaat untuk
kelembagaan, tatalaksana dan pedoman untuk penambahan personil.

TUJUAN ANALISA JABATAN DI LINGKUNGAN BAPPEDA


Adapun tujuan dilaksanakannya Analisa Jabatan di Bappeda Kab. Lima Puluh
Kota ini adalah :

490 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
1. Untuk mendapatkan rumusan jabatan untuk setiap jabatan yang ada (Kepala,
Sekretaris, Kepala Sub Bagian, Kepala Bidang dan Kepala Sub Bidang)
2. Untuk mengetahui uraian masing-masing jabatan.
3. Untuk mengetahui jabatan-jabatan apa yang berjalan dengan efktif sesuai
dengan fungsinya, dan sebaliknya juga dapat dilihat jabatan-jabatan apa yang
tidak efektif, overlapping atau mempunyai uraian tugas yang tidak sesuai dengan
fungsi jabatan tersebut.
4. Untuk dapat melakukan pemetaan jabatan, apakah jabatan tersebut masih
efektif, harus di pisah atau digabung, diganti nama atau bahkan di hapus.

KONDISI SAAT INI DAN KONDISI YANG DIHARAPKAN


Kondisi saat ini
1. Kapasitas kelembagaan Bappeda sebagai pelaksana tugas Pemerintah Daerah
dalam urusan perencanaan dan evaluasi pembangunan belum optimal, hal ini
terlihat masih banyaknya pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
dokumen perencanaan.
2. Pemberdayaan SDM aparatur di lingkungan Bappeda belum merata, sehingga
masih terlihat sebagian pegawai banyak pekerjaan dan sebagian lagi terlihat
lebih santai
3. Tatalaksana kerja di lingkungan Bappeda masih ada yang kurang terkoordinasi
dengan baik, sehingga ada suatu pekerjaan yang tidak jelas bidang apa yang
seharusnya melaksanakannya.
4. Masih adanya tugas yang dilaksanakan kurang berhubungan dengan fungsi, hal
ini disebabkan karena banyaknya kegiatan yang datang dari Pusat dan Provinsi
yang harus dilaksanakan di Daerah.

Kondisi yang diharapkan


1. Bappeda sebagai pelaksana tugas Pemerintah Daerah dalam urusan
perencanaan semestinya dapat menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan
yang dapat dimplentasikan oleh SKPD pelaksana, sehingga apa bila dilakukan
evaluasi terhadap rencana suatu program dan kegiatan dapat terlaksana dengan
baik.
2. Seluruh aparatur di lingkungan Bappeda diharapkan mempunyai uraian tugas
yang jelas sehingga seluruh pegawai dapat bekerja optimal sesai dengan tugas
masing-masing.

491 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Uraian tugas masing-masing jabatan harus benar-benar jelas sehingga
tatalaksana kerja di lingkungan Bappeda berjalan optimal. Dengan demikian
seluruh pekerjaan akan terbagi habis.
4. Bappeda yang mempunyai fungsi merumuskan kebijakan teknis penyusunan
perencanaan pembangunan daerah, harus benar-benar fokus terhadap
pekerjaan yang berhubungan dengan perencanaan.

PERMASALAHAN DAN SOLUSI


PERMASALAHAN
1. Rumusan tugas dan fungsi, uraian tugas jabatan di Bappeda belum merupakan
satu kesatuan yang terintegrasi dengan baik.
2. Uraian tugas jabatan belum seluruhnya mengakomodir fungsi dari jabatan
tersebut.
3. Uraian tugas masing masing jabatan belum lengkap dan belum mencakup prinsip
What, How and Why.
4. Bahan dan perangkat kerja yang digunakan belum optimal.
5. Hasil kerja sudah cukup baik tapi kurang bisa diimplementasikan.
6. Lingkungan kerja yang masih kurang baik, seperti ruangan yang relatif sempit,
penataan ruangan yang kurang baik dan lain-lain.
7. Risiko kerja yang belum mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
8. Hubungan/ korelasi jabatan belum berjalan optimal.

SOLUSI
1. Diperlukan penyelarasan rumusan tugas dan fungsi, uraian tugas jabatan di
Bappeda sehinggan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan baik.
2. Dilakukan penyempurnaan uraian tugas jabatan agar dapat mengakomodir
fungsi dari jabatan tersebut.
3. Penyempurnaan uraian tugas masing masing jabatan sehingga seluruhnya
mencakup prinsip What, How and Why.
4. Optimalisasi penggunaan bahan dan perangkat kerja.
5. Perlu disempurnakan hasil kerja agar bisa diimplementasikan dengan baik
dengan memperhatikan benefit dan impact dari suatu kegiatan.
6. Perlu penataan lingkungan kerja dengan baik, atau pembangunan gedung baru
yang lebih representatif.
7. Meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan adanya risiko kerja.

492 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
8. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik dan intens dengan seluruh stakeholders.

REKOMENDASI
1. Perlunya komitmen dari Kepala Bappeda dalam pelaksanaan analisa jabatan ini.
2. Pelaksanaan analisa jabatan ini dilakukan dengan memperhatikan renstra
Bappeda agar visi dan misi Bappeda dapat di capai.
3. Pemanfaatan hasil analisa jabatan diperlukan untuk pengembangan kapasitas
kelembagaan Bappeda, sehingga fungsi Bappeda sebagai perencana dapat
berjalan optimal.
4. Pemanfaatan hasil analisa jabatan untuk pengembangan kapasitas SDM
aparatur Bappeda.
5. Pemanfaatan hasil analisa jabatan untuk pengembangan kapasitas
ketatalaksanaan di Bappeda.

DAFTAR PUSTAKA
Dressler.2000. Human Resource Management, Singapore.

493 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
POLITISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN DI INDONESIA
PASCA REFORMASI
Ratnia Solihah214 dan Siti Witianti215

ABSTRAK
Politisasi birokrasi merupakan salah satu isu krusial dalam reformasi birokrasi
di Indonesia. Persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini dapat dilihat
melalui berbagai fenomena politisasi birokrasi, khususnya dalam ranah pemerintahan
daerah, antara lain, adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan
mutasi jabatan-jabatan birokrasi; penggunaan personil, aset-aset dan infrastruktur
birokrasi untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi maupun oleh
birokrasi itu sendiri; politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara menjelang
pemilihan umum dan pilkada; memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan
pilkada; adanya kompensasi jabatan, dengan fenomena masuknya aktor-aktor politik
baru ke dalam sistem pemerintahan; mempolitisir rekruitment pegawai negeri baru;
adanya komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi; serta pencopotan
jabatan karir karena alasan politis.
Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu ternyata tidak
mudah. Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah di era reformasi,
politisasi birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi
dengan varian yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi
secara sentralized dalam skala nasional di bawah kendali langsung departemen, di
era otonomi daerah ini fokus politisasi birokrasi bergeser di kabupaten/kota.
Sedangkan pengendali dari politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah
bupati/walikota di daerahnya masing-masing, sehingga partai politik yang
mendapatkan keuntungan dari praktek politisasi birokrasi ini juga beragam,
tergantung dari latar belakang politik bupati/wali kota.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal birokrasi dalam
konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa birokrasi haruslah apolitis, dalam
pengertian bahwa tugasnya melayani masyarakat secara keseluruhan harus
dibebaskan dari pengaruh interest tertentu pemerintah selaku pemberi tugas. Sistem
politik yang berubah pasca reformasi menunjukkan bahwa semakin banyaknya partai
politik, maka semakin banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi
pemerintah. Orang-orang parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi
pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik,
jabatan negara, dan jabatan birokrasi karier pemerintah.
Kata Kunci: Politisasi, Birokrasi, Pemerintahan, Reformasi

ABSTRACT
Bureaucratic politicization is one of the crucial issues in bureaucratic reform in
Indonesia. The issue of bureaucracy in relation to politics can be seen through various
phenomena of bureaucratic politicization, especially in the domain of local
government, among others, the existence of political party intervention in the process
of recruitment and mutation of bureaucratic posts; The use of personnel, assets and
bureaucratic infrastructure for political purposes by the external bureaucracy as well
as by the bureaucracy itself; Bureaucratic politicization in the form of the use of state
facilities ahead of elections and elections; Mobilize civil servants during election and

214 Program Studi Ilmu Politik FISIP Unpad / ratnia@unpad.ac.id


215 Program Studi Ilmu Politik FISIP Unpad / siti_witianti@yahoo.com

494 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
elections; The compensation of office, with the phenomenon of the entry of new
political actors into the system of government; Politicize recruitment of new civil
servants; The commercialization of office in the practice of bureaucratic politicization;
As well as the dismissal of career positions for political reasons.
The attempt to stop the politicization of the bureaucracy was not easy. With the
enactment of regional autonomy laws in the reform era, the politicization of
bureaucracy not only remains, but also the politicization of bureaucracy with new
variants. If the politicization of bureaucracy in the New Order era occurred centrally
on a national scale under the direct control of the department, in this era of regional
autonomy the focus of bureaucratic politicization shifted in the districts. While the
controller of the politicization of bureaucracy in the era of regional autonomy is the
regent / mayor in their respective regions, so that political parties who benefit from the
practice of bureaucratic politicization is also varied, depending on the political
background of the regents/mayors.
In relation to the political system, establishing the ideal of bureaucracy in the
context of power relations is that bureaucracy must be apolitical, in the sense that its
duty to serve society as a whole must be exempted from the influence of certain
governmental interests as the assignor. The political system that changed after the
reformation showed that the more political parties, the more the desire of political
parties to govern the government bureaucracy. Political parties will become heads of
government bureaucratic institutions. Therefore, it is necessary to regulate the system
of working relationship between political office, state office, and government career
bureaucracy.
Keywords: Politicization, Bureaucracy, Government, Reformation

PENDAHULUAN
Politik dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan keduanya dapat dilacak dari sejarah
awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah
kemerdekaan. Tarik menarik politik atau kekuasaan berpengaruh kuat terhadap
pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Sampai saat ini, pengaruh kuat
kekuasaan terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan
publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi,
kolusi, nepotisme dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Birokrasi dan politik memang bagai dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Birokrasi dan politik merupakan dua institusi yang memiliki karakter
yang berbeda, namun saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara ini
memberikan sisi positif terkait dengan sinergi, namun di sisi lain tidak dapat
dipisahkan dengan hal negatif yang berbau “perselingkuhan“. Syafuan Rozi
menyatakan bahwa birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai
departemen pemerintahan dan cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu untuk

495 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepentingan diri sendiri mereka sendiri, atau sesama warga negara.216 Ciri khas
birokrasi adalah bentuk institusi yang berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian,
dan bersifat impersonal. Sedangkan politik adalah usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga untuk
membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis.217
Studi Guelerm O'Donnel tentang Bureaucratic Authoritarian dan Fred W Rigg
tentang Bureaucratic Polity mengungkapkan bahwa dalam masyarakat tertentu posisi
birokrasi sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka
mendapatkan sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Dalam studi Rigg,
birokrasi berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, sementara itu dalam studi
O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan tetapi juga
melibatkan diri hampir di semua bidang kegiatan. Keterlibatan negara tidak hanya
dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial
budaya termasuk juga ideologi.218
Selain berdasarkan hasil studi di atas, masalah politisasi birokrasi salah
satunya menjadi isu krusial dalam pemilihan umum khususnya pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik terhadap keberpihakan
birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat rentan dan mudah
menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Kondisi tersebut nampak terlihat
dan bahkan berlanjut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang rentan dan
sarat dengan kepentingan politik, antara lain, politisasi birokrasi berupa penggunaan
fasilitas negara menjelang pemilihan umum dan pilkada; memobilisasi pegawai
negeri pada saat pemilu dan pilkada; penggunaan personil, aset-aset dan
infrastruktur birokrasi untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi maupun
oleh birokrasi itu sendiri; adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan
mutasi jabatan-jabatan birokrasi; adanya kompensasi jabatan, dengan fenomena
masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan; mempolitisir
rekruitment pegawai negeri baru; adanya komersialisasi jabatan dalam praktek
politisasi birokrasi; serta pencopotan jabatan karir karena alasan politis.
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Undang-Undang dan
peraturan tentang birokrasi (PNS) ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah
upaya penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang
memerintah (apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat

216 Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar. Hal 9-10.
217 Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia. Hal. 15.
218 Hikam, Muhammad A.S. 2015. Demokrasi dan Civil Siciety. Edisi E Book Juni 2015. Jakarta: LP3ES. Hal 11-51.

496 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah.
Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan
yang tidak pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai
pengumpul suara dalam pilkada juga berimbas dalam penyelenggaraan
pemerintahannya.
Di era reformasi saat ini yang membuka peluang bagi berkembangnya
pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik
dan kepemimpinan dalam ranah pemerintahan daerah, kiranya kita telah
menyaksikan suatu kontestasi seru partai (koalisi partai) dan politisi yang bersaing
untuk memperebutkan jabatan politiis/publik dan berusaha mempengaruhi kinerja
birokrasi pemerintahan, khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga
kota/kabupaten. Realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat
UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU
No. 32/2004 yang kemudian direvisi lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 yang baru,
beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi daerah.
Berdasarkan hal di atas, penulis melalui tulisan ini akan membahas tentang
Politisasi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia Pasca Reformasi.

PEMBAHASAN
Secara harfiah, politisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya)
bersifat politis. Juga berarti membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai
dengan kepentingannya. Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi
birokrasi bekerja dan berbuat (patuh dan taat) sesuai dengan kepentingan politik yang
berkuasa. Politisasi birokrasi ini berada di dua sisi; berasal dari sisi partai politik yang
mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi
untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan
yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.
Politisasi birokrasi perlu diwaspadai. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan
Mahrus Irsam, yang dengan argumentasi sebagai berikut:219 Pertama, karena di
sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun militer, selalu
menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi politisasi. Minimal melalui
politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis pendukung bagi partai
sang menteri (merangkap pengurus partai) di dalam pemilihan umum yang akan

219 Http://www.indopubs.com/archives

497 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
datang. Kedua, politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses
profesionalisasi di dalam birokrasi. Tegasnya sejak dari tahun 1950 hingga dewasa
ini profesionalisasi birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari para politisi
yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa profesionalisasi
hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan
dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut. Kedua faktor tersebut telah
mengakibatkan birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisasi selama
setengah abad.
Berdasarkan pengalaman selama setengah abad tersebut, dapat
digambarkan adanya tiga tipe politisasi terhadap birokrasi di Indonesia220, yaitu :
Pertama, politisasi secara terbuka. Dikatakan secara terbuka karena ada
upaya-upaya yang dilakukan secara langsung dan tidak ada hal yang harus ditutup-
tutupi.
Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi
Parlementer (1950-1959), dimana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol)
bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah
kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha
sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya
sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi
anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya
didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai politik
seperti misalnya yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara
bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi secara
bergantian oleh PSI dan PNI.
Kedua, politisasi setengah terbuka. Tipe politisasi ini dijalankan oleh para
pemimpin partai politik pada masa periode Demokrasi Terpimpin. Dikatakan setengah
terbuka karena politisasi birokrasi hanya (Nasakom). Namun golongan yang terakhir
ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk menempatkan beberapa pemimpin
atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian melakukan politisasi birokrasi. Tetapi
di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak tersebut karena
masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain
(nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno

220 Martini, Rina. 2013. Politisasi Birokrasi di Indonesia.


Http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/4879/4425

498 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
juga tidak bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal,
Sukarno mengikuti sikap golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno
menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk
memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan politisasi. Dengan
demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi melalui
Baperki.
Ketiga, politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa
Orde Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai ke tingkat
Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi
anggota yang sekaligus pembina Golkar. Memang terdapat dua buah partai lagi, yaitu
PPP dan PDI, akan tetapi sejak mulai diterima menjadi pegawai negeri setiap orang
sudah dihadang untuk membuat pernyataan tertulis di atas kertas yang bermeterai.
Di atas kertas tersebut dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk
menjadi anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan
bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam realitasnya
para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar tidak pernah
menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan tertulis tersebut
dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya larangan tertulis bagi para
calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI. Kepada kedua partai tersebut dapat
diajukan bukti, justru pegawai negeri sendiri yang tidak menginginkan masuk parpol.
Dapat pula ditambahkan, semua jabatan dibawah menteri yang antara lain jabatan
bagi birokrat karier dijadikan jabatan politik.
Akibatnya karier birokrat tersumbat karena tidak tersedia jalan bagi para
birokrat untuk melakukan mobilitas vertikal menuju posisi-posisi puncak kariernya.
Kondisi tersebut dipertajam dengan mekanisme rekrutmen pegawai negeri yang
dilakukan secara terbuka dan besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum
(pemilu). Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas birokrasi pada
masa orde baru ikut membantu menciptakan stabilitas dan kemampuan umum
pemerintah yang memungkinkan pemerintah didukung birokrasi melakukan
pembangunan di berbagai bidang tetapi kinerja birokrasi hanya menguntungkan
penguasa dan bukan rakyat. Hal ini berbeda dengan era orde lama yang sangat sulit
melakukan pembangunan karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam
berbagai afiliasi politik (partai-partai politik berbasis Nasakom).
Birokrasi pemerintahan memang tidak bisa dilepaskan dari proses dan
kegiatan politik. Pada setiap kesatuan masyarakat yang membentuk suatu tata

499 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik ini.221 Beetham sebagaimana
dikutip Azhari mengasumsikan bahwa birokrasi merupakan entitas yang tidak
mungkin netral dari ranah politik. Adanya berbagai perbedaan pemikiran dari
berbagai ahli terkait hubungan birokrasi dan politik melahirkan pemikiran-pemikiran
baru dalam dinamika hubungan birokrasi dan politik. Perbedaan tersebut tidak hanya
berlangsung dalam konteks akademik, tetapi juga berlangsung dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam menempatkan posisi birokrasi.222
Hal ini menurut Azhari merupakan suatu intervensi politik, yang diartikan sebagai
upaya yang dilakukan oleh pejabat politik dalam mempengaruhi proses rekrutmen
dan promosi birokrat pada jabatan-jabatan birokrasi.223
Thoha mengemukakan bahwa intervensi partai politik tampaknya tidak bisa
dianggap ringan sekarang ini.224 Intervensi politik dalam institusi birokrasi akan
mengacaukan tata kerja birokrasi yang harusnya berdasar pada prinsip-prinsip
manajemen pemerintahan (public sector management) yang sehat, rasional, dan
berdasarkan hukum. Apabila intervensi dilakukan, maka sistem pembinaan pegawai
akan rusak, karena pengangkatan pejabat hanya didasari oleh prinsip suka atau tidak
suka (like or dislike) disebabkan dalam konteks kepentingan politik, tidak didasari atas
pertimbangan kemampuan, kapasitas dan pengalaman kerja.
Sejalan dengan pemikiran Thoha tersebut, Setiyono (2012) mengungkapkan
bahwa persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini meliputi 2 (dua) hal,
yaitu adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan mutasi jabatan-
jabatan birokrasi serta penggunaan personil, aset-aset dan infrastruktur birokrasi
untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi maupun oleh birokrasi itu
sendiri.225 Sementara itu, Sulistiyani dan Rosidah mengungkapkan bahwa
kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi sangat kuat mempengaruhi proses
rekrutmen dan mutasi, terutama untuk posisi-posisi yang strategis dalam
pemerintahan.226
Politisasi birokrasi dapatlah dilihat sebagai gejala melibatkan birokrasi secara
langsung atau terang-terangan maupun secara tidak langsung atau tidak terangan-

221 Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi I Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana.
Hal 26.
222 Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.86.
223 Ibid. Hal.93.
224 Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Edisi I, Cetakan ke-7. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.Hal. 8.
225 Setiyono, Budi. 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Cetakan I. Bandung: Nuansa. Hal. 76.
226 Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori dan
Pengembangan dalam Organisasi Publik. Edisi II, Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.173.

500 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
terangan untuk menjadi pendukung dan anggota organisasi peserta pemilu guna
memperoleh atau mempertahankan kekuasaan, khususnya di ranah eksekutif. Dalam
konteks Pilkada, definisi tersebut berarti keterlibatan birokrasi secara langsung
maupun tidak langsung untuk menjadi pendukung pasangan calon kepala daerah
guna mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di lembaga eksekutif.
Bukanlah sesuatu hal yang baru, ketika pergantian Kepala Daerah baik itu
Gubernur maupun Bupati atau Walikota, banyak birokrasi yang terjebak untuk
mendukung salah satu satu calon dengan harapan untuk mendapatkan jabatan.
Akhirnya para pejabat politik yang terpilih harus mendudukkan orang-orang yang
mendukungnya. Akibatnya proses mutasi dan rekrutmen pejabat tidak lagi objektif
yang kemudian memperburuk kinerja birokrasi. Dengan kata lain, setelah terpilihnya
Kepala Daerah hasil pilkada, biasanya akan selalu diikuti dengan pergantian eksekutif
birokrasi di bawahnya. Proses ini selalu terjadi tiap kali pergantian kepala daerah.
Pergantian eksekutif birokrasi atau yang lebih dikenal pada kalangan masyarakat
umum dengan sebutan “Mutasi”, selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat,
terutama kalangan birokrasi sendiri pasca dilantiknya seorang kepala daerah dan
wakil kepala daerah baru pada suatu provinsi atau kabupaten/kota. Selanjutnya,
sesuatu hal biasa dan menjadi keharusan bagi seorang birokrat yang kurang menyatu
dengan dengan Kepala Daerah dan DPRD atau pemerintahan yang berkuasa
dipastikan akan sulit mendapat posisi jabatan dengan kriteria strategis. Minimal setiap
birokrat pastilah tidak pernah mendambakan akan menghabiskan kariernya di “lahan
kering”. Oleh karena itu logika bahwa jenjang karier sangat ditentukan oleh
kedekatan relasinya dengan penguasa cukup beralasan.
Deskripsi tersebut merupakan awal terjadinya politisasi birokrasi secara tidak
langsung, dimana semua kesepakatan antara birokrat dan elit politik yang ingin
memenangkan kegiatan pilkada, menyebabkan kedua pihak tersebut sepakat untuk
saling mendukung dan saling menguntungkan bagi keduanya. Meski sudah jelas
regulasi yang mendasari terkait dengan proses pelaksanaan mutasi birokrasi, namun
sering kali mutasi birokrasi di beberapa daerah menjadi ramai diperbincangkan,
karena di kebanyakan pemerintahan daerah, mutasi bukan lagi dilihat dari
kompetensi atau kapasitas, melainkan lebih dominan dipengaruhi oleh faktor
kedekatan, kesepahaman dengan penguasa, atau dalam budaya politik sering
disebut dengan pola hubungan Patron-Client227.

227Patron-Client merupakan Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual, antara dua individu, yaitu si Patron
dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya
(exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Hal ini tidak lain disebabkan kepentingan politik dari

501 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Terjadinya politisasi birokrasi dan kuatnya konflik kepentingan politik dalam
sistem kerja birokrasi menjadi penyebab lemahnya kompetensi birokrasi di Indonesia.
Oleh karenanya optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat, tegas, serta
bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya
pengembalian fungsi birokrasi sebagai public servant. Relasi kepentingan antara
birokrasi dan partai politik telah melahirkan sistem yang saling melemahkan. Adanya
penyakit kronis yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Dimana di
dalam pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah sarat dengan politik uang.
Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk “mengembalikan
bayaran” kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut.
Politisasi birokrasi di pemerintahan daerah saat ini berkembang cukup pesat
seiring berlakunya sistem desentralisasi dan sistem demokrasi langsung dalam
Pilkada. Bukan suatu rahasia lagi PNS yang seharusnya netral dalam demokrasi
langsung tetapi berubah menjadi tempat berkompetensi untuk memberikan dukungan
terhadap salah satu kandidat yang mengikuti pilkada tersebut. Kompetensi yang
ditunjukan bukan lagi kompetensi berdasarkan kapasitas dan kinerja, tetapi
kompetensi untuk saling mendekati menanam budi bagi kandidat, dengan imbalan
menduduki jabatan strategis yang tidak sesuai atau jauh dengan latar belakang yang
dimilikinya.
Selanjutnya, alasan PNS memberikan dukungan dikarenakan PNS sering
menjadi korban sebagai dampak sistem demokrasi langsung, misalnya sebelum
pilkada, PNS mempunyai jabatan tertentu setelah selesai Pilkada menduduki jabatan
yang lebih rendah, bahkan tidak mempunyai jabatan serta dimutasikan tidak jelas.
Hal tersebut memaksa PNS yang merupakan birokrat melakukan pilihan terhadap
dua pilihan sulit, yang berlawanan dengan hati nurani serta tidak sesuai dengan tugas
dan fungsi seorang birokrat, yaitu memberikan pelayanan publik kepada semua
pihak. Fenomena inilah yang berkembang saat ini menimbulkan ketidaknyamanan
birokrat dalam meniti karir dari bawah atau secara bertahap berdasarkan komitmen
dan kapasitas yang dimiliki.
Dengan sistem demokrasi langsung saat ini yang di dalam prakteknya terjadi
politisasi birokrasi, dampaknya telah merusak tatanan yang mengabaikan perundang-
undangan yang mengatur tentang mutasi jabatan bagi PNS berdasarkan kompetensi
dan kapablitas yang dibutuhkan organisasi atau (SKPD). Jika sistem ini dibiarkan dan

penguasa, jadi proses mutasi lebih dominan dipengaruhi oleh kepentingan politik, dan tentu saja akhirnya regulasi
pun terabaikan oleh mereka.

502 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tidak diperbaiki serta hanya diserahkan kembali terhadap ketergantungan kebijakan
lokal terutama kearifan Kepala Daerah terpilih dalam menentukan jabatan,
kemungkinannya sulit untuk dilakukan saat ini, yang ada justru sebaliknya artinya
dendam akibat Pilkada masih terus berlangsung sampai masa Pilkada ke depan
dimulai lagi. Jadi selama itu pula birokrat tidak merasakan iklim kompetensi
berdasarkan kinerja dan kapabilitas yang dimilikinya, yang ada hanya kedekatan dan
kesepahaman dalam menempuh kariernya.
Perdebatan tentang keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah
berlangsung sejak awal abad 20-an. Pemikiran yang lebih dominan pada periode
1900-1927 lebih mengarah kepada dikotomi politik dengan administrasi negara.
Pelopor dari pemikiran-pemikiran itu di antaranya adalah Frank Goodnow, Leonard
White dan Wodrow Wilson, Leonard White bahkan secara tegas menyatakan, politik
seharusnya tidak boleh ikut campur tangan dalam proses administrasi negara. 228
Mereka berusaha membedakan fungsi politik dengan fungsi administrasi negara.
Fungsi politik, adalah pembuatan policy (kebijakan) atau ekspresi dari kemauan
negara, sedangkan fungsi administrasi negara adalah pelaksanaan policy tersebut.
Baru pada tahun 1980-an, upaya untuk mengaitkan politik dengan administrasi mulai
menguat. Sampai sekarang pun, ternyata perbincangan itu belum selesai.
Dalam konteks Indonesia, pembicaraan seputar politisasi birokrasi masih
sangat menarik, terutama karena praktek penyelenggaraan pemerintahan negara
maupun pemerintahan daerah masih sangat kental dengan nuansa politik. Beberapa
fenomena politisasi birokrasi dapat kita lihat dalam beberapa hal selain dalam suksesi
kepemimpinan dalam pemerintahan, yang fenomenanya dapat dilihat melalui
penggunaan fasilitas pemerintahan (fasilitas Negara), pemanfaatan sumber daya
pemerintahan (SDM birokrasi) bagi kepentingan politik calon kepala Daerah-Wakil
Kepala Daerah (khususnya yang berstatus sbg incumbent), yang akhirnya berimbas
pada sistem rekrutmen jabatan birokrasi atau mutasi jabatan yang tidak sesuai
dengan kompetensi atau mengabaikan peraturan perundang-undangan yang
semestinya.
Fenomena politisasi birokrasi dalam pemerintahan dapat kita lihat dalam
beberapa hal:229

228 Disarikan dari Mufiz, Ali. 1986. Pengantar Administrasi Negara. Jakarta: Karunika.
229 Martini, Rina. 2013. Politisasi Birokrasi di Indonesia. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/
article/viewFile/4879/4425

503 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pertama, mempolitisir fasilitas Negara.
Politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa dilihat
menjelang pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas birokrasi telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak
bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, tetapi bagi seorang calon kepala daerah yang incumbent, sangat sulit
untuk mematuhinya. Karena dia berada pada posisi memiliki segalanya, jabatan,
uang, dan kekuasaan. Seperti kata Lord Acton : power tend to corrupt. Siapapun yang
memiliki kekuasaan cenderung korup.
Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya fasilitas negara yang turut
dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolidasi, lobi politik dengan partai politik lain,
dan kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan
adalah mobil dinas, pakaian dinas, dan ruang-ruang rapat (gedunggedung) milik
negara. Penggunaan fasilitas negara ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang
sedang menjalani proses politik (pemilu).
Kedua, Memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada,
Politisasi birokrasi melalui mobilisasi (pengerahan) PNS pada saat pilkada,
berarti berbicara tentang netralitas birokrasi. Beberapa upaya untuk menetralkan
birokrasi sebenarnya pernah dilakukan. Miftah Toha (2007: hlm 156-159)
mengatakan bahwa netralitas birokrasi di era reformasi sudah banyak berkembang.
Hal ini bermula ketika eksistensi organisasi KORPRI digugat oleh beberapa pihak,
misalnya gugatan yang datang dari UI dan desakan untuk membubarkan KORPRI
atau bersikap netral dalam setiap proses politik. Meskipun saat itu masih ada juga
beda pendapat tentang keharusan pegawai negeri untuk netral dan tidak menjadi
pengurus partai politik atau menganggap bahwa berpolitik itu adalah hak azasi setiap
manusia.
Pada kenyataannya, pendapat kedualah yang masih dilestarikan. Sehingga
kenetralan pegawai negeri dalam proses politik masih belum sesuai harapan. Dalam
setiap pemilu, suara pegawai negeri menjadi salah satu modal yang menjanjikan.
Pemanfaatan suara pegawai negeri ini jelas sangat mudah bagi kandidat incumbent.
Dengan iming-iming janji akan diberi jabatan atau perintah untuk mendukung
atasannya, mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada sangat banyak
terjadi baik proses pemilihan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.

504 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Ketiga, Adanya Kompensasi Jabatan.
Kompensasi jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat pusat.
Pasca gerakan reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap
berbagai kebiajkan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke
dalam sistem pemerintahan. Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam
kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, dimana disitu terlihat partai-partai yang bersedia
berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet. Jumlah kursi
yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilihan legislatif,
tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di daerah jabatan-jabatan strategis
(sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi
politik antara partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang muncul
dari kompensasi jabatan antara penguasa dan partai politik adalah terganggunya
kinerja birokrasi yang seharusnya memegang teguh merit system (berdasar
profesionalisme). Karena sebenarnya banyak birokrat yang profesional, tetapi kalah
dengan birokrat lain yang punya dukungan dari partai-partai politik.
Keempat, Mempolitisir Rekruitment Pegawai Negeri baru.
Selain kompensasi jabatan, deal-deal yang terjadi antara penguasa dan
partai-partai koalisi adalah pemberian jatah pada saat pemerintah pusat atau
pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai negeri baru. Seperti
diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu
gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti
dapat gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih
sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu
jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa (baca:
memberi rekomendasi)”. Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas
nama) partai-partai politik.
Kelima,. Adanya Komersialisasi Jabatan.
Komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan
mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang
cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan
suatu posisi dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus
melakukan komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan jabatan baru.

505 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dampak yang muncul adalah seorang birokrat bukannya berusaha
mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan dan
pelatihan tetapi melakukan usaha politisasi untuk memperoleh perlindungan
(pengamanan) atas posisi jabatannya agar tidak tergeser oleh pihak lain.
Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa motivasi
para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk menguasai
keahlian yang profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat formal guna
memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah
alternatif untuk melicinkan jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah
diselenggarakan pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai
melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah
politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.
Keenam, Pencopotan Jabatan Karir (Sekretaris Daerah/Sekda) karena
alasan politis.
Ketika jabatan-jabatan di tingkat daerah dipilih (dipromosikan) bukan
berdasarkan merit sistem tetapi karena politisasi birokrasi, maka yang terjadi adalah
pencopotan (depromosi) pun juga karena proses politisasi birokrasi. Hal ini diperkuat
dengan hasil penelitian dari Sjahrazad Masdar dalam disertasi berjudul ”Intervensi
Politisi Terhadap Birokrasi (Studi Tentang Pengaruh Politisi Terhadap Kebijakan
Promosi dan Depromosi Birokrat Di Kota Surabaya dan Kabupaten Situbondo)”, yang
memperlihatkan fenomena umum bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian
Sekretaris Daerah menunjukkan adanya pola relasi yang interventif. Kasus di
Surabaya menunjukkan pola pemberhentian sekda yang dilakukan oleh kepala
daerah merupakan proses yang penuh dengan muatan politis, khususnya untuk
melanggengkan kekuasaan kepala daerah itu sendiri. Sedangkan yang terjadi
di Kabupaten Situbondo, ketika sekda tidak bersedia mengakomodir keinginan-
keinginan kelompok mayoritas, berbagai usaha dilakukan untuk menggeser sekda
dari jabatannya. Meskipun kepala daerah pada prinsipnya tidak menyetujui desakan
pemberhentian karena alasan-alasan obyektif dan rasional, namun akhirnya sekda
tetap saja diberhentikan karena kuatnya desakan dari aktor-aktor di luar birokrasi.
Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu ternyata tidak
mudah. Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah di era reformasi,
politisasi birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi
dengan varian yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi
secara sentralized dalam skala nasional di bawah kendali langsung departemen, di

506 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
era otonomi daerah ini fokus politisasi birokrasi bergeser di kabupaten/kota.
Sedangkan pengendali dari politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah bupati
atau walikota di daerahnya masing-masing, sehingga partai politik yang mendapatkan
keuntungan dari praktek politisasi birokrasi ini juga beragam, tergantung dari latar
belakang politik bupati/wali kota.
Praktek-praktek yang dideskripsikan tersebut pada saat ini dan masa
mendatang sudah sepantasnya dihilangkan dan diganti dengan profesionalisme
birokrat. Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal birokrasi dalam
konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa birokrasi haruslah apolitis, dalam
pengertian bahwa tugasnya melayani masyarakat secara keseluruhan harus
dibebaskan dari pengaruh interest tertentu pemerintah selaku pemberi tugas.
Kehadiran birokrasi seharusnya tidak mencintrakan diri sebagai new political
power (kekuatan politik baru) dalam peta politik yang ada (Moeljarto, 2001 : 56).
Semangat menuju budaya birokrasi modern yang organis adaptif yang dikehendaki
adalah birokrasi yang terbuka terhadap gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-
perubahan lingkungannya, penekanan pada produktivitas, pelayanan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia aparat dalam upaya menuju
profesionalisme birokrat. Karakteristik baru harus ditunjukan ke arah kemampuan
memecahkan masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral
yang ditanamkan adalah : efektif, efisien, etos professional, sifat-sifat adaptif,
responsive serta keberanian untuk mengambil resiko.
Sistem politik yang berubah dari masa pemerintahan Orde Baru pemerintahan
ke masa reformasi menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka
semakin banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-
orang partai politik akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh
karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara,
dan jabatan birokrasi karier pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga
jabatan tersebut belum ada tanda-tanda diatur.

PENUTUP
Politisasi birokrasi pemerintahan pasca reformasi di Indonesia masih banyak
terjadi. Politisasi birokrasi menjadikan organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (patuh
dan taat) sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi ini
berada di dua sisi; berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau
dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya

507 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu
melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dalam konteks Pilkada, politisasi birokrasi ini dapat dilihat melalui keterlibatan
birokrasi secara langsung maupun tidak langsung untuk menjadi pendukung
pasangan calon kepala daerah guna mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan
di lembaga eksekutif. Persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini dapat
dilihat melalui berbagai fenomena politisasi birokrasi, khususnya dalam ranah
pemerintahan daerah, mulai dari penggunaan fasilitas negara, mobilisasi pegawai
negeri sipil, kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, rekruitmen pegawai negeri
baru, sampai pencopotan (depromosi) sekretaris daerah. Dampak intervensi politik
ini menyebabkan merit sistem menjadi sangat sulit dilaksanakan. Keputusan-
keputusan yang seharusnya diambil melalui pertimbangan objektif tidak jarang
berbelok untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu.
Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu tidaklah mudah.
Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah di era reformasi, politisasi
birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi dengan varian
yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi secara sentralized dalam
skala nasional di bawah kendali langsung departemen, di era otonomi daerah ini
fokus politisasi birokrasi bergeser di kabupaten/kota. Sedangkan pengendali dari
politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah bupati/walikota di daerahnya masing-
masing, sehingga partai politik yang mendapatkan keuntungan dari praktek politisasi
birokrasi ini juga beragam, tergantung dari latar belakang politik bupati/wali kota.
Terkait dengan sistem politik, bangun ideal birokrasi dalam konteks hubungan
kekuasaan adalah birokrasi haruslah apolitis, dalam pengertian bahwa tugasnya
melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari pengaruh interest
tertentu pemerintah selaku pemberi tugas. Sistem politik yang berubah pasca
reformasi menunjukkan bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin
banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-orang partai
politik akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu
diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara, dan jabatan
birokrasi karier pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

508 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.
Hikam, Muhammad A.S. 2015. Demokrasi dan Civil Siciety. Edisi E Book Juni 2015.
Jakarta: LP3ES.
Mufiz, Ali. 1986. Pengantar Administrasi Negara. Jakarta: Karunika.
Rozi, Syafuan. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta :
PustakaPelajar..
Setiyono, Budi. 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Cetakan I.
Bandung: Nuansa.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Organisasi Publik. Edisi II,
Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi I
Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana.
Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Edisi I, Cetakan ke-7. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.Hal. 8.
Http://www.indopubs.com/archives
Martini, Rina. 2013. Politisasi Birokrasi di Indonesia.
Http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/ article/viewFile/4879/4425

509 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI DESA (SID) BERBASIS
WEB DI DESA TERONG KECAMATAN DLINGO
KABUPATEN BANTUL
Faria Ruhana230, Riski Wulandari231 dan Sari Humaira232

Abstrak
Teknologi menjadi bagian dari upaya untuk memudahkan pendataan desa.
Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi di desa yakni sistem informasi desa
yang dikembangkan oleh Combine Resource Institution (CRI) di Desa Terong
Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul. Dengan adanya Sistem Informasi Desa,
keberadaan dan kelengkapan data di desa dapat didokumentasikan dengan lebih
baik tanpa memandang aksesbilitas dari Desa Terong yang tergolong suit
dijangkau dan terpencil.
Penelitian ini bermaksud untuk menganalis dan mengetahui efektivitas
Sistem Informasi Desa (SID) Berbasis Web di Desa Terong Kecamatan Dlingo
Kabupaten Bantul. Metodologi penelitian kualitatif dengan mengadopsi teori Lofland
menjadi pilihan penulis dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa Sistem Informasi Desa (SID)
sangat membantu desa dalam melayani warga desa seperti pelayanan
pengurusan KTP, KK, SKTM, SKCK, surat izin usaha dan informasi golongan darah
untuk membantu warga yang sakit dalam kondisi darurat. Hasil penelitian ini
menggambarkan bahwa pengembangan SID berbasis web di Desa Terong
telah berjalan sesuai yang diharapkan yakni pembangunan iklim pemerintahan
yang demokratis dan keterbukaan informasi sebagai penunjang pemanfaatan
keamajuan teknologi. Harapannya, pengembangan SID berbasis web dapat
dijadikan contoh dan pembelajaran untuk desa tertinggal yang ada di Indonesia
dan mewujudkan pembangunan desa sebagai skala prioritas dalam pembangunan
nasional.
Kata Kunci : Efektivitas, Sistem Informasi Desa, Pembangunan Nasional

Abtract
The existence of village information service using technology is one of the villages
effort to achieve transparency of information to various parties. The existence of
information systems make citizens’ access to get information more widely and easily.
This research was conducted in Terong village, Dlingo - Bantul with the assumption
that the information system in this village is one of the applications which afforded by
Combine Resource Institute(CRI). With the information system of the village,
the existence and completeness of data in the village can be documented with
better regardless without see classified a village as remote and hard to reach.
This research aims to analyze and find out the effevtiveness of Village
Information System of Webbased in Terong Village, Dlingo-Bantul. Qualitative
research methodologies by adopting Lofland theory as author’s choice in this
research.
Based on the results of research seen Village Information System of web-

230 Institut Pemerintahan Dalam Negeri / fariaruhana@gmail.com


231 Institut Pemerintahan Dalam Negeri / wulanriski97@gmail.com
232 sarihumaira80@gmail.com

510 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
based helpfull the village in service public like handling service of citizens id-card,
family card, not capable letters, police records letters, business licence and
informasion blood type to help citizens who are ill in emergency condition.
Study results describe that development of web-based in the Village
Information System has been running as expected, there are construction of climate
of democratic government and transparation information supporting the utilization of
adcances in technology. Hopefully, development Village Information System can be
used as examples and learning for the latest villages in Indonesia and realizing the
development of the village as a scale of priorities in the national development.
Keywords : effevtiveness , village information system , national development

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi saat ini berkembang sangat pesat. Berbagai
program teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih dan memudahkan
manusia dalam berbagai kegiatan. Saat ini sesuai dengan konsepMcLuhan pada
tahun 1960-andalam bukunya Understanding Medi: Extension of A Man telah terjadi
proses penghilangan jarak, ruang dan tempat yang awalnya dianggap jauh menjadi
seolah-olah berada di dekat kita. Konsep global village inilah yang dianggap sebagai
era globalisasi. Saat ini dengan kemajuan teknologi informasi memungkinkan
semua orang berbagi informasi dan menjalin jejaring melalui dunia maya.
Prediksi McLuhan yang dulunya hanya bisa dibayangkan sekarang sudah
terjadi di depan kita. Perkembangan teknologi informasi mengakibatkan masyarakat
terhubung dengan berbagai koneksi media. Berbagaifasilitas hanphone, komputer
dan fasilitas media lainnya silih berganti tiap tahun. Masyarakat mulai familiar dengan
penggunaan berbagai teknologi media untuk menjalin interaksi dan meninggalkan
media tatap muka .
Perkembangan teknologi bukan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kota
namun juga oleh masyarakat pedesaan. Masyarakat desa sudah tidak asing lagi
dengan penggunaan telepon seluler, internet dan lain-lain. Walaupun belum semua
wilayah di Indonesia dapat memanfaatkan teknologi informasi namun dengan seiring
waktu berjalan niscaya teknologi informasi akan sangat cepat berkembang hingga
pelosok wilayah Indonesia.
Pemerintah melalui Depkominfo pun sudah mulai mencanangkan
beberapa kebijakan dalam rangka mewujudkan era informasi salah satunya adalah
mengembangkan program desa informasi. Melalui program ini, diharapkan
dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan pembangunan
perekonomian warga masyarakat yang berada di wilayah perbatasan dengan
mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi, yang
dicanangkan sejak tahun 2009 (S. Bayu Wahyono, 2011: 128). Untuk mewujudkan

511 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
program desa informasi, pemerintah melalui Depkominfo mengembangkan program
internet di desa sehingga saat ini bisa dikatakan internet telah masuk ke berbagai
desa khususnya di Jawa. Beberapa program Depkominfo yakni Desa Berdering,
Desa Pinter, dan Pusat Layanan Internet Kecamatan, upaya yang sudah dilakukan
sejak tahun 2010. Target adanya internet masuk desa, maka wilayah pelosok, yang
selama ini selalu tertinggal mendapatkan informasi tak akan lagi mengalami hal itu.
Berdasarkan data dari Depkominfo, pemerintah melalui Depkominfo me-
ngeluarkan beberapa program dalam rangka memanfaatkan perkembang- an
teknologi informasi untuk pe- ngembangan informasi di desa misal- nya dengan
program desa perintis (2005),terhubungnya desa dengan fasilitas telekomunikasi;
desa berdering terpadu (2010); 3) desa online (2015), peningkatan kualitas dan
kuantitas layanan hingga 10 sst untuk 1 desa, dilanjutkan dengan penyediaan
barang akses internet; 4) desa multimedia (2020), pemanfaatan TIK sudah menjadi
kebutuhan masyarakat desa dalam aktivitas sehari-hari dan menjadikan TIK sebagai
sarana untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di desa.
Beberapa LSM yang memiliki keberpihakan terhadap media infor- masi juga
ikut mendorong per- kembangan teknologi informasi di tingkat pedesaan. Salah
satunya yang dipelopori oleh Combine Resource Institution (CRI), yakni lembaga
yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. LSM yang
beranggotakan anak-anak muda yang giat menggerakkan masyarakat dalam
mengelola teknologi informasi di wilayahnya untuk menjadi ruang berbagi informasi
bagi komunitas tersebut.
Salah satu yang dikembangkan oleh CRI adalah sistem informasi desa (SID)
yakni informasi yang diimplementasikan melalui prangkat teknologi informasi dan
aplikasi perangkat lunak yang dioperasikan oleh perangkat desa. Sistem informasi ini
dibangun dengan berbasis komputer dan web sehingga informasi ini dapat diakses
oleh warga. Lisensi SID dikembangkan dalam platform sistem perangkat lunak
bebas dan terbuka (free and open source software) yang berarti dapat digunaka,
disalin, didistribusikan, ditingkatkan kinerjanya, dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan (Wilhem Wau, 2012).
Saat ini CRI telah banyak mengem- bangkan SID di desa-desa beberapa wilayah
Indonesia, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi Jawa Barat,
Nusatenggara Barat dan Nusa tenggara Timur hingga Papua. Salah satu tujuannya
adalah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi. Dengan adanya
penggunaan teknologi informasi melalui internet memberikan manfaat yang cukup

512 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
besar. Manfaat yang dirasakan oleh desa misalnya dalammembantumengarsipkan
data –data desa. Data desa dimanfaatkan oleh masyarakat yang sering kita dengar
adalah monografi desa. Monografi desa adalah unit terkecil dari monografi
kecamatan dan selanjutnya menjadi bahan dasar dari sebuah monografi kabupaten.
Monografi ini tentunya menjadi sumber data yang sangat penting untuk
membangun ke- bijakaan desa. Namun seringkali dengan pengarsipan data yang
manual seperti data monografi desa yang ditempel di dinding, keakuratan datanya
sulit untuk dipertanggungjawabkan karena seringkali update data tidak mudah
dilakukan.
Padahal peran desa dalam pendata- an penduduk kerap menimbulkan
masalah krusial, misalnya menyangkut penetapan warga masyarakat yang berhak
menerima bantuan/subsidi dari pemerintah. Fenomena penyaluran dana
kompensasi bahan bakar minyak (BBM), bantuan beras untuk rakyat miskin
(Raskin), dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang salah sasaran tidak
akan terjadi jika pemerintah desa memiliki data profil warganya yang akurat dan
mutakhir (up-to-date). Data juga menjadi informasi yang penting bagi masyarakat
sendiri untuk melakukan upaya membangun kemandirian desa.
Untuk era saat ini teknologi infor- masi penting untuk dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan termasuk mem- berikan layanan informasi desa. Adanya
layanan informasi desa dengan me- manfaatkan teknologi merupakan salah satu
upaya desa untuk mewujudkan transparansi informasi ke berbagai pihak. Dengan
demikian, masyarakat dapat ikut serta untuk mengetahui serta mengawasi
kebijakan desa, serta ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan desa. Sistem
informasi desa akan memberikan akses publik akan informasi sesuai dengan UU
Keterbukaan Informasi Publik yakni UU Nomor 14/2008.
Selain itu, pentingnya informasi yang dapat terakses luas juga dilakukan
untuk pengembangan potensi desa sendiri. Masyarakat dari desa di daerah lain akan
dapat mengakses informasi tersebut. Bahkan dengan adanya sistem informasi ini
akan memungkinkan terjalinnya jejaring desa dengan berbagai pihak yang
kemanfaatnnya untuk pengembangan desa. Ada berbagai model aplikasi infor- masi
yang dibangun di desa baik yang merupakan aplikasi turunan dari pemerintah yang
berupa sistem infor- masi profil desa dan kelurahan yang disampaikan oleh
Departemen Dalam Negeri pada tahun 2012. Kelemahan dari data Profil Desa yang
disampaikan oleh Departemen Dalam Negeri menurut Sutoro Eko (2012: vii), pertama
profil desa tidak cukup memadai sebagai instrumen dan ruang akuntabilitas publik

513 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yang menjadi modal bagi demokrasi desa. Kedua, profil desa dari sisi teknis kurang
memadai karena yang dapat mengisi/ menginput data hanyalah perangkat desa.
Selanjutnya, sistem informasi desa yang difasilitasi oleh Combine Resource
Institution (CRI). Sistem informasi desa merupakan rangkaian/sistem yang ber-
tujuan untuk mengelola sumber daya komunitas, selain itu merupakan aplikasi yang
membantu pemerintahan desa dalam mendokumentasikan berbagai data milik desa.
Contoh desa yang cukup berhasil dalam mengunakan aplikasi ini adalah Desa
Terong Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul dan Desa Nglegi Kecamatan Patuk
Kabupaten Gunungkidul (2012:
56).
Keberadaan teknologi informasi dalam membantu layanan masyarakat di
pedesaan sangatlah penting namun hal itu tidak akan berarti tanpa adanya
partisipasi masyarakat. Dengan adanya partisipasi warga terhadap sistem
informasi tersebut maka target utama adanya keberadaan aplikasi untuk
memberikan kemajuan dan akses informasi yang lebih luas bagi masyarakat akan
tercapai. Selain itu, partisipasi warga akan memberikan dukungan untuk mengawasi
transparansi informasi. Tanpa adanya partisipasi masyarakat maka sistem informasi
hanyalah menjadi perangkat aparat desa yang kurang bermakna karena masyarakat
merasa tidak memiliki.
Penelitian yang dilakukan di Desa Terong Kecamatan Dlingo untuk
mengetahui partisipasi masyarakat ter- hadap sistem informasi desa. Bagaimana
bentuk-bentuk partisipasi masyarakat terhadap sistem informasi desa yang
diprogramkan oleh Combine Resource Institution? CRI selama ini
menyampaikan dalam berbagai seminar bahwa sistem informasi desa dikemas
sebagai program yang mengharuskan adanya partisipasi masyarakat. Penelitian ini
membatasi pada partisipasi warga terhadap sistem informasi desa karena
partisipasi warga merupakan kajian penting dalam program yang berkaitan dengan
masyarakat. Dengan adanya penelitian ini memberi masukan pada berbagai pihak
dalam upaya penyebarluasan sistem informasi desa ke berbagai desa di Indonesia.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
yaitu suatu metode untuk memaparkan serta menjelaskan kegiatan atau objek yang
diteliti yang berkaitan dengan pengkajian fenomena secara lebih rinci atau
membedakannya dengan fenomena yang lain(Denzin dan Lincoln, 2009
:223)
Upaya untuk memperoleh dat di lapangan dilakikan dengan : 1)observasi /

514 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pengamatan terhadap manfaat dan peranan sistem informasi Desa Terong
Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul dalam mendukung berbagai kegiatan dan
kebijakan pemerintahan desa; 2) MelaksanakanFokus Group Discussion (FGD)
terhadap warga melalui kegiatan- kegiatan formal dan informal desa/ pedukuhan
seperti: Karang Taruna, BPD dan Aparat Desa. Dari kegiatan FGD akan diambil
informan untuk diwawancarai lebih mendalam; 3) Wawancara mendalam kepada
informan yang diambil dari warga yang telah ikut kegiatan FGD. Informan ini
meliputi aparat desa, dan pemuka masyarakat. Teknik penentuan informan dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposivesampling (sampling bertujuan), yakni,
menentukan sampel dengan per- timbangan tertentu yakni mereka yang dipandang
memiliki kapabilitas dan kompeten untuk memberikan data secara maksimal.
Sedangkan pengambilan sampelnya dengan teknik snowball sampling, peneliti
memilih informan secara berantai. Teknik analisis data yang digunakan adalah model
analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Hubermann (dalam Sutopo:
2006):1) Pengumpulan data; 2) Reduksi data; 3) Penyajian data 4) Penarikan
simpulan dan verifikasi.

PEMBAHASAN
Pemerintah Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Bantul menerapkan program
Sistem Informasi Desa (SID) sejak tahun 2006. Inovasi ini muncul secara tak
sengaja yakni ketika aparat desa menyadari bahwa adanya bencana dapat
memusnahkan data dan dokumen data dalam waktu yang singkat. Gempa bumi di
Yogyakarta (2006) menyebabkan lemari data milik desa roboh sehingga data- data
desa pun rusak. Dari situ mereka bermimpi memiliki sistem barcode model
minimarket yang dapat dimanfaatkan untuk mendokumentasikan data desa lebih
efektif dan tidak mudah rusak karena bencana.Keinginan masyarakat ini kemudian
dikemukakan oleh Bp. Lurah pada saat itu Bp. Sudirman kepada Combine Resource
Institution (CRI).
Partisipasi Warga dan Sistem Informasi Desa Keberadaan sistem informasi
desa di Desa Terong didorong dari keinginan aparat desa yang merasa kebingungan
karena desa yang tidak memiliki arsip data penduduk setelah terjadinya gempa di
DIY pada tahun 2006. Pada saat yang bersamaan Combine Resource Institution
(CRI) sedang menggarap radio komunitas di desa tersebut. CRI mencoba untuk
mewujudkan “mimpi” desa tersebut dalam program Sistem Informasi Desa (SID).
Program sistem informasi desa pada hakikatnya merupakan tiga kemas- an program

515 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
yakni radio komunitas, program SID yang dapat berfungsi mem- bantu pelayanan
termasuk adanya sms centre atau sms Gateway dan website http://www.terong-
bantul.web.id.
Dengan demikian, kemunculan program memang berasal dari keinginan
masyarakat desa yang dimotori oleh Bapak Lurah. CRI berperan sebagai fasilitator
untuk membantu mewujudkan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi konsep
partisipasi dariBritha Mikkelsen terutama dalam konsep yang ketiga bahwapartisipasi
merupakan proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok
yang terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan
hal itu.
Proses awal pendirian SID ini dilakukan dengan sukarela dan gotong royong
antara warga masyarakat dan CRI. Para pemuda Karang Taruna ikut ambil bagian
dalam mensosialisasikan ke semua elemen di masyarakat. Sosia- lisasi dilakukan
beberapa kali dengan mengikutsertakan budaya lokal masya- rakat seperti
adanya gelar budaya desa, pentas wayang kulit, Jathilan dan lain-lain. Selain
itu, keberadaan radio komunitas desa juga ikut membantu mensosialisasikan SID.
Hal ini tentunya sesuai dengan konsep partisipasi dari Britha Mikkelsen yang ke lima
dan enam yakni, partisipasi merupakan keter- libatan sukarela oleh masyarakat
dalam perubahan yang ditentukannya sendiri dan partisipasi adalah keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan.
Selanjutnya partisipasi dari masya- rakat ini tampak dalam pengisian data
SID. Kelompok pemuda dan berbagai elemen dari masyarakat desa ikut
membantu melakukan pendataan pen- duduk yang dilakukan dengan men- datangi
warga dari rumah ke rumah. Pendataan yang dilakukan dari rumah ke rumah ini
dalam upaya mendapatkan data yang valid dan pengisian lembar kuesioner pun
didampingi dari pihak Karang Taruna dan CRI. Setelah itu, memasukkan data ke
komputer yang dilakukan oleh aparat desa bersama dengan Pemuda dan Pemudi
Karang Taruna serta bantuan tenaga dari CRI. Proses pendataan berlangsung cukup
lama yakni hingga tiga bulan. Antusias masyarakat terhadap program ini juga
tampak dari keterbukaan mereka untuk mengisikan data tersebut sehingga proses
pendataan data menjadi valid.
Partisipasi menurut Arnstein adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat
dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian
keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Arnstein telah membuat delapan
tangga partisipasi. Untuk tangga pertama disebut manipulasi dan kedua

516 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penentraman. Di tangga pertama dan kedua menurut Arnstein tidak aka nada
partisipasi. Selanjutnya, tangga ketiga, menyampaikan informasi. Tangga Keempat,
konsultasi dan kelima kemitraan. Kategori pada tangga ketiga hingga lima ini
disebut tingkat tokenisme. Tokenisme yaitu suatu tingkatan peran serta di mana
masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak
memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan
dipertimbangkan oleh pemegang keputusan.
Program SID dimunculkan dengan meniadakan manipulasi masyarakat.
Hal yang terjadi adalah upaya menginformasikan terlebih dahulu, hingga mengajak
masyakata untuk ikut terlibat dalam pengisian SID. Hal ini dapat dikatakan
pelaksanaan SID di Desa Terong sudah sampai dalam tahap tokenisme. Masyarakat
diajak bicara, dan dapat menyampaikan kritikan. Bahkan menurut CRI, layanan
program dalam SID dimunculkan sesuai dengan permintaan masyarakat.
Partisipasi yang dilaksanakan masyarakat Desa Terong bukan didorong oleh
kepentingan LSM yang dalam hal ini adalah CRI. Seperti yang disampaikan di awal,
keberadaan SID atas inisiatif aparat desa, berarti desa membutuhkan program ini.
Kedua, sosialisasi kepada masyarakat dilakukan dalam rangka menginformasikan
fungsi dan peran SID bagi desa dan manfaatnya akan dirasakan masyarakat. CRI
dalam program ini berperan sebagai fasilitator, dengan demikian partisipasi ini adalah
murni dari desa. Hal ini sesuai dengan konsep Hamidjoyo (2000) tentang partisipasi
murni.
SID menjadi program bersama yang merupakan sinergi antara aparat desa,
masyarak dan CRI. Hal ini tampak dalam upaya masyarakat untuk menjaga
keberlangsungan program SID sampai saat ini. Pihak aparat desa cukup serius
dalam menjaga keberlangsungan program SID. Kepala desa yang baru
menggantikan kepala desa yang lama cukup memahami program SID ini berarti ada
upaya untuk mewariskan keberadaaan SID. Partisipasi dari masyarakat di Desa
Terong bukanlah bersifat mobilisasi seperti penelitian yang dilakukan Fajarini
Sulistyowati, Theodorus Wuryantono, dan Dian Astuti (2005) sebelumnya di Desa
Timbulharjo karena suatu program yang datangnya dari elit desa hanya akan
dipahami oleh elit desa bukan semua lapisan masyarakat. Kegiatan SID diawali
dengan berbagai sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan budaya sehingga
muncul pemahaman bersama dari berbagai elemen masyarakat. Beberapa warga
menganggap SID menjadi program bersama yang dapat dilihat dari keaktivan
masyarakat dalam menyampaikan informasi melalui sms gateway.

517 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dengan adanya pemahaman yang sama tentang manfaat program SID
maka sesuai dengan konsep yang ada yaitu; Pertama, kebersamaan, partisipasi
tumbuh melalui konsensus dan kesamaan visi, cita-cita, harapan, tujuan dan saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kedua, tumbuh dari bawah, partisipasi
bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas ke bawah “top down” atau dikendalikan
oleh individu atau kelompok melalui mekanisme kekuasaan. Partisipasi tumbuh
berdasarkan kesadaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Terakhir,
kepercayaan dan keterbukaan, partisipasi akan dapat ditumbuhkan atas dasar
saling percaya dan keterbukaan (Wahyudin Sumpena, 2004:60). Untuk program
SID, faktor-faktor yang mendorong adanya partisipasi yakni: kebersamaan.
Masyarakat secara bersama- sama terlibat dalam pengisian data dan pengaktivan
program SID. Keinginan adanya program SID adalah keinginan yang munculnya dari
desa bukan program yang didesakkan dari sehingga program ini memang tumbuh
dari bawah. Selain itu, karena program ini merupakan inisiatif dari masyarakat
tentunya muncul adanya kepercayaan dan keterbukaan.
Partisipasi sangat menentukan program SID seperti yang disampaikan
Wilhelm Wau (2012), bahwa dalam mengembangkan sistem informasi desa yang
berbasis komunitas, partisipasi merupakan salah satu unsur penting untuk
keberhasilan program ini. Partisipasi diharapkan dimulai dari tahap perencanaan,
perumusan masalah, pengambilan keputusan, pengembangan kapasitas,
pemanfaatan sampai pada tahap evaluasi dan monitoring.
Keberlangsungan SID tentunya sangat tergantung dari manfaat yang
dirasakan masyarakat terhadap program tersebut. Seperti yang disampaikan oleh
CRI, konsep SID merupakan informasiyang diimplementasikan melalui prangkat
teknologi informasi dan aplikasi perangkat lunak yang dioperasikan oleh perangkat
desa. Sistem informasi ini dibangun dengan berbasis komputer dan web sehingga
informasi ini dapat diakses oleh warga. Lisensi SID dikembangkan dalam platform
sistem perangkat lunak bebas dan terbuka (free and open source software) yang
berarti dapat digunaka, disalin, didistribusikan, ditingkatkan kinerjanya, dimodifikasi
sesuai dengan kebutuhan (Wilhem Wau: 2012).
Keberadaan SID menurut Combine Resource Institute (Wilhem Wau: 2012)
didasarkan beberapa manfaat; (1) Untuk perencanaan pembangunan, dalam
perencanaan pembangunan menghasilkan rang kaian proses pengambilan
keputusan melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).
Dengan adanya sistem informasi desa, maka desa memiliki pusat data yang dapat

518 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa (Musrenbangdesa), (2) Untuk keterbukaan informasi, sistem
informasi desa telah membuka budaya-budaya trans paransi informasi yang selama
ini tampak tertutup. Dengan adanya SID maka terjadi keterbukaan informasi yang
me mungkinkan peran dan status bukan lagi penghambat dalam berkomunikasi,
(3) Untuk pendataan kemiskinan, dengan model partisipatif maka memungkinkan
dilakukan pendataan kemiskinan di tingkat desa yang lebih akurat, (4) Untuk
pelayanan publik, dengan adanya SID maka data-data kependudukan, data ke-
uangan desa maupun sumberdaya desa akan tersimpan dalam database. Hal ini
memungkinkan desa memberikan pelayanan yang lebih akurat dan cepat untuk
permohonan suratsurat dari warga.
Sesuai dengan konsep Wilhem Wau (2012), keberadaan program SID di Desa
Terong sudah dapat memberikan manfaat dalam; (1) perencanaan pembangunan,
dalam perencanaan pembangunan menghasilkan rangkaian proses pengambilan
keputusan melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).
Dengan adanya sistem informasi desa, maka desa memiliki pusat data yang dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa (Musrenbangdesa), (2) Untuk keterbukaan informasi, sistem
informasi desa telah membuka informasi desa yang selama ini tampak tertutup.
Dengan adanya SID maka terjadi keterbukaan informasi yang memungkinkan peran
dan status bukan lagi penghambat dalam berkomunikasi; (3) Untuk pelayanan publik,
dengan adanya SID maka data- data kependudukan, data keuangan desa maupun
sumberdaya desa akan tersimpan dalam database. Hal ini memungkinkan desa
memberikan pelayanan yang lebih akurat dan cepat untuk permohonan surat-surat
dari warga.
Salah satu yang sulit dilakukan untuk program SID adalah pendataan
masyarakat miskin secara akurat karena masyarakat desa enggan untuk
menyampaikan secara terbuka. Bagi masyarakat data kemiskinan masyarakat tidak
selayaknya ditampilkan dalam SID, karena SID terbaca secara umum/ publik. Selain
itu kebijakan-kebijakan yang terkait dengan data kemiskinan masyarakat misalnya,
program Raskin, BLSM, Jamkesmas pemerintah pusat tidak berkonsultasi dengan
desa. Desa hanya sekedar menerima data dari atas. Hal ini sungguh disesalkan
oleh pemerintah desa karena data yang dipakai oleh pemerintah sudah jauh
berbeda dengan kondisi yang sekarang. Penyampaian program bantuan
didasarkan data yang sudah lama sehingga terkadang program pemerintah untuk

519 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberikan kesejahateraan masyarakat tidak me- ngenai sasaran. Aparat desa pun
tidak berani untuk mengambil inisiatif menggunakan data dari SID yang valid karena
kekhawatiran akan mengalami kesulitan dalam pelaporan program tersebut.

Program Sistem Informasi Desa di Desa Terong merupakan program yang


tumbuh dari kebutuhan dan keinginan masyarakat desa. Dengan adanya
kepentingan yang sama maka partisipasi dari masyarakat akan mudah dimunculkan.
Dengan adanya partisipasi dari masyarakat maka keberlanjutan suatu program akan
lebih mudah terlaksana. Program SID yang diinisiasi dari masyarakat merupakan
sinergi kerjasama antara masyarakat, aparat desa dan CRI. Program yang
merupakan inisiasi bersama sebaiknya dapat t diakomodir oleh pemerintah.
Sehingga pemerintah dalam menyampaikan kebijakan dari mereka juga berbasis
dari kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang dituju. Sehingga tujuan dan target
dari program kebijakan akan dapat mencapai sasaran.
Keberlangsungan program SID sangat tergantung dari manfaat program
tersebut bagi masyarakat. Saat ini teknologi informasi semakin cepat berkembang
dan fakta yang ada dengan pemanfaatan teknologi informasi maka akan memberikan
manfaat dalam ber- bagai hal termasuk untuk desa. Bila keberadaan suatu
program ini sebagai kebutuhan maka keberlangsungan program SID juga semakin
baik. Ter- kadang program yang disampaiakn pemerintah hanya dilakukan untuk
mengejar target terpenuhi kegiatan tanpa memikirkan keberlanjutan program akan
mengakibatkan program menjadi sulit untuk berlanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Bryant, Coralie dan White, Louise G. ,1987, Manajemen Pembangunan
Berkembang. Jakarta: LP3ES. Denzin, K, Norman. & Lincoln, Yvonna S..
2009. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah Dariyatno,
Badrus Samsul dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Wau, Wilhem. 2012. Sistem Informasi Desa Mengelola Sumber Daya Lokal Untuk
Kemandirian Bangsa. Combine Resource Institution: Yogyakarta
Wahyono, S. Bayu. 2011. “Optimalisasi Program Desa Informasi Melalui Penguatan
Kelembagaan”. IPTEK- Kom Jurnal Penelitian Komunikasi dan Informatika.
Balai pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan informastika (BPPKI):
Yogyakarta

520 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
E-GOVERNMENT DALAM PELAYANAN PERIJINAN
REKOMENDASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN
BANDUNG UTARA (KBU) PADA ASPEK TANGIBLES DI
DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU
SATU PINTU (DPMPTSP) JAWA BARAT
Nia Karniawati233, Samugyo Ibnu Redjo234, Utang Suwaryo235 dan Rahman
Mulyawan236

ABSTRAK
Pemerintah memiliki fungsi memberikan pelayanan publik yang diperlukan
oleh masyarakat. Fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan merupakan
amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas dalam UU No. 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Salah satu uapaya dalam meningkatkan pelayanan publik
dengan melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui
penggunaan tehnologi informasi komunikasi (TIK) dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dikenal dengan e-government.
Pemda Jawa Barat melalui Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (DPMPTSP) melayani pelayanan perijinan yang menjadi kewenangan
pemerintah provinsi. Melalui http://bpmpt.jabarprov.go.id dapat diakses 210 jenis
layanan perijinan online yang dikelola BPMTP Jawa Barat. Didalamnya terdapat
fasilitas online, seperti layanan perijinan online, pendaftaran online dan pengaduan
online. Pada layanan perijinan online ini, dapat diakses secara langsung persyaratan
dan mencetaknya. selanjutnya dapat pula dilakukan pendaftaran online. Namun
ternyata penggunaan fasilitas online ini belum maksimal. Masih banyak masyarakat
yang lebih memilih mengurus sperijinan secara manual.
Teori pelayanan yang digunakan dalam penelitian ini dikemukakan oleh
Parasuraman, Zeithamil dam Berry (1990). Menurutnya terdapat lima dimensi untuk
melihat keberhasilan pelayanan yang dilakukan, yaitu : yaitu tangibles (wujud fisik),
reliability (keajegan), responsiveness (pelayanan yang cepat), assurance (jaminan
kepastian), emphathy (memahami kebutuhan pengguna). Dan fokus dalam peneitian
ini pada aspek tangible saja.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Pemda Provinsi Jawa Barat melalui
DPMPTSP telah menerapkan e-government dalam pelayanan perijinan. Melalui
aspek tangibles, terlihat kelengkapan fasilitas online yang telah dimiliki dan
keberfungsian fasilitas online yang berkaitan dengan kenyamanan masyarakat
pengguna.
Kata Kunci : e-government, pelayanan public aspek tangibles

ABSTRACT
The Government has the function of providing public services. The function of
government in providing services is a mandate contained in the UUD RI 1945 and
clarified in UU RI No. 25 /2009 about Public Service. One effort to improve public
services with innovations in governance through the use of information
communication technology (ICT) in governance, known as e-government.

233 Dosen Tetap Prodi IP FISIP Unikom dan Kandidat Doktor Prodi IP Pascasarjana FISIP Unpad /
nia.karniawati@email.unikom.ac.id
234 Guru Besar Pascasarjana FISIP Unpad / samugyo.ir@gmail.com
235 Guru Besar Pascasarjana FISIP Unpad / utang_59@yahoo.com
236 Doktor Pascasarjana FISIP Unpad / rahmanmulyawan@yahoo.com

521 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
West Java Government through Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serve the licensing services under the authority of
the provincial government. Http://DPMPTSP.jabarprov.go.id accessible through 210
different types of online licensing service is managed BPMTP West Java. It poses an
online facility, such as licensing services online, online registration and complaints
online. In this online licensing service, can be accessed directly and print
requirements. The registration can also be done online. But it turns out the use of the
online facility is not maximized. There are still many people who prefer to use the
regristration manually.
The theory of service used proposed by Parasuraman, Zeithamil dam Berry
(1990). According to them, there are five dimensions to see the success of the
services performed, namely: the tangibles, reliability, responsiveness, assurance,
emphathy. And focus in this research just on tangible aspects. The method used is a
qualitative research method with a case study approach with descriptive analysis.
The results showed that the Government of West Java Province through
DPMPTSP have implemented e-government in the licensing service. Through
tangibles aspect, there are completeness online facilities that have been owned. And
also functioning of the online facilities with the convenience of the user community.
Keyword: e-government, public services through tangibles aspect

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pemerintah memiliki fungsi memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.
Fungsi ini merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas dalam
UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU tersebut mengatur prinsip-
prinsip pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif.
Pelayanan publik dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah,
BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
hakekatnya, pelayanan publik merupakan pemberian pemenuhan pelayanan kepada
masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pemerintah sebagai abdi
masyarakat.
Pentingnya pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dijelaskan oleh
Wasistiono (2001), menurutnya salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting
adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, oleh karena itu organisasi
pemerintah sering disebut sebagai pelayan masyarakat (public service). Hal ini
mengindikasikan bahwa melakukan pelayanan kepada masyarakat merupakan
kewajiban dari pemerintah. Ndraha (1997) memberikan batasan pelayanan yang
menjadi fungsi utama dari pemerintah, yaitu: Pelayanan (service) yang meliputi jasa
dan pelayanan. Jasa adalah komoditi, sedangkan layanan pemerintah terkait dengan
suatu hak dan lepas dari persoalan apakah pemegang hak itu dapat dibebani suatu

522 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
kewajiban atau tidak. Dalam hubungan ini dikenal dengan adanya hak bawaan itu
selalu bersifat individual dan pribadi, sedangkan hak pemberian peliputi hak sosial
politik dan individual. Lembaga yang berkewajiban memenuhi hak-hak tersebut
adalah pemeirntah, kagiatan pemerintah untuk memenuhi hak bawaan dan hak
pemberian inilah yang disebut pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Pamudji, pelayanan publik adalah berbagai kegiatan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa (1994). Sedangkan Moenir
(2001) mengungkapkan pelayanan umum sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem,
prosedur dan metoda tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain
yang menjadi haknya.
Dalam memberikan pelayanan publik yang maksimal kepada rakyatnya,
pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan melakukan inovasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penggunaan tehnologi informasi komunikasi
(TIK) dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan salah satu contoh inovasi
yang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik.
Penggunaan TIK dalam penyelenggaraan pemerintahan ini dikenal dengan e-
government.
Penggunaan E-government di Indonesia telah di tandai dengan adanya
Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan
Pendayagunaan Telematika di Indonesia yang dilanjutkan dengan Intstruksi Presiden
RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-
government. Sejak saat itu banyak lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah yang melaksanakan e-governmen. Ditandai dengan banyaknya pemerintah
daerah yang memiliki website. Meskipun pada perkembangannya ada beberapa E-
government yang tidak berkembang atau bahkan tidak berjalan, namun ada beberapa
E-government yang tetap berjalan bahkan terus dikembangkan.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengembangan E-
government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan
kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Pemanfaatan
teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan dengan: (1)
Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara
elektronis; (2) Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik
dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh negara. Dengan

523 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
demikian dapat dikatakan bahwa E-government adalah penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi dalam penyelenggaran pemerintahan oleh lembaga
pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan hubungan antar pemerintah dengan
pihak lain.
Pemda Jawa Barat telah melaksanakan e-government dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang salah satunya adalah pelayanan perijinan.
Pemda Jawa Barat melalui Badan Penanaman Modan dan Perijinan Terpadu
(DPMPTSP) melayani pelayanan perijinan yang menjadi kewenangan pemerintah
provinsi. Perijinan terpadu ini melibatkan 13 Dinas dan satu badan yang ada di
lingkungan Pemda Jawa Barat. Melalui http://bpmpt.jabarprov.go.id dapat diakses
210 jenis layanan perijinan online yang dikelola BPMTP Jawa Barat. Didalamnya
terdapat fasilitas online, seperti layanan perijinan online, pendaftaran online dan
pengaduan online. Pada layanan perijinan online ini, dapat diakses secara langsung
persyaratan dan mencetaknya. selanjutnya dapat pula dilakukan pendaftaran online.
Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan DPMPTSP Jawa Barat untuk
mempermudah layanan perijinan online, namun masyarakat masih belum
memanfaatkan fasilitas tersebut secara maksimal. Hal ini terlihat dari masih
banyaknya masyarakat yang lebih memilih layanan perijinan secara manual.
Fokus peneitian ini adalah e-government yang telah diterapkan dalam
pelayanan publik khususnya pada pelayanan perijinan yang telah dilakukan
DPMPTSP Jawa Barat dalam aspek tanggibles.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana aspek tangibles pada pelayanan perijinan sebagai
penerapan e-government dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh DPMPTSP
Jawa Barat.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Dari latar belakang penelitian yang telah dipaparkan, tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis aspek
tangibles pada pelayanan perijinan sebagai penerapan e-government dalam
pelayanan public yang dilakukan oleh DPMPTSP Jawa Barat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis sebagai berikut :

524 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
1) Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan teori dan konsep dalam disiplin Ilmu Pemerintahan,
khususnya dalam bidang kajian pelayanan publik dan e-government.
2) Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan
rujukan dalam mengkaji masalah-masalah dalam pelayanan publik
khususnya pelayanan perijinan dengan penggunaan e-government. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pelaku pelayanan perijinan agar
memperhatikan aspek-aspek dalam pelayanan publik.

METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif
(qualitative research) dengan pendekatan case study dengan analisa deskriptif.
Sumber data yang diperoleh terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan jenis data yang diperoleng langsung dari nara sumber yang dijadikan
informan penelitian. Data sekunder merupakan data yang dihimpun dari informasi
kepustakaan, baik dari buku teks, jurnal, hasil penelitian, laporan dan dokumen
lainnya. Sumber informasi dalam penelitian ini dengan menetapkan informan yang
kompeten menggunakan purposive (pengambilan informan berdasarkan tujuan).
Informan dalam penelitian ini terbagi atas Aparatur DPMPTSP Jawa Barat sebagai
lembaga yang memproses perijinan dan masyarakat yang mengurus perijinan secara
online.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu : studi kepustakaan,
observasi dan wawancara. Dan Tehnik analisa data menggunakan tiga komponen
analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

TINJAUAN PUSTAKA
Electronic Government (e-government)
Electronic Government yang disingkat menjadi e-government diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia sebagai elektronik pemerintahan, yang diartikan sebagai
penggunaan teknologi informasi komunikasi (TIK)/Information Communication
Tecnology (ICT) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Teknologi informasi ini
merupakan perangkat informasi yang dihubungkan dengan jaringan internet.

525 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pemanfaatan TIK oleh pemerintah dalam pelayanan publik ini diharapkan dapat
menjadikan mutu dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat meningkat.
Heeks yang dikutip Hasibuan (2002) mendefinisikan e-government sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan teknologi informasi
untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, kita
ketahui tujuan utama e-government adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
layanan yang menurut Heeks, hampir semua lembaga pemerintahan di dunia ini
mengalami ketidakefisienan, terutama di negara yang sedang berkembang.
Sementara itu, Douglas Holmes (Holmes, 2001) menyebutkan definisi dari e-
government yaitu: electronic government, or e-government, is the use of information
technology, in particular the internet, to deliver publik services in a much more
convenient, customer-oriented, cost-effective, and altogether different and better way.
Definisi tersebut menggambarkan pelayanan yang diberikan pemerintah secara
online akan memudahkan warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai
penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, pelayanan yang diberikan secara online
juga bermanfaat untuk mengurangi biaya, proses yang berbelit-belit, menambah
kecepatan, serta membuat proses lebih fleksibel dan responsif.

Pelayanan Perijinan
Pelayanan perijinan merupakan bagian dari pelayanan publik yang dilakukan
pemerintah kepada masyarakat. Mengacu pada KepMenPan No.
63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, maka perijinan termasuk dalam kelompok layanan administrasi. Kelompok
layanan administrasi ini merupakan layanan yang menghasilkan dokumen resmi yang
dibutuhkan oleh masyarakat yang diberikan oleh pemerintah setempat.

Pelayanan Publik
Pelayanan merupakan salah satu fungsi pemerintah. Penggunaan e-
government dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah
satu inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. E-government tersebut
merupakan alat bantu dalam meningkatkan pelayanan yang dilakukan aparatur
pemerintahan. Keberhasilan penggunaan e-government ini sangat tergantung pada
pihak yang menggunakannya. Baik itu aparatur pemerintahan sebagai pelaksana
pelayanan dan juga masyarakat sebagai pengguna pelayanan.

526 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dengan penggunaan e-government, efisiensi, transparansi, partisipasi dan
keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat terwujud
(Bertucci dan Senese, 2007). Masyarakat dapat selalu mengakses informasi tentang
pelayanan perijinan berupa peryaratan, prosedur, biaya, waktu sehingga dapat
tercapai efisiensi dan transparansi. Sehingga kemudian masyarakat akan terlibat
secara langsung dalam mengurus perijinan tanpa pelantara.
Untuk melihat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Aparatur DPMPTSP Jawa Barat dalam perijinan rekomendasi pemanfaatan ruang di
KBU dengan penggunaan e-government akan digunakan dimensi pelayanan yang
dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithamil dam Berry (1990). Terdapat lima dimensi
pelayanan yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithamil dam Berry (1990) , yaitu
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, emphathy. Kelima dimensi
pelayanan tersebut merupakan satu kesatuan dari interaksi yang saling
berhubungan, untuk dapat menilai pelayanan yang diberikan berkualitas atau tidak.
Dimensi pelayanan tersebut sesuai dengan penelitian ini karena penjabaran
kelima dimensi pelayanan tersebut mamu mempresentasikan berbagai aspek dalam
pelayanan perijinan yang dilakukan oleh DPMPTSP Jawa Barat dengan
menggunakan e-government. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ratminto (2010) bahwa dimensi yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithamil
dam Berry tersebut tidak hanya berorientasi pada proses berjalannya pelayanan
namun juga pada hasil yang dicapai dari pelayanan tersebut.
Tangibles (wujud fisik), merupakan seluruh karakteristik penampilan yang
berhubungan dengan struktur fisik di DPMPTSP Jawa Barat dalam pelayanan
perijinan. Ini berkaitan dengan (1) Kelengkapan fasilitas, (2) Keberfungsian fasilitas
dan kenyamanan sarana/prasarana. Reliability (keajegan), merupakan kemampuan
dan antisipasi dari aparatur DPMPTSP Jawa Barat untuk menyelenggarakan
pelayanan yang akurat sesuai dengan yang dijanjikan dalam pelayanan perijinan. Ini
berkaitan dengan (1) janji penyelesaian yang tepat waktu, (2) hasil pelayanan yang
tepat, (3) Tarif/biaya sesuai aturan. Responsiveness (Ketanggapan), merupakan
kesediaan aparatur DPMPTSP Jawa Barat dalam melayani perijinan dengan
memberikan pelayanan sesuai permintaan pengguna dalam melayani perijinan. Ini
berkaitan dengan (1) Kesediaan membantu pengguna yang cepat dan tepat, (2)
berorientasi pada kebutuhan pennguna, (3) Memberikan solusi yang terbaik pada
pengguna. Assurance (jaminan kepastian), merupakan kemampuan aparatur
DPMPTSP Jawa Barat dalam pelayanan perijinan dengan memberikan jaminan dan

527 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memegang kepercayaan pennguna. Ini berkaitan dengan aparatur DPMPTSP Jawa
Barat yang (1) Melayani dengan sopan dan ramah, (2) Memberikan jaminan terhadap
hasil layanan, (3) Menciptakan rasa aman dan nyaman terhadap pengguna.
Emphathy (memahami kebutuhan pengguna), merupakan prilaku dari aparatur
DPMPTSP Jawa Barat dalam pelayanan perijinan dengan berperilaku memahami
dan mengerti kebutuhan pengguna. Ini berkaitan dengan (1) Kemudahan
mengadakan kontak/hubungan, (2) Menyampaian dengan Bahasa yang jelas, mudah
dipahami dan menyesuaikan dengan pennguna (3) Memahami dalam pelayanan
perijinan kebutuhan dan mendengarkan dalam pelayanan perijinan rekomendasi
pemanfaatan ruang KBUharapan/keluhan pennguna.
Dari dimensi tersebut, yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah aspek
Tangibles (wujud fisik). Dalam aspek tangibles ini berkaitan dengan fasilitas yang
tersedia dalam pelayanan perijinan online di DPMPTSP Jawa Barat. Dalam aspke ini
terbagi atas : (1) Kelengkapan fasilitas online, (2) Keberfungsian fasilitas online yang
berkaitan dengan kenyamanan pengguna.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuaraikan diatas, maka berikut
ini model kerangka pikir penelitian :
Gambar Kerangka Pikir Penelitian

Penggunaan
Dimensi Pelayanan aspek Pelayanan
e-government
Tangibles (wujud fisik) : perijinan di
dalam
1) Kelengkapan fasilitas DPMPTSP
pelayanan
online Jawa Barat
perijinan di
2) Keberfungsian fasilitas yang optimal
BPMPT Jawa
Barat online

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kelengkapan Fasilitas online dalam Pelayanan Perijinan di DPMPTSP Jawa
Barat
DPMPTSP Jawa Barat telah memiliki fasilitas online dalam pelayanan
perijinan. Melalui website http://bpmpt.jabarprov.go.id dapat diperoleh informasi
tentang perijinan dan penanaman modal di DPMPTSP Jawa Barat. Berikut ini
tampilan webste DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

528 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Website DPMPTSP Jawa Barat

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id (2016)

Dalam website http://bpmpt.jabarprov.go.id dapat diperoleh informasi tentang berita-


berita yang berkaitan dengan pelayanan DPMPTSP Jawa Barat, profile DPMPTSP
Jawa Barat, jenis pelayanan perijinan dan juga persyaratannya, serta terdapat
layanan online. Pada bagian Beranda, terdapat layanan informasi tentang Profil,
Bidang, Gerai, Layanan Online, OPD Terkait, Regulasi dan Pengadaan. Terdapat
pilihan Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
Melalui website http://bpmpt.jabarprov.go.id terdapat layanan online.
Tampilan pelayanan online dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam
gambar berikut ini :

529 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Tampilan pelayanan online website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/web/pages/detail/220-layanan-online/87 (2016)

Dalam Layanan Online ini terdapat layanan Pengaduan online, Daftar Jenis Perijinan,
Pendaftaran Perijinan online, SPIPISE online, SIPID online, LKPM online, dan Cek
Status Ijin secara langsung.
Selanjutnya melalui fasilitas pengaduan online, masyarakat yang sedang
mengajukan perijinan di DPMPTSP Jawa Barat dapat melakukan pengaduan secara
online tanpa perlu datang ke kantor DPMPTSP Jawa Barat. Tampilan Pengaduan
Online dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

Gambar Tampilan Pengaduan Online website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/sicantik/main/pengaduan (2016)

530 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Masyarakat yang ingin melakukan pengaduan online cukup mengisi form yang telah
tersedia. Data yang harus lengkapi seperti jenis pengaduan, nomor pendaftaran,
nama lengkap, contak person, nomor HP, alamat email, alamat lengkap. Dalam data
jenis pengaduan, telah tersedia jenis pengaduan yang dapat dipilih, namun apabila
tidak ada jenis yang sesuai, maka dapat dipilih dll. Kemudian menuliskan pengaduan
yang ingin disampaikan. Pengaduan yang dilakukan secara online ini sangat
menghemat waktu dan biaya.
Dalam Layanan Online ini kita juga dapat mengetahui persyaratan yang
diperlukan dalam mengurus perijinan dan waktu yang diperlukan dalam proses
perijinan dengan mengakses Daftar Jenis Perijinan. Tampilan Daftar Jenis Perijinan
dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

Gambar Tampilan Daftar Jenis Perijinan website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/sicantik/main/jenis_perizinan (2016)

Dalam layanan Daftar Jenis Perijinan ini terdapat 245 jenis perijinan yang dapat
diakses informasi tentang persyaratan pengurusan perijinan dan mencetaknya.
Pendaftaran perijinan di DPMPTSP Jawa Barat dapat dilakukan secara online
melalui website DPMPTSP Jawa Barat. Tampilan pelayanan online dalam website
DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

531 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Tampilan Pendaftaran Pemohon Online website DPMPTSP
Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/sicantik/main/pendaftaranbaru (2016)

Masyarakat yang ingin mengajukan perijinan secara online, sebelumnya


harus memiliki account di website DPMPTSP Jawa Barat. Kemudian pendaftaran
secara online dapat dilakukan dengan mengisi data yang tersedia. Permohonan
online ini dapat dilakukan oleh pemohon perorangan dan perusahaan. Selain itu juga
terdapat isian data tentang pemegang kuasa, yang merupakan orang yang di beri
kuasa untuk mengurus perijinan.
Selanjutnya dalam Layanan Online ini terdapat fasilitas Cek Status
Permohonan. Melalui fasilitas ini, pemohon dapat memeriksa proses pengajuan
perijinan yang diajukan. Tampilan Cek Status Permohonan dalam website DPMPTSP
Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

532 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Tampilan Cek Status Permohonan website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber : http://bpmpt.jabarprov.go.id/sicantik/main (2016)

Melalui layanan Cek Status Permohonan, masyarakat yang sedang mengajukan


permohonan perijinan dapat memeriksa status perhononannya. Cukup dengan
memasukan nomor pendaftaran perijinannya pada kolom yang tersedia.
Selanjutnya, dalam Layanan online ini terdapat Layanan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perijinan Investasi secara Elektronik (SPIPISE online). Tampilan
SPIPISE online dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar
berikut ini :

533 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Tampilan SPIPISE Online website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber : http://bpmpt.jabarprov.go.id/web/index.php/pages/detail/216-spipise-
online/87/87/267 (2016)

Layanan ini merupakan aplikasi untuk melayani investor dalam mengajukan


proses perijinan kegiatan investasi di seluruh Indonesia. Pada layanan ini terhubung
dengan link Online SPIPISE, yang kemudian muncul tampilan dalam ganber berikut
ini :

Gambar Tampilan Online SPIPISE

Sumber: https://online-spipise.bkpm.go.id (2016)

534 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Saat ini proses pelayanan perijinan investasi masih dilakukan secara manual/offline
di Kantor BKPM. Namun demikian dengan adanya Aplikasi Online SPIPISE akan
memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan. Kelebihan
dari Aplikasi Online SPISE ini terdiri dari aksebilitas system, manajemen waktu,
manajemen dokumen, dan transparansi proses.
Kemudian dalam Layanan Online ini juga terdapat LKPM Online. Tampilan
LKPM Online dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar
berikut ini :
Gambar Tampilan LKPM Online website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/web/pages/detail/176-lkpm-online/87/87/217
(2016)

Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) merupakan laporan berkala tentang


perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi oleh penanam
modal. Dalam layanan ini akan terhubung dengan Link LKPM online yang merupakan
bagian dari website BPKM.
Selanjutnya dalam Layanan Online ini terdapat SIPID Online. Tampilan SIPID
Online dalam website DPMPTSP Jawa Barat dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

535 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Tampilan SIPID Online website DPMPTSP Jawa Barat.

Sumber: http://bpmpt.jabarprov.go.id/web/pages/detail/188-sipid-online/87/87/230
(2016)

Sistem Informasi Peluang Investasi Daerah (SIPID) online merupakan informasi


tentang peluang investasi di Indonesia. Informasi ini merupakan panduan bagi calon
investor untuk melakukan investasi.
Untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan online DPMPTSP
Jawa Barat, perijinan online ini dapat diunduh secara gratis melalui fasilitas google
play store dan masyarakat dapat mengakses perijinan online ini melalui Smartphone.
Sehingga perkembangan dari perijinan yang sedang di proses dapat diikuti oleh
masyarakat dengan terbuka, kapan saja dan dimana saja. Ini merupakan salah satu
keterbukaan atau transparansi yang dilakukan oleh DPMPTSP Jawa barat.
Tampilannya dapat dilihat dalam gamber berikut ini :

536 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Gambar Perijinan online melalui smartphone

Sumber : Hasil penelitian, 2016.

Melalui smartphone, dapat dilakukan pengecekan persyaratan perijinan yang akan


diajukan, pengecekan status perijinan yang sedang diajukan dan informasi tentang
lokasi gerai layanan perijinan di Jawa Barat.

Keberfungsian Fasilitas Online pada Pelayanan Perijinan di DPMPTSP Jawa


Barat
DPMPTSP Jawa Barat telah memiliki fasilitas yang memadai dalam
menunjang layanan online. Ini terlihat pada kelengkapan sarana dan prasarana yang
ada. Seperti adanya mobile phone, digital tv, call center, kios Ks, PCs dan
teleconferencing. Perlengkapan hardware tersebut dilengkapi dengan jaringan yang
memadai.
DPMPTSP Jawa Barat telah mengembangkan program/software untuk
meningkatkan pelayanan perijinan. Aplikasi TIK yang telah dikembangkan DPMPTSP
Jawa Barat seperti :
(1) Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
SPIPISE merupakan sistem elektronik pelayanan perijinan dan non perijinan
yang terintegrasi antara lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
perijinan dengan pemda dibidang penanaman modal. Portal SPIPISE berupa

537 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
piranti lunak berbasis situs yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan
perijinan dan non perijinan. Tujuan dari SPIPISE ini untuk mewujudkan
penyelenggaraan pelayanan terpadu dalam bidang penanaman modal,
memberikan pelayanan perijinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan
akuntabel, integritas data dan pelayanan serta untuk mewujudkan keselarasan
kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antar sektor.
(2) Program ”Simpatik”, merupakan sistem pelayanan perijinan yang digunakan untuk
mengolah data perijinan sejak awal pendaftaran sampai diterbitkannya perijinan.
Program ”Simpatik” juga merupakan pengembangan aplikasi pelayanan perijinan
untuk masyarakat Jawa Barat yang berbasis situs web. Dengan aplikasi ini
pemohon perijinan secara online dapat mengecek status permohonan
perijinannya, mendapatkan informasi mengenai posisi terakhir permohonannya
sesuai dengan tahapan dalam standar operasional prosedur (SOP),
mendapatkan informasi mengenai penyelesaian perijinan melalui SMS gateway.
(3) Aplikasi ”statistik perijinan”. Ini merupakan improvisasi dari aplikasi ”Simpatik”.
Melalui aplikasi ini semua yang berkepentingan dapat memperoleh data
informasi perijinan yang diterbitkan melalui situs web
http://DPMPTSP.jabarprov.go.id. Data yang dapat diakses meliputi jumlah ijin
yang masuk dan durasi waktu penyelesaiannya.
(4) “TKA on line”. Ini merupakan sistem pelayanan perijinan yang digunakan untuk
mengolah data perijinan sejak awal pendaftaran sampai diterbitkannya perijinan
untuk urusan ketenagakerjaan asing.
Sebelum menjadi DPMPTSP di Bulan November 2014, pelayanan perijinan di
Jawa Barat dikelola oleh BPPT (Badan Pelayanan Perijinan Terpadu) Jawa Barat.
BPPT Jawa Barat ini memiliki banyak prestasi. Diantaranya di tahun 2013 mendapat
penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara tingkat Propinsi dari Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, di tahun 2014 mendapat
penghargaan dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik dan dijadikan sebagai
pelopor penyelenggaraan PTSP ditingkat propinsi dan juga menjadi percontohan
penyelenggaraan PTSP di tingkat nasional. Kemudian di tahun 2015 mendapat
penghargaan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik, atas inovasinya dalam program
”Makin Terlayani Pegawai On Line”. Dan di tahun 2016, merupakan pilot project
pencegahan korupsi oleh KPK dengan Inovasi Satu Akses Pasti Simpatik Jabar. Pilot
project pencegahan korupsi ini dilakukan KPK pada 17 Propinsi di Indonesia terhadap

538 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
inovasi pelayanan publik yang dilakukan pemda pada sektor pndapatan, sektor
tunjangan pegawai dan sektor perijinan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pemda Provinsi Jawa
Barat melalui DPMPTSP Jawa Barat telah menerapkan e-government dalam
pelayanan perijinan sebagai upaya dalam meningkatkan pelayanan publik. Ini terlihat
dari aspek tangibles yang telah disediakan oleh DPMPTSP Jawa Barat. Dalam aspek
ini terlihat fasilitas online yang telah dimiliki dan keberfungsian dari fasilitas online
yang ada.
Agar pelaksanaan e-government yang telah dilakukan tersebut dapat
dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, diperlukan upaya lebih maksimal lagi dari
DPMPTSP Jawa Barat dalam mensosialisasikannya. Sehingga masyarakat lebih
memilih layanan perijinan online di bandingkan dengan layanan perijinan yang
manual.

DAFTAR PUSTAKA
Bertucci & Senese, Guido & Maria. 2007. Decentralization and Electronic
Governance, dalam Cheema & Rodinelli, G.Shabbir & Dennis,A. (Editor)
Decentralizing Governance. Hal 43-55. Washington DC: Brookings Institution
Press.
Cresswell, John W. 1994. Reaseach Design : Qualitative and Quantitative
Approaches. California: SAGE Publications.
Dwiyanto. 2012. Implementasi E-government di Kabupaten Sragen Propinsi Jawa
tengah. Dalam Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara. Edisi II tahun II/2012.
Hal 107-123.
Hasibuan, S.P, Malayu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia: Dasar dan Kunci
Keberhasilan. Jakarta:PT. Toko Gunung Agung.
Holmes, Douglas. 2001. E-Gov, E-Business Strategies fot Government.
London:Nicholas Brealey Publishing.
Indrajit, Richardus Eko. 2002. Electronic Government. Yogyakarta : Penerbit Andi.
-------------------------------. 2005. E-government in action. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mardiah, Ika. 2014. Akuntabilitas pemerintah: Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Bandung: AIPI.
Moenir, 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.

539 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Ndraha, Taliziduhu. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan,Jakarta : Rineka Cipta.
Pamudji, 1994. Profesionalisme Aparatur Negara dalam Meningkatkan Pelayanan
dan Perilaku Politik Publik. Jakarta: Widya Praja.
Ratminto dan Winarsih, Atik Septi. 2010. Manejemen Pelayanan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan
Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama.
Sinambela, Poltak. 2007. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta:Bumi Aksara.
Sudarsono. 1998. Strategi Pelayanan Prima. Jakarta:LAN-RI.
Wasistiono, Sadu. 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah. Sumedang:
Alqoprint.
Zeithaml, A.Valarie, Parasuraman, Berry. (1990). Delivering Quality Service. New
York: Free Press.
Undang Undang Dasar 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengambangan dan
Pendayagunaan Telematika di Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Elektronik Government.
SK Menpan No. 62/Kep./M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
http://bpmpt.jabarprov.go.id

540 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
TINJAUAN KRITIS POSISI KECAMATAN SECARA
KELEMBAGAAN DALAM TATA PEMERINTAHAN DAERAH
Donald K. Monintja237

ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimaksudkan dapat mendorong
pembangunan di daerah dari semua aspek, apakah itu dari sisi pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, ataupun bidang lainnya, memang menjadi bagian integral dari
pembangunan nasional. Sebagai daerah otonom, daerah mestinya mempunyai
kewenangan dan tanggungjawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat
berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban
kepada masyarakat. Perubahan terhadap tata penyelenggaraan tersebut tentu saja
akan membawa berbagai konsekuensi yang cukup signifikan bagi pemerintah
sebagai pelaksana penyelenggaraan negara, kalau di daerah dimulai dari Gubernur,
Bupati/Walikota, Kecamatan sampai pada pemerintah desa dan kelurahan sebagai
institusi paling kecil dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam perspektif yang lain pelaksanaan otonomi daerah menuntut sebanyak
mungkin memberdayakan potensi-potensi di daerah. Potensi daerah tersebut meliputi
sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya teknologi, dan sumber daya
budaya (kultur). Banyak sasaran utama yang mungkin bisa dicapai antara lain
peningkatan kesejahteraan rakyat, atau bukan hanya sekedar mengejar
kesejahteraan, namun diharapkan mampu bersaing dalam semua aspek-aspek yang
lain.
Diterapkannya asas desentralisasi, dalam artian daerah punya kewenangan
mengatur dan menjalankan berbagai macam urusan pemerintahan daerah, mestinya
menjawab beberapa sasaran yang diinginkan, namun banyak pandangan menilai,
sepertinya masih kurang menjawab kebutuhan masyarakat. Padahal momentum
pemberlakuan otonomi daerah kurang lebih bisa menjawab pergumulan pelayanan,
pemberdayaan dan pembangunan yang digagas pemerintah. Namun, proses
pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini, masih dijumpai beberapa permasalahan, di
antaranya : Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
daerah, berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, masih rendahnya kerjasama antar pemerintah
daerah, belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan
efisien, masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, serta
masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah.238
Situasi ini juga ternyata menggejala sampai pada peran dan fungsi tata
pemerintahan daerah, termasuk juga di dalamnya posisi kecamatan. Posisi
Kecamatan sebagai suatu lembaga dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia
setelah desentralisasi mengalami perubahan, dari perangkat wilayah menjadi
perangkat daerah. Perubahan ini sekaligus juga pada peran kelembagaan
kecamatan, kalau dulu menyelenggarakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
sekarang berpindah pada instansi sektoral. Dalam hal menjalankan tugas dan fungsi
ada kecendrungan terjadi benturan antar kelembagaan, apakah itu dimulai dari
kecamatan atau instansi sektoral lainnya, kondisi ini menimbulkan polemik dan

237 Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara / donaldmonintja@gmail.com


238 Reorientasi Kebijakan Desentralisasi. Kompas, 22 Mei 2009

541 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menjadi persoalan dalam hubungannya dengan optimalisasi kelembagaan
kecamatan, juga dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Kata Kunci : Desentralisasi, Kecamatan, Kelembagaan

PENDAHULUAN
Diterapkannya asas desentralisasi, dalam artian daerah punya kewenangan
mengatur dan menjalankan berbagai macam urusan pemerintahan daerah, mestinya
menjawab beberapa sasaran yang diinginkan, namun banyak pandangan menilai,
sepertinya masih kurang menjawab kebutuhan masyarakat. Padahal momentum
pemberlakuan otonomi daerah kurang lebih bisa menjawab pergumulan pelayanan,
pemberdayaan dan pembangunan yang digagas pemerintah. Namun, proses
pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini, masih dijumpai beberapa permasalahan.
Situasi ini juga ternyata menggejala sampai pada peran dan fungsi tata pemerintahan
daerah, termasuk juga di dalamnya posisi kecamatan. Posisi Kecamatan sebagai
suatu lembaga dalam struktur pemerintahan daerah di Indonesia setelah
desentralisasi mengalami perubahan, dari perangkat wilayah menjadi perangkat
daerah. Perubahan ini sekaligus juga pada peran kelembagaan kecamatan, kalau
dulu menyelenggarakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sekarang berpindah
pada instansi sektoral. Dalam hal menjalankan tugas dan fungsi ada kecendrungan
terjadi benturan antar kelembagaan.Sebelum lebih jauh membahas tentang
kelembagaan kecamatan, sebaiknya dilihat lebih dalam pemikiran kelembagaan dan
organisasi, karna dalam berbagai kesempatan pertemuan forum ilmiah, seringkali
dicampur baurkan arti kelembagaan dan organisasi.

Konsep Kelembagaan dan Organisasi


Kata “kelembagaan” merupakan padanan dari kata Inggris “institution”, atau
lebih tepatnya “social institution”; sedangkan “organisasi” padanan dari “organization”
atau “social organization”. Meskipun kedua kata ini sudah umum dikenal masyarakat,
namun meminjam pengertian dalam sosiologi ada juga perbedaannya. Sebagaimana
kata Horton dan Hunt (1984: 211): “What is an institution? The sociological concept
is different from the common usage”. Kedua kata tersebut pada mulanya digunakan
secara bolak balik, baur dan luas, namun akhirnya lebih menjadi tegas dan sempit.
Tujuannya adalah membangun suatu makna yang baku secara keilmuan. Keduanya
memiliki hubungan yang kuat, sering sekali muncul secara bersamaan, namun juga

542 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sering digunakan secara bolak balik, karena menyangkut objek yang sama atau
banyak kesamaannya.
Menurut Scott (2008: viii): “It is my strong conviction that institutional theory
provides the most promising and productive lens for viewing organizations in
contemporary society”. " Ini adalah keyakinan yang kuat saya bahwa teori institusional
memberikan lensa yang paling menjanjikan dan produktif untuk melihat organisasi
dalam masyarakat kontemporer. Selanjutnya Scott dalam teorinya New
Institutionalism, keberadaan lembaga mencakup atas tiga hal yakni (normatif,
regulatif, dan kultural kognitif). Organisasi adalah aktor, yang hidup dalam lembaga.
Lembaga melingkupi organisasi. Organisasi hanyalah aktor sosial.
Hampir sama dengan apa yang disebutkan Scoot (2008), Adelman dan
Thomas mendefinisikan institusi sebagai suatu bentuk interaksi di antara manusia
yang mencakup sekurang-kurangnya tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan nilai kultural yang menjadi acuan bagi institusi yang lebih
rendah tingkatannya. Kedua, mencakup hukum dan peraturan yang mengkhususkan
pada apa yang disebut aturan main (the rules of the game). Ketiga, mencakup
pengaturan yang bersifat kontraktual yang digunakan dalam proses transaksi. Ketiga
tingkatan institusi di atas menunjuk pada hirarki mulai dari yang paling ideal (abstrak)
hingga yang paling konkrit, dimana institusi yang lebih rendah berpedoman pada
institusi yang lebih tinggi tingkatannya.
Hendropuspito lebih suka menggunakan kata institusi daripada
lembaga. Menurutnya institusi merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap
tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi sebagai cara yang
mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Unsur penting yang
melandasi sebuah institusi menurutnya Hendropuspito dapat dilihat dari unsur definisi
sebagai berikut:
1. Kebutuhan sosial dasar (basic needs)
2. Kebutuhan sosial dasar terdiri atas sejumlah nilai material, mental dan spiritual, yang
pengadaannya harus terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebetulan
atau kerelaan seseorang. Misalnya: kebutuhan sandang, pangan, perumahan,
kelangsungan jenis/keluarga, pendidikan, kebutuhan ini harus dipenuhi.
3. Organisasi yang relatif tetap
4. Dasar pertimbangannya mudah dipahami, karena kebutuhan yang hendak dilayani
bersifat tetap. Memang harus diakui bahwa apa yang dibuat oleh manusia tunduk
pada hukum perubahan, tetapi berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa

543 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
institusi pada umumnya berubah lambat, karena pola kelakuan dan peranan-peranan
yang melekat padanya tidak mudah berubah.
5. Institusi merupakan organisasi yang tersusun/terstruktur
6. Komponen-komponen penyusunnya terdiri dari pola-pola kelakuan, peranan sosial,
dan jenis-jenis antarrelasi yang sifatnya lebih kurang tetap. Kedudukan dan jabatan
ditempatkan pada jenjang yang telah ditentukan dalam struktur yang terpadu.
7. Institusi sebagai cara (bertindak) yang mengikat Keseluruhan
8. komponen yang dipadukan itu dipandang oleh semua pihak yang berkepentingan
sebagai suatu bentuk cara hidup dan bertindak yang mengikat. Mereka
menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu institusi harus
disesuaikan dengan aturan institusi. Pelanggaran terhadap norma-norma dan
pola-pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dalam institusi keterikatan
pada norma dan pola dianggap begitu penting bahkan diperkuat dengan
seperangkat sanksi demi tercapainya kelestarian dan ketahanan secara
kesinambungan.
Selanjutnya seiring dengan beragamnya pendapat dan pengertian mengenai
keberadaan kelembagaan dan organisasi, maka dipandang perlu untuk diberi irisan
mengenai oeganisasi dan kelembagaan. Menurut Etzioni (1985) menyatakan bahwa
masyarakat terdiri dari organisasi-organisasi, dimana hampir dari semua dari kita
melewati masa hidup dengan bekerja untuk kepentingan organisasi. Dengan demikian
organisasi adalah suatu unit sosial (pengelompokan sosial) yang sengaja dibentuk dan
dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Namun untuk mendefinisikan organisasi dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara. Hal ini karena organisasi merupakan sesuatu yang abstrak, sulit dilihat
namun bisa dirasakan eksistensinya
Secara umum, definisi organisasi merupakan rangkaian kegiatan kerjasama
yang dilakukan beberapa orang dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Blau
dan Scott (1962) mendefinisikan bahwa organisasi itu memiliki tujuan dan memiliki
sesuatu yang formal, ada administrasi staf yang biasanya eksis dan bertanggung jawab
serta adanya koordinasi dalam melaksanakan kegiatan anggotanya.
Lubis dan Huseini (1987:1) mendefinisikan organisasi sebagai satu kesatuan
sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu
sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang
sebagai satu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang
jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.

544 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Selanjutnya, menurut Lubis dan Huseini menyatakan terdapat 3 (tiga)
pendekatan yang lazim digunakan dalam menganalisis organisasi, yaitu: (1) pendekatan
Klasik, (2) pendekatan Neo-Klasik, dan (3) pendekatan Moderen atau pendekatan
Sistem. Pertama, pendekatan Klasik, yang menurut pandangan Taylor lebih
menekankan akan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan. Dalam pendekatan ini
peran pekerja dipisahkan dari peran manajer. Pekerja diklasifikasikan pada satu bidang
yang hanya bertugas melaksanakan pekerjaan saja, sedangkan manajer bertugas
mengelola metode kerja yang sebaiknya digunakan. Akibatnya, pekerja merasa seperti
mesin yang dikuras tenaganya untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi. Kedua,
pendekatan Neo-Klasik.
lebih menekankan akan pentingnya hubungan antarmanusia (human relations)
bagi keberhasilan suatu organisasi dan kurang memperhatikan struktur pembagian
tugas, wewenang, dan tanggungjawab organisasi. Interaksi sosial atau human
relations ini akan memunculkan kelompok-kelompok nonformal dalam suatu organisasi
yang memiliki norma sendiri dan berlaku serta menjadi pegangan bagi seluruh anggota
kelompok. Norma kelompok ini berpengaruh terhadap sikap maupun prestasi anggota
kelompok. Interaksi sosial ini perlu diarahkan sehingga dapat membantu pencapaian
tujuan-tujuan organisasi. Ketiga, pendekatan Moderen, yang menekankan pentingnya
faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi organisasi, dimana
organisasi merupakan bagian dari lingkungannya. Keterbukaan dan ketergantungan
organisasi terhadap lingkungannya menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan
dengan lingkungan dimana organisasi itu berada.
Dalam sudut pandang yang lain, organisasi dipandang sebagai wadah berbagai
kegiatan dan sebagai proses interaksi antara orang-orang yang terdapat di
dalamnya. Siagian (1995) misalnya, menyebutkan bahwa organisasi sebagai wadah
melihat organisasi sebagai struktur yang memiliki jenjang hirarki jabatan manajerial,
berbagai kegiatan operasional, komunikasi yang digunakan, informasi yang digunakan
serta hubungan antar satuan kerja. Kemudian organisasi sebagai wadah, melihat
pemilihan dan penggunaan tipe organisasi tertentu, apakah bertipe lini, lini dan staf,
fungsional, matrik, dan panitia. Kemudian organisasi dipandang sebagai suatu proses
interaksi memiliki anggapan bahwa keberhasilan satuan-satuan kerja di dalam organisasi
dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi interaksi antar anggota, satuan-satuan
kerja serta organisasi dengan lingkungannya. Dari kedua definisi di atas dapat dilihat
bahwa lembaga hadir untuk memenuhi kebutuhan satu kelompok manusia dan bukan
kebutuhan perorangan. Naluri manusia yang membutuhkan orang lain untuk

545 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berinteraksi, seperti misalnya ketertarikan terhadap seks pada diri manusia, yang
mengakibatkan manusia untuk hidup berkelompok. Ada tua dan muda serta laki-laki
dan perempuan yang secara harfiah manusia membutuhkan bantuan orang
lain. Kemudian akan terjadi aksi sosial, tingkah laku sosial di dalam kelompok,
sehingga tercipta suatu lembaga yang memenuhi kebutuhan seks manusia. Begitu
pula akan lembaga-lembaga lain yang hadir di sekitar masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Martindale (1966) bahwa lembaga atau
institusi merupakan suatu pola hubungan yang dicerminkan oleh kelompok, dimana
melihat hubungan tingkah laku manusia yang telah terorganisasi pada sebuah
kelompok. Untuk melihat hubungan tingkah laku tersebut, tidak dapat dilakukan
dengan melihat tingkah laku satu orang atau beberapa orang sebagai sampel. Hal
ini karena pada sebuah kelompok terdiri dari beberapa individu yang memiliki karakter
yang berbeda dan individu ini saling mempengaruhi sehingga tidak dapat berdiri
sendiri.
Terlalu banyak orang yang mencampuradukkan pengertian dan pemahaman
tentang kelembagaan (institution) dan organisasi (organization/institute). Karena itu
begitu banyak pula orang atau badan pelaksana pembangunan yang menyatakan
akan melakukan “pengembangan kelembagaan” tetapi ternyata (yang dilakukan)
hanyalah membentuk satu organisasi baru di komunitas dalam rangka proyek
itu. Kekeliruan pemahaman seperti ini telah menjadi sangat umum sehingga
organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah kaprah” di mana-
mana. Hal ini pulalah yang mengakibatkan pengembangan kelembagaan
diterjemahkan secara salah kaprah menjadi pembentukan organisasi. Berulangkali
kekeliruan ini dilakukan oleh badan-badan dan organisasi pelaksana pembangunan
(baik lembaga donor, pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat), terutama
dalam pelaksanaan pembangunan yang berhubungan langsung dengan suatu warga.
Kekeliruan fatal dan klasik ini diantaranya dicontohkan oleh Simanjuntak
(2001) dalam kasus pembentukan organisasi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Seperti kita ketahui, kedua
organisasi tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, dan Keputusan Presiden Nomor 28
Tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa
menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, yang kemudian diterjemahkan lebih
lanjut oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 Tahun tentang

546 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
Kenyataannya, setelah sekian puluh tahun, ternyata tidak ada ketahanan apapun yang
telah terlembagakan di masyarakat desa/kelurahan. Krisis ekonomi yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997 yang memporakporandakan ketahanan masyarakat baik di
perdesaan maupun di perkotaan telah menjadi bukti paling sahih betapa pembentukan
organisasi LKMD/LMD telah menjadi instrumen yang keliru dalam rangka
mengembangkan kelembagaan ketahanan masyarakat desa --termasuk di dalamnya
ketahanan ekonomi.
Dalam konteks Pengembangan Kelembagaan, hal yang seharusnya dilakukan
sedikitnya harus mencakup upaya memberikan pemahaman yang benar terhadap istilah
organisasi (organization/institute), kelembagaan (institution), dan juga pelembagaan atau
melembagakan (institutionalization/ institutionalizing).
Uphoff (1986), salah seorang penggagas People-Centered Development
Forum mengajukan definisi sederhana yang membedakan antara organisasi
(organization) dengan kelembagaan (institution) sebagai berikut:Organizations are
structures of recognised and accepted roles. Institutions are complexes of norms and
behaviours that persist over time by serving collectively (socially) valued purposed.
(Organisasi adalah struktur peran yang telah dikenal dan
diterima. Kelembagaan/pranata adalah serangkaian norma dan perilaku yang sudah
bertahan –atau digunakan-- selama periode waktu tertentu --yang relatif lama-- untuk
mencapai maksud/tujuan bernilai kolektif/ bersama atau maksud-maksud yang bernilai
sosial).
Ada beberapa tipe kelembagaan (pranata). Ada kelembagaan yang bukan
organisasi (institutions that are not organizations), ada kelembagaan yang juga
merupakan organisasi (institutions that are organizations), dan organisasi yang bukan
kelembagaan (organizations that are not institutions).
Dari beberapa teori yang disampaikan para ahli tentang kelembagaan, teori
Kelembagaan Scoot (2008) dalam keyakinan penulis bisa menuntun membedah
persoalan kelembagaan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh Scoot (2008),
bahwa kelembagaan itu dilihat dari tiga pilar yakni Regulatif, Normatif dan Kultur
Kognitif.
1. Regulasi
Menurut Scoot regulatif adalah peraturan yang digunakan dalam suatu
lembaga yang terdiri dari kekuatan, sanksi, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
lembaga. Dengan regulative tersebut, memungkinkan lembaga dan aksinya dalam

547 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memberikan lisensi, kekuasaan khusus, dan manfaat bagi lembaga itu sendiri. Selain
itu pertauran adalah kesesuaian aturan standar dan hukum Scott, (2003). Menurutnya
lagi, pada umumnya, organisasi berbadan hukum seperti pemerintah, asosiasi,
organisasi profesi dan yang lainnya, telah menetapkan proses regulasi secara
eksplisit (explicit regulative processes) (Scott 1995).
Dengan demikian, aturan hukum dan regulasi adalah institusi formal yang
mewakili sumber legitimasi peraturan dan badan pemerintah yang memberikan
kewenangan itu adalah lembaga-lembaga negara diberbagai tingkat regional, lokal,
nasional dan inter-nasional. Penelitian sebelumnya menunjuk-kan bahwa regulasi
adalah sumber pertama organi-sasi yang mencoba untuk mendapatkan untuk
mendapatkan legitimasi. Misalnya, Delmar dan Shane (2004) me-nemukan bahwa
organisasi yang badan hukum dan menjalankan kegiatan-nya memiliki kemungkinan
lebih tinggi kelang-sungan hidup. Dengan mendapatkan legitimasi dari sisi regulasi
berarti organisasi telah mendapatkan legitimasi secara peraturan untuk menjalamkan
operasionalnya.
2. Normatif
Norma adalah kepatuhan terhadap norma-norma dan nilai-nilai informal
secara luas diterima Scott, (2003). Dalam hal ini, pertimbangan legitimasi secara
normatif sebagai sebuah konstruksi sosial informal yang telah dikembangkan dan
dilembagakan seiring dengan waktu dan kebutuhan. Scott (2003) mendefinisikan nilai
sebagai konsep-konsep dari yang diinginkan yang berhubungan dengan standar
untuk setiap struktur yang ada atau perilaku dapat dibandingkan. Norma
mengandung pengertian bagaimana sesuatu harus dilakukan. Dengan kata lain, nilai
adalah prinsip moral secaraumum dan norma adalah petunjuk konkrit untuk
berperilaku. Norma terbentuk dari nilai (values) yang dianut yang menjadi aturan
tentang boleh dan tidaknya sebuah perbuatan.
Menurut Scoot (2003) normatif adalah konsepsi norma yang digunakan dalam
suatu lembaga, norma merupakan pedoman dasar bagi kebijakan-kebijakan yang
akan dibuat oleh lembaga. Norma membangkitkan perasaan yang kuat bagi para
anggota dari lembaga tersebut. Konsepsi normatif dalam suatu lembaga menekankan
terhadap pengaruh stabilisasi sosial dan norma-norma yang baik yang akan
diinternalisasikan kepada masyarakat. Komponen dasar dari norma adalah petunjuk
(prescription), evaluasi (evaluation) and kewajiban (obligation) Ligero, (2011). Ketiga
dimensi ini merupakan ukuran dalam memahami elemen normatif. Organisasi harus

548 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menerapkan tidak hanya sosial norma umum tetapi juga berbagai standar yang
berasal dari berbagai aspek profesional yang berbeda Di Maggio dan Powell, (1983).
Norma-norma yang ada di masyarakat, memiliki banyak perbedaan namun
mempunyai kekuatan mengikat. Soekanto membedakan kekuatan mengikat norma-
norma ini dengan empat pengertian, yaitu: cara (usage), kebiasaan (folkways), tata
kelakuan (mores), dan adat istiadat (customs). Sedangkan pelembagaan suatu norma
pada suatu organisasi lebih lanjut menurut Soekanto dapat dilakukan apabila norma-
norma itu telah (a) diketahui, (b) dipahami, (c) ditaati, dan (d) dihargai.
Norma yang ada di suatu organisasi bila baru pada tingkatan diketahui
anggotanya maka tingkat pelembagaannya paling rendah. Namun, norma itu dikatakan
telah dimengerti jika ukurannya masing-masing anggota mengetahui hak dan kewajiban
dan menjalankan organisasi sesuai dengan ketentuan organisasi.
3. Kultur-Kognitif
Budaya-kognisi adalah kesesuaian dengan kepercayaan budaya secara luas
dipegang dan praktek yang taken-for-granted (diambil begitu saja) (Scott 2003).
Elemen kognitif dapat digambarkan sebagai aturan yang menentukan jenis aktor
yang memungkinkan ada, apakah struktural fitur yang digunakan, prosedur apa
mereka dapat mengikuti, dan apa makna yang berhubungan dengan tindakan ini.
Sumber-sumber budaya-kognitif dalam legitimasi adalah asumsi yang taken-
for-granted pada sistem sosial (Scott 2001), yang memiliki karakter informal. Kognitif
budaya adalah pemikiran atau pengetahuan tentang budaya dalam lembaga.
meliputi paham, keyakinan, pengikat, dan bersifat isomorf. Kognitif budaya dalam
teori ini akan sangat penting, karena kognitif budaya dalam teori ini lebih bisa
berubah-ubah dibandingkan dengan dua pilar lain yaitu regulatif dan normatif.
Menurut Suchman (1995), dimensi kultural-kognitif legitimasi yang paling
halus dan paling kuat dan juga yang paling sulit untuk mendapatkan dan
memanipulasi. Davis dan Greve (1997:6) menjelaskan bahwa pendekatan kognitif
berfokus pada berbagi kerangka pemikiran (shared frameworks) atas penafsiran
pelaku, yang memungkinkan mereka untuk memperoleh definisi umum dari situasi
tertentu. Dengan demikian, legitimasi berasal dari mengadopsi kerangka acuan
umum yang konsisten dengan yang berlaku dalam sistem sosial. Namun dalam
perspektif kognitif atau budaya-kognisi tidak boleh dipahami secara keliru, karena
fokus kajian bukan pada kognisi individual, tetapi pada realitas taken-for-granted
konstruksi sosial yang memandu tindakan organisasi Zucker, (1977). Adapun dimensi
yang digunakan ialah aturan (rules) yang pada dasarnya merupakan pengganti dari

549 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
realitas sosial dan perumusan (formulas) yang berarti cara mendapatkan Ligero,
(2011).
Tabel Tiga Pilar Kelembagaan
No Regulatif Normatif Kognitif Budaya
1. Dasar Manfaat Kwajiban SosialDiambil untuk
Kepatuhan memberi ijin
2. Dasar Perintah Aturan Harapan Yang Skema
Pemerintah Mengikat Kemandirian
3. Mekanisme Tersistem Normatif Meniru
4. Logika Struktur Kelayakan Ortodok
Lembaga
5. Indikator 1. Peraturan 1. Sertifikasi 1. Logika
2. Hukum 2. Akreditasi keyakinan
3. Sanksi bersama
2. Ismorfisma
6. Pengaruh Kepalsuan/Kemu Kehormatan/Keni Kepastian/Ketidakp
rnian staan astian
7. Dasar Hukum Yang Keteraturan 1. Paham
Legitimasi Legal Moral 2. Pengakuan
3. Dukungan
Kebudayaan
Sumber: Institutions and Organizations, Richard Scoot (2008)

PEMBAHASAN
Kelembagaan Kecamatan Dalam Desentralisasi Indonesia
Kelembagaan Kecamatan Menurut UU 22 Tahun 1999
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah menawarkan perubahan yang signifikan dalam
sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Dikatakan demikian karena undang-
undang tersebut merupakan “kontra-konsep” terhadap undang-undang yang lama
karena adanya perbedaan filosofi serta paradigma yang mendasarinya. Secara garis
besar menurut Sadu Wasistiono (2005:4) perubahan tersebut dapat digambarkan
diantaranya sebagai berikut :
a. Dari filosofi “keseragaman” berubah menjadi filosofi “keanekaragaman dalam
kesatuan. Berdasarkan filosofi ini, daerah diberi kebebasan yang luas untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
b. Dari paradigma administratif yang mengutamakan daya guna dan hasil guna
pemerintahan menjadi paradigma demokratisasi, partisipasi masyarakat serta
pelayanan.

550 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
c. Tugas utama pemerintah daerah yang semula sebagai promotor pembangunan
berubah menjadi pelayan masyarakat.
Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
sebagaimana dikemukakan di atas, mencakup pula perubahan mengenai kedudukan
kecamatan dan camat. Dalam Pasal 1 huruf (m) Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 menyebutkan bahwa : “Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai
perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota”. Pasal tersebut menunjukkan ada
dua perubahan penting, adapun perubahan tersebut adalah sebagai berikut : 1).
Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, melainkan wilayah kerja. Sebagai wilayah
kerja, kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan dari camat tetapi areal tempat camat
bekerja. 2). Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, bukan lagi
kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti masa Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974. Konsekuensi logisnya, camat bukan lagi penguasa tunggal yang
berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Perubahan tersebut diatur lebih tegas di dalam pasal 66 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999. Pada ayat (1) disebutkan bahwa : Kecamatan merupakan
perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala
Kecamatan”. Pada ayat (2) dikemukakan pula bahwa : “Kepala Kecamatan disebut
Camat.

Kelembagaan Kecamatan Menurut UU 32 Tahun 2004


Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, diatur pula
tentang Kecamatan. Pada Pasal 120 ayat (2) dikemukakan bahwa : “ Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan”.
Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat membawa dampak
pada kewenangan yang dijalankan oleh camat. Karena bukan lagi kepala wilayah,
camat tidak memiliki kewenangan atributif sebagaimana diatur pada pasal 80 dan 81
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, kecuali diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan lainnya di luar undang-undang.
Di dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
dikemukakan bahwa : “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan
pemerintahan dari Bupati/ Walikota”, artinya kewenangan yang dijalankan oleh camat

551 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
merupakan kewenangan delegatif yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Delegasi
kewenangan tersebut dari pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat (Camat). Luas
atau terbatasnya delegasi kewenangan dari Bupati/Walikota kepada camat sangat
bergantung pada keinginan politis dari Bupati/ Walikota bersangkutan.
Seiring dengan pemikiran dan penyempurnaan terhadap pelaksanaan
undang-undang pemerintahan daerah bahwa memang dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, setelah dievaluasi khususnya keberadaan kepala daerah
yang dalam implementasinya diamantkan undang-undang ini posisinya dalam hirarhi
dengan Gubernur garis koordinasi apalagi garis komandonya tidak Nampak,
sehingga kerap kali Gubernur tidak mengetahui kalau Bupati/Walikota berada di luar
daerah. menganggap sebagai kepala daerah otonom dan DPRD ternyata tidak
berusia panjang. Setelah dijadikan hukum positif selama lima tahun, undang-undang
tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Di dalam manajemen terdapat berbagai prinsip antara lain adanya
pendelegasian kewenangan dari pucuk pimpinan kepada orang atau unit yang berada
di bawahnya. Pendelegasian kewenangan adalah pelimpahan kewenangan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang diberikan dari pihak atasan kepada
bawahan dengan ketentuan : Kewenangan tersebut tidak beralih menjadi
kewenangan dari penerima delegasi;

1. Pola seragam
2. Pola beranekaragam.
Pendelegasian dengan pola seragam yaitu mendelegasikan sebagian
kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat secara seragam
tanpa melihat karakteristik wilayah dan penduduknya. Pola ini dapat digunakan untuk
kecamatan yang wilayah dan penduduknya relatif homogen.
Menurut Wasistiono (2004:22) mengungkapkan bahwa Pola pendelegasian
secara seragam memiliki kelebihan dan kekurangannya, yakni :
Kelebihan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Seragam
a. Relatif lebih mudah membuatnya;
b. Relatif lebih mudah dalam pengaturan dan pengendaliannya;
c. Relatif lebih mudah dalam pembinaan personil, penentuan anggaran dan logistik.
Kekurangan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Seragam
a. Kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat;

552 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
b. Penyediaan personil, anggaran dan logistik tidak sesuai dengan kebutuhan nyata
kantor camat sehingga sulit untuk mencapai efektivitas dan efisiensi.
c. Sulit untuk mengukur kinerja organisasi secara obyektif.
Pendelegasian dengan pola beranekaragam yaitu mendelegasikan sebagian
kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat dengan
memperhatikan karakteristik wilayah dan penduduk masing-masing kecamatan. Pada
pola ini ada dua macam kewenangan yang dapat didelegasikan yakni kewenangan
generik, yakni kewenangan yang sama untuk semua kecamatan, serta kewenangan
kondisional yaitu kewenangan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan
penduduknya. Kewenangan atributif yang bersifat generik misalnya dapat ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, seperti yang diamanatkan pasal 12 ayat (5)
PP Nomor 8 Tahun 2003. Di dalam Lampiran I Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan antara lain dimuat
kewenangan-kewenangan pemerintahan yang didelegasikan kepada Camat yaitu
sebagai berikut :
Kekurangan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Seragam
a. Kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat;
b. Penyediaan personil, anggaran dan logistik tidak sesuai dengan kebutuhan
nyata kantor camat sehingga sulit untuk mencapai efektivitas dan efisiensi.
c. Sulit untuk mengukur kinerja organisasi secara obyektif.
Pendelegasian dengan pola beranekaragam yaitu mendelegasikan sebagian
kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada camat dengan
memperhatikankarakteristik wilayah danpenduduk masing-masing kecamatan. Pada
pola ini ada dua macam kewenangan yangdapat didelegasikan yakni kewenangan
generik, yakni kewenangan yang sama untuk semua kecamatan, serta kewenangan
kondisional yaitu kewenangan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan
penduduknya. Kewenangan atributif yang bersifat generik misalnya dapat ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, seperti yang diamanatkan pasal 12 ayat (5)
PP Nomor 8 Tahun 2003.
Kewenangan atributif yang diatur di dalam Kepmendagri tersebut di atas
bersifat Atributif Tentatif, karena Bupati/Walikota diberi peluang untuk memilih sesuai
karakteristik wilayah dan kebutuhan daerah. Di dalam pasal 2 ayat (2) Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004, dikemukakan kedudukan tambahan
bagi Camat yaitu sebagai koordinator pemerintahan di wilayah kerjanya. Kedudukan
tambahan tersebut menimbulkan konsekuensi logis adanya kewenangan atributif

553 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
lainnya yakni mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah baik instansi vertikal
maupun dinas daerah yang ada di wilayah kecamatan.
Pemaparan di atas bahwa pola pendelegasian kewenangan yang serba
seragam maupun yang beraneka ragam memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dan kekurangan pola beranekaragam dapat diinventarisasi sebagai
berikut:
Kelebihan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Beranekaragam :
a. Lebih responsif terhadap kebutuhan pelayaanan masyarakat ;
b. Kebutuhan personil, anggaran dan logistik dapat dihitung secara obyektif dan
rasional;
c. Memudahkan dalam pengukuran kinerja.
Kelemahan Pola Pendelegasian Kewenangan Secara Beranekaragam :
a. Memerlukan waktu dan tenaga untuk menyusunnya;
b. Agak sulit dalam pengendalian dan pengawasan;
c. Memerlukan personil yang memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan
pelayanan masyarakat.

Kelembagaan Kecamatan Menurut UU No 23 Tahun 2014


Pengaturan tentang kecamatan sedikit banyak mengalami perubahan bahkan
penguatan oleh UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah . Hal ini bisa
dimengerti karena kendali pengaturan negara akan lebih efektif dan efisien dengan
cara terhubungnya simpul-simpul kecamatan dalam perspektif pengendalian
pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan dalam makro kosmos Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pembuktian akan hal ini dapat dilihat dalam rangkaian
pasal pada undang-undang yang telah diundangkan tanggal 2 Oktober 2014.
Dalam pasal 225 ayat (1) point a bahwa salah satu tugas Camat adalah
melaksanakan urusan pemerintahan umum. Dijelaskan pada pasal 9 ayat (5) bahwa
urusan pemerintahan umum pada dasarnya adalah kewenagan presiden sebagai
kepala pemerintahan. Lebih rinci dijelaskan pada pasal 25 ayat (1) bahwa tugas
pemerintahan umum adalah pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan
nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka
Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan NegaraKesatuan
Republik Indonesia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, pembinaan
kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna

554 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mewujudkan stabilitas keamanan lokal, regional, dan nasional; penanganan konflik
sosial sesuai ketentuan peraturan perundang undangan, koordinasi pelaksanaan
tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pengembangan kehidupan
demokrasi berdasarkan Pancasila; dan pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan
yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi
Vertikal.
Meski dalam pasal 209 ayat (2) definisi kecamatan sebagai unsur aparatur
daerah tidak seperti UU No 5 tahun 1974 Camat sebagai unsur wilayah namun UU
23 tahun 2014 cukup memberikan ruang berkreasi dalam rangka
pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi manajemen pemerintahan dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat dengan menggunakan alat kelengkapan kecamatan yang ada
sebagaimana di atur dalam pasal 225 ayat (3) baik dalam unsur staf maupun unsur
lini sebagai pelaksana misi kecamatan mencapai tata kelola pemerintahan yang baik,
mewujudkan pelayanan publik maupun pemberdayaan masyarakat.
Selain melaksanakan urusan di atas kecamatan juga dimungkinkan untuk
mendapatkan pelimpahan urusan dari Bupati sebagaimana termaktub dalam pasal
226 ayat 1,2, dan 3 dengan Keputusan Bupati dalam rangka efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Aspek pelimpahan kewenangan dari Bupati kepada Camat disertai dengan
penganggaran dari APBN merupakan pelimpahan kewenangan urusan
dekonsentrasi (pasal 225 ayat 2) dan dari APBD merupakan pelimpahan
kewenangan urusan desentralisasi (pasal 227).
Sebelum ditebitkannya undang-undang yang baru ini kecamatan lebih dikenal
dengan pelaksana tugas-tugas fasilitasi dan koordinasi namun sekarang banyak
diberikan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap desa/kelurahan sebagaimana
pasal 225 ayat (1) huruf g. Hal ini makin berat dengan diterbitkannya UU No 6 tahun
2014 tentang Desa, dimana disamping kecamatan harus mengelola potensi internal
namun juga mengelola desa/kelurahan dengan multi dimensi yang melingkupinya.
Berkait dengan hal itu sangat diperlukan kemampuan managemen yang tangguh baik
dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya.
Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan, UU 23 Tahun 2014 juga membuka

555 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ruang untuk berinovasi. Inovasi tersebut dapat berbentuk bagaimana
menyelenggarakan pemerintahan yang efektif dan efisien, bagaimana memberikan
pelayanan publik yang baik, maupun inovasi tentang bagaimana cara
memberdayakan masyarakat dengan tepat dan berhasil guna. Ruang-ruang tersebut
dibuka dalam koridor peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas
pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, berorientasi kepada kepentingan umum,
dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai-nilai kepatutan, dan dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri (pasal
387). Bahkan Pasal 389 menyebutkan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah
menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran
yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tidak dapat dipidana.

PENUTUP
Setelah desentralisasi diberlakukan, posisi kecamatan dalam struktur
pemerintahan daerah di Indonesia ditempatkan pada posisi yang unik dan cendrung
bermasalah, walaupun sekaligus membuka peluang yang menjanjikan untuk
dikembangkan menjadi unit yang mendukung kinerja pemerintah daerah. Pada satu
sisi, kecamatan merupakan satu-satunya perangkat daerah yang berada pada level
teritorial namun kedudukannya tidak diatur dalam regulasi tersendiri seperti halnya
desa, kabupaten/kota dan provinsi. Pada sisi yang lain, kecamatan menjadi tempat
dimana seluruh sektor yang menjadi basis klarifikasi pemerintahan kabupaten dan
kota.
Perubahan kecamatan dari perangkat wilayah menjadi perangkat daerah
kalau mau dilihat dari statusnya sama dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah) atau sama dengan instansi sektoral lainnya, bukannya menambah lebih
berfungsinya lembaga ini, tapi dibanyak tempat menjadi beban pada pelaksanaan
pemerintahan daerah. Potensi konflik antar kelembagaan nampak dalam
menjalankan fungsi masing-masing. Kenyataan lain menunjukan yakni fungsi
pemerintahan, yang di dalamnya melekat fungsi pelayanan, pembangunan dan
pemberdayaan, kurang melibatkan kecamatan, sebagai satu institusi yang ada dalam
sistem pemerintahan daerah.
Ketergantungan lembaga ini terhadap surat keputusan Bupati atau Walikota
perihal pelimpahan sebagian tugas dan kewenangannya, adalah salah satu akar dari
semua persoalan kecamatan memang sangat mendominasi kinerja dari lembaga ini
selanjutnya berimplikasi kuat terhadap proses pelayanan kepada masyarakat, yang

556 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
menuntut ketepatan dan kecepatan dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Sebaliknya baik Bupati atau Walikota manakala tidak memberikan pelimpahan
kewenangannya kepada kecamatan, baik langsung atau tidak langsung tidak akan
menimbulkan permasalahan, khususnya dalam kepemimpinan pemerintahan.
Pasalnya dalam sistem regulasi, belum ada sanksi yang tegas, jika kepala daerah
belum bisa memberikan sebagian tugas dan kewenangannya.
Pemikiran sebaiknya kelembagaan kecamatan dihapus atau dihilangkan
dalam tata pemerintahan daerah, nampaknya menjadi hal yang sangat logis bila
dihubungkan dengan realitas ke-kinian bahwa keberadaan lembaga ini menambah
panjangnya alur birokrasi dan menjadi beban negara. Posisi lembaga ini malah
cendrung lemah manakala desa dibuat dalam undang-undang tersendiri.
Tekanan internal kelembagaan kecamatan juga menjadi hal yang penting
dalam mengakselerasi proses pelayanan di Kecamatan, tekanan tersebut seperti
perilaku birokrasi, ketersediaan sumberdaya, infrastruktur, pembiayaan dan
sumberdaya manusia.
Cerminan perencanaan pemerintah daerah terhadap keberfungsian
kecamatan secara kelembagaan akan terlihat dalam proses pelimpahan tugas dan
wewenang dari Bupati atau Walikota.

DAFTAR PUSTAKA
B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Teritorial Dimension Of The State, George
Allen, Unwin London
Chema and Rondinelly 1983, Desentralitation and Development, Policy
Implementation indeveloping countries. Sage Publication
Conyers, Mc.Jhon. 1986. Public Administratioan System, New York: Appelon
Cheema, G. Shabir. And Rondinelli, D.A.2007. Decentralizing Governance Emerging
Consepts and Practices. Brookings Institution Washington. D.C.
Cheema, G. Shabir, and Rondinelli, D.A. 1993. Decentralization and Development :
Policy Implementation In Development Countries. Beverly Hills.Sage
Publication.
Center for International Forestry Research (CIFOR) 2007. Menuju kesejahteraan
dalam masyarakat. Buku Panduan untuk Pemerintah Daerah, CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Duncan. G. M. (1993) A Dictionarry Of Sociology. Routledge. London

557 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Effendi, Bachtiar. 2002. Pembangunan Daerah Otonomi Berkeadilan. Yogyakarta:
Uhaindo dan Offset.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Insistpres bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Fattah, Nanang. 2006. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Gibson, dkk.2002. Organisasi. Jakarta: Erlangga
Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Grasindo
Hersey R.E. dan Blanchard R.A.T. 1990. Manajemen Perilaku
Organisasi:Pendayagunaan Sumberdaya Manusia. Edisi Keempat.
Penerjemah Agus Dharma. Jakarta:Erlangga.
Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi.Jurnal Administrasi Negara.
Vol. 1. No.02.
Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen Personalian dan Sumberdaya Manusia.
Yogyakarta: BPPE
Handayaninggrat, Soewarno. 1992. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta: Haji Masagung
Hasibuan S.P. 2001. Manajemen Dasar, Pengertian, Dan Masalah edisi revisi
Hikmat. 2009. Manajemen Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Indrawijaya, Adam. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung : Sinar Baru.
Kaho, Yosef Riwis. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta, Bumi Aksara
Koswara, E. 2007. Teori Pemerintahan Daerah. Jakarta IIP Press
Kranenburg, Mr. (1980). Ilmu Negara Umum. Pradnya Paramita. Jakarta
Lay. C. 2002. Desentralisasi dan Demokrasi. Kajian Tentang Kecamatan Sebagai
Arena Pengembangan Demokrasi, Pelayanan Publik, Ekonomi dan
Intermediary. FISIPOL UGM: Yogyakarta.
Lay. Cornelis, dkk. 2002. Potensi Kecamatan Sebagai Arena Kekuatan Intermediary
(Studi Kasus 14 Kecamatan di Indonesia) Seri Kajian Kecamatan di Indonesia.
UGM-Yogyakarta.
Lincoln S.Y. and Denzin K. Norman. 2009. Handbook Of Qualitative Research.
Pustaka Pelajar.
Mariana, Dede dan Paskarina (2008) Demokrasi dan Politik Desentralisasi.
Graha Ilmu Yogyakarta.

558 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Manan, Bagir (2001) Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum. FH-
UI
Moh. Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta, Balai Aksara
Manulang.1980. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Riwukaho, Josef 2001, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Cetakan kelima, Rajawali Press
Robbins, Steven P. dan Judge, Timothy A. 2014. Perilaku Organisasi. Organizational
Behavior. Buku 2. Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat
Scott, W. Richard. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los
Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266
hal.
Scott, W. Richard. 1995. Institutions and Organizations. Organizational Science:
Foundations for Organizational Science. A Sage Publications Series. Sage
Publications, Inc.
Sarundajang, Sinya, Harry. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta LIPPI
Press.
Smith, Graham 1999, Federalisme Pilihan Masyarakat Majemuk, Penerbit Solidaritas
Indonesia
Soerjono Soekanto, 2003. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Syaukani, Afan Gaffar dan Ryas Rasyd 2002, Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan. Pustaka Pelajar
Siagian, Sondang. P.2005. Administrasi Pembangunan, Konsep Dimensi dan
Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Jakarta: UM-Press.
The Liang Gie. 1993, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik
Indonesia. Jilid I, Liberty Yogyakarta
The Liang, Gie. 1994. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik
Indonesia. Jilid III. Yogyakarta

559 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ANALISIS PROSES ORGANISASI PERANGKAT DAERAH
DI KABUPATEN DHARMASRAYA
Elza Zikra Mualimin239, Ulung Pribadi240 dan
Dwian Hartoni Akta Padman Eldo241

ABSTRAK
Pada PP No. 18 tahun 2016 telah menjelaskan bahwa proses restrukturisasi
organisasi perangkat daerah adalah proses yang telah melalui tahapan dan peranan
yang berlaku. Kemudian, kesiapan daerah dalam melakukan penataan kelembagaan,
sehingga perampingan dan penggemukan organisasi berdampak pada pembaharuan
struktur organisasi dan pembaharuan urusan bidang yang pada akhirnya organisasi
dapat bertambah/berkurang. Objek penelitian yang digunakan adalah restrukturisasi
organisasi pada Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini menggunakan teori Robbins
(1994) yang menjelaskan terkait Spesialisasi kerja, departementalisasi, rantai
komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi serta formalisasi. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi restrukturisasi organisasi, peneliti
menggunakan indikator pendekatan aturan formal, evaluasi kinerja, proses politik dan
sumberdaya manusia dan aparatur. Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif
deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung,
wawancara tidak langsung dan analisis interprestasi dari dokumentasi naskah,
laporan dan dokumen pendukung lainnya. Hasil Penelitian ini ialah bahwa proses
restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Dharmasraya masih
banyak didukung oleh faktor keuangan dan anggaran, faktor sumber daya manusia
atau aparatur Pemerintah Daerah, faktor Peraturan Perundang-undangan, dan faktor
politik. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten
Dharmasraya masih lemah dalam tingkat pelimpahan wewenang, organisasi masih
sangat miskin struktur, dan penggemukan yang terlalu besar. Oleh karena itu, faktor-
faktor yang sangat mempengaruhi dalam proses restrukturisasi organisasi perangkat
daerah di Pemerintah Kabupaten Dharmasraya ialah kepentingan politik dan
pelaksanaanya bersifat politis.
Kata Kunci : Restrukturisasi, Organisasi, Otonomi Daerah

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah
daerah untuk menyusun organisasi perangkat daerahnya. Dasar utama penyusunan
perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penangnan urusan pemerintahan
harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

239 Magister Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta /


ezikpoltak@gmail.com
240 Magister Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
241 Magister Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

560 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Hakikat dan tujuan pemberian otonomi daerah, salah satunya, adalah
mendekatkan pemerintah pada pelayanan publik. Hal tersebut tentunya menuntut
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada satuan wilayah pemerintahan yang
rentang jaraknya relatif dekat dengan masyarakat, dalam hal ini Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dituntut mampu
mengetahui, memahami, dan mengerti tentang keinginan dan kebutuhan
masyarakatnya.
Pada sebuah organisasi pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam
pelaksanaan tugas dan penyelenggaraan pemerintahan, dipengaruhi oleh
kepemimpinan, melalui kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas organisasi
pemerintahan yang memadai, maka penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik
(Good Governance) akan terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan
salah satu sebab keruntuhan kinerja kelembagaan di Indonesia (Istianto,2009).
Pendekatan desentralisasi yang saat ini diterapkan di Indonesia, sangat
dipengaruhi oleh berbagai kegagalan pendekatan sentralistis yang melahirkan
berbagai bentuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang terdapat pada masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin melebarnya kesenjangan antara yang
kaya dan miskin, antar kota dan desa, antar sektor ekonomi dan daerah.
Permasalahan yang dihadapai Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia yang
berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah masalah birokrasi. Reformasi
birokrasi pada pemerintah dearah menjadi syarat mutlak dalam terciptanya good
governance (tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik) yang menjadi isu
penting dan mendasar dari perubahan sifat otonomi.
Salah satu aspek penting yang ingin dipenuhi menyangkut perubahan sistem
birokrasi ini adalah melalui penyusunan kembali ketatalembagaan (restrukturisasi)
Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dituntut mampu melaksanakan restrukturisasi, yang ditetapkan
melalui Peraturan Daerah, dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu serta
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota
tersebut diharapkan akan mampu membawa perubahan paradigma Pemerintahan
Daerah di Indonesia. Struktur organisasi perangkat daerah menjadi basis penting,
sebab di atas bangun struktur itulah manajemen pemerintahan daerah akan
dilaksanakan. Oleh karena itu, restrukturisasi organisasi perangkat daerah erat

561 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
hubungannya terhadap efektivitas penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi
daerah oleh pemerintahan daerah.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Perpres No 18 Tahun 2016 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Pada dasarnya Peraturan Pemerintah tersebut
bermaksud memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada Pemerintah Daerah
dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah.
Pemerintahan Daerah yang baru berkembang saat ini ialah Kabupaten
Dharmasraya, kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung yang diresmikan tanggal 7 Januari 2004 oleh Presiden RI
secara simbolik di Istana Negara. Dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 38
Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok
Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat yang diresmikan
oleh Gubernur Sumatera Barat atas nama Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7
Januari 2004.
Faktor sumber daya manusia atau aparatur pemerintah daerah Kabupaten
Dharmasraya menjadi persoalan dalam proses pembentukan dan penataan
organisasi perangkat daerah baru, penataan organisasi perangkat daerah ini
didasarkan pada PP No. 41 Tahun 2007 dan Perpres No. 18 Tahun 2016 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Namun Pemerintah Kabupaten Dharmasraya
sangat kekurangan SDM/Aparatur untuk mengisi jabatan-jabatan Struktural maupun
Fungsional. Saat ini yang ada banyak terjadi peningkatan status kelembagaan,
pemisahan dan pembentukan OPD baru, yang kemudian Status Kantor menjadi
Badan, Badan menjadi Dinas dan juga ada Dinas yang sebelumnya digabung
kemudian dipisahkan menjadi Dinas baru bahkan Dinas digabukan menjadi satu.
Untuk menjalankan fungsi organisasi yang efektif maka jabatan-jabatan
struktural yang ada dalam OPD tersebut harus diisi oleh pejabat yang berpengalaman
sehingga dapat melaksanakan tupoksi yang ada, itu pun juga harus tersedia sumber
daya manusia atau aparatur pemerintah daerah. Setiap orang dalam organisasi
dikelompokkan menurut tugas dan fungsi masing– masing, yang berarti bahwa
karyawan dengan pekerjaan yang sama dikelompokkkan pada suatu bagian dari
organisasi dan dipimpin oleh seorang atasan yang sama (Hari Lubis, 1987).

562 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kemudian Hari Lubis menambahkan bahwa Struktur organisasi memberikan
penjelasan mengenai tugas dan tanggung jawab setiap jabatan dalam organisasi.
Nama jabatan dan garis otoritas (garis otoritas terletak pada garis yang sama, tetapi
berlawanan dengan garis pelaporan), menunjukan lingkup tugas serta tanggung
jawab setiap jabatan. Selain itu alokasi tugas dan tanggung jawab ini dapat dibuat
secara terperinci dengan menggunakan deskripsi jabatan.
Menurut Handoko (2008) pembagian kerja adalah suatu pernyataan tertulis
yang menguraikan fungsi, tugas-tugas, tanggung jawab, wewenang, kondisi kerja dan
aspek-aspek pekerjaan tertentu lainnya. Pembagian kerja berfungsi untuk melatih
karyawan dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memaksimalkan
kemampuannya. Atau dengan kata lain pembagian kerja membuat orang bekerja
secara efektif.
Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu kabupaten yang cukup
berpotensi di Propinsi Sumatera Barat. Sebagian besar penggunaan lahan di
Kabupaten Dharmasraya adalah untuk sektor pertanian hingga mencapai 88,26%
dimana lahan perkebunan adalah yang terbesar mencapai 50,30% sedangkan lahan
untuk sawah sebesar 2,70%.
Struktur yang dibutuhkan Pemerintah Daerah Kabupaten Dharmasraya saat
ini adalah struktur yang lebih ramping, fleksibel dalam artian dapat memberikan
ruang, tidak sentralistis (desentralistis), yang memungkinkan terjadinya sinergi,
profesional dikalangan birokrat, dan terciptanya team work yang solid bukan
tergantung pada satu atau sekelompok individu dalam birokrasi yang saling
mendukung.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
penelitian ini akan merumuskan masalah serta memberi batasan penelitian ini :
1. Bagaimana Proses Restrukturisasi Organisasi di Pemerintah Daerah
Kabupaten Dharmasraya?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi dalam Proses restrukturisasi Organisasi
pemerintah daerah kabupaten dharmasraya?

MANFAAT DAN TUJUAN PENELITIAN


Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
proses restrukturisasi organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Dharmasraya. Serta

563 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengetahui faktor apa yang mempengaruhi dalam proses restrukturisasi
kelembagaan organisasi tersebut.
Manfaat dari penelitian ini adalah mampu memberikan nilai guna bagi
perkembangan teori-teori sosial dan politik terutama yang erkaitan dengan reformasi
birokrasi yang salah satunya memuat terkait reformasi Birokrasi. Selain itu penelitian
ini juga dapat memberikan informasi kepada semua pihak yang memerlukan,
terkusus untuk pemerintah daerah kabupaten Dharmasraya, serta pemerintah daerah
lainnya untuk menjadi pertimbangan dalam menyusun struktur organisasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Organisasi
Menurut Robbins (1994) Organisasi yang sukses adalah organisasi yang
membutuhkan karyawan yang mampu bertindak melebihi tugas pekerjaan umum
mereka, atau memberikan kinerja yang melampaui perkiraan. Fakta menunjukkan
bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki Organizational
Citizenship Behavior (OCB) yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada
organisasi lain yang tidak memilikinya.
Pendekatan OCB mengidentifikasi perilaku anggota organisasi dengan
perilaku kewarganegaraan. Keberadaan OCB merupakan dampak dari keyakinan
dan persepsi individu dalam organisasi terhadap pemenuhan perjanjian dan kontrak
psikologis. Prilaku ini muncul karena perasaan individu sebagai anggota organisasi
yang memiliki rasa puas apabila dapat melakukan sesuatu yang lebih dari organisasi
(wulan, 2005).
Organisasi merupakan suatu unit sosial atau entitas sosial yang didirikan oleh
manusia untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan sekelompok manusia
– minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur,
didirikan untuk mencapai tujuan tertentu dan mempunyai identitas diri yang
membedakan satu entitas dengan entitas lainnya.
Selanjutnya dalam organisasi itu perlu sebuah desain organisasi. Desain
organisasi ialah penyusunan atau pengubahan struktur organisasi. Ada enam elemen
yang perlu diperhatikan oleh para manajer ketika akan mendesain struktur
organisasi. Robbins telah menjelaskan keenam elemen tersebut diantaranya:
1. Spesialisasi kerja
2. Departementalisasi
3. Rantai komando

564 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
4. Rentang kendali
5. Sentralisasi dan desentralisasi
6. Formalisasi
Dengan struktur organisasi yang jelas, maka komponen dan posisi
pendukung organisasi dapat diuraikan secara jelas. Selain itu, struktur juga
menggambarkan kegiatan koordinasi dan kewenangan yang dimiliki oleh unit
organisasi.

Restrukturisasi Organisasi
Bennis dan Mische menyatakan bahwa restrukturisasi merupakan proses
mengubah budaya organisasi serta menciptakan proses, sistem, struktur dan cara
baru mengukur kinerja dan keberhasilan. Pendapat tersebut memberikan gambaran
bahwa resturkturisasi bukan hanya menyangkut perubahan atau penataan kembali
struktur organisasi, tapi lebih menekankan pada perubahan perilaku dan budaya
organisasi dan merumuskan mekanisme baru dalam penentuan indikator-indikator
pengukur kinerja dan keberhasilan.
Pada prinsipnya restrukturisasi organisasi merupakan suatu upaya penataan
kembali atau sebuah proses mengubah budaya organisasi dalam menciptakan
proses, sistem, struktur dan cara baru dalam mengukur kinerja dan keberhasilan.
Dalam konteks restrukturisasi organisasi perangkat daerah, upaya tersebut berkaitan
antara visi dan misi dengan bentuk dan susunan organisasi serta berpegang teguh
pada prinsip dasarnya, yaitu terciptanya produktivitas kerja birokrasi yang efektif,
efisien, responsif, transparan, dan akuntabel dalam melakukan pelayanan kepada
masyarakat.
Pengertian seperti tersebut di atas hampir sama dengan pengertian lain, yaitu
pengertian reinventing. Konsep reinventing government, pada awalnya menimbul
kecurigaan bahwa tugas tugas yang terdapat pada ranah pemerintahan akan
diswastakan, sehingga birokrat mengalami kekurangan pekerjaan. Padahal ide pokok
dari konsep ini adalah menjelaskan paradigma baru dalam penataan ulang (stuktur)
pemerintahan. Banyak pihak mengira dengan mengubah peran akan memperlemah
pemerintah, tetapi yang terjadi justeru sebaliknya.
Dalam konsep reinventing government, pemangkasan terhadap birokrasi
dilakukan dengan cara-cara yang lazim dilakukan dunia usaha, misalnya dengan
melakukan perubahan sistem insentif, mengubah struktur organisasi, mengubah
sistem administrasi pemerintah dan sebagainya. Masing-masing Pemerintah Daerah

565 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dapat melakukan pemangkasan dalam hal yang berbeda, sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya David Osborne dan Peter Plestrik juga menjelaskan bahwa kunci
sukses dari reinventing government terletak pada:
1. Desentralisasi wewenang kepada unit-unit pemerintahan tanggungjawab sampai
pada tingkatan pemerintahan yang rendah.
2. Pengkajian kembali terhadap hal-hal apa yang harus segera dilakukan dan
dibiayai, apa yang perlu dibiayai tanpa harus dilakukan, dan apa yang tidak perlu
dibiayai dan dilakukan.
3. Perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan.
4. Mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai biaya,
seperti kontrak eksternal, mekanisme pasar, dan pembenahan pelayanan
kepada pengguna.
5. Orientasi pelanggan, termasuk standar mutu yang eksplisit untuk pelayanan
publik.
6. Benchmarking dan pengukuran kerja.
7. Reformasi yang dirancang untuk penyederhanaan peraturan dan mengurangi
biaya-biayanya.
David Osborne dan Peter Plestrik, beranggapan bahwa sekalipun reinventing
government adalah suatu bentuk pembaruan pemerintah, tetapi tidak berarti bahwa
pembaruan tersebut diartikan sama dengan reorganisasi, atau sekedar
menghilangkan pemborosan, kecurangan dan penyelewengan dan juga perampingan
pemerintahan atau suatu proses privatisasi, tetapi suatu perubahan yang
menyangkut tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan dan budaya.
Penataan organisasi birokrasi tidak dapat disamakan dengan penataan
organisasi pada umumnya. Menurut Weber, hal ini dikarenakan oleh beberapa
karakteristik: pertama, terdapat spesialisasi atau pembagian kerja; kedua,
menyangkut hierarki yang berkembang; ketiga, adanya sistem dari suatu prosedur
dan aturan aturan; keempat, terdapat hubungan kelompok yang bersifat
impersonalitas; kelima, adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan atas
kecakapan.
Pendapat Weber tersebut memberikan kesimpulan bahwa spesialisasi kerja
diperlukan terkait dengan kompleksitas persoalan yang tidak mungkin dapat
diselesaikan oleh satu satuan kerja tersendiri. Pembagian kerja memerlukan aspek
ketepatan antara institusi pelaksana dengan jenis kewenangan tersebut serta

566 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
keseimbangan distribusi beban kerja pada tiap institusi. Adapun hierarki dimaksudkan
untuk membagi derajat kewenangan, komando serta tanggungjawab.
Sedarmayanti menjelaskan bahwa arsitektur organisasi mencakup 3 unsur
desain organisasi sebagai determinan utama sukses atau gagalnya organisasi, yaitu:
pertama, penetapan wewenang, tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawab; kedua,
balas jasa yang sepadan; ketiga, evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk
individu atau unit organisasi. Dalam mengelola strategi dan struktur organisasi, yang
harus diperhatikan adalah kesesuaian fungsi organisasi dengan bidang usaha,
penciptaan keunggulan daya saing, serta persiapan diri terhadap peningkatan
permintaan di dunia yang semakin kompleks.
Dalam paket implementasi kebijakan otonomi daerah, tuntutan terdepan bagi
Pemerintah Daerah adalah melakukan restrukturisasi sesuai dengan perluasan
kewenangan yang diterimanya. Efektivitas penyelenggaraan desentralisasi dan
otonomi merupakan tujuan utama pelaksanaan restrukturisasi, di mana pola
manajemen Pemerintahan Daerah akan dilaksanakan di atas pola bangun struktur
tersebut.
Untuk penyusunan model organisasi daerah berdasarkan visi, misi dan
kewenangan Daerah dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar

Sumber: Sudu Wasistiono, 2001

Model Penyusunan Organisasi Daerah diatas mengartikan Perubahan


organisasi dapat terjadi secara tidak direncanakan atau spontan dan dapat pula
terjadi secara direncanakan. Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah
reaksi langsung terhadap keadaan nyata organisasi yang dibandingkan dengan

567 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tujuan organisasi. Terlihat dari pembagian kewenangan/urusan yang mengarahkan
kepada Misi, Strategi dan Program yang berjangka panjang maupun menengah.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode
kualitatif dimana penelitian yang menghasilkan penemuan penemuan atau prosedur
lain dalam penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dan sebagainya yang mendukung proses penelitian.
Metode penelitian kualitatif biasanya disebut juga dengan metode penelitian
naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural
setting), disebut juga dengan metode kualitatif karena data yang terkumpul dan
analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2014).
Untuk lokasi penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Dharmasraya,
Provinsi Sumatera Barat. Ditetapkannya lokasi penelitian ini bermaksud untuk
memberi gambaran jelas tentang dimana objek penelitian ini dilakukan.
Jenis data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara secara langsung kepada
informan dan melalui kuesioner. Saat melakukan wawancara, peneliti dibantu dengan
alat bantu wawancara yaitu pedoman wawancara. Selain itu, dengan menyebarkan
daftar pertanyaan sesuai dengan topik studi kepada para responden.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi
dalam bentuk publikasi. Data sekunder pada umumnya berupa bukti, catatan, atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Proses Restrukturisasi Kabupaten Sijunjung
Teori strukturisasi pada organisasi yang dijelaskan oleh Robbins (2007) mampu
menjelaskan dalam permasalahan proses restrukturisasi dalam pemerintahan
daerah kabupaten Dharmasraya. Dalam merumuskan bentuk dan sistem
kelembagaan yang baik, sesuai dengan kondisi daerah, maka ada beberapa indikator
yang dapat digunakan sebagai dasar analisis ini. Indikator tersebut, secara umum
dalam konteks restrukturisasi organisasi perangkat daerah yang biasa digunakan
ialah: jumlah beban kerja atau urusan yang menjadi kewenangan daerah; kondisi
sumber daya manusia; kemampuan keuangan daerah; dan kondisi sumber daya lain.

568 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
a) Spesialisasi Kerja
SKPD yang sudah dibentuk dan dirampingkan di kabupaten Dharmasraya
penempatannya disesuaikan dalam urusan Pemerintah yang bersifat konkuren.
Sehingga, secara kelembagaan masing-masing unit organisasi dan sub-unit di
dalam suatu organisasi terfokuskan. Ada 5 kategori pembagian urusan yang di
antaranya : 1). Urusan Pemerint5ah Pusat. 2). Urusan Penunjang. 3). Urusan
Penunjang. 4). Urusan Wajib dan 5). Urusan wajib daerah.
Peran dari spesialisasi kerja atau spesialisasi tugas ini, sangat erat kaitannya
dengan penempatan kerja dari seorang pegawai dengan penyesuian kebutuhan
organisasi. Pemerintah Kabupaten Dharmasraya dalam melakukan penempatan
pegawai sudah menyesuaikan kebutuhan yang ada dan hal itu terlihat dari fokusnya
pegawai dalam bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua pegawai selalu fokus untuk menyelesaikan
pekerjaannya dan bila berhadapan dengan pekerjaan mereka selalu mencari cara
terbaik untuk menyelesaikannya.
Secara umum spesialisasi kerja dinyatakan bahwa keahlian dan kemampuan
individual yang dilakukan dalam setiap jabatan telah dilaksanakan untuk memenuhi
kategori atau terspesialisasi dalam sebuah jabatan. Oleh karenanya, indikator ini
mengartikan bahwa beberapa pegawai sudah dianggap paham pada tugas pokok
dan fungsi masing-masing jabatannya dalam suatu organisasi.

b) Departementalisasi
Departementalisasi ini dimaksudkan ialah besar kecilnya kewenangan yang
dimiliki oleh suatu daerah, dimana selain berimplikasi pada besar kecilnya beban
kerja yang harus diemban oleh kelembagaan Pemerintah Daerah tersebut, juga
berdampak pada besar kecilnya kebutuhan sumber daya manusia dan manajemen
organisasinya.
Penggabungan dan perampingan organisasi perangkat daerah tidaklah semata-
mata sebatas keinginan aparatur maupun kepemimpinan saja. Melainkan, sebuah
kebutuhan daerah dalam mengakomodir masing-masing urusannya. Segala sesuatu
secara teknis diatur dalam peraturan Pemerintah, namun akan hal ini perlu diketahui
bahwa kebutuhan organisasi di daerah itu harus didukung dan dipahami oleh
Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat hanya sebatas melihat kacamata global.

569 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja
yang sesuai dengan kondisi nyata dimasing-masing daerah belum ditemukan,
sehingga mengharuskan Pemerintah Pusat melakukan pemetaan ulang dan
penentuan indikator yang konsisten, baik dengan variable umum maupun teknis.
Serta dapat sangat membantu penyelenggaraan pemerintahan. dengan dirinya
sendiri, sehingga banyak urusan masyarakat yang terabaikan.

c) Rantai komando
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sentralisasi
menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarkhi) dalam organisasi.
Dilihat dari letak-letak pengambilan keputusan dan hirarkhi struktur maka dapat
dibedakan antara keputusan-keputusan yang dilakukan di tingkat hirarkhi teratas dan
keputusan-keputusan yang dilakukan ditingkat hirarkhi lebih rendah, pengambilan
keputusan pada tingkat hirarkhi terbawah tersebut ialah disebut desentralisasi.
Maka peneliti menyimpulkan, pendelegasian wewenang kepada bawahan
sangat penting karena bawahan itu sebenarnya yang lebih mengetahui secara
langsung kebutuhan masyarakat. Pendelegasian wewenang kepada bawahan akan
merangsang memunculkan inovasi-inovasi yang berkembang dari bawahan yang
melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan masyarakat. Dampaknya
adalah munculnya semangat kerja bawahan yang tinggi, lebih banyak komitmen dan
lebih produktif.

d) Rentang kendali
Masing-masing unit tidaklah lebih berjumlah 3 unit, sedangkan untuk sub-unit
juga sama dengan komposis 3 sub-unit. Maka, unit dan sub-unit yang banyak ini
dibentuk berdasarkan:
1. Urusan Pemerintah Pusat yang dibagi rata kepada Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Provinsi mengevaluasi urusan di daerah. Sehingga terjadi
penggabungan dan perampingan organisasi.
2. Penghapusan organisasi dan penggabungan organisasi dilakukan demi melihat
kemampuan keuangan daerah dan mengakomodir potensi daerah. Sehingga,
beberapa organisasi mengalami peningkatan dan penurunan tipelogi organisasi.
Sampai kepada dibentuknya SKPD baru yang menggabungkan masing-masing
urusan.

570 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Terakhir, perubahan status SKPD, dalam hal ini peningkatan status dari Badan
menjadi Dinas menjadikan posisi organisasi mewakili keseluruhan urusan dan
wewenang dari Pemerintah Pusat. Oleh karenanya, ditemukan nomenklatur
SKPD menjadi gemuk dan sangat luas kewenangannya.

e) Sentralisasi dan desentralisasi


Ditegaskan dalam PP ini, dalam hal Menteri atau gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat menyetujui dengan perintah perbaikan, maka Perda tersebut harus
disempurnakan oleh kepala Daerah bersama DPRD sebelum diundangkan. Adapun
dalam hal kepala Daerah mengundangkan Perda yang tidak mendapat persetujuan
dari Menteri bagi Perangkat Daerah Provinsi dan dari Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat bagi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota atau Perda tidak
disempurnakan oleh kepala Daerah bersama DPRD sebagaimana dimaksud, maka
Menteri atau gubernur membatalkan Perda sebagaimana dimaksud. Peraturan
Pemerintah ini menetapkan Perangkat Daerah dalam 3 (tiga) tipe, yaitu:
1. Tipe A terdiri dari: Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas,
Badan dan Kecamatan.
2. Tipe B terdiri dari: Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD dan Inspektorat, Dinas,
Badan dan Kecamatan.
3. Tipe C terdiri dari: Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD dan Inspektorat, Dinas,
dan Badan

f) Formalisasi
Pada umumnya adalah benar pekerjaan yang sederhanadan berulang-ulang
lebih cocok dengan tingkatformalisasi tinggi, tetapi makin besar profesionalisme
sebuah pekerjaan maka makin kecil kemungkinan pekerjaan itu
diformalisaikandengan tinggi. Formalisasi berbeda bukan hanyadalam hal pekerjaan
itu tidak terampil atau profesional, tetapi juga dalam tingkatan organisasi dan
departemen fungsional. Pegawaipada tingkat lebih tinggi dalam organisasi
makinbanyak terlibat dalam aktivitas yang kurang diulang maka dibutuhkan
keterampilan dan pemecahan yang unik, seperti tugas-tugas yang dilakukan Kepala
Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) tingkat formalisasinya
rendah, apalagi di era otonomi daerah mereka dituntut memiliki kreativitas dan inisiatif
dalam pelaksanaan tugasnya.

571 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya dalam mengakomodir
organisasi yang ada, saat ini secara keseluruhan sudah tepat dan sesuai dengan
kebutuhan organisasi daerah. Baik dari beban kerja maupun fungsinya, penataan
kelembagaan sudah dijalankan, sebagaimana mengacu dengan PP No. 18 Tahun
2016 yang baru ini. Maka organisasi Pemerintah Daerah sudah ditujukan untuk
mencapai efektifitas dan efisiensi organisasi. Hal ini telah dilakukan dengan cara
menata kembali struktur organisasi menjadi lebih baik.

A. Faktor yang mempengaruhi Proses Restrukturisasi Organisasi Pemerintah


Daerah Kabupaten Dharmasraya
Saat Pelasanaan proses restrukturisasi Organisasi Pemerintah Daerah ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Faktor ini sangat dominan karena
menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan restrukturisasi di Pemeintah Daerah
Kabupaten Dharmasraya.
a) Aturan Formal
Pembentukan perangkat daerah mempertimbangkan faktor luas wilayah,
jumlah penduduk, kemampuan keuangan daerah serta besaran beban tugas sesuai
dengan urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada daerah sebagai mandat yang
wajib dilaksanakan oleh setiap daerah melalui perangkat daerah.
Pada awal proses pembentukan kebijakanpenataan organisasi perangkat
daerah di Kabupaten Dharmasraya, penataan organisasi perangkat daerah
didasarkan pada PP No. 41Tahun 2007. Sejalan dengan hal itu, Peraturan
Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah berikut peraturan pelaksana
tentang kelembagaan daerah sering berganti-ganti. Dari lahirnya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti dengan PP No. 84 Tahun 2000
tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, kemudian kurang dari 3 tahun
diterapkan dan diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003. Selanjutnya lahir pula UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penganti UU No. 22 Tahun
1999 yang juga disusul kemudian dengan keluarnya PP No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah, dan yang terakhir dengan terbitnya PP No. 18 Tahun
2016 tentangPerangkat Daerah.
b) Evaluasi Kinerja
Beban kerja menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (2007:7)
adalahsekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu
satuan unit organisasi ataupemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Untuk

572 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dari aspek evaluasi kinerja, peneliti
melanjutkan analisis ini dengan membagi 3 cakupan aspek. Yakni aspek beban kerja,
kemudian pembagian kerja dan penempatan kerja, serta pengelompokan menurut
fungsinya.
Peneliti membahas lanjutan pertanyaan kepada responden untuk mengukur
adakah pengaruh dan hubungan dari jawaban respondentersebut. Dibawah ini
dijelaskan masing-masing analisis aspek.
1) Beban Kerja
peneliti menyimpulkan bahwa peran kajian tersebut sangatlah penting dan
tim intenal SKPD sudah ada yang menangani persoalan tersebut. Sehingga,
masing-masing SKPD merasa bahwa mereka sudah tahu akan kedudukan fungsi
mereka dalam peran evaluasi kelembagaan. Penataan kelembagaan bukanlah
persoalan yang hanya sebatas penambahan dan perampingan organisasi
semata. Melainkan, penataan kelembagaan juga mempengaruhi hajat hidup
orang banyak. Dalam hal ini ialah apartur sipil pemerintah, struktural maupun
fungsional juga menjadi jenjang karir mereka. Sehingga tunjangan kinerja dan
Gread masing-masing jabatan juga turut adil dalam evaluasi tersebut. Sehingga,
peneliti juga mengharapkan bahwa peran kajian seperti Standar Kompetensi
Jabatan perlu dilakukan demi dapat mengetahui komposisi dan kompetensi
jabatan yang diukur dari tupoksi, background studi dan skil aparatur tersebut.
2) Pembagian Kerja dan Penempatan Kerja
peneliti menarik kesimpulan bahwa. Nomenklatur organisasi yang telah
dibuat, mempunyai kewenangan urusan dua atau lebih (double). Sehingga
responden menjawab masih belum mencakup urusan dan rangkap tugas terjadi.
3) Pengelompokan menurut fungsi
Secara teoritis maupun regulasi yang ada, evaluasi kinerja dalam halnya
Dinas daerah merupakan pelaksana fungsi inti (operatingcore) yang
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu Kepala Daerah dalam
melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus sesuai bidang urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, baik urusan wajib maupun
urusan pilihan.

c) Proses Politik
Dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 232 ayat 1
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Presiden

573 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Joko Widodo pada tanggal 15 Juni 2016 telah menandatangani Peraturan
Pemerintah Nomor (PP) 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.Dalam PP itu
dijelaskan, bahwa Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah.
Pembentukan perangkat daerah, menurut PP tersebut, dilakukan berdasarkan
asas:
a. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;
b. Intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi daerah;
c. Efisiensi;
d. Efektivitas;
e. Pembagian habis tugas;
f. Rentang kendali;
g. Tata kerja yang jelas; dan
h. Fleksibilitas.
Regulasi yang ada dan dari ketersediaan anggaran yang dijelaskan. Promosi
jabatan yang bersifat politis dan menjadi polemik Pemerintah Daerah, sehendaknya
peran tunjangan kinerja dan prestasi jabatan berlaku adil dalam proses
restrukturisasi organisasi Pemerintah Daerah. Sehingga, regulasi terkait dengan
ASN menjadi harapan kita bersama untuk memberikan dan menjawab reformasi
birokrasi menjadi lebih baik.
d) Sumberdaya Manusia atau Aparatur
Dalam konteks proses restrukturisasi organisasi dan penataan kelembagaan,
SDM baik secara individual maupun secara manajemen SDM yang diterapkan akan
berpengaruh terhadap kelembagaan yang dibentuk. SDM yang berkualitas akan
mengurangi besaran organisasi yang akan diterapkan begitu halnya dengan pola
manajemen SDM yang profesional, dimulai dari proses rekrutmen, pengembangan
pegawai sampai pada pensiun akan berpegaruh terhadap organisasi yang ada.
Besar kecilnya kewenangan yang dimiliki suatu daerah, selain berimplikasi
pada besar kecilnya beban kerja yang harus diemban oleh kelembagaan Pemerintah
Daerah, juga berdampak pada besar kecilnya kebutuhan sumber daya manusia dan
manajemennya. Oleh karenanya, untuk melakukan hal itu, ketersediaan sumber daya
manusia dan sistem manajemennya harus diperhatikan kaitannya dengan kesiapan
daerah untuk melaksanakan berbagai kewenangan yang dimilikinya, sehingga

574 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
didalam proses restrukturisasi organisasi perangkat daerah menjadi bagian
terpenting.
Pada awal penataan organisasi perangkat daerah di Pemerintah Kabupaten
Dharmasraya, masih sangat kekurangan SDM aparatur untuk mengisi jabatan-
jabatan struktural yang ada karena banyak terjadi peningkatan status kelembagaan,
pemisahan dan pembentukan organisasi perangkat daerah baru, misalnya dari
Kantor menjadi Badan dan juga ada Dinas yang sebelumnya digabung kemudian
dipisahkan menjadi Dinas baru. Untuk menjalankan fungsi organisasi yang efektif
maka jabatan-jabatan struktural yang ada dalam organisasi perangkat daerah
tersebut harus diisi oleh pejabat yang berpengalaman sehingga dapat melaksanakan
tupoksi yang ada.
Selanjutnya penyebaran pegawai untuk melaksanakan tugas dari masing-
masing unit organisasi tidak ada ukuran yang jelas, sehingga berapa jumlah pegawai
yang dibutuhkan oleh masing-masing unit kerja tidak mempunyai kriteria dan ukuran
yang pasti. Ada unit kerja yang mempunyai beban kerja yang cukup banyak namun
tidak didukung jumlah pegawai yang memadai begitu juga sebaliknya ada unit kerja
yang hanya memiliki beban kerja sedikit namun mempunyai pegawai yang berlebih.
Selain itu dalam penempatan pegawai juga kurang memperhatikan latar belakang
pendidikan, pengalaman kerja dan pendidikan teknis yang telah diikuti atau tidak
adanya kajian analisis jabatan secara mendalam.
Tentunya untuk menduduki jabatan eselon, ada yang menjadi syarat dan
ketentuannya. Kondisi sumber daya manusia yang ada juga menjadi pertimbangan
untuk menentukan orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut. Hasil
penelitian di lapangan diketahui sebagian besar pejabat eselon tersebut diambil dari
luar Pemerintah Kabupaten Dharmasraya, karena PNS yang ada sebelumnya, belum
memenuhi syarat. Sedangkan PNS yang menduduki jabatan fungsional kemudian
berusaha mencari jabatan di organisasi yang baru dibentuk yang membutuhkan PNS
untuk menduduki jabatan struktural sehingga organisasi Pemerintah Daerah
Kabupaten Dharmasraya mengalami kekurangan pegawai-pegawai yang berkualitas
dan praktek Nepotisme menjadi acuan dalam kedudukan suatu jabatan.

KESIMPULAN & SARAN


Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai proses restrukturisasi
organisasi perangkat daerah di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016. Dapat ditarik
kesimpulan ternyata memang masih ada beberapa indikator yang masih belum

575 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tercapai. Namun peneliti dapat menyimpulkan bahwa proses restrukturisasi
organisasi yang terjadi mengalami beberapa hambatan-hambatan yang dihadapi
oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya sehingga proses tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Restrukturisasi organisasi
pemerintah daerah di kabupaten Dharmasraya 2016 diantaranya:
1. Keuangan dan anggaran
2. Sumberdaya manusia atau aparatur pemerintah daerah
3. Peraturan perundang-undangan
4. Kepentingan Politik
Dari keempat faktor yang mempengaruhi restrukturiasai organisasi tersebut,
kepentingan politik menjadi faktor yang paling dominan dalam prosesrestrukturisasi
organisasi pemerintah daerah karena memang untuk mengakomodir segala
kepentingan dari berbagai pihak.
Untuk Saran seharusnya Pemerintah Kabupaten Dharmasraya saatnya dapat
mengatasi keterbatasan PAD dengan langkah-langkah yang bisa diambil sebagai
berikut:
1. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Masih banyak sumber pajak dan retribusi baru yang berpotensi dan
seharusnya dapat dipungut oleh Pemerintah Kabupaten. Namun dalam
halnya dengan regulasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya
sebaiknya harus berusaha keras dalam mendongkrak penggalian potensi
pada sumber-sumber pendapat daerah tersebut, terutama dari pajak dan
retribusi daerah, untuk itu secara bertahap potensi sumber-sumber
pendapatan yang ada.
2. Pelayanan publik yang efektif, dalam hal ini menyederhanakan pelayanan
yang diberikan, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayann yang
cepat, tepat dan dapat dipertanggunjawabkan. Dengan istilah lain
ketatalaksanaan pemungutan pajak dan retribusi tersebut harus lebih
disederhanakan.
3. Untuk mengembangkan potensi usaha daerah yang dikelola oleh perusahaan
daerah. Dalam menjalankan usaha perusahaan daerah harus tetap
berpegang pada prinsip ekonomi secara umum dan prinsip-prinsip yang

576 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diamanatkan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, perusahaan
daerah dapat menyumbang perekonom

DAFTAR PUSTAKA
Hani, Handoko T. 2008. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE :
Yogyakarta.
Istianto, Bambang. 2009. Manajemen Pemerintahan Dalam Persepektif Pelayanan
Publik. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Lubis, Hari. S.B. dan Martani Husaini. 1987. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan
Makro). Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas
Indonesia.
Osborne, David, and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy, The Five
Strategies For Reinventing Government, terjemahan : Memangkas Birokrasi :
Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Alih Bahasa: Abdul Rosyid
dan Ramelan. Jakarta : Penerbit PPM.
P. Robbins, Stephen. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jusuf
Udaya. Jakarta : Arcan.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung:
Mandar Maju.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Wasistiono, Sadu. 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah. Sumedang:
Alqoprint.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

577 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
URBAN FARMING “KAMPUNG BERKEBUN”
SEBAGAI PELAYANAN PUBLIK YANG INOVATIF
DARI PEMERINTAH KOTA BANDUNG
Henny Sri Mulyani242

ABSTRAK
Pelayanan publik yang diartikan sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan
masyarakat oleh penyelenggara negara dengan tujuan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu pelayanan publik Pemerintah Kota Bandung
adalah program Urban Farming “Kampung Berkebun” yang mulai disosialisasikan
pada tahun 2014 terhadap warga Kota Bandung dengan tujuan untuk menopang
pemenuhan kebutuhan pangan segar bagi tingkat rumah tangga, untuk perbaikan
kualitas lingkungan pemukiman menjadi hijau, nyaman, asri, bersih dan produktif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang, serta bentuk
pelaksanaan Urban Farming “Kampung Berkebun” sebagai pelayanan publik bagi
warga. Paradigma penelitian yang digunakan adalah konstruktivisme dengan metode
studi kasus. Hasil penelitian diperoleh bahwa urban farming “Kampung Berkebun”
merupakan salah satu pelayanan publik yang inovatif yang dilatar belakangi oleh alih
fungsi lahan pertanian akibat pembangunan sektor industri, perdagangan dan jasa,
pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang cukup tinggi menuntut pemenuhan
penyediaan pangan yang meningkat dan kebutuhan pangan masyarakat Kota
Bandung umumnya di pasok dari luar daerah Kota Bandung. Bentuk pelaksanaan
pelayan publik ini dibuat dalam dua kegiatan yaitu sosialisasi bagi para camat, lurah
dan perwakilan Rukun Warga se Kota Bandung serta pelatihan bagi warga Kota
Bandung.
Kata kunci : pelayanan publik, sosialisasi, urban farming, pemenuhan pangan

PENDAHULUAN
Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat
oleh penyelenggara negara dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan akan kesehatan,
pendidikan dan yang lainnya.243 Pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang
strategis dan pelayanan publik yang semakin membaik dapat mempengaruhi
kepuasan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dapat dibangun.
Menurut Moenir (1977) dalam Poltak (2014 : 42) Pelayanan sebagai proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung merupakan
konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya
pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan organisasi

hennysrimulyani@gmail.com
242
Lijan Poltak Sinambela.Reformasi Pelayanan Publik:Teori, Kebijakan dan Implementasi (Jakarta : Bumi Aksara,
243
2014) hlm5-6

578 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemerintah. Hal ini disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin maju dan kompetisi global yang sangat ketat.
Umumnya pelayanan publik itu berupa pelayanan dalam bentuk pelayanan
administrasi, barang dan jasa dari penyelenggara negara kepada warga. Secara
umum dalam Mulyadi (2016:190) pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun
sebagai pelaksana ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebuah program yang
inovatif dari Pemerintah Kota Bandung diantaranya adalah program berkebun dilahan
pekarangan rumah yang dikenal dengan Urban Farming “Kampung Berkebun” perlu
disosialisasikan terhadap warga Kota Bandung.
Menurut Opi dan Tinton (2015 : v) Pencetus awal dari gerakan ini adalah
Ridwan Kamil salah satu tokoh kreatif asal Bandung yang kini juga menjabat sebagai
Walikota Bandung. Gerakan urban farming muncul pertama kali di Jakarta sekitar
akhir tahun 2011. Jakarta menjadi kota pertama yang meluncurkan komunitas
Jakarta Berkebun dengan kesiapannya melaksanakan tanam perdana di Spring Hill
pada tanggal 20 Februari 2011. Beberapa bulan kemudian kemunculan komunitas-
komunitas berkebun di kota lain ikut menyusul, seperti Bandung, Semarang, Padang,
Medan dan Bogor. Akhirnya diputuskan untuk dibentuk payung besar bagi komunitas-
komunitas ini yaitu Indonesia Berkebun. Hingga saat ini, Indonesia Berkebun telah
menyebar di 33 kota dan 9 kampus di seluruh Indonesia. Bandung merupkan salah
kota pertama yang meluncurkan komunitas berkebun sebelum terbentuknya
Indonesia Berkebun. Sementara Dewi dalam Widyawaty (2013:3) menyebutkan
pertanian kota sebagai kegiatan pertanian yang dilakukan dilingkungan kota sebagai
salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH) produktif yang bernilai ekonomi dan
ekologi.
Pengertian sosialisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses belajar
individu untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai sosial
sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan atau
perilaku masyarakatnya. Dalam KBBI Sosialisasi artinya suatu proses belajar
seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan
masyarakat di lingkungannya.
Tujuan sosialisasi diantaranya memberi keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan seorang kelak di tengah-tengah
masyarakat tempat dia menjadi salah satu anggotanya, Menambah kemampuan

579 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berkomunikasi secara efektif dan efisien serta mengembangkan kemampuannya
untuk membaca, menulis, dan bercerita, membantu pengendalian fungsi-fungsi
organic yang dipelajari melalui latihan mawas diri yang tepat dan membiasakan
individu dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada masyarakat.
Sosialisasi dari kegiatan ini yang dianggap baru atau inovatif dapat dikatakan
sebagai sebuah pelayanan publik dari pemerintah Kota Bandung untuk warganya.
Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting dengan tujuan untuk mengetahui latar
belakang dan bentuk pelaksanaan sebuah pelayanan publik yang inovatif. Penelitian
ini penting dilaksanakan sebagai upaya mengukur tingkat keberhasilan pemerintah
Kota Bandung memasyarakatkan sebuah ide atau gagasan pada masyarakat sesuai
dengan tujuan awal sebagai salah satu kegiatan yang mempunyai nilai edukasi,
ekonomi dan ekologi disamping dapat menunjang ketahanan pangan warganya.
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang penelitian maka kajian ini dapat
dirumuskan bagaimana pelaksanaan pelayanan publik dari Pemerintah Kota
Bandung dibawah koordinasi Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung untuk
program urban farming “Kampung Berkebun”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat pelaksanaan pelayanan publik dari Pemerintah Kota Bandung dalam hal ini
dibawah koordinasi Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung untuk program
urban farming “Kampung Berkebun”. Kegunaan penelitian ini secara akademik
diharapkan berkontribusi pada ilmu pemerintahan dalam konsep pelayanan publik
sebuah inovasi bagi masyaeakat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam
meningatkan pelayanan terhadap masyarakat, karena sebuah inovasi yang
disosialisasikan walaupun mempunyai manfaat tapi belum tentu dapat diadopsi
secara langsung tapi membutuhkan waktu dan proses.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan pelayanan publik, saat ini diatur dan tersebar di berbagai Peraturan
Perundang-undangan dalam Mulyadi (2016:187) antara lain : 1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2. Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 4.
Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai

580 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Menurut Mulyadi (2016 : 190) pelayanan publik oleh Kepmenpen No 63/2003
terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu : (1) kelompok pelayanan administratif : yaitu
pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen formal yang dibutuhkan
oleh publik. (2) kelompok pelayanan barang : yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan
tugas-tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang
kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan
air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi dll) dan
(3) kelompok pelayanan jasa : yaitu pelayanan yang menghasilkan n berbagai
bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya pelayanan pendidikan,
pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan pos dan
lain sebagainya.
Lebih rinci dalam pelaksanaannya bentuk pelayanan publik yang diberikan
kepada masyarakat dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu: (1)
Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk
dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan,
serrtifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan
sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte
Pernikahan, Akte kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/ Penguasaan Tanah dan
sebagainya. (2). Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon,
penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya. (3) Pelayanan Jasa yaitu
pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik,
misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos,
dan lain sebagainya.244
Mulyadi (2016 :190) menjelaskan ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan
publik dewasa ini semakin meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau
penegakan hak-hak dasar manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan,

244Viky Ferdiansyah, Dasrun Hidayat, E-Goverment :Studi Fenomenologi RW-Net sebagai pelayanan Publik yang
transparan dan Akuntabel dengan Optimalisasi Fungsi E-Goverment di Pemerintah Kota Bandung.Jurnal Ilmu
Komunikasi Vol 1 No 1 April 2014

581 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
perumahan, pekerjaan yang layak, jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat
dan lain sebagainya akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh
kehidupan masyarakat sehari-hari seperti perijinan, identitas status, penyaluran
kebutuhan bahan pokok, transportasi, telekomunikasi dansebagainya.
Kewajiban Pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang menjadi
hak setiap warga negara ataupun memberikan pelayanan kepada warga negara yang
memenuhi kewajibannya terhadap negara. Kewajiban pemerintah, maupun hak
setiap warga negara pada umumnya disebutkan dalam konstitusi suatu negara.
Dalam Mulyadi (2016:191) disebutkan pelayanan publik menjadi suatu tolok ukur
kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat dapat langsung menilai
kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik yang diterima, karena
kualitas layanan publik menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya langsung
dirasakan masyarakat dari semua kalangan, dimana keberhasilan dalam
membangun kinerja pelayanan publik secara profesional, efektif, efisien dan
akuntabel akan mengangkat citra positif pemerintah dimata warga masyarakatnya.

Urban Farming Salah Satu Bentuk Pelayanan Publik


Aspek lain yang berkaitan dengan praktek urban farming dalam Widyawaty
(2013: 29) adalah optimalisasi pemanfaatan lahan perkotaan tanpa menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan hidup perkotaan sehingga memperoleh nilai manfaat
seperti memulihkan dan meningkatkan kesehatan lingkungan, meningkatkan
kesehatan pangan, memperluas kesempatan ekonomi, perbaikan sosial, efisiensi
energi dan meningkatkan ketersediaan dan kualitas pangan.
Urban farming diharapkan dapat menggugah kreativitas masyarakat
perkotaan dalam bertani secara lebih praktis. Keterbatasan lahan yang dimiliki tidak
lantas mengubur niat bertani tapi pertanian di perkotaan dapat menjadi kegiatan
dalam keikutsertaan warga yang berbasis pada pembudidayaan aneka sumber daya
hayati dilingkungan perkotaan guna memenuhi kebutuhan masyarakat untuk tingkat
rumah tangga dengan segala keunikan landscape perkotaan yang khas.
Nilai kehadiran urban farming terus berkembang terutama dalam kaitannya
dengan pelayanan publik dalam pemenuhan kebutuhan gizi dan kesehatan
masyarakat, mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, pemeliharaan
lingkungan hidup dan penyerapan tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran.
Dalam Widyawati (2013 : 30-49) nilai dari aktivitas urban farming diantaranya
(1) Nilai praktis diantaranya dapat menyalurkan hobi, kreativitas bersama,

582 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memanfaatkan waktu luang, mencari keringat untuk membakar lemak dsb (2) Nilai
Ekonomis diantaranya terjadi perputaran uang di perkotaan. Hasil panen berbagai
jenis sayur maupun ternak dapat dikonsumsi sendiri atau dijual. Sehingga
mengurangi pengangguran dan (3) Nilai ekologis merupakan nilai tambah berupa
keindahan dan mengurangi pemanasan udara, mengurangi timbunan sampah dan
barang bekas (4) Nilai estetika akan ada jika penataan aneka hayati dibudidayakan
dengan baik, artistik dan menarik (5) nilai sosial diperoleh karena kelompok
masyarakat saling berbagi pengalaman, berbagi hasil panen dll (6) Nilai edukasi
muncul melalui kegiatan penularan pengetahuan dan keterampilan secara umum (7)
Nilai politis tampak secara umum sangat membantu meningkatkan kemandirian
pangan masyarakat perkotaan dan (8) Nilai Wisata, jika pengelolaan dirancang
dengan kreasi yang menarik dan menghadirkn berbagai teknologi modern berpotensi
untuk tujuan wisata. Program urban farming dapat dikatakan sebagai salah satu
bentuk pelayanan publik yang inovatif karena tidak semua pemerintahan kota di Jawa
Barat khususnya mempunyai program sejenis ini.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis seperti yang disebutkan
Guba dan Lincoln dalam Denzim dan Lincoln (2009 : 137) secara ontologis percaya
pada relativitas realitas. Realitas dapat dipahami dalam bentuk konstruksi mental
yang bermacam-macam dan tidak dapat diindera, yang didasarkan secara sosial dan
pengalaman, bercirikan lokal dan spesifik, bentuk dan isinya bergantung pada
manusia atau kelompok individu yang memiliki konstruksi tersebut.
Menurut paradigma konstruktivisme, peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung
secara timbal balik sehingga hasil penelitian terciptakan secara literal seiring dengan
berjalannya proses penelitian. Konstruksi yang dilakukan individu dapat diciptakan
melalui interaksi antara dan diantara peneliti dan respondennya. Metode yang
digunakan (Schramm dalam Yin 2006:17) adalah studi kasus yakni esensi studi
kasus : kecenderungan utama dari semua jenis studi kasus adalah mencoba
menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi tersebut dipilih,
bagaimana mengimplementasikannya dan apa hasilnya.
Subjek penelitian ini adala Pemerintah Kota Bandung khususnya Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Kota Bandung beserta PPL sebagai tim pelaksana program
Urban Farming “Kampung Berkebun” Kota Bandung dan aparat kelurahan. Sumber
data penelitian selain data primer juga data sekunder berupa dokumen. Objek

583 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penelitian ini adalah pelayanan publik program Urban Farming “Kampung Berkebun”
dan teknik pengumpulan data dilakukan observasi dan wawancara.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung merupakan unit yang
bertugas merumuskan kebijakan teknis bidang pertanian dan melaksanakan tugas
teknis operasional bidang pertanian, yang juga meliputi tanaman pangan, perikanan
dan peternakan, yang dijabarkan kedalam 4 (empat) misi, Menggembangkan Potensi
Sumber Daya Pertanian Secara Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan;
Meningkatkan Ketahanan Pangan; Meningkatkan Pengawasan Mutu dan Keamanan
Pangan; dan Meningkatkan Pelayanan di Bidang Pertanian245
Berdasarkan Perda Kota Bandung No. 26 tahun 2001 yang merupakan
gabungan dari 3 dinas yaitu, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Peternakan
dan Dinas Perikanan, oleh karena nya kewenangan Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kota Bandung meliputi kewenangan subsektor pertanian tanaman pangan,
peternakan, perikanan, dan bidang perkebunan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa program kegiatan urban
farming di Kota Bandung dilatarbelakangi oleh pertumbuhan Kota Bandung yang
sangat pesat berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi daerah
permukiman, gedung perkantoran, sentraperdagangan dan pusat – pusataktivitas
masyarakat lainnya, sehingga lahan untuk bercocok tanam semakin sempit. Hal ini
memberikan dampak yang kurang baik terhadap ketersediaan pangan lokal yang
diproduksi daerah sendiri sehingga menjadikan Kota Bandung memiliki
ketergantungan tinggi terhadap pasokan hasil – hasil pertanian dari luar daerah.
Di samping itu, berkurangnya lahan – lahan hijau dan lahan pekarangan yang
ditumbuhi pohon atau tanaman, memberikan dampak negatif berupa memburuknya
kualitas udara dan lingkungan. Memburuknya kualitas udara dan lingkungan secara
langsung akan berdampak terhadap kondisi kesehatan masyarakat, sehingga untuk
meningkatkan kualitas udara yang segar dan bersih di Kota Bandung diperlukan
upaya yang terstruktur dan sistematis.
Berkembangnyateknologi pertanian terutama teknologi budidaya di lahan
sempit, dapat memberikan solusi bagi pemecahan berkurangnya lahan pertanian di
Kota Bandung serta mengatasi penurunan kualitas udara dan lingkungan.Teknologi

245 http://dispertapakotabandung.com/index.php?page=Content&modul=Sejarah&lang=ind 9 nop 2016 jam 13.00

584 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
budidaya pertanian yang ada dan dikembangkan saat ini adalah bercocok tanam
pada lahan sempit bahkan tanpa menggunakan lahan sekalipun, seperti teknologi
budidaya tanaman didalam dalam ruangan, atap gedung, dinding – dinding
bangunan, atap rumah serta ruang atau area kosongdi sekitar bangunan gedung
atau rumah.
Untuk memecahkan masalah penyediaan bahan pangan khususnya sayuran
untuk tingkat rumah tangga, di Kota Bandung dititikberatkan terhadap penerapan
teknologi pertanian perkotaan di lahan sempit dan memanfaatkan area atau tempat
kosong di sekitar rumah, Upaya ini diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah berupa perbaikan kualitas lingkungan (ekologis), meningkatkan lahan
sempit atau area kosong, serta meningkatkan nilai ekonomis dan sosiologis bagi
masyarakat.246
Nilai manfaat yang bisa didapatkan masyarakat sebagai dampak dari Program
Kampung Berkebun ini adalah:
1. Nilai Edukasi yaitu masyarakat mengetahui cara bercocok tanam ramah
lingkungan dan menghasilkan komoditas yang sehat dikonsumsi dan
tidak harus selalu tergantung pada pupuk kimia. Nilai Edukasi lainnya
adalah masyarakat menjadi terbiasa memanfaatkan waktu luang untuk
kegiatan produktif berupa pemeliharaan tanaman, sehingga jadi tahu pula
proses tumbuh-kembang suatu jenis tanaman sejak bibit disemai sampai
hasilnya dipanen.
2. Nilai Ekologi yaitu kegiatan berlangsung secara alamiah dan berbagai
jenis tanaman yang dibudidayakan warga akan membuat lingkungan
hijau sekaligus membantu penyaringan oksigen. Sebaran tanaman itu di
sejumlah RW akan memberikan kontribusi terhadap pemenuhan ruang
terbuka hijau yang harus dimiliki setiap kota.
3. Nilai Ekonomi diperoleh dari hasil panen berbagai tanaman yang
dibudidayakan. Warga bisa menghemat pengeluaran karena bisa
memanfaatkan hasil cocok tanamnya untuk dikonsumsi sendiri. Selain itu
juga berpeluang mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan
komoditas tanaman yang dibudidayakan.
4. Nilai Sosiologi didapat karena program ini berlandaskan semangat
gotong royong. Sejak warga peserta program mengikuti pelatihan sudah
berlangsung interaksi sosial dengan sesama peserta. Juga ketika proses

246 Wawancara dengan Pak Willy dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung

585 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
bercocok tanam berlangsung, terjadi interaksi sosial dengan anggota lain
yang tergabung dalam komunitas Kampung Berkebun.
Pada pelaksanaannya menurut beberapa pelaku urban farming di beberapa
kelurahana mengatakan bahwa : “Kegiatan Urban Farming selain mengandung nilai
edukasi, ekologi, ekonomi dan sosial juga yang dirasakan warga adalah lingkungan
menjadi cantik untuk dipandang, gang-gang menjadi asri, lebih rapih, ada kepedulian
warga untuk turut merawat. Mempunyai nilai estetika”.

Pelaksanaan Pelayan publik Urban Farming “Kampung Berkebun” Kota


Bandung
Pelaksanaan kampanye Urban Farming dimulai pada tahun 2014 dimana
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan waktu itu dan saat ini dinas ini berubah nama
menjadi Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung dan untuk selanjutnya disebut
Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung. Selaku penanggung jawab program
dengan Kepala Dinas Ir Elly Wasliah. Pendamping Teknis Lapangan adalah petugas
dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung serta fasilitator lapangan
yang seleksi dan direkrut serta diberikan pelatihan. Selain itu ada yang dinamakan
pendamping pelaksana lapangan berupa sukarelawan yang direkrut dari masyarakat
yang berdomisili di daerah yang dikembangkan sebagai lokasi Kampung Berkebun.
Penerapan teknologi budidaya pertanian melalui program Kampung Berkebun
ini adalah pengembangan cara berkebun dengan memanfaatkan lahan kososng
disekitar rumah serta tidak menggunakan lahan yang luas bahkan dapat
dilaksanakan tanpa menggunakan media tanah. Program ini diharapkan dapat
dilaksanakan oleh warga Bandung dengan tujuan warga bukan hanya sebagai
konsumen tetapi bisa menjadi produsen sayuran dan buah-buahan.
Pelaksanaan kampanye Urban Farming dilakukan dalam dua kegiatan, yakni :
Pada tahun 2014 merupakan tahun awalnya program urban farming ini
dilaksanakan, kegiatan pertama, dilakukan sosialisasi terhadap para camat dan lurah
se Kota Bandung yang dilaksanakan di kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kota Bandung di Jl. Ardjuna. Nara sumber pada kegiatan sosialisasi adalah
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung ibu Ir Elly Wasliah
dan dihadiri oleh camat dan lurah se Kota Bandung.
Kegiatan kedua dari program Urban Farming “Kampung Berkebun” adalah
memberikan pelatihan teradap warga Kota Bandung. Gambaran pelaksanaan
kegiatan ini sebagai berikut Kota Bandung memiliki 34 kecamatan terbagi menjadi

586 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
151 kelurahan. Dari setiap kelurahan menentukan satu lokasi Rukun Warga (RW)
dan mengirimkan 50 orang warganya untuk mengikuti pelatihan. Sehingga jumlah
keseluruhan warga yang mengikuti sosialisasi kampung berkebun di Kota Bandung
ini adalah 7550 warga. Pelatihan dilaksanakan di kelurahan atau di RW yang akan
dijadikan wilayah kegiatan urban farming dan pelatihan dilaksanakan terhadap 50
orang warga per kelurahan dengan nara sumber adalah petugas lapangan dari Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, dibantu oleh fasilitator dan seorang
sukarelawan yang merupakan warga di wilayah tersebut.
Sarana penunjang kegiatan pelatihan yang difasilitasi oleh pemerintah baik
melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung atau pemerintahan
yang diwakili oleh pihak kelurahan diantaranya berupa bibit tanaman, pupuk organik,
polibag, media tanam, media hidroponik dan sarana lainnya. Hanya menurut
beberapa warga yang telah mengikuti pelatihan menyebutkan “ terkadang
penyediaan sarana berupa bibit tanaman perlu waktu untuk mendapatkannya ketika
pasca panen tiba sehingga penanaman kembali bibit baru agak terlambat”. Hal ini
dapat menjadi masukan bagi penyelenggara dalam hal ini adalah Dinas Pertanian
dan Ketahanan Pangan Kota Bandung.
Gambaran peserta pelatihan :
Pada tahun 2014, setiap kelurahan menentukan salah satu RW yang akan
mengikutsertakan 50 orang warganya untuk mengikuti pelatihan. Dengan demikian
jumlah warga Kota Bandung yang mendapatkan pelatihan sebanyak 7550. Pada
tahun 2015 setiap kelurahan menentukan dua RW dengan jumlah peserta 50 per
kelurahan jadi setiap RW diwakili oleh 25 warga sebagai peserta pelatihan. Dengan
demikian jumlah warga Kota Bandung yang mendapatkan pelatihan tetap sebanyak
7550 tetapi jumlah RW nya menjadi 302 RW.
Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut:
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, maka kegiatan urban farming
ini merupakan pelayanan dalam bentuk Jasa yaitu mengajak warga untuk melakukan
keterampilan dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah secara optimal untuk
menanam tanaman dalam membantu kebutuhan pangan keluarga atau menanam
dilahan yang kurang produktif.

587 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Selain itu untuk menciptakan kegiatan pelayanan publik yang berkualitas,
maka Mentri Pedayagunaan Aparatur Negara menerbitkan keputusan No
63/KEP/M.PAN/7/2003 mengenai pola penyelenggaraan pelayanan publik, yang
antara lain : (1) Fungsional : Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara
pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. (2) Terpusat : Pola
pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan
berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya
yang bersangkutan.(3) Terpadu : a.Terpadu satu atap : diselenggarakan dalam satu
tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan
proses dan dilayani melalui beberapa pintu. b. Terpadu satu pintu : diselenggarakan
pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan
proses dan dilayani melalui satu pintu. c. Gugus Tugas : Petugas pelayanan secara
perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi
pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu.
Pelatihan ini adalah salah satu bentuk pelayanan dari pemerintah untuk lebih
memberdayakan masyarakat, karena pelatihan ini salah satu bentuk pendidikan
keterampilan guna menunjang kebutuhan pangan warga dalam skala rumah tangga
dengan melihat nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan urban farming. Program
urban farming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang
inovatif karena tidak semua pemerintahan kota di Jawa Barat khususnya mempunyai
program sejenis ini. Sampai dengan saat ini program urban farming ini masih berlanjut
di setiap wilayah kelurahan se Kota Bandung dengan pola pelaksanaannya yang
hampir sama hanya berbeda pola sumber pengaanggran kegiatannya.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Purwanto, Erwan dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan
Publik : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta : gava Media.
Creswell, John W. 2010. Research Design. Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Penerjemah Achmad Fawaid. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Denzim, Norman K.,dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Terjemahan Dariyanto, Badrus Samsul Fata, Abi dan John Rinaldi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
DeVito, Joseph A.1997. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Alih bahasa Agus
Maulana. Jakarta : Professional Books.

588 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti.
Mulyadi, Deddy. 2016. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik :Konsep dan
Aplikasi Proses Kebijakan Publik Berbasis Analisis Bukti untuk Pelayanan
Publik. Bandung : Alfabeta
Opi,Nofiandi&Tinton DP. 2015. Urban Farming Ala Indonesia Berkebun. Jakarta :
AgroMedia Pustaka
Poltak Sianambela, Lijan. 2014. Reformasi Palayanan Publik : Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Suyono, Haryono. 2014. Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global. Bandung :
Alfabeta
Widyawati, Nugraheni. 202013.Urban Farming Gaya Bertani Spesifik Kota.
Yogyakarta : Lily Publisher
Yin, Robert K.2006. Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sumber lain :
Agus Dwiyanto. Membangun Sistem Pelayanan Publik Yang Memihak Kepada
Rakyat. Jurnal Populasi, 13 (1), 2002. ISSN : 0853 – 0262
Dedi Rianto Rahadi. Peranan Teknologi Informasi Dalam Peningkatan Pelayanan Di
Sektor Publik. Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007). ISSN : 1978-
9777.
Sad Dian Utomo. Penanganan Pengaduan Masyarakat Mengenai Pelayanan Publik.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi vol 15 no 3 tahun 2008. ISSN : 0854
- 3844
Viky Ferdiansyah, Dasrun Hidayat, E-Goverment :Studi Fenomenologi RW-Net
sebagai pelayanan Publik yang transparan dan Akuntabel dengan Optimalisasi
Fungsi E-Goverment di Pemerintah Kota Bandung.Jurnal Ilmu Komunikasi JIKA Vol
1 No 1 April 2014

589 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
PEMERINTAH DAERAH KOTA BANDUNG
(Studi Pelayanan Izin Penyelenggaraan Reklame pada
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu)
Titin Rohayatin247, Tulus Warsito, Ulung Pribadi, Achmad Nurmandi

ABSTRAK
Judul penelitian: “Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kota
Bandung (Studi Pelayanan Izin Penyelenggaraan Reklame pada Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu). Masalah penelitian belum optimalnya pelayanan izin
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung. Rumusan masalah: bagaimana kualitas
pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan reklame, apa faktor yang menentukan
belum optimalnya kualitas pelayanan publik, apakah faktor yang ditemukan
berpengaruh dominan terhadap kualitas pelayanan publik. Metode penelitian
menggunakan mixed methods. Perolehan data melaui observasi, wawancara,
penyebaran angket. Pengujian model keberpengaruhan menggunakan Partial Least
Square - Structural Equation Modeling. Hasil penelitian menunjukkan pelayanan izin
penyelenggaraan reklame belum optimal terbukti mayoritas jawaban informan
mengatakan cukup bahkan kurang. Diperkuat hasil penelitian kuantitatif Skor total
variabel Kualitas Pelayanan Publik melalui 18 indikator untuk 30 pengguna layanan
sebesar 1659, sedangkan skor total persentasenya sebesar 51,8%. Hasil
kategorisasi menunjukkan skor total persentase dari Kualitas Pelayanan Publik
terletak antara batas median dan kuartil III (antara 50% s/d <75%). Posisi ini
menunjukkan tingkat Kualitas Pelayanan Publik untuk pelayanan izin
penyelenggaraan reklame tergolong cukup. Temuan penelitian faktor Komunikasi
Birokrasi merupakan faktor dominan yang menentukan belum optimalnya kualitas
pelayanan publik untuk pelayanan izin penyelenggaraan reklame. Diperkuat hasil
penelitian kuantitatif seluruh item Komunikasi Birokrasi teruji valid. Koefisien korelasi
antara skor item dengan skor total seluruh item seluruhnya positif dan signifikan.
Faktor Komunikasi Birokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap Kualitas
Pelayanan Publik. Tampak bahwa |t hitung| dari koefisien jalur Komunikasi Birokrasi
terhadap Kualitas Pelayanan Publik bernilai lebih besar dari t tabel = 1,96.
Menunjukan pengaruh positif yang kuat dari Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas
Pelayanan Publik. Arah pengaruh positif merujuk pada nilai yang positif artinya
semakin baik Komunikasi Birokrasi, semakin baik Kualitas Pelayanan Publik. Hasil uji
signifikansi pada model struktural menunjukkan koefisien jalur dari Komunikasi
Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik teruji signifikan (|t hitung| > t tabel =
1,96). Berdasarkan hasil uji signifikansi beserta temuan tentang dominannya
pengaruh Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik (R2 = 58,1%)
dapat disimpulkan Komunikasi Birokrasi merupakan faktor dominan yang
berpengaruh positif secara signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Publik dalam
Pelayanan Izin Penyelenggaraan Reklame di Kota Bandung.
Kata Kunci : Pelayanan Publik, izin Reklame, Komunikasi Birokrasi.

ABSTRACT
The title of the research: "Operation of Local Government Public Service in Bandung
(The study on the Licensing Service for Advertising on Integrated Licensing Service

247 Mahasiswa Program S3 Ilmu Politik Konsentrasi Kebijakan Pemerintah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta /
titin.rohayatin@yahoo.com

590 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Agency)”. The research problem focuses on the inadequate condition of the licensing
services in the city of Bandung. The formulation of the problem: how the quality of
public services in granting an operating license for the advertisement, what factors
determine the inadequate condition of quality of public services, and whether factors
that are found to give a dominant influence on the quality of public services. The
research method using mixed methods and the acquisition of data is done through
observation, interviews, and questionnaires.The measurement model in this research
used Partial Least Square - Structural Equation Modeling. The results showed that
the licensing service to the advertisement was still in inadequate condition, as
evidenced by the majority of the answers of the informants who said that the
performance had done enough, and some said still bad. This was also strengthened
by the results of quantitative research which showed the total score variable of quality
of public services through 18 indicators to 30 service users by 1659, while the total
score percentage was 51.8%. Results of categorization showed the total score
percentage of quality of public services was located between the boundary at the
median and quartile III (between 50% s / d <75%). This position shows that the level
of quality of public services for the advertisement licensing services quite enough.The
findings of research on factors related to bureaucracy Communication suggests that
this is the dominant factor determining the quality of public services for service
advertisement operating licenses. Reinforced by the results of the quantitative
research of all items of Communications Bureaucracy, proven valid. The correlation
coefficient between the scores of items with a total score of all items entirely positive
and significant. Factors of Communication bureaucracy significantly affect the quality
of public services. It is visible that |t hitung| from the coefficient of Bureaucracy
communication to the quality of public services has a value greater than t table = 1,96.
It shows a strong positive influence on the Communication Bureaucracy to the quality
of public services. This positive influence refers to the value positive means the
better communication bureaucracy, the better quality of public services. The test
results demonstrate the significance of the structural model path coefficient of
Bureaucracy Communication on the Quality of Public Services, tested significantly (|t
hitung| > t tabel = 1,96). Based on the result of the significance and finding of the
dominant influence of Bureaucracy Communication to the quality of Public Services
(R2 = 58,1%). It can be concluded that the Bureaucracy Communication is the
dominant factor that has a positive influence significantly to the quality of Public
Services in the Licensing Services of Advertisement in Bandung city.
Keyword: public service, advertisement license, communication, bureaucracy

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dalam era reformasi saat ini semakin berkembangnya kehidupan masyarakat
yang makin kritis, Pemerintah dituntut agar semakin optimal dalam melayani
masyarakat sehingga memerlukan birokrasi yang makin profesional dan mekanisme
pelayanan publik yang makin berkualitas. Plato menyatakan: ”Pelayanan umum
merupakan proses politik dan pemerintahan yang mengandung unsur transformasi
nilai budaya guna menumbuhkan kesadaran bermasyarakat, bernegara dan
berpemerintahan yang dilandasi kearifan, kebajikan dan kebijakan dari setiap

591 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
manusia.”248 Menurut Sancoko, “pelayanan publik mempunyai peran penting bahkan
vital dalam kehidupan ekonomi, politik, serta dalam meningkatkan kehidupan
sosial.”249 Walaupun demikian, kualitas pelayanan publik sampai saat ini secara
umum masih kurang baik. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya krisis kepercayaan
di masyarakat terhadap birokrasi pemerintah yang ditunjukkan dengan maraknya
berbagai protes dan demonstrasi kepada pemerintah. Menurut Dwiyanto,
“masyarakat saat ini masih merasakan prosedur dan mekanisme pelayanan yang
berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif dan kurang
konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya pelayanan.” 250
Kualitas pelayanan publik semestinya menjadi komitmen pemerintah, terlebih
setelah kebijakan otonomi daerah. Rasyid berpendapat, ”hasil akhir yang diharapkan
dari otonomi adalah pemberian pelayanan publik yang lebih memuaskan,
pengakomodasian partisipasi masyarakat, pengurangan beban pemerintah pusat,
penumbuhan kemandirian dan kedewasaan daerah serta penyusunan program yang
lebih sesuai dengan kebutuhan daerah.”251 Sejalan dengan meningkatnya perangkat
pendukung pelayanan publik melalui otonomi daerah, diperlukan pula reformasi
manajemen pemerintahan, termasuk reformasi birokrasi.
Sejak tahun 2013, Pemerintah Daerah Kota Bandung telah menetapkan
program reformasi birokrasi sebagai bagian dari program dan kegiatan prioritas
lembaga pemerintahan. Perencanaan reformasi birokrasi dimulai dengan melakukan
assessment kondisi birokrasi saat ini terkait dengan capaian tiga sasaran reformasi
birokrasi nasional, yaitu: (1) pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN; (2)
kualitas pelayanan publik; dan (3) kapasitas dan akuntabilitas kinerja.252 Reformasi
birokrasi dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja pemerintah agar
berdampak positif terhadap pelaksanaan kewenangan pemerintah. Namun kondisi
birokrasi Pemerintah Kota Bandung saat ini dalam penyelenggaraan pelayanan
publik masih belum optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniasih: “Kualitas
pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung harus ditingkatkan, serta

248 Plato dalam Supriatna Tjahya. 1996. Administrasi, Birokrasi dan Pelayanan publik. Jakarta. PT N Multima. hlm :
68
249 Sancoko, Bambang. 2010. Pengaruh Remunerasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik. Jurnal Birokrasi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Administrasi dan Organisasi, Januari – April 2010 hal 35-51 ISSN : 0854 3844
250 Dwiyanto, Agus.2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan,
Yogyakarta.Universitas Gajah Mada
251 Rasyid . Muhammad Ryas.1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta : Yarsip
Watampone.
252 Kurniasih Dewi. Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Dalam Mewujudkan Good Governance Di Kota
Bandung. 2015. Universitas Brawijaya. Malang.

592 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
layanan yang diberikan Pemerintah Kota Bandung kepada masyarakat harus terus
dioptimalkan.”253
Belum optimalnya pelayanan publik dan kinerja pemerintah di Kota Bandung
juga disampaikan oleh beberapa lembaga survei yang melakukan survei di Kota
Bandung, misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Transparancy International (TI), PRLM, E-SKM, PSPK
berkerjasama dengan eL-SID, PK2S. Hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW)
pada tahun 2013 menunjukkan bahwa pelayanan publik di Kota Bandung masuk
dalam katagori buruk, sama kondisinya dengan Kabupaten Nabire, Papua.254
Lembaga survei lain yang melakukan survei kepuasan terhadap pelayanan publik di
Kota Bandung adalah E-SKM yang dilansir dalam http://skm.Bandung.go.id/hasilsurvei.
E-SKM melakukan survei kepuasan terhadap perangkat daerah yang ada di Kota
Bandung, mulai dari Sekretariat Daerah, Inspektorat, Badan Daerah, Dinas Daerah,
Kantor, Rumah Sakit Umum Daerah, Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Rumah
Sakit Khusus Gigi dan Mulut, dan Kecamatan. Hasil survei menunjukkan bahwa
masih rendahnya kepuasan terhadap pelayanan publik sebagaimana diindikasikan
dari nilai indeks = 2,07; IKM unit pelayanan = 51,79; mutu pelayanan = C; dan kinerja
unit pelayanan yang kurang baik.255
Hasil survei Maryono atas monitoring kinerja aparatur Pemerintah Kota
Bandung dalam hal pelayanan publik terhadap Dinas dan Instansi sampai Kecamatan
dan Kelurahan menunjukkan bahwa ada lima jenis pelayanan yang merupakan
pelayanan terburuk karena banyaknya pungutan liar, yaitu: pelayanan dalam
pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pelayanan Izin penyelenggaraan
Reklame, pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pelayanan pembuatan Surat
Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan pelayanan PDAM.256
Penyelenggaraan reklame di Kota Bandung diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 04 Tahun 2012 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame. Melalui Perda
ini, Pemerintah Kota Bandung melimpahkan kewenangannya kepada BPPT, Dinas
Pemakaman dan Dinas Pertamanan Kota Bandung, Dinas Bina Marga dan Pengairan
Kota Bandung, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung dan Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung. Dengan dikeluarkannya Perda tersebut

253 Ibid
254 Martini. Sally.2013. Anggota Badan Pekerja ICW. Hasil survei ICW tentang Kepuasan Pelayanan Publik di Kota
Bandung.
255 E-SKM. Hasil Survei. http://skm.Bandung,go,id/survei. (Dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 509).
256 Maryono Erfan. 2009. Dalam Hasil Survei Kualitas Pelayanan Publik Kota Bandung. PRLM Kota Bandung . (Dapat
dilihat pada lampiran 8 halaman 478).

593 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diharapkan dapat mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul dan agar
Kota Bandung lebih tertib dalam penyelenggaraan reklame. Tahapan dalam
penyelenggaraan ini meliputi izin penyelenggaraan reklame serta pola penyebaran
peletakan reklame yang harus memperhatikan keamanan, keselamatan,
kenyamanan masyarakat, estetika, keserasian bangunan dan lingkungan sesuai
dengan rencana kota.
Selain itu, pola penyebaran reklame didasarkan pada kawasan (zoning) yang
terdiri dari kawasan penyelenggaraan reklame dan kawasan tanpa penyelenggaraan
reklame. Penyelenggaraan reklame harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis
penyelenggaraan reklame dari Walikota atau pejabat yang ditunjuk (pejabat BPPT).
Pengendalian, pengawasan dan penertiban didasarkan pada aspek tata ruang,
estetika kota, pengawasan atas kepatuhan dalam penyelenggaraan reklame dan
penertiban yang dilakukan terhadap setiap penyelenggaran reklame tanpa izin, yang
telah berakhir masa izinnya, yang tidak sesuai dengan rekomendasi konstruksi, dan
yang tidak terawat lagi.
Hasil observasi menunjukkan bahwa perizinan, pengendalian, pengawasan,
dan penertiban dalam penyelenggaraan reklame di Kota Bandung belum berjalan
dengan baik dan menjadikan berbagai reklame liar bermunculan. Hal ini disebabkan
oleh lamanya proses perizinan penyelenggaraan reklame dari permohonan sampai
pada penerbitan izin, banyaknya tempat-tempat strategis dalam penyelenggaraan
reklame yang berada di kawasan bebas reklame sehingga beberapa penyelenggara
reklame memaksa memasang di area tersebut, dan kurang terbangunnya
komunikasi yang baik antara aparatur sebagai pelaksana dengan pengusaha sebagai
pemohon pelayanan. Ditemukannya surat izin palsu penyelenggaraan reklame yang
dikeluarkan oleh oknum Satpol PP yang seharusnya hanya dikeluarkan oleh BPPT,
terjadinya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum aparat Satpol PP.
Berbagai masalah faktor penyebab belum berkualitasnya penyelenggaraan
pelayanan publik di daerah saat ini, termasuk di Pemda Kota Bandung, merupakan
masalah nasional yang akar persoalannya hampir sama, yaitu SDM aparatur,
organisasi, tata-laksana, pola pikir, kinerja organisasi, budaya organisasi, inovasi
birokrasi, dan komunikasi birokrasi. Dari faktor-faktor tersebut, peneliti menduga
bahwa faktor “Komunikasi Birokrasi” merupakan faktor dominan yang menyebabkan
belum berkualitasnya penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya di Pemda Kota
Bandung. Komunikasi birokrasi perlu dibangun oleh pemerintah sebagai pelaksana
penyelenggaraan pelayanan publik dalam memberikan pelayanan kepada

594 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
masyarakat. Fungsi komunikasi dalam pemerintahan adalah “untuk mencapai
pengertian satu sama lain, untuk membangun kepercayaan, untuk
mengkoordinasikan tindakan, untuk merencanakan strategi, untuk melakukan
pembagian kerja, untuk melakukan kegiatan kelompok.”257 Tanpa adanya
komunikasi, maka proses pelayanan, peraturan, pengawasan serta hubungan antara
pemerintah dan masyarakat tidak akan berjalan, akhirnya akan berdampak kepada
tidak optimalnya proses pelayanan publik.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas tampak bahwa
kualitas pelayanan publik di Kota Bandung belum optimal. Terdapat berbagai faktor
yang secara potensial mempengaruhi belum berkualitasnya penyelenggaraan
pelayanan publik di Kota Bandung. Belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan
publik dalam izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung diduga oleh faktor
komunikasi birokrasi. Untuk itu peneliti tertarik mengetahui permasalahan ini secara
lebih mendalam dan terdorong melakukan penelitian ilmiah lebih lanjut dengan judul
: ”Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kota Bandung (Studi
Pelayanan Izin Penyelenggaraan Reklame pada Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu)”.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pelayanan publik dalam Izin Penyelenggaraan Reklame pada Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Daerah Kota Bandung ?
b. Apa faktor yang menentukan kualitas pelayanan publik dalam Izin
penyelenggaraan Reklame di Kota Bandung?
c. Apakah faktor yang ditemukan berpengaruh dominan terhadap kualitas pelayanan
publik dalam izin reklame di Kota bandung?

TUJUAN PENELITIAN
Maksud dan tujuan dari penelitian sebagai berikut :
a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kualitas pelayanan publik dalam izin
penyelenggaraan reklame pada BPPT Pemerintah Daerah Kota Bandung.
b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis apa faktor yang menentukan kualitas
pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung.

257Romli Khomsahrial. 2013. Bureaucracy Communication and Government Organizational Culture. The First
Internatioal Conference on Law, Business and Government, UBL, Indonesia

595 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
c. Untuk mendeskripsikan, mengeksplanatory, dan menganalisis faktor yang
ditemukan berpengaruh dominan terhadap kualitas pelayanan publik dalam izin
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung.

KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat berguna atau bermanfaat bagi :
a. Kepentingan Akademik; hasil penelitian ini diharapkan menjadi media untuk
mengaplikasikan berbagai teori yang telah dipelajari khususnya tentang
penyelenggaraan pelayanan publik, dan akhirnya dapat bermanfaat bagi
pengembangan dan pemahaman serta penalaran dan pengalaman peneliti, juga
diharapkan ada guna manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bagi pengembangan khasanah Ilmu Pemerintahan.
b. Kepentingan Praktis; hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi pemangku kebijakan atau para pengambil keputusan untuk
melaksanakan perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan tugas dan fungsinya
khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

TINJAUAN PUSTAKA
Faktor Penyebab buruknya Pelayanan Publik yang ditemukan oleh para
peneliti sebelumnya antara lain: Alamsyah: “perilaku birokrasi yang dipengaruhi oleh
lingkungan luar seperti faktor sosial, ekonomi dan budaya birokrasi”.258 Utama :
“perilaku dan budaya birokrasi”.259 ZET Litbing : “sistem pelayanan, strategi
pelayanan, dan kesadaran pelanggan/ masyarakat”.260 Egetan Maxi : “Perilaku
individu, kemampuan petugas yang masih terbatas, sikap petugas yang kurang
menyenangkan serta adanya motivasi individu yang didorong oleh kebutuhan yang
tidak disediakan organisasi. Perilaku kelompok terdapat ketidaksamaan kepentingan
serta kurangnya kebersamaan, adanya struktur organisasi yang ditandai oleh
kurangnya penerapan spesialisasi, formalisasi organisasi yang rendah serta
organisasi yang sentralistik.”261 Darmawan : “SDM/Kinerja Aparatur Lemah”. 262

258 Alamsyah. 2003. Pengaruh Perilaku Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik (Studi pada Dinas Kabupaten
Lebak Provinsi Banten). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
259 Utama. 2004. Perilaku Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik” (Studi pada Dinas Kependudukan
Catatan Sipil Kota Denpasar). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
260 ZET. Libing. 2008. Perilaku Birokrasi pemerintahan dalam pelayanan publik di Kabupaten Timur Tengah Selatan
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
261 Egetan. Maxi. 2014. Perilaku Birokrasi Pemerintah Dalam Pelayanan Perizinan Kabupaten Minahasa. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
262 Darmawan. 2015. Kinerja Aparatur Dinas Pemakaman dan Pertamanan Dalam Pengawasan Reklame Insidental
di Kabupaten Purwakarta. Disertasi Program Pasca sarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

596 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Suhartono : “Implementasi Kebijakan lemah”. 263 Asropi : “SDM pimpinan, kualitas
dan moralitas SDM, sistem kinerja, inovasi birokrasi dan budaya birokrasi”. 264
Kurniasih Dewi : “Kinerja SDM”.265 Jati : “Aparatur birokrasi, masyarakat belum
percaya terhadap perbaikan manajemen pemerintahan”.266 Firman : “Pengembangan
Inovasi, Teknologi Informasi, Budaya Birokrasi”.267 Pribadi ; “Prinsip Good
Governance”.268 Hanif : “Prinsip Good Governance”.269
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya bahwa peneliti menduga faktor
komunikasi birokrasi sebagai penyebab buruknya pelayanan publik dalam pelayanan
izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung. Untuk dapat mendeskripsikan
tentang pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung
peneliti menggunakan teori Zeithaml tentang dimensi kualitas pelayanan publik, yaitu:
Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurancy dan Emphaty.270 Adapun teori
yang digunakan terkait dengan komunikasi birokrasi menggunakan teori dari Yuwono
tentang faktor-faktor efektivitas Komunikasi melalui dimensi: “Kualitas komunikasi,
informasi yang disampaikan, media dan saluran komunikasi, komunikan dan saluran
komunikasi”.271

Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan mixed methods: penggabungan metode
penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif272. Bogdan dan Taylor berpendapat
bahwa: “Metodologi penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.”273 Creswell berpendapat bahwa: “Metode penelitian
kuantitatif adalah metode penelitian yang menganalisis fenomena khusus yang dapat

263 Suhartono. 2015. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang Penyelenggaraan Reklame Di
Kabupaten Cirebon. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Padjdjaran Bandung
264 Asropi 2008. Budaya Inovasi dan Reformasi. Jurnal Ilmu Administrasi, volume V Nomor 3. September 2008.
Halaman 246 – 255
265 Kurniasih Dewi. 2015. Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Dalam Mewujudkan Good Governance Di
Kota Bandung. Prosiding Dinamika Pemerintahan di Indonesia. September 2015 hlm C9 ISBN 9786027
300903Universitas Brawijaya. Malang
266 Jati Raharjo W Kendala dalam Tataran Implementasi Pergeseran Paradigma Penyelenggaraan Pelayanan
Publik Yang Lebih Transparan, Akuntabel Dan Partisipatif Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 15 Nomor 1,
Juli 2011 ISSN 1410-4946. Universitas Gadjah Mada
267 Firman. 2015. Membangun Inovasi Birokrasi Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi. Prosiding Dinamika
Pemerintahan di Indonesia September 2015 hlm C14 ISBN 9786027 300903. Universitas Brawijata. Malang
268 Pribadi Airlangga Bagaimana good governance yang secara normatif diyakini sebagai desain untuk mengelola
agar pasar bekerja pada kepentingan publik Analisis CSIS Volume 42 No 1, Maret 2013. ISSN1829-5908
269 Hanif. Hasrul. 2013. Proses politik dibalik berbagai upaya reformasi tata kelola pemerintahan yang dilakukan
dalam satu dasawarsa Analisis CSIS Volume 42 No 1, Maret 2013. ISSN1829-5908
270 Zeithaml, valire A : Parasuraman A and Barry Leonard L. 1990. Delivering quality of service : Balancing Customer
Perception and Expectation. New York : The Free Press.
271 Yuwono Ikhtisar Komunikasi Administrasi. Yogyakarta 1985 : 7
272 Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Alfabeta. Jogjakarta
273 Bogdan dan Tayler (dalam Moleong. 2007). Metode Penelitian Kualitatif

597 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
diamati atau diukur dalam dua kategori atau lebih melalui penggunaan variabel.” 274
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mencapai tujuan
eksplanatif, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sekaran and Bougie, yaitu
menjelaskan (to explain) hubungan sebab-akibat (kausalitas) dari satu atau lebih
masalah275.
Berdasarkan analisisnya, penelitian kuantitatif ini menggunakan pendekatan
deskriptif-verifikatif. Menurut Sugiyono, penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan fenomena masalah yang diteliti276. Sedangkan
penelitian verifikatif atau disebut juga penelitian pengujian hipotesis (hypothesis
testing) adalah penelitian yang bertujuan menguji kebenaran teori atau hasil
penelitian yang sudah ada sebelumnya, yang dirumuskan dalam hipotesis
penelitian277. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian kuantitatif
adalah simple random sampling berdasarkan daftar pengguna layanan dari PT
Rajawali Neon. Menurut Sugiyono, dalam teknik simple random sampling, sampel
diambil secara acak/random dari anggota populasi.278 Ukuran sampel minimal
ditentukan melalui teknik power analysis dari Cohen & Cohen yang menentukan
ukuran sampel berdasarkan nilai estimasi koefisien korelasi atau koefisien
determinasi pengaruh sejumlah variabel penyebab terhadap suatu variabel akibat. 279
Perolehan data melaui observasi, wawancara, penyebaran angket. Pengujian model
keberpengaruhan menggunakan Partial Least Square - Structural Equation Modeling.
Adapun langkah-langkah penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif dapat dilihat
pada gambar berikut :

274Cresswell.2007,Research Design,Quantitative and Qualitative Approaches.2003: 59


275Sekaran and Bougie. 2010, Research Design, Quantitative and Qualitative Approaches. 2010 : 165
276Sugiyono. 2009,Metodologi Penelitian. 2009: 2
277Ibid
278Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi. 2012: 61
279Cohen & Cohen. 1983. Applied Multiple Regression/Correlation Analysis for the Behavioral Sciences. 1983: 116-
118

598 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Langkah penelitian kualitatif langkah penelitian Kuantitatif

Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian.

OBJEK, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


OBJEK PENELITIAN
Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah penyelenggaraan pelayanan publik
dalam pelayanan izin penyelenggaraan reklame pada Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu di Kota Bandung.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1) Kualitas Pelayanan Publik (Pelayanan Izin Penyelenggaraan Reklame).
Hasil penelitian kualitas pelayanan publik (pelayanan Izin Penyelenggaraan
Reklame) pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Daerah
Kota Bandung melalui dimensi tangibles/ bukti langsung, reliability/ keandalan,
responsiveness/ daya tanggap, Assurance/ jaminan dan emphaty/ empati dapat
dikatakan belum optimal. Ini terbukti dari mayoritas jawaban informan pada setiap
pertanyaan yang diberikan peneliti menjawab cukup baik, bahkan ada beberapa
informan menyatakan masih kurang terhadap beberapa indikator. Perbedaan
jawaban informan ini diakibatkan dengan banyaknya keterlibatan SKPD dalam izin
penyelenggaraan reklame. Untuk itu pelayanan masih perlu ditingkatkan agar lebih
berkualitas dan mampu memenuhi harapan, tuntutan dan kebutuhan masyarakat
pengguna layanan secara umum. Apabila melihat hasil data primer yang diperoleh
dari beberapa informan maka terlihat bahwa upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik dalam izin penyelenggaraan reklame harus lebih diberi penekanan ke 5
dimensi tersebut yaitu tangibles/ bukti langsung, reliability/ keandalan,
responsiveness/ daya tanggap, Assurance/ jaminan dan emphaty/ empati.

599 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
a. Tangibles / bukti langsung
Aspek pertama yang perlu diberi penekanan adalah aspek tangibles/ bukti
langsung. Aspek ini berkaitan dengan ruang pelayanan izin penyelenggaraan
reklame, peralatan dan perlengkapan kerja, sarana informasi. Dalam hal ini
diperlukan adanya ruang pelayanan yang memadai dalam hal ini dibutuhkan ruang
pelayanan yang terpisah dari setiap clasternya yang disediakan oleh BPPT yang
selama ini dari setiap claster masih berada dalam 1 ruangan besar yang tentunya
dapat mengganggu proses pelayanan. Peralatan dan Perlengkapan kerja yang
memadai serta sarana informasi yang memadai sehingga tercipta rasa aman dan
nyaman serta kenginan masyarakat dapat terpenuhi dan terlayani secara cepat.
Terlebih pada aspek peralatan dan perlengkan dibutuhkan peralatan dan
perlengkapan yang dapat menunjang terhadap sistem online dalam pemberian
pelayanan tersebut, mengingat masih adanya keluhan dari informan perihal komputer
dan sarana wifi tidak memadai untuk mendukung sistem online sehingga akan
berdampak kepada proses pelayanan.
Dalam sarana informasi juga harus ditingkatkan selain melalui iklan, website,
yang bisa diakses oleh kalangan tertentu diharapkan pemerintah dapat memfasilitasi
sarana informasi baik melalui media elektronik maupun melalui media cetak bahkan
dengan menggunakan alat peraga sarana informasi misalnya seperti brosur,
spanduk, poster, stiker dan lain sebagainya yang sekiranya informasi lebih mudah
diserap oleh masyarakat pengguna pelayanan, mengingat tidak semua masyarakat
pengguna layanan dapat mengakses internet sebagai sumber informasi. Dengan
terserapnya informasi oleh masyarakat secara mudah, dan secara cepat maka
syarat-syarat pelayanan dalam proses pelayanan izin penyelenggaraan reklame
dapat diterapkan yakni pelayanan dapat dilakukan secara mudah, cepat dan
berkualitas.
b. Reliability/ Keandalan
Aspek ke dua yang diberi penekanan adalah aspek reliability/ keandalan. Aspek
ini berkaitan dengan keberadaan dan kesiapan pegawai di tempat-tempat pelayanan
dalam memberikan pelayanan izin penyelenggaraan reklame, sehingga masyarakat
yang membutuhkan pelayanan bisa langsung dilayani. Selain itu berkaitan dengan
kreativitas pegawai dalam memberikan pelayanan, keihklasan pegawai dalam
memberikan pelayanan, tepat waktu dalam memproses izin penyelenggaraan
reklame.

600 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dalam rangka merangsang dan menumbuhkan kreativitas pegawai sebagai
pelaksana pelayanan maka pendekatan yang legalistik formal perlu ditingkatkan
dengan pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi kepada kepuasan pengguna
layanan. Untuk itu diperlukan kebebasan dan otonomi yang cukup kepada setiap
pegawai sebagai pelaksana pelayanan, sehingga para aparat pelaksana dapat
mengembangkan kreatifitas untuk mencari dan mengembangkan cara-cara kerja
baru yang lebih mampu memuaskan harapan dan tuntutan dari penggunan layanan
bukan sekedar hanya menjalankan tugas pokok dan fungsinya saja. Kreatifitas
dengan cara mengembangkan cara-cara kerja baru dalam organisasi pemerintahan
itu hal yang sangat penting, karena dengan mengembangkan cara-cara kerja baru
termasuk dalam konsep pelayanan ini akan menciptakan inovasi-inovasi dalam
sistem pemerintahan ketika menjalankan roda pemerintahan. Ivovasi sangat
dibutuhkan karena dengan inovasi dapat melakukan pembaharuan dan bahkan dapat
menemukan sesuatu yang baru yang dapat dijadikan sebuah ciri dari organisasi
pemerintahan termasuk ciri di dalam memberikan pelayanan dalam penyelenggaraan
izin reklame.
Selain itu juga untuk merangsang keikhlasan dalam memberikan layanan dan
ketepatan waktu dalam memproses pelayanan maka diperlukan adanya kesadaran
yang tinggi dari pihak aparatur, bahwa itu sudah merupakan suatu tugas dan
tanggungjawabnya untuk dapat memberikan pelayanan yang baik serta tepat waktu
kepada masyarakat pengguna pelayanan yang akhirnya pengguna layanan merasa
terlayani dan terealisasinya penerapan pelayanan yang unggul salah satu cirinya
yaitu dengan memberikan pelayanan yang cepat dan berkualitas. Tanpa adanya
keikhlasan dari pelaksana pelayanan dalam proses pemberian pelayanan maka akan
memungkinkan terciptanya pelanggaran dalam proses pelayanan yang akan
menodai terhadap kualitas pelayanan tersebut.
c. Responsiveness/ daya tanggap.
Aspek ketiga yang perlu mendapat penekanan perhatian adalah
responsiveness/ daya tanggap. Dalam hal ini berkaitan dengan ketanggapan pegawai
terhadap kesulitan, keinginan dan masalah masyarakat pengguna layanan. Pihak
aparat sebagai pelaksana pelayanan perlu cepat tanggap dan peka serta adanya
rasa peduli terhadap pengguna layanan, dalam hal ini juga perlu mengadakan
pendekatan dengan pihak pengguna layanan, dalam hal ini bahwa pengguna layana
jangan pernah dianggap beban akan tetapi bahwa pengguna layanan kaitannya
pelayanan izin penyelenggaraan reklame anggaplah merupakan suatu potensi bagi

601 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemerintah daerah dan dapat diyakini bahwa kegiatan penyelenggaraan reklame
dapat meningkatkan sumber pendapatan asli daerah, sehingga dengan dijadikannya
pengguna layanan sebagai potensi bagi pemerintah daerah sehingga akan tercipta
suasana yang harmonis antara pihak aparatur sebagai pemberi pelayanan dengan
masyarakat sebagai pengguna pelayanan dan nantinya pihak aparat dan pengguna
layanan adanya saling pengertian dan saling memahami satu sama lain sehingga
permasalahan dalam penyelenggaraan reklame akan teratasi dengan baik. Dengan
teratasinya kegiatan penyelenggaraan reklame yang baik ini akan dapat
meminimalisir pelanggaran terhadap penyelenggaraan reklame dan ini akan
menciptakan kota menjadi tertib, kota menjadi indah dan tata kota sesuia dengan
rencana tata ruang Kota Bandung.
d. Assurance/ jaminan.
Aspek ke empat yang perlu mendapat penekanan perhatian adalah
assurance/ jaminan. Dalam hal ini berkaitan dengan kejelasan informasi,
kesederhanaan prosedur, kepastian waktu dan biaya pelayanan serta adanya
kepastian hukum. Diharapkan tercipta rasa aman, nyaman dalam mengurus
pelayanan izin penyelenggaraan reklame. Yang terjadi selama ini pengguna layanan
seringkali merasa tidak nyaman di awal melakukan proses pelayanan karena
keterbatasan informasi yang dimiliki oleh pengguna layanan, sementara pengguna
layanan untuk mencari informasi awal merasa kesulitan karena petugas di BPPT
sangat terbatas dalam hal ini hanya tersedia 1 scurity yang harus melayani pengguna
layanan dari setiap jenis pelayanan yang ada di BPPT sehingga pengguna layanan
belum cukup informasi petugas dari BPPT sudah harus melayani pengguna layanan
yang lainnya. Dengan minimnya informasi awal ini banyak dari pengguna layanan
yang merasa kebingungan dan akhirnya merasa tidak.
Begitu juga dengan adanya proses pembuatan pelayanan yang cukup lama
diharapkan dengan adanya kepastian biaya dan kepastian waktu serta kepastian
hukum dalam peroses pelayanan penyelenggaraan reklame diharapkan proses
pelayan berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Pengguna layanan
seringkali tidak mengetahui izin pelayanan itu selesai padahal waktu sudah
ditentukan akan tetapi dalam realitanya masih terjadi keterlambatan dalam proses
pelayanan.
Disamping itu prosedur pelayanan yang dialami oleh pengguna layanan,
dengan kurangnya sosialisasi dari pihak aparat sebagai pelaksana layanan tentang
kebijakan penyelenggaraan reklame salah satunya misalnya adalah standar

602 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
operasional prosedur sehingga masyarakat tidak mengetahui prosedur pelayanan
tersebut, tidak memahaminya Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan
reklame. Oleh karena itu pihak aparatur pelaksana pelayanan harus dapat
meningkatkan kegiatan sosialisasi untuk mensosialisasikan kebijakan atau aturan-
aturan yang mengatur kegiatan reklame tersebut, sehingga dengan adanya
sosialisasi dari pihak aparatur pemerintah informasi akan terserap oleh pengguna
layanan secara baik. Dengan adanya informasi yang terserap dengan baik otomatis
masyarakat pengguna pelayanan akan mengetahui dan memahami isi dari kebijakan
penyelenggaraan reklame. Begitu juga dengan standar operasional prosedur perlu di
buat yang sederhana dan mudah dipahami sehingga akan membantu terhadap
proses pelayanan yang lebih berkualitas.
e. Emphaty/ empati
Aspek ke lima yang perlu mendapat penekanan adalah aspek emphaty/ empati.
Aspek ini berkaitan dengan perhatian pegawai dan kesabaran aparat dalam
menjalankan proses penyelenggaraan pemerintahan. Diperlukan adanya perhatian
besar dari aparatur pemerintah pelaksana pelayanan kepada masyarakat pengguna
pelayanan, karena masyarakat sendiri akan merasa lebih diperhatikan dan akan
merasa diberi pelayanan yang baik srta perlu adanya kesabaran yang tinggi dari pihak
aparat untuk memberikan pelayanan yang baik sudah merupakan kewajiban utama
pemerintah sebagai implementasi dari fungsi pemerintahan yaitu memberikan
pelayanan, melakukan pembangunan dan memberdayakan masyarakat.
Belum optimalnya kualitas pelayanan publik dalam penyelenggaraan izin
reklame di Kota Bandung, temuan hasil penelitian yang dilakukan melalui pendekatan
kualitatif menunjukkan bahwa faktor penyebabnya adalah disebabkan oleh faktor
komunikasi birokrasi, dalam hal ini belum terbangunnya komunikasi birokrasi yang
baik atau dapat dikatakan masih rendahnya komunikasi birokrasi yang dilakukan oleh
kedua belah pihak, baik pihak pemerintah sebagai pelaksana pelayanan maupun
masyarakat sebagai pengguna pelayanan.
Hal ini terlihat dari masih kurangnya pemahaman terhadap peraturan yang ada
yang mengatur tentang pelayanan izin penyelenggaraan reklame, kurangnya
sosialisasi terhadap prosedur dan mekanisme pelayanan sehingga volume
penyebaran informasi kurang, informasi kurang terserap dengan baik oleh pengguna
layanan, kejelasan dan kepastian informasi juga masih kurang. Begitu juga minimnya
media informasi dan sarana komunikasi baik melalui media elektronik maupun media
cetak terkait informasi prosedur dan mekanisme pelayanan serta kurangnya volume

603 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
penyebaran informasi pelayanan izin penyelenggaraan reklame sehingga informasi
tidak dapat terserap dengan baik dan ditunjukan dengan beberapa hal lain yang
mengarah terhadap kurang komunikasi birokrasi antara pelaksanan pelayanan
dengan pengguna pelayanan sehingga tidak terbangun komunikasi birokrasi dengan
baik.
Selanjutnya hasil penelitian kualitatif ini peneliti verifikasi melalui penelitian
pendekatan kuantitatif untuk mengetahui berapa besar pengaruh faktor komunikasi
birokrasi terhadap kualitas pelayanan publik dalam pelayanan izin penyelenggaraan
reklame di Kota Bandung. Hasil penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa hasil uji
signifikansi pada model struktural menunjukkan bahwa koefisien jalur dari
Komunikasi Birokrasi (KOMB) terhadap Kualitas Pelayanan Publik (KUPP) teruji
secara signifikan (|t hitung| > t tabel = 1,96). Berdasarkan hasil uji signifikansi tersebut
beserta temuan tentang dominannya pengaruh dari Komunikasi Birokrasi terhadap
Kualitas Pelayanan Publik (R2 = 58,1%) dapat disimpulkan bahwa Komunikasi
Birokrasi merupakan faktor dominan yang berpengaruh positif secara signifikan
terhadap Kualitas Pelayanan Publik dalam pelayanan izin penyelenggaran reklame
pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemda Kota Bandung. (Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.27. Koefisien Jalur dan Uji Signifikansinya pada
halaman 402 serta dapat dilihat pada gambar 5.10. Diagram Model Struktural
Pengaruh Antar Variabel dan Uji Signifikansinya pada halaman 401).
Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dalam
penyelenggaraan izin reklame dengan cara membangun dan meningkatkan
komunikasi birokrasi antara aparatur pemerintah sebagai pelaksana pelayanan
dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan sangatlah diperlukan untuk
memperoleh hasil pelayanan yang berkualitas.
Tujuan dari komunikasi birokrasi ini adalah dapat menjembatani jurang pemisah
yang terjadi dalam organisasi pemerintahan antara pelaksana pelayanan dengan
pengguna pelayanan sehingga keuntungan dari membangun komunikasi birokrasi
dengan baik adalah proses dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan
secara cepat dan tepat dapat diselesaikan, serta dapat mencapai tujuan/ sasaran dari
organisasi pemerintah tersebut yakni terjalin komunikasi birokrasi sehingga dapat
membangun interaksi diantara pelaksana pelayanan dengan pengguna layanan yang
nantinya dapat terwujud proses pelayanan yang berkualitas.
Strategi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang selama ini lebih
berorientasi pada target dan tanggungjawab formal, sedikit banyak telah

604 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mempengaruhi kualitas pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, termasuk
dalam fungsi pelayanan umum. Akibatnya pelaksanaan pelayanan selama ini kurang
menekankan kepada upaya untuk memuaskan masyarakat sebagai pengguna
layanan, akan tetapi lebih menekankan untuk mencapai target dan secara formal
dapat dipertanggungjawabkan. Namun dengan terbangunnya komunikasi yang baik
diantara pelaksana pelayanan dengan pengguna pelayanan dapat diyakini membawa
dampak positif terhadap pelayanan publik, dalam hal ini dapat menciptakan
pelayanan publik yang berkualitas khususnya pelayanan dalam izin penyelenggaraan
reklame di Kota Bandung.

2). Kualitas Komunikasi Birokrasi


Berdasarkan kepada hasil wawancara dengan beberapa informan terhadap
kualitas komunikasi birokrasi melalui 5 dimensi yakni : Kualitas komunikator, proses
penyempaian informasi, sarana atau media, informasi yang disampaikan dan
suasana komunikasi.
Dari ke 5 (lima) dimensi tersebut dapat dikatakan masih kurangnya komunikasi
antara aparatur pemerintah sebagai pelaksana pelayanan dengan masyarakat
sebagai pengguna pelayanan. Oleh karena itu komunikasi masih perlu ditingkatkan
dan komunikasi perlu dibangun antara pelaksana pelayanan dengan pengguna
layanan agar lebih memuaskan dan mampu memenuhi harapan dan keinginan dari
pengguna layanan. Apabil melihat data hasil penelitian maka terihat bahwa upaya
peningkatan kualitas pelayanan dalam izin penyelenggaraan reklame perlu
penerapan komunikasi birokrasi atau perlu membangun komunikasi birokasi antara
penyedia layanan dengan pengguna layanan. Dengan demikian dalam upaya
penerapan komunikasi birokrasi dalam pelayanan publik (pelayanan izin reklame)
harus lebih diberi penekanan kepada 5 dimensi dari kualitas komunikasi birokrasi
tersebut yaitu : Kualitas komunikator, proses penyampaian informasi, sarana atau
media, informasi yang disampaikan serta suasana komunikasi.

a. Kualitas Komunikator
Aspek pertama yang perlu diberi penekanan adalah aspek kualitas
komunikator. Aspek ini berkaitan dengan pemahaman pegawai terhadap peraturan,
ketentuan dan informasi izin penyelenggaraan reklame, tingkat kemampuan pegawai
dalam menyampaikan pikiran, ide dan gagasan, tingkat kemampuan pegawai dalam
menyerap atau memahami keinginan masyarakat, tingkat kemampuan pegawai

605 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dalam menjawab persoalan dan tingkat kemampuan pegawai dalam hal mendapat
kepercayaan dari pengguna layanan.
Kemampuan merupakan syarat mutlat bagi setiap orang termasuk bagi
aparatur Pemerintah Kota Bandung dalam proses pelayanan, baik itu kemampuan
dalam pemahaman terhadap suatu aturan. Karena aturan merupakan sebuah
kebijakan yang harus dilaksanakan. Pemahaman terhadap suatu aturan ini akan
dapat meminimalisisr terjadinya penyimpangan atau pelanggaran dalam menjalankan
tugas dan sebaliknya apabila pemahaman terhadap suatu aturan kurang maka akan
menimbulkan potensi terjadinya pelanggaran. Untuk itu pemahaman terhadap suatu
aturan perlu ditingkatkan dan aturan itu bukan hanya dipahami dan dilaksanakan oleh
pegawainya saja akn tetapi harus disosialisasikan kepada pengguna layanan agar
terselenggaranya kegiatan reklame yang baik dan dalam hal ini juga dapat
membangun komunikasi dan berinteraksi dengan pengguna layanan.
Begitu juga kemampuan dalam menyampaikan ide/ gagasan sangat
diperlukan karena kalau tidak mempunyai kemampuan dalam menyampaikan ide/
gagasan, ini akan terjadi kesalah pahaman yang nantinya akan menimbulkan
permasalahan yang terjadi. Ide atau gagasan merupakan bentuk inovasi seseorang
yang mempunyai peran besar terhadap kemajuan suatu daerah, maka ide dan
gagasan baru itu sangat diperlukan. Selain itu kemampuan untuk memahami
keinginan pengguna layanan juga sangat diperlukan. Intinya dalam hal ini pegawai
harus mempunya kemampuan dalam berbagai aspek termasuk harus mempunya
kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari pengguna layanan. Untuk itu
semua tidak mudah tentunya untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh
pegawai kiranya pemerintah harus memberi kesempatan kepada pegawai untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan baik pelatihan yang sifatnya untuk memperbaiki kinerja
maupun pelatihan yang sifatnya mendukung dalam menjalankan tugas, pokok dan
fungsinya.Miisalnya juga pelru difasilitasi hal-hal yang terkait dengan peningkatan
kualitas kepemimpinan pegawai. Pegawai dengan memiliki kepemimpinan yang
bagus yang diimbangi dengan kemampuan maka akan dapat mempercepat proses
pelayanan dan dengan memberikan pelayanan yang baik ini juga akan dapat
membangun komunikasi denganbaik dengan para pengguna layanan karena terjadi
komunikasi yang baik sehingga kepercayaan dari pengguna layanan juga akan
meningkat.

606 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
b. Informasi yang disampaikan
Informasi merupakan sarana yang penting dalam proses pelayanan termasuk
dalam pelayanan izin penyelenggaraan reklame. Dengan adanya Informasi yang
benar maka akan membawa dampak positif dan dapat membantu proses pelayanan
lebih cepat, dalam hal ini pegawai harus mampu memberikan informasi yang benar
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dengan pelayanan izin
penyelenggaraan reklame. Aspek-aspek toleransi terhadap pelanggaran yang terjadi
pada aturan/ regulasi/ kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan reklame
harus dihindari, sehingga dalam hal ini diperlukan kebenaran dalam penyampaian
informasi tersebut baik kebenaran informasi terkait dengan aturan/ kebijakan,
kebenaran tentang syarat pelayanan izin penyelenggaraan reklame, kebenaran
informasi tentang mekanisme pelayanan, kebenaran tentang waktu dan biaya
pelayanan dan sebagainya.
Begitu juga tentang keterkaitan antara informasi yang diberikan dengan
informasi yang dibutuhkan oleh pengguna layanan. Dalam hal ini pegawai harus
dapat menyampaikan informasi yang benar-benar relevan. Informasi yang
disampaikan ini dengan harapan dapat membantu proses pelayanan yang lebih
cepat. Dengan demikian informasi yang disampaikan dapat terserap dengan baik
oleh pengguna layanan sehingga tidak terjadi salah pengertian.

c. Sarana komunikasi atau Media


Media merupakan suatu alat bantu yang dijadikan sarana untuk membangun
komunikasi dua arah. Media ini banyak macamnya, seperti saluran telefon, media
cetak (brosur, stiker, poster, spanduk dan lain-lain), media elektronik (telefisi, radio
dan sebagainya), bahkan termasuk media sosial saat ini yang sedang marak yang
lebih banyak dilakukan oleh semua pihak. Dengan adanya berbagai media ini
diharapkan dapat menjembatani dua arah tersebut. Media juga diharapkan dapat
menyampaikan pesan kepada pihak lain. Penggunaan media saat ini sdah banyak
dilakukan artinya adalah bahwa media diyakini merupakan sarana yang paling tepat
untuk menyampaikan informasi.
Dalam kaitannya dengan pelayanan izin penyelenggaraan reklame di BPPT
Kota Bandung belum banyak menggunakan media baik itu media cetak maupun
media elektronik. Misalnya saja minimnya informasi yang disampaikan lewat brosur,
tidak adanya poster , stiker untuk menyampaikan informasi, minimnya penggunaan
telefon untuk menyampaikan infomasi. BPPT memang sudah menyampaikan

607 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
informasi layanan lewat website BPPT akan tetapi dalam hal ini permasalahan timbul
yakni pengguna layanan masih banyak yang belum dapat mengoperasionalkan
internet. Untuk itu pemanfaatan media dalam bentuk lainya seperti brosur, postre,
spanduk, stiker dan yang lainnya perlu ditingkatkan dan begitu juga perlunya
peningkatan volume penyuluhan terkait dengan informasi pelayanan.

d. Penyampaian informasi
Informasi yang jelas dapat membantu proses pelayanan dengan cepat
begitu juga dengan informasi yang cukup ini akan mempermudah proses ppelayanan
karena unsur yang terlibat dalam proses pelayanan sudah memahami ketentuan,
mekanisme dan unsur lain yang terkait dengan proses pelayanan tersebut. Untuk itu
kejelasan dan kecukupan informasi sangat dibutuhkan karena ini juga secara tidak
langsung terjadinya interaksi dari pihak-pihak terkait yang tentunya bisa membangun
komunikasi dengan baik. Untuk kejelasan informasi ini perlu diawali dengan adanya
pemahaman yang baik.
Selain kejelasan informasi yang diberikan kepada pengguna layanan,
kepastian informasi dalam pelayanan pun perlu disampaikan. Kepastian informasi ini
terkait dengan waktu, biaya pelayanan, tatacara pelayanan, syarat pelayanan dan
lain sebagainya. Dalam hal ini pengguna layanan harus benar-benar memahaminya.
Tentunya pemahaman terhadap kepastian waktu dan kepastian biaya, tatacara
pelayanan, syarat pelayanan ini sebelumnya perlu adanya penyampaian informasi
dari pelaksana pelayanan. Penyampaian informasi ini volumenya perlu ditingkatkan
dan harus bersifat rutin, dengan adanya kegiatan sosialisasi yang rutin maka
kejelasan dan kepastian informasi akan tersampaikan dengan baik dan masyarakat
akan dapat menyerap informasi dengan baik juga sehingga kegiatan pelayanan akan
berkualitas.
Berkualitasnya sebuah pelayanan ini juga harus didukung oleh adanya
konsistensi/ keajegan dalam penyampaian informasi. Penyampaian informasi jangan
dilakukan secara tidak konsisten karena akan menimbulkan kesulitan pemahamn
bagi para pengguna layanan dan dalam hal ini dengan tidak konsistennya dalam
penyampaian informasi maka akan berpengaruh kepada kualitas pelayanan. Untuk
tetap menjaga konsistensi penyampaian informasi tatacara pelayanan maka
penyampaian informasi itu harus dilakukan oleh pegawai yang benar-benar
memahami terhadap hal tersebut.

608 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
e. Suasana Komunikasi
Komunikasi merupakan proses terjadinya interaksi antara dua belah pihak
atau lebih. Suasana komunikasi dapat mempengaruhi terhadap baik buruknya
interaksi. Suasanan komunikasi juga dapat membangun baik buruknya komunikasi
yang terjadi. Beberapa faktor yang dapat menciptakan suasana komunikasi antara
lain adanya transparansi dari pelaku komunikasi, kejujuran, keakraban antara
pelaksana dan pengguna layanan serta adanya keadilan dari pelaksana layanan.
Faktor ini semua dapat mempengaruhi terjadinya suasana komunikasi yang baik
apabila diterapkan dan sebaliknya akan membuat suasana komunikasi yang kurang
baik apabila hal tersebut tidak diterapkannya.
Transparansi terhadap waktu, biaya dan tatacara dalam proses pelayanan
sangat diperlukan untuk menghindari adanya penyimpangan dalam sebuah proses
pelayanan, dalam hal ini perlu juga adanya kejujuran dari pelaksana pelayanan
terutama dalam masalah waktu dan biaya pelayanan untuk menghindari adanya
pungutan di luar ketentuan yang telah ditentukan dan untuk menghindari
keterlambatn dalam memproses layanan tersebut. Kejujuran merupakan sifat
seseorang yang saat ini sudah sulit ditemukan. Kejujuran pegawai ini akan membawa
dampak positif terhadap proses pelayan dan akan menimbulkan suasana keakraban
antara dua belah pihak, akan tetapi sebaliknya apabila didasari dengan ketidakjujuran
dalam melaksanakan tugas pokoknya maka kepercayaan dari pengguna layanan
tidak akan terwujud dan tidak akan terbangun komunikasi yang baik. Untuk itu untuk
membangun komunikasi yang baik, untuk dapat menciptakan kualitas dalam
pelayanan khususnya pelayanan izin reklame dibutuhkan adanya sifat transparnsi
dari pegawai, diperlukan adanya kejujuran dari pegawai, perlu membangun
harmonisasi antara pegawai dengan pengguna layanan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas komunikasi dapat
ditentukan oleh kualitas komunikator dengan cara mempunyai kemampuan dalam
berbagai aspek, kebenaran, ketepatan informasi yang disampaikan, sarana
komunikasi yang memadai, penyampaian informasi yang jelas, cukup, pasti serta
volume penyebaran informasi serta perlu menerapkan prinsip transparansi dan
keadilan.

609 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3) Pengaruh Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik
Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif, hasil uji pengaruh Komunikasi
Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik menunjukkan bahwa Komunikasi
Birokrasi berpengaruh signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Publik. Arah pengaruh
Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik adalah positif. Hal ini berarti
bahwa Komunikasi Birokrasi yang lebih baik mempunyai kecenderungan untuk
mendorong Kualitas Pelayanan Publik yang lebih tinggi. Derajat pengaruh
Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik tergolong kuat dengan
pengaruh sebesar 58,1% (>50%). Temuan ini membuktikan bahwa Komunikasi
Birokrasi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik.
Temuan lain dari penelitian ini adalah karakteristik dari Komunikasi Birokrasi
dalam meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik. Berdasarkan analisis
karakteristiknya, Sarana Komunikasi merupakan karakteristik dominan dari
Komunikasi Birokrasi dengan koefisien pengukuran sebesar 3 = 0,803; setelah itu
Penyampaian Informasi ( 4 = 0,797); Suasana Komunikasi ( 5 = 0,572); Informasi
yang Disampaikan ( 2 = 0,512); dan Kualitas Komunikator ( 1 = 0,507). Sedangkan
Daya Tanggap merupakan karakteristik dominan dari Kualitas Pelayanan Publik
dengan koefisien pengukuran sebesar 8 = 0,916; setelah itu Jaminan ( 9 = 0,755);
Keandalan ( 7 = 0,733); Empati ( 10 = 0,706); dan Bukti Langsung ( 6 = 0,590).
Hasil penelitian kuantitatif di atas menunjukkan bahwa penguatan komunikasi
birokrasi; yang ditandai dengan makin membaiknya sarana komunikasi,
penyampaian informasi, suasana komunikasi, informasi yang disampaikan, dan
kualitas komunikator; akan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Terungkap
bahwa sarana komunikasi merupakan karakteristik yang dominan dari komunikasi
birokrasi dan daya tanggap merupakan karakteristik dominan dari kualitas pelayanan
publik. Sebagai implikasi teoritis, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
komunikasi birokrasi merupakan determinan dominan bagi kualitas pelayanan publik.
Sebagai implikasi praktis, temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan publik dalam pelayanan izin penyelenggaraan reklame pada BPPT Pemda
Kota Bandung secara strategik dapat ditingkatkan melalui perbaikan komunikasi
birokrasi dengan prioritas perbaikan pada sarana komunikasi, penyampaian
informasi, suasana komunikasi, informasi yang disampaikan, dan kualitas
komunikator. Sesuai karakteristiknya, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
juga perlu diprioritaskan pada perbaikan daya tanggap, jaminan, keandalan, empati,
dan bukti langsung.

610 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
peneliti dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung belum
optimal dilaksanakan, ditunjukkan dengan jawaban dari informan melalui
beberapa indikator menyatakan pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan
reklame cukup, bahkan ada beberapa jawaban informan yang menyatakan
kurang. Diperkuat oleh hasil penelitian kuantitatif dengan Skor total variabel
Kualitas Pelayanan Publik yang terdiri dari 18 indikator untuk 30 pengguna
layanan yang diteliti sebesar 1659, sedangkan skor total persentasenya sebesar
51,8%. Hasil kategorisasi menunjukkan skor total persentase dari Kualitas
Pelayanan Publik terletak antara batas median dan kuartil III (antara 50% s/d
<75%). Posisi ini menunjukkan tingkat Kualitas Pelayanan Publik untuk
pelayanan izin penyelenggaraan reklame pada BPPT Pemda Kota Bandung
tergolong cukup.
2. Faktor dominan yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan pelayanan
publik dalam izin penyelenggaraan reklame adalah faktor komunikasi birokrasi.
Ditunjukkan dengan hasil jawaban dari informan yang menyatakan bahwa kurang
sosialisasi terhadap aturan yang ada, pegawai belum dapat merespon keinginan
masyarakat, pegawai belum dapat menyelesaikan permasalahan pengguna
layanan, semua ini mengarah kepada tidak terbangunnya komunikasi dan
interaksi antara pelaksana pelayanan dan pengguna layanan masih lemah.
3. Hasil penelitian menunjukkan temuan bahwa faktor komunikasi birokrasi
merupakan penyebab belum optimalnya pelayanan publik dalam pelayanan izin
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung. Ini diperkuat dengan hasil penelitian
kuantitatif yang menunjukkan bahwa seluruh item Komunikasi Birokrasi teruji
valid. Koefisien korelasi antara skor item dengan skor total seluruh item
seluruhnya positif dan signifikan. Faktor Komunikasi Birokrasi berpengaruh
secara signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Publik. Tampak bahwa |t hitung|
dari koefisien jalur Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik
bernilai lebih besar dari t tabel = 1,96. Menunjukan pengaruh positif yang kuat
dari Komunikasi Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik. Arah pengaruh
positif merujuk pada nilai yang positif. Ini artinya semakin baik Komunikasi
Birokrasi, semakin baik Kualitas Pelayanan Publik.

611 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
4. Hasil uji signifikansi pada model struktural menunjukkan bahwa koefisien jalur
dari Komunikasi Birokrasi (KOMB) terhadap Kualitas Pelayanan Publik (KUPP)
teruji signifikan (|t hitung| > t tabel = 1,96). Berdasarkan hasil uji signifikansi ini
beserta temuan tentang dominannya pengaruh dari Komunikasi Birokrasi
terhadap Kualitas Pelayanan Publik (R2 = 58,1%) dapat disimpulkan bahwa
Komunikasi Birokrasi merupakan faktor dominan yang berpengaruh positif
secara signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Publik dalam pelayanan izin
penyelenggaran reklame pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT)
Pemda Kota Bandung.

REKOMENDASI
Atas dasar beberapa kesimpulan tersebut, maka peneliti dapat memberi
rekomendasi baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun rekomendasi
tersebut sebagai berikut:
1. Teoritis
a. Dengan ditemukannya faktor komunikasi birokrasi sebagai faktor
dominan yang menentukan belum optimalnya pelaksanaan pelayanan
publik dalam pelayanan izin penyelenggaraan reklame maka diharapkan
adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor lain yang menentukan
belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan publik dalam pelayanan
izin penyelenggaraan reklame di Kota Bandung.
b. Dari hasil penelitian lanjutan tersebut diharapkan menemukan faktor-
faktor lain selain faktor komunikasi birokrasi yang menentukan belum
optimalnya pelayanan publik dalam pelayanan izin penyelenggaraan
reklame di Kota Bandung sehingga dapat memperkaya khasanah
pengembangan keilmuan dalam Ilmu Pemerintahan.
2. Praktis
a. BPPT Kota Bandung dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi kepada
pengguna layanan terkait dengan peraturan-peraturan, ketentuan-
ketentuan dan mekanisme tentang pelayanan khususnya pelayanan izin
reklame.
b. Perlu dibangunnya komunikasi yang baik antara penyedia layanan dan
pengguna layanan misalnya melalui penyelesaian masalah pengguna
layanan, memahami keinginan pengguna layanan serta dapat menjawab
pertanyaan dari pengguna layanan.

612 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
c. Selalu diupayakan cepat tanggap dan peka serta adanya rasa peduli
terhadap aspirasi pengguna layanan selama aspirasi tersebut merupakan
aspirasi yang dapat membawa kemajuan dan keberhasilan bagi
Pemerintah Daerah Kota Bandung.
d. Pegawai senantiasa selalu kreatif/ mencari cara kerja yang lebih baik
untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas.
e. BPPT Kota Bandung perlu memberikan rasa kenyamanan kepada
pengguna layanan dalam proses layanan dengan cara menambah
pegawai untuk menyampaikan informasi awal kepada pengguna layanan.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. 2003. Pengaruh Perilaku Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik
(Studi pada Dinas Kabupaten Lebak Provinsi Banten). Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
Asropi 2008. Budaya Inovasi dan Reformasi. Jurnal Ilmu Administrasi, volume V
Nomor 3. September 2008. Halaman 246 – 255
Bogdan dan Tayler (dalam Moleong. 2007). Metode Penelitian Kualitatif.
Cohen & Cohen. 1983. Applied Multiple Regression/Correlation Analysis for the
Behavioral Sciences.
Cresswell.2003,Research Design,Quantitative and Qualitative Approaches.Alih
bahasa oleh Angkatan III dan KIK UI bekerjasama dengan Nur Khabibah.
Jakarta.KIK Press.
Darmawan. 2015. Kinerja Aparatur Dinas Pemakaman dan Pertamanan Dalam
Pengawasan Reklame Insidental di Kabupaten Purwakarta. Disertasi Program
Pasca sarjana Universitas Padjadjaran Bandung
Dwiyanto, Agus.2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan, Yogyakarta.Universitas Gajah Mada.
Egetan. Maxi. 2014. Perilaku Birokrasi Pemerintah Dalam Pelayanan Perizinan
Kabupaten Minahasa. Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung
E-SKM. Hasil Survei. http://skm.Bandung,go,id/survei. (Dapat dilihat pada lampiran 8
halaman 509).
Firman. 2015. Membangun Inovasi Birokrasi Melalui Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Prosiding Dinamika Pemerintahan di Indonesia September 2015
hlm C14 ISBN 9786027 300903. Universitas Brawijata. Malang

613 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Hanif. Hasrul. 2013. Proses politik dibalik berbagai upaya reformasi tata kelola
pemerintahan yang dilakukan dalam satu dasawarsa Analisis CSIS Volume
42 No 1, Maret 2013. ISSN1829-5908
Jati Raharjo W Kendala dalam Tataran Implementasi Pergeseran Paradigma
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Lebih Transparan, Akuntabel Dan
Partisipatif Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 15 Nomor 1, Juli 2011
ISSN 1410-4946. Universitas Gadjah Mada
Kurniasih Dewi. Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Dalam Mewujudkan
Good Governance Di Kota Bandung. 2015. Universitas Brawijaya. Malang
Martini. Sally.2013. Anggota Badan Pekerja ICW. Hasil survei ICW tentang
Kepuasan Pelayanan Publik di Kota Bandung.
Maryono Erfan. 2009. Dalam Hasil Survei Kualitas Pelayanan Publik Kota Bandung.
PRLM Kota Bandung . (Dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 478).
Plato dalam Supriatna Tjahya. 1996. Administrasi, Birokrasi dan Pelayanan publik.
Jakarta. PT N Multima. hlm : 68.
Pribadi Airlangga Bagaimana good governance yang secara normatif diyakini
sebagai desain untuk mengelola agar pasar bekerja pada kepentingan publik
Analisis CSIS Volume 42 No 1, Maret 2013. ISSN1829-5908
Rasyid . Muhammad Ryas.1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik
Orde Baru. Jakarta : Yarsip Watampone.
Romli Khomsahrial. 2013. Bureaucracy Communication and Government
Organizational Culture. The First Internatioal Conference on Law, Business
and Government, UBL, Indonesia
Sancoko, Bambang. 2010. Pengaruh Remunerasi Terhadap Kualitas Pelayanan
Publik. Jurnal Birokrasi dan Bisnis Jurusan Ilmu Administrasi dan Organisasi,
Januari – April 2010 hal 35-51 ISSN : 0854 3844.
Sekaran and Bougie. 2010, Research Design, Quantitative and Qualitative
Approaches.Research Methodsbfor Bisnis : A Skill Building Approuch.John
Wiley & Sons Ltd. UK.
Sugiyono . 2009. Metode Penelitian. Alfabeta Bandung
............................. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Alfabeta.
Bandung
............................. 2012. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung .

614 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Suhartono. 2015. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang
Penyelenggaraan Reklame Di Kabupaten Cirebon. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Universitas Padjdjaran Bandung
Utama. 2004. Perilaku Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik” (Studi
pada Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kota Denpasar). Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Yuwono. 1985. Ikhtisar Komunikasi Administrasi. Yogyakarta.
ZET. Libing. 2008. Perilaku Birokrasi pemerintahan dalam pelayanan publik di
Kabupaten Timur Tengah Selatan Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Bandung.
Zeithaml, valire A : Parasuraman A and Barry Leonard L. 1990. Delivering quality of
service : Balancing Customer Perception and Expectation. New York : The
Free Press.

615 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KEPENDUDUKAN
Studi tentang Pelaksanaan Penegasan
Status Kewarganegaraan Melalui Pemberian Kartu Tanda
Penduduk (KTP) bagi Migran Philippina Selatan
di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014
Oleh: Burhan Niode280

Abstrak
Sejak dekade 1980-an telah terjadi migrasi orang-orang keturunan Sangir-
Talaud dan Philippina dari Philippina Selatan ke Indonesia. Mereka tinggal di
beberapa kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Sulawesi Utara, walaupun
kehadiran mereka meresahkan dan mendapat resistensi dari penduduk lokal.
Sebaliknya, di Kabupaten Kepulauan Talaud, ada 321 migran yang sudah diberikan
penegasan sebagai WNI melalui pemberian Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak
tahun 2010 s/d 2014. Penelitian ini mengkaji tentang pertimbangan melaksanakan
penegasan status kewarganegaraan melalui pemberian KTP kepada migran Philipina
Selatan di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap sejumlah informan yang mewakili
pejabat pemerintahan di lingkungan Kabupaten Kepulauan Talaud. Informan
penelitian ditentukan melalui teknik purposive sampling. Teknik validasi data
dilakukan melalui triangulasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan melaksanakan penegasan
status kewarganegaraan melalui pemberian KTP kepada migran Philipina Selatan di
Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014 adalah: ketidaktersedianya institusi
pengadilan yang dapat memutuskan status kewarganegaraan, kendala geografis,
dan pengurusannya melalui suatu proses yang panjang.
Kata Kunci: pelayanan publik, migrasi, kewarganegaraan, illegal entry, legal entry,

Abstract
Since the 1980s, descendants of people of Sangir-Talaud and Filipinos have
migrated from Southern Philippines to Indonesia legally and illegally. They live in
some districts in the Province of North Sulawesi in Indonesia despite the resistance
from local communities. On the other hand, there are 321 migrants from southern
Philippines in the District of Talaud Islands who have been confirmed as Indonesian
citizens through the provision of Indonesian Identity Card (KTP) from 2010 to 2014.
This study examines the consideration of implementing assertion of citizenship status
through the provision of Indonesian Identity Card (KTP) to Southern Philippines
migrants in the Distict of Talaud Islands 2010-2014.
This study used qualitative methods. Data was collected through in-depth
interviews to a number of informants who representing the government officials in the
District of Talaud Islands. The informants are determined through purposive sampling
techniques. Data validation techniques performed through triangulation.
The results showed that consideration of implementing assertion of citizenship
status through the provision of Indonesian Identity Card (KTP) from 2010 to 2014 are:

280 Mahasiswa program pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran / burhan.niode@yahoo.com

616 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
lack of judiciary to decide the status of citizenship, geographical constraints, and the
governing through a long process.
Keywords: public services, migration, citizenship, illegal entry, legal entry.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu wilayah di Indonesia yang berbatasan laut dengan Philippina
adalah wilayah perbatasan Sangihe-Talaud. Wilayah perbatasan ini secara
administratif berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan
Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Wilayah ini memiliki beberapa permasalahan,
antara lain, adanya migrasi penduduk dari dan ke kedua negara secara ilegal (illegal
entry) (Salindeho dan Sombowadile, 2008 : 232-236; Ulaen, 2012 : 133-134).
Migrasi penduduk di wilayah perbatasan Indonesia- Philippina ini sudah terjadi
jauh sebelum kedua negara memperoleh kemerdekaan, dan tidak menimbulkan
permasalahan karena pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada waktu itu tidak
mementingkan masalah batas teritorial serta identitas dari bangsa yang didudukinya,
selama kepentingan mereka tidak terganggu (Ramos dalam Tan-Cullamar, 1993 : 41;
Ulaen, 2003 : 17).
Pasca kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan Philippina, batas-batas
geografis di kedua negara mulai diatur termasuk pengaturan tentang lalu-lintas
penduduk dan barang antar kedua negara. Konsekuensinya bahwa lalu lintas
penduduk dan barang harus melalui Border Crossing Entry and Exit Station agar tidak
disebut sebagai illegal entry .
Sejak dekade 80an mulai terjadi migrasi orang-orang keturunan Sangir-
Talaud dari Philippina Selatan ke Indonesia baik secara legal maupun illegal (Raharto
et al., 1993, p. 36). Hingga kini migrasi penduduk tersebut terus berlangsung, dan
para migran tersebar di wilayah kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Sulawesi
Utara. Keberadaan mereka di Bitung (Ibukota Kota Bitung)281 dan di Tahuna (Ibukota
Kabupaten Kepulauan Sangihe) diperlakukan sebagai warga negara asing karena
tidak memiliki identitas sebagai orang Indonesia. Bahkan keberadaan mereka di
Tahuna meresahkan dan mendapat resistensi dari penduduk lokal.282 Sebaliknya, di
Kabupaten Kepulauan Talaud terdapat 321 migran Philippina Selatan yang sudah

281 Melalui <http:// nasional . news . viva . co.id / news / read / 293056-intelijen-awasi-wna-filipina-ilegal-di-
sulut>[20/4/15]; Melalui <http:// regional. kompas. Com / read / 2012/02/29/20481640/ 1.000. Orang.
Sangir.Filipina.Terlunta.lunta.di.Bitung> [20/4/15]; Terdapat 1281 migran yang berasal dari Philippina Selatan yang
tidak memiliki dokumen kependudukan yang tinggal di Kota Bitung (hasil wawancara dengan Kepala Bidang Ideologi
dan Politik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bitung, tanggal 1 Mei 2015).
282 Harian Manado Pos, 5 Juni 2014.

617 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
memperoleh penegasan sebagai warga negara Indonesia (WNI) melalui pemberian
kartu identitas kependudukan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) selang waktu 2010-
2014.283
Berdasarkan pada fenomena di atas maka kajian terhadap pelaksanaan
pewarganegaraan melalui pemberian KTP di Kabupaten Kepulauan Talaud terhadap
migran Philippina Selatan relevan untuk dilakukan karena hal tersebut berkaitan erat
dengan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik
di bidang kependudukan.
Penelitian-penelitian yang mengkhususkan kajian pada migran asal Philippina
Selatan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pertama, Tan-Cullamar (1993),
mengkaji tentang diaspora Indonesia di Philippina Selatan. Kedua, Raharto dkk.,
(1993), meneliti tentang potensi yang dimiliki dan potensi alam serta usaha yang
bisa dikembangkan di wilayah yang ingin dituju (daerah tujuan) di Indonesia untuk
menunjang kehidupan para migran yang berasal dari Philippina bagian selatan yang
ingin melakukan migrasi ke Indonesia. Ketiga, Velasco (2010), mengkaji tentang isu-
isu yang yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Philippina, khususnya di
wilayah perbatasan Indonesia. Keempat, Kimbal dkk. (2014), melakukan kajian
terhadap identitas dan sebaran pelintas batas illegal asal Philippina Selatan di wilayah
Propinsi Sulawesi Utara. Kelima, Pristiwanto (2014), mengkaji tentang aktivitas
pelintas batas di daerah perbatasan Indonesia-Philippina. Dan keenam, Niode
(2015), melakukan kajian tentang implementasi dari aturan yang mengatur tentang
mobilitas penduduk dan barang di wilayah perbatasan Indonesia-Philippina.
Posisi penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Penelitian
ini memfokuskan pada pelaksanaan pemberian penegasan status kewarganegaraan
melalui pemberian KTP bagi migran yang berasal dari Philippina Selatan di
Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014.
Pilihan terhadap Kabupaten Kepulauan Talaud sebagai lokasi penelitian
didasarkan pada pertimbangan bahwa di wilayah ini terdapat 321 migran asal
Philippina Selatan yang sudah diberikan status politik kewarganegaraan Indonesia
melalui pemberian KTP. Selain itu, kabupaten ini secara geografis berbatasan laut
dengan Philippina sehingga wilayah ini menjadi daerah asal dari penduduk Indonesia
yang akan melakukan migrasi ke Philippina Selatan, sekaligus menjadi daerah tujuan
dari migran asal Philippina Selatan yang akan melakukan migrasi ke Indonesia.

283Harian Mando Pos, 13 Juni 2014; Hasil wawancara dengan mantan Kepala Dinas Catatan Sipil (Discapil)
Kabupaten Talaud, periode 2010-2014.

618 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pembatasan waktu studi, yaitu tahun 2010-2014, karena pertimbangan bahwa
pada periode itu terdapat 321 migran asal Philippina Selatan yang sudah diberikan
status politik kewarganegaraan Indonesia karena sudah diberikan KTP.

RUMUSAN MASALAH
Faktor-faktor apakah yang menjadi pertimbangan sehingga pemberian
penegasan status kewarganegaraan melalui pemberian KTP kepada migran Philipina
Selatan dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014?

TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui faktor-faktor apakah yang menjadi pertimbangan sehingga
pemberian penegasan status kewarganegaraan melalui pemberian KTP kepada
migran Philipina Selatan di laksanakan Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-
2014.

TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan Publik
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
dinyatakan bahwa pelayanan public adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan
pelayanan ssuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atau barang dan/jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan public.
Dalam Keputusan Menpan-RI Nomor Kep/M.Pan/7/2003 dinyatakan bahwa
pelayanan public adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah dan lingkungan BUMN/BUMD dalam
bentuk (penyediaan/pemberian) barang atau jasa, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan.
Berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, Warsito (1999 : 5)
berpendapat bahwa pelayanan umum adalah pemberian jasa oleh pemerintah
kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan
atau kependingan masyarakat. Selanjutnya Subarno (dalam Dwiyanto dan
Kusurnasari, 2006 : 136) menyatakan bahwa pelayanan umum diistilahkan dengan
pelayanan public merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi
public untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna.

619 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Dalam perspektif administrasi public, pelayanan merupakan proses kegiatan
pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan hak-hak dasar dan hak-hak pemberian,
yang wujudnya dapat berupa jasa dan pelayanan. Bagi pemerintah, masalah
pelayanan menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah
satu dari tiga fungsi pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan
(Rasjid, 1998 : 48). Berkaitan dengan hal itu maka pemerintah dapat dikatakan
sebagai suatu institusi yang menyelenggarakan tugas negara.
Dari berbagai perspektif di atas menujukan bahwa pelayanan public
merupakan suatu kebutuhan yang strategis dan menjadi kewajiban birokrasi
pemerintah untuk menyediakan meskipun tanpa diminta oleh masyarakat. Hal
penting yang menjadi indikator untuk pengukuran keberhasilan pelayanan public
yang diberikan adalah persamaan (equality) yang berarti bahwa setiap warga negara
harus memiliki akses yang sama untuk memperoleh pelayanan yang dibutuhkan.
Berdasarkan pada berbagai pengertian pelayanan umum ataupun pelayanan
public tersebut di atas maka tugas-tugas pelayanan masyarakat oleh aparat
pemerintah daerah (desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten) dapat dijabarkan
kedalam berbagai bidang, diantaranya adalah: (1) pelayanan berkaitan dengan
persoalan-persoalan kependudukan; (2) pelayanan yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan ketertiban dan keamanan; (3) pelayanan yang berkaitan dengan
kesejahteraan; (4) pelayanan yang berhubungan dengan pengembangan
perekonomian; dan (5) pelayanan yan g berkaitan dengan pembinaan politik.

Kewarganegaraan
Kewarganegaraan dapat diperoleh dengan dua cara yang berbeda, yaitu
melalui kelahiran dan melalui imigrasi (Cole dalam Calder dkk., eds., 2010 : 6-7).
Kewarganegaraan atas dasar kelahiran sendiri bisa diperoleh dalam dua cara yang
berbeda. Pertama, dengan dilahirkan dalam wilayah negara, terlepas dari status
orang tua seseorang (jus soli). Misalnya seorang anak yang lahir di negara X akan
mendapatkan kewarganegaraan dari Negara X. Dan kedua, oleh yang lahir dari orang
tua, setidaknya satu dari mereka sudah menjadi warga negara (jus sanguinis).
Misalnya seseorang anak yang lahir dari orang tua yang berkewarganegaraan Y akan
mendapatkan kewarganegaraan dari Negara Y. Kewarganegaraan oleh imigrasi juga
dapat diperoleh dengan dua cara. Pertama, dengan memperoleh hubungan dengan
seseorang yang sudah warga negara, misalnya melalui perkawinan. Kedua, melalui
lama tinggal di suatu Negara.

620 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Keempat metode tersebut dalam praktek mengalami berbagai interpretasi,
dan negara memiliki kontrol terbatas untuk memanipulasi empat kondisi
kewarganegaraan tersebut. Coleman dan Harding (1995 : 34) misalnya membuat
perbedaan antara negara-negara yang memiliki perhatian dengan melestarikan
semacam identitas budaya, dan mereka yang tidak:
Kompleksitas lain yang berkaitan dengan memperoleh kewarganegaraan
melalui imigrasi terletak pada kenyataan bahwa calon imigran harus menyeberangi
ruang yang kompleks sebelum menjadi warga negara (Cole dalam Calder dkk., eds.,
2010, p. 7). Pertama, mereka harus mengakses wilayah geografis, dan ini mungkin
memerlukan mereka menjadi illegal, tidak teratur, atau imigran gelap (undocumented
immigrants). Kedua, mereka dapat membangun legal presence dalam wilayah, tetapi
semakin legal presence menjadi tidak stabil sehingga sebagian besar migran
bergerak dari legal presence menjadi status illegal. Ketiga, migran dapat mengakses
hak untuk menetap tanpa batas sehingga menjadi penghuni. Keempat, mereka dapat
memperoleh kewarganegaraan secara hukum, dan menjadi warga negara penuh dari
suatu komunitas politik. Dan kelima, mereka dapat mengakses identitas nasional.
Akses hukum untuk kewarganegaraan menurut Cole (dalam Calder dkk., eds.,
2010, p. 8) selalu bervariasi oleh lokasi kelahiran (location of birth), dengan
kewarganegaran dari orang tua atau kakek-nenek (nationality of parents or
grandparents), dengan lama tinggal (length of residence), melalui kerja (through
work), melalui pernikahan (through marriage), dengan menampilkan kemampuan
civic (displaying sufficient civic), pengetahuan sejarah atau kultural (cultural or
historical knowledge), memiliki kesehatan yang baik (being of good health) dan lain
sebagainya, dimana setiap negara beroperasi dengan persyaratan dan strategi yang
berbeda. Isin dan Turner (dalam Isin dan Turner, 2002 : 3) mengemukakan bahwa
yang menentukan komposisi warga, orang asing, dan orang luar dan hak masing-
masing dan kewajiban di negara-negara tertentu tergantung pada lintasan sejarah.
Sementara menurut Honohan (dalam Calder dkk., eds., 2010 : 101) terdapat
beberapa jenis kondisi untuk naturalisasi yang dapat menjadi standar meskipun tidak
diperlakukan secara universal. Kondisi-kondisi tersebut mencakup: lamanya tinggal
(length of residence), kecukupan secara ekonomi (economic self-sufficiency),
kemampuan bahasa (language ability), pengetahuan sejarag (knowledge of history),
karakter yang baik (good character) atau tidak adanya hukuman pidana (absence of
criminal conviction), mengambil sumpah kesetiaan (taking an oath of loyalty) dan
melepaskan kewarganegaraan sebelumnya (giving up previous citizenship). Selain

621 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dari lamanya tinggal, kondisi ini dapat dikelompokkan ke dalam kecakapan (skill),
karateristik budaya (cultural characteristics) serta sikap dan kualitas moral (moral
qualities and attitudes).
Keragaman ini mengungkapkan adanya argument yang didasarkan pada
konsepsi yang berbeda tentang kewarganegaraan itu sendiri. Perspektif komunitarian
menekankan pentingnya nilai-nilai bersama (importance of shared values),
pengetahuan budaya (cultural knowledge) dan ikatan darah (blood ties) (Cole dalam
Calder et al., eds., 2010 : 8). Dari perspektif ini jelas bahwa konsepsi
kewarganegaraan berakar pada budaya yang dibangun secara sosial atau oleh
masyarakat itu sendiri. Perspektif ini juga menolak paham individualistik dan
kontraktualistik karena dia bergerak dari “contract to community” (Dallmayr dalam
Cole dalam Calder et al., eds., 2010 : 162).
Perspektif liberal memfokusutamakan pada individual dan hak-hak yang
mencakup kebebasan yang melekat pada setiap orang (Isin dan Turner dalam Isin
dan Turner, 2002 : 3). Dalam perspektif ini terminology kewarganegaraan dilihat
sebagai hak asasi dan kebebasan yang dimiliki oleh individu terhadap satu sama lain
dan negara. Warga negara adalah manusia yang bebas dan diperlakukan sama, serta
memiliki klaim yang sama terhadap hak-hak kewarganegaraan. Pada perspektif ini
warga negara juga memiliki kewajiban terhadap komunitas politik dan terhadap
hukum, mereka menikmati hak-hak dasar yang tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat
diinterfensi sedikitpun (Heater, 1999 : 4). Atas dasar itu sehingga di negara-negara
liberal kebijakan tentang naturalisasi dikaitkan dengan beberapa persyaratan
terhadap mereka yang berkeinginan untuk memperoleh keanggotaan penuh dalam
komunitas politik. Persyaratan-persyaratan tersebut walaupun bervariasi disetiap
negara tetapi paling tidak terdapat empat persyaratan utama yang dinilai, yaitu:
residensi (residency) kemampuan bahasa (language proficiency), kewarganegaraan
ganda (dual nationality), dan uji pengetahuan kewaraganegaraan dan kebudayaan
(civic or cultural knowledge tests) (Hampshire dalam Calder et al., eds., 2010 : 75).
Dari perspekti republik dasar kewarganegaraannya terletak pada aktivitas dari
kewarganegaraan (activity of citizenship) (Honohan dalam Calder et al., eds., 2010 :
92). Basis fundamental dari kewarganegaraan adalah tunduk dan berasal dari suatu
otoritas. Perpektif ini juga menekankan bahwa kewarganegaraan memerlukan
kekuasaan dan tanggungjawab (power and responsibilities) yang tidak dapat
didefinisikan sepenuhnya dari segi hukum atau persyaratan yang mengikat tetapi

622 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
tergantung pada keluasan sikap (attitudes) dan inklinasi (inclinations) warga negara
(Honohan dalam Calder et al., eds., 2010 : 92).
Warganegara dari perspektif republik bukan juga sesuatu yang dilahirkan,
tetapi sesuatu yang dibuat (Honohan dalam Calder et al., eds., 2010 : 94). Hal ini
merupakan penekanan dari perspektif republik terhadap pentingnya pendidikan untuk
kewarganegaraan dalam arti yang luas (pengetahuan, ketrampilan, dan disposisi).
Walaupun pendidikan ini dapat dipromoskan tetapi tidak bisa dijadikan persyaratan
untuk kewarganegaraan, dan kita harus berharap bahwa yang berbeda jenis dan
tingkatan dari kebajikan kewarganegaraan (civic virtue) akan mengikuti (Honohan
dalam Calder et al., eds., 2010 : 94-95). Pertama, mendorong tanggungjawab antara
warga negara, mensyaratkan bahwa mereka harus memperluas persepsi mereka.
Mereka butuh untuk memperhatikan saling ketergantungan antara mereka dengan
warga lainnya. Warga negara perlu menyadari akan dampak dari kesalahan dari
asumsi individualistik dan miskonsepsi tentang impact dari pemerintah dan effect dari
non-partisipation. Dengan demikian warga negara butuh untuk memperhatikan
jaringan-jaringan sosial dan ekonomi di mana mereka tinggal. Ini mencakup kondisi-
kondisi sosial, efek dari perbedaan gender, kemampuan, budaya atau agama, dan
material sosial dan ketidakseimbangan kekuasaan. Kedua, warga negara idealnya
mengembangkan civic self-restrain. Hal ini berhubungan dengan persoalan belajar
untuk menunda kepuasan dan memberikan bobot yang lebih terhadap kepentingan
umum. Mereka yang mengakui saling ketergantungan yang lebih memungkinkan
untuk menerima, misalnya, tindakan redistributif yang mempertahankan kesetaraan
politik, membatasi mengejar kekayaan materi mereka sendiri, dan terlibat dalam
kegiatan peduli. Dan ketiga, keterlibatan deliberatif, yaitu kemampuan untuk
membentuk penilaian otonom, pertimbangkan sudut pandang lain, merencanakan
untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih luas. Ini membutuhkan pengembangan
tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan membangun rasa hormat dan
kepercayaan.
Berbagai perspektif di atas mengungkapkan adanya konsepsi yang berbeda
tentang kewarganegaraan. Perbedaan itu kemudian melahirkan berbagai
persyaratan atau pertimbangan yang berbeda di setiap negara untuk memperoleh
akses terhadap status politik kewarganegaraan.

623 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Kepulauan Talaud. Fokus dari penelitian ini adalah pertimbangan
melaksanakan penegasan status kewarganegaraan melalui pemberian KTP kepada
migran Philipina Selatan di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2010-2014.
Dengan mempertimbangkan faktor kebutuhan data maka informan yang
diwawancarai adalah pejabat pemerintahan yang bekerja di lembaga yang memiliki
otoritas dalam menangani bidang kependudukan dan atau kewarganegaraan dari
tingkat desa (Aparat Desa), tingkat kecamatan (Aparat Kecamatan), sampai dengan
kabupaten (Aparat Disdukcapil dan Kesbangpol) yang bertugas pada tahun 2010-
2014 di lingkungan Kabupaten Kepulauan Talaud. Informan kelompok ini diperoleh
berdasarkan teknik snowball sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini
ditempuh melalui indepth interview terhadap para informan. Untuk menjaga
kerahasiaan informan, maka identitas informan menggunakan kode informan.
Sebagai contoh, seorang informan yang memberikan jawaban dikodekan sebagai
‘AD1’ (simbol AD merupakan informan Aparat Desa, 1 mewakili nomor informan),
‘AK1’ (simbol AK merupakan informan Aparat Kecamatan, 1 mewakili nomor
informan), ‘ADK1’ (simbol ADK merupakan informan Aparat Disdukcapil dan
Kesbangpol, 1 mewakili nomor informan).
Teknik validasi data dilakukan melalui triangulasi. Sedangkan data dianalisis
melalui 3 (tiga) tahapan, yakni reading the transcript, categorizing and
contextualizing. Yang dimaksud dengan 3 (tiga) tahapan ini adalah membaca
transkrip dari hasil penelitian lapangan, mengelompokannya sesuai dengan kategori-
kategori yang bisa ditentukan, serta menginterpretasikan melalui proses
konstektualisasi (Maxwell, 1996 : 78-79).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil wawancara dengan AD1, ketika ditanyakan tentang apa yang menjadi
alasan sehingga membantu mengurus identitas kewarganegaraan dari para migran
Philippina Selatan menginformasikan bahwa itu berawal dari adanya pertanyaan
sekaligus permintaan dari para migran Philippina Selatan berkaitan dengan identitas
kewarganegaraan mereka. Bagian dari wawancara dengan AD1 tersebut adalah
sebagai berikut: “ … mereka sudah memiliki rumah dan tinggal di sini sudah culup
lama… Kemudian mereka bermohon untuk menjadi penduduk di sini”. Penyampaian
yang sama disampaikan pula oleh AD2 berdasarkan pengalamannya, sebagai

624 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berikut: “mereka bermohon ke saya … saya informasikan bahwa tidak semua yang
saya bantu. Ada hal-hal yang saya harus perhatikan …”
Pengalaman seperti yang diutarakan oleh AD2 di atas pernah dialami pula
oleh AD3. Perbedaannya bahwa AD3 melakukan konsultasi dengan perangkat
kecamatan dan disdukcapil terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan,
sebagaimana tersurat dalam transkrip wawancara di bawah ini.
“Waktu yang lalu saya pernah bertanya di kecamatan dan di capil. Mereka
hanya sampaikan bahwa mereka berpotensi untuk menjadi penduduk …
tetapi harus di pertimbangkan masak-masak terlebih dahulu”.

Berbagai informasi tersebut di atas paling tidak menggambarkan bahwa


permintaan untuk memperoleh identitas kewarganegaraan dalam bentuk identitas
kependudukan yang diajukan oleh para migran Philipina Selatan tidak langsung
dipenuhi oleh Kepala Desa, karena ada hal-hal yang harus dipertimbangkan dan
sekaligus dikonsultasi dengan perangkat kecamatan dan perangkat Disdukcapil
Kabupaten sebelum dilakukan akses terhadap kewarganegaraan.
Hasil wawancara dengan AK1, ketika ditanyakan hal-hal yang berkaitan
dengan pewarganegaraan atau pemberian akses kepada para migran Philippina
Selatan untuk memperoleh status politik kewarganegaraan sebagai WNI di wilayah
Kabupaten Kepulauan Talaud, menyatakan bahwa:
“Untuk jadi warganegara kan kalau tidak salah harus melalui keputusan
pengadilan atau disahkan oleh pejabat tertentu … bunyi undang-undang kan
seperti itu, hanya di Talaud belum ada kantor pengadilan, masih harus ke
Tahuna. Itu salah satu kendala di sini. Makanya saya selalu sampaikan ke staf
yang ada di wilayah saya, bahwa untuk mengambil keputusan harus ada
pertimbangan tetapi harus melihat ke aturan”.

Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa ketidakadanya institusi hukum,


yakni Kantor Pengadilan Negeri, yang menjadi salah satu alasan sehingga
pewarganegaraan ataupun perubahan status politik kewarganegaraan terhadap para
migran Philippine Selatan tidak dapat dilaksanakan di wilayah Kabupaten Kepulauan
Talaud.
Alasan-alasan yang lebih komprehensif tentang kendala dalam melaksanakan
perubahan status politik kewarganegaraan terhadap migran Philippina Selatan di
Kabupaten Kepulauan Talaud disampaikan masing-masing oleh ADK1 dan ADK2,
bahwa:
“… proses pewarganegaraan ini sangat panjang, sementara kita tidak ada
kantor imigrasi … hanya ada di Tahuna dan Manado. Kedua, kita belum ada
pengadilan. Ketiga, Pos Imigrasi bukan di Melonguane, tapi di Miangas dan
di Marore. Hal-hal ini yang bisa membuat sulitnya seseorang yang lahir di

625 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Philippine tetapi masih keturunan Indonesia yang karena lahir di sana, tetapi
sesungguhnya dia bukan orang Philippine maka dia dikenal penduduk yang
tidak berkewarganegaraan non-stateless dan penduduk yang tidak
berdokumen. Ini yang perlu kami pertimbangkan… dan itu yang selalu jadi
dasar saya untuk bertindak. Tapi pertimbangan material yang dari mereka
sandiri pasti harus ada, yang di atas hanya semacam acuan”.
“Sebenarnya bagi kita itu terjadi karena ada pertimbangan tertentu entah itu
dari Kepala Desa sampai Kadis Dukcapil karena ranah mereka itu. Dan kalau
seandainya ada memang itu perlu kordinasi antar instansi. Masalahnya
bahwa itu harus melalui penetapan dan siapa yang akan menetapkan mereka
sebagai WNI. Di Talaud ini sampai sekarang belum ada Kantor Pengadilan
Negeri, yang ada di Ibu Kota Tahuna, tidak ada di Melonguane sini...”.

Melihat akan berbagai kendala dalam melaksanakan perubahan status politik


kewarganegaraan terhadap migran Philippina Selatan berupa kendala institusional
dan geografis serta proses pengurusannya yang panjang sehingga tidak
mengherankan bilamana muncul inisiatif untuk memberikan penegasan terhadap
status politik kewarganegaraan dari para migran Philippina Selatan tersebut dengan
melibatkan institusi-institusi serta masyarakat lokal, seperti yang disampaikan oleh
AK2, berikut ini:
“Di sini susah mengurus karena tidak ada pengadilan. Jadi atas dasar
kemanusian. Pengakuannya mulai dari bawah. Mulai dari masyarakat sampai
pemerintah. Jadi pemerintah harus libatkan masyarakat. Dua komponen itu
yang menentukan. Sehingga ketika komponen yang satu ini sudah akui,
pemerintah desa punya legitimasi untuk mengeluarkan surat keterangan
sebagai penduduk … surat keterangan kependudukan… diteruskan ke atas…
kecamatan dan kabupaten. Itu sudah sah menjadi warganegaran…”.

Dari uraian-uraian tersebut di atas jelas tergambar bahwa keinginan untuk


melaksanakan perubahan status politik kewarganegaraan sebagai WNI kepada
migran Philippina Selatan di Kabupaten Kepulauan Talaud didasarkan pada
pertimbangan ketidaktersedianya institusi pengadilan yang akan memutuskan status
kewarganegaraan para migran Philippina Selatan, kendala geografis yang berkaitan
dengan keberadaan institusi pengadilan di luar Kabupaten Kepulauan Talaud, dan
panjangnya proses pengurusan perubahan status politik kewarganegaraan tersebut.
Tindakan untuk melaksanakan penegasan status kewarganegaraan sebagai
WNI kepada migran Philippina Selatan di Kabupaten Kepulauan Talaud tersebut dari
perspektif tanggung jawab (responsibility) dapat dilihat sebagai perhitungan
(accountability), kewajiban (obligation), dan penggerak (cause). Menurut Spiro
(dalam Ndraha, 2011 : 87-88), perhitungan (accountability) berkaitan dengan
sejauhmana seorang pelaku pemerintahan terbukti mampu menjalankan tugas atau
perintah yang diamanatkan kepadanya, menurut cara, alat, dan tingkat pencapaiaan

626 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sasaran yang telah ditetapkan, terlepas dari persoalan, apakah ia menyetujui perintah
itu atau ia merasa terpaksa, dipaksa, harus, atau karena tiada pilihan, dan pada itu ia
harus menerima resikonya. Sebagai kewajiban (obligation), dapat berkaitan dengan
sejauhmana seseorang pelaku pemerintahan menepati, menunaikan, dan memenuhi
janji (pledge, commitment, sense of duty, lahir dari kesepakatannya) sedia
menunaikan kewajiban-kewajiban yang lahir atau akibat dari status (kedudukan,
posisi) sebagai pemerintah, dan sejauhmana ia bersedia memikul sanksi, dampak
atau resikonya. Sebagai pengerak (cause), berhubungan dengan sejahmana tingkat
kepedulian yang menggerakan seorang pelaku pemerintahan, terlepas dari (tinggi-
rendah) status atau jabatannya, untuk bertindak atas inisiatif sendiri (Freises
Ermessen, discretion) berdasarkan pilihan bebas (free will) dalam menghadapi suatu
masalah atau perubahan, dan siap menanggung segala resiko atau akibatnya.

KESIMPULAN
Pertimbangan melaksanakan penegasan status kewarganegaraan melalui
pemberian KTP kepada migran Philipina Selatan di Kabupaten Kepulauan Talaud
tahun 2010-201 dikarenakan ketidaktersedianya institusi pengadilan yang dapat
memutuskan status kewarganegaraan para migran Philippina Selatan, kendala
geografis yang berkaitan dengan keberadaan institusi pengadilan di luar Kabupaten
Kepulauan Talaud, dan pengurusannya melalui suatu proses yang panjang.

REKOMENDASI
1. Perlu didirikan institusi-institusi yang berhubungan langsung dengan
penangangan serta proses pewarganegaraan Warga Negara Asing (WNA)
seperti Kantor Pengadilan Negeri dan Kantor Imigrasi di Kabupaten Kepulauan
Talaud agar penangan terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan
WNA dapat langsung di tangani di daerah tersebut.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang UU Nomor Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia kepada
aparat Pemerintahan Kabupaten/Kota khususnya kepada aparat Pemerintah
Desa yang wilayahnya termasuk dalam areal wilayah perbatasan negara agar
mereka memahami secara koprehensif persyaratan dan prosedur
pewarganegaraan Warga Negara Asing (WNA).

627 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
DAFTAR PUSTAKA
Calder, Gideon, Phillip Cole, Jonathan Seglow, eds. 2010. Citizenship Acquisition and
National Belonging : Migration, membership and the Liberal Democratic State.
New York: Palgrave Macmillan.
Coleman, J. L. and Harding, S. K. 1995. ‘Citizenship, the Demands of Justice, and
the Moral Relevance of Political Borders’ dalam W. F. Schwarz, ed. Justice in
Immigration. Cambridge: Cambridge University Press.
Dwiyanto, Agus, Bavaola Kusurnasari. 2001. Rente dalam Birokrasi Pelayanan Publik
dalam Policy Brief. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan,
Univrsitas Gadja Mada.
Heater, D. 1999. What Is Citizenship? Oxford: Blackwell.
Isin, Engin F., Bryan S. Turner. Eds. 2002. Handbook of Citizenship Studies. London:
SAGE Publication.
Kimbal, Marthen L., J. Kaawoan, Frangky Renkung. 2014. Pemetaan Warga Non
Citizens Asal Sangihe-Talaud di Propinsi Sulawesi Utara. Laporan Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi. Manado: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Maxwell, J. A., 1996. Qualitative Research Design : An Interactive Approach. London:
SAGE Publication.
Ndraha, Taliziduhu. 2011. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Rineke
Cipta
Niode, Burhan, 2015. “Analisis Terhadap Perjanjian Lintas Batas antar Indonesia dan
Philippina Tahun 1974”. Prosiding Seminar Humaniora BPNB Manado, 17
Januari 2015 dengan Tema Kearifan Lokal dan pelestarian Nilai Budaya
dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa. Manado: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan – Balai Pelatihan Nilai Budaya Manado.
Pristiwanto. 2014. Pelintas Batas Indonesia-Philipina: Di Kabupaten Kepulauan
Sangihe. YogyakartaL Kepel Press.
Raharto, Aswatini, Suko Bandiyono, Mujiyani, Widyatun, Augustina, Andi Ahmad
Zaelany. 1993. Migrasi Kembali Orang-orang Sangir Talaud dari Pulau-Pulau
di Wilayah Filipina. Jakarta: Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan
LIPI.
Rasjid, Muhammad Ryass. 1998. Pemerintahan yang Amanah. Jakarta: PT. Bina
Rena Pariwara.

628 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadile, 2008. Kawasan Sangihe – Talaud –
Sitaro : Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan. Jogya : Puspad.
Tan-Cullamar, Evelyn. (1993). The Indonesian diaspora and Philippine-Indonesian
relations. Philippine Studies, 41 (1).
Ulaen, Alex J. 2003. Nusa Utara, Dari Lintasan Niaga Ke Daerah Perbatasan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Ulaen, Alex J. 2012. Studi Tentang Sosial-Budaya Masyarakat Daerah Perbatasan:
Studi Kasus Masyarakat di Pulau Marore. Yogyakarta: Kepel Press.
Velasco, Djorina. (2010). Navigating the Indonesian-Philipine border, the challenges
of life in the border zone. Philippine Journal of Third World Studies, 25.
Warsito, Sadu. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraa Pemerintah Daerah. Bandung:
Fokus Media.
Suber-sumber lain
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Keputusan Menpan-RI Nomor Kep/M.Pan/7/2003 Tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Harian Mando Pos, 13 Juni2014
Harian Manado Pos, 5 Juni 2014
<http:// nasional . news . viva . co.id / news / read / 293056-intelijen-awasi-wna-filipina-
ilegal-di-sulut>[20/4/15]
<http:// regional. kompas. Com / read / 2012/02/29/20481640/ 1.000. Orang.
Sangir.Filipina.Terlunta.lunta.di.Bitung> [20/4/15]

629 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
ANALISA KONTEMPORER PELAYANAN PUBLIK KTP-EL
DALAM GOOD LOKAL GOVERNANCE DI INDONESIA
Yeti Rohayati284

ABSTRAK
Menurut peraturan presiden republik indonesia nomor 126 tahun 2012 tentang
perubahan ketiga atas peraturan presiden nomor 26 tahun 2009 tentang penerapan
kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional.
proses pembuatan KTP-el, berbelit/susah, dan tidak ada kepastian kapan jadinya,
sistem server yang bermasalah; sarana dan prasarana yang kurang memadai ,
kurangnya perhatian dan tanggapan yang baik dari pegawai, banyaknya antrian
dalam proses pembuatan KTP-el, serta penerangan sosialisasi yang kurang kepada
masyarakat bahwa apabila KTP-el belum selesai maka akan diberikan terlebih dadulu
surat keterangan dengan waktu terbatas dalam keberlakuannya yaitu selama enam
bulan. Dengan permasalahan tersebut dapat ditarik rumusan masalah antara lain :
1. Bagaimanakah peranan pemerintah dalam menganalisis kontemporer
pelayanan publik KTP-el.
2. Bagaimanakah pemerintah dalam menerapkan good local Governance di
Indonesia.
Menurut Zeithami, et, al 1985 (dalam Yamit, 2002: 11) berhasil
mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam
mengevaluasi kualitas pelayanan, yaitu: (1) Tangible ,(2)Reliability
,(3)Responsiveness, (4)Assurance (5)Akuntability (6)Empaty. Dalam pelaksanaan
KTP-e; Edward III (2008:10) memberikan batasan denganmengkaji empat faktor
atau variabel dari kebijakan yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur
birokrasi. Ke empat variabel tersebut dalam pelaksanaan pembuatan KTP-el
secara tidak langsung mempengaruhi terhadap kebijakan pembuatan KTP-el di
Indonesia.
Pada implementasi kebijakan pelayanan KTP-el dengan hasil penelitian yang
dikutif dari ejournal.unstrat.ac.id- Indra Jaya La Udi menyatakan bahwa (1) Tangile
(bukti langsung) kinerja aparatur pemerintah kecamatan dalam pelayanan KTP-el
sangat rendah data yang sudah tersalur atau hanya 13,6% masyarakat yang sudah
memiliki KTP-el di Kecamatan Tondono Selatan . (2) Reliabilility (keterandalan)
Tingkat kepuasan masyarakat dari pelayanan KTP-el dapat dikatakan baik,
masyarakat merasa senang dan nyaman dengan pelayanan dari aparat kecamatan
(3) Responsiveness (daya tangkap) aparat pemerintah sudah dapat dikatakan baik.
Tetapi produktivitas yang sangat rendah disebabkan oleh Human eror dalam input
data sehingga menyebabkan masih banyak juga masyarakat yang belum memiliki
KTP-el (4) Assurance (jaminan). Kemampuan Aparat kecamatan juga sudah baik
didasarkan pada prioritas pelayanan KTP-el Akan tetapi karena adanya kelalaian
petugas kecamatan yang menginput data sehingga menyebabkan sebagian besar
KTP-el tidak dapat diproses untuk dibuat di pemerintahan pusat. (5) Akuntabilitas
aparat kecamatan dalam pelayanan KTP-el masih perlu mendapat perhatian khusus
didasarkan pada penyaluran KTP-el karena aparat tidak melakukan sosialisasi
kepada masyarakat dan tidak ada penarikan KTP mengakibatkan status
kependudukan ganda. (6) Empaty , hubungan yang baik antara pelanggan dengan

284 Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung

630 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
aparat pemberi layanan KTP-el belum sepenuhnya terealisasikan dengan baik,
disebabkan karena komunikasi yang dilakukan aparat pemerintah belum bisa
menyentuh aktivitas kegiatan terhadap pembuatan KTP-el di wilayah yang ada di
Indonesia.
Kata Kunci : Analisa Kontemporer Pelayanan Publik KTP-el dalam Good Lokal
Governance di Indonesia

ABSTRACT
According to the Indonesian Republic's presidential regulation number 126 of
2012 on the third amendment of Presidential Regulation No. 26 of 2009 on the
application of identity cards based on the national parent population number. The
process of making ID cards, complicated / difficult, and there is no certainty when it
happens, the server system is problematic; Inadequate facilities and infrastructure,
lack of attention and good responses from employees, the number of queues in the
process of making KTP-el, and the lack of socialization to the public that if KTP-el has
not been completed it will be given first dadulu letter with limited time in Its validity is
for six months. With these problems can be drawn the formulation of the problem,
among others:
1. What is the role of government in analyzing contemporary public service of KTP-
el.
2. How is the government in implementing good local governance in Indonesia.
According to Zeithami, et al, 1985 (in Yamit, 2002: 11) successfully identified five
dimensions of characteristics used by customers in evaluating the quality of service,
namely: (1) Tangible, (2) Reliability, (3) Responsiveness, (4) Assurance (5)
Akuntability (6) Empaty
In the implementation of ID card-e; Edward III (2008: 10) provides limits to the
examination of four factors or variables of policy namely, communication, resources,
disposition, and bureaucratic structure. The four variables in the implementation of
the KTP-e manufacture indirectly affect the policy of making ID cards in Indonesia.
In implementing the policy of KTP-el service with the result of research which
dikutif from ejournal.unstrat.ac.id- Indra Jaya La Udi stated that (1) Tangile (direct
evidence) performance of sub-district government apparatus in service of ID card is
very low Or only 13.6% of people already have ID card in Tondono Selatan District.
(2) Reliabilility The level of community satisfaction from the KTP-el service can be
said well, the community feel happy and comfortable with the services of the sub-
district apparatus (3) The responsiveness of the government apparatus is good. But
very low productivity is caused by Human eror in data input causing there are still
many people who do not have KTP-e (4) Assurance (guarantee). The ability of sub-
district apparatus is also good based on the priority of the KTP-el service However,
due to the omission of kecamatan officials who input the data causing most of the
KTP-el can not be processed to be made in the central government. (5) Accountability
of kecamatan apparatus in ID card services still needs special attention based on the
distribution of VAW because the apparatus did not socialize to the community and no
withdrawal of ID cards resulted in double status of residence. (6) Empaty, good
relationship between customer and service provider of KTP-el has not been fully
realized well, because communication made by government apparatus has not been
able to touch activity activity towards making ID card in region in Indonesia.
Keywords: Contemporary Analysis of Public Service KTP-el in Good Local
Governance in Indonesia.

631 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENDAHULUAN
Tuntutan perubahan sering ditujukan kepada aparatur pemerintah,
menyangkut pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Rendahnya mutu
pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur menjadi citra buruk pemerintah di
tengah masyarakat . Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi
selalu mengeluhkan dan kecewa terhadap tidak layaknya aparatur dalam
memberikan pelayanan.
Paling tidak ada 385 jenis pelayanan publik yang diberikan aparatur kepada
masyarakat, Dan salah satunya yang paling utama adalah jenis pelayan pembuatan
KTP. Karena setiap warga negara baik Indonesia maupun asing wajib memiliki kartu
tanda penduduk. Menurut peraturan presiden republik indonesia nomor 126 tahun
2012 tentang perubahan ketiga atas peraturan presiden nomor 26 tahun 2009 tentang
penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara
nasional KTP elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 A merupakan
identitas resmi di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari
satu KTP, hal ini dikarenakan Pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia
mempunyai ciri prosedur pelayanan yang panjang dan berbelit-belit, proses
pelayanan memakan waktu lama dan hasilnya seringkali menimbulkan
ketidakpastian hukum, seperti masih adanya KTP palsu dan KTP ganda. Hal ini
disebabkan antara lain karena belum adanya standar nasional tentang bentuk
database kependudukan. Komunikasi data interkoneksi antara database-database
regional tidak dapat dilakukan secara elektronik sehingga pengeluaran KTP hanya
berdasarkan permohonan/aplikasi seseorang dan tidak berdasarkan database
kependudukan yang akurat sehingga masih sangat rentan terhadap adanya peluang-
peluang timbulnya KTP palsu dan KTP ganda. Apalagi kalau memperhatikan wilayah
geografis yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau. Dengan jumlah penduduk
yang sangat banyak, yaitu lebih dari 200 juta jiwa yang harus dilayani dalam
pembuatan KTP. Sedangkan komposisi kepadatan penduduk itu sendiri tidak merata
di setiap daerahnya, kondisi yang demikian itu banyak menimbulkan permasalahan
di bidang pelayanan administrasi kependudukan.
Good Local governance merupakan pemerintahan yang mampu menantang
arus globalisasi dengan cara memberikan pelayanan yang baik kepada
masyarakat,setempat baik pelayanan yang bersifat langsung maupun pelayanan
secara tidak langsung atau yang dikenal sekarang pelayanan melalui media on line
sehingga masyarakat bisa langsung berkomunikasi dengan aparat pemerintahnya.

632 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Salah satu pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah adalah pelayanan
dalam bidang kependudukan. Seperti kita ketahui penduduk di Indonesia tersebar di
berbagai pelosok daerah sehingga memerlukan suatu data yang akurat dalam
melaksanakan pembuatan KTP untuk semua penduduk. Salah satunya sensus yang
dilakukan melalui pembinaan Kartu Tanda Penduduk yang merupakan identitas resmi
penduduk serta bukti diri yang saat ini berlaku di seluruh wilayah NKRI. Bahwa dalam
rangka mewujudkan kepemilikan satu Kartu Tanda Penduduk untuk satu penduduk
diperlukan kode keamanan dan rekaman elektronik data kependudukan berbasiskan
nomor induk kependudukan. Ini digunakan untuk efektivitas rekaman sidik jari tangan
penduduk.
Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi Kependudukan,
pada pasal 83 diamanatkan bahwa data kependudukan (SIAK) dan tersimpan dalam
database Kependudukan, dimanfaatkan untuk kepentingan perumusan kebijakan di
bidang pemerintahan dan pembangunan. Dalam peraturan pemerintah nomor 37
tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, pada pasal 72 diatur bahwa database kependudukan
berada di pusat (Dijen Administrasi Kependudukan).
Untuk mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melaksanakan database kependudukan yang lengkap dan akurat dalam rangka
pemberian NIK (Nomor Induk Kependudukan) kepada setiap penduduk. Maka
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 470/3983/SJ
tertanggal 11 Nopember 2009 perihal Pemutakhiran data.
Sistem informasi serta pengembangan fungsi pemerintah pelaksanaan lokal
governance disetiap daerah di Indonesia dalam pelayanan administrasi
kependudukan yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan kependudukan harus
dilaksanakan melalui pelayanan administrasi kependudukan secara profesional,
memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib dan tidak diskriminatif serta
melalui pembinaan dan koordinasi pengawasan administrasi kependudukan yang
sinergis sehingga diharapkan dapat memberikan pemenuhan dan perlindungan hak-
hak administrasi penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah di Indonesia
termasuk dalam pelayanan publik berupa Kartu Tanda Penduduk elektronik yang
disingkat KTP-el.. yakni kartu tanda penduduk yang dibuat secara elektronik, dalam
artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi.
Kependudukan sebenarnya merupakan basis utama dan fokus dari segala persoalan
pembangunan. Hampir semua kegiatan pembangunan baik yang bersifat sektoral

633 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
maupun lintas sektoral terarah berkaitan dengan penduduk, atau dengan kata lain
penduduk harus menjadi subyek sekaligus objek pembangunan.
Pengembangan otonomi daerah di setiap daerah, bertujuan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhannya,
salah satu pelayanan dimaksud antara lain berupa pembuatan kartu tanda penduduk
elektronik (KTP-el) dimana masyarakat diwajibkan untuk membuat /mengganti KTP
yang lama ke peralihan KTP-el yang berbasis teknologi dengan ketentuan di setiap
daerah diberlakukan setiap masyarakat hanya mempunyai/memegang KTP hanya
satu, yang dimaksud dengan KTP-el yaitu:
1. Kartu tanda penduduk elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el adalah Kartu
Tanda Penduduk yang dilengkapi CIP yang merupakan identitas resmi
penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana
2. Penduduk warga Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap
yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin
wajib memiliki KTP-el
3. KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara nasional.
4. Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya memiliki 1 (satu) KTP-
el
5. Orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan
perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada Instansi
pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku
izin tinggal tetap berakhir.
6. Penduduk yang telah memiliki KTP-el wajib membawanya pada saat
bepergian.
Penyelenggaraan pelayanan KTP-el di beberapa daerah di Indonesia masih
mengalami banyak kendala. Kendala tersebut antara lain masih ada masyarakat
yang belum mendapat KTP-el karena prosesnya lama, berbelit/susah, adanya
struktur birokrasi pada prosedur dalam penerbitan KTP-el yang memakan waktu
lama dan tidak ada kepastian kapan jadinya, sistem server yang bermasalah; sarana
dan prasarana yang kurang memadai , kurangnya perhatian dan tanggapan yang baik
dari pegawai, banyaknya antrian dalam proses pembuatan KTP-el, serta penerangan
sosialisasi yang kurang kepada masyarakat bahwa apabila KTP-el belum selesai
maka akan diberikan terlebih dadulu surat keterangan dengan waktu terbatas dalam
keberlakuannya yaitu selama enam bulan. Sehingga dengan berbagai permasalahan
yang terjadi dalam pembuatan KTP-el berarti bahwa, kinerja pegawai yang terlibat

634 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dalam pembuatan KTP-el. Belum maksimal dalam melayani masyarakat dalam
pembuatan KTP-el.

RUMUSAN MASALAH
Perkembangan era globalisasi yang menuntut pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat demi terwujudnya perubahan
pembaharuan dalam pelayanan pembuatan KTP-el dalam good local
Goodgovernance. maka hal tersebut diatas permasalahan Yang cukup menonjol
berkaitan dengan permasalahan penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan
publik pembuatan KTP-el di Indonesia antara lain :
1. Bagaimanakah peranan pemerintah dalam menganalisis kontemporer
pelayanan publik KTP-el.
2. Bagaimanakah pemerintah dalam menerapkan good local Governance di
Indonesia.

KAJIAN TEORI
1. Pengertian Analisis
Dalam ilmu sosial, analisis merupakan upaya untuk memahami dan
menjelaskan proses untuk masalah dan berbagai hal yang ada di dalamnya. Maka
di dalam kegiatan administrasi analisis biasanya sering dikaitkan dengan kebijakan
sehingga analisis diartikan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian
rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan. Beberapa analisis kebijakan bersifat informal, meliputi tidak
lebih dari proses berfikir yang keras dan cermat, sementara lainnya memerlukan
pengumpulan data yang ekstensif dan penghitungan yang teliti dengan
menggunakan proses matematis yang canggih. Bila hal ini dikaitkan dengan
pelayanan publik dalam pembuatan KTP-el, untuk mencapai hasil yang diharapkan
dalam proses pelayanan publik atau pelayanan umum yang meliputi keputusan-
keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti
prioritas program pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya, dimana
dalam pembuatan KTP-el merupakan suatu kebijakan pemerintah yang juga dapat
diartikan sebagai mekanisme polities, manajemen, financial, atau administratif
untuk mencapai suatu tujuan ekplisit.
Menurut Edward III(2008:148) mulai dengan mengajukan dua pertanyaan,
yakni : (a) what is the precondition for sucessful policy implementation and (b) what

635 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
are the primary abstacles to successful policy implementation? Edward III (2008:10)
menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel dari
kebijakan yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Ke
empat variabel tersebut dalam pelaksanaan pembuatan KTP-el secara tidak
langsung mempengaruhi terhadap kebijakan pembuatan KTP-el di Indonesia.
Pendapat tersebut sesuai dengan kegiatan pembuatan KTP-el dimana proses
pembuatan KTP-el dilaksanakan oleh seluruh elemen individu masyarakat
Indonesia dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
pembuatan KTP-el.
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Islamy (2006;20) yang
mengatakan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat.
Dari pendapat di atas, kebijakan publik dapat diartikan sebagai tindakan
lembaga atau aparatur pemerintah yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu,
tujuan dimaksud bisa memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pemecahan
masalah masyarakat lainnya. Pemecahan masalah dalan masyarakat memerlukan
suatu proses dengan melalui tahapan-tahapan, diantaranya adalah dengan tahapan
perbaikan-perbaikan undang-undang/peraturan-peraturan terutama dalam
peraturan penyelenggaraan pembuatan KTP, yang dimulai dengan perbaikan
dengan penggunaan data base karena di Indonesia jumlah penduduk yang besar
dengan pulau-pulau yang tersebar luas. Cahyono (2006;23) Jumlah penduduk yang
besar tetap akan berarti bila sebagian besar dari mereka mampu berkarya dan
berpartisipasi dalam pembangunan. Berdasarkan dari pendapat tersebut maka
dapat diartikan bahwa partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pembangunan
perlu ditingkatkan kembali terkait dengan adanya berbagai perubahan, terutama
partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pembuatan KTP-el.

2. Pengertian Kontemporer
Pengertian kontemporer menurut KBRI adalah segala hal yang berkaitan
dengan keadaan dan kejadian yang terjadi pada saat ini.Kontemporer juga
mencerminkan bahwa adanya kebebasan dalam menentukan sesuai apa yang
berlaku saat itu atau saat ini. Jadi kontemporer itu benar-benar pada masa sekarang
ini, bukan merujuk pada masa lalu. Seperti halnya, dalam era modernisasi sekarang
ini sesuai perkembangan jaman maka pengurusan KTP-el dimaksudkan untuk bisa

636 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
mengurus KTP nya dimana saja dengan merekam data diri mereka dan dalam
pembuatan KTP-el dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada
masyarakat tanpa harus perlu lagi membawa surat pengantar dari RT/RW dan
kelurahan serta akta lahir, sehingga dalam pembuatan KTP-el otomatis memangkas
3 prosedur, pembuatan KTP-el cukup membawa fotocopy Kartu Keluarga ke Dinas
Dukcapil manapun. Bisa diurus dimana saja, tidak harus sesuai domisili penduduk.
Penggunaan KTP-el sangat penting, karena KTP-el berfungsi untuk semua
pelayanan publik akan berbasis NIK dan KTP-el sangat penting adanya karena
segala urusan semuanya menggunakan KTP seperti membuat SIM,BPJS,
mengurus akta nikah, semua membutuhkan data KTP-el. Pengurusan ijin,
pembukaan rekening bank, dan sebagainya.

3. Good Local Governance dalam pelayanan Publik


Good local governance merupakan praktek administrasi dalam menata
pemerintahan, yang sangat berkaitan erat dengan aspek keberadaan kondisi secara
lokal (daerah). Yang meliputi gaya kepemimpian dari suatu daerah(organisasi)
dimana organisasi (daerah ) itu berada, karena gaya kepemimpinan merupakan
cara pemimpin berprilaku dalam mempengaruhi bawahannya atau pengikutnya.
Hersey dan Blanchard (1996:166) menyebutkan bahwa “The style of leaders is the
consistent behavior pattern the they use when they are working with and through
other people, as perceived by those people”.
Menurut UNDP (United Nation Development program) good local governance
memiliki delapan prinsip sebagai berikut :
1. Partisipasi,2.Transparansi,3.Akuntabel,4.Efektif dan efisiensi, 5.Kepastian
hukum,6.Responsif,7.Konsensus,8.Setara dan inklusif.
Dari kedelapan prinsip tersebut, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas).
Dalam merumuskan menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa didasarkan
pada pendekatan prosedur dan keluaran (output), serta dalam prosesnya
menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau
mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunaan paradigma rule government
atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak
dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan
kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses

637 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
merumuskan,menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan
stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat)
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut
keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi
maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik,
adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan
pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini pemberian
pelayanan KTP-el yang merupakan pegangan dalam segala kepentingan yang
menyangkut pengadministrasian dalam segala urusan. Suatu kepemerintahan
daerah yang baik (good lokal governance) dicirikan dengan terselenggaranya
pelayanan publik yang baik, dan pelayanan tersebut terlihat dari penerbitan kartu
tanda penduduk berbasis elektronik, diatur melalui keputusan Menteri Dalam Negeri
nomor 09 tahun 2011 tentang pelayanan pembuatan KTP-el. Antara lain bisa dilihat
dari Prosedur pelayanan KTP-el sebagai berikut:
1. Perekaman data penduduk
a. Penduduk membawa surat panggilan dan ktp lama (bagi yang sudah
memiliki ktp)
b. Penduduk menyerahkan surat panggilan dan memperlihatkan ktp lama
(bagi yang sudah memiliki ktp) kepada petugas.
c. Penduduk menunggu panggilan
d. Petugas operator melakukan verivikasi data penduduk dan perekaman
pas photo, tanda tangan, sidik jari dan iris (selaput bola mata yang ada
dibelakang kornea mata membentuk batas pupil yang memberikan warna
khusus), petugas membutuhkan tanda tangan dan stempel tempat
pelayanan KTP elektronik pada surat panggilan penduduk yang dijadikan
tanda bukti pengambilan KTP elektronik.
2. Pengambilan KTP elektronik.
a. Penduduk membawa surat panggilan yang telah ditandatangani dan di
stempel oleh petugas tempat pelayanan KTP elektronik serta KTP lama
(bagi yang sudah memiliki KTP)
b. Penduduk menyerahkan surat panggilan tersebut diatas kepada petugas.
c. Penduduk menungu panggilan.
d. Petugas operator melakukan verivikasi data melalui pemadanan sidik jari
penduduk.

638 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Apabila datanya sama maka KTP elektronik diberikan kepada penduduk,
apabila datanya tidak sama, KTP elektronik tidak diberikan kepada penduduk.
Secara bersamaan ketika penduduk menerima KTP elektronik, penduduk juga
menyerahkan KTP lama kepada petugas operator.
4. Tata cara perekaman sidik jari penduduk antara lain:
a. Sebelum melakukan perekaman jari tangan harus bersih dan kering
b. Perekaman sidik jari penduduk dilakukan di tempat pelayanan KTP
elektronik
c. Perekaman sidik jari penduduk dilakukan oleh petugas operator
d. Petugas operator merekam seluruh sidik jari tangan penduduk dengan
urutan:
1. Perekaman sidik jari tangan kanan mulai ibu jari, jari telunjuk,, jari
tengah, jari manis dan jari keling.
2. Perekaman sidik jari tangan kiri mulai ibu jari, jari telunjuk, jari tengah,
jari manis, dan jari kelingking.
5. Hasil perekaman sidik jari tangan penduduk disimpan ke dalam database
kependudukan ditempat pelayanan KTP elektronik
6. Hasil perekaman sidik jari telunjuk tangan kiri dan jari telunjuk tangan kanan
penduduk juga direkam ke dalam CHIP KTP Elektronik.
7. Tata cara perekaman sidik jari penduduk yang cacat meliputi :
1. Dalam hal sidik jari telunjuk tangan kanan/kanan kiri tidak dapat direkam
ke dalam CHIP KTP Elektronik, dilakukan perekaman sidik jari yang
lainnya dengan urutan jari tengah,jari manis atau ibu jari
2. Penduduk yang cacat fisik sehingga tidak bisa dilakukan perekaman sidik
jari tangan tidak dilakukan perekaman sidik jari tangan tetapi dilakukan
perekaman pas photo wajah dengan kedua tangan penduduk yang
bersangkutan ke dalam database kependudukan.
Berdasarkan prosedur tersebut maka Zeithami, et, al 1985 (dalam Yamit,
2002: 11) berhasil mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan para
pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan, yaitu:
1. Tangible (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
pegawai, dan sarana komunikasi
2. Reliability (keterandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan
pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang
telah dijanjikan.

639 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
3. Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat
5. Akuntability dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko
ataupun keragu-raguan.
6. Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan
pelanggan
Selanjutnya, Lukman (2003;10) mencirikan kualitas pelayanan sebagai :
“suatu kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan prinsip:
lebih murah, lebih baik, cepat,tepat,ramah, sesuai dengan harapan pelanggan”.
Seperti halnya prinsip pelayanan, sebagaimana telah ditetapkan dalam
keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, yang kemudian
dikembangkan menjadi 14 unsur yang “ relevan”. “valid” dan “ reliabel”, sebagai unsur
minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat
adalah sebagai berikut: (1) prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan (2)
persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrasi yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya; (3) kejelasan
petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan
pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggungjawabnya); (4)
kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
(5) tanggungjawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan
tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan; (6)
kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; (7)
kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan; (8) keadilan mendapatkan
pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan status
masyarakat yang dilayani; (9) kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan
perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan
dan ramah serta saling menghargai dan menghormaati; (10) kewajaran biaya
pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang
ditetapkan oleh unit pelayanan; (11) kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian

640 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; (12) kepastian
jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan; (13) kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan
prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa
nyaman kepada penerima pelayanan; (14) keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya
tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang
digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan
terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Dewasa ini, kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh unit kerja publik
(pemerintah) merupakan salah satu aspek yang banyak mendapat sorotan dari
masyarakat. Diantaranya adalah dalam pelayanan KTP-el yang sedang gencar-
gencarnya disoroti terkait dengan kelambanan pemerintah dalam menangani
pelayanan KTP-el. Dari hasil penelitian Silalahi dalam Zulkarnain (1996:55) juga
terungkap bahwa:
Pelayanan yang diberikan oleh aparatur negara masih berada dalam
peringkat present and accounted, artinya organisasi atau pegawai menyadari
dan mengetahui tentang tentang kedudukan mereka untuk memberikan
pelayanan yang berkualitas, namun untuk usaha ke arah yang sampai pada
kualitas pelayanan belum serius dilaksanakan.

Pelayanan yang dimaksud adalah bahwa pelayanan yang berkualitas lebih


menekankan kepada aparatur yang merupakan pelaksana daripada kegiatan
pemerintahan. Kegiatan pemerintah yang sedang dilaksanakan adalah pendataan
penduduk yang dituangkan dalam KTP-el yang selama ini masih menjadi perdebatan
yang sengit dikalangan masyarakat dan pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hidayat dan Sucherly (1986:87-88)
mengemukakan bahwa :
Pada umumnya organisasi pemerintah sering menghadapi tiga masalah yang
meliputi kurang efektif, inefisien dan mutu pelayanan yang kurang. Salah satu mutu
tersebut adalah mutu pelayanan kepada masyarakat yang selalu berorientasi kepada
budaya lokal yang menekankan kepada pencapaian target merupakan salah satu
ciri dari organisasi birokrasi. Ciri lainnya yaitu adanya budaya peran artinya semua
pekerjaan dilakukan secara rutin , teratur dan sistematik . selain itu, kekuatan dan
kewenangan yang disalurkan melalui peraturan dan prosedur. Kombinasi budaya
yang berorientasi kepada target dan peran membentuk suatu pandang yang
mengacu kegiatan (activity) dan pertanggungjawaban (accountability). Kelemahan

641 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
dari kedua sikap tersebut adalah bahwa aspek hasil (result) dan aspek mutu
pelayanan kurang mendapat porsi yang sesuai.
Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu
sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara
memuaskan. Menurut Triguno (1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu “melayani
setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong,
serta mampu”. Berkaitan dengan itu, dalam Info PAN No. 8 (1992:3) dikemukakan
bahwa pelayanan yang baik kepada masyarakat ditentukan oleh dua faktor utama,
yaitu :
1. Adanya “sense of public service”, yaitu kesadaran (untuk memberikan
layanan) publik, yang dilandasi oleh rasa pengabdian yang mendalam.
2. Kemampuan dan keterampilan manajerial. .
Berdasarkan pendapat di atas pelayanan yang diberikan oleh aparatur
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di Indonesia, sehingga perlu ditumbuhkan jiwa kemanusiaan yang tinggi untuk bisa
melayani masyarakat dengan ikhlas yang mempunyai jiwa pengabdian kepada
bangsa, Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan
pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara
pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan
aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.
Khususnya pelayanan pembuatan KTP-el di Indonesia.

PEMBAHASAN
1. Analisa Kontemporer Pelayanan Publik KTP-el dalam Good Lokal
Governance di Indonesia
Aanalisis biasanya sering dikaitkan dengan kebijakan sehingga analisis
diartikan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat
memberi landasan dari para pembuat kebijakan. Seperti halnya kebijakan direktorat
jenderal kependudukan dan catatan sipil kementrian dalam negeri Republik
Indonesia (2012) mengungkapkan bahwa KTP berbasis NIK secara nasional yang
selanjutnya disebut KTP Elektronik adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format
KTP Nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas
resmi yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil
kabupaten/kota.

642 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2013,
perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan menjelaskan bahwa kartu tanda penduduk elektronik selanjutnya
disingkat KTP-el merupakan kartu tanda penduduk yang dilengkapi CIP yang
merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh
instansi pelaksana. Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang
memiliki ijin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah menikah atau
pernah menikah wajib memiliki KTP-el yang berlaku secara nasional sebagai SIN
(Single Identity Number) yang berbasis NIK dengan menggunakan teknologi
komputer dan basis data yang integratif. NIK adalah Nomor Identitas Kependudukan
yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar
sebagai penduduk Indonesia. NIK hanya bisa diterbitkan oleh instansi pelaksana
dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) KTP-
el untuk WNI berlaku seumur hidup dan bagi orang asing berlaku sesuai dengan
masa ijin tinggal tetap.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka sebagai pelaksana pembuat KTP-el
aparatur pemerintah dituntut untuk bekerja secara profesional dalam melayani
masyarakat, tetapi karena keterbatasan SDM maupun sumber daya organisasi
pelaksanaan pembuatan KTP-el belum berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat
terlihat dari kebijakan
Konsep kebijakan nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan
pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan
mampu mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada saatnya, daerah diharapkan
mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya
saing daerah, dan pada gilirannya mampu meningkatkan perkonomian daerah.
Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau keleluasaan
kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang
pemerintahan tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secara nyata hidup dan berkembang, di
masyarakat daerah yang bersangkutan. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab,
berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di dalam
pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Pemerintahan Daerah harus
mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat atas

643 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pencapaian tujuan otonomi daerah. Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin
dan dibuktikan dengan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan publik, pengembangan demokrasi,
keadilan dan pemerataan bagi masyarakat daerahnya.
Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna bahwa daerah semena-mena atau
sebebas-bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan selera,
keinginan yang mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas,
harus sejalan, selaras dan dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab, dan memperhatikan keserasian hubungan antar
pemerintahan daerah dan pemerintah nasional. Konsep otonomi daerah yang luas
inilah yang pada umumnya belum dipahami secara utuh di daerah.

2.Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar


Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman
dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk
mensejahterakan rakyat. Dalam mensejahterakan masyarakatnya yang secara
universal diukur dengan kemampuan untuk meningkatkan pencapaian indeks
pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Indikator HDI, diantaranya
dapat diketahui dari keadaan dan kondisi kesehatan, pendidikan, pendapatan
masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya.
Untuk mencapai indeks HDI yang lebih tinggi ; Kata kuncinya adalah
“pelayanan publik” (public services), yaitu sejauhmana kemampuan Pemda untuk
memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakatnya. Pelayanan
publik seyogyanya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

3. Layanan yang dibutuhkan Masyarakat


Pada dasarnya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat
dikelompokkan kedalam dua hal: (a) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti
kesehatan, pendidikan, air, lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana
perhubungan dan sebagainya; (b) Kebutuhan pengembangan sektor unggulan (core
competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri dan
sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter daerahnya masing-masing.
Dalam konteks local good governance, daerah harus mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan
kedua kelompok kebutuhan diatas. Kebutuhan dasar (basic needs) adalah hampir

644 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang
berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan penduduk,
sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata
pencaharian penduduknya. Dengan demikian, yang membedakan jumlah, jenis
urusan dan kewenangan antara daerah adalah, urusan pilihan yang berkaitan
kewenangan pengembangan sektor unggulan. Dari sektor-sektor tersebut tentunya
penduduk sangat memerlukan data kependudukan yang beupa Kartu Tanda
Penduduk yang sesuai dengan apa yang diamanatkan pemerintah yaitu kartu tanda
penduduk berbasis elektronik. Yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2011 dan
berakhir pada 30 April 2012 yang mencakup 67 juta penduduk di 2348 kecamatan
dari 197 kabupaten/kota. Sedangkan tahap kedua mencakup 105 juta penduduk yang
tersebar di 300 kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Sedangkan target pencapaian
pelayanan KTP-el secara keseluruhan pada akhir 2012 ditargetkan setidaknya 172
juta penduduk sudah memiliki KTP-el dan dari awal sampai akhir tahun 2013
perekaman data penduduk tetap berlanjut sampai seluruh penduduk Indonesia wajib
KTP-el yang terekam data pribadinya. Tetapi dilapangan ditemui beberapa hambatan
dari pencapaian tersebut misalnya :
Pada program KTP –el di Kota Bandung belum berjalan dengan maksimal.
Hal ini ditandai dengan tidak tercapainya target yang ditentukan yaitu sebanyak 1,6
juta jiwa wajib KTP-el hingga september tahun 2016 masih ada 150.000 ribu jiwa
yang belum memiliki KTP-el, hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan
pembatasan blankko dan sistem yang menghambat proses, rekam dan cetak KTP-
el. Penyebaran kegegalan tersebut diantaranya permasalahan komunikasi,
kurangnya sumber daya, struktur birokrasi, yang rumit dan kaku serta penentangan
dari pihak lain.
Pada implementasi kebijakan pelayanan KTP-el dengan hasil penelitian yang
dikutif dari ejournal.unstrat.ac.id- Indra Jaya La Udi menyatakan bahwa (1) Tangile
(bukti langsung) Produktivitas kinerja aparatur pemerintah kecamatan dalam
pelayanan KTP-el sangat rendah didasarkan pada data masyarakat yang telah
melakukan proses pengambilan data yang mencapai 9100 masyarakat baru 1237
KTP-el yang sudah tersalur atau hanya 13,6% masyarakat yang sudah memiliki KTP-
el di Kecamatan Tondono Selatan . (2) Reliabilility (keterandalan) Tingkat kepuasan
masyarakat dari pelayanan KTP-el dapat dikatakan baik berdasarkan pada hasil
penelitian yang menyatakan bahwa masyarakat merasa senang dan nyaman dengan
pelayanan dari aparat kecamatan (3) Responsiveness (daya tangkap) aparat

645 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pemerintah kecamatan juga sudah dapat dikatakan baik didasarkan pada proses
pengambilan data yang tidak dipersulit, serta prosesnya cepat tidak memakan waktu
yang lama dalam pengambilan data KTP-el. Namun sayangnya masyarakat merasa
kecewa dengan produktivitas yang sangat rendah disebabkan oleh Human eror
dalam input data sehingga menyebabkan masih banyak juga masyarakat yang belum
memiliki KTP-el (4) Assurance (jaminan). Kemampuan Aparat kecamatan juga sudah
baik didasarkan pada prioritas pelayanan KTP-el ini bahwa mereka selalu
menyediakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat meskipun seadanya
saja. Akan tetapi karena adanya kelalaian petugas kecamatan yang menginput data
sehingga menyebabkan sebagian besar KTP-el tidak dapat diproses untuk dibuat di
pemerintahan pusat. (5) Akuntabilitas aparat kecamatan dalam pelayanan KTP-el
masih perlu mendapat perhatian khusus didasarkan pada penyaluran KTP-el yang
hanya serta merta begitu saja tanpa tanpa adanya aktivasi karena aparat tidak
melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tidak ada penarikan KTP
mengakibatkan status kependudukan ganda apabila KTP yang lama masih berlaku.
(6) Empaty , atau kemudahan dalam melakukan hubungan yang baik antara
pelanggan dengan aparat pemberi layanan KTP-el belum sepenuhnya terealisasikan
dengan baik, hal tersebut disebabkan karena komunikasi yang dilakukan aparat
pemerintah belum bisa menyentuh aktivitas kegiatan terhadap pembuatan KTP-el di
wilayah yang ada di Indonesia.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian di berbagai kecamatan dan kota di Indonesia
maka Analisa Kontemporer Pelayanan Publik KTP-el dalam Good Lokal Governance
di Indonesia dengan berdasarkan landasan teori di atas, pelakanaan pemberian
pelayanan KTP-el yang dilakukan aparat pemerintahan dalam memberikan
pelayanannya kurang maksimal. Hal tersebut ditemui hampir disetiap daerah,
permasalahan KTP_el sama. Apalagi bagi daerah yang letrak kecamatan
cakupannya wilayahnya luas maka jumlah penduduk yang harus dilakukan
perekaman juga cukup banyak. keluhan dari kecamatan biasanya minim peralatan
perekaman yang setiap kecamatan berjumlah satu atau dua alat.. hal ini
menyebabkan penghambat bagi tercapainya target pencapaian KTP-el. Padahal
Masyarakat berharap seluruhnya memegang KTP-el sesuai dengan target
pemerintah bahwa di tahun 2014 masyarakat Indonesia harus sudah memiliki KTP-el
sebagai identitas resmi yang harus dimiliki oleh penduduk di Indonesia. Ternyata

646 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
sampai tahun 2017 KTP-el belum sepenuhnya terealisasikan. Dengan permasalahan
tersebut tentunya masyarakat Indonesia sangat dirugikan. Karena KTP-el sangat
dibutuhkan untuk melakukan berbagai kegiatan transksil seperti halnya, transaksi
Bank, Kesehatan, pasport, pembuatan akte kelahiran dll.

DAFTAR PUSTAKA
BKKSI, 2000. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Atap, Panduan Praktis.
Buchari Zainun, 1995. Administrasi dan Manajemen Kepegawaian Pemerintah
Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
Depdagri, 2004. Modul Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Atap. LAN-RI
Jakarta.
Gasperz, Vincent, 2006. Total Quality Management (TQM), untuk Praktisi Bisnis dan
Industri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hening Widiatmoko, 2007. Pelayanan Publik melalui Pendekatan Sistem dalam
Penerapan Ekologi Administrasi Publik. dari http://www.yahoo.co.id
Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September
2004 – Februari 2005.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun
2002, Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan.
Leach, Steve; Stewart, John and Kieron Walsh, 1994. The Changing Organization
and Management of Local Government, McMillan Press Ltd.
Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, 2006. Strategi Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, LAN.
Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia,2005. Penyusunan Standar
Operating Procedure, Jakarta, LAN.
Osborne David, Ted Gabler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing
Government), Pustaka Binawan Pressindo.
Osborne, David and Peter Plastrik, 1997. Memangkas Birokrasi, Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha, Lembaga Manajemen PPM, Jakarta.
Re Putra, 2012. Implementasi Program KTP Elektronik (KTP-el) di daerah
Percontohan, Universitas Islam Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan

647 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
PENYELENGGARAAN PELAYANAN SISTEM ADMINISTRASI
KENDARAAN BERMOTOR DI INDONESIA
Kurhayadi285

ABSTRAK
Dengan munculnya berbagai permasalahan dalam pelayanan pemberian layanan
kendaraan bermotor terutama kendaraan bermotor roda dua maka diselenggarakan
oleh Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap terutama dalam
penerapan sistem administrasi registrasi dan identifikasi yang diberlakukan melalui
sistem online.
Kata Kunci: Pelayanan, Sistem, Online

ABSTRACT
With the emergence of various problems in service provision of motor vehicles,
especially motorized two-wheeled vehicle is organized by the Administration of
Single-Roof Administration System, especially in the application of registration and
identification administration system applied through the online system.
Keywords: Service, System, Online

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Peningkatan ekonomi terlihat dengan kebutuhan dalam bidang transportasi
yang semakin meningkat Hal ini diperlihatkan dengan perkembangan kendaraan
bermotor di Indonesia. sangatlah signifikan pertambahannya, terutama di kota-kota
besar di Indonesia, Data memperlihatkan misalnya bahwa pertambahan pada tahun
2014 untuk Kota Bandung adalah sebanyak 86,253 juta unit kendaraan bermotor roda
dua. Naik 11 % dari tahun sebelunya, 77,755 juta unit.
Sehingga diperlukan suatu organisasi yang melakukan registrasi-identifikasi
kendaraan bermotor yaitu Sistem Pelayanan Satu Atap (Samsat). Dampak dari
penambahan kendaraan bermotor menyebabkan kemacetan karena pertambahan
jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan infrastruktur terutama jalan
raya yang tersedia. Selain itu dengan perkembangan kendaraan bermotor roda dua
Banyak terjadi pencurian kendaraan bermotor, dan banyaknya motor yang
bodong dalam arti tidak membayar pajak baik tahunan maupun 5 tahunan, kemudian
dampak sosial yang berakibat pada ranah hukum yaitu dikarenakan pertentangan
antara pihak leasing dengan pembeli kendaraan bermotor yang secara menyicil.
Yang menjadi masalah yang ditelusuri mengapa banyak motor yang terkena razia

285 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung

648 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
oleh Polisi lalu lintas banyak yang tidak menguruskan pajak kendaraan bermotor roda
duanya yang 1 tahun maupun yang 5 tahun. Pada tanggal 19 Januari 2015, telah
diberlakukan sebuah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan
Bermotor, atau kebijakan ini dikenal dengan kebijakan penyelenggaraan sistem
administrasi Samsat Ranmor.
Satu diantara banyak kegiatan dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu
Atap (Samsat) adalah penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor, hal ini termasuk di dalamnya adalah pembayaran pajak kendaraan
bermotor, bea balik nama ranmor, dan pembayaran sumbangan wajib dana
kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan, yang kesemuanya terintegrasi dan
terkoordinasi dalam kantor bersama Samsat.
Kebijakan yang menjadi landasan yaitu kebijakan di atas Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015, dan beberapa kebijakan yang dibawahnya
akan mengikuti Perpres tersebut, juga yang berhubungan dengan keberadaan Kantor
Bersama Samsat. Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
Kendaraan Bermotor, serta ditambah dengan perkembangan data mengenai
pertambahan kendaraan bermotor yang menjadi tugas dan tanggung jawab
pelayanan dari Kantor Bersama Samsat sehingga permasalahan yang harus
dihadapi, yaitu pelayanan kepada masyarakat di Indonesia yang memiliki kendaraan
bermotor roda dua yang dilayani oleh Kantor Bersama Samsat .
Permasalahan yang utama dikarenakan makin banyaknya jumlah kendaraan
bermotor roda dua yang harus dilayani, maka hal ini akan memberikan masalah
terhadap jumlah pekerjaan yang dibebankan kepada SDM, seiring dengan penerapan
kebijakan sistem administrasi dalam Perpres No. 5/2015 tentang Penyelenggaraan
Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor sehingga
menimbulkan permasalahan baru bagi kesiapan sumber daya manusia dalam hal
memberikan pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor sehingga
beban pekerjaan dan kualitas pelayanan yang harus diberikan kepada para
pengguna/pemilik kendaraan bermotor tersebut, terkait penerapan sistem
administrasi registrasi dan identifikasi yang diberlakukan melalui sistem online.
Kemajuan sistem online Kantor Samsat diseluruh Indonesia dituntut harus
memiliki kemampuan penguasaan Information Technology (IT). Kemampuan ini
harus diimbangi dengan pemahaman terhadap kompetensi SDM dalam penerapan
sistem yang berlaku terutama sistem pelayanan prima di sektor publik, dalam hal ini

649 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor di Kantor Bersama Samsat
di daerah-daerah di Indonesia. Koordinasi antara ketiga unsur mainstakeholder
dalam pemberian pelayanan di Kantor Bersama Samsat yaitu Dispenda Provinsi,
Kepolisian Daerah dan dari pihak Jasa Raharja, dalam hal ini Samsat dituntut
memberikan pelayanan yang satu diantaranya adalah registrasi-identifikasi
kendaraan bermotor.

RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah ini, adalah sebagai berikut:
Bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan sistem administrasi di Kantor
Bersama Samsat?

TINJAUAN PUSTAKA
PENGERTIAN, PRINSIP DAN AZAS PELAYANAN
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus berdasarkan pada beberapa
asas umum kepemerintahan yang baik, hal ini dikemukakan oleh Surjadi (2012:12)
yaitu:
1. Kepastian hukum;
2. Transparan;
3. Daya tanggap;
4. Berkeadilan;
5. Efektif dan efisien;
6. Tanggung jawab;
7. Akuntabilitas;
Berdasarkan hal tersebut dimaksudkan bahwa kepastian hukum adalah
adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin terselenggaranya pelayanan
publik yang menunjang pada kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Partisipatif
adalah mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan harapan masyarakat. Akuntabilitas adalah proses
penyelenggaraan pelayanan yang harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai
peraturan perundang-undangan.
Profesionalisme adalah aparat pemberi pelayanan harus memiliki kompetensi
yang sesuai dengan bidang tugasnya. Kesamaan hak adalah pemberian pelayanan
yang tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan,
gender, dan status ekonomi. Dan memberikan keseimbangan hak dan kewajiban

650 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
harus sebanding dengan kewajiban yang harus dikeluarkan/ dilaksanakan oleh
pemberi dan penerima pelayanan.
Pelayanaan yang terbaik merupakan proses yang diharapkan semua pihak.
Semua individu mencari segala cara dalam hal memaksimalkan pelayanan yang
dibutuhkan oleh pihak yang menjadi pelanggannya. Peran pemerintah daerah
sebagai penyedia pelayanan publik diarahkan kepada visi sebagai pengarah,
penggerak dan fasilitator dalam penyediaan pelayanan publik.

KUALITAS PELAYANAN
Definisi kualitas pelayanan dari Fitzsimmons inilah yang menjadi fokus dalam
penelitian ini. Dimensi Tangible (terjamah) dengan indikatornya adalah penampilan
pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan dan perlengkapan yang
menunjang pelayanan. Dimensi Assurance (jaminan) dengan indikatornya adalah
pengetahuan/wawasan, kesopan santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan,
respek terhadap konsumen.
Reliability (handal) dengan indikatornya adalah kemampuan untuk
memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada
konsumen/pelanggan. Dimensi Responsiveness (pertanggungjawaban) dengan
indikatornya adalah kesadaran/keinginan membantu konsumen, dan memberikan
pelayanan yang cepat. Dimensi Emphaty (empati) dengan indikatornya adalah
kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan,
berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
Pelayanan sistem administrasi penyelenggaraan registrasi dan identifikasi
kendaraan bermotor adalah termasuk pelayanan kepada masyarakat pengguna
kendaraan bermotor. Menurut Thoha (1991: 41) pelayanan masyarakat dapat
dirumuskan sebagai berikut:
“Suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maupun
institusi tertentu untuk memberikan bantuan kemudahan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan masyarakat menjadi
sedemikian penting karena hubungan dan singgungannya dengan manusia
dalam komunitas masyarakat banyak (society community).”

Birokrasi pemerintah memainkan perannya sebagai institusi terdepan yang


berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat (warga). Pelayanan masyarakat
dalam gugus institusi birokrasi pemerintah merupakan pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah yang secara langsung memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.

651 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Pada kehidupan sehari-hari, fungsi pelayanan mencerminkan lebih dari satu
pihak baik sebagai orang yang melayani maupun individu atau kelompok yang
dilayani.

PEMBAHASAN
PENYELENGGARAAN PELAYANAN SISTEM ADMINISTRASI DI KANTOR
BERSAMA SAMSAT
Samsat bertujuan memberikan pelayanan registrasi dan identifikasi
kendaraan bermotor, pembayaran pajak atas kendaraan bermotor, dan sumbangan
wajib dana kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan secara terintegrasi dan
terkoordinasi dengan cepat, tepat, transparan, akuntabel, dan informatif.
Kemudian hal tersebut dirinci pada Pasal 3 s.d. Pasal 6, antara lain, Pasal 3,
ruang lingkup pelayanan Samsat meliputi:
a. Regident Ranmor;
b. Pembayaran pajak atas kendaraan bermotor; dan
c. Pembayaran SWDDKLLAJ.
Hal tersebut dirinci dan ditegaskan pada Pasal 4, mengemukakan bahwa:
(1) Regident Ranmor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi:
a. Registrasi Ranmor baru;
b. Registrasi perubahan identitas Ranmor dan Pemilik;
c. Registrasi perpanjangan Ranmor; dan/atau
d. Registrasi pengesahan Ranmor.
(2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelayanan Regident juga
meliputi:
a. Pemblokiran dokumen Regident Ranmor yang terkait tindak pidana;
b. Penggantian dokumen Regident Ranmor; dan
c. Penghapusan nomor registrasi Ranmor.
Juga pada Pasal 5, mengemukakan bahwa pembayaran pajak atas
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi:
a. PKB; dan
b. BBN-KB.
Kemudian dijelaskan juga pada Pasal 6 yang mengemukakan:
(1) SWDKLLAJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri dari:
a. SWDKLLJ; dan
b. DPWKP.

652 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(2) Pembayaran DPWKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat
dilakukan di Kantor Bersama Samsat.
Maka dalam rangka pelaksanaan kebijakan yaitu Peraturan Presiden tersebut
mengenai kebijakan penyelenggaraan sistem administrasi registrasi-identifikasi
kendaraan bermotor di Kantor Bersama Samsat di Indonesia harus dibagi,
dikoordinasikan dan dikelola sebuah tim yang terdiri dari tiga unsur, yaitu Kepolisian
, Dispenda pihak Jasa Raharja wilayah, dan personil tersebut harus menguasai
mengenai layanan yang dirinci dalam proses penyelenggaraan administrasi registrasi
dan identifikasi kendaraan bermotor.
Biasanya pelayanan pajak kendaraan bermotor di samsat dapat dilihat dari
lima indikator pelayanan publik antara lain:
a. Efektivitas
Efektif dalam mencapai tujuan organisasi merupakan misi organisasi
yang juga mengacu pada visi organisasi. Sehingga petugas pelayanan
memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan krbutuhan dari
DITLANTAS pada kantor pelayanan pajak Daerah masing-masing di
Indonesia. dan untuk penetapan sumbangan Jasa Raharja dikelola oleh
petugas dari PT Raharja itu sendiri.
b. Efisien
Suatu pelayanan yang efisien menggunakan sumber daya seperti
anggaran dan fasilitas minimal untuk mencapai suatu pelayanan yang
maksimal. Penyelenggaraan pajak kendaraan bermotor di beberapa
samsat di Indonesia pada saat sekarang ini dinilai efisien. Hal ini terlihat
dari masyarakat Indonesia memperoleh kemudahan dalam hal pelayanan
pajak dengan semakin cepat dan mudah pelayanan yang diberikan
kepada wajib pajak dengan penggunaan teknologi komputer yang
berbasis real time online, pelayanan pajak kendaraan bermotor sudah
tidak dilakukan secara manual sehingga menghemat waktu bagi para
petugas dan pengguna layanan.
c. Responsiveness (Daya tangap)
Responsiveness merupakan bukti daya tanggap penyedia layanan dalam
mengenali kebutuhan, harapan dan tuntutan wajib pajak. SAMSAT
sebagai penyedia layanan publik dapat lebih tanggap mengetahui
kebutuhan wajib pajak, hal ini tidak terlepas bahwa wajib pajak membayar
pajak kendaraan bermotor yang menyumbang pendapatan asli daerah

653 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
(PAD). Meskipun harapan dan tuntutan masyarakat belum dapat
terealisasi sepenuhnya namun sebagian besar wajib pajak sudah
merasakan perbaikan pelayanan pajak kendaraan bermotor yang lebih
baik dari hari ke hari. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan SAMSAT
di setiap daerah di Indonesia telah menyediakan berbagai media
pengaduan pelayanan, meskipun begitu, dari hasil penelitian juga
diketahui masih banyak masyarakat yang bingung dengan alur pelayanan
dikarenakan ketidaktahuan mastarakat sendiri dan kekurangan informasi
yang disampaikan oleh petugas pelayanan.
d. Reliability
Reliability atau reliabilitas merupakan kemampuan penyedia layanan
untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.
Konsep reliability ini sejalan dengan konsep pelayanan publik. Pada
dasarnya sesuatu yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya untuk memberikan kepuasan. Bentuk
reliabilitas yang dilakukan oleh SAMSAT yaitu dengan selalu memeriksa
dokumen/berkas wajib pajak agar tidak terjadi kesalahan dalam
pemberian pelayanan seperti pengesahan STNK. Dalam hal kemampuan
petugas pelayanan di SAMSAT di daerah-daerah sudah disesuaikan
dengan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing petugas. Dari segi
keakuratan waktu, pelayanan pajak kendaraan bermotor yang diberikan
sudah sesuai dengan dengan sasaran waktu yang ditetapkan meskipun
hal ini hanya dicapai dalam kondisi pelayanan ideal dengan jumlah wajib
pajak tidak kurang dari seribu wajib pajak.
e. Tangible
Tangible merupakan ketampakan fisik, peralatan, pegawai dan fasilitas
komunikasi yang dimiliki oleh penyedia layanan ketampakan atau bukti
fisik sangat penting dalam pelayanan publik karena akan mempengaruhi
kenyamanan wajib pajak dan kelancaran petugas dalam memberikan
pelayanan. Kenyamanan ruang pelayanan dapat berdampak langsung
terhadap kepuasan wajib pajak karena bukti fisik dapat dilihat dan
dirasakan langsung oleh pengguna layanan SAMSAT. Penggunaan
teknologi komputer telah memberikan kontribusi besar dalam
menciptakan pelayanan yang memuaskan kepada wajib pajak. Jadi
walaupun jumlah petugas dianggap kurang namun pelayanan dapat

654 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
berjalan dengan baik dan memenuhi kepuasan wajib pajak. Selain itu
fisik pelayanan wajib pajak SAMSAT yang berada dikota-kota besar,
misalnya Jogyakarta, Bandung, mempunyai tempat parkir yang jauh dari
nyaman,apalagi untuk kendaraan roda empat, yang akan memarkir
kendaraannya merasa tidak nyaman.

KESIMPULAN
Penyelenggaraan pelayanan pajak khususnya pajak kendaraan bermotor
roda dua dalam pelaksanannya pelayanan sudah didukung oleh sumber daya
manusia yang merupakan salah satu faktor pendukung yang diberikan oleh samsat
secara profesional kepada wajib pajak. Komunikasi sudah diberikan oleh pelayan
pajak kepada wajib pajak dengan adanya kerjasama terpadu antar tiga instansi yaitu
PLRI<DISPENDA< dab PT. Jasa Raharja. Dengan komunikasi yang baik antar ketiga
instansi tersebut maka pelayanan dapat berjalan lancar, sikap petugas pelaksana
memberikan pelayanan kepada wajib pajak sangat berpengaruh terhadap pandangan
wajib pajak terhadap pelayanan yang diberikan, kebanyakan SAMSAT di daerah
dalam memberikan pelayanan kurang memberikan senyuman hal tersebut
dikarenakan mengingat banyaknya jumlah wajib pajak yang harus dilayani setiap
harinya. Sarana dan prasarana rata-rata di samsat belum ada fasilitas komputer bagi
pengguna layanan yang berguna sebagai akses informasi komputer yang ada hanya
diperuntukkan untuk petugas saja. Sarana parkir yang belum memadai sebagaimana
harapan yang diberi layanan oleh SAMSAT. Masih adanya calo yang merupakan
hambatan dari luar/eksternal turut mengganggu jalannya pelayanan pajak kendaraan
bermotor di SANSAT. Sehingga dengan adanya calo tentunya akan menghambat
terhadap aktivitas pelayanan dengan baik, karena sering terjadi kecemburuan sosial
diantara para pengguna layanan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Hamdi, Muchlis. 2002. Bungai Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta.
Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik (Konsep, Dimensi, Indikator dan
Implementasinya). Yogyakarta: Gava Media.
Islamy, Irfan. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara.

655 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2012. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika
Aditama.
___________. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto, 2009, Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: GAVA Media.
Sedarmayanti. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia (Reformasi Birokrasi dan
Manajemen Pegawai Negeri Sipil). Cetakan VII. Bandung: Refika Aditama.
Sinambela, Lijan Poltak, 2008, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan
Implementasi. Jakarta:PT Bumi Aksara.
Sugandi. 2011. Administrasi Publik (Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia).
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Surjadi. 2012. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Cetakan Kedua. Bandung:
Refika Aditama.
Swink, Morgan., Melnyk, Steven A., Cooper, M. Bixby., and Hartley, Janet L. 2011.
Managing Operations Across The Supply Chain. New York: McGraw-Hill Irwin.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W
Lemlit Unpad.
Tjiptono, Fandy. 2000. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Triguno F., 1997. Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan yang Kondusif Untuk
Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT. Golden Terravon Press.
Wahab, Solichin Abdul. 2008. Analisis Kebijaksanaan (Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara). Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Widodo, Joko. 2009. Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik). Malang: Bayumedia.
Winarno, Budi. 2005. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.

656 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan
Bermotor.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012
tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.
Instruksi Bersama Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan Nomor: INS/03/M/X/1999, Nomor: 29 Tahun 1999, Nomor:
6/IMK.014/1999, tanggal 11 Oktober 1999 tentang Pelaksanaan Sistem
Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap dalam penerbitan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor serta Sumbangan Wajib Dana
Kecelakaan Lalu Lintas.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 33 Tahun 2013 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah untuk Jenis Pungutan Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Jurnal
Adidjaja, Ruslan. 2014. Pengaruh Kinerja Aparatur Terhadap Kualitas Pelayanan
Kependudukan di Pemerintah Kota Bandung. Jurnal Bina Administrasi
Volume I – Oktober 2014: 67-85.

657 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017
Kartiwa, Asep, 1995, Penyempurnaan Manajemen Pemerintahan di Daerah Untuk
Meningkatkan Pelayanan Sektor Publik, Dies Natalis XIII Universitas
Langlangbuana, Bandung.
Kushendar, Deden Hadi. 2014. Pengaruh Impelementasi Kebijakan Insentif dan
Akses Permodalan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Usaha (Studi Pengaruh
pada Pelaku Usaha Binaan Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha
– BPPKU Kota Bandung). Jurnal Bina Administrasi Volume I – Oktober 2014:
9-32.
Rohayati, Yeti. 2015. Peranan Restrukturisasi Organisasi Terhadap Efektivitas
Organisasi Pelayanan Publik. Jurnal Bina Administrasi Volume II – April 2015:
1-9.
Rasyid, Ryas M., 2000, Kebijakan Penyiapan Sumber Daya Aparatur Yang
Profesional Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Edisi 10 2000, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
(MIPI), Jakarta.
Setiabudi, 2000, Aparatur Pemerintah Yang Profesional Dapatkah Diciptakan,
makalah dalam Diskusi Mingguan Bappenas Edisi Bulan Nopember 2000,
Bappenas, Jakarta.
Soetrisno, R., 2003, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Peranannya
Dalam Pembangunan Daerah, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan
WIDYAPRAJA, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Suparno, Elan. 2014. Pengaruh Penambahan Pos Wilayah dan Kemampuan Sumber
Daya Manusia terhadap Kualitas Pelayanan Bencana Kebakaran Kota
Bandung. Jurnal Bina Administrasi Volume I – Oktober 2014: 86-105.
Susniwati. 2015. Implementasi Kebijakan Beras Raskin di Kelurahan Sadang Serang
Kecamatan Coblong Kota Bandung. Jurnal Bina Administrasi Volume II – April
2015: 19-37.

658 | Seminar Nasional & CFP Prodi Ilmu Pemerintahan Unikom 2017

Anda mungkin juga menyukai