Anda di halaman 1dari 147

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN DIAGNOSIS


MEDIS GAGAL GINJAL KRONIS + HIPERKALEMI +DECOMP
CORDIS GR II DI RUANG B1 RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA

Oleh :
TITIS SUZENIK, S.Kep
183.0097

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2019

i
KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN DIAGNOSIS


MEDIS GAGAL GINJAL KRONIS + HIPERKALEMI +DECOMP
CORDIS GR II DI RUANG B1 RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Ners

Oleh :
TITIS SUZENIK, S.Kep
173.0052

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2019

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN LAPORAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

karya ilmiah akhir ini saya susun tanpa melakukan plagiat sesuai dengan peraturan

yang berlaku di Stikes Hang Tuah Surabaya. Berdasarkan pengetahuan dan

keyakinan penulis, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk, saya

nyatakan dengan benar. Bila ditemukan adanya plagiasi, maka saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Stikes

Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 22 Juli 2019

Titis Suzenik, S.Kep

NIM 183.0097

iii
HALAMAN PERSETUJUAN

Setelah kami periksa dan kami amati, selaku pembimbing mahasiswa:

Nama : Titis Suzenik, S.Kep

NIM : 183.0097

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Ny. S dengan Diagnosis Medis

Gagal Ginjal Kronis + Hiperkalemi + Dekomp Cordis gr II

di Ruang B1 Rumkital Dr.Ramelan Surabaya

Serta perbaikan-perbaikan sepenuhnya, maka kami menganggap dan dapat

menyetujui laporan karya ilmiah akhir ini guna memenuhi sebagian persyaratan

untuk memperoleh gelar:

NERS (Ns.)

Surabaya, 7 Agustus 2019

Pembimbing

Yoga Kertapati M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom


NIP 03.042

Mengetahui,
Stikes Hang Tuah Surabaya
Ka Prodi Pendidikan Profesi Ners

Ns. Nuh Huda, M.Kep., Sp.Kep.MB


NIP. 03020

iv
MOTTO

Berfikir Positif dan selalu bersyukur…karna apa


yang diberikan Nya kemarin, hari ini dan besok
bentuk kecintaan allah pada kita

Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada :


1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan memberikan kesehatan
sehingga karya ilmiah ini telah selesai dengan waktu yang tepat.
2. Bapak dan Ibu yang tidak pernah berhenti mendoakan dan memberikan
dukungan dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir.
3. Suami dan Anakku (Alta dan Alya) terimakasih atas semua dukungan
semangat dan kesabarannya dalam proses penyelesaian akademi
4. Adik-adikku yang selalu memberikan semangat dan bantuan nya dalam
menyelesaikan karya tulis akhir
5. Teman seperjuangan B9 sejak S1 non reg sampai akhir profesi yang saling
bertukar pendapat dan saling memotivasi dalam menyelesaikan karya ilmiah
akhir.
6. Teman-teman Profesi Ners STIKES Hang Tuah Surabaya angkatan 9 yang
telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah akhir yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini

sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Karya Ilmiah Akhir ini disusun

sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program Pendidikan Profesi Ners.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan kelancaran Karya Ilmiah ini

bukan hanya karena kemampuan penulis saja, tetapi banyak bantuan dari pihak

yang telah ikhlas membantu penulis dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Laksamana Pertama TNI dr. Ahmad Samsulhadi, selaku Kepala Rumkital

Dr.Ramelan Surabaya, yang telah memberikan ijin dan lahan praktik untuk

penyusunan Karya Ilmiah Ahkir.

2. Ibu Wiwiek Liestyaningrum, S.Kp., M.Kep., selaku pembimbing ruangan dan

Ketua Stikes Hang Tuah Surabaya yang telah memberikan kesempatan

kepada akmi menyelesaikan pendidikan Ners di Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Hang Tuah Surabaya.

3. Bapak Ns.Nuh Huda, M.Kep., Sp.Kep.MB., selaku Kepala Program studi

pendidikan profesi ners yang selalu memberikan dorongan penuh dengan

wawasan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

4. Bapak Yoga Kertapati, M.kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom., selaku Pembimbing, yang

dengan tulus bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian

dalam memberikan dorongan, bimbingan dan arahan dalam penyusunan

Karya Ilmiah Akhir ini.

vi
5. Bapak dan Ibu Dosen Stikes Hang Tuah Surabaya, yang telah memberikan

bekal bagi penulis melalui materi-materi kuliah yang penuh nilai dan makna

dalam penyempurnaan penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, juga kepada seluruh

tenaga administrasi yang tulus ikhlas melayani keperluan penulisa selama

menjalani studi dan penulisannya.

6. Sahabat-sahabat seperjuangan tersayang dalam naungan Stikes Hang Tuah

Surabaya yang telah memberikan dorongan semangat sehingga Karya Tulis

Ilmiah ini dapat terselesaikan.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka saran dan kritik yang

konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga

Karya Ilmiah Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca

terutama bagi Chivitas Stikes Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 22 Juli 2019

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ii
SURAT PERNYATAAN iii
HALAMAN PERSETUJUAN iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN. xii
DAFTAR SINGKATAN xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.3.1 Tujuan Umum 6
1.3.2 Tujuan Khusus 6
1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah 7
1.5 Metode Penulisan 8
1.6 Sistematika Penulisan 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 10


2.1 Anatomi Fisiologi Ginjal
2.1.1 Anatomi Ginjal
2.1.2 Anatomi Ureter
2.1.3 Anatomi Vesika Urinaria
2.1.4 Fisiologi Ginjal
2.2 Konsep Gagal Ginjal Kronis
2.2.1 Definisi Gagal Ginjal Kronis
2.2.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis
2.2.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronis
2.2.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis
2.2.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
2.2.6 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronis
2.2.8 Komplikasi Gagal Ginjal Kronis
2.3 Konsep Hiperkalemia
2.3.1 Definisi Hiperkalemia
2.3.2 Etiologi Hiperkalemia
2.3.3 Manifestasi Klinis Hiperkalemia
2.3.4 Evaluasi Diagnostik Hiperkalemia
2.3.5 Penatalaksanaan Hiperkalemia
2.3.6 Patofisiologi Hiperkalemia
2.3.7 Terapi Hiperkalemia
2.3.8 Pengobatan Hiperkalemia
2.4 Konsep Dekompesasi Cordis

viii
2.4.1 Pengertian Dekompensasi Cordis
2.4.2 Klasifikasi Dekompensasi Cordis
2.4.3 Etiologi Dekompensasi Cordis
2.4.4 Manifestasi Klinin Dekompensasi Cordis
2.4.5 Patofisiologi Dekompensasi Cordis
2.4.6 Komplikasi Dekompensasi Cordis
2.4.7 Penatalaksanaan Dekompensasi Cordis
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis
2.5.1 Pengkajian Gagal Ginjal Kronis
2.5.2 Diagnosa Keperawatan
2.5.3 Intervensi Keperawatan
2.5.4 Evaluasi Keperawatan
2.6 Kerangka Masalah

BAB 3 TINJAUAN KASUS 66


3.1 Pengkajian 66
3.1.1 Data Dasar 66
3.1.2 Pemeriksaan Fisik 68
3.1.3 Pengkajian 70
3.2 Diagnosis Keperawatan 73
3.3 Intervensi Keperawatan 75
3.4 Implementasi Dan Evaluasi 81

BAB 4 PEMBAHASAN 104


4.1 Pengkajian 104
4.1.1 Identitas 104
4.1.2 Riwayat Sakit Dan Kesehatan 105
4.1.3 Pemeriksaan Fisik 107
4.2 Diagnosis Keperawatan 114
4.3 Intervensi 118
4.4 Implementasi 124
4.5 Evaluasi 130

BAB 5 PENUTUP 139


5.1 Simpulan 139
5.2 Saran 141

Daftar Pustaka 143


Lampiran 148

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan gejala...........................................................

Tabel 2.2 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan penilaian obyektif..............

Tabel 3.1 Hasil Laboratorium Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD +
Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal 14 Juli
2019……………………………………………………………….
Tabel 3.2 Terapi Obat Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD +
Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal 14 Juli
2019……………………………………………………………….
Tabel 3.3 Pemeriksaan Nervus Kranial......................................................................................

Tabel 3.4 Intervensi Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD +


Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2........................................................................
Tabel 3.5 Implementasi Dan Evaluasi Ny.S Dengan Diagnosis Medis
CKD + Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2.............................................................

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi ginjal tampak dari depan .............................................. 10

Gambar 2.2 Gambar ginjal tampak dari samping .......................................... 16

Gambar 2.3 Bagian-bagian ginjal......................................................................

Gambar 2.4 Anatomi Ureter..............................................................................

Gambar 2.5 Anatomi Vesika Urinaria...............................................................

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Curiculum Vitae...................................................................... 148

Lampiran 2 SOP Mengukur Tekanan Darah................................................149

Lampiran 3 SOP Mengukur Nadi............................................................... 150

Lampiran 4 SOP Mengukur Suhu Axilla.....................................................151

Lampiran 5 SOP Mengukur Pernapasan (Respiratory Rate)...................... 152

Lampiran 6 SOP Pemberian Obat Injeksi Intra Vena (IV) ........................ 153

Lampiran 7 SOP Perawatan Luka............................................................... 155

Lampiran 8 SOP Latihan Tehnik Relaksasi................................................ 157

Lampiran 9 Luka Gangren Pedis Sinistra......................................................158

Lampiran 10 Perawatan Luka Gangren Pedis Sinistra............................... 159

Lampiran 11 Diabetes Self Management Education.....................................160

xii
DAFTAR SINGKATAN

ADL : Activity Daily Living


BB : Berat Badan
BAB : Buang Air Besar
BAK : Buang Air Kecil
BUN : Blood Urea Nitrogen
C : Celcius
Cm : Centimeter
CRT : Cappilary Refill Time
DepKes : Departemen Kesehatan
DM : Diabetes Melitus
GDP : Gula Darah Puasa
GDPT : Gula Darah Puasa Terganggu
GDS : Gula Darah Sewaktu
GD 2 JPP : Gula Darah 2 Jam Post Prandial
GCS : Glascow Coma Scale
GDA : Gula Darah Acak
GGK : Gagal Ginjal Kronis
HGB : Hemoglobin
IGD : Instalasi Gawat Darurat
Inj : Injeksi
Inf : Infus
IV : Intra Vena
KEMENKES : Kementrian Kesehatan Indonesia
mg/dL : Miligram per desiliter
mmHg : Milimeter Hydragyrum
MRS : Masuk Rumah Sakit
N : Nadi
NGT : Naso Gastric Tube
PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PLT : Platelets
PQRST : Provokasi Quality Region Severityscale Time
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
ROM : Range of Motion
RR : Respiration Rate
RUMKITAL : Rumah Sakit Angkatan Laut
S : Suhu
SDKI : Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia
SMA : Sekolah Menengah Atas xiii
SMRS : Sebelum Masuk Rumah Sakit
SOP : Standart Operasional Procedure
TB : Tinggi Badan
TD : Tekanan Darah

12
WBC : White Blood Cell
WHO : World Health Organization
WIB : Waktu Indonesia barat

13
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan

fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal

mempertahankan metabolisme dan kesimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)

(brunner&suddart,2001:1448 dalam Rudi Haryono,2013)

Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al,

2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global

Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-

27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Di

Indonesia angka kejadian gagal ginjal kronik berdasarkan data hasil Riskesdas

2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar

0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negaranegara lain,

juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006,

yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013

hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar

PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. Hasil Riskesdas

2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya

umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan

kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari

perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan

14
(0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh

(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-

masing 0,3%. Di RSAL Ruang B1 pada bulan april sampai dengan juni dari 412

pasien yang dirawat 38 pasien adalah pasien gagal ginjal kronis (9,22%).

Penyebab utama PGK adalah diabetes mellitus (32%), hipertensi (28%),

dan glomerulonephritis (45%) (Bardero, 2009). Perjalanan umum penyakit ginjal

kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan

laju filtrasi glomerulus (LFG) sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap

kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) karena massa nefron

dirusak secara progresif oleh penyakit ginjal kronik (Wilson, 2006). Patofisiologi

penyakit ginjal kronik melibatkan mekanisme pemicu yang bersifat khas untuk

etiologi dasar serta serangkaian mekanisme progresif yang merupakan

konsekuensi lazim setelah penurunan massa renal dalam jangka panjang, apapun

etiologinya. Penurunan massa renal menyebabkan hipertrofi nefron yang masih

bertahan secara struktural dan fungsional (Syamsudin, 2011). Selama penyakit

ginjal kronik, beberapa nefron termasuk glomeruli dan tubula masih berfungsi,

sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak berfungsi lagi. Nefron yang

masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan menghasilkan filtrate dalam

jumlah yang banyak. Reabsorbsi tubula juga meningkat walaupun laju filtrasi

glomerulus berkurang. Kompensasi nefron yang masih berfungsi dapat membuat

ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron rusak (Baradero,

dkk., 2009). Hiperkalemia sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal

kronik, hal ini diakibatkan karena efek dari disfungsi homeostasis kalium pada

ginjal yang terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (Kovesdy, 2014).

15
Bila K+ serum mencapai kadar > 5,5 mEq/L itu sudah merupakan hiperkalemia,

dan jika sudah mencapai > 6,0 mEq/L dapat terjadi aritmia yang serius atau

terhentinya denyut jantung. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau

terus untuk mendeteksi efek hiperkalemia terhadap konduksi jantung (Roberson,

2006). Hiperkalemia terjadi karena pergeseran kalium ke ekstraseluler, hal ini

disebabkan karena penurunan ekskresi ginjal. Peningkatan asupan makanan yang

mengandung kalium juga berperan penting dalam peningkatan kadar K+ dalam

serum yang dapat memicu terjadinya hiperkalemia (Mushiyakh, dkk. 2012).

Terapi yang dapat mengatasi hiperkalemia antara lain adalah dengan

pemberian glukosa dan insulin intravena, dimana insulin akan memasukkan K+ ke

dalam sel atau dengan pemberian kalsium glukonat 10% intravena dengan terus

memeriksa EKG (elektrokardiogram) pasien karena dapat menimbulkan hipotensi

(Wilson, 2006). Mekanisme insulin dalam menurunkan kalium, yaitu insulin akan

memasukkan kalium ke dalam sel dengan cara merangsang aktivitas Na+ dan H+

di membran sel yang kemudian akan memasukkan Na+ ke dalam sel dan

menyebabkan aktivasi dari Na+ , K+ (diatur oleh adenosis trifosfat intraselular

yaitu kanal KATP) yang akan mengikat K+ di ekstrasel untuk masuk ke dalam

intrasel, sehingga kadar K+ di serum akan turun (Vijayan A, dkk. 2014).

Intervensi asuhan keperawatan yang berhubungan dengan hiperkalemi termasuk

mengidentifikasi pasien beresiko, mencegah hiperkalemi dan mengatasi masalah

yang terjadi akibat efek sistemik hiperkalemi. (lemone, Presilia dkk).

16
1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimanakah asuahan keperawatan pada Ny S dengan diagnosa medis

CKD + Hiperkalemia + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan

Surabaya?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan pada Ny. S

dengan diagnosa medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengkaji Ny. S dengan diagnosa medis CKD + Hiperkalemi +

Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

2. Merumuskan diagnosis keperawatan pada Ny.S dengan diagnosa

medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

3. Merencanakan tindakan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosa

medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa

medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

17
5. Mengevaluasi Tn.S dengan diagnosa medis CKD + Hiperkalemi +

Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosa

medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat Penulisan

Terkait dengan tujuan, maka tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan

manfaat :

1. Akademisi

Hasil studi kasus ini merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan

khususnya dalam hal asuhan keperawatan pada Ny.S dengan diagnosa

medis CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2 di Ruang B1

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

2. Bagi pelayanan keperawatan di rumah sakit

Hasil studi kasus ini, dapat menjadi masukan bagi pelayanan dirumah

sakit agar dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan

CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2

3. Bagi penulis

Hasil penulisan ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi penulisan

berikutnya, yang akan melakukan studi kasus pada asuhan

keperawatan pada pasien CKD + Hiperkalemi + Decomp Cordis gr 2.

18
4. Bagi profesi kesehatan

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi

keperawatan dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang

asuhan keperawatan pada pasien CKD + Hiperkalemi + Decomp

Cordis gr 2 di Ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.5 Metode

1. Metode

Studi kasus yaitu metode yang memusatkan perhatian pada satu obyek

tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara

mendalam sehingga mampu membongkar realitas di balik fenomena.

2. Tenik pengumpulan data

a. Wawancara

Data yang diambil / diperolah melalui percakapan baik dengan

pasien, keluarga maupun dengan tim kesehatan lain.

b. Observasi

Data yang diambil melalui penelitian secara baik dengan pasien,

reaksi, respon pasien dan keluarga pasien sangat diterima

kehadiran saya dengan baik.

c. Pemeriksaan

Dengan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik dan

laboratorium dapat menunjang menegakkan diagnosa dan

penanganan selanjutnya.

3. Sumber data

19
a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari pasien

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari keluarga atau orang

terdekat dengan pasien catatan medik perawat, hasil-hasil

pemeriksaan dan catatan dari tim kesehatan yang lain.

c. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mempelajari buku sumber yang

berhubungan dengan judul karya tulis dan masalah yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan

Supaya lebih jelas dan lebih mudah dalam memahami dan mempelajari

studi kasus ini, secara keseluruhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Bagian awal, memuat halaman judul, persetujuan komisi pembimbing,

pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi.

2. Bagian inti terdiri, dari lima bab, yang masing – masing bab terdiri dari

sub bab berikut ini :

BAB 1 : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan studi kasus.

BAB 2 : Tinjauan pustaka, berisi tentang konsep penyakit dari sudut

medis, dan asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa selulitis dan

diabetes melitus.

BAB 3 : Tinjauan kasus berisi tentang diskripsi data hasil pengkajian,

diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

20
BAB 4 : Pembahasan kasus yang ditemukan yang berisi data, teori dan

opini serta analis.

BAB 5 : Penutup: Simpulan dan saran.

21
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan secara teoritis, meliputi : 1) Anatomi dan

Fisiologi Ginjal 2) Konsep Gagal Ginjal Kronis, 3) Konsep Hiperkalemi, 4)

Konsep Decomp Cordis, 5) Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis, 6)

Kerangka Masalah Gagal Ginjal Kronis.

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal tampak dari depan

Dari gambar 2.1 di atas dapat dilihat anatomi ginjal tampak dari

depan, disini dapat diketahui bahwa ginjal terletak di rongga abdomen,

retroperitoneal kiri dan kanan kolumna vertebralis yang dikelilingi oleh

lemak dan jaringan ikat di belakang peritoneum.

22
Gambar 2.2 Gambar Ginjal tampak dari samping

Dari gambar 2.1 dan gambar 2.2 di atas dapat dijelaskan bentuk

ginjal menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap kemedial.

Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat sruktur-struktur pembuluh

darah, sistem limfatik, sistem syaraf dan ureter menuju dan meninggalkan

ginjal. Ginjal terletak di rongga abdomen, retroperitoneal primer kiri dan

kanan kolumna vertebralis yang dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat di

belakang peritoneum. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke- 11 dan ginjal

kanan setingi iga ke- 12 dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra

lumbalis ke-3. Setiap ginjal memiliki panjang 11- 25cm, lebar 5-7 cm, dan

tebal 2,5 cm. Ginjal kiri lebih panjang dari ginjal kanan. Berat ginjal pada

pria dewasa 150-170 gram dan pada wanita dewasa 115-155 gram dengan

bentuk seperti kacang, sisi dalamnya menghadap ke vertebra thorakalis,

sisi luarnya cembung dan di atas setiap ginjal terdapat kelenjar suprarenal

(Setiadi, 2010).

23
Gambar 2.3 Bagian-bagian ginjal

Bagian – bagian ginjal : (Rudi Haryono, 2013)

Bila sebuah ginjal kita iris memanjang maka akan tampak bahwa ginjal

terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kulit (korteks), sumsum ginjal

(medulla) dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis)

1. Kulit ginjal (korteks)

Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan

penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan

darah ini banyak mengandung kapiler-kapiler darah yang tersusun

bergumpal-gumpal disebut glomerulus. Tiap glomerulus dikelilingi

oleh kapsula bowman dan gabungan antara glomerulus dengan kapsula

bowman disebut badan malpigi

Penyarinngan darah terjadi pada badan malphigi, yaitu diantara

glomerulus dan kapsula bowman. Zat-zat yang terlarut dalam darah

akam masuk ke kapsula bowman. Dan disini zat-zat tersebut akan

menuju ke pembuluh yang merupakan kelanjutan dari kapsula bowman

yang terdapat didalam sumsum ginjal.

24
Unit fungsional ginjal adalah nefron. Pada manusia setiap ginjal

menggandung 1 – 1,5 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai

struktur dan fungsi yang sama. Nefron dibagi dalam 2 jenis yaitu :

a. Nefron kortikalis

Yaitu nefron yang glomerulusnya terletak pada bagian luar korteks

dengan lengkungan handle yang pendek dan tetap berada di

korteks atau mengadakan penetrasi hanya sampai zona luar dari

medulla

b. Nefron juxtamedullaris

Yaitu nefron yang glumerulusnya terletak pada bagian dalam

korteks dekat dengan korteks-medulla dengan lengkungan henle

yang panjang dan turun ke dalam zona dari dalam medulla,

sebelum berbalik dan kembali ke korteks

Bagian-bagian nefron :

a. Glomerulus

Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol

afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol eferen, berfungsi

sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang

melewatinya

b. Kapsula bowman

Bagian tubulus yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan

cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomrulus

c. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu

1) Tubulus proximal

25
Berfungsi mengadakan reasorbsi bahan-bahan dari cairan tubuli

dan mensekresikan bahan-bahan kedalam cairan tubuli

2) Lengkungan henle

Lengkungan henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U.

terdiri dari pars decendens yaitu bagian yang menururn

terbebam dari korteks ke medulla, dan pars ascendens yaitu

bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah

lengkungan henle mempunyai dinding yang sangat tipis

sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang

lebih tebal disebut segmen tebal. Lengkungan henle berfungsi

reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-

bahan kedalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting

dalam mekanisme konsentrasi dan difusi urin.

3) Tubulus distal

Berfungsi danlam reabsorsi dan sekresi zat-zat tertentu

d. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)

Suatu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan

nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke

dalam medulla untuk mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam

pelvis ginjal

2. Sumsum ginjal (medulla)

Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut

pyramid renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya

disebut apeks atau papilla renalis, mengarah kedalam ginjal. Satu

26
pyramid dengan jaringan korteks didalamnya disebut lobus ginjal.

Pyramid antara 8 sampai dengan 18 buah tampak bergaris-garis karena

terdiri atas berkas saluran parallel (tubuli dan duktus koligentes).

Diantara pyramid tersapat jaringan korteks yang disebut kolumna

renal. Pada bagian ini terkumpul ribuan pembuluh halus yang

merupakan lanjutan dari kapsula bowman. Didalam pembuluh halus

ini terangkut urin yang merupakan hasil penyaringan darah dalam

badan malphigi, setelah mengalami beberapa proses.

3. Rongga ginjal (pelvis renalis)

Adalah ujung ureter yang berpangkal digunjal, berbentuk corong lebar.

Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis bercabang

dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang masing-masing bercabang

membentuk beberapa kaliks minor yang berlangsung menutupi papilla

renis dari pyramid. Kaliks minor ini menampung urin yang terus

keluar dari papilla. Dari kaliks minor, urin masuk ke kaliks mayor ke

pelvis renalis ke ureter, hingga ditampung dalam kandung kemih

(vesika urinaria)

2.1.2 Anatomi Ureter

Ureter adalah tabung /saluran yang menghubungkan ginjal dengan

kandung kemih. Ureter merupakan lanjutan dari pelvis renalis, menuju

distal dan bermuara pada vesika urinaria. Persyarafan ureter oleh pleksus

hypogastrikus inferior T11 – L2 melalui neuron-neuron simpatis. Ureter

terdiri dari dua bagian yaitu pars abdominalis (ureter sebagian terletak

27
dalam rongga abdomen) dan pars pelvina (sebagian terletak dalam rongga

pelvis). Terdiri dari dua saluran pipa bersambung dari ginjal ke kandung

kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25 – 30 cm dengan penampang ± 0,5

cm.

Gambar 2.4 Anatomi Ureter

2.1.3 Anatomi Vesika Urinaria

Gambar 2.4 Anatomi Vesika Urinaria

Disebut juga bladder/ kandung kemih. Vesika urinaria merupakan

kantong berongga yang dapat diregangkan dan volumenya dapat

disesuaikan dengan mengubauh status kontraktil otot polos di dindingnya.

Secara berkala urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubh melalui

uretra. Organ ini mempunyai fungsi sebagai reservoir urin (200-400 cc).

28
dindingnya mempunyai lapisan otot yang kuat. Letaknya dibelakang os

pubis. Bentuk vesika urinaria bila penuh seperti telur, apabila penuh

seperti limas. Apex (puncak) vesika urinaria terletak dibelakang sympisis

pubis. Fungsi vesika urinria sebagai tempat penyimpanan urin dan

mendorong urin keluar tubuh.

2.1.4 Fisiologi Ginjal

Berbagai fungsi ginjal anatara lain adalah (Rudi Haryono, 2013):

1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh

Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin

(kemih) yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air (kelebihan

keringat) menyebabkan urin yang diekresikan berkurang dan

konsentrasinya pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat

dipertahankan relatif normal

2. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan

ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi

pemasukan / pengeluaran yang abnormal ion-ion akiat pemasukan gara

yang berlebih / penyakit perdarahan (diare atau muntah) ginjal akan

meningkatkan eksresi ion-ion penting (missal natrium, kalium, klorida,

kalsium dan fosfat)

3. Mengatur keseimbangan asam basa

Cairan tubuh bergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan

menghasilkan urin yang bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini

disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan

29
sayur-sayuran, urin akan berifat basa. pH urin bervariasi antara 4,8 –

8,2. Ginjal mengsekresikan urin sesuai dengan perubahan pH darah

4. Eksresi sisa metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,

obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing

(pestisida)

5. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal mensekresikan horrmon

renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah

(sistem renin angiotensin aldosterone) membentuk eritopoiesis

mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah

merah (eritropoiesis)

Proses pembentukan urine

Ada 3 tahap proses pembentukan urine:

1. Proses filtrasi

Terjadi di glumelurus, proses ini terjadi karena permukaan aferent

lebih besar dari permukan aferent maka terjadi penyerapan darah,

sedangkan bagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali

protein, cairan yang tertampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari

glukosa air sodium klorida sulfat bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus

ginjal.

2. Proses reabsobsi

Pada proses ini penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,

sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi

secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsopsi terjadi pada

30
tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi

kembali penyerapan dari sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan

akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah, penyerapannya

terjadi secara aktif yang dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan

sisanya dialirkan pada papil renalis.

3. Proses sekresi : Sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus

dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke luar.

2.2 Konsep Gagal Ginjal Kronis

2.2.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal Ginjal Kronik merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi

ginjal yang bersifat kronis akibat kerusakan progresif sehingga terjadi

uremis atau penumpukan akibat kelebihan urea dan sampah nitrogen di

dalam darah (Priyanti & Farhana, 2016).

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu kondisi dimana tubuh mengalami

kegagalan untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan

elektrolit dikarenakan kemunduran fungsi ginjal yang bersifat progresif

dan irreversible. Kerusakan pada ginjal ini menyebabkan menurunnya

kemampuan dan kekuatan tubuh untuk melakukan aktivitas, sehingga

tubuh menjadi lemah dan lemas dan berakhir pada menurunnya kualitas

hidup pasien (Wijaya & Putri, 2013).

2.2.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Wijaya & Putri (2013) dalam buku Keperawatan Medikal Bedah,

31
gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3 stadium yaitu :

1. Stadium 1

Pada stadium 1, didapati ciri yaitu menurunnya cadangan ginjal, pada

stadium ini kadar kreatinin serum berada pada nilai normal dengan

kehilangan fungsi nefron 40 sampai 75%. Pasien biasanya tidak

menunjukkan gejala khusus, karena sisa nefron yang tidak rusak masih

dapat melakukan fungsi–fungsi ginjal secara normal

2. Stadium 2

Pada stadium 2, terjadi insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75%

jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum

meningkat akibatnya ginjal kehilangan kemampuannya untuk

memekatkan urin dan terjadi azotemia.

3. Stadium 3

Gagal ginjal stadium 3, atau lebih dikenal dengan gagal ginjal stadium

akhir. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea

Nitrogen) akan meningkat dengan menyolok sekali sebagai respon

terhadap GFR (Glomerulo Filtration Rate) yang mengalami penurunan

sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan

elektrolit sehingga pasien diindikasikan untuk menjalani terapi dialisis

atau bahkan perlu dilakukan transplantasi ginjal.

Berdasarkan National Kidney Foundation Kidney Dissease Outcomes

Quality Initiative (NKF/KDOQI) merekomendasikan pembagian CKD

(Chronic Kidney Dissease) berdasarkan stadium dari tingkat penurunan

LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) :

32
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persiten

dan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang masih normal (>90

ml/menit/1,73 m2).

2. Stadium 2 : kelainan ginjal dengan albuminaria persiten dan LFG

(Laju Filtrasi Glomerulus) antara 60 sampai 89 ml/menit/1,73 m2

3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus)

antara 30 sampai 59 ml/menit/1,73 m2.

4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus)

antara 15 sampai 29 ml/menit/1,73 m2.

5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus)

antara <15 ml/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal terminal.

2.2.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

1. Gangguan pembuluh darah ginjal

Salah satu lesi vaskular yang dapat menyebabkan iskemik pada ginjal

dan kematian jaringan ginjal yang paling sering adalah atreosklerosis

pada arteri renalis besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada

pembuluh darah. Hiperplasia fibromuskular dapat menyebabkan

sumbatan pada pembuluh darah. Hipertensi lama yang tidak diobati

mengakibatkan nefrosklerosis yang dicirikan antara lain terjadinya

penebalan, hilangnya elastisistas sistem, perubahan darah ginjal

mengakibatkan aliran darah menurun dan akhirnya terjadi gagal ginjal.

2. Gangguan imunologis

Seperti glomerulonefritis (peradangan pada glomerulo) dan SLE

33
(System Lupus Erythematosus).

3. Infeksi

Infeksi ini bisa disebabkan oleh bakteri seperti Echerichia Coli berasal

dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri

Echerichia Coli mencapai ginjal melalui aliran darah dari traktus

urinarius lewat ureter ke ginjal sehingga dapat mengakibatkan

kerusakan irreversible ginjal atau biasa disebut plenlonefritis.

4. Gangguan metabolik

Contoh penyakit gangguan metabolik yaitu Diabetes Mellitus (DM)

dapat menyebabkan mobilisasi lemak meningkat kemudian terjadi

penebalan membran kapiler dan ginjal berlanjut dengan disfungsi

endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang disebabkan

endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah

secara serius dan menyebabkan membran glomerulus rusak.

5. Gangguan tubulus primer

Terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.

6. Obstruksi traktus urinarius

Oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan konstriksi uretra.

7. Kelainan kongenital dan herediter

Dapat terjadi karena kondisi keturunan dengan karakteristik kista atau

kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ lain serta tidak adanya

jaringan ginjal yang bersifat kongenital.

34
2.2.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan

yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran

sirkulasi yang memiliki fungsi yang banyak (organ multifunction)

sehingga kerusakan kronis secara fisiologi ginjal akan mengakibatkan

gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda

dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis (prabowo,2014)

1. Ginjal dan gastrointestinal

Sebagai akibat dai hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering,

penurunan turgor kulit, kelemahan, fatique dan mual. Kemudian terjadi

penurunan kesadaran (somnolent) dan nyeri kepala hebat. Dampak dari

peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya

otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak

terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling

khas adalah terjadinya penuunan urine output dengan sendimentasi

yang tinggi.

2. Kardiovaskuler

Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic,

perikarditis, efusi perkardial (kemungkinan terjadi temponade

jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer

3. Respiratory System

Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi

pleura, crackles, sputum kental, uremic pleuritis dan uremic lung dan

35
sesak nafas

4. Gastrointestinal

Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulcerasi pada mukosa

gastrointestinal karena stomatitis, ulcerasi dan perdarahan gusi dan

kemungkinan parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi

pada usus halus/usus besar, colitis dan pankreatitis. Kejadian sekunder

biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan vomiting.

5. Integumen

Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.

Selain itu, biasanya menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae

dan timbunan urea pada kulit

6. Neurologis

Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri, gatal

pada lengan dan kaki. Selain itu juga adanya kram otot dan reflek

kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat,

iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Hasil EEG menunjukkan adanya

perubahan metabolik encephalopathy

7. Endokrin

Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan

gangguan sirkulasi menstruasi pada wanita, impoten, penurunan

sekresi sperma, peningkatan sekresi aldosteron dan kerusakan

metabolisme karbohidrat

8. Hematopoitec

36
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,

trombositopenia (dampak dyalisis) dan kerusakan platelet. Biasanya

masalah serius pada sistem hematologi ditunjukkan adanya perdarahan

(purpura, ekimosis dan petechiae)

9. Muskuloskeletal

Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis

dan kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard)

2.2.5 Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk

glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak. Nefron-

nefron yang utuh menjadi hipertrofi dan produksi dari hasil filtrasi

meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR

(Glomerulus Filtration Rate). Metode adaptif ini dapat berfungsi sampai ¾

nefron dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut

menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis

osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang

rusak bertambah banyak timbul oliguri disertai retensi produk sisa. Gejala-

gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas

kegagalan ginjal ini bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80-90%. Pada

tingkat fungsi ginjal dengan nilai creatinin clearance turun sampai 15

ml/menit atau lebih rendah dari itu. Penurunan fungsi renal menyebabkan

produk akhir dari metabolisme protein (yang biasanya di ekskresikan ke

dalam urin) menjadi tertimbun dalam darah, sehingga terjadilah uremia

37
dam mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produk sampah di dalam darah maka gejala akan semakin berat. Gejala

uremia ini biasanya dapat ditangani dengan tindakan terapi dialisis. Gagal

ginjal kronik dapat disebabkan karena gangguan pembuluh darah ginjal

(penyakit vaskular), gangguan imunologis, infeksi, gangguan metabolik,

gangguan tubulus primer, obstruksi traktus urinarius, dan kelainan

kongenital dan herediter. Adanya lesi vaskular dapat menyebabkan

iskemik pada ginjal dan kematian jaringan ginjal (yang paling sering

adalah atreosklerosis pada arteri renalis besar, dengan konstriksi skleratik

progresif pada pembuluh darah) sehingga dapat menyebabkan hiperplasia

fibromuskular sehingga terjadi sumbatan pada pembuluh darah. bila tidak

segera diatasi akan muncul masalah yaitu hipertensi. Hipertensi

menyebabkan penurunan perfusi renal yang mengakibatkan terjadinya

kerusakan parenkim ginjal hal ini menyebabkan peningkatanrenin dan

meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat

menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi

arteriol. Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan

reabsorpsi natrium, natrium akan meningkat di cairan ekstra seluler.

Pada gagal ginjal penurunan ekskresi Na menyebabkan retensi

cairan sehingga volume overload dan diikuti edema paru. Edema paru

akan mempengaruhi kemampuan mekanik dan pertukaran gas di paru

dengan berbagai mekanisme. Edema interstitial dan alveoli menghambat

pengembangan alveoli, serta menyebabkan atelaktasis dan penurunan

produsksi surfaktan. Akibatnya, komplians paru dan volume tidal

38
berkurang. Sebagai usaha agar ventilasi semenit tetap adekuat, pasien

harus meningkatkan usaha pernapasan untuk mencukupkan volume tidal

dan/meningkatkan frekuensi pernapasan. Secara klinis gejala yang dapat

timbul yaitu gejala sesak nafas, retraksi interkostal pada saat inspirasi, dan

perubahan berat badan (Rendy & Margareth, 2012).

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu

dengan terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi

konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,

meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan

cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan

dengan pengaturan diet pada pasien dengan gagal ginjal kronik

diantaranya yaitu :

1. Diet rendah protein

Diet rendah protein bertujuan untuk mencegah atau mengurangi toksin

azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Jumlah protein yang

diperbolehkan kurang dari 0,6 g protein/Kg/hari dengan LFG (Laju

Filtrasi Glomerulus) kurang dari 10 ml/menit.

2. Terapi diet rendah Kalium

Hiperkalemia (kadar kalium lebih dari 6,5 mEq/L) merupakan

komplikasi interdiliatik yaitu komplikasi yang terjadi selama periode

39
antar hemodialisis. Hiperkalemia mempunyai resiko untuk terjadinya

kelainan jantung yaitu aritmia yang dapat memicu terjadinya cardiac

arrest yang merupakan penyebab kematian mendadak. Jumlah yang

diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq/hari.

3. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam Asupan

cairan pada gagal ginjal kronik membutuhkan regulasi yang hati-hati.

Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban

sirkulasi, edem, dan juga intoksikasi cairan. Kekurangan cairan juga

dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan memburuknya fungsi

ginjal. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam

24 jam ditambah 500 ml yang mencerminkan kehilangan cairan yang

tidak disadari.

4. Kontrol hipertensi

Pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik, keseimbangan

garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah

sering diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.

5. Mencegah dan tata laksana penyakit tulang ginjal

Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti

aluminium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat pada

setiap makan.

6. Deteksi dini dan terapi infeksi

Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan terapi

lebih ketat.

7. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal

40
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena

metaboliknya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal.

8. Deteksi dini dan terapi komplikasi

Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis,

neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang

meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan,

sehingga diperlukan dialisis.

9. Teknis nafas dalam

Breathing exercise atau teknis nafas dalam bertujuan untuk mencapai

ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi udara yang

terperangkap serta mengurangi kerja bernapas. Latihan nafas dalam

dapat dilakukan dengan menarik nafas melalui hidung dengan mulut

tertutup tahan selama 3 detik, kemudian mengeluarkan nafas pelan-

pelan melalui mulut dengan posisi bersiul, purse lips breathing

dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selam ekspirasi

dan tidak ada udara yang keluar melalui hidung, dengan purse lips

breathing akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut,

kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus

sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran nafas kecil

pada waktu ekspirasi (Mu’fiah, 2018).

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada gagal ginjal kronik stadium akhir

yaitu pada LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) kurang dari 15 ml/menit.

Terapi tersebut dapat berupa :

1. Hemodialisa

41
Hemodialisa adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme melalui membran semipermiabel atau yang

disebutdengan dialisis. Salah satu langkah penting sebelum memulai

hemodialisis yaitu mempersiapkan acces vascular beberapa minggu

atau beberapa bulan sebelum hemodilasis dengan tujuan untuk

memudahkan perpindahan darah dari mesin ke tubuh pasien.

2. CAPD (Continuous Ambulatory Peritonial Dyalisis)

CAPD dapat digunakan sebagai terapi dialisis untuk penderita gagal

ginjal kronik sampai 3-4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran

cairan dapat dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritonial

dibiarkan semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada

pasien dialisis peritonial. Indikasi dialisis peritonial yaitu :

a. Anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun).

b. Pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem

kardiovaskuler.

c. Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila

dilakukan hemodialisis.

d. Kesulitan pembuatan AV shunting.

e. Pasien dengan stroke.

f. Pasien gagal ginjal terminal dengan residual urin masih cukup.

g. Pasien nefropati diabetik disertai morbidity dan co-mortality.

3. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai

untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Kebutuhan transplantasi ginjal

42
jauh melebihi ketersediaan ginjal yang ada dan juga kecocokan dengan

dengan pasien (umumnya keluarga dari pasien). Transplantasi ginjal

memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya yang

memadai. Komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh

merupakan keadaan yang timbul akibat dari transplantasi ginjal.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Menurut E Marlynn (2010) pemeriksaan penunjang pada pasien dengan

gagal ginjal kronik dapat dilakukan pemeriksaan antara lain :

1. Urine

Volume biasanya kurang dari 400 ml /24 jam (oliguria) atau anuria.

Warna secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,

bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, bila warna kecoklatan

menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin. Berat

jenis kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat.

Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal

tubular. Klirens kreatinin menurun, natrium lebih dari 40 mEq/lt,

proteinuria dengan nilai 3 sampai 4 lebih.

2. Darah

BUN/kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap

akhir. Hitung darah lengkap: Ht menurun, Hb kurang dari 7-8 gr.

Eritrosit : waktu hidup menurun. GDA (Glukosa Darah Acak) : Ph

menurun kurang dari 7,2, asidosis metabolik. Natrium serum menurun,

kalium meningkat, magnesium/fosfat meningkat, protein (khusus

43
albumin) : menurun.

3. Osmolaritas serum lebh dari 285 mOsm/kg.

4. Pelogram retrograd, mengetahui abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.

5. Ultrasono ginjal untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya massa,

kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

6. Endoskopi ginjal, nefroskopi untuk menentukan pelvis ginjal, keluar

batu, hematuria, dan pengangkatan tumor selektif.

7. Arteriogram ginjaluntuk mengkaji sirkulasi ginjal dan

mengidentifikasi ekstravaskuler, massa.

8. EKG (Elektrokardiogram) : ketidakseimbangan elektrolit dan asam

basa.

9. Foto kaki, tengkorak, koluna spinal dan tangan : demineralisasi.

10. Biopsy ginjal : menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.

2.2.8 Komplikasi

Menurut Prabowo (2014) komplikasi yang dapat timbul dari penyakit

gagal ginjal kronik adalah :

1. Penyakit tulang

Penyakit tulang dapat terjadi karena retensi fosfat, kadar kalsium

serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan

kadar alumunium.

2. Penyakit kardiovaskuler

Ginjal yang rusak akan gagal mengatur tekanan darah. Ini karena

aldosteron (hormon pengatur tekanan darah) jadi bekerja terlalukeras

44
menyuplai darah ke ginjal. Jantung terbebani karena memompa

semakin banyak darah, tekanan darah tinggi membuat arteri tersumbat

dan akhirnya berhenti berfungsi.tekanan darah tinggi dapat

menimbulkan masalah jantung serius.

3. Anemia

Anemia muncul akibat tubuh kekurangan entrokosit, sehingga sumsum

tulang yang mempunyai kemampuan untuk membentuk darah lama

kelamaan juga akan semakin berkurang.

4. Disfungsi seksual

Pada klien gagal ginjal kronik, terutama kaum pria kadang merasa

cepat lelah sehingga minat dalam melakukan hubungan seksual

menjadi kurang.

2.3 Konsep Hiperkalemi

2.3.1 Defenisi Hiperkalemia

Hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih 5mEq/l. Dalam

keadaan normal jarang terjadi. Hiperkalemia oleh karena adanya

mekanisme adaptasi oleh tubuh.

Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang

naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal

adalah 3.5-5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat

potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan

hyperkalemia yang ringan. Tingkat potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0

45
mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat potassium

diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah. (Dawodu, S 2004)

2.3.2 Etiologi

Penyebab hiperkalemia disebabkan:

1. Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel

2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal

Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis

metabolic bukan oleh asidosis organic (ketoasedosis,asidosis laktat).

Defisiensi insulin, katabolisme meningkat, pemakaian obat penghanbat –

ß adrenerdik, pseudo hiperkalemia akibat penganbilan contoh darah di

laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan

olahraga.

Berkurangnya ekresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan

hipoaldostironisme, gagal ginjal, deprisi volume sirkulasi efektif,

pemakaian siklosporin.

Hiperkalemia mengacu pada konsentrasi kalium serum yang lebih

tinggi dari normal. Seperti hipokalemia, hal ini sering terjadi karena

penyebab iatrogenic(dirangsang oleh pengobatan). Meskipun lebih jarang

terjadi dibandingkan hipokalemia, hiperkalemia lebih berbahaya karena

henti jantung lebih sering dihubungkan dengan kadar kalium serum yang

tinggi. Sebelum mempertimbangkan penyebab nyata hiperkalemia,

perawat harus menyadari bahwa ada beberapa penyebab hiperkalemia

46
palsu (pseudo). Yang paling sering adalah penggunaan turniket yang

terlalu kencang di sekitar ekstrimitas ketika mengambil sample darah dan

hemolisis sample sebelum analisa. Penyebab lain termasuk leukositosis

dan trombositosis dan pengambilan darah tepat diatas tempat infus kalium.

Kegagalan untuk mengetahui penyebab palsu hiperkalemia dapat

berakibat pengobatan agresif hiperkalemia yang sebenarnya tidak terjadi,

yang mengakibatkan penurunan kadar kalium serum yang serius, karena

itu pengukuran kadar kalium yang terlalu meningkat harus dipastikan

kembali.

Penyebab utama hipekalemia adalah penurunan ekskresi kalium

ginjal. Karena itu, hiperkalemia yang bermakna umumnya terjadi pada

pasien gagal ginjal yang tidak diobati, terutama jika kalium dilepaskan

dari sel-sel selama proses infeksi atau adanya smber kalium eksogen yang

berlebihan, seperti dalam diet atau dalam pengobatan. Difesiensi

kostikostiroid adrenal menyebabkan kehilangan natrium dan retensi

kalium, karena itu, hipoaldostironisme dan penyakit Addison

menimbulkan predisposisi terhadap hiperkalemia.

2.3.3 Manefestasi Klinis

Sejauh ini efek hiperkalemia yang paling penting secara klinis

adalah efeknya pada miokardium. Efek pada jantung akibat peningkatan

kadar kalium serum biasanya tidak bermakna di bawah konsentrasi 7

mEg/L (51=7mmol/L), tetapi efek ini selalu timbul jika kadarnya adalah 8

mEg/L(51=8 mmol/L) atau lebih tinggi. Jika konsentrasi kalium plasma

47
meningkat,timbul gangguan pada konduksi jantung Perubahan paling dini,

sering terjadi pada kadar kalium serum lebih tinggi dari 6

mEg/L(51=6mmol/L), adalah gelombang T yang tinggi, sempit, deprisi 51

dan pemendekkan interval QT. Jika kadar kalium serum terus meningkat,

interval PR menjadi memanjang dan diikuti dengan menghilangnya

gelombang P. Akhirnya, terdapat dekomposisi dan pemanjangan komplek

QRS. Disritmia ventrikuler dan henti jantung mungkin terjadi kapan saja

dalam keadaan ini.

Hiperkalemia berat menyebabkan kelemahan otot skeletal dan

bahkan paralysis, yang berhubungan dengan blok depolarisasi pada otot.

Sama halnya, konduksi ventrikuler melambat. Meskipun hiperkalemia

memiliki efek yang nyata pada system neuro muskular perifer,

hiperkalemia mempunyai efek kecil pada system saraf pusat. Kelemahan

yang cepat pada muscular asenden mengakibatkan plasid kuadriplasia

telah dilaporkan terjadi pada pasien-pasien yang mengalami hiperkalemia.

2.3.4 Evalusi Diagnostik Hiperkalemia

Kadar kalium serum dan perubahan EKG adalah hal penting pada

diagnosa hiperkalemia, seperti yang telah dibahas sebelumnya dalam

manefestasi klinis. Gas darah arteri dapat menunjukan asidosis metabolic

karena hiperkalemia sering timbul degan asidosis.

2.3.5 Penatalaksanaan Hiperkalemia

48
Prosedur EKG harus segera dilakukan untuk mendeteksi

perubahan. Repolarisasi yang memendek dan gelombang T tinggi sering

terlihat pada awalnya. Adalah juga bijaksana untuk memeriksa ulang kadar

kalium serum untuk memastikan hasil. Pada situasi non akut,pembatasan

diet kalium dengan obat yang mengandung kalium dapat mencukupi.

Sebagai contoh, menyingkirkan pengunaan garam pengganti yang

mengandung kalium pada pasien yang menerima diuretic hemat kalium

adalah yang paling diperlukan untuk mengatasi hiperkalemia ringan.

Pencegahan hiperkalemia yang serius dengan pemberian, baik

secara oral atau dengan enima retensi, resin pertukaran kation (seperti

Kayexalate) mungkin perlu pada pasien-pasien dengan kerusakan ginjal.

Resin pertukaran kation tidak dapat digunakan jika pasien mengalami

paralitik ileus karena dapat terjadi perforasi intestinal.

2.3.6 Patofisiologi Hiperkalemia

Ketidakseimbangan kalium merupakan salah satu gejala yang

sangat serius yang dapat terjadi pada gagal ginjal, karena kehidupan hanya

dapat berjalan pada batas-batas kadar kalium plasma yang sempit

sekali(Normal=3,5-5,5 mkal/L). Sekitar 80% asupan normal yaitu sebesar

50-150 Mea/hari diekresi kedalam kemih. Hipokalemia dapat menyertai

poliuria pada gagal ginjal kronik dini, terutama pada penyakit-penyakit

tobulus seperti pielonefritis kronik, akan tetapi Hiperkalemia akan selalu

timbul bila pasien mengalami oliguria pada gagal ginjal kronik. Disamping

itu, asidsis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalui

49
pergeseran K+ dari dalam sel ke cairan ekstraseluler. Efek hiperkalemia

yang sangat mengancam kehidupan adalah pengaruhnya pada

penghantaran listrik jantung. Bila kadar K+ serum 7-8 Mea/L akan timbul

disritmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung.

2.3.7 Terapi Hiperkalemia

1. Ulangilah penentuan kalium, tetapi jangan menunda pengobatan seraya

menunggu hasil pemeriksaan.

2. Lakukan pemeriksaan EKG dengan segera.

3. Hentikanlah semua masukan Kalium :oral, IV dan obat-obatan yang

mengandung kalium.

4. Buanglah jaringan nekrotik atau yang mengalami trauma dengan

selayaknya, yaitu ekstrimitas eskemik yang sedang mengalami

nekrosis jaringan mungkin memerlukan amputasi yang mendesak

untuk memperbaiki hiperkalemia yang membahayakan jiwa penderita.

5. Bila terjadi perubahan EKG yang berarti(blok jantung dan pelebaran

QRS) atau bila kalium serum lebih besar dari 7,5 MEq/L:

a. Larutan kalsium glukorat 10% infuskan 10 – 20 cc IV dalam

waktu 5 menit.

b. Infus natrium bikarbonat. Berikanlah 50 mEq IV dan periksalah ph

darah arteri,akan paling efektif bila pasien menderita asidosis

sebagai penyakit yang mendasari mengubah hiperkalemia dapat

diulangi bila ph lebih kecil dari pada 7,45 setelah infus petama.

50
c. Infus glukosa dan insulin,berikanlah 50 gram glukosa IV dengan 5

unit insulin regular.

d. Keluarkanlah kalium dari dalam tubuh. Tindakan di atas

menstabilkan membrane sel mendistribusikan kembali ke dalam sel

tetapi tidak tetapi tidak mengubah kalium tubuh total.

6. Jika fungsi ginjal normal

Mulailah suatu diuresis paksa dengan memberikan diuretic (furosemid)

dan larutan garam isotonic unuk mempertahankan volume cairan

exstrasel.

7. Dengan fungsi ginjal yang terganggu

Berikanlah suatu resin penukar kation (kayexalate) yang diberikan

bersama-sama dengan katartik seperti sorpitol untuk mencegah

konstipasi, Ia akan sangat efektif bila diberikan dalam dosis 20 – 50

gram kayexalate yang dilarutkan dalam 100 -200 cc sorbitol 20 % dan

diberikan sebagai enerma retensi.

8. Dialis

Bila ada gangguan fungsi ginjal yang berat,hemodialisis merupakan

cara paling efektif untuk mengeluarkan kalium dari dalam tubuh.Jika

hemodialisis tidak mungkin. Dialysis peritoneal juga efektif tetapi

lebih lambat dalam menurunkan konsenterasi kalium.

2.3.8 Pengobatan Hiperkalemia

Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah

51
1. Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel,dengan cara

memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kasium

langsung melindungi membran akibat hiperkalemia. Pada keadaan

hiperkalemia yang berat sambil menunggu efek insulin/ bikarbonat

yang diberikan (baru bekerja setelah 30 – 60 menit).Kalsium dapat

diberikan melalui tetesan infuse kalsium intravena.10 ml calcium

Gluconats diberikan intravena dalam waktu 2 – 3 menit dengan

monitor EKG.Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih

ada,kalsium glukonat dapat diulang setelah 5 menit.

2. Memacu masuknya kembali kalium dari ekstra ke intra sel,dengan

cara:

a. Pemberian insulin 10 unit dalam glukosa 40 %.Lalu ikuti dengan

inus Doktrosa 5 % untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.Insulin

akan memicu pompa Nak – ATPase memasukan kalium kedalam

sel.Sel glukosa doktrosa akan memicu pengeluaran insulin

Endogen.

b. Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan ph

sistemik.Peningkatan ph akan merangsang ion H keluar dari dalam

sel yang kemudian menyebabkan ion K masuk kedalam sel.Dalam

keadaan tanpa asidosis metabolic. Naitrium Bikarbonat diberikan

50 MEq untuk selama 10 menit.Bila ada asidosis metabolic

disesuaikan dengan keadaan asidosis metabolic yang ada.

52
c. Pemberian B agonis baik secara inhalasi maupun tetesan

intravena.B agonis akan merangsang pompa Nak – ATPase.Kalium

masuk kedalam sel.Albuterol diberikan 10 – 20 mg.

3. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh:

a. Pemberian diuretic loop (furosemid) dan trasid.Sipatnya hanya

sementara.

b. Pemberian Resin menular dapat diberikan peroral maupun

supositoria.

c. Hemodialisis.

2.4 Konsep Decompensasi Cordis

2.4.1 Pengertian Docompensasi cordis

Gagal jantung merupakan sindrom klinis kompleks yang

disebabkan oleh adanya gangguan baik fungsional maupun struktural

jantung sehingga mengurangi kemampuan ventrikel untuk menerima dan

memompa darah (Kusmatuti, 2014).

Kondisi dimana jantung tidak mampu mempertahankan cardiac

output/ memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh

begitu juga dengan venous return. Cardiac output tidak bisa mencukupi

kebutuhan metabolik tubuh(kegagalan pemompaan), sedangkan tekanan

pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi, instrumen yang mendasar

tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktilitas jantung yang

berkurang dan vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak

53
yang masuk selama diastole. Hal ini menyebabkan volume pada saat

diastolic akhir ventrikel secara progresif bertambah (Nurarif, 2015).

2.4.2 Klasifikasi Decompensasi Cordis

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa tingkatan

parahannya. Dibawah ini tabel gambaran sitem klasifikasi yang paling

umum digunakan, menurut New York Heart Association (NYHA)

Fungsional Classification :

Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan gejala

Class Gejala Pasien


I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan kelelahan yang berarti, palpitasi, dyspnea (sesak
napas)
II Sedikit keterbatasan terhadap aktivitas fisik sehari - hari.
Nyaman saat istirahat. Aktivitas biasa dapat menyebabkan
kelelahan, palpitasi, dan dyspnea
III Ditandai dengan pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat
istirahat. Sedikit aktivitas dapat menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dan dyspnea
IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa ketidaknyamanan.
Gejala gagal jantung saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan, ketidaknyamanan meningkat
NYHA, 2016

Tabel 2.2 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan penilaian obyektif

Class Penilaian Obyektif


A Tidak ada tanda objektif penyakit kardiovaskular. Tidak ada
gejala dan tidak ada batasan dalam aktivitas fisik biasa
B Tanda obyektif penyakit kardiovaskular minimal. Gejala
ringan dan keterbatasan sedikit selama aktivitas biasa. Nyaman
saat istirahat
C Tanda obyektif penyakit kardiovaskular cukup parah. Ditandai
keterbatasan dalam aktivitas karena gejala yang meningkat,
bahkan selama aktivitas yang minimal. Nyaman hanya pada
saat istirahat
D Tanda obyektif penyakit kardiovaskular yang berat.

54
Keterbatasan parah. Bahkan gejala dapat muncul ketika
beristirahat
NYHA, 2016

2.4.3 Etiologi Decompensasi Cordis

Penggolongan penyebab gagal jantung menurut apakah gagal

jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau gagal

dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik,

amiloidosis jantung, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta,

penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, keadaan curah tinggi

(anemia ,tirotoksikosis, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal

jantung kiri, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), penyakit paru

kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, hipertensi

pulmonal, emboli pulmonal masif (Majid, 2017).

2.4.4 Manifestasi Klinis Decompensasi Cordis

Berikut adalah manifestasi klinis gagal jantung, (Majid, 2017):

1. Tanda dominan : Meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif

jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat karena penurunan

curah jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada

kegagalan yang terjadi di ventrikel.

2. Gagal jantung kiri : Kongesti paru menonjol, hal ini disebabkan

ketidak mampuan ventrikel kiri memompa darah yang datang dari

paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :

55
a. Dispnea : Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan

mengganggu pertukaran gas, bisa juga terjadi ortopnea. Beberapa

pasien bisa mengalami kondisi ortopnea pada malam hari yang

sering disebut Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND).

b. Batuk.

c. Mudah lelah : Terjadi karena curah jantung berkurang dan

menghambat jaringan dari sirkulasi normal, serta terjadi penurunan

pada pembuangan sisa dari hasil katabolisme yang diakibatkan

karena meningkatnya energy yang digunakan saat bernafas dan

terjadinya insomnia karena distress pernafasan.

d. Kegelisahan dan kecemasan. Terjadi akibat gangguan oksigenasi

jaringan, stress akibat kesakitan saat bernafas dan pengetahuan

bahwa jantung tidak berfungsi bagaimana semestinya.

3. Gagal jantung kanan

a. Kongestif pada jaringan perifer dan jaringan viseral.

b. Edema ekstrimitas bawah, biasanya edema pitting, penambahan

berat badan.

c. Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen di kuadran kanan

atas, terjadi karena adanya pembesaran vena di hepar.

d. Anoreksia dan mual. Terjadi karena adanya pembesaran vena dan

statis vena di dalam rongga abdomen.

e. Nokturia (sering kencing malam hari).

f. Kelemahan.

56
2.4.5 Patofisiologi Decompensasi Kordis

Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Apabila

curah jantung berkurang, maka sistem saraf simpatis akan mempercepat

frekuensi jantung untuk tetap mempertahankan curah jantung. Bila

mekanisme kompensasi ini gagal untuk dapat mempertahankan perfusi

jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantung-lah yang harus

menyesuaikan diri untuk tatap bisa mempertahankan curah jantung.

Volume sekuncup merupakan jumlah darah yang dipompa pada

setiap jantung berkontraksi, hal ini tergantung pada 3 faktor, yaitu: preload

(jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan

yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung),

kontraktilitas (beracuan pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi

pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut

jantung dan kadar kalsium), afterload (mengacu pada besarnya tekanan

ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan

perbedaan tekanan).

Tubuh mengalami beberapa adaptasi pada jantung dan hal ini

terjadi secara sistemik, jika terjadi gagal jantung. Volume dan tekanan

pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung meningkat, apabila

terjadi pengurangan volume sekuncup kedua ventrikel akibat penekanan

kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat. Hal ini akan

meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan

menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Akan terjadi dilatasi

ventrikel jika kondisi ini berlangsung lama. Pada saat istirahat, cardiac

57
output masih bisa berfungsi dengan baik, akan tetapi peningkatan tekanan

diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium,

sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Yang pada akhirnya tekanan

kapiler akan meningkat dan menyebabkan transudasi cairan serta timbul

edema paru atau

edema sistemik (Oktavianus & Rahmawati, 2014).

2.4.6 Komplikasi Decompensasi Cordis

Berikut komplikasi dari gagal jantung menurut (Wijaya & Putri 2013)

antara lain :

1. Edema paru akut dapat terjadi akibat gagal jantung kiri.

2. Syok kardiogenik.

Akibat penurunan dari curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak

adekuat ke organ vital (jantung dan otak).

3. Episode trombolik.

Thrombus terbentuk akibat imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi,

trombus dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah.

4. Efusi pericardial dan tamponade jantung.

Masuknya cairan ke kantung pericardium, cairan dapat meregangkan

pericardium sampai ukuran maksimal. Cardiac output menurun dan

aliran balik vena ke jantung

2.4.7 Penatalaksanaan Decompcordis

58
Ada beberapa penatalaksanaan decompensasi cordis. Tidak ada

pengobatan secara spesifik untuk proses penyembuhan penyakit gagal

jantung, akan tetapi secara umum ada beberapa penatalaksanaan

pengobatan untuk gagal jantung adalah sebagai berikut (Nurarif, 2015) :

1. Perawatan

a. Tirah baring/bedrest

Kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus benar-benar

dikurangi, mengingat kebutuhan oksigen yang relatif meningkat.

b. Pemberian oksigen

Pemberian oksigen secara rumat biasanya diperlukan 2 liter/menit

dalam keadaan sianosis sekali dapat lebih tinggi.

c. Diet

Umumnya diberikan makanan lunak dengan rendah (pembatasan)

garam. Jumlah kalori sesuai kebutuhan, pasien dengan gizi kurang

diberi makanan tinggi kalori tinggi protein. Cairan diberikan 80-

100 ml/kgBB/hari.

2. Pengobatan medik

a. Digitalisasi

Digitalis akan memperbaiki kerja jantung dengan memperlambat

dan memperkuat kontraksi jantung serta meninggikan curah

jantung.

Dosis digitalis :

59
1) Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4 – 6

dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2 – 4

hari.

2) Cedilanid IV 1,2 – 1, 6 mg dalam 24 jam.

Dosis penunjang untuk gagal jantung :

Digoksin 0,25 mg sehari untuk pasien usia lanjut dan gagal

ginjal dosis disesuaikan.

Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.

b. Diuretik Diuresis dapat mengurangi beban awal (preload), tekanan

pengisian yang berlebihan dan secara umum untuk mengatasi

retensi cairan yang berlebihan. Yang digunakan : furosemid 40 –

80 mg. Pemberian dosis penunjang bergantung pada respon, rata-

rata 20 mg sehari.

c. Vasodilator

Obat vasodilator menurunkan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri

dan menghilangkan bendungan paru serta beban kerja jantung jadi

berkurang.

Preparat vasodilator yang digunakan :

1) Nitrogliserin 0,4–0,6 mg sublingual atau 0,2–2 mg/kgBB/menit

IV

2) Nitroprusid 0,5 – 1 mg/kgBB/menit IV

d. Pengobatan penunjang lainnya bersifat simptomatik

1) Jika terjadi anemia, maka harus ditanggulangi dengan

pemberian sulfa ferosus, atau tranfusi darah jika anemia berat.

60
2) Jika terdapat infeksi sistemik berikan antibiotik

3) Untuk penderita gagal jantung anak-anak yang gelisah, dapat

di-berikan penenang; luminal dan morfin dianjurkan terutama

pada anak yang gelisah. (Long, Barbara C, Perawatan Medikal

Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, 2013).

3. Operatif

Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :

a. Revaskularisasi (perkutan, bedah).

b. Operasi katup mitral.

c. Aneurismektomi.

d. Kardiomioplasti.

e. External cardiac support.

f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung

biventricular.

g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).

h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis

2.5.1 Pengkajian

Pengkajian pada klien gagal ginjal kronis lebih menekankan pada support

system untuk memepertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh

(hemodynamically process). Dengan tidak optimalnya/ gagalnya fungsi

ginjal maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam batas

ambang kewajaran. Tetapi jika kondisi ini berlanjut (kronis), maka akan

61
menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang menandakan gangguan

system tersebut. Pengkajian pada klien gagal ginjal sebagai berikut :

(Prabowo, 2014)

1. Biodata

Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-

laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait pekerjaan dan pola

hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insiden

gagal ginjal akut sehingga tidak berdiri sendiri

2. Keluhan utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder

yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun

(oliguria) sampai pada anuria. Penurunan kesadaran karena komplikasi

pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah,

diaphoresis, ftique, nafas berbau urea dan pruritus. Kondisi ini dipicu

karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam

tubuh karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine

output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas karena komplikasu

dari gangguan system ventilasi, fatigue, perubahan fisiologi kulit, bau

urea pada nafas. Selain itu, karena berdampak pada proses

metabolisme (sekunder karena intoksikasi), maka akan terjadi

anoreksia, nausea dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya

gangguan nutrisi.

62
4. Riwayat Penyakit Dahulu

Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan

berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit

terdahulu menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat

penyakit ISK, payah jantung, penggunaan obat berlebihan (overdosis)

khusunya obat yang bersifat nefrotoksik, BPH dan lain sebagainya

yang mempu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa

penyakit yang langsung mempengaruhi / menyebabkan gagal ginjal

yaitu diabetes mellitus, hipertensi, batu saluran kemih (urotiliasis)

5. Riwayat kesehatan keluarga

Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga

silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun,

pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh

terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit

tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan keluarga yang

diteraklan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu

saat sakit

6. Riwayat Psikososial

Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping

adaptif yang bagus. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan

psikososial terjadi pada waktu klien mengalami perubahan struktur

fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa. Klien akan mengurung diri

dan lebih banyak berdiam diri (murung). Selain itu, kondisi ini juga

63
dipicu oleh biaya yang dikeluarkan selama proses pengobatan sehingga

klien mengalami kecemasan

7. Keadaan umum dan tanda-tanda vital

Kondisi gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran

bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan TTV sering

didapatkan RR meningkat (takipneu), hipertensi/hipotensi sesuai

kondisi fluktuatif

8. Sistem pernafasan

Adanya bau urea pada bau nafas. Jika terjadi komplikasi

asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi pernafasan akan

mengalami patologis gangguan. Pola nafas akan semakin cepat dan

dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi

(kusmaul).

9. Sistem hematologi

Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu,

biasanya TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi jantung,

chest pain, dypsneu, gangguan irama jantung dan gangguan sirkulasi

lainnya. Kondisi ini semakin parah jika zat sisa metabolisme semakin

tinggi dalam tubuh karena tidak efektif dalam ekskresinya. Selain itu,

pada fisiologi darah sendiri sering ada gangguan anemia karena

penurunan eritopoetin

10. Sistem neuromuskuler

64
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan

sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan

terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis

11. Sistem kardiovaskuler

Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal

kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi

diatas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler.

Stagnansi ini akan memicu retensi natrium dan air sehingga

meningkatkan beban jantung.

12. Sistem endokrin

Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronis

akan mengalami disfungsi karena penurunan horman reproduksi.

Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis berhubungan dengan

penyakit diabetes mellitus, maka akan ada gangguan dalam sekresi

insulin yang berdampak pada proses metabolisme

13. Sistem perkemihan

Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi,

sekresi, reabsorbsi dan ekskresi) maka manifestasi yang paling

menonjol adalah penurunan output < 400 ml/hari bahkan sampai

anuria (tidak adanya urine output)

14. Sistem pencernaan

Gangguan system pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit

(stress effect). Sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit dan diare

15. Sistem Muskuloskeletal

65
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka

berdampak pada proses demineralisasi tulang sehingga resiko terjadi

osteoporosis tinggi

2.5.2 Diagnosa Keperawatan

Merupakan keputusan klinis menenai seseorang, keluarga, atau

masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan

yang aktual atau potensial. Masalah aktual adalah masalah yang di

temukan pada saat pengkajian, sedangkan masalah potensial adalah

masalah yang kemudian hari akan terjadi(Herdman, 2011).

Diagnosa keperawatan teoritis yang muncul pada gagal ginjal

kronis adalah :

1. Kelebihan volume cairan berhubangan dengan retensi Na dan H2O.

Definisi : peningkatan retensi cairan isotonik

Batasan karakteristik :

a. Sesak Napas

b. Gangguan elektrolit

c. Anasarka

d. Ansietas

e. Azotemia

f. Perubahan tekanan darah

g. Perubahan status mental

h. Perubahan pola pernapasan

i. Penurunan hematokrit

66
j. Penurunan hemoglobin

k. Dispneu

Faktor yang berhubungan :

a. Gangguan mekanisme regulasi.

b. Kelebihan asupan cairan.

c. Kelebihan asupan cairan.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus.

Definisi : perubahan atau gangguan epidermis dan atau dermis.

Batasan karakteristrik :

a. Kerusakan lapisan permukaan kulit ( epidermis )

b. Invasi struktur tubuh.

3. Ketidak seimbangan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan mual muntah.

Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolik.

Batasan karakteristik :

a. Kram abdomen

b. Nyeri abdomen

c. Menghindari makanan

d. Berat badan 20% atau lebih di bawah badan ideal

e. Diare

f. Bising usus hiperaktif

g. Kurang minat pada makanan

h. Tonus otot menurun.

67
Faktor yang berhubungan :

a. Faktor biologis

b. Faktor ekonomi

c. Ketidak mampuan untuk mengabsorbsi nutrien

d. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan

e. Ketidakmampuan menelan makanan

f. Faktor psikologis

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen.

Definisi : Ketidakcukupan energi psikologis fisiologis untuk

melanjutkan atau menyeleseikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang

harus atau yang ingin dilakukan.

Batasan karakteristik :

a. Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas.

b. Ketidaknyamanan setelah beraktifitas.

c. Dispneu setelah beraktifitas.

d. Menyatakan merasa letih.

e. Menyatakan merasa lemah.

Faktor yang berhubungan :

a. Tirah baring atau imobilisasi

b. Kelemahan umum

c. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2

d. Imobilitas

e. Gaya hidup monoton

68
5. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan suplai O2.

Definisi : Merupakan penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat

mengganggu kesehatan.

Batasan karakteristik :

a. Perubahan fungsi motorik

b. Perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, kelembapan, kuku,

sensasi, suhu)

c. Perubahan tekanan darah di ekstremitas.

d. Penurunan nadi.

e. Edema.

f. Capilary reffil > 3 detik.

g. Nyeri ekstremitas.

h. Warna kulit pucat saat elevasi.

Faktor yang berhubungan :

a. Kurang pengetahuan tentang faktor pemberat ( merokok, gaya

hidup monoton, truma, obesitas, asupan garam, imobilitas)

b. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit (diabetes,

hiperlipidemia)

c. Diabetes mellitus

d. Hipertensi

e. Gaya hidup monoton

6. Nyeri berhubungan dengan fatigue dan nyeri sendi.

69
Definisi : Merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual.

Batasan karakteristik :

a. Perubahan tekanan darah.

b. Perubahan frekwensi pernapasan.

c. Laporan isyarat.

d. Perilaku distraksi.

e. Mengekspresikan perilaku (gelisah, merengek, menangis)

f. Sikap melindungi area nyeri.

g. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri.

h. Dilatasi pupil.

i. Gangguan tidur.

Faktor yang berhubungan : agen cidera ( biologis, zat kimia, fisik,

psikologis)

7. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru.

Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigen dan atau eliminasi

karbondioksida pada membran alveolar kapiler.

Batasan karakteristik :

a. pH darah arteri abnormal.

b. Pernapasan abnormal (apneu, bradipneu)

c. Warna kulit abnormal (pucat atau kehitaman)

d. Konfusi

e. Sakit kepala saat bengun.

f. Hipoksemia.

70
g. Samnolen.

h. Takikardi.

i. Gangguan penglihatan.

Faktor yang berhubungan :

a. Perubahan membran alveolarkapiler.

b. Ventilasi perfusi.

2.5.3 Intervensi Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi Na dan H2O.

Kriteria hasil yang di inginkan :

a. Terbebas dari edema, efusi, anasarka

b. Bunyi napas bersih, tidak ada dispneu atau ortopneu.

c. Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+)

d. Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output

jantung dan vital sign.

e. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan.

f. Menjelaskan indikator kelebihan cairan.

Intervensi yang harus di lakukan :

Fluid management:

a. Timbang popok/pembalut jika di perlukan.

b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.

c. Pasang urine kateter jika diperlukan.

d. Monitor hasil Hb yang sesuai dengan retensi cairan ( BUN, Hmt,

osmolalitas urine )

71
e. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan

PCWP.

f. Monitor vital sign.

g. Monitor indikasi retensi atau kelebihan cairan ( cracles, CVP,

edema, distensi vena leher, asites )

h. Kaji lokasi dan luas edema.

i. Monitor asupan makanan / cairan dan hitung intake kalori.

j. Monitor status nutrisi.

k. Kolaborasi pemberian diuretik sesuai interuksi.

l. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatremi dilusi dengan

serum Na < 130 mEq/l.

m. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk.

Fluid monitoring :

a. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi.

1. Tentukan kemingkinan faktor resiko dari ketidakseimbangan

cairan ( Hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal

jantung, diaporesis, disfungsi hati ).

2. Monitor berat badan.

3. Monitor serum dan osmolalitas urine.

4. Monitor vital sign.

5. Monitor perubahan irama jantung.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus.

Kriteria hasil yang di ingankan:

72
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi elastisitas,

temperatur, hidrasi, pigmentasi)

b. Tidak ada luka/lesii pada kulit.

c. Perfusi jaringan baik.

d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cedera berulang.

e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit

dan perawatan alami.

Intervensi yang harus dilakukan :

Pressure management :

a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.

b. Hindari kerutan pada tempat tidur.

c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.

d. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali.

e. Monitor kulit akan adanya kemerahan.

f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan.

g. Monitor status nutrisi pasien.

h. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.

3. Ketidak seimbangan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan mual muntah

Kriteria hasil :

a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan mempu

mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

73
c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

d. Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan

e. Tidak terjadi penurunan berat badan

Intervensi yang dilakukan :

Nutrition management :

a. Kaji adanya alergi makanan.

b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan pasien.

c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.

d. Berikan substansi gula.

e. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk

mencegah konstipasi.

f. Berikan makanan yang sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi.

g. Ajarkan pasien membuat catatan makanan harian .

h. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

i. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

j. Kaji kemampuan pasien mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

Nutrition monitoring :

a. Berat badan pasien dalam keadaaan normal.

b. Monitor adanya penurunan berat badan.

c. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan.

d. Monitor lingkungan selama makan.

e. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan

konjungtiva.

74
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen

Kriteria hasil :

a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan

tekanan darah.

b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

c. Tanda tanda vital normal.

d. Mampu berpindah tempat dengan atau tanpa bantuan alat.

e. Status kardio pulmonari adekuat.

f. Status sirkulasi adekuat.

g. Status respirasi adekuat.

Intervensi yang harus dilakukan :

5. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan suplai oksigen.

Intervensi yang dilakukan :

Activity therapy :

a. Kolaborasi dengan tenaga tenaga rehabilitasi medik dalam

merencanakan program terapi yang tepat.

b. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.

c. Bantu untuk memilih kemampuan yang sesuai dengan kemampuan

fisik, psikologi, dan sosial.

d. Bantu klien membuat jadwal latihan.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue dan nyeri sendi

Kriteria hasil :

75
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebabnya, mampu

menggunakan tekhnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri.

c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda

nyeri)

d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

Intervensi yang dilakukan :

Pain management :

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteistik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

b. Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan.

c. Gunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien.

d. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.

e. Kontrol ligkungan yang mempengaruhi nyeri (suhu ruangan,

cahaya, dan kebisingan)

f. Kurangi faktor presipitasi nyeri.

g. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi, dan interpersonal)

h. Evaluasi ke efektifan kontrol nyeri.

i. Tingkatkan istirahat.

Analgesic admiinistration :

76
a. Tentunkan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum

pemberian obat.

b. Cek instruksi tentang jenis, dosis dan frekwensi obat.

c. Cek riwayat alergi.

d. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik

ketika pemberian lebih dari satu.

e. Pilih analgesik dari tipe dan beratnya nyeri.

f. Tentukan rute pemberian dan dosis analgesik agar pemberian

analgesik optimal.

g. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

pertama kali.

h. Berikan analgetik tepat waktu.

i. Evaluasi efektivitas analgetik.

6. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru

Kriteria hasil :

a. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat.

b. Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda tanda

distres pernapasan.

c. Tanda tanda vital dalam rentan normal.

Intervensi yang dilakukan :

Airway management ;

a. Posisikan pasien unuk memaksimalkan ventilasi.

b. Lakukan fisioterpi dada bila perlu.

77
c. Auskultasi bunyi paru, catat bila ada suara tambahan paru.

d. Perhatikan intake cairan.

e. Monitor respirasi dan status O2.

Resiratory monitoring :

a. Monitor rata-rata kedalaman, irama, dan usaha respirasi.

b. Catat pergerakan dada amati kesimetrisan penggunaan otot

tambahan, retraksi otot supraclavikular.

c. Monitor suara napas.

d. Monitor pola napas (badipneu, takipneu, kusmaul, hiperventilasi,

cheyne stokes, biot)

e. Monitor kelelahan otot diaghfrahma (gerakan paradoksis).

f. Auskulatasi suara napas, catat area penurunan/tidak adanya

ventilasi dan suara tambahan.

g. Auskultasi suara paru untuk melakukan evaluasi tindakan yang

telah dilakukan.

2.5.4 Evaluasi

Tahap evaluasi dapat dilkukan secara formatif dan sumatif.

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan

keperawatan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir. Evaluasi

yang efektif, perlu didasarkan pada kriteria yang dapat diukur dan

mencermikan hasil akhir perawatan yang diharapkan.

Subyektif : Hal-hal yang ditemukan oleh keluarga secara

subjektif setelah intervensi dilakukan.

78
Objektif : Hal-hal yang ditemui secara objektif setelah

intervensi keperawatan dilakukan.

Evaluasi dihaharapkan keadaan klien dapat memenuhi kriteria

sebagai berikut (Herdman, 2011) :

1. Kelebihan volume cairan berhubangan dengan retensi Na dan H2O.

S : Klien mengatakan sudah tidak terjadi bengkak.

O: Terbebas dari edema. Terbebas dari distensi vena

jugularis.Terbebas dari kelelahan.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus.

S: Klien mengatakan tidak merasakan lagi gatal gatal di kulit

O: Integritas kulit yang baik dapat di pertahankan. Tidak ada luka atau

lesi pada kulit.Perfusi jaringan baik. Menunjukan proses perbaikan

kulit.

3. Ketidak seimbangan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan mual muntah.

S: Klien mengatakan mual muntah berkurang, asupan nutrisi

meningkat, mampu menghabiskan diit yang diberikan, mengatakan

berat badan meningkat.

O: Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan. Berat badan

sesuai dengan tinggi badan. Tidak ada tanda tanda malnutrisi.

Meningkatkkan fungsi pengecapan dan menelan.Tidak terjadi

penurunan berat badan.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen.

79
S: Klien mengatakan tidak lagi merasa pusing, peningkatan aktiviitas

individu.

O: Berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan

tekanan darah. Mampu melakukan aktivitas sehari hari secara mandiri.

Tanda tanda vital normal. Mampu berpindah tempat menggunakan alat

bantu atau mandiri. Status respirasi adekuat.

5. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan suplai O2.

S: Klien mengatakan pusing berkurang, klien mengatakan tidak

kesemutan.

O: Tekanan systole dan diastole dalam rentan yang diharapkan. Tidak

ada orthostatik hipertensi.Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan

intrakranial lebih dari 15mmHg.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue dan nyeri sendi.

S: Klien mengatakan nyeri berkurang, klien mengerti apa penyebab

nyeri dan mampu mengatasinya.

O: Mampu mengontrol nyeri. Melaporkan bahwa nyeri berkurang.

Mampu mengenali nyeri. Menyatakan bahwa timbul rasa nyaman

setelah nyeri berkurang, klien mampu melakukan aktivitas secara

mandiri.

7. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru.

S: Klien mengatakan sudah tidak mengalami sesak nafas lagi, klien

mengatakan lebih rileks.

80
O: Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat. Tanda tanda vital dalam keadaan normal.

2.6 Kerangka Masalah

Glomerulonefritis
Gagal Ginjal Kronis
Infeksi Kronis

Kelainan Kongenital Gangguan Reabsorsi


Sekresi Eritopoitis
menurun
Hipertensi
Hiperkalemia Hipernatremia
Nefrotiliasis Produksi Hb turun
Disritmia jantung, Retensi cairan
Diabetes Mellitus Oksihemoglobin bradikardi, blok
turun jantung komplit
Obat Nefrotoksik Vol Vaskuler
Meningkat
Suplay O2 Fibrilasi Ventrikel
menurun Henti jantung
Sekresi Protein
terganggu Permeabilitas kapiler
Perfusi Perifer Tidak meningkat
Efektif Resiko Penurunan
Sindroma Uremia Curah Jantung
Edema
Defisiensi
Intoksikasi energi sel Preload naik
system syaraf Kelebihan Volume
Intoleran Aktifitas Beban Jantung Naik Cairan

Gangguan
Perpospatemia
Memori Hipertropi Ventrikel kiri

Gangguan Asam basa Pruritis Payah Jantung Kiri

Produksi asam naik Gangguan Bendungan Atrium kiri


Integritas Kulit
Asam lambung naik Tekanan vena pulmonalis

Kapiler paru naik


Nausea, Vomiting

Edema Paru
Resiko Defisit
Nutrisi
Gangguan Pertukaran Gas

81
BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

3.1.1 Data Dasar

Ny. S (79 tahun), beragama islam, Jawa/Indonesia, janda, tidak

bekerja. No register 01.84.64. Pasien dirawat dengan diagnosa medis

CKD, Hiperkalemi, Decomp cordis gr 2. Pasien masuk RSAL dr Ramelan

melalui IGD pada tanggal 14 Juli 2019 pada pukul 06.00 WIB, masuk

diruang perawatan B1 tanggal 14 Juli 2019 pada pukul 12.30 WIB dan

dilakukan pengkajian pada tanggal 15 Juli 2019 pada pukul 10.00 WIB.

Keluhan utama masuk rumah sakit adalah sesak nafas saat tidur

dan sudah 3 hari sebelum MRS tidak bisa tidur. Hasil foto rotgen thorax

saat di IGD RSAL dr Ramelan CTR 64,36%, Hasil laboratorium HB 9,9%

dr/dl, GDA 219mg/dl, BUN 38 mg/dl, Kreatinin 4,5 mg dl, kalium 6,24

mmol/L dan clorida 110,2 mmol/L. dilakukan pe masangan infus plug,

injeksi lasik 40 mg, ca glukonas 1000mg dalam NS 10 cc, D40 25 ml

novorapid 4 ui IV.

Kemudian pasien di rawat di ruang B1, pada tgl 14 Juli 2019 jam

12.00, pada jam 16.00 pasien dipasang kateter. Pada tanggal 15 Juli 2019

jam 06.00 UT 1200cc.

Pasien pernah menderita stroke pada tahun 1998, dan mempunyai

riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus. Pasien mengkonsumsi

metformin 3x1, amplodipin 5 mg 2x1.

82
3.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak lemah dan lemas, konjungtiva pucat, sklera putih, mata

bersih tidak ada sekret, reflek pupil cahaya (+), isokor, bibir kering. Pada

pemeriksaan fisik tekanan darah 121/78 mmHg, RR 25 x/menit, Suhu

36,4⁰C, Nadi 68x/menit. Inspeksi paru-paru mengembang simetris, palpasi

fremitus raba (+) di seluruh lapang paru, perkusi sonor, auskultasi suara

nafas vesikuler. Irama jantung regular S1 S2 tunggal. Akral hangat CRT <

2 detik. Terdapat oedema gr 15555


di kaki,5555
Kekuatan otot
5555 5555
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD +
Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal 14 Juli 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Leukosit 8.85 10ˆ3/ul 4.00 - 10.00
Eritrosit 3.28 10ˆ6/ul 3,50 – 5,50
Hemoglobin 9.9 g/dl 11,0 – 16,0
Hematokrit 30 % 37,0 – 54,0
Trombosit 315 10ˆ3/ul 150 – 400
Liver Fungsi Test
GDA 219 mg/dl < 200
BUN 38 mg/dl 10-24
Creat 4.5 mg/dl 0,6-1,5

Elektrolit
Natrium 137.0 mmol/L 135,0 – 147,0
Kalium 6.24 mmol/L 3,5 – 5
Chlorida 110.2 mmol/L 95,0 – 105,0

Tabel 3.2 Terapi Obat Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD + Hiperkalemia
+ Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal 14 Juli 2019
Terapi Obat Dosis Indikasi
Furosemide 2 x 40 mg Diuretik
Ramipril 3 x 2,5 mg (oral) Hipertensi
Kalitake 3 x 1 (oral) Hiperkalemi
Ca Glukonas 1 gr + PZ 10 cc 3 x 1 Hiperkalemi
D40 25 cc + Novorapid 4 ui
ISDN 5 mg k/p

83
Amlodipin 5 mg 0-0-1 Hipertensi
CPG 1-0-0

3.1.3 Pengkajian

1. Oksigenasi

Pasien mengatakan sesak saat tidur terlentang, RR 25 x/menit, suara nafas

vesikuler, irama nafas regular, tidak ada retraksi dinding dada, tidak terdapat suara

nafas tambahan ronchi (-/-), tidak ada wheezing (-/-), tekanan darah 121/78

mmHg, bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, tidak ada gallop, tidak ada murmur,

CRT < 2 detik, saturasi oksigen 99%, tidak ada sianosis, tidak terpasang oksigen.

2. Nutrisi

Nafsu makan Ny. S baik, makan selalu habis satu porsi, Ny. S tidak ada

distensi abdomen, bising usus normal 14x/menit, reflek menelan baik, tidak ada

nyeri telan, tidak terpasang NGT, BB 60 kg. Hasil Laboratorium tanggal 14 Juli

2018 didapatkan hasil HB 9,9 g/dl, eritrosit 3,28 10ˆ6/ul, Hematokrit 30 %,

trombosit 315 10ˆ3/ul. Tinggi badan 150 cm, berat badan 61 kg. Gula Darah

Puasa 219 mg/dl.

3. Eliminasi

Terpasang kateter, warna urine kuning jernih, tidak keruh, tidak ada

hematuria, aliran lancar, output urine 1500 cc/14jam. Eliminasi Alvi BAB terakhir

tanggal 14 Juli 2018 pukul 18.00

4. Aktivitas dan Istirahat

Keadaan umum lemah, aktivitas dilakukan hanya di tempat tidur saja,

seluruh activity 5555 5555


daily living dibantu oleh anak dan perawat, pasien lebih banyak
5555 5555

84
istirahat di tempat tidur, jam tidur malam saat MRS jam 21.00-04.00, jam tiur

siang 12.00-15.00, kekuatan otot

5. Proteksi

Turgor kulit baik, kulit tampak kering dan bersisik, kuku ujung-ujung jari

hitam kering, tidak ada luka

6. Sensori

Fungsi pendengaran normal, Ny. S dapat merespon dan menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan perawat dengan baik, Ny. S tidak menggunakan

kacamata minus, lapang pandang menurun, mempunyai riwayat katarak tetapi

tidak mau dioperasi.

7. Cairan dan Elektrolit

Terdapat edema gr 1 di kaki, minum 600 ml/24 jam, tekanan darah 121/78

mmHg, nadi 68 x/menit, hasil laborat tanggal 16 Juli 2018 didapatkan hasil

Natrium 137 mmol/L, Kalium 6,24 mmol/L, Chlorida 110 mmol/L.

8. Fungsi Persyarafan

Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6, orientasi lingkungan baik,

pasien mengingat hari dan tanggal saat ini, orientasi orang dan tempat baik, pupil

isokor, diameter 2/2 mm.

Pemeriksaan nervus kranial didapatkan hasil :

Tabel 3.3 Pemeriksaan Nervus Kranial Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD
+ Hiperkalemia + Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal 15 Juli 2019
Nervus Kranial Hasil Pemeriksaan Kesimpulan
N I (Olfaktorious) Ny S mampu mengenali Tidak ada gangguan
bau-bauan (ex : minyak pembauan.
kayu putih).
N II (Optikus) Ny.S tidak mampu melihat lapang pandang
benda secara jelas, hanya menurun terdapat
remang-remang katarak
N III (Okulomotorikus) Ny.S mampu membuka Tidak ditemukan

85
N IV (Toklearis) kelopak mata, pupil isokor, adanya gangguan gerak
N VI (Abdusen) Tn.S mampu menggerakkan kelopak mata,
bola mata ke samping kanan konstraksi pupil baik,
dan kiri, ke bawah dan ke rotasi bola mata baik.
atas.
N V (Trigeminal) Ny.S mampu membuka Sensasi wajah tidak ada
rahang dengan baik, mampu gangguan, mampu
merasakan sensasi sentuhan merasakan sentuhan
dengan baik. dengan baik.
N VII (Fasial) Ny.S mampu mengangkat Wajah simetris, tidak
alis dan mengerutkan dahi. ada mencong.
N VIII (Vestibulokoklear) Ny.S dapat merespon dan Fungsi pendengaran
menjawab setiap pertanyaan baik.
yang diajukan perawat
dengan baik.
N IX (Glosofaringeal) Ny.S mampu menelan Pengecapan baik.
dengan baik, tidak ada nyeri
telan, tidak terpasang NGT.
N X (Vagus) Ny.S mampu membuka Reflek menelan baik,
mulut, tidak ada nyeri telan. palatum mole ditengah.
N XI (Aksesoris) Ny.S mampu menggerakkan Tidak ada gangguan.
kepala, mangangkat bahu
dan leher dengan baik.
N XII (Hipoglosus) Ny.S mampu menggerakkan Gerakan lidah baik,
lidah ke atas, ke bawah, ke tidak ada deviasi.
samping kanan dan kiri.

9. Fungsi Endokrin

Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit Diabetes melitus

sejak tahun 1998, dan tidak rutin mengkonsumsi obat teratur. Kadar

gula darah acak tanggal 14 Juli 2019 didapatkan hasil 219 mg/dl.

3.2 Diagnosa Keperawatan

Hasil pengkajian pada Ny.S didapatkan hasil diagnosis keperawatan

sebagai berikut :

86
1. Resiko penurunan curah jantung, dengan faktor resiko Gambaran EKG

Infark anteroseptal lateral, hasil laboratorium Kalium = 6,24 mmol/L, foto

Rotgen thorax tampak adanya cardiomegaly CTR 64,36%, hasil

pemeriksaan ECO terdapat penurunan fungsi sistolik 49%.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme

regulasi yang ditandai dengan keluhan pasien yang mengatakan sesak saat

tidur terlentang (orthopneu), hasil pemeriksaan fisik adanya oedema grade

1 pada kedua kaki dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar

hemoglobin 9,9% dan hematocrit 30%

3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan

toleransi glukosa darah ditandai dengan pada pemeriksaan laboratorium

gula darah acak 219 mg/dl dan hasil wawancara dengan anak pasien yang

mengatakan pasien suka makan makanan yang manis dan asin.

4. Resiko infeksi dengan faktor resiko pasien menderita penyakit kronis yaitu

diabetes mellitus, adanya pembatasan cairan karena riwayat penyakit

gangguan fungsi ginjal dan penurunan kadar hemoglobin 9,9 %

87
3.3 Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


.
1 Resiko penurunan curah Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi tanda dan gejala 1. Dypsneu, othopneu
jantung keperawatan selama 5x24 jam primer penurunan curah jantung merupakan tanda-tanda usaha
diharapkan keadekuatan (meliputi dipsneu, kelelahan, peningkatan pemasukkan
jantung memompa darah edema, orthopneu, paroxysmal oksigen untuk kebutuhan
utnuk memenuhi kebutuhan nocturnal dyspnea, peningkatan metabolisme sebagai akibat
metabolisme tubuh, dengan CVP) penurunan curah jantung
kriteria hasil :
Kadar elektrolit serum dalam
batas normal (3,5 – 5 2. Monitor tekanan darah (termasuk 2. Peningkatan tekanan darah
mmol/L) tekanan darah orthostatic, jika menigkatkan resiko kelelahan
perlu) otot jantung untuk memompa
darah ke seluruh tubuh

3. Monitor intake dan output cairan 3. Keseimbangan cairan dalam


tubuh dapat mempengaruhi
beban jantung dalam
memompa darah keseluruh
tubuh

4. Monitor nilai laoboratorium 4. Hyperkalemia mempengaruhi


jantung (serum elektrolit = depolarisasi atrium dan
kalium) ventrikel jantung.
Hyperkalemia berat dapat
menyebabkan distrimia yang

88
disertai dengan fibrilasi
ventrikel dan henti jantung.
(Priscilla lemone,2016)

5. Dengan posisi semi fowler


5. Posisikan pasien semi fowler atau atau fowler peningkatan
fowler atau posisi nyaman kapasitas paru dan jantung

6. Aktifitas fisik sesuai toleransi


6. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai dan bertahap akan mengurangi
toleransi dan bertahap beban jantung dan dapat
meningkatkan aktifitas
bertahap

7. Pemberian terapi untuk


7. Kolaborasi pemberian terapi penurunan kalium
hyperkalemia
2. Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi tanda dan gejala 1. Awalnya edema
berhubungan dengan keperawatan 5x24 jam kelebihan cairan (orthopneu, mempengaruhi bagian
gangguan mekanisme diharapkan terjadi dipneu, edema) dependen tubuh – ektremitas
reguasi keseimbangan cairan dan bawah pasien ambulasi dan
elektrolit, dengan kriteria sacrum pada pasien tirah
hasil: baring. Edema periorbital
1. Keluhan orthopneu mengindikasikan edema lebih
berkurang tergeneralisata (priscilla
2. Tidak ada edema kaki lemone,2016)
3. HB dan HT dalam batas
normal 2. Monitor status hemodinamik 2. Kelebihan cairan dapat

89
(frekuensi jantung, tekanan menyebabkan hipertensi, nadi
darah) perifer kuat dan bunyi jantung
ketiga (S3) akibat volume
darah melalui jantung
(Priscilla lemone, 2016)

3. Monitor intake dan output cairan 3. Keseimbangan cairan dan


elektrolit dipantau melalui
pemasukkan cairan dan
pengeluaran cairan

4. Monitor efek samping diuretic 4. Koreksi teratur diharapkan


(hipotensi orthostastik, dilakukan terhadap elektrolit
hypovolemia, hypokalemia, serum dan osmolaritas, tetapi
hiponatremia) terapi diuretil agresif dapat
menyebakan koreksi yang
berlebihan (Priscilla lemone,
2016)

5. Berikan posisi semifowler, 5. Dengan posisi semi fowler


fowler atau fowler peningkatan
kapasitas paru dan jantung

6. Berikan dan anjurkan dalam 6. Peningkatan pengetahuan


batasan intake cairan yang dalam pembatasan konsumsi
dikonsumsi sehari-hari cairan harian dapat
mengurangi beban cairan yang
difiltrasi ginjal sehingga

90
resiko kelebihan cairan dapat
di atasi lebih dini
7. Diuretic pengontrol tingkat
Berikan hasil kolaborasi tingg, seperti furosemide
pemberian diuretic : Lasix 2 x 40 dapat menyebabkan
mg (IV) kehilangan cairan dengan
cepat (Priscilla Lemone,
2016)

3. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui adanya
gula darah b.d gangguan keperawatan selama 5x24 jam hiperglikemia; polyuria, pengaruh peningkatan kadar
tolerasi glukosa darah diharapkan kadar gula darah polidipsi, polifaghia, kelemahan. gula darah yang terjadi
stabil, dengan kriteria hasil :
1. Pasien mampu mengontrol 2. Lakukan pemeriksaan kadar gula 2. Untuk mengetahui kondisi
glukosa darah secara darah puasa dan kadar gula kinis pasien
mandiri darah 2JPP
2. Kadar gula darah pasien
dalam rentang normal 3. Memberikan edukasi diabetes 3. Pemberian edukasi bertujuan
a. Gula darah acak = 100- untuk meningkatkan
199 mg/dl pengetahuan dan ketrampilan
b. Gula darah puasa = 80- pasien sehingga pasien
109 mg/dl memiliki perilaku preventif
c. Gula darah 2JPP = 110- dalam gaya hidupnya untuk
140 mg/dl menghindari komlpikasi

4. Kolaborasi dengan dokter dalam 4. Obat anti diabetik untuk


pemberian OAD (obat anti menstabilkan kadar gula darah

91
diabetes)
4. Resiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Mengidentifikasi tanda-tanda
keperawatan selama 5x24 jam sistemik dan local (pemeriksaan infksi secara dini
diharapkan derajad infeksi darah, urine)
berdasarkan observasi atau 2. Cuci tangan sebelum dan 2. Pada penderita penyakit
sumber informasi menurun, sesudah kontak dengan pasien kronis seperti diabetes
dengan kriteria hasil : dan lingkungan pasien mellitus rentan terhadap
1. Mampu menghindari infeksi silang, salah satu
faktor resiko infeksi pencegahan infeksi silang oleh
2. Kadar hemoglobin tenaga kesehatan dengan
normal kepatuhan cuci tangan dengan
5 moment cuci tangan
3. Ajarkan cara cuci tangan dengan
benar 3. Pencegahan infeksi dengan
cuci tangan harus diberikan
kepada pasien, keluarga dan
pengunjung, seluruh yang
beresiko kontak dengan pasien
4. Kolaborasi pemberian antibiotik,
bila perlu 4. Pemberian antibiotic pada
pasien berdasarkan indikasi
yang sesuai dengan klinis dan
pemeriksaan penunjang, dan
dengan dosis yang rasional

92
3.4 Implementasi dan Evaluasi

Tabel 3.5 Implementasi dan Evaluasi Pada Ny.S Dengan Diagnosis Medis CKD + Hiperkalemi + Decomp cordis gr 2 Pada Tanggal

15-19 Juli 2019

Tanggal Masalah Waktu Implementasi Paraf Catatan Perkembangan (SOAP) Paraf


Kprwt
Senin 10.00 Melakukan pengkajian dan anamnesa kepada Ny.S Titis Diagnosa keperawatan 1
15/07/2018 S:-
11.00 Memastikan kembali data hasil pengkajian dengan data Titis O : TTV : TD: 120/80, RR 25 x/menit
yang ada pada rekam medis A : Masalah belum teratasi
Titis P : Lanjutkan intervensi
11.30 Menentukan diagnosis dan membuat intervensi
Titis Diagnosa keperawatan 2
4 12.00 Cuci tangan dengan handrub sebelum dan sesudah S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tindakan tidur masih ada, bisa tidur dengan
1 Melakukan pemeriksaan TTV setengah duduk,
TD : 120/80 mmHg O : intake minum per oral 200 cc
S : 36,5⁰C / RR : 25 x/menit A : Masalah belum teratasi
N : 70 x/menit P : lanjutkan intervensi
1,2 Mengidentifikasi keluhan orthopneu, dipsneu dan
edema Diagnosa keperawatan 3
Mengingatkan batasan konsumsi cairan sehari Titis S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
Memberikan diit, makan siang selama MRS hanya makan
makanan sesuai pemberian RS
1 13.00 Memberikan terapi injeksi Titis habis ¾ porsi’
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc O : hasil Gula darah 2 JPP tgl 15 juli

93
D40 25 cc dan novorapid 4 ui 2019 = 189 mg/dl
3 13.30 Mengambil hasil cek lab pagi Gula 2 JPP : 189mm/dl A : Masalah belum teratasi
(<120mg/dl) P : lanjutkan intervensi

Diagnosa keperawatan 4
S:-
O:-
A : Belum tampak tanda-tanda infeksi
P : Intervensi dilanjutkan
14.00 Timbang Terima dengan Dinas Sore Rism Diagnosa keperawatan 1
Dokter sartono belum visite, k/u cukup, masih sesak a S:-
saat terlentang, intake minum dari pagi jam 07.00 O : TTV : TD: 130/70, RR 20 x/menit
200cc. A : Masalah belum teratasi
15.00 Rism P : Rencana cek ulang DL, SE
Visite dokter DPJP dr. Sartono, Sp PD a
Terapi : Diagnosa keperawatan 2
Injeksi Lasix 2 x 2 ampul S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
Injeksi ca glukonas + D5% 10cc, D40 25 cc + tidur masih ada, bisa tidur dengan
novorapid 4 ui setengah duduk,
Injeksi novomix 4-0-4 O : intake minum per oral 200 cc,
ISDN 3x1 output urine pagi dan sore 1000cc
Besok cek UL, DL, LFT, GDA, Alb, Glob, SE Rism A : Masalah belum teratasi
1,2 17.00 a P : lanjutkan intervensi
2 Memberikan posisi semifowler
3 Memberikan injeksi Lasix 2 ampul (IV) Diagnosa keperawatan 3
Memberikan injeksi novomix 4 ui (SC) Rism S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
4 18.00 a selama MRS hanya makan
3 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan makanan sesuai pemberian RS

94
Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi habis ¾ porsi’
novomix 4 ui (SC) O : hasil Gula darah 2 JPP tgl 15 juli
Memberikan diit makan malam dan terapi oral Rism 2019 = 189 mg/dl
4 20.00 amlodipine 5 mg, kalitake 5gr dan ISDN 5 mg a A : Masalah belum teratasi
1,2 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan P : lanjutkan intervensi
Mengobservasi tanda-tanda vital Tn.s
TD : 130/70 mmHg Diagnosa keperawatan 4
S/N : 36,5 ˚C / 90x/mnt S:-
1, 2 RR : 20x/menit O:-
Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine A : Belum tampak tanda-tanda infeksi
3 1000 cc P : Bsk rencana cek UL, DL
Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), Rism
polidpsi (-), kelemahan (+) a
1 21.00
Memberikan terapi injeksi
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui

21.00 Timbang terima dengan dinas malam Erlina Diagnosa keperawatan 1


Hasil visite dr Sartono, Sp PD : hasil terapi terlampir, S:-
rencana besok pagi cek lab DL, UL, GDA, SE, O : TTV : TD: 120/70, RR 20 x/menit Erlina
Albumin, Globulin A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
1,2 22.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler Erlina

95
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Diagnosa keperawatan 2
3 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
dikonsumsi, tidur masih ada, bisa tidur dengan
setengah duduk,
Erlina O : intake minum per oral 200 cc,
4 05.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan output urine malam 600 cc
2 Memberikan injeksi lasik 2 ampul Intake :
1 Memberikan injeksi Minum : 600 cc, makan 100 cc
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc Obat : 143 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui Air Metabolisme : 300 cc
1,2 Mengobservasi tanda-tanda vital Ny. S Output :
TD : 120/70 mmHg Urine 24 jam : 1500 cc
S/N : 36,5 ˚C / 88x/mnt Feses : 100 cc
RR : 20x/menit IWL : 900 cc
2 Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine Erlina Balnce cairan : intake – output = 1243
500 cc – 2500 = -1257 cc
4 Mengecek UL A : Masalah belum teratasi
1,2,3 05.30 Mengambil darah untuk cek DL, SE, GDA, Albumin, P : lanjutkan intervensi
Globulin Erlina
Diagnosa keperawatan 3
4 06.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi selama MRS hanya makan
novomix 4 ui (SC) makanan sesuai pemberian RS
1,2 Memberikan diit makan pagi dan terapi oral cpg 75 mg, habis ¾ porsi’
kalitake 5gr dan ISDN 5 mg O : hasil Gula darah 2JPP tgl 15 juli
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), 2019 = 189 mg/dl
polidipsi (-), kelemahan (+) A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

96
Diagnosa keperawatan 4
S:-
O : Urine keruh 600cc
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
Selasa 07.00 Timbang terima dengan dinas malam Fita Diagnosa keperawatan 1
16/07/2018 k/u pasien cukuop, masih sesak saat terlentang, balance S:-
cairan exses 1257 cc. terapi sesuai dr Sartono, Sp PD, O : TTV : TD: 110/70, RR 20 x/menit Fita
hari ini sudah cek darah, hasil belum, anjurkan batasi A : Masalah belum teratasi
cairan yang dikonsumsi 600 cc P : Lanjutkan intervensi

1,2 08.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler Fita Diagnosa keperawatan 2
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang tidur sudah sedikit berkurang
dikonsumsi, O : intake minum per oral 200 cc
Fita A : Masalah belum teratasi
1 09.00 Memberikan terapi injeksi P : lanjutkan intervensi
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui Diagnosa keperawatan 3
Melakukan pengkajian dan anamnesa kepada Ny.S S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
Fita selama MRS hanya makan
10.00 Mengambil hasil laboratorium makanan sesuai pemberian RS
WBC : 5,1 10^3/ul (4-10) habis ¾ porsi’
RBC : 3,10 10^6/ul (3,5-5,5) O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
HGB : 9,4 gr/dl (11-16) mg/dl
HCT : 29 % (37-54) A : Masalah belum teratasi
PLT : 317 10^3/ul (100-300) P : lanjutkan intervensi

97
GDP : 159 mg/dl (74-106)
SGOT : 12 U/L (0-35) Diagnosa keperawatan 4
SGPT : 14 U/L (0-37) S:-
Total protein : 5,93 g/dl (6-8) O : Urine keruh, perawatan kateter
Albumin : 3,94 g/dl (3,4 - 4,8) sudah dilakukan
Globulin : 1,99 g/dl (>none) A : Masalah belum teratasi
Natrium : 144,9 mmol/L (135 – 147) P : Berikan antibiotic sesuai hasil
Kalium : 5,93 mmol/L (3 – 5) kolaborasi : Levofloxacin 750 mg IV
Clorida : 114,4 mmol/L (95 – 105)
Sendimen urine :
RBC : 1,7 /HPF (0-3)
WBC : 48,4 /HPF (0 – 5)
EC (sel epitel) : 0,3 /HPF (0 – 1) Fita
CAST (silinder) 0.05 /HPF (0 – 2)
BACT (bakteri) : 15957,7 /HPF (0 – 2)

4 11.30 Cuci tangan dengan handrub sebelum dan sesudah


tindakan
1,2 Melakukan pemeriksaan TTV
TD : 110/70 mmHg Fita
S : 36,5⁰C / RR : 20 x/menit
N : 80 x/menit Fita
1,2 Mengidentifikasi keluhan orthopneu, dipsneu dan
edema
Mengingatkan batasan konsumsi cairan sehari Fita

12.00 Memberikan diit, makan siang dan terapi oral, kalitake


1 5gr, ISDN 5 mg

98
13.00 Memberikan terapi injeksi
3 Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui

13.30 Visite dokter penyakit dalam


Terapi tetap, tambah levofloxacin infus 2 x 750mg
14.00 Timbang Terima dengan Dinas pagi Titis Diagnosa keperawatan 1
Terapi dr. Sartono, Sp PD ditambah levofloxacin S:- Titis
2x750 mg, k/u cukup, masih sedikit sesak saat O : TTV : TD: 110/70, RR 20 x/menit
terlentang, intake minum dari pagi jam 07.00 200cc. A : Masalah belum teratasi
Titis P : Intervensi dilanjutkan
15.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler
Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Diagnosa keperawatan 2
Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
dikonsumsi, Titis tidur masih ada, bisa tidur dengan
setengah duduk,
4 17.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan O : intake minum per oral 200 cc,
1,2 Memberikan injeksi Lasix 2 ampul (IV) Titis output urine pagi dan sore 900cc
4 Memberikan terapi infus lefofloxacin 750 mg (IV) A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
4 18.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi Titis Diagnosa keperawatan 3
novomix 4 ui (SC) S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
Memberikan diit makan malam dan terapi oral selama MRS hanya makan
amlodipine 5 mg, kalitake 5gr dan ISDN 5 mg Titis makanan sesuai pemberian RS
habis ½ porsi’
4 19.00 Ajarkan keluarga dan pasien cuci tangan untuk O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159

99
pengendalian infeksi mg/dl
A : Masalah belum teratasi
4 20.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan P : lanjutkan intervensi
1,2 Mengobservasi tanda-tanda vital Ny. S
TD : 110/70 mmHg Titis Diagnosa keperawatan 4
S/N : 36,5 ˚C / 88x/mnt S:-
RR : 20x/menit O : Urine warna keruh 900 cc,
1,2 Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine A : Masalah belum teratasi
1000 cc P : Intervensi dilanjutkan
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-),
polidpsi (-), kelemahan (+)

4 21.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan


1 Memberikan terapi injeksi
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui
21.00 Timbang terima dengan dinas malam Rism Diagnosa keperawatan 1
Hasil visite dr Sartono, Sp PD : terapi tetap tambah a S:-
levofloxacin 2 x 750 mg. perawatan kateter setiap pagi O : TTV : TD: 130/70, RR 20 x/menit Rism
sore untuk pengedalian infeksi. A : Masalah belum teratasi a
P : lanjutkan intervensi, cek ulang DL,
1,2 22.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler SE sudah tunggu hasil
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Rism
3 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang a Diagnosa keperawatan 2
dikonsumsi, S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tidur masih ada, bisa tidur dengan
setengah duduk,
4 05.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan O : intake minum per oral 200 cc,

100
4 Memberikan injeksi levofloxacin 750mg Rism output urine malam 300 cc
2 Memberikan injeksi lasik 2 ampul a Intake :
1 Memberikan injeksi Minum : 600 cc, makan 100 cc
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc Obat : 343 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui Air Metabolisme : 300 cc
1,2 Mengobservasi tanda-tanda vital Ny.S Output :
TD : 110/70 mmHg Urine 24 jam : 1200 cc
S/N : 36,5 ˚C / 90x/mnt Feses : 100 cc
RR : 20x/menit IWL : 900 cc
2 Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine Balnce cairan : intake – output = 1443
600 cc – 2500 = -1057 cc
Rism
4 05.30 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan a A : Masalah belum teratasi
1,2,3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi P : lanjutkan intervensi
novomix 4 ui (SC)
06.00 Memberikan diit makan pagi dan terapi oral cpg 75 mg,
4 kalitake 5gr dan ISDN 5 mg Rism Diagnosa keperawatan 3
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), a S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
polidpsi (-), kelemahan (+) selama MRS hanya makan
1,2 makanan sesuai pemberian RS
habis ¾ porsi’
3 O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
mg/dl
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

Diagnosa keperawatan 4
S:-

101
O : Urin keruh 600 cc
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan,
Rabu 07.00 Timbang terima dengan dinas malam Fita Diagnosa keperawatan 1
17/07/2018 k/u pasien cukuop, masih sesak saat terlentang, balance S:-
cairan exses 1057 cc. terapi sesuai dr Sartono, Sp PD, O : TTV : TD: 110/80, RR 20 x/menit Fita
anjurkan batasi cairan yang dikonsumsi 600 cc A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1,2 08.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Fita
2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang Diagnosa keperawatan 2
dikonsumsi, S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tidur sudah sedikit berkurang
1 10.00 Visite dr. Sartono, Sp PD O : intake minum per oral 200 cc
Terapi tetap Fita A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
4 11.00 Cuci tangan dengan handrub sebelum dan sesudah
tindakan Diagnosa keperawatan 3
1,2 Melakukan pemeriksaan TTV S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
TD : 110/80 mmHg Fita selama MRS hanya makan
S : 36,5⁰C / RR : 20 x/menit makanan sesuai pemberian RS
N : 80 x/menit habis ¾ porsi’
1,2 Mengidentifikasi keluhan orthopneu, dipsneu dan Fita O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
edema mg/dl
Mengingatkan batasan konsumsi cairan sehari A : Masalah belum teratasi
Fita P : lanjutkan intervensi
1 12.00 Memberikan diit, makan siang dan terapi oral, kalitake
5gr, ISDN 5 mg Diagnosa keperawatan 4

102
S:-
3 13.00 Memberikan terapi injeksi O : Urine keruh, perawatan kateter
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc sudah dilakukan
D40 25 cc dan novorapid 4 ui A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
14.00 Timbang Terima dengan Dinas pagi Titis Diagnosa keperawatan 1
Terapi dr. Sartono, Sp PD tetap, k/u cukup, masih S:- Titis
sedikit sesak saat terlentang, intake minum dari pagi O : TTV : TD: 110/70, RR 20 x/menit
jam 07.00 200cc. A : Masalah belum teratasi
Titis P : Intervensi dilanjutkan

1,2 15.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler Diagnosa keperawatan 2
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang Titis tidur masih ada, bisa tidur dengan
dikonsumsi, setengah duduk,
O : intake minum per oral 200 cc,
4 17.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Titis output urine pagi dan sore 1000cc
1,2 Memberikan injeksi Lasix 2 ampul (IV) A : Masalah belum teratasi
4 Memberikan terapi infus lefofloxacin 750 mg (IV) P : lanjutkan intervensi

4 18.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Titis Diagnosa keperawatan 3
3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
novomix 4 ui (SC) selama MRS hanya makan
Memberikan diit makan malam dan terapi oral Titis makanan sesuai pemberian RS
amlodipine 5 mg, kalitake 5gr dan ISDN 5 mg habis ½ porsi’
O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
4 19.00 Ajarkan keluarga dan pasien cuci tangan untuk mg/dl
pengendalian infeksi A : Masalah belum teratasi

103
P : lanjutkan intervensi
4 20.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
1,2 Mengobservasi tanda-tanda vital Ny. S Titis Diagnosa keperawatan 4
TD : 110/70 mmHg S:-
S/N : 36,5 ˚C / 88x/mnt O : Urine warna keruh 1000 cc,
RR : 20x/menit A : Masalah belum teratasi
1,2 Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine P : Intervensi dilanjutkan
1000 cc
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-),
polidpsi (-), kelemahan (+)

4 21.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan


1 Memberikan terapi injeksi
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui
21.00 Timbang terima dengan dinas malam Ayu Diagnosa keperawatan 1
Hasil visite dr Sartono, Sp PD : terapi tetap. perawatan S:-
kateter setiap pagi sore untuk pengedalian infeksi. O : TTV : TD: 130/70, RR 20 x/menit Ayu
A : Masalah belum teratasi
Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler P : lanjutkan intervensi, cek ulang DL,
1,2 22.00 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Ayu SE sudah tunggu hasil
1,2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang
3 dikonsumsi, Diagnosa keperawatan 2
S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tidur masih ada, bisa tidur dengan
4 05.00 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Ayu setengah duduk,
4 Memberikan injeksi levofloxacin 750mg O : intake minum per oral 200 cc,
2 Memberikan injeksi lasik 2 ampul output urine malam 600 cc

104
1 Memberikan injeksi Intake :
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc Minum : 600 cc, makan 100 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui Obat : 343 cc
1,2 Mengobservasi tanda-tanda vital Ny.S Air Metabolisme : 300 cc
TD : 110/70 mmHg Output :
S/N : 36,5 ˚C / 90x/mnt Urine 24 jam : 1600 cc
RR : 20x/menit Feses : 100 cc
2 Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine Ayu IWL : 900 cc
600 cc Balnce cairan : intake – output = 1443
– 2800 = -1357 cc
4 05.30 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Ayu A : Masalah belum teratasi
1,2,3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi P : lanjutkan intervensi
novomix 4 ui (SC)
06.00 Memberikan diit makan pagi dan terapi oral cpg 75 mg, Diagnosa keperawatan 3
4 kalitake 5gr dan ISDN 5 mg S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), selama MRS hanya makan
polidpsi (-), kelemahan (+) makanan sesuai pemberian RS
1,2 habis ¾ porsi’
O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
3 mg/dl
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

Diagnosa keperawatan 4
S:-
O : Urin keruh 600 cc
A : Masalah belum teratasi

105
P : Intervensi dilanjutkan,
Kamis 07.00 Timbang terima dengan dinas malam Rism Diagnosa keperawatan 1
18/07/2018 k/u pasien cukuop, masih sesak saat terlentang, balance a S:-
cairan exses 1357 cc. terapi sesuai dr Sartono, Sp PD, O : TTV : TD: 110/80, RR 20 x/menit Fita
anjurkan batasi cairan yang dikonsumsi 600 cc A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1,2 08.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Rism
2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang a Diagnosa keperawatan 2
dikonsumsi, S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tidur sudah sedikit berkurang
10.00 Visite dr. Sartono, Sp PD O : intake minum per oral 200 cc
Injeksi lasik stop Rism A : Masalah belum teratasi
Injeksi ca glukonas + D5% 10cc, D40 25 cc + a P : lanjutkan intervensi
novorapid 4 ui besok stop
Injeksi levoflovxacin bsk stop Diagnosa keperawatan 3
Kalitake 3x1 S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
Amlodipin 0-0-1 selama MRS hanya makan
ISDN 3x1 makanan sesuai pemberian RS
Cpg 1-0-0 habis ¾ porsi’
Novomix 4-0-4 O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
Besok cek ulang DL, SE mg/dl
Rencana KRS besok A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
4 11.00 Cuci tangan dengan handrub sebelum dan sesudah Rism
tindakan a Diagnosa keperawatan 4
1,2 Melakukan pemeriksaan TTV S:-
TD : 110/80 mmHg O : Urine jernih, perawatan kateter

106
S : 36,5⁰C / RR : 20 x/menit sudah dilakukan
N : 80 x/menit A : Masalah belum teratasi
1,2 Mengidentifikasi keluhan orthopneu, dipsneu dan P : Intervensi dilanjutkan
edema
Mengingatkan batasan konsumsi cairan sehari Rism
a
1 12.00 Memberikan diit, makan siang dan terapi oral, kalitake
5gr, ISDN 5 mg
Rism
3 13.00 Memberikan terapi injeksi a
Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui
14.00 Timbang Terima dengan Dinas pagi Titis Diagnosa keperawatan 1
Terapi dr. Sartono, Sp PD Lasix stop, injeksi lain hari S:- Titis
ini, rencana krs bsk, k/u cukup, masih sedikit sesak saat O : TTV : TD: 110/70, RR 20 x/menit
terlentang, intake minum dari pagi jam 07.00 200cc. A : Masalah belum teratasi
1,2 15.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler Titis P : Intervensi dilanjutkan
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu),
Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang Diagnosa keperawatan 2
dikonsumsi, S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
Titis tidur berkurang,edema kaki (-)
4 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan O : intake minum per oral 200 cc,
4 Memberikan terapi infus lefofloxacin 750 mg (IV) output urine pagi dan sore 1000cc
17.00 Titis A : Masalah belum teratasi
4 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan P : lanjutkan intervensi
3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi
18.00 novomix 4 ui (SC) Diagnosa keperawatan 3
Memberikan diit makan malam dan terapi oral Titis S : Keluarga pasien mengatakan ibunya

107
amlodipine 5 mg, kalitake 5gr dan ISDN 5 mg selama MRS hanya makan
makanan sesuai pemberian RS
Titis habis ½ porsi’
Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
Mengobservasi tanda-tanda vital Ny. S mg/dl
4 20.00 TD : 110/70 mmHg A : Masalah belum teratasi
1,2 S/N : 36,5 ˚C / 88x/mnt P : lanjutkan intervensi
RR : 20x/menit
Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine Diagnosa keperawatan 4
1000 cc Titis S:-
1,2 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), O : Urine warna keruh 1000 cc,
polidpsi (-), kelemahan (+) A : Masalah belum teratasi
3 P : Intervensi dilanjutkan

Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan


Memberikan terapi injeksi
4 21.00 Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc
1 D40 25 cc dan novorapid 4 ui

21.00 Timbang terima dengan dinas malam Fita Diagnosa keperawatan 1


Hasil visite dr Sartono, Sp PD : terapi tetap. perawatan S:-
kateter setiap pagi sore untuk pengedalian infeksi. O : TTV : TD: 130/70, RR 20 x/menit Fita
A : Masalah belum teratasi
Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler P : lanjutkan intervensi, cek ulang DL,
1,2 22.00 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu), Fita SE sudah tunggu hasil
1,2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang
3 dikonsumsi, Diagnosa keperawatan 2

108
S : Ny. S mengatakan sesak nafas saat
tidur tidak ada, tidur terlentang
Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Fita tidak sesak
4 05.00 Memberikan injeksi levofloxacin 750mg O : intake minum per oral 200 cc,
4 Memberikan injeksi lasik 2 ampul output urine malam 200 cc
2 Memberikan injeksi Intake :
1 Ca glukonas 1gr dan D5% 10 cc Minum : 600 cc, makan 100 cc
D40 25 cc dan novorapid 4 ui Obat : 335 cc
Mengobservasi tanda-tanda vital Ny.S Air Metabolisme : 300 cc
1,2 TD : 110/70 mmHg Output :
S/N : 36,5 ˚C / 90x/mnt Urine 24 jam : 1200 cc
RR : 20x/menit Feses : 100 cc
Mengobservasi intake cairan oral 200 cc, output urine Fita IWL : 900 cc
2 600 cc Balnce cairan : intake – output = 1335
– 2400 = -1065 cc
4 05.30 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan A : Masalah belum teratasi
1,2,3 Memberikan hasil kolaborasi pemberian OAD : injeksi P : lanjutkan intervensi
novomix 4 ui (SC) Fita
1,2,3 Mengambil darah untuk DL dan SE Diagnosa keperawatan 3
S : Keluarga pasien mengatakan ibunya
1,2 06.00 Memberikan diit makan pagi dan terapi oral cpg 75 mg, selama MRS hanya makan
kalitake 5gr dan ISDN 5 mg makanan sesuai pemberian RS
3 Mengidentifikasi tanda-tanda hiperglikemi (polifagi (-), habis ¾ porsi’
polidpsi (-), kelemahan (-) O : hasil GDP tgl 16 juli 2019 = 159
Melepas kateter (+) mg/dl
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

109
Diagnosa keperawatan 4
S:-
O : Urin jernih 600 cc
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan,
Jum’at 07.00 Timbang terima dengan dinas malam, cek darah sudah Titis Diagnosa keperawatan 1 Titis
19/7/19 diambil tunggu hasil. Rencana KRS hari ini, discarge S:-
planning belum. Obat injeksi stop semua, obat oral O : TTV : TD: 130/70, RR 18 x/menit
dilanjutkan Hasil kalium 4,87 mmol/L
A : Masalah teratasi
1,2 08.00 Memberikan posisi yang nyaman, semi fowler Titis P : intervensi dihentikan
1,2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan (orthopneu),
2 Anjurkan pasien tetap membatasi cairan yang Diagnosa keperawatan 2
dikonsumsi S : Ny. S mengatakan sesak nafas
3 Memonitor tanda dan gejala hiperglikemia Titis berkurang, bisa tidur terlentang
1,2 Mengukur TTV O : RR : 18 x/menit, edema kaki (-)
TD : 110/70 mmHg Titis A : Masalah teratasi
S/N : 36,5 ˚C / 90x/mnt P : Intervensi dihentikan
RR : 16x/menit
Diagnosa keperawatan 3
1,2,3,4 09.00 Memberikan eduksi discharge planning, S : Keluarga pasien mengatakan nanti
akan memberikan diit DM untuk
10.00 Mengambil hasil laboratorim ibunya, rendah gula dan rendah
WBC : 6,35 10^3/ul (4-10) garam. hasil GDP tgl 19 juli 2019 =
RBC : 3,29 10^6/ul (3,5-5,5) 114 mg/dl
HGB : 9,7 gr/dl (11-16) A : Teratasi sebagian
HCT : 30,4 % (37-54) Titis P : lanjutkan intervensi dengan obat

110
PLT : 351 10^3/ul (100-400) oral dan kontrol rutin ke poli
GDP : 114 mg/dl (74-106) penyakit dalam
Natrium : 141 mmol/L (135 – 147) Titis
Kalium : 4,87 mmol/L (3 – 5) Diagnosa keperawatan 4
Clorida : 104,4 mmol/L (95 – 105) S:-
O : k/u baik, mobilisasi sesuai
11.00 Lapor dr. Sartono, Sp PD / telepon kemampuan, pasien dan keluarga
Hasil : pasien boleh krs. Obat oral dilanjutkan dirumah, mampu melakukan pencegahan infeksi
control poli penyakit dalam 24/7/19 A : Masalaha teratasi
P : Intervensi dihentikan
11.30 Pasien KRS

111
BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab 4 akan dilakukan pembahasan mengenai asuhan keperawatan pada

Ny.S dengan diagnosis Chronic Kidney Disease + Hiperkalemia + Decomp Cordis

grade 2 di ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya yang dilaksanakan mulai

tanggal 15 Juli 2019 sampai dengan 19 Juli 2019. Melalui pendekatan studi kasus

untuk mendapatkan kesenjangan antara teori dan praktek di lapangan. Pembahasan

terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan

dari tahap pengkajian, diagnosis, perencanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan dan

evaluasi.

4.1 Pengkajian

Penulis melakukan pengkajian pada Ny.S dengan melakukan anamesa pada

pasien dan keluarga, melakukan pemeriksaan fisik, dan mendapatkan data dari

pemeriksaan penunjang medis. Pembahasan akan dimulai dari:

4.1.1 Identitas

Data yang didapatkan, pasien bernama Ny.S berjenis kelamin perempuan,

berusia 68 tahun dan pendidikan terakhir SD. Menurut Hill et al (2016) prevalensi

global PGK sebesar 13,4% dengan 48% di antaranya mengalami penurunan fungsi

ginjal dan tidak menjalani dialisis dan sebanyak 96% orang dengan kerusakan ginjal

atau fungsi ginjal yang berkurang tidak sadarbahwa mereka memiliki PGK. Hasil

riset kesehatan dasar (Kemenkes) 2013, populasi umur >= 15 tahun di Indonesia yang

112
terdiagnosis PGK stadium V sebesar 0,2% dan prevalensi PGK di Jawa Timur

sebesar 0,3%. Jumlah pasien yang menderita PGK diperkirakan akan terus

meningkat. Peningkatan ini sebanding dengan penambahan jumlah populasi,

peningkatan populasi usia lanjut, dan peningkatan jumlah pasien dengan hipertensi

dan diabetes (Johnson, 2014). (Systriana, dkk, 2018)

4.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan

Keluhan utama masuk rumah sakit adalah Ny. S mengeluh sesak nafas saat

tidur dan sudah 3 hari sebelum MRS tidak bisa tidur. Hasil foto rotgen thorax saat di

IGD RSAL dr Ramelan CTR 64,36%, Hasil laboratorium HB 9,9% dr/dl, GDA

219mg/dl, BUN 38 mg/dl, Kreatinin 4,5 mg dl, kalium 6,24 mmol/L dan clorida

110,2 mmol/L. dilakukan pe masangan infus plug, injeksi lasik 40 mg, ca glukonas

1000mg dalam NS 10 cc, D40 25 ml novorapid 4 ui IV. Kemudian pasien di rawat di

ruang B1, pada tgl 14 Juli 2019 jam 12.00, pada jam 16.00 pasien dipasang kateter.

Pada tanggal 15 Juli 2019 jam 06.00 UT 1200cc.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit dahulu, didapatkan data pasien mempunyai riwayat

penyakit Diabetes dan Hipertensi sejak tahun 1998, pada tahun yang sama

pasien juga mengalami sakit stroke. Pasien suka mengkonsumi makanan

yang manis dan asin, keterangan anaknya yang tinggal 1 rumah dengan

pasien mengatakan jika masakan tidak berasa pasien kadang tidak mau

makan dan memilih makanan yang enak (yang berasa manis dan asin).

Bila dilihat dari riwayat Diabetes Melitus yang sudah lama di derita

pasien, maka penulis dapat menyimpulkan kemungkinan terjadinya

113
komplikasi jangka panjang Hal ini dibuktikan dalam penelitian Mahendra

(2008) mengatakan bahwa apabila Diabetes Melitus tidak diobati dapat

menyebabkan berbagai komplikasi yang memberatkan dan dapat berakibat

fatal seperti penyakit jantung, terganggunya fungsi ginjal, kebutaan,

pembusukan kaki yang kadang memerlukan amputasi, hingga impotensi

(Rahmawati, 2016).

2. Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah Ny.S mungkin memiliki riwayat sakit Hipertensi, karena

meninggal dunia mendadak mungkin karena penyakit jantung. Kakak

pasien juga memiliki sakit diabetes mellitus dan penyakit stroke. Arisman

(2010) menyebutkan riwayat keluarga, orang tua atau saudara kandung

yang mengidap Diabetes Mellitus, sekitar 40% diabetesi terbukti terlahir

dari keluarga yang juga mengidap Diabetes Mellitus. Hal ini dikarenakan

faktor genetik berperan penting dalam kerentanan terhadap Diabetes

Melitus. Terbukti Ny.S juga menderita Diabetes Mellitus sesuai dengan

yang dialami oleh pasien saat ini, dimana Ny.S terlahir dari keluarga yang

memiliki keturunan riwayat penyakit Diabetes Melitus. Seseorang yang

memiliki riwayat keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami

DM daripada seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM

(Arslanian et.al., 2005:11). Secara klinik riwayat penyakit diabetes

melitus mempunyai pengaruh terhadap kejadian gagal ginjal kronik 4,1

kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit faktor

risiko diabetes melitus dan pasien dengan riwayat penyakit hipertensi

114
mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali lebih besar

daripada pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko hipertensi

(Pranandari, 2012) (Alfian B,dkk 2017).

4.1.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan beberapa masalah yang bisa dipergunakan

sebagai data dalam menegakkan diagnosa keperawatan yang aktual maupun resiko.

Adapun pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan persistem seperti yang diuraikan

sebagai berikut:

1. B1: Breathing (Sistem Pernapasan)

Pasien mengatakan sesak saat beraktifitas dan tidur terlentang,

inspeksi paru-paru mengembang simetis, palpasi fremitus raba (+)

diseluruh lapan paru, perkusi sonor, auskultasi suara nafas vesikuler

diseluruh lapang paru. Secara teori gejala utama dari gagal jantung adalah

kelelahan dan sesak napas. Meskipun kelelahan secara tradisional

dianggap berasal dari output jantung yang rendah pada gagal jantung,

diperkirakan bahwa ada kemungkinan kelainan tulang-otot dan

komorbiditas non-kardiak lainnya (misalnya, anemia) juga berkontribusi

terhadap gejala ini. Pada tahap awal gagal jantung, dyspnea diamati hanya

saat beraktivitas, namun, sebagai penyakit berlangsung, dyspnea terjadi

dengan aktivitas kurang berat, dan akhirnya dapat terjadi bahkan pada saat

istirahat. Asal dyspnea pada gagal jantung dapa bersifat multifaktorial.

Mekanisme paling penting adalah kongesti paru dengan akumulasi cairan

115
interstitial atau intra-alveolar. Faktor-faktor lain yang berkontribusi

terhadap dyspnea saat aktivitas termasuk penurunan kepatuhan paru,

peningkatan resistensi saluran napas, otot pernapasan dan / atau kelelahan

diafragma, dan anemia. Ortopnea, yang didefinisikan sebagai dispnea

yang terjadi pada posisi berbaring. Gejala ini hasil dari redistribusi cairan

dari sirkulasi splannikus dan ekstremitas bawah ke sirkulasi pusat selama

berbaring, dengan peningkatan resultan tekanan kapiler paru. Batuk

malam hari adalah manifestasi sering proses ini dan gejala yang sering

diabaikan gagal jantung. Ortopnea umumnya lega dengan duduk tegak

atau tidur dengan bantal tambahan. Meskipun ortopnea adalah gejala yang

relatif spesifik gagal jantung, gejala ini juga bisa terjadi pada pasien

dengan obesitas abdominal atau asites dan pada pasien dengan penyakit

paru

2. B2: Blood (Sistem Cardiovaskuler)

Pasien mengatakan badan lemas, dari hasil pemeriksaan konjungtiva

pucat, sclera putih, mata bersih tidak ada secret, palpebral normal.

Pemeriksaan CRT < 2 detik, akral dingin, ictus cordis teraba di dada

kanan ICS 6, Nadi 84x/menit kuat irama regular dan auskultasi : Irama

jantung regular, S1 S2 tunggal tidak ada suara jantung tambahan. Tekanan

darah 100/70. Berdasarkan penelitian Rahmad hidayat dkk (2010), PGK

pada umumnya bersifat progresif. Hal ini berarti bahwa pada saat tertentu

fungsi ginjal akan terus menurun sampai pada tahap akhir (the point of no

return). Progresivitas penyakit ini akan terus berlanjut meskipun lesi yang

116
mengawali proses terjadinya kerusakan ginjal tersebut dihilangkan. PGK

ini pun biasanya disertai dengan berbagai komplikasi, seperti penyakit

kardio vaskuler, penyakit saluran nafas, penyakit saluran cerna, kelainan

di tulang dan otot, serta anemia.

3. B3: Brain (Sistem Persyarafan)

Pasien mengatakan bisa menggerakkan seluruh anggota badan, dapat

duduk maupun berjalan dengan bantuan. Pada inspeksi : Kesadaran

compos mentis, GCS 4-5-6, pupil reflek cahaya (+) dan isokor. Penyakit

ginjal kronis (chronic kidney disease) lebih sering berkembang menjadi

uremia terutama stadium lanjut CKD, tetapi juga dapat terjadi dengan

gagal ginjal akut (AKI) jika hilangnya fungsi ginjal dengan cepat. Belum

ada uremik toksik tunggal yang telah di identifikasi menyumbang semua

manifestasi klinis uremia. Racun, seperti hormon paratiroid (PTH), beta2

mikroglobulin, poliamina, produk glikosilasi akhir mutakhir, dan molekul

menengah lainnya, diperkirakan berkontribusi terhadap sindrom klinis

(Alper, 2015). Disebut Uremia bila kadar ureum didalam darah di atas 50

mg/dl. Uremia adalah sindrom penyimpangan biokimia yang ditandai oleh

azotemia, asidosis, hiperkalemia, pengendalian volume cairan yang buruk,

hipokalsemia, anemia dan hipertensi. Uremia adalah sindrom klinis

dengan penurunan LFG < 10-15 ml/menit (L, Tao & K, Kendall, 2014)

4. B4: Bladder (Sistem Perkemihan)

Pasien mengatakan biasanya kencing kurang lebih 4-5x sehari, sejak

tgl 14 juli 2019 jam 16.00 pasien terpasang kateter warna urine kuning,

117
dan pada palpasi tidak ada nyeri tekan di suprapubis, kandung kemih tidak

teraba. Pasien sebelumnya mengetahui penyakit ginjalnya sehingga saat

sebelum MRS pasien sudah dibatasi intake cairan yang dikonsumsi sehari

sebanyak 600cc. Pada pengkajian awa penulis berpendapat bahwa tidak

ada gangguan dalam berkemih pada Ny.S karena tidak ditemukan tanda

dan gejalan adanya gangguan berkemih. Tetapi saat ada pemeriksaan

laboratorium urin lengkap, pada sendimen urin didapatkan leukosit dan

bacteri diatas normal. Hal ini bisa dikarenakan pembatasan cairan dan

hambatan mobilitas fisik dalam perawatan kebersihan area meatus uretra

yang dapat meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.

5. B5: Bowel (Sistem Pencernaan)

Pengkajian sistem pencernaan pada Ny.S didapatkan bentuk abdomen

supel, tidak acites, tidak mual, tidak muntah, tidak kembung, tidak ada

splenomegali, tidak ada hepatomegali, tidak ada melena. Dari wawancara

dengan anak pasien mengatakan nafsu makan selama ini baik jika rasanya

cocok, pasien suka makanan manis dan asin. Biasa nya makan nasi 4-5

sendok makan. selama MRS di RSAL Kurang lebih ¾ porsi habis.

Kebiasaan defekasi sebelum MRS 1x sehari. Mukosa bibir kering, turgor

kulit elastis, peristaltik usus 6 x/menit. Penderita Diabetes Mellitus yang

lama dapat menyebabkan urat saraf yang terdapat di lambung rusak

sehingga fungsi lambung menghancurkan makanan lebih lama hingga

makanan tertinggal lama di lambung dan menimbulkan tanda dan gejala

seperti anoreksia, mual, muntah, perut mudah terasa penuh, kembung,

118
makanan tidak lekas turun, kadang timbul rasa sakit di ulu hati karena

makanan terhenti di dalam dada. (Misnadiarly, 2006). Penulis

berpendapat bahwa tidak ada gangguan sistem pencernaan, terbukti dari

tidak adanya keluhan mual muntah dan porsi makan selalu habis

6. B6 / Bone ( Sistem Muskuloskletal)

Pengkajian sistem muskuloskeletal pada Ny.S diperoleh data ada

edema pada ekstremitas kaki derajat 1. Ginjal berperan penting dalam

regulasi tekanan darah berkat efeknya pada keseimbangan natrium, suatu

penentu utama tekanan darah. Konsentrasi natrium didalam tubuh

dideteksi di macula densa, yaitu bagian aparatus jukstaglomerulus.

Apartus jukstaglomerulus berperan dalam menilai tekanan darah. Melalui

kerja dua sensor, baik kadar natrium yang rendah atau tekanan perfusi

yang rendah berfungsi sebagai stimulasi untuk pelepasan renin. Renin

yaitu suatu protease yang dibuat di sel jukstaglomerulus, menguraikan

angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, yang

kemudian diuraikan menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting

enzyme (ACE). Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan

memicu vasokonstriksi secara langsung dan dengan merangsang sekresi

aldosteron sehingga terjadi retensi natrium dan air oleh ductus collingens.

Semua efek ini menambah cairan ekstrasel (CES) (Mcphee &

Wiliam,2010).

6. Sistem Integumen

119
Pengkajian sistem integumen pada Ny.S diperoleh data kulit tampak

pucat, bersisik dan kuku kaki tampak hitam. Alteroskelrosis merupakan

komplikasi dari Diabetes Mellitus, yang sering mengganggu vaskuler

perifer sehingga menghambat sirkulasi darah. Pada kondisi ini juga terjadi

penyempitan di arteri perifer yang menyebabkan penurunan sirkulasi yang

signifikan dibagian bawah tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk

berperan dalam timbulnya ulkus gangren diabetik. Penulis berpendapat

bahwa kondisi hiperglikemia juga mempunyai dampak yang negatif

terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan

penyempitan pembuluh darah yang juga mempengaruhi sirkulasi sehingga

pada kaki diabetic cenderung ujung kaki berwaran hitam, selain itu

penyakit diabetes melitus pasien sudah sejak 20 tahun yang lalu dan faktor

usia pasien juga berpengaruh adanya ujuung kaki berawarna hitam.

7. Sistem Penginderaan

Sistem pengelihatan lapang pandang menurun, mempunyai katarak

tetapi pasien tidak mau dioperasi. Ada kaitan yang kuat antara

hiperglikemia dengan insiden dan berkembangnya retsinopati. Manifestasi

dini neuropati berupa mikroaneurisma (pelebaranan sakular yang kecil)

dari arteriola retina. Akibatnya perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan

parut retina dan dapat mengakibatkan kebutaan (Price & Wilson, 2005).

Pada sistem pendengaran pasien dapat mendengar dengan baik (normal),

telinga bersih. Dan pada sistem penciuman, tidak ada keluhan penciuman,

120
hidung normal, tidak ada benjolan (polip), mukosa hidung normal tidak

ada secret.

8. Endokrin

Didapatkan data pada Ny. S tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid

tidak ada nyeri tekan pada tiroid. Kadar gula darak acak 219 mg/dl, napas

tidak bau aseton. Diabetes Mellitus tipe 2 terkait dengan tingginya

prevalensi gangguan autoimun, terutama penyakit tiroid (Arisman, 2010).

Pada pasien tidak ditemukan gangguan pada tiroid.

Diabetes Melitus Tipe 2 terdapat dua masalah utama yang

berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin. Normalnya, insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada

permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dan reseptor tersebut,

terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel.

Resistensi insulin pada DM Tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi

intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi

resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus

terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. DM Tipe 2 paling

sering terjadi pada penderita DM yang berusia lebih dari 30 tahun dan

obesitas. Obesitas merupakan faktor utama penyebab timbulnya DM Tipe

2. Pada keadaan kegemukan respons sel beta pankreas terhadap

peningkatan gula darah sering berkurang. Selain itu reseptor insulin pada

121
target sel di seluruh tubuh termasuk otot berkurang jumlah dan

keaktifannya (kurang sensitif) sehingga keberadaan insulin di dalam darah

kurang atau tidak dapat di manfaatkan (Ernawati, 2013). Penulis

berpendapat bahwa pencetus adanya gangguan toleransi insulin yang

terjadi pada tubuh Ny. S bukan akibat dari obesitas tetapi karena pola

makan yang tidak baik dan tidak rutin mengkonsumsi obat diabetes

melitus sesuai advis dokter.

4.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan pada kasus Tn.S menurut SDKI (2016) adalah sebagai

berikut :

1. Resiko penurunan curah jantung, dengan faktor resiko Gambaran EKG

Infark anteroseptal lateral, hasil laboratorium Kalium = 6,24 mmol/L,

foto Rotgen thorax tampak adanya cardiomegaly CTR 64,36%, hasil

pemeriksaan ECO terdapat penurunan fungsi sistolik 49%. Hiperkalemia

adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena

insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs,

ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama

melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem

kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Efek paling penting dari

hiperkalemia berada di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka

pada umumnya tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq /

L, dan karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na

+ membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan. Perubahan EKG

122
berlaku secara berurutan dari simetris memuncak gelombang T (sering

dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks QRS →

perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P → hilangnya

amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-kadang elevasi)

→ EKG yang menyerupai gelombang sinus, sebelum perkembangan

fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat relatif baik

dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan hiperkalemia progresif.

Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis menonjolkan efek jantung

hiperkalemia. (Dya Rasida, 2017)

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme

regulasi yang ditandai dengan keluhan pasien yang mengatakan sesak saat

tidur terlentang (orthopneu), hasil pemeriksaan fisik adanya oedema grade

1 pada kedua kaki dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar

hemoglobin 9,9% dan hematocrit 30%. Edema merupakan tanda dan

gejala yang umum pada kelebihan volume cairan. Edema merujuk kepada

penimbunan cairan di jaringan subkutis dan menandakan ketidak

seimbangan gaya-gaya starling (kenaikan tekanan intravaskuler atau

penurunan tekanan intravaskuler) yang menyebabkan cairan merembes ke

dalam ruang interstisial. Edema akan terjadi pada keadaan

hipoproteinemia dan gagal ginjal yang parah seperti GGK (Thomas &

Tanya, 2012).

3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan

toleransi glukosa darah ditandai dengan pada pemeriksaan laboratorium

123
gula darah acak 219 mg/dl dan hasil wawancara dengan anak pasien yang

mengatakan pasien suka makan makanan yang manis dan asin. Obat yang

dapat menaikkan kadar gula darah antara lain adalah hormon steroid

(prednisone, dexametason); hormone steroid seks (testosterone,

progesterone, pil KB); diuretik dosis tinggi (HCT, furosemida); obat

hipertensi golongan penyekat beta; niasin, INH, pentamidin, siklosporin,

hormon tirod, obat asma salbutamol dan terbutain serta beberapa obat

penenang (Tandra 2008). Cara kerja obat hipoglikemik oral pada

umumnya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin atau

mengurangi absorpsi glukosa dalam usus, sehingga dapat menurunkan

kadar glukosa dalam darah. Perencanaan makan masih merupakan

pengobatan utama, tetapi bila hal ini bersama latihan jasmani ternyata

gagal, maka diperlukan penambahan obat oral. Obat hipoglikemik oral

diberikan agar Diabetes Melitus dapat terkontrol dengan baik (Qurratuaeni

2009).

4. Resiko infeksi dengan faktor resiko pasien menderita penyakit kronis yaitu

diabetes mellitus, adanya pembatasan cairan karena riwayat penyakit

gangguan fungsi ginjal dan penurunan kadar hemoglobin 9,9 %. Infeksi

saluran kencing adalah tipe infeksi paling sering mempengaruhi klien DM,

terutama perempuan.Salah satu factor mungkin di hambat leukosit PMN

saat glukosa ada.Glukosaria berhubungan dengan

hiperglikemia.Perkembangan kandung kemih neurogenic akibat

124
pengosongan tidak lengkap dan retensi urine, mungkin juga berkontribusi

terhadap resiko infeksi saluran kencing

4.3 Perencanaan

1. Resiko penurunan curah jantung

Tujuan : keadekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 5x24 jam, dengan kriteria hasil : Kadar elektrolit serum dalam

batas normal (3,5 – 5 mmol/L)

Rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny. S adalah

mengidentifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung

(meliputi dipsneu, kelelahan, edema, orthopneu, paroxysmal nocturnal

dyspnea, peningkatan CVP), memonitor tekanan darah (termasuk tekanan

darah orthostatic, jika perlu), intake dan output cairan,nilai laboratorium

(setum elektrolit : kalium), memposisikan pasien semi fowler atau fowler

atau posisi nyaman, menganjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi dan

bertahap dan berkolaborasi pemberian terapi hiperkalemia

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme

regulasi

Tujuan : terjadi keseimbangan cairan dan elektrolit setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 5 x24 jam, dengan kriteria hasil keluhan

orthopneu berkurang, Tidak ada edema kaki, hasil laobratorium

hemoglobin dan hematocrit dalam batas normal

125
Rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny. S adalah

mengobservasi tanda dan gejala kelebihan cairan (orthopneu, dipneu,

edema), memonitor status hemodinamik (frekuensi jantung, tekanan

darah), intake dan output cairan, efek samping diuretic (hipotensi

orthostastik, hypovolemia, hypokalemia, hiponatremia), memberikan

posisi semifowler, fowler, memberikan dan anjurkan dalam batasan intake

cairan yang dikonsumsi sehari-hari, berkolaborasi pemberian diuretik.

3. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan gangguan tolerasi

glukosa darah

Tujuan : kadar gula darah stabil setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 5x24 jam, dengan kriteria hasil : pasien mampu

mengontrol glukosa darah secara mandiri, kadar gula darah pasien dalam

rentang normal : gula darah acak = 100-199 mg/dl, gula darah puasa = 80-

109 mg/dl dan gula darah 2JPP = 110-140 mg/dl.

Rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny.S adalah

Observasi tanda dan gejala hiperglikemia; polyuria, polidipsi, polifaghia,

kelemahan, lakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar gula

darah 2JPP, memberikan edukasi diabetes dan kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian dosis insulin Novomix 2x4ui/sc. DM tipe 2 atau Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh gangguan

resistensi insulin dan sekresi insulin. Resistensi insulin terjadi karena

reseptor yang berikatan dengan insulin tidak sensitif sehingga

mengakibatkan menurunnya kemampuan insulin dalam merangsang

126
pengambilan glukosa dan menghambat produksi glukosa oleh sel hati.

Gangguan sekresi insulin terjadi karena sel beta pankreas tidak mampu

mensekresikan insulin sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011).

4. Resiko Infeksi

Tujuan : derajad infeksi berdasarkan observasi atau sumber informasi

menurun setelah dilakukan asuhan keperawatan, dengan kriteria hasil

pasien dan keluarga mampu menghindari faktor resiko infeksi, kadar

hemoglobin normal

Rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny.S adalah

memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local (pemeriksaan darah,

urine), mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan

lingkungan pasien, mengajarkan cara cuci tangan dengan benar,

berkolaborasi pemberian antibiotik.

4.4 Implementasi

Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat

memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung pada pasien.

Pelaksanaan adalah perwujudan atau realisasi dari perencanaan yang telah disusun.

Pelaksanaan rencana keperawatan dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi.

Hal ini karena disesuaikan dengan keadaan Ny.S yang sebenarnya.

1. Resiko penurunan curah jantung

Data pengkajian yang didapatkan dari diagnosis tersebut adalah

dengan faktor resiko Gambaran EKG Infark anteroseptal lateral, hasil

127
laboratorium Kalium = 6,24 mmol/L, foto Rotgen thorax tampak adanya

cardiomegaly CTR 64,36%, hasil pemeriksaan ECO terdapat penurunan

fungsi sistolik 49%.

Berdasarkan target pelaksanaan maka penulis melakukan beberapa

tindakan yaitu: mengidentifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah

jantung (meliputi dipsneu, kelelahan, edema, orthopneu, memonitor

tekanan darah, memonitor intake dan output cairan, memonitor nilai

laboratorium jantung (serum elektrolit = kalium), memposisikan pasien

semi fowler atau fowler atau posisi nyaman, menganjurkan beraktifitas

fisik sesuai toleransi dan bertahap, berkolaborasi pemberian terapi

hiperkalemia

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme

regulasi

Data pengkajian yang didapatkan dari diagnosis tersebut adalah

keluhan pasien yang mengatakan sesak saat tidur terlentang (orthopneu),

hasil pemeriksaan fisik adanya oedema grade 1 pada kedua kaki dan pada

pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 9,9% dan

hematocrit 30%

Berdasarkan target pelaksanaan maka penulis melakukan beberapa

tindakan yaitu: mengobservasi tanda dan gejala kelebihan cairan

(orthopneu, dipneu, edema), memonitor status hemodinamik (frekuensi

jantung, tekanan darah), memonitor intake dan output cairan, memonitor

efek samping diuretic (hipotensi orthostastik, hypovolemia, hypokalemia,

128
hiponatremia), memberikan posisi semifowler, fowler, memberikan dan

anjurkan dalam batasan intake cairan yang dikonsumsi sehari-hari,

berkolaborasi pemberian diuretik

3. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan gangguan toleransi

glukosa darah

Data pengkajian yang didapatkan dari diagnosis tersebut adalah pada

pemeriksaan laboratorium gula darah acak 219 mg/dl dan hasil wawancara

dengan anak pasien yang mengatakan pasien suka makan makanan yang

manis dan asin.

Berdasarkan target pelaksanaan maka penulis melakukan beberapa

tindakan yaitu : megobservasi tanda dan gejala hiperglikemia; polidipsi,

polifaghia, kelemahan, melakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa

dan kadar gula darah 2JPP, memberikan edukasi diabetes, berkolaborasi

dengan dokter dalam pemberian OAD (obat anti diabetes)

4. Resiko Infeksi

Data pengkajian yang didapatkan dari diagnosis tersebut adalah

dengan faktor resiko pasien menderita penyakit kronis yaitu diabetes

mellitus, adanya pembatasan cairan karena riwayat penyakit gangguan

fungsi ginjal dan penurunan kadar hemoglobin 9,9 %

Berdasarkan target pelaksanaan maka penulis melakukan beberapa

tindakan yaitu: memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local

(pemeriksaan darah, urine), mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak

129
dengan pasien dan lingkungan pasien, mengajarkan cara cuci tangan

dengan benar, berkolaborasi pemberian antibiotik, bila perlu.

4.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan dengan cara menilai

sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam

mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk

memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan

kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan

tindakan keperawatan pada kriteria hasil (Hidayat, 2006). Pada evaluasi belum dapat

dilaksanakan secara maksimal karena keterbatasan waktu. Sedangkan pada tinjauan

evaluasi pada pasien dilakukan karena dapat d iketahui secara langsung keadaan

pasien. Dimana setelah dilakukan tindakan keperwatan dapat dievaluasi sebagai

berikut:

1. Resiko penurunan curah jantung

Pada hari pertama didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut sesak nafas saat tidur belum berkurang,

hasil laboratorium serum elektrolit kalium belum terkoreksi, tekanan darah

dan nadi dalam batas normal.

Pada hari kedua didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut sesak nafas saat tidur belum berkurang, hasil

laboratorium serum elektrolit kalium menurun 5,93 mmol/L, tekanan

darah dan nadi dalam batas normal.

130
Pada hari ketiga didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut sesak nafas saat tidur belum berkurang, hasil

laboratorium serum elektrolit kalium belum terkoreksi, tekanan darah dan

nadi dalam batas normal.

Pada hari keempat didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut sesak nafas saat tidur sudah sangat

berkurang, hasil laboratorium serum elektrolit kalium belum terkoreksi,

tekanan darah dan nadi dalam batas normal.

Pada hari kelima didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut sudah tidak sesak nafas saat terlentang,

kalium terkoreksi dalam batas normal 4,87 mmol/L, tekanan darah dan

nadi dalam batas normal

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme

regulasi

Pada hari pertama didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut orhopneu masih ada, edema perifer kaki

grade 1, keseimbangan cairan elektrolit exses 1257cc

Pada hari kedua didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut orhopneu masih ada, edema perifer kaki

grade 1, keseimbangan cairan elektrolit exses 1057cc

Pada hari ketiga didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut orhopneu berkurang, edema perifer kaki

grade 1, keseimbangan cairan elektrolit exses 1357cc

131
Pada hari keempat didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut orhopneu berkurang, edema perifer (-),

keseimbangan cairan elektrolit exses 1065cc

Pada hari kelima didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut orhopneu (-), edema perifer (-)

3. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan gangguan toleransi

glukosa darah

Pada hari pertama didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut kadar gula darah 2JPP 189 mg/dl

Pada hari kedua didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut kadar gula darah puasa 159 mg/dl

Pada hari ketiga didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut kadar gula darah puasa tgl 16/7/19 159 mg/dl

Pada hari keempat didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut kadar gula darah puasa tgl 16/7/19 159

mg/dl

Pada hari kelima didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut kadar gula darah puasa 114 mg/dl

4. Resiko Infeksi

Pada hari pertama didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut belum ada tanda-tanda infeksi

132
Pada hari kedua didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut hasil leukosit dan bacteri dalam urin diatas

normal

Pada hari ketiga didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut keluarga paham tentang cara pencegahan

infeksi dengan cuci tangan

Pada hari keempat didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan

pada Ny.S adalah sebagai berikut keluarga paham tentang cara

pencegahan infeksi dengan cuci tangan

Pada hari kelima didapatkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada

Ny.S adalah sebagai berikut keluarga paham tentang cara pencegahan

infeksi dengan cuci tangan

133
BAB 5

PENUTUP

Setelah penulis melakukan pengamatan dan melaksanakan asuhan

keperawatan secara langsung pada pasien dengan diagnosis CKD + Hiperkalemia +

decomp cordis gr 2 di ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, sehingga penulis

dapat menarik simpulan sekaligus saran yang dapat bermanfaat dalam meningkatkan

mutu asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosis CKD = Hiperkalemia +

decomp cordis gr2

5.1 Simpulan

Mengacu pada hasil urian tinjauan kasus dan pembahasan pada asuhan

keperawatan pada pasien dengan diagnosis CKD = Hiperkalemia + decomp cordis gr

2. maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut:

1. Pengkajian pada Ny.S didapatkan hasil, resiko penurunan curah jantung,

karena adanya hyperkalemia, adanya edema pada kaki, sesak nafas saat

tidur terlentang (orthopneu),

2. Diagnosis keperawatan pada Ny.S adalah Resiko penurunan curah

jantung, kelebihan volume caiaran berhubungan dengan gangguan

mekanisme regulasi, ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan

dengan gangguan toleransi glukosa, resiko infeksi.

3. Rencana tindakan keperawatan pada Ny.S disesuaikan dengan diagnosa

keperawatan dengan tujuan untuk menurunkan resiko penurunan curah

134
jantung, keseimbangan cairan dan elektrolit, kestabilan kadar gula darah,

penurunan resiko infeksi

4. Tindakan keperawatan pada Ny.S dilakukan sesuai dengan intervensi

keperawatan yang mengacu secara langsung pada Ny.S yaitu tindakan

memberikan posisi nyaman yaitu dengan semifowler, pembatasan intake

cairan, memonitor intake dan output cairan, memberikan terapi untuk

hyperkalemia dan hiperglikemia, pencegahan infeksi

5. Pada akhir evaluasi tanggal 19 Juli 2018, masalah keperawatan resiko

penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan, resiko infeksi teratasi,

sedangkan ketidakstabilan kadar glukosa darah dapat dilanjutkan dengan

rawat jalan dan control teratur ke faslitas pelayanan kesehatan.

5.2 Saran

Bertolak dari simpulan diatas, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Pasien dan keluarga hendaknya lebih memperhatikan dalam hal perawatan

pasien dengan gagal ginjal kronis, diabetes mellitus dan kompiliasi decom

cordis, melakukan olahraga/ latihan fisik sesuai kemampuan secara rutin,

minum atau injeksi insulin sesuai petunjuk dokter. Pengobatan Diabetes

Mellitus harus dilakukan secara rutin. Hendaknya keluarga juga berperan

dalam melakukan pengawasan dan memberi dukungan agar pengobatan

pasien tetap berkesinambungan.

2. Perawat di Ruang B1 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya lebih

meningkatkan pengetahuan serta caring pada pasien dengan gangguan

135
perkemihan dan endokrin sehingga dapat meningkatkan pelayanan asuhan

keperawatan secara holistik dan profesional

3. Rumah sakit hendaknya meningkatkan kualitas pelayanan yaitu dengan

memberikan kesempatan perawat untuk mengikuti pendidikan

berkelanjutan baik formal maupun informal.

4. Penulis selanjutnya dapat menggunakan karya ilmiah akhir ini sebagai

salah satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai penerapan pasien dengan gangguan

elektrolit

136
DAFTAR PUSTAKA

Debora, Oda. (2013). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba
Medika

Doengoes, M E dkk. (2010). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Prencanaan dan Pendokmentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Deswani. (2009). Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika

Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. (2016). Rencana Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah: Diagnosis Nanda-1 2015-2017 Intervensi NIC
Hasil NOC. Jakarta:EGC

Haryono, Rudy. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan Edisi 1.


Yogyakarta:Rapha Publishing

Hidayat, Aziz Alimul. (2006). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:


Salemba

Herdman T. Heather & Kamitsuru Shigemi. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi 2015- 2017. Edisi 10. Jakarta: EGC

Kowalak, Jenifer P, et al. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

LeMone, Priscilla. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 5 Vol 1.
Jakarta:EGC

Mansjoer, A., dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Nanda. (2018). Nanda International Nursing Diagnoses : Definitions and


Classification 2018 – 2020. Jakarta : EGC

Nurarif AH, Kusuma H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & Nanda NIC NOC Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta:
Medication Publising

Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

PERKENI. (2011). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2,


Diakses pada tanggal 18 Desember 2016, https://www.labcito.co.id/wp-
content/uploads/2015/03/Revisi_Final_KONSENSUS_DM_Tipe_2_Indonesia
_2011.pdf

137
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus
Pusat PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus


Pusat PPNI

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus


Pusat PPNI

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2007. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep,


proses, dan praktik. Jakarta: EGC.

Sudarta, I Wayan. (2016). Pengkajian Fisik Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen


Publising

Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

______ (2010). Dasar-dasar Anatomi Fisiologi Manusia. Jogjakarta: Graha Ilmu

______ (2012). Konsep dan Penulisan Asuhan Keperawatan. Jogjakarta: Graha Ilmu

Tarwoto, et al. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.


Jakarta: Trans Info Media

_____________ (2012). Keperawatan Medial Bedah Gangguan Sistem Endokrin.


Jakarta Timur: CV. Trans Info Media

Wilkingson J,Ahern NR. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.


Jakarta:EGC

Wijaya, Andra S dan Yessie Mariza. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikasl Bedah
(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika

138
Lampiran 1

CURRICULUM VITTE

Nama : Titis Suzenik

Prodi : Profesi Ners

Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 21 April 1987

Alamat : Pulosari 1 no 16 Surabaya

Email : tsuzenik@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan :

1. TK Kuncup sari – Lulus tahun 1992

2. SDN Sawunggaling VIII Surabaya – Lulus tahun 1998

3. SLTP Negeri 29 Surabaya – Lulus tahun 2001

4. SMA Negeri 21 Surabaya – Lulus Tahun 2004

5. D III Keperawatan Stikes Hang Tuang Surabaya – Lulus tahun 2007

6. S1-Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya – Lulus tahun 2018

139
Lampiran 2

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


MENGUKUR TEKANAN DARAH

Pengertian Menilai tekanan darah yang merupakan indikator untuk


menilai sistem kardiovaskuler bersamaan dengan
pemeriksaan nadi.

Tujuan Mengetahui nilai tekanan darah.

Indikasi Menilai pola hidup serta identifikasi fakto-faktor resiko


kardiovaskuler dan hipertensi.
Kontraindikasi Hindari penempatan menset pada lengan yang terpasang
infus, shun artetivena, lengan yang mengalami fistula,
trauma tertutup gip dan balutan.
Persiapan Alat 1. Spinomanometer (tensimeter) yang terdiri dari:
manometer air raksa dan klep penutup dan pembuka
manset udara.
2. Stetoskop.
3. Buku catatan tanda vital dan pena.
4. Pasien diberitahu dengan seksama (bila pasien sadar).

Persiapan Pasien 1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan.


2. Posisikan pasien senyaman mungkin.
Prosedur 1. Jelaskan prosedur kepada pasien.
Pelaksanaan 2. Cuci tangan.
3. Gunakan sarung tangan.
4. Atur posisi pasien.
5. Letakkan lengan yang hendak diukur pada
posisi terlentang.
6. Lengan baju dibuka.
7. Pasang manset pada lengan kanan/kiri atas
sekitar 3 cm diatas fossa cubiti (jangan terlalu ketat
maupun terlalu longgar).
Daftar Pustaka Kusmiati, Yuni. (2010). Ketrampilan Dasar Praktik
Klinik Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

140
Lampiran 3

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


MENGUKUR NADI

Pengertian Menghitung frekuensi denyut nadi yang merupakan


loncatan aliran darah yang dapat teraba dan terdapat di
berbagai titik anggota tubuh: arteri radialis (pergelangan
tangan), arteri brachialis (lipatan paha, slangkangan),
arteri dorsalis pedis (kaki) dan arteri frontalis (ubun-ubun)
melalui perabaan nadi yang lazim diperiksa atau diraba
pada radialis.
Tujuan 1. Mengetahui denyut nadi selama rentan waktu 1 menit.
2. Mengetahui keadaan umum pasien.

Persiapan Alat 1. Arloji (jam) atau stop watch.


2. Buku catatan dan pena.

Persiapan Pasien 1. Jelaskan kepada pasien mengenai tindakan yang akan


dilakukan.
2. Posisikan pasien berbaring/duduk.
3. Pastikan pasien benar-benar rileks.

Prosedur 1. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan.


Pelaksanaan 2. Gunakan sarung tangan.
3. Raba/palpasi arteri yang akan diperiksa.
4. Hitung denyut nadi, perhitungan dilakukan dengan
menempelkan jari telunjuk dan jari tengah pada arteri
(umumnya arteri radialis) selama 1 menit penuh.
5. Catat hasil perhitungan.
6. Rapikan pasien.
7. Mencuci tangan.
8. Evaluasi volume denyut nadi, irama (teratur/tidak) dan
tekanannya.
Daftar Pustaka Kusmiati, Yuni. (2010). Ketrampilan Dasar Praktik
Klinik Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

141
Lampiran 4

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


MENGUKUR SUHU AXILLA

Pengertian Mengukur suhu tubuh klien dengan termometer yang


dilakukan di daerah axilla/ketiak.
Tujuan Untuk mengetahui suhu tubuh seseorang.

Persiapan Alat 1. Termometer axilla bersih dalam tempatnya.


2. Air mengalir.
3. Tissue.
4. Buku catatan.
5. Jam tangan.
6. Kapas alkohol.

Persiapan Pasien 1. Jelaskan kepada klien mengenai prosedur yang akan


dilakukan.
2. Posisikan pasien dengan keadaan nyaman.
3. Jaga privasi pasien.

Prosedur 1. Cuci tangan sebelum melakukan kegiatan.


Pelaksanaan 2. Gunakan sarung tangan bersih.
3. Peralatan dibawa ke dekat pasien.
4. Membuka bagian atas dari pakaian pasien, keringkan
ketiak dengan handuk jika perlu.
5. Pasang termomenter sehingga bagian reservoir tepat
ditengah ketiak pasien.
6. Izinkan pasien untuk membantu dalam pelaksanaan
prosedur.
7. Pastikan termometer menempel di permukaan kulit.
8. Menyilangkan tangan pasien di atasnya.
9. Angkat termometer setelah ± 5-10 menit dan baca
hasilnya.
10. Catat hasil.
11. Merapikan pasien.
12. Merapikan peralatan.
13. Cuci tangan sesudah melakukan kegiatan.
14. Pendokumentasian.

Daftar Pustaka Kusmiati, Yuni. (2010). Ketrampilan Dasar Praktik


Klinik Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

142
Lampiran 5

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


MENGUKUR PERNAPASAN (RESPIRATORY RATE)

Pengertian Suatu tindakan dalam menghitung jumlah pernapasa pasien


dalam 1 menit.
Tujuan 1. Mengetahui denyut nadi selama rentan waktu 1 menit.
2. Mengetahui keadaan umum pasien.
Persiapan Alat 1. Jam tangan dengan jarum penunjuk detik.
2. Pena.
3. Buku catatan.

Persiapan Pasien 1. Jangan beri tahu pasien bahwa perawat akan


menghitung frekuensi pernapasan.
2. Pastikan pasien dalam posisi nyaman.

Prosedur 1. Cuci tangan sebelum melakukan kegiatan.


2. Gunakan sarung tangan bersih.
3. Menghitung pernapasan dengan menghitung turun
naiknya dada sambil memegang pergelanagn tangan.
4. Observasi siklus pernapasan lengkap.
5. Hitung frekuensi pernapasan selama 1 menit penuh.
6. Sambil menghitung, perhatikan apakah kedalaman
pernapasan: dangkal, dalam atau normal, apakah irama
regular atau irregular.
7. Catat hasil.
8. Merapikan pasien.
9. Merapikan peralatan.
10. Cuci tangan sesudah melakukan kegiatan.
Daftar Pustaka Kusmiati, Yuni. (2010). Ketrampilan Dasar Praktik
Klinik Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

143
Lampiran 6

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


PEMBERIAN OBAT INJEKSI INTRA VENA MELALUI SALURAN
INFUS

Pengertian Memasukan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh


darah vena dengan melalui saluran infus.
Tujuan Sebagai tindakan pengobatan.
Persiapan Alat 1. Menyiapkan obat sesuai dengan dosis anjuran.
2. Spuit
3. Buku obat.
4. Kapas alkohol
5. Sarung tangan.
Persiapan Pasien 1. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin untuk
proses penyuntikan.
2. Pastikan pemberian obat sesuai dengan pasien.
3. Jaga privasi pasien.
4. Jelaskan tujuan prosedur yang akan dilakukan kepada
klien. Sampaikan pada pasien dan keluarga.
Prosedur 1. Pastikan 7B (benar pasien, benar obat, benat dosis,
Pelaksanaan benar waktu, benar rute pemberian, benar informasi,
benar dokumentasi).
2. Perawat mencuci tangan.
3. Memakai sarung tangan bersih.
4. Memasang perlak dan pengalasnya pada area dibawah
yang terpasang infus.
5. Mengecek kelancaran tetesan infus sebelum obat
dimasukkan.
6. Memastikan tidak ada udara pada spuit disposibel yang
berisi obat.
7. Mematikan atau mengklame infuse.
8. Melakukan disinfektan pada area karet saluran infuse
set pada saluran infuse.
9. Menusukkan jarum ke bagian karet saluran infuse
dengan hati-hati degan kemiringan jarum 15-45 derajat.
10. Melakukan aspirasi atau menghisap spuit disposable
untuk memastikan bahwa obatmasuk ke saluran vena
dengan baik. Jika saat aspirasi terlihat darah keluar ke
selanginfuse maka obat siap untuk dimasukkan.
11. Memasukkan obat secara perlahan dengan mendorong
pegangan disposable spuitsampai obat habis.
12. Mencabut jarum dari bagian karet saluran infuse

144
dengan mendidih kapas pada lokasitusukan jarum tadi.
13. Membuka klem cairan infuse dan mengobservasi
kelancaran tetesan aliran infuse.
14. Membuang disposable spuit ke bengkok .
15. Menghitung tetesan infuse sesuai dengan ketentuan
program pemberian cairan.
16. Membereskan pasien.
17. Membereskan alat-alat.
18. Melepas sarung tangan.
19. Mencuci tangan
Daftar Pustaka Kusmiati, Yuni. (2010). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik
Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

Lampiran 7

145
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
HAND HYGINE
Pengertian Hand Hygiene adalah istilah umum yang meliputi semua
tindakan untuk mengurangi resiko infeksi akibat perawatan
kesehatan dimana seluruh petugas kesehatan harus
melakukan cuci tangan sebelum / sesudah bersentuhan
(kontak) dengan pasien dan benda-benda di sekililingnya.
Tujuan Untuk mengurangi resiko infeksi akibat perawatan
kesehatan.
Persiapan Alat 1. Hand wash
2. Hand rub
3. Kran air
Prosedur Dengan hand wash
Pelaksanaan 1. Kran air dinyalakan
2. Tangan diberi hand wash
3. Bersihkan telapak tangan
4. Bersihkan punggung jari
5. Bersihkan sela-sela jari
6. Empat jari saling mengunci
7. Bersihkan ibu jari
8. Bersihkan kuku-jari
9. Bilas dengan air
10. Waktu pelaksanaan cuci tangan selama 40-60 detik

Dengan hand rub :


1. Tuangkan hand rub secukupnya
2. Gerakkan tangan antar permukaan palmar
3. Gerakkan permukaan palmar pada bagian dorsum
tangan lainnya dengan menyisipkan masing masing
Jari, dan lakukan sebaliknya
4. Gerakkan antar permukaan palmar tangan dengan
menyisipkan masing-masing jari/
5. Gerakkan bagian belakang jari dengan menekuk jari
pada bagian palmar tangan satunya.
6. Putar-putar ujung jari/kuku pada bagian palmar tangan
satunya, dan lakukan sebaliknya
7. Waktu pelaksanaan selama 20-30 detik.

Daftar Pustaka Permenkes No 27 th 2017 tentang Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi di Fasilitas Kesehatan.

146

Anda mungkin juga menyukai