Anda di halaman 1dari 56

02

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT


(PUBLIC HEALTH FUNCTIONS)
DAN HEALTH SECURITY

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
FUNGSI
A
KESEHATAN
MASYARAKAT
(PUBLIC HEALTH l
FUNCTIONS)
DAN HEALTH i
SECURITY
© 2019 by
,
Kementerian
PPN/Bappenas

Pengarah S
Dr. Ir. Subandi
Sardjoko, MSc T

Penulis P
Prof. dr. Ascobat
Gani, MPH., Dr.PH. ,
Prof. dr. Meiwita
Paulina Budiharsana,
MPA, Ph.D

Reviewer dan Editor M


Ardhiantie, SKM,
MPH S
P
,
u

n
P
g
h
k
D
a

s
F

o
B
t
a
o
h
:
j

u
U
r
N
i
I

C Cetakan pertama: April


2019
E ISBN: 978-602-50133-9-3

F
Hak Penerbitan @
Kementerian
PPN/Bappenas
Dilarang mengutip dan
I
memperbanyak tanpa izin
tertulis dari penulis dan
n
penerbit, sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk
d
apapun, baik cetak,
photoprint, microfilm dan
o
sebagainya.

Diterbitkan dan
dicetak oleh
Direktorat Kesehatan
dan Gizi Masyarakat
Kedeputian
Pembangunan
Manusia,
Masyarakat dan
Kebudayaan
Kementerian
PPN/Bappenas
Jalan Taman
Suropati No. 2,
Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379,
Fax: (021) 3926603
Email:
kgm@bappenas.go.i
d
ARA
KAT
(PUB
LIC
F HEA
U LTH
N FUN
G CTI
SI ONS)
K DAN
E HEA
S LTH
E SEC
H URIT
A Y
T
A
N
M
A K
A
S J
I
Y A
N A
SEKT R
OR A
KES K
EHA A
TAN T
KEDEPUTIAN
PEMBANGUNAN
MANUSIA,
MASYARAKAT DAN
KEBUDAYAAN
KEME
NTERI
AN
D PERE
I NCAN
R AAN
E
PEMB
K
T ANGU
O NAN
R
NASIO
A
T NAL/
BADA
K
E N
S PERE
E NCAN
H
AAN
A
T PEMB
A ANGU
N NAN
D NASIO
A NAL
N
G
I
Z
I
M
A
S
Y
iv • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security Kajian Sektor Kesehatan • v

KATA PENGANTAR

Menjelang akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) melakukan Kajian Sektor Kesehatan
(Health Sector Review/HSR) 2018 yang merupakan suatu proses berbasis bukti yang akan
digunakan sebagai masukan dalam penyusunan target, arah kebijakan, strategi, dan
prioritas pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024.

Kesehatan masyarakat merupakan elemen inti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan
derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Fungsi Kesehatan Masyarakat adalah
intervensi kesehatan yang difokuskan pada berbagai determinan (penyebab tidak langsung)
masalah kesehatan untuk mengurangi risiko penyakit (risk reduction). Dengan demikian,
fokus fungsi kesehatan masyarakat adalah pada upaya pencegahan. Namun, dalam lima
tahun terakhir terutama sejak dilaksanakannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kinerja
fungsi kesehatan masyarakat mulai menurun. Hal ini ditunjukkan dengan lambatnya laju
penurunan kematian ibu, kematian bayi, kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, dan juga perbaikan gizi. Ada empat area yang perlu dilihat dalam mengevaluasi
kinerja pembangunan kesehatan, yaitu (1) kinerja upaya kuratif, (2) kinerja upaya promotif
dan preventif, (3) kinerja intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (4) kinerja penguatan
sistem kesehatan. Tiga area yang terakhir merupakan fungsi kesehatan masyarakat.

Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi
ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang diperkirakan akan terus
meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko epidemi dan pandemi sangat
besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah pintu masuk yang sangat banyak.
Akan tetapi, kapasitas inti International Health Regulation (IHR), terutama surveilans
kesehatan dan sistem informasi keamanan kesehatan global di Indonesia masih sangat
kurang.

Laporan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan Topik “Fungsi Kesehatan Masyarakat
(Public Health Functions) dan Health Security” ini disusun untuk menganalisis situasi
terkini, mengidentifikasi gap dari kebijakan yang ada saat ini, memetakan tantangan dan isu
strategis, serta menyusun rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi
kesehatan masyarakat termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru
yang muncul (Emerging Infectious Diseases/EIDs) dan ancaman health security lainnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun dan narasumber yang
telah membantu penyelesaian laporan ini. Kami sangat berharap kajian ini dapat
bermanfaat bagi pemangku kepentingan terkait dalam merancang pembangunan kesehatan
ke depan.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko
Deputi Bidang Pembangunan Manusia,
Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
vi • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions)
dan Health Security
Kajian Sektor Kesehatan • vii

UCAPAN TERIMA KASIH DAN D


PENGHARGAAN A
F
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu T
penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada
A
Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat –
Bappenas, Ardhiantie, SKM, MPH, serta tim Direktorat KGM lainnya yang telah
R
memberikan input untuk perbaikan tulisan;
I
S
Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector I
Review) dibawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang
Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan
Kata Pengantar
arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan
Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018
iv Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan
adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan
Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team
vi Daftar Isi
leader HSR 2018.
vii Daftar Tabel
Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Bappenas ini mendapatkan dukungan dari viii Daftar Gambar
kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta
beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, ix Daftar Singkatan
UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit
dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia. x Ringkasan Eksekutif

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 xiv


topik meliputi:
1. PENDAHUlUAN
1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan 1
di Indonesia
1.1. Tujuan
2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health 6
Security
1.2. Metode
3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja 6

4 Pembangunan Gizi di Indonesia 2. ANAlISIS SITUASI FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT


7

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan


3. ANAlISIS SITUASI HEALTH SECURITY
17
6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan
3.1. Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba
7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan 24

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN 3.2. Penyakit-penyakit Zoonosis di Indonesia


26

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan


3.3. Keamanan Pangan
29
10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan
3.4. Keamanan Hayati (Biosafety) dan Biosekuriti
31
3.5. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi
32 4.2. Pelaksanaan Fungsi Kesehatan Masyarakat
39
4. TANTANGAN DAN ISU STRATEGIS
35 4.3. Tantangan Health Security
47
4.1. Kinerja dan Permasalahan Pembangunan Kesehatan
36

5. ARAH KEBIjAKAN DAN KEGIATAN-KEGIATAN UTAMA

Referensi

lampiran
viii • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions)
Kajian Sektor
dan Health Security
Kesehatan • ix

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

Tabel 1 Regulasi Terkait Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia Gambar 1 Tujuan Pembangunan Kesehatan terhadap Tujuan Pembangunan
10 Berkelanjutan (TPB/SDGs) Lainnya 2
xTabel
• Fungsi
2 Kesehatan Masyarakat (Public HealthIntegrasi
Functions)Pendekatan “Triad 11 Kajian Sektor
dan Health Security
Epidemiologi” dan “5 Jenjang Gambar 2 Kesehatan
Fungsi Inti Kesehatan Masyarakat 9 2018 • xi
Tabel 3 Tiga Sasaran Utama Fungsi 12 dan 10 Layanan Esensial
Kesehatan Masyarakat di Indonesia Gambar 3 Pendekatan dan Kebijakan 36
Tabel 4 Perbedaan Antara UKM dan UKP 13 Komprehensif untuk Pembangunan
Gambar 4 Fungsi Kesehatan Masyarakat 51
Tabel 5 Area Dengan Skor 4 pada Kapasitas IHR 21 Esensial Komprehensif
AFP Acute Flaccid Paralysis (Lumpuh Layu Akut) BNPB Badan Nasional
Tabel 6 Area Dengan Skor 3 pada Kapasitas IHR 22
AI Avian Influenza (Flu Burung) Penanggulangan Bencana BPjS-K
AIP-EID
Tabel 7 Australia
Area Dengan SkorIndonesia Partnership
2 pada Kapasitas IHRfor Emerging Infectious 23 Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan
Diseases
BPOM Badan Pengawas Obat dan
Tabel 8 (KemitraanAntimikroba
Angka Resistensi Australia Indonesia untuk penyakit-penyakit
(AMR) terhadap Streptococcus Pneumoniae 24
infeksi emerging) Makanan
AMR
Tabel 9 Anti-Microbial
Angka Resistensi Resistance
Antimikroba (Resistensi
(AMR) terhadap Escherichia Coli 25 CA-MRSA Community Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus
Antimikroba) AMU Anti-Microbial Use
Tabel 10 Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Staphylococcus Aureus 25 CDC Directorate General of Disease Control and Prevention
(Penggunaan Antimikroba) ARCC Anti-
(Direktorat Jenderal Pengendalian dan
Microbial
Tabel 11 Resistance Control
Kegiatan dan Committee
Tujuan Promosi Kesehatan 42
Pencegahan Penyakit) CDI Clostridium Difficile
(Komite Pengendalian Resistensi
Tabel 12 Rekomendasi Target dan Aksi Prioritas Ketahanan Kesehatan 55 Infection (Infeksi Clostridium Difficile) CFR Case
Antimikroba) APBD Anggaran
Fatality Rate (Angka Kefatalan Kasus)
Pendapatan dan Belanja Daerah APBN
DGlAHS Directorate General of Livestock and Animal Health Services
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
DTaP Diphtheria-Tetanus-Pertussis
(Asosiasi Bangsa-bangsa Asia
EID Emerging Infectious Disease (Penyakit Infeksi Emerging)
Tenggara) BAPPENAS Badan Perencanaan
EOC Emergency Operations Centers (Pusat-pusat operasional
Pembangunan Nasional BCG Bacille
darurat)
Calmette Guerin
EPHF Essential Public Health Function (Fungsi Kesehatan
BKKBN Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Masyarakat Esensial)
BlUD Badan Layanan Umum Daerah EPI Expanded Program on Immunization (Program Perluasan
Imunisasi)
EPT-2 Emerging Pandemic Threats HA-MRSA Hospital Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus
program (USAID) EWARS National Early
HCAI Health Care-Associated Infection
Warning Alert and Response System FAO
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno
UN Food and Agriculture Organization
Deficiency Syndrome
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pratama (Primary Health Care
Hib Haemophilus
Facility)
influenzae type b HPAI
GHSA Global Health Security Agenda
Highly Pathogenic Avian Influenza
HSR Health Sector
Review
ICD-XI International Statistical Classification of Diseases and Related
Health
Problem
XI
(electroni
c)
IDAI Ikatan Dokter Anak
Indonesia IHR
International Health Regulations IPC
Infection Prevention Control
IR Incidence Rate
iSIKHNAS Animal Health Information System
jEE Joint External Evaluation
jICA Japan International Cooperation Agency
jKN Jaminan Kesehatan Nasional
Kemenhukham Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kemenko PMK Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan
Kebudayaan
Kemenkes Kementerian Kesehatan
Kementan Kementerian Pertanian
Kemen lHK Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Kemenristekdikti Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi KlB
Kejadian Luar Biasa
labkesmas Laboratorium Kesehatan Masyarakat
lA-MRSA Livestock Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus
lPAI Low Pathogenic Avian Influenza
MCV1 Measles-containing-
vaccine first-dose MCV2 Measles-
containing-vaccine second-dose MDGs
Millenium Development Goals
MERS Middle East Respiratory Syndrome
MERS-CoV Middle East Respiratory Syndrome Corona-Virus
MoU Memorandum of
Understanding NHSP
National Health Sector Planning
SNI Standar Nasional
Indonesia
xii • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security Kajian Sektor Kesehatan • xiii

OIE Office International des Epizooties (Organization for Animal Health)


ORI Outbreak Response Immunization (Imunisasi Tanggap Wabah)
PHC Primary Health Care (Layanan Kesehatan Primer)
PHEIC Public Health Emergency of International Concern (Darurat Kesehatan
Masyarakat Kepedulian Internasional)
PNS Penicillin Non-Susceptible (Penicilin yang rentan)
PNSSP Penicillin Non-Susceptible Streptococcus Pneumoniae (Penicillin
Streptococcus Pneumoniae yang rentan)
PoE Point of Entry (Titik Masuk)
Posyandu Pos Pelayanan Terpadu
Pusdatin Pusat Data dan Informasi
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RPjMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPjPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Renstra Rencana Strategis
SARS Severe Acute Respiratory Syndrome (Sistem Pernafasan Akut Parah)
SARS-CoV Severe Acute Respiratory Syndrome Corona-Virus
(Sistem Pernafasan Akut Parah Virus Corona)
SDGs Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan)
SIKHNAS Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional
SjSN Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKN Sistem Kesehatan Nasional
TB Tuberculosis
TMP-SMX Trimethoprim-sulfamethoxazole
UHC Universal Health Coverage (Cakupan Kesehatan Semesta)
UNICEF United Nations Children’s Fund (Dana Anak-Anak PBB)
USAID United States Agency for International Development
(Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional)
WB World Bank (Bank Dunia)
WHA World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia)
WHO SEARO World Health Organization South-East Asia Regional Office
(Kantor Regional Organisasi Kesehatan Dunia Asia Tenggara)
WHO World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)
xiv • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security Kajian Sektor Kesehatan • xv

RINGKASAN EKSEKUTIF
Laporan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan Topik “Fungsi Kesehatan Masyarakat Kedua, kinerja upaya kesehatan masyarakat (UKM) cenderung menurun. Dalam
(Public Health Functions) dan Health Security” ini meliputi analisis situasi terkini, upaya kesehatan masyarakat, terjadi penurunan kinerja seperti terilhat pada beberapa
identifikasi gap dari kebijakan yang ada saat ini, tantangan dan isu strategis, serta indikator: kejadian outbreak difteri, jumlah kasusTB yang sangat tinggi, outbreak penyakit-
rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi kesehatan masyarakat penyakit lama seperti rabies dan leptospirosis di beberapa tempat. Sementara itu
termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru yang muncul (Emerging ancaman epidemi dan pandemi penyakit-penyakit yang ditularkan dari binatang (zoonosis)
Infectious Diseases/EIDs) dan ancaman health security lainnya. semakin nyata sebagai konsekuensi meningkatnya mobilitas manusia, hewan dan barang
antar negara dan antara daerah. Tantangan lain adalah meningkatnya penyakit tidak
Fungsi kesehatan masyarakat merupakan intervensi kesehatan yang difokuskan pada menular seperti hipertensi, DM, gangguan jiwa dan KLL yang juga menunjukkan lemahnya
berbagai determinan (penyebab tidak langsung) masalah kesehatan untuk mengurangi risiko fungsi upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah jenis-jenis gangguan kesehatan
penyakit (risk reduction). Dengan demikian, fungsi kesehatan masyarakat berfokus pada tersebut.
upaya pencegahan. Hal ini berbeda dari intervensi pengobatan yang fokus utamanya
adalah memulihkan orang sakit. Fungsi kesehatan masyarakat menjadi semakin penting Ketiga, upaya lintas sektor belum terlaksana dengan baik. Dalam upaya lintas sektor,
dengan berkembangnya pengetahuan tentang determinan kesehatan selain upaya konsep “pembangunan berwawasan kesehatan” (health in all policy) belum terlaksana
pengobatan (faktor medis-biologis). Horizon determinan atau faktor resiko tersebut sangat dengan baik walaupun sudah ada kebijakan dan regulasi yang menekankan pentingnya
luas, berada dalam domain kegiatan berbagai sektor pemerintah, serta kegiatan swasta dan peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. Kenaikan prevalensi pneumonia karena
masyarakat. asap dari pembakaran hutan, outbreak rabies karena cakupan vaksinasi anjing rendah
(zoonosis), tingginya beban penyakit karena kecelakaan lalu lintas, adanya bahan beracun
Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi berbahaya dalam produk makanan serta pencemaran B3 di badan air, tanah dan udara;
ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang diperkirakan akan terus adalah beberapa indikator lemahnya peran lintas sektor tersebut.
meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko epidemi dan pandemi sangat
besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah pintu masuk yang sangat banyak. Keempat, kapasitas sistem kesehatan belum optimal. Dalam penguatan sistem
Akan tetapi, kapasitas inti International Health Regulation (IHR), terutama surveilans kesehatan, ada beberapa kelemahan. Sistem informasi untuk kebijakan dan perencanaan
kesehatan dan sistem informasi health security global di Indonesia masih belum memadai. program, khususnya sistem surveilans – belum menghasilkan informasi tepat waktu
dan bersifat regional, terutama untuk kebijakan operasional di tingkat daerah. Kekurangan
Pengertian fungsi kesehatan masyarakat pada saat ini lebih komprehensif dan kompleks. kronis tenaga spesialis, maldistribusi dokter, bidan dan perawat adalah masalah ketenagaan
Fungsi Kesehatan Masyarakat diperlukan untuk mencapaiTujuan Pembangunan untuk upaya kuratif. Puskesmas juga mengalami kekurangan tenaga kesehatan masyarakat
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) tujuan 2 (gizi), 3 (kesehatan), 5 seperti tenaga kemas, sanitarian, gizi dan tenaga analis untuk konfirmasi hasil skrining. Di
(kesetaraan gender, kesehatan reproduksi) dan 6 (air bersih dan sanitasi). Pelaksanaan fungsi bidang obat, terdapat permasalahan “production cost” yang tinggi karena bahan baku obat
kesehatan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama: (1) intervensi langsung yang sebagian besar harus diimpor. Di RS terjadi kekurangan obat karena keterlambatan
(mengobati tuberkulosis, HIV, malaria, dan gizi buruk; (2) intervensi tidak langsung untuk pembayaran kepada rekanan (supplier) akibat cash flow RS terganggu oleh “outstanding
faktor determinan kesehatan atau intervensi sensitif (merokok, polusi udara, bahan payment” klaim ke BPJS Kesehatan. Dibidang pembiayaan kesehatan, masalah yang
beracun/beracun, dan deteksi dini risiko kesehatan); dan (3) penguatan sistem kesehatan dihadapi adalah belum adanya regulasi untuk mengoperasionalkan ketetapan UU Nomor
(meningkatkan kapasitas SDM Kesehatan, menyediakan obat-obatan, vaksin, dan 36Tahun 2009; rendahnya kapasitas fiskal daerah dihadapkan pada keharusan membiayai
peralatan medis, meningkatkan akses ke layanan kesehatan, dan perlindungan risiko urusan wajib daerah, alokasi untuk UKM yang sangat kecil dan defisit anggaran BPJS
keuangan). Intinya, ada empat area yang menjadi fokus fungsi kesehatan masyarakat, Kesehatan. Selain itu, penyediaan fasilitas kesehatan masih menghadapi masalah
yaitu (1) upaya kuratif (UKP), (2) kinerja upaya promotif dan preventif (UKM), (3) kinerja pemerataan akses dan mutu pelayanan serta sistem rujukan berjenjang.
intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (4) kinerja penguatan sistem kesehatan.
Berdasarkan isu-isu strategis tersebut maka diperlukan pengembangan kebijakan dan
Isu-isu strategis utama dalam penguatan fungsi kesehatan masyarakat ke depan adalah strategi yang komprehensif dan terintegrasi mencakup penyelenggaraan UKP, UKM,
sebagai berikut. Pertama, akses dan mutu upaya kesehatan perorangan (UKP) belum upaya lintas sektor, serta penguatan sistem kesehatan, yang dilakukan di semua
optimal. Dalam upaya kuratif, kebijakannya adalah memperkuat sisi suplai dan demand. Dari tingkatan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Adapun,
sisi suplai dihadapi masalah pemerataan pelayanan kesehatan (akses dan mutu) terutama rekomendasi kebijakan untuk penguatan fungsi kesehatan masyarakat untuk menerapkan
di daerah terpencil, pegunungan dan kepulauan. Masalah lainnya adalah sistem rujukan pendekatan komprehensif tersebut yaitu:
berjenjang dari pelayanan primer, sekunder dan tertier yang belum berjalan optimal. Dari
sisi demand, dikembangkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan target (1) Penguatan tata kelola mencakup penguatan koordinasi lintas-sektor, perumusan
mencakup semua penduduk. Walaupun kepesertaan JKN berkembang pesat (lebih dari 200 regulasi maupun NSPK fungsi kesehatan masyarakat, peningkatan kapasitas Dinkes
juta penduduk pada tahun 2018), dihadapi masalah suplai (akses dan mutu) dan masalah provinsi dan kabupaten/kota, penguatan puskesmas, penyusunan Sistem Kesehatan
pembiayaan. BPJS Kesehatan terus mengalami defisit yang makin membesar dari tahun ke Provinsi (SKP) dan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) serta dukungan pembiayaan
tahun. Dalam upaya kuratif dihadapi tantangan meningkatnya penyakit tidak menular yang untuk pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota
memerlukan intervensi medis yang lebih canggih, lebih spesialistik dan berbiaya mahal. secara efektif dan efisien.
xvi • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

(2) Penguatan SDM untuk fungsi kesehatan masyarakat agar kegiatan surveilans,
promosi kesehatan, fungsi kesehatan lingkungan, gizi, pemeriksaan laboratorium,
pengelolaan farmasi, serta manajemen data dan pelaporan dilaksanakan sesuai
standar.
1.
(3) Penguatan sistem surveilans didukung dengan updating pedoman surveilans,
pelatihan, sistem informasi, fungsi Laboratorium Kesehatan Masyarakat
(Labkesmas), dan kerjasama dengan sektor kesehatan hewan. PENDAHUlUAN
(4) Penguatan penelitian dan analisis kebijakan sebagai masukan untuk analisis
kebijakan dan upaya memperkuat peran lintas sektor.
(5) Peningkatan kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan terutama di Dinas
Kesehatan Provinsi untuk melaksanakan SPM penanganan bencana.
(6) Penguatan perlindungan kesehatan yang mencakup penguatan fungsi Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), memperluas dukungan Laboratorium
kesehatan masyarakat (Labkesmas) dan laboratorium kesehatan hewan untuk
pemantauan kualitas lingkungan secara rutin, memastikan konsistensi pelaksanaan
Amdal, serta meningkatkan program kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.
FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT
(7) Peningkatan kegiatan promosi kesehatan dengan tujuan untuk mengadvokasi
kebijakan sektoral berwawasan kesehatan, meningkatkan keterlibatan lintas sektor,
dan mendorong perbaikan perilaku hidup sehat.
(Public health functions) dAN health
(8) Komunikasi dan peningkatan peran serta masyarakat termasuk diseminasi security
paradigma kesehatan, fungsi kesehatan masyarakat, dan determinan kesehatan
yang bersifat lintas sektor.

Kajian ini juga merekomendasikan pentingnya peningkatan kapasitas teknis penerapan IHR
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
di Indonesia. Untuk meningkatkan kesiapan menghadapi epidemi dan pandemi penyakit,
beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

(1) Menetapkan struktur organisasi yang bertanggung jawab menangani isu health
security khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan, melakukan deteksi dini,
melakukan respon cepat, pencegahan serta melakukan koordinasi semua
stakeholders lintas sektor;
(2) Menyusun kerangka strategi nasional untuk memperkuat kesiapan menghadapi
ancaman penyakit menular yang potensial menjadi epidemi/pandemi, yaitu
dengan mereviu semua peraturan perundangan yang berlaku;
(3) Memperkuat sistem surveilans termasuk surveilans penyakit infeksi pada hewan serta
SDM kompeten yang melakukannya;
(4) Mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam 5-10 tahun
mendatang;
(5) Mengembangkan kemampuan melakukan respons secara cepat terhadap
ancaman epidemi/pandemi dengan melibatkan semua sektor terkait;
(6) Meningkatkan kerja sama bilateral, regional dan multilateral;
(7) Rencana aksi untuk mencegah resistensi mikrobial terhadap antibiotik
(AMR); (8) Memperkuat manajemen keamanan makanan;
(9) Pemenuhan tim tenaga multidisiplin dalam menangani isu health security (a.l.
peternakan, kesehatan masyarakat, transportasi, keamanan komoditas, pertahanan
keamanan dll); dan
(10) Memperkuat kapasitas laboratorium untuk mendeteksi penyakit-penyakit
menular tersebut.
2 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
1. Pendahuluan •
Security
3

Indonesia merupakan salah satu dari 170 negara yang menandatangani komitmen Goals/SDGs) 2030 yang kemudian diadopsi ke dalam target-target pembangunan
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable Development nasional Pemerintah Indonesia. Tujuan pembangunan kesehatan menuju universal
health coverage berkontribusi pada pencapaian semua tujuan SDGs seperti yang tampak Struktur tersebut termasuk lingkungan sosial, lingkungan fisik, pelayanan kesehatan,
pada Gambar 1. dan struktur sosial masyarakat. SDH juga berkaitan dengan distribusi modal,
kekuasaan dan sumber daya di suatu masyarakat atau di sebuah negara atau di seluruh
dunia. Konferensi Internasional tentang SDH di Rio de Janeiro Brazil pada bulan
Gambar 1. Tujuan Pembangunan Oktober 2011 merumuskan pengertian SDH yang lebih komprehensif, yaitu kondisi atau
Kesehatan
lingkungan kehidupan sehari- hari dimana penduduk lahir, tumbuh, bekerja, hidup, dan
terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs)
menjadi tua. Kondisi tersebut mencakup: (1) lingkungan kehidupan selama usia dini,
lainnya
(2) pendidikan, (3) status ekonomi, (4) pekerjaan, (5) perumahan dan lingkungannya, dan
(6) sistem yang efektif untuk mencegah serta memulihkan sakit.

Konferensi tersebut juga menghasilkan 6 (enam) aksi/intervensi terhadap SDH yang


sangat esensial untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, merata dan berkeadilan,
serta sehat dan produktif secara ekonomi. Aksi tersebut adalah: (1) peningkatan tata kelola
kesehatan dan pembangunan, melalui kerjasama lintas sektor secara terintegrasi; (2)
peningkatan partisipasi civil society dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan,
memonitor implementasi, dan mengevaluasi hasilnya; (3) re-orientasi sektor kesehatan
untuk lebih menekankan promosi kesehatan dan mengurangi kesenjangan (inequity);
(4) meningkatkan kerja sama dan tata kelola global untuk dukungan finansial dan
peningkatan kapasitas; dan (5) memantau perkembangan dan meningkatkan
akuntabilitas.

Kesehatan masyarakat juga harus tanggap terhadap perkembangan teknologi baru,


dampak globalisasi, migrasi penduduk, peran sektor swasta yang semakin luas, serta
ancaman penyebaran penyakit. Fungsi kesehatan masyarakat akan semakin penting pada
tahun 2020, terutama untuk menghadapi pencemaran, perubahan iklim global, peningkatan
urbanisasi dan industrialisasi, desentralisasi sistem kesehatan, peningkatan beban
penyakit tidak menular (PTM), dan faktor determinan sosial lainnya yang menyebabkan
ketimpangan kesehatan. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan promosi dan
pencegahan kesehatan dan keterlibatan masyarakat dalam semua aspek fungsi kesehatan
masyarakat.

Pada tataran kebijakan dan regulasi, konsep teoritis peningkatan kesehatan melalui
Kesehatan masyarakat merupakan elemen inti dari upaya pemerintah untuk intervensi pemulihan dan pencegahan serta kondisi lingkungan fisik/sosial/ekonomi yang
meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Fungsi Kesehatan kondusif sudah dirumuskan secara jelas. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Undang-
Masyarakat adalah intervensi kesehatan yang difokuskan pada berbagai determinan Undang Nomor 36 Tahun
(penyebab tidak langsung) masalah kesehatan penduduk. Intervensi terhadap 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
determinan tersebut arahnya adalah mengurangi resiko penyakit (risk reduction). Jadi, Kesehatan Nasional, berbagai peraturan turunan regulasi tersebut; serta dalam kebijakan
berbeda dari intervensi pengobatan yang fokusnya adalah memulihkan orang sakit, lima tahunan yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana
fungsi kesehatan masyarakat fokusnya adalah pencegahan. Fungsi kesehatan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis Kementerian
masyarakat menjadi semakin penting dengan berkembangnya pengetahuan tentang Lembaga (Renstra K/L). Bahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 2017 tentang
determinan kesehatan selain upaya pengobatan (faktor medis-biologis). Horizon Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, ditekankan pentingnya pola hidup sehat dan
determinan atau faktor resiko tersebut sangat luas, berada dalam domain kegiatan lingkungan sehat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Kebijakan dan regulasi
berbagai sektor pemerintah, serta kegiatan swasta dan masyarakat. tersebut menekankan pentingnya upaya- upaya promotif, preventif dan kuratif sekaligus
secara komprehensif; dan sejak tahun 2000-an, ditambahkan satu area penting lainnya,
Social Determinants of Health (SDH) merupakan struktur sosial dan sistem yaitu penguatan sistem kesehatan untuk mendukung upaya promotif-preventif dan kuratif
ekonomi yang kompleks dan terintergasi serta saling berkaitan yang besar tersebut.
pengaruhnya terhadap kesenjangan kesehatan (health inequities) (World Health
Organization/WHO, 2008). Paradigma komprehensif tersebut bukan hal baru. Deklarasi Alma Ata tentang “Health for
All” (WHO, 1978), World Development Report 1993: Investing in Health (1), Mainstreaming
Health in Development Policy (2), MDGs (1990-2015), Reducing Risk, Promoting Healthy Life
(3), Sosial Determinants of Health (4), Indonesia Sehat 2010, SDGs (2015-2030), Health
in all policy atau “Hi-AP” (5); semuanya menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh
(komprehensif) dalam pembangunan kesehatan.
4 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
1. Pendahuluan •
Security
5

(WHO/WHR 2010: Health System Building Block). Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun
Secara konseptual, paradigma komprehensif tersebut berisi empat domain 2012 menetapkan tujuh fungsi sistem kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional
intervensi: (SKN), yaitu (1) tata kelola dan regulasi didukung sistem informasi, (2) pengelolaan
(1) Upaya pemulihan yang dikenal sebagai pelayanan kuratif melalui penyediaan SDM Kesehatan, (3) pengelolaan obat/vaksin, alat kesehatan dan makanan-minuman,
fasilitas kesehatan, (4) penelitian dan pengembangan kesehatan, (5) pemberdayaan dan peran serta
(2) Upaya promotif dan pencegahan berupa intervensi terhadap faktor-faktor resiko masyarakat, (6) pembiayaan kesehatan, dan (7) upaya kesehatan yang dibagi menjadi
yang ada dalam demarkasi kesehatan, Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Terdapat
(3) Upaya lintas sektor, yaitu intervensi untuk mengurangi/menghilangkan dampak banyak permasalahan yang dihadapi dalam tiap elemen SKN tersebut. Permasalahan
negatif dari kegiatan sektor lain terhadap kesehatan; atau sebaliknya melibatkan mencakup aspek tata kelola yang bergantung pada kejelasan peran dan tanggung jawab
sektor lain untuk memberi kontribusi terhadap kesehatan, dan pemerintah pusat dan daerah, kekurangan sumber daya manusia (SDM) kesehatan,
(4) Upaya memperkuat kapasitas sistem kesehatan. ketergantungan bahan baku impor untuk produksi obat yang pada akhirnya
mempengaruhi ketersediaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan, pemanfaatan data
Yang dimaksud dengan fungsi kesehatan masyarakat adalah domain (2) upaya promotif dan informasi untuk perumusan kebijakan yang belum optimal, kecukupan pembiayaan
dan pencegahan, (3) upaya lintas sektor, dan (4) upaya memperkuat kapasitas sistem kesehatan di pusat dan daerah, dan masalah pemerataan akses dan kualitas
kesehatan tersebut di atas. Dalam tataran empiris, tidak mudah menerapkan kebijakan pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan berjenjang.
dan regulasi intervensi kesehatan secara komprehensif, terintegrasi dan sinkron seperti
tersirat dalam kebijakan dan regulasi tersebut. Sistem kesehatan masih tetap didominasi Dengan demikian, salah satu tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia
oleh upaya kuratif dan bersifat sangat sektoral (dominasi sektor kesehatan). Berbagai adalah memperkuat empat domain intervensi tersebut di atas terutama memperkuat
konsep yang menyatakan bahwa membangun kesehatan tidak bisa hanya dengan upaya pelayanan upaya kesehatan masyarakat, lintas sektor dan penguatan sistem kesehatan,
pengobatan (menyediakan fasilitas kesehatan) ternyata implementasinya tidaklah yang ketiga- tiganya termasuk dalam area fungsi kesehatan masyarakat.
demikian. Padahal sudah diketahui – seperti dinyatakan oleh Henrik L Blum (1981) – 80%
determinan derajat kesehatan ada pada faktor lingkungan dan perilaku, dan hanya 20% Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan
oleh faktor pelayanan kesehatan (pengobatan). Cukup banyak indikasi bahwa kinerja menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang
dalam empat domain intervensi tersebut di atas belum memuaskan. Beberapa tujuan diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko
dalam masing-masing area tersebut tidak tercapai sesuai target. Kemudian, laju perbaikan epidemi dan pandemi sangat besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah
indikator kesehatan nasional tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti pintu masuk yang sangat banyak. Indonesia menempati urutan kedua dalam hal angka
misalnya Vietnam dan Thailand. kematian setelah Mesir akibat penyebaran virus H5N1 flu burung yang sangat patogen
antara tahun 2005 dan 2012. Indonesia melaporkan terdapat 184 dari 1.500 kasus manusia
Upaya kuratif. Keberhasilan upaya kuratif memerlukan tiga syarat: (i) penduduk dan ribuan kasus unggas antara tahun 1997 dan 2012 (6). Wabah ini tersebar di 50 negara
mempunyai akses terhadap fasilitas pengobatan yang berkualitas, yaitu fasilitas termasuk Hong Kong, Cina, Korea, Thailand, Vietnam, Jepang, Kamboja, Laos, Malaysia,
pelayanan primer, sekunder, tersier dan sistem rujukannya, (ii) tidak ada hambatan Filipina, Kazakhstan, Mongolia, Rusia, Turki, Rumania, Taiwan, Kroasia, Kuwait, Inggris,
finansial untuk menggunakan pelayanan tersebut, dan (iii) kesadaran masyarakat untuk Ukraina, Irak, Iran, Bulgaria, Nigeria, Yunani, Italia, Jerman, Mesir, Prancis, India, Austria,
berobat. Bosnia, Slovakia, Hongaria, Niger, Tepi Barat/Jalur Gaza, Azerbaijan, dan Pakistan (6,7).

Upaya promotif-preventif. Upaya promotif-preventif dengan sasaran penduduk – yang Untuk mengatasi permasalahan health security, pada Juni 2017 International
juga disebut Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) - adalah kegiatan untuk meningkatkan Health Regulation (IHR) 2005 diberlakukan untuk semua Negara Anggota World Health
perilaku dan higiene lingkungan, melakukan pelayanan pencegahan seperti imunisasi, Organization (WHO), termasuk Indonesia. Indonesia harus menyiapkan dan
dan skrining massal untuk deteksi dan pengobatan dini. Berbeda dari upaya promotif- melaksanakan rencana implementasi nasional untuk memperkuat, mengembangkan dan
preventif perorangan, UKM dilaksanakan dengan dua pendekatan yaitu: (i) menggerakkan mempertahankan kapasitas inti kesehatan masyarakat (8). Tujuan dan ruang lingkup
“mesin” birokrasi dan (ii) menggerakkan “mesin sosial”. kegiatan tersebut adalah “untuk mencegah, melindungi, mengendalikan dan
memberikan respons kesehatan masyarakat terhadap risiko kesehatan masyarakat akut
Intervensi lintas sektor. Inti dari domain intervensi ini adalah peran dan tanggung yang berpotensi melintasi batas negara dan mengancam orang di seluruh dunia,
jawab sektor terkait untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan penduduk atau dengan cara yang sesuai dengan dan terbatas pada risiko kesehatan masyarakat, dan
yang dikenal dengan pembangunan berwawasan kesehatan. Instruksi Presiden Nomor menghindarkan gangguan yang tidak perlu dengan lalu lintas dan perdagangan
1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) adalah salah satu internasional”(6). Hasil Joint External Evaluation (JEE) WHO pada tahun 2017 yang
contoh kebijakan untuk menggerakkan peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. dilaksanakan untuk menilai kapasitas inti penerapan IHR di dalam suatu negara,
menunjukkan bahwa dua fungsi kesehatan masyarakat yang penting yaitu: surveilans
Kapasitas sistem kesehatan. Fungsi promotif-preventif dan kuratif serta penggerakkan kesehatan dan sistem informasi untuk kegiatan health security global sangat kurang
lintas sektor tidak akan berhasil kalau tidak didukung oleh suatu sistem kesehatan yang di Indonesia (8).
kuat dan berfungsi dengan baik (WHO, 2000). Oleh karena itu, sistem kesehatan
harus diperkuat
6 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

2.
Dalam empat tahun terakhir, WHO menyatakan tiga keadaan darurat kesehatan masyarakat
yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergencies of International Concern/
PHEICs), yaitu: Polio dan Ebola (2014) serta Zika di Brazil (2016). Sementara Middle
East (MERS), yang berasal dari Arab Saudi (2012), tidak memicu deklarasi
ANAlISIS SITUASI
FUNGSI KESEHATAN
Respiratory Syndrom
PHEIC, meskipun virus tersebut telah menyebar ke lebih dari 24 negara dengan 584
kematian, termasuk Korea (2015). Epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan
flu burung menunjukkan kerentanan negara-negara di Asia terhadap kejadian pandemi
baik dari sisi situasi lingkungan, sosial ekonomi, dan demografis. Penyakit-penyakit MASYARAKAT
infeksi baru yang muncul (Emerging Infectious Diseases/EID) seperti Ebola (2014-2016)
dapat memiliki angka kematian kasus (Case Fatality Rate/CFR) antara 25%-90%.
Indonesia dan negara-negara lain diwajibkan untuk segera melaporkan kepada WHO
apabila terdapat kejadian cacar, poliomielitis liar, influenza baru, SARS, dan penyakit
rawan pandemi seperti kolera, wabah pneumonia, demam kuning, dan demam berdarah.
Organisasi non-pemerintah, media cetak dan penyiaran, ilmuwan, dan platform media sosial FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT
juga didorong untuk melaporkan kejadian tersebut (6).
(Public health functions) dAN health
Masalah health security membutuhkan jenis tenaga kesehatan baru. Tenaga kesehatan di security
seluruh dunia kini menghadapi tantangan yang tidak pernah mereka temui sebelumnya dan
mereka juga tidak terlatih untuk menghadapinya. Dengan demikian, sangat penting untuk
memperkirakan kebutuhan dan melatih jenis sumber daya manusia (SDM) kesehatan baru
dalam jumlah yang cukup untuk mengembangkan kapasitas untuk mendeteksi, mencegah,
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
dan merespon dengan cepat ancaman kesehatan masyarakat.

1.1. TUjUAN

Menjelang akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-


2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (KementerianPPN/Bappenas) melaksanakan Kajian Sektor Kesehatan
(Health Sector Review) tahun 2018 sebagai referensi untuk mengembangkan RPJMN bidang
kesehatan tahun
2020-2024. Kajian sektor kesehatan merupakan proses berbasis bukti yang didasarkan pada
analisis situasi saat ini, pembelajaran dari masa lalu, prediksi tantangan di masa depan, dan
rekomendasi kebijakan dan strategi untuk arah pembangunan kesehatan ke depan. Kajian
sektor kesehatan dengan tema Fungsi Kesehatan Masyarakat ini disusun untuk memberikan
informasi mengenai kebutuhan untuk memperkuat fungsi kesehatan masyarakat termasuk
pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru yang muncul atau Emerging
Infectious Diseases (EIDs) dan ancaman health security lainnya.

1.2. METODE

Kajian dilakukan dengan melakukan reviu atas data sekunder yang tersedia dari berbagai
sumber (profil kesehatan kabupaten rutin, laporan penelitian terkait, berbagai laporan
Bank Dunia, laporan WHO, laporan tahunan Kementerian/Lembaga, dan laporan penelitian
akademisi), yang mencakup: (1) analisis fungsi kesehatan masyarakat di Indonesia termasuk
tinjauan literatur tentang ancaman health security dan hasil Joint External Evaluation
(JEE) tahun 2017; dan (2) kebijakan, masalah dan upaya penguatan fungsi kesehatan
masyarakat ke depan.
8 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat • 9
Security

Dalam “World Development Report 1993: Investing in health”, disebutkan (5) Mengembangkan kebijakan dan rencana yang mendukung upaya
pentingnya melakukan investasi pelayanan kesehatan masyarakat esensial (essential kesehatan perorangan dan masyarakat
public health services/EPHF) dan pelayanan klinis (clinical services). Berdasarkan situasi (6) Menegakkan hukum dan peraturan yang melindungi kesehatan dan
masalah kesehatan pada masa itu, ada enam pelayanan kesehatan masyarakat esensial memastikan keamanan
dan empat pelayanan pelayanan klinis esensial yang perlu mendapatkan prioritas. (7) Memberikan perawatan untuk masyarakat yang membutuhkan layanan
kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan masyarakat esensial tersebut (8) Memastikan kompetensi tenaga kesehatan masyarakat dan perorangan
termasuk: (1) Imunisasi (9) Mengevaluasi efektivitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan kesehatan
(2) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) (10) Penelitian untuk wawasan baru dan solusi-solusi inovatif dalam menghadapi
(3) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan pelayanan Keluarga Berencana (KB) masalah- masalah kesehatan
dan gizi
(4) Program untuk mengurangi konsumsi tembakau dan alkohol
(5) Regulasi, informasi dan investasi terbatas untuk meningkatkan lingkungan Gambar 2. Fungsi Inti Kesehatan Masyarakat dan 10 layanan Esensial
perumahan
(6) Pencegahan AIDS

Sedangkan untuk pelayanan klinis esensial


termasuk :
(1) Pelayanan berkaitan dengan kehamilan (pelayanan antenatal, melahirkan, pasca
salin) (2) Pengendailan Tuberkulosis (TB)
(3) Pengendalian Penyakit Menular Seksual (PMS)
(4) Pelayanan penyakit anak termasuk diare, ISPA, campak, malaria dan kurang gizi
akut

Jenis layanan di atas ditentukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dasar


penduduk terutama penduduk miskin serta pengalaman empiris yang membuktikan
bahwa pelayanan tersebut cost effective. Investasi untuk pelayanan tersebut diharapkan
akan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan derajat kesehatan khususnya
penduduk miskin. Jenis pelayanan tersebut mungkin sudah tidak relevan dengan kondisi
saat ini. Namun, pemerintah tetap perlu melakukan investasi dan melaksanakan fungsi
kesehatan masyarakat untuk: (i) melindungi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, (ii)
mengurangi (atau menghilangkan) kesenjangan dan disparitas, dan (iii) menjamin hak
setiap orang untuk hidup sehat.

Menurut WHO dan Pan American Health Organization (PAHO), fungsi kesehatan
masyarakat esensial merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk
meningkatkan, mempromosikan, melindungi, dan memulihkan kesehatan manusia melalui
tindakan kolektif. Fungsi kesehatan masyarakat esensial biasanya fokus pada pencegahan
dampak dari berbagai faktor determinan sosial (penyebab tidak langsung) yang
memperburuk masalah kesehatan. Untuk itu, pengetahuan mengenai faktor determinan
masalah kesehatan masyarakat sangat penting untuk mendesain intervensi yang lebih
efektif sebelum pengobatan dan perawatan yang berbiaya lebih tinggi.

Sepuluh layanan fungsi kesehatan masyarakat esensial (EPHFs) meliputi (9–


11): (1) Memantau status kesehatan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah
10 • Fungsi Kesehatan
kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
masyarakat 2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat •
Security
(2) Mendiagnosis dan menyelidiki masalah kesehatan dan bahaya-bahaya kesehatan di 11
Sumber: IOM. Kesehatan Masyarakat di Masa Depan.
masyarakat 10 Layanan Kesehatan Masyarakat Esensial, Komite Pengarah Fungsi
(3) Menginformasikan, mendidik, dan memberdayakan masyarakat tentang masalah- Kesehatan Masyarakat Inti, 1994 (12)
di Indonesia, hampir
masalah semua fungsi kesehatan masyarakat yang disebutkan di atas sudah
kesehatan kesehatan, (d) promosi kesehatan masyarakat dan perorangan, (e) tata kelola, regulasi
didukung dengan regulasi
(4) Memobilisasi khusus.dan
kemitraan Terdapat delapan
partisipasi fungsi kesehatan
masyarakat masyarakat yaitu:
untuk mengidentifikasi dan(a) pembiayaan, dan kelembagaan, (f) SDM kesehatan masyarakat yang kompeten, (g)
surveilans, (b) kesiapan
memecahkan menghadapi kesehatan
masalah-masalah bencana dan kegawatdaruratan, (c) perlindungan
komunikasi dan mobilisasi sosial, dan (h) penelitian dan pengembangan kesehatan Delapan regulasi tentang fungsi kesehatan masyarakat di atas cukup lengkap dan
masyarakat dan analisis kebijakan (Tabel 1). komprehensif untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai masalah dan
resiko/determinan kesehatan masyarakat di Indonesia, yang secara garis besar dapat
dibagi 3 (tiga), yaitu:
Tabel 1. Regulasi Terkait Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia
(1) Menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (public health
security)
Untuk menghadapi isu public health security, delapan fungsi kesehatan
masyarakat tersebut perlu diperkuat. Fungsi ke-1 (surveilans), Fungsi ke-5 (tata kelola
dalam konteks desentralisasi) dan Fungsi ke-7 (komunikasi dan mobilisasi sosial)
sangat penting bagi Indonesia yang memiliki wilayah luas, ribuan kepulauan dan
ribuan pintu masuk manusia, hewan dan barang. Indonesia memerlukan sistem
surveilans epidemiologi yang merupakan jejaring, secara vertikal antara
puskesmas, Dinkes Kabupaten/Kota, Dinkes Provinsi dan Pusat, sedangkan secara
horisontal antara puskesmas, antar-daerah dan antar-provinsi. Seluruhnya
dikordinasikan oleh “pusat surveilans nasional”.

(2) Mengatasi determinan kesehatan di luar sektor kesehatan (lintas-


sektor)
Untuk mengatasi determinan non-kesehatan, seluruh fungsi kesehatan
masyarakat diperlukan.Terutama, lima fungsi penting yaitu Fungsi-2 (kesiapan
menghadapi bencana), Fungsi-3 (Perlindungan Kesehatan), Fungsi-4 (Promosi
Kesehatan), Fungsi-5 (tata kelola/ pembagian peran antara jenjang pemerintah) dan
Fungsi-7 (Komunikasi dan mobilisasi sosial). Bagi intervensi lintas sektor, fungsi dan
regulasi di atas merupakan intervensi sensitif.

(3) Mengatasi determinan kesehatan dalam sektor


kesehatan
Intervensi terhadap determinan kesehatan dalam domain kesehatan (intervensi
spesifik), dalam epidemiologi dikenal sebagai “the epidemiological triad of causal
factors” atau “agent – host - environment” factors. Keadaan sehat atau sakit
seseorang ditentukan oleh ketiga faktor: (i) agent atau penyebab penyakit bisa berupa
kuman atau bahan adiktif dan lain-lain, (ii) kondisi fisik host – genetik, biologis,
mental, ketahanan tubuh, status gizi, perilaku seseorang, dan (iii) lingkungan tempat
“agent” dan “host” tersebut berada, menyangkut sanitasi, konteks sosial, dan
ketersediaan pelayanan kesehatan (13). Dengan demikian, pengendalian
penyakit/masalah kesehatan memerlukan intervensi terhadap ke tiga faktor tersebut,
baik untuk penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Intervensi dapat
bersifat promotif, preventif, skrining, pengobatan dan rehabilitatif (dikutip Gani, A. dari
buku Laevel & Clark (1968) ‘The five levels of health services’).

Tabel 2. Integrasi Pendekatan “Triad Epidemiologi” dan “5 jenjang Pelayanan”

Fungsi
Triad Fungsi UKM UKM dan Fungsi UKP
Epidemiologi UKP
Promotif Preventif Skrining Kuratif Rehabilitatif
Host √ √ √ √ √

* UU: Undang-Undang; PP: Peraturan Pemerintah; Perpres: Peraturan Agent √ √ √ √ √


Presiden; PMK: Peraturan Menteri Kesehatan Environment √ √ √ √ √
12 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat •
Security
13
Paling tidak, penerapan fungsi kesehatan masyarakat dalam domain sektor kesehatan “public goods” dan pembiayaanya menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan
memerlukan kedua fungsi UKM dan UKP, terutama kegiatan: (i) surveilans, (ii) UKP bersifat “private goods” dan pembiayaannya melalui mekanisme tarif atau asuransi
kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan, (iii) perlindungan kesehatan kesehatan. Istilah UKM dan UKP juga digunakan dalam Undang-Undang No.23/2014
khususnya pangan dan makanan, (iv) promosi kesehatan, (v) tata kelola, regulasi, tentang pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Khusus untuk
kelembagaan dan pembiayaan, (vi) SDM kesehatan masyarakat, (vii) komunikasi dan kabupaten/kota telah ditetapkan layanan dasar yang bersifat “public goods” untuk
mobilisasi sosial/peran serta masyarakat, dan (viii) penelitian dan analisis kebijakan. dipenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang pembiayaannya dibebankan pada
Berikut ini adalah pemetaan area dimana fungsi kesehatan masyarakat membutuhkan anggaran daerah (APBD).
upaya lintas sektor dalam mengantisipasi dan mengatasi isu-isu public health security (lihat
Tabel 3). Tabel 4. Perbedaan Antara UKM dan UKP

UKM UKP
Tabel 3. Tiga Sasaran Utama Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia (Fungsi Kesehatan Masyarakat) (Fungsi Klinis)

Kelompok masyarakat Perorangan dan/atau keluarga


“Public health security” Kebutuhan UKM sektor
Fungsi Kesehatan lintas negara dan lintas upaya Host, agent, environment
No Masyarakat kesehatan Sasaran intervensi Host, agent, environment
wilayah lintas sektor skala populasi
skala individu dan rumah tangga

1 Surveilans √ √ √
Fokus intervensi Promotif, preventif, skrining Skrining, kuratif, rehabilitatif

Kesiapan hadapi bencana Menggerakkan: Menggerakkan:


2 dan kegawatdaruratan √ √ √ (a) “mesin” birokrasi (a) institusi pelayanan kesehatan
(b)“mesin” sosial (b) institusi keluarga
Pendekatan
Lintas sektor Sektoral (kesehatan/medis)
3 Perlindungan kesehatan √ √ √ Multidisiplin lintas ilmu Multidisiplin lintas ilmu medis

Sifat ekonomi
intervensi Public goods dan merit goods Private goods
4 Promosi kesehatan √ √ √

Privately financed (tarif)


Tatakelola, regulasi, Pembiayaan Publicly financed (APBN & APBD) Collective financed (asuransi)
5 kelembagaan dan √ √ √
pembiayaan

6 SDM kesehatan masyarakat √ √ √ Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.75/2014 tentang Puskesmas
mendefinisikan fungsi esensial kesehatan masyarakat menjadi Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) dan layanan kesehatan individu dasar terbatas atau Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP), yang
7 Komunikasi dan peran serta √ √ √
dilaksanakan oleh puskesmas di tingkat
kecamatan.
Penelitian dan Kegiatan UKM mencakup (Lampiran Permenkes-75 bagian VIII, halaman 92-100) (14,15):
8 Pengembangan dan analisis √ √ √
kebijakan kesmas a. Promosi kesehatan, termasuk:
i. Penyuluhan – promosi kesehatan di sekolah, pendidikan masyarakat tentang
kesehatan jiwa, perawatan antenatal dan menyusui, penyuluhan kesehatan jiwa
dan Napza termasuk pada populasi berisiko (lanjut usia, anak-anak, remaja),
perilaku menjaga kebersihan diri, kesehatan gigi dan mulut, imunisasi, konseling
Dalam ilmu Kesehatan Masyarakat, intervensi kesehatan dibedakan antara
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan penularan HIV/AIDS dan infeksi menular
intervensi kesehatan masyarakat (UKM) dan intervensi pengobatan (UKP). Pembedaan
sosial (IMS), diare, tipus, hepatitis, edukasi dan konseling Pemberian Makanan Bayi
UKM dan UKP juga ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang
dan Anak (PMBA) meliputi ASI eksklusif dan MP-ASI untuk balita sehat, balita
Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam Perpres tersebut, dijelaskan bahwa UKM adalah
kurang gizi, dan balita gizi buruk
upaya yang bersifat
14 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat •
Security
15
rawat jalan, edukasi dan konseling pola makan bagi ibu hamil kurang energi Permintaan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas terus meningkat seiring
kronik (KEK), konseling dietetik, dan edukasi dan konseling tentang pengobatan dengan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan yang ditujukan
sendiri dan penggunaan obat untuk mengatasi hambatan finansial dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Sebelum
ii. Pemberdayaan masyarakat melalui tokoh agama dan publik, kader atau jejaring pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pembangunan kesehatan Indonesia
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), posyandu, penggunaan obat secara dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care/PHC)
rasional melalui metode cara belajar insan aktif (CBIA) dengan puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar, didukung oleh rumah
iii. Pelatihan kader tentang PHBS, teknik komunikasi, penggunaan obat dan sakit dan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) lainnya. Di setiap kecamatan,
pengobatan sendiri melalui metode CBIA setidaknya ada satu puskesmas yang dipimpin oleh seorang dokter, dan didukung oleh
iv. Advokasi tentang praktik PHBS dan penanggulangan masalah kesehatan tertentu, dua atau tiga puskesmas pembantu (pustu) yang mayoritas dipimpin oleh perawat.
dan kelompok dukungan perawatan masalah gizi Pelayanan puskesmas berfokus pada promosi kesehatan, sanitasi, KIA dan KB, gizi
masyarakat, pencegahan penyakit, dan kegawatdaruratan ringan.
b. Kesehatan lingkungan, termasuk pemantauan tempat-tempat umum, pengelolaan
makanan dan sumber air bersih. Dalam pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan dan pencegahan, puskesmas bekerja
c. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana (KIA dan KB), sama dengan relawan kesehatan masyarakat (kader). Di tingkat desa, UKBM seperti pos
termasuk pelayanan imunisasi, pemeriksaan kesehatan anak sekolah dasar, kesehatan terpadu (posyandu) berfungsi sebagai lini perawatan pertama, diikuti oleh
pendidikan keluarga berencana untuk wanita usia reproduksi. pelayanan dasar oleh tenaga profesional di puskesmas. Pada tahun 1989, program bidan
d. Pelayanan gizi, termasuk: (i) deteksi dini/penemuan kasus gizi di masyarakat dan desa (Bidan di Desa) diperkenalkan melalui penempatan satu orang bidan terlatih di setiap
surveilans gizi; dan (ii) asuhan keperawatan pada kasus gizi di masyarakat. desa dilengkapi dengan pos bersalin desa (polindes). Program ini juga mendukung
e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit, pelaksaaan dari posyandu melalui pemberian pelayanan antenatal (ANC) dan konsultasi
termasuk: kesehatan reproduksi di tingkat desa. Para kader di desa mendorong ibu hamil risiko
i. Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular (posbindu-PTM) tinggi untuk mencari pelayanan prenatal tepat waktu dan membantu mereka untuk
ii. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular (filariasis, kecacingan, mengatur transportasi ke fasilitas kesehatan. Secara bertahap, UKBM telah berhasil
Demam Berdarah Dengue (DBD), malaria, HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), mengatasi praktik tradisional yang berbahaya oleh dukun setempat.
zoonosis dan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin)
Dengan demikian, sebagian besar kegiatan puskesmas seharusnya difokuskan pada
Sementara itu, layanan kesehatan perorangan atau Upaya Kesehatan Perorangan program promosi dan pencegahan kesehatan seperti KIA dan KB, gizi masyarakat,
(UKP) didefinisikan sebagai layanan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan sanitasi, dan pencegahan penyakit, dengan alokasi waktu yang terbatas untuk pemberian
perorangan, serta mencegah dan menanggulangi munculnya masalah-masalah kesehatan pelayanan kuratif atau layanan darurat kecil. Namun, pada kenyataannya terdapat
perorangan. Puskesmas biasanya memberikan layanan UKP atau perawatan kuratif selama beberapa temuan yang bertentangan di lapangan seperti:
lima hari dalam seminggu, dalam waktu-waktu yang terbatas (14,15). a) Beberapa puskesmas di pedesaan belum berhasil melaksanakan tugas kuratif dan
preventif karena dokter yang bekerja di puskesmas tersebut tidak tinggal di daerah
Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 juga memasukkan penyediaan layanan pedesaan;
kesehatan masyarakat yang tidak esensial yang disebut Upaya Kesehatan Masyarakat b) Sejumlah besar perawat yang dikirim ke daerah pedesaan juga membuka praktik swasta
(UKM) Pengembangan, yang disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, di desa atau kota
kekhususan wilayah kerja, dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing c) Sangat sedikit pusat pelatihan untuk bidan yang berada di desa, dan hanya 70 persen
puskesmas (Lampiran Permenkes-75 bagian VIII, hal. 100-102 ). UKM Pengembangan ini bidan yang tinggal di desa
termasuk layanan khusus terkait Napza, pelayanan kesehatan gigi untuk anak-anak, lansia d) Kader boleh mendapatkan tunjangan untuk kegiatan promosi kesehatan tertentu di
dan wanita hamil, pengobatan tradisional, komplementer dan alternatif, pembinaan tingkat desa, namun, di beberapa tempat posyandu tidak dapat merekrut jumlah kader
kesehatan kerja, dan lain-lain (14,15). UKM Pengembangan dibagi menjadi dua bidang: yang cukup atau layanan posyandu yang disediakan tidak memadai
(1) Pengembangan komponen UKM: (a) layanan kesehatan mental, (b) layanan e) Kader umumnya tidak efektif dalam memenuhi peran mereka di masyarakat karena
kesehatan gigi masyarakat; (c) layanan kesehatan tradisional komplementer, (d) mereka tidak terlatih dan hanya melayani sebagai sukarelawan dengan sedikit
layanan kesehatan olahraga, (e) layanan kesehatan indra, (f) layanan kesehatan lansia, akuntabilitas
(g) layanan kesehatan kerja, dan (h) layanan kesehatan lainnya f) Investasi pada sumber daya manusia untuk promosi kesehatan belum optimal di
(2) Pengembangan komponen UKP: (a) pemeriksaan medis umum, (b) layanan kesehatan semua tingkatan, padahal promosi kesehatan memiliki dampak besar pada kesehatan ibu
gigi dan mulut, (c) layanan pribadi KIA-KB, (d) layanan darurat, (e) layanan gizi dan bayi baru lahir (16)
perorangan, (f) pemberian layanan kesehatan, (g) pasien rawat inap untuk puskesmas g) Fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah menjadi
rawat inap, (h) layanan farmasi, dan (i) layanan laboratorium sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Fasilitas ini menerima subsidi dari
pemerintah pusat untuk gaji dan biaya operasional, tetapi mereka diharuskan untuk
mengadopsi prinsip
16 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security swadaya (swadana), atau menggunakan biaya pengguna untuk membiayai
biaya non-gaji dari layanan medis. Prinsip swadana ini membuat
pemerintah daerah terus meningkatkan pendapatan termasuk dengan
mengontrakkan jasa ke sektor swasta. Sistem ini telah menyebabkan
pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan swasta dan dua pertiga dari pembiayaan
dan lebih dari separuh layanan kini dilakukan di fasilitas swasta (17)
h) Pasca-desentralisasi (2001), pemerintah pusat tidak lagi menyediakan tenaga kesehatan

3.
untuk masyarakat setempat. Beberapa pemerintah daerah tidak menganggap bidan
sebagai prioritas lagi. Banyak bidan desa meninggalkan polindes dan pindah ke daerah
sub-urban
atau perkotaan, di mana peluang praktik swasta jauh lebih besar
(17)
ANAlISIS SITUASI
HEALTH
SECURITY

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT


(Public health functions) dAN health
security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
18 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
3. Analisis Situasi Health Security •
Security
19

Salah satu peran penting fungsi kesehatan masyarakat adalah untuk menghadapi Amerika Selatan, dan Eropa. Wabah lain seperti kolera di Haiti (2010), sindrom pernapasan
ancaman epidemi dan pandemi penyakit (public health security). Di era globalisasi, keadaan akut corona virus (MERS-CoV) di Timur Tengah dan Korea (2012), chikungunya tahun 2013
darurat atau peristiwa yang menyangkut kesehatan masyarakat di satu negara dapat dan Zika tahun 2015 di Amerika, demam kuning di Afrika
menjadi ancaman bagi negara lain. Dalam beberapa dekade terakhir, penyakit infeksi 2015–2016 dan di Amerika Selatan 2016–2017, serta kolera di Yaman (2017), dan epidemi
emerging (PIE) atau Emerging Infectious Diseases (EIDs), yang disebabkan oleh bakteri, Ebola di Afrika Barat tahun 2014–2016 merupakan contoh nyata dari belum memuaskannya
virus, parasit atau jamur menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sebagian besar pencegahan global dan lemahnya respon (19,20).
(sekitar 70%) EID adalah zoonosis (18). Sejak tahun 1980-an, pandemi HIV/AIDS dan
penyakit zoonosis asal hewan, telah menyebabkan banyak kematian. Di sisi lain, kegiatan Saat ini, selain peningkatan penyakit tidak menular dan masih tingginya penyakit
kesehatan masyarakat dasar seperti vaksinasi menjadi lebih sulit untuk dilaksanakan. menular, masih ditemukan juga penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases,
Padahal, di saat yang sama pertumbuhan pesat perdagangan global dimana perjalanan NTDs). NTDs juga disebabkan patogen seperti virus, bakteri, protozoa dan cacing/parasit
lintas negara dan benua (3,6 miliar penumpang udara internasional tahun 2016) menjadi (21). Diamati pula bahwa resistensi antimikroba (AMR) dan penyakit zoonosis juga
sesuatu yang umum, sangat memfasilitasi penyebaran mikroba patogen ke seluruh bagian meningkat kejadiannya, mengancam keamanan pangan, keamanan hayati dan biosekuriti.
dunia termasuk ke Indonesia. Kesimpulannya, PIE (EIDs) merupakan ancaman keamanan internasional dan
menempatkan potensi dampak negatif yang besar pada infrastruktur kesehatan, keadaan
Wabah sindrom pernafasan akut yang parah (SARS) pada tahun 2003 merupakan peringatan sosial dan ekonomi, dan kesejahteraan (18,19,22).
bagi komunitas kesehatan masyarakat global bahwa tidak ada kendaraan internasional
yang dapat secara cepat mendeteksi dan menanggapi wabah multi-negara, terutama jika Di masa lalu, PIE (EID) telah menyebabkan banyak pandemi fatal seperti pandemi Black
disebabkan oleh penularan penyakit pernapasan (18). Wabah flu burung tahun 2006 dan Death (25-40 juta kematian) pada abad ke-14, pandemi influenza (50 juta kematian) di tahun
pandemik influenza A tahun 2009 (H1N1) menjadi pertanda serius bahwa Indonesia masih 1918, dan pandemi HIV/AIDS (35 juta kematian) sejauh ini. Sekitar 60 hingga 80 persen infeksi
belum siap menghadapi keadaan darurat kesehatan masyarakat global (global health manusia baru berasal dari hewan, terutama hewan pengerat dan kelelawar, yang kemudian
security issues). Di samping sudah terlihatnya ancaman resistensi mikroba termasuk dimanifestasikan sebagai sindrom paru Hantavirus, demam Lassa, dan encephalitis
sindrom pernapasan akut coronavirus (SARS-CoV) yang pertama kali dilaporkan di Asia karena virus Nipah (23). The Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), yang muncul
pada Februari 2003 dan telah menyebar ke lebih dari dua lusin negara di Amerika Utara, dari kelelawar ternyata dapat menyebar ke manusia. Virus influenza pandemi H1N1 2009
muncul dari babi. Influenza H5N1 (avian influenza) muncul dari unggas liar dan Agen penyakit infeksi lainnya yang telah bertahan dan beradaptasi dengan perubahan
menyebabkan epizootik yang memperkuat transmisi virus pada unggas domestik, dan populasi manusia dan lingkungan adalah virus demam berdarah dan virus Nile Barat.
kemudian ke manusia yang terpapar unggas. Baik avian influenza yang sangat patogenik Penularan demam berdarah ke manusia melalui nyamuk Aides dipengaruhi oleh tingkat
(HPAI) maupun yang patogenisitasnya rendah seperti avian influenza (LPAI), dapat kepadatan, sanitasi yang buruk, dan kemiskinan. Beberapa penyakit infeksi yang muncul
menyebabkan penyakit berat pada manusia, dengan virus H5, H7 dan H9 sebagai patogen kembali adalah: (1) kolera, yang terkait dengan mobilitas internasional, perang, bencana
utama (23,24). alam, dan sanitasi yang buruk, kemiskinan dan gangguan sosial; (2) HA-MRSA atau infeksi
yang didapat di rumah sakit (juga penjara dan panti jompo, orang dengan luka terbuka,
kateter, dan sistem kekebalan yang lemah), infeksi yang didapat dari masyarakat (CA-
MRSA) serta infeksi yang didapat dari ternak (LA-MRSA); dan (3) Infeksi Clostridium difficile
(CDI), penyebab utama diare infeksi pada pasien rawat inap. MRSA dan CDI akhirnya
menjadi resisten terhadap pengobatan (23).

Eradikasi EID di masa depan merupakan tantangan yang sangat berat. Mikroorganisme
patogenik dapat mengalami perubahan genetik yang cepat, yang mengarah ke sifat
fenotip baru akibat pengaruh host dan lingkungan. Virus pandemi influenza 1918 adalah
salah satu contohnya. Selama 95 tahun terakhir, virus turunannya telah berevolusi dan
menghasilkan pandemik baru pada tahun 1957 dan 1968, dan baru-baru ini influenza H1N1
menjadi pandemi pada tahun 2009. Hal ini hanya dapat di atasi dengan sistem
kewaspadaan, penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan, penyediaan alat
diagnostik, obat-obatan, dan vaksin baik di sektor hewan serta sektor manusia. Setiap
penyakit baru membawa tantangan unik, memaksa kita untuk terus beradaptasi dengan
ancaman yang terus berubah (23). Sekitar enam dari setiap 10 penyakit infeksi yang
diketahui pada manusia berasal dari hewan, dan tiga dari setiap empat EID tersebar dari
hewan (25).

Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) Tahun 2005


yang ditetapkan pada pada tanggal 15 Juni 2007 mengamanatkan kepada setiap negara
anggota untuk secara bertahap memenuhi delapan kapasitas inti untuk mencegah,
mendeteksi, dan menanggapi potensi biologis dan potensi bahaya lainnya dalam kurun
waktu sembilan tahun (2007-2016). Kapasitas inti IHR mencakup: (1) perundang-undangan
dan kebijakan, (2) koordinasi, (3) pengawasan, (4) respon, (5) kesiapsiagaan, (6) komunikasi
risiko, (7) sumber daya manusia, dan (8) laboratorium. Kapasitas ini perlu disiapkan untuk
memastikan Indonesia siap untuk mendeteksi, mencegah, dan menanggapi: (1) penyakit
menular yang muncul (EID) dan penyakit zoonosis, (2) penyakit terkait radiologi, (3)
penyakit yang berhubungan dengan kimia, dan (4) penyakit terkait makanan (26).

One Health adalah pendekatan yang dipromosikan oleh World Health Organisation
(WHO), Food and Agriculture Organisation (FAO), dan World Organisation for Animal Health
(OIE) serta banyak negara dan organisasi untuk memperingatkan semua negara bahwa
tidak ada satu pun bangsa atau sektor yang dapat menjamin keamanan kesehatan global.
Indonesia harus bekerja secara internal dan bekerjasama dengan negara lain untuk
mencegah, mendeteksi, dan menanggapi ancaman penyakit menular. Keamanan
kesehatan publik mencakup semua kegiatan (baik proaktif dan reaktif) yang dapat
meminimalkan kerentanan terhadap peristiwa akut dalam kesehatan masyarakat, termasuk
peristiwa-peristiwa kimia, biologi, dan radio-nuklir yang berpotensi menciptakan
“Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Menjadi Perhatian Internasional (Public
Health Emergency of International Concern/PHEIC)” (27). Ancaman penyakit pandemi
dan respon yang tidak efektif juga dapat berdampak buruk pada kesehatan masyarakat,
negara dan ekonomi global (28).
20 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
3. Analisis Situasi Health Security •
Security
21
Global Health Security Agenda (GHSA) dengan maksud yang sama seperti IHR 2005, yaitu Tabel 5. Area dengan Skor 4 pada Kapasitas IHR
untuk mencegah, mendeteksi dan merespon cepat berbagai ancaman penyakit infeksi
berpotensi menjadi wabah lintas batas negara (mengancam seluruh dunia) bertujuan
sebagai berikut (29):

• Tujuan # 1: MENCEGAH bencana yang dapat dihindari, memiliki empat tujuan: (a)
mencegah muncul dan menyebarnya organisme resisten obat antimikroba; (b) No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score
mempromosikan sistem keamanan hayati dan biosekuriti nasional; (c) mencegah
Vaccine coverage (measles) as part of
penyebaran penyakit zoonosis ke populasi manusia; dan (d) memastikan lebih dari p.7.1 4
7 Immunization national program
90% anak berusia satu tahun mendapatkan imunisasi campak.
p.7.2 National vaccine access and delivery 4

• Tujuan # 2: MENDETEKSI ancaman secara dini, memiliki empat tujuan: (a) National Laboratory testing for detection of priority
d.1.1 4
memperkuat jaringan global untuk bio-surveilans secara real-time; (b) 8 laboratory diseases
memperkuat norma global untuk pelaporan yang cepat dan transparan serta berbagi system d.1.2 Specimen referral and transport system 4
No sampel
Technical areas
dalam keadaanCode
daruratIndicators
kesehatan;(as
(c)ofmengembangkan
2017) dan menyebarkan Score
alat
Real-time
diagnosis baru dan memperkuat sistem 9 d.2.4 Syndromic surveillance systems 4
Legislation, laws,laboratorium; dan (d) melatih dan
regulations, administrative surveillance
menempatkan tenaga bio-surveilans requirements,
yang policies, or other government
efektif.
p.1.1 3 Workforce FETP1 or other applied epidemiology training
National instruments in place are sufficient for 11 d.4.2 4
legislation, policy implementation of IHR (2005) development program in place
1• Tujuan
and # 3: MERESPON dengan cepat dan efektif, memiliki tiga tujuan: (a)
financing
The State can Operasi
demonstrate that it has adjusted Linking public Public health and security authorities (e.g. law
mengembangkan jaringan global Pusat Kegawatdaruratan dan respon health and enforcement, border control, customs) are
and aligned its domestic legislation, policies, 14 r.3.1 4
p.1.2
multisektoral terhadap insiden biologis; (b) memiliki kapasitas untuk menghubungkan 3 security linked during a suspect or confirmed biological
and administrative arrangements to enable
kesehatan publik dan penegakan compliance with IHR
hukum dalam hal(2005)
serangan biologis yang dicurigai authorities event
atau dikonfirmasi;
IHR coordination, dan (c) meningkatkan
A functional mechanism terhadap
akses global tindakan
is established for medis dan System in place for sending and receiving
2 non-medis selama keadaan
communication p.2.1darurat kesehatan. and integration of relevant
the coordination 3 Medical r.4.1 medical countermeasures during a public 4
and advocacy sectors in the implementation of IHR countermeasures health emergency
15
Evaluasi Eksternal Bersama (Joint External Evaluation/JEE)infection
yang dilaksanakan pada tahun and personnel System in place for sending and receiving
Health care-associated (HCAI) deployment
Antimicrobial p.3.3 3 r.4.2 health personnel during a public health 4
2007 prevention and control programmes
3 merupakan penilaian eksternal sukarela terhadap pemenuhan target GHSA-nya. Hasil
resistance emergency
dari JEE p.3.4 Antimicrobial stewardship activities 3
2017 berfungsi sebagai ukuran baseline yang memungkinkan Indonesia untuk r.5.3 Public communication 4
Surveillance systems in place for priority
mengidentifikasi dan mengatasi p.4.1 kesenjangan dalam sistem keamanan kesehatan 3 Risk Communication engagement with
4 Zoonotic diseases zoonotic diseases/pathogens 16 r.5.4 4
nasional (30). Berdasarkan hasil JEE, Indonesia telah cukup berhasil, karena tidak ada skor communication affected communities
1 (tidak ada kapasitas) di salahp.4.2satuVeterinary or animal health workforce
dari 19 bidang teknis, dan banyak tingkat kemajuan 3
r.5.5 Dynamic listening and rumor management 4
tingkat menengah 4 dan 3. Namun,Mechanisms evaluasi iniforbersifat
multisectoral
sentralcollaboration
(secara administratif)
are established to ensure rapid response to Routine capacities established at points of
dan5 sangat terfokus
Food safety pada Kementerian
p.5.1 Kesehatan sehingga hasilnya mungkin tidak
3 poe.1 4
food safety emergencies and outbreaks of entry
menangkap atau mencerminkan kapasitas dan/ atau
foodborne diseases kebutuhan yang relevan dari daerah. 17 Points of entry
Effective public health response at points
Tabel 6 menunjukkan delapan dari total 19 bidang teknis IHR 2005 mendapatkan skor 4, poe.2 4
Whole-of-government biosafety and of entry
yang berarti Indonesia mencapai p.6.1 tingkat ‘menunjukkan
biosecurity system is inkapasitas’
place for atau ‘kapasitas sudah
human, 3
ada, Biosafety
akan and
berkelanjutan selama beberapa
animal and tahun lagi,
agriculture dan
facilities dapat diukur dengan
6
biosecurity
memasukkan atribut atau kapasitas inti IHR (2005) dalam sektor perencanaan kesehatan
Biosafety and biosecurity training and
nasional (NHSP)’ (31). Tabel p.6.2
7 menunjukkan 3
practices 15 dari total 19 bidang teknis IHR 2005
mendapatkan skor 3, yang berarti Indonesia telah mencapai tingkat ‘pengembangan
Effective modern point-of-care and laboratory-
kapasitas’ atau ‘kapasitas d.1.3
National tersedia,based
namun masih ada masalah keberlanjutan, yang
diagnostics
3
8
diukur laboratory system inklusi dalam rencana operasional dan/atau kurangnya rencana
dengan kurangnya
d.1.4 Laboratory quality system 3
untuk mendapatkan pendanaan’. Tabel 8 menunjukkan tiga area yang terkait dengan
surveilans, skornya adalah 2d.2.1 Indicator-
yang berarti and event-based
‘kapasitas terbatas’ (31). 3
Real-time
22 • Fungsi
surveillance systems
Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
9 3. Analisis Situasi Health Security •
Security surveillance Interoperable, interconnected, electronic real- 23
d.2.2 3
time reporting system
System for efficient reporting to FAO, OIE and
d.3.1 3
WHO
10 Reporting Tabel 6. Area dengan Skor 3 pada Kapasitas IHR
d.3.2 Reporting network and protocols in country 3
No Technical areas Code Indicators (as of
Human resources available to implement IHR
Workforce d.4.1 3
11 core capacity requirements
development
d.4.3 Workforce strategy 3
National multi-h
12 Preparedness r.1.1

r.2.1 Capacity to acti


Emergency response operations r.2.3 Emergency ope
13
r.2.4 Case manageme

r.5.1 Risk communica


Risk communication (plans, mechani
16
r.5.2 Internal and par

ce.2 Enabling enviro


18 Chemical events
for managemen
re.1 Mechanisms es
for detecting an
Radiation emergencies
19
re.2 Enabling enviro

Sumber: WHO Joint External Evaluation of IHR Core Capacities,


2017

Tabel 7. Area dengan Skor 2 pada Kapasitas IHR

No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score


P.3.1 Anti-Microbial Resistance detection 2
Antimicrobial
3 Surveillance of infections caused by
resistance P.3.2 2
mapped and utilized
antimicrobial-resistant pathogens
Mechanisms for responding to infectious and
4 Zoonotic diseases P.4.3 potential zoonotic diseases are established 2
and functional
Real-time
9 D.2.3 Integration and analysis of surveillance data 2
surveillance detecting and responding to chemical events
Priority public health risks and resources are
12 Preparedness R.1.2 2
Sumber: WHO Joint External Evaluation of IHR Core Capacities, 2017
24 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Emergency 3. Analisis Situasi Health Security •
Security response EOC operating procedures
13 R.2.2 25 and plans 2
operations
Mechanisms established and functioning for
3.1. RESISTENSI ANTIMIKROBA DAN PENGGUNAAN Chemical events
Action Plan (GAP). Rencana aksi nasional mencakup peningkatan kesadaran, surveilans2 dan
18 CE.1
ANTIMIKROBA or emergencies
penelitian, kebersihan, pencegahan dan pengendalian infeksi, penggunaan obat
antimikroba yang optimal, dan investasi berkelanjutan (32).
Isu terkait resistensi antimikroba (Anti-Microbial Resistance/AMR) dan penggunaan
antimikroba yang tidak bertanggung jawab juga menjadi salah satu masalah Resistensi antimikroba (AMR) adalah kemampuan mikroorganisme (seperti bakteri, virus,
kesehatan yang paling substansial saat ini. Hal ini mendorong World Health dan beberapa parasit) untuk menghambat antimikroba (seperti antibiotik, antiviral dan
Assembly (WHA) untuk mendesak negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan antimalaria) untuk bekerja melawannya. Akibatnya, perawatan standar menjadi tidak
rencana aksi nasional pada Mei 2017 dan menyelaraskannya dengan tujuan dari Global efektif, infeksi terus berlanjut dan dapat menyebar ke orang lain (33). Ancaman yang
ditimbulkan oleh “superbug” sangat mengejutkan terhadap kesehatan masyarakat, Tabel 9. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Escherichia Coli
keselamatan, dan ekonomi global. Indonesia menunjukkan beban AMR yang tinggi (Tabel
9, 10, 11). Antibiotik1 Angka Resistensi (%)
Ampicillin 73

Tabel 8. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Streptococcus Pneumoniae Trimethoprim-sulfamethoxazole 56


Chloramphenicol 43
Angka Resistensi (%) Ciprofloxacine 22
Antibiotik pada Anak-anak dan Dewasa
Gentamicin 18
Cotrimoxazole1 45,0
Cefotaxime 12
Penicilin non-susceptible1 24,0
1
Study in Semarang and Surabaya, 2001. Samples from rectal and nasal
Chloramphenicol2 6,0
swabs, with a total of 5,535 E. coli strains from 3,284 individuals.
Tetracycline1 5,0
Sulfamethoxazole2 3,5
Erythromycin 1
1,0 Tabel 10 menunjukkan berbagai antibiotik yang telah resisten terhadap E. coli di
Indonesia. Seorang pasien dengan infeksi bakteri umum seperti bakteremia, infeksi
1
Farida et al. Population-based survey in Semarang, Indonesia 2010. Samples from
Nasopharyngeal swabs included 243 healthy children aged 6–60 months and 253 healthy adults
saluran kemih (ISK), kolesistitis, diare, meningitis neonatal, dan infeksi klinis lainnya
aged 45–70 years. Findings showed that the prevalence of S pneumoniae carriage was 27% (95% (termasuk Pneumonia) memiliki
CI: 20–32), among children was 43% (95% CI: 32–50) and among adults was 11% (95% CI: 5–15) 73% kemungkinan tidak menunjukkan perbaikan jika diterapi dengan ampisilin intravena
(34). (IV)
2
Soewignjo et al. Population-based survey in Lombok, Indonesia 1997. Samples from atau intramuskular (IM atau per suntik) atau per oral (kapsul
Nasopharyngeal swabs of 484 healthy children (aged 0-25 months) presented that the prevalence Amoxicillin).
of S pneumoniae carriage was 48% (35).

Tabel 10. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Staphylococcus


Aureus

Staphylococcus Aureus1
Methicillin (MRSA)
Tetracycline
Chloramphenicol
Trimethoprim-sulfamethoxazole
Erythromycin
Gentamicin
Oxacillin
1
Study in Semarang and Surabaya, Indonesia 2001. Samples from rectal and nasal
swabs collected strains S aureus was 362 out of 3,995 individuals.

Dibawah ini, Tabel 9 menunjukkan bahwa Cotrimoxazol bukan lagi antibiotik yang efektif Strain Staphylococcus aureus menunjukkan tingkat resistensi 28% terhadap Methicillin,
karena dan ini adalah masalah yang menyebabkan kematian yang dapat dicegah di rumah sakit
45% dari strain Streptococcus Pneumoniae sudah resisten terhadap Cotrimoxazol. (karena infeksi nosokomial). Strain yang resisten antibiotik membatasi pilihan terapi,
Demikian pula, infeksi seperti otitis media akut, sepsis, atau meningitis bakteri tidak akan membahayakan nyawa, dan menempatkan beban pada sistem perawatan kesehatan. Di
membaik jika diobati dengan Penicilin Non-Susceptible (PNS). Munculnya Penicilin rumah sakit AMR dari S. Aureus bervariasi dari yang terendah 6,6% (Trimethoprim-
Non-Streptococcus Pneumoniae yang rentan (PNSSP) juga membawa tantangan klinis baru sulfamethoxazole) dan tertinggi
(36). Tingkat resistensi 28% (Methicillin) (37). Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) adalah obat yang
6% terhadap kloramfenikol, 5% terhadap tetrasiklin, 3,5% terhadap sulfametoksazol dan sering diresepkan untuk infeksi saluran kemih (ISK). Tetapi 56% E. Coli sekarang resisten
1% terhadap Erythromycin perlu ditindaklanjuti pada tahun 2019-2020, untuk menilai apakah terhadap TMP-SMX sehingga obat ini bukan lagi terapi empiris lini pertama. Tingkat
tingkat resistensi telah meningkat jauh lebih tinggi. resistensi terhadap Chloramphenicol adalah 43%. Ciprofloxacin, pilihan kedua untuk
mengobati ISK, menunjukkan

26 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health


3. Analisis Situasi Health Security •
Security
27
tingkat resistensi 22%. Penggunaan antibiotik dan resistensi yang berlebihan pada termasuk Rabies, Anthrax, Flu Burung, Brucellosis, dan Leptospirosis, dengan Flu Burung
bakteri juga menyebabkan resistensi terhadap golongan antibiotik lain, seperti tingkat dianggap endemik di beberapa bagian Indonesia dan mungkin berisiko tertinggi untuk
resistensi pandemi (Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011).
18% terhadap Gentamisin dan 12% terhadap Cefotaxime. Tes resistensi antimikroba ini
perlu ditindaklanjuti pada 2019-2020, untuk menilai kemungkinan hasil AMR yang jauh lebih
tinggi.

Dalam hal penggunaan antimikroba (Anti-Microbial Usage/AMU), dua pertiga dari


pertumbuhan penggunaan antimikroba di masa depan diperkirakan berada pada sektor
produksi hewan (dua kali lipat pada produksi babi dan unggas). Dalam beberapa dekade
terakhir, intensifikasi produksi hewan telah menyebabkan meningkatnya
penggunaan antimikroba secara keseluruhan. Padahal, penggunaan yang berlebihan
dapat berkontribusi terhadap resistensi antimikroba sehingga membuat pengobatan
menjadi tidak efektif, meningkatkan keparahan penyakit, mengurangi produktivitas dan
menyebabkan kerugian ekonomi.

Selain itu, residu antimikroba yang tidak diinginkan pada produk hewan dan kotoran hewan
akan mencemari tanah dan air dan lingkungan dan berkontribusi pada munculnya dan
penyebaran AMR. AMR merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan kualitas
pangan hewani untuk konsumsi manusia. Tidak terpenuhinya standar residu antimikroba
pada produk makanan hewani juga akan mengurangi potensi sektor peternakan untuk
mengakses perdagangan. Upaya mengatasi AMR memerlukan kerjasama antara sektor
kesehatan manusia dan kesehatan ternak dalam menerapkan praktik untuk meminimalkan
penggunaan antimikroba (38).

Untuk mendukung perjanjian ini, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri


Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 sebagai Amandemen Undang-Undang
Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
14
PK.350 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat-obatan Hewan. Namun, koordinasi dan
kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian dalam Rencana
Aksi Nasional Pemerintah Indonesia (RAN) terkait dengan AMR dan AMU belum optimal.
Untuk meningkatkan kolaborasi tersebut, disarankan agar Komite Pengendalian
Perlawanan Antimikroba (ARCC) dibentuk di Kementerian Pertanian untuk mendorong
koordinasi dan kerja sama yang lebih erat dengan ARCC Kementerian Kesehatan yang
sudah mapan. Idealnya, kedua ARCC akan bergabung menjadi ARCC multi-kementerian,
termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Data terkait AMR dan AMU di Indonesia sangat terbatas dan perlu
ditingkatkan melalui surveilans kesehatan. Hingga saat ini, hanya beberapa penelitian
yang telah dilakukan oleh beberapa laboratorium atau universitas dan tidak ada
laboratorium atau sistem pengawasan AMR /AMU yang terhubung secara nasional untuk
menyediakan data yang representatif secara nasional (39).

3.2. PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI


INDONESIA

Penyakit-penyakit zoonosis adalah penyakit yang menyebar antara hewan dan manusia,
yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Dari 1.415 patogen yang diketahui menginfeksi manusia, 61% adalah zoonotik. Selain
potensi impor penyakit seperti Ebola dan MERS-CoV, penyakit zoonosis prioritas nasional
Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana dapat dikategorikan 2017, 90 kematian dilaporkan di Indonesia karena rabies (Case Fatality Rate rabies adalah
sebagai bencana alam, bencana non-alam dan sosial. Bencana non-alam disebabkan oleh 100% pada hewan dan manusia). Saat ini, dari 34 provinsi, hanya sembilan provinsi yang
insiden atau serangkaian insiden seperti wabah epidemi atau penyakit. Dalam beberapa dinyatakan bebas rabies. Rabies masih endemik di 24 provinsi lain dan baru-baru ini
dekade terakhir, Indonesia telah terkena dampak yang signifikan oleh bencana alam. terdapat penyebaran ke Kalimantan Barat dan lintas batas ke Malaysia. Provinsi yang
Secara khusus, penyakit zoonosis seperti Anthrax, SARS, Flu burung, Rabies dan dianggap bebas rabies adalah: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Leptospirosis, telah menyebabkan kematian pada hewan dan manusia, dengan kerugian Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua (41).
ekonomi sekitar USD 20 miliar dan kerugian ekonomi tidak langsung sebesar lebih dari Pengendalian rabies menghadapi tantangan keterbatasan pendanaan untuk pengendalian
USD 200 miliar (40). Bencana penyakit menular berbeda dari jenis bencana lainnya karena dan pemberantasan lokal, serta kampanye vaksinasi hewan.
mereka meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular selama dan setelah kejadian.
Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan khusus multisektoral dalam bidang mitigasi, Flu Burung. Meskipun kasus flu burung pada manusia terus menurun secara signifikan
perencanaan, dan intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit. sejak tahun 2003, Indonesia masih memiliki jumlah kasus/kematian flu burung H5N1
tertinggi kedua (200/168) setelah Mesir (359/120) dengan Case Fatality Rate sebesar 84%.
Pentingnya koordinasi dan kolaborasi multisektoral dan multi-stakeholder atau pendekatan Data Kementerian Kesehatan menunjukkan penurunan jumlah kasus flu burung yang fatal
One Health untuk secara efektif mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit pada manusia dari 55 kasus (2006) menjadi 2 kasus (2015) dan satu kasus fatal pada tahun
zoonosis diakui di tingkat regional dan global. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 30 2017. Namun, menurut CDC
Tahun 2011 tentang Pengendalian Penyakit Zoonosis dengan Peraturan Presiden Nomor 24/7: Saving Lives, Protecting People, Indonesia, Vietnam dan Mesir telah melaporkan
116 Tahun 2016 menekankan pentingnya pengembangan strategi yang efektif untuk jumlah kasus tertinggi dari kasus yang ditemukan di 15 negara sejak November 2003 (42).
mencegah, mendeteksi dan merespon zoonosis dan EID. Saat ini, zoonotik dan EID tidak Penurunan signifikan kematian dan kasus flu burung pada manusia di Indonesia disebabkan
terdaftar sebagai prioritas nasional. Peraturan Presiden saat ini juga belum memberikan oleh intervensi ekstensif untuk meningkatkan surveilans terhadap H5N1 (High Pathogenic
pedoman yang jelas untuk koordinasi dan kolaborasi antarkementerian/lembaga untuk Avian Influenza/HPAI), deteksi penyakit dan diagnosis laboratorium, pencegahan dan
mengatasi ancaman health security. pengendalian; yang sekarang diperluas untuk mendeteksi penyakit hewan yang tidak
terdiagnosis dan EID. Pendekatan One Health membutuhkan peningkatan layanan
Rabies. Rabies masih menjadi penyakit zoonosis prioritas karena dampaknya terhadap kesehatan hewan dan penguatan kolaborasi antara sektor peternakan, kesehatan
sosio- ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2015, dunia menyerukan tindakan masyarakat, kesehatan satwa liar, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan produsen
dengan menetapkan tujuan nol kematian akibat rabies pada tahun 2030 di seluruh dunia. unggas termasuk petani kecil (43).
Pada tahun
28 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
3. Analisis Situasi Health Security •
Security
29

Penelitian berbasis bukti. Sejak tahun 2006, USAID telah mendukung upaya Indonesia 2009-2017 menunjukkan terdapat 225 kasus antraks, dengan puncak kasus pada manusia
untuk mengatasi penyakit zoonosis seperti flu burung dan mencegah, mendeteksi dan (52 kasus) pada tahun 2016 dan jumlah kematian tertinggi (3 kasus) pada tahun 2014.
merespon ancaman penyakit yang muncul melalui pendekatan One Health. Dukungan Anthrax dapat dikendalikan setelah aktivitas surveilans secara intensif dilakukan di
yang diberikan ditujukan untuk memperkuat sistem surveilans dan diagnostik serta daerah-daerah endemik bahkan selama peringatan hari raya keagamaan (Idul Fitri, Idul
membangun kapasitas di berbagai bidang teknis dan program. Pendekatan One Health, Adha, Natal) dan hari-hari besar lainnya saat konsumsi daging meningkat. Upaya
termasuk “Four Way Linking” (koordinasi antara hewan dan laboratorium manusia pengendalian juga disertai dengan layanan program vaksinasi ternak. Provinsi yang
ditambah pengawasan hewan dan manusia), telah diujicobakan melalui proyek Flu dianggap endemik untuk Anthrax adalah: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa
Burung. Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan Yogyakarta (44–46).
DGLAHS-FAO USAID dan EPT-2, serta Kemitraan Australia Indonesia. Salah satu
kegiatannya adalah untuk memperkuat sistem informasi kesehatan hewan dan sistem Leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut yang disebabkan oleh bakteri
surveilans kesehatan masyarakat. Peningkatan sistem informasi kesehatan hewan Leptospira yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama
nasional (iSIKHNAS) memiliki potensi untuk memperkuat manajemen kegawatdaruratan di daerah yang rawan banjir. Penyakit ini bisa berakibat fatal. Pada periode 2009 dan 2016,
dan meningkatkan penggunaan informasi untuk mendukung surveilans kesehatan kasus Leptospirosis tertinggi terjadi pada tahun 2011 dan kemudian menurun pada
masyarakat, pengiriman layanan kedokteran hewan, pengembangan kebijakan dan tahun 2015, sebelum meningkat kembali secara dramatis pada tahun 2016 (45). Kejadian
advokasi. Kapasitas inti layanan kesehatan hewan mulai dari sistem informasi, Luar Biasa (KLB) Leptospirosis dilaporkan terjadi di Kota Baru, Kalimantan Selatan pada
leadership, dan operasional karantina juga diperkuat. Demikian juga dengan dukungan tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di Jawa Tengah dan DKI Jakarta setelah kota-kota ini
pelatihan di bidang kesehatan hewan dan pelatihan non-teknis tentang perencanaan dan dilanda banjir. Saat ini, tidak ada kebijakan dari Kementerian Kesehatan untuk pemberian
advokasi juga diberikan di tingkat daerah (42). pengobatan massal mengingat Leptospirosis relatif mudah disembuhkan dengan antibiotik
apabila didiagnosis secara dini (47).
Anthrax. Anthrax merupakan bahaya/risiko bagi petani, peternak, penjagal dan pekerja
yang memproses rambut, wol dan produk tulang. Petani dan peternak dapat terinfeksi oleh Brucellosis. Kasus Brucellosis pertama di Indonesia, yang disebabkan oleh Brucella
Anthrax melalui sistem kulit, saluran cerna dan pernapasan. Data dari Kementerian Abortus terdeteksi pada tahun 1915 pada sapi di Jawa. Saat ini, ternak ternak Indonesia
Kesehatan tahun masih belum bebas Brucella. Dari 34 provinsi, hanya 8 provinsi yang dianggap bebas dari
Brucellosis hewan, yaitu Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, adalah 13%. Penelitian di Kabupaten Garut pada tahun 2016 menunjukkan prevalensi
Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan semua pulau Brucella Sero di antara 57 pekerja peternakan sapi perah sebesar 7,2% (48). Pencegahan
Kalimantan (48). Sebuah studi tahun Brucellosis dapat dilakukan dengan vaksinasi ternak, namun penelitian yang sama
1995 menemukan bahwa prevalensi Brucellosis di antara pekerja rumah potong sapi di menemukan bahwa hanya
Jakarta 10,5% sapi perah yang telah
divaksinasi.

Pengendalian Brucellosis pada ternak sapi sangat sulit. Meskipun petani dapat
menerima kompensasi, petani daging sapi di Jawa enggan untuk menyisihkan ternak
yang positif Brucellosis dan tetap menjual hewan tersebut di pasar. Padahal ini dapat
menyebabkan penularan Brucellosis ke kawanan yang tidak terjangkit dan membuat
kontrol penyakit sangat sulit (48). Namun, di Sumatera skema kompensasi Brucellosis
memberikan hasil yang lebih baik, di mana semua provinsi sekarang bebas Brucellosis
kecuali Aceh. Baru-baru ini, proyek Fase AIP-EID 2 (2015-2018) telah memperkuat
manajemen kegawatdaruratan dan penggunaan informasi untuk mendukung pengawasan
kesehatan masyarakat. Laporan proyek menunjukkan adanya kekurangan dokter hewan di
semua wilayah, kebutuhan untuk memulai Program Pelatihan Epidemiologi Lapangan
untuk Dokter Hewan (FETPV), kebutuhan untuk melakukan pelatihan tentang algoritma,
SOP pengumpulan spesimen, pengemasan dan transportasi, cara- cara untuk mengelola
mutasi sumber daya manusia di tingkat pemerintah daerah; dan sumber untuk
mengoperasikan sistem informasi laboratorium terkoneksi dengan basis data primer di
iSIKHNAS (49).

3.3. KEAMANAN
PANGAN

Keamanan pangan adalah tanggung jawab bersama lainnya yang membutuhkan partisipasi
aktif dan kolaborasi sejumlah pemain di sepanjang rantai makanan, dari produsen utama
hingga konsumen. Hubungan antara makanan dan kesehatan, dan risiko keamanan
pangan, telah menerima banyak perhatian dalam dekade terakhir (50). Pada tahun 2010,WHA
ke-63 mengadopsi resolusi untuk memajukan keamanan pangan, yang mengharuskan WHO
untuk: (i) memberikan data bukti tentang penurunan risiko kesehatan makanan di
sepanjang rantai makanan; (ii) meningkatkan kolaborasi lintas sektor internasional dan
nasional dalam komunikasi dan advokasi risiko; dan (iii) memberikan kepemimpinan dan
membantu memperkuat sistem nasional yang berbasis risiko dan terintegrasi untuk
keamanan pangan (51). Sementara, kebijakan keamanan pangan ASEAN ditujukan untuk
semua sektor yang terkait dengan jaminan dan pengendalian keamanan pangan, termasuk
pertanian, kesehatan, industri dan perdagangan. ASEAN juga telah mengakui peran
AMR/AMU pada kesehatan manusia dan hewan ternak dan mengembangkan pedoman
untuk penggunaan antimikroba yang rasional dalam peternakan (52).

Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Indonesia memiliki banyak peraturan terkait


dengan keamanan pangan antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang pelabelan makanan, Peraturan
Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 1096 Tahun 2011 tentang kebersihan dan sanitasi makanan,
Permenkes Nomor 1098
Tahun 2011 tentang Kebersihan dan Sanitasi untuk Restoran, Permenkes Nomor 942 Tahun
2011 tentang Kebersihan dan Sanitasi untuk Pedagang Kaki Lima, Undang-Undang Nomor
18 Tahun
2012 tentang Pangan, Permenkes Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa
Keracunan Pangan, Permenkes Nomor 43 Tahun 2013 tentang Air Minum Depot
Kebersihan dan Sanitasi dan Permenkes Nomor 492 Tahun 2013 tentang Kualitas Air Minum (53). Namun demikian, kejadian penyakit bawaan makanan masih sering terjadi.

30 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health


3. Analisis Situasi Health Security •
Security
31

Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki insiden wabah tertinggi antara 200 laporan kejadian keracunan makanan yang terjadi di Indonesia setiap tahun. Pada
2014 dan 2016. Makanan yang disiapkan di rumah tangga adalah penyebab utamanya. tahun
Mekanisme untuk mendeteksi dan menanggapi penyakit bawaan makanan dan kontaminasi 2010, ada 429 kasus keracunan makanan yang dilaporkan, jumlah yang jauh lebih besar dari
apa
makanan masih belum berfungsi sepenuhnya. Koordinasi di tingkat pusat, antara
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nasional (BPOM) dan
Kementerian Pertanian masih belum memadai. Di tingkat nasional dan daerah, masing-
masing kementerian/lembaga memiliki rencana strategisnya sendiri-sendiri untuk
memastikan keamanan pangan.

Kementerian Kesehatan sudah memiliki sistem peringatan dini dan respons


peringatan (EWARS) untuk pemantauan dan respon terhadap wabah. Setelah menerima
berita tentang wabah penyakit bawaan makanan, tim respon cepat daerah dengan supervisi
dari tingkat pusat akan melakukan penyelidikan epidemiologi (melibatkan ahli epidemiologi,
entomologi, petugas medis, sanitarian, petugas laboratorium dan pengawas makanan),
dan juga menyediakan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian. Direktorat
Kesehatan Lingkungan akan mengidentifikasi dan mengkonfirmasi agen etiologi dan
sumber-sumber wabah, dan kemudian melaksanakan tindakan korektif, memantau dan
mengevaluasi kebersihan dan sanitasi makanan sesuai dengan pendekatan mereka.
Namun, koordinasi multisektoral saat ini masih belum efisien. Platform jejaring formal
tidak memfasilitasi peningkatan dalam komunikasi dan berbagi informasi. Investigasi
lingkungan, makanan dan laboratorium tidak terhubung secara optimal, dan profil risiko
masalah keamanan pangan memerlukan perhatian lebih lanjut (31).

Kasus-kasus keamanan pangan. Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan


Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat wajib bagi setiap produsen makanan untuk
memenuhi persyaratannya. Secara umum, tingkat penerimaan dan penerapan/penegakan
pedoman standar SNI masih rendah. Hal ini menjelaskan mengapa 59% produk makanan
Indonesia ditolak untuk masuk ke Amerika Serikat, Australia dan lainnya. Sekitar 27% dari
produk makanan ini disinyalir mengandung salmonela (54). Secara total, terdapat 7.487
kasus dengan 20 kematian yang disebabkan oleh makanan antara tahun 2014-2016 dan
lebih banyak kejadian lagi dilaporkan pada tahun 2015-2016. Masalah umum keamanan
pangan terkait dengan penggunaan aditif dalam makanan, zat tambahan seperti melamin
dalam susu formula, susu kental manis yang mengandung susu sangat sedikit, patogen
yang muncul seperti Enterobacter Sakazakii, ikan sarden kalengan yang terkontaminasi
dengan cacing pita, dan kemasan plastik beracun. Makanan yang diproduksi di rumah adalah
penyebab nomor satu wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan (46,9%), diikuti oleh
makanan katering (18,9%), dengan E. Coli sebagai agen penyebab bakteri patogen yang
paling umum (74,9%). Faktor yang berkontribusi adalah waktu memasak yang tidak
memadai dan suhu penyimpanan yang tidak sesuai. Pemantauan intensif pengolahan
makanan sangat penting untuk menentukan apakah penanganan makanan memenuhi
standar keamanan pangan yang ditentukan (53).

WHO mengidentifikasi total 31 agen berbahaya (termasuk virus, bakteri, parasit, racun dan
bahan kimia) yang menyebabkan 600 juta kejadian berbahaya dan 420.000 kematian akibat
makanan. Penyebab diare termasuk Norovirus, Salmonela Enterica, Campylobacter dan
E.coli. Penyebab utama kematian akibat penyakit yang ditularkan melalui makanan
adalah Salmonella Typhi, Taenia Solium, virus Hepatitis A dan aflatoksin. Kasus
kematian makanan akibat keracunan makanan terus meningkat. Survei Konsumsi Makanan
Individu 2014 (SKMI) menemukan sekitar
yang dilaporkan oleh provinsi (diperkirakan hanya 63%). Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia harus berhati-hati terhadap beberapa virus paling mematikan seperti Ebola
dan BPOM menunjukkan bahwa penyebab keracunan makanan sulit ditentukan. Sebanyak (tingkat kematian rata-rata 50%), Marburg, Hantavirus, Lassa, Rabies, Plak, Cacar, Deman
53% dari penyebab wabah pada tahun 2009 tidak diketahui dan menurun menjadi 13% berdarah, Flu Burung, SARS dan MERS (tingkat kematian 36%), dan Virus Nipah (Malaysia
pada tahun 2013. Enam puluh persen dari wabah keracunan makanan dianggap tahun 1998), sebagai patogen yang merupakan ancaman permanen bagi kesehatan
disebabkan oleh bakteri, tetapi tidak ada konfirmasi laboratorium bahwa bakteri adalah masyarakat di Indonesia (56). Balitbangkes bertanggung jawab untuk menangani patogen
penyebabnya (53). berisiko tinggi tersebut. Kasus manusia yang terinfeksi virus burung (A / H5N1) pernah
dilaporkan sebagian besar terjadi di Asia Tenggara sejak 2003, sebelum kasus manusia
pertama di Indonesia dilaporkan pada 2005; dan lebih lanjut 191 kasus infeksi (dimana 159
3.4. KEAMANAN HAYATI (BIOSAFETY) DAN kasus mengakibatkan kematian), dilaporkan pada bulan Agustus 2012. Angka kasus
BIOSEKURITI kematiannya (CFR) adalah yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain yang
melaporkan lebih dari 100 kasus infeksi tersebut. Juga, ada kekhawatiran tentang
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan kemungkinan wabah dan kematian di Indonesia dan di dunia ketika virus berubah
telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kementerian menjadi tipe flu baru dengan kemampuan infeksi yang kuat karena virus menyebar luas
Pertanian sebagai komitmen untuk mematuhi keamanan hayati (biosafety) dan praktik di antara manusia (31). Pemerintah perlu bersiap apabila terjadi wabah penyakit ini
biosekuriti laboratorium. Namun, belun ada studi Kementerian Kesehatan mengenai misalnya dengan memiliki rencana untuk akses cepat ke vaksin internasional, obat-obatan
biosafety dan biosekuriti (43). Sebaliknya, sejak tahun 2016 Kementerian Pertanian dan bahan- bahan lainnya. Dalam kasus pandemi yang secara tidak terduga terjadi,
bekerja sama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases seringkali obat-obatan yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri. Hal ini merupakan
(ECTAD) telah melakukan serangkaian intervensi biosekuriti yang efektif untuk mengurangi masalah krusial saat wabah H1N1 terjadi, di mana negara-negara yang terkena tidak
risiko virus flu burung dan untuk mengendalikan AMR pada hewan dan manusia. Indonesia memiliki sistem untuk mengizinkan vaksin atau obat-obatan yang belum teruji di negara
memiliki lebih dari 13.000 laboratorium klinis manusia, hewan, dan penelitian termasuk mereka untuk masuk.
laboratorium Biosafety Level (BSL) -3 (direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia). Sejak tahun 2010, seharusnya Balitbangkes melakukan penelitian termasuk Hasil JEE menegaskan bahwa persyaratan biosafety dan praktik biosekuriti laboratorium
identifikasi dan karakterisasi virus flu burung, serta penyakit menular yang muncul yang bertanggung jawab belum terpenuhi. Indonesia memperoleh skor 3 (‘tahap
(emerging) dan muncul kembali (re-emerging). Untuk itu, perlu dirumuskan langkah- pengembangan kapasitas’) untuk target JEE Tool #6.1 dan juga skor 3 untuk target #6.2
langkah untuk memitigasi risiko dalam hal biosafety baik bagi staf laboratorium dan untuk (Tabel 7). Interpretasi skor
masyarakat secara umum (55). 3 untuk target #6.1 berarti bahwa sistem biosafety dan biosekuriti pemerintah belum
tersedia
32 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
3. Analisis Situasi Health Security •
Security
33

untuk fasilitas manusia, hewan, dan pertanian.Temuan juga menunjukkan bahwa Indonesia prioritas karena kurangnya pengetahuan tentang insiden; pergantian staf yang tinggi; dan
telah menyelesaikan regulasi, menggunakan dukungan teknis dari profesional, memiliki kesulitan penilaian aktif seluruh laboratorium karena kondisi geografis (31).
prosedur pengendalian yang tepat diawasi oleh National Authority for Containment (NAC),
memiliki satu Emergency Operating Center (EOC) di Jakarta, dan telah membuat Skor 3 dari target JEE #6.2 berarti bahwa pelatihan dan praktik biosafety dan biosekuriti
laboratorium Biosafety Level tiga (BSL3) bersertifikat yang tersedia untuk manusia dan belum sepenuhnya tersedia untuk fasilitas manusia, hewan, dan pertanian. Meskipun,
hewan, dengan panduan kelembagaan lokal untuk biosafety (31). Namun, Kementerian beberapa produk telah dihasilkan, masih diperlukan penyelesaian dan adaptasi pedoman
Kesehatan perlu menindaklanjutinya dengan: nasional, rekrutmen lebih banyak pelatih bersertifikat terutama di sektor hewan untuk
a. menginstruksikan kewajiban pelaksanaan pedoman nasional untuk biosafety memenuhi kebutuhan staf terlatih (31). Biosafety yang baik, biosekuriti laboratorium dan
dan biosekuriti; praktik-praktik pengendalian biologis sangat penting untuk keamanan publik. Praktik
b. menetapkan rencana risiko bio-strategis nasional; laboratorium yang bertanggung jawab, termasuk perlindungan, kontrol, dan
c. menetapkan sistem untuk pemantauan aktif dan pengelolaan inventaris patogen pertanggungjawaban atas bahan biologis yang berharga akan membantu mencegah
terbaru dalam fasilitas yang menyimpan/memproses patogen dan racun akses tidak sah, kehilangan, pencurian, penyalahgunaan, atau pelepasan yang
berbahaya; disengaja; dan berkontribusi untuk melestarikan ilmu pengetahuan untuk generasi
d. menerapkan undang-undang biosafety dan biosekuriti nasional yang komprehensif; mendatang (31).
e. mengembangkan dan menerapkan lisensi laboratorium;
f. mengembangkan dan mengimplementasikan tindakan pengendalian
patogen (pengendalian fisik, penanganan operasional, dan sistem 3.5. PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN
pelaporan kegagalan pengendalian); IMUNISASI
g. memulai konsolidasi patogen dan racun berbahaya di sejumlah fasilitas;
h. mulai mendukung diagnostik yang menghalangi kultur patogen berbahaya; dan Pada tahun 1974, program peningkatan imunisasi WHO (EPI) merekomendasikan enam
i. mulai menerapkan pengawasan pengawasan dan mekanisme penegakan hukum. vaksin untuk melindungi terhadap enam penyakit: Tuberkulosis (BCG), Difteri, Tetanus,
Pertusis (vaksin DTP), Campak dan Poliomielitis. Saat ini, ada lebih dari sepuluh penyakit
Selain itu, kesadaran dan komitmen para pemangku kepentingan juga masih rendah. yang dapat dicegah oleh vaksin: 1) virus Hepatitis akut, 2) bakteri Meningitis (termasuk
Beberapa bahkan menganggap bahwa biosafety dan biosekuriti adalah isu yang tidak Haemophilus Influenzae tipe b (Hib), Neisseria Meningitidis, dan Streptococcus
Pneumoniae), 3) Difteri, 4) Campak, 5) Gondok, 6) Tetanus Neonatus, 7) Pertusis (batuk WHO juga merekomendasikan standar pengawasan untuk penyakit yang dapat dicegah
rejan), 8) Poliomielitis, 9) Rubella dan sindrom rubella kongenital, 10) Demam kuning, dan dengan vaksin. Sistem pengawasan yang efektif mencakup fungsi: (a) deteksi dan
11) Japanese Encephalitis (57). pemberitahuan peristiwa kesehatan; (b) pengumpulan dan konsolidasi data terkait;
(c) investigasi dan konfirmasi (epidemiologi, klinis dan/atau laboratorium) dari kasus atau
wabah; (d) analisis rutin dan pembuatan laporan; (e) umpan balik informasi kepada
penyedia data; dan (f) umpan maju (penyampaian data ke tingkat pusat). Di sisi lain, banyak
Dinas Kesehatan yang tidak memiliki staf terlatih untuk mengumpulkan,
mengkonsolidasikan dan menggunakan data untuk perencanaan di wilayah mereka sendiri.
Secara keseluruhan, efektivitas sistem pengawasan saat ini tampak di bawah standar dan
tidak diketahui apakah pengumpulan untuk spesimennya memenuhi standar, atau alat untuk
komunikasi, transportasi dan spesimen kit tersedia (58). Padahal, kebutuhan untuk
surveilans penyakit meningkat seiring dengan ancaman EID.

Pada tahun 2016, terdapat 129 wabah campak, dengan total 1.511 kasus, jauh lebih
tinggi daripada tahun 2015 (68 wabah campak dengan total 831 kasus). Kasus Chikungunya
menurun dari 2.282 kasus (2015) menjadi 1.702 kasus pada tahun 2016. Kasus Difteri
meningkat dari 252 kasus pada tahun 2015 menjadi 415 kasus pada tahun 2016. Case Fatality
Rate (CFR) adalah nol; catatan menunjukkan bahwa 37% dari 252 kasus pada tahun 2015
dan 51% dari 415 kasus pada tahun 2016 adalah Difteri di antara anak-anak tanpa vaksinasi
(44,45). Pengawasan Acute Flaccid Paralysis (AFP) bergantung pada pelaporan dan
konfirmasi laboratorium melalui isolasi virus polio dari tinja. Namun, konfirmasi
laboratorium masih menjadi masalah di Indonesia karena keterlambatan dalam
pengumpulan dan pengujian sampel. Implikasinya adalah akan selalu ada deteksi tertunda
wabah Polio. Meskipun tingkat pengumpulan tinja mencapai 80% selama tiga tahun
berturut-turut, status bebas membutuhkan tingkat AFP non-polio setidaknya 1 per 100.000
anak di bawah 15 tahun (57).

Sejak tahun 2011, terjadi penurunan tingkat lumpuh layu akut (Acute Flaccid Paralysis/AFP)
non- polio- yang disebabkan oleh penyakit selain poliomielitis - dengan tingkat AFP
mencapai 2,04 pada tahun 2015. Namun, pada tahun 2005 hanya 33% kasus polio yang
dapat dikonfirmasikan meskipun pelaksanaan test tinja kasus AFP mencapai 82%. Angka
AFP non-polio yang tinggi, merupakan indikasi kelemahan dalam sistem surveilans. Dan
membahayakan kualitas pengendalian dan pemberantasan polio (57)(Tabel 19).

Cakupan imunisasi lengkap adalah indikator kunci pembangunan kesehatan. Permenkes


Nomor
42/2013 mendefinisikan imunisasi dasar lengkap apabila seorang anak menerima dosis
Hepatitis B (dosis kelahiran), dosis vaksin BCG; tiga dosis vaksin DPT-HB (atau DPT-HB-Hib);
empat dosis vaksin polio (polio 1-4); dan satu dosis vaksin campak. Data SDKI 2017
menunjukkan peningkatan imunisasi lengkap dari 52 persen (2002/2003) menjadi 70 persen
(2017). Perbedaannya mungkin karena definisi yang berbeda. Imunisasi lengkap dalam
SDKI 2017 mengacu pada anak-anak yang menerima BCG, DPT1-3, polio 1-3, dan vaksinasi
campak saja. Imunisasi polio pada SDKI
2012 hanya melaporkan tiga vaksinasi, sedangkan pada SDKI 2017 dilaporkan untuk tiga
dan empat kali vaksinasi (59). Melihat distribusi per provinsi, cakupan DTP, Hib dan Hep
B3 masih rendah (dibawah 70%) di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Utara dan
Papua. Daerah- daerah ini perlu dimonitor secara ketat terutama untuk anak-anak yang
tidak punya akses ke imunisasi. Hanya sebagian kasus anak tidak vaksinasi yang
disebabkan karena keraguan vaksin atau kehabisan stok vaksin. Factsheet EPI WHO-SEARO
Indonesia 2016 juga menyoroti bahwa
34 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health 90% pengadaan vaksin rutin dibiayai oleh pemerintah; dan 88% pengeluaran
Security
untuk program imunisasi rutin dibiayai oleh pemerintah pusat. Dari 514
kabupaten, 375 (73%) kabupaten memiliki cakupan >80% untuk DTP-Hib-HepB-3,
dan 263 (51%) kabupaten memiliki cakupan
>90% untuk MCV1 (57).

4.
TANTANGAN
DAN ISU STRATEGIS

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT


(Public health functions) dAN health
security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
36 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
37

4.1. KINERjA DAN PERMASAlAHAN PEMBANGUNAN


KESEHATAN

Selama beberapa dekade terakhir, terjadi perbaikan kesehatan masyarakat secara


signifikan di Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa indikator seperti penurunan
kematian ibu, penurunan kematian bayi, penurunan kejadian penyakit menular terutama
yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan membaiknya status gizi masyarakat secara
umum. Namun, ada indikasi bahwa laju perbaikan kesehatan masyarakat tersebut
mengalami stagnansi selama satu dekade yang lalu terutama selama 5 tahun terakhir,
yaitu sejak dilaksanakannya JKN pada tahun 2014. Ada empat area yang perlu dilihat
dalam mengevaluasi kinerja pembangunan kesehatan, yaitu (1) kinerja upaya kuratif,
(2) kinerja upaya promotif dan preventif, (3) kinerja intervensi yang bersifat lintas
sektor, dan (4) kinerja penguatan sistem kesehatan.

Gambar 3. Pendekatan dan Kebijakan Komprehensif untuk Pembangunan Kesehatan

Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Dalam upaya kuratif yang juga disebut Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP), kebijakan yang diambil adalah mengembangkan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dengan tiga area target: (i) mencapai cakupan kepersertaan
semesta atau UHC (Universal Health Coverage), (ii) memberikan pelayanan secara
komprehensif, dan (iii) menghilangkan beban finansial rumah tangga untuk berobat –
yang sering out-of-pocket payment (OOP). Target pertama cukup berhasil karena
kepesertaan JKN saat ini mencakup sekitar 200 juta (dari 256 juta penduduk). Namun, masalah besar karena peningkatan suplai pelayanan (akses dan mutu) tidak sebanding
penyediaan pelayanan masih menghadapi dengan kenaikan jumlah peserta, terutama di daerah terpencil, perbatasan dan
kepulauan (DTPK). Tingkat OOP masih sekitar 45%, belum menunjukkan penurunan yang
signifikan sejak JKN dimulai pada tahun 2014. Masalah lain yang dihadapi dalam
pelaksanaan JKN adalah defisit anggaran BPJS yang terus meningkat.Tantangan yang
dihadapi adalah meningkatnya penyakit tidak menular yang memerlukan intervensi medis
yang lebih canggih, lebih spesialistik dan berbiaya mahal.

Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Kinerja UKM belum memuaskan dan ada
kecenderungan penurunan. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator antara lain
angka stunting yang tidak turun secara signifikan, kejadian outbreak difteri pada tahun
2017-2018, jumlah kasus Tuberkulosis yang sangat tinggi – terbesar nomor 2 di dunia
setelah India, dan outbreak penyakit-penyakit lama seperti rabies di Flores dan
leptospirosis di beberapa tempat. Sementara itu, ancaman epidemi dan pandemi
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui binatang (zoonosis) semakin nyata sebagai
konsekuensi meningkatnya mobilitas manusia, hewan dan barang antar negara dan
antara daerah. Tantangan lain adalah meningkatnya penyakit tidak menular seperti
hipertensi, diabetes melitus, gangguan jiwa dan kecelakaaan lalu lintas yang juga
menunjukkan lemahnya fungsi UKM untuk mencegah permasalahan
kesehatan
tersebut.

Kecenderungan penurunan kinerja UKM merupakan salah satu implikasi dari penerapan
JKN pada tahun 2014. Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 menyebutkan bahwa “fasilitas
pelayanan kesehatan dasar (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/FKTP) adalah kesehatan
fasilitas yang memberikan perawatan kesehatan individu non-spesialis untuk tujuan
observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau jenis layanan kesehatan lainnya”
dan pada pasal 1 ayat (3), FKTP mendapatkan dana kapitasi “jumlah pembayaran
bulanan prabayar ke FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar terlepas dari jenis
dan jumlah layanan kesehatan yang disediakan”. Dana kapitasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk jasa pelayanan tenaga kesehatan (60%) dan biaya operasional
layanan kesehatan (40%). Tujuan awal dari dana kapitasi ini adalah untuk menyediakan
dana yang fleksibel di puskesmas untuk mendapatkan logistik yang dibutuhkan, untuk
menutupi biaya pemeliharaan, merekrut tenaga kontrak yang dibutuhkan, dan untuk
melakukan kegiatan inovatif lainnya. Namun, saat ini dana kapitasi JKN dipandang
sebagai insentif bagi tenaga kesehatan di puskesmas untuk memberikan layanan
kuratif. Akibatnya, saat ini staf puskesmas mengalihkan perhatiannya dari kegiatan
penjangkauan preventif promotif dan berkonsentrasi pada pelayanan kuratif dan
terjadi penurunan kuantitas dan kualitas kegiatan UKM.

Selain itu, dengan adanya kebijakan otonomi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, puskesmas dapat mengelola dana
kapitasinya sendiri. Dalam waktu yang relatif singkat, hampir semua puskesmas
menciptakan BLUD. Dana BLUD digunakan untuk berbagai hal termasuk untuk mendirikan
bangsal bersalin baru meskipun mereka tidak memiliki bidan terlatih untuk perawatan
obstetrik dan bayi baru lahir dasar (BEmONC). Puskesmas saat ini berada di bawah
pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 menyatakan
bahwa kepala daerah (Bupati atau Walikota) bertanggung jawab atas penggunaan
anggaran BLUD ini. Pada akhirnya, penggunaan dana ini berada di bawah kendali
Bupati/Walikota bukan pengelola program kesehatan sehingga pemanfaataannya menjadi
kurang optimal untuk perbaikan pelayanan kesehatan terutama UKM.
38 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
39
Upaya lintas sektor. Konsep “pembangunan berwawasan kesehatan” belum terlaksana kota sangat tergantung pada dana transfer dari pusat. Sementara itu, porsi belanja
dengan baik walaupun sudah ada kebijakan dan regulasi yang menekankan pentingnya pegawai dalam belanja daerah sangat besar, yaitu rata-rata 46% dari APBD. Sisanya
peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. Hal ini ditandai antara lain dengan dipergunakan untuk membiayai urusan wajib daerah antara lain untuk enam SPM
meningkatnya kasus pneumonia di Sumatera dan Kalimantan akibat asap dari pelayanan dasar; belanja empat urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah, alokasi
kebakaran yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Badan Penelitian dan anggaran pendidikan sebesar 20%, dan belanja pembangunan infrastruktur. Undang
Pengembangan Kesehatan (2017) juga mengungkapkan bahwa Kecelakaan Lalu Lintas Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan desa sebagai sub-unit dari
(KLL) memberi kontribusi beban penyakit (disease burden) pada urutan ke-8. Pada bulan suatu kabupaten, dan mengalokasikan dana dari anggaran nasional sebagai transfer tunai
September 2018, terjadi outbreak rabies di pulau Flores yang diduga karena rendahnya langsung ke desa (sekitar Rp 5,92 triliun (atau USD
cakupan imunisasi rabies pada anjing peliharaan dan anjing liar. Belum lagi kejadian 419 juta) pada tahun 2014. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh sektor kesehatan untuk
pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) dari industri yang membahayakan dapat memberikan saran dan mengadvokasi pemanfaatan dana desa untuk pendanaan
kesehatan penduduk, seperti pencemaran merkuri (Hg) dan bahan B3 lainnya pada badan promosi dan pencegahan kesehatan, pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, atau
air. Kejadian tersebut seharusnya dapat dicegah jika Undang-Undang tentang kewajiban pelatihan. Pelayanan UKM memerlukan jumlah SDM yang cukup dan kompeten
melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dilaksanakan dengan baik. meliputi tenaga kesehatan masyarakat, promosi kesehatan, sanitarian, gizi dan didukung
oleh tenaga analis, dan lembaga sosial masyarakat. Beberapa contoh masalah UKM
Penguatan kapasitas sistem kesehatan. Dalam hal tata kelola, walaupun rumusan mencakup cakupan, akses dan mutu, misalnya sistem rantai dingin (cold chain) dalam
kebijakan kesehatan sudah cukup baik (RPJMN, RPJMD, Renstra) namun keberhasilan program imunisasi. Sementara masalah UKP, akses dan mutu pelayanan primer dan
tata kelola sangat tergantung pada kejelasan peran, tanggung jawab dan kapasitas 514 pelayanan rujukan masih menjadi tantangan, terutama di daerah terpencil dan kepulauan.
kabupaten/kota, khususnya kapasitas 514 Dinas Kesehatan (Dinkes) Kab/Kota dan
kapasitas 9.800 puskesmas yang menjadi eksekutor kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam hal
Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, terjadi permasalahan kronis kekurangan tenaga 4.2. PElAKSANAAN FUNGSI KESEHATAN
dokter spesialis, maldistribusi tenaga dokter, perawat dan bidan, kekurangan dan MASYARAKAT
kekosongan tenaga farmasi, kesehatan masyarakat, gizi, sanitarian dan analis di banyak
puskesmas. Walaupun dari perspektif regulasi sudah cukup landasan hukum untuk pelaksanaan
fungsi- fungsi kesehatan masyarakat, pada tataran pelaksanaan dihadapi banyak
Di bidang obat, 96% bahan baku obat berasal dari impor sehingga biaya produksi masalah dan tantangan. Beberapa hambatan tersebut adalah sebagai berikut:
sangat rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar. Penurunan nilai rupiah pada (1) beberapa peraturan perundangan tersebut belum diuraikan lebih operasional ke
tahun 2018 memukul industri farmasi. Terjadi kenaikan biaya produksi sementara harga dalam peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
jual tidak mudah dinaikkan dan ditentukan oleh Kementerian Kesehatan. Ditambah Peraturan Menteri, dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria/NSPK);
dengan terlambatnya pembayaran klaim Indonesia Case Based Groups (INACBGs) kepada (2) belum jelasnya unit organisasi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
rumah sakit (RS), maka terjadi kekurangan obat di RS. Solusi di banyak RS adalah dalam peraturan tersebut, termasuk organisasi dan kordinasi lintas sektor;
membebankan biaya obat kepada pasien (resep). Keadaan ini adalah salah satu sebab (3) belum siapnya sumber daya manusia, khususnya pada tataran pelaksana lapangan;
masih tingginya OOP untuk obat walaupun JKN sudah dilaksanakan. dan
(4) belum jelasnya mekanisme pembiayaan untuk pelaksanaan peraturan
Di bidang penelitian dan sistem informasi, survei berkala seperti Survei Sosial perundangan tersebut (sumber, tatacara alokasi, dan indikator kinerja keuangan).
Ekonomi Nasional (Susenas), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Riset Fasilitas Kesehatan
(Risfaskes), Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes), Survei Penduduk Antar Sensus a. Penguatan Sistem
Surveilans
(Supas), dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyediakan data
berbasis populasi yang sangat membantu penyusunan rencana dan evaluasi
jenis surveilans. Penyelenggaraan surveilans telah diatur secara rinci dalam
pembangunan kesehatan. Namun, analisis regional terhadap data tersebut belum banyak
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 (PMK-45/2014). Ada 35 jenis
dilakukan. Analisis regional diperlukan untuk merumuskan kebijakan yang bersifat spesifik
kegiatan surveilans yang dapat dikelompokkan menjadi: (1) surveilans penyakit
lokal (bukan kebijakan “one size fit all”).Termasuk dalam fungsi penelitian ini adalah sistem
menular (15 jenis penyakit menular, termasuk penyakit yang menjadi fokus health
surveilans yang belum terlaksana secara rutin oleh unit-unit terkait (puskesmas, RS,
security); (2) surveilans penyakit tidak menular (6 jenis PTM); (3) surveilans kesehatan
Dinkes).
lingkungan (7 jenis); (4) surveilans kesehatan matra (kesehatan haji, bencana dan
masalah sosial dan matra laut/udara); dan (5) surveilans masalah kesehatan lainnya
Dalam hal pembiayaan, masih banyak isu kebijakan dan operasional yang belum
sesuai kebutuhan (9 jenis, diantaranya adalah surveilans gizi dan kualitas
tertata dengan baik. Operasionalisasi ketetapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
makanan). Keseluruhan (35 jenis) surveilans tersebut sudah mencakup keperluan
tentang pembiayaan kesehatan belum diatur lebih lanjut dalam sebuah Peraturan
3 area fokus fungsi kesehatan masyarakat, yaitu (i) menghadapi masalah public
Pemerintah (PP). Masalah lain adalah kecukupan pembiayaan untuk UKM dan UKP
health security, (ii) intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (iii) intervensi UKM
melalui JKN yang efisien dan berkelanjutan. Rendahnya kapasitas fiskal kabupaten/kota
dalam sektor kesehatan.
juga perlu mendapat perhatian. Porsi pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD rata-rata
hanya 10,4% sehingga kabupaten/
40 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
41
Kelembagaan/unit pelaksana surveilans. Dalam pasal 14 PMK-45/2014 ditetapkan diberikan pengetahuan dan keterampilan dasar tentang surveilans sesuai pedoman
bahwa Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan yang telah disusun. Mengingat fungsi kesehatan masyarakat sebagai public
Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan wajib melaksanakan surveilans sesuai goods, pendanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah (APBN dan APBD).
dengan kewenangannya dan lingkup wilayahnya. Pada awal tahun 2000-an Salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan adalah memasukkan peruntukkan
pernah dikembangkan pedoman sistem surveilans berjenjang mulai dari puskesmas penyelenggaraan surveilans kedalam menu Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik
sampai tingkat pusat (Proyek ICDC/ ADB, Dirjen P2PL): (1) TEPUS (Tim Surveilans bidang kesehatan.
Epidemiologi Puskesmas); (2) TERUS (Tim Surveilans Epidemiologi Rumah Sakit);
(3) TEK (Tim Surveilans Epidemiologi Kabupaten); (4) TEP (Tim Surveilans Dukungan laboratorium Kesehatan Masyarakat. Surveilans memerlukan dukungan
Epidemiologi Provinsi); dan (5)TEN (Tim Surveilans Epidemiologi Nasional). Untuk Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) untuk konfirmasi diagnosis
masing-masing Tim tersebut sudah disusun pedoman kerja/petunjuk teknis melalui pemeriksaan mikrobiologi, fisika, kimia dan/atau bidang lain terkait
didukung dengan sistem informasi yang bisa menghubungkan masing-masing kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan (Peraturan Menteri Kesehatan
jenjang secara online. Namun, sayangnya tidak ada kelanjutan dari sistem Nomor 364
surveilans tersebut. Tahun 2003). Labkesmas bisa berupa UPT Dinas Kesehatan di Provinsi dan
Kabupaten. Penguatan Labkesmas sangan esensial untuk menjamin mutu
Surveilans zoonosis. Sebagian besar penyakit yang menjadi masalah public surveilans. Langkah yang perlu diambil adalah melakukan asesmen dan pemetaan
health security adalah penyakit menular yang ditularkan melalui binatang keberadaan Labkesmas dibandingkan dengan standar untuk menyusun rencana
(zoonosis) seperti MERS, SARS, ebola, anthrax, dan virus Nipah. Penyakit- penguatan dan pengembangan Labkesmas di masa datang.
penyakit tersebut menjadi masalah kesehatan manusia dan hewan sekaligus.
Artinya, public health security memerlukan keterlibatan aktif sektor peternakan dan b. Peningkatan Kesiapan Menghadapi Bencana dan Kondisi
pertanian yang juga melakukan surveilans kesehatan hewan. Kerja sama antara Darurat
sektor kesehatan manusia dan hewan tersebut diselenggarakan di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Kerja sama tersebut perlu diatur secara formal antara Kewenangan dan kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkaitan
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian dibawah kordinasi Kementerian dengan bencana dan keadaan emergensi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Kerja sama Nomor 2
dan kordinasi tersebut mencakup: (a) sharing hasil surveilans; (b) merumuskan Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM). Dalam pasal 6 PP
strategi intervensi bersama-sama; (c) implementasi strategi sesuai tugas dan tersebut ditetapkan bahwa SPM Kesehatan mencakup SPM Kesehatan Daerah
kewenangan masing-masing; dan (d) integrasi laporan kinerja intervensi. Provinsi dan SPM kesehatan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis pelayanan dasar pada
SPM Kesehatan Daerah Provinsi tersebut terdiri atas: (a) pelayanan kesehatan bagi
Sumber daya untuk surveilans. Seperti ditetapkan dalam PMK-45/2014, penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana
penyelenggaraan surveilans harus didukung dengan ketersediaan (a) SDM yang provinsi; dan (b) pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar
memiliki kompetensi di bidang epidemiologi; (b) pendanaan yang memadai dan (c) biasa dalaam wilayah provinsi. Ketentuan tentang SPM Kesehatan Daerah
sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk teknologi tepat guna. Kebutuhan Provinsi tersebut sudah mengakomodir fungsi kesehatan masyarakat yang kedua
tenaga surveilans yang kompeten sangat besar karena diperlukan di tingkat pusat, (kesiapan menghadapi bencana dan keadaan emergensi kesehatan). Tantangannya
34 Dinas Provinsi dan 514 adalah pada upaya untuk memperkuat 34 Dinkes Provinsi untuk melaksanakan SPM
Dinas Kabupaten/Kota. Pasal 17 PMK-45/2014 menetapkan kompetensi yang tersebut.
harus dimiliki tenaga surveilans, yaitu sebagai berikut: (a) mampu
menggambarkan situasi dan kecenderungan penyakit dan faktor risikonya; (b) c. Peningkatan Perlindungan
mampu menganalisis kondisi luar biasa penyakit menular dan masalah kesehatan Kesehatan
lain; (c) mampu menganalisis potensi ancaman penyakit, sumber dan cara
Fokus fungsi perlindungan kesehatan ini mencakup: (1) keamanan lingkungan,
penularan serta faktor-faktor yang berpengaruh; dan (d) mampu menyusun rencana
(2) keamanan makanan, (3) keamanan bahan beracun dan berbahaya (B3), dan
tindakan dan respons cepat terhadap faktor resiko, penyakit dan masalah kesehatan
(4) keamanan di tempat kerja (occupational safety). Keamanan lingkungan secara
lainnya.
umum sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor
Dalam tahun 1990-an pernah dilakukan “Field Epidemiology Training Program”
27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
(FETP). Program tersebut perlu direvitalisasi dan dilaksanakan secara intensif agar
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam rangka perlindungan dan
514 Dinkes Kabupaten/Kota, dan 34 Dinkes Provinsi mempunyai tenaga surveilans
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau
yang kompeten. Dalam kebijakan desentralisasi, kinerja pelaksanaan fungsi
kegiatan pembangunan. Amdal merupakan upaya untuk memasukkan dimensi
kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan di tingkat
kesehatan dalam menilai dampak suatu kegiatan usaha dan/atau kegiatan
kabupaten/kota dan provinsi untuk melakukan surveilans dengan baik. Demikian
pembangunan sektor-sektor lain terhadap kesehatan. Lembaga yang bertanggung
pula, tenaga puskesmas dan RSUD perlu
jawab untuk Amdal adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Badan Lingkungan Hidup di provinsi dan kabupaten/kota.
42 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
43

Keamanan pangan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun (a) Kurangnya SDM profesional yang benar-benar memiliki kompetensi
2004, yang menetapkan standar dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan prinsip 3-5 di atas. Sampai tahun 2013, hanya ada 1 (satu)
mencegah kemungkinan adanya cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat Poltekes yang menyelenggarakan program studi promosi kesehatan, yaitu di
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia pada pangan. Tasikmalaya. Sejak
Lembaga yang berwenang melaksanakan peraturan tersebut adalah BPOM. 2014, mulai dibuka pendidikan promosi kesehatan di sebagian besar Poltekes
Namun, dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 ditetapkan bahwa dalam bentuk Program Studi Promosi Kesehatan.
“pengelolaan obat/vaksin, alkes dan makanan” juga menjadi salah satu urusan
yang diserahkan kepada daerah (Dinas Kesehatan). Demikian juga untuk (b) Masih terbatasnya alokasi anggaran untuk promosi kesehatan khususnya di
pengamanan B3, diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun tingkat daerah. Hasil District Health Account (DHA) di puluhan kabupaten/kota
2001. Dalam pasal 28 PP tersebut disebutkan bahwa wewenang pengawasan tahun 2015 mengungkapkan bahwa alokasi untuk Promkes di tingkat
kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan kabupaten/kota hanya sebagian kecil dari total anggaran kesehatan
instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan kabupaten/kota.
dalam hal tertentu, wewenang pengawasan tersebut dapat diserahkan menjadi
urusan daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Peranan promosi kesehatan sangat vital untuk intervensi terhadap determinan lintas
sektor dan determinan dalam sektor kesehatan. Untuk meningkatkan peran
d. Penguatan Promosi promosi kesehatan sebagai salah satu fungsi kesehatan masyarakat yang penting
Kesehatan diperlukan “critical mass” tenaga profesional yang kompeten yang ditempatkan di
Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan juga di
Promosi kesehatan sering sekali direduksi menjadi pendidikan kesehatan (health
puskesmas. Dalam standar ketenagaan puskesmas (Peraturan Menteri Kesehatan
education), yang bertujuan untuk membangun perilaku hidup bersih dan sehat.
Nomor 75 Tahun 2014) memang tidak disebutkan secara spesifik tenaga promosi
Padahal, promosi kesehatan jauh lebih luas dari pada pendidikan kesehatan dan
kesehatan, hanya disebut tenaga kesehatan masyarakat. Padahal, salah satu tugas
tujuannya tidak terbatas hanya untuk merubah perilaku kesehatan. Dalam Ottawa
pokok dan fungsi puskesmas adalah memberdayakan masyarakat (enabling),
Charter (1986) tentang Health Promotion disepakati bahwa promosi kesehatan
membantu masyarakat melakukan Survei Mawas Diri (SMD) dan Musyawarah
terdiri atas 3 kegiatan utama dengan 5 tujuan (atau dikenal dengan prinsip 3-5).
Masyarakat Desa (MMD) melalui mediasi (mediating) dan mempengaruhi kebijakan
publik tingkat kecamatan dan desa (advocating).

Tabel 11. Kegiatan dan Tujuan Promosi Kesehatan


e. Penguatan Tata kelola, Regulasi, Kelembagaan dan
Pembiayaan
Kegiatan Promosi Kesehatan Tujuan Promosi Kesehatan
1. Memberdayakan (enabling) 1. Mengembangkan kemampuan personal Tata kelola dan regulasi. Pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat di Indonesia
(health education) tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi yang diatur dalam Undang-Undang
2. Melakukan mediasi (mediating) Nomor 23
2. Menggerakkan kegiatan masyarakat Tahun 2014 tentang pembagian urusan. Tugas pemerintah pusat adalah
3. Mempengaruhi kebijakan
publik (advocating) 3. Mengembangkan lingkungan yang kondusif/ merumuskan kebijakan dan regulasi yang mengatur fungsi kesehatan
mendukung masyarakat. Semua jenis fungsi kesehatan masyarakat sudah ada landasan
regulasinya, tugas penting berikutnya adalah penyusunan NSPK untuk masing-
4. Re-orientasi pelayanan kesehatan kearah masing fungsi kesehatan masyarakat tersebut sebagai pedoman operasional di
promotif dan preventif tingkat daerah.
5. Mendorong kebijakan pembangunan
berwawasan kesehatan Untuk lebih memperkuat fungsi kesehatan masyarakat di tingkat kabupaten/kota;
fungsi- fungsi kesehatan masyarakat tersebut perlu dimasukkan dalam Sistem
Kesehatan Daerah (SKD) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sehingga
Walaupun hampir dalam setiap kebijakan dan program disebutkan dapat menetap dalam program kesehatan di daerah. Tugas provinsi yang utama
betapa pentingnya promosi kesehatan, dalam praktiknya kegiatan adalah pembinaan dan pengawasan, kecuali tugas menyelengarakan beberapa
promosi kesehatan terbatas pada health education melalui fungsi kesehatan masyarakat seperti: (i) surveilans tingkat provinsi, (ii) kesiapan
berbagai media (media sosial, brosur, poster, dan ceramah). menghadapi bencana dan emergensi tingkat provinsi dan (iii) produksi SDM
Penyebabnya adalah: kesehatan masyarakat, misalnya pengelolaan Poltekkes. Tugas daerah meliputi
empat urusan kesehatan yaitu (i) pelayanan kesehatan (UKM dan UKP) dan
perizinan RS, (ii) pengelolaan SDM Kesehatan, (iii) pengelolalan obat/vaksin/alkes
dan makanan-minuman, dan (iv) pemberdayaan masyarakat. Untuk beberapa UKM
dan UKP tertentu yang bersifat pelayanan dasar, ditetapkan dalam SPM Kesehatan;
yang secara keseluruhan merupakan UKM (fungsi kesehatan masyarakat sektor kesehatan).

44 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health


4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
45

Pada tahun 2018, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Pemerintah (DBHCHT), (ii) dana desa dan (iii) dana Dinas Peternakan (untuk menunjang
(PP) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum Kesehatan (SPM- pembiayaan surveilans zoonosis dan penanggulangannya seperti misalnya
K) yang mewajibkan FKTP untuk mempertimbangkan jenis dan jumlah layanan vaksinasi rabies pada anjing).
kesehatan yang diberikan ketika layanan didanai oleh APBD. Namun, SPM-K tidak
memuat rincian layanan yang akan disediakan atau target yang harus dipenuhi.
Rincian teknis ini harus diatur melalui Permenkes, termasuk rincian dan targetnya.
Penetapan SPM-K bertujuan untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dengan standar layanan minimum
yang dapat dipenuhi oleh pemerintah. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan juga telah menetapkan Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk layanan ini. Layanan dasar dalam SPM-K
adalah kewajiban pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, layanan
kesehatan bagi korban bencana alam dan kejadian luar biasa, termasuk darurat
kesehatan masyarakat global merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi (60).

Kelembagaan di tingkat daerah. Lembaga yang bertanggung jawab


menyelenggarakan fungsi kesehatan masyarakat di tingkat kabupaten/kota adalah
Dinas Kesehatan dan puskesmas. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18
Tahun 2016 sudah ditetapkan organisasi perangkat daerah, termasuk penetapan
puskesmas dan RSUD sebagai UPT Dinas Kesehatan. Tindak lanjut dari PP tersebut
adalah menetapkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Kesehatan, puskesmas
dan RSUD. Dalam konteks memperkuat fungsi kesehatan masyarakat di daerah,
maka dalam perumusan tupoksi Dinas perlu dimasukkan fungsi-fungsi kesehatan
masyarakat. Penyusunan tupoksi Dinas Kesehatan perlu melibatkan Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Asosiasi Dinas Kesehatan, dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi.

Puskesmas adalah ujung tombak pelaksana fungsi kesehatan masyarakat di tingkat


masyarakat. Selain melaksanakan surveilans dan promosi kesehatan,
puskesmas juga menjadi pelaksana UKM dan pelayanan kesehatan dasar yang ada
dalam SPM. Kementerian Kesehatan tengah merevisi Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 75 Tahun
2014 tentang standar puskesmas. Proses revisi tersebut juga perlu
mempertimbangkan pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat.

Pembiayaan. Semua fungsi kesehatan masyarakat bersifat public goods


sehingga menjadi pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kementerian Kesehatan perlu mengalokasikan anggarannya untuk fungsi kesehatan
masyarakat yang menjadi tanggung jawab pusat, misalnya untuk memperkuat dan
mengoperasionalkan Pusat Surveilans dan menyusun NSPK fungsi kesehatan
masyarakat. Demikian juga, APBD provinsi mengalokasikan anggarannya untuk
melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab provinsi,
misalnya untuk kesiapan menghadapi bencana dan emergensi. Di tingkat
kabupaten/kota, kemampuan fiskal daerah perlu mendapatkan perhatian. Secara
nasional, porsi pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD kabupaten/ kota relatif
kecil, yaitu rata-rata hanya 10% sehingga pendanaan di daerah lebih banyak
bergantung pada transfer pusat dalam bentuk DAU, DAK fisik, DAK non fisik
dan dana transfer lain. Ada beberapa peluang untuk mencukupi pembiayaan untuk
fungsi kesehatan masyarakat, yaitu (i) memanfaatkan cukai tembakau milik daerah
f. Pemenuhan SDM untuk Melaksanakan Fungsi Kesehatan Masyarakat UKM tersebut. Hal Ini terkait dengan kebijakan moratorium pengangkatan
tenaga PNS/kesehatan, kecuali tenaga dokter, bidan dan perawat yang
Ada beberapa tenaga professional dengan kompetensi khusus yang diperlukan untuk ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kementerian Dalam Negeri,
pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat, yaitu: Kementerian Keuangan dan Kementerian PAN RB sejak tahun 2011.

(a) Tenaga surveilans epidemiologi yang diperlukan di tingkat pusat untuk mengelola Kebijakan penempatan tenaga ke puskesmas terpencil yang dilaksanakan selama
Pusat Surveilans Nasional, di tingkat provinsi (34 Dinkes Provinsi) dan di tingkat empat tahun terakhir telah membantu melengkapi SDM puskesmas yang berlokasi
kabupaten/kota (514 Dinkes Kab/Kota). Di samping itu, perlu tenaga terlatih untuk di DTPK. Namun, data menunjukkan bahwa puskesmas yang tidak berada di DTPK
melakukan surveilans ditingkat puskesmas (ada 9.800 puskesmas) dan RSUD (514 juga kekurangan tenaga pelaksana UKM/fungsi kesehatan masyarakat tersebut.
RSUD Kabupaten/Kota dan 34 RSUD Provinsi). Sebagai contoh, dari 101 puskesmas di Kabupaten Bogor, 41 tidak mempunyai
tenaga kesehatan masyarakat,
(b) Tenaga promosi kesehatan yang sangat esensial untuk melakukan advokasi ke 71 tidak mempunyai tenaga sanitarian, 76 tidak mempunyai tenaga gizi dan 73
sektor lain dan pengambil keputusan, baik di tingkat pusat, provinsi (34 Dinkes tidak mempunyai tenaga lab analis. Gambaran kekurangan SDM seperti di kabupaten
Provinsi) dan kabupaten/kota (514 Dinkes Kab/kota). Selain untuk advokasi, Bogor juga ditemukan di banyak kabupaten/kota lain seperti Kota Cilegon, Kabupaten
tenaga promosi kesehatan juga berperan dalam memobilisasi peran serta dan Majalengka, dan Kabupaten Jeneponto. Dengan masalah ketenagaan seperti
pemberdayaan masyarakat. sekarang, puskesmas sulit melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat (termasuk
pelayanan UKM) dengan baik.
(c) Tenaga kesehatan masyarakat lainnya untuk melaksanakan UKM. Salah satu fokus
fungsi kesehatan masyarakat adalah melaksanakan pelayanan UKM ditingkat g. Komunikasi dan Mobilisasi Peran Serta
masyarakat. Tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi kesehatan Masyarakat
masyarakat di puskesmas termasuk: (a) tenaga kesehatan masyarakat, khususnya
tenaga dengan kompetensi melaksanakan promosi kesehatan, (b) tenaga sanitarian, (c) Tujuan komunikasi dalam penyelenggaraan fungsi kesehatan masyarakat
adalah:
tenaga gizi masyarakat, dan (d) tenaga lab/analis untuk konfirmasi skrining seperti
konfirmasi diagnosis Tuberkulosis dan Malaria. Keempat jenis tenaga tersebut
(a) Mengkomunikasikan konsep, substansi dan kegiatan delapan fungsi
sudah dimasukkan dalam standar ketenagaan puskesmas (PMK-75/2014). Namun, di
kesehatan masyarakat kepada seluruh pemangku kepentingan
lapangan banyak puskesmas kekurangan atau bahkan tidak memiliki jenis tenaga
pembangunan kesehatan,
46 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
4. Tantangan dan Isu Strategis •
Security
47

yaitu pemangku kepentingan di sektor kesehatan dan sektor lainnya serta (ICDC Proyek, Dirjen PPPL, 1990an). Kasus-kasus tersebut menunjukkan
birokrasi pemerintah mulai dari Pusat (Presiden), provinsi (Gubernur) dan bagaimana kegiatan ekonomi penduduk.
kabupaten/kota (Bupati/Walikota). Sosialisasi tentang fungsi
kesehatan masyarakat diharapkan akan mengarahkan program kesehatan (c) mempengaruhi penyebaran malaria dan bagaimana keterlibatan Dinas
menjadi lebih komprehensif, meliputi intervensi kuratif yang bersifat individual Pertanian (Banjarnegara) dan Dinas Peternakan (Sumba Barat) menjadi aktor
(UKP), intervensi pencegahan yang bersifat massal/populasi (UKM), intervensi penting dalam menyusun intervensi kesehatan masyarakat untuk malaria.
terhadap determinan kesehatan di sektor lain, dan intervensi untuk
memperkuat sistem kesehatan. Dalam hal mobilisasi peran serta masyarakat, Indonesia mempunyai
pengalaman cukup lama dan banyak dalam mengembangkan model-model peran
(b) Mengkomunikasikan informasi yang berguna untuk memperkaya konsep serta masyarakat misalnya posyandu, posbindu, poskestren, dan Desa Siaga.
dan intervensi fungsi kesehatan masyarakat. Sumber informasi tersebut
termasuk lintas sektor/kementerian lain, swasta dan perguruan tinggi, dan h. Penguatan Peran Penelitian dan Pengembangan serta Analisis
disampaikan kepada institusi penyelenggara fungsi kesehatan masyarakat Kebijakan
(Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan puskesmas). Hal ini termasuk hasil Amdal yang Penelitian tentang determinan kesehatan dapat dilakukan oleh banyak pihak
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan berbagai kementerian/lembaga,
Daerah, hasil studi perguruan tinggi, Badan Penelitian dan Pengembangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta, dan mitra
Pusat Determinan Kesehatan, dan proyek-proyek kesehatan. Sebagai contoh, pembangunan internasional. Untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian tersebut
kegiatan ekstensifikasi kebun salak pondoh di Banjarnegara ternyata diikuti secara efektif, perlu dilakukan inventarisasi/pemetaan semua penelitian tentang
dengan penyebaran malaria karena pohon salak tenyata menjadi resting place kesehatan, sistem kesehatan dan fungsi kesehatan masyarakat secara sistematik
nyamuk malaria (Overlay hasil GPS kasus malaria dan perluasan kebun salak: yang dilakukan oleh suatu clearing house. Di Kementerian Kesehatan, telah
ICDC Proyek, Dirjen PPPL, 1990an). Kasus kedua adalah temuan bahwa dibentuk Pusat Analisis Determinan Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan
kubangan kerbau di Sumba Barat menjadi breeding places nyamuk malaria Nomor 64 Tahun 2015, Tentang Organisasi Tata Kerja Kemenkes). Pusat Analisis
Determinan Kesehatan bertugas untuk melaksanakan penyusunan kebijakan teknis,
pelaksanaan, dan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang analisis 4.3. TANTANGAN HEALTH
determinan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. SECURITY

WHO mencanangkan “Health Security”, yaitu upaya global untuk menghadapi penyakit
menular yang bersifat fatal yang bisa menular dengan cepat menjadi epidemi dan bahkan
pandemi. Penyakit yang menjadi “concern” global termasuk Afian Flu, Ebola, Zika,
bakteri resisten, MERS-coV, SARS-coV, dan cholera. Sebagian besar penyakit-penyakit
menular tersebut bersifat zoonotic. Indonesia tidak bisa bebas dari ancaman penyakit-
penyakit tersebut dan turut meratifikasi kesepakatan global tentang “Public Health
Security”. Pengalaman empiris di banyak negara termasuk Indonesia yang menunjukkan
dampak kematian dan economic loss yang besar bagi sektor kesehatan, transportasi,
pariwisata, perhotelan, pertanian, peternakan, perdagangan, pertahanan keamanan dan
lain-lain. Melihat besarnya dampak tersebut, maka penanganan masalah ini perlu menjadi
prioritas utama bagi seluruh jajaran pemerintah pusat (kementerian/lembaga terkait),
provinsi, dan kabupaten/kota.

Penguatan koordinasi multisektor.Temuan penting dari JEE 2017 di Indonesia adalah:


koordinasi adalah titik lemah dari semua kerja sama lintas sektoral untuk mencegah,
mendeteksi, dan menanggapi keadaan darurat kesehatan masyarakat.Tanpa koordinasi
yang efektif, pemerintah akan gagal melindungi orang, menyelamatkan penyedia
perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan, dan untuk menangani dampak lain dari
serangan EID. Mengingat bahwa 70% dari EID terdiri dari penyakit zoonosis dan
penyakit ini dapat muncul kapan saja. Lemahnya promosi kesehatan dan pencegahan
penyakit juga menyebabkan terjadinya peningkatan yang sering tidak terdeteksi dari
kasusTuberkulosis, HIV, AMR dan resistensi obat, anemia, diabetes, hipertensi, kecelakaan
lalu lintas, dan penyakit akibat dampak perubahan iklim (61,62).

Peningkatan koordinasi lintas sektor terutama antara Kementerian Kesehatan dan


Kementerian Pertanian merupakan tantangan utama dalam lima tahun mendatang.
Masalah serupa (koordinasi, kemitraan dan pengawasan) juga diidentifikasi dalam
pertemuan WHO untuk mengatasi penyakit zoonosis dan ancaman kesehatan
masyarakat di Dakar Senegal (2016) (63). Sesuai persyaratan IHR, Indonesia harus mulai
menerapkan pendekatan nasional yang terintegrasi dalam pengendalian penyakit. Untuk
itu, perlu adanya rencana terpadu untuk menyelaraskan langkah-langkah intervensi
kesehatan hewan dan kesehatan manusia mulai dari surveilans penyakit, diagnosis dan
pengendalian. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah masalah health security yang
mencakup deteksi infeksi patogen AMR, respon terhadap penyakit zoonosis, analisis data
secara real-time, dan aspek kesiapan (pemetaan prioritas risiko dan sumber daya
kesehatan publik) dapat ditambahkan ke dalam beban kerja fungsi kesehatan masyarakat
saat ini. Diperlukan kejelasan pembagian wewenang antar sektor terutama dalam
penanganan keadaan darurat EID.

Penguatan sistem pengawasan. Pada tahun 2016, Kementerian Pertanian bekerja sama
dengan FAO-ECTAD telah melakukan pengawasan EID di Gorontalo, Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Utara. Kementerian Pertanian telah melakukan pendidikan masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan tentang EID, meningkatkan
kapasitas laboratorium untuk mendeteksi potensi EID, dan menerapkan pengawasan
longitudinal pada ternak risiko tinggi. Pusat Investigasi Penyakit di Maros ditunjuk
sebagai titik fokus untuk kegiatan ini. Kapasitas laboratorium juga telah ditingkatkan
dalam mendeteksi dan mencegah EID. Protokol uji dan manajemen pusat telah dipindahkan
ke Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
48 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
Security
Hewan Departemen Pertanian. Langkah selanjutnya adalah melatih staf di semua tingkatan
untuk menganalisis dan menggunakan data (43). Tantangan bagi Kementerian Kesehatan,
terutama unit-unit pengawasan adalah menentukan cara paling efektif untuk berkolaborasi
dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri.

Pada bulan Desember 2017, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa ada 591 kasus 5.
difteri di 95 kabupaten di 20 provinsi. Sebagian besar wabah (80%) berada di tujuh provinsi:
Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bangka dan Belitung, Jambi, dan Lampung. Sebagian
besar kasus yang diidentifikasi terlihat di antara anak-anak di bawah 18 tahun. Hal ini
ARAH KEBIjAKAN
menunjukkan bahwa sejumlah anak tidak divaksinasi atau hanya divaksinasi sebagian.
Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
menyebarluaskan pedoman tentang Manajemen Kasus Difteri untuk mengingatkan dokter
DAN KEGIATAN-
dan petugas kesehatan lainnya tentang cara melakukan deteksi dini dan membuat diagnosis
standar. Bersama dengan WHO, imunisasi respon terhadap wabah (ORI) dilaksanakan
pada 11 Desember 2017 melalui kampanye imunisasi di daerah-daerah yang dicurigai
KEGIATAN UTAMA
berisiko tinggi di Provinsi Banten, Jakarta Utara dan Barat, dan lima kabupaten di Provinsi
Jawa Barat. Tiga jenis vaksin berbeda diberikan secara gratis, yaitu vaksin Pentavalent untuk
anak di bawah 5 tahun, vaksin DT untuk anak-anak 5-7 tahun, dan vaksin Td untuk anak-
anak 7-19 tahun. Kejadian tersebut menekankan pentingnya fungsi kesehatan masyarakat
terutama kegiatan penjangkauan dan pengawasan untuk dilakukan secara rutin. Wabah
difteri tahun 2017 menunjukkan pentingnya mempertahankan tingkat cakupan yang tinggi FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT
dalam program imunisasi pada anak dan melanjutkan pendidikan publik untuk dosis lanjutan
secara tepat waktu (55,56). Masih banyak orang yang tidak tahu bahwa usia penduduk usia (Public health functions) dAN health
11-64 tahun harus mengambil vaksin Td setiap sepuluh tahun lagi, untuk melindungi
terhadap tetanus dan difteri. security
Penilaian JEE untuk area yang terkait dengan surveilans menunjukkan skor 2 yang berarti
masih dalam ‘kapasitas terbatas’ (Tabel 8). Untuk menuju skor 4 atau 5 ‘menunjukkan K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
kapasitas’ akan memerlukan upaya berkelanjutan untuk merasionalisasi informasi
surveilans yang dikumpulkan, peningkatan analisis dan pemanfaatan hasil. Pemerintah
Indonesia telah merancang rencana nasional untuk surveilans infeksi yang disebabkan
oleh patogen AMR prioritas, penyakit nosokomial, dan tata laksana antimikroba. Akan
tetapi, belum disertai dengan penetapan lokasi sentinel, fasilitas, pusat-pusat, dan tenaga
profesional terlatih dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (IPC) .
50 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health
5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 51
Security

Kebijakan dan Strategi Komprehensif dan tingkat pusat (oleh Kementerian Koordinator/Bappenas), provinsi (Gubernur/Bappeda/
Terintegrasi Dinkes), dan kabupaten (Bupati/Walikota/Bappeda/Dinkes).

Reformasi paradigma pembangunan kesehatan dari “partial dan fragmented” Penguatan Fungsi Kesehatan Masyarakat untuk Menerapkan Pendekatan Komprehensif
menjadi “komprehensif dan terintegrasi”, berkaitan dengan pembangunan kesehatan,
termasuk usulan dari badan-badan internasional, yang menekankan pentingnya Pengertian fungsi kesehatan masyarakat pada saat ini lebih komprehensif dan kompleks,
pendekatan komprehensif dan tidak parsial. Penyelenggaraan UKP, UKM, upaya jika ingin mencapai tujuan SDGs 2 (gizi), SDGs 3 (kesehatan), SDGs 5 (kesetaraan gender,
lintas sektor, dan penguatan sistem kesehatan harus secara terintegrasi guna kesehatan reproduksi) dan SDGs 6 (air bersih dan sanitasi). Pelaksanaannya dapat dibagi
memelihara dan mengatasi permasalahan kompleks kesehatan. menjadi tiga kegiatan utama: (1) intervensi langsung (mengobati tuberkulosis, HIV, malaria,
dan gizi buruk; (2) intervensi tidak langsung untuk faktor-faktor penentu sensitif (merokok,
Prinsip komprehensif dan terintegrasi sistem kesehatan perlu menjadi dasar kebijakan polusi udara, bahan beracun, dan deteksi dini risiko kesehatan); serta (3) penguatan
dan dasar strategi perencanaan di semua tingkatan mulai nasional, provinsi, kapasitas SDM Kesehatan, penyediaan obat-obatan, vaksin, peralatan medis, akses ke
kabupaten/kota dan kecamatan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah a) layanan kesehatan, dan perlindungan risiko keuangan).
memformulasi dan dokumentasi kebijakan pembangunan kesehatan komprehensif dan
terintegrasi, sosialisasi pendekatan tersebut kepada: jajaran pimpinan pemerintahan di
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; b) Sektor kesehatan di tingkat pusat,
provinsi, kebupaten/kota dan kecamatan (Puskemas); c) Artikulasi pendekatan
komprehensif ke dalam dokumen kebijakan (RPJMN, RPJMD dan Renstra); serta c)
Pengembangan mekanisme kordinasi seluruh pemangku kepentingan terkait pada
Gambar 4. Fungsi Kesehatan Masyarakat Esensial
Komprehensif

Sumber: WHO, 2010 - dimodifikasi oleh Ascobat Gani,


2018

Rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi-fungsi di atas


(Gambar 4) didasarkan pada permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
pembangunan kesehatan serta pendekatan yang komprehensif dan terpadu adalah
sebagai berikut:

(1) Penguatan tata kelola (mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014)
• Penguatan kordinasi di semua jenjang administratif, dengan kejelasan
wewenang dan fungsi unit yang melakukan koordinasi di tingkat pusat
(Kementerian Koordinator Bidang PMK) dan daerah (Gubernur/Bappeda
dan Bupati-Walikota/ Bappeda

52 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health


5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama •
Security
53

• Perumusan NSPK fungsi kesehatan masyarakat, sebagai pedoman teknis tingkat pusat (Kementerian Kesehatan) didukung dengan updating pedoman
bagi provinsi dan kabupaten/Kota, puskesmas dan RS dalam melaksanakan surveilans, pelatihan tim surveilans, sistem informasi dan teknologi, fungsi
fungsi kesehatan masyarakat Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas), dan kerjasama/sharing hasil
• Penguatan Dinas Kesehatan provinsi dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota, antara Labkesmas dengan laboratorium kesehatan hewan.
yang memiliki kewenangan dan fungsi untuk mengelola pembangunan
kesehatan menyeluruh dan terpadu serta delapan fungsi kesehatan masyarakat (4) Penguatan penelitian dan analisis kebijakan
• Penguatan puskesmas, agar mampu mengoperasionalkan konsep • Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan memperluas
pembinaan kesehatan wilayah secara komprehensif dan terpadu pemahaman tentang determinan kesehatan yang strategis sebagai masukan
• Penyusunan Sistem Kesehatan Provinsi (SKP) dan Sistem Kesehatan Daerah untuk analisis kebijakan dan upaya memperkuat peran lintas sektor.
(SKD) kabupaten/kota, yang mengartikulasikan pembangunan kesehatan
komprehensif didukung dengan fungsi kesehatan masyarakat yang (5) Peningkatan kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan
dilaksanakan secara efektif dan efisien • Meningkatkan kesiapan Dinkes provinsi melaksanakan SPM penanganan
• Peningkatan pembiayaan, untuk pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat bencana dan SPM gawat darurat kesehatan masyarakat/wabah.
di provinsi dan kabupaten/kota secara efektif dan efisien
(6) Penguatan perlindungan kesehatan
(2) Penguatan SDM untuk fungsi kesehatan masyarakat • Memperkuat fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
• Memenuhi kebutuhan tenaga pelaksana fungsi kesehatan masyarakat • Memperluas dukungan Labkesmas dan laboratorium kesehatan hewan
yang kompeten di Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota, puskesmas dan untuk pemantauan kualitas lingkungan secara rutin
RSUD agar kegiatan surveilans, promosi kesehatan, fungsi kesehatan • Memastikan konsistensi pelaksanaan Amdal
lingkungan, gizi, pemeriksaan laboratorium, pengelolaan farmasi, serta • Meningkatkan program kesehatan dan keselamatan di tempat kerja
manajemen data dan pelaporan yang didukung sistem informasi dan
teknologi (IT) dilaksanakan sesuai standar.

(3) Penguatan sistem surveilans


• Mengefektifkan pelaksanaan surveilans di puskesmas, RSUD, Dinkes
kabupaten/ kota dan Dinkes provinsi dikoordinasikan oleh unit surveilans di
(7) Peningkatan kegiatan promosi kesehatan koordinasi antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Pertanian dan
• Intensifikasi kegiatan promosi kesehatan oleh Dinkes provinsi, Dinkes Kementerian PANRB mutlak diperlukan (64).
kabupaten/ kota dan puskesmas serta sektor terkait dengan tujuan untuk
mengadvokasi kebijakan sektoral berwawasan kesehatan, meningkatkan Untuk meningkatkan kesiapan menghadapi epidemi dan pandemi penyakit, beberapa
keterlibatan lintas sektor, dan mendorong perbaikan perilaku hidup sehat. hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

(8) Komunikasi dan peningkatan peran serta masyarakat (1) Menetapkan Area
struktur
Area organisasi
Teknisdan
Teknis dan yang bertanggung jawab menangani isu
Area
Area Aksi-aksiPrioritas
Aksi-aksi Prioritas Indikator
Indikator
• Diseminasi paradigma/konsep pembangunan kesehatan komprehensif yang Koordinator
health security Koordinator
khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan, melakukan deteksi
dilaksanakan secara terintegrasi dini,
MENCEGAH melakukan respon
1. Peraturan ataucepat, pencegahan serta melakukan koordinasi semua
3.1.Mengkoordinasikan
Mengkaji Undang- 3.Kebijakan ataukapasitas
Ketersediaan peraturan/
• Diseminasi tentang fungsi kesehatan masyarakat dalam pembangunan stakeholders lintas sektor
Undang-Undang Undang dan
dan Undang-Undang baru untuk
tenaga kerja di sektor
kesehatan sehingga fungsi kesehatan masyarakat menjadi program kebijakan yang ada
mengkomunikasikan koordinasi
hewan dalam yangsistem
efektif
di K/L terkait. antarsektor dan antarnegara
kesehatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (2) kerangka strategi hasil
Menyusun (Kemenkumham analisis data
nasional untuk kesehatan masyarakat
memperkuat kesiapan
2.surveilans pada
Menganalisis yang diterbitkan.
termasuk di tingkat daerah
• Diseminasi dan pertukaran informasi tentang determinan kesehatan menghadapi dan ancaman
K/L terkait).penyakit menular yang potensial menjadi
manusia
kebutuhan danakan
hewan, untuk mencegah
(menjadi dasar untuk dan
antarsektor agar lintas sektor melakukan intervensi sesuai determinan epidemi/pandemi, yaitu dengan mereviu dan semua
melaporkan
kebijakan baru dan peraturan perundangan
mendeteksi
Kerangka penyakit/
Strategis yang
Nasional
kesehatan berlaku infeksi zoonosis
memastikan dan
adanya patogen
untuk zoonosis. dan
Kesiapsiagaan
juga kejadian
koordinasi. darurat 4.Respon terhadap
Ketersediaan EID)
sistem
Selanjutnya, untuk memastikan peningkatan kapasitas teknis penerapan IHR di (3) Memperkuat sistem surveilans termasuk nuklir,surveilans
biologis, danpenyakitpelaporan
infeksi padayanghewan
aktif dan
serta kimia (sebagaimana berkelanjutan.
Indonesia, kegiatan seperti: (1) deteksi AMR, (2) surveilans infeksi yang disebabkan oleh
dipersyaratkan oleh
patogen AMR, (3) respon terhadap potensi penyakit zoonosis, (4) integrasi dan analisis SDM kompeten yang 5. Ketersediaan dan adanya
IHR (2005)).
melakukannya komunikasi tepat waktu
data surveilans secara real-time, (5) kesiapsiagaan - prioritas terhadap risiko kesehatan
atau pertukaran informasi
masyarakat dan sumber daya kesehatan, dan (6) operasi tanggap darurat sesuai prosedur
(4) Mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam sistematis antara sektor
5-10 tahun
dan rencana standar, perlu mendapatkan prioritas pada RPJMN periode berikut. mendatang hewan, satwa liar, dan
2. Mekanisme 1. Meningkatkan 1. Ketersediaan sistem
Pelatihan tenaga kesehatan dalam menangani EID mulai dari mencegah, mendeteksi dan fungsional untuk kapasitas personil kesehatan
surveilans yang dan
manusia
merespon sinyal yang tidak biasa dari EID juga harus ditingkatkan. Peningkatan berkoordinasi untuk memperbaiki juga, darurat nuklir,
terintegrasi, efisien dan
(5) Mengembangkan kemampuan melakukan respons secara cepat terhadap
dalam kualitas surveilans biologis, dan kimia.
berkelanjutan
ancaman epidemi/pandemi dengan melibatkan semua sektor terkait
melaksanakan secara real-time.
5. Peningkatan dan Mengkaji laporan 1.2. Pembentukan
Ketersediaan kerangka
peta potensi
54 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health surveilans secara 2. Meningkatkan
5. Arah kejadian
Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatanwabah/ daerah
Utama •
Security penguatan akhir WHO tentang kerja bilateral, regional
real-time, analisis 55
kapasitas personil darurat kesehatan
pertimbangan
kerjasama bilateral, etis dan multiregional.
risiko, dan mitigasi untuk melaksanakan masyarakat.
regional dan dan protokol awal 2. Ketersediaan definisi dari
multilateral surveilans
munculnya secara
pandemi 3. norma-norma
Ketersediaan yang
kompetensi
real-time.
(6) Meningkatkan kerja sama bilateral, regional dan multilateral Targetuntuk
(Kemenko PMK,
Tabel 12. Rekomendasi dan kerja
Aksi sama
Prioritas Ketahanan khusus di(uraian
Kesehatan
muncul bidangtugas)
hukum,
(Kemendagri,
Kemenkeu, multilateral epidemi EID
3. Meningkatkan yang
etik dansesuai dengan
operasional
Kemenlu,
Kementan, yangsupervisi
muncul. cakupan standar
untuk nasional dan
pencegahan
(7) Rencana aksi untuk mencegah resistensi mikrobial terhadap antibiotik
K/L terkait,
Kemen-LHK, imunisasi dan yang diperlukan
pengelolaan wabah
Kemenkumham)
KKP, ketersediaan vaksin. untuk
serta merekrut
darurat dan
kesehatan
(AMR) (8) Memperkuat manajemen keamanan makanan Kemendagri, K/L mengevaluasi
masyarakat kinerja
lainnya.
4. Surveilans infeksi
terkait) akibat patogen AMR. penanggung jawab
6. Pencegahan dan Pelaksanaan Rencana Rencana Aksi Nasional
program.
(9) Pemenuhan tim tenaga multidisiplin dalam menangani isu health security (a.l. 5. Menentukan
pengendalian Aksi Nasional tentang Resistensi
peternakan, kesehatan masyarakat, transportasi, keamanan komoditas, pertahanan langkah-langkah 4. Vaksinasi tepat waktu
resistensi AMR dalam pencegahan Antimikroba (AMR) secara
bagi manusia dan
keamanan dll) AMRpengendalian
(Pendekatan dan komprehensif dan terpadu.
mekanisme jenis binatang menjadi norma
(Kemenkes, OneHealth).
kegawatdaruratan. dalam masyarakat.
Kementan,
(10) Memperkuat kapasitas laboratorium untuk mendeteksi penyakit-penyakit
KKP, dan 5. Kampanye multisektor
menular tersebut penegakan yang terus menerus untuk
56 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health hukum) mempromosikan IHR dan
5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama •
Security 7. Meningkatkan Memperkuat Sistem Pembentukan
mencegahsistem
EID untuk
57
Keamanan Pangan Keamanan Pangan memastikan kecepatan
Nasional. respon keadaan darurat
penyakit bawaan makanan.
(Kementan,
Kemenkes, dan
penegakan hukum)

Area Teknis dan


Area Aksi-aksi Prioritas Indikator
Koordinator
3. Penelitian dan pengembangan diikuti dengan publikasi Meningkatkan kegiatan riset, komunikasi, 1. Pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang
dan diseminasi informasi untuk meningkatkan pusat dan jejaring laboratorium rujukan untuk mendukung terintegrasi.
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang AMR, pencegahan, deteksi dan tanggapan pada wabah wabah AMR, 2. Pembentukan kapasitas dan jejaring laboratorium nasional.
EID serta keamanan publik. EID, pendemi global, serta kegawatdaruratan
nuklir, biologi dan kima. 3. Peningkatan
pengetahuan masyarakat akan AMR, EID dan
(Kemenristekdikti) isu-isu keamanan masyarakat.
4. Teknis
Area Partisipasi
dan masyarakat yang berkelanjutan dalam menyebarkan
Area Aksi-aksi Prioritas Indikator
Koordinator untuk
informasi
meningkatkan kesadaran.
3. Surveilans Real 1. Menetapkan 1. Pelaksanaan surveilans
Time indikator dan sistem terpadu terhadap rencana
surveilans berbasis kerja One Health untuk
kejadian. mengurangi wabah sesuai
2. Menetapkan sistem dengan standar praktik
pelaporan real-time (WHO).
elektronik. 2. Ketersediaan sistem
3. Membentuk tenaga pelaporan elektronik
ahli dan tim untuk real-time yang terkoneksi
menganalisa dan antara surveilans
melaporkan data. kesehatan masyarakat
dan kesehatan hewan.
4. Membentuk tim
untuk penilaian 3. Ketersediaan data
risiko dan sistem prevalensi dan peta
pengawasan distribusi penyakit.
4. Kesiapsiagaan 1. Meningkatkan keahlian personil untuk meminimalisir 1. Ketersediaan panduan tentang sistem surveilans zoonosis.
sindromik untuk 4. Ketersediaan data
penularan penyakit zoonosis. 2. Ketersediaan kompetensi khusus keadaan
(uraian tugas) sesuai dengan standar
mendeteksi surveilans yang mampu
(BNPB, Kementan, Kemenkes, Kemendagri, 2. Mengawasi analisis laporan tentang identifikasi lima nasional yang diperlukan untuk merekrut
darurat kesehatan dan mengevaluasi kinerja
mendeteksi kejadian
Kemenkumham) penyakit zoonosis terbesar yang menjadi perhatian penanggung jawab program pengendalian potensi
masyarakat. wabah
penting padakesehatan
untuk hewan
kesehatan masyarakat. dan manusia dan masyarakat, kesehatan
juga pada keadaan darurat nuklir, biologis, dan kimia.
hewan dan keamanan
kesehatan.

58 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health


5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama •
Security
59

Area Teknis dan


Area Aksi-aksi Prioritas Indikator
Koordinator
MENDETEKSI 1. Sistem Peringatan 1. Mengembangkan sistem peringatan dini terpadu yang sesuai 1. Pembentukan sistem peringatan dini yang terintegrasi.
Dini dengan keamanan kesehatan masyarakat yang lebih luas. 2. Peningkatan partisipasi masyarakat, organisasi non pemerintah dan
masyarakat.
(Seluruh K/L terkait) 2. Verifikasi dan analisis data lintas sektor tentang penyakit,
darurat nuklir, biologi dan kimia.
3. Mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan analisis 3. Melaporkan kepada publik jumlah penyakit yang dideteksi dini dari
risiko yang cepat. potensi darurat kesehatan masyarakat di pelabuhan/ pintu masuk melalui
diagnostik cepat terhadap potensi darurat wabah, nuklir, peristiwa biologi
dan kimia.
4. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
pengawasan dan pelaporan wabah EID, epidemi, nuklir, biologi, dan
kimia.

2. Investigasi melalui Sistem Laboratorium Nasional 1. Membangun laboratorium uji untuk mendeteksi penyakit- 1. Ketersediaan kompetensi khusus (uraian tugas) yang sesuai dengan
penyakit prioritas. standar nasional yang
2. Menetapkan rujukan spesimen dan sistem transportasi. diperlukan untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja penanggung jawab
program.
3. Menetapkan titik perawatan dan diagnosis berbasis lab
(untuk penyakit prioritas pada manusia, hewan, 2. Ketersediaan laporan investigasi terpadu tentang sumber, penyebab,
lingkungan). dan cara penularan penyakit.
3. Mewajibkan semua laboratorium kesehatan dan hewan memiliki
lisensi dan memenuhi standar nasional.
4. Ketersediaan data dan informasi lintas sektor secara terpadu.
60 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security Kajian Sektor Kesehatan • 61

Area Teknis dan


Area Aksi-aksi Prioritas Indikator
Koordinator

MERESPON 1. Menghubungkan kesehatan masyarakat, 1. Menetapkan MoU atau kerangka kerja lain yang 1. Ketersediaan perencanaan tanggap darurat
keamanan publik, dan darurat kesehatan memungkinkan respon cepat, multisektoral, kesehatan masyarakat nasional.
masyarakat. termasuk hubungan antara kesehatan masyarakat 2. Ketersediaan kapasitas untuk menanggapi keadaan darurat
dan penegakan hukum. kesehatan masyarakat yang menjadi
2. (Kemendagri, K/L terkait, Kemenkumham, 2. Menetapkan MoU untuk menyediakan dan/atau perhatian nasional dan internasional.
Penegakan Hukum) meminta bantuan internasional yang efektif dan 3. Ketersediaan peta sumber daya nasional (logistik, ahli,
tepat waktu. pendanaan) dan rencana pengelolaan dan distribusi stok
3. Membentuk Emergency Operation Center (EOC) nasional.
dan staf khusus EOC yang dapat diaktifkan dalam 4. Ketersediaan prosedur, strategi, dan sumber daya untuk
waktu 120 menit. menanggapi prioritas peristiwa biologis, kimia, dan radiologi
4. Melakukan latihan atau simulasi formal untuk serta keadaan darurat lainnya.
menunjukkan kapasitas kesiapan dan tanggap 5. Ketersediaan titik kontak EOC 24/7 dan tim yang terlatih untuk
darurat kesehatan masyarakat nasional yang memandu respon.
memenuhi persyaratan kapasitas inti IHR.
6. Ketersediaan NSPK untuk manajemen kasus, rujukan pasien,
transportasi, dan manajemen dan
transportasi pasien yang berpotensi menular.
7. Ketersediaan strategi komunikasi risiko

Sumber: WHO, IHR (2005) Kerangka Kerja Monitor dan Evaluasi. Gabungan Alat Evaluasi
Eksternal: Peraturan-peraturan Kesehatan Internasional (2005). Jenewa: WHO; 2016 (80)
62 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions)
Kajian Sektor
dan Health Security
Kesehatan • 63

REFERENSI 17. Heywood P, Choi Y. Health system performance at the district level in
Indonesia after decentralization. BMC Int Health Hum Rights. 2010;1–12.

1. World Bank. World Development Report 1993: Investing in Health. World Bank; 1993. 18. Longbottom H. Emerging infectious diseases. Commun Dis Intell.
1997;21(7):89–94.
2. WHO. Saitama Declaration: Mainstreaming Health in Development 19. Osterholm MT. Global Health Security: An unfinished journey. Emerg Infect
Policy. Geneva: World Health Organization; 1991. Dis.
2017;23.
3. WHO. World Health Report 2002: Reducing Risk, Promoting Healthy Life. Geneva: World 20. WHO. Cumulative Number of Reported Probable Cases of Severe Acute
Health Organization; 2002. Respiratory
Syndrome (SARS). 2004.
4. WHO. Social Determinants of Health. Geneva: World Health Organization; 2008. 21. Moeloek NF. Indonesia national health policy in the transition of disease
burdeninsurance
health and coverage. Med J Indones. 2017;26(1):1–4.
5. United Nations. Rio de Janeiro Conference on Health in All Policy (Hi-AP). Rio De
Janeiro: United Nations; 2011. 22. Degeling et al. Implementing a One Health approach to emerging infectious
disease:
reflections on the socio-political, ethical and legal dimensions. BMC Public
6. Gostin LO, Katz R. The International Health Regulations: the governing framework for Health.
Global Health Security. Millbank Q. 2016;94(2):264–31. 2015;13:1307.
23. Morens DM, Fauci AS. Emerging Infectious Diseases: Threats to Human
7. WHO. H5N1 avian influenza: timeline of major events [Internet]. 25 Jan 2012. 2012 Health and
[cited 2018 Oct 27]. Available from: http://www.who.int/influenza/human_animal_ Global Stability. PLoS Pathog. 2013;9(7):e1003-467.
interface/H5N1_avian_influenza_update.pdf 24. Center for Disease Control and Prevention. Avian flu [Internet]. April 19,
2017. 2017
[cited 2018 Jul 7]. Available from:
8. WHO. Strengthening health security by implementing the International Health https://www.cdc.gov/flu/avianflu/influenza-a-virus- subtypes.htm
Regulations (2005) [Internet]. February 14, 2018. 2018 [cited 2018 Jul 6]. Available from:
http://www.who.int/ihr/en/ 25. Center for Disease Control and Prevention. Zoonosis diseases [Internet].
July 14,
2017. 2017. from: https://www.cdc.gov/onehealth/basics/zoonotic-
Available
9. Pan American Health Organization, WHO. The Essential Public Health Functions as a diseases.html
strategy for improving overall health systems performance: Trends 26. Khawaja KN. International Health Regulations and GHSA Guiding Principles
and challenges since the Pubic Health in the Americas Initiative, 2000- for Their
2007. Washington, DC; 2008. http://www.hsa.edu.pk/wp-
content/uploads/ International-Health-Regulations-and-GHSA-Guiding-
10. WHO Regional Office for the Western Pacific. Essential Public Health Functions: A three- Principles-for- Their-Adoption.pdf
country study in the Western Pacific Region. Manila, Philippines; 2003.
27. Plianbangchang S. Working Together for Health Security Agenda for the
11. WHO Regional Offices for South-East Asia and the Western Pacific. Public health Next Decade. Chiang Mai: International Conference “Working together for
functions. In: Health in Asia and the Pacific. Manila, Philippines; 2008. Health Security”; 2012.
28. The World Bank. Pandemic Emergency Financing Facility: Frequently Asked
12. Institute of Medicine. The Future of Public Health. 10 Essential Public Health Services. Questions
Core Public Health Functions Steering Committee; 1994. [Internet]. May 09, 2017. 2017 [cited 2018 Jun 21]. Available from:
worldbank.org/en/topic/pandemics/brief/pandemic-emergency-facility-
frequently-
asked-questions
13. CDC Atlanta. The Epidemiological triad of causal factors. Atlanta: Center of Diseases
and Control; 1978. 29. Dahl B. Real time Surveillance. PowerPoint slides presented in the GHSA
Action Coordination Meeting; 2016.
Package
14. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014. 30. WHO. Joint external evaluation tool: International Health Regulations (2005).
Geneva:
World Health Organization; 2016.
15. Kementerian Kesehatan RI. Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014. 31. WHO. Joint External Evaluation of IHR Core Capacities of Republic of
Indonesia
Mission Report: 20-24 November 2017. Geneva: World Health Organization;
16. Nat. Research Council, Indonesian Academy of Sciences, Policy and Global Affairs, 2018.
Development S and C, Joint Committee on Reducing Maternal and 32. Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Pertanian, Kementerian
Neonatal Mortality in Indonesia. Reducing Maternal and Neonatal Perikanan, Kementerian Pertahanan RI, Kementerian Keuangan RI.
Mortality in Indonesia: Saving Lives, Saving the Future. Washington, DC: National Action Plan Antimicrobial Resistance Indonesia 2017 -
The National Academies Press; 2013. 2019. Jakarta; 2017.
64 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions)
Kajian Sektor
dan Health Security
Kesehatan • 65

33. WHO. Antimicrobial resistance [Internet]. February 15, 2018. 2018 49. The Australian Government Department of Agriculture and Water. Australia
[cited 2018 Jul 3]. Available from: http://www.who.int/en/news- Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases: Achievements of
room/fact-sheets/detail/antimicrobial- resistance the AIP-EID Animal Health Program 2011-2015. Camberra; 2016.

34. Farida H, Severin JA, Gasem MH, Keuter M, Wahyono H, van den 50. WHO. Food Safety [Internet]. October 31, 2017. 2017 [cited 2018 Jul 8].
Broek P, et al. Nasopharyngeal Carriage of Streptococcus Available from:
pneumonia in Pneumonia-Prone Age Groups in Semarang, Java http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/food-safety
Island, Indonesia. PLoS One. 2014;9(1). 51.
Fukuda K. Food safety in a globalized world. Bull World Health Organ.
35. Soewignjo S, Gessner B, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, et al.
Streptococcus pneumoniae Nasopharyngeal Carriage Prevalence, 52. ASEAN secretariat. ASEAN food safety policy. Jakarta; 2016.
Resistance Patterns among
Serotype Distribution, and Children on Lombok Island, Indonesia. Clin Infect Dis.
2001;32(7):1039–43. 53. Arisanti R, Indriani D, Wilopo SA. Kontribusi agen dan faktor penyebab
kejadian
biasa luar
keracunan pangan di Indonesia: kajian sistematis. BKM J community
36. Greenberg D, Speert DP, Mahentrhiralingam E, Henry DA, et al. Emergence of Med Public
Penicillin-Nonsusceptible Streptococcus pneumoniae Invasive Clones in Canada. J Clin Heal. 2018;34(4):99–106.
Microbiol. 2002;40(1):68–74. 54. US FDA. Oasis Refusals by Country 2016. New Hampshire Avenue; 2016.

37. Espedido B, Gosbell IB. Chromosomal mutations involved in antibiotic resistance in 55. Japan International Cooperation Agency. Preparatory Survey Report on the
Staphylococcus aureus. Front Biosci. 2012;1(4):900–15. Project for Strengthening the National Laboratory for COntrolling the Highly
Pathogenic Avian Influenza and Other Emerging and Re-emerging
38. FAO. Antimicrobial Resistance. 2018. Infectious Diseases in the Republic of Indonesia. 2013.

39. Parathon H, Kuntaman K, Widiastoety T, et al. Antimicrobial Resistance in 56. World Health Organization. WHO Emerging and Dangerous Pathogens
South East Asia: Progress towards antimicrobial resistance containment Laboratory Network (EDPLN) [Internet]. 2018. 2018 [cited 2018 Jul 16].
and control in Indonesia. BMJ. 2017;358. Available from: http://www.
who.int/csr/bioriskreduction/laboratorynetwork/en/
40. World Bank. People, Pathogens and Our Plant. Washington, DC: World Bank; 2010. 57. WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017. New Delhi; 2017.

41. Ministry of Health Republic of Indonesia. Situasi Rabies di Indonesia. Jakarta; 2017. 58. WHO. WHO-recommended standards for surveillance of selected vaccine-
preventable diseases. Geneva; 2008.
42. Center for Disease Control and Prevention. Highly Pathogenic Asian Avian Influenza
A (H5N1) in People [Internet]. March 18, 2015. 2015 [cited 2018 Jul 21]. Available from: 59. BPS, BKKBN, Kementerian Kesehatan, ICF International. Indonesia
https://www.cdc.gov/flu/avianflu/h5n1-people.htm Demographic and
Health Survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF
43. FAO. Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia International;
Protecting lives and livelihoods Annual Report 2016 FAO. Jakarta, Indonesia: FAO; 2017. 60. 2013.
World Bank- DSF. Guideline Status Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah. Jakarta: World Bank and
44. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta; 2016. Center for Economic and Public Policy Study Universitas Gadjah Mada
(CEPPS-UGM);
45. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta; 61. WHO. Monitoring the building blocks of health systems: a handbook of
2017. indicators and their measurement strategies. Geneva; 2010.

46. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta; 2018. 62. CDC. Global Health - Indonesia [Internet]. May 12, 2016. 2016 [cited
2018 Jun 30]. Available from:
47. Ministry of Health Republic of Indonesia. Meski Belum Ada Laporan, Kemenkes Tetap https://www.cdc.gov/globalhealth/countries/Indonesia/
Waspadai Leptospirosis Pasca Banjir [Internet]. February 13, 2015. 2015 [cited 2018 Jul 63. WHO, FAO, OIE, WAHO et al. Report on One Health Technical and
8]. Available from: Ministerial: Meeting to Address Zoonotic Diseases and related public health
http://www.depkes.go.id/article/view/15022400001/meski-belum-ada- threats. Dakar; 2016.
laporan-kemenkes-tetap-waspadai-leptospirosis-pasca-banjir.html 64.
48. Novita R, Hananto M, Sembiring M, Noor S, Kambang S, Lilian, et al. Sectoral Approaches to Mitigating Infectious Disease Threats. London, UK:
Seroprevalensi dan ancaman Brucella abortus pada pekerja peternakan Chatham
sapi perah kecamatan Cilawu, Garut. J Kesehat Reproduksi. House;
2016;7(3):211–6.
66 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

65. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia (Health Profile
Indonesia) 2016. Jakarta: Ministry of Health Indonesia; 2017.

66. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2017.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.

67. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2014. Jakarta: Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2015.

68. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2015. Jakarta: Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2016.

69. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2016. Jakarta: Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2017.

70. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia (Health Profile
Indonesia) 2015. Jakarta: Ministry of Health Indonesia; 2016.
71. National Institute of Health Research and Development Ministry of Health RI.

l AMP IRA N
National
Health Survey 2007. Jakarta: Ministry of Health; 2008.

72. National Institute of Health Research and Development Ministry of Health RI. National
Health Survey 2010. Jakarta: Ministry of Health; 2011.

73. BPS. Welfare statistics 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2008.

74. BPS. Welfare statistics 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2013.

75. BPS. Welfare statistics 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2014.

76. BPS. Welfare statistics 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2015.

77. BPS. Welfare statistics 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2016.

78. BPS. Welfare statistics 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2017.

79. BPS, BKKBN N-M. Indonesia Demographic and Health Survey 2017: Key Indicator
Report.
Jakarta: BPS; 2018. 25 p.

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT


(Public health functions) dAN health
security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
Lampiran 1

Ringkasan Isu Strategis dan Rekomendasi Kebijakan Fungsi Kesehatan


Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIjAKAN INDIKATOR/TARGET ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEB

Program kesehatan parsial dan terfragmentasi Ancaman epidemi dan pandemi Penyakit Infeksi Emerging
• Pembangunan kesehatan • Pendekatan • Pendekatan • Epidemi/pandemi PIE menyebabkan kerugian kerugian besar di banyak Kesiapan menghada
memerlukan intervensi komprehensif menjadi komprehensif menjadi sektor (pertanian/ peternakan, transportasi, pariwisata, transportasi, dan kabupaten
komprehensif yang terdiri komitmen semua kebijakan dalam perhotelan, perdagangan, hankam)
dari UKM, UKP, DSK dan stakeholder kesehatan, RPJMN, RJPMD dan
PSK terutama sector Renstra Kesehatan • Indonesia rentan terhadap ancaman PIE tersebut
pemerintah dari semua
• Namun dalam praktik jenjang: pusat, provinsi, • Informasi tentang
UKP cenderung kabupaten/kota dan faktor-faktor diluar
diutamakan, intervensi kecamatan. sektor kesehatan yang
lain termarginalisasi perlu di-intervensi
khususnya UKM dan DSK • Meningkatkan analisis
determinan sosial
kesehatan untuk
kebijakan intervensi Kesiapan menghadapi Ancaman PIE
terhadap DSK
• Penanganan PIE memerlukan keterlibatan banyak sektor, namun belum jelas • Penetapan unit o
struktur dalam organisasi pemerintah yang tepat untuk melakukan terkait menghada
koordinasi penanganan PIE
Dampak melemahnya UKM • Penguatan sistem
• Lemahnya kemampuan surveilans dan dukungan laboratorium sangat Dinkes Kab/Kota/
• Indikator kinerja UKM • Penguatan UKM: • Puskesmas memiliki esensial menghadapi PIE
(AKI, AKB, CPR KB, TFR, kecukupan SDM dan tenaga UKM sesuai • Dukungan labora
anemia bumil, CDR-TB, pembiayan untuk UKM standar (tenaga
cakupan imunisasi) tidak kesmas, sanitarian, gizi,
membaik secara signifikan, • Penguatan lab-medis)
bahkan ada yang menurun kompetensi Dinkes
(2013- merencanakan dan • Kecukupan angaran
2017) monev program- BOK sesuai kebutuhan
program UKM (seperti dan tepat waktu
• Lemahnya UKM bisa SPM, PISPK dan
menyebabkan deteksi dan program prioritas lain: • Dinkes menyusun
pengobatan dini PTM tidak malaria, gizi, DBD, dll) rencana dan anggaran
efektif UKM berbasis kinerja
• Beban sosial dan
ekonomi akibat PTM Penguatan PH-functions
menjadi bertambah besar
• PH-functions yang kuat diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah Penguatan “PH-func
kesehatan: PM, ancaman PIE, PTM, KIA dan gizi kesiapan hadapi wab
(iv) promkes & penc
Fragmentasi penguatan sistem kesehatan • Delapan “PH-functions” masing-masing sudah didukung dengan regulasi, (vii) KIE & mobilisas
namun banyak yang belum dijabarkan sampai menjadi NSPK
• Penguatan sistem • Integrasi penguatan Penguatan elemen-elemen
tersebut cenderung elemen-elemen sistem sistem kesehatan dalam
terfragmentasi (misal kesehatan (dilihat satu paket terintegrasi
pembangunan fasyankes hubungannya satu
terpisah dari SDMK, dengan lain (WHO,
terpisah dari obat/ alkes, Health System
dll Building Blocks)

• Akibatnya terjadi • Misalnya untuk


inefisiensi teknis dalam penguatan puskesmas
sistem kesehatan di DTPK, bantuan SDM
harus satu paket dengan Keterangan:
bantuan obat/alkes dan UKM = Upaya Kesehatan Masyarakat; UKP = Upaya Kesehatan Perorangan; DSK = Determinan Sosial
pembiayaan
Kesehatan; PSK = Pengelolaan/Penguatan Sistem Kesehatan; PIE = Penyakit Infeksi Emerging (a.l
Ebola, MERS, Avian flu, Zika, Anthrax, dll)

68 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 69
Lampiran 2 La m p i ra n 3

Deskripsi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Goal 3 Penyakit Zoonosis

Target 3.1 – 3.9, 3.a – 3.c


Tabel 13. Insiden dan Angka Kematian Kasus (CFR) Penyakit Zoonosis di Indonesia,
2009-2017
Target SDGs # 3 pada tahun 2030 terdiri dari:
• Target 3.1 untuk mengurangi rasio kematian ibu secara global hingga kurang dari 70 per
100.000 kelahiran hidup; Penyakit (ICD XI) Tahun
Indikator
Virus/Bakteri 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
• Target 3.2 untuk mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan
anak- anak di bawah usia 5 tahun, dengan semua negara yang bertujuan untuk Jumlah
Rabies(1C82) 195 206 184 137 119 81 118 86 90
mengurangi kematian neonatal hingga setidaknya 12 per 1.000 kelahiran hidup dan Kasus
rabies virus
kematian di bawah CFR (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 tahun hingga setidaknya 25 per 1.000 hidup kelahiran;
• Target 3.3 untuk mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis Bird Flu (XN4TT) Jumlah
9 12 9 3 3 2 2 - 1
yang terabaikan dan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air dan penyakit avian influenza Kasus
menular lainnya; virus CFR (%) 77,8 83,3 100 100 100 100 100 - 100
• Target 3.4 untuk mengurangi hingga sepertiga kematian prematur dari penyakit tidak
menular melalui pencegahan dan pengobatan dan meningkatkan kesehatan mental dan Jumlah
Anthrax(1B97) 17 31 41 22 11 48 3 52 -
kesejahteraan; Kasus
bacillus anthracis
CFR (%) 11,8 3,2 0 0 9,1 6,3 0 0 -
• Target 3.5 untuk memperkuat pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat,
termasuk penyalahgunaan narkoba narkotika dan penggunaan alkohol yang berbahaya;
Leptospirosis Jumlah
• Target 3.6 untuk mengurangi separuhnya jumlah kematian global dan cedera dari 335 857 239 640 550 366 833 640
(1B91) leptospira Kasus
kecelakaan lalu lintas jalan; spp bacteria CFR (%) 6,8 9,5 12,1 9,3 11,2 17,7 7,4 16,8
• Target 3.7 untuk memastikan akses universal ke layanan perawatan kesehatan seksual
dan reproduksi, termasuk untuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan Dengue
integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional; Incidence
Fever(1D21) - 65,7 27,6 37,2 45,8 39,8 50,7 78,8 22,5
Rate1
dengue virus
• Target 3.8 untuk mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko
keuangan, akses ke layanan perawatan kesehatan esensial berkualitas dan akses ke obat
esensial dan vaksin yang aman, efektif, berkualitas dan terjangkau untuk semua; Brucellosis(1B95) Prevalence
- - - - - - - 7,02 -
bacteria brucella Rate
• Target 3.9 untuk secara substansial mengurangi jumlah kematian dan penyakit dari
bahan kimia berbahaya dan polusi udara, air dan tanah serta kontaminasi; 1
IR: Incidence Rate per 100,000 populasi adalah ukuran frekuensi terjadinya suatu penyakit dalam
- Target 3.a untuk memperkuat pelaksanaan Konvensi Kerangka WHO tentang suatu populasi selama periode waktu tertentu.
Pengendalian Tembakau di semua negara, sebagaimana mestinya; Sumber: Kemenkes-Pusdatin. Profil Kesehatan Indonesia 2016 and 2017 (65)(66)
- Target 3.b untuk mendukung penelitian dan pengembangan vaksin dan obat-
obatan untuk penyakit menular (CD) dan penyakit tidak menular (NCD),
menyediakan akses ke obat-obatan esensial yang terjangkau dan vaksin, sesuai
dengan Deklarasi Doha tentang Perjanjian TRIPS dan Kesehatan Masyarakat yang
menegaskan hak negara berkembang untuk menggunakan secara penuh ketentuan
dalam Perjanjian tentang Aspek Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual terkait
fleksibilitas untuk melindungi kesehatan masyarakat, dan, khususnya, menyediakan
akses ke obat-obatan untuk semua; dan
- Target 3.c untuk secara substansial meningkatkan pembiayaan kesehatan dan
perekrutan, pengembangan, pelatihan, dan retensi tenaga kerja kesehatan di
negara- negara berkembang, terutama di negara-negara terbelakang dan pulau-
pulau kecil di
negara berkembang.

70 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 71
Lampiran 4 La m p i ra n 5

Penyakit Tular Makanan Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi

Tabel 16. KlB Penyakit yang Dapat Dicegah dengan


Tabel 14. Profil KlB Penyakit Tular Makanan, 2014-
Imunisasi yang Dilaporkan dan CFR, 2015 and 2016
2016

Tahun KlB Terekspos Sakit (n=7.487) Meninggal Penyakit (Kode ICD XI)
CFR1 (%) KlB IR2 (%) AR3Tahun
(%)
(virus/bakteri) (frekuensi dan total kasus)
2015 2016
2014 Nd 4.440 1.885 10 0,53 0,8 42,5
Frekuensi KLB 68 129
2015 66 8.263 2.251 Campak (1F03) 3 0,63 0,95 42,5
(morbillivirus) Jumlah total kasus 831 1.511
2016 98 5.673 3.351 7 0,21 CFR (%) 1,41 59,19
0,12 0,06

1
Case Fatality Rate (CFR): jumlah kematian dibagi dengan total kasus selama periode KLB
Frekuensi KLB - -
dikalikan 100% Chikungunya (1D40)
2
Incident Rate (IR): jumlah kasus dibagi dengan total populasi dikalikan 100.000 (chikungunya virus) Jumlah total kasus 2.282 1.702
3
Attack Rate (AR): jumlah kasus selama periode KLB dibagi dengan jumlah orang CFR (%) 0 0
yang mengkonsumsi makanan dikalikan 100%
Sumber: BPOM. Laporan Tahunan 2014-2016 (67)(68)(69)
Diphtheria (IC17) Frekuensi KLB - -
(Corynebacterium Jumlah total kasus 252 415
diphtheriae)
CFR (%) 1,98 5,8
Tabel 15 Penyebab KlB Penyakit Tular Makanan, 2014-2016
Chikungunya: Fase II uji coba vaksin menggunakan virus hidup dan yang dilemahkan, dapat
membentuk imunitas virus pada 98% orang yang diuji setelah 28 hari (85% masih menunjukkan
imunitas setelah satu tahun)
Penyebab 2014 (%) 2015 (%) 2016 (%) Case Fatality Rates (CFR): proporsi kematian dalam populasi yang terkena penyakit selama
Mikroba (terkonfirmasi) 14,89 1,64 3,33 perjalanan penyakit.
Sumber: Kemenkes – Pusdatin. Profil kesehatan Indonesia, 2015 - 2016 (70)(65)
Mikroba (suspek) 51,06 42,62 43,33

Kimia (terkonfirmasi) 0 0 1,67

Kimia (suspek) 17,02 11,48 21,67 Tabel 17. Cakupan Imunisasi Dasar (%) di Indonesia, 2008-2017
Tidak Diketahui 17,02 44,26 30
Vaksin 2007a 2008b 2010a 2013b 2014b 2015b 2016b 2017b
Sumber: BPOM. Laporan Tahunan 2014-2016 (67)(68)(69) BCG1 86,9 90 77,9 93,1 93,5 92,5 90 89,1
DTaP 2
67,7 86,09 61,9 90,3 90,7 85,7 84,8 83,7
Polio 71 87,2 66,7 90,2 90,8 93,9 90,5 88,8
Campak 81,6 75,4 74,4 78,1 78,6 77,4 72,7 70,6
Hepatitis B - 82,1 61,9 86,5 87,6 81,5 84,3 81,5
Imunisasi Dasar
Lengkap3 41,6 nd 53,9 71,7 74,3 24,6 59,9 44,1

1
BCG = Bacillus Calmette Guerin
2
DTaP = Diphtheria-Tetanus-Pertussis
3
lengkap untuk BCG, DTaP 1-3, Polio and Measles
Catatan: Anak dengan status imunisasi tidak lengkap tidak terlindungi dari infeksi virus dan bakteri
Sumber:
a
Badan Litbangkes Kemenkes. Riskesdas 2007 dan 2010 (anak 12-23 bulan) (71)(72)
b
Badan Pusat Statistik. Susenas 2008, 2013- 2017 (anak balita) (73)(74)(75)(76)(77)(78)

72 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 73
Lampiran 5

Tabel 18. Cakupan Imunisasi pada Anak Usia 12-23 Bulan (%) di Indonesia, 2002/3-2017
Gambar 6. Cakupan DTP31, Kasus Difteri dan Pertusis2, 1980–2016
Vaksin 2002/3 2007 2012 2017

BCG 83 85 89 91

DPT-3 58 67 72 77

Polio-3 66 74 76 83

Campak 72 76 80 87

Hepatitis B - - - -

Imunisasi Dasar Lengkap3 52 59 66 70

Sumber: BPS, BKKBN, Badan Litbangkes Kemenkes. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2017: Laporan Indikator Utama. Jakarta: BPS; Feb. 2018. p.25 (79).
percentage coverage

Gambar 5. Cakupan Imunisasi Nasional, 1980-2016

100 1
WHO and UNICEF estimates of national immunization coverage, July 2017 revision
90 2
WHO vaccine-preventable diseases: monitoring system 2016
80
Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017
70
60
50
40
30 Gambar 7. Cakupan DTP-Hib-HepB3 berdasarkan Provinsi, 2016
20
10
0
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2014 2015 2016
BCG 61 65 74 77 81 86 88 82 80 81
DPT3 27 60 69 75 72 81 78 78 79
OPV 13 60 71 72 79 82 80 80 80
MNV1 26 58 63 76 77 78 75 75 76

Sumber: WHO and UNICEF estimates of national immunization coverage, July 2017 revision
in WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

* DTP = Diphtheria-Tetanus-Pertussis Hib = Haemophilus Influenzae type B HepB3 =


Hepatitis-B 3rd
Sumber: SEAR Annual EPI Report, 2016, in WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

74 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 75
Lampiran 5

Gambar 8. Cakupan TT2+1 dan Kasus NT2, 1980–2016 Tabel 19. Indikator Kinerja Surveilans AFP, 2011-2016

Indikator 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Kasus AFP 1526 1557 1684 1724 1641 1720 1951 1963 1765 1428

Kasus virus
Polio liar 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
terkonfirmasi
Compatible
cases 15 4 1 0 0 0 0 0 0 0

Angka AFP 2,48 2,52 2,75 2,83 2,62 2,75 2,76 2,74 2,43 2,04

Angka AFP
Non-polio1 2,45 2,52 2,75 2,83 2,62 2,75 2,76 2,74 2,43 2,04

Persentase
1
Country official estimates, 1980-2015 pengumpulan
spesimen 83 85 84 86 85 91 92 88 89 92
2
WHO vaccine-preventable diseases: monitoring system 2016 feses yang
TT2+ = Tetanus toxoid NT = Northern territory memadai 2

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2016


Total sampel
feses yang 2978 3020 3328 3343 3184 3386 3828 3826 3424 2801
dikumpulkan
Gambar 9. Angka Acute Flaccid Paralysis (AFP) Non-polio per Provinsi, 2016 % isolasi 12 12 9 8 9 9 9 9 7 7
NPEV
% ketepatan
waktu hasil
uji yang 100 100 99 99 100 99 99 99 98 99
dilaporkan 3
1
Jumlah kasus AFP per 100.000 anak usia dibawah 15 tahun.
2
Persentase dengan 2 spesimen, jarak 24 jam dan dalam kurun waktu 14 hari dari onset
kelumpuhan.
3
2005-2007 hasil dilaporkan dalam waktu 28 hari dan hasil 2008-ke atas dilaporkan dalam 14 hari
setelah sampel diterima laboratorium.

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2016


Catatan: Surveilans mengandalkan pelaporan kasus AFP dan konfirmasi laboratorium melalui isolasi
virus polio dari feses. Jika konfirmasi laboratorium tertunda karena pengumpulan sampel dan
pengujian tertunda, deteksi wabah Polio juga akan tertunda.

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

76 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 77
Lampiran 6

Tata laksana Gambar 7. Ringkasan Tanggung jawab yang


Terdesentralisasi untuk Pengawasan Sektor
Kesehatan
Tabel 20. Struktur Politik Indonesia dan Sistem Pelayanan
Kesehatan brdasarkan Tingkatan

K EMENTERIAN K ESEHATAN
Struktur Politik Sistem Kesehatan Masyarakat
Tingkat Fasilitas
Eksekutif legislatif Tata Kelola • Pemetaan strategis kebutuhan nasional (contoh: lokasi pembangunan RS,
Kesehatan*
kebijakan distribusi SDM kesehatan)
Presiden (Terpilih)DPR
• Penetapan standar nasional dan prioritas nasional sektor kesehatan;
Komisi DPR pengawasan menyeluruh atas kinerja sektor kesehatan
Menteri Bidang Kementerian
Nasional Kesehatan RS Nasional Tipe A • Memiliki dan mengawasi RS Tipe A
berdasarkan sektor Kesehatan
(ditunjuk oleh (Komisi 9), • Menilai kapasitas pemerintah daerah (Pemda) untuk memenuhi SPM;
Presiden) Komisi Bidang
Ekonomi, dst memberikan bantuan teknis (kepada Pemda dengan kapasitas rendah)
• Membuat rekomendasi kepada Kemendagri mengenai sanksi bagi
Dinas Pemda yang kurang komitmen politiknya untuk memenuhi SPM (seperti
Provinsi Gubernur (Terpilih) DPRD Tingkat I Kesehatan RS Provinsi Tipe B
Provinsi menunda persetujuan anggaran TA mendatang)

Dinas RS Tipe C dan D,


Kabupaten/ Bupati/Walikota puskesmas
DPRD Tingkat II Kesehatan
Kota (Terpilih) Kabupaten/Kota (fasiltas pelayanan Arahan, bimbingan teknis, pendanaan Informasi dan rekomendasi
kesehatan dasar)
Di bawah yurisdiksi Dinas Puskesmas
dan struktur Kesehatan pembantu
Kecamatan pemerintahan Kabupaten/Kota (auxiliary primary D INAS K ESEHATAN P ROVINSI
kabupaten/kota care facility)
Kepala Desa • Diberdayakan untuk membantu Kementerian Kesehatan dalam
(Terpilih); sering melaksanakan tanggung jawabnya
juga melalui
mekanisme • Memberikan informasi kepada Kementerian Kesehatan mengenai kinerja
tradisional Dinas dan tantangan yang dihadapi kabupaten/kota
Kesehatan Posyandu dan
Desa Administrative Forum Desa Polindes
leader (elected); Kabupaten/Kota • Mengumpulkan data SPM dan data kesehatan lain dari kabupaten/
often also kota dan memeriksa kualitas data tersebut sebelum disampaikan ke
an unelected Kementerian Kesehatan
traditional head
• Memiliki dan mengawasi RS Tipe B

*Dimiliki dan dikelola sesuai dengan tingkatan pemerintahan, berdasarkan UU 23 /2014


Pengawasan dan Dukungan Informasi dan Rekomendasi

D INAS K ESEHATAN K ABUPATEN /KOTA

• Bertanggung jawab untuk mencapai SPM


• Memiliki dan mengawasi RS Tipe C dan D, puskesmas, dan layanan
penjangkauan
• Mengawasi sektor kesehatan swasta
• Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan
• Pelaporan sistem informasi kesehatan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kementerian Kesehatan

78 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 79
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Anda mungkin juga menyukai